25
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Untuk memenuhi tugas UKD III Disusun : Nama : Ega Fajar Permana NIM : E0011113 Kelas : D Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta 2013

Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Untuk memenuhi tugas UKD III

Disusun :

Nama : Ega Fajar Permana

NIM : E0011113

Kelas : D

Fakultas Hukum

Universitas Negeri Sebelas Maret

Surakarta

2013

Page 2: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang

berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), Peradilan Tata Usaha Negara diadakan

untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan,

atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat.

UU PTUN memberikan 2 macam cara penyelesaian sengketa TUN yakni upaya

administrasi yang penyelesaiannya masih dalam lingkungan administrasi

pemerintahan sendiri serta melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan Pembuktian adalah

penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara kepada

Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang

fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga Hakim memperoleh kepastian

untuk dijadikan dasar putusannya. Kebenaran yang dituju disebut kebenaran

materiel.Tujuan pembuktian adalah memberikan kepastian kepada Hakim tentang

kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok sengketa. Fungsi/Kegunaan dari

pembuktian adalah sebagai dasar dari keputusan Hakim untuk memutus suatu perkara.

Suatu keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan (Pasal

101 UU PTUN). Dalam pembuktian, hakim dapat menentukan apa yang harus

dibuktikan, beban pembuktiannya, serta penilaian terhadap bukti-bukti tersebut. Untuk

sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan

keyakinan hakim.

Pembuktian di atas adalah dalam pengertian yuridis, yang bersifat

kemasyarakatan, selalu mengandung ketidakpastian dan tidak akan pernah mencapai

kebenaran mutlak. Jadi, pembuktian yuridis sifatnya relatif, dalam arti hanya berlaku

bagi pihak-pihak berperkara dan pengganti-penggantinya, dan memungkinkan pula

terjadinya perbedaan penilaian hasil pembuktian di antara sesama Hakim.

Page 3: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana hukum pembuktian dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara ?

2. Bagaimana upaya hukum yang terdapat di dalam hukum acara Peradilan Tata

Usaha Negara ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Salah satu hal penting yang harus dilakukan hakim dalam pemeriksaan pengadilan

adalah dengan cara yang tepat (sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam

peraturan pembuktian) menetapkan terbuktinya eksistensi fakta-fakta yang relevan

untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam putusan akhir nanti yang disingkat

dengan kata pembuktian.

Membuktikan atau memberikan pembuktian adalah: dengan alat-alat pembuktian

tertentu meberikan suatu tingkatan kepastian yang sesuai dengan penalaran tentang

eksistensi fakta-fakta hukum yang disengketakan.

Yang dimaksud dengan fakta-fakta adalah:

1. Fakta hukum:

Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksistensinya (keberadaannya

tergantung kepada penerapan suatu peraturan.

2. Fakta-fakta biasa:

Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta-

fakta hukum tertentu.

Fakta Sebagai Dasar Menguji Dan Dasar Untuk Mengeluarkan Putusan Baru

Dalam proses di muka hakim TUN akan dijumpai macam-macam kompleks fakta

yang relevan:

Page 4: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Pertama: ada kompleks fakta- fakta yang relevan untuk menguji keputusan yang

digugat. Dalam kenyataanya nanti yang akan banyak disengketakan itu justru bukan

keputusan yang digugat, melainkan fakta-fakta yang digunakan tergugat sebagai dasar

untuk mengeluarkan keputusan yang digugat.

Kedua: fakta-fakta itu berperan untuk pengambilan keputusan (pengganti) yang

baru sesudah dilakukan pembatalan (pasal 97 ayat 9). Sebaliknya disini fakta-fakta

yang akan digunakan untuk menerbitkan keputusan (pengganti) yang baru itu harus

sudah memiliki suatu tingkat kepastian yang tidak meragukan

Tidak Semua Fakta Perlu Dibuktikan

Ada fakta-fakta tertentu yang dikecualikan untuk dibuktikan, diantaranya:

1. Fakta-fakta yang sudah diketahui secara umum (pasal 100 ayat 2 UU No.5 Tahun

1986)

2. Hal-hal yang menurut pengalaman umum selalu terjadi suatu perbuatan yang

dianggap sebagai sebab dari suatu kejadian, apabila kejadian tersebut menurut

pengalaman umum dapat diharapkan selalu akan terjadi karena perbuatan semacam

itu.

3. Fakta- fakta prosesual yang terjadi selama pemeriksaan, hakim tidak memerlukan

pembuktian dalam proses tersebut.

4. Eksistensi hukum pun tidak perlu dibuktikan, karena hakim dianggap selalu

mengetahui apa hukumnya (ius curia novit).

Ajaran Pembuktian Bebas yang Terbatas

Pasal 100 (UU No. 5 Tahun 1986)

1) Alat bukti ialah :

a. surat atau tulisan;

b. keterangan ahli;

c. keterangan saksi;

d. pengakuan para pihak;

e. pengetahuan Hakim.

2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

Page 5: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 107 (UU No. 5 Tahun 1986)

Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta

penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya

dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.

Hukum pembuktian yang berlaku dalam hukum acara peradilan TUN seperti di

Netherland unpamanya adalah ajaran pembuktian yang bebas. Karena hakim

adaministrasi disana pada dasarnya bebas dalam menentukan luas pembuktian maupun

dalam penentuan alat-alat pembuktian yang digunakan untuk membuktikan suatu

fakta. Sedangkan yang kita anut dalam hukum acara TUN kita sebagaimana diatur

dalam UU No. 5 Tahun 1986 adalah ajaran pembuktian bebas terbatas.

Dikatakan bebas terbatas adalah karena mengenai alat-alat bukti yang boleh

digunakan dalam membuktikan sesuatu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal

100. Selain itu juga dalam pasal 107 hakim dibatasi dalam wewenangnya untuk

menilai sahnya pembuktian, yaitu paling sedikit harus ada 2 alat bukti berdasarkan

keyakinan hakim.

Ajaran pembuktian itu meliputi bidang:

1. Luas pembuktian

Mengenai Luas pembuktian, Undang-undang hanya menentukan dalam pasal

107 bahwa:

“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan (luas pembuktian), beban

pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian

diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.

Fase pertama dalam proses pembuktian, artinya mula-mula hakim

menentukan fakta-fakta apa yang relevan bagi putusan akhir nanti. Sesudah itu

hakim meneliti menurut keyakinannya fakta-fakta mana yang dianggapnya sudah

cukup pasti. Kemudian ia melihat fakta-fakta mana saja lagi yang masih perlu

dibuktikan. Ini semua yang dimaksud dengan luas pembuktian.

2. Pembebanan pembuktian (pembagian beban pembuktian)

Page 6: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Sekalipun sudah tentu para pihak juga dapat menjaukan usul-usulnya dan

menawarkan diri untuk membuktikan hal-hal yang dapat mempengaruhi putusan

akhir kelak, namun hakim yang akan melakukan pembagian beban pembuktian itu

menurut kriteria tertentu.

Beban pembuktian adalah kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak

untuk membuktikan suatu fakta di muka hakim yang sedang memeriksa perkara

itu.

Mengenai beban pembuktian dalam hukum acara perdata, hanya diatur dalam

pasal 1865 KUHPerdata. Dalam literature terdapat teori-teori mengenai

pembagian beban pembuktian ini sebagai berikut:

a) Teori beban pembuktian yang afirmatif:

Teori ini sesuai dengan adagium: “Ei incumbit probation qui dicit, non qui

negat”. Artinya: beban pembuktian itu dibebankan kepada pihak yang

mendalilkan sesuatu, bukan yang mengingkari sesuatu. Jadi sedapat mungkin

pembebanan pembuktian yang bersifat negatif itu dihindarkan, sekalipun bahwa

sesuatu yang negatif seperti yang didalilkan itu dalam keadaan-keadaan tertentu

bukan suatu hal yang mustahil bisa terjadi.

b) Teori hukum subjektif:

Teori ini lahir dari teori yang pertama tersebut diatas dan berpangkal pada dalil

bahwa beban pembuktian itu seharusnya diletakan pada pihak yang meminta

kepada hakim agar hak subjektif yang didalilkannya diakui. Jadi siapa

berdasarkan suatu hak subjektif menuntut sesuatu dan hal itu disangkal oleh pihak

lawannya, maka yang menuntut sesuatu tersebut harus membuktikan fakta-fakta

yang melahirkan hak subjektifnya tersebut.

Tetapi apabila pihak tergugat itu mendalilkan, bahwa fakta-fakta yang melahirkan

hak subjektif itu mengandung suatu cacad atau sementara itu hak subjektif yang

dituntut tersebut telah hapus, maka fakta-fakta yang adanya cacad-cacad yang

mengganggu atau bersifat membatalkan tersebut telah harus dibuktikan oleh pihak

tergugat.

c) Teori hukum objektif:

Page 7: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Menurut teori ini, setiap kali hakim harus meneliti dalam peraturan hukum

material yang diterapkan unsur-unsur (fakta-fakta) apa saja yang harus ada agar

dapat menimbulkan akibat hukum seperti yang didalilkan oleh penggugat. Suatu

peraturan mengatakan: pegawai yang ternyata tidak cakap dapat dipecat oleh

atasannya.

d) Teori Keadilan (billijkheids theori)

Beban pembuktian mengenai suatu fakta akan diletakkan pada pihak yang paling

sedikit diberatkan oleh pembebanan pembuktian tersebut. Kelemahan teori ini

berupa ketidakpastian bagi para pihak untuk menyiapkan diri tentang apa saja

yang harus ia buktikan dalam proses dan juga bagi hakim sendiri teori itu tidak

memberikan suatu pedoman, karena keadilan itu merupakan pengertian yang

samar-samar.

Peninjauan tentang teori beban pembuktian yang berlaku dalam hukum acara

perdata itu juga sedikit banyak mempunyai suatu arti dalam proses hukum TUN

ini. Karena dalam teori-teori tersebut diajukan macam-macam pilihan yang juga

dapat dipilih oleh hakim TUN.

Pangkal Tolak Pembagian Beban Pembuktian

Pembagian beban pembuktian dalam proses peradilan TUN ini dapat diterapkan

beberapa pangkal tolak sebagai berikut:

1. Pengumpulan bahan-bahan pembuktian itu dilakukan baik oleh pihak-pihak

maupun oleh Pengadilan sendiri.

2. Para pihak itu memang berwenang untuk membuktikan sesuatu, namu ia tidak

otomatis wajib membuktikan dalil-dalilnya. Mereka dapat menyerahkan dikumen-

dokumen membawa saksi-saksinya sendiri untuk didengar. Hakim seharusnya

meluluskan usaha pembuktian mereka itu, kecuali kalau demi kepentingan tertib

beracara tidak menguzinkannya untuk kejernihan perkaranya sendiri

3. Pengadilan dapat membebankan pembuktian seluruhnya atau sebagian kepada para

pihak dan sebagian lagi dapat ia cadangkan untuk dicari kebenarannya oleh

pengadilan sendiri. Pengadilan dapat meminta keterangan-ketarangan lebih lanjut

mengenai sesuatu hal yang belum jelas. Dalam tingkat pemeriksaan persiapan pun

Page 8: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Hakim sudah dapat memerintahkan untuk memanggil pihak-pihak, saksi-saksi atau

saksi ahli untuk diminta keterangan-keterangan yang diperlukan.

4. Apabila Hakim berpendapat bahwa pembuktian mengenai sesuatu itu tidak akan ia

lakukan sendiri, maka hal itu dapat ia bebankan kepada para pihak.

5. Cara pembebanan pembuktian kepada para pihak itu oleh Hakim tidak perlu dalam

bentuk putusan sela (interlocutoir). Pembebanan pembuktian itu dapat dilihat pada

pertanyaan-pertanyaan Hakim untuk memperoleh keterangan-keterangan lebih

lanjut mengenai sesuatu hal. Apabila hal itu dilakukan sewaktu masa persiapan

pemeriksaan (sebelum pemeriksaan dimuka sidang umum), maka para pihak dapat

mempersiapkan diri dalam usaha pembuktian yang akan ia lakukan,

Cara Pembagian Beban Pembuktian

Garis pedoman yang sebagian disimpulkan dari teori-teori yang terdapat dalam

proses hukum perdata:

1. Siapa yang mendalilkan, dialah yang harus dapat menyampaikan bukti permulaan

(adstruksi). Penggugat paling tidak harus memiliki bukti permulaan namun tidak

harus penggugat yang membuktikan seluruhnya. Apabila masih ada hal yang

kurang jelas dan hakim tidak ingin melakukan pemeriksaan sendiri lebih lanjut,

melakukan pembagian pembuktian.

2. Siapa yang harus mendalilkan, bahwa ia mempunyai suatu kepentingan khusus,

harus membuktikannya (berlaku bagi tergugat dan penggugat).

3. Petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam peraturan yang berlaku. Melihat kepada

kekhususan dari keadaan-keadaan yang ada serta konsekuensi-konsekuensi bagi

yang berkepentingan, maka dalam hal demikian itu pembuktian harus dibebankan

kepada instansi yang bersangkutan.

4. Pada umumnya Hakim tidak akan membebankan pembuktian sesuatu yang bersifat

negatif, tapi ada kalanya beban pembuktian yang negatif itu dapat dibentuk menjadi

pembuktian yang bersifat positif.

5. Apabila satu pihak pada dasarnya telah memulai membuktikan sesuatu, maka ia

tidak perlu membuktikan lebih lanjut, melainkan pihak lawan yang harus dapat

membuktikan hal yang bertentangan

Page 9: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

6. Pihak yang ceroboh, atau dianggap salah, akan menerima resiko untuk

membuktikan dan fakta-fakta yang relevan bisa jadi tidak dapat dibuktikan.

7. Dalam pembagian beban, pembuktian itu akan sering diperhitungkan soal pihak

manakah yang akan diuntungkan dengan terbuktinya suatu fakta, hal tersebut akan

terjadi dalam sengketa kepegawaian. Penggugat harus membuktikan, bahwa ia

sering mendapat pujian, tetapi mengapa ia justru dipecat.

3. Penilaian hasil pembuktian

Apabila dikaitkan dengan teori pembuktian bebas, dalam hal ini tidak mustahil

aka nada perbedaan penilaian hasil pembuktian antar sesama hakim, sehingga teori ini

sebenarnya mengandung kelemahan, yaitu tidak menjamin adanya kepastian hukum.

Akan tetapi UU pasal 107 telah membatasi kebebasan hakim dalam menilai hasil

pembuktian dengan ketentuan bahwa untuk sahnya pembuktian itu dibutuhkan

sekurang-kurangnya 2 alat bukti (pasal 100) berdasarkan keyakinan hakim.

Karena masing-masing alat bukti tersebut sama derajat bobotnya, maka yang

dimaksud dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti tersebut yaitu berupa alat bukti

yang tersebut dalam pasal itu. Bagaimanapun cara penilaian hakim mengenai nilai

bobot pembuktian suatu alat bukti yang diajukan di muka pemeriksaan, diserahkan

sepenuhnya pada hakim yang bersangkutan. Namun hal itu tidak berarti, hakim pada

waktu melakukan penilaian hasil suatu pembuktian itu semata-mata mendasarkan pada

keyakinan batinnya.

Tujuan pembuktian yuridis bukan untuk mencapai kepastian yang absolut, karena

kepastian tersebut tidak mungkin dapat dicapai. Dalam proses di PTUN cukuplah

kalau memperoleh suatu “kepastian yang dapat diterima oleh nalar sehat, memperoleh

gambaran yang paling dapat diterima”.

4. Alat-alat pembuktian

Page 10: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 100 UU no 5 Tahun 1986 merinci alat bukti secara limitatif yaitu:

1) Alat bukti ialah

a. Surat atau tulisan

b. Keterangan ahli

c. Keterangan saksi

d. Pengakuan para pihak

e. Pengetahuan hakim

2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan

Oleh karena ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa ajaran pembuktian

PTUN adalah ajaran pembuktian yang bebas yang terbatas. Alat-alat bukti yang

tersebut dalam undang-undang tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Surat atau Tulisan

Surat atau tulisan itu sendiri terdiri atas tiga jenis, yaitu:

- akta otentik

- akta dibawah tangan dan surat-surat

- lainnya yang bukan akta

Hakim dapat menilai dengan bebas kekuatan pembuktian dari masing-masing alat

bukti tersebut.

b) Keterangan Ahli

Keterangan ahli selain ada yang diberikan di depan persidangan atau

pemeriksaan hakim, ada juga yang berupa surat tertulis sebagaimana tersebut pada

butir pertama diatas. Jika dilakukan dihadapan Hakim, maka dilakukan dibawah

sumpah mengenai yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya yang

benar dan juga terhadap suatu fakta. Ahli tidak boleh ada hubungan darah dengan

pihak-pihak, sesuai pasal 88.

c) Keterangan saksi

Yang tidak boleh menjadi saksi adalah (pasal 88):

keluarga sedarah atau semenda menurut gais keturunan lurus ke atas atau ke

bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa

istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai

anak yang belum berusia tujuh belas tahun

Page 11: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

orang sakit ingatan

Keterangan saksi dapat diberikan juga dalam bentuk tertulis yang diajukan oleh

pihak yang bersangkutan di depan persidangan. Kekuatan pembuktian dari keterangan

saksi tidak selalu sama satu sama lain, kecuali kalau tidak disangkal oleh pihak

lawannya. Kekuatan terbesar adalah keterangan saksi yang diberikan dihadapan hakim

dan dibawah sumpah. Ada kalanya kesaksian de auditu juga akan mempunyai suatu

nilai tertentu dalam proses ini.

a. Pengakuan para pihak (pasal 105)

Pengakuan para pihak (di muka pemeriksaan hakim) tidak dapat ditarik

kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diteruma oleh hakim

yang bersangkutan. Keterangan-keterangan yang diberikan para pihak itu

umumnya dapat merupakan garis penuntun untuk mencari kejelasan lebih lanjut

mengenai fakta tertentu.

b. Pengetahuan hakim

Pengetahuan hakim adalah pengetahuan yang oleh hakim bersangkutan

diketahui dan diyakini kebenarannya.salah satu dari itu adalah hal hal yang terjadi

selama pemeriksaan oleh Hakim tersebut atau hakim lain yang ditunjuknya,

seperti hasil pemeriksaan setempat. Selanjutnya termasuk juga kedalam kelompok

pengetahuan hakim yaitu barang-barang dan orang-orang yang ditunjukkan

kepada hakim yang sedang memeriksa perkara itu.

Sumpah decissoir yang dalam hukum acara perdata merupakan alat bukti

tambahan itu tidak dikenal dalam proses TUN ini.

B. UPAYA HUKUM

a. Banding

Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan

pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 terhadap putusan

PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau

Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau

kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan

Page 12: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan

diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.

Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan

pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak

bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha

Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah

mereka menerima pemberitahuan tersebut.

Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai

surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang

bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori

banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera Pengadilan

(Pasal 126).

Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-

kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN

berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap,

maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan

tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan

untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan.

Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh

Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi

TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan

putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-

surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat

pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan

(Pasal 127).

Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan

setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh

Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan

pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun

tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum

lampau (Pasal 129).

Page 13: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

b. Kasasi

Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum

Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal

131, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi

Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah

Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14

Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk

perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh

pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut

ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang

lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka

Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung.

Untuk dapat mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, Pasal

143 UU No 14 Tahun 1985 menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan

jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding,

kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Menurut Pasal 46 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985, permohonan pemeriksaan

di tingkat kasasi harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diberitahukan kepada pemohon. Apabila

tenggang waktu 14 hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang

diajukan oleh pihak yang berperkara, maka menurut Pasal 46 ayat (2) UU Nomor

14 Tahun 1985 ditentukan bahwa pihak yang berperkara dianggap telah menerima

putusan.

Mengingat pemberitahuan adanya putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara itu dilakukan dengan menyampaikan salinan putusan Pengadilan Tinggi

Tata Usaha Negara dengan surat tercatat oleh Panitera kepada penggugat atau

tergugat, maka perhitungan 14 hari itu dimulai esok harinya setelah penggugat

atau tergugat menerima surat tercatat yang dikirim oleh Panitera yang isinya

salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Page 14: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Alasan pengajuan kasasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (1) UU

No 14 Tahun 1985 jo UU No 5 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa MA dalam

tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari

semua lingkungan peradilan, karena:

a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-

undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang

bersangkutan.

c. Peninjauan Kembali

Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas

terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat

ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah

Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132, yang

menyebutkan bahwa :

Ayat (1) : “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.”

Ayat (2) : “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut

ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun

1985 tentang Mahkamah Agung.”

Dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 UU No 14 Tahun

1985, dapat diketahui bahwa permohonan peninjauan kembali terhadap putusan

perkara sengketa TUN yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hanya

dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak

lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-

bukti baru yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

2. Apabila perkara setelah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat

menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

Page 15: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang

dituntut;

4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa

dipertimbangkan sebab-sebabnya;

5. Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu hal yang sama, atas

dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah

diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu

kekeliruan yang nyata.

Page 16: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

BAB IIIPENUTUP

Hukum acara PTUN adalah rangkaian perturan-peraturan yang memuat cara

bagaimana orang harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya

peraturan Tata Usaha Negara Salah satu hal penting yang harus dilakukan hakim

dalam pemeriksaan pengadilan adalah dengan cara yang tepat (sesuai dengan prosedur

yang ditetapkan dalam peraturan pembuktian) menetapkan terbuktinya eksistensi

fakta-fakta yang relevan untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam putusan

akhir nanti yang disingkat dengan kata pembuktian.

Membuktikan atau memberikan pembuktian adalah: dengan alat-alat pembuktian

tertentu meberikan suatu tingkatan kepastian yang sesuai dengan penalaran tentang

eksistensi fakta-fakta hukum yang disengketakan.

Yang dimaksud dengan fakta-fakta adalah:

1. Fakta hukum:

Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksistensinya (keberadaannya

tergantung kepada penerapan suatu peraturan.

2. Fakta-fakta biasa:

Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya

fakta-fakta hukum tertentu.

Sedangkan di dalam upaya hukumnya terdapat 3 inti masalah yang saya kemukakan , diantaranya :

a. Bandingb. Kasasic. Peninjauan Kembali

Page 17: Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

DAFTAR PUSTAKA

Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha

Negara (Buku II), Sinar Harapan, Jakarta.

________, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta.

Siti Soetami, A, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT Refika Aditama, Jakarta.

_______, UU No. 05 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara , http://www.ptun-jakarta.go.id/index.php?option=com_content&task=v iew&id=32&Itemid= 41