Hukum Adat Lengkap

Embed Size (px)

Citation preview

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Komunitas Adat Terpencil dapat dipahami sebagai komunitas manusia yang menghadapi berbagai keterbatasan untuk dapat menjalani kehidupan sebagaimana masyarakat pada umumnya. Mereka mendiami daerah-daerah yang secara geografis relatif sulit dijangkau, seperti: pegunungan, hutan, lembah, muara sungai, pantai dan pulau-pulau kecil. Mereka hidup dalam kondisi yang sangat terbatas, baik dalam pemenuhan kebutuhan sosial dasar, sosial-psikologis dan pengembangan. Sebagian dari mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain atau nomaden. Mereka menjalani kehidupan dengan cara-cara yang sangat sederhana, dan jenis kegiatan ekonomi yang ditekuninya seperti pertanian, nelayan, berburu dan berburu. Mereka mengalami keterbatasan untuk dapat mengakses pelayanan sosial, ekonomi dan politik (Dit PKAT, 2003).

Sebagai respon atas kondisi kehidupan KAT tersebut, Departemen Sosial RI telah menyelenggarakan program pemberdayaan terhadap mereka yang dimulai sejak tahun 1972, dimana pada saat itu digunakan istilah masyarakat terasing. Meskipun demikian sampai dengan tahun 2006 populasi KAT masih cukup besar, yaitu 267.550 KK atau sekitar 1,1 juta jiwa. Dari jumlah tersebut yang belum diberdayakan masih banyak, yaitu 193.185 KK atau 72 persen, sudah diberdayakan mencapai 61.188 KK atau 23 persen dan yang sedang diberdayakan mencapai 13.177 KK atau 5 persen. Meskipun program pemberdayaan telah dilakukan, namun capaian tujuan program belum secara optimal menyentuh persoalan pokok kehidupan anggota KAT. Mereka memang telah berdaya secara sosial-ekonomi, namun masih belum berdaya secara politis dan hukum. Sesuai dengan ketentuan Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 pada artikel ke dua (2) disebutkan, bahwa negara sudah seharusnya bertanggungjawab untuk memberi perlindungan hak azasi dan kesempatan yang sama melalui peraturan hukum baik di tingkat nasional maupun daerah, serta regulasi-regulasi kebijakan lainnya. Pemerintah Indonesia telah merespon Konvensi tersebut dengan diundangkannya Keputusan Presiden RI No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI tersebut, Departemen Sosial sebagai instansi sektoral yang bertanggung jawab terhadap kondisi kehidupan KAT, mengeluarkan berbagai keputusan dan peraturan yang di dalamnya secara substansial mengatur pelaksanaan pemberdayaan KAT. Namun demikian dalam implementasinya belum secara optimal memberdayakan KAT, termasuk dalam hal pemberian hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum. Berdasarkan hasil penelitian UNDP tahun 2006 tentang Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia yang dilakukan di 10 provinsi, ditemukan beberapa informasi berikut:

1. Adanya ketidaktahuan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah melalui instansi dan dinas yang mengurusi masyarakat adat terhadap produk hukum daerah mengenai masyarakat adat yang sedang berlaku di daerahnya.

2. Hampir semua dinas yang mengurusi bidang kesejahteraan sosial bagi KAT yang didatangi mengaku tidak mengetahui produk hukum daerah mengenai adat-istiadat, lembaga adat dan hak ulayat yang tengah berlaku di daerahnya.

3. Menunjukkan bahwa produk hukum daerah tersebut tidak pernah digunakan oleh dinas dan instansi daerah untuk mendesak tersedianya dana bagi pemberdayaan KAT.Dewasa ini keberadaan KAT tidak hanya menjadi persoalan nasional, akan tetapi sudah menjadi persoalan global. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1995 telah mengeluarkan Declaration on the Rights of Indigenous Peoples sebagai landasan moral bagi setiap negara dalam rangka memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap KAT. Dalam deklarasi tersebut diatur secara rinci ke dalam 45 pasal, yang sebagian besar mengatur hak-hak KAT sebagai komunitas manusia maupun sebagai bagian dari warga negara. Deklarasi PBB tersebut semakin memperkuat tuntutan terhadap negara, baik dari dalam negeri maupun dunia internasional, untuk memberikan pelayanan dan perlindungan bagi KAT.

Dalam rangka merespon berbagai tuntutan terhadap pelayanan dan perlindungan KAT di Indonesia, maka sangat diperlukan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi lagi dari Keputusan Presiden RI, yaitu berupa Undang-Undang (UU KAT). Undang-undang ini akan menjadi payung hukum secara nasional yang akan menjadi acuan dasar bagi pemerintah maupun masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap KAT. Selain itu, adanya Undang-Undang KAT ini memperlihatkan kesungguhan negara Indonesia di mata dunia internasional dalam upaya memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap KAT, sebagaimana di negara-negara di dunia. Dengan demikian, adanya Undang-Undang KAT ini ke dalam negeri sebagai dasar hukum pengakuan dan tanggung jawab negara terhadap KAT; dan ke dunia internasional sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap isu-isu global dan menjadi komitmen di dalam Development Mellineum Goals (MDCs) yanga antara lain kemiskinan, ketelantaran dan keterbelakangan. Dalam kerangka itu, maka Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Departemen Sosial RI melaksanakan kegiatan : INVENTARISASI PERATURAN DAERAH TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT. Ada tiga aspek yang menjadi perhatian dalam kegiatan ini, yaitu (1) bentuk kongkrit pengakuan hukum terhadap KAT dalam bentuk tertulis (Peraturan, Perundangan, Perda, Pedoman, Juklak/Juknis) maupun tidak tertulis yang berlaku di masyarakat, (2). bagaimana implementasi pengakuan hukum terhadap KAT tersebut di lapangan dan (3). kendala apa yang dihadapi dalam pengakuan hukum terhadap KAT

B. PERMASALAHAN

Pengakuan hukum terhadap keberadaan dan perlindungan bagi KAT belum tergambar secara jelas, untuk itu diperlukan penelusuran guna mencari tahu tentang:

PENGATURAN-PENGATURAN HUKUM DILIHAT DARI ASPEK SOSIAL BUDAYA YANG BERLAKU DALAM MASYARAKAT SEBAGAI BAHAN PENYUSUNAN RUU KAT/MASYARAKAT HUKUM ADAT/ MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA

Berdasarkan permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan berikut :

1.Bagaimana bentuk kongkrit pengakuan hukum terhadap KAT dalam bentuk tertulis (Peraturan, Perundangan, Perda, Pedoman, Juklak/Juknis) maupun tidak tertulis yang berlaku di masyarakat ?)2.Bagaimana implementasi pengakuan hukum terhadap KAT tersebut, di lapangan?

3.Kendala apa yang dihadapi dalam pengakuan hukum terhadap KAT

4.Bagaimana harapan pemangku kepentingan (stakeholder) akan realisasi dari pengakuan hukum tersebut?

5. Bagaimana kerangka konsep yang holistik sebagai acuan penyusunan RUU KAT ?

C. TUJUAN DAN MANFAATInventarisasi data dalam rangka pengembangan hukum terhadap KAT bertujuan untuk :

1.Mengidentifikasi bentuk kongkrit pengakuan hukum terhadap KAT dalam bentuk tertulis (Peraturan, Perundangan, Perda, Pedoman, Juklak/Juknis) maupun tidak tertulis yang berlaku di masyarakat2.Diketahuinya implementasi pengakuan hukum terhadap KAT tersebut, di lapangan

3.Mengidentifikasi kendala yang dihadapi dalam pengakuan hukum terhadap KAT

4.Mengidentifikasi harapan pemangku kepentingan (stakeholder) akan realisasi dari pengakuan hukum tersebut

Hasil inventarisasi data tentang pengakuan hukum terhadap KAT ini digunakan sebagai bahan penyusunan kerangka konsep yang holistik untuk acuan penyusunan RUU KAT di Indonesia.

D. METODE YANG DIGUNAKAN 1. Metode

Inventarisasi data ini merupakan penelitian eksploratif. Studi eksploratori dilaksanakan untuk mengungkapkan suatu fenomena atau masalah dimana pengetahuan yang jelas atau gagasan-gagasan yang dapat digunakan sukar didapat. Menurut Suhartono (1995), studi eksploratori tekanan utamanya untuk menemukan ide (gagasan) atau pandangan. Pada akhir studi penjajagan, diharapkan dapat merumuskan masalah studi dengan lebih tepat, atau hipotesis penelitian untuk diuji dalam penelitian lebih lanjut.Pengumpul data akan membaca dan menganalisis terhadap bahan primer maupun sekunder yang ditemukan selama kegiatan berlangsung, Bahan-bahan tersebut berupa pengakuan hukum terhadap KAT, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. 2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui:

a.Studi Pustaka

Serangkaian kegiatan penelusuran bukti-bukti tertulis yang relevan dengan tujuan.

b. Wawancara Mendalam

Serangkaian kegiatan melakukan tatap muka dan komunikasi dengan informan yang terkait pengakuan hukum terhadap KAT.

3. Informan

Informan dalam penelitian ini adalah :

a. Di tingkat Provinsi meliputi :

1). Biro Hukum dan Perundang-Undangan Provinsi

2). Sekretariat Dewan tingkat I

3). Bappeda Provinsi

4). Ketua Lembaga Adat Provinsi

5). Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi

6). LSM/NGO yang peduli KAT/Masy. Adat/ Masy. Hukum Adat

7). Instansi-Instansi terkait ( Sosial, Agama, Pariwisata, pendidikan, kehutanan, BPN, dll).

b. Di tingkat Kabupaten meliputi :

1). Biro Hukum dan Perundang-Undangan Kab.

2). Sekretariat Dewan tingkat II

3). Bappeda Kab.

4). Ketua Lembaga Adat Kab.

5). Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi

6). LSM/NGO yang peduli KAT/Masy. Adat/ Masy. Hukum Adat

7). Instansi-Instansi terkait ( Sosial, Agama, Pariwisata, pendidikan, kehutanan, BPN, dll).4. Lokasi KajianKajian dalam rangka inventarisasi Peraturan Daerah (Perda) dan Hukum Adat ini dilakukan di beberapa provinsi di Indonesia, yaitu:

a. NAD

b. Sumatera Utara

c. Sumatera Barat

d. R i a u

e. Jambi

f. Banten

g. Kalimantan Barath. Kalimantan Timuri. Kalimantan Tengah

j. Sulawesi Selatan

k. Bali

l. Nusa Tenggara Barat

m. Nusa Tenggara Timur

n. Papua

5. Teknik Analisa DataAnalisis data dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini memaknai informasi yang dihimpun berdasarkan kajian teoritis. Prosesnya dimulai dari mengumpulkan instrumen yang telah diisi dari lapangan, dan kemudian dicermati aspek-aspek dan karakteristik informasinya. Selanjutnya dipilah menurut aspek-aspek dan diberikan interpretasi pada setiap aspek tersebut sesuai dengan tujuan kajian yang telah ditetapkan.E. SISTEMATIKA

Laporan ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :

Bab I, Pendahuluan, di dalamnya memuat tentang pendahuluan, permasalahan, tujuan dan manfaat, metode yang digunakan dan sistematika penulisan laporan.

Bab II, Masyarakat dan Kebudayaan dalam Konteks Pemberdayaan Sosial, di dalamnya memuat konsep tentang adat dan hukum, masyarakat, wilayah KAT, sistem, kebudayaan dan kewilayahan.

Bab III, Peraturan Daerah dan Hukum Adat, di dalamnya memuat peraturan daerah dan hukum adat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua.

Bab IV, Dimensi Yuridis dan Empiris Masyarakat Hukum Adat, di dalamnya memuat dimensi yuridis dan empiris masyarakat hukum adat.

Bab V, Penutup, di dalamnya memuat kesimpulan dan saran perlunya Peraturan Daerah dalam Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat.

BAB II

MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

DALAM KONTEKS PEMBERDAYAAN SOSIAL

A. ADAT DAN HUKUM

Apabila kita berbicara tentang adat custom berarti kita berbicara tentang wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan serta hukum yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem yaitu sistem budaya.

Sementara adat-istiadat (customs) merupakan kompleks konsep serta aturan yang mantap dan terintegrasi kuat dalam sistem budaya dari suatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam kehidupan sosial kebudayaan itu.

Hukum (law) adalah sistem pengendalian kehidupan masyarakat yang terdiri atas aturan adat, undang-undang, peraturan-peraturan, dan lain-lain norma tingkahlaku yang dibuat, disahkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berwenang dalam masyarakat yang bersangkutan.

Hukum adat (customary law) adalah bagian dari hukum, ialah hukum tidak tertulis dalam suatu masyarakat yang biasanya bermata pencaharian pertanian di daerah pedesaan. Hukum adat terjadi dari keputusan-keputusan orang-orang berkuasa dalam pengadilan.

A.W. Wijaya dalam tulisannya yang berjudul Manusia, Nilai Tradisional dan Lingkungan, berperspektif bahwa hukum adat adalah norma lama yang masih terdapat dimana-mana di daerah dan di dalam masyarakat yang merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Norma lama/hukum adat akan dapat diterima sepanjang ia akan dapat meningkatkan dirinya bagi kehidupan masyarakat. Pengelolaan lingkungan hidup tentu saja dengan memperhatikan norma lama/hukum adat yang berkembang di dalam masyarakat sebagai kepribadian sesuai nilai-nilai tradisional yang ada. Kita masih tetap memegang nilai tradisional, walaupun nilai-nilai baru sebagai akibat kemajuan dan kelancaran komunikasi dan kemudahan informasi akan sangat banyak mempengaruhi nilai tradisional. Pelestarian norma lama bangsa adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, luwes dan selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang.

Dengan demikian hukum akan selalu terkait dengan nilai, norma dan keorganisasian tradisional maupun yang modern serta perlindungan yang bersifat penataan keseluruhan.

B. MASYARAKAT

Masyarakat (society) adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan. WJS Poerwadarminta (KUBI), PN. Balai pustaka 1982 halaman 636 menyebutkan:

Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (sehimpunan orang yang hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan ikatan-ikatan yang tertentu). Masyarakat adalah sekelompok orang yang mempunyai identitas sendiri, yang membedakan dengan kelompok lain dan hidup dan diam dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini baik sempit maupun luas mempunyai perasaan akan adanya persatuan di antara anggota kelompok dan menganggap dirinya berbeda dengan kelompok lain. Mereka memiliki norma-norma, ketentuan-ketentuan dan peraturan yang dipatuhi bersama sebagai suatu ikatan. Perangkat dan pranata tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi kebutuhan kelompok dalam arti luas. Jadi secara luas bahwa dalam masyarakat terdapat semua bentuk pengorganisasian yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya (masyarakat tersebut).

Lingkungan masyarakat adalah suatu bagian dari suatu lingkungan hidup yang terdiri atas antar hubungan individu dengan kelompok dan pola-pola organisasi serta segala aspek yang ada dalam masyarakat yang lebih luas dimana lingkungan sosial tersebut merupakan bagian daripadanya. Lingkungan sosial dimaksud dapat terwujud sebagai kesatuan-kesatuan sosial atau kelompok-kelompok sosial, tetapi dapat juga terwujud sebagai situasi-situasi sosial yang merupakan sebahagian dari dan berada dalam ruang lingkup suatu kesatuan atau kelompok sosial.

Dalam setiap masyarakat, jumlah kelompok dan kesatuan sosial itu bukan hanya satu, sehingga seorang warga masyarakat bisa termasuk dalam dan menjadi bagian dari berbagai kelompok dan kesatuan sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Bisa masuk dalam kesatuan kekerabatan, anggota organisasi tempat tinggal, anggota organisasi di tempat kerja, anggota perkumpulan tertentu, dsb. Dari itu macam-macam masyarakat bisa berdimensi sbb:

1. Masyarakat industri (Industrial society);

2. Masyarakat petani (Peasant society);

3. Masyarakat majemuk (Plural society);4. Masyarakat tidak bertempat tinggal tetap (nomadic society);

5. Masyarakat produksi dan konsumsi sendiri (subsistens society);

6. Masyarakat modern (Modern society);

7. Masyarakat tradisional (traditional society)

8. Masyarakat konkrit (concrete society);9. Masyarakat abstrak (abstract society);

10. Masyarakat feodal (feudal society);

11. Masyarakat irigasi (hydraulic society)

12. Masyarakat berburu dan peramu (extractive society) Di dalam masyarakat terdapat struktur sosial yaitu pola hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Sesuai dengan penggolongan dalam kebudayaan yang bersangkutan dan yang berlaku menurut masing-masing pranata dan situasi-situasi sosial dimana interaksi sosial itu terwujud.

C. WILAYAH KATWilayah KAT berdasarkan ciri-ciri geografisnya dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Daerah pedalaman (hinterland) yaitu daerah yang jauh dari pantai dan laut yaitu mereka yang hidup di paling hulu-hulu sungai di daerah landai atau dekat kaki lereng gunung atau dipuncak-puncak gunung;

2. Daerah di paling hilir sungai dekat pantai yang jauh dari perjumpaan desa masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat;

3. Daerah pedalaman dengan areal luas yang pola kehidupannya berburu dan meramu atau bercocoktanam maupun kecakapan lainnya yang jauh dari perjumpaan desa masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat;

4. Daerah pedalaman dengan areal luas yang pola kehidupannya berburu dan meramu atau bercocoktanam maupun kecakapan lainnya yang tidak terlalu jauh dari dan enggan memanfaatkan perjumpaan desa masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat terdekat;

5. Daerah yang masyarakatnya hidup di pulau-pulau terpencil yang jauh dari jangkauan masyarakat kepulauan lainnya yang berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat;

D. SISTEM

Sistem (system) adalah rangkaian hal, kejadian, gejala, atau unsur yang berkaitan satu dengan lain sehingga merupakan kesatuan organis. Sistem budaya (cultural system) yaitu rangkaian gagasan, konsepsi, norma, adat-istiadat yang menata tingkahlaku manusia dalam masyarakat dan yang merupakan wujud ideologis kebudayaan.

Sistem nilai budaya (cultural value system) yaitu rangkaian gagasan dan konsep manusia mengenai masalah-masalah dasar dalam hidup yang dipandangnya paling penting dan bernilai sehingga dijadikan pedoman tingkah laku manusia.

E. KEBUDAYAAN

Sementara itu kebudayaan (culture) adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur universal, yaitu: bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian dan tersistem dalam tiga wujud ialah: ide, aktivitas, dan kebendaan yang masing-masing biasanya disebut sistem budaya atau sistem adat istiadat, sistem sosial dan kebudayaan kebendaan. Jika kebudayaan tersebut diskemakan ke dalam sistem kebudayaan akan terlihat sebagai berikut: AGAMA

ILMU PENGE

TAHUAN

KESENIAN

TEKNOLOGI

BAHASA &

EKONOMI

KOMUNIKASI

(ARTEFAK)

ORGANISASI

SOSIAL

Keseimbangan pengaruh diantara satu unsur dengan unsur lainnya akan melahirkan kemantapan dengan ciri kemajuan secara proporsional yang layak. Sebaliknya, jika salah satunya memberi unsur lebih dominan, maka unsur lainnya akan dikendalikan oleh unsur dominan tersebut. Jika pada unsur dominan tersebut tidak mempunyai perangkat yang lengkap dan elastis dalam merespon kebutuhan unsur kebudayaan lainnya, saat itulah awal keguncangan kebudayaan sekaligus kegoncangan kehidupan.

Apabila komponen-komponen ini dijadikan acuan setidaknya penuntun untuk mencari data di lapangan yaitu komponen apa sajakah (Agama, Ilmu Pengetahuan, Ekonomi, Tehnologi, Organisasi Sosial, Bahasa dan Komunukasi serta Kesenian yang telah terpayungi oleh hukum dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah di berbagai Kabupaten/Kota yang terdapat di Indonesia.

1. Sistem Agama (religious system) adalah rangkaian jaringan umat beragama dengan keyakinan mengenai alam gaib, aktivitas ritual dan seremonialnya serta sarana yang berungsi melaksanakan komunikasi manusia dengan kekuatan-kekuatan dalam alam gaib melalui kejiwa-emosian keagamaan yang diintensikan. Komponennya meliputi:

a. Umat beragamanya;

b. Sistem keyakinannya

c. Sistem ritual dan seremonialnya

d. Sistem peralatan ritus dan seremonialnya

e. Sistem kejiwaan dan emosi keagamaannya

2. Sistem organisasi sosial (Social organization system) adalah semua aspek aktivitas perilaku berpola yang telah membudaya dalam interaksi manusia dalam suatu masyarakat yang diperankan melalui nilai, norma, serta wadah struktur keorganisasian yang dibentuk. Macam-macamnya adalah :a. Kesatuan-kesatuan yang hidup dalam masyarakat;

b. Penyebaran warga masyarakat dan pemukimannya;

c. Wilayah mata pencaharian anggota masyarakat;

d. Struktur dan Kepemimpinan dalam masyarakat

e. Aturan Hukum (termasuk kearifan lokal)f. Sistem kekerabatan3. Sistem tehnologi (Technological system) yaitu rangkaian konsep serta aktivitas mengenai pengadaan, pemeliharaan dan penggunaan sarana-sarana hidup manusia dalam kebudayaannya. Macam-macamnya meliputi:a. Tehnologi/peralatan hidup pengolahan alam sebagai mata pencaharian;

b. Tehnologi untuk pembuatan perumahan dan jalan

c. Tehnologi untuk alat dan kendaraan komunikasi

d. Tehnologi untuk kepentingan tempat dan peralatan ritual keagamaan;

4. Sistem pengetahuan (System of knowledge) yaitu semua hal yang diketahui oleh manusia dalam suatu kebudayaan mengenai lingkungan alam maupun sosialnya menurut asas-asas susunan tertentu. Macam-macamnya meliputi:

a. Alam benda mencakup : Darat, udara dan laut;

b. Alam hewan dan tumbuhan: Tempat dan fungsinya;

c. Alam manusia : Manusia hidup dan manusia mati;

d. Alam gaib: Tuhan/Dewa/Makluk halus dan makhluk gaib lainnya yang terkait;

e. Hubungan a sampai d : fungsi , hak dan kewajiban masing-masing

f. Lembaga kependidikan yang berkaitan dengan transformasi pengetahuan

5. Sistem ekonomi (Economic system) yaitu seluruh rangkaian norma, adat istiadat, aktivitas, mekanisme, dan sarananya yang berkaitan dengan usaha memproduksi, menyimpan, dan mendistribusi barang kebutuhan hidup manusia. Dengan variasinya adalah : a. Ekonomi perburuan dan peramuan (huntering and gathering economy);

b. Ekonomi peladangan berpindah (shifting cultivation; swidden agriculture economy)

c. Ekonomi bercocok tanam menetap (work the soil permanent economy)

d. Ekonomi Maritim

e. Ekonomi tukar komponen kebutuhan (barter economy)

f. Ekonomi Pasar/Uang (Market/Money economy)

g. Ekonomi Gambar (Picture economy)

h. Ekonomi Komunikasi (Communication economy)

i. Ekonomi Tehnologi Internet (Internet economy)Nomor a) sampai d) merupakan ekonomi subsisten (tradisional) dan e) sampai i) merupakan ekonomi pasar (modern).

6. Sistem bahasa dan komunikasi (Language and Communication system) yaitu sistem perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia, dan yang digunakan sebagai sarana interaksi antar manusia. Macam-macamnya meliputi:

a. bahasa daerah (local language);

b. bahasa isyarat (gesture language);

c. bahasa kanak-kanak (children language) ;

d. bahasa lisan (spoke language) ;

e. bahasa nasional (national language);

f. bahasa pasar (market language);

g. bahasa perantara (lingua franca);

h. bahasa remaja (teenagers language);

i. bahasa resmi (formal language)

j. bahasa tak resmi (inormal language);

k. bahasa santai (relax language);

l. bahasa sopan santun (polite language);

m. bahasa tertulis (written language);

n. bahasa ilmiah (scientific language);

o. bahasa upacara adat istiadat (customs language); 7. Sistem kesenian ( Art system) yaitu jaringrangkai keahlian dan ketrampilan manusia untuk mengekspresikan dan menciptakan komponen-komponen yang indah serta bernilai. Macam-macamnya meliputi:

a. seni anyam (basketry);

b. seni bangunan ( architecture);

c. seni arca (sculpture);

d. seni batik (batic art);

e. seni drama/sandiwara (drama);

f. seni ikat (ikat technique);

g. seni instrumental (instrumental music);

h. seni kesusasteraan (literature);

i. seni karawitan;

j. seni lukis (painting);

k. seni menggambar (drawing);

l. seni merias (make-up art);

m. seni menghias (decorative art);

n. seni mozaik (mozaic);

o. seni pahat (relief);

p. seni patung (sculpture);

q. seni puisi/pantun (poetry);

r. seni prosa (prose);

s. seni tari (dance);

t. seni tenun (weaving);

u. seni ukir ( engraving);

v. seni suara (voice/sing art);F. Kewilayahan

Adapun unsur wilayah meliputi: Batas antar satu wilayah dengan lainnya; pembahagian wilayah bagi peruntukan : pemukiman, lapangan mata pencaharian/tanah ulayat, fasilitas umum (Sekolah, rumah sakit, kantor desa, tempat kesenian masyarakat, rekreasi, olah raga, cagar budaya/lokasi lindung, dll). Dengan demikian kewilayahan meliputi tiga lingkungan yang saling terkait sebagai berikut :a. Lingkungan alam;

b. Lingkungan kebudayaan;

c. Lingkungan sosial

d. Lingkungan ekonomi

BAB III

PERATURAN DAERAH DAN HUKUM ADAT

Pada bab III dipaparkan Hukum Tertulis yang bersumber dari Peraturan Daearah (Perda) dan Hukum Tidak Tertulis yang bersumber dari hukum adat di beberapa provinsi yang menjadi lokasi kajian. Pemaparan hasil kajian dilakukan per provinsi, sehingga diperoleh informasi yang lengkap pada masing-masing provinsi. Hal ini sekaligus akan menggambarkan apresiasi dan komitmen daerah dalam pemberdayaan masyarakat hukum adat/masyarakat adat/Komunitas Adat Terpencil sebagai bagian dari pembangunan manusia.

Pada pemaparan hasil kajian di bab III ini digunakan istilah masyarakat hukum adat yang juga menunjuk pada masyarakat hukum adat maupun Komunitas Adat Terpencil. Penggunaan istilah masyarakat hukum adat semata-mata untuk kepraktisan pemaparan hasil kajian dalam laporan ini.

A. PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

1. Kewilayahan

Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang secara khusus mengatur kewilayahan Masyarakat hukum adat sampai saat ini belum ada. Namun demikian, secara informal pemerintah provinsi maupun kabupaten memberikan pengakuan terhadap wilayah dimana Masyarakat hukum adat mengatur pemerintahannya. Selain itu Pemerintah Daerah juga mengakui adanya wilayah yang dikuasai secara kolektif oleh Masyarakat hukum adat yang dikenal dengan tanah ulayat.

2. Kebudayaan

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang dikenal dengan sebutan serambi Makkah, telah menerapkan aturan-aturan hukum Islam bagi warga masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi NAD tahun 2007 20012 pada butir 1 ditegaskan, bahwa .....lembaga keagamaan harus menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi masing-msing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang.

Organisasi sosial dan perkumpulan sosial serta perkumpulan adat berkembang dengan baik. Pada ayat 3 dari RPJM Provinsi NAD ditegaskan, bahwa : .......lembaga adat harus menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi masing-masing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang. Kemudian pada ayat 1 menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian lebih secara seksama dan mendukung upaya-upaya untuk mengembangkan adat istiadat dan budaya Aceh.Di dalam RPJM Provinsi NAD di bidang ekonomi pada butir 3) ditegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian serius pada pengembangan ekonomi kerakyatan untuk mencapai keadilan di bidang ekonomi. Kemudian di bidang sumber daya alam pada butir 2) ditegaskan, bahwa .... jika HPH hanya memberikan kepada pengusaha, maka di masa mendatang, Pemerintah Aceh akan menciptakan sistem pengelolaan hutan yang dikelola sendiri oleh rakyat secara lestari, berkesinambungan dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat Aceh sendiri.

Kemudian berkenaan dengan komunikasi dan seni budaya, pada ayat 1 juga menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian secara seksama dan mendukung upaya-upaya untuk mengembangkan adat istiadat dan budaya Aceh. Antara lain mendorong rakyat untuk menghidupkan kembalai tata cara sopan santun ke-Aceh-an dalam keluarga, dan menyelanggarakan secara reguler festival dan seni Aceh.

3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum

a. Implementasi

Implementasi pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat dari Pemerintah Daerah secara yuridis (Perda) belum ada. Pengakuan ditemukan secara tertulis pada ayat 3 dari RPJM Provinsi NAD ditegaskan, bahwa : .......lembaga adat harus menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi masing-masing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang.

b. Kendala

Belum tersedianya Peraturan Daerah yang secara khusus dan tegas mengatur eksistensi kelembagaan adat dengan segala hak-haknya.

4. Harapan

Tersedianya Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus dan tegas mengatur kelembagaan Masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam penguasaan tanah ulayat.

B. PROVINSI SUMATERA UTARA

1. Hukum Tertulis

a. Kewilayahan

Pengakuan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten se-Provinsi Sumatera Utara terhadap Masyarakat hukum adat, yaitu adanya pengakuan terhadap hak atas wilayah (lahan) secara kolektif bagi Masyarakat hukum adat yang disebut dengan tanah ulayat dengan hak-hak masyarakat untuk mengelolanya. Namun demikian pengakuan ini belum secara tertulis dalam bentuk Peraturan Daerah atau sejenisnya, sehingga pengakuan tersebut belum memiliki kekuatan yuridis.

b. Kebudayaan

Dalam upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat, Gubernur Sumatera Utara pada tahun 2007 mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2007 tentang Strategi Daerah dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Peraturan Gubernur tersebut kemudian disusul dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Nomor 37 tahun 2007 tentang Rencana Aksi Daerah dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.

Sementara itu, persoalan tanah yang melibatkan masyarakat dengan pemerintah terus terjadi. Pada tahun 2001 Kesultanan Deli dan Forum Peta Umat mengajukan surat kepada Mendagri dan DPR RI yang intinya mengklaim tanah-tanah perkebunan yang tebentang luas di Sumatera Timur sebagian besar diusahakan di atas lahan hak ulayat masyarakat Melayu. Sultan Deli mengklaim tanah eks-konsesi Kesultanan Deli yang sekarang merupakan lahan perkebuan tembakau, kepala sawit dan tebu (PTPN II) adalah tanah ulayat mereka.

Atas desakan berbagai pihak, Pemerintah Kabupaten Deli Serdang menerbitkan dua Surat Keputusan Bupati Deli Serdang, yakni SK No. 112 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarkat Hukum Adat di Kabupaten Deli Serdang, dan SK Bupati Deli Serdang No 615 tahun 2001 tentang Adat di Kabupaten Deli Serdang.

2. Hukum Tidak Tertulis

a. Kewilayahan

Masyarakat hukum adat secara empiris masih ada di Provinsi Sumatera Utara. Mereka mengelola kelembagaan adat dengan hak-hak atas lahan yang penguasaannya secara kolektif, yang disebut dengan tanah ulayat. Sawah dan ladang pada umumnya tanah pribadi, sedangkan tanah ulayat berupa hutan atau perbukitan. Namun demikian tanah ulayat tersebut banyak yang dikuasi oleh pemerintah (BUMN PTPN II), sehingga seringkali menimbulkan permasalahan antara masyarakat dengan pemerintah.

b. Kebudayaan

Kajian tentang adat dilakukan di Kabupaten Mandailing Natal. Struktur kelembagaan adat di sini memiliki peranan yang sangat penting dalam setiap pengambilan keputusan masyarakat. Di dalam kelembagaan adat tersebut ada kepemimpinan adat (informal) yang lebih dominan dibandingkan dengan kepemimpinan desa. Kepemimpinan adat ini dikenal dengan Nini-Mama.

Kalau pemerintah desa melaksanakan tugas-tugas administrasi pemerintahan, maka tugas dari kepemimpinan adat adalah mengelola kegiatan yang berkaitan dengan adat seperti pada upacara perkawinan, dan pemberian sanksi adat bagi warga masyarakat yang melanggar norma-norma adat. Dalam praktiknya, kedua lembaga pemerintahan ini cukup baik, dalam arti tidak pernah terjadi konflik kepentingan selama menjalankan pemerintahan masing-masing.

Sistem kekerabatan menganut garis keturunan dari ibu atau matrilineal. Artinya, pihak perempuan sebagai penentu dalam membentuk hubungan kekerabatan. Namun demikian pihak laki-laki dapat juga sebagai pencipta hubungan karena sebab perkawinan (afinity relationship). Dalam sistem kekerabatan ini dikenal adanya istilah semendo, yaitu tempat tinggal bagi orang yang sudah menikah di keluarga perempuan (pola matrilokal). Implikasi dari semendo ini pada hak waris pada anak perempuan.

Sistem pengetahuan diperoleh masyarakat secara turun temurun. Misalnya, pengetahuan tentang penyembuhan penyakit atau obat-obatan masih dilakukan secara tradisional dengan tanaman obat yang dikenal penduduk. Jika penduduk sakit atau melahirkan, mereka meminta pertolongan ke dukun yang mereka namakan Dotu.

3. Implementasi dan Kendala pengakuan Hukum

a. Implementasi

Eksistensi Masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Utara masih mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Daerah. Mereka diberikan hak untuk mengatur pemerintahan adat dan mengelola lembaga adat lengkap dengan struktur organisasi adat. Berbagai bentuk upacara adat masih dipelihara dan memperoleh apresiasi dari Pemerintah Daerah dalam acara pekan seni budaya daerah. Namun demikian pengakuan hukum terhadap hak tradisional Masyarakat hukum adat belum diimpelemntasikan dengan pemberian hak atas tanah (hak ulayat).

b. Kendala

Belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarakat hukum adat, termasuk mengatur tentang hak ulayat.

4. Harapan

Ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarkat Adat, termasuk mengatur tentang hak ulayat. Dengan adanya aturan yuridis ini, maka hak-hak Masyarakat hukum adat akan dilindungi dari kepentingan pihak-pihak luar.

C. PROVINSI RIAU

1. Hukum Tertulis

a. Kewilayahan

Peraturan Daerah yang mengatur kewilayahan belum ada. Oleh karena itu, dalam menata masyarakat merujuk pada peraturan perundang-undangan yang ada dengan tetap mengakomodasi wilayah-wilayah berdasarkan tradisi masyarakat lokal yang sudah dikenal secara turun temurun sebagai warisan leluhur mereka.

b. Kebudayaan

Komitmen Daerah Kabupaten Bengkalis dalam upaya pemberdayaan Masyarakat hukum adat diwujudkan dengan terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 39 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian Adat Istiadat Melayu dan Pengembangan Kebiasaan-Kebiasaan, Masyarakat serta Lembaga Adat di Kabupaten Bengkalis. Perda ini dengan jelas mengatur model dan strategi pemberdayaan masyarakat dan lembaga adat agar anggota persekutuan hukum adat dapat mencapai taraf kehidupan yang lebih sejahtera.

2. Hukum Tidak Tertulis

a. Kewilayahan

Tanah ulayat adalah lingkungan tanah yang dikuasai oleh suatu kelompok orang-orang yang biasa disebut persekutuan hukum adat. Sedangkan hak ulayat adalah hak persekutuan hukum adat yang menguasai suatu lingkungan tanah termasuk lingkungan persediaan, perluasan, untuk kepentingan hidup persekutuan beserta seluruh warganya. Sebagai obyek hak ulayat adalah tanah, air, pantai-pantai, tumbuh-tumbuhan (pohon-pohon), hewan liar dan sebagainya.

Tanah ulayat tidak mudah dipindah tangankan kepada pihak lain. Kalaupun dipindah tangankan mestilah memenuhi ketentuan adat. Persyaratan ini dibuat tidak lain adalah untuk menjaga kesinambungan dari tanah ulayat yang ada dalam persekutuan hukum adat. Kehidupan adat dan tanah ulayat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dalam menjaga kelangsungan hidup masyarakat hukum adat. Karena dengan tanah itu, masyarakat hukum adat dapat berusaha menghidupi keluarganya. Kelanjutan hidup manusia tidak bisa berlanjut tanpa adanya tanah tempat berusaha dan bertempat tinggal. Sehubungan dengan itu, tanah ulayat merupakan harta benda yang perlu dipelihara kelestariannya agar tetap memberi manfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat hukum adat.

b. Kebudayaan

Agama yang dianut oleh Masyarakat hukum adat di Riau yaitu Islam, Budha dan Kristen. Namun demikian sebagian masih memiliki kepercayaan animisme, yaitu percaya terhadap kekuatan-kekuatan pada batu-batu besar, pohon-pohon besar terutama berkaitan dengan penyelenggaraan upaya adat. Agama dan kepercayaan tersebut merupakan warisan leluhur secara turun temurun. Dalam pelaksanaan ritual agama sehari-hari, pengaruh kebudayaan etnis Cina cukup dominan.

Persekutuan hukum adat dipimpin oleh seorang pemangku adat yang dikenal dengan sebutan Penghulu Adat atau Datuk. Datuk sebagai pimpinan persekutuan berdasarkan sistem matrilinial ini dikukuhkan dengan pemberian gelar adat oleh anak kemenakan pada persekutuan tersebut. Adapun jangka waktu jabatan sebagai Datuk tidak ditentukan lamanya, tetapi bergantung pada persesuaian dengan anak kemenakannya. Datuk ini sangat berpengaruh dan berperanan penting dalam kehidupan persekutauan hukum adat maupun pengaturan sikap dan anggota persekutuannya, terutama mengurus peruntukan dan pengawasan tanah ulayat dalam masyarakat.

Hak ulayat merupakan hak bersama atas tanah seluruh anggota persekutuan hukum adat. Oleh karena penguasaan tanah ini bersifat kolekif, maka tidak mudah untuk dipindah tangankan kepada orang lain, kecuali telah sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Secara langsung hak ulayat ini mengatur sistem ekonomi masyarakat, terutama dalam pemanfaatan tanah sebagai sumber nafkah (ekonomi).

Penguasa tanah ulayat oleh penghulu adat tetap terjamin, dimana anggota masyarakat hukum tersebut diberi hak dan kewajiban untuk memelihara tanah ulayat. Ketentuan yng harus dipenuhi oleh anggota masyarakat yang memanfaatkan tanah ulayat adalah sebagai berikut :

a. Apabila tanah ulayat dijadikan kebun, maka di dalamnya harus ada tanaman.

b. Apabila dijadikan sawah ladang haruslah mempunyai pematang.

Masyarakat hukum adat di Kabupaten Bengkalis memiliki sumber nafkah utama dari mengolahan ladang dan kebun. Mereka pada umumnya sudah mengenal tanaman industri seperti kelapa sawit dan karet. Pada kegiatan perladangan, mereka menanam padi darat yang dipanen setelah 4 bulan kemudian. Pengolahan dan penyiapan ladang cukup sederhana, yaitu penebasan ladang, pembakaran, dan penugalan atau penanaman biji padi. Kegiatan berladang tersebut melibatkan semua anggota keluarga batih, yaitu ayah, ibu dan anak-anaknya.

3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum

a. Implementasi

1). Meskipun sudah ada hukum tertulis yang mengatur Pemberdayaan, Pelestarian Adat Istiadat Melayu dan Pengembangan Kebiasaan-Kebiasaan, Masyarakat serta Lembaga Adat, yaitu Peraturan Daerah (Perda) Nomor 39 Tahun 2001 (Khusus Kabupaten Bengkalis), namun dalam praktiknya Peraturan Daerah tersebut belum efektif. Informasi yang dihimpun terkait dengan implementasi hukum tertulis (Perda) tersebut adalah Masyarakat hukum adat sering dijadikan obyek untuk mendapatkan dukungan tertentu, tetapi belum dilihat sebagai komponen yang perlu dikembangkan menjadi kekuatan yang lebih besar.

2). Sementara itu implementasi hukum adat cenderung melemah, disebabkan semakin kuatnya pengaruh dari luar. Contoh kasus, tanah ulayat sebagai milik bersama masyarakat hukum adat mengalami peralihan hak guna kepada investor, sehingga mengurangi aset masyarakat hukum adat.

b. Kendala

Berbagai kondisi yang dirasakan sebagai kendala dalam mengimplementasikan pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat, yaitu :

1). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menganut paham domain Negara, dengan mengklaim semua hutan yang tidak dapat dibuktikan sebagai hutan milik, adalah hutan Negara. Padahal, hak ulayat bukan hak milik, akibatnya hak ulayat atas tanah menjadi obyek sengketa dengan Departemen Kehutanan. Sumber sengketa bertambah karena peta hutan yang dibuat oleh Departemen Kehutanan tidak berdasarkan survey, sehingga kebun rakyat dipetakan sebagai hutan.

2). Hak ulayat dipersiapkan untuk dimusnahkan dengan cara pembebasan dengan pemberian ganti rugi apabila tanah tersebut digunakan untuk kepentingan umum, sebagaimana diatur di dalam Keputusan Presiden Nomor 55 tahun1993.

4. Harapan

Dalam rangka mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat hukum adat, terutama pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat, maka diperlukan :

1). Adanya pengakuan dalam bentuk Peraturan Daerah yang melindungi hak-hak masyarakat hukum adat sebagaimana perlindungan terhadap warga masyarakat pada umumnya.

2). Pola pemberdayaan masyarakat hukum adat yang sistematis dan terukur.

3). Ada kajian tentang eksistensi tanah ulayat, sehingga akan dapat diketahui dengan jelas status tanah ulayat yang sebenarnya dari Masyarakat hukum adat. Hal ini akan memudahkan bagi pihak-pihak terkait untuk mempergunakan hak-hak atas tanah tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan demi kesejahteraan Masyarakat hukum adat.

4). Agar Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) dapat lebih gencar memberikan pemahaman kepada Masyarakat hukum adat tentang tanah Ulayat atau tanah adat.

D. PROVINSI SUMATERA BARAT

1. Hukum Tertulis

a. Kewilayahan

Wilayah sebagai tempat hidup kesatuan Masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Daerah. Wujud dari besarnya perhatian Pemerintah Daerah ini terbitnya Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat. Bai I Pasal 1 dari Perda ini menegaskan pengertian umum, yaitu :

1). Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.

2). Tanah Ulayat adalah adalah bidang tanah yang di atas dan di dalamnya terdapat hak ulayat dai suatu masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.

3). Tanah Ulayat Nagari adalah Tanah Ulayat yang merupakan kekayaan nagari, yang pengelolaannya berada pada Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat, sedangkan pengaturan dan pemanfaatannya dilakukan oleh Pemerintah Nagari.

4). Tanah Ulayat Suku adalah Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan Suku yang penguasaannya berada pada Penghulu Suku dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

5). Tanah Ulayat Kaum adalah Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan masing-masing kaum dalam suatu suku yang pengaturannya berada pada Mamak Kepala Waris.

6). Penyerahan Hak Ulayat adalah suatu kegiatan yang melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah dan saling menguntungkan.

7). Gunggam Bauntuak adalah peruntukan tanah yang diperoleh anggota kaum untuk memakai dan menikmati hasil atas bagian tanah ulayat dalam pengawasan Mamak Kepala Waris.

b. Kebudayaan

Peraturan Daerah Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat mengatur eksistensi organisasi pemerintahan kesatuan masyarakat hukum adat dengan struktur yang ada di dalamnya. Beberapa pengertian yang berkaitan dengan struktur pemerintahan adat, yaitu :

a). Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Sumatera Barat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri.

b). Penghulu adalah orang yang dituakan dan didahulukan selangkah oleh kaumnya untuk memimpin kaumnya.

c). Penghulu Suku adalah pemegang sako dan pusako yang diwarisi secara terus menerus menurut sistem kekerabatan matrilineal yang berfungsi sebagai penguasa ulayat menurut baris baladeh dalam satu kesatuan ulayat Nagari.

d). Mamak Kepala Waris adalah laki-laki tertua menurut adat dan atau yang dituakan dalam satu kaum.

e). Hukum Adat adalah aturan/norma tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat hukum adat Minangkabau untuk mengatur kehidupannya, mengikat dan dipertahankan dalam kehidupan masyarakat dengan sanksi yang jelas.

f). Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari atau nama lain adalah Lembaga Permusyawaratan/PemufakatanAdat dan Syarak yang berfungsi memberikan pertimbangan kepada Pemerintah Nagari supaya tetap konsisten menjaga dan memelihara penerapan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah di Nagari.

g). Kerapatan Adat Nagari atau nama lain yang sejenis adalah Lembaga Perwakilan Permusyawaratan dan Pemufakatan Adat tertinggi Nagari yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat di tengah-tengah masyarakat Nagari Sumatera Barat.

Kemudian diterbitkannya Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Nagari. Diterbitkannya Keputusan Gubernur ini merupakan komitmen dan konsistensi Pemerintah Daerah dalam memelihara dan melestarikan kelembagaan dan perangkat adat di Provinsi Sumatera Barat.2. Hukum Tidak Tertulis

a. Kewilayahan

Konsep Nagari adalah konsep pemerintahan desa adat di Sumatera Barat, yang di dalamnya terdiri dari himpunan berbagai suku yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Jadi setiap Nagari sudah memiliki batas-batas wilayah pemerintahan adat yang jelas dan tegas berdasarkan kesepakatan para ketua adat secara turun temurun hingga generasi sekarang.

b. Kebudayaan

Pada umumnya masyarakat Minangkau adalah pemeluk agama Islam yang fanatik. Proses transformasi ajaran Islam berjalan secara turun-temurun melalui tempat-tempat ibadah di kampung-kampung yang disebut dengan surau.

Jauh sebelum terbitnya Peraturan Daerah tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat, secara tidak tertulis sudah ada pengakuan dari pemerintah mengenai lembaga adat, hukum adat dan hak atas tanah ulayat kepada kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Konsep Nagari, Penghulu, Penghulu Suku, Mamak Kepala Waris, dan Ninik Mamak sudah menjadi ciri khas di dalam kebudayan masyarakat Sumatera Barat yang dikenal luas secara nasional.

Sistem kekerabatan yang berlaku menganut pola matrilineal, artinya bahwa silsilah keturunan berdasarkan garis ibu. Sebagai contoh, seorang laki-laki (paman), ia bertanggung jawab untuk membantu anak dari saudara perempuanya sekandung (kemenakan). Hal ini sudah menjadi adat istiadat pada masyarakat di Minangkabau yang berlangsung secara turun temurun, dan akan terus terpelihara melalui kelembagaan adat yang disebut Nagari.

Masyarakat Minangkabau telah mengadaptasi teknologi sesuai jamannya, mulai teknologi sederhana sampai teknologi modern. Adat istiadat Minangkabau memberikan kesempatan kepada warganya agar tidak hanya memanfaatkan, tetapi juga mampu mengembangkan teknologi untuk meningkatkan taraf kehidupannya ke arah yang lebih baik.

Masyarakat hukum adat memperoleh pengetahuan secara turun temurun dari para leluhurnya. Biasanya pengetahuan yang dipelajari berkaitan dengan pola hidup dan sistem mata pencarian. Pada masyarakat hukum adat yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan di laut, maka pengetahuan lokal masyarakat lebih banyak berhubungan dengan pengetahuan akan kondisi cuaca dan iklim, astronomi, teknik penangkapan dan pengolahan ikan serta jenis dan habitat ikan. Mereka mampu mengenal kalender musin dengan baik, meskipun demikian tidak semua aktivitas mereka bergantung pada kalender.

Masyarakat mengenal musim Gabua, Ambu-ambu dan Udang karena pada musim-musin tersebut didominasi jenis ikan-ikan tersebut. Selain itu mengenal juga musim Anggau/ombak gadang ombak besar atau musim kemarau untuk menjelaskan kondisi hasil tangkapan ikan tidak ada sama sekali. Kemudian dikenal musim Payang atau Pukek untuk menjelaskan kondisi dimana hasil tangkapan ikan melimpah.

Adanya peruntukan tanah yang diperoleh anggota kaum untuk memakai dan menikmati hasil atas bagian tanah ulayat dalam pengawasan Mamak Kepala Waris, yang dikenal dengan Gunggam Bauntuak. Hal ini sebagai bentuk kerukunan dan kebersamaan untuk menghilangkan kesenjangan sosial antara warga dalam satu kaum maupun dalam satu Nagari. Sistem penguasaan tanah secara kolektif pada tanah ulayat, akan membangun sistem ekonomi kerakyatan yang seadil-adilnya.

3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum

a. Implementasi

Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupen se Provinsi Sumatera Barat sampai saat ini memberikan pengakuan yang masih cukup besar. Wujud besarnya pengakuan dari Pemerintah Daerah ini dengan terbitkan Keputuan Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Nagari.b. Kendala

Belum semua yang berkaitan dengan kelembagaan adat dan hak-hak Masyarakat hukum adat diatur oleh Pemerintah Daerah.

4. Harapan

Harapan atas pengakun hukum terhadap Masyarakat hukum adat dan hak-hak mereka adalah :

1. Perlu lebih dioptimalkan implementasikan hukum adat, dan kearifan lokal tetap dijunjung tinggi dan dihargai oleh Pemerintah Daerah.

2. Partisipasi masyarakat perlu diperkuat lagi, sehingga lebih peduli terhadap pembangunan yang berbasis adat dan kearifan lokal.

E. PROVINSI JAMBI

1. Hukum Tertulis

a. Kewilayahan

Secara yuridis belum ada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi maupun Kabupaten se Provinsi Jambi yang secara khusus mengatur hak-hak Masyarakat hukum adat. Meskipun demikian secara informal Pemerintah Daerah tetap masih mengakui eksistensi Masyarakat hukum adat dengan hak-hak mereka atas tanah, lembaga dan hukum adat dalam menyelesaikan permasalahan antara warga masyarakat. Masyarakat hukum adat menguasai wilayah adat yang kepemilikannya secara kolektif dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama.b. Kebudayaan

Pada tahun 1979 keluar Undang-Undang Nomor 5 yang menyatakan Kepala Marga sebagai Kepala Adat dihapus dan hanya dikenal Kepala Desa. Kepala Desa adalah petugas administratif di bawah Camat dan dengan sendirinya Kepala Adat dihapus secara organisasi. Tetapi secara kelompok dan geografis masih ada dengan masyarakat hukum adatnya.

Kemudian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tersebut, pada tahun 1980 ditindaklajuti dengan Keputusan Gubernur Jambi yang menghapus Marga diganti dengan Desa dan Kelurahan dalam Provinsi Jambi. Akibat dengan adanya penghapusan tersebut timbul berbagai masalah di desa, yaitu :

a). Soal pertanahan yang tidak kunjung selesai dimana masyarakat secara historis dan belum hilang dari ingatan mereka, bahwa mereka itu memiliki hak ulayatnya (sementara itu badan-badan tertentu tidak mengakui adanya itu).

b). Berbagai krisis terjadi di Desa karena hukum adat tidak diindahkan lagi.

2. Hukum Tidak Tertulis

a. Kewilayahan

Dalam masyarakat hukum adat Jambi, tanah memiliki kedudukan yang sangat penting. Artinya, hal ini karena tanah adalah satu-satunya benda kekayaan yang langgeng sifatnya bagi masyarakat hukum adat. Tempat dimana mereka tinggal, tempat yang memberikan mereka kehidupan. Tempat warga masyarakat hukum adat memakamkan keluarganya dan tempat nenek moyang mereka mulai merintis kehidupan.

Masyarakat hukum adat secara turun temurun mengusai tanah ulayat, yakni sejak zaman Kerajaan Jambi dan tumbuhnya bersamaan dengan dusun-dusun dengan batas-batasnya, yang berarti tetap mempertahankan dusun yang punya hak ulayat. Hak ulayat ini dahulu dikuasai oleh Bathin/Pasirah sebagai penguasa dan ketua adat/komunal. Apabila ingin mengerjakan dan memiliki tanah ulayat, maka harus seijin Pasirah.

Namun demikian dengan keluarnya Keputusan Gubernur Tahun 1980 yang mengganti Marga menjadi Desa dan Kelurahan, menyebabkan penguasaan masyarakat hukum adat akan tanah ulayat akan terancam. Kuncinya pada Kepala Desa/Pesirah yang sekaligus sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas keberadan tanah ulayat tersebut.

b. Kebudayaan

Masyarakat hukum adat mempunyai kelembagaan adat dan berbagai aturan (hukum adat) di dalamnya yang mengatur perilaku masyarakat. Kemudian masyarakat mendiami sebuah dusun yang mempunyai batas-batas wilayah, dan berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Disini tergambar ada aturannya (adat), ada wilayah (batas), ada penguasaannya (Kepala Adat).

Meskipun telah terjadi perubahan status Marga menjadi Desa atau Kelurahan, tetapi kelembagaan adat tersebut masih menjalankan peranannya, terutama berkaitan dengan hal-hal berkenaan dengan adat istiadat dan upacara adat. Pengetahuan lokal tentang flora dan fauna, obat-obatan dan hal-hal lain yang berkenaan dengan kehidupan manusia diperoleh secara turun temurun dari leluhurnya. Selain itu peranan kelembagaan adat ini memelihara seni budaya tradisional.

3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum Terhadap KAT

a. Implementasi

Akibat penghapusan Marga menjadi Desa dan Kelurahan timbul berbagai masalah, yaitu permasalahan pertanahan yang tidak pernah selesai, karena konsep Desa dan Kelurahan telah menghilangkan kepemilikan hak ulayat mereka. Kemudian, berbagai krisis terjadi di Desa karena hukum adat tidak diindahkan lagi.

b. Kendala

Belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus mengatur kelembagaan adat. Sebaliknya, keluarnya Keputusan Gubernur tahun 1980 yang menghapus desa adat (marga) menjadi desa dan kelurahan akan mengancam eksistensi kelembagaan adat, hak ulayat dan hak-hak Masyarakat hukum adat lainnya.

4. Harapan

Kebijakan Gubernur yang mengganti Marga dengan Desa dan Kelurahan perlu dikaji kembali, sehingga eksistensi Desa Adat/Kelembagaan Adat tetap ada dengan penguasaan atas tanah ulayat. Selain itu diharapkan permasalahan pertanahan tidak terjadi lagi dan hukum adat dihargai, sehingga tidak terjadi krisis di Desa.

F. PROVINSI KALIMANTAN BARAT

1. Hukum Tertulis

a. Kewilayahan

Tidak tersedia dokumen yang berupa hukum tertulis yang menegaskan aspek kewilayahan masyarakat hukum adat. Namun demikian, secara implisit termasuk di dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Provinsi Kalimantan Barat tentang Pengangkatan Tumenggung sebagai Kepala Desa Adat. Bahwa Di dalam SK tersebut ditegaskan, bahwa Tumenggung mengepalai warga dalam satuan wilayah desa adat; dan masyarakat hukum adat tinggal dalam suatu desa adat. Sebagai sebuah desa, Desa Adat tentu memiliki batas-batas wilayah dengan desa yang lain.

b. Kebudayaan

Setiap Desa Adat dikepalai oleh Tumenggung (kasus Kabupaten Sekadau). Pengangkatan Tumenggung sebagai Kepala Adat berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Kalimantan Barat. Tugas Tumenggung sebagai kepala desa adat yang menjalankan pemerintahan desa adat sesuai dengan adat istiadat yang telah berlaku secara turun temurun.

2. Hukum Tidak Tertulis

a. Kewilayahan

Sebagai sebuah desa, Desa Adat tentu memiliki batas-batas wilayah desa, dimana batas-batas desa yang berupa sungai, pohon besar, batu-batuan telah disepakati secara turun temurun.

b. Kebudayaan

Kajian terhadap hukum tidak tertulis dilakukan di Kabupaten Sekadau. Agama yang dianut oleh sebagian besar warga masyarakat Sekadau adalah Islam dan sebagian kecil warga Masyarakat hukum adat masih menganut animisme (kasus Kabupaten Sekadau). Meskipun antara Islam dan animisme memiliki ajaran yang berbeda, namun warga masyarakat memiliki toleransi yang tinggi dalam kehidupan sosial antar umat beragama/kepercayaan.

Desa Adat dipimpin oleh Kepala Adat (Tumenggung), yang tugasnya adalah menyelesaikan perkara dalam tingkat desa dengan menggunakan aturan adat istiadat sebelum dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, apabila tidak dapat diselesaikan di desa. Adat istiadat ini menyangkut semua suku, terutama Suku Melayu dan Dayak yang merupakan suku asal muasal dari kerajaan Sekadau.

Berbagai jenis adat di Kabupaten Sekadau, yaitu :

1). Adat yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia, yaitu pada saat melahirkan bayi (adat selamat umur), adat babuang (agar keluarga yang akan mengadakan perkawinan, sunatan dan hajatan lain apabila sakit lekas sembuh), adat perkawinan, dan adat kematian.

2). Adat Ngudas/Rimah, yaitu adat pembukaan tanah/hutan oleh pemerintah maupun dunia usaha, sebagai bukti telah memperoleh ijin penggunaan tanah tersebut dari pemuka Kampung.

3). Adat Pati Nyawa, yaitu adat yang dilakukan oleh pihak yang dianggap bertanggung jawab apabila ada warga yang meninggal tidak wajar (terjatuh, kena blantik dll).

4). Adat Tolak Bala, yaitu acara adat yang dilakukan apabila di dalam kampung terjangkit penyakit atau menghindari terjangkitnya suatu penyakit tertentu.

5). Adat yang dijatuhkan kepada warga masyarakat yang melanggar norma-norma adat, yaitu :

a). Adat Pasupan, yaitu sanksi kepada warga yang mengambil tanah/menanami tanpa ijin pengurus kampung, memfitnah, mencaci maki, menghina, dan berbicara kurang sopan.

b). Adat Terangkat, yaitu sanksi kepada laki-laki beristreri yang serong dengan gadis atau perempuan bersuami serong dengan jejaka.

c). Adat Beramau, yaitu sanki kepada laki-laki masih beristeri dengan perempuan masih bersuami.

d). Adat Bujang/Dara Berzinah/Bunting, yaitu sanksi kepada perjaka dan gadis yang melakukan perzinahan. Adat yang dikenakan adalah Adat- Kampang. Apabila keduanya menolak menikah, maka dikenakan Adat Beramu.

e). Adat Mengambul Milik Orang Lain/Mencuri, yaitu sanksi bagi seseorang yang mencuri ayam, babi, sapi dan barang lainnya dengan denda dan mengembalikan barang curian. Tidak sanggup mengembalikan barang, menggantinya senilai barang yang dicuri tersebut.

f). Adat Pemalik, yaitu sanksi yang dijatuhkan apabila seseorang berzinah padahal masih mukhrim, merusak/membakar tempat keramat, membakar/merusak/mengotori tempat pemujaan/ ibadah/pemalik, merusak/mengambil benda-benda peninggalan nenek moyang, merusak/membakar/menanami hutan adat tanpa seijin pemuka Kampung.

g). Adat Merajalela/Huru Hara dalam Kampung, yaitu sanksi yang dijatuhkan kepada seseorang/kelompok apabila seorang tersebut bersenjata/tidak, kemudian menyerang, merusak, membakar kampung lain atau berdemonstrasi dalam kampung sendiri.

h). Adat Pemamar Darah, yaitu sanksi yang dijatuhkan kepada seseorang yang membuat orang lain merasa terancam atau takut karena tindakannya.

i). Adat Hukum Selam, yaitu sanksi dijatuhkan kepada dua orang yang bersengketa dan masing-masing menunjukkan bukti-bukti dan saksi yang membenarkan.

Pengetahuan dalam arti luas salah satu sumbernya adalah adat istiadat yang telah terlembaga pada Masyarakat hukum adat. Terdapat 13 adat istiadat, baik yang berifat upacara adat atau sanksi adat atas pelanggaran terhadap norma-norma adat, yang kesemuanya itu menjadi acuan sikap dan perilaku Masyarakat hukum adat. Kemudian terkait dengan pendidikan, setiap warga Masyarakat hukum adat tidak ada larangan secara adat untuk menempuh pendidikan formal.

Kegiatan ekonomi utama Masyarakat hukum adat adalah mengolah sumber daya alam (bertani, berladang). Di dalam pemanfatan lahan (hutan) ada aturan-aturan yang harus ditaati oleh warga Masyarakat hukum adat, sehingga pemanfaatan lahan (hutan) tersebut tidak merugikan warga yang lain. Apabila ada warga Masyarakat hukum adat yang melanggar aturan adat dalam pemanfaatan lahan (hutan), maka akan dikenakan sanksi adat Sebagai contoh, Adat Pemalik, yaitu sanksi yang dijatuhkan apabila seseorang menanami hutan adat tanpa seijin pemuka Kampung. Kemudian dikenal pula Adat Ngudas/Rimah, yaitu adat pembukaan tanah/hutan oleh pemerintah maupun dunia usaha, sebagai bukti telah memperoleh ijin penggunaan tanah tersebut dari pemuka Kampung.

Masyarakat hukum adat menggunakan bahasa daerah setempat (baca : Sekadau) ketika berkomunikasi dengan sesama warga Masyarakat hukum adat. Dalam berkomuniaksi ini Masyarakat hukum adat diharuskan memperhatikan norma-norma sosial yang berlaku secara turun temurun, dan apabila norma-norma tersebut tidak diindahkan akan mendapatkan sanksi adat. Sebagai contoh Adat Pasupan, yaitu sanksi kepada warga yang mengambil tanah/menanami tanpa ijin pengurus kampung, memfitnah, mencaci maki, menghina, dan berbicara kurang sopan.

3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum

a. Implementasi

Secara yuridis, sampai saat ini belum ada pengakuan hukum terhadap Masyarakat hukum adat dari Pemerintah Daerah. Namun secara informal, Pemerintah daerah tetap masih mengakui keberadaan Masyarakat hukum adat, Lembaga Adat dengan struktur organisasinya dan hukum adat yang berlaku dalam menyelesaikan permasalahan pada Masyarakat hukum adat tersebut.

b. Kendala

Belum ada aturan hukum (Perda) yang mengatur pola hubungan antara masyarakat dan pemerintah dengan warga Masyarakat hukum adat.4. Harapan

Diperlukan aturan hukum (Perda) yang jelas mengatur pemberdayaan Masyarakat hukum adat. Dalam peraturan tersebut tetap terjaga eksistensi Masyarakat hukum adat.

G. PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

1. Hukum Tertulis

Belum ada Peraturan Daerah provinsi yang mengatur masyarakat hukum adat. Sedangkan pada tingkat kabupaten (kasus Kabupaten Pasir), pada tanggal 8 Agustus tahun 200 diundangkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemberdayaan, pelestarian, Perlindungan dan Pengembangan Adat istiadat dan Lembaga Adat. Perda ini dimaksudkan untuk melaksanakan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64/1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Oleh karenanya, materi yang diatur dalam Perda Pasir No. 3/2000 tidak jauh dari materi yang diatur di dalam Kepmendagri No. 61/1999 tersebut.

Pada pasal 13 ayat 1, mengatur mengenai adanya wilayah adat yang diakui oleh masyarakat adat. Meskipun Perda ini tidak memuat definisi mengenai masyarakat adat, namun pasal di atas mewakili ketentuan bahwa Pemda Pasir mengakui keberadaan masyarakat adat. Semestinya pula, bersamaan dengan pengakuan wilayah adat itu, hak-hak masyarakat adat atas sumebr daya alam juga mendapat pengakuan.

Persoalan muncul ketika, pembahasan Raperda Pasir tentang Hak Ulayat. Dimana pada Raperda tersebut tidak mengakui adanya masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Karena ada protes dari Lembaga Adat Pasir (LAP), maka proses penyusunan Perda tersebut dihentikan oleh Pansus DPRD.

2. Hukum Tidak Tertulis

Kajian terhadap hukum tidak tertulis dilakukan di Kabupaten Pasir. oleh Sebagian besar warga masyarakat Pasir menganut agama Islam, dan sebagian kecil warga masyarakat hukum adat masih menganut animisme. Meskipun antara Islam dan animisme memiliki ajaran yang berbeda, namun warga masyarakat memiliki toleransi yang tinggi dalam kehidupan sosial antar umat beragama/kepercayaan.

Di Kabupaten Pasir terdapat lembaga adat yang secara kultural memiliki wilayah adat dengan hak ulayatnya dan anggota masyarakat adat, meskipun secara hukum (lihat Perda No. 3/200) belum memperoleh pengakuan secara tegas. Lembaga adat tersebut merupakan institusi lokal yang peranannya memelihara nilai, norma dan adat istiadat dalam mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat hukum adat dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa norma-nora yang diatur oleh Lembaga Adat antara lain tata cara perkawinan, kerumahtanggan, pengelolaan hutan dan pergaulan hidup sehari-hari. Bagi warga yang melanggara norma dan adat, maka dijatuhkan anksi sesuai dengan ketentuan adat yang sudah berlaku secara turun temurun.

3. Implementasi dan Kendala Pengakuan

a. Implementasi

Pengakuan secara tekstual tersebut pada kenyataannya tidak diimpelementasikan dengan baik. Indikasinya, yaitu (1) Pemda pasir tidak memiliki program untuk pemastian batas-batas wilayah adat, (2) Keberadaan Lembaga Adat Pasir (LAP) kurang memperoleh pengakuan Pemda karena dianggap kurang mengakar kuat dan memiliki yuridiksi yang jelas, dan (3) Pemda Pasir tidak memperhitungkan keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak atas sumber daya alam sebagaimana tercermin di dalam Perda No. 13 tahun 2002 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu maupun pada Perda No 5 tahun 2004.tentang Izin Usaha Perkebunan di Kabupaten Pasir.

Pengakuan terhadap keberadan masyarakat hukum adat dengan sebaga hak-haknya, memperoleh perhatian Bupati Pasir periode 2004-2009 (Ridwan). Ia menganggap bahwa Pemda Pasir memiliki kewajiban untuk melindungi masyarakat hukum adat. Perlindungan ini diperlukan karena secra sosial dan ekonomi masyarakat hukum adat sangat ketinggalan Selain itu, kegiatan investasi yang banyak berlokasi di perdesaan memang berdampak langung pada kehidupan masyarakat hukum adat.

b. Kendala

Adanya pemikiran yang berkembang di kalangan birokrasi bahwa Perda No 3/200 hanya mengatur adat istiadat dan lembaga adat, bukan mengatur mengenai keberadaan masyarakat adat dan hak-hak ulayatnya.4. Harapan

Dalam kerangka penguatan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat, maka peranan dan aktivitas Lembaga Adat perlu ditingkatkan, yaitu :

a. Lembaga Adat Pasir (PAS) dan Persatuan Masyarakat Adat (PeMA) Pasir dapat mengotimlkan peranannya dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat hukum adat. b. Pemerintah Kabupaten Pasir melakukan telaah kembali atas Peraturan Daerah dan kebijakan yang tidak berpihak kepada keberadaan masyarakat hukum adat.

H. PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

1. Hukum Tertulis

a. Kewilayahan

Kewilayahan berkenaan dengan tanah beserta isinya dan wilayah kesatuan budaya dimana masyarakat hukum adat hidup dan berkembang. Masyarakat hukum adat sebagai suatu komunitas memerlukan kepastian hukum mengenai kewilayahan ini, sehingga mereka dapat menjalani kehidupannya tanpa ada perasaan khawatir terjadinya gangguan dari pihak manapun.

1). Penggunaan ruang wilayah Provinsi Kalimantan Tengah diatur di dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2003 tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.

2). Khusus berkaitan dengan kewilayahan Masyarakat hukum adat, tertuang di dalam Peraturan Daeah (Perda) Nomor 14 Tahun 1998 tentang Kedamangan di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah. Pada Bab 1 Pasal 1 (ayat p) menyebutkan, bahwa :

a). Wilayah adat adalah wilayah satuan budaya tempat adat istiadat itu tumbuh, hidup dan berkembang sehingga menjadi penyangga keberadaan adat istiadat yang bersangkutan.

b). Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah Kedamangan yang dikuasai secara adat, baik miliki perorangan maupun milik bersama.

b. Kebudayaan

Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan, serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah laku manusia adalah kebudayaan. Di dalamnya terdiri atas unsur-unsur universal, yaitu: agama/kepercayaan, organisasi sosial, teknologi, sistem pengetahuan/pendidikan, sistem ekonomi, bahasa/ telekomunikasi, dan kesenian.Berkaitan dengan agama dan kepercayaan, diatur di dalam Peraturan Gubernur Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembentukan Forum Kerukunan Amat Beragama (FKUB) Provinsi, dan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah. Di dalam Peraturan Gubernur tersebut (Pasal 2) ditegaskan syarat calon anggota FKUB sebagai berikut :

a). Penduduk Kalimantan Tengah.

b). Bertempat tinggal di Kalimantan Tengah sekurang-kurangnya 5 tahun.

c). Bertaqwa kepada tahun YME dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945

d). Pemuka agama yang menjadi panutan umat, dan

e). Berkepribadian baik dan penuh pengabdian terhadap kepentingan kerukunan kehidupan beragama.

Kemudian peraturan hukum tertulis yang berkaitan dengan sistem organisasi sosial, dengan jelas diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 14 Tahun 1998 tentang Kedamangan di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah. Pada Bab I pasal 1 Perda tersebut menjelaskan bahwa :(1). Kedamangan adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam provinsi Daeah Tingkat I Kalimantan Tengah yang terdiri dari himpunan beberapa Desa/Kelurahan/Kecamatan yang mempunyai wilayah tertentu yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

(2). Lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.

(3). Hak adat adalah hak untuk memanfaatkan sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup warga masyarakat sebagaimana tercantum dalam lembaga dat, yang berdasarkan hukum adat dan yang berlaku dalam masyarakat atau persekutuan hukum adat tertentu.

(4). Hukum Adat Dayak di Kalimantan Tengah adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dan tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan pola-pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

(5). Adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Desa dan atau satuan masyarakat lainnya serta nilai atau norma lain yang masih dihayati dan dipelihara masyarakat sebagiamana terwujud dalam berbagai pola nilai kelakuan yang mempertahankan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat setempat.

(6). Dama Kepala Adat adalah pimpinan adat dari satu Kedamangan yang diangkat/dipilih berdasarkan hasil pemilihan oleh beberapa Desa/Kelurahan/Kecamatan yang termasuk dalam wilayah kedamangan tersebut.

(7). Majelis Adat adalah Dewan Adat yang mengemban tugas tertentu di bidang pemberdayaan dan pelestarian serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat, lembaga adat dan hukum adat di daerah.

(8). Mantir Adat adalah perangkat adat atau gelar bagi seorang yang duduk di Majelis Adat.

Selain Perda tersebut Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 9 Tahun 2001 tentang Penanganan Penduduk Dampak Konflik. Pada pasal 8 ayat (2) huruf b disebutkan yang dimaksud Masyarakat hukum adat adalah Majelis Adat setempat; dan huruf c yang dimaksud wajib mentaati adalah menghormati adat istiadat Daerah Kalimantan Tengah dan meninggalkan adat/budaya yang tidak sesuai dengan adat/budaya Kalimantan Tengah. Pada pasal 9 ayat 3 menjelaskan, bahwa yang dimaksud Dewan Kehormatan Kemasyarakatan Lintas Etnik adalah perkumpulan yang bersifat kekeluargaan yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk membina persatuan, kerukunan dan persaudaraan.

Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur ekonomi, yaitu di dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 1998 tentang Ijin Usaha Pertambangan Rakyat Bahan Galian Emas di Provinsi Kalimantan Tengah. Perda ini berlaku secara umum, sehingga secara implisit berlaku pula bagi masyarakat hukum adat/KAT. Perda ini mengatur, bahwa setiap bentuk yang berkenaan dengan usaha eksplorasi sumber daya alam, tidak menimbulkan dampak yang merusak lingkungan, dan tetap mempertahankan kesinambungan sumber daya alam.

Selanjutnya dalam upaya mengatur sistem komunikasi, Pemeriantah Daerah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi untuk Keperluan Khusus Radio dan Televisi Siaran Lokal. Perda ini dimaksudkan, agar setiap media massa lokal (terutama elektronik) agar menjadi media promusi yang efektif bagi pembangunan wilayah; dan mempu menyajikan informasi yang obyektif dan seimbang, sehingga ikut mendukung proses transformasi sosial budaya masyarakat.

2. Hukum Tidak Tertulis

b. Kewilayahan

Wilayah masyarakat hukum adat dibatasi oleh wilayah tertentu, seperti sungai, bukit/batu-batuan, rawa-rawa, dan hutan. Wilayah masyarakat hukum adat ini sepenuhnya dapat diatur dan diurus oleh perangkat pimpinan adat berdasarkan hak pengurusan wilayah yang lebih dikenal dengan sebutan hak ulayat. Hak ulayat atas tanah tersebut penguasaannya secara kolektif, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama warga masyarakat hukum adat.

c. Kebudayaan

Masyarakat hukum adat di Kabupaten Kapuas selain menganut agama Islam, mereka juga memiliki kepercayaan Kaharingan. Masyarakat hukum adat memeluk kepercayan ini dan bebas melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya.

Masyarakat memiliki sistem organisasi sosial yang dinamakan Kedamangan. Eksistensi Kademangan ini sebagai lembaga adat memiliki aturan adat (istiadat) yang mengikat masyarakat hukum adat. Lembaga adat ini mengatur upacara adat dalam siklus kehidupan manusia, hubungan antar sesama manusia dalam suatu komunitas, hubungan ketua adat dengan masyarakat dan hubungan manusia dengan alam sekitar dan dengan Tuhan pencipta alam.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat hukum adat sudah memanfaatkan teknologi modern. Aturan adat memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk menggunakan teknologi yang memberikan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun demikian, aturan adat tetap mengendalikan penggunaan teknologi yang merusak kehidupan sosial budaya mereka.

Berkaitan dengan pengetahuan dan pendidikan, masyarakat sudah menyadari pentingnya pengetahuan dan pendidikan untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Oleh karena itu, aturan adat memberikan kelonggaran kepada anak-anak dari masyarakat hukum adat untuk menempuh pendidikan, meskipun harus meninggalkan kampung halaman.

Kegiatan ekonomi masyarakat bergantung pada alam sekitar. Dalam pemanfaatan alam, masyarakat senantiasa menjaga kelestarian alam yang didasarkan pada keyakinaan, bahwa alam akan memberikan apa yang diperlukan apabila alam tersebut dijaga dengan baik. Tidak menebang pohon sembarangan, terutama pohon madu tempat penghidupan lebah madu. Dalam pemanfaatan alam masyarakat senantiasa dibebani dengan tanggung jawab moral untuk memelihara alam demi anak keturunan sampai kapanpun.

Komunikasi antar warga masyarakat menggunakan bahasa daerah setempat yang berlaku secara turun temurun, meskipun penggunaan bahasa daerah setempat ini tidak secara eksplisit di atur oleh hukum adat. Proses interaksi sosial masyarakat luar, mendorong masyarakat hukum adat untuk mempelajari bahasa nasional. Selain itu, masyarakat juga sudah terbuka terhadap informasi dari luar melalui radio maupun televisi. Kemudian untuk berkomunikasi dengan orang luar yang tidak dapat berbahasa daerah setempat, masyarakat menggunakan bahasa Indonesia.

Kesenian tradisional masih ada, namun proses pelestariannya masih sangat kurang. Generasi muda kurang diperkenalkan dengan kesenian tradisional, baik dalam bentuk tari-tarian maupun musik tradisional - , sehingga dapat mengancam kepunahan kesenian tradisonal. Di dalam aturan adatpun memang ada kewajiban bagi lembaga adat maupun masyarakat untuk tetap mempertahankan seni budaya lokal. Namun demikian pengaruh kesenian modern yang dibawa oleh warga yang bekerja di kota, atau dibawa oleh masyarakat yang secara intensif melakukan transaksi dengan orang kota, sudah mulai memasuki kehidupan masyarakat hukum adat, seperti tape recoreder dan video.

3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum

a. Implementasi

1). Secara yuridis sudah ada pengakuan Pemerintah Daerah terhadap lembaga adat (Kedamanangan), tanah adat, hak adat, hukum adat, adat istiadat dan Damang Kepala Adat.

2). Aturan hukum adat sudah mulai longgar daya pengikat terhadap perilaku masyarakat. Hal ini antara lain sebagai pengaruh dari proses interaksi dengan masyarakat kota, dan penyebaran teknologi informasi yang tidak dapat dikendalikan oleh lembaga adat. Salah satu pengaruh dari lemahnya ketaatan terhadap hukum adat tersebut, yaitu terjadinya konflik sosial antar warga masyarakat.

b. Kendala

Pengakuan hukum merupakan hal yang sangat penting, karena akan menentukan eksistensi masyarakat hukum adat, dan pemenuhan hak dan kebutuhan masyarakat hukum adat tersebut. Namun demikian masih ditemukan berbagai kendala dalam implementasi hukum, yaitu :

1). Dalam praktiknya belum ada komitmen yang sungguh-sungguh dari pemerintah daerah untuk pemberdayaan masyarakat hukum adat.

2). Kurangnya prasarana/sarana yang mendukung kelembagaan adat setempat.

3). Tidak ada biaya yang mendukung kegiatan pada kelmbagaan adat.

4). Kurangnya wawasan masyarakat terhadap hukum adat sebab belum tersedia hukum adat secara tertulis.

5). Belum tersedia data tentang masyarakat hukum adat dan kelembagaan adat.

4. Harapan

Dalam upaya pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat, sehingga mereka dapat menjalani kehiduan sebagaimana msyarakat pada umumnya, yaitu :

1). Terakomodasinya kepentingan Masyarakat hukum adat.

2). Agar Masyarakat hukum adat di Kalimnatan Tengah memiliki jaminan hukum yang pasti terhadap eksistensi dan hak-hak adat yang ada di sekitar mereka.

3). Hukum adat dapat dikukuhkan dengan Undang-Undang maupun Peraturan Daerah sesuai dengan keberadaan dan kepentingannya.

4). Kelembagaan adat mendapat bantuan pendanaan sesuai kebutuhan.

5). Kesadaran masyarakat terhadap hukum adat semakin meningkat, sehingga dapat mencegah terjadinya konflik antar kelompok masyarakat.

6). Ada pengakuan melalui peraturan/yuridis formal secara tegas dan jelas terhadap eksistensi masyarakat hukum adat.

H. PROVINSI BANTEN

1. Hukum Tertulis

a. Kewilayahan

Masyarakat Baduy merupakan penduduk Desa Kanekes, Kecamatan Luewidamar Kabupaten Lebak. Secara georafis Desa Kanekas terletak di aliran Sungai Ciujung pada pegunungan Kendeng. Sebagaimana disebutkan di dalam Keputusan Bupati Lebak Nomor 590/Kep.233/Huk/2003 tentang Penetapan Batas-Batas Wilayah Detail Tanah Ulayat Masyarakat hukum adat Baduy, bahwa luas Desa Kanekes sama luasnya dengan luas tanah ulayat yang didiami oleh Masyarakat Baduy, yaitu 5.136,58 Ha. Artinya, batas-batas wilayah Desa Kanekes sama dengan batas-batas wilayah tanah ulayat Masyarakat Baduy.

b. Kebudayaan

Pemeritah Kabupten Lebak memperhatikan dengan sungguh/sungguh keberadaan Masyarakat Baduy sebagai masyarakat hukum adat. Perhatian Pemerintah Kabupaten Lebak diwujudkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy, yang selanjutnya Perda ini dikenal dengan Perda Lembaga Adat.

Adapun alasan Pemerintah Kabupaten Lebak melakukan pembinaan dan pengembangan terhadap adat istiadat dan lembaga adat Masyarakat Baduy, yaitu :

Pertama, untuk mencegah pengaruh dari luar yang akan merusak nilai-nilai positif adat istiadat Masyarakat Baduy,

Kedua, agar adat istiadat Masyarakat Baduy, sebagai milik nasional dapat lebih berdaya guna bagi kelangsungan pembangunan, ketahanan nasional, menunjang kebudayaan nasional dan kelangsungan jalannya pemerintahan. Upacara adat yang perlu dibina dan dikembangkan misalnya upacara seba (persembahan hasil bumi), sistem perkawinan dan sistem pengendalian diri dan lingkungan.

Dinilai masih ada kelemahan pada SK Gubernur Jawa Barat tahun 1968 dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1990, maka kemudian pada tahun 2001 diterbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Baduy (Perda Ulayat Baduy). Perda ini dimaksudkan untuk melindungi pelanggaran hukum adat yang dilakukan oleh orang luar. Contohnya, orang luar berkebun di tanah ulayat Masyarakat Baduy dengan menanam komoditas yang justru dilarang oleh hukum adat Masyarakat Baduy, dan praktek penebangan kayu di hutan lindung Baduy. Selain itu dalam upaya mengamankan fungsi wilayah ulayat Masyarakat Baduy sebagai sumber mata air, mencegah banjir dan melindungi hewan-hewan dari tindakan perburuan orang luar.

Kemudian berkenaan dengan pemerintahan desa, diterbitkan Peraturan Daerah Kabupten Lebak Nomor 5/2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupataen lebak Nomor 29 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Desa, berlaku umum. Bab VI dari Perda mengatur tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat-Istiadat serta Lembaga Adat. Dengan tegas diatur mengenai larangan bagi anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) dan kepala desa untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma adat istiadat atau norma-norma yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Pemerintah Daerah mengalokasikan dana untuk mendorong Masyarakat Baduy terus terbuka dengan dunia luar. Ini juga dilakukan dengan maksud agar Masyarakat Baduy sejajar dengan masyarakat lain terutama dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Cara yang dilakukan adalah dengan mewarnai desa-desa yang ada di sekitar Desa Kanekes. Misalnya, membangun mesjid dan sekolah atau memberikan TV.

Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata adalah dinas yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang bersinggungan dengan adat istiadat. Tupoksi itu tepatnya di bawah tanggung jawab Sub Dinas Seni dan Budaya yang salah satu fungsinya adalah melestarikan dan mengembangkan nilai budaya serta meningkatkan pelestrian adat istiadat yang positif. Antara lain mendukung upacara-upacara adat semacam seba atau sereen taon.

2. Hukum Tidak Tertulis

a. Kewilayahan

Aspek kewilayah yang didiami oleh Masyarakat Baduy telah diatur secara tertulis melalui Peraturan Daerah Kabupaten Lebak. Melalui Perda tersebut diakui eksistensi tanah ulayat dan hak-hak Masyarakat Baduy untuk memanfaatkan tanah ulayat tersebut. Selain ditetapkan secara yuridis melalui Perda, secara kultural Masyarakat Baduy telah memiliki wilayah ulayat untuk menjalani kehidupannya yang diperoleh secara turun temurun. Perasaan sebagai pemilik atas anah ulayat ini yang kemudian menjadi dasar Pemerintah Daerah untuk memberikan pengakuan secara yuridis atas wilayah Masyarakat Baduy.

c. Kebudayaan

Desa Kanekes terdiri atas 52 kampung atau dusun. Tiga diantaranya adalah Kampung Baduy Dalam dan sebanyak 49 kampung adalah Kampung Baduy Luar. Istilah Baduy Dalam dan Baduy Luar menggambarkan pembagian kelompok sosial. Masing-masing memiliki peranan yang berbeda, namun memiliki satu sistem pemerintahan (adat dan negara). Pusat pemerintahan adat terletak di Baduy Dalam, dengan Puun sebagai pimpinan adatnya. Ada tiga Puun yang memimpin pemerintahan adat di Desa Kanekes atau Masyarakat Baduy. Ketiga Puun ini tinggal di kampung yang berbeda. Puun dibantu oleh Girang Seurat yang membidangi masalah keamanan, dan Jaro Tangtu yang mewakili Puun setiap kampun dan juga berperanan sebagai juru bicara untuk hubungan-hubungan luar.

Sedangkan pemerintahan negara/desa dijalankan oleh struktur yang lain. Kepala Desa dinamakan dengan Jaro Pamarintah yang tinggal di kalangan Baduy Luar. Jaro Pamarintah dibantu oleh sekretaris desa atau carik. Orang yang menjabat sebagai carik berasal dari luar Masyarakat Baduy, karena terampil membaca dan menulis. Tatanan sosial Orang Baduy masih mengandalkan adat, adat istiadat dan hukum adat sebagai sumber nilai dan norma. Adat istiadat dan hukum adat masih hidup bersamaan dengan terawatnya alam dan bertahannya kelembagaan adat.

Untuk membantu pekerjaan sehari-hari, Masyarakat Baduy menggunakan teknologi yang sederhana, yang dikembangkan oleh mereka sendiri secara turun-temurun. Mereka masih belum bisa menerima teknologi modern, karena dinilai tidak sesuai dengan adat istiadatnya.

Pengetahuan yang berkenaan