Hukum Kesehatan Ukcw

Embed Size (px)

DESCRIPTION

semoga bermanfaat

Citation preview

HUKUM KESEHATAN

HUKUM KESEHATANRestu Prastiwi, S.H, M.KnPengertian Hukum KesehatanHukum kesehatan ialah rangkaian peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur pelayanan medik dan sarana medik. Perumusan Hukum Kesehatan tersebut mengandung pokok-pokok pengertian :Kesehatan ialah keadaan yang meliputi kesehatan badan, rohani (mental) dan sosial, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Pelayanan Medik ialah upaya pelayanan kesehatan yang melembaga, berdasarkan fungsional di bidang pelayanan kesehatan perorangan bagi individu dan keluarga. Fungsi sosial adalah upaya pelayanan kesehatan bagi masyarakat, dan tidak mengambil keuntungan secara komersial, tetapi lebih dititikberatkan pada kemanusiaan.Sarana medik meliputi rumah sakit umum, rumah sakit khusus, klinik spesialis, rumah bersalin, klinik bersalin, rumah sakit bersalin, praktek berkelompok, balai pengobatan/poliklinik (pusat kesehatan masyarakat) dan sarana lain yang ditetapka oleh Menteri Kesehatan.Tenaga kesehatan meliputi tenaga kesehatan Sarjana, Sarjana Muda, menengah dan RendahApotek ialah suatu tempat tertentu, di sana dilakukan usaha-usaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan kemarfasian.Pekerjaan Kemarfasian adalah pembuatan, bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat.Dokter adalah mereka yang menjalankan praktek-praktek pengobatan dan yang memegang wewenang menurut peraturan-peraturan yang berlaku.Apoteker ialah mereka yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan praktek peracikan obat di Indonesia sambil memimpin apotek.Menurut Van der Mijn, hukum kesehatan adalah hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan kesehatan yang meliputi penerapan perangkat hukum perdata, pidana, dan tata usaha negara. Sementara itu, menurut Leenen, definisi hukum kesehatan adalah keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan hukum dibidang kesehatan serta studi ilmiahnya.Dikaitkan dengan berlakunya UU No.23/1992 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan),menurut Hermien Hadiati Koeswadji pengertian hukum kesehatan adalah sekelompok peraturan hukum yang mengatur perawatan pelayanan kesehatan. Berarti di Indonesia hukum kesehatan tersebut sudah diatur dalam UU Kesehatan, yaitu bersumber pada peraturan hukum tertulis yang dibuat oleh lembaga negara yang berwenang. Ketentuan tersebut karena sumber hukum di Indonesia juga dapat ditemukan dalam peraturan hukum kebiasaan yang tidak tertulis, yurisprudensi tetap, dan doktrin/ajaran ilmu pengetahuan. Dengan demikian pengertian hukum kesehatan di Indonesia adalah hukum yang bersumber dari hukum tertulis berkaitan dengan perawatan pelayanan kesehatan yang mengacu pada UU Kesehatan yang telah disahkan pada tanggal 17 September 1992.Jika dihubungkan dengan arti kesehatan dalam pasal 1 angka 1 UU Kesehatan, yaitu keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinan setiap orang untuk hidupProduktif secara sosial dan ekonomi maka hukum kesehatan dapat diartikan sebagai aturan hukum yang mengatur seluruh aspek yang berkaitan dengan upaya pemeliharaan kesehatan yang meliputi kesejahteraan badan, jiwa, dan sosial. Dengan demikian bidang pembahasan hukum kesehatan meliputi semua aspek yang berkaitan dengan upaya kesehatan termasuk kesehatan badan, rohani, dan sosial secara keseluruhan.Menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (Perhuki), hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal itu menyangkut hak dan kewajiban, baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medis, ilmu pengetahuan, kesehatan dan hukum, serta sumber-sumber hukum lainnya.Ruang lingkup hukum kesehatanUpaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan, merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut meliputi peningkatan kesehatan masyarakat baik fisik maupun non-fisik. Di dalam Sistem Kesehatan Nasional disebutkan, bahwa kesehatan menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup lingkup dan jangkuannya sangat luas dan kompleks hal ini sejalan dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia internasional sebagai : A state of complete physical, mental, and social, well being and not merely the absence of desease or infirmity .Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya masalah kesehatan menyangkut semua segi kehidupan dan melingkupi sepanjang waktu kehidupan manusia, baik kehidupan masa lalu, kehidupan sekarang maupun masa yan akan datang. Dilihat dari sejarah perkembangannya telah terjadi perubahan orientasi nilai dan pemikiran mengenai uapaya memecahkan masalah kesehatan.Proses perubahan orientasi nilai dan pemikiran dimaksud selalu berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan sosial budaya. Kebijakan pembangunan di bidang kesehatan yang semula berupa upaya penyembuhan penderita, secara berangsur-angsur berkembang ke arah kesatuan upaya pembangunan kesehatan untuk seluruh masyarakat denga peran serta masyarakat yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan yang mencakup:Upaya peningkatan (promotif)Upaya pencegahan (preventif)Upaya penyembuhan (kuratif)Upaya pemulihan (rehabilitatif)Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud di atas, dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial budaya, termasuk ekonomi, lingkungan fisik dan biologis yang bersifat dinamis dan kompleks. Menyadari betapa luasnya hal tersebut, pemerintah melalui sistem kesehatan nasional, berupaya menyelenggarakan kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dan dapat diterima serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.Upaya tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan pada pelayanan kesehatan untuk masyarakat luas, guna mencapai derajat kesehatan yang optimal.Dalam rangka pembangunan sektor kesehatan yang demikian kompleks dan luas, sangat dirasakan bahwa peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya kesehatan perlu disempurnakan dan ditingkatkan. Jika dilihat dari aspek yuridisnya, dengan dikembangkannya sistem kesehatan nasional, sudah tiba saatnya untuk mengkaji kembali dan melengkapi peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan, dengan mengeluarkan berbagai produk pokok hukum yang lebih sesuai yang dapat:Mendukung adanya sarana pelayanan, program, dan kegiatan dalam seluruh upaya kesehatan yang sudah atau yang akan dikembangkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat termasuk sektor swasta.Memperhatikan kepentingan daerah dan diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan di sektor lain yang berkaitan dengan upaya kesehatan.Berfungsi mendorong pengembangan upaya kesehatan yang diinginkan di masa mendatang sesuai dengan tuntutan masyarakat yang dilayani.Mengatur kewenangan tiap tingkatan upaya kesehatan Mengatur kewenangan dan tanggung jawab pembiayaan upaya kesehatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Mengatur wewenang dan tanggung jawab serta dapat memberikan perlindungan hukum, bagi penerima dan pemberi jasa upaya kesehatan.Mengatur kualitas upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta.Mengganti produk hukum yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisiMemuat sanksi hukum yang sepadan, sehingga setiap pelanggar dapat ditindak sebagaiman mestinya.Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, telah berkembang dengan pesat dan didukung oleh sarana kesehatan yang semakin canggih, perkembangan ini turut mempengaruhi jasa profesional di bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin berkembang.Dalam banyak hal yang berhubungan dengan masalah kesehatan sering ditemui kasus-kasus yang merugikan pasien. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila profesi kesehatan ramai diperbincangkan baik dikalangan intelektual maupun masyarakat awam dan kalangan pemerhati kesehatan.Beberapa tahun terakhir ini sering timbul gugatan dari pasien yang merasa dirugikan, untuk menuntut ganti rugi akibat kesalahan atau kelalian yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan dalam melaksanakan pekerjaannya. Berbagai kasus telah disidangkan di pengadilan dan mendapat sorotan dari profesi kalangan keehatan dan profesi hukum.Pada dasarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi medis merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan, hal ini disebabkan karena akibat kesalahan atau kelalaian tersebut mempunyai dampak yang sangat merugikan.Seorang dokter dapat dikatakan melakukan suatu kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan profesinya, apabila dia tidak memenuhi kewajibannya dengan baik. Dokter sebagai anggota profesi yang mengabdikan ilmunya pada kepentingan umum mempunyai kebebasan serta kemandirian yang berorientasi kepada nilai-nilai kemanusiaan di bawah panji kode etik kedokteran. Adanya kode etik kedokteran ini bertujuan untuk mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien, menjamin bahwa profesi kedokteran harus senantiasa dilaksanakan dengan niat yang luhur dan dengan cara yang benar.Asas Hukum KesehatanAsas hukum : norma dasar yang dijabarkan dari hukum posistif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Sedangkan menurut Eikema Hommes asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum yang konkrit akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.Di dalam hal ini maka asas hukum bukanlah peraturan hukum yang konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya . Asas hukum diterapkan secara tidak langsung pada umumnya asas hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat dan terpengaruh pada waktu dan tempat.

Namun P.Scholten menyatakan bahwa ada empat asas yang sifatnya sangat universal. Asas tersebut yaitu :Asas kepribadian manusia menghendaki adanya kebebasan individu sehingga berharap ada pengakuan kepribadian manusia, dimana manusia dipanang sebagai subyek hukum penyandang hak dan kewajiban.Asas persekutuan manusia menghendaki persatuan,kesatuan, cinta kasih dan keutuhan masyarakat berdasarkan ketertiban.Asas kesamaan menghendaki adanya keadilan, dimana manusia dipandang sederajat di dalam hukum (equality before the law)Asas kewibawaan menunjukkan bahwa hukum berwenang memberi keputusan yang mengikat para pihaknyaDi dalam ilmu kesehatan dikenal beberapa asas;Sa science et sa conscience : ya ilmunya dan ya hati nuraninya, maksud dari pertanyaan asas ini adalah bahwa kepandaian seorang ahli kesehatan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani dan kemanusiannya. Biasanya digunakan pada pengaturan hak-hak dokter, di mana dokter berhak menolak dilakukannya tindakan medis jika bertentangan dengan hati nuraninya.Agroti salus lex suprema : keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.Deminimis noncurant lex hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele. Hal ini berkaitan dengan kelalian yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Selama kelalaian tersebut tidak berdampak merugikan pasien maka hukum tidak akan menuntut.Res ipsa liquitur faktanya telah berbicara. Digunakan di dalam kasus-kasus malpraktik dimana kelalaian yang terjadi tidak perlu pembuktian lebih lanjut karena faktanya terlihat jelas.Asas-asas ini mendasari berlakunya peraturan atau ketentuan yang konkrit.Rahasia Jabatan dan ProfesiDi bidang pengobatan dan kesehatan, faktor kepercayaan menjadi dasar utama. Hal ini disebabkan karena semua upaya pengobatan dan kesehatan tidak akan berhasil tanpa kepercayaan masing-masing pihak yaitu dokter, petugas kesehatan maupun pasien. Keterbukaan pasien tentang berbagai keluhan yang dirasakan hanya akan dikatakan kepada mereka yang memang layak untuk mendapatkannya.Oleh karena itu profesi di bidang kesehatan ini meletakkan kepercayaan hampir di atas segalanya.Bagaimana seorang dokter atau petugas kesehatan mampu membangun kepercayaan pasien? Pertama adalah menyakinkannya bahwa segala apa yang diungkapkan pasiennya akan tetap menjadi rahasia di antara mereka meskipun maut telah memisahkan. Kedua adalah memberi rasa aman dan nyaman bahwa pasien akan mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan matabatnya sebagai manusia. Sementara itu yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 (tenaga kesehatan dan mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan dan atau perawatan dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan) pada waktu atau selama melakukan pekerjannya dalam lapangan kedokteran (pasal 1,PP No. 10 tahun 1966). Hanafiah memberikan pengertian rahasia, yaitu sesuatu yang disembunyikan dan hanya diketahui oleh satu orang saja, oleh beberapa orang saja atau oleh kalangan tertentu saja.Modal inilah yang akhirnya membawa kewajiban menyimpan rahasia kedokteran menjadi sangat penting sehingga diatur diberbagai ketentuan baik undang-undang maupun kode etik dibidang kesehatan.Pengaturan yang pertama dapat dilihat adalah pada ketentuan :UU No.9 tahun 2004Pasal 4:Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.Rahasia kedokteran hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan undang-undang.KUHPPasal 322 :Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.Jika kejahatan dilakukan seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dituntut atas pengaduan orang itu.PP No. 10 tahun 1966Pasal 3 :Yang diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran adalah :Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan.Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan dan atau perawatan dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.Pasal 4 :Pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran tidak dapat dipidana dengan pasal 322 KUHP, Menteri Kesehatan dapat melakukan tindakan-tindakan administratif.KODEKI maupun kode etik petugas kesehatan yang lainnya.Kodeki pasal 13 :Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang seorang penderita bahkan juga setelah penderita meninggal dunia.Kode Etik Keperawatan (PPNI) Pasal 6 :Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya, kecuali jika diperlukan oleh pihak berwenang.Kode Etik Apoteker pasal 14 :Setiap apoteker wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang penderita itu bahkan sampai ia meninggal.Seperti yang telah dibahas sebelumnya wajib simpan rahasia ini adalah suatu perintah yang diperoleh atas dasar jabatan yang diemban. Namun manakala keadaan menentukan lain maka perintah inipun bisa berubah dan disimpangi.Rahasia kedokteran ini dijaga dengan sangat baik oleh pelaku profesi tidak semata-mata untuk kepentingan jabatan saja tetapi lebih dari itu untuk menghindarkan pasien dari hal-hal yang merugikan karena terbongkarnya status kesehatannya. Sebagai contoh seorang penderita AIDS terancam kehilangan pekerjaannya karena sebagian rekannya takut tertular setelah mengetahui ada seorang penderita AIDS dilingkungan mereka.Alasan kemanusiaan biasanya menjadi hal utama yang digunakan sebagai landasan pewajiban menyimpan rahasia ini. Namun segala bentuk dispensasi terhadap pasal ini dapat dicari celahnya dan disalah gunakan untuk kepentingan-kepentingan lain yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu perlu ada konsolidasi dan penyamaan presepsi antara pelaku profesi kesehatan dengan para penegak hukum, sampai sejauh mana penyimpangan-penyimpangan dapat ditoleransi dan sampai sejauh mana kewajiban harus tetap dipertahankan.Sumber hukum kesehatanSumber hukum adalah tempat ditemukannya hukum. Namun sumber hukum juga seringkali digunakan di dalam beberapa arti :Sebagai asas hukum sebagai suatu yang merupakan permulaan hukumMenunjukkan hukum yang terdahulu codex hukum romawi, codex hukum perancisSebagai sumber berlakunya hukum yang memberi kekuataan berlaku secara formal kepada peraturan hukum penguasa atau masyarakatSebagai sumber darimana dapat mengenal hukum undang-undang, kode etik, dokumen dan lain-lainSebagai sumber yang menimbulkan hukum Sumber hukum dibagi menjadi :Materril tempat dari mana materi hukum diambil. Sumber hukum ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum.Formil tempat darimana suatu ketentuan mendapatkan legitimasi atau kekuataan hukum. Hal ini menyangkut bentuk dan cara bagaimana suatu ketentuan dapat secara resmi berlaku.Undang-undang sebagai sumber hukum kesehatan, ketetapan atau keputusan penguasa yang dilihat dari isinya merupakan undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum yang berada dalam wilayah kompetensinya. Hal ini kemudian dapat disebutkan sebagai undang-undang dalam arti materiil.Sementara di dalam arti formil, undang-undang berarti keputusan penguasa yang jika dilihat dari bentuk dan cara terjadinya atau cara pengesahannya disebut undang-undang.Kekuataan berlakunya undang-undang, kekuataan berlakunya undang-undang menyangkut berlakunya undang-undang secara operasional. Undang-undang memiliki persyaratan untuk dapat berlaku :Kekuataan berlaku yuridisSuatu undang-undang disebut berlaku yuridis apabila persyaratan formalnya telah terpenuhi. Misalnya telah memenuhi kriteria sebagai undang-undang, disahkan oleh lembaga yang berwenang, mengatur suatu bidang secara umum dan lain-lain.Kekuataan berlaku sosiologisYang dimaksud dengan berlaku secara sosiologis adalah suatu undang-undang berlaku sebagai kenyataan di dalam masyarakat. Ada teori berlaku sosiologis :Teori kekuataan hukum berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya leh masyarakat.Teori pengakuan hukum berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh masyarakat.Kekuataan berlaku filosofisHukum mempunyai makna filosofis jika ketentuan tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif tertinggi.Ruang lingkup berlakunya undang-undang, ruang lingkup berlakunya undang-undang dibagi ke dalam dua hal :Ruang lingkup undang-undang menurut waktunya, undang-undang mengatur perilaku atau peristiwa. Prilaku dan peristiwa yang diatur undang-undang adalah perilaku dan peristiwa yang terjadi setelah undang-undang tersebut secara sah diberlakukan dan berlaku mengikat. Jadi undang-undang tidak berlaku surut.Ruang lingkup undang-undang menurut tempat dan orang, ada tiga asas untuk berlakunya undang-undang menurut tempat atau orang :Asas teritorialUndang-undang berlaku bagi setiap orang dalam wilayah negara tanpa membedakan kewarganegaraan orang yang ada di dalam wilayah negara tersebut Aturan pidana di dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam wilayah Indonesia. Dengan demikian apabila ada petugas relawan kesehatan dari negara asing yang melakukan tindakan malpraktek di Indonesia maka ia akan diadili dengan hukum Indonesia.Asas personalUndang-undang berlaku bagi orang yang ada baik di dalam maupun di luar wilayah teritorial suatu negaraAsas universalUndang-undang berlaku bagi setiap orang yang diluar Indonesia melakukan kejahatan tertentu. Misalnya seorang dokter berkewarganegaraan asing memalsukan dokumen rekam medis milik pejabat negara Indonesia untuk kepentingan politik. Maka orang asing tersebut harus tunduk pada hukum Indonesia.Tujuan Hukum KesehatanTujuan hukum pada intinya adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terpenuhi dan terlindungi. Dengan demikian jelas terjadi bahwa tujuan hukum kesehatan pun tidak akan banyak menyimpang dari tujuan umum hukum. Hal ini dilihat dari bidang kesehatan sendiri yang mencakup aspek sosial dan kemasyarakatan dimana banyak kepentingan harus dapat diakomodir dengan baik.Kembali dengan tujuan hukum yang pertama yaitu menciptakan tatanan atau ketentuan, sektor atau bidang kesehatan telah memiliki payung hukum yang cukup untuk bisa menjalankan proses kerja dibidang kesehatan jika semua ketentuan perundang-undangannya dilaksanakan dengan baik dan menjalin saling pengertian diantara pelaku profesi di dalam setiap bagian yang mendukung terlaksananya upaya kesehatan.Sumber-sumber hukum yang ada pun telah secara rinci mengatur hal-hal apa yang menjadi kewajiban setiap pelaku profesi dan apa yang menjadi hak-haknya. Oleh karena itu harapan yang terbesar adalah terciptanya ketertiban dan keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing profesi.Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk melihat secara luas apa yang sebenarnya menjadi tujuan hukum dan apakah di bidang kesehatan hal ini sudah tercapai atau masih sangat jauh dari tujuan.Teori Etis, di dalam teori ini tujuan hukum semata-mata adalah untuk keadilan. Keadilan itu meliputi dua hal yaitu hakekat dan isi.Hakekat keadilan, penilian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya dengan suatu norma yang menurut pandangan subjektif melebihi norma-norma lain. Ada dua pihak yang terlihat disini yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang yang menerima perlakuan.Aristoteles membedakan dua macam keadilan yaitu justicia commutativa dan justicia distributiva.justicia commutativa yaitu memberikan kepada setiap orang sama banyak. Hal ini berlaku di dalam berperkara, dimana terdapat asas equality before the law atau bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. justicia distributiva yaitu setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya. Jatah ini tidak sama antara satu orang dengan lainnya tergantung pada kebutuhan dan kepentingannya. Sifatnya proposional, artinya untuk mendapatkan haknya setiap orang harus mengingat hak dan kepentingan orang lain dan jasa yang telah diberikan sebagai kontra prestasinya.Di dalam hal ini kedua macam keadilan yang ditawarkan Aristoteles tidak begitu saja dapat diaplikasikan, karena hukum sendiri tidak selalu identik dengan keadilan. Tetapi untuk kebaikan bersama, hukum mengatur demikian jadi keadilan terasa selalu naif jika dijadikan tujuan hukum.Masalah hukum kesehatanSetiap pelanggaran hukum akan selalu mengakibatkan timbulnya sanksi hukum. Sanksi ini merupakan monopoli atau wewenang dari penguasa untuk memberikannya, jadi tidak setiap orang boleh melakukan tindakan sendiri dengan maksud untuk mencari keadilan dan kebenaran. Tindakan pribadi yang dilakukan untuk menghakimi seseorang ini disebut eigenrechting atau tindakan main hakim sendiri. Pada hakekatnya tindakan main hakim sendiri ini merupakan tindakan melawan hukum karena dasar keputusan yang digunakan untuk melakukan tindakan tidak melalui prosesperadilan dimana pendapat kedua belah pihak didengar dan dibuktikan berdasarkan fakta dan saksi-saksi.Proses ini sangat penting di dalam menentukan kebenaran sehingga tercapai keadilan yang diharapkan, tindakan main hakim sendiri ini dianggap sebagai pelanggaran hak seseorang untuk membela dirinya dan nama baiknya sehingga termasuk di dalam kategori tindakan melawan hukum. Van Bemmelen memberikan pengertian mengenai tindakan melawan hukum sebagai berikut :Bertentangan dengan ketelitian Bertentangan dengan kewajibanMelakukan tindakan tanpa hakBertentangan dengan hak orang lainBertentangan dengan hukumDengan demikian jelas bahwa eigenrechting masuk di dalam kategori ini karena terjadi pelanggaran hak dan pelanggaran ketentuan perundang-undangan.Di dalam menyelenggarakan upaya kesehatanpun, tidak lepas dari perbuatan-perbuatan yang masuk di dalam kategori eigenrechting, salah satunya adalah euthanasia pasif, hak pasien untuk menentukan hidupnya sama sekali diabaikan untuk kepentingan orang lain (keluarganya). Tindakan ini dianggap memberi vonis tanpa ada proses peradilan untuk itu segala bentuk euthanasia dilarang secara tegas di dalam undang-undang untuk menghindari pengahakiman sendiri tersebut. Dan jika euthanasia tetap dilakukan maka pelakunya akan dikenakan sanksi yang tidak ringan.Namun di dalam hal-hal tertentu ada pengeculian untuk eigenrechting ini, ada beberapa keadaan dimana seseorang bisa terlepas dari hukuman meskipun melakukan tindakan melawan hukum karena alasan-alasan sebagai berikut :Perbuatan tersebut mempunyai dasar pembenaran.Perbuatan seperti apa yang dianggap memiliki dasar pembenaran?Keadaan daruratMelakukan aborsi adalah tindakan main hakim sendiri terhadap ibu maupun janin yang dikandungnya oleh karena itu hukum melarang perbuatan tersebut. Selain karena risiko yang tinggi, aborsi juga termasuk di dalam kategori pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain meskipun masih dalam bentuk janin, tetapi di sisi lain harus menyelamatkan nyawa ibu yang mengandungnya karena alasan kesehatan yang tidak memungkinkan si ibu untuk melahirkan, maka tindakan tersebut memiliki alasan pembenaran. Daripada keduanya tidak tertolong maka lebih baik menyelamatkan satu nyawa, keadaan daruratlah yang memaksa dilakukannya tindakan aborsi. Dokter yang melakukannya tidak akan dituntut karena keadaan darurat yang dihadapi pasiennya.Pembelaan terpaksa.Pembelaan yang dilakukan di dalam kondisi yang mendesak. Contoh misalnya seorang dokter terpaksa membuat pasiennya histeris karena gangguan mental, pingsan baik dengan memberikan injeksi maupun hal lainnya seperti memukul tengkuk. Atau terpaksa mengikat pasiennya karena mengamuk, tindakan ini terpaksa diambil agar para petugas medis dapat melakukan tugasnya dengan baik dan tidak terancam bahaya karena tindakan diluar kendali.Hal ini memperlihatkan bahwa di dalam keadaan normal mengurung, mengikat, atau memukul dan membuat orang lain hilang kesadaran adalah perbuatan melawan hukum, karena termasuk kategori penganiayaan. Namun untuk alasan keamanan dan pembelaan terpaksa karena menghadapi amukan pasien, dokter terbebas dari hukuman meskipun melakukan tindakan melawan hukum.Ketentuan Undang-UndangBarangsiapa yang melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dapat dihukum (Pasal 50 KUHP). Ketentuan undang-undang ini menghalalkan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang. Melakukan perbuatan ini tidak hanya seperti yang diperintahkan undang-undang saja tetapi juga meliputi wewenang yang diberikan kepada petugas lain, contohnya adalah tidak semua orang boleh mengambil alat, organ, atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantas. Namun hanya boleh dilakukan oleh seorang dokter yang bekerja pada sebuah rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan tertera pada pasal 11 (1) PP No. 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia. Dengan demikian jelas jika seorang dokter yang memiliki wewenang melakukan pengambilan jaringan tubuh atau organ manusia, mengambil organ tubuh sebagai persediaan donor sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, maka ia tidak dapat dihukum, namun jika dokter yang melakukan pengambilan adalah dokter yang tidak ditunjuk maka ia dapat dikenakan sanksi pidana.Perintah jabatan.Seorang dokter atau petugas kesehatan memiliki kewajiban untuk menyimpan rahisia kedokteran yang berkait dengan pasiennya sebagai bentuk perintah jabatan. Pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi pidana dan admistratif. Namun adakalanya seorang dokter atau petugas kesehatan harus membuka rahasia tersebut untuk kepentingan pengadilan, hal ini menjadi rumit karena keduanya berkait erat dengan perintah jabatan.Menolak menjadi saksi di pengadilan adalah perbuatan melawan hukum,karena dianggap menghambat proses peradilan dan ikut serta menutup terjadinya kejahatan. Namun di dalam hal tertentu seorang dokter boleh dan mempunyai hak untuk undur diri dari kewajiban menjadi saksi karena alasan perintah jabatan yang mengharuskannya wajib simpan rahasia kedokteran, hal ini diatur di dalam pasal 170 ayat 1,2 KUHP.Pelaku perbuatan tersebut dibebaskan dari kesalahan.Pelaku dapat dibebaskan dari kesalahan apabila terjadi overmacht atau keadaan di luar kemampuan manusia untuk mengatasinya. Misalnya seorang apoteker terpaksa memberikan obat-obatan jenis psikotropika pada para pemuda yang menodongnya dan mengacamnya dengan senjata tajam. Apoteker ini tidak mungkin melawan karena ancaman yang diterimanya terlalu kuat dan nyawa dalam bahaya, maka ia dibebaskan dari hukuman karena memberikan obat-obatan jenis yang dilarang tanpa resep.Dengan demikian tidak semua tindakan eigenrechting akan mendapatkan sanksi hukum. Hal ini disebabkan karena alasan pembenar dan alasan pelepas kesalahan atau alasan pemaaf.Doktrin di Bidang kesehatanDoktrin adalah pendapat para ahli hukum. Landasan penggunaan doktrin ini adalah asas hukum berbunyi communis opinio doctorum atau seseorang tidak boleh menyimpang dari pendapat umum para sarjana atau ahli hukum. Doktrin yang berlaku di dalam ilmu kesehatan ada tiga yaitu :Res Ipsa LiquiturDoktrin dalam pembuktian perdata yang menentukan bahwa pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum dalam bentuk kelalaian tidak perlu membuktikan adanyan unsur kelalaian tersebut. Cukup menunjukkan faktanya, tujuannya adalah untuk mencapai keadilan doktrin ini biasanya digunakan di dalam kasus-kasus malapraktik kedokteran.Syarat berlakunya Res Ipsa Liquitur adalah :Kejadian tersebut tidak biasanya terjadiKerugian tersebut tidak ditimbulkan oleh pihak ketigaInstrumen yang digunakan di dalam pengawasan pelaku tindakanBukan kesalahan korban Konsekuensi Yuridis berlakunya Res Ipsa Liquitur adalah :Lebih memberikan keadilan, doktrin ini dirasa lebih memberikan keadilan kepada pasien, mengingat pasien adalah orang awam di bidang ilmu kedokteran, sangatlah bertentangan dengan asas keadilan jika pasien yang menjadi korban suatu tindakan kelalaian, masih harus membuktikan terjadinya kelalaian tersebut. Padahal pasien sama sekali tidak tau proses bagaimana kelalaian tersebut terjadi, karena ia telah mempercayakan hidup dan kesehatannya pada dokter yang dianggap lebih tau atau lebih ahli.Presumsi kelalaian, yang dimaksudkan presumsi kelalaian adalah bahwa hanya dengan memperlihatkan akibat dan fakta yang terjadi. Maka dapat dipresumsikan atau diduga telah terjadi tindakan melawan hukum yaitu berupa kelalaian baik sengaja maupun tidak disengaja. Menjadi bukti sesuai situasi dan kondisi, dengan melihat faktanya maka situasi dan kondisi yang dihadapi pasien jelas diakibatkan karena terjadinya kesalahan. Apabila tidak terjadi kesalahan fakta situasi dan kondisi yang dihadapi tentu tidak berakibat buruk. Hal ini kemudian lebih dikenal dengan cicumstancial evidence : suatu bukti tentang suatu fakta di mana fakta tadi dapat digunakan untuk menarik kesimpulan.Memaksa pelaku menjelaskan kejadian yang sebenarnya, hal ini harus dilakukan pengingat bahwa pelakulah yang memiliki akses terhadap alat,saksi, dan bukti-bukti lainnya berkait dengan kelalaian yang terjadi. Untuk itu pelakulah yang harus menjelaskan secara gamblang apa yang sebenarnya seang atau tengah terjadi.Kedudukan doktrin Res Ipsa Liquitur di dalam hukum Indonesia dikaitkan erat dengan persangkaan. Persangkaan yaitu suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata, dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan juga telah terjadi.Pembuktian TerbalikAda kecenderungan yuridis bahwa beban pembuktian diletakan di pundak para petugas kesehatan termasuk dokter dan perawat. Hal ini disebabkan karena para petugas kesehatan yang melakukan prosedur tindakan medis dianggap lebih tau proses dan prosedur tindakan yang diambil beserta resikonya. Oleh karena itu harus siap untuk membuktikan ketidak bersalahnya atas prosedur yang dilakukan tersebut yang kemudian dianggap merugika pasien. Pembuktian semacam ini dikenal dengan pembuktian terbalik.Pembuktian dalam kebanyakan kasus perdata biasanya dilakukan oleh penggugat. Namun di dalam pembuktian terbalik, tergugatlah yang harus membuktikan dirinya tidak bersalah dan melepaskan dirinya dari semua tuduhan yang dituntutkan kepadanya.Pertanggungjawaban MutlakPertanggungjawaban mutlak juga merupakan doktrin yang sangat penting di bidang kesehatan. Pertanggungjawaban mutlak ini dikaitkan dengan setiap tindakan yang berisiko akan selalu menuntut sebuah alasan yang masuk akal dan-Bisa diterima secara luas. Dengan demikian menuntut suatu tanggung jawab yang tidak dapat dielakan.Pertanggungjawaban ini wajib dilakukan tanpa melihat apakah ada kesalahan atau tidak aa kesalahan,jadi setiap tindakan medis yang diambil selalu memiliki akibat sebuah pertanggungjawaban yang mutlak tanpa kompromi. Pertanggungjawaban ini muncul sejak adanya kesediaan seorang petugas kesehatan untuk menjalin hubungan terapeutik dengan pasiennya. Ada beberapa bentuk pertanggungjawaban yang dikenal, yaitu :Liability : tanggung-gugatResponsibility : pertanggungjawabanUntuk perbedaan keduanya hanyalah terletak pada sifat umum dan khususnya bentuk pertanggungjawabannya. Informed Consent (IC)Informed consent dikenal juga dengan persetujuan tindakan medis yang diatur di dalam Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008.Informed consent ini merupakan suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Jika dilihat secara materiil informed consent lebih tepat masuk dalam sumber hukum yang lain yaitu perjanjian. Namun jika melihat latar belakang dan substansinya maka informed consent tidak dapat dilepaskan dari doktrin. Mengapa ?Beberap ahli hukum memberikan pengertian bahwa informed consent bukanlah sekedar perjanjian tertulis antara dokter/petugas kesehatan dan pasiennya. Namun lebih dari itu merupakan suatu kewajiban memberikan informasi, walaupun secara materiil isi dan bentuknya berupa perjanjian. Oleh karena itu informed consent lebih dikaitkan dengan doktrin daripada dengan perjanjian, karena pokok pembahasan dari informed consent lebih ditekankan pada kewajiban memberikan informasi yang benar. Namun secara substansial, doktrin informed consent berlaku sejak dokter atau petugas medis menjelaskan-Pada pasien bahwa harus dilakukan tindakan medis beserta seluruh alasan dan resikonya. Walapun pihak pasien belum memberikan persetujuannya.Persetujuan yang dilakukan dapat batal secara hukum apabila ternyata kewajiban memberikan informasi kepada pasien diabaikan. Itu sebabnya di dalam pokok bahasan ini, hanya akan dibahas hal-hal yang substansial sifatnya. Sedangkan untuk materi dan isinya akan dibahas di dalam perjanjian.Informed Consent baru sah diberikan kepada pasien jika memenuhi minimal tiga unsur :Keterbukaan informasiKompetensi pasien di dalam memberikan persetujuanKesukarelaanKompetensi ini terkait dengan kecakapan bertindak, bahwa mereka yang dalam keadaan tidak memenuhi syarat untuk melakukan persetujuan seperti belum cukup umur, terganggu secara mental dan tidak sadarkan diri tidak dapat menandatangani informed consent.Perjanjian Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Ada tiga unsur perjanjian :EssentialiaUnsur yang mutlak harus ada di dalam setiap perjanjian unsur ini mutlak karena mempengaruhi keabsahan dari perjanjian ini syarat sahnya perjanjian antara lain adalah :Adanya kesepakatanKecakapan bertindak dari para pihakAda obyek yang diperjanjikanAda sebab yang halalNaturaliaUnsur yang melekat secara alamiah tanpa diperjanjikan secara khusus. Misalnya seorang dokter yang hendak melakukan tindakan medis terhadap pasiennya, meskipun di dalam informed consent tidak disebutkan jaminan keselamatan pasien namun keselamatan harus menjadi prioritas utama seorang dokter. Jaminan keselamatan ini merupakan unsur naturalia yang melekat pada informed consent.Accidentalia Unsur yang harus dimuat secara tegas di dalam perjanjian. Misalnya mengenai tempat tinggal yang dipilihSelain unsur perjanjian terdapat asas-asas yang harus juga dipenuhi di dalam setiap perajanjian. Asas tersebut adalah :Konsensualisme : kesepakatan. Kata sepakat sangat besar pengaruhnya di dalam perjanjian hal ini disebabkan karena kata sepakat tersebut dapat menimbulkan akibat hukum jika dipenuhi atau pun tidak dipenuhi. Kata sepakat inilah yang melahirkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang terlibat di dalam perjanjian.Pacta sunt servanda atau perjanjian mengikat para pihakKebebasan berkontrak;bebas menentukan isi perjanjian, selama yang diperjanjikan adalah hal-hal yang tidak melanggar hukum,etika dan kesusilaan.Perjanjian ini berisi hak dan kewajiban yang harus dipikul oleh subyek hukum yang terlibat dan terikat di dalamnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di bidang kesehatan yang termasuk di dalam sumber hukum perjanjian adalah Informed consent.Informed consent di sini akan dijelaskan secara materiil. Informed consent merupakan transaksi terapeutik atau dengan kata lain perjanjian antara dokter dengan pasien berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Ada ciri khusus yang agak berbeda dengan lazimnya perjanjian yaitu objek yang diperjanjikan, objek perjanjian di dalam IC adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan jadi menurut hukum, objek perjanjian di dalam transaksi terapeutik adalah upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien tetapi bukan kesembuhan pasien itu sendiri. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa petugas kesehatan bukan garantor kesembuhan pasien, jadi tidak setiap kegagalan pengobatan dapat dimintakan pertanggungjawaban.Pertimbangan ini menjadi kelemahan utama di dalam setiap IC karena akhirnya pasienlah yang harus menanggung banyak kerugian. Dokter tidak punya kewajiban untuk melakukan certain diagnosis yang akhirnya membuat dokter mencoba-coba metode dan obat dimana risiko tetap ditanggung pasien.Ada dua macam perjanjian :InspanningsverbintenisPerjanjian upaya, dimana kedua belah pihak berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan ResultaatverbintenisSuatu perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan resultaat yaitu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikanPermasalahannya di sini adalah bahwa hukum sendiri telah menunjukkan keberpihakannya pada profesi kesehatan sehingga hal ini bertentangan dengan keadilan.Jika garansi kesembuhan tidak diperjanjikan lalu untuk apa sebenarnya seseorang pergi berobat ?itu adalah pertanyaan yang harus dikaji secara mendalam. Di dalam pengertian tertentu bahwa umur manusia ada di tangan Tuhan, bukan berarti bahwa petugas kesehatan tidak mampu memberikan minimal garansi peluang hidup yang lebih baik dan kebebasan dari rasa sakit dengan certain diagnosis. Dengan demikian pasien tetap terjamin keselamatannya dan petugas kesehatan akan mengupayakan kehati-hatian secara maksimal.Bentuk-bentuk persetujuan IC :Implied consentPersetujuan yang dilakukan secara tersirat tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter atau petugas medis dari sikap dan tindakan pasien. Biasanya digunakan di dalam hal-hal rutin seperti pengambilan darah, pemasangan infus . Kadangkala tindakan ini pun dilakukan tanpa penjelasan sebelumnya.Premused consentBila pasien di dalam kondisi sadar dianggap akan menyetujui tindakan dokter atau petugas kesehatan tersebutExpressed consentPernyataan yang dilakukan baik secara lisan maupun tertulis. Biasanya untuk pernyataan lisan ini diberikan untuk tindakan-tindakan medis yang resikonya kecil namun berkait dengan hal-hal yang sangat pribadi seperti pemeriksaan vaginal atau pemeriksaan rektal dan lain-lain. Namun untuk tindakan medis yang mengandung risiko yang cukup besar seperti operasi maka persetujuan tertulis akan diberikan untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman dan kekurang hati-hatian kedua belah pihak.Dengan demikian dapat dilihat dengan jelas bahwa IC merupakan perbuatan hukum sepihak yang sebenarnya nilai hukumnya tidak dapat dipersamakan dengan perjanjian atau persetujuan. Karena di dalam setiap persetujuan atau perjanjian ada hak dan kewajiban yang ditanggung oleh para pihak seperti yang terlihat di dalam perjanjian kerja di form. Namun di IC nampak jelas jika pengaturan hak dan kewajiban bagi petugas kesehatan tidak ada.Oleh karena itu setiap resiko yang ada akan ditanggung sepenuhnya oleh pasien sebagai pemberi pernyataan dan pelaku perbuatan hukum sepihak.Nilai keadilam di dalam IC sangatlah rendah, hal ini dilihat dari isi perjanjian yang sama sekali tidak menentukan kewajiban pada petugas kesehatan, sehingga bisa saja petugas kesehatan di dalam melaksanakan tugasnya tidak disertai dengan kehati-hatian. Sanksi yang diatur pun tidak jelas bagi petugas kesehatan yang lalai melakukan tugasnya, karena seluruh kewajiban dibebankan pada pasien. Hal ini harus menjadi bahan perenungan yang mendalam untuk memperbaiki kualitas dan kinerja petugas kesehatan di Indonesia sehingga malapraktik tidak begitu saja lepas dari jerat hukum.Hal-hal yang diatur dalam form tersebut antara lain :Prosedur dan hasil diagnosisNama tindakan medisnyaMaksud dan tujuan tindakan medisSifat dan luasnya tindakan medisApakah ada alternatif tindakan yang lainTindakan apa saja yang terlibat di dalam terapi medis (bedah, pembiusan)Prosedur tindakan medisnya Risiko baik jika dilakukan atau pun tidak dilakukan tindakan medisKemungkinan komplikasi atau efek samping lainnyaKeterbatasan tindakan medisKeadaan setelah dilakukan tindakan medisTingkat kesuksesan atau kegagalan tindakanSeluruh biaya yang harus ditanggung Pengertian perjanjian terapeutikTransaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan transaksi yang biasa dilakukan oleh masyarakat, transaksi terapeutik memiliki sifat atau ciri yang khusus yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya,kekhususannya ini terletak pada atau mengenai objek yang diperjanjikan. Objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien, jadi perjanjian atau transaksi terapeutik adalah suatu transaksi untuk menentukan atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter. Jadi menurut hukum objek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien.Persoalannya, apakah dalam perjanjian terapeutik juga berlaku ketentuan-ketentuan umum dari hukum perikatan-Sebagaimana yang diatur dalam buku III KUHPerdata? Sebagaimana umumnya suatu perikatan dalam transaksi terapeutik juga terdapat para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan atau perjanjian, yaitu dokter sebagai pihak yang melaksanakan atau memberikan pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan medis. Jadi secara umum apa yang diatur dalam perjanjian menurut buku III KUHPerdata, diatur juga atau berlaku pula dalam perjanjian terapeutik. Hanya saja dalam perjanjian terapeutik ada kekhususan tertentu, yaitu tentang ikrar atau cara mereka mengadakan perjanjian. Sebab dalam perjanjian terapeutik dijelaskan bahwa dengan kedatangan pasien ke tempat praktek atau ke rumah sakit tempat dokter bekerja, dengan tujuan untuk memeriksakan kesehatannya atau untuk berobat sudah dianggap ada perjanjian terapeutik.Menurut Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat sebagaimana diatur di dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinyaAdanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan Mengenai sesuatu hal tertentuSuatu sebab yang diperbolehkanUnsur pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif,karena kedua unsur ini langsung menyangkut orang atau subjek yang membuat perjanjian, apabila salah satu dari syarat subjektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut atas permohonan pihak yang bersangkutan dapat dibatalkan oleh hakim. Maksudnya perjanjian tersebut selama belum dibatalkan tetap berlaku jadi harus ada putusan hakim untuk membatalkan perjanjian tersebut. Pembatalan mulai berlaku sejak putusan hakim memperoleh kekuatan hukum tetap,jadi perjanjian itu batal tidak sejak semula atau sejak perjanjian itu dibuat.Unsur ketiga dan keempat disebut unsur objektif, dikatakan demikian karena kedua unsur ini menyangkut objek yang diperjanjikan .Jika salah satu dari unsur ini tidak dipenuhi, perjanjian tersebut atas permohonan pihak yang bersangkutan atau secara ex officio dalam putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum oleh hakim. Oleh karena perjanjian itu dinyatakan batal demi hukum, maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jadi pembatalannya adalah sejak semula (ex tunc), konsekuensi hukumnya bagi para pihak posisi kedua belah pihak dikembalikan pada posisi semula sebelum perjanjian itu dibuat.Dalam hukum perikatan sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, dikenal adanya dua macam perjanjian yaitu :Inspanningsverbintenis, yaitu perjanjian upaya artinya kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikanResultaatverbintenis, yaitu suatu perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan suatu resultaat, yaitu suatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.Perjanjian antara dokter dengan pasien termasuk dalam perjanjian Inspanningsverbintenis atau perikatan upaya,sebab dalam konsep ini seorang dokter hanya berkewajiban untuk melakukan pelayanan kesehatan -Dengan penih kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatiannya sesuai standart profesinya. Penyimpangan yang dilakukan oleh seorang dokter dari prosedur medis berarti melakukan tindakan ingkar janji atau cedera janji seperti yang diatur dalam pasal 1239 KUHPerdata. Jika seorang pasien atau keluarganya mengganggap bahwa dokter tidak melakukan kewajiban-kewajiban kontraktualnya, pasien tersebut dapat menggugat dengan alasan wanprestasi dan menuntut agar mereka memenuhi syarat-syarat tersebut. Pasien juga dapat menuntut kompensasi secara materiil dan immateriil atas kerugian yang dideritanya. Jika perbuatan atau tindakan dokter yang bersangkutan berakibat merugikan pasien dan merupakan perbuatan melawan hukum, maka ketentuan pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata dapat dijadikan dasar gugatannya walaupun tidak ada hubungan kontraktual. Gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum dapat diterima jika terdapat fakta-fakta yang mendukung bahwa kerugian pasien mempunyai sebab akibat dengan tindakan seorang dokter, gugatan dengan dasar perbuatan melawan hukum dapat diajukan terlepas dari ada atau tidak adanya kontrak yang mewujudkan suatu perbuatan melanggar hukum.Kesalahan dan kelalaian dalam perjanjian terapeutikPengertian kesalahan di sini diartikan secara umum, yaitu perbuatan yang secara objektif tidak patut dilakukan.Kesalahan dapat terjadi akibat kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan pengertian serta mengabaikan suatu perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan. Apabila hal itu dilakukan oleh dokter, baik dengan sengaja maupun karena kelalaiannya dalam upaya memberikan perawatan atau pelayanan kesehatan kepada pasien, maka pasien atau keluarganya dapat minta pertanggungjawaban (responsibility) pada dokter yang bersangkutan. Bentuk pertanggungjawaban yang dimaksud disini meliputi pertanggungajawaban perdata, pertanggungjawaban pidana, dan pertanggungjawaban hukum administrasi. Jika pertanggungjawaban ini dibatasi pada hubungan hukum antara pasien dengan dokter yang didasarkan pada suatu transaksi terapeutik, keduanya di mata hukum sama dan sederajat, oleh karena itu pertanggungjawaban ini merupakan tanggung gugat hukum. Dalam hukum perdata dikenal dua dasar hukum bagi tanggung gugat hukum (liability), yaitu :Tanggung gugat berdasarkan wanprestasi atau cedera janji atau ingkar janji sebagaimana diatur dalam pasal 1239 KUHPerdataTanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 1365 KUHPerdataDilihat dari objek perjanjian antara dokter dengan pasien dalam transaksi terapeutik, perjanjian itu dapat digolongkan sebagai Inspanningsverbintenis atau yang dikenal dengan perikatan upaya. Dalam konsep ini dokter berkewajiban melakukan segala daya upaya secara maksimal. Ia tidak berkewajiban untuk menghasilkan suatu hasil tertentu seperti pada perjanjian yang disebut dengan perjanjian Resultaatverbintenis . Jadi, disini dokter hanya berkewajiban menyediakan perhatian, ketelitian, keahlian, dan keuletannya untuk dimanfaatkan oleh pasien. Ia memberikan jasa pelayanan perawatan medis dengan penuh kesungguhan dan mengerahkan semua kemampuannya sesuai standar pelaksanaan profesi.Jika seorang dokter melakukan penyimpangan terhadap standar pelaksanaan profesi ini,secara hukum sang dokter dapat digugat melalui wanprestasi atau perbiatan melanggar hukum.Ajaran mengenai wanprestasi atau cedera janji dalam hukum perdata dikatakan, bahwa seorang dianggap melakukan wanprestasi apabila :Tidak melakukan apa yang disepakati untuk dilakukanMelakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambatMelakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan Melakukan sesuatu yang menurut hakikat perjanjian tidak boleh dilakukanDari keempat unsur tersebut yang paling erat kaitannya dengan kesalahan yang dilakukan oleh dokter adalah unsur ketiga, sebab dalam perjanjian terapeutik yang harus dipenuhi adalah upaya penyembuhan dengan kesungguhan. Dengan demikian apabila pasien atau keluarganya mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi, pasien harus membuktikan bahwa pelayanan kesehatan yang diterimanya tidak sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam informed consent -

Atau dokter menggunakan obat secara keliru atau tidak melaksanakan kewajiban sebagimana mestinya.Sedangkan untuk mengajukan gugatan terhadap rumah sakit, dokter, atau tenaga kesehatan lainnya dengan alasan berdasarkan perbuatan melanggar hukum harus dipenuhi empat unsur berikut.Adanya pemberian gaji atau honor tetap yang dibayar secara periodik kepada dokter atau tenaga kesehatan yang bersangkutanMajikan atau dokter mempunyai wewenang untuk memberikan instruksi yang harus ditaati oleh bawahannyaAdanya wewenang untuk mengadakan pengawasanAda kesalahan atau kelalaian yang diperbuat oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya, di mana kesalahan atau kelalaian tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien.Hubungan antara dokter dengan pasien yang lahir dari transaksi terapeutik, selain menyangkut aspek hukum perdata juga menyangkut aspek hukum pidana.Aspek pidana baru timbul apabila dari pelayanan kesehatan yang dilakukan, berakibat atau menyebabkan pasien mati atau menderita cacat sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 359. 360, dan 361 KUHP. Apabila hal ini terjadi maka sanksinya bukan hanya suatu ganti rugi yang berupa materi, akan tetapi juga dapat merupakan hukuman badan sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP.Dasar untuk mempersalahkan aspek hukum pidananya, berawal dari hubungan keperdataan yang timbul antara dokter dengan pasien, yaitu berupa transaksi terapeutik sebagai upaya penyembuhan. Namun karena langkah yang diambil oleh dokter berupa terapi dalam usahanya memenuhi kewajiban itu, menimbulkan suatu kesalahan atau kelalaian yang berwujud suatu perbuatan yang diatur oleh hukum pidana, yaitu yang dapat berupa penganiayaan atau bahkan pembunuhan, baik yang disengaja maupun karena kelalaian, maka perbuatan itu harus dipertanggungjawabakan. Jika hal ini dikaitkan dengan tanggung jawab pidana, permaslahannya menjadi : apakah -Dokter dalam usaha atau upayanya melaksanakan tindakan terapeutik untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan etika kedokteran, yang dalam kenyataannya menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh KUHP, yang dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karenanya dapat dijatuhi pidana ?Untuk menjawab permasalahan diatas, terlebih dahulu harus dihubungkan dengan peranan hukum pidana sebagai hukum sanksi, sebab adanya sanksi harus didahului dengan hukum norma. Dalam pelayanan kesehatan, hukum normanya adalah hukum kesehatan itu sendiri, penyimpangan terhadap hukum norma ini dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.Kesalahan dokter dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar terjadi karena kelalaian, sedangkan kesengajaan jarang terjadi. Sebab apabila seorang dokter sengaja melakukan suatu kesalahan, hukuman yang akan diberikan kepadanya akan lebih berat. Dalam hukum pidana, untuk membuktikan adanya kelalaian dalam pelayanan kesehatan harus ada paling tidak empat unsur :Ada kewajiban yang timbul karena adanya perjanjian Ada pelanggaran terhadap kewajiban, misalnya dokter telah gagal bertindak sesuai norma yang telah ditentukan disebabkan kesengajaan atau kelalaian, contohnya perbuatan dokter yang telah melanggar standar perawatan bagi pasiennyaAda penyebab. Hubunngan sebab akibat yang paling langsung dapat timbul dalam hubungan dokter dengan pasien, yaitu apabila dari perbuatan dokter timbul akibat yang merugikan pasien. Akan tetapi sebab yang tidak langsung pun dapat menjadikan sebab hukum, apabila sebab itu telah menimbulkan kerugian bagi pasien. Misalnya akibat dari pemakaian suatu obat yang diberikan dokter.Timbul kerugian. Akibat dari perbuatan dalam hubungan dokter dengan pasien dapat timbul kerugian, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Kerugian itu dapat mengenai tubuh pasien sehingga menimbulkan rasa tidak enak.Terhadap kesalahan dokter yang bersifat melanggar tata nilai sumpah atau kaidah etika profesi, pemeriksaan dan tindakan, dilakukan oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan atau atasan langsung yang berwenang (yaitu pihak Departemen Kesehatan Republik Indonesia). Pemeriksaan dibantu oleh perangkat Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) atau Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK). Lembaga ini merupakan badan non struktural Departemen Kesehatan yang dibentuk dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no.554/Menkes/Per/XII/1982. Tugas lembaga ini memberi pertimbangan etik kedokteran kepada Menteri Kesehatan, menyelesaikan persoalan etik kedokteran dengan memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat yang berwenang di bidang kesehatan. Dasar hukum yang digunakan adalah hukum disiplin dan atau hukum administrasi sesuai dengan peraturan yang terdapat dalam undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri kesehatan, surat keputusan menteri kesehatan yang bersangkutan. Hubungan pasien dengan dokterDalam praktik sehari-hari, dapat dilihat berbagai hal yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter, hubungan itu terjadi terutama karena beberapa sebab antara lain karena pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan mengobati sakit yang dideritanya. Dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, artinya para pihak sudah sepenuhnya setuju untuk mengadakan hubungan hukum. Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medik (informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hal ini dilakukan setelah ia mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, termasuk memperoleh informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.Di Indonesia informed consent dalam pelayanan kesehatan, telah memperoleh pembebanan secara yuridis melalaui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 585/Menkes/1989 , walaupun dalam kenyataannya untuk pelaksanaan pemberian informasi guna mendapatkan persetujuan itu tidak sesederhana yang dibayangkan namun setidak-tidaknya persoalannya telah diatur secara hukum, sehingga ada kekuatan bagi kedua belah pihak untuk melakukan tindakan secara hukum.Alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter, adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter, misalnya karena terjadi kecelakaan lalu lintas, terjadi bencana alam, maupun karena adanya situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat, sehingga sangat sulit bagi dokter yang menangani untuk mengetahui dengan pasti kehendak pasien. Dalam keadaan seperti ini dokter langsung melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming sebagaimana diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata, yaitu suatu bentuk hubungan hukum yang timbul bukan karena adanya Persetujuan Tindakan Medik Terlebih dahulu, melainkan karena keadaan yang memaksa atau keadaan darurat. Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjadi seperti ini merupakan salah satu ciri transaksi terapeutik yang membedakannya dengan perjanjian biasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.Dari hubungan pasien dengan dokter yang demikian tadi , timbul persetujuan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 1601 KUHPerdata. Bagi seorang dokter, hal ini berarti bahwa ia telah bersedia untuk berusaha dengan segala kemampuannya memenuhi isi perjanjian itu, yakni merawat atau menyembuhkan penyakit pasien. Sedang pasien berkewajiban untuk mematuhi aturan-aturan yang ditentukan oleh dokter termasuk memberikan imbalan jasa.Tegasnya dalam hubungan antara pasien dengan dokter diperlukan adanya persetujuan, karena dengan adanya persetujuan ini berakibat telah tercapainya ikatan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik. Perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat dalam arti mempunyai kekuataan sebagai hukum yang dipatuhi oleh kedua belah pihak.Dalam praktiknya, baik hubungan antara pasien dengan dokter yang diikat dengan transaksi terapeutik, maupun yang didasarkan pada zaakwaarneming sering menimbulkan terjadinya kesalahan atau kelalaian dalam hal ini jalur penyelesainnya dapat dilakukan melalui Majelis Kode Etik Kedokteran. Jika melalui jalur ini tidak terdapat penyelesaian, permaslahan tersebut diselesaikan melalaui jalur hukum dengan melanjutkan perkaranya ke pengadilan.Pada sisi lain, walaupun secara yuridis diperlukan adanya persetujuan tindakan medis untuk melakukan perawatan, namun dalam kenyataannya sering terjadi bahwa suatu perawatan walaupun tanpa persetujuan tindakan medik, apabila tidak menimbulkan kerugian bagi pasien hal tersebut akan didiamkan saja oleh pasien. Namun jika kesalahan atau kelalaian dilakukan oleh dokter dan akibat dari kesalahan tersebut menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi pasien, maka persoalan tersebut akan diselesaikan oleh pasien atau keluarganya melalui jalur hukum. Dalam praktik seperti ini terlihat betapa sulitnya posisi dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan, baik pada tahap diagnosa maupun pada tahap perawatan, sehingga dari mereka diperlukan adanya sikap ketelitian dan kehati-hatian yang sungguh-sungguh.Hak dan kewajiban pasien dan dokterPada bagian ini akan dibahas tentang hak dan kewajiban para pihak secara umum, pembahasan tentang hal ini dirasakan sangat penting karena kenyataan menunjukkan, bahwa akibat adanya ketidakpahaman mengenai hak dan kewajiban menyebabkan adanya kecenderungan untuk mengabaikan hak-hak pasien sehingga perlindungan hukum pasien semakin pudar. Selain itu dalam praktik sehari-hari banyak fakta menunjukkan bahwa secara umum ada anggapan di mana kedudukan pasien lebih rendah dari kedudukan dokter, sehingga dokter dianggap dapat mengambil keputusan sendiri terhadap pasien mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya. Sebenarnya jika dilihat dari sudut perjanjian terapeutik pendapat seperti ini, merupakan pendapat yang keliru karena dengan adanya perjanjian terapeutik tersebut kedudukan antara dokter dengan pasien adalah sama dan sederajat. Dalam pandangan hukum, pasien adalah subjek hukum mandiri yang dianggap dapat mengambil keputusan untuk kepentingan dirinya. Oleh karena itu adalah suatu hal yang keliru apabila menggangap pasien selalu tidak dapat mengambil keputusan karena ia sedang sakit. Dalam pergaulan hidup normal sehari-hari, biasanya pengungkapan keinginan atau kehendak dianggap sebagai titik tolak untuk mengambil keputusan. Dengan demikian walaupun seorang pasien sedang sakit, kedudukan hukumnya tetap sama seperti orang sehat. Jadi secara hukum pasien juga berhak mengambil keputusan terhadap pelayanan kesehatan yang akan dilakukan terhadapnya, karena hal ini berhubungan erat dengan hak asasinya sebagai manusia. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa keadaan mentalnya tidak mendukung untuk mengambil keputusan yang diperlukan. Dalam hubungannya dengan hak asasi manusia,persoalan mengenai kesehatan ini di negara kita diatur dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, di mana dalam Bab III Pasal 1 Ayat 1 dan pasal 4 menyebutkan : pasal 1 ayat 1 : Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial dan ekonomi. Selanjutnya dalam pasal 4 dinyatakan : Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, secara umum hak pasien tersebut dapat dirinci sebagai berikut :Hak pasien atas perawatanHak untuk menolak cara perawatan tertentuHak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat pasienHak atas informasiHak untuk menolak perawatan tanpa izinHak atas rasa amanHak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatanHak untuk mengakhiri perjanjian perawatanHak atas twenty-for-a-day-visitor-rightsHak pasien menggugat atau menuntutHak pasien mengenai bantuan hukumHak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga kesehatan atau ahlinya

Berbarengan dengan hak tersebut pasien juga mempunyai kewajiban, baik kewajiban secara moral maupun secara yuridis. Secara moral pasien berkewajiban memelihara kesehatannya dan menjalankan aturan-aturan perawatan sesuai dengan nasihat dokter yang merawatnya. Beberapa kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut :Kewajiban memberikan informasiKewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatanKewajiban memberikan imbalan jasa Kewajiban memberikan ganti-rugi, apabila tindakannya merugikan dokter atau tenaga kesehatan.Berdasarkan perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak, dokter juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai pengemban profesi.Hak-hak dokter sebagai pengemban profesi dapat dirumuskan sebagai berikut :Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik.Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikannya kepada pasienHak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan transaksi terapeutikHak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikannyaHak untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dari pasien atau keluarganya.Di samping hak-hak tersebut, dokter juga mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan. Jika diperhatikan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan R.I No. 34 tahun 1983, di dalamnya terkandung beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh dokter di Indonesia. Kewajiban-kewajiban tersebut meliputi :Kewajiban umumKewajiban terhadap penderita Kewajiban terhadap teman sejawatnyaKewajiban terhadap diri sendiriBerpedoman pada isi rumusan kode etik kedokteran tersebut, Hermien Hadiati Koeswadji mengatakan bahwa secara pokok kewajiban dokter dapat dirumuskan sebagai berikut :Bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang ia miliki secara adekuat. Dokter dalam perjanjian tersebut tidak menjajikan menghasilkan satu resultaat atau hasil tertentu, karena apa yang dilakukannya itu merupakan upaya atau usaha sejauh mungkin sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Karenanya bukan merupakan inspanningsverbintenis. Ini berarti bahwa dokter wajib berusaha dengan hati-hati dan kesungguhannya menjalankan tugasnya. Perbedaan antara resultattverbintenis dengan inspanningsverbintenis ini yakni dalam hal terjadi suatu kesalahan.Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri (dalam arti secara pribadi dan bukan dilakukan oleh orang lain) sesuai dengan yang telah diperjanjikan kecuali apabila pasien menyetujui perlu adanya seseorang yang mewakiliya (karena dokter dalam lafal sumpahnya juga wajib menjaga kesehatannya sendiri)Dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit atau penderitaannya. Kewajiban dokter ini dalam hal perjanjian perawatan (behandelingscontract) menyangkut dua hal yang ada kaitannya dengan kewajiban pasien.Di samping itu ada beberapa perbuatan atau tindakan yang dilarang dilakukan oleh dokter, karena perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan etik kedokteran. Perbuatan atau tindakan yang dilarang tersebut adalah sebagai berikut :Melakukan suatu perbuatan yang bersifat memuji diri sendiriIkut serta dalam memberikan pertolongan kedokteran dalam segala bentuk, tanpa kebebasan profesi

Menerima uang selain dari imbalan yang layak sesuai dengan jasanya, meskipun dengan sepengetahuan pasien atau keluarganya Dengan demikian jika diperhatikan isi kode etik kedokteran tersebut dapat disimpulkan bahwa kode etik kedokteran mengandung tuntutan agar dokter menjalankan profesinya berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Apalagi sebagian besar dari masyarakat, terutama yang tinggal di pedesaan belum memiliki pengertian yang cukup tentang cara memelihara kesehatan. Oleh karena itu, upaya untuk memberikan bimbingan dan penerangan kepada masyarakat tentang kesehatan merupakan salah satu tugas dokter yang tidak kalah pentingnya dari pekerjaan penyembuhan. Malahan tugas dokter tidak terbatas pada pekerjaan kuratif dan preventif saja, jabatan profesi dokter lebih-leboh di pedesaan sebetulnya meliputi semua bidang kegiatan masyarakat, artinya dokter harus ikut aktif dalam kegiata-kegiatan sosial dan kemanusian.Atas dasar hal tersebut, jika motivasi seorang dokter dalam bekerja karena uang dan kedudukan dokter tersebut dapat digolongkan dalam motivasi rendah. Jika dokter cenderung untuk bekerja sedikit dengan hasil banyak, dokter yang bersangkutan akan tergelincir untuk melanggar kode etik dan sumpahnya. Sebaliknya jika motivasinya berdasarkan pada keinginan untuk memenuhi prestasi, tanggung jawab dan tantangan dari tugas itu sendiri, akan mudah baginya untuk menghayati dan mengamalkan kode etik dan sumpahnya. Di samping itu dia senantiasa akan melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi, serta meningkatkan keterampilan sehingga kemampuan untuk melaksanakan tugasnya tidak perlu disangsikan lagi. Tanggung jawab perdata, pidana, adminitrasi dan hukum dan etik dalam pelayanan kesehatanUntuk melihat sejauh mana tindakan seorang dokter mempunyai implikasi yuridis jika terjadi kesalahan atau kelalaian dalam perawatan atau pelayanan kesehatan, serta unsur-unsur apa saja yang dijadikan ukuran untuk menenetukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter, tidak bisa terjawab dengan hanya mengemukakan sejumlah perumusan tentang apa dan bagaimana terjadinya kesalahan. Tetapi penilaian mengenai rumusan tersebut harus dilihat dari dua sisi, yaitu pertama harus dinilai dari sudut etik dan baru kemudian dilihat dari sudut hukum.Tanggung Jawab Perdata dalam Pelayanan Kesehatan.Pada bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa dalam transaksi terapeutik, posisi antara dokter dan pasien adalah sederajat, dengan posisi yang demikian ini hukum menempatkan keduanya memiliki tanggung gugat hukum.Bertitik tolak dari transaksi terapeutik ini, tidaklah mengherankan jika banyak ditemukan gugatan pasien terhadap dokter. Gugatan untuk meminta pertanggungjawaban dokter bersumber pada dua dasar hukum yaitu : Pertama berdasarkan pada wanprestasi (Contractual liability) sebagaimana diatur dalam pasal 1239 KUHPerdata. Kedua berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechmatigedaad) sesuai dengan ketentuan pasal 1365 KUHPerdata.Wanprestasi dalam pelayanan kesehatan, timbul karena tindakan seorang dokter berupa pemberian jasa perawatan yang tidak patut sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Perawatan yang tidak patut ini dapat berupa tindakan kekuranghati-hatian, atau akibat kelalaian dari dokter yang bersangkutan sehingga menyalahi tujuan terapeutik.Wanprestasi dalam pelayanan kesehatan baru terjadi bila telah memenuhi unsur-unsur berikut ini :Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi berdasarkan kontrak terapeutikDokter telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut yang menyalahi tujuan kontrak terapeutikPasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang bersangkutanDalam gugatan atas dasar wanprestasi, ketiga unsur tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu adanya kontrak terapeutik antara pasien dengan dokter. Pembuktian tentang adanya kontrak terapeutik dapat dilakukan pasien dengan mengajukan rekam medik atau dengan persetujuan tindakan medik yang diberikan oleh pasien. Bahkan dalam kontrak terapeutik adanya kartu berobat atau dengan kedatangan pasien menemui dokter untuk meminta pertolongannya dapat dianggap telah terjadi perjanjian terapeutik. Sedangkan untuk unsur yang kedua, harus dibuktikan dengan adanya kesalahan dan atau kelalaian dokter. Untuk membuktikan hal ini pasien harus mengajukan fakta bahwa seorang dokter yang merawatnya, tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan dalam kontrak terapeutik, atau dokter yang bersangkutan melakukannya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau dokter yang merawatnya melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.Agar unsur yang ketiga dapat terpenuhi, semua tindakan dokter seperti diatas harus mempunyai hubungan kausal dengan kerugian yang diderita pasien.Gugatan dapat diajukan jika terdapat fakta-fakta yang berwujud suatu perbuatan melawan hukum walaupun di antara para pihak tidak terdapat suatu perjanjian. Untuk mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum, harus dipenuhi empat syarat sebagaimana diatur pasal 1365 KUHPerdata :Pasien harus mengalami suatu kerugianAda kesalahanAda hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugianPerbuatan itu melawan hukumTanggung Jawab Pidana dalam Pelayanan KesehatanSebagaimana diuraikan sebelumnya hukum pidana menganut asas Tiada pidana tanpa kesalahan. Selanjutnya dalam pasal 2 KUHP disebutkan, Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu delik di Indonesia. Perumusan pasal ini menentukan bahwa setiap orang yang beradada dalam wilayah hukum Indonesia dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas kesalahan yang dibuatnya.Berdasarkan pada ketentuan itu, profesi dokter tidak terlepas dari ketentuan pasal tersebut. Apalagi seorang dokter dalam pekerjaannya sehari-hari selalu berkecimpung dengan perbuatan yang diatur dalam KUHP. Dalam kaitannya dengan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, persetujuan/rekam medik menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan gugatan ganti rugi langsung tanpa melalui prosedur pidana menghadapi banyak kendala, seperti kesulitan memperoleh bukti-bukti baik oleh pasien maupun keluarganya. Sedangkan melalui perkara pidana untuk membuktikan adanya culpa lata bukan merupakan pekerjaan yang mudah bagi penuntut umum. Dalam kondisi seperti ini sesuai dengan hukum pembuktian dalam perkara pidana pasal 184 KUHP tentang alat bukti, maka persetujuan/rekam medik sangat menentukan karena dari rekam medik dan atau consent yang diajukan sebagai alat bukti dapat diketahui tetapi apa yang dilakukan terhadap pasien. Apakah sudah sesuai dengan standart profesi atau belum? Dari consent dapat pula diketahui apakah dalam melakukan diagnosa atau terapi medis, dokter sudah bekerja sesuai dengan apa yang yang disetujui pasien.Sehingga dengan demikian hakim dapat menentukan apakah dokter dapat dipersalahkan atau tidak.Tanggung Jawab Hukum AdministrasiSebagaimana diutarakan sebelumnya, jika terjadi kesalahan dokter dalam melakukan perawatan, di mana tindaka itu mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pasien, tindakan tersebut mengandung aspek pertanggungjawaban di bidang hukum administrasi. Aspek hukum administrasinya disini dinilai dari sudut kewenangan, yaitu apakah dokter yang bersangkutan berwenang atau tidak melakukan perawatan? Berdasarkan pada hal tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk melakukan pekerjaan sebagai dokter diperlukan berbagai persyaratan, salah satu persyaratan yang paling penting adalah adanya izin dari Menteri Kesehatan RIKesalahan seorang dokter dalam perawatan yang menimbulkan kerugian bagi pasien atau keluarganya selain mengandung tanggung gugat perdata dan pertanggung jawaban pidana, juga mengandung pertanggungjawaban di bidang hukum administrasi. Hal ini dapat dilihat sebagaimana dinyatakan dalam pasal 54 ayat 1 UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan yang berbunyi : Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan dan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut ditegaskan, bahwa tindakan disiplin yang dimaksud adalah salah satu bentuk tindakan administratif, misalnya pencabutan izin untuk jangka waktu tertentu atau hukuman lain sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya.Tujuan hukum disiplin yang dijatuhkan terhadap tenaga kesehatan yang melakukan keselahan adalah untuk memperbaiki dan mendidik tenaga kesehatan yang bersangkutan. Oleh karena itu, jika hukuman disiplin dalam bidang pelayanan kesehatan diterapkan bagi tenaga kesehatan, maka dengan sendirinya rasa tanggung jawab yang mendalam akan mendorong mereka untuk melakukan kewajiban profesi dan mematuhi ketentuan-ketentuan hukuman yang telah digariskan.