61
i HUBUNGAN MAKROZOOBENTOS DENGAN BAHAN ORGANIK TOTAL (BOT) PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KELURAHAN AMPALAS KEC. MAMUJU KAB. MAMUJU SULAWESI BARAT SKRIPSI MUH ISMAN L111 11 264 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016

HUBUNGAN MAKROZOOBENTOS DENGAN … hubungan makrozoobentos dengan bahan organik total (bot) pada ekosistem mangrove di kelurahan ampalas kec. mamuju kab. mamuju sulawesi barat

  • Upload
    vananh

  • View
    225

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

i

HUBUNGAN MAKROZOOBENTOS DENGAN BAHAN ORGANIK TOTAL (BOT) PADA EKOSISTEM MANGROVE

DI KELURAHAN AMPALAS KEC. MAMUJU KAB. MAMUJU SULAWESI BARAT

SKRIPSI

MUH ISMAN L111 11 264

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2016

ii

HUBUNGAN MAKROZOOBENTOS DENGAN BAHAN ORGANIK TOTAL (BOT) PADA EKOSISTEM MANGROVE

DI KELURAHAN AMPALAS KEC. MAMUJU KAB. MAMUJU SULAWESI BARAT

Oleh:

MUH ISMAN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Program Studi Ilmu Kelautan

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2016

iii

ABSTRAK MUH ISMAN, L111 11 264. Hubungan Makrozoobentos dengan Bahan Organik Total (BOT) pada Ekosistem Mangrove di Kelurahan Ampalas Kec. Mamuju Kab. Mamuju Sulawesi Barat. Dibimbing oleh ANDI IQBAL BURHANUDDIN dan

SUPRIADI.

Keberadaan mangrove di pesisir memberikan manfaat yang baik secara ekologis

maupun secara fisik. Mangrove merupakan ekosistem yang mempunyai produktifitas

tinggi. Serasah dari daun dan ranting yang jatuh menjadi sumber bahan organik

untuk kehidupan makrozoobentos diyakini tergantung pada bahan organik.

Penelitian ini bertujuan untuk, mengatahui hubungan antara Bahan Organik Total

(BOT) dengan kelimpahan makrozoobentos di daerah mangrove. Penelitian

dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2016, di Kelurahan Ampalas, Kec.

Mamuju Kab. Mamuju Sulawesi Barat. Sampling makrozoobentos dilakukan dengan

mengambil sedimen menggunakan skop kecil pada luas area 20 cm x 20 cm.

Sedimen yang berisi makrozoobentos disaring menggunakan ayakan dengan mesh

size 1 mm. Sampling dilakukan pada 4 stasiun dengan kondisi kerapatan mangrove

berbeda, yaitu tanpa mangrove, kerapatan jarang, sedang, dan tinggi. Sampling

bahan organik total sedimen dengan mengambil sedimen menggunakan core pipa

paralon berdiamater 2 inch. Analisis bahan organik dilakukan menggunakan metode

pembakaran dengan suhu tinggi (loss by ignition). Selain bahan organik total,

parameter lingkungan yang lain juga diamati meliputi potensi redoks (Eh), keasaman

tanah (pH), salinitas, suhu dan oksigen terlarut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

mangrove yang mendominasi lokasi penelitian yaitu Rhizophora mucronata.

Sementara hubungan antara bahan organik total (BOT) dengan kelimpahan

makrozoobentos menunjukkan hubungan regresi nonlinear (polynomial). Hubungan

antara keduanya menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan BOT maka

semakin tinggi kelimpahan makrozoobentos. Namun demikian keeratan hubungan

tersebut relatif kecil dimana nilai koefisien diterminasi (R2) hanya 0,4462 atau

44.62%.

Kata Kunci: Kerapatan Mangrove, Kelimpahan Makrozoobentos, Bahan Organik

Total, Mangrove Mamuju.

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : Hubungan Makrozoobentos dengan Bahan Organik Total

(BOT) pada Ekosistem Mangrove di Kelurahan Ampalas Kec.

Mamuju Kab. Mamuju Sulawesi Barat

Nama Mahasiswa : Muh Isman

Nomor Pokok : L111 11 264

Program Studi : Ilmu Kelautan

Skripsi telah diperiksa dan disetujui oleh :

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Prof. Andi Iqbal Burhanuddin, M. Fish. Sc. Ph.D Dr. Supriadi, ST., M.Si

NIP.19691215 199403 1 002 NIP. 19691201 199503 1 002

Mengetahui,

Dekan Ketua Program Studi

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc Dr. Mahatma Lanuru, ST. M.Sc

NIP. 19670308 199003 1 001 NIP. 19701029 199503 1 001

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada pada tanggal 17 September

1993 di Ujung Pandang. Anak ketiga dari tiga

bersaudara pasangan dari Ayahanda Rahman dan

Ibunda Rosidar. Pada tahun 2005 lulus dari SD Inpres

Perumnas Antang 1 Makassar, tahun 2008 lulus dari

SMPN 23 Makassar, dan pada tahun 2011 lulus dari

SMAN 12 Makassar. Pada tahun 2011, melalui Seleksi

Nasional Masuk Perguruan Tinggi Nergeri (SNMPTN). Penulis diterima sebagai

Mahasiswa pada Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas

Ilmu Kelutan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Selama menjadi Mahasiswa, penulis aktif pada bidang kemahasiswaan

dengan mengikuti Organisasi Mahasiswa yaitu Senat Mahasiswa Ilmu Kelautan

Universitas Hasanuddin (SEMA KELAUTAN UH) periode 2013-2014, anggota di

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Ilmu dan Teknologi Kelautan Cabang

Makassar Timur, anggota di Unit Kegiatan Mahasiswa Sepak Bola (UKM SB)

Universitas Hasanuddin. Penulis juga aktif sebagai asisten pada berbagai mata

kuliah yaitu, Vertebrata Laut, Oseanografi Fisika, dan Meteorologi Laut.

Pada tahun 2014, penulis melaksakan salah satu tridarma perguruan tinggi

yaitu pengabdian masyrakat dengan mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN)

gelombang 87, di Kelurahan Bajoe, Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten

Bone, Sulawesi Selatan. Pada saat bersamaan, penulis sekaligus melaksanakan

Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Lingkungan Pao, Kelurahan Bajoe, Kec. TRT,

vi

Kab. Bone dengan judul “ Identifikasi Jenis dan Kerapatan Mangove di Lingkungan

Pao, Kel. Bajoe, Kec. TRT, Kab. Bone”. Melakukan penelitian dengan judul

“Hubungan Makrozoobentos dengan Bahan Organik Total (BOT) pada

Ekosistem Mangrove di Kelurahan Ampalas Kec. Mamuju Kab. Mamuju

Sulawesi Barat”. Di bawah Bimbingan Prof. A. Iqbal Burhanuddin, M. Fish,. Sc.

Ph.D dan Dr. Supriadi, ST. M.Si.

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil Alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah

SWT, karena atas berkah dan limpahan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Makrozoobentos dengan

Bahan Organik Total (BOT) pada Ekosistem Mangrove Di Kelurahan Ampalas Kec.

Mamuju Kab. Mamuju Sulawesi Barat” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana dari program studi Ilmu Kelautan.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sangat

tulus kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis mulai dari awal perkuliahan

hingga tersusunnya skripsi ini.

1. Kepada Orang Tua, Ayahanda Rahman dan Ibunda Rosidar. yang telah

bersedia dengan ikhlas menerima beban senang dan sakit yang dirasakan selama

merawatku,menjaga serta mengarahkanku ketika salah, menerimaku apa adanya

dan banyak hal yang tidak bisa diungkapkan atas semua pengorbanan dan kasih

sayang mereka.

2. Bapak Prof. Dr. Ir Jamaluddin Jompa, M.Sc selaku Dekan Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin beserta seluruh jajarannya. Bapak

Dr. Mahatma Lanuru, ST, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Kelautan UNHAS beserta

seluruh jajarannya.

3. Kepada Prof. A. Iqbal Burhanuddin, M. Fish, Sc., Ph.D dan Dr. Supriadi, ST.,

M.Si sebagai pembimbing yang telah memberi saran dan membantu dalam

penyempurnaan skripsi ini.

viii

4. Kepada Prof. Dr. Ambo Tuwo, DEA., Dr. Ir. Arniati Massinai, M.Si dan Ir.

Marzuki Ukkas, DEA selaku dosen penguji yang telah memberikan tanggapan, dan

saran terhadap penyempurnaan skripsi ini.

5. Team Mamuju Dr. Ir. Shinta Werorilangi., M.Sc., Dr. Rantih Isyrini, ST, M.Env.

Sc., Dr. Ahmad Faisal, M.Si., Muhammad Syukri, Hery Aprianto dan Hikmah Antarini

yang telah bekerjasama dan memberi bantuan, serta semangat yang tiada henti

dalam bekerja di lapangan maupun di Laboratorium selama penelitian.

6. Kak Nita yang telah ikhlas membantu dan memberikan arahan pada saat

pengerjaan sampel di Laborarotium, Pak Gatot yang telah ikhlas membantu dalam

pengurusan berkas dan seluruh Staf pengawai FIKP UH yang tidak dapat

disebutkan namanya lagi yang selalu mendukung secara ikhlas, sadar maupun

tidak.

7. Kepada seluruh saudara tak serahim, seperjuangan OMBAK KELAUTAN

2011, Hardin, Nizar, Arham, Ivan, Aswin, Asgar, Janu, Isal, Baim, Damar, Fahri,

Fajar, Asir, Reza, Ekki, Taufik, Mustono, Afdal, Sulham, Robby, Firman, Samsul,

Funty, Odah, Tanti, Faje, Dewi, Ayu, Dio, Gamariah, Wulan, Wajdiah, Ira, Anis,

Endang, Suci, Irma, Fajaria, Tina, Rany, Widya, Wigo, Surahman, Fikar, Lukman,

Arif, Alex, Ikbal andi soi, Rahmat, Eva, (Almh. Recky dan Rina) yang selalu

mendampingi, menyemangati, susah senang bersama, pengingat terbaik,

memberikan hidup penulis lebih bahagia.

8. Kepada Riswan yang telah membantu secara ikhlas dalam pengolahan data

penelitian, seluruh pendamping, panitia, korlap dan kaisar OMBAK 2011 yang telah

secara ikhlas memberikan pemahaman-pemahaman kepada saya.

ix

9. Kepada seluruh KELUARGA SENAT MAHASISWA ILMU KELAUTAN

Universitas Hasanuddin terima kasih atas semua arahan, ilmu dan pengetahuan,

bimbingan serta pelajaran hidup yang diberikan kepada penulis.

10. Kepada teman-teman KKN posko Bajoe Gelombang 87, Ekki, Imam, Ervan,

Shinta, Putri, Aidah dan Silvia terima kasih atas kekompakan, senyuman ikhlas, dan

canda tawa kalian.

11. Dg. Te’ne, Dg. Bunga dan Samone yang telah memberikan hutang dan

memberikan makan setiap harinya.

Manusia tak luput dari kesalahan, tiada satu pun yang sempurna di dunia ini,

hasil karya manusia tidak akan sesempurna hasil ciptaan sang Khalik, Allah SWT,

demikian pula dengan skripsi ini, masih jauh dari kesempurnaan, Oleh karena itu

segala bentuk saran dan kritikan yang sifatnya membangun sangatlah diharapkan

untuk memperbaiki segala kekurangannya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan

dipergunakan untuk amalan yang baik. Wassalam.

Penulis

MUH ISMAN

x

DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................... iv

RIWAYAT HIDUP ..................................................................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................................... vii

DAFTAR ISI ............................................................................................................. x

DAFTAR TABEL .................................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiv

I. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

A. Latar belakang ........................................................................................... 1

B. Tujuan dan Kegunaan ............................................................................... 3

C. Ruang lingkup ........................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 4

A. Makrozoobentos ........................................................................................ 4

B. Mangrove ................................................................................................... 5

C. Bahan Organik Total (BOT) ...................................................................... 6

D. Hubungan Makrozoobentos dengan Struktur Komunitas Mangrove .... 7

E. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi ....................... 8

F. Faktor Lingkungan .................................................................................. 10

III. METODE PENELITIAN ................................................................................ 13

A. Waktu dan Tempat .................................................................................. 13

B. Alat dan Bahan ........................................................................................ 14

C. Prosedur Penilitian ................................................................................. 15

1. Tahap Persiapan dan Studi literatur ...................................................... 15

2. Penentuan Stasiun ................................................................................. 15

3. Pengambilan Data .................................................................................. 16

D. Analisis data ............................................................................................ 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 22

A. Gambaran Umum Lokasi ........................................................................ 22

B. Komposisi Jenis dan Kepadatan Mangrove .......................................... 23

1. Komposisi Jenis Mangrove.................................................................... 23

xi

2. Kerapatan Mangrove .............................................................................. 25

C. Komposisi Jenis dan Kelimpahan Makrozoobentos ............................... 27

1. Komposisi Jenis Makrozoobentos ........................................................ 27

2. Kelimpahan Makrozoobentos ................................................................ 28

3. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) .. 29

D. Hubungan antara Bahan Organik Total (BOT) dengan Kelimpahan

Makrozoobentos ...................................................................................... 30

E. Analisis PCA ............................................................................................ 32

F. Parameter Lingkungan ........................................................................... 34

1. Tekstur sedimen ..................................................................................... 34

2. Potensi Redoks (Eh) ............................................................................... 35

3. Derajat Keasaman (pH)........................................................................... 36

5. Dissolved Oxygen (DO) pore water ....................................................... 37

6. Suhu ........................................................................................................ 37

7. Bahan Organik Total (BOT) .................................................................... 37

V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 39

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 40

LAMPIRAN ............................................................................................................. 43

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kriteria kandungan bahan organik dalam sedimen................................................ 7

2. Kategori indeks keanekaragaman (Odum, 1993). ................................................. 8

3. Kategori indeks keseragaman (Odum, 1993). ....................................................... 9

4. Kategori indeks dominansi (Odum, 1993). .......................................................... 10

5. Kriteria baku kondisi mangrove ........................................................................... 15

6. Skala Wentworth untuk penentuan butiran sedimen ........................................... 18

7. Indeks ekologi (Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi) ..................... 30

8. Parameter lingkungan ......................................................................................... 34

9. Analisis Tekstur sedimen .................................................................................... 34

xiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Lokasi Penelitian (Desa Ampalas, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju) ..... 13

2. Sketsa plot untuk sampling kerapatan mangrove dan kelimpahan

makrozoobentos. ................................................................................................ 16

3. Komposisi jenis Mangrove pada seluruh stasiun ................................................. 24

4. Grafik total kerapatan mangrove pada setiap stasiun.......................................... 25

5. Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Bahan Organik Total (BOT)................. 26

6. Komposisi jenis makrozoobentos yang tersebar di seluruh stasiun. .................... 27

7. Grafik total kelimpahan makrozoobentos pada setiap stasiun ............................. 29

8. Hubungan antara Bahan Organik Total (BOT) dan Kepadatan Makrozoobentos 31

9. Hasil analisis Prinsip Component Analysis (PCA). (A). antara sumbu 1 dan sumbu

2, dan (B) antara sumbu 1 dan sumbu 3. ........................................................... 33

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Tabel Kerapatan Mangrove seluruh Stasiun ....................................................... 43

2. Uji Oneway Anova antara Makrozoobentos dengan parameter lingkungan......... 44

3. Pengukuran panjang species Makrozoobentos menggunakan mistar. ................ 45

4. Lanjutan (pengukuran panjang spesies Makrozoobentos menggunakan mistar) 46

5. Tabel analisis Bahan Organik Total (BOT) .......................................................... 47

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup

di antara laut dan daratan yang terpengaruh oleh pasang surut. Mangrove

memegang peranan unik yang tidak dapat digantikan lagi oleh ekosistem lainnya

yaitu sebagai mata rantai perputaran zat hara yang penting bagi organisme akuatik

(Arief, 2003). Mangrove berperan sebagai tempat pergerakan, persembunyian,

reproduksi, pencarian pakan bagi organisme, selain itu mangrove juga bertindak

sebagai tempat perlindungan dan pakan bagi burung yang bermigrasi, tempat

berkembang biak burung air yang menetap (Kustanti, 2011). Hutan Mangrove

meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga

(Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera,

Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus) yang termasuk ke

dalam delapan famili (Bengen, 2004).

Kondisi hutan mengrove di Kabupaten Mamuju sampai saat ini mengalami

tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang kurang memperhatikan

aspek kelestarian. Tuntutan dan pembangunan yang lebih menekankan pada tujuan

ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, seperti konversi

hutan mangrove untuk pengembangan kota pantai (pemukiman), perluasan tambak

dan lahan pertanian serta adanya penebangan yang tidak terkendali telah terbukti

bahwa penggunaan lahan tersebut tidak sesuai dengan peruntukannya dan

melampaui daya dukungnya, sehingga terjadi kerusakan ekosistem hutan mangrove

dan degradasi lingkungan pantai (Paena, dkk., 2009).

2

Kerusakan habitat mengrove akan merusak siklus rantai makanan bagi

seluruh biota ekosistem mangrove. Dalam siklus hidupnnya, beberapa

makrozoobentos hanya hidup sebagai bentos dalam separuh saja dalam fase

hidupnya, misalnya pada stadia muda saja atau sebaliknya. cacing dan bivalvia

pada umumnya hidup sebagai bentos pada stadia dewasa (Syamsurisal, 2011).

Vegetasi mangrove menghasilkan serasah dari hasil luruhan daun dan

rantingnya. Serasah tersebut merupakan bahan organik yang sangat berperan bagi

kehidupan biota-biota asosiasi. Menurut Mulya (2002), peranan Bahan Organik Total

(BOT) dalam ekologi laut adalah sebagai sumber energi (makanan), sumber bahan

keperluan bakteri, tumbuhan maupun hewan, sumber vitamin, sebagai zat yang

dapat mempercepat dan memperlambat pertumbuhan sehingga memiliki peranan

penting dalam mengatur kehidupan. Salah satu organisme yang dapat terpengaruh

adalah bentos karena hewan ini hidupnya menetap. Hewan bentos erat kaitannya

dengan tersedianya bahan organik total yang terkandung dalam substrat, karena

bahan organik merupakan sumber nutrien bagi biota laut yang pada umumnya

terdapat pada substrat sehingga ketergantungannya terhadap bahan organik sangat

besar. Namun jika keberadaan bahan organik melebihi ambang batas sewajarnya

maka kedudukan bahan organik tersebut dianggap sebagai bahan pencemar.

Ketersediaan bahan organik total dapat memberikan variasi yang besar terhadap

kepadatan organisme yang ada (Marwan, 2012).

Peranan bentos di perairan meliputi kemampuannya mendaur ulang bahan-

bahan organik, membantu proses mineralisasi, dan kedudukannya di alam berbagai

posisi penting dalam rantai makanan. Bentos juga dapat digunakan sebagai

indikator pencemaran karena siklus hidupnya yang panjang dan sifat penyebarannya

terbatas. Tipe substrat menentukan jumlah dan jenis hewan bentos disuatu perairan.

3

Tipe substrat seperti rawa tanah dasar berupa lumpur, substrat sangat penting

dalam perkembangan komunitas hewan bentos. Pasir cenderung memudahkan

untuk bergeser dan bergerak ke tempat lain. Substrat berupa lumpur biasanya

mengandung sedikit oksigen dan karena itu organisme yang hidup di dalamnya

harus dapat beradaptasi pada keadaan tersebut (Lind, 1979).

Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk

mengetahui Hubungan Makrozoobentos dengan BOT pada Ekosistem Mangrove di

Kelurahan Ampalas Kec. Mamuju Kab. Mamuju Sulawesi Barat.

B. Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui struktur komunitas makrozoobentos

2. Mengetahui hubungan kelimpahan makrozoobentos dengan BOT sedimen

Adapun kegunaan dari penelitian sebagai bahan informasi tentang

keragaman dan kelimpahan makrozoobentos pada kondisi ekosistem mangrove dan

kandungan BOT yang berbeda.

C. Ruang lingkup

Ruang lingkup penelitian mencakup dengan melihat kelimpahan

makrozoobentos, identifikasi jenis makrozoobentos, indeks keanekaragaman,

keseragaman dan dominansi, mengukur kerapatan jenis mangrove, menganalisis

kandungan BOT. Selain itu dilakukan juga pengamatan parameter pendukung

seperti potensi redoks (Eh), keasaman tanah (pH), salinitas, suhu, Dissolved

Oxygen (DO) dan tekstur sedimen.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Makrozoobentos

Makrozoobentos merupakan kumpulan banyak organisme yang menjadi

bagian dari zoobentos yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar

perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang. Berdasarkan letaknya

makrozoobentos dibedakan menjadi infauna dan epifauna. Infauna adalah kelompok

makrozoobentos yang hidup terpendam di bawah substrat, sedangkan epifauna

adalah kelompok makrozoobentos yang hidup di permukaan substrat. Keberadaan

dari makrozoobentos dalam suatu perairan sangat ditentukan oleh keadaan

lingkungan seperti tipe sedimen, salinitas, kedalaman di bawah permukaan air

(Hutabarat dan Evans, 1985).

Berdasarkan kebiasaan hidupnya, makrozoobentos dikelompokkan menjadi

dua, yaitu infauna adalah bentos yang hidup didalam sedimen dan epifauna adalah

bentos yang hidup menempel pada daun-daun lamun dan di atas dasar laut

(Romimohtarto dan Juwana, 2001).

Distribusi hewan makrozoobentos sangat ditentukan oleh sifat fisika, kimia

dan biologi perairan. Sifat fisika yang berpengaruh langsung terhadap hewan

makrozoobentos adalah kedalaman, kecepatan arus, kekeruhan, substrat dasar dan

suhu perairan, sedangkan sifat kimiawi yang berpengaruh langsung adalah derajat

keasaman, kandungan karbondioksida bebas, kandungan oksigen terlarut (Odum,

1993).

Substrat mempunyai pengaruh terhadap komposisi dan distribusi

makrozoobentos karena merupakan salah satu faktor pembatas penyebaran

organisme makrozoobentos. Jenis substrat hubungannya dengan kandungan

5

oksigen dan ketersediaan nutrient dalam sedimen, pada susbstrat pasir, kandungan

oksigen relatif besar dibandingkan dengan jenis substrat yang lebih halus, hal ini

dikarenakan pada jenis substrat pasir terdapat pori udara yang memungkinkan

terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya. Pantai yang

berpasir tidak menyediakan susbtrat yang tetap untuk melekat bagi organisme. Dua

kelompok ukuran organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi substrat

berpasir yaitu organisme infauna makro (berukuran 1-10 cm) yang mampu menggali

liang di dalam pasir dan organisme meiofauna mikro (berukuran 0,1 – 1 mm) yang

hidup diantara butiran pasir dalam ruang interstitial. Sebaliknya pada substrat yang

halus, oksigen tidak begitu banyak, tapi biasanaya nutrient tersedia dalam jumlah

yang sangat besar. Dengan demikian jenis substrat yang diperkirakan oleh bentos

adalah kombinasi dari ketiga jenis substrat (pasir, debu dan liat) (Bengen, dkk 1995).

Krebs (1978), mengemukakan bahwa faktor biologi perairan yang

mempengaruhi komunitas hewan bentos adalah kompetisi (persaingan ruang hidup

dan makanan), predasi (pemangsaan) dan tingkat produktivitas primer. Masing-

masing faktor biologi tersebut berdiri sendiri, meskipun ada kalanya faktor-faktor

tersebut saling berinteraksi dan bersama-sama mempengaruhi komunitas pada

suatu perairan.

B. Mangrove

Ekosistem mangrove adalah ekosistem pantai yang disusun oleh berbagai

jenis vegetas yang mempunyai bentuk adaptasi biologis dan fisiologis secara

spesifik terhadap kondisi lingkungan yang cukup bervariasi. Ekosistem mangrove

umumnya didominasi oleh beberapa spesies mangrove sejati diantaranya

Rhizophora sp., Avicennia sp., Bruguiera sp. dan Sonneratia sp. Spesies mangrove

tersebut dapat tumbuh dengan baik pada ekosistem perairan dangkal, karena

6

adanya bentuk perakaran yang dapat membantu untuk beradaptasi terhadap

lingkungan perairan, baik dari pengaruh pasang surut maupun faktor-faktor

lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap ekosistem mangrove seperti: suhu,

salinitas, oksigen terlarut, sedimen, pH, Eh, arus dan gelombang (Saru, 2013).

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya

kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,

terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak

yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).

C. Bahan Organik Total (BOT)

Bahan organik total menggambarkan kandungan BOT suatu perairan yang

terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi (partikulate) dan koloid. Bahan organik

ditemukan dalam semua jenis perairan, baik dalam bentuk terlarut, tersuspensi

maupun sebagai koloid, dimana kesuburan suatu perairan tergantung dari

kandungan BOT dalam perairan itu sendiri. Bahan organik pada sedimen

merupakan penimbunan dari sisa tumbuhan dan binatang yang sebagian telah

mengalami pelapukan (Soepardi, 1986).

Sedimen pasir kasar umumnya memiliki jumlah bahan organik yang sedikit

dibandingkan jenis sedimen yang halus, karena sedimen pasir kasar kurang memiliki

kemampuan untuk mengikat bahan organik yang lebih banyak. Sebaliknya, jenis

sedimen halus memiliki kemampuan cukup besar untuk mengikat bahan organik.

Karena bahan organik sedimen memerlukan proses aerasi. Standar bahan organik

yang dapat ditolerir organisme agar dapat hidup berkisar 0,68-17ppm (Ukkas, 2009).

Reynold (1971) mengklasifikasikan kandungan bahan organik dalam sedimen yaitu

terlihat dalam Tabel 1.

7

Tabel 1.Kriteria kandungan bahan organik dalam sedimen

No Kandungan bahan organik (%)

kriteria

1 >35 Sangat Tinggi

2 17 – 35 Tinggi

3 7 – 17 Sedang

4 3,5 – 7 Rendah

5 < 3,5 Sangat Rendah

Sumber : Reynold (1971)

D. Hubungan Makrozoobentos dengan Struktur Komunitas Mangrove

Bentos relatif hidup menetap, sehingga baik untuk digunakan sebagai

petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke

habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan

faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu (Rosenberg dan Resh., 1993).

Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh

berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang

berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber

makanan bagi hewan bentos. Faktor abiotik, faktor fisika-kimia air yang meliputi:

suhu, arus, Dissolved Oxygen (DO), Bahan Organik Total (BOT) dan tipe substrat

dasar (Allard dan Moreau, 1987).

Penggunaan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan

dalam bentuk indeks biologi. Kemudian oleh para ahli biologi perairan, pengetahuan

ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan

karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas perairan

(Rosenberg dan Resh., 1993).

8

E. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi

Indeks keanekaragaman adalah penggambaran yang menunjukkan sifat

suatu komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragaman dalam suatu

komunitas. Menurut sifat komunitas, keanekaragaman ditentukan dengan

banyaknya jenis serta kemerataan kelimpahan individu tiap jenis yang didapatkan.

Semakin besar nilai suatu keanekaragaman berarti semakin banyak jenis yang

didapatkan dan nilai ini sangat bergantung kepada nilai total dari individu masing

masing jenis atau genera (Odum, 1993).

Keanekaragaman (H’) mempunyai nilai terbesar jika semua individu berasal

dari genus atau spesies yang berbeda-beda, sedangkan nilai terkecil didapat jika

semua individu berasal dari satu genus atau spesies saja (Odum, 1993). Adapun

kategori indeks keanekaragaman jenis dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.Kategori indeks keanekaragaman (Odum, 1993).

No Keanekaragaman (H’) Kategori

1 H’ < 2,0 Rendah

2 2,0 < H’ < 3,0 Sedang

3 H’ ≥ 3,0 Tinggi

Nilai indeks keanekaragaman dengan kriteria sebagai berikut:

Jika H’ < 2,0: Keanekaragaman genera/spesies rendah, penyebaran jumlah

individu tiap genera/spesies rendah, kestabilan komunitas rendah dan keadaan

perairan mulai tercemar.

Jika 2,0 < H’ < 3,0: Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu

sedang dan kestabilan perairan telah tercemar sedang.

9

Jika H’ ≥ 3,0: Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap

spesies/genera tinggi, kestabilan komunitas tinggi dan perairannya masih belum

tercemar.

Indeks keseragaman adalah penggambaran mengenai sifat organisme yang

mendiami suatu komunitas yang dihuni atau didiami oleh organisme yang sama atau

seragam. Keseragaman (E) dapat menunjukkan keseimbangan dalam suatu

pembagian jumlah individu tiap jenis. Keseragaman (E) mempunyai nilai yang besar

jika individu yang ditemukan berasal dari spesies atau genera yang berbeda-beda,

semakin kecil indeks keseragaman (E) semakin kecil pula keseragaman jenis dalam

komunitas, artinya penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama, ada

kecenderungan didominasi oleh jenis tertentu. Nilai indeks keseragaman (E) yaitu

0,75 < E < 1,00 menandakan kondisi komunitas yang stabil. Komunitas yang stabil

menandakan ekosistem tersebut mempunyai keanekaragaman yang tinggi, tidak

ada jenis yang dominan serta pembagian jumlah individu (Odum, 1993). Kategori

Indeks Keseragaman dapat dilihat di Tabel 3.

Tabel 3. Kategori Indeks Keseragaman (Odum, 1993).

No Keseragaman (E) Kategori

1 0,00 < E < 0,50 Komunitas Tertekan

2 0,50 < E < 0,75 Komunitas Labil

3 0,75 < E < 1,00 Komunitas Stabil

Indeks dominansi adalah penggambaran suatu kondisi dimana suatu

komunitas didominasi oleh suatu organisme tertentu. Dominasi (C) merupakan

penggambaran mengenai perubahan struktur dan komunitas suatu perairan untuk

mengetahui peranan suatu sisitem komunitas serta efek gangguan pada komposisi,

struktur dan laju pertumbuhannya. Jika nilai indeks dominansi mendekati satu berarti

10

suatu komunitas didominasi oleh jenis tertentu, dan jika nilai indeks dominasi

mendekati nol berarti tidak ada yang dominan. Kategori Indeks Dominansi dapat

dilihat di Tabel 4.

Tabel 4. Kategori Indeks Dominansi (Odum, 1993).

No Dominansi (C) Kategori

1 0,00 < C < 0,50 Rendah

2 0,50 < C < 0,75 Sedang

3 0,75 < C < 1,00 Tinggi

F. Faktor Lingkungan

1. Tekstur Sedimen

Sedimen di laut dikelompokkan berdasarkan ukuran, asal, dan posisinya di

laut dalam hubungannya dengan kontinen. Umumnya semakin besar ukuran partikel

semakin besar pula beratnya, oleh karena itu air yang mengalir dengan kecepatan

yang sangat lambat hanya dapat mengangkut material-material yang sangat halus.

Sebaliknya sedimen yang memiliki ukuran yang lebih besar seperti kerikil

dipindahkan hanya oleh air yang cepat. Pasir cenderung mengendap lebih cepat

sedangkan lanau dapat terangkut pada jarak yang cukup jauh sebelum diendapkan

dan lempung yang ukurannya sangat halus akan tetap tersuspensi untuk jangka

waktu tertentu dengan jarak yang cukup jauh (Nontji, 2005).

Sedimen pantai pada umumnya disusun oleh material dari berbagai ukuran

yang memungkinkan untuk diendapkan di sepanjang pantai. Ukuran butir endapan

pantai sangat bervariasi. Endapan tersebut dapat berukuran mulai dari beberapa

meter sampai kurang dari 0,1 mm. Terminologi yang digunakan untuk

11

menggolongkan sedimen pantai didasarkan pada ukuran diameter butirannya

(Mappa dan Kaharuddin, 1991).

2. Potensi Redoks (Eh)

Patrick dan Delaune (1997), menyatakan bahwa pengukuran potensi redoks

(Eh) digunakan untuk memperkirakan dampak potensial dari masuknya bahan-

bahan organik ke perairan laut. Eh merupakan pengukuran kuantitatif terhadap

kemampuan reduksi dengan menyediakan indeks atau derajat dari keadaan yang

anoksik yang memiliki nilai Eh dibawah -200 mV dan sedimen dengan kandungan

oksigen memilki nilai Eh diatas - 300 mV.

3. Tingkat Keasaman (pH)

pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan.

Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan

hidup organisme yang hidup didalamnya, perubahan pH pada perairan laut biasanya

sangat kecil. Hal ini disebabkan oleh adanya turbulensi massa air yang selalu

menstabilkan kondisi perairan (Odum, 1993).

Effendi (2000) menambahkan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif

terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8.5.

4. Salinitas

Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara

horizintal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya

perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem (Odum, 1993). Gastropoda

yang bersifat mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari

salinitas yang terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami

kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama (Effendi, 2000). Menurut

12

(Noortiningsih, dkk, 2008) Kisaran salinitas ini masih dianggap layak untuk

kehidupan makrozoobenthos yang berkisar 4-13,75‰

5. Suhu

Suhu merupakan suatu ukuran yang menunjukan derajat panas benda. Suhu

biasa digambarkan sebagai ukuran energi gerakan molekul. Suhu sangat berperan

dalam mengendalikan kondisi ekosistem suatu perairan. Suhu sangat memengaruhi

segala proses yang terjadi di perairan baik fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu

juga mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Burhanuddin, 2011).

Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi

pertumbuhannya. Semakin tinggi kenaikan suhu air, maka semakin sedikit oksigen

yang terkandung didalamnya (Retnowati, 2003).

6. Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan

hewan di dalam air. Menurut APHA (1989) dalam Anggi (2013), oksigen terlarut di

dalam air dapat berasal dari hasil fotosintesis organisme laut atau tumbuhan air

serta difusi dari udara. Konsentrasi O2 terlarut di dalam air dapat dipengaruhi oleh

koloidal yang melayang di dalam air maupun oleh jumlah larutan limbah yang terlarut

di dalam air. Pada umumnya air pada perairan yang telah tercemar, kandungan

oksigennya sangat rendah. Dekomposisi dan oksidasi bahan organik dapat

mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Peningkatan

suhu sebesar 10C akan meningkatkan konsumsi O2 sekitar 10% (Brown, 1987

dalam Anggi, 2013).

13

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga September 2016. Jangka

waktu tersebut meliputi studi literatur, pengambilan data, identifikasi sampel dan

pengolahan data. Lokasi penelitian di Kelurahan Ampalas, Kecamatan Mamuju,

Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat (Gambar 1). Identifikasi Makrozoobentos

dilakukan di Laboratorium Ekologi Laut, analisis Bahan Organik Total (BOT) serta

analisis ukuran butiran sedimen dilakukan di Laboratorium Oseanografi Fisika dan

Geomorfologi Pantai, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, analisis Tekstur

sedimen dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Universitas

Hasanuddin dan pengukuran parameter oseanografi dilakukan di Lokasi penelitian di

Kelurahan Ampalas, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat.

Gambar 1. Lokasi Penelitian (Desa Ampalas, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju)

14

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning System

(GPS) untuk menentukan posisi titik koordinat setiap stasiun, kantong sampel untuk

menyimpan sampel, roll meter digunakan untuk mengukur transek dan membuat

plot, tali rapia dan patok sebagai alat untuk pembuatan plot 10 meter x 10 meter dan

20 cm x 20 cm, alat tulis menulis untuk mencatat data dan sampel yang didapat,

spidol permanen untuk pelabelan kantong sampel, skop untuk mengambil sampel

makrozoobentos dan sedimen, kamera digital untuk mendokumentasikan kegiatan

penelitian, cool box untuk menyimpan sampel yang telah diambil, ayakan 1 mm

untuk memisahkan makrozoobentos dengan sedimen, Eh meter untuk mengukur

potensi redoks, timbangan digital untuk mengukur berat sedimen, oven untuk

mengeringkan sedimen, 1 set ayakan sedimen dengan masing masing ukuran (2

mm, 1 mm, 0.5 mm, 0.25 mm, 0.125 mm, 0.063 mm dan <0.063 mm) untuk

menyaring diameter ukuran sedimen, cawan porselin untuk wadah sedimen yang

akan di timbang, tanur untuk pembakaran sampel, pH meter untuk mengukur tingkat

keasaman perairan, salinometer untuk mengukur salinitas perairan, termometer

untuk mengukur suhu perairan, makroskop untuk mengamati dan membantu dalam

proses identifikasi sampel makrozoobentos, kantong sampel digunakan sebagai

wadah untuk menyimpan sampel sedimen, buku Identifikasi Gastropoda dan

Conchology Ind (http://www.conchology.be) digunakan untuk mengidentifikasi jenis

makrozoobentos.

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu, alkohol 70%

digunakan untuk mengawetkan sampel makrozoobentos, es batu sebagai pendingin

sedimen agar tidak terjadi penguraian oleh bakteri.

15

C. Prosedur Penilitian

Penelitian ini dibagi ke dalam beberapa tahap yaitu tahap persiapan, studi

literatur, penentuan stasiun, sampling mangrove, makrozoobentos, dan Bahan

Organik Total (BOT) setiap sedimen, serta pengukuran parameter oseanografi

seperti, Potensi redoks, keasaman tanah (pH), salinitas, suhu dan oksigen terlarut.

1. Tahap Persiapan dan Studi literatur

Langkah persiapan meliputi survei lapangan atau observasi awal dari

langkah tersebut dengan tujuan memperoleh gambaran awal dan strategi penentuan

metode dan teknik pengumpulan data. Pengamatan ekosistem mangrove dilakukan

secara kualitatif yaitu mengamati banyak/tebalnya tegakan pohon mangrove yang

mewakili jarang, sedang dan padat. Mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan

selama penelitian di lapangan. Tahap studi literatur dan pengumpulan data yang

berhubungan dengan penelitian.

2. Penentuan Stasiun

Penentuan stasiun didasarkan pada tingkat kerapatan mangrove yang

berbeda, yang mewakili kerapatan jarang, sedang, sangat padat dan daerah yang

tidak mempunyai mangrove sebagai kontrol (Tabel 5). Pengambilan titik koordinat

stasiun pengamatan dilakukan dengan menggunakan Global Position System

(GPS).

Tabel 5. Kriteria baku kondisi mangrove Kriteria Penutupan (%) Kerapatan (pohon/ha)

Sangat padat ≥ 75 ≥ 1500

Sedang ≥ 50 – 75 ≥ 1000 - <1500

Jarang < 50 < 1000

Sumber: Kepment Lh Nomor : 201 Tahun 2004 (https://Kepmen+Lh+No+201+2004).

16

3. Pengambilan Data

a. Kerapatan Mangrove

Pengamatan kerapatan mangrove dilakukan dengan menggunakan plot

berukuran 10 meter x 10 meter dengan ulangan 6 plot transek mangrove setiap

stasiun (Dharmawan dan Pamudji, 2014). Penempatan plot dilakukan berdasarkan

daerah yang mewakili bagian-bagian dalam zona mangrove yaitu sejajar dengan

garis pantai. Seluruh jenis dan jumlah pohon mangrove yang terdapat dalam plot

tersebut dihitung untuk menentukan kerapatannya (Saru, 2013). Selanjunya diolah

untuk mendapatkan kerapatan mangrove dengan satuan pohon/ha.

Gambar 2. Sketsa plot untuk sampling kerapatan mangrove dan kepadatan makrozoobentos.

b. Makrozoobentos

Pengambilan sampel makrozoobentos dengan menggunakan plot 20 cm x 20

cm pada setiap sudut plot mangrove 10 meter x 10 meter, dilakukan dengan

mengambil subsrat menggunakan skop dengan kedalaman kurang lebih 20 cm. Di

tetapkan 6 plot pada setiap stasiun. Sampel yang telah diambil kemudian disaring

dengan menggunakan ayakan dengan mesh size 1 mm. Organisme

makrozoobentos yang tersaring diambil dan dimasukkan ke dalam kantong sampel,

17

dan diberi label stasiun, kemudian diberi pengawet alkohol ± 20 ml dengan

konsentrasi 70%. Selanjutnya diolah untuk mendapatkan kelimpahan

makrozoobentos dengan satuan ind/m2.

c. Bahan Organik Total (BOT) Sedimen

Pengambilan sampel sedimen untuk BOT dilakukan dengan menggunakan

core yang terbuat dari pipa paralon berukuran diameter 2 inch dengan panjang 20

cm, dengan menancapkan core tersebut pada sedimen hingga tenggelam lalu

mengangkat kembali core tersebut. Sedimen yang telah diambil dimasukkan ke

dalam kantong sampel dan disimpan di cool box yang telah terisi es batu sebagai

pendingin agar tidak terjadi penguraian oleh bakteri. Sampel dibawa ke laboratorium

untuk analisis BOT. Analisis BOT dilakukan dengan menggunakan metode loss by

ignition (pembakaran dengan suhu tinggi) (Fairhurst dan Graham, 2003 dalam

Mardi, 2014).

Langkah langkah metode analisis tersebut sebagai berikut:

Mengeringkan sampel sedimen dengan menggunakan oven selama 2x24

jam/sampel sampai benar-benar kering dengan suhu 1050.

Menimbang berat cawan porselin (Bc).

Menimbang berat sampel sedimen yang telah di oven sebanyak kurang

lebih 5 g dan mencatatnya sebagai berat awal (Baw).

Tujuan cawan di oven agar memastikan tidak ada sisa kandungan air

yang terdapat pada cawan supaya pada saat pemijaran dengan suhu

tinggi cawan tersebut tidak pecah.

Memanaskan cawan porselin yang berisi sampel sedimen sebanyak 5 g

dengan menggunakan tanur pada suhu 5500C selama kurang lebih 3,5

jam.

18

Setelah mencapai 3,5 jam sampel sedimen pada cawan dikeluarkan dari

tanur.

Menimbang kembali sampel pada cawan yang sudah di tanur sebagai

berat akhir (Bak).

d. Pengukuran parameter lingkungan pendukung

Pengukuran parameter lingkungan pendukung antara lain, Potensi redoks

(Eh), keasaman tanah (pH), salinitas, suhu, oksigen terlarut dan tekstur sedimen.

Penentuan ukuran butiran sedimen dilakukan dengan metode pengayakan

kering (dry sieving). Sekitar 100gr sedimen diayak selama 10 menit dengan

menggunakan sieve net yang tersusun secara berurutan dengan ukuran (mesh size)

2 mm, 1 mm, 0,5 mm, 0,25 mm, 0,125 mm dan 0,063 mm. Porsi sedimen yang

tertahan pada setiap ayakan ditimbang dan diklasifikasikan menurut ukuran

butirannya. Analisis sampel sedimen dilakukan dengan metode Wentworth. Metode

ini dipakai untuk menunjukkan distribusi ukuran butiran sedimen untuk mengetahui

dominansi jenis sedimen pada daerah penelitian (Tabel 6).

Tabel 6. Skala Wentworth untuk penentuan butiran sedimen

Kelas Ukuran Butir Diameter (mm)

Bongkahan

kerikil kasar

kerikil sedang

kerikil halus

pasir sangat kasar

pasir kasar

pasir sedang

pasir halus

pasir sangat halus

debu

lempung

> 256

64 – 256

4 – 64

2 – 4

1 – 2

0,5 – 1

0,25 – 0,5

0,125 – 0,25

0,062 – 0,125

0,0039 – 0,062

< 0,0039

Sumber : Hutabarat dan Evans (1985).

19

D. Analisis data

A. Makrozoobentos

1. Kelimpahan makrozoobentos dihitung berdasarkan jumlah individu persatuan

luas (ind/m2), dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener (Odum, 1993).

Dimana : Y = Kelimpahan jenis (ind/m2)

a =Jumlah makrozoobenthos yang tersaring (ind)

b = Luasan plot (cm2)

10.000 = Nilai Konversi dari cm² ke m²

2. Indeks ekologi

a) H’ : Indeks keanekaragaman dihitung dengan rumus Shannon-Wiener

(Odum, 1993).

Dimana : H’ = Indeks keanekaragaman jenis

ni = Jumlah individu jenis

N = Jumlah total individu

no Keanekaragaman (H’) Kategori

1 H’ < 2,0 Rendah

2 2,0 < H’ < 3,0 Tinggi

3 H’ ≥ 3,0 Sedang

Y = 𝐴

𝐵 χ 10.000

20

b) E : Indeks keseragaman dihitung dengan menggunakan rumus

Evennes Indeks (Odum, 1993).

Dimana : E = Indeks keseragaman jenis

H’= Indeks keanekaragaman jenis

S = Jumlah jenis organisme

no keseragaman (E) Kategori

1 0,00 < E < 0,50 Komunitas Tertekan

2 0,50 < E < 0,75 Komunitas Labil

3 0,75 < E < 1,00 Komunitas Stabil

c) C : Indeks dominansi (C) dihitung dengan rumus Dominance of

Simpson (Odum, 1993).

Dimana : C = Indeks dominansi

ni = Jumlah individu setiap jenis

N = Jumlah total individu

no Dominansi (C) Kategori

1 0,00 < C < 0,50 Rendah

2 0,50 < C < 0,75 Sedang

3 0,75 < C < 1,00 Tinggi

21

B. Kerapatan Mangrove

Kerapatan Jenis i (Di) adalah Jumlah tegakan jenis ind dalam suatu unit area

yang perhitungannya menurut oleh Bengen (2000).

Dimana : Di = Kerapatan Jenis

ni = Jumlah total tegakan jenis ind

A = Luas total areal pengambilan data

C. BOT sedimen

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑂 𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐶𝑎𝑤𝑎𝑛 + 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

𝑘𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘 = (𝐵𝑎𝑤 − 𝐵𝑐) − (𝐵𝑎𝑘 − 𝐵𝑐)

% 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑂𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘

=(Berat BO awal sebelum dipijar) − (Berat BO setelah dipijar)

Berat sampel𝑥 100%

Dimana : Baw = Berat awal (gram)

Bak = Berat akhir (gram)

Bc = Berat cawan (gram)

D. Hubungan bahan organik total (BOT), sedimen, kepadatan makrozoobentos.

Makrozoobentos yang berasosiasi pada mangrove dengan beberapa

parameter lingkungan dianalisis dengan menggunakan analisis Prinsiple Component

Analysis (PCA). Metode analisis menggunakan PCA untuk parameter oseanografi

dengan makrozoobentos dan mangrove pernah dilakukan oleh Nugraheni (2011).

𝐷𝑖 =𝑛𝑖

𝐴

22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi

Kabupaten Mamuju merupakan salah satu kabupaten dari wilayah Provinsi

Sulawesi Barat, yang pada awalnya terdiri dari 16 Kecamatan namun seiring dengan

perkembangan dan aspirasi masyarakatnya maka pada tanggal 14 Desember 2012

resmi dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Mamuju dan Kabupaten

Mamuju Tengah. Jumlah kecamatan di Kabupaten Mamuju tinggal 11 yang terdiri

dari 7 Kecamatan pesisir dan 3 Kecamatan non-pesisir. Secara Geografis

Kabupaten Mamuju terletak terletak diantara 2o10'48'' – 2o57'35'' Lintang selatan;

11504'47'' - 119051'35'' Bujur Timur, Kabupaten Mamuju merupakan wilayah dengan

potensi kawasan strategis sebagai pengembangan ibukota kabupaten untuk Provinsi

Sulawesi Barat dengan luas wilayah 8.014,06 km2 dan secara administratif

berbatasan dengan :

Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Mamuju Tengah.

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Majene, Kabupaten

Polman, Kabupaten Tana Toraja (Provinsi Sulawesi Selatan).

Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Luwu Utara (Provinsi

Sulawesi Selatan).

Sebelah Barat : berbatasan Selat Makassar (Provinsi Kalimantan Timur).

Kabupaten ini terdiri atas 11 wilayah kecamatan, 11 kecamatan dimaksud

adalah Tapalang, Tapalang Barat, Mamuju, Simboro dan Kepulauan Balabalakang,

Kalukku, Papalang, Sampaga, Tommo, Kalumpang, dan Bonehau. Kecamatan

Kalumpang merupakan kecamatan terluas dengan luas 1.178,21 km2 atau 22,19%

dari seluruh luas wilayah kabupaten Mamuju. Sedangkan yang terkecil adalah

23

Kecamatan Sampaga dengan luas 95,94 km2. Disamping itu kabupaten Mamuju

memiliki 17 pulau dan 8 gugus yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan

Balabalakang. Dari 17 pulau tersebut terdapat 11 pulau yang berpenghuni dan 6

pulau yang tidak berpenghuni. Di antara 11 Kecamatan di Kabupaten Mamuju,

Ibukota Kecamatan yang letaknya terjauh dari Ibukota Kabupaten adalah Ibukota

Kecamatan Balabalakang. Jumlah penduduk Kabupaten Mamuju sebelum

pemekaran pada Desember 2012 adalah 336,973 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk

sebesar 42 jiwa/km2. Jumlah penduduk laki-laki adalah sebanyak 173,413 dan

Perempuan 163,569 jiwa. Dengan laju pertumbuhan penduduk 3,91% yang relatif

tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata Provinsi Sulawesi Barat

sebesar 2,68%. Jumlah rumah tangga berdasarkan data statistik tahun 2012

terhitung 75,754 rumah tangga atau 4,45 orang per rumah tangga (Badan Pusat

Statistik, 2013).

Lokasi penelitian berada di daerah perairan pesisir Desa Ampalas

Kecamatan Mamuju terdiri dari empat stasiun penelitian yaitu, pada daerah

mangrove padat, sedang, jarang dan kontrol dengan pengulangan pengambilan

sampel sebanyak enam kali.

B. Komposisi Jenis dan Kepadatan Mangrove

1. Komposisi Jenis Mangrove

Selama hasil penelitian ditemukan 6 jenis mangrove yang tersebar di tiga

stasiun, pada stasiun 1 didapatkan 3 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata,

Sonneratia alba, Avicennia alba, pada stasiun 2 terdapat 2 jenis yaitu Rhizophora

mucronata dan Sonneratia alba, pada stasiun 3 terdapat 4 jenis yaitu, Rhizophora

mucronata, Sonneratia alba, Avicennia marina dan Bruguiera gymnorriza (Gambar

3).

24

Gambar 3. Komposisi jenis Mangrove pada seluruh stasiun

Pada gambar diatas ditemukan 6 jenis mangrove yang tersebar pada seluruh

stasiun penelitian yaitu Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Sonneratia

alba, Avicennia marina, Avicennia alba dan Bruguiera gymnorrhiza. Pada stasiun 1

(Jarang) ditemukan 3 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata dengan komposisi

51,7%, Sonneratia alba dengan komposisi 39,7% dan Avicennia alba dengan

komposisi 8,6%. Stasiun 2 (Sedang) ditemukan 2 jenis mangrove yaitu Rhizophora

mucronata dengan komposisi 88,2% dan Sonneratia alba dengan kepadatan 11,8%.

Stasiun 3 (Padat) ditemukan 4 jenis mangrove yaitu Rhizophora mucronata dengan

komposisi 80,7%, Sonneratia alba dengan komposisi 17,0%, Avicennia alba dan

Bruguiera gymnorrhiza dengan komposisi 1,1%. Jenis Rhizophora mucronata yang

mendominasi stasiun penelitian ini karena pada umumnya mampu hidup pada

88.2%

11.8%

Stasiun 2 (Sedang)

Rhizophora mucronata

Sonneratia alba

80.7%

17.0%

1.1% 1.1%

Stasiun 3 (Padat)

Rhizophora mucronata Sonneratia alba

Avicennia marina Bruguiera gymnorrhiza

51.7% 39.7%

8.6%

Stasiun 1 (Jarang)

Rhizophora apiculata

Sonneratia alba

Avicennia alba

25

substrat berlumpur dan berpasir. Bengen (1999), menyatakan bahwa jenis

Rhizophora mucronata umumnya tumbuh di daerah yang bersubsrat lunak dan

memiliki penyebaran luas. Lebih lanjut menurut Abdulhaji (2011), bahwa sebagian

besar hutan mangrove yang ada di Indonesia didominasi oleh familia

Rhizophoraceae.

2. Kerapatan Mangrove

Kerapatan mangrove merupakan jumlah total tegakan dari suatu jenis

mangrove tertentu dalam suatu unit area. Kerapatan yang tinggi didapatkan pada

stasiun 3 dengan jumlah tegakan 1750 pohon/ha dan kerapatan yang rendah pada

stasiun 1 dengan jumlah tegakan 583 pohon/ha sebagai mana disajikan pada,

Gambar 4 dan lampiran 1.

Gambar 4. Grafik total kerapatan mangrove pada setiap stasiun

Berdasarkan standar baku kondisi mangrove oleh kepmen LH no. 201 tahun

2004, kondisi mangrove yang ditemukan di lokasi penelitian berkategori jarang,

sedang dan padat. Kerapatan pohon mangrove pada lokasi penelitian berkisar

antara 583±121 – 1750±189 pohon/ha. Pada stasiun 1 didapatkan jenis mangrove

583

1100

1750

0

500

1000

1500

2000

2500

Jarang Sedang Padat

Kera

pata

n M

angro

ve (

pohon/h

a)

Stasiun

26

Rhizophora apiculata, Sonneratia alba dan Avicennia alba dengan total tegakan 583

pohon/ha atau termasuk dalam kategori jarang. Pada stasiun 2 didapatkan jenis

mangrove Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba dengan jumlah tegakan 1100

pohon/ha yang termasuk kategori sedang. Pada stasiun 3 didapatkan jenis

mangrove Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Avicennia marina, dan Bruguiera

gymnorrhiza dengan total tegakan mangrove 1750 pohon/ha yang termasuk kategori

padat.

3. 1. Hubungan Kerapatan Mangrove Bahan Organik Total (BOT)

Hubungan antara Kerapatan Mangrove dan BOT menunjukkan hubungan

regresi nonlinear (polynomial). Hubungan antara keduanya menunjukkan bahwa

semakin tinggi kerapatan mangrove maka semakin tinggi kandungan BOT. Namun

demikian keeratan hubungan tersebut relatif kecil dimana nilai koefisien diterminasi

(R2) sebesar 0,82.65 atau 82.65%. Hal ini menujukkan bahwa pengaruh kerapatan

mangrove terhadap BOT sebesar 82.65%, sisanya sebesar 18,35% dipengaruhi

oleh faktor lainnya (Gambar 5).

Gambar 5. Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Bahan Organik Total (BOT)

y = 9E-06x2 - 0.0082x + 1.9853 R² = 0.8265

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

0 500 1000 1500 2000 2500

Bah

an O

rgan

ik T

ota

l (%

)

Kerapatan Mangrove (pohon/ha)

27

C. Komposisi Jenis dan Kelimpahan Makrozoobentos

1. Komposisi Jenis Makrozoobentos

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 15 jenis Makrozoobentos yang

tersebar di 4 stasiun, dimana jumlah jenis makrozoobentos yang paling banyak

ditemukan pada stasiun 3 dengan 12 jenis makrozoobentos dan stasiun yang sedikit

didapatkan pada stasiun 2 dengan 4 jenis makrozoobentos. Banyaknya ditemukan

pada stasiun 3 diduga berhubungan dengan kandungan bahan organik total yang

tinggi. Komposisi jenis mangrove dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Komposisi jenis makrozoobentos yang tersebar di seluruh stasiun.

Ditemukan 15 jenis makrozoobentos yang tersebar di seluruh stasiun

penelitian, pada stasiun 1 terdapat 2 jenis yang dominan yaitu Tellina sp. dengan

26.7%

23.3% 30.0%

20.0%

Stasiun 2 (sedang)

Cerithium coralium

Nassarius sp.

Trachycardium sp.

Cerithium rosratum

10.7%

3.6%

7.1%

10.7%

17.9% 3.6% 7.1%

39.3%

Stasiun 1 (jarang)

Nassarius sp.

Trachycardium sp.

Cerithium rosratum

Pagurus sp.

Nerita sp.

Crustacea

Oliva sp.

Tellina sp.

30.6%

33.1% 0.8%

1.7%

19.0%

1.7%

1.7%

0.8% 0.8%

6.6% 1.7% 1.7%

Stasiun 3 (padat)

Cerithium coralium

Nassarius sp.

Nereis sp.

Trachycardium sp.

Cerithium rosratum

Pagurus sp.

Polinices sp.

Nerita sp.

Crustacea

Terebralia sulcata

Canarium sp.

Littoraria lutea

23.4%

27.7%

10.6%

12.8%

4.3%

2.1% 14.9%

4.3%

Stasiun 4 (kontrol)

Cerithium rosratum

Pagurus sp.

Crustacea

Canarium sp.

Littoraria lutea

Nassarius sp.

Trachycardium sp.

Cerithium coralium

28

komposisi 39,3% dan Nerita sp. dengan komposisi 17,9%. Pada stasiun 2 terdapat 2

jenis makrozoobentos yang dominan yaitu Cerithium coralium dengan komposisi

26,7% dan Tracycardium sp. dengan komposisi 30,0%. Pada stasiun 3 ini terdapat 3

jenis makrozoobentos yang dominan yaitu Cerithium coralium dengan komposisi

30,6%, Cerithium rosratum dengan komposisi 19,0% dan Nassarius sp. dengan

komposisi 33,1%. Pada stasiun 4 terdapat 4 jenis yang dominan yaitu Cerithium

rosratum dengan komposisi 23,4%, Pagurus sp. dengan komposisi 27,7%,

Canarium sp. dengan komposisi 12,8% dan Tracycardium sp. dengan komposisi

14,9%. Komposisi makrozoobentos pada stasiun ini secara umum didominasi oleh

kelas gastropoda. Dominannya kelas gastropoda karena memiliki kemampuan

adaptasi yang cukup baik terhadap lingkungannya. Pada kelas gastropoda terdapat

kulit kedap air yang berfungsi sebagai pembatas, banyak diantaranya yang bernafas

melalui udara dan memakan plankton atau bahan organik. Dominannya kelas

gastropoda menurut Nybakken (1992), juga disebabkan oleh daya tahan tubuh dan

adaptasi cangkang yang keras dan lebih memungkinkan untuk bertahan hidup

dibanding kelas lain. Gastropoda mempunyai operculum yang menutup rapat celah

cangkang, ketika pasang turun mereka masuk dalam cangkang lalu menutup celah

menggunakan operculum sehingga kekurangan air dapat diatasi.

2. Kelimpahan Makrozoobentos

Kelimpahan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu per

satuan luas, Kelimpahan makrozoobentos pada mangrove sangat tergantung pada

tingkat kerapatan suatu ekosistem mangrove, karena makrozoobentos menjadikan

mangrove sebagai naungan maupun tempat mencari makan. Kelimpahan

makrozoobentos yang paling tinggi didapatkan pada stasiun 3 dan kelimpahan

makrozoobentos yang paling rendah didapatkan pada stasiun 1 (Gambar 7).

29

Gambar 7. Grafik total kelimpahan makrozoobentos pada setiap stasiun

Total kelimpahan makrozoobentos berkisar antara 117±61 - 504±6 ind/m2

paling banyak ditemukan pada stasiun 3 dengan nilai yaitu 504±6 ind/m2 dan total

kelimpahan makrozoobentos paling sedikit pada stasiun 1 dengan nilai 117±61

ind/m2. Kelimpahan makrozoobentos tinggi pada stasiun 3 salah satunya

dipengaruhi oleh bahan organik total (BOT) dengan nilai 12,97. Menurut Yeanny

(2007), kelimpahan makrozoobentos di perairan juga dipengaruhi oleh jenis substrat

dan kandungan organik substrat. Berdasarkan hasil uji One-way Anova

menunjukkan adanya perbedaan nyata kelimpahan makrozoobentos antara stasiun

3 dengan stasiun 1, 2 dan 4 (Lampiran 2).

3. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C)

Nilai indeks ekologi (Keanekaragaman H’, Keseragaman E dan Dominansi C)

secara umum untuk semua stasiun pengamatan disajikan dalam bentuk Tabel 7.

117 125

504

196

0

100

200

300

400

500

600

Jarang Sedang Padat Kontrol

Kelim

apahan (

ind/m

2)

Stasiun

30

Tabel 7. Indeks ekologi (Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi)

Stasiun Indeks Keanekaragaman

(H') Indeks Keseragaman

(E) Indeks Dominansi

(C)

Jarang 0.497 0.434 0.628

Sedang 0.833 0.691 0.260

Padat 0.950 0.619 0.438

Kontrol 0.829 0.661 0.318

Indeks Keanekaragaman (H’) Makrozoobentos yang didapatkan pada lokasi

penelitian semua stasiun tergolong rendah dengan nilai H’ < 2,0 (Odum, 1993).

Keanekaragaman genera/spesies rendah, penyebaran jumlah individu tiap

genera/spesies rendah, kestabilan komunitas rendah dan keadaan perairan mulai

tercemar.

Indeks Keseragaman (E) Makrozoobentos yang didapatkan pada penilitian

semua stasiun tergolong labil dengan nilai 0,50 < E < 0,75 (Odum, 1993). semakin

kecil indeks keseragaman (E) semakin kecil pula keseragaman jenis dalam

komunitas, artinya penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama, ada

kecenderungan didominasi oleh jenis tertentu.

Indeks Dominansi (C) Makrozoobentos yang didapatkan pada stasiun 2, 3

dan 4 penilitian semua stasiun tergolong rendah dengan nilai 0,00 < C < 0,50

(Odum, 1993), sedangkan pada stasiun 1 tergolong sedang.

D. Hubungan antara Bahan Organik Total (BOT) dengan Kepadatan Makrozoobentos

Hubungan antara bahan organik total (BOT) dengan kelimpahan

makrozoobentos menunjukkan hubungan regresi nonlinear (polynomial). Hubungan

antara keduanya menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan BOT maka

semakin tinggi kelimpahan makrozoobentos. Namun demikian keeratan hubungan

31

tersebut relatif kecil dimana nilai koefisien diterminasi (R2) hanya 0,4462 atau

44,62% (Gambar 8).

Gambar 8. Hubungan antara Bahan Organik Total (BOT) dan Kelimpahan Makrozoobentos

Dengan persamaan regresi y= 2.943x2 - 24.705x + 214.66 (Gambar 7) yang

menggambarkan bahwa hubungan antara kandungan bahan organik sedimen

dengan kelimpahan makrozoobentos kecil. Hal ini menggambarkan bahwa tingginya

kandungan bahan organik total berkontrobusi memberikan pengaruh pada

kelimpahan makrozoobentos pada lokasi penelitian ini. Adriman (1998) dalam

Marwan (2012) mengatakan bahwa jenis substrat di perairan sangat penting

diketahui karena merupakan faktor pembatas bagi penyebaran organisme bentos.

y = 2.943x2 - 24.705x + 214.66 R² = 0.4462

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

0.000 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000

Ke

limp

ahan

Be

nto

s (i

nd

/m2 )

Bahan Organik Total (%)

32

E. Analisis PCA

Analisis PCA menunjukkan adanya 2 kelompok yang terbentuk pada 3 sumbu

utama, yaitu 1 kelompok pada sumbu 1 dan sumbu 2, serta 1 kelompok pada sumbu

1 dan sumbu 3 (Gambar 9).

Kelompok pertama (Gambar 9A) dicirikan oleh stasiun padat 1, padat 2,

padat 3, padat 4, padat 5 dengan makrozoobentos gastropoda dan polychaeta, serta

parameter lingkungan berupa bahan organik total (BOT), pasir sangat halus, pasir

halus yang tinggi. Pada stasiun 3 (padat) didapatkan kerapatan mangrove dengan

jumlah tegakan 1750 pohon/ha dengan kandungan BOT pada stasiun tersebut

12,97% dimana semakin tinggi kerapatan mangrove maka semakin tinggi pula BOT.

Didapatkan kelas makrozoobentos Gastropoda dan Polychaeta dimana kandungan

BOT pada stasiun 3 ini yaitu 12,97%. Pada stasiun tersebut didapatkan jenis

sedimen pasir sangat halus dimana semakin kecil butir sedimen, maka jumlah jenis

makrozoobentos semakin banyak. Menurut Rafni (2004) hai ini dsebabkan karena

sedimen berlumpur lebih mengikat bahan organik dengan teksturnya yang padat dan

cenderung halus.

Gambar (9B) didapatkan kelompok yang dicirikan kerapatan mangove

sedang 1, sedang 2, sedang 6 dengan makrozoobentos crustacea dan karateristik

lingkungan, Dissolved Oxygen (DO) pore water dan salinitas air, dimana nilai

salinitas air pada stasiun ini 26‰, Menurut Hubarat dan Evans (1985) kisaran

salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya

fauna makrozoobentos adalah 15 - 35‰.

33

Gambar 9. Hasil analisis Prinsip Component Analysis (PCA). (A). antara sumbu 1

dan sumbu 2, dan (B) antara sumbu 1 dan sumbu 3.

Jarang 1 Jarang 2 Jarang 3

Jarang 4

Jarang 5

Jarang 6

Sedang 1 Sedang 2 Sedang 3

Sedang 4 Sedang 5

Sedang 6

Padat 1

Padat 2

Padat 3 Padat 4

Padat 5

Padat 6

Kontrol 1

Kontrol 2 Kontrol 3

Kontrol 4 Kontrol 5 Kontrol 6

Eh (s) Ph (s)

Salinitas (a)

Suhu (a)

DO (pw)

Ph (pw)

Salinitas (pw)

Suhu (pw)

BOT

Gastropoda

Bivalvia

Polychaeta

Crustacea kerikil

pasir sangat kasar

pasir kasar

pasir sedang

pasir halus

pasir sangat halus

-8

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

-10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12

F2 (

16

.23

%)

F1 (30.16 %)

Biplot (axes F1 and F2: 46.38 %)

Active Active variables Supplementary variables

A

Jarang 1 Jarang 2

Jarang 3 Jarang 4

Jarang 5

Jarang 6

Sedang 1 Sedang 2

Sedang 3

Sedang 4

Sedang 5

Sedang 6

Padat 1

Padat 2

Padat 3

Padat 4

Padat 5

Padat 6

Kontrol 1

Kontrol 2

Kontrol 3

Kontrol 4

Kontrol 5

Kontrol 6

Eh (s)

Ph (s)

Salinitas (a)

Suhu (a)

DO (pw)

Ph (pw)

Salinitas (pw)

Suhu (pw)

BOT

Gastropoda

Bivalvia

Polychaeta

Crustacea

kerikil

pasir sangat kasar pasir kasar

pasir sedang

pasir halus

pasir sangat halus

lanau

Gastropoda

Bivalvia

Polychaeta

Crustacea

-8

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

-10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12

F3 (

13

.51

%)

F1 (30.16 %)

Biplot (axes F1 and F3: 43.67 %)

Active Active variables Supplementary variables

B

34

F. Parameter Lingkungan

Parameter lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi suatu

ekosistem, Adapun faktor lingkungan yang terukur disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Parameter lingkungan

1. Tekstur sedimen

Dari analisis yang dilakukan di laboratorium didapatkan kelas tekstur

sedimen dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Analisis Tekstur sedimen (Hanafiah, 2008)

Kisaran n rata-rata Kisaran n rata-rata Kisaran n rata-rata Kisaran n rata-rata

1 Eh sedimen (mV) -110.7-143.2 6 15.8 -79.7-82.6 6 -13.42 -156.5-110 6 -73.15 -115.4-56.1 6 -23

2 pH sedimen (%) 6.53-7.07 6 6.83 -77.7-84.6 6 -11.42 -172.5-112 6 -71.15 -113.4-58.1 6 -21.00

3 Salinitas air (‰) 12-20 6 15.33 24-28 6 26.33 25-32 6 30.17 10-20 6 13.33

4 Suhu air (0C) 28.7-29.2 6 28.9 29.8-31.3 6 30.52 29.2-30.3 6 29.65 29.8-30.9 6 30.67

5 DO porewater (mg/L) 2.9-6.2 6 4.33 6.5-6.7 6 6.58 6.9-7.4 6 7.08 4.2-7.1n6 6 5.83

6 pH pore water (%) 4.51-4.77 6 4.59 4.73-4.80 6 4.79 4.73-5.04 6 4.86 5.05-5.17 6 5.1

7 Salinitas pore water (‰) 20-26 6 23 27-31 6 28.83 20-29 6 25.17 23-28 6 25.33

8 Bahan organik total (%) 0.46-7.58 6 3.23 1.85-5.76 6 3.06 4.13-21.66 6 12.97 0.57-2.58 6 1.41

stasiun Kontrolno parameter lingkungan

stasiun Jarang stasiun Sedang stasiun Padat

1 J1 37 27 36 Pasir liat berlempung

2 J2 57 18 24 Pasir liat berlempung

3 J3 60 17 23 Pasir liat berlempung

4 J4 64 15 21 Pasir liat berlempung

5 J5 86 6 8 Pasir

Rata-rata 61 17 23 Pasir liat berlempung

6 S1 86 6 8 Pasir

7 S2 89 5 7 Pasir

8 S3 87 5 7 Pasir

9 S4 83 7 10 Pasir

10 S5 87 5 7 Pasir

11 S6 89 5 7 Pasir

Rata-rata 87 6 8 Pasir

12 P1 37 27 36 Pasir liat berlempung

13 P2 79 9 12 Pasir liat berlempung

14 P3 77 10 13 Pasir liat berlempung

15 P4 65 15 21 Pasir liat berlempung

16 P5 7 39 53 Liat

17 P6

18 X 73 11 16 Pasir liat berlempung

Rata-rata 56 19 25 Pasir liat berlempung

19 K1 89 5 6 Pasir

20 K2 88 5 7 Pasir

21 K3 89 5 7 Pasir

22 K4 88 5 7 Pasir

23 K5 86 6 8 Pasir

24 K6 89 5 6 Pasir

Rata-rata 88 5 7 Pasir

Rata-rata seluruh tiap stasiun 73 11 16 Pasir berlempung

StasiunNo

--------- % --------

Tekstur (pipet)

bahan organik

Pasir Debu Liat Tekstur

35

Pada stasiun jarang nilai rata-rata dengan satuan (%) komposisi penyusun

jenis sedimen, pasir 61%, debu 17%, liat 23% didapatkan tekstur sedimen pasir liat

berlempung. Pada stasiun sedang nilai rata-rata dengan satuan (%) komposisi

penyusun jenis sedimen, pasir 87%, debu 6%, liat 8% didapatkan tekstur sedimen

pasir. Pada stasiun padat nilai rata-rata dengan satuan (%) kompisisi penyusun jenis

sedimen, pasir 56%, debu 19%, liat 25% didapatkan tekstur sedimen pasir liat

berlempung. Pada stasiun kontrol nilai rata-rata dengan satuan (%) komposisi

penyusun jenis sedimen, pasir 88%, debu 5%, liat 7% didapatkan tekstur sedimen

pasir. Didapatkan nilai rata-rata pada seluruh stasiun komposisi komponen

penyusun jenis sedimen, pasir 73%, debu 11%, liat 16% didapatkan tekstur sedimen

lempung berpasir. Tipe subsrat ikut menentukan jumlah dan jenis hewan bentos di

perairan.

Santoso (2000). Tipe substrat seperti rawa tanah dasar berupa lumpur.

Macam dari substrat sangat penting dalam perkembangan komunitas hewan bentos,

pasir cenderung memudahkan untuk bergeser dan bergerak ketempat lain. Substrat

berupa lumpur biasanya mengandung sedikit oksigen, oleh karena itu organisme

yang hidup didalamnya harus dapat beradaptasi pada keadaan ini (Odum, 1993).

2. Potensi Redoks (Eh)

Nilai rata-rata potensi redoks (Eh) terendah terdapat pada stasiun 3, yaitu -

73,15 mV, sedangkan potensi redoks (Eh) tertinggi terdapat pada stasiun 1. yaitu

15,80 mV. Pada stasiun 1 jenis subsrat yang didapatkan adalah pasir yang memiliki

ruang interstitial yang lebih besar sehingga mengakibatkan interaksi oksigen antara

air dan sedimen lebih besar sehingga proses oksidasi masih bisa berlangsung

dengan baik. Pada stasiun 3 subsrat yang didapatkan berlumpur mengakibatkan

oksigen kurang dan interaksi oksigen antara air dan sedimen lebih kecil.

36

3. Derajat Keasaman (pH)

Tingkat keasaman (pH) pada sedimen yang diperoleh pada stasiun penelitian

dimana nilai rata-rata yang terendah pada stasiun 3 yaitu -71,15 dan tingkat

keasaman tertinggi pada stasiun 1 yaitu 6,83. Rendahnya nilai pH pada stasiun 3

disebabkan karena pada subsrat tersebut berlumpur pada stasiun 1 bernilai 6,83.

Menurut Hardjowigeno (2003), tanah dengan pH 6,0 – 7,0 sering dikatakan cukup

netral meskipun sebenarnya masih agak asam tetapi masih dapat ditoleril atau

masih cukup baik untuk perkembangan makrozoobentos. Sedangkan nilai rata-rata

pH pada pore water yang terendah pada stasiun 2 yaitu 4,77 dan yang tertinggi pada

stasiun 3 yaitu 5,10. Menurut Arief (2003), pH tanah di kawasan mangrove juga

merupakan salah satu faktor yang ikut berpengaruh terhadap keberadaan

makrozoobentos berbagai jenis makrozoobentos pada umumnya sangat peka

terhadap keasaman tinggi.

4. Salinitas

Nilai rata-rata salinitas pada air berkisar antara 13‰ - 30‰ dimana terendah

pada stasiun 4 dan salinitas tertinggi terdapat pada stasiun 3. Pada stasiun 1 nilai

salinitas yang didapatkan rendah disebabkan karena merupakan lokasi yang

berdekatan dengan muara sungai. Pada stasiun 3 nilai salinitas juga rendah karena

adanya aliran air dari daratan yang keluar melalui stasiun ini. Sedangkan nilai rata-

rata salinitas pore water yang terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu 23‰ dan

tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu 28‰. Kisaran salinitas ini masih dapat ditolerir

oleh makrozoobentos untuk dapat hidup di perairan tersebut. Menurut Mudjiman

(1981), Kisaran salinitas ini masih dianggap layak untuk kehidupan makrozoobentos

yang berkisar 15‰ – 45‰.

37

5. Dissolved Oxygen (DO) pore water

Oksigen terlarut (DO) pore water dari stasiun penelitian berkisar dari 4,33 –

7,08 mg/l dimana nilai rata-rata yang terendah pada stasiun 1 yaitu 4,33 dan nilai

rata-rata tertinggi pada stasiun 3 yaitu 7,08 mg/l. Nilai DO tersebut masih dalam

kondisi normal untuk menunjang kehidupan makrozoobentos. Sudarja (1987)

mengatakan bahwa kadar DO yang dibutuhkan oleh makrozoobentos berkisar 1,00–

3,00 mg/l. Semakin besar kadar DO dalam suatu ekosistem, maka semakin baik

pula kehidupan makrozoobentos yang mendiaminya.

6. Suhu

Suhu dari stasiun penelitian yang berkisar 28,90 – 30,67°C dimana nilai rata-

rata yang terendah pada stasiun 1 yaitu 28,90°C, sedangkan suhu tertinggi terdapat

pada stasiun 4 yaitu 30,67°C.

Suhu yang diukur pada setiap stasiun penelitian masih berada dalam batas

normal untuk perkembangan makrozoobentos yaitu kisaran antara 28,8°C – 31,6°C.

Kisaran suhu ini masih dapat ditolerir oleh makrozoobentos untuk dapat hidup di

perairan, hal ini sesuai dengan pernyataan Nontji (2005), yang menyatakan bahwa

nilai kisaran suhu yang dapat ditolerir oleh makrozoobentos antara 25–36oC.

Pengaruh suhu bagi kehidupan organisme sangat vital yaitu proses metabolisme.

7. Bahan Organik Total (BOT)

Berdasarkan hasil analisis laboratorium didapatkan BOT sedimen pada lokasi

penilitian semua stasiun dimana nilai rata-rata tertinggi didapatkan pada stasiun 3

dan nilai rata-rata terendah didapatkan pada stasiun 2. Tingginya BOT pada lapisan

permukaan ini disebabkan karena produksi serasah dari setiap stasiun tinggi,

dimana kerapatan mangrove juga mempengaruhi tinggi rendahnya kandungan

38

bahan organik. Hal ini sesuai pendapat dari Allen (1976), yang mengatakan bahwa

serasah (reruntuhan daun/dahan/ranting) yang mengalami proses dekomposisi

hanya terjadi pada bagian permukaan tanah.

Nilai rata-rata Bahan Organik Total (BOT) sedimen yang diperoleh pada

stasiun pengamatan yaitu berkisar antara 1,41 – 12,97%. Nilai rata-rata BOT yang

tertinggi didapatkan pada stasiun 3 dengan nilai 12,97%. Sedangkan nilai rata-rata

BOT yang terendah didapatkan pada stasiun 4 dengan nilai 1,41%. Menurut

Reynold (1971) pada stasiun 3 tergolong dalam kriteria sedang yang memiliki

kandungan bahan organik yaitu berkisar 7 - 17%. Sedangkan pada stasiun 4

memiliki kandungan bahan organik yang sangat rendah dari ketiga stasiun yang

lainnya dengan nilai berkisar < 3.5%.

39

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan:

1. Ditemukan 4 kelas Makrozoobentos pada daerah mangrove, yaitu Gastropoda,

Bivalvia, Crustacea dan Polychaeta. Kelas Gastropoda mendominasi semua

stasiun dengan komposisi 70% - 96,7%. Pada kelas Gastropoda jenis yang

banyak ditemukan yaitu, Cerithium coralium dan Cerithium rosratum.

2. Pengaruh BOT terhadap kelimpahan makrozoobentos sebesar 44.62%,

dimana semakin tinggi kandungan BOT maka semakin tinggi kelimpahan

makrozoobentos dengan persamaan Y= 2.943x2 – 24.705x + 214.66, (Y=

kelimpahan makrozoobentos dan X= kandungan BOT).

B. Saran

Pegaruh BOT terhadap kelimpahan makrozoobentos yang dianalisis

menggunakan regresi polynomial relatif kecil, hanya 44.62%, menunjukkan bahwa

pengaruh faktor lain lebih besar 56.38%. Analisis PCA menunjukkan faktor lain yang

berpengaruh terhadap kelimpahan makrozoobentos adalah tekstur sedimen,

salinitas dan oksigen terlarut. Oleh karena itu disarankan untuk melakukan penelitian

pengaruh faktor tekstur sedimen, salinitas dan oksigen terlarut terhadap kelimpahan

makrozoobentos di Kelurahan Ampalas, Kab. Mamuju Sulawesi Barat.

40

DAFTAR PUSTAKA

Abdulhaji, R., 2001. Problem of issues affecting biodiversity in Indonesia. Situation analysis. Paper. Presented in Workshop on Tanning Net Assessment for

Biodiversity Conservation in Indonesia 1 -2 Februari 2001, Bogor, Indonesia.

Allard, M. And Moreau, G., 1987, Effect of Experimental Acidification on lotic

Macroinvertebrate Community. Hydrobiologia.

Allen, S.E. 1976. Analysis of Soil in Chemical Analysis of Ecological Materials.

Oxford, Blackwell Scientific Pub.

Amran. S., 2013. Mengungkap Potensi Emas Hijau Di Wilayah Pesisir.

Masagena Press. Makassar.

Anggi, Marpaung. A. F., 2013. Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Ekosistem Mangrove Silvofishery Dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar.

Arief, A., 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Kanisisus,

Yogyakarta.

Bengen, D.R., Widodo dan S. Haryadi., 1995. Tipologi Fungsional Komunitas Makrozoobentos Sebagai Indikator Perairan Pesisir Muara Jaya, bekasi. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian IPB. Bogor

Bengen, D. G., 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem

Mangrove. PKSPL-IPB, Bogor.

Burhanuddin, A.I. 2011. The Sleeping Giant.Potensi dan Permasalahan

Kelautan. Brilian Internasional, Surabaya.

Chalid, 2014. Keragaman Dan Distribusi Makrozoobentos Pada Daerah Pesisir Dan

Pulau-Pulau Kecil Tanjung Buli, Halmahera Timur.

Dg. Sijaya, Takbir., 2016. Penilaian Produktivitas Perairan Dengan Menggunakan

Makrozoobentos Sebagai Indikator Di Perairan Kabupaten Mamuju.

Dharmawan, I.W.E. dan Pramudji. 2014. Panduan monitoring status ekosistem mangrove. Coremap CTI – LIPI. Jakarta.

Dibyowati, A. 2009. Keanekaragaman Molusca (BIvalvia dan Gastropoda) Di Sepanjang Pantai Carita, Pandeglang, Banten. FMIPA. IPB. Bogor.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan

Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Hanafiah, A. K., 2008. Dasar-dasar Ilmu Tanah.

Hardjowigeno, S., 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.

Hutabarat dan Evans., 1985. Pengantar Oseanografi. UI Press. Jakarta.

41

Islami, M. M. 2013. Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Bivalvia. Oseana.UPT Balai Konservasi Biota Laut Ambon,LIPI, Vol XXXVIII, No 2

Kustanti, A., 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press, Bogor.

Krebs, C. J., 1978. Ecologycal Methodology. Hammer and Raw Publisher. New

York.

Lind, L. T., 1979. Hand Book of Common Method in Lymnology. Second Edition. Mosby Company. Toronto. London.

Kepment, 2004. Kriteria Baku Dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.

Nomor 201.

Mappa, H. dan Kaharuddin. 1991. Geologi Laut. Himpunan Mahasiswa Geologi.

Fakultas Teknik. Univeritas Hasanuddin. Makassar.

Mardi, 2014. Keterkaitan Struktur Vegetasi Mangrove Dengan Keasaman Dan

Bahan Organik Total Sedimen Pada Kawasan Suaka Margasatwa Mampie Di

Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar.

Marwan, 2012. Kandungan Bahan Organik Sedimen Dan Kelimpahan Makrozoobentos Sebagai Indikator Pencemaran Perairan Pantai Tanjung Uban Kepulauan Riau.

Mudjiman, A. 1981. Budidaya Udang Windu. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

Mulya, M. B. 2002. Keanekaragaman dan Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Hutan Mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur.

Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Nontji, A., 2005. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Noortiningsih, Jalip. I.K, dan S. Handayani. 2008. Keanekaragaman Makrozoobentos, Meiofauna Dan Foraminifera Di Pantai Pasir Putih Barat Dan Muara Sungai Cikamal Pangandaran, Jawa Barat. Nugraheni, A.D. 2011. Hubungan antara distribusi ikan demersal, makrozoobentos

dan subsrat di perairan selat malaka. Skirpsi. Depatermen ilmu dan teknologi

kelautan. Institut pertanian bogor. Bogor.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Penerjemah: H.Muhammad Eidman. PT Gramedia Pustaka, Jakarta.

Odum, E. P., 1993. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Odum, E, P. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. W.B Saunders

Company. Philadelphia.

Paena, M. Hasnawi, A. Mustafa. 2009. Kerapatan Hutan Mangrove sebagai Dasar Rehabilitasi dan Restocking Kepiting Bakau di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Balai Riset perikanan Budidaya Air Payau

Sulawesi selatan.

42

Patrick, W.H.Jr. and Delaune, R.D. 1977. Chemical and Biological Redox Systems Affecting Nutrient Availability in the Coastal Wetlands. Geoscience and Man

18: 131137.

Rafni, R. 2004. Kajian Kapasitas Asimilasi Beban Pencemar di Perairan Teluk Jobokuto Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Sekolah Pasca Sarjana.

InstitutPertanian Bogor. Bogor.

Retnowati, D. N. 2003. Struktur Komunitas Makrozoobenthos dan Beberapa Parameter Fisika Kimia Perairan Situ Rawa Besar, Depok, Jawa Barat.Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Reynold, S. C. 1971. A Manual of Introductory Soil Science and Simple Soil Analysis Methods. South Pasific,Nouena New Caledonia

Riswan, 2016. Struktur Komunitas Makrozoobentos Kaitannya Dengan Keragaman

Mangrove Di Desa Munte Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara.

Romimohtarto, K. and S. Juwana. 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang

Biologi Laut. Jakarta, Djambatan.

Rosenberg, D. M. and V. H. Resh. 1993. Freshwater Biomonitoring and Benthic Macroinvertebrates. Chapman and Hall. New York. London

Saru, A. 2013. Mengungkap Potensi Emas Hijau di Wilayah Pesisir. Masagena Press, Makassar

Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan

pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem

Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.

Soepardi. 1986. Sifat dan Ciri Tanah. Modul Pembelajaran. Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Sudarja, Y., 1987. Komposisi Kelimpahan dan Penyebaran mangrove dari Hulu ke Hilir Berdasarkan Gradien Kedalaman di Situ Lentik, Dermaga. Kab Bogor. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.

Syamsurisal, 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobentos Di Hutan

Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Barru.

Ukkas, M. 2009. Kajian Aspek Bioekologi Vegetasi Mangrove Alami dan Hasil

Rehabilitasi di Kecamatan Keera Kab Wajo Sulawesi Selatan. Laporan

Penelitian. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.

Makassar.

Yeanny, S.M.2007. Keanekaragaman Makrozoobentos di Muara Sungai Belawan.

Jurnal Biologi Sumatra, No 2 Vol 2, Hal 37-41. Medan.

43

LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabel Kerapatan Mangrove seluruh Stasiun

Stasiun Plot Jenis Jumlah Ukuran Transek (meter) Kerapatan kerapatan (pohon/ha) Rata-rata pohon/ha SD

Rhizophora apiculata 3 100 0.03

Sonneratia alba 2 100 0.02

Rhizophora apiculata 3 100 0.03

Sonneratia alba 1 100 0.01

Rhizophora apiculata 4 100 0.04

Sonneratia alba 1 100 0.01

Avicennia alba 2 100 0.02

Rhizophora apiculata 5 100 0.05

Sonneratia alba 2 100 0.02

Rhizophora apiculata 2 100 0.02

Sonneratia alba 5 100 0.05

Rhizophora apiculata 1 100 0.01

Sonneratia alba 3 100 0.03

Avicennia alba 1 100 0.01

1 Rhizophora mucronata 11 100 0.11 1100

2 Rhizophora mucronata 7 100 0.07 700

3 Rhizophora mucronata 12 100 0.12 1200

Rhizophora mucronata 8 100 0.08

Sonneratia alba 5 100 0.05

5 Rhizophora mucronata 14 100 0.14 1400

Rhizophora mucronata 6 100 0.06

Sonneratia alba 3 100 0.03

Rhizophora mucronata 13 100 0.13

Sonneratia alba 3 100 0.03

Rhizophora mucronata 10 100 0.10

Sonneratia alba 5 100 0.05

Rhizophora mucronata 15 100 0.15

Sonneratia alba 4 100 0.04

Rhizophora mucronata 9 100 0.09

Sonneratia alba 5 100 0.05

Avicennia marina 1 100 0.01

Bruguiera gymnorrhiza 1 100 0.01

5 Rhizophora mucronata 19 100 0.19 1900

Rhizophora mucronata 19 100 0.19

Sonneratia alba 1 100 0.01

189

1600

1500

1900

1600

2000

17503 (padat)

1

2

3

4

6

583 121

2 (sedang) 4

6

1300

900

1100 238

500

400

700

700

700

500

1 (jarang)

6

1

2

3

4

5

44

Lampiran 2. Uji Oneway Anova antara Makrozoobentos dengan parameter lingkungan.

Multiple Comparisons

Makroxzoobenthos

LSD

(I)

Stasiun

(J)

Stasiun

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

1 2 -.333 7.348 .964 -15.66 14.99

3 -15.500* 7.348 .048 -30.83 -.17

4 -7.000 7.348 .352 -22.33 8.33

2 1 .333 7.348 .964 -14.99 15.66

3 -15.167 7.348 .052 -30.49 .16

4 -6.667 7.348 .375 -21.99 8.66

3 1 15.500* 7.348 .048 .17 30.83

2 15.167 7.348 .052 -.16 30.49

4 8.500 7.348 .261 -6.83 23.83

4 1 7.000 7.348 .352 -8.33 22.33

2 6.667 7.348 .375 -8.66 21.99

3 -8.500 7.348 .261 -23.83 6.83

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

45

Lampiran 3. Pengukuran panjang species Makrozoobentos menggunakan mistar.

A. Kelas Gastropoda

Cerithium rosratum Nerita sp. Pagurus sp.

Canarium sp. Littoraria lutea Nassarius sp.

Polinices sp. Cerithium coralium Oliva sp.

46

Lampiran 4. Lanjutan (pengukuran panjang spesies Makrozoobentos menggunakan mistar)

B. Kelas Bivalvia

Trachycardium sp. Tornatina sp. Tellina sp.

C. Kelas Crustacea

Crustacea sp. Crustacea sp.

D. Kelas Polychaeta

Annelida sp.

47

Lampiran 5. Tabel analisis Bahan Organik Total (BOT)

BOT

(%)

J1 16.014 4.087 20.101 18.164 2.150 18.001 1.987 7.58

J2 21.700 4.082 25.782 24.413 2.713 24.320 2.620 3.43

J3 26.688 4.061 30.749 29.354 2.666 29.264 2.576 3.38

J4 25.328 4.073 29.401 28.014 2.686 27.914 2.586 3.72

J5 27.066 4.081 31.147 30.199 3.133 30.173 3.107 0.83

J6 26.005 4.085 30.09 28.822 2.817 28.809 2.804 0.46

S1 26.272 4.075 30.347 29.097 2.826 29.040 2.768 2.10

S2 26.272 4.075 30.347 29.097 2.826 29.040 2.768 2.10

S3 27.265 4.042 31.307 30.565 3.300 30.504 3.239 1.85

S4 16.813 4.068 20.881 19.782 2.969 19.667 2.854 3.87

S5 17.518 4.047 21.565 20.193 2.675 20.039 2.521 5.76

S6 26.580 4.082 30.662 29.703 3.123 29.620 3.040 2.66

P1 28.144 4.054 32.198 29.700 1.556 29.390 1.246 19.92

P2 25.706 4.016 29.722 27.874 2.168 27.629 1.923 11.30

P3 26.583 4.042 30.625 28.618 2.035 28.417 1.834 9.88

P4 19.957 4.076 24.033 21.941 1.984 21.724 1.767 10.94

P5 18.64 4.021 22.661 20.085 1.445 19.772 1.132 21.66

P6 22.786 4.08 26.866 25.690 2.904 25.570 2.784 4.13

K1 27.790 4.086 31.876 31.141 3.351 31.113 3.323 0.84

K2 27.618 4.074 31.692 30.899 3.281 30.856 3.238 1.31

K3 22.345 4.065 26.41 25.708 3.363 25.672 3.327 1.07

K4 26.626 4.083 30.709 29.609 2.983 29.546 2.920 2.11

K5 26.424 4.084 30.508 29.334 2.910 29.259 2.835 2.58

K6 21.640 4.096 25.736 25.126 3.486 25.106 3.466 0.57

Berat bersih sesudah

oven 105°C (g)

Cawan + Berat sesudah

tanur 550°C (g)

Berat bersih sesudah

tanur 550°C (g)Stasiun

B. Cawan

(g)

B. Sebelum

oven (g)

B. Sampel+cawan

sebelum oven

Cawan + Berat sesudah

oven 105°C (g)