Upload
ridho-al-fahrezi
View
17
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Periode kedua pada masa perkembangan fiqih bermula sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw
pada tahun 11 H dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada
tahun 41 H. Pada periode-periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan
bendera dakwah Islam setelah wafatnya Nabi Saw.
Masa Khulafaursyidin atau masa Kibarus Sahabat (sahabat kabir) bisa dibilang sebagai masa yang
penuh dengan kekuatan sekaligus perpecahan. Disebut sebagai masa kekuatan Islam, karena pada
masa ini, jiwa dan akidah umat Islam masih melekat erat pada diri masing-masing entitas
masyarakat Islam pada masa itu sebagai hasil usaha keras Nabi dalam menyebarkan agama Islam
dan mengajarkan ketauhidan pada diri mereka, sehingga akidah umat Islam masa ini masih kuat.
Namun, masa ini disebut juga masa permulaan perpecahan umat islam, karena setelah Nabi
Muhammad SAW meninggal dunia, para sahabat mulai berselisih mengenai siapakah yang akan
menjadi pemimpin umat Islam berikutnya, yang bermula dari peristiwa Tsaqifah bani Sa’idah yang
berjarak beberapa kilometer dari kediaman Nabi di Madinah saat masa wafatnya. Hal ini muncul
karena Nabi Muhammad, sebagai panutan dan petunjuk bagi mereka tidak mewasiatkan / menunjuk
seseorang sebagai penggantinya kelak. Beberapa pendapat mengatakan bahwa hal ini dilakukan agar
para sahabat dapat berijtihad sesuai dengan perkembangan zaman masing-masing sahabat itu. Hal ini
sebagaimana di hadits Rasulullah SAW: “Kalian-kalian semua lebih mengetahui tentang urusan
dunia kalian”. Dalam berbagai hal, sahabat adalah orang yang paling dekat dengan Nabi, terutama 4
sahabat yang terkenal dengan sebutan Kulafaur Rasyidin. Dalam hadits disebutkan juga “(أصحابي
اهتديتم اقتديتم بأيهم sahabat-sahabatku ibarat bintang-bintang, siapa saja yang kalian” (كالنجم
ikuti maka kalian akan mendapatkan petunjuk (hidayah).” Berbeda dengan Nabi yang ma’shum
tentu saja para sahabat sebagai manusia biasa juga pernah membuat kesalahan, dan dalam
menetapkan hukumnya juga pasti akan sangat berhubungan dengan dasar pemikiran, sosio kultural
di samping ilmu-ilmu agama yang dimiliki mereka. Oleh karena itu sering terjadi perbedaan tasyri’
dalam suatu permasalahan terutama tanpa “qoth’iyud dilalah.”
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum Islam Di Masa Khulafa’ Al- Rasyidin
A. Kondisi Hukum Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin Dan Perkembangannya
Periode Khulafaur Rasyidin ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW pada tanggal 12
Rabiul Awal tahun 11 H/632 M dan diakhiri pada akhir abad pertama Hijriyah (11-41 H/632-661
M). Menurut para ahli sejarah islam, Periode ini adalah periode Penafsiran undang-undang dan
terbukanya pintu-pintu istinbath hukum dalam kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya.1[1]
Dari pemuka-pemuka sahabat timbullah banyak pendapat dalam menafsirkan nash-nash hukum
dalam Al-Quran dan Al-Hadits yang dapat dipandang sebagai pandangan yuridis bagi penafsiran-
penafsiran nash serta sebagai penjelasannya. Setelah wafatnya Nabi, umat islam menghadapi banyak
masalah. Hal ini dikarenakan semakin meluasnya pemerintahan islam hingga melampaui
semenanjung Arabia itu juga tentunya membawa dampak yang begitu besar bagi perkembangan
pemikiran umat islam pada masa itu. Berbagai macam permasalahan yang timbul dikarenakan
vakumnya pemerintahan dan karena perluasan wilayah islam semakin memaksa para sahabat untuk
benar-benar berijtihad dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Secara umum permasalahan-
permasalahan itu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa aspek, yaitu:
1) Aspek Politik
a) Kekhalifahan Abu Bakar (11-13 H/632-634 M)
Masalah yang paling urgen di kalangan umat islam pasca wafatnya Nabi SAW adalah masalah
politik, terutama masalah imamah/ kekhalifahan. Dalam masa kevakuman pemerintahan ini,
masyarakat islam membutuhkan sosok pemimpin baru, karena tanpa kehadiran seorang pemimpin
baru, wilayah kekuasaan islam yang telah membentang sampai wilayah sebagian besar jazirah Arab,
akan dengan mudah hancur/terpecah-belah kembali, di samping kekhawatiran adanya serangan dari
bangsa-bangsa lain, seperti Romawi dan Persia, sehingga stabilitas keamanan umat islam saat itu
terancam. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa Nabi Muhammad di akhir hayatnya tidak
meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan meneruskan perjuangannya menjadi khalifah dan
1[1] Prof. Dr. Abu Su’ud, Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Islam, ( Jakarta : PT. Rineka Cipta,2003 ) hal : 55
menyebarkan agama islam ke seluruh Dunia. Hal ini kemudian menjadi tanda Tanya sekaligus PR
terbesar bagi umat islam saat itu terutama para Sahabat Nabi Saw, Meskipun ada satu riwayat bahwa
Nabi Saw telah menulis sebuah wasiat untuk menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
pertama, namun kemudian dicegah oleh Umar bin Khattab.
Sampai akhirnya muncullah suatu peristiwa bersejarah yang terkenal dengan sebutan
“Tsaqifah”. Peristiwa ini terjadi di Madinah, tepatnya di daerah Tsaqifah dengan penduduk
sekitarnya adalah mayoritas keturunan suku aus dan suku khazraj yang secara historis telah menjadi
musuh bebuyutan semenjak pra-islam. Kedua suku yang terkenal dengan sebutan kaum Anshor,
merasa paling berhak untuk menyatakan dan mengangkat diri mereka sebagai seorang khalifah
sebagai penerus dan pengganti Nabi SAW, karena atas jasa merekalah umat islam bisa terus Berjaya
hingga saat itu. Meskipun sebenarnya kedatangan Nabi dan Para Muhajirin Lainnya ke kota yang
dulu terkenal dengan nama Yatsrib itu adalah atas permintaan dari kedua kelompok sosial itu,
dengan tujuan agar perseteruan di antara kedua suku itu berhenti, karena kalau peperangan antar
kedua suku itu terjadi terus-menerus maka kedua suku itu akan punah. Dan benar saja Nabi
Muhammad dengan kekuatan Islam dan akhlaknya yang luhur mampu mendamaikan kedua suku itu
selama 13 tahun lebih.
Masalah Tsaqifah, pada peristiwa ini, kedua suku itu serasa dikembalikan kembali ke adat
jahiliyah mereka, untuk saling bertarung dan bermusuhan kembali walaupun dalam diri mereka telah
tertanam nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi perdamaian dan persaudaraan. Bagi mereka, bila
Nabi Muhammad telah wafat berarti tidak ada lagi seorang pendamai di antara mereka, sehingga hal
itu membuat mereka bermusuhan kembali. Pada saat itu datanglah para sahabat dekat Nabi
Muhammad SAW, yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar. Umar dan sahabat lainnya kemudian
langsung memplokamirkan Abu Bakar dari golongan Muhajirin sebagai Pengganti Nabi sebagai
Khalifah Umat Islam. tentu saja hal ini tidak di setujui oleh kaum anshor, yaitu kedua suku aus dan
khazraj, karena menurut mereka, mereka tidak lebih baik dari golongan anshor. Namun, meskipun
demikian, ternyata pada akhirnya kedua suku itu “dikatakan” menyetujui Abu Bakar sebagai
khalifah pengganti Nabi SAW. 2[2]
pada saat Umar membaiat Abu Bakar, maka Basyir bin Sa’ad dari bani khazraj ikut membaiat
Abu Bakar, yang kemudian langsung diikuti oleh saingannya Usaid bin Hudhair dari bani Aus.
Kemudian para pemuka-pemuka sahabat yang lain termasuk Ali bin Abi Thalib juga membaiat Abu
2[2] Al- Hafiz Ibnu Karsir, Perjalanan Empat Khalifah Rasul yang Agung, ( Jakarta : Darul Haq, 2011 ) hal : 52- 54
Bakar secara keseluruhan. Menunjukkan adanya Sistem Demokrasi pada masa itu. Sebenarnya
dalam diri Abu Bakar tidak ada sama sekali ambisi politik untuk memimpin umat islam, namun
karena mempertimbangkan kemaslahatan umum, maka Abu Bakar bersedia dilantik menjadi
Khalifah. Hal lain yang mendukung pengangkatan Abu Bakar Sebagai Khalifah saat itu adalah
bahwa saat itu beliaulah yang paling sepuh di antara para sahabat terdekat. Perlu diketahui bahwa
Abu Bakar adalah keturunan suku Quraisy, nama lengkapnya adalah Abdullah bin Utsman bin Amir
bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’adalah bin Taim. Bani Taim adalah satu dari dua belas cabang suku
Quraisy. Setelah 2 tahun memerintah (11-13 Hijriyah) akhirnya Abu Bakar menghembuskan
Nafasnya yang terakhir pada bulan Jumadil Akhir 13 H/634 M, setelah sebelumnya mewasiatkan
Umar sebagai Khalifah Penerusnya.
b) Kekhalifahan Umar bin Khattab (13-23 H/634-643 M)
Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza dari bani Adi bin Ka’ab. Bani Ka’ab juga
termasuk keturunan Quraisy. Dalam Islam, sebenarnya masalah-masalaah kekhalifahan yang
termasuk masalah keduniawian harus melalui ijma’ atau konsensus / musyawarah. Berbeda dengan
Abu Bakar yang tidak terlalu suka dengan Politik, Umara adalah sosok sahabat yang memiliki
“naluri negarawan” yang besar, arif akan liku-liku kekuasaan dan lebih paham tentang bagaimana
caranya menangani penduduk Arab yang berjiwa pengembala yang keras. Umar bukanlah prajurit
yang hebat di medan peperangan, bila dibandingkan dengan Ali bin Abu Thalib atau Hamzah,
namun dalam mengatasi kemelut politik ini.
Kekhalifahannya berakhir setelah kematian syahidnya akibat sebuah konspirasi politik yang
dirancang oleh musuh-musuh islam, terutama kalangan yahudi dan Persia, yang sangat
membencinya karena pada kekhalifahannya, Kekaisaran Persia telah dihilangkan dari muka Bumi.
Beliau Mati syahid terkena tikaman belati beracun saat sedang melakukan sholat subuh, oleh seorang
mantan budak Persia, Abu Lu’luah Al-Majusi.
Umar Bin Khattab mewasiatkan tampuk kekhalifahannya pada 6 orang sahabat yang termasuk
dalam orang-orang yang akan masuk surga berdasarkan hadits Rasulullah, yaitu: Utsman bin affan,
Ali bin abi Thalib, Thalhah, Zubair, Abdur Rahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi Waqosh. Kepada 6
orang ini umar berwasiat untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai khalifah penerusnya.
Umar bin Khattab Wafat pada bulan Dzulhijjah 23 H /643 M dan memerintah selama 10 tahun
lamanya.
c) Kekhalifahan Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Dia bernama Utsman bin Affan bin Abi ’Ash bin Umayyah bin Abdu Syams, berasal dari bani
Umayyah. Setelah kematian Umar, para sahabat enam yang ditunjuknya ternyata sama-sama tidak
berhasrat untuk menjadi khaifah, satu persatu di antara mereka mengundurkan diri hingga akhirnya
hanya tinggal Utsman dan Ali, kemudian mereka pun mengadakan voting (pengambilan suara) di
mana mereka bertanya pada penduduk muslim setempat, manakah yang mereka pilih sebagai
Khalifah, Utsman atau Ali. Setelah dilakukan pengambilan suara oleh keempat sahabat yang
mengundurkan diri tersebut yang ternyata langsung mengajukan diri mereka menjadi dewan
pemilihan umum, akhirnya mayoritas umat islam menginginkan Utsman bin Affan sebagai Khalifah
karena usianya yang lebih tua dibandingkan dari Ali, tentunya akan lebih menjadi pemimpin yang
bijaksana.
Dia dibaiat sebagai khalifah saat berusia 70 tahun. Pada masa pemerintahannya jumlah
kekayaan kaum muslimin sangat banyak sekali dan dia melihat bahwa banyak gubernur-gubernur
yang kurang cakap memerintah dijadikan gubernur, sehingga yang terjadi adalah korupsi dan
penggelapan uang Negara, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengganti gubernur-gubernur
yang tidak kompetitif tersebut dengan gubernur-gubernur baru, yang tentu saja berasal dari
keturunan bani Umayyah. Permainan politik ini tentu saja diprotes oleh mantan gubernur-gubernur
di berbagai daerah tersebut, hal ini dimanfaatkan oleh seorang yahudi Abdullah bin Saba’ untuk
menyebarkan fitnah di kalangan umat islam mesir, kufah dan Bashrah, yang pada prinsipnya bahwa
Umar telah merebut hak Ali bin Abi Thalib sebagai seorang khalifah, maka pasukan pemberontak
dari Mesir, Kuffah dan Bashrah secara bersamaan datang bersama-sama menyerbu Madinah untuk
mendebat Khalifah, namun Ali yang mengetahui hal ini segera menenangkan mereka dan
menjelaskan duduk persoalannya, sehingga mereka sadar dan kemudian kembali ke masing-masing
daerah.
Namun lagi-lagi Abdullah bin Saba’ membuat surat fitnah atas nama Khalifah, Ali dan Aisyah
yang di dalamnya berisi tulisan bahwa khalifah akan mengundurkan diri dan Ali akan jadi Khalifah,
barangsiapa yang tidak setuju, maka dia akan dibunuh. Maka mereka pun kembali ke Madinah dan
mengepung kediaman khalifah, hal ini dimanfaatkan sangat baik oleh Abdullah bin saba’ yang
kemudian mengisukan kedatangan pasukan pembela khalifah dari berbagai daerah, para
pemberontak ini pun khawatir hingga akhirnya mereka mendesak masuk ke rumah khalifah Utsman
dan kemudian membunuhnya pada saat dia sedang membaca Al-Quran mushaf Utsmaninya.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa yang membunuh Utsman adalah Al-Ghafiqi. Khalifah
Utsman wafat pada bulam Dzulhijjah tahun 35 H/656 M, usia kekuasaannya adalah 12 tahun. Salah
satu kebijakan Utsman selama memerintah adalah penyatuan bacaan Al-Quran dalam satu mushaf
setelah khawatir terjadinya perbedaan cara baca dalam qiroah sab’ah, kemudian menamainya
dengan Rasm Utsmani
d) Kekhalifahan Ali bin Abu Thalib (35-40 H/ 656-661 M)
Namanya Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib, sepupu Rasulullah, keturunan Quraisy. Dia
dibaiat menjadi khalifah bukan atas kemauan sendiri, namun karena kemauan para sahabat lain
karena kekhawatiran mereka mengenai konflik yang sedang terjadi di kalangan umat Islam. Ali
bukanlah orang yang pandai dalam hal politik, dia lebih dikenal sebagai sosok “pintu imu” dan juga
seorang pemberani dan tangkas sebagai prajurit dalam medan perang, banyak orang yang terbunuh
di tangannya, termasuk paman, kakek dan saudara Mu’awiyah yang ketiganya meninggal akibat
pedang Ali. Namun tanpa sadar hal itu malah membuat Ali seolah-olah sedang mmenumbuhkan
musuh-musuh di sekelilingnya, seperti Muawiyah yang saat itu sangat membencinya.
Ali terbunuh oleh seorang khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada saat akan
melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini dipicu oleh adanya peristiwa pemberontakan sampai
perang jamal antara Ali dan Aisyah serta muawiyah, yang dikonspirasi oleh Muawiyah sebagai
usaha balas dendamnya atas darah keluarganya yang tewas di tangan Ali bin Abi Thalib. Peristiwa
pembunuhan ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M. dengan meninggalnya Ali bin Abu
Thalib berakhirlah periode khulafaur Rasyidin yang kenudian dilanjutkan oleh periode Bani
Umayyah.3[3]
2) Aspek Fiqih
Semakin luasnya wilayah islam, maka perkembangan ijtihad para sahabat pun semakin besar,
hal ini disebabkan munculnya masalah-masalah baru terkait dengan budaya bangsa ara itu sendir,
sebagaimana yang kita ketahui daerah mekkah mempunyai keberbedaan budaya dengan daerah
mesir. Namun justru hal inilah yang kemudian semakin memperkaya tsarwah fiqhiyyah umat islam
pada zaman ini. Fiqih / penggalian hukum islam pada periode Khulafaur Rasyidin ini terasa sangat
3[3] Prof. Dr. Abu Su’ud, op,cit hal : 55-63
hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul, meskipun lebih kecil dibanding periode
berikutnya, seiring dengan perkembangan fiqih itu sendiri. Selain periwayatan hadits yang sangat
ketat, pada periode ini ijtihad seringkali dilakukan secara jama’I sehingga ruang ijtihad yang begitu
luas itu jarang menimbulkan ikhtilaf. Pada periode ini fatwa-fatwa dan masail fiqih belum ditulis
seperti juga sunnah. Kendati demikian, kita mulai dapat mengklasifikasikan kaidah-kaidah usuliyah
dan metode ijtihad yang digunakan oleh fuqaha sahabat dalam melakukan ijtihad. Dalam banyak hal,
fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah itu memang masih bercampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah
istidlal.
3) Aspek Akidah
Aspek akidah pada masa setelah wafatnya nabi menjadi hal yang sangat menggelisahkan umat
islam. berawal dari berita wafatnya Nabi Muhammad yang tersebar di kalangan para sahabat,
membuat mereka merasa kehilangan yang sangat besar karena secara historis Nabi Muhammad lah
yang mampu mengangkat mereka dari keterpurukan dan kesesatan serta kekufuran menuju
ketauhidan dan agama islam yang rohmatan lil alamin itu. Bagi mereka Nabi adalah sesosok agung
yang senantiasa memberikan cahaya petunjuk dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat islam
zaman itu. Sehingga ketika mendengar Nabi yang begitu mereka cintai itu, yang telah memimpin
dan menjadi petunjuk bagi mereka selama 38 tahun (63-25 tahun ), hati dan Iman mereka mulai
gelisah ibarat malam hari ketika mereka kehilangan cahaya mereka, hal ini juga yang dialami
sahabat umar ketika mendengar nabi wafat dia langsung berkata:’’ barang siapa yang berkata bahwa
nabi Muhammad telah wafat maka akan kutebas lehernya”. Namun akhirnya hati umar pun luluh
manakal mendengar pidato abu Bakar : Barang siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah
Hidup, tetapi Barangsiapa yang menyembah Muhammad sesungguhnya Muhammad telah wafat”.4[4]
Tidak hanya sampai di sini, persoalan akidah menjadi sangat berat manakala ada beberapa
oknum Islam yang memanfaatkan kegelisahan iman dan akidah umat islam saat itu dengan
memanfaatkannya untuk menyampaikan dan mengumandangkan pendapat-pendapatnya, di antara
mereka ada beberapa pimpinan rakyat yang kemudian mengaku dirinya telah diangkat menjadi nabi
penerus Muhammad, seperti Musailamah Al-Kadzab. Selain itu ada juga beberapa orang yang
menyerukan bahwa kewajiban menunaikan zakat itu telah berhenti setelah wafatnya nabi, karena
menurut mereka zakat itu diberikan utuk kepentingan nabi. Hal-hal ini lah yang kemudian mamaksa
4[4] Ibid, hal 54
Abu Bakar untuk memerangi mereka dengan tujuan untuk melenyapkan penyakit-penyakit
kekufuran dan pemberontakan dari tubuh islam, karena dikhawatirkan hal ini akan merambat dan
mempengaruhi umat islam yang lain.
B. Sumber-Sumber Tasyri’
a) Al-Quran
Al- Qu’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah dengan lafa dan maknanya.
Para sahabat sama sekali tidak pernah mendahului Al-Qur’an, karena ini adalah sumber pertama bagi
penentuan aqidah Islam, akhlak yang mulia, dan hukum- hukum amal perbuatan termasuk juga
bahasa.
Adapun manhaj para sahabat dalam mengistinbatkan hukum dari Al-Qur’an adalah sebagai
berikut :
Jika ada masalah yang muncul dan memeang sudah ada hukumnya serta kandungan dalil yang
tepat maka mereka akan mengambil dalil ini tanpa bermusyawarah dengan siapapun dan tidak ada
perbedaan sama sekali diantara mereka dalam masalah ini. Perbedaan terkadang muncul dalam
beberpa hukum yang diambil dari Al-Qur’an walaupun tidak ada dalil yang menentangnya. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya nash yang memilki makna lebih dari satu, seperti adanya kata
musytarak ( beragam makna ) yaitu kata yang mengandung dua makna atau lebih, maupun kata
yang bermakna majaz ( kiasan ).
Contoh kata quru’ dalam firman Allah QS : Al-Baqarah : 228
Artinya : wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Kata tersebut adalah bentuk jama’ dari kata tunggal qar’un yang bisa diartika Haid dan bisa
juga Suci.
b) Al-Hadits
Para sahabat selalu kembali dan mengacu kepada Hadist dalam mengishtinbatkan hukum
ketika tidak menemukan nash dalam Al- Qur’an, karena Hadist adalah sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an.
Adapun cara para sahabat dalam mengamalkan Hadist pada zaman ini adalah jika ada hadist
dan perwainya yakin karena ia mengetahuinya, atau karena perawinya bisa dipercaya atau ada yang
memberi persaksian dan tidak diketahui dia sudah meninggal sebelum periwayatan, atau tidak ada
yang menentangnya maka dalam keadaan ini mereka tidak akan ragu- raguuntuk menerima dan
mengamalkan dan berfatwa dengannya.
Namun jika kepercayaan terhadap perawinya lemah apalagi ia hanya sendirian, maka inilah
yang akan mereka tolak, termasuk ketika Hadistnya kuat dan perawinya terbukti. Namun, ada
sahabat yang mengatakan bahwa itu sudah dimansukh oleh Rasulullah maka mereka tidak ragu
unutk menolak hadist tersebut. Atau ketika ada Hadist yang kuat perawinya, namun ada dalil lain
yang lebih kuat dan bertentangan dengan hal itu maka inipun akan ditolak. Semua sesuaidengan
kondisi perawi dan cara penganbilam hadist atau ada yang menolaknya. Mungkin saja seoran
sahabat menilai hadist ni kuat, namun sahabat lain menganggap hadist ini lemah sehinga mereka pun
berbeda pendapat dalalm menetapkan hukum dan sumber perbedaan berasal dari kepastian sebelah
pihak dan tidak adanya kepercayaan dari pihak lain sesuai dengan apa yang didengar, diyakini dan
dipahami dalam mengistinbatkan hukum dari Al-Qur’an ketika berhadapan dengan Hadist, atau dari
Hadist yang lebih kuat menurut penilaiannya.
Contoh adlah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, siapa yang membawa jenazah,
maka hendaklah ia berwudu’. Hadist ini tidak dapakai oleh Abdullah bin Abbas dan ia berkata, kita
tidak wajib berwudu’ karena membawa tiang rumahnya.5[5]
c) Ijtihad Sahabat
Jika dalam suatu permasalahan yang muncul itu tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Quran
maupun Hadits, maka para sahabat pun berijtihad dengan menggunakan Ro’yu / buah pemikiran
mereka. ijtihad adalah mencurahkan segenap kesungguhan dalam penggalian hukum syar’I yang
bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits yang telah ditetapkan sebagai dalil hukum. Ijtihad yang
dilakukan para sahabat dalam periode ini biasanya menggunakan metode ijma’/qiyas baru kemudian
maslahah. Ijma’ terjadi secara jama’I terhadap suatu permasalahan, namun pada masa ini ijma’ tidak
harus dalam suatu acara yang formal namun bisa berbentuk diskusi / Tanya jawab antara dua orang
sahabat atau lebih, yang walaupun biasanya masing-masing punya metode sendiri-sendiri sehingga
jarang sekali terjadi penyatuan pendapat, namun perbedaan ini tidak sampai menimbulkan konflik di
kalangan umat islam itu sendiri, hal ini malah mampu menambah tsarwah fiqhiyyah mereka.
Dalam metode qiyas para sahabat mengambil hukum dari nash-nash yang bisa dikaji ulang,
dengan asumsi bahwa setiap nash itu punya illat (sebab hukum) yang menjelaskan sebab hukumnya,
punya illat yang bisa dijadikan dasar penggalian hukumnya, punya illat yang bisa memungkinkan
5[5] Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, ( Jakarta : Amzah, 2009 ) hal : 63-65
masuknya kategori permasalah baru yang di dalamnya dijumpai adanya illat tersebut, sedangkan
nash itu tidak menghukumi perkara baru tersebut. Bila kedua hal itu tidak bisa dilakukan maka
biasanya para sahabat kabir mencari jiwa hukumnya / subtansi hukumnya yang menurut mereka
pasti akan mempunyai satu arah/tujuan yaitu kemaslahatan dan keadilan hukum. Metode maslahah
ini banyak digunakan sahabat ketika melihat bahwa dalam masyarakatnya yang baru dan majemuk,
serta perbedaan sosio-kultural di antara masyarakat satu dengan yang lainnya, membutuhkan
dinamisasi hukum, karena permasalahan-permasalahan sosial yang bersifat dinamis itu tidak
mungkin dihukumi dengan nash-nash syar’I yang statis yang hanya diberlakukan pada suatu daerah
hukum dan masyarakat di Mekkah dan Madinah saja.
Para sahabat pada masa ini tidak berijtihad/mengeluarkan pendapat terhadap suatu perkara
sehingga perkara itu muncul/ ada yang menanyakannya, jika hal itu terjadi maka mereka berijtihad
untuk menggali hukumnya, jika tidak maka mereka tidak pernah membuat suatu institusi hukum
semisal MUI untuk membuat masalah sekaligus menghukuminya. Hal inilah yang menyebabkan
fatwa-fatwa hukum yang dinukil dari para sahabat di periode ini sangat sedikit sekali.6[6]
Dasar penggunaan ketiga sumber hukum ini adalah hadits yang menceritakan tentang
pengutusan Mu’adz bin Jabal ke Syam oleh Nabi SAW, sbelum mengutusnya Nabi
menanyainya,bila engkau menemukan masalah di sana apa yang akan kau lakukan? Maka muadz
pun menjawab aku akan menghukuminya dengan Kitab Allah, dan jika aku tidak menemukan
hukumnya, maka aku akan kembali pada sunnah RasulNya, dan jika aku tidak berhasil, maka aku
akan berijtihad (untuk menghukuminya) dengan pikiranku. Kemudian rasul menepuk bahunya
sebagai tanda persetujuan beliau terhadap Mu’adz bin Jabal.
C. Sebab-Sebab Ikhtilaf Pada Masa Sahabat
Pertama, perbedaan dalam memahami nash Al-Quran dan Hadits. hal ini disebabkan karena
ketidak jelasan batasan antara pengertian nash dan perbedaan pesepsi di kalangan sahabat, seperti
lafadz (القرء) dalam firman Allah Ta’ala ( قروء ثالثة بأنفسهن يتربصن umar dan ibnu (والمطلقة
mas’ud mengartikan bahwa (القرء) bermakna haid, sedangkan zaid bin tsabit mengartikannya
dengan suci, dan tiap-tiap pendapat memiliki argument yang menguatkannya.
Kedua, munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash yang saling berlawanan. Para
fuqoha pun sepakat bahwa masalah seperti ini harus diselesaikan dengan beberapa tahapan. Pertama,
6[6] Muhammad Hudhori. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain. Hal. 114.
mencari benang merah antara kedua ayat tersebut, bila tidak ditemukan maka menggunakan metode
kedua yaitu At-Tarjih yaitu mengunggulkan satu nash hukum dengan nash hukum lainnya karena
ada dalil yang menguatkannya, bila tidak ditemukan dalil yang menguatkannya maka dipakailah
metode ketiga yaitu teori nasakh yaitu hukum nash yang pertama dihapus oleh hukum nash kedua
yang datang belakangan. Contohnya masalah iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya,
apakah dia beriddah hamil atau beriddah kematian suaminya? Dalam al-Quran disebutkan:“…Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya..” .(QS. At-Thalaq: 4). Di ayat lain disebutkan “Orang-orang yang meninggal dunia
di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah: 234). Dalam hal ini Ibnu Abbas mencari
benang merah dari kedua nash di atas dan beliau kemudian berpendapat bahwa iddahnya adalah
masa iddah yang paling lama dari dua masa iddah tersebut, sedangkan Ibnu Mas’ud hukum ayat
pertama menghapus hukum ayat kedua, maksudnya meskipun belum 40 bulan 10 hari jika sudah
melahirkan maka berakhir pula lah masa iddahnya, hal ini diperkuatnya dengan hadits nabi yang
menerangkan bahwa nabi mengizinkan Subai’ah Al-Aslamiyah untuk menikah lagi setelah
melahirkan anaknya beberapa hari semenjak kematian suaminya.
Ketiga, sebagian fuqoha memutuskan suat peristiwa berdasarkan pengetahuannya dari sunnah,
sementara yang lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk
disebut sebagai hadits shahih. Contohnya perbedaan pendapat antara Ali bin Abi Thalib dengan Ibnu
Mas’ud dalam masalah maskawin (mahar) wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum mengadaka
hubungan suami istri. Hal itu juga disebabkan karena pada zaman ini sunnah/ hadits-hadits Nabi
belum dibukukan, maka tingkat kuantitas hadits yang didapat dan dihafal oleh para sahabat juga
relatif beda antara satu dan yang lain, tergantung seberapa seringnya mereka berinteraksi langsung
dengan Rasulullah SAW semasa hidupnya, atau kepada para sahabat periwayat hadits. Sehingga
produk hukum yang mereka hasilkan mungkin berbeda karena kekurangtahuan akan hadits-hadits
Nabi yang lain, yang mungkin menjelaskan / menafsiri hadits yang mereka hafal.
Keempat, perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para fuqoha yang kemudian memunculkan
beberapa perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncullah bebeerapa perbedaan pendapat
dalam satu persoalan yang sama, yang sebenarnya hal ini akan mampu memperkayah tsarwah
fiqhiyyah. Contohnya perbedaan penentuan illat hukum. Ini terjadi ketika seorang sahabat ingin
mengetahui sebab suatu peristiwa hukum. Contoh: dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa nabi
Muhammad SAW mempercepat langkah ketika tawaf dengan lari-lari kecil, kemudian sebagian
besar sahabat berkata:”lari-lari kecil ketika tawaf itu sunnah”. Ibnu Abbas berkata:” tidak sunnat”.
Lagkah nabi dipercepat karena orang musyrik menghina orang islam yang kelihatan loyo ketika
berthawaf. Ketegaran langkah itu ditunjukkan oleh Nabi SAW agar tidak dikatakan loyo.
Kelima, mungkin ini yang paling penting, yaitu bahwa kebebasan dan kesungguhan para
fuqoha dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan
kesungguhan itulah yang menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi fiqih periode ini.
D. Contoh-Contoh Ijtihad Sahabat Dalam Menghadapi Permasalahan Hukum
1) Kekhalifahan Abu Bakar
a) Penghimpunan Al-Quran
Setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, banyak sekali terjadi pemberontakan serta
penyelewengan akidah di beberapa daerah kekuasaan islam, termasuk diantaranya adalah seorang
Musailamah Al-Kadzab yang mengaku menjadi Nabi setelah Nabi Muhammad, kemudian Abu
Bakar pun memerintahkan untuk memerangi kelompok penyeleweng tersebut hingga akhirnya
setelah pertempuran yang sengit, kemenangan diraih pasukan Abu Bakar dengan meninggalkan
banyak syuhada’ (umat islam yang mati syahid dalam peperangan) termasuk di antaranya sejumlah
besar para penghafal Al-Quran. Karena kekhawatiran akan hilangnya Al-Quran bersamaan dengan
semakin berkurangnya para penghafal Al-Quran, maka Umar bin Khattab pun mengusulkan
pengumpulan Al-Quran dalam satu kumpulan (mushaf) kepada Abu Bakar, tentu saja Abu Bakar
menolak usulan umar tersebut, karena sebagai sahabat yang selalu dekat dengan Nabi, yang selalu
mematuhi dan membenarkan segala perkataan dan perbuatan Nabi SAW, pantang bagi Abu Bakar
untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, apalagi hal-hal yang
berkenaan dengan Al-Quran selaku sumber hukum Primer Islam. Namun atas kegigihan umar dalam
memberikan argument, bahwa hal itu untuk menghindari punahnya ayat-ayat Al-Quran yang
disebabkan oleh berkurangnya para penghafal Al-Quran, dan hal itu akan menjadikan kemaslahatan
umat islam, maka Abu Bakar pun menyetujui usulan umar tersebut. Dia pun memerintahkan kepada
sang penulis wahyu terbanyak, Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al-Quran dalam Satu mushaf.7
[7]
2) Kekhalifahan Umar bin Khattab
7[7] Prof. Dr. Abu Su’ud, op,cit ,hal : 56
· Tentang satu orang yang dibunuh oleh beberapa orang
Pada masa kekhalifahan Umar bin Al-Khattab, Khalifah kedua setelah Abu Bakar, terjadi
suatu peristiwa hukum berupa pembunuhan massal, atau pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa
orang sekaligus terhadap satu orang, bagaimana hukumnya?. Ketika dihadapkan pada masalah
tersebut, umar merasa bimbang, kemudian dia pun mendiskusikannya dengan Ali bin Abi Thalib,
maka Ali bertanya: “Apa pendapatmu jika ada sekelompok orang yang bersama-sama mencuri Unta,
apakah engkau akan memotong tangan mereka semua?” “Ya”, jawab Umar. Ali pun
berkata:”Begitulah . . . . ,”. Kemudian atas dasar pola pikir / analogi terebut, maka umar menetapkan
hukum bagi mereka, “Andaikata penduduk Shan’a itu semua bersama-sama membunuh pria itu,
sungguh akan aku bunuh mereka semua”.8[8]
· Tentang Pencuri Dalam Masa Panceklik
Khalifah umar tidak menghukum potong tangan seorang pencuri yang mencuri makanan di musim
paceklik karena mempertimbangkan kemaslahatan umat, disamping bahwa memelihara nafs (jiwa)
itu lebih didahulukan daripada memelihara mal (harta). Jadi, perlindungan terhadap nyawa manusia
saat itu lebih dipentingakan daripada harta.
· Bagian zakat orang muallaf
Terhadap orang muallaf, di masa kekhalifahannya Umar tidak memberi bagian zakat kepada
mereka, pada zaman Nabi Muhammad muallaf adalah mereka yang diambil simpatinya agar masuk
islam dengan memberikan zakat kepada mereka. Terhadap mualalf umar berkata:”Sesungguhnya
Allah telah menguatkan islam dan tidak membutuhkan kamu. Jika kamu bertaubat, silahkan, tetapi
jika tidak maka antara kamu dan kami adalah pedang.” Di sini umar melihat bahwa yang paling
maslahat pada saat perluasan islam saat itu adalah dengan tidak memberikan zakat/harta kepada
orang muallaf karena pada saat itu orang-orang islam sudah sangat banyak sekali sehingga pada saat
itu umar memang benar-benar ingin mengetahui apakah mereka mau masuk islam karena kesadaran
sendiri atau karena iming-iming zakat yang diberikan islam.
3) Kekhalifahan Utsman bin Affan
· Mushaf Utsmani
Pembukuan/penulisan Al-Quran dengan “satu huruf” (satu versi qiroah) dan membuang
mushaf versi lain merupakan salah satu bentuk ijtihad Usman dalam menghadapi keanekaragaman
8[8] Muhammad Zuhri. Hukum islam dalam lintasan sejarah. ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996 ) Hal. 40
bacaan Al-Quran yang mengarah kepada keragaman pemahaman terhadap islam, selanjutnya,
pertentangan di kallangan umat islam. dan ijtihad ini pun disetujui oleh para sahabatnya. Seperti
diketahui bahwa al-quran diturunkan atas 7 macam huruf (qiroah), artinya dengan dialek dan redaksi
yang bermacam-macam. Ketujuh qiroah tersebut adalah Quraisy, Yaman, Huwazin, Kudaah,
Tamim, dan Tajik, sehingga terbuka peluang berbedanya hafalan seorang sahabat dengan sahabat
yang lain. Misalnya, dalam surah Al-Jumuah disebut ( ذكرالله إلى ada sahabat lain yang ,(فاسعوا
membacanya ( الله ذكر إلى Perbedaan redaksi di sini tidak mengubah makna, namun demi .(فامضوا
keutuhan, keseragaman Al-Quran dilaksanakan oleh Khalifah Utsman bin Affan.9[9]
· Tentang unta yang berkeliaran
Masalah unta yang berkeliaran dan tidak diketahui pemiliknya, apakah boleh “diamankan”
seperti barang temuan lainnya atau tidak. Ikhtilaf terjadi karena ada hadits Nabi yang menyebutkan
bahwa unta unta itu harus dibiarkan hingga ditemukan oleh pemiliknya sendiri. Ketika kondisi
pemerintahan mulai mengalami goncangan keamanan, utsman berpendapat bahwa unta-unta itu
sebaiknya diamankan.”Rasulullah melarang untuk mengamankannya,” kata Utsman, “ kareana tidak
mungkin ada yang mencurinya. Nmaun Sekarang, dalam suasan melemahnya ghirah keagamaan ini
unta-unta harus diamankan untuk kemaslahatan. Kalau tidak ia akan dicuri orang.”
Sikap Utsman ini bertentangan dengan kebijaksanaan Umar yang mengamalkan hadits Nabi
tadi. Di sini Utsman tampaknya menerapkan ‘illah. Umar melaksanakan nash dari hadits Nabi
karena adanya ‘illah, yaitu “suasana aman”, ketika ‘illah itu tidak ada, maka nash tidak cukup
syaratnya untuk diterapkan. Jika tetap diamalkan maka pengamalan nash itu tidak akan mewujudkan
kemaslahatan yang merupakan tujuan utama nash tadi.
4) Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
a) Tentang wanita yang ditinggal mati suaminya
Para fuqoha berbeda pendapat tentang bagaimana hukum seorang wanita yang ditinggal mati
suaminya sebelum melakukan hubungan suami-istri, padahal belum juga ditentukan kadar mas
kawin / maharnya. Menurut ibnu mas’ud, wanita itu berhak mengambil maskawin seperti biasa dari
harta peninggalan suaminya seperti terjadi pada Barwa’ binti Wasyik al-Aslamiyah di zaman
Rasulullah.
9[9] Prof. Dr. Abu Su’ud, op,cit , hal : 61- 62
Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa, ketentuan seperti itu merugikan satu pihak. Karenanya,
menurut Ali, wanita itu tidak berhak mengambil maskawin dari harta peninggalan suaminya sebelum
terjadi hubungan suami-istri. “Kami tidak akan meninggalkan Al-Quran hanya karena pernyataan
seorang saja”, kata Ali.
Dari sini Nampak bahwa Ali telah sampai pada penggunaan qiyas, sebab dalam Al-Quran
tidak ada ketentuan tentang masalah ini, yang ada hanyalah wanita yang ditalak oleh suaminya
sebelum melakukan hubungan suami-istri. Dan rupanya Ali mengqiyaskan wanita yang ditinggal
mati oleh suaminya sebelum melakukan hubungan tadi dengan wanita yang ditalak dalam keadaan
yang sama.
Ruang Ijtihad Sahabat
Yang bisa kita lihat dari berbagai ijtihad sahabat – di antaranya seperti dicontohkan di atas –
adalah adanya ruang lingkup ijtihad yang cukup luas. Para sahabat tidak hanya menyikapi hukum-
hukum islam secara ideal yang terlepas dari konteks sosial, tetapi dimensi sosial itu telah
menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban ideal islam terhadap berbagai persoalan yang
berkembang. Interpretasi terhadap nash (seoerti penggunaan teori ‘illah yang dilakukan Utsman),
adalah contoh nyata betapa para sahabat secara sungguh-sungguh berusaha memahami maqashid
tasyri’ (tujuan-tujuan syariat) dari suatu penerapan hukum.
Utsman misalnya, berkesimpulan bahwa dibiarkannya unta-unta berkeliaran pada masa Nabi
Saw karena kondisi saat itu aman. Jadi, kerangka penerapan hukum ini dengan sendirinya menuntut
adanya situasi aman sehingga memungkinkan unta-unta itu menjumpai pemiliknya. Jika tidak, maka
nash hadits itu tidak tepat untuk diterapkan, sebab akan member peluang terkorbankannya
kemaslahatan umum. Kerangka teori ini kemudian dikembangkan dan dirumuskan oleh para ahli
metodologi islam (ushuliyyin) dalam kaidah ushul fiqh : “al-hukmu yadurru ma’al ‘illah wujudan wa
‘adaman” (hukum itu berputar / berhubungan dengan munculnya illah atau tidak).
Bahkan pengamatan yang lebih mendalam akan membuktikan bahwa rumusan para fuqaha dan
mujtahidin pada tahun-tahun pertengahan mengacu pada kerangka dan ruang ijtihad sahabat. Qiyas,
maslahah mursalah, istihsan dan kaidah-kaidah fiqhiyah lainnya mendapat justifikasi dari para
sahabat. Hal ini semakin menguatka kesimpulan bahwa fiqih sejak periode-periode awal
memberikan ruang gerak dinamis bagi perkembangan, pembaharuan dan kehidupan. Dengan kata
lain, tradisi ikhtilaf para sahabat mengacu pada kerangka acuan istidlal, suatu proses ijtihad yang
memperkaya tsarwah fiqhiyah dalam sejarah perkembangannya
BAB III
PENUTUP
Sejarah hukum islam pada masa Khulafaur Rasyidin secara periodik terbagi menjadi 4, yaitu
periode Abu Bakar, Periode Umar bin Khattab, periode Utsman bin Affan dan periode Ali bn Abu
Thalib. Yang perlu digaris bawahi dalam pemahaman mengenai tasyri’ pada masa ini adalah bahwa
meskipun disebut periode khulafaur Rasyidin, namun dalam praktisnya para mujtahid hukum bukan
hanya para amirul mukminin yang 4 saja, akan tetapi seluruh kibar sahabat yang hidup pada masa ini
juga sering berijtihad terhadap semua permasalahan yang dirasa aktual dan memiliki haajah di antara
umat islam.
Dalam hal permasalahan hukum itu telah ada hukumnya dalam nash Al-Quran, maka
digunakanlah hukum yang didapat dari nash tersebut. Dan bila hukum permasalahan itu tidak
ditemukan dalam Al-Quran maka mereka mencari hukumnya di dalam hadits, namun karena hadits
masih belum dibukukan, maka sering terjadi perbedaan pendapat mengenai satu persoalan yang
sama tetapi menghasilkan produk hukum yang berbeda, tergantung kapasitas hadits yang dimiliki
masing-masing sahabat. Untuk menghadapai masalah ini, para sahabat seringkali berdiskusi untuk
saling bertukar wawasan tentang hadits yang mereka hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan
hukumnya di dalam Al-Quran dan Hadits maka mereka berijtiad dengan menggunakan ro’yu mereka
sendir-sendiri, maka kemudian terciptalah metode qiyas, penggalian illat hukum, ijma’, hingga
akhirnya pada tahap penelusuran substansi syariat dengan menggunakan metode maslahah, yaitu
mencari hal yang maslahat bagi masnusia secara umun.
Adapun sebab ikhtilaf pendapat para sahabat saat itu adalah perbdaan persepsi tentang suatu
nash Al-Quran atau hadits secara tekstual, yang biasanya memerlukan kajian kebahasaan yang
tinggi. Di samping itu kadar jumlah hadits yang berbeda yang diterima para sahabat kibar yang
kesemuanya tergantung pada seberapa dekat dan sering seorang sahabat berinteraksi dengan
NabiSAW.
Beberapa contoh hasil ijtihad para sahabat dalam penentuan hukum islam terhadap suatu
persoalan. Contohnya pembuuan Alquran dalam satu mushaf oleh Abu bakar karena
kekhawatirannya akan hilangnya Al-Quran dengan hilangnya para syuhada yang hafal Al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
· Prof. Dr. Su’ud, Abu, Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Ummat
Islam, Jakarta : PT. Rineka Cipta,2003
· Ibnu Karsir, Al- Hafiz , Perjalanan Empat Khalifah Rasul yang Agung, Jakarta : Darul Haq,
2011
· Dr. Hasan Khalil, Rasyad , Tarikh Tasyri’, Jakarta : Amzah, 2009
· Hudhori, Muhammad. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain
· Zuhri, Muhammad. Hukum islam dalam lintasan sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996
· http//:www.makalahtoher.blogspot.com/2011/12/ makalah-tarikh-tasyrikh.html
· Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010