131
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan utama pembangunan nasional dibidang kesehatan adalah mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi demi tercapainya status gizi masyarakat yang optimal. Melalui keluarga mandiri sadar gizi, peran orang tua sangat berpengaruh dalam meningkatkan status gizi terutama status gizi anak atau balita. Terlebih masa lima tahun (masa balita) adalah periode penting dalam tumbuh kembang anak dan merupakan masa yang akan menentukan pembentukan fisik, psikis dan intelegensinya (Sulistijani, 2001).

hubungan pola asuh dan status gizi balita

Embed Size (px)

DESCRIPTION

karya tulis ilmiah mengenai hubungan pola asuh dan status gizi balita

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan utama pembangunan nasional dibidang kesehatan

adalah mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi demi tercapainya status gizi

masyarakat yang optimal. Melalui keluarga mandiri sadar gizi, peran orang

tua sangat berpengaruh dalam meningkatkan status gizi terutama status gizi

anak atau balita. Terlebih masa lima tahun (masa balita) adalah periode

penting dalam tumbuh kembang anak dan merupakan masa yang akan

menentukan pembentukan fisik, psikis dan intelegensinya (Sulistijani, 2001).

Seorang anak yang sehat dan normal akan tumbuh sesuai dengan

potensi genetik yang dimilikinya. Tetapi pertumbuhan ini juga akan

dipengaruhi oleh intake zat gizi yang dikonsumsi dalam bentuk makanan.

Kekurangan atau kelebihan gizi akan dimanifestasikan dalam bentuk

pertumbuhan yang menyimpang dari pola standar. Pertumbuhan fisik sering

dijadikan indikator untuk mengukur status gizi baik individu maupun

populasi. Oleh karena itu, orang tua perlu menaruh perhatian pada aspek

2

pertumbuhan anak bila ingin mengetahui keadaan gizi mereka (Khomsan,

2003).

Jumlah balita gizi buruk di Indonesia, menurut laporan UNICEF

menjadi 2,3 juta jiwa, atau meningkat dari 1,8 juta pada tahun 2004/2005

(UNICEF, 2006). Jumlah kasus balita gizi buruk yang dilaporkan dari tahun

2006 sampai 2008 cenderung menurun, namun pada tahun 2009 jumlah kasus

balita gizi buruk meningkat dibandingkan tahun 2008 yaitu dari 41.064 kasus

(2008) menjadi 56.941 kasus (2009) sedangkan pada tahun 2010 dan 2011

jumlah kasus gizi buruk yang dilaporkan kembali turun menjadi 43.616 kasus

dan 40.412 kasus (Kemenkes, 2011).

Berdasarkan laporan tahunan pembinaan gizi secara nasional kasus

balita gizi buruk menurut provinsi di indonesia, provinsi Nusa Tenggara Barat

(NTB) memiliki jumlah kasus sebanyak 753 kasus, sehingga menempatkan

NTB berada peringkat 11 (Kemenkes, 2011).

Hasil data/informasi kesehatan provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB),

provinsi NTB memiliki prevalensi gizi buruk sebesar 8,10% dengan perincian

Kota mataram (3,90%), Kabupaten Lombok tengah (4,20%), Kabupaten

Lombok Timur (7,30%), kabupaten Lombok Barat (7,80%), Kota Bima

(8,40%), Kabupaten Sumbawa Barat (9,90%), Kabupaten Sumbawa

(11,10%), Kabupaten Dompu (11,60%), dan Kabupaten Bima (15,70%)

(Riskesdas, 2007).

3

Kasus Gizi buruk tertinggi di kota Mataram terdapat di wilayah kerja

puskesmas Karang Pule yang berjumlah 9 kasus dari total 25 Kasus di kota

Mataram pada tahun 2012 (Dikes Kota Mataram, 2012). Menurut beberapa

tenaga kesehatan dibidang gizi yang berada di puskesmas Karang Pule ada

beberapa yang menyebabkan munculnya kasus gizi buruk diwilayah kerja

puskesmas tersebut sepertinyakurangnya pengetahuan ibu tentang pemberian

makanan terjadi karena banyak tradisi dan kebiasaan seperti penghentian

penyusuan lebih awal dari 2 tahun, anak kecil hanya memerlukan makanan

sedikit dan pantangan terhadap makanan, ini merupakan faktor penyebab

masalah gizi di masyarakat.

Pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan

pertumbuhan dan perkembangan anak. Masa anak usia 1-5 tahun (balita)

adalah masa dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan

gizi dalam jumlah yang cukup dan memadai. Kekurangan gizi pada masa ini

dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial

dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi

dewasa. Secara lebih spesifik, kekurangan gizi dapat menyebabkan

keterlambatan pertumbuhan badan, lebih penting lagi keterlambatan

perkembangan otak dan dapat pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya

tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada masa ini juga, anak masih benar-

benar tergantung pada perawatan dan pengasuhan oleh ibunya. Pengasuhan

4

kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangatlah penting

untuk perkembangan anak (Santoso, 2005).

Masalah gizi dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling

mempengaruhi secara kompleks. Ditingkat rumah tangga, keadaan gizi

dipengaruhi oleh kemampuan orang tua menyediakan pangan dalam jumlah

dan jenis yang cukup serta pola asuh yang dipengaruhi oleh faktor pendidikan,

perilaku dan keadaan kesehatan rumah tangga. Salah satu penyebab timbulnya

kurang gizi pada anak balita adalah akibat pola asuh anak yang kurang

memadai (Soekirman, 2000).

Praktek pengasuhan anak yang berkaitan dengan gizi balita

diwujudkan dengan ketersediaan pangan. Pemberian makanan untuk

kelangsungan hidup untuk pertumbuhan dan perkembangan anak ini

merupakan kunci dalam pola asuh balita. Pola asuh balita meliputi: Perawatan

dan perlindungan ibu, praktek menyusui dan pemberian makanan pendamping

ASI, kebersihan diri dan sanitasi lingkungan, praktek kesehatan dirumah

tangga saat anak sakit dan pola pencaharian pelayanan kesehatan (Zeitlin,

2000).

Guna mencegah dan mengurangi timbulnya masalah status gizi,

peningkatan penyuluhan tentang pola asuh kepada masyarakat perlu

ditingkatkan untuk dapat memberikan pemahaman yang lebih lagi hingga

benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam peran

5

sebagaitenaga kesehatan, dapat diberikan pelayanan pada tingkat individu,

keluarga atau kelompok yang menderita/resiko tinggi gizi buruk dan bentuk

tanggung jawab pada peran ini adalah melalui upaya promotif dan preventif

dalam kaitannya untuk meningkatkan status kesehatan (Heryadi, 2008).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan

masalah dalam penelitian ini, yaitu “Apakah terdapathubungan pola asuh ibu

dengan tingkat status gizi balita di wilayah kerja puskesmas Karang Pule Kota

Mataram tahun 2013?”

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam melakukan suatu penelitian, penulis mempunyai tujuan yang saling

berkaitan sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. Adapun tujuan dapat

diuraikan sebagai berikut:

6

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pola asuh ibu dengan tingkat

status gizi balita di wilayah kerja puskesmas Karang Pule Kota

Mataram tahun 2013.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui gambaran status gizi balita berdasarkan

berat badan dan umur di wilayah kerja puskesmas karang

Pule Kota mataram tahun 2013.

1.3.2.2 Untuk mengetahui gambaran pola asuh ibu pada balita yang

meliputi praktek pemberian makan, kebersihan dan sanitasi

lingkungan serta perawatan anak dalam keadaan sakit di

wilayah kerja puskesmas Karang Pule Kota Mataram tahun

2013.

1.3.2.3 Untuk mengetahui hubungan pola asuh ibu dengan tingkat

status gizi balita di wilayah kerja puskesmas Karang Pule

Kota Mataram tahun 2013.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah :

7

1.4.1 Manfaat bagi peneliti

Untuk mengetahui seberapa besar hubungan pola asuh ibu

dengan tingkat status gizi balita di wilayah kerja puskesmas Karang

Pule Kota Mataram tahun 2013

1.4.2 Manfaat bagi pendidikan

Diharapkan agar lebih memperhatikan khususnya dalam dunia

kesehatan bahwa pola asuh anak merupakan salah satu faktor yang

berperan dalam tingkat status gizi anak.

Diharapkan agar lebih menambah informasi tentang faktor apa

saja yang menjadi penyebab timbulnya masalah gizi masyarakat (gizi

kurang dan gizi buruk).

1.4.3 Manfaat bagi masyarakat

Agar masyarakat mengetahui berbagai faktor yang

menyebabkan masalah status gizi pada anak, khususnya pola asuh.

Sehingga masyarkat dapat memahami dan menerapkan pola asuh anak

yang baik dan benar demi terwujudnya status gizi anak yang optimal.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Asuh

Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga, jantung

dalam tubuh merupakan alat yang sangat penting bagi kehidupan seseorang.

Apabila jantung berhenti berdenyut maka orang itu tidak bisa melangsungkan

hidupnya. Dari perumpaan ini bisa disimpulkan bahwa kedudukan seorang ibu

sebagai tokoh sentral dan sangat penting untuk melaksanakan kehidupan.

Pentingnya seorang ibu terutama terlihat sejak kelahiran anaknya (Gunarsa,

1993).

Pengasuhan adalah serangkaian interaksi yang intensif dalam

mengarahkan anak untuk memiliki kecakapan hidup. Oleh karena itu

melibatkan aktivitas atau ketrampilan fisik dalam memberikan rangsangan

serta memberikan respon yang tepat untuk situasi yang spesifik (Sunarti,

2004). Pola asuh anak adalah kemampuan seseorang untuk mengambil

keputusan yang berdampak luas pada kehidupan seluruh anggota keluarga

yang menjadi dasar penyediaan pengasuhan yang tepat dan bermutu pada

anak termasuk pengasuhan makanan bergizi (Depkes RI, 2000).

9

Agar pola hidup anak bisa sesuai dengan standar kesehatan, disamping

harus mengatur pola makan yang benar juga tak kalah pentingnya mengatur

pola asuh yang benar pula. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan

memberikan perhatian yang penuh serta kasih sayang pada anak, memberinya

waktu yang cukup untuk menikmati kebersamaan dengan seluruh anggota

keluarga. Dalam masa pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan

dengan anak adalah orang tuanya. Anak tumbuh dan berkembang di bawah

asuhan dan perawatan orang tua oleh karena itu orang tua merupakan dasar

pertama bagi pembentukan pribadi anak. Melalui orang tua, anak beradaptasi

dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan

hidup yang berlaku dilingkungannya. Dengan demikian dasar pengembangan

dari seorang individu telah diletakkan oleh orang tua melalui praktek

pengasuhan anak sejak ia masih bayi (Supanto, 1990).

Pengasuhan berasal dari kata asuh (to rear) yang mempunyai makna

menjaga, merawat dan mendidik anak yang masih kecil. Wagnel dan Funk

menyebutkan bahwa mengasuh itu meliputi menjaga serta memberi bimbingan

menuju pertumbuhan ke arah kedewasaan. Pengertian lain diutarakan oleh

Webster yang mengatakan bahwa mengasuh itu membimbing menuju ke

pertumbuhan ke arah kedewasaan dengan memberikan pendidikan, makanan

dan sebagainya terhadap mereka yang di asuh (Sunarti, 1989). Dari beberapa

pengertian tentang batas asuh, menurut Whiting dan Child dalam proses

10

pengasuhan anak yang harus diperhatikan adalah orang-orang yang mengasuh

dan cara penerapan larangan atau keharusan yang dipergunakan. Larangan

maupun keharusan terhadap pola pengasuhan anak beraneka ragam. Tetapi

pada prinsipnya cara pengasuhan anak mengandung sifat : pengajaran

(instructing), pengganjaran (rewarding) dan pembujukan (inciting) (Sunarti,

1989). Di negara timur seperti Indonesia, keluarga besar masih lazim dianut

dan peran ibu seringkali di pegang oleh beberapa orang lainnya seperti nenek,

keluarga dekat atau saudara serta dapat juga di asuh oleh pembantu (Nadesul,

1995).

Kerangka konseptual yang dikemukan oleh UNICEF yang

dikembangkan lebih lanjut oleh Engle et al (1997) menekankan bahwa tiga

komponen makanan – kesehatan – asuhan merupakan faktor-faktor yang

berperan dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak yang

optimal. Engle et al (1997) mengemukakan bahwa pola asuh meliputi 6 hal

yaitu : (1) perhatian / dukungan ibu terhadap anak, (2) pemberian ASI atau

makanan pendamping pada anak, (3) rangsangan psikososial terhadap anak, (4)

persiapan dan penyimpanan makanan, (5) praktek kebersihan atau higiene dan

sanitasi lingkungan dan (6) perawatan balita dalam keadaan sakit seperti

pencari pelayanan kesehatan. Pemberian ASI dan makanan pendamping pada

anak serta persiapan dan penyimpanan makanan tercakup dalam praktek

pemberian makan (Engle, 1997).

11

Pola makan adalah cara seseorang, kelompok orang dan keluarga

dalam memilih jenis dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari

oleh satu orang atau lebih dan mempunyai khas untuk satu kelompok tertentu

(Lie, 1985).

Penanaman pola makan yang beraneka ragam makanan harus

dilakukan sejak bayi, saat bayi masih makan nasi tim, yaitu ketika usia baru

enam bulan ke atas, ibu harus tahu dan mampu menerapkan pola makan sehat

(Widjaja, 2007).

Cara menyusun makanan hidangan sehat yaitu :

a. Susunlah hidangan sehari-hari berdasarkan triguna makanan.

b. Gunakan bahan makanan secara beraneka ragam, setiap hari

dan tersedia di daerah setempat

c. Manfaatkan hasil pekarangan untuk meningkatkan gizi

keluarga.

d. Gunakan garam beryodium untuk memasak makanan bagi

keluarga

e. Kenalkan makanan tradisional yang bergizi yang disukai anak-

anak (Depkes RI, 2006).

12

Susunan makanan bergizi untuk tumbuh kembang anak dengan baik,

susunan hidangan seimbang yang terdiri dari 3 (tiga) golongan bahan

makanan yaitu : bahan makanan yang bersumber dari zat pembangun, sumber

protein, dan sumber tenaga.

a. Golongan bahan makanan sumber zat pembangun : daging,

susu, telur, keju, ikan, hati ayam, ayam, tahu, kedelai, dan

tempe.

b. Golongan bahan makanan sumber zat pengatur : sayuran

berwarna hijau, bayam, daun katuk, kangkung, kacang

panjang, sawi dan sayuran berwarna jingga dan kuning seperti

wortel, tomat, labu.

c. Golongan makanan sumber tenaga yaitu : beras, kentang, ubi,

roti, singkong, talas, terigu, biskuit, minyak goreng.

d. Buah-buahan berupa pepaya, nenas, mangga, pisang, dan

jambu boleh diberikan pada bayi (Widjaja, 2007).

Zat gizi yang dibutuhkan balita adalah :

1.Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang terdiri dari dua

jenis yaitu karbohidrat sederhana (gula, pasir dan gula merah)

sedangkan karbohidrat kompleks (tepung, beras, jagung, gandum).

13

2.Protein untuk pertumbuhan, terdapat pada ikan, susu, telur, kacang-

kacangan, tahu, dan tempe.

3.Lemak terdapat pada margarin, mentega, minyak goreng, lemak

hewan atau lemak tumbuhan.

4.Vitamin adalah zat-zat organik yang kompleks yang dibutuhkan

dalam jumlah sangat kecil dan pada umumnya dapat dibentuk oleh

tubuh.

a. Vitamin A untuk pertumbuhan tulang, mata, dan kulit yaitu

mencegah kelainan bawaan, vitamin terdapat dalam susu, keju,

mentega, kuning telur, minyak ikan, sayuran dan buah-buahan

segar (wortel, pepaya, mangga, daun singkong, daun ubi jalar).

b. Vitamin B untuk menjaga sistem susunan saraf agar berfungsi

normal, mencegah penyakit beri-beri dan anemia, vitamin ini

terdapat di dalam nasi, roti, susu, daging, dan tempe.

c. Vitamin C berguna untuk pembentukan integritas jaringan dan

peningkatan penyerapan zat besi, untuk menjaga kesehatan

gusi, jenis vitamin C banyak terdapat pada mangga, jeruk,

pisang, nangka.

14

5.Mineral berguna untuk menumbuhkan dan memperkuat jaringan

serta mengatur keseimbangan cairan tubuh.

a. Zat besi berguna dalam pertumbuhan sel-sel darah merah yang

dibutuhkan untuk pertumbuhan, zat ini terdapat dalam daging,

ikan, hati ayam.

b. Kalsium berguna untuk pertumbuhan tulang dan gigi, zat ini

terdapat dalam susu sapi.

c. Yodium berguna untuk menyokong susunan saraf pusat

berkaitan dengan daya pikir dan mencegah kecacatan fisik dan

mental. Zat ini terdapat dalam rumput laut, dan sea food

(Widjaja, 2007).

2.1.1. Pemberian Makanan Balita

Semua orangtua harus memberikan hak anak untuk tumbuh.

Semua anak harus memperoleh yang terbaik agar dapat tumbuh sesuai

dengan apa yang mungkin dicapainya dan sesuai dengan kemampuan

tubuhnya. Untuk itu perlu perhatian/dukungan orangtua. Untuk

tumbuh dengan baik tidak cukup dengan memberinya makan, asal

memilih menu makanan dan asal menyuapi anak nasi. Akan tetapi

15

anak membutuhkan sikap orangtuanya dalam memberi makan. Semasa

bayi, anak hanya menelan apa saja yang diberikan ibunya. Sekalipun

yang ditelannya itu tidak cukup dan kurang bergizi. Demikian pula

sampai anak sudah mulai disapih. Anak tidak tahu mana makanan

terbaik dan mana makanan yang boleh dimakan. Anak masih

membutuhkan bimbingan seorang ibu dalam memilih makanan agar

pertumbuhan tidak terganggu. Bentuk perhatian/dukungan ibu

terhadap anak meliputi perhatian ketika makan, mandi dan sakit

(Nadesul, 2005).

Wanita yang berstatus sebagai ibu rumah tangga memiliki

peran ganda dalam keluarga, terutama jika memiliki aktivitas di luar

rumah seperti bekerja ataupun melakukan aktivitas lain dalam kegiatan

sosial. Wanita yang bekerja di luar rumah biasanya dalam hal

menyusun menu tidak terlalu memperhatikan keadaan gizinya, tetapi

cenderung menekankan dalam jumlah atau banyaknya makanan.

Sedangkan gizi mempunyai pengaruh yang cukup atau sangat berperan

bagi pertumbuhan dan perkembangan mental maupun fisik anak.

Selama bekerja ibu cenderung mempercayakan anak mereka diawasi

oleh anggota keluarga lainnya yang biasanya adalah nenek, saudara

perempuan atau anak yang sudah besar bahkan orang lain yang diberi

tugas untuk mengasuh anaknya (Sunarti, 2001).

16

Pemberian makanan balita bertujuan untuk mendapat zat gizi

yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh.

Zat gizi berperan memelihara dan memulihkan kesehatan serta untuk

melaksanakan kegiatan sehari-hari, dalam pengaturan makanan yang

tepat dan benar merupakan kunci pemecahan masalah (Suharjo, 2003).

Tujuan pemberian makanan pada anak balita adalah :

a. Untuk mendapat zat gizi yang diperlukan tubuh dan

digunakan oleh tubuh.

b. Untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh.

c. Zat gizi berperan dalam memelihara dan memulihkan

kesehatan serta untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari.

d. Untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan gizi pada

balita diperlukan adanya prilaku penunjang dari para orang

tua, ibu atau pengasuhan dalam keluarga.

e. Selalu memberikan makanan bergizi yang seimbang

kepada balita (Suharjo 2003).

Gizi seimbang adalah makanan yang dikonsumsi dalam satu

hari yang beragam dan mengandung zat tenaga, zat pembangun dan

zat pengatur sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Keadaan ini

17

tercermin dari derajat kesehatan dan tumbuh kembang balita yang

optimal (Direktorat Gizi Masyarakat, 2000).

Jenis jumlah dan frekuensi makan pada bayi dan anak balita,

hendaknya diatur sesuai dengan perkembangan usia dan kemampuan

organ pencernaannya (Depkes RI, 2006)

1. Konsisten makanan secara berangsur berubah dari bentuk cair

menjadi bentuk setengah padat dan akhirnya menjadi makanan

padat/makanan biasa. Setelah anak memasuki usia ke 2 tahun

ke atas, hendaknya makanan anak sudah sama dengan orang

dewasa.

2. Jenis bahan makan yang digunakan untuk makanan anak sudah

berubah dari dua atau tiga jenis bahan makanan (tepung, susu,

gula) berangsur-angsur menjadi campuran beragam bahan

makanan yaitu makanan pokok, bahan makanan yang

bersumber dari protein nabati dan hewani, sayur-sayuran dan

buah-buahan untuk memenuhi berbagai kebutuhan tubuh anak

akan zat gizi dan pemberian berbagai macam campuran zat

makanan sehingga akan melatih anak untuk makan makanan

yang bervariasi, terutama makanan yang berupa sayuran yang

biasanya kurang disukai anak. Kunci keberhasilan seorang ibu

18

menanamkan kebiasaan makan anak yang baik sangat

tergantung kepada pengetahuan dan keterampilan ibu akan cara

dan faedah menyusun makanan yang memenuhi syarat zat gizi.

3. Jumlah makanan yang diberikan harus sudah berangsur

bertambah sesuai dengan bertambahnya usia anak kebutuhan

akan zat gizi.

4. Memasuki usia 2 tahun, makanan yang diberikan mulai suka

dan tidak suka bahkan kadang anak sudah mulai menolak

makanan yang diberikan ibunya. Jangan memaksa anak makan

sesuatu makanan yang tidak disenanginya, berikan alternatif

makanan yang lain. Jika anak tetap menolak, mungkin karena

cara memasak tidak disenangi, coba memasak masakan lain

dari sayuran jika anak tetap menolak ganti sayuran menambah

buah-buahan.

Waktu makanan hendaknya dapat diatur sesuai dengan

kebiasaan makan keluarga dengan demikian anak dapat makan

bersama.

19

Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Makan Usia 2-5 Tahun

Waktu Jenis Makanan

Pukul 7.00 1 gelas susu

Pukul 8.00 Nasi putih, dadar tomat

Pukul 10.00 Semangkuk bubur kacang hijau

Pukul 13.00 Nasi putih, pergedel daging, tahu

Sayuran, kerupuk, buah-buahan

Pukul 16.00 Roti biscuit

Pukul 18.00 Nasi putih, semur daging, sup

Sayuran, buah-buahan

Pukul 20.00 1 gelas susu

Sumber: Moehji, 2000

Dalam memenuhi kebutuhan zat gizi bagi anak 5 tahun,

hendaknya digunakan prinsip sebagai berikut :

1. Bahan makanan sumber kalori mutlak harus dipenuhi, baik

berasal dari makanan pokok, penggunaan minyak atau zat

lemak lainnya dan gula.

2. Gunakan gabungan sumber protein nabati dan hewani

terutama kacangan atau hasil olahan seperti tempe, dan

tahu.

20

3. Mamfaatkan bahan makanan sumber protein hewani

setempat yang ada dan mungkin yang didapat (Moehji,

2000).

Suharjo (2005) menjelaskan bahwa penataan makanan yang

baik merupakan bagian dari gaya dan prilaku hidup sehat untuk

memperoleh kesehatan yang bugar, yang perlu selalu dikondisikan

pada semua lapisan masyarakat sehingga akan diperoleh bangsa yang

sehat dan bangsa yang kuat.

Menurut Pekik (2007) pada pola makanan 4 sehat 5 sempurna

perlu dilengkapi dengan kriteria makanan sehat seimbang meliputi :

1. Cukup kualitas adalah banyaknya makanan yang bergantung

pada kebutuhan setiap orang sesuai dengan jenis dan lama

aktivitas, berat badan, jenis kelamin, dan usia.

2. Proporsional adalah jumlah makanan yang dikonsumsi

sesuai dengan proporsi makan yang sehat, yaitu karbohidrat,

lemak, protein, vitamin, mineral dan air.

3. Cukup kualitas yaitu makanan tidak membuat perut kenyang

tetapi berpengaruh pada sistem dalam tubuh. Untuk itu perlu

kandungan zat gizi sehingga mutu makanan antara lain

adalah penampilan ditentukan oleh warna, konsisten,

21

tekstur, porsi, bentuk, rasa ditentukan oleh suhu, bumbu,

aroma, kerenyahan, keempukan dan kematangan, gizi

ditentukan oleh nilai bahan makanan itu sendiri, kehilangan

zat gizi karena proses persiapan dan pemasakan.

4. Sehat dan higienis adalah makanan harus steril, bebas dari

kuman dan penyakit, salah satu upaya untuk mensterilkan

makanan adalah dengan cara mencuci bersih dan memasak

hingga tertentu sebelum dikonsumsi.

5. Makanan segar alami (tidak suplemen) adalah sayur dan

buah-buahan segar lebih menyehatkan dibandingkan

makanan pabrik (makanan yang diawetkan).

6. Makanan golongan nabati lebih menyehatkan dibandingkan

hewani, kelebihan makanan nabati dibanding hewani adalah

sedikit kandungan lemak.

7. Cara memasak jangan berlebihan yaitu sayuran yang terlalu

lama direbus pada suhu tinggi menyebabkan hilangnya

sejumlah vitamin dan mineral.

8. Teratur dalam penyajian yaitu untuk menjaga

keseimbangan fungsi tubuh, perlu pengaturan makanan

secara teratur, misal pada jam 07.00 Wib makan pagi, siang

jam 13.00 Wib, makan malam jam 19.00 Wib, serta tidak

22

membiasakan makan selingan dan sesempatnya karena

dapat mengakibatkan gangguan pencernaan.

9. Frekuensi 5 kali sehari adalah makanan yang dikonsumsi

disesuaikan dengan kapasitas lambung dengan mengatur

frekuensi makan, yaitu 3 kali makan utama, 2 kali

penyelang. Minum 6 gelas air sehari : dalam sehari rata-rata

memerlukan 2.550 ml air, banyaknya air tersebut diperoleh

melalui makanan (100 ml), sisa metabolisme (350 ml) dan

yang berasal dari minuman 1200 ml (6 gelas).

2.1.2. Praktek Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan

Praktek kebersihan dan kesehatan sanitasi lingkungan adalah

usaha untuk pengawasan terhadap lingkungan fisik manusia yang

dapat memberikan akibat merugikan kesehatan jasmani dan

kelangsungan hidupnya (Slamed, 2001).

Widaninggar (2003), mengatakan kondisi lingkungan anak

harus benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal

yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan

adalah bangunan rumah, kebutuhan ruangan (tempat bermain-

main) pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih,

pembuangan sampah, SPAL, kamar mandi dan WC, dan halaman

23

rumah. Untuk kebersihan, baik kebersihan perorangan dan

kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi tumbuh

kembang anak, kebersihan perorangan yang kurang akan

memudahkan terjadinya penyakit kulit dan saluran pencernaan

seperti diare, cacingan, dll. Kebersihan lingkungan erat hubungan

dengan penyakit saluran pernapasan, saluran pencernaan, serta

penyakit akibat nyamuk. Oleh karena itu penting membuat

lingkungan layak untuk tumbuh kembang anak, sehingga

meningkatkan rasa aman bagi ibu/pengasuh anak dalam

menyediakan kesempatan bagi anaknya untuk eksplorasi

lingkungan. Menanamkan kebersihan di rumah sangat penting

karena sumber infeksi amat banyak di sekeliling balita. Oleh

karena itu untuk menghindari segala kemungkinan infeksi dan

penyakit, maka rumah dan anak-anak harus diamankan dari

serangan penyakit.

Upaya untuk meminimalkan resiko terserang penyakit dimulai

dengan menerapkan standar kebersihan yang lebih terjamin kesehatan

balita yaitu :

1. Menanamkan pengetahuan pada anak balita tentang,

kebersihan dapur dan rumah yang bersih sehingga dirinya

24

terbebas dari gangguan penyakit seperti mual dan diare.

Tunjukkan dan ajak balita dengan lembut untuk

berpartisipasi menyimpan makanan di tempat bersih,

kondisikan lingkungan sekitar makanan bersih dan peralatan

makan selalu bersih.

2. Si kecil dicontohkan kebersihan misalnya, mencuci tangan

sebelum makan atau sebelum memegang makanan, dan

sesudah makan, tidak makan buah sebelum dicuci, setelah

buang air besar biasakan cuci tangan dengan sabun, bermain

dengan hewan peliharaannya (Triton, 2006)

Praktek kebersihan perorangan dan kesehatan lingkungan

adalah :

1. Kotoran manusia/tinja harus dibuang ke jamban. Cara yang

paling penting untuk mencegah penyebaran kuman adalah

dengan membuang kotoran atau tinja ke jamban, kotoran

binatang harus dibuang jauh dari rumah, jalanan tempat

anak- anak bermain, jamban harus sering dibersihkan dan

tersedia sabun untuk mencuci tangan.

2. Ibu dan anggota keluarga, termasuk anak-anak harus

mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar,

25

sebelum menyentuh makanan dan sebelum memberikan

makanan anak. Mencuci tangan dengan sabun dapat

menghilangkan kuman. Hal ini membantu menghentikan

kuman dan kotoran untuk masuk ke makanan atau mulut.

Mencuci tangan juga dapat mencegah infeksi cacing.

3. Jendela rumah harus dibuka setiap pagi sehingga pertukaran

udara di dalam rumah menjadi baik.

4. Pakailah air bersih dari sumber air bersih yang aman dan

sehat. Tempat air harus ditutup agar air tetap bersih dan

dikuras 1 minggu sekali.

5. Air minum harus dimasak sampai mendidih, buah dan

sayuran harus di cuci sampai bersih sebelum diolah,

makanan yang sudah masak harus segera dimakan atau

dipanaskan sesudah di simpan.

6. Makanan, alat-alat makan dan peralatan memasak harus

selalu dalam keadaan bersih, makanan harus disimpan pada

tempat yang tertutup.

7. Rumah harus mempunyai tempat pembuangan sampah,

pembuangan air limbah yang aman dan sehat untuk

membantu dalam pencegahan penyakit.

26

8. Asap dari dapur di rumah harus dapat keluar dengan baik

dan hindari kebiasaan ibu membawa anak ketika memasak

di dapur.

9. Rumah harus dilindungi dari serangga dan binatang penular

penyakit seperti kecoa, nyamuk dan tikus (Depkes RI, 2002)

Menurut Sulistijani (2001), mengatakan bahwa lingkungan

yang sehat perlu diupayakan dan dibiasakan, tetapi tidak dilakukan

sekaligus, harus berlahan-lahan dan terus menerus. Lingkungan yang

sehat terkait dengan keadaan yang bersih rapi dan teratur. Oleh karena

itu anak perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat sebagai

berikut : (a) mandi 2 kali sehari (b) cuci tangan sebelum dan sesudah

makan. (c) menyikat gigi sebelum tidur (d) membuang sampah pada

tempatnya (e) buang air kecil dan besar pada tempatnya.

2.1.3. Perawatan Anak Dalam Keadaan Sakit

Perawatan adalah kasih sayang yang diberikan ibu kepada anak

untuk membantu pertumbuhan, menggendong, memeluk dan berbicara

kepada anak akan merangsang pertumbuhan dan meningkatkan

perkembangan perasaan anak. Rasa aman pada anak akan tumbuh

apabila ia selalu berada dengan ibunya dan memperoleh air susu ibu

sesuai dengan kebutuhan dan apabila sakit ibu selalu menyimpan obat

27

dan membawa ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan (Depkes RI,

2002).

Praktek perawatan kesehatan anak dalam keadaan sakit adalah

salah satu aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi anak,

membaik praktek pengasuhan kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan

untuk menjaga status kesehatan anak, menjauhkan dan menghindarkan

penyakit serta dapat menyebabkan turunnya keadaan kesehatan anak.

Praktek perawatan kesehatan meliputi pengobatan penyakit pada anak

apabila si anak menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap

penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu penyakit. Praktek

perawatan kesehatan anak yang baik dapat ditempuh dengan cara

memperhatikan keadaan gizi anak, kelengkapan imunisasi, kebersihan

diri anak dan lingkungan dimana anak berada, serta upaya ibu dalam

hal mencari pengobatan terhadap anak apabila sakit ibu membawa

anak ke tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik,

puskesmas, polindes (Zeitlin, 1990).

Kegiatan sehari-hari balita rentan dengan penyakit terkait

dengan sarana dan prasarana rumah tangga disekelilingnya, balita

berinteraksi dengan teman-temannya sebayanya maka resiko terserang

penyakit akan mudah untuk itu orang tua harus benar- benar

28

memperhatikan prilaku balita pada usia ini. Tingkah laku dan

perubahan tubuh balita patut diwaspadai karena balita mudah terserang

penyakit, dengan demikian apabila balita sudah bisa berkomunikasi

maka secepatnya kegiatan harian di rumah yang beresiko terserang

penyakit harus diajarkan seperti balita belum bisa membedakan antara

tempat yang kotor dan rawan penyakit dengan tempat yang bersih

(Triton, 2006).

Perawatan yang baik pada anak ibu memberikan penjelasan

yang jernih tentang apa yang harus dilakukan anak, ketentuan yang

kokoh tentang apa yang tidak boleh dilakukan dan memberikan

penghargaan, ini merupakan prilaku yang baik dan cara yang efektif

untuk mendorong anak menjadi anggota keluarga dan masyarakat

yang produktif, orang tua dan anggota keluarga yang lain perlu

melibatkan dalam perawatan anak. Peran seorang ayah dapat

memenuhi kebutuhan anak terhadap cinta kasih sayang dan dorongan

serta menjamin anak untuk memperoleh gizi yang baik dan perawatan

kesehatan (Depkes RI, 2002).

Menurut Satoto (1990), dalam memberikan makanan (feeding)

dan perawatan (caring) yang benar untuk mencapai status gizi yang

baik melalui pola asuh yang baik dilakukan ibu kepada anaknya

29

sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Menurut Syarif, (1997) mengatakan bahwa unsur gizi merupakan

sangat penting dalam pembentukan Sumber Daya Manusia (SDM).

2.2 Status Gizi

Zat gizi (nutriens) adalah merupakan ikatan kimia yang diperlukan

tubuh untuk melakukan fungsinya yaitu menghasilkan energi membangun dan

memelihara jaringan serta mengatur proses kehidupan (Almatsier, 2002).

Status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau

kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik dan energi

dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan, makanan dan fisiknya dapat

diukur secara antropometri (Suharjo, 2005).

Status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat

keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari

pangan yang dikonsumsi pada suatu saat didasarkan pada kategori dan

indikator yang di gunakan (Depkes RI, 2002).

2.2.1. Faktor -Faktor Yang Mempengaruhi Gizi

Menurut Soekirman (1990), menyatakan faktor yang

mempengaruhi status gizi adalah kemiskinan, tingkat pendapatan

30

keluarga, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, tingkat

pengetahuan, sosial budaya dan bencana alam.

1. Tingkat Pendapatan Keluarga

Pendapatan adalah tingkat kemampuan masyarakat dalam

membelanjakan pendapatannya dinilai berdasarkan kebutuhan

hidupnya.

Menurut Adisasmito (2007), mengatakan di Indonesia dan

Negara lain menunjukkan bahwa terdapat hubungan timbal balik

antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan

penyebab pokok akar masalah gizi buruk, proporsi anak gizi kurang

dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Semakin

kecil pendapatan penduduk, semakin tinggi persentase anak yang

kekurangan gizi sebaliknya semakin tinggi pendapatan semakin

kecil persentase gizi buruk.

Menurut Winarno (2000), mengatakan bahwa terdapat

kecenderungan penurunan pengeluaran sesuai dengan kenaikan

pendapatannya, namun pengeluaran untuk pangan masih

merupakan bagian terbesar dari pengeluaran rumah tangga

Indonesia, disamping itu Winarno juga menambahkan salah satu

penyebab malnutrisi (kurang gizi) disebabkan oleh faktor ekonomi

dan sosial budaya yang secara nyata telah memberikan gambaran

31

menyeluruh mengenai masalah gizi di daerah masyarakat miskin.

Hubungan pendapatan dan gizi dalam keluarga didorong oleh

pengaruh yang menguntungkan dari peningkatan pendapatan untuk

perbaikan kesehatan dan gizi. Sebaliknya jika rendahnya

pendapatan seseorang maka daya beli berkurang sehingga

kemungkinan kebiasaan makan dan cara-cara lain menghalangi

perbaikan gizi sehingga kurang efektif untuk anak-anak.

2. Tingkat pengetahuan

Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh seseorang tentang

suatu hal yang secara formal maupun non formal. Pengetahuan

merupakan hasil tahu, ini terjadi setelah seseorang melakukan

penginderaan terhadap sesuatu melalui panca indra. Pengetahuan

yang dimiliki sangat penting untuk terbentuk sikap dan tindakan

(Suhardjo, 2000).

Menurut Suharjo (2000), suatu hal yang harus diperhatikan

tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga

kenyataan :

1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi

kesehatan dan kesejahteraan.

3. Setiap orang hanya cukup gizi jika makanan

yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang

32

diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal, pemeliharaan

dan energi.

4. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu

sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan

dengan baik bagi perbaikan gizi.

Pada keluarga pengetahuan yang rendah sering kali tidak puas

dengan makanan dan tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena

ketidaktahuan ibu, seperti Air Susu Ibu (ASI) dan sesudah usia

enam bulan tidak mendapat makanan pendamping ASI (MP- ASI)

yang tepat baik jumlah atau kualitasnya. MP-ASI yang tepat dan

baik dapat disajikan dan dipersiapkan di rumah tangga (Adisasmito,

2007).

Faktor pengetahuan menyebabkan status gizi berubah

disebabkan oleh :

1. Ibu yang tidak memahami tentang gizi

2. Tidak memahami cara mengolah makanan agar zat-zat

yang terkandung tidak hilang saat pengolahan

3. Tidak memahami tentang cara konsumsi makanan anak

balita

4. Jenis makanan yang mempengaruhi jiwa anak misalnya

timbul kebosanan terhadap makanan olahan ibunya.

33

5. Rendahnya tingkat pengetahuan mengakibatkan rendahnya

pendidikan, dan faktor ekonomi turut menyebabkan status

gizi kurang, walaupun pengetahuan cukup tetapi karena

tidak ada dana untuk membeli bahan makanan tertentu

yang kadar gizinya tinggi seperti daging.

3. Tingkat Pendidikan

Menurut Ahmadi (2001) pendidikan adalah usaha sadar umtuk

mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar

sekolah berlangsung seumur hidup.

Pendidikan gizi adalah pengetahuan yang memungkinkan

seseorang dan mempertahankan pola makan berdasarkan prinsip-

prinsip ilmu untuk mempraktekkan atau pelaksanaan dengan

pengertian makanan yang bergizi, baik bahan makanan,

pengolahan, sikap dan emosi pada seseorang yang berkaitan dengan

makanan (Soegeng, 1999)

Pendidikan dalam keluarga merupakan lingkungan anak yang

pertama dan merupakan dasar bagi pendidikan anak selanjutnya.

Disamping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi

anak, keluarga juga merupakan tempat sang anak mengharapkan

dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidupnya, tidak terkecuali

kebutuhan gizi dan kesehatan (Bitai dkk, 1998).

34

Menurut Adisasmito (2007), mengatakan unsur pendidikan ibu

berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak, apabila ibu

berpendidikan lebih baik maka mengerti cara pemberian makan,

menggunakan pelayanan kesehatan, menjaga kebersihan

lingkungan bebas dari penyakit.

Ibu yang berpendidikan lebih baik kemungkinan menggunakan

perawatan kesehatan dan fasilitas kesehatan pelayanan kesehatan

yang ada dari ibu yang tidak memiliki pendidikan (Joshi, 1994).

4. Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga dan banyaknya anak dalam keluarga

akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pangan, jumlah

anggota keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi pangan

yang tidak merata sehingga menyebabkan anak dalam keluarga

mengalami kekurangan gizi ( Suharni, 2005).

Berdasarkan pendapat di atas bahwa besarnya tanggungan

keluarga akan semakin kecil tingkat konsumsi pangan untuk

masing-masing anggota keluarga atau dapat dikatakan semakin

besar tanggungan keluarga semakin besar pula pangan yang harus

tersedia.

35

2.2.2. Cara Penilaian Status Gizi

Untuk mengetahui pertumbuhan anak, secara praktis dilakukan

pengukuran umur dan berat badan anak secara teratur. Ada beberapa

cara menilai status gizi, yaitu dengan pengukuran antropomerti, klinis,

biokimia, dan biofisik yang disebut dengan penilaian status gizi secara

langsung. Di Indonesia pengukuran antropometri banyak digunakan

dalam kegiatan program maupun dalam penelitian salah satu adalah

Berat Badan/Umur. Objek pengukuran antropometri pada umumnya

anak-anak dibawah 5 tahun. Masing-masing indeks antropometri

memiliki baku rujukan atau nilai patokan untuk memperkirakan status

gizi seseorang (Kepmenkes RI, 2010).

Indeks BB/U

- Lebih, bila nilai Z – Score > + 2 SD

- Baik, bila nilai Z – Score terletak antara ≥- 2 SD sampai +

2 SD

- Kurang, bila nilai Z – Score terletak anrtara < – 2 SD

sampai ≥- 3SD

- Buruk, bila nilai Z – Score < - 3 SD

36

2.2.3. Indeks Antropometri

Indeks antropometri yang digunakan pada penelitian ini adalah

indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) Berat Badan (BB)

merupakan salah satu antropometri yang memberikan gambaran

tentang masa depan (otot dan lemak). Masa tumbuh sangat sensitif

terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya oleh karena

terserang penyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan

jumlah makanan yang di konsumsi, berat badan merupakan ukuran

antropometri yang sangat stabil.

Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan

seimbang antara masukan dan kecukupan zat-zat gizi yang terjamin,

berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaiknya

dalam keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan

berat badan yaitu berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari

keadaan normal.

Berdasarkan sifat ini maka indeks Berat Badan dengan Umur

(BB/U) digunakan sebagai salah satu indikator status gizi. Oleh karena

sifat berat badan yang stabil maka indeks BB/U lebih

menggambarkan status gizi seseorang pada saat ini (current nutritional

status).

37

Penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status gizi

memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapat perhatian.

Kelebihan Indeks BB/U yaitu :

a. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat

umum.

b. Sensitif untuk perubahan status gizi jangka pendek, dapat

mendeteksi kegemukan (over weight).

Kelemahan Indeks BB/U yaitu :

a. Dapat mengakibatkan kekeliruan interpretasi status gizi bila

terdapat oedema.

b. Memerlukan data umur yang akurat, ketetapan data umur

kelompok usia ini merupakan masalah yang belum terpecahkan

di negara berkembang termasuk Indonesia.

c. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, misalnya pengaruh

pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan.

d. Secara operasional sering mengalami hambatan karena

masalah sosial budaya setempat (masih ada orang tua yang

tidak mau menimbang anaknya karena dianggap seperti barang

dagangan dan sebagainya).

38

2.3 Hubungan Pola Asuh Dengan status Gizi Balita

Peningkatan status gizi masyarakat merupakan salah satu upaya

penting untuk meningkatkan kesehatan keluarga, khususnya balita,

meningkatkan kemampuan tumbuh kembang fisik anak, mental dan sosial

anak untuk meningkat produktivitas kerja serta prestasi akademik maupun

prestasi olah raga, oleh karena keadaan gizi masyarakat merupakan salah satu

indikator penting dari kualitas Sumber Daya Manusia (Depkes RI, 2006).

Penyebab kurang gizi dipengaruhi oleh dua faktor secara langsung dan

tidak langsung. Faktor penyebab secara langsung yaitu makanan dan penyakit

infeksi yang diderita oleh anak, kurang gizi tidak hanya karena makanan

tetapi juga dipengaruhi oleh penyakit infeksi seperti gangguan nafsu makan,

pencernaan dan penyerapan makanan dalam tubuh. Faktor penyebab tidak

langsung yaitu ketahanan pangan dalam keluarga, pola asuh, perawatan

kesehatan dan sanitasi lingkungan yang kurang memadai. Dari ketiga faktor

penyebab tidak langsung saling berkaitan dengan pendidikan, pengetahuan,

penghasilan dan keterampilan ibu (Adisasmito, 2007).

Pola asuh anak berupa sikap dan prilaku ibu atau pengasuh lain dalam

hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, perawatan, menjaga

kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya. Hal ini berhubungan

dengan keadaan ibu tentang kesehatan (fisik dan mental), status gizi,

pendidikan, penghasilan, pengetahuan, dan keterampilan tentang pengasuhan

39

anak yang baik, peran dalam keluarga atau masyarakat, dan sebagainya dari si

ibu dan pengasuh anak (Sunarti, 2000).

Kurang pengetahuan ibu tentang pemberian makanan terjadi karena

banyak tradisi dan kebiasaan seperti penghentian penyusuan dan beranggapan

anak kecil hanya memerlukan makanan sedikit dan pantangan terhadap

makanan. Pola asuh dapat dimanifestasikan dalam 3 hal yaitu praktek

pemberian makan, praktek kebersihana dan sanitasi lingkungan dan perawatan

anak dalam keadaan sakit.

Berbagai macam hal seperti krisis ekonomi, tidak adanya

pemberdayaan wanita dapat menyebabkan kurangnya pengetahuan dan

keterampilan sehingga berdampak pada pola asuh terhadap anak yang tidak

memadai. Jika keadaan tersebut terus berlanjut akan terjadi kesalahan dalam

asupan gizi, praktek kebersihan dan perawatan anak sehingga menyebabkan

seorang anak jatuh kedalam keadaan status gizi yang kurang atau buruk.

2.4 Kerangka TeoriKrisis ekonomi, Politik

dan sosial

40

Status gizi

Kurang pemberdayaan wanita, keluarga dan

SDM

Kebersihan, sanitasi, pel kes tidak memadai

Tidak cukup persediaan pangan

Pola asuh anak tidak memadai

Kurang pendidikan, pengetahuan, penghasilan, ketrampilan ibu

Infeksi penyakit Asupan gizi

2.1 Faktor masalah gizi, sumber: UNICEF 2000

41

Pada gambar 2.1 diatas, dapar lihat bahwa akar permasalahan gizi

adalah terjadi krisis ekonomi, politik dan sosial dalam masyarakat, sehingga

menyebabkan terjadinya permasalahan kekurangan pangan, kemiskinan dan

tingginya angka inflasi dan pengangguran. Sedangkan pokok masalahnya

dimasyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita sumber daya manusia,

rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan. Adapun faktor

tidak langsung menyebabkan kurang gizi adalah tidak cukup persediaan

pangan akibat krisis ekonomi dan rendahnya daya beli masyarakat, pola asuh

anak yang tidak memadai akibat dari rendahnya pengetahuan, pendidikan

orang tua dan buruknya sanitasi lingkungan dan akses kepelayanan kesehatan

dasar masih sulit sehingga berdampak terhadap pola konsumsi dan terjadinya

penyakit infeksi yang secara langsung menyebabkan kurang gizi.

42

2.5 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori, maka dapat disusun kerangka konsep

sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka konsep di atas maka dapat kita lihat bahwa

status gizi anak berkaitan dengan pola asuh yang meliputi pemberian makan,

praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan serta perawatan anak dalam

keadaan sakit, sedangkan variabel antara karakteristik ibu yaitu pendidikan,

dan jumlah anggota keluarga.

Pola Asuh:

1. Pemberian makan2. Kebersihan dan sanitasi

lingkungan3. Perawatan anak dalam

keadaan sakit

Status gizi balita dengan BB/U

Karakteristik ibu:

1. Umur ibu2. Pendidikan3. Jumlah anggota keluarga

43

2.6 Hipotesis

Ho : Tidak terdapat perbedaan tingkat status gizi pada balita diwilayah kerja

Puskesmas Karang Pule Kota Mataram tahun 2013 yang mendapatkan

pola asuh baik dan pola asuh kurang.

H1: Terdapat perbedaan tingkat status gizi pada balita diwilayah kerja

Puskesmas Karang Pule Kota Mataram tahun 2013 yang mendapatkan pola

asuh baik dan pola asuh kurang.

44

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Rancangan penelitian menggunakan analitik observasional dengan

pendekatan studi cross sectional. Penelitian cross sectional adalah suatu

penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko

dan efek, dengan cara pendekatan, observasional atau pengumpulan data

sekaligus pada suatu saat (point time apporoach).

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Karang Pule

Kota Mataram. Alasan pemilihan lokasi adalah:

a. Banyaknya jumlah balita diwilayah kerja Puskesmas Karang Pule

Kota Mataram.

b. Puskesmas Karang Pule merupakan wilayah kerja dengan angka

kejadian gizi buruk tertinggi di Kota Mataram dengan jumlah 9

45

kasus (36%) dari total 25 kasus gizi buruk di Kota Mataram pada

Tahun 2012.

3.2.2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan januari – februari tahun 2013

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.3.1. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini meliputi :

3.3.1.1. Variabel Bebas : Pola asuh ibu yang dalam penelitian

ini meliputi praktek pemberian makan, kebersihan dan sanitasi

lingkungan serta perawatan anak dalam keadaan sakit.

3.3.1.2. Variabel Terikat :Tingkata status gizi balita

3.3.2. Definisi Operasional

1. Pola Asuh adalah suatu tindakan memberi perhatian yang penuh

serta kasih sayang pada balita yang mencakup:

a. Perhatian/dukungan ibu terhadap anak dalam praktek pemberian

makananadalah gambaran mengenai sikap ibu dalam memilih

46

makanan,menyusun menu makanan,memberi makan, serta

penyimpanan makanan.

b. Kebersihan dan sanitasi lingkungan adalah gambaran mengenai

praktek kebersihan yang terapkan oleh ibu dalam membersihkan

peralatan makan, membersihkan anak, serta kebersihan

lingkungan rumah tangga.

c. Perawatan anak dalam keadaaan sakit adalah apa yang dilakukan

oleh ibu jika balita dalam keadaan sakit meliputi praktek

kesehatan di rumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan

(membawa anak berobat jika sakit, mempunyai persediaan obat

di rumah, mendampingi anak selama sakit, anak ditimbang setiap

bulan, imunisasi lengkap, sarana pelayanan kesehatan yang

sering dikunjungi).

2. Status gizi adalah Status gizi adalah keadaan fisik anak balita yang

ditentukan dengan melakukan pengukuran antropometri Berat

Badan menurut Umur (BB/U) kemudian diinterprestasikan dengan

standar antropomentri balita menurut PERMENKES dengan

menggunakan indikator BB/U

3. Balita adalah anak yang berusia 12 sampai 59 bulan.

.

47

3.4. Subyek Penelitian

3.4.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti.Populasi yang digunakan adalah seluruh ibu yang memiliki

balita berusia 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas karang Pule

Kota Mataram. Jumlah populasi pada saat penelitian adalah sebanyak

3116 ibu.

3.4.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili

populasinya.

a. Kriteria inklusi

- Semua ibu yang memiliki balita usia 12-59 bulan.

- Tidak berada di posyandu pada saat penelitian.

- Bersedia menjadi responden.

- Bersedia anaknya ditimbang dan diukur.

a. Kriteria eksklusi

- Anak yang berusia dibawah 12 bulan.

- Tidak berada di posyandu saat penelitian.

48

- Tidak bersedia menjadi responden.

- Tidak bersedia untuk ditimbang dan diukur.

3.4.3. Sampling

Sampling adalah suatu cara yang ditempuh dengan

pengambilan sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan

obyek penelitian. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini

adalah teknik pengambilan secara aksidental (accidental). Teknik ini

dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan

ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian

(Notoatmodjo, 2012).

Penentuan besarnya sampel dilakukan dengan menggunakan

rumus slovin sebagai dasar penentuan sampel, yaitu dengan :

n= N1+N (d) ²

Dengan besarnya populasi sebanyak 3116 orang dan

menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90% (0,1) maka didapatkan

hasil :

49

n = 96.89n = 97

3.5. Metode Pengumpulan data

3.5.1. Data primer

Data primer diperoleh dengan wawancara

menggunakan kuesioner pada ibu yang mempunyai anak balita,

meliputi :

a. Karakteristik responden (umur, pendidikan dan jumlah

anggota keluarga)

b. Karakteristik anak (umur, berat badan dan jenis kelamin)

c. Data berat badan anak diperoleh melalui pengukuran dengan

menggunakan timbangan Dacin yang mempunyai kapasitas

25 kg dengan tingkat ketelitian0,1 kg.

Ket:

n = jumlah sampel

N =jumlah populasi

d = tingkat ketepatan atau kepercayaan yang

diinginkan (0.1)

Nn =

1 + N (d)2

3116n =

1 + 3116 (0,1)2

3116n =

32.16

50

d. Data umur anak diperoleh melalui wawancara atau melihat

pada tanggal lahir anak di KMS (Kartu Menuju Sehat).

e. Data pola asuh diperoleh dari wawancara langsung dengan

respondenmenggunakan kuesioner yang meliputi :

- Perhatian/dukungan ibu terhadap anak dalam praktek

pemberian makananmeliputi pemberian ASI dan

makanan pendamping pada anak sertapersiapan dan

penyimpanan makanan.

- Perawatan kesehatan meliputi praktek kebersihan / hygiene

dan sanitasilingkungan serta perawatan anak balita sakit

- Perawatan anak dalam keadaan sakit.

3.5.2. Data sekunder

Data diperoleh dari profil Indonesia, Dinas Kesehatan

Provinsi NTB, Dinas Kesehatan Kota Mataram melalui

penilaian status gizi, Puskesmas dan Posyandu yang relevan

dengan tujuan penelitian.

3.6. Instrument Penelitian

a. Timbangan dacin

51

Timbangan dacin alat ukur yang digunakan untuk mengukur berat

badan balita yang mempunyai kapasitas 25 kg dengan tingkat ketelitian 0,1

kg.

b. Kuesioner

Kuesioner yaitu alat pengumpulan data yang berupa pertanyaan –

pertanyaan tertulis untuk memperoleh informasi tentang pola asuh ibu..

3.7. Aspek Pengukuran

1. Data status gizi

Status gizi diukur dengan menggunakan indikator BB/U kemudian

diinterprestasikan berdasarkan standar antropometri KEPMENKES. Status

gizi berdasarkan BB/U dibagi atas 4 kategori, yaitu :

- Lebih, bila nilai Z – Score > + 2 SD

- Baik, bila nilai Z – Score terletak antara ≥- 2 SD sampai + 2 SD

- Kurang, bila nilai Z – Score terletak anrtara < – 2 SD sampai ≥- 3SD

- Buruk, bila nilai Z – Score < - 3 SD

52

2. Data pola asuh meliputi:

a. Perhatian/dukungan ibu terhadap anak dalam pemberian makanan

Diukur berdasarkan jawaban dari kuesioner yang terdiri dari 11

pertayaan. Skor untuk option a = 2, b = 1 sehingga skor menjadi 22.

Dikategorikanmenjadi :

- Baik : apabila nilai yang diperoleh 17-22

- Tidak baik : apabila nilai yang diperoleh 11-16

b. Praktek kesehatan

Diukur berdasarkan jawaban dari kuesioner yang terdiri dari 22

pertanyaan.Skor untuk option a = 2, b = 1 sehingga skor menjadi 44.

Dikategorikanmenjadi :

- Baik : apabila nilai yang diperoleh 34-44

- Tidak baik : apabila nilai yang diperoleh 22-43

c. Perawatan anak dalam keadaan sakit

Diukur berdasarkan jawaban dari kuesioner yang terdiri dari 6

pertanyaan. Skor untuk poin a = 2, b = 1 sehingga skor menjadi 12.

Dikategorikan menjadi:

- Baik : apabila nilai yang diperoleh 10-12

- Tidak baik : apabila nilai yang diperoleh 6-9

53

3.8. Cara Penelitian (Alur Penelitian)

Identifikasi dan perumusan masalah

Menentukan tujuan penelitian

Analisis data dengan sistem komputerisasi

Menentukan cara dan besar sampel

Menentukan lokasi dan populasi

Penilaian berat badan dan umur

Menentukan definisi operasional dan variable yang akan diukur

Laporan

Wawancara responden menggunakan kuesioner

Hasil

54

3.9. Analisa Hasil

Analisa data merupakan bagian penting dari suatu

penelitian.Dimana tujuan dari analisa ini adalah agar diperoleh suatu

kesimpulan masalah yang diteliti. Data yang telah terkumpul akan diolah

dan dianalisa dengan menggunakan program komputer. Adapun langkah-

langkah pengolahan data meliputi :

3.9.1. Editing adalah pekerjaan memeriksa validitas data yang masuk,

seperti memeriksa pola asuh ibu dan status gizi balita.

3.9.2. Coding adalah suatu kegiatan memberi tanda atau kode tertentu

terhadap data yang telah diedit dengan tujuan mempermudah

pembuatan tabel.

3.9.3. Entry adalah kegiatan memasukkan data yang telah didapat

kedalam program komputer yang ditetapkan (program

Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows

versi 17).

Analisa dalam penelitian ini menggunakan :

a. Analisa Univariat

Analisa ini digunakan untuk mendiskripsikan masing-masing

variabel, baik variabel bebas dan variabel terikat. Adapun yang

55

dianalisa adalah pola asuh ibu yang diukur dengan menggunakan

kuesioner dan status gizi yang diukur berdasarkan pengukuran

berat badan dan umur balita.

b. Analisa Bivariat

Analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara

variable bebas (independent) dan variable terikat (dependent) yaitu

pola asuh dan status gizi balita.

Karena rancangan penelitian ini adalah cross sectional, hubungan

antara variabel independent dengan varibael dependent digunakan

ditampilkan dalam table 2x2 dan juga dilakukan perhitungan Rasio

prevalens (RP), untuk mengetahui estimasi resiko relatif, dengan

cara membagi prevalens efek pada kelompok dengan faktor resiko,

dengan prevalens efek pada kelompok tanpa faktor resiko. Adapun

tampilan table 2x2 dan perhitungan rasio prevalens sebagai

berikut:

56

Tabel 3.1. Tabel 2x2 Pola Asuh dan Status Gizi Balita

Pola Asuh

Status Gizi

TOTALBaik Kurang

Baik A B AB

Kurang C D CD

TOTAL AC BD ABCD

RP = A/(A+B) : C/(C+D)

Dalam penelitian ini juga digunakan uji statistik Chi-Square

dengan bantuan computer untuk mengetahui perbedaan antara status

gizi pada balita yang mendapat pola asuh baikdan pola asuh yang

kurang.

3.10. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etika

penelitian. Etika penelitian meliputi:

a. Informed consent (lembar persetujuan)

Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti memberikan

informasi tentang tujuan dan manfaat penelitian.Setelah sifat

keikutsertaan dalam penelitian.Sampel penelitian yang setuju

57

berpartisipasi dalam penelitian dimohon untuk menandatangani lembar

persetujuan penelitian.

b. Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam penelitian maka

peneliti tidak mencantumkan nama pada lembar penelitian cukup

dengan memberi nomor kode pada masing-masing lembar yang hanya

diketahui oleh peneliti.

c. Confidentiality (kerahasiaan)

Peneliti menyimpan data penelitian pada dokumen pribadi

penelitian dan data-data penelitian dilaporkan dalam bentuk kelompok

bukan sebagai data-data yang mewakili pribadi sampel penelitian

(Sastroasmoro, 1995).

58

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Karakteristik Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Karang

Pule Kota Mataramtahun 2013. Sampel yang diambil adalah berasal dari

populasi yang merupakan seluruh ibu yang memiliki balita berusia 12-

59 bulan yang berjumlah 3116 orang. Berdasarkan kreteria insklusi dan

eksklusi dalam penelitian ini dan melalui perhitungan besar sampel

didapatkan sampel sebanyak 97 orang.

4.1.2 Gambaran Umum Puskesmas Karang Pule

Dua Kelurahan yaitu Kelurahan Pagutan dan Kelurahan Karang

Pule yang menjadi bagian wilayah kerja Puskesmas Karang Pule

dengan luas wilayah seluruhnya 953.215 km ,dengan junmlah penduduk

seluruhnya berjumlah 36.570 jiwa , dari masing-masing kelurahan

jumlah penduduknya al. :

59

1. Kelurahan Pagutan dengan jumlah penduduk = 17.719 jiwa dengan

11 Lingkungan.

2. Kelurahan Kr. Pule dengan jumlah penduduk = 18.851 jiwa dengan

15 Lingkungan.

Wilayah kerja Puskesmas Karang Pule masing-masing dibatasi oleh :

1. Di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pagesangan, willayah

kerja Puskesmas Pagesangan

2. Di sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Cakra Selatan,

Wilayah kerja Puskesmas Mataram.

3. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kab.Lombok Barat

4. Di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Tanjung

Karang.wilayah kerja puskesmas Tanjung Karang.

4.1.3 Analisa Univariat

Karakteristik Responden

Karakteristik responden dapat dilihat dengan menggunakan

kuesioner melalui wawancara yang meliputi umur ibu, agama, tingkat

pendidikan, pekerjaan dan jumlah anak balita. Hal ini dapat dilihat pada

tabel berikut ini :

60

Tabel 4.2 Distribusi Responden Menurut Umur di Wilayah Kerja

Puskesmas Karang Pule Kota Mataram

No.

Umur (Tahun) N %

1 <20 5 5.72 20-29 46 47.43 30-39 42 43.34 >40 4 4.1

Total 97 100

>40 Tahun30-39 Tahun20-29 Tahun<20 Tahun

umur_ibu

50

40

30

20

10

0

Frequency

4

4246

5

umur_ibu

61

Dari tabel 4.2 dapat diketahui bahwa distribusi responden

menurut umur yang terbanyak adalah ibu yang berumur 20 – 29 tahun

yaitu sebanyak 46 orang (47,4%) dan yang paling sedikit adalah ibu

yang berumur > 40 tahun yaitu 4 orang (4,1%).

Tabel 4.3 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan di

Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Kota Mataram

No.

Tingkat Pendidikan

N %

1 SD 46 49.52 SMP 25 21.63 SMA 20 20.64 Diploma 1 3.15 Sarjana 5 5.2

Total 97 100

SARJANADIPLOMASMASLTPSD

pendidikan_ibu

50

40

30

20

10

0

Frequency

53

2021

48

pendidikan_ibu

62

Dari table 4.3 dapat diketahui bahwa distribusi responden

menurut tingkat pendidikan yang terbanyak adalah SD yaitu sebanyak

46 orang (49,5%) dan yang paling sedikit adalah Diploma yaitu

sebanyak 1 orang (3,1%).

Tabel 4.4 Distribusi Responden Menurut Jumlah Anggota

Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Kota

Mataram

No.

Jumlah anggota kelurga

N %

1 <3 1 12 3-5 70 72.23 >5 26 26.8

Total 97 100

63

>53-5<3

jumlah_anggota_keluarga

70

60

50

40

30

20

10

0

Frequency

26

70

1

jumlah_anggota_keluarga

Dari tabel 4.3 dapat diketahui bahwa distribusi responden

menurut jumlah anggota keluarga yang terbanyak adalah keluarga

yang berjumlah 3-5 orang yaitu sebanyak 70 keluarga (72,2%) dan

yang paling sedikit adalah keluarga yang berjumlah kurang dari 3

orang yaitu sebanyak 1 keluarga (1%).

Karakteristik Balita

Karakteristik balita dapat dilihat dengan menggunakan

kuesioner melalui wawancara kepada ibunya yang meliputi umur

anak, jenis kelamin dan status gizi. Hal ini dapat dilihat pada tabel

berikut ini:

64

Table 4.5 Distribusi Balita Menurut Umur di wilayah kerja

Puskesmas karang Pule Kota Mataram

No.

Umur (bulan) N %

1 12-24 56 57.72 25-36 23 23.73 37-48 13 13.44 49-60 5 5.2

Total 97 100

49-60 bulan37-48 bulan25-36 bulan12-24 bulan

umur

60

50

40

30

20

10

0

Frequency

513

23

56

umur

Dari tabel 4.5 dapat diketahui bahwa distribusi balita menurut

umur yang terbanyak adalah balita yang berumur 12 – 24 bulan yaitu

sebanyak 56 orang (57,7%) dan yang paling sedikit adalah balita yang

berumur 49 – 60 bulan yaitu 5 orang (5,2%).

65

Tabel 4.6 Distribusi Balita Menurut Jenis Kelamin di Wilayah

Kerja Puskesmas Karang Pule Kota Mataram

No.

Jenis Kelamin N %

1 Laki-Laki 48 49.52 Perempuan 49 50.5

Total 97 100

Dari tabel 4.6 dapat diketahui bahwa jenis kelamin balita

perempuan lebih banyak yaitu sebanyak 49 orang (51.5%), sedangkan

balita laki-laki sebanyak 48 orang (49,5%).

Tabel 4.7 Distribusi Balita Menurut Status Gizi di Wilayah Kerja

Puskesmas karang Pule Kota Mataram

No.

Status Gizi n %

1 Baik 71 73.22 Tidak Baik 26 26.8

Total 97 100

*ket: untuk status gizi tidak baik meliputi balita yang memiliki gizi

kurang, gizi buruk dan gizi lebih

66

BaikKurang

status_gizi

80

60

40

20

0

Frequency

71

26

status_gizi

Dari tabel 4.7 dapat diketahui bahwa distribusi balita menurut

status gizi adalah balita yang berstatus gizi baik yaitu sebanyak 71

orang (73,2%) dan balita yang berstatus gizi tidak baik yaitu sebanyak

26 orang (26,8%).

Tabel 4.8 Distribusi Status Gizi berdasarkan Umur di Wilayah

Kerja Puskesmas Karang Pule Kota Mataram

No.

Status Gizi

Umur Total12-24 25-36 37-48 49-60 n %

N % n % n % N %1 Buruk 5 5.2 2 2.1 0 0 0 0 7 7.22 Kurang 7 7.3 6 6.2 4 4.1 0 0 17 17.5

67

3 Baik 43 44.3 14 14.4 9 9.3 5 5.2 71 73.24 Lebih 1 1 1 1 0 0 0 0 2 2.1

Dari table 4.8 dapat diketahui bahwa balita yang bestatus gizi

buruk paling banyak terdapat pada umur 12 - 24 bulan yaitu sebanyak

5 orang (5,2%) dan yang paling sedikit pada umur 37 – 48 dan 49 – 60

bulan yaitu 0 orang (0%). Balita yang berstatus gizi kurang lebih

banyak pada umur 12 – 24 bulan yaitu sebanyak 7 orang (7,3%) dan

yang paling sedikit pada umur 49 – 60 bulan yaitu 0 orang (0%).

Balita yang berstatus gizi baik lebih banyak pada umur 12 – 24 bulan

yaitu sebanyak 43 orang (44,3%) dan paling sedikit terdapat pada

umur 49 – 60 bulan sebanyak 5 orang (5.2%). Sedangkan balita yang

bestatus gizi lebih hanya terdapat pada usia 12 – 24 dan 25 – 36 yang

masing – masing berjumlah 1 orang (1%).

4.1.4 Pola Asuh

Pola asuh ibu dapat dilihat dengan menggunakan kuesioner

melalui wawancara kepada ibunya yang meliputi perhatian / dukungan

ibu dalam praktek pemberian makan, praktek kesehatan dan perawatan

anak dalam keadaan sakit. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :

68

Tabel 4.9 Distibusi Pola Asuh Responden Menurut Praktik

Pemberian makan di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Kota

Mataram

No.

Pemberian Makan

n %

1 Baik 75 77.32 Kurang 22 22.7

Total 97 100

BaikKurang

pemberian_makan

80

60

40

20

0

Frequency

75

22

pemberian_makan

Dari tabel 4.9 dapat diketahui bahwa pola asuh responden

menurut praktek pemberian makan lebih banyak pada kategori baik

yaitu sebanyak 75 orang (77,3%), sedangkan pada kategori kurang

sebanyak 22 orang (22,7%).

69

Tabel 4.10 Distribusi Praktek Pemberian Makan Berdasarkan

Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Kota Mataram

No. Pemberian Makan

Umur Total12-24 25-36 37-48 49-60 n %

N % N % n % n %1 Baik 45 46.4 15 15.5 10 10.3 5 5.2 75 77.32 Kurang 11 11.3 8 8.2 3 3.1 0 0 22 22.7

Dari tabel 4.10 dapat diketahui bahwa praktek pemberian

makan yang baik lebih banyak pada umur 12 - 24 bulan yaitu sebanyak

45 orang (46,4%) dan yang paling sedikit pada umur 49 – 56 bulan

yaitu 5 orang (5,2%). Sedangkan praktek pemberian makan yang

kurang lebih banyak pada umur 12 - 24 bulan yaitu sebanyak 11 orang

(11,3%) dan yang tidak terdapat pada umur 49 - 60 bulan.

Tabel 4.11 Distribusi Pola Asuh Responden Menurut Praktek

Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan

No.

Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan

n %

1 Baik 74 76.32 Kurang 23 23.7

Total 97 100

70

BaikKurang

kebersihan_dan_sanitasi_lingkungan

80

60

40

20

0

Frequency

74

23

kebersihan_dan_sanitasi_lingkungan

Dari tabel 4.11 dapat diketahui bahwa pola asuh responden

menurut praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan lebih banyak pada

kategori baik yaitu sebanyak 74 orang (76,3%), sedangkan pada

kategori tidak baik sebanyak 23 orang (23,7%).

Tabel 4.12 Distribusi Praktek Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan

Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule

No.

Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan

Umur Total12-24 25-36 37-48 49-60 n %

n % n % n % n %1 Baik 46 47.4 13 13.4 10 10.3 5 5.2 74 76.32 Kurang 10 10.3 10 10.3 3 3.1 0 0 23 23.7

71

Dari tabel 4.12 dapat diketahui bahwa praktek kebersihan dan

sanitasi lingkungan yang baik lebih banyak pada umur 12 - 24 bulan

yaitu sebanyak 46 orang (47,4%) dan yang paling sedikit pada umur 49

– 60 bulan yaitu 5 orang (5,2%). Sedangkan praktek kebersihan dan

sanitasi lingkungan yang kurang atau tidak baik lebih banyak pada

umur 12 – 24 bulan dan 25 – 36 bulan yaitu masing - masing sebanyak

10 orang (10,3%) dan tidak terdapat pada umur 49 - 60 bulan.

Tabel 4.13 Distribusi Pola Asuh Responden Menurut Perawatan

Anak Dalam Keadaan Sakit di Wilayah Kerja Puskesmas Karang

Pule

No.

Perawatan anak dalam Keadaan Sakit

n %

1 Baik 88 90.72 Kurang 9 9.3

Total 97 100

72

BaikKurang

perawatan_anak_dalam_keadaan_sakit

100

80

60

40

20

0

Frequency

88

9

perawatan_anak_dalam_keadaan_sakit

Dari tabel 4.13 dapat diketahui bahwa pola asuh responden

menurut perawatan anak dalam keadaan sakit lebih banyak pada

kategori baik yaitu sebanyak 88 orang (90,7%), sedangkan pada

kategori tidak baik sebanyak 9 orang (9.3%).

Tabel 4.14 Distribusi Perawatan Anak Dalam Keadaan Sakit

Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule

Kota Mataram

No.

Perawatan Anak Saat

Sakit

Umur Total12-24 25-36 37-48 49-60 n %

n % n % n % n %1 Baik 52 53.6 20 20.6 11 11.3 5 5.2 88 90.72 Kurang 4 4.1 3 3.1 2 2.1 0 0 9 9.3

73

Dari tabel 4.14 dapat diketahui bahwa perawatan anak dalam

keadaan sakit yang baik lebih banyak pada umur 12 - 24 bulan yaitu

sebanyak 52 orang (53,6%) dan yang paling sedikit pada umur 49 – 60

bulan yaitu 5 orang (5,2%). Sedangkan perawatan kesehatan yang

kurang atu tidak baik lebih banyak pada umur 12 - 24 bulan yaitu

sebanyak 4 orang (4,1%) dan tidak terdapat pada umur 49 - 60 bulan.

4.1.5 Analisa Bivariat

Hubungan Status Gizi Balita Berdasarkan Pola Asuh di

Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Kota Mataram

Analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara

variable bebas (independen) dan variable terikat (dependen) yaitu pola

asuh dengan status gizi, menggunakan tabel 2x2.

Tabel 4.15 Tabel Pola Asuh dan Status Gizi

Pola Asuh

Status Gizi

TOTALTidak Baik Baik

Kurang9 1 10

Baik17 70 87

TOTAL 26 71 97

74

RP = A/(A+B) : C/(C+D)

RP = 9/(9+1) : 17/(17+70)

= 9/10 : 17/87

= 0,9 : 0,19

= 4,73

= 5

Dari tabel silang dan perhitungan rasio prevalens di atas

diperoleh hasil rasio prevalens (RP) sebesar 5 (RP > 1), hal ini

menunjukkan bahwa variabel independen tersebut merupakan faktor

resiko yang mempengaruhi varibel dependen yang dalam hal ini

didapatkan bahwa pola asuh merupakan faktor resiko untuk

mempengaruhi tingkat status gizi sebesar 5 kali lipat.

Pengaruh pola asuh terhadap tingkat status gizi hasil uji

statistik menunjukkan bahwa pola asuh berpengaruh terhadap tingkat

status gizi. Hal ini ditunjukkan dari uji melalui uji chi-square dengan

nilai pada data sbb :

Tabel 4.16 Tabel Uji Chi-square

Uji Value Signifikansi (P-Value)Chi- Square 22.696 0.000

Sumber: Data primer yang diolah

75

Dari data tersebut diatas diperoleh nilai X2 hitung sebesar

22.696 dengan nilai signifikansi (P-Value) sebesar 0.000. Berdasarkan

hasil yang telah diperoleh, nilai signifikansi (0.000) < α (0,05)

sehingga H0 ditolak.

Tabel 4.17 Distribusi Status Gizi Berdasarkan Praktek Pemberian

Makan di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Kota Mataram

No.

Pemberian Makan

Status Gizi TotalρBuruk Kurang Baik Lebih n %

N % n % n % n %1 Kurang 7 7.2 13 13.4 2 2.1 0 0 22 22.7 0,0002 Baik 0 0 4 4.1 69 71.1 2 2.1 75 77.3

Dari tabel 4.17 dapat diketahui bahwa dari 75 ibu dengan

praktek pemberian makan yang baik terdapat 2 balita (2,1%) yang

bergizi lebih, 69 balita (71,1%) yang bergizi baik, 4 balita (4,1%) yang

bergizi kurang dan tidak terdapat balita yang bergizi buruk. Dari 22

ibu dengan praktek pemberian makan yang kurang terdapat 7 balita

(7,2%) yang bergizi Buruk, 13 balita (13,4%) yang bergizi kurang, 2

balita (2,1%) yang bergizi baik dan tidak terdapat balita yang bergizi

lebih.

76

Berdasarkan tabulasi silang diatas, analisa dengan uji statistik

Chi-square didapat nilai p < 0,1 (0,000) artinya terdapat hubungan

praktek pemberian makan dengan tingkat status gizi balita.

Tabel 4.18 Distribusi Status Gizi Berdasarkan Praktek Kebersihan

dan Sanitasi Lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas Karang

Pule Kota Mataram

No.

Kebersihan dan

Sanitasi

Status Gizi TotalΡBuruk Kurang Baik Lebih n %

N % n % n % n %1 Kurang 5 5.2 13 13.4 4 4.1 1 1 23 23.7 0,0002 Baik 2 2.1 4 4.1 67 69.1 1 1 74 76.3

Dari tabel 4.18 dapat diketahui bahwa dari 74 ibu dengan

praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan yang baik terdapat 1 balita

(1%) yang bergizi lebih, 67 balita (69,1%) yang bergizi baik, 4 balita

(4,1%) yang bergizi kurang dan 2 balita (2,1%) yang bergizi buruk.

Dari 23 ibu dengan praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan yang

kurang terdapat 5 balita (5,2%) yang bergizi Buruk, 13 balita (13,4%)

yang bergizi kurang, 4 balita (4,1%) yang bergizi baik dan 1 balita

(1%) yang bergizi lebih.

Berdasarkan tabulasi silang diatas, analisa dengan uji statistik

Chi-square didapat nilai p < 0,1 (0,000) artinya terdapat hubungan

77

praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan dengan tingkat status gizi

balita

Tabel 4.19 Distribusi Status Gizi Berdasarkan Perawatan Anak

Dalam Keadaan Sakit di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule

Kota Mataram

No.

Perawatan Anak Saat

Sakit

Status Gizi TotalΡBuruk Kurang Baik Lebih n %

n % n % n % n %1 Kurang 2 2.1 3 3.1 4 4.1 0 0 9 9.3 0,1202 Baik 5 5.2 14 14.4 67 69.1 2 2.1 88 99.7

Dari tabel 4.19 dapat diketahui bahwa dari 88 ibu dengan

perawatan anak dalam keadaan sakit yang baik terdapat 2 balita

(2,1%) yang bergizi lebih, 67 balita (69,1%) yang bergizi baik, 14

balita (14,4%) yang bergizi kurang dan 5 balita (5.2) yang bergizi

buruk. Dari 9 ibu dengan perawatan anak dalam keadaan sakit yang

kurang terdapat 2 balita (2,1%) yang bergizi Buruk, 3 balita (3,1%)

yang bergizi kurang, 4 balita (4,1%) yang bergizi baik dan tidak

terdapat balita yang bergizi lebih.

Berdasarkan tabulasi silang diatas, analisa dengan uji statistik

Chi-square didapat nilai p > 0,1 (0,120) artinya tidak terdapat

78

hubungan perawatan anak dalam keadaan sakit dengan tingkat status

gizi balita.

4.2 Pembahasan Penelitian

Menurut Engle (1997), pola asuh adalah kemampuan keluarga dan

masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan dalam

memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dari anak yang sedang tumbuh

dan anggota keluarga lainnya. Pola asuh responden meliputi praktek pemberian

makan, praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan dan perawatan anak dalam

keadaan sakit.

Status gizi anak adalah keadaan kesehatan anak akibat interaksi

antara makanan dalam tubuh dengan lingkungan sekitarnya. Nilai keadaan gizi

anak sebagai refleksi kecukupan gizi, merupakan salah satu parameter yang

penting untuk nilai tumbuh kembang fisik dan nilai kesehatan anak tersebut

(Santoso, 1999).

Dari hasil pengukuran terhadap balita dengan menggunakan indeks

BB/U (Berat Badan menurut Umur) yang disesuaikan dengan standar

antropometri PERMENKES ditemukan sebagian besar anak mempunyai status

gizi yang normal yaitu sebesar 73,2%, anak yang mempunyai status gizi kurang

79

17,5%, anak yang mempunyai status gizi buruk 7,2% dan anak yang

mempunyai status gizi lebih sebanyak 2,1%. Hal ini disebabkan karena ibu

selalu memperhatikan keadaan gizi dan kesehatan anaknya. Dilihat dari

dukungan/perhatian ibu terhadap praktek pemberian makan anak berada pada

kategori baik yaitu sebesar 77,3% dan praktek kesehatan dan sanitasi

lingkungan berada pada kategori baik 76,3%. Sedangkan anak yang mempunyai

status gizi yang kurang, buruk dan lebih diasumsikan karena ibu yang tidak

memperhatikan asupan gizi anak serta kesehatan anak dan dapat juga

disebabkan adanya penyakit infeksi yang semakin menambah buruk kondisi

kesehatan anak sehingga pertumbuhan anak terganggu.

4.2.1 Hubungan Pola Asuh Praktek Pemberian Makanan Dengan

Status Gizi

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan pola asuh

pemberian makan dengan status gizi adalah, dari hasil uji statistik chi

square ρ = 0,000 (ρ < 0,05 ) maka dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara pola asuh pemberian makan dengan

status gizi balita. Hal ini karena masyarakat dalam praktek pemberian

makan pada anak balita belum lengkap gizi 4 Sehat 5 Sempurna, tidak

memberikan makanan bervariasi kepada anak balita.

80

Pola asuh praktek pemberian makan yang baik sangat

mendukung tercapainya status gizi anak yang baik. Apabila anak

ditemukan dengan status gizi buruk pada praktek pemberian makan

baik kemungkinan disebabkan karena perawatan kesehatan anak yang

tidak baik, juga imunisasi tidak lengkap sehingga anak mudah

terserang penyakit dan dapat saja terjadi kekurangan gizi. Praktek

pemberian makan yang tidak baik ditemukan anak status gizi baik. Hal

ini, terjadi karena baik tidaknya status gizi anak dipengaruhi oleh

konsumsi makanan dan kesehatan. Dalam praktek pemberian makan

anak tidak baik, kemungkinan didukung oleh perawatan dan kesehatan

anak baik maka dapat menyebabkan status gizi baik.

Menurut Suharjo (1999), pemberian makan terhadap anak

bertujuan untuk mendapatkan zat gizi yang cukup. Zat gizi sangat

dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan jasmani serta

rohani, memelihara dan memulihkan kesehatan. Masalah kecukupan

gizi pada anak sangat penting, karena baiknya tumbuh kembang dan

kecerdasan otak anak sangat ditentukan cara perawatan makan sejak

bayi bahkan sejak dalam kandungan. Hasil penelitian ini sesuai

dengan penelitian Ariga (2006) menemukan bahwa ada

kecenderungan dengan semakin baiknya pola asuh pemberian makan,

81

maka status gizi anak juga semakin baik. Dari uji statistik Chi-Square

(p=0,034 (p<0,05%).

Menurut Sulistijani (2001), mengemukakann seiring dengan

bertambahnya usia anak. Ragam makanan yang diberikan harus

bergizi lengkap dan seimbang yang mana penting untuk menunjang

tumbuh kembang dan status gizi anak. Menurut Soekirman (1990),

menyatakan faktor yang mempengaruhi status gizi adalah kemiskinan,

tingkat pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, tingkat

pendidikan, tingkat pengetahuan, sosial budaya dan bencana alam. .

Jumlah anggota keluarga banyak merupakan faktor resiko

terjadinya kurang gizi, banyaknya anggota keluarga akan berpengaruh

persediaan pangan yang tidak merata dalam keluarga. Semakin besar

jumlah anggota keluarga, maka semakin besar penentuan persentase

pembelajaanya dalam keluarga termasuk untuk membelanjakan bahan

pangan seperti beras, sayur-sayuran, lauk pauk dan lain-lainnya,

apabila jika dibandingkan dengan jumlah anggota keluarga yang

sedikit.

4.2.2 Hubungan Pola Asuh Praktek Kebersihan dan Sanitasi

Lingkungan Dengan Status Gizi

82

Analisis statistik pola asuh praktek kebersihan dan sanitasi

lingkungan dengan status gizi, ada hubungan yang signifikan antara

praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan dengan status gizi,

dimana nilai ρ =0,000 (p < 0,05). Hal ini karena kebiasaan

responden pada praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan tidak

langsung mencuci botol susu, piring, dan gelas, membiarkan

peralatan dapur kotor, tidak memotong kuku anak seminggu sekali,

tidak ada saluran pembuangan air limbah, pembuangan sampah dan

WC di rumah.

Lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan

memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare,

cacingan, infeksi saluran pernapasan dan infeksi saluran pencernaan.

Apabila anak terjadi infeksi saluran pencernaan, penyerapan

makanan zat-zat gizi akan terganggu yang menyebabkan terjadinya

kekurangan gizi. Seseorang kekurangan gizi akan mudah terserang

penyakit, dan pertumbuhan anak akan terganggu.

Kesehatan lingkungan dan praktek kebersihan ibu yang buruk atau

tidak memenuhi syarat kesehatan dapat menyebabkan timbulnya berbagai

penyakit infeksi yang akhirnya mempengaruhi daya tahan tubuh sehingga

berujung jeleknya status gizi. Mewabahnya berbagai penyakit menular

83

seperti demam berdarah, diare, malaria mengambarkan salah satu adalah

buruknya kesehatan lingkungan.

Widaninggar (2003) menyatakan kondisi lingkungan anak harus

benar diperhatikan agar tidak menganggu kesehatan. Hal-hal yang perlu

diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan

rumah, kebutuhan ruangan, sinar matahari, air bersih, tempat pembuangan

sampah, saluran pembuangan air limbah dan lingkungan rumah.

Kebersihan, baik kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan

memegang peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Kebersihan

perorangan yang kurang, akan menyebabkan mudah terserang penyakit kulit

dan saluran pencernaan seperti diare, cacingan. Sedangkan kebersihan

lingkungan erat hubungannya dengan penyakit saluran pernapasan , saluran

pencernaan serta penyakit akibat nyamuk. Oleh karena itu penting membuat

lingkungan menjadi layak untuk tumbuh kembang anak sehingga anak

merasa aman bagi ibu/pengasuh anak dalam menyediakan kesempatan bagi

anak untuk mengeksplorasi lingkungan.

4.2.3 Hubungan Pola Asuh Perawatan Anak Dalam Keadaan Sakit

Dengan Status Gizi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh perawatan

anak dalam keadaan sakit dengan status gizi, dari hasil uji chi

square ρ = 0,120 (ρ > 0,05), sehingga dapat disimpulkan tidak ada

84

hubungan yang bermakna antara perawatan anak dalam keadaan

sakit dengan status gizi balita. Hal ini, bahwa praktek perawatan

kesehatan anak dalam keadaan sakit dengan status gizi sudah baik.

Perawatan kesehatan anak yang baik ibu memberikan makanan

yang bergizi, kelengkapan imunisasi, kebersihan diri anak dan

lingkungan dimana anak berada, serta upaya ibu dalam mencari

pengobatan terhadap anak apabila sakit ibu membawa anak

kepelayanan kesehatan seperti kerumah sakit, klinik, puskesmas,

dan polindes.

Tindakan perawatan anak dalam keadaan sakit anak

membutuhkan perawatan dan perhatian lebih dari orang tua,

selama anak sakit akan mempengaruhi pola makan balita sehingga

mempengaruhi status gizi. Asupan makanan dalam tubuh selama

balita sakit menjadi lebih sedikit dan tidak seimbang karena ada

sebagian orang tua masih memberikan pantangan pada balita untuk

makanan yang mengandung gizi tinggi. Apa bila anak terganggu

kecukupan gizi karena anak sulit makan sehingga daya tahan

tubuh menurun anak menjadi rentan terhadap penyakit, lingkungan

yang bersih sangat mendukung terhadap kesehatan anak.

85

Soetjiningsih (1995), mengatakan bahwa kesehatan anak harus

mendapat perhatian dari para orang tua, yaitu dengan segera membawa

anak yang sakit ketempat pelayanan kesehatan yang terdekat. Praktek

perawatan kesehatan yang baik dapat ditempuh dengan cara

memperhatikan gizi anak, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana

anak berada serta upaya ibu dalam hal mencari pengobatan terhadap

anak apabila anak sakit. Menurut Satoto (1990), dalam memberikan

makanan (feeding) dan perawatan (caring) yang benar untuk mencapai

status gizi yang baik melalui pola asuh yang baik dilakukan ibu

kepada anaknya sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan anak.

86

4.2.4 Keterbatasan Penelitian

1. Dalam pelaksanaan penelitian terdapat beberapa hambatan.

Hambatan adalah pada saat pengukuran kebisingan tidak semua

mesin dioperasikan sehingga kebisingan diukur hanya pada mesin

yang dioperasikan. Oleh karena itu kebisingan bagian pengolahan

kayu pada waktu penelitian belum mewakili keadaan sebenarnya.

2. Keterbatasan waktu karena penelitian dilakukan pada waktu kerja,

pekerja yang sedang bekerja dan pengukuran juga dilakukan setelah

bekerja menggunakan alat-alat pengolahan kayu tersebut.

3. Ketelitian dan kejujuran dari tenaga kerja dalam mengisi kuesioner

sehingga tidak menutup kemungkinan adanya jawaban yang tidak

mewakili keadaan sebenarnya dan hal ini dapat mempengaruhi dari

hasil penelitian.

4. Penelitian yang dilakukan sedikit mengganggu karna dilakukan pada

waktu kerja.

87

5. Data kesehatan sebelum bekerja dan selama bekerja tidak ada

sehingga tidak adanya kejelasan riwayat penyakit tenaga kerja

tersebut.

88

BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan

1. Dari hasil pengukuran kebisingan pada industri pengolahan kayu sebagian

besar tenaga kerjamengalami gangguan pendengaran sementara (themporary

threshold shift).

2. Dari hasil pengukuran kebisingan pada industi pengolahan kayu sebagian

besar tenaga kerja tidak mengalami gangguan pendengaran sementara

(themporary threshold shift) yaitu sebesar 22,6%.

3. Dari hasil pengukuran kebisingan pada industi pengolahan kayu sebagian

besar tenaga kerja mengalami gangguan pendengaran sementara (themporary

threshold shift) yaitu sebesar 77,4%.

4. Dari hasil pengukuran kebisingan pada industi pengolahan kayu sebagian

besar tenaga kerja mengalami gangguan pendengaran menetap (permanent

threshold shift) yaitu sebesar 0%

5. Didapatkan nilai X2 hitung sebesar 13.480 dengan nilai signifikansi (Asymp.

Sig. (2-sided)) sebesar 0.036. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, terlihat

bahwa nilai X2hitung (13.480) > X2

tabel (12.592) serta nilai signifikansi (0.036) <

α (0,05) sehingga H0 ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada

89

hubungan antara kebisingan dengan themporary threshold shift pada tenaga

kerja pengolahan kayu di wilayah Gunungsari.

6. Dari hasil penghitungan rasio prevalens didapatkan bahwa RP= 2 (RP>1),

yang dalam hal ini berarti kebisingan merupakan faktor resiko yang

menyebabkan terjadinya themporary threshold shift.

7.

90

5.2. Saran

1. Bagi perusahaan atau industri hendaknya memberikan pelatihan dan

penyuluhan kepada tenaga kerja tentang gangguan kesehatan akibat bising

agar selama bekerja selalu memakai alat pelindung telinga (earplug, earmuff)

maupun alat pelindung lainnya.

2. Diadakan pemeriksaan kesehatan secara berkala pada tenaga kerja khususnya

diadakan pemeriksaan audiometri agar kesehatan tenaga kerja terjamin

dengan baik.

3. Diharapkan bagi pihak industri untuk memperbaiki pola kerja misalnya

seperti pergantian shift teratur dan tidak melebihi paparan yang harus

didengar setiap harinya yaitu sesuai dengan KEPMENAKER No.Kep-51

MEN/1999 yaitu dalam pekerjaan sehari-hari waktu tidak melebihi 8 jam

sehari atau 40 jam seminggu sehingga gangguan pendengaran menjadi

minimal.

4. Hasil pengukuran tingkat kebisingan pabrik perlu dievaluasi setiap tahun

untuk melihat perkembangan dan perubahan yang terjadi dan dapat

mengendalikan tingkat kebisingan yang sangat tinggi.