Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    1/45

    HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA DAN SEJARAHNYA

    HAK ISTIMEWA YANG HARUS DIDAHULUKAN:

    1. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam Pasal 1137 ayat (1)KUH Perdata:Hak (tagihan, penulis) dari Kas Negara, Kantor Lelang, dan badan publil lainnya yang dibentuk oleh Pemerintah, harus didahulukan

    dalam melaksanakan hak tersebut, dan jangka wakktu berlakunya hak tersebut diatur dalam berbagai undang-undang khusus mengenai

    hal-hal itu.

    Hak-hak yang sama dari persatuan-persatuan (gemeenschappen) atau kumpulan-perkumpulan (zedelijke ligchamen) yang berhak ataubaru kemudian akan mendapat hak untuk memungut bea, diatur dalam peraturan-peraturan yang sudah ada akan akan diadakan

    tentang hal itu.

    (Termasuk tagihan pajak, bea dan biaya Kantor Lelang merupakan Hak Istimewa yang hams didahulukan pelunasannya dari tagihan

    yang dijamin dengan hak jaminan dalam hal harta kekayaan Debitor pailit dilikuidasi.)

    2. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam ayat (3) Pasal 21 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umun dan Tata

    Cara Perpajakan yang telah diubah dengan Undang- undang No. 9 Tahun 1994.

    3. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam Pasal 1139 ayat (1) KUH Perdata, yaitu biaya perkara yang semata-mata disebabkan karena

    suatu penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak atau benda tidak bergerak.4. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam Pasal 1149 angka (1) KUH Perdata, yaitu biaya-biaya perkara yang semata-mata

    disebabkan karena pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

    5. Imbalan Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UUK dan Pasal 67D jo Pasal 69 UUK.

    Sumber Hukum Kepailitan Indonesia:

    1. KUH Perdata khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1133, dan Pasal 1134.2. Faillissementsverordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No.348 sepanjang belum diubah dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1998

    tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan.

    3. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Perubahan atal Undang-undang Kepailitan.

    4. Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas khususnya Pasal 90.

    SEJARAH HUKUM

    KEPAILITAN INDONESIA

    Pendahuluan

    Pada tanggal 22 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tanggal

    22 April 1998 tentang Pembahan atas Undang-undang tentang Kepailitan (Lembaran Negara R.I. Tahun 1998 No. 87 (Undang-undang

    Kepailitan). Perpu tersebut kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi undang-undang dan menjadi

    Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan menjadi Undang-undang tanggal 9 September 1998 (Lembaran Negara RI I Tahun 1998 No. 135).

    Undang-undang Kepailitan Sebelum 1945Mula-mula, kepailitan untuk kasus pedagang (pengusaha) Indonesia diatur dalam Wetboek van Koophandel (W.v.K), buku Ketiga,

    yang berjudul van de Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden (Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang).Peraturan ini termuat dalam Pasal 749 sampai dengan Pasal 910 W.v.K, tetapi kemudian telah dicabut berdasarkan Pasal 2

    Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening (S. 1906-348). Peraturan ini berlaku untk pedagang saja.

    Sedangkan kepailitan untuk bukan pedagang (pengusaha) diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering atau disingkat Rv (S.1847-

    52 jo. 1849-63), Buku Ketiga, Bab Ketujuh, yang berjudul: Van den Staat van Kennelijk Onvermogen (Tentang Keadaan Nyata-nyataTidak Mampu), dalam Pasal 899 sampai dengan Pasal 915, yang kemudian telah dicabut oleh S. 1906-348.

    Adanya dua buah peraturan ini telah menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, di antaranya ialah: banyak formalitas

    yang hams ditempuh; biaya tinggi; terlalu sedikit bagi Kreditor untuk dapat ikut campur terhadap jalannya proses kepailitan; dan

    pelaksanaan kepailitan memakan waktu yang lama.

    Karena adanya kesulitan-kesulitan tersebut, maka timbul keinginan untuk membuat peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya

    yang tidak banyak, agar memudahkan dalam pelaksanaannya. Sehubungan dengan maksud tersebut, maka pada tahun 1905 telah

    diundangkad Faillissementsverordening (S. 1905-217).

    Peraturan ini lengkapnya bernama Verordening op het Faillissement en de Surseance van Betalin voor de Europeanen in Nederlands

    Indie (Peraturan Untuk Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Untuk Orang-Orang Eropa). Berdasarkan Verordening ter invoering

    van de Faillissementsverordening (S. 1906-348), Faillissementsverordening (S. 1905-217) itu dinyatakan mulai berlaku pada tanggal I

    November 1906.

    Dengan berlakunya Faillissementsverordening tersebut, maka dicabutlah:

    1. Seluruh Buku HI dari WVK.

    2. Reglement op de Rechtsvordering, Buku III, Bab Ketujuh, Pasall 899 sampai dengan Pasal 915.

    Faillissementsverordening ini hanya berlaku bagi orang yang termasuk golongan Eropa saja. Hal ini sesuai dengan asas diskriminasi

    1

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    2/45

    hukum yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu terhadap penduduk Hindia Belanda. Pada waktu itu, sesuai

    dengan ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregeling, penduduk Hindia Belanda dibagi atas beberapa golongan sebagai berikut:

    - Golongan Eropa

    - Golongan Bumiputra

    Golongan Timur Asing yang dibagi lagi ke dalam:- Golongan Timur Asing Cina dan

    - Golongan Timur Asing bukan Cina (India, Pakistan, Arab dan Iain-Iain).

    -

    Undang-undang Kepailitan Sejak 1945Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, ada beberapa kurun sejarah yang perludicermati sehubungan dengan berlakunya Faillissementsverordening (Peraturan Kepailitan). Kurun-kurun sejarah itu ialah tahun 1945-

    1947, tahun 1947-1998 dan tahun 1998-sekarang.

    Tahun 1945-1947

    Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan sebagai berikut:"Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang

    Dasar ini".

    Berdasarkan Aturan Peralihan tersebut, maka seluruh perangkat hukum yang berasal dari zaman Hindia Belanda diteruskan

    berlakunya setelah proklamasi kemerdekaan, kecuali jika setelah diuji ternyata bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila.

    Tahun 1947

    Pada tahun 1947, pemerintah pendudukan Belanda di Jakarta menerbitkan Peraturan Darurat Kepailitan 1947 (Noodsregeling

    Faillissmenten 1947). Tujuannya ialah untuk memberikan dasar hukum bagj penghapusan putusan kepailitan yang terjadi sebelum

    jatuhnya Jepang. Tugas ini sudah lama selesai, sehingga dengan demikian Peraturan Darurat Kepailitan 1947 itu sudah tidak berlakulagi.

    Tahun 1947-1998

    Di dalam praktik, Faillissementsverordening relatif sangat sedikit digunakan. Faktor penyebabnya antara lain karena keberadaanperaturan itu di tengah-tengah masyarakat, kurang dikenal dan dipahami. Sosialisasinya ke masyarakat sangat minim. Awalnya,

    Faillissementsverordening itu hanya berlaku untuk pedagang di lingkungan masyarakat yang tunduk pada hukum perdata dan dagang

    Barat saja.

    Akibatnya, Faillissementsverordening itu tidak dirasakan sebagai sesuatu peraturan yang menjadi milik masyarakat pribumi, dankarena itu pula tidak pernah tumbuh di dalam kesadaran hukum masyarakat.

    Faktor penyebab lain ialah karena sebagian besar masyarakat pedagang atau pengusaha pribumi Indonesia dan para pengusaha

    menengah dan kecil masih belum banyak melakukan transaksi bisnis yang besar-besar. Pada umumnya pula mereka masih melakukan

    transaksi dalam lingkungan yang terbatas. Sebagian besar masyarakat pengusaha Bumiputra belum mengenal sistem hukum bisnisBarat.

    Antara lain mereka belum:

    - melakukan kegiatan usaha dengan mendirikan badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas,

    - menerbitkan dan atau melakukan perdagangan surat-surat berharga,- melakukan pembukuan atas transaksi-transaksi bisnis dan keadaan keuangannya, melakukan pembayaran dengan menggunakan

    sistem perbankan, dan membebankan tanggung jawab atas utangnya pada kekayaan perusahaan, bukan pada kekayaan pribadinya.

    Karena persepsi masyarakat yang negatif terhadap badan peradilan, maka masyarakat merasa tidak ada sarana yang efektif yang dapatdigunakan Kreditor

    untuk dapat melindungi kepentingannya, khususnya agar Debitor yang nakal dapat melunasi kewajibannya, jika perlu dengan

    melakukan paksaan secara hukum melalui pengadilan.

    Tahun 1998-SekarangPada bulan Juli 1997 terjadilah krisis moneter di Indonesia yang kemudian diperparah lagi oleh krisis politik yang mengakibatkan

    lengsernya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998.

    Krisis moneter membuat hutang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali Debitor tidak mampu

    membayar utang-utangnya. Di samping itu, kredit macet di perbankan dalam negeri juga makin membubung tinggi secara luar biasa(sebelum krisis moneter perbankan Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit bermasalah atau Non-Performing Loans

    yang memprihatinkan), yaitu sebagai akibat terpuruknya sektor riil karena krisis moneter.

    Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada, sangat tidak dapat diandalkan. Banyak Debitor yang hubungi oleh para Kreditornya

    karena berusaha mengelak untuk tanggung jawab atas penyelesaian utang-utangnya. Sedangkan restrukturisasi utang hanyalahmungkin ditempuh apabila Debitor bertemu dan duduk berunding dengan para Kreditornya atau sebaliknya.

    Di samping adanya kesediaan untuk berunding itu, bisnis Debitor harus masih memiliki prospek yang baik untuk mendatangkan

    revenue, sebagai sumber pelunasan utang yang direstrukturisasi itu. Mengingat upaya restrukturisasi utang masih belum dapat

    diharapkan akan berhasil baik, sedangkan upaya melalui kepailitan dengan menggunakan Faillissementsverordening yang berlakudapat sangat lambat prosesnya dan tidak dapat dipastikan hasilnya, maka masyarakat Kreditor, terutama masyarakat Kreditor luar

    2

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    3/45

    negeri, menghendaki agar Peraturan Kepailitan Indonesia, yaitu Faillissementsverordening, secepatnya dapat diganti atau diubah.

    IMF sebagai pemberi utang kepada pemerintah Republik Indonesia berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter Indonesia

    tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para pengusaha Indonesia kepada para Kreditor luar

    negerinya dan upaya penyelesaian kredit-kredit macet perbankan Indonesia. Oleh karena itu, maka IMF mendesak pemerintahRepublik Indonesia agar segera mengganti atau mengubah Peraturan Kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissementsverordening,

    sebagai sarana penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada para Kreditornya.

    Sebagai hasil desakan IMF tersebut, akhirnya pemerintah turun tangan, dan lahirlah Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

    Undang-undang tentang Kepailitan (Perpu Kepailitan). Perpu tersebut mengubah dan menambah Peraturan Kepailitan(Faillissementsverordening).

    Dari segi bahasa, ada yang kurang tepat pada judul Perpu tersebut, karena selama ini Faillissementsverordening kita kenal dengan

    naffi* sebutan "Peraturan Kepailitan" dan bukan "Undang-undang KepaiW* an". Oleh penyusun Perpu, kata "verordening" dalam

    FaillissementS' verordening telah diterjemahkan dengan kata "Undang-undang"- Perpu No. 1 Tahun 1998. Kemudian diterbitkannya

    Perpu Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 maka 5 bulan kemudian Perpu Kepailitan dan perubahan atas Kepailitan itu ditetapkanmenjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998.

    Pada saat tulisan ini selesai dibuat, suatu tim di bawah Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM

    telah selesai menyusun draft RUU tentang Kepailitan yang baru itu dan telah diajukan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan

    Rakyat.Mengingat dugaan sebelumnya bahwa pelaksanaan Perpu No. 1 Tahun 1998 (yang telah menjadi UU No. 4 Tahun 1998) akan

    menimbulkan banyak kekecewaan, dan ternyata dugaan itu terbukti, maka kebutuhan untuk mempunyai undang-undang kepailitan

    yang lebih baik sudah sangat mendesak pada saat ini. Diharapkan RUU tentang Kepailitan yang baru itu dapat diundangkan dalam

    waktu yang tidak terlalu lama.

    Latar Belakang PerubahanFaillissementsverordening Menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Untuk memahami terjadinya perubahan terhadap

    Faillissementverordening hingga menjadi Undang-undang Kepailitan, yaitu UU No. 4 1998, perlu diketahui latar belakang mengapa

    perubahan itu dilakukan. Beberapa pertimbangan yang dikemukakan adalah:

    - Gejolak moneter yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah memberi pengaruh yang tidak menguntungkanterhadap kehidupan perekonomian nasional, dan menimbulkan kesulitan yang besar di kalangan dunia usaha untuk meneruskan

    kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajiban kepan Kreditor.

    - Untuk memberikan kesempatan kepada pihak Kreditor pada perusahaan sebagai Debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang

    adil, diperlukan sarana hukum yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan efektif.

    - Salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian utang-piutang adalah peraturan tentang kepailitan, termasukperaturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang & Peraturan tentang kepailitan yang masih berlaku, yaitu

    Faillissementsverordening atau Undang-undang tentang Kepailitan sebagaimana termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217

    juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348, memerlukan penyempurnaan dan penyesuaian dengan keadaan dan kebutuhan bagi

    penyelesaian utang-piutang tadi. Untuk mengatasi gejolak moneter beserta akibatnya yang berat terhadap perekonomian saat ini, salah

    satu persoalan yang sangat mendesak dan memerlukan pemecahan adalah penyelesaian utang-piutang perusahaan, dan dengandemikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran yang dapat digunakan oleh Debitor dan para Kreditor

    secara cepat, terbuka dan efektif menjadi sangat perlu untuk segera diwujudkan. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka

    penyelesaian utang-piutang di atas, terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara adil, cepat, terbuka dan efektif melalui

    suatu pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk dan bertugas menangani, memeriksa dan memutuskan

    berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di bidang kepailitan dan penundaan pembayaran, juga sangat diperlukandalam penyelengaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya.

    - Sehubungan dengan adanya kebutuhan yang sangat mendesak bagi penyelesaian masalah seperti tersebut di atas, dipandang perlu

    untuk secepatnya melakukan penyempurnaan terhadap be-berapa ketentuan dalam Undang-undang tentang Kepailitan (Staatsblad

    Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 nomor 348) dan menetapkannya dengan peraturan pemerintah penggantiundang-undang.

    - Penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat, adil, terbuka dan efektif, yaitu: penyempurnaan syarat-syarat dan prosedur

    permintaan pernyataan kepailitan. Termasuk di dalamnya, pemberian kerangka waktu yang pasti bagi pengambilan putusan

    pernyataan kepailitan.

    - Penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan sementara yang dapat diambil pihak-pihak yangbersangkutan, khususnya Kreditor, atas kekayaan Debitor sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan.

    - Peneguhan fungsi Kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan berfungsinya pemberian jasa-jasa tersebut di samping institusi

    yang selama ini telah dikenal, yaitu Kurator. Ketentuan yang ditambahkan antara lain mengatur syarat-syarat untuk dapat melakukan

    kegiatan sebagai Kurator berikut kewajiban mereka.

    - Penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan, bahwa untuk itu dapat langsung diajukanKasasi ke Mahkamah Agung. Tata cara dan kerangka waktu bagi upaya hukum tadi juga ditegaskan dalam penyempurnaan ini. Dalam

    rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan berbagai kepentingan secara adil, dalam rangka penyempurnaan ini juga

    ditegaskan adanya mekanisme penangguhan pelaksanaan hak di antara Kreditor yang memegang Hak Tanggungan, gadai atau agunan

    lainnya. Diatur pula ketentuan mengenai status hukum atas perikatan-perikatan yang telah dibuat Debitor sebelum adanya putusan

    pernyataan kepailitan.- Penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang penundaan kewajiban pembayaran sebagaimana telah diatur dalam

    bagian KEDUA Undang-undang Kepailitan.

    - Penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang mau menyelesaikan masalah kepailitan secara umum. Lembaga berupa

    Pengadilan Niaga dengan hakim-hakimnya yang & bertugas secara khusus. Pembentukan Pengadilan Niaga bukan merupakan langkah

    diferensiasi atas Peradilan Umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970 tentangPokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.

    3

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    4/45

    - Mengenai Pengadilan Niaga, dapat dikemukakan bahwa Pengadilan Niaga bukan merupakan badan peradilan baru di luar badan-

    badan peradilan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tersebut, tetapi hanya sekadar merupakan chamber

    khusus yang baru dalam Peradilan Umum. Jadi, bukan badan peradilan yang berdiri sendiri. Dalam peraturan pemerintah pengganti

    undang-undang ini, peradilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga tersebut akan khusus bertugas menangani permintaan pernyataan

    kepailitan. Keberadaan lembaga ini akan diwujudkan secara bertahap. Begitu pula dengan lingkup tugas dan kewenangannya di luarmasalah kepailitan, akan ditambahkan atau diperluas dari waktu ke waktu.

    - Semuanya akan dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kebutuhan, dan yang penting lagi, tingkat kemampuan serta

    ketersediaan sumber daya yang akan mendukungnya.

    - Perpu No. 1 Tahun 1998 sebagaimana kemudian telah disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 bukan merupakan Undang-undangKepailitan yang baru melainkan hanya sekadar mengubah dan menambah Faillissementsverordening S. 1905 No. 217 Jo S. 1906 No.348. Faillissementsverordening terdiri dari 279 pasal, sedangkan UU No. 41 Tahun 1998 mencabut 6 pasal (Pasal 14A, 19, 218, 219,

    221 dan 272) dan 1 ayat (Pasal 149 ayat (3)). Terdapat 93 pasal yang diubah dan menambah 10 pasal baru. Dengan demikian jumlah

    pasal UU No. 4 Tahun 1998 adalah 282 pasal.

    RUU Kepailitan.Pada waktu Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang

    Kepailitan untuk ditetapkan sebagai undang-undang, terjadi perbedaan pendapat di DPR dan pemerintah mengenai substansi Perpu

    tersebut. Salah satu syarat IMF akan memberikan dana adalah apabila Indonesia mempunyai UU Kepailitan dan akhirnya

    disepakatilah bahwa pemerintah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal UU No. 4 Tahun 1998

    diundangkan, yaitu sejak 9 September 1998, akan menyampaikan RUU tentang Kepailitan yang baru kepada DPR RI.

    Sesuai dengan kesepakatan tersebut seharusnya paling lambat tanggal 9 September 1999 Pemerintah sudah harus menyampaikan RUU

    tentang Kepailitan yang baru sebagai pengganti Perpu No. 1 Tahun 1998 jo UU No. 4 Tahun 1998. Namun karena berbagai alasan dan

    hambatan ternyata RUU tersebut tertunda penyelesaiannya. Pada hakikatnya perbedaanya tidak terlalu, tetapi ada beberapa ketentuan2

    lama yang dihapuskan.

    TUJUAN dan AZAS AZAS HUKUM KEPAILITAN

    Sebagaimana dikutip oleh Jordan el al. dari buku The Early History of Bankruptcy Law, yang ditulis oleh Louis E. Levinthal, tujuan

    utama dari hukum kepailitan digambarkan sebagai berikut:20

    All bankruptcy law, however, no matter when or where devised and enacted, has at least two general objects in view. It aims first, to

    secure an equitable division of the insolvent debtor's property among all his creditors, and in the second place, to prevent on the part of

    the insolvent debtor conduct detrimental to the interest of his creditors. In other words, bankruptcy law seeks to protect the creditors,first, from one another and, secondly, from their debtor. A third object, the protection of the honest debtor from his creditors, by

    means of the discharge, is sought to be attained in some of the systems of bankruptcy, but this is by no means a fundamental feature of

    the law.

    Maka dari itu, beberapa tujuannya adalah:- Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor diantara para kreditornya,

    - Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para Kreditor.

    - Memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para Kreditomya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.

    Menurut Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of Bankruptcy, sebagaimana dikutip oleh Jordan et al, tujuan semua Undang-

    undang Kepailitan (bankruptcy laws) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah-milah hak-hak dari berbagai

    penagih terhadap aset seorang Debitor yang tidak cukup nilainya ( "debt collection system.")

    Maka dari itu tujuan-tujuan dari hukum kepailitan adalah:1. Melindungi para Kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa "semua

    harta kekayaan Debitor baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang baru akan ada di kemudian

    hari, menjadi jaminan bagi perikatan Debitor", yaitu dengan cara memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi

    tagihan-tagihannya terhadap Debitor. Menurut hukum Indonesia, asas jaminan tersebut dijamin oleh Pasal 1131 KUH Perdata. Hukum

    kepailitan menghindarkan terjadinya saling rebut di antara para Kreditor terhadap harta Debitor berkenaan dengan asas jaminantersebut. Tanpa adanya Undang-undang Kepailitan, maka akan terjadi Kreditor yang lebih kuat akan mendapatkan bagian yang lebih

    banyak daripada Kreditor yang lemah.

    2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan Debitor di antara para Kreditor sesuai dengan asas pari passu (membagi secara pro-

    porsional harta kekayaan Debitor kepada para Kreditor konkuren atau unsecured creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihanmasing-masing Kreditor tersebut). Di dalam hukum Indonesia, asas pari passu dijamin oleh Pasal 1132 KUH Perdata.

    3. Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para Kreditor. Dengan dinyatakan

    seorang Debitor pailit, maka Debitor menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindahtangankan harta

    kekayaannya yang dengan putusan pailit itu status hukum dari harta kekayaan Debitor menjadi harta pailit.

    4

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    5/45

    4. Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, hukum kepailitan memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para

    Kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut hukum kepailitan Amerika Serikat, seorang Debitor perorangan

    (individual debtor) akan dibebaskan dari utang-utangnya setelah selesainya tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta

    kekayaannya. Sekalipun nilai harta kekayaannya setelah dilikuidasi atau dijual oleh Likuidator tidak cukup untuk melunasi seluruh

    utang-utangnya kepada para Kreditornya, tetapi Debitor tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi utang-utang tersebut.

    Kepada Debitor tersebut diberi kesempatan untuk memperoleh financial fresh start. Debitor tersebut dapat memulai kembali

    melakukan bisnis tanpa dibebani dengan utang-utang yang menggantung dari masa lampau sebelum putusan pailit. Menurut US

    Bankruptcy Code, financial fresh start hanya diberikan bagi Debitor pailit perorangan saja, sedangkan bagi Debitor badan hukumfinancial fresh start tidak diberikan. Jalan keluar yang dapat ditempuh oleh perusahaan yang pailit ialah membubarkan perusahaanDebitor yang pailit itu setelah likuidasi berakhir.

    Menurut UU Kepailitan, financial fresh start tidak diberikan kepada Debitor, baik Debitor perorangan maupun Debitor badan hukum

    setelah tindakan pemberesan oleh Kurator selesai dilakukan. Artinya, apabila setelah tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap

    harta kekayaan Debitor selesai dilakukan oleh Kurator dan ternyata masih terdapat utang-utang yang belum lunas, Debitor tersebutmasih tetap harus menyelesaikan utang-utangnya.

    Setelah tindakan pemberesan atau likuidasi selesai dilakukan oleh Kurator, Debitor kembali diberikan kewenangan untuk melakukan

    tindakan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaannya, artinya Debitor boleh kembali melakukan kegiatan usaha, tetapi Debitor

    tetap pula berkewajiban untuk menyelesaikan utang-utang yang belum lunas itu.

    5. Menghukum Pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk

    sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam Undang-undang

    Kepailitan Indonesia yang berlaku pada saat ini, sanksi perdata maupun pidana tidak diatur di dalamnya, tetapi diatur di dalam

    Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan KUH Pidana. Di beberapa negara lain, sanksi-sanksi itu di-muat di

    dalam Undang-undang Kepailitan (Bankruptcy Law) negara yang bersangkutan. Di Inggris sanksi-sanksi pidana berkenaan dengankepailitan ditentukan dalam Companies Act 1985 dan Insolvency Act 1986P.

    6. Memberikan kesempatan kepada Debitor dan para Kreditornya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi

    utang-utang Debitor. Dalam Bankruptcy Code Amerika Serikat, hal ini diatur di dalam Chapter 11 mengenai Reorganization. Didalam Undang-undang Kepailitan Indonesia kesempatan bagi Debitor untuk mencapai kesepakatan restrukturisasi utang-utangnya

    dengan para Kreditornya diatur dalam BAB II tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

    Asas-asas Undang-undang Kepailitan1. Undang-undang Kepailitan Hams Dapat Mendorong Kegairahan Investasi Asing, Mendorong Pasar Modal, dan Memudahkan

    Perusahaan Indonesia Memperoleh Kredit Luar Negeri (Biaya dari luar negeri penting dari waktu ke waktu untuk membiayai

    pembangunan nasional jadi Indonesia harus mempunyai hukum Kepailitan yang diterima secara global (globally accepted principles)

    2. Undang-undang Kepailitan Harus Memberikan Perlindungan yang Seimbang bagi Kreditor dan Debitor (menjunjung keadilan dan

    memperhatikan kepentingan keduanya meliputi segi-segi penting yang dinilai perlu untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat, adil, terbuka, dan efektif.

    Penulis memuji sikap yang diambil oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam Putusan No. 024PK/N/1999 dalam perkara antara

    PT Citra Jimbaran Indah Hotel melawan Ssangyong Engineering & Construction Co. Ltd. yang dalam mengabulkan permohonan

    Peninjauan Kembali mengemukakan sebagai berikut:".. .karena Majelis Kasasi telah mengabaikan bunyi penjelasan umum dari makna yang terkandung dalam Perpu No. 1 Tahun 1998

    yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-undang No. 4 tahun 1998, dimana secara esensial ditentukan bahwa

    kepailitan penerapannya harus dilakukan/diselesaikan secara adil dalam arti memperhatikan kepentingan Perusahaan sebagai Debitor

    atau kepentingan Kreditor secara seimbang".

    Perlindungan kepentingan yang seimbang itu adalah sejalan dengan dasar Negara RI yaitu Pancasila. Pancasila bukan saja mengakui

    kepentingan seseorang, tetapi juga kepentingan orang banyak atau masyarakat. Pancasila bukan saja harus memperhatikan hak asasi,

    tetapi harus memperhatikan juga kewajiban asasi seseorang.

    Berdasarkan sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab" harus dikembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain, lebih-lebih

    lagi terhadap orang banyak, Dalam peristiwa kepailitan terdapat banyak kepentingan yang terlibat, yaitu selain kepentingan para

    kreditornya juga kepentingan para stakeholders yang lain dari Debitor yang dinyatakan pailit, lebih-lebih apabila Debitor itu adalah

    suatu perusahaan.

    Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas mengakui bahwa yang terkait dengan kehidupan suatu perseroan ialah:

    1. kepentingan perseroan;

    2. kepentingan pemegang saham minoritas;

    3. kepentingan karyawan perseroan;

    4. kepentingan masyarakat;5. kepentingan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

    Kepentingan-kepentingan masyarakat antara lain:

    1. Negara yang hidup dari pajak yang dibayar oleh Debitor.

    2. Masyarakat yang memerlukan kesempatan kerja dari Debitor.3. Masyarakat yang memasok barang dan jasa kepada Debitor.

    5

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    6/45

    4. Masyarakat yang tergantung hidupnya dari pasokan barang dan jasa Debitor, baik mereka itu selaku konsumen maupun selaku

    pedagang.

    Dalam hal yang dinyatakan pailit adalah suatu bank, yang harus diperhatikan pula adalah kepentingan-kepentingan:

    (1) Anggota masyarakat yang menyimpan dana pada bank yang dinyatakan pailit.(2) Anggota masyarakat yang memperoleh kredit dari bank yang akan terpaksa mengalami kesulitan menggunakan kreditnya apabila

    banknya dinyatakan pailit.

    Pemerintah akan mencoba menciptakan iklim bisnis yang kondusif bagi tumbuhnya dan eksistensi perusahaan-perusahaan. Contoh,sumber pajak akan hilang apabila sebuah perusahaan dinyatakan pailit. Kedua, apabila terjadi PHK. Perusahaan juga memberikankesempatan hidup kepada pemasoknya, baik para pemasok barang maupun jasa. Banyak di antara para pemasok ini adalah justru

    perusahaan menengah dan kecil yang seyogianya oleh pemerintah dilindungi.

    Perusahaan-perusahaan menengah dan kecil ini biasanya hanya mempunyai satu atau dua pembeli dominan saja, dengan demikian

    hidup mereka sangat tergantung kepada satu atau dua perusahaan saja. Oleh karena itu, kepailitan suatu perusahaan akan lebih lanjutdapat mematikan pula perusahaan-perusahaan lain yang menjadi pemasoknya.

    Kepailitan suatu perusahaan juga akan mempengaruhi pemasokan (supply) dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan yang

    pailit itu kepada masyarakat. Imbasnya lebih jauh adalah terhadap para pedagang yang terlibat dan tergantung kepada perdagangan

    barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan yang pailit itu. Sekali lagi mereka ini pada umumnya terdiri dari para pedagang kecildan menengah. Sudah barang tentu para konsumen yang membutuhkan barang dan jasa tersebut juga akan terkena akibat dari

    kepailitan suatu perusahaan.

    Bagaimana kepentingan para Kreditor dilindungi oleh Undang-undang Kepailitan?

    Di dalam praktik perbankan, bank sebagai Kreditor akan selalu mempertimbangkan, oleh karena itu mengandalkan, dua sumber pelu-

    nasan bagi kredit-kredit yang diberikan kepada Debitornya. Sumber per-tama ialah pendapatan (revenue) yang diperoleh oleh Debitordari hasil usahanya. Di dalam praktik perbankan sumber pelunasan ini disebut first way out (bagi penyelesaian kredit bank). Sumber

    kedua ialah harta Debitor dan jaminan-jaminan yang diberikan oleh Debitor nara penjaminnya. Dalam istilah perbankan sumber

    pelunasan ini disebut second way out.

    Hampir tidak pernah terjadi bank akan memperoleh kembali seluruh kredit dari hasil likuidasi harta kekayaan perusahaan Debitor itu.

    Bukan hanya karena pelaksanaan penjualan harta likuidasi tidak mudah dan memakan waktu lama, juga karena seluruh nilai harta

    likuidasi sering tidak cukup untuk dibagikan kepada seluruh Kreditor, termasuk bank-bank. Di samping itu, harga penjualan harta itu

    sering tercapai (jauh) lebih rendah daripada harga pasar yang sebenarnya.

    Dari keterangan di atas, maka dunia perbankan dan lembaga-lembaga pembiayaan lainnya juga sangat menginginkan dan

    berkepentingan agar perusahaan-perusahaan seyogianya tidak langsung dipailitkan apabila masih ada kemungkinan untuk

    diselamatkan dan disehatkan kembali. Dalam rangka itu, sering dalam praktik perbankan, bank bah-kan bersedia untuk memberikan

    kredit baru, yang lazim disebut kredit injeksi demi merapertahankan kehidupan kegiatan usaha Debitor apabila masih memiliki

    prospek yang baik.

    (3) Putusan Pernyataan Pailit Seyogianya Berdasarkan Persetujuan Para Kreditor Mayoritas

    Undang-undang Kepailitan seyogianya menentukan bahwa putusan pengadilan atas permohonan kepailitan yang diajukan oleh

    seorang Kreditor harus berdasarkan persetujuan para Kreditor lain melalui lembaga Rapat Para Kreditor (creditors meeting).

    Di pihak lain, sekalipun permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Debitor sendiri, namun putusan pernyataan pailit itu

    seyogianya tidak (dapat) diambil oleh pengadilan tanpa disetujui oleh semua atau mayoritas Kreditor (sebagian besar Kreditor).

    Yang dimaksudkan dengan mayoritas Kreditor adalah para Kreditor pemilik sebagian besar piutang. Adalah tergantung dari UU

    kepailitan yang bersangkutan apakah untuk menentukan mayoritas itu adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah utang

    Debitor atau 2/3 atau 3/4 dari jumlah utang Debitor.

    Dengan demikian, asas yang dianut dalam suatu Undang-undang Ke-pailitan seyogianya ialah bahwa kepailitan pada dasarnyamerupakan kesepakatan bersama antara Debitor dan para mayoritas Kreditornya.

    Pengadilan atau badan lain yang berwenang untuk memutuskan pernya-taan pailit hanya akan mengeluarkan putusan yang bersifat

    penegasan saja. Tetapi apabila memang kesepakatan antara Debitor dan para Kreditor tidak dapat tercapai (terdapat perbedaan

    pendapat di antara mereka), maka baru putusan pengadilan itu tidak sekadar merupakan penegasan tetapi merupakan keputusan yangmenentukan (menyelesaikan perbedaan pendapat di antara Debitor dan para Kreditor).

    Apabila Kreditor pemohon pernyataan pailit ditolak permohonannya oleh pengadilan karena sebagian besar para Kreditor yang lain

    tidak sependapat agar Debitor dinyatakan pailit, maka Kreditor tersebut masih mungkin mempertahankan hak dan memperjuangkan

    kepentingannya melalui proses gugat-menggugat melalui pengadilan perdata biasa.

    Dengan demikian maka seyogianya syarat kepailitan adalah bahwa Debitor bukan hanya tidak mernbayar utang-utangnya kepada satu

    atau dua orang Kreditor saja, tetapi tidak membayar secara sistemik kepada sebagian besar para Kreditornya. Apabila Debitor tidak

    membayar hanya kepada satu atau dua orang Kreditor saja sedangkan kepada sebagian besar Kreditornya yang bersangkutan tetap

    melaksanakan kewajibannya dengan baik, maka kasus tersebut bukan merupakan kasus yang harus diperiksa oleh Pengadilan Niaga,tetapi harus diperiksa oleh pengadilan perdata biasa. Bukanlah mustahil sekalipun Debitor tidak membayar kepada satu atau dua orang

    6

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    7/45

    Kreditor, tetapi Debitor tidak dalam keadaan insolven (dengan kata lain masih dalam keadaan solven) oleh karena Debitor itu masih

    mampu membayar utang-utang kepada sebagian besar Kreditornya.

    Debitor itu tidak membayar utang salah satu atau dua orang Kreditor tertentu bukan karena tidak mampu lagi membayar utangnya

    kepada Kreditor tersebut, tetapi karena ada alasan tertentu menyangkut Kreditor tersebut yang membuat Debitor tidak mau (tidakbersedia) membayar utangnya kepada Kreditor tertentu itu. Misalnya oleh karena Kreditor tertentu itu telah tidak melaksanakan

    kewajiban kontraktualnya kepada Debitor yang bersangkutan yang harus dilakukan oleh Kreditor tersebut sebelum berhak

    memperoleh pembayaran dari Debitor. Atau karena para Kreditor tertentu tersebut memiliki juga utang kepada Debitor yang tidak

    dipenuhi oleh mereka. Apabila demikian halnya, maka seyogianya perkara itu diajukan kepada dan diperiksa oleh pengadilan perdatabiasa.

    UUK tidak menganut asas yang demikian ini. Menurut Pasal 1 ayat

    (1) UUK, seorang Kreditor dapat mengajukan permohonan pailit terhadap seorang Debitor sepanjang Debitor mempunyai dua atau

    lebih Kreditor (mempunyai Kreditor lain selain dari pemohon) dan cukup hanya apabila piutangnya saja yang tidak dibayar oleh

    Debitor sekalipun piutang-piutang Debitor lain tetap dibayar. Pengadilan dalam mempertimbangkan permohonan pernyataan pailitoleh Kreditor pemohon itu tidak diwajibkan untuk mendengar para Kreditor lain, apalagi diwajibkan memperoleh persetujuan dari

    para Kreditor lain.

    Pasal 1 ayat (1) UUK juga membolehkan Debitor mengajukan permohonan pailit terhadap dirinya tanpa adanya keharusan bagi

    pengadilan untuk meminta persetujuan para Kreditor. Pendirian UUK yang memungkinkan seorang Kreditor saja untuk dapatdikabulkannya permohonan pernyataan pailit terhadap Debitornya itu dapat sangat merugikan para Kreditor lain yang notabene tidak

    mengalami kesulitan dari Debitor atas pelaksanaan pembayaran utang-utangnya. Dapat dirugikannya para Kreditor lain itu adalah juga

    karena UUK tidak melarang pengajuan permohonan pernyataan pailit oleh Kreditor sekalipun besarnya tagihan Kreditor pemohon

    hanya merupakan porsi yang sangat kecil saja dibandingkan keseluruhan utang Debitor.

    Kita ambil contoh, seorang Debitor memperoleh kredit dari beberapa bank dengan jumlah seluruhnya Rp 2,4 triliun. Di samping bank-bank tersebut, Debitor juga memiliki Kreditor-kreditor lain. Apabila ada seorang Kreditor yang hanya memiliki tagihan yang telah

    jatuh waktu dan dapat ditagih berjumlah Rp 5 juta saja, tetapi karena merasa tidak dibayar oleh Debitor, maka Kreditor tersebut

    mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga. Ternyata secara sederhana dapat dibuktikan bahwa utang

    Debitor kepada Kreditor pemohon pailit memang benar adanya dan memang benar jumlahnya serta memang benar utang tersebuttelah jatuh waktu dan dapat ditagih, namun kepada para Kreditor lainnya Debitor tetap melaksanakan kewajiban pembayarannya.

    Apabila permohonan Kreditor tersebut sampai dikabulkan oleh pengadilan, maka sudah barang tentu para Kreditor lain, terutama

    bank-bank yang telah memberikan kredit-kredit besar, akan sangat dirugikan dan putusan pailit itu juga dapat merugikan para

    stakeholders vang lain dari Debitor tersebut.

    Bukanlah mustahil kredit-kredit Debitor kepada bank-bank tersebut memang juga telah jatuh waktu dan dapat ditagih, tetapi Debitor

    masih memiliki potensi dan prospek usaha yang baik, sehingga karena itu bank-bank tersebut tidak menghendaki debitor dipailitkan,

    tetapi dilakukan restrukturisasi terhadap utang Debitor.

    Ketentuan UUK sebagaimana dikemukakan di atas, juga akan sangat merugikan para Kreditor karena menurut UUK Debitor dapatmengajukan permohonan pailit terhadap dirinya tanpa persetujuan para Kreditor.

    (4) Permohonan Pernyataan Pailit Seyogianya Hanya Dapat Diajukan terhadap Debitor yang Insolven yaitu yang Tidak Membayar

    Utang-utangnya kepada Para Kreditor Mayoritas

    Seyogianya Pailit hanya dapat diajukan dalam hal Debitor tidak membayar utang-utangnya kepada satu atau sebagian besar Kreditor

    yang memiliki tagihan yang keseluruhannya merupakan paling sedikit lebih dari 50% dari seluruh utang Debitor kepada semua

    Kreditornya.

    Namun, Faillissementsverordening sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat (1) sebelum kemudian bunyi pasal itu diubah oleh PerpuKepailitan/UUK. Bunyi Pasal 1 ayat (1) Fv adalah sebagai berikut:

    Setiap pihak yang berutang (Debitor) yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan putusan hakim, baik

    atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berpiutangnya (Kreditornya), dinyatakan dalam keadaan

    pailit.

    Harus bukan sekedar tidak mau membayar hutang-hutangnya, (not willing to repay his debts), tetapi keadaan obyektif keuangannya

    memang telah dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya (not able to repay his debt). Hal ini hanya dapat dilakukan

    berdasarkan financial audit atau financial due diligence yang dilakukan oleh suatu kantor akuntan publik yang independen.

    Bunyi Pasal 1 ayat (1) Fv tersebut ternyata kemudian telah diubah dengan Perpu Kepailitan/UUK menjadi berbunyi:Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kredilor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan telah dapat

    ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2, baik atas

    pemohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih Kreditornya.

    Maka agar seorang Debitor dapat dimohonkan pernyataan pailit cukuplah apabila Debitor tersebut tidak membayar utang kepada satuKreditor saja asalkan Debitor yang bersangkutan memiliki dua atau lebih Kreditor. Tidak lagi disyaratkan bahwa keuangan Debitor

    harus telah dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, atau dengan kata lain keadaan keuangan Debitor telah insolven.

    Dengan rumusan Pasal 1 ayat (1) yang baru itu, maka peru-sahaan yang masih solven dapat saja dipailitkan.

    Sepertinya ini tidak sejalan dengan asas hukum kepailitan yang diterima secara global. Dengan ketentuan sebagaimana dikemukakandi atas, ditambah dengan tidak disyaratkannya jumlah minimum piutang dari Kreditor yang dapat mengajukan permohonan pernyataan

    7

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    8/45

    pailit, yaitu sebagai akibat ketentuan bahwa putusan permohonan pernyataan pailit tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari para

    Kreditor mayoritas, maka tidak mustahil apabila Debitor dimohonkan pernyataan pailit oleh seorang pembantu rumah tangganya atau

    oleh seorang pegawainya karena upah pembantu rumah tangga tersebut atau gaji pegawai tersebut tidak di-bayar sekalipun pada

    hakikatnya keadaan keuangan Debitor masih solven (belum insolven).

    Debitor yang tidak membayar utangnya hanya kepada satu atau lebih Kreditor saja tetapi masih membayar utang-utangnya kepada

    sebagian besar para Kreditornya, perkaranya seharusnya bukan diajukan sebagai perkara kepailitan kepada pengadilan yang

    berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara kepailitan. dalam hal UUK adalah Pengadilan Niaga, melainkan diajukan

    sebagai perkara gugatan perdata kepada pengadilan perdata biasa.

    (5) Sejak Dimulainya Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit Seyogianya Diberlakukan Keadaan Diam (Standstill atau Statf)

    Undang-undang Kepailitan seharusnya menganut ketentuan mengenai berlakunya keadaan diam (standstill atau stay) secara otomatis

    (berlaku demi hukum), dengan kata lain memberlakukan automatic standstill atau automatic stay, sejak permohonan pernyataan pailitdidaftarkan di pengadilan. Selama berlakunya keadaan diam tersebut, harta kekayaan (asset) dan hutang debitor harus dinyatakan

    dalam status quo. Ketentuan ini adalah demi melindungi para Kreditor dari upaya Debitor untuk "menyembunyikan" atau dari upaya-

    upaya Debitor untuk mengalihkan sebagian atau seluruh harta kekayaan Debitor kepada pihak lain yang dapat merugikan Kreditor.

    Selama berlangsungnya keadaan diam, Debitor tidak pula diperbolehkan untuk melakukan negosiasi dengan .Kreditor tertentu, tidakboleh melunasi sebagian atau seluruh utangnya terhadap Kreditor tertentu saja. Selama masa itu, Debitor tidak pula diperkenankan

    untuk memperoleh pinjaman baru.

    Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan memberlakukan ketentuan mengenai pembekuan harta kekayaan perusahaan

    Debitor, Undang-undang Kepailitan harus mewajibkan pula kepada Debitor dan pihak ketiga untuk menyerahkan kembali bagian dari

    harta kekayaan perusahaan Debitor yang telah dialihkan oleh Debitor kepada pihak lain, baik melalui hibah maupun jual-beli, yangdilakukan beberapa waktu yang lalu sebelum perusahaan Debitor dinyatakan pailit. Sebaliknya, para Kreditor, melalui Kurator, berhak

    untuk meminta diserahkannya kembali semua bagian dari harta kekayaan Debitor yang telah dipindah-tangankan dengan cara apa pun

    dan dengan alas hak apa pun ke dalam harta Debitor. Hak yang demikian itu dikenal sebagai actio pauliana.

    Dalam keadaan standstill ini tidak dimungkinkan pula terhadap harta kekayaan Debitor, baik sebagian maupun seluruhnya, dibebani

    sita. Juga tidak dimungkinkan para pemegang Hak Jaminan untuk melakukan eksekusi atas Hak Jaminannya.

    Selain bagi kepentingan para Kreditor, berlakunya keadaan diam otomatis atau keadaan diam demi hukum (automatic stay) sejak

    permohonan pernyataan pailit didaftarkan di pengadilan, adalah juga demi melindungi Debitor dari upaya para Kreditor secara sendiri-sendiri menagih tagihannya kepada Debitor.

    Pendirian bahwa diberlakukan keadaan diam otomatis (atau keadaan diam demi hukum) atau automatic stay sejak terdaftarnya

    permohonan pernyataan pailit di pengadilan terhadap Debitor dianut oleh Bankrupcy Code Amerika Serikat. Sedangkan UUK tidak

    menganut keadaan diam sejak terdaftar permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga, tetapi sejak putusan pernyataan pailitdijatuhkan oleh Pengadilan Niaga.

    (6) Undang-undang Kepailitan Harus Mengakui Hak Separatis dari Kreditor Pemegang Hak Jaminan

    Lembaga Hak Jaminan harus dihormati oleh Undang-undang Kepailitan. Di dalam ilmu hukum perdata, seorang pemegang Hak

    Jaminan (Hak Agunan) mempunyai hak yang disebut Hak Separatis. Yang dimaksudkan dengan Hak Separatis ialah hak yang

    diberikan oleh hukum kepada Kreditor pemegang Hak Jaminan bahwa barang jaminan (agunan) yang dibebani dengan Hak Jaminan

    (menurut istilah yang dipakai dalam Undang-undang Kepailitan ialah Hak Agunan) tidak termasuk harta pailit, dan Kreditor berhakuntuk melakukan eksekusi berdasarkan kekuasaannya sendiri yang diberikan oleh undang-undang sebagai per-wujudan dari hak

    Kreditor pemegang Hak Jaminan untuk didahulukan dari para Kreditor lainnya.

    Sehubungan dengan berlakunya Hak Separatis tersebut, maka pemegang Hak Jaminan tidak boleh dihalangi haknya untuk. melakukan

    eksekusi atas Hak Jaminannya atas harta kekayaan Debitor yang dibebani dengan Hak Jaminan itu. Adanya Hak Jaminan danpengakuan Hak Separatis dalam proses kepailitan, merupakan sendi-sendi yang penting sekali dari sistem perkreditan suatu negara.

    UUK ternyata tidak menjunjung tinggi Hak Separatis dari para Kreditor pemegang Hak Jaminan sebagaimana dilihat dari

    diberlakukannya ketentuan Pasal 56AUUK.

    (7) Permohonan Pernyataan Pailit Harus Diputuskan dalam Waktu yang Tidak Berlarut-larut

    Undang-undang Kepailitan harus menjamin proses kepailitan berjalan tidak berlarut-larut. Untuk mencapai tujuan itu, Undang-undang

    Kepailitan harus membatasi berapa lama proses kepailitan harus telah tuntas sejak proses kepailitan itu dimulai. Dalam hubungan ini,maka harus ditentukan batas waktu bagi pengadilan yang berwenang memutuskan pernyataan pailit harus telah memeriksa dan

    memutuskan permohoonan pernyataan pailit itu. Dan keputusan tidak boleh terlalu cepat karna dapat menghasilkan keputusan yang

    mutunya mengecewakan karena dibuat tergesa-gesa oleh hakim.

    UUK telah menganut asas "cepat" tersebut, namun Pasal 6 ayat (4) UUK yang menentukan bahwa putusan atas permohonanpernyataan pailit harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan

    8

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    9/45

    pernyataan pailit didaftarkan adalah tidak realistis. Waktu tersebut sangat pendek sehingga hanya akan menghasilkan kualitas putusan

    yang kurang baik karena diputuskan secara terburu-buru.

    UUK tidak memberikan sanksi seandainya putusan tersebut ditetapkan dalam jangka waktu melebihi 30 (tiga puluh) hari sebagai-

    mana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) UUK tersebut. Bahkan Mahkamah Agung dalam Putusan Peninjauan Kembali, yaitu putusanMahkamah Agung No. 011PK/N/1999 tanggal 15 Juli 1999 mengemukakan: bahwa alasan permohonan peninjauan kembali ad.2.

    tidak dapat dibenarkan, sebab meskipun putusan dijatuhkan melampaui (enggang waktu 30 (tiga puluh) hari, hal tersebut tidak

    membatalkan putusan.

    (8) Proses Kepaiiitan Harus Terbuka untuk Umum

    Mengingat putusan pernyataan pailit terhadap seorang Debitor ber-dampak luas dan menyangkut kepentingan banyak pihak, maka

    proses kepailitan harus dapat diketahui oleh masyarakat luas. Putusan pailit terhadap seorang Debitor bukan saja menyangkut

    kepentingan satu atau dua orang creditor saja, tetapi juga menyangkut semua Kreditor, karena dengan putusan pailit oleh pengadilan

    itu maka terhadap harta Debitor diletakkan sita umum.

    Putusan pailit bukan menyangkut kepentingan para Kreditor saja,

    tapi juga menyangkut stakeholders yang lain dari Debitor yang bersangkutan yaitu Negara sebagai penerima pajak Debitor, para

    karyawan, buruh dari Debitor, para pemasok yang memasok barang dan jasa kebutuhan Debitor, para pedagang atau pengusaha yangmemperda-

    gangkan barang dan jasa Debitor. Para pemasok maupun pedagang atau

    pengusaha yang memperdagangkan barang dan jasa Debitor dapat pula

    berjumlah sangat banyak.

    Para pemegang saham perusahaan Debitor juga memiliki kepentingan yang besar terhadap kepailitan Debitor. Bagi Debitor yangberupa perseroan terbuka, yaitu perseroan yang telah melakukan go-public dengan mendaftarkan saham-sahamnya di pasar modal,

    maka para pemegang saham publik dari perseroan Debitor itu dapat tersebar baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Mereka

    inilah yang disebut para investor publik dari perusahaan Debitor.

    Oleh karena begitu banyak pihak yang berkepentingan dengan Debitor yang bersangkutan, maka sejak permohonan pailit diajukan

    kepada pengadilan, selama proses pemeriksaan berlangsung di pengadilan, baik di pengadilan tingkat pertama maupun

    banding/Kasasi, ketika putusan pailit dijatuhkan oleh pengadilan di tingkat pertama maupun banding/ Kasasi, selama tindakan

    pemberesan dilakukan oleh Likuidator/Kurator, harus dapat diketahui oleh umum. Apabila berlangsung proses restruk-turisasi, sejak

    proses itu dimulai, selama berlangsungnya negosiasi anta-ra Debitor dan para Kreditor, dan ketika terjadi putusan terhadap upayaresrukturisasi utang, baik berupa penerimaan maupun penolakan terhadap upaya restrukturisasi utang itu, harus pula proses

    restrukturisasi itu dapat diketahui oleh umum.

    UUK telah menganut asas ini. Di dalam pertimbangan maupun penjelasan umum dari UUK dapat diketahui bahwa UUK memang

    menganut asas keterbukaan.

    (9) Pengurus Perusahaan yang karena Kesalahannya mengakibatkan Perusahaan Dinyatakan Pailit Harus Bertanggung Jawab secara

    Pribadi

    Sering ditemui dalam praktik, terjadinya kesulitan keuangan suatu perusahaan bukan sebagai akibat keadaan bisnis yang tidak baik,tetapi karena para Pengurusnya tidak memiliki kemampuan profesional yang baik untuk mengelola perusahaan atau karena tindakan-

    tindakan tidak terpuji dari para Pengurus perusahaan. Tindakan-tindakan tidak terpuji itu antara lain Pengurus perusahaan melakukan

    perbuatan-perbuatan yang berorientasi kepada kepentingan pribadi dengan merugikan perusahaan.

    Di dalam Undang-undang Kepailitan seharusnya dimuat asas bahwa Pengurus yang karena kelalaiannya atau karena

    ketidakmampuannya telah menyebabkan perusahaan berada dalam keadaan keuangan yang sulit, harus bertanggung jawab secara

    pribadi.

    Asas yang demikian itu ternyata tidak terdapat di dalam UUK, tetapi bukan berarti hukum Indonesia tidak mengatur mengenai asasyang demikian itu. Sekalipun asas tersebut tidak dimuat di dalam UUK, tetapi asas tersebut secara eksplisit dimuat di dalam Undang-

    undang tentang Perseroan Terbatas, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1995. Mengenai hal ini harap dibaca uraian dalam Bab 37

    buku ini.

    (10) Undang-undang Kepailitan Seyogianya Memungkinkan Utang Debitor Diupayakan Direstrukturisasi Terlebih Dahulu SebelumDiajukan Permohonan Pernyataan Pailit

    Undang-undang Kepailitan haruslah tidak semata-mata bermuara kepada atau dengan mudah memungkinkan dipailitkannya suatu

    perusahaan Debitor yang tidak membayar utang. Undang-undang Kepailitan harus memberikan alternatif muara yang lain, yaitu

    berupa pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak membayar utang-utangnya tetapi masih memiliki prospekusaha yang baik dan pengurusnya beritikad baik serta kooperatif dengan para kreditor untuk melunasi utang-utangnya, untuk

    direstrukturisasi utang-utangnya dan disehatkan perusahaannya. Restrukturisasi utang dan perusahaan (debt corporate restructuring,

    atau corporate reorganization, atau corporate rehabilitation) akan memungkinkan perusahaan Debitor kembali berada dalam keadaan

    mampu membayar utang-utangnya.

    Justru muara ini yang harus pertama-tama dan terlebih dahulu diusa-hakan oleh para Kreditor dan Debitor, sebelum diajukan

    9

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    10/45

    permohonan pailit terhadap Debitor, demi kepentingan-kepentingan yang telah dise-butkan di atas. Dengan kata lain, kepailitan

    seyogianya hanya meru-

    pakan ultimum remidium.

    Sejalan dengan pikiran tersebut di atas, patut dipuji pendirian Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam Putusan No. 024PK/N/1999dalam perkara antara PT Citra Jimbaran Indah Hotel melawan Sangyong Engineering & Construction Co. Ltd. yang dalam

    mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali mengemukakan sebagai berikut:

    Potensi dan prospek dari usaha Debitor harus pula dipertimbangan secara baik. Jika Debitor masih mempunyai potensi dan prospek,

    sehingga merupakan tunas-tunas yang masih dapat berkembang seharusnya masih diberi kesempatan untuk hidup dan berkembang.Oleh karena itu penjatuhan pailit merupakan ultimum remidium.

    Lebih lanjut Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam menolak putusan pernyataan pailit dalam perkara tersebut mengemukakan

    alasan penolakannya;

    "...dan bahkan terhadap hutang Debitor/Termohon Pailit telah diadakan restrukturisasi menunjukkan bahwa usaha Debitor masih

    mempunyai potensi dan prospek untuk berkembang dan selanjutnya dapat memenuhi kewajibannya kepada seluruh Kreditor dikemudian hari dan oleh karena itu Debitor/Termohon pailit bukan merupakan a Debtor is hopelessly in debt."

    Dengan kata lain, Majelis Hakim dalam Peninjauan Kembali perkara tersebut berpendirian bahwa adalah tidak dibenarkan untuk

    mengabulkan suatu permohonan pernyataan pailit terhadap Debitor yang masih memiliki potensi dan prospek usaha untuk

    berkembang sehingga di kemudian hari akan dapat melunasi utang-utang kepada para Kreditornya.

    UUK tidak berpendirian bahwa kepailitan merupakan jalan terakhir untuk merupakan ultimum remidium setelah upaya restrukturisasi

    utang gagal. Kegagalan tersebut dapat terjadi baik karena restrukturisasi utang dinyatakan tidak layak setelah dilakukan studi

    kelayakan atau karena tidak tercapainya kesepakatan antara Debitor dan para Kreditor menge-nai syarat-syarat restrukturisasi. Dapat

    pula kegagalan itu terjadi dalam implementasinya setelah disepakati oleh Debitor dan para Kreditornya.

    Sekalipun UUK mengenal lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tetapi tidak menentukan bahwa harus ditempuh

    upaya PKPU terlebih dahulu sebelum dapat diajukan permohonan pailit terhadap Debitor. Menurut UUK, PKPU dapat diajukan baik

    sebelum permohonan pernyataan pailit diajukan terhadap Debitor maupun ketika berlangsung proses pemeriksaan pengadilan terhadap

    permohonan pernyataan pailit. Bahkan UUK memungkinkan dilakukannya perdamaian antara Debitor dan para Kreditornya sekalipuntelah ada putusan pernyataan pailit dari pengadilan. Baca mengenai hal ini dalam Bab 35 buku ini.

    (11) Undang-undang Kepailitan Harus Mengkriminalisasi Kecurangan Menyangkut Kepailitan Debitor

    Suatu undang-undang kepailitan seyogianya memuat ketentuan-ketentuan sanksi pidana terhadap Debitor yang telah berada dalamkeadaan keuangan yang insolven atau menuju ke arah keadaan keuangan yang insolven, yang melakukan perbuatan-perbuatan yang

    merugikan Kreditor tertentu atau para Kreditor pada umumnya.

    Atau memuat ketentuan-ketentuan sanksi pidana terhadap Kreditor tertentu yang bersekongkol atau berkonspirasi dengan Debitor

    yang telah berada dalam keadaan keuangan yang insolven atau menuju ke arah keadaan keuangan yang insolven untuk hanyamenguntungkan Kreditor yang bersangkutan tetapi merugikan para Kreditor lainnya. Suatu undang-undang kepailitan seyogianya

    memuat ketentuan-ketentuan sanksi pidana terhadap Debitor yang merekayasa Kreditor-kreditor fiktif dalam rangka kepailitannya.

    UUK ternyata tidak memuat ketentuan-ketentuan pidana. Namun bukan berarti hukum Indonesia tidak mengenai sanksi pidana yang

    khusus bagi Debitor-debitor curang. Ketentuan-ketentuan tersebut memang tidak dimuat dalam KUH Pidana. Tapi masih banyak jugaperbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Kreditor ataupun Debitor yang belum diatur dalam KUH Pidana yang seharusnya di

    dikriminalisasikan.

    SYARAT-SYARAT KEPAILITAN

    Syarat-syarat tersebut penting karena apabila permohonan kepailitan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka permohonan

    tersebut tidak akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Menurut Pasal 1 ayat (1) UUK:

    Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,

    dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri,

    maupun atas permintaan seorang atau lebih Kreditornya.

    1. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUK tersebut di atas digunakan dua istilah yang sebenarnya sama artinya, yaitu permohonan ("... baik atas

    permohonannya sendiri...") dan permintaan ("...maupun atas permintaan seorang..."). Tidak jelas mengapa tidak digunakan satu istilah

    saja, yaitu apakah menggunakan istilah "permohonan" saja atau istilah "permintaan" saja.

    2. Syarat Paling Sedikit Harus Ada 2 (dua) Kreditor (Concursus Creditorum)Pengertian Kreditor:

    10

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    11/45

    Pengadilan Niaga dalam putusannya No. 26/Pailit/1999/PN.Niaga/ Jkt.Pst. tanggal 31 Mei 1999 dalam perkara kepailitan antara PT

    Liman Internasional Bank sebagai Pemohon Pailit melawan PT Wahana Pandugraha sebagai Termohon Pailit berpendirian bahwa

    Kantor Palayanan Pajak Jakarta-Gambir dan Kantor Pelayan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Pandeglang yang ditarik dalam

    permohonan sebagai Kreditor lain oleh pemohon dan ditolak oleh yang bersangkutan, maka Majelis Hakim dapat menerima alasanpenolakan tersebut karena utang pajak timbul berdasarkan ketentuan undang-undang bukan karena adanya perjanjian utang-piutang

    antara Termohon dengan Kantor Pelayanan Pajak.

    Terhadap perkara tersebut Mahkamah Agung RI dalam putusan Kasasinya, yaitu putusan No. 015K7N/1999 tanggal 14 Juli 1999mengemukakan dalam pertimbangannya:

    bahwa Kantor Pelayanan Pajak maupun Kantor Pelayana Pajak Bumi dan Bangunan, tidak termasuk Kreditor dalam ruang lingkup

    pailit. Bentuk utang pajak adalah tagihan yang lahir dari UU No. 6 tahun 1983 (sebagaimana dirubah dengan UU No. 9 tahun 1994,

    Ketentuan Umum Perpajakan = KUP). Berdasarkan undang-undang tersebut, memberi kewenangan khusus Pejabat Pajak untuk

    melakukan eksekusi langsung terhadap utang pajak di luar campur tangan kewenangan Pengadilan. Dengan demikian terhadap tagihan

    utang pajak harus diterapkan ketentuan Pasal 41 ayat (3) UU No. 4 tahun 1998, yakni menempatkan penyelesaian penagihan utangpajak berada di luar jalur proses pailit, karena mempunyai kedudukan hak istimewa penyelesaiannya.

    Harus dibedakan antara pengertian Kreditor dalam kalimat "...mempunyai dua atau lebih Kreditor..." dan Kreditor dalam kalimat

    "...atas permintaan seorang atau lebih Kreditornya." yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUK.

    Kalimat yang pertama adalah untuk mensyaratkan bahwa Debitor tidak hanya mempunyai utang kepada satu Kreditor saja. Dengan

    demikian menurut pendapat penulis, kata "Kreditor" yang dimaksud dalam kalimat yang pertama itu adalah sembarang Kreditor, yaitu

    baik Kreditor konkuren maupun Kreditor preferen. Yang ditekankan di sini adalah bahwa keuangan Debitor bukan bebas dari utang,

    tetapi memikul beban kewajiban membayar utang-utang.

    Sedangkan maksud kalimat yang kedua adalah untuk menentukanbahwa permohonan pailit dapat diajukan bukan saja oleh Debitor sendiri tetapi juga oleh Kreditor.

    Dalam kalimat yang kedua ini, Kreditor yang dimaksud adalah Kreditor konkuren. Mengapa harus Kreditor konkuren adalah karena

    seorang Kreditor separatis atau Kreditor pemegang Hak Jaminan tidak memmpunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukanpermohonan pernyataan pailit mengingat Kreditor separatis telah terjamin sumber pelunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan

    yang dibebani dengan Hak Jaminan.

    Apabila seorang Kreditor separatis merasa kurang terjamin sumber pelunasan piutangnya karena nilai Hak Jaminan yang dipegangnya

    lebih rendah daripada nilai piutangnya, dan apabila Kreditor separatis itu menghendaki untuk mem-peroleh sumber pelunasan dariharta pailit, maka Kreditor separatis itu harus terlebih dahulu melepaskan hak separatisnya, sehingga dengan demikian berubah

    statusnya menjadi Kreditor konkuren.

    Berlakunya ketentuan bahwa Debitor harus mempuyai dua atau lebih Kreditor, menimbulkan masalah hukum. Haruskah Kreditor

    pemohon pernyataan pailit membuktikan bahwa Debitor mempunyai Kreditor lain selain dari Kreditor pemohon? Apabila memangKreditor pemohon diharuskan untuk dapat membuktikan bahwa selain Kreditor pemohon masih ada Kreditor lain, hal itu tidaklah

    mudah dilakukan oleh Kreditor tersebut.

    Oleh karena tidak ada ketentuan yang mewajibkan agar setiap utang yang diterima oleh seorang Debitor harus didaftarkan pada suatu

    badan tertentu yang diserahi tugas untuk mencatat utang-utang dalam suatu daftar khusus, maka sulit bagi Kreditor pemohon untukdapat mengetahui siapa saja Kreditor-kreditor dari Debitor.

    Oleh karena menurut KUH Acara Perdata Indonesia (HIR) seorang yang mengajukan gugatan atau permohonan harus membuktikan

    kebenaran gugatan atau permohonannya, atau dengan kata lain beban pembuktian ada pada penggugat atau pemohon, maka pemohonpernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa Debitor memiliki lebih dari satu Kreditor (terdapat Kreditor lain selain Kreditor

    pemohon), dan harus dapat pula menyebutkan dengan mengemukakan bukti-bukti siapa saja Kreditor-kreditor lain itu.

    3. Syarat Harus Adanya Utang

    Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon pernyataan pailit ialah harus adanya utang. UUK tidak menentukan apa yang

    dimaksudkan dengan utang. Dengan demikian para pihak yang terkait dengan suatu permohonan pernyataan pailit dapat berselisihpendapat mengenai ada atau tidak adanya utang. Pihak-pihak yang dimaksud ialah (penasihat hukum dari) pemohon, (penasihat

    hukum dari) Debitor, dan Majelis Hakim yang memeriksa permohonan itu, baik Majelis Hakim Pengadilan Niaga, Majelis Hakim

    Kasasi, maupun Majelis Hakim Peninjauan Kembali.

    4. Syarat Utang Harus Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih

    Pasal 1 ayat (1) UUK tidak membedakan tetapi menyatukan syarat utang yang telah jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih.Penyatuan tersebut ternyata dari kata "dan" di antara kata "jatuh waktu" dan "dapat ditagih".

    Kedua istilah itu dapat berbeda pengertiannya dan kejadiannya. Suatu utang dapat saja telah dapat ditagih tetapi belum jatuh waktu.

    Pada perjanjian-perjanjian kredit perbankan, kedua hal tersebut jelas dibedakan. Utang yang telah jatuh waktu ialah utang yang

    dengan lampaunya waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu, menjadi jatuh waktu dan karena itu pulaKreditor berhak untuk menagihnya.

    Pengertian "utang yang telah jatuh waktu" dan "utang yang telah dapat ditagih" berbeda. "Utang yang telah jatuh waktu", atau utang

    yang telah expired, dengan sendirinya menjadi "utang yang telah dapat ditagih", namun utang yang telah dapat ditagih belum tentu

    merupakan utang yang telah jatuh waktu.

    11

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    12/45

    Utang hanyalah jatuh waktu apabila menurut perjanjian kredit atau perjanjian utang-piutang telah sampai jadwal waktunya untuk

    dilunasi oleh Debitor sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian itu. Misalnya saja telah sampai jadwal cicilan bagi pelunasan kredit

    investasi yang ditentukan bertahap, misalnya setiap 6 (enam) bulan sekali setelah masa tenggang (grace period) lampau, dan harus

    telah dilunasi seluruhnya pada akhir perjanjian yang bersangkutan. Namun, suatu utang sekalipun jatuh waktunya belum tiba,

    mungkin saja utang itu telah dapat ditagih, yaitu karena telah terjadi salah satu peristiwa yang disebut events of default sebagaimanaditentukan ai dalam perjanjian itu.

    Maka seyogianya kata-kata di dalam Pasal 1 ayat (1) UUK yang berbunyi "utang yang telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih"

    diubah menjadi cukup berbunyi "utang yang telah dapat ditagih" atau "utang yang telan dapat ditagih baik utang tersebut telah jatuhwaktu atau belum". Penulisan seperti kalimat yang penulis usulkan itu akan menghindarkan selisih pendapat apakah utang yang "telahdapat ditagih" tetapi belum "jatuh waktu" dapat dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit. Biasanya diberikan

    somasi dahulu apabila tidak diindahkan, maka Debitor tersebut dianggap lalai dan utang telah dapat ditagih.

    5. Syarat Cukup Satu Utang Saja Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih

    Bunyi Pasal 1 ayat (1) di dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 sebagaimana telah disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 merupakanperubahan dari bunyi Pasal 1 Faillissementsverordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348. Bunyi Pasal 1 ayat (1) sebelum diubah,

    yaitu bunyi Pasal 1 ayat (1) Fv, adalah:

    Setiap Debitor yang tidak mampu membayar utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang tersebut, baik

    atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang kreditor atau beberapa orang kreditornya, dapat diadakan putusan oleh

    hakim yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan dalam keadaan pailit.

    Seyogianya salah satu syarat untuk mengajukan permohonan pemyataan pailit terhadap seorang Kreditor adalah bahwa selain Debitor

    memiliki lebih dari seorang Kreditor, Debitor tersebut harus pula dalam keadaan insolven, yaitu tidak membayar lebih dari 50% (lima

    puluh perseratus) utang-utangnya.

    Dalam Pasal 1 ayat (1) UUK maupun dalam pasal-pasal lain, tidakditentukan bahwa apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang Kreditor, dipersyaratkan bahwa utang kepada Kreditor

    pemohon harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih serta tidak dibayar oleh Debitor. Dengan demikian dapat dipertanyakan

    apakah seorang Kreditor sekalipun piutangnya belum jatuh waktu dan dapat ditagih boleh tampil sebagai pemohon pernyataan pailit

    dengan syarat pemohon harus dapat membuktikan bahwa Debitor memiliki utang kepada Kreditor lain yang telah jatuh waktu dandapat ditagih.

    Bank pemberi kredit secara mudah dapat mengetahui keadaan keuangan para Debitornya dari laporan hasil pemeriksaan (audit) oleh

    akuntan publik yang diwajibkan oleh bank yang bersangkutan untuk disampaikan oleh Debitor kepada bank dari waktu ke waktu.

    Kalau Kreditor hanya boleh mengajukan permohonan pernyataan pailit menunggu sampai utang Debitor telah jatuh waktu dan dapatditagih, yang mungkin saja masih agak lama, maka kepentingan Kreditor dapat sangat dirugikan.

    Berbeda dengan kasus di atas, dapat muncul kasus lain. Misalnya, Debitor D memiliki utang kepada Kreditor A, B, dan C. Utang

    kepada Kreditor A telah jatuh waktu dan dapat ditagih, sedangkan utang Debitor kepada Kreditor B, dan C, belum jatuh waktu dan

    dapat ditagih. Dalam kasus ini pertanyaan yang timbul adalah apakah dimungkinkan permohonan pailit diajukan oleh Kreditor Akarena utang Debitor kepadanya telah jatuh waktu dan dapat ditagih tetapi utang Debitor terhadap Kreditor B dan C belum jatuh

    waktu dan dapat ditagih?

    Dari bunyi Pasal 1 ayat (1) UUK dapat ditafsirkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap seorang Debitor dapat diajukan

    cukup apabila Debitor tidak membayar hanya untuk satu utang saja yang telah jatuh waktu dan dapa ditagih, sepanjang Debitormempunyai dua atau lebih Kreditor.

    Sekali lagi, Debitor harus dalam keadaan insolven (telah berada dalam keadaan berhenti membayar kepada para Kreditornya), bukan

    sekadar tidak membayar kepada satu atau dua orang Kreditor saja, sedangkan kepada para Kreditor lainnya Debitor masihmelaksanakan kewajiban pembayaran utang-utangnya dengan baik.

    Dalam hal Debitor hanya tidak membayar kepada satu atau dua orang Kreditor saja, sedangkan kepada para Kreditor yang lain

    Kreditor masih membayar utang-utangnya, maka terhadap Debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga

    tetapi diajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri (pengadilan perdata biasa.)

    Ada sebuah contoh yang sangat menarik mengenai putusan pailit Pengadilan Niaga terhadap suatu perusahaan yang masih solven

    hanya berdasarkan dalih bahwa perusahaan tersebut tidak membayar kewajibanya kepada salah satu Kreditor tertentu saja, sekalipun

    kepada Kreditor-kreditor lainnya perusahaan tersebut masih memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan baik. Putusan yang dimaksud

    adalah Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. "PAILIT/2000/PN. NIAGA.JKT.PST tanggal 13 Juni2002 itu, yang menyatakan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT AJMI) pailit. Putusan tersebut telah memicu reaksi yang keras

    tidak saja dari dalam negri, tetapi juga dari dunia internasional.

    Manulife adalah Suatu perusahaan asuransi yang didirikan oleh sebuah perusahaan di Kanada, saham sebesar 51%, Dharmala Sakti

    Sejahtera, Tbk 40%, dan International Finance Corporation (IFC) 9%.

    Perusahaan asuransi jiwa yang tergolong terbesar di Indonesia itu pada saat dipailitkan memiliki keadaan keuangan yang cukup baik

    dengan aset senilai Rp 1,3 triliun, 400 ribu pemegang polls.

    Dengan alasan tidak membayar dividen keuntungan perusahaan tahun 1998, PT AJMI dimohon melalui Pengadilan Niaga Jakartauntuk dinyatakan pailit. Yang memohon putusan pernyataan pailit itu ialah Paul Sukran, S.H. yang berkedudukan selaku Kurator dari

    12

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    13/45

    perusahaan yang sudah dinyatakan pailit sebelumnya, yaitu PT Dharmala Sakti Sejahtera, Tbk. (PT DSS), yang pada 1998 memiliki

    40% saham PT AJMI sebagaimana telah dikemukakan di atas.

    Sesudah PT DSS pailit, saham PT AJMI miliknya dilelang dan dibeli oleh Manulife. Pertimbangan PT DSS sebagai pemohon dalam

    mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT AJMI itu adalah bahwa dengandinyatakannya PT DSS pailit, maka segala sesuatu yang menyangkut

    pengurusan harta kekayaan PT DSS (Debitor pailit) sepenuhnya dilakukan oleh Kurator.

    Selaku Kurator yang diangkat berdasarkan Penetapan Pengadilan Niaga, Pemohon (sebagai Kurator) bertugas melakukan pengurusandan atau pemberesan harta pailit serta berusaha mengumpulkan semua harta kekayaan yang dimiliki oleh PT DSS termasuk tugasnyasebagai Kurator, adalah melakukan penagihan kepada PT

    AJMI selaku termohon berupa membayarkan dividen tahun buku 1999

    berikut bunga-bunganya kepada PT DSS selaku pemilik/pemegang 40%

    saham pada PT AJMI yang tercatat untuk tahun buku 1999. Dalam PasalX Akte Perjanjian Usaha Patungan, di antara para pemegang saham,

    dalam mendirikan PT AJMI, telah disepakati bahwa "Sejauh perusahaan

    memperoleh laba dan telah mendapatkan suatu surplus untuk dibagikan

    kepada para pemegang saham untuk tahun pembukuan Perusahaan yang

    mana pun (sebagaimana dapat dilihat dari Laporan Keuangan yang telahdiaudit sehubungan dengan tahun pembukuan yang bersangkutan), hak akan mengatur agar perusahaan (PT Asuransi Jiwa Manulife-

    semua membayar dividen sedikitnya sama dengan 30% dari life surplus yang melebihi Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

    Berdasarkan Laporan Keuangan PT AJMI tahun buku 1999 dan 1998 yang dibuat oleh ERNST & YOUNG selaku auditor

    independen, "Consolidated Financial Statement Desember 31, 1999 and 1998 telah ditentukan bahwa PT AJMI telah mendapat

    surplus dari keuntungan sebesar Rp 186.306.000.000,00 (seratus delapan puluh enam miliar tiga ratus enam juta rupiah). BerdasarkanLaporan Keuangan tersebut dan dengan mengacu kepada Pasal X Akta Perjanjian Usaha Patungan, maka menurut Pemohon, dividen

    yang harus dibagikan kepada para pemegang saham Termohon (PT AJMI) adalah sebesar Rp 55.891.800.000,00 (lima puluh lima

    miliar delapan ratus sembilan puluh satu juta delapan ratus ribu rupiah) yaitu sebesar 30% x Rp 186.306.000.000,00. Berdasarkan hal

    tersebut di atas dan dengan mengacu kepada Pasal X Akta Perjanjian Usaha Patungan, maka menurut Pemohon, PT DSS sebagaipemegang saham sebanyak 40% berhak untuk mendapat pembagian dividen beserta bunga-bunganya sebesar 40% x Rp

    55.891.800.000,00, yaitu sebesar Rp 22.356.720.000,00 (dua puluh dua miliar tiga ratus lima puluh enam juta tujuh ratus dua puluh

    ribu rupiah).

    Total kewajiban Termohon kepada Pemohon setelah utang dividen itu ditambah dengan bunga yang belum dibayarkan sejak tanggal01 Januari 2000 sampai dengan 30 April 2002 (2 tahun 4 bulan) dengan perhitungan bunga sebesar 20% pertahun adalah berjumlah

    Rp 32.789.856.000,00 (tiga puluh dua milyar tujuh ratus delapan puluh sembilan juta delapan ratus lima puluh enam ribu rupiah).

    Termohon dengan berbagai alasan berusaha untuk menghindar dari kewajiban membayar dividen tersebut yang telah diupayakan

    penagihannya oleh Pemohon.

    Permohonan Pemohon untuk memailitkan Termohon PT AJMI telah dikabulkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan putusan

    sebagaimana dikemukakan di atas. Sehubungan dengan putusan pernyataan pailit terhadap PT AJMI oleh Pengadilan Niaga tersebut

    reaksi keras datang dari pemerintah Kanada. Reaksi keras tersebut muncul karena MI merupakan perusahaan yang keadaan

    keuangannya masih solven.

    Dalam surat kabar Kompas tanggal 21 Juni 2002, halaman depan dengan judul "Buntut Kasus Pailit PT AJMI; Ka Pertimbangkan

    Sanksi Untuk RF' diberitakan bahwa:

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Kanada Bill Graham mengatakan pemerintah Kanada mempertimbangkan untuk melancarkan aksi

    retaliasi (balasan) terhadap Pemerintah RI karena dinilai tidak menunjukkan respons yang memadai berkaitan dengan kasus pailit PTAsuransi AJ Manulife Indonesia (AJMI) yang kontroversial. Graham, dikutip harian Canada National Post, Kamis (20/6), mengatakan

    Pemerintah Kanada akan mengkaji semua opsi, termasuk kemungkinan menerapkan sanksi terhadap Pemerintah Indonesia. Bahkan, ia

    tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menghadapi sanksi internasional.

    Lebih lanjut dalam harian Kompas yang sama diberitakan pula:Duta Besar Kanada untuk Indonesia, Ferry de Kerckhove sendiri dikutip AFP, Kamis, menuding Pemerintah Rl tidak berbuat apa-apa

    untuk memecahkan kasus sengketa antara Manulife Financial Corp dengan mantan mitra lokalnya, Dharmala Group, yang berlarut-

    larut sejak tahun 1998. "Kami tidak puas dengan respons yang ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia," ujarnya.

    Dalam harian Kompas 20 Juni 2002, yang dimuat di halaman depan dengan judul "Menko Perekonomian: Kasus PT AJMI Harus JadiPelajaran" diberitakan bahwa Duta Besar Prancis untuk Indonesia Herve Ladseus dalam konferensi pers usai pertemuan dengan

    Jajaran pemerintah Provinsi Jawa Barat di Bandung, Rabu, mendesak pemerintah RI bersikap tegas dalam menegakkan aturan hukum,

    agar para investor asing mendapat kepastian keamanan atas modal yang telah ditanarnkan di Indonesia. Menurut dia, kasus PT AJMI

    merupakan suatu presenden buruk terhadap iklim investasi di Indonesia. "Investor asing akan semakin enggan menanamkan modalnya

    di sini", ujar Ladseus.

    Dalam harian Kompas yang sama diberitakan pula bahwa hal senada diungkapkan oleh Presiden American Chamber of Commerce

    (Kamar Dagang dan Industri/Kadin Amerika) Carol Hessler. "Reformasi hukum merupakan hal yang sangat penting untuk saat ini,"

    ujarnya dikutip Reuters.

    Deputi Managing Director IMF, Anne Krueger, Dow Jones Newswires, Sabtu (22/6), bahkan menyatakan dengan tegas, IMF tidak

    13

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    14/45

    senang atas perkembangan di Indonesia menyangkut privatisasi dan juga reformasi hukum. Salah satu yang disoroti Krueger

    menyangkut keputusan kontroversi Pengadilan Niaga yang akhirnya memailitkan AJMI.

    Kueger juga mengaku, IMF sependapat dengan Pemerintah Kanada dan juga para investor asing bahwa keputusan pengadilan tersebut

    akan dapat mengurangi minat investor asing untuk berinvestasi ke Indonesia.

    Sehubungan dengan reaksi pemerintah Kanada tersebut di atas, Staf Ahli Menko Perekonomian, Mahendra Siregar, mengemukakan

    bahwa di dalam negara demokrasi, pemerintah tidak bisa ikut campur dalam proses ataupun keputusan pengadilan. Terutama, kata dia,

    dalam kasus perdata, seperti Manulife. Siregar juga mengharapkan pemerintah Kanada dapat memahami apa yang sedang dilakukanoleh Indonesia dalam menjalankan agenda reformasi, terutama di bidang hukum.

    Menko Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, sebagaimana dikutip oleh Kompas, 20 Juni 2002, mengatakan bahwa masalah

    kepailitan AJMI merupakan gambaran Indonesia yang ada pada saat ini dan pemerintah tidak bisa mencampuri masalah yudikatif.

    Atas putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut, PT AJMI telah mengajukan Kasasi. Reaksi-reaksi tersebut (seperti gugatankorupsi, tekanan negara luar) akhirnya berhenti setelah kemudian Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor: 021K/N/202 tanggal 5

    Juli 2002 telah mengabulkan permohonan Kasasi dari Pe-mohon Kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan

    Negeri Jakarta Pusat tanggal 13 Juni 2002 Nomor 10/PAILIT/ 2002/PN.NIAGA.JKT.PST.

    Ini adalah contoh kontroversi berdasarkan syarat-syarat dimungkinkannya perusahaan yang masih solven dipailitkan hanya denganalasan karena ada salah satu Kreditor yang utangnya telah jatuh waktu dan dapat ditagih tidak dibayar, sekalipun kepada Kreditor yang

    lain kewajiban-kewaiiban Debitor masih dipenuhi dengan baik. Jadi dengan persyaratan kepailitan sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 1 ayat (1) UUK maka terhadap terjadinya wanprestasi oleh orang perorangan atau suatu badan hukum (Debitor) berkaitan

    dengan kewajiban kontraktual pada khususnya atau kewajiban hukum pada umumnya kepada pihak lain (Kreditor), pihak yang

    dirugikan (Kreditor) telah diberi dua pilihan oleh hukum yang berlaku untuk dapat menuntut haknya, yaitu apakah akan menuntut

    haknya melalui Pengadilan Negeri (pengadilan perdata biasa) dengan mengajukan gugatan atau mengajukan permohonan pailitmelalui Pengadilan Niaga.

    Oleh karena persyaratan kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUK tersebut dapat menimbulkan malapetaka bagi

    dunia usaha, dan lebih lanjut dapat mengurangi minat luar negeri untuk menanamkan modal di Indonesia, dan dapat menyebabkankeengganan lembaga-lembaga pemberi kredit untuk membiayai penrusahaan-perusahaan di Indonesia, penulis berpendapat syarat-

    syarat kepailitan yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) UUK itu harus segera diubah. UUK harus menganut asas bahwa hanya

    perusahaan yang insolven saja yang dapat dinyatakan pailit sebagaimana yang dianut oleh undang-undang kepailitan di banyak

    negara.

    Penulis berpendapat bahwa rumusan Pasal 1 ayat (1) Fv sebelum diubah dengan Perpu Kepailitan lebih tepat karena rumusan tersebut

    sesuai dengan asas atau semangat hukum kepailitan. Rumusan Pasal 1 ya (1) Fv itu merupakan rumusan yang dipakai dalam Undang-

    undang Kepailitan Belanda yang masih berlaku sampai sekarang ini.

    DEBITOR YANG DAPAT DINYATAKAN PAILIT

    Obyek undang-undang kepailitan adalah Debitor, yaitu Debitor yang tidak membayar utang-utangnya kepada para Kreditornya.Undang-undang berbagai negara membedakan antara aturan kepailitan bagi Debitor orang perorangan (individu) dan Debitor bukan

    perorangan atau badan hukum. Apakah UUK mengatur secara berbeda-beda pula kepailitan orang perorangan dan bukan orang

    perorangan?

    Tidak seperti di banyak negara, terutama negara-negara yang menganut common law system, UUK tidak membedakan

    aturan bagi kepailitan Debitor yang merupakan badan hukum maupun orang perorangan (individu).

    Bahwa ruang lingkup UUK meliputi baik Debitor badan hukum maupun Debitor orang perorangan memang tidak tegas-tegas

    ditentukan dalam Undang-undang tersebut, tetapi hal itu dapat disimpulkan dari bunyi pasal-pasalnya. Misalnya dari Pasal 2 ayat (5)UUK yang mengemukakan bahwa "Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana

    dimaksud dalam Anggaran Dasarnya". Pasal 3 ayat (1) UUK mengemukakan bahwa "Dalam hal permohonan pernyataan pailit

    diajukan oleh Debitor yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istri".

    Kepailitan bukan saja dapat diajukan terhadap Badan Usaha Milik Swasta atau badan-badan hukum swasta tetapi dapat jugadiajukan terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

    Kepailitan Holding Company

    Dapatkah permohonan pernyataan pailit diajukan terhadap suatu Holding Company? Penulis berpendapat permohonan itu

    dapat saja diajukan, oleh karena suatu Holding Company adalah suatu perusahaan. Adalah menarik mencermati putusan PengadilanNiaga dalam perkara Ometraco, yaitu Putusan No.3/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst dan No.4/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst yang

    menolak permohonan kepailitan terhadap Holding Company dengan pertimbangan bahwa seharusnya permohonan-permohonan

    terhadap Holding Company dan terhadap anak perusahaan tersebut diajukan dalam satu permohonan.

    Terhadap putusan ini Kartini Muljadi, S.H., salah satu perancang Perpu No. 1 Tahun 1998, berpendapat bahwa pertimbanganPengadilan Niaga tersebut kurang tepat. Permohonan pailit terhadap Holding Company dan anak perusahaannya oleh UUK tidak

    14

  • 7/23/2019 Hukum Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya

    15/45

    diwajibkan untuk diajukan dalam satu permohonan. Mereka merupakan badan hukum yang berbeda, mempunyai Kreditor yang

    berbeda, mungkin pula Holding Company adalah Kreditor dari anak perusahaannya. Penulis sangat mendukung pendapat yang

    dikemukakan oleh Kartini Muljadi tersebut di atas.

    Kepailitan Bank dan Perusahaan Efek

    Undang-undang Kepailitan membedakan antara Debitor bank dan bukan bank, antara Debitor perusahaan efek dan bukan

    perusahaan efek. Pembedaan itu dilakukan berkaitan dengan ketentuan undang-undang ini mengenai siapa yang dapat mengajukan

    permohonan pernyataan pailit.

    Kepailitan Penjamin

    Berkaitan dengan pemberian guarantee yang biasanya diminta oleh perbankan dalam pemberian kredit bank, dengan undang-

    undang ini seorang penjamin atau penanggung yang memberikan personal guarantee atau suatu perusahaan yang memberikan

    corporate guarantee dapat dimohonkan untuk dinyatakan pailit. Selama ini sering tidak disadari baik oleh bank maupun oleh para

    pengusaha bahwa seorang personal guarantor dapat mempunyai konsekuensi hukum yang jauh apabila personal guarantor itu tidak

    melaksanakan kewajibannya. Konsekuensinya ialah bahwa guarantor (baik personal guarantee maupun corporate guarantee) dapatdinyatakan pailit.

    Banyak bankir merasa bahwa personal guarantee hanya memberikan ikatan moral saja dari penjamin (guarantor)-nya. Hal itu

    tidak benar. Menurut Pasal 22 Fv, dengan pernyataan pailit, Debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai kekayaannya

    yang dimasukkan dalam harta pailit terhitung sejak hari pernyataan pailit diputuskan. Dengan demikian, seorang penjamin yangdinyatakan pailit oleh pengadilan tidak lagi dapat melakukan bisnis untuk dan atas nama pribadinya.

    Dalam KUH Perdata, penjaminan atau penanggungan diatur di dalam Pasal 1831 s.d. Pasal 1850. Dari ketentuan-ketentuan

    dalam KUH Perdata itu dapat disimpulkan bahwa seorang penjamin atau penanggung adalah juga seorang Debitor. Penjamin atau

    penanggung adalah juga seorang Debitor yang berkewajiban untuk melunasi utang Debitor kepada Kreditor atau para Kreditornya

    apabila Debitor tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan atau dapat ditagih. Oleh karena penjamin atau penanggung adalahDebitor, maka penjamin atau penanggung dapat dinyatakan pailit berdasarkan UUK.

    UUK mengatur mengenai penjaminan, dalam istilah Fv disebut penanggungan, dalam Pasal 131, Pasal 154 dan Pasal 155

    Fv. Dari bunyi pasal-pasal tersebut tidak ternyata bahwa penjamin atau penanggung tidak dapat diajukan permohonan pernyataanpailit terhadapnya.

    Dalam putusannya No. 39K/N/1999 mengenai kepailitan antara PT Deemte Sakti Indo melawan PT Bank Kesawan, dalam

    tingkat Kasasi, Majelis Hakim Mahkamah Agung antara lain berpendapat sebagai berikut:

    Bahwa i.e. Termohon sebagai guarantor telah melepaskan hak-hak istimewanya raaka Kreditor dapat secara langsung menuntutTermohon untuk memenuhi kewajibannya. Bahwa karena Termohon tidak memenuhi kewajibannya secara suka-rela, maka

    Kreditor/Pemohon mohon agar Termohon dipailitkan dan sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Niaga secara tepat dan

    benar Termohon telah memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit.

    Dalam putusan Mahkamah Agung yang lain mengenai kepailitan penjamin, yaitu Putusan No. 42K/N/1999 dalam perkarakepailitan antara (1) Bank Artha Graha dan (2) PT Bank Pan Indonesia, Tbk. (PT Bank Panin, Tbk.) melawan (1) Cheng Basuki dan

    (2) Aven Siswoyo, Majelis Hakim Kasasi mengemukakan pendapat, sebagaimana ternyata dari pertimbangannya, sebagai berikut:

    Bahwa dengan perjanjian penjaminan No. 50 dan perjanjian jaminan No. 51 (bukti P2 dan P3) yang di antaranya menyatakan

    bahwa para Termohon Kasasi selaku para penjamin melepaskan segala hak-hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang

    penjamin, berarti para Termohon Kasasi sebagai para penjamin adalah menggantikan kedudukan Debitor (PT Tensindo) dalammelaksanakan kewajiban Debitor (PT Tensindo) terhadap para Pemohon (para Pemohon Kasasi) sehingga para Termohon (Termohon

    Kasasi) dapat dikategorikan sebagai debitor.

    Bagaimana halnya apabila penjamin atau penanggung hanya menjamin atau menanggung utang Debitor terhadap suatu

    Kreditor dan ternyata penjamin atau penanggung itu tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar utang Debitor kepadaKreditor yang dijaminnya dan ternyata Kreditor yang dijamin olehnya itu adalah satu-satunya Kreditor baginya? Apakah terhadap

    penjamin atau penanggung itu dapat diajukan permohonan pernyataan pailit? Menurut hemat penulis apabila penjamin atau

    penanggung tersebut tidak memiliki lebih dari satu Kreditor, sehingga tidak terpenuhi asas concursus creditorum sebagaimana

    disyaratkan oleh Pasal 1 ayat (1) UUK, maka terhadap penjamin atau penanggung itu tidak dapat diajukan permohonan pernyataan

    pailit.

    Secara yuridis murni berdasarkan penafsiran gramatikal terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUK, seorang penanggung

    tidak dapat dinyatakan pailit sebelum harta kekayaan Debitor terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Hal itu

    sejalan dengan ketentuan Pas