Upload
imam-miraj-suprayoga
View
61
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
aaa
Citation preview
Hukum Mengotopsi Mayat
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Otopsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti melihat dengan mata sendiri. Selain itu juga ada istilah yang berdekatan yaitu "Nekropsi", juga berasal dari bahasa Yunani dan artinya "melihat mayat."
Ada dua macam otopsi, yaitu otopsi forensik dan otopsi klinikal.Otopsi forensik dilakukan untuk tujuan medis legal dan yang banyak dilihat dalam televisi atau berita. Sedangkan otopsi klinikal biasanya dilakukan di rumah sakit untuk menentukan penyebab kematian untuk tujuan riset dan pelajaran.
Hukum Otopsi
Di dalam hadits nabawi kita tidak menemukan keterangan yang sharih tentang hukum melakukan otopsi. Sebab otopsi seperti di zaman sekarang ini belum lagi dikenal di masa lalu.
Yang kita temukan hanya dalil-dalil dari sunnah nabaiwiah yang berbicara tentang larangan merusak tulang mayat. Selain itu kita menemukan berbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum membedah perut mayat.
Hadits yang melarang kita merusak jasad mayat yang telah meninggal dunia adalah:
Dari Jabir ra berkata, "Aku keluar bersama Rasulullah SAW mengantar jenazah, beliau duduk di pinggir kuburan dan kami pun juga demikian. Lalu seorang penggali kubur mengeluarkan tulang (betis atau anggota) dan mematahkannya (menghancurkannya). Maka nabi SAW bersabda, "Jangan kamu patahkan tulang itu. Kamu patahkan meski sudah meninggal sama saja dengan kamu patahkan sewaktu masih hidup. Benamkanlah di samping kuburan. (HR Malik, Ibnu Majah, Abu Daud dengan isnad yang shahih)
Sedangkan perbedaan pendapat di kalangan ulama klasik tentang membedah perut mayat, kita dapati dalam kitab-kitab mereka. Hanya seja masalah juga tidak sama persis dengan kasus otopsi. Mereka membedah perut mayat bila mayat itu menelan harta atau di dalamnya ada janin yang diyakini masih hidup.
a. Membedah Perut Mayat Karena Diyakini di Dalamnya Ada Harta
Para ulama di kalangan mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitab-kitab mereka tentang kebolehan membedah perut seseorang yang telah wafat dan diyakini bahwa di dalam perutnya ada harta benda.
Dengan syarat bahwa harta di dalam perut mayati itu milik orang lain, sedangkan mayat itu tidak
punya harta yang ditinggakan untuk mengganti harta milik orang lain itu. Maka dibolehkan saat itu untuk mengeluarkan harta dari perutnya untuk melunasi hak orang lain.
Kebolehan itu dilandasi sebuah kaidah bahwa hak adami harus didahulukan dari pada hak Allah. Mengembalikan harta orang lain itu adalah hak adami, sedangkan menjaga mayat agar tidak dirusak adalah hak Allah (larangan Allah). Maka dibolehkan hukumnya untuk membedah perut mayat itu meski harus melanggar larangan Allah.
Bahkan ulama di kalangan mazhab Asy-Syafi'iyah berpendapat lebih jauh. Bagi mereka, kebolehan membedah perut mayat dan mengambil harta di dalamnya tidak harus dengan syarat untuk mengembalikan hak orang lain. Bahkan bila harta itu memang milik si mayat tersebut sekalipun, hukumnya tetap boleh dibedah dan diambil.
Pendapatpara ulama Al-Malikiyah kira-kira tidak jauh berbeda dengan kedua mazhab di atas. Sedangkan mazhab Imam Ahmad menolaknya.
b. Hukum Membedah Perut Wanita Hamil yang Meninggal
Di dalam literatur fiqih klasik juga kita dapati pandangan para ulama tentang hukum membedah perut wanita hamil yang meninggal. Perkara ini sedikti banyak juga ada kaitannya dengan masalah otopsi, meski tidak terlalu mirip.
Mazhab Al-Hanafiyah dna Asy-Syafi'iyah mengatakan dibolehkan membedah perut wanita hamil yang meninggal dunia, asalkan diyakini janin di dalam perutnya itu masih hidup. Hal itu lebih diutamakan demi menyelamatkan nyawa manusia hidup, meski harus dengan merusak mayat.
Namun mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah tidak membolehkan hal itu.
e. Ketetapan Majma' Fiqih Islami Tentang Hukum Otopsi
Majma' Fiqih Islami, sebuah institusi para ulama dunia yang berada di bawah bendera Rabithah 'Alam Islamidalam sidang di Mekah Al-Mukarramah pada tanggal 17 Otober 1987telah mengeluarkan ketetapan tentang masalah yang anda tanyakan.
Pertama: Dibolehkan melakukan otopsi terhadap mayat selama bertujuan salah satu dari hal-hal di bawah ini:
1. Kepastian tuduhan yang bersifat kriminal untuk mengetahui penyebab kematian seseorang. Hal itu apabila hakim kesulitan untuk memastikan penyebab kematian. Kecuali hanya dengan jalan otopsi saja. 2. Kepastian tentang penyebab suatu penyakit yang hanya bisa dibuktikan lewat otopsi. Demi untuk mendapatkan kejelasan penyakit tersebut serta menemukan obat penangkalnya. 3. Untuk pengajaran kedokteran dan pembelajarannya, yaitu seperti yang dilakukan di fakultas-fakultas kedokteran.
Kedua: Bila otopsi itu bertujuan untuk pembelajaran, maka harus mengacu kepada hal-hal berikut ini:
1. Bila jasad itu milik orang yang diketahui identitasnya, maka dibutuhkan izinnya sebelum meninggal atau izin dari keluarga ahli warisnya. Dan tidak boleh mengotopsi orang yang darahnya terlindungi (muslim atau kafir zimmy) kecuali dalam keadaan darurat. 2. Wajib melakukan otopsi dalam kadar yang minimal atas tidak merusak jasad mayat. 3. Mayat wanita tidak boleh diotopsi kecuali hanya oleh dokter wanita juga, kecuali bila memang sama sekali tidak ada dokter wanita.
Ketiga: Wajib dalam segala keadaan untuk menguburkan kembali semua jasad mayat yang telah diotopsi.
Itulah ketetapan para ulama tentang hukum otopsi, yang pada hakiatnya dibolehkan asal memenuhi ketetapan yang telah digariskan.
Walahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
http://eramuslim.com/ustadz/fqk/6c19222647-hukum-mengotopsi-mayat.htm
Hukum Otopsi
Otopsi (bedah mayat) adalah pemeriksaan mayat dengan pembedahan. Ada tiga macam otopsi; (1) otopsi anatomis, yaitu otopsi yang dilakukan mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. (2) otopsi klinis, yaitu otopsi untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit (misal jenis penyakit) sebelum mayat meninggal. (3) otopsi forensik, yaitu otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau kematian yang mencurigakan, untuk mengetahui sebab kematian, menentukan identitasnya, dan sebagainya.
Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum otopsi di atas dalam dua pendapat.
Pertama, membolehkan ketiga otopsi itu, dengan alasan dapat mewujudkan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Ini pendapat Hasanain Makhluf, Said Ramadhan Al-Buthi, dan beberapa lembaga fatwa seperti Majma' Fiqih Islami OKI, Hai`ah Kibar Ulama (Saudi), dan Fatwa Lajnah Da`imah (Saudi). (As-Sa'idani, Al-Ifadah Al-Syar'iyah fi Ba'dh Al-Masa`il Al-Thibiyah, h. 172; As-Salus, Mausu`ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu'ashirah, h. 587; Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, h. 170; Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Al-Thabib, h. 90).
Kedua, mengharamkan ketiga otopsi itu, dengan alasan otopsi melanggar kehormatan mayat, yang telah dilarang berdasarkan sabda Nabi SAW,"Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup." (kasru 'azhmi al-mayyit ka-kasrihi hayyan). (HR Abu Dawud, sahih).
Ini pendapat Taqiyuddin An-Nabhani, Bukhait Al-Muthi'i, dan Hasan As-Saqaf. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, h. 170; Nasyrah Soal Jawab, 2/6/1970).
Menurut kami, pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat kedua, yang mengharamkan ketiga jenis otopsi, termasuk otopsi dalam rangka praktikum mahasiswa kedokteran, karena : (1) pendapat yang membolehkan berdalil kemaslahatan (Mashalih Mursalah), padahal Mashalah Mursalah bukan dalil syar'i yang kuat. Menurut Imam An-Nabhani, Mashalih Mursalah tidak layak menjadi dalil syar'i. (An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/444). Dan lebih mengutamakan mafhum dalil dari pada dhahir dalil (dhahir nash) ;(2) terdapat hadis-hadis sahih yang melarang melanggar kehormatan mayat, seperti mencincang, menyayat, atau memecahkan tulangnya sebagaimana di atas.
Namun, keharaman otopsi ini hanya untuk mayat muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, h. 179; Nashiruddin Al-Albani, Ahkam Al-Jana`iz, h. 299). Sebab di samping hadis dengan lafal mutlaq (tak disebut sifatnya, yaitu semua mayat), ternyata ada hadis sahih dengan lafal muqayyad (disebut sifatnya, yaitu mayat mu`min/muslim), yakni sabda Nabi SAW, "Memecahkan tulang mu`min yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup." (kasru 'azhmi al-mu`min maytan mitslu kasrihi hayyan.) (HR Ahmad, no 23172 & no 25073; Malik, Al-Muwathha`, 2/227; Ad-Daruquthni, 8/208; Ibn Hajar, Fathul Bari, 14/297; at-Thahawi, Musykil Al-Atsar, 3/281; Al-Albani, Shahih wa Dhaif Al-Jami' Ash-Shaghir, 9/353).
http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=577&Itemid=37
OtopsiDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Otopsi (juga dikenal pemeriksaan kematian atau nekropsi) adalah investigasi medis jenazah untuk memeriksa sebab kematian. Kata "otopsi" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "lihat dengan mata sendiri". "Nekropsi" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "melihat mayat".
Ada 2 jenis otopsi:
Forensik: Ini dilakukan untuk tujuan medis legal dan yang banyak dilihat dalam televisi atau berita.
Klinikal: Cara ini biasanya dilakukan di rumah sakit untuk menentukan penyebab kematian untuk tujuan riset dan pelajaran.
“Penatalaksanaan Gawat Darurat Korban Kecelakaan Sesuai
Dengan Etika, Hukum, dan Disiplin Profesi Kedokteran”
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penderita gawat darurat adalah penderita yang oleh karena suatu penyebab (penyakit, trauma,
kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera ditolong akan mengalami cacat, kehilangan
organ tubuh atau meninggal. (Sudjito, 2003).
Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), pasal 2, setiap dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi, yaitu sesuai
dengan perkembangan IPTEK kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama,
sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan dan situasi setempat. (MKEK, 2002).
Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 2:
Korban kecelakaan seorang wanita muda tanpa identitas dibawa penolong ke RS. Korban dalam
keadaan tidak sadar, dimasukkan imstalasi gawat darurat. Dokter bersama paramedik dengan
profesional memberikan pertolongan sesuai standar profesi. Usaha penyelamatan pasien gagal,
setelah dilakukan pertolongan di IGD selama 10 menit korban meninggal. Korban dibawa ke
kamar jenasah untuk dilakukan otopsi untuk mengetahui sebab kematian.
Autopsi (otopsi) adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, dengan tujuan menemukan proses
penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut,
menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-
kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian. (Mansjoer, 2000).
Dalam laporan ini, penulis mencoba menganalisis penatalaksanaan pasien gawat darurat dari
segala aspek yang terkait. Diharapkan mendatang apabila terdapat permasalahan yang
melibatkan berbagai aspek kehidupan, mahasiswa dapat menyelesaikan permasalahan
berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh selama pembelajaran.
B. RUMUSAN MASALAH
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Bagaimana prosedur penatalaksanaan pasien gawat
darurat sesuai standar profesi kedokteran dan standar prosedur operasional?
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Bagaimana prosedur penatalaksanaan post-mortem pasien
tanpa identitas?
C. TUJUAN PENULISAN
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Mengetahui prosedur penatalaksanaan pasien gawat
darurat sesuai standar profesi kedokteran dan standar prosedur operasional.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Mengetahui prosedur penatalaksanaan post-mortem
pasien tanpa identitas.
D. MANFAAT PENULISAN
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Mahasiswa dilatih untuk memecahkan berbagai macam
kasus yang memerlukan pertimbangan dari beberapa aspek terkait sesuai standar profesi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dokter dalam pelaksanaan praktiknya wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. (UU Pradok,
2004). Berdasarkan KODEKI pasal 13, setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat
sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih
mampu memberikan. (MKEK, 2002).
Dalam UU No. 29 tahun 2004, pasal 45 ayat 1, setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(UU Pradok, 2004). Pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Informed Consent
menyatakan, dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat
dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat dan atau darurat yang memerlukan
tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun. (Per.
Menkes, 1989).
Dalam penanganan penderita gawat darurat yang terpenting bagi
tenaga kesehatan adalah mempertahankan jiwa penderita,
mengurangi penyulit yang mungkin timbul, meringankan penderitaan
korban, dan melindungi diri dari kemungkinan penularan penyakit
menular dari penderita. (Sudjito, 2003).
Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik tanpa persetujuan apapun dapat
dianggap melakukan penganiayaan, diatur dalam pasal 351 KUHP. Apabila mengakibatkan
matinya orang, maka yang bersalah dipidana penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP, 2008).
Namun, dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran juga memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
(UU Pradok, 2004).
Autopsi forensik/medikolegal dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal
akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun
bunuh diri. Tujuannya antara lain untuk mengidentifikasi mayat, menentukan sebab pasti
kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian. (Mansjoer, 2000).
Secara yuridis, persetujuan keluarga jenazah tidak diperlukan dalam prosedur autopsi forensik.
Dokter hanya merupakan pelaksana permohonan penyidik (dalam hal ini Kepolisian) untuk
melakukan autopsi, sehingga apabila keluarga keberatan atas pelaksanaan autopsi, keberatan
dapat disampaikan pada penyidik. (Hamdani, 1992).
Menurut Majma Fiqih Islami tahun 1987, tindakan autopsi diperbolehkan, untuk mengetahui
penyebab kematian, kepastian tentang penyebab suatu penyakit, dan untuk pengajaran
kedokteran. (Sarwat, 2008).
BAB III
PEMBAHASAN
Sesuai dengan kaidah dasar bioetik, kewajiban menolong pasien gawat darurat termasuk dalam
konsep beneficence. Dalam penanganan pasien gawat darurat, dokter harus memperhatikan
standar profesi dan standar prosedur operasional. Pelayanan terhadap pasien gawat darurat
harus dilaksanakan sesegera mungkin, mengingat jiwa pasien mungkin saja gagal diselamatkan
apabila penanganan terlambat.
Apabila pasien tidak sadar dan tidak disertai keluarganya, maka dokter berhak untuk
memutuskan tindakan medik yang akan diambil tanpa persetujuan siapapun, dan didasarkan
pada kebutuhan medik pasien.
Apabila setelah dilakukan tindakan medis pasien meninggal, berarti hal ini merupakan suatu
kejadian yang tidak diinginkan (KTD). Perlu analisis lebih lanjut, apakah kejadian ini akibat dari
medical error atau tidak. Mungkin saja KTD terjadi akibat risiko tindakan medis yang telah
dianggap paling aman dan efektif dalam pengobatan pasien. Dalam hal seperti ini, KTD tidak
dapat digolongkan sebagai malpraktik.
Dokter dan tenaga kesehatan lain juga memperoleh perlindungan hukum, sepanjang tindakan
yang diambil sudah didasarkan pada standar profesi dan standar prosedur operasional yang
sesuai. Berbagai macam aspek dapat menjadi dasar pertimbangan keputusan medis, dari etika,
hukum (yuridis─pemerintah dan instansi, maupun agama), dan disiplin profesi.
Autopsi, baik klinis, forensik, maupun anatomi memerlukan berbagai persyaratan tertentu.
Secara klinis, jenazah tanpa identitas dapat diautopsi jika diduga jenazah menderita penyakit
yang berbahaya bagi masyarakat, dan apabila dalam waktu 2x24 jam tidak ada keluarga yang
datang ke rumah sakit. Menurut prosedur autopsi forensik, dokter dalam mengautopsi harus
menerima surat perimtaan autopsi terlebih dahulu dari penyidik, dalam hal ini Kepolisian.
Menurut agama Islam, autopsi dalam kasus ini diperbolehkan, karena untuk mengetahui
penyebab kematian. Namun menurut hukum, prosedur autopsi diatas masih memerlukan
beberapa syarat tertentu agar sesuai dengan hukum yang berlaku.
BAB IV
KESIMPULAN
Sesuai dengan sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional kedokteran,
penatalaksanaan pasien gawat darurat dapat dilaksanakan tanpa persetujuan tindakan medik
(informed consent) dari siapapun. Tenaga kesehatan harus mengusahakan seoptimal mungkin
agar pasien dapat bertahan hidup dan pulih dari keadaan gawat darurat. Dalam KTD, sepanjang
dokter dan paramedis telah berpegang pada konsep standar profesi dan prosedur operasional,
tindakan medis yang dilakukan tidak dapat disebut malpraktik, dan tenaga kesehatan terlindung
dari sanksi hukum oleh peraturan kesehatan yang berlaku.
Pelaksanaan autopsi untuk kasus diatas selanjutnya dapat dilakukan apabila : 1) ada surat
permintaan dari Kepolisian, 2) dalam waktu 2x24 jam tidak ada keluarga korban yang datang ke
rumah sakit, dan 3) diduga jenazah menderita penyakit yang berbahaya bagi masyarakat.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC.
Sudjito, M.H. 2003. Dasar-dasar Pengelolaan Penderita Gawat Darurat. Surakarta : UNS Press.
Hamdani, Njowito. 1992. Ilmu Kedokteran Kehakiman Edisi Kedua. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran. 2002. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta : Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran.
Mansjoer, Arif. Suprohaita. Wardhani, Wahyu Ika. Setiowulan, Wiwiek. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius.
Menteri Kesehatan RI. 1989. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/MENKES1PER/IX/1989
Tentang Persetujuan Tindakan Medik.
Presiden RI. 2004. UU no. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Sarwat, Ahmad. 2008. Hukum Mengotopsi Mayat. http://ustsarwat.eramuslim.com/search.php,
akses tanggal 20 Oktober 2008, 19:45.
Wujoso, Hari. 2008. Kaidah Dasar Bioetik.
Wujoso, Hari. 2008. KUHP.
Wujoso, Hari. 2008. Medical Error