Upload
ega-fajar-permana
View
310
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Untuk memenuhi tugas UKD III
Disusun :
Nama : Ega Fajar Permana
NIM : E0011113
Kelas : D
Fakultas Hukum
Universitas Negeri Sebelas Maret
Surakarta
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang
berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), Peradilan Tata Usaha Negara diadakan
untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan,
atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat.
UU PTUN memberikan 2 macam cara penyelesaian sengketa TUN yakni upaya
administrasi yang penyelesaiannya masih dalam lingkungan administrasi
pemerintahan sendiri serta melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan Pembuktian adalah
penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara kepada
Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang
fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga Hakim memperoleh kepastian
untuk dijadikan dasar putusannya. Kebenaran yang dituju disebut kebenaran
materiel.Tujuan pembuktian adalah memberikan kepastian kepada Hakim tentang
kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok sengketa. Fungsi/Kegunaan dari
pembuktian adalah sebagai dasar dari keputusan Hakim untuk memutus suatu perkara.
Suatu keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan (Pasal
101 UU PTUN). Dalam pembuktian, hakim dapat menentukan apa yang harus
dibuktikan, beban pembuktiannya, serta penilaian terhadap bukti-bukti tersebut. Untuk
sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan
keyakinan hakim.
Pembuktian di atas adalah dalam pengertian yuridis, yang bersifat
kemasyarakatan, selalu mengandung ketidakpastian dan tidak akan pernah mencapai
kebenaran mutlak. Jadi, pembuktian yuridis sifatnya relatif, dalam arti hanya berlaku
bagi pihak-pihak berperkara dan pengganti-penggantinya, dan memungkinkan pula
terjadinya perbedaan penilaian hasil pembuktian di antara sesama Hakim.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hukum pembuktian dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara ?
2. Bagaimana upaya hukum yang terdapat di dalam hukum acara Peradilan Tata
Usaha Negara ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Salah satu hal penting yang harus dilakukan hakim dalam pemeriksaan pengadilan
adalah dengan cara yang tepat (sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan pembuktian) menetapkan terbuktinya eksistensi fakta-fakta yang relevan
untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam putusan akhir nanti yang disingkat
dengan kata pembuktian.
Membuktikan atau memberikan pembuktian adalah: dengan alat-alat pembuktian
tertentu meberikan suatu tingkatan kepastian yang sesuai dengan penalaran tentang
eksistensi fakta-fakta hukum yang disengketakan.
Yang dimaksud dengan fakta-fakta adalah:
1. Fakta hukum:
Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksistensinya (keberadaannya
tergantung kepada penerapan suatu peraturan.
2. Fakta-fakta biasa:
Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta-
fakta hukum tertentu.
Fakta Sebagai Dasar Menguji Dan Dasar Untuk Mengeluarkan Putusan Baru
Dalam proses di muka hakim TUN akan dijumpai macam-macam kompleks fakta
yang relevan:
Pertama: ada kompleks fakta- fakta yang relevan untuk menguji keputusan yang
digugat. Dalam kenyataanya nanti yang akan banyak disengketakan itu justru bukan
keputusan yang digugat, melainkan fakta-fakta yang digunakan tergugat sebagai dasar
untuk mengeluarkan keputusan yang digugat.
Kedua: fakta-fakta itu berperan untuk pengambilan keputusan (pengganti) yang
baru sesudah dilakukan pembatalan (pasal 97 ayat 9). Sebaliknya disini fakta-fakta
yang akan digunakan untuk menerbitkan keputusan (pengganti) yang baru itu harus
sudah memiliki suatu tingkat kepastian yang tidak meragukan
Tidak Semua Fakta Perlu Dibuktikan
Ada fakta-fakta tertentu yang dikecualikan untuk dibuktikan, diantaranya:
1. Fakta-fakta yang sudah diketahui secara umum (pasal 100 ayat 2 UU No.5 Tahun
1986)
2. Hal-hal yang menurut pengalaman umum selalu terjadi suatu perbuatan yang
dianggap sebagai sebab dari suatu kejadian, apabila kejadian tersebut menurut
pengalaman umum dapat diharapkan selalu akan terjadi karena perbuatan semacam
itu.
3. Fakta- fakta prosesual yang terjadi selama pemeriksaan, hakim tidak memerlukan
pembuktian dalam proses tersebut.
4. Eksistensi hukum pun tidak perlu dibuktikan, karena hakim dianggap selalu
mengetahui apa hukumnya (ius curia novit).
Ajaran Pembuktian Bebas yang Terbatas
Pasal 100 (UU No. 5 Tahun 1986)
1) Alat bukti ialah :
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan saksi;
d. pengakuan para pihak;
e. pengetahuan Hakim.
2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
Pasal 107 (UU No. 5 Tahun 1986)
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya
dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.
Hukum pembuktian yang berlaku dalam hukum acara peradilan TUN seperti di
Netherland unpamanya adalah ajaran pembuktian yang bebas. Karena hakim
adaministrasi disana pada dasarnya bebas dalam menentukan luas pembuktian maupun
dalam penentuan alat-alat pembuktian yang digunakan untuk membuktikan suatu
fakta. Sedangkan yang kita anut dalam hukum acara TUN kita sebagaimana diatur
dalam UU No. 5 Tahun 1986 adalah ajaran pembuktian bebas terbatas.
Dikatakan bebas terbatas adalah karena mengenai alat-alat bukti yang boleh
digunakan dalam membuktikan sesuatu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal
100. Selain itu juga dalam pasal 107 hakim dibatasi dalam wewenangnya untuk
menilai sahnya pembuktian, yaitu paling sedikit harus ada 2 alat bukti berdasarkan
keyakinan hakim.
Ajaran pembuktian itu meliputi bidang:
1. Luas pembuktian
Mengenai Luas pembuktian, Undang-undang hanya menentukan dalam pasal
107 bahwa:
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan (luas pembuktian), beban
pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian
diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.
Fase pertama dalam proses pembuktian, artinya mula-mula hakim
menentukan fakta-fakta apa yang relevan bagi putusan akhir nanti. Sesudah itu
hakim meneliti menurut keyakinannya fakta-fakta mana yang dianggapnya sudah
cukup pasti. Kemudian ia melihat fakta-fakta mana saja lagi yang masih perlu
dibuktikan. Ini semua yang dimaksud dengan luas pembuktian.
2. Pembebanan pembuktian (pembagian beban pembuktian)
Sekalipun sudah tentu para pihak juga dapat menjaukan usul-usulnya dan
menawarkan diri untuk membuktikan hal-hal yang dapat mempengaruhi putusan
akhir kelak, namun hakim yang akan melakukan pembagian beban pembuktian itu
menurut kriteria tertentu.
Beban pembuktian adalah kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak
untuk membuktikan suatu fakta di muka hakim yang sedang memeriksa perkara
itu.
Mengenai beban pembuktian dalam hukum acara perdata, hanya diatur dalam
pasal 1865 KUHPerdata. Dalam literature terdapat teori-teori mengenai
pembagian beban pembuktian ini sebagai berikut:
a) Teori beban pembuktian yang afirmatif:
Teori ini sesuai dengan adagium: “Ei incumbit probation qui dicit, non qui
negat”. Artinya: beban pembuktian itu dibebankan kepada pihak yang
mendalilkan sesuatu, bukan yang mengingkari sesuatu. Jadi sedapat mungkin
pembebanan pembuktian yang bersifat negatif itu dihindarkan, sekalipun bahwa
sesuatu yang negatif seperti yang didalilkan itu dalam keadaan-keadaan tertentu
bukan suatu hal yang mustahil bisa terjadi.
b) Teori hukum subjektif:
Teori ini lahir dari teori yang pertama tersebut diatas dan berpangkal pada dalil
bahwa beban pembuktian itu seharusnya diletakan pada pihak yang meminta
kepada hakim agar hak subjektif yang didalilkannya diakui. Jadi siapa
berdasarkan suatu hak subjektif menuntut sesuatu dan hal itu disangkal oleh pihak
lawannya, maka yang menuntut sesuatu tersebut harus membuktikan fakta-fakta
yang melahirkan hak subjektifnya tersebut.
Tetapi apabila pihak tergugat itu mendalilkan, bahwa fakta-fakta yang melahirkan
hak subjektif itu mengandung suatu cacad atau sementara itu hak subjektif yang
dituntut tersebut telah hapus, maka fakta-fakta yang adanya cacad-cacad yang
mengganggu atau bersifat membatalkan tersebut telah harus dibuktikan oleh pihak
tergugat.
c) Teori hukum objektif:
Menurut teori ini, setiap kali hakim harus meneliti dalam peraturan hukum
material yang diterapkan unsur-unsur (fakta-fakta) apa saja yang harus ada agar
dapat menimbulkan akibat hukum seperti yang didalilkan oleh penggugat. Suatu
peraturan mengatakan: pegawai yang ternyata tidak cakap dapat dipecat oleh
atasannya.
d) Teori Keadilan (billijkheids theori)
Beban pembuktian mengenai suatu fakta akan diletakkan pada pihak yang paling
sedikit diberatkan oleh pembebanan pembuktian tersebut. Kelemahan teori ini
berupa ketidakpastian bagi para pihak untuk menyiapkan diri tentang apa saja
yang harus ia buktikan dalam proses dan juga bagi hakim sendiri teori itu tidak
memberikan suatu pedoman, karena keadilan itu merupakan pengertian yang
samar-samar.
Peninjauan tentang teori beban pembuktian yang berlaku dalam hukum acara
perdata itu juga sedikit banyak mempunyai suatu arti dalam proses hukum TUN
ini. Karena dalam teori-teori tersebut diajukan macam-macam pilihan yang juga
dapat dipilih oleh hakim TUN.
Pangkal Tolak Pembagian Beban Pembuktian
Pembagian beban pembuktian dalam proses peradilan TUN ini dapat diterapkan
beberapa pangkal tolak sebagai berikut:
1. Pengumpulan bahan-bahan pembuktian itu dilakukan baik oleh pihak-pihak
maupun oleh Pengadilan sendiri.
2. Para pihak itu memang berwenang untuk membuktikan sesuatu, namu ia tidak
otomatis wajib membuktikan dalil-dalilnya. Mereka dapat menyerahkan dikumen-
dokumen membawa saksi-saksinya sendiri untuk didengar. Hakim seharusnya
meluluskan usaha pembuktian mereka itu, kecuali kalau demi kepentingan tertib
beracara tidak menguzinkannya untuk kejernihan perkaranya sendiri
3. Pengadilan dapat membebankan pembuktian seluruhnya atau sebagian kepada para
pihak dan sebagian lagi dapat ia cadangkan untuk dicari kebenarannya oleh
pengadilan sendiri. Pengadilan dapat meminta keterangan-ketarangan lebih lanjut
mengenai sesuatu hal yang belum jelas. Dalam tingkat pemeriksaan persiapan pun
Hakim sudah dapat memerintahkan untuk memanggil pihak-pihak, saksi-saksi atau
saksi ahli untuk diminta keterangan-keterangan yang diperlukan.
4. Apabila Hakim berpendapat bahwa pembuktian mengenai sesuatu itu tidak akan ia
lakukan sendiri, maka hal itu dapat ia bebankan kepada para pihak.
5. Cara pembebanan pembuktian kepada para pihak itu oleh Hakim tidak perlu dalam
bentuk putusan sela (interlocutoir). Pembebanan pembuktian itu dapat dilihat pada
pertanyaan-pertanyaan Hakim untuk memperoleh keterangan-keterangan lebih
lanjut mengenai sesuatu hal. Apabila hal itu dilakukan sewaktu masa persiapan
pemeriksaan (sebelum pemeriksaan dimuka sidang umum), maka para pihak dapat
mempersiapkan diri dalam usaha pembuktian yang akan ia lakukan,
Cara Pembagian Beban Pembuktian
Garis pedoman yang sebagian disimpulkan dari teori-teori yang terdapat dalam
proses hukum perdata:
1. Siapa yang mendalilkan, dialah yang harus dapat menyampaikan bukti permulaan
(adstruksi). Penggugat paling tidak harus memiliki bukti permulaan namun tidak
harus penggugat yang membuktikan seluruhnya. Apabila masih ada hal yang
kurang jelas dan hakim tidak ingin melakukan pemeriksaan sendiri lebih lanjut,
melakukan pembagian pembuktian.
2. Siapa yang harus mendalilkan, bahwa ia mempunyai suatu kepentingan khusus,
harus membuktikannya (berlaku bagi tergugat dan penggugat).
3. Petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam peraturan yang berlaku. Melihat kepada
kekhususan dari keadaan-keadaan yang ada serta konsekuensi-konsekuensi bagi
yang berkepentingan, maka dalam hal demikian itu pembuktian harus dibebankan
kepada instansi yang bersangkutan.
4. Pada umumnya Hakim tidak akan membebankan pembuktian sesuatu yang bersifat
negatif, tapi ada kalanya beban pembuktian yang negatif itu dapat dibentuk menjadi
pembuktian yang bersifat positif.
5. Apabila satu pihak pada dasarnya telah memulai membuktikan sesuatu, maka ia
tidak perlu membuktikan lebih lanjut, melainkan pihak lawan yang harus dapat
membuktikan hal yang bertentangan
6. Pihak yang ceroboh, atau dianggap salah, akan menerima resiko untuk
membuktikan dan fakta-fakta yang relevan bisa jadi tidak dapat dibuktikan.
7. Dalam pembagian beban, pembuktian itu akan sering diperhitungkan soal pihak
manakah yang akan diuntungkan dengan terbuktinya suatu fakta, hal tersebut akan
terjadi dalam sengketa kepegawaian. Penggugat harus membuktikan, bahwa ia
sering mendapat pujian, tetapi mengapa ia justru dipecat.
3. Penilaian hasil pembuktian
Apabila dikaitkan dengan teori pembuktian bebas, dalam hal ini tidak mustahil
aka nada perbedaan penilaian hasil pembuktian antar sesama hakim, sehingga teori ini
sebenarnya mengandung kelemahan, yaitu tidak menjamin adanya kepastian hukum.
Akan tetapi UU pasal 107 telah membatasi kebebasan hakim dalam menilai hasil
pembuktian dengan ketentuan bahwa untuk sahnya pembuktian itu dibutuhkan
sekurang-kurangnya 2 alat bukti (pasal 100) berdasarkan keyakinan hakim.
Karena masing-masing alat bukti tersebut sama derajat bobotnya, maka yang
dimaksud dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti tersebut yaitu berupa alat bukti
yang tersebut dalam pasal itu. Bagaimanapun cara penilaian hakim mengenai nilai
bobot pembuktian suatu alat bukti yang diajukan di muka pemeriksaan, diserahkan
sepenuhnya pada hakim yang bersangkutan. Namun hal itu tidak berarti, hakim pada
waktu melakukan penilaian hasil suatu pembuktian itu semata-mata mendasarkan pada
keyakinan batinnya.
Tujuan pembuktian yuridis bukan untuk mencapai kepastian yang absolut, karena
kepastian tersebut tidak mungkin dapat dicapai. Dalam proses di PTUN cukuplah
kalau memperoleh suatu “kepastian yang dapat diterima oleh nalar sehat, memperoleh
gambaran yang paling dapat diterima”.
4. Alat-alat pembuktian
Pasal 100 UU no 5 Tahun 1986 merinci alat bukti secara limitatif yaitu:
1) Alat bukti ialah
a. Surat atau tulisan
b. Keterangan ahli
c. Keterangan saksi
d. Pengakuan para pihak
e. Pengetahuan hakim
2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan
Oleh karena ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa ajaran pembuktian
PTUN adalah ajaran pembuktian yang bebas yang terbatas. Alat-alat bukti yang
tersebut dalam undang-undang tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Surat atau Tulisan
Surat atau tulisan itu sendiri terdiri atas tiga jenis, yaitu:
- akta otentik
- akta dibawah tangan dan surat-surat
- lainnya yang bukan akta
Hakim dapat menilai dengan bebas kekuatan pembuktian dari masing-masing alat
bukti tersebut.
b) Keterangan Ahli
Keterangan ahli selain ada yang diberikan di depan persidangan atau
pemeriksaan hakim, ada juga yang berupa surat tertulis sebagaimana tersebut pada
butir pertama diatas. Jika dilakukan dihadapan Hakim, maka dilakukan dibawah
sumpah mengenai yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya yang
benar dan juga terhadap suatu fakta. Ahli tidak boleh ada hubungan darah dengan
pihak-pihak, sesuai pasal 88.
c) Keterangan saksi
Yang tidak boleh menjadi saksi adalah (pasal 88):
keluarga sedarah atau semenda menurut gais keturunan lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa
istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai
anak yang belum berusia tujuh belas tahun
orang sakit ingatan
Keterangan saksi dapat diberikan juga dalam bentuk tertulis yang diajukan oleh
pihak yang bersangkutan di depan persidangan. Kekuatan pembuktian dari keterangan
saksi tidak selalu sama satu sama lain, kecuali kalau tidak disangkal oleh pihak
lawannya. Kekuatan terbesar adalah keterangan saksi yang diberikan dihadapan hakim
dan dibawah sumpah. Ada kalanya kesaksian de auditu juga akan mempunyai suatu
nilai tertentu dalam proses ini.
a. Pengakuan para pihak (pasal 105)
Pengakuan para pihak (di muka pemeriksaan hakim) tidak dapat ditarik
kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diteruma oleh hakim
yang bersangkutan. Keterangan-keterangan yang diberikan para pihak itu
umumnya dapat merupakan garis penuntun untuk mencari kejelasan lebih lanjut
mengenai fakta tertentu.
b. Pengetahuan hakim
Pengetahuan hakim adalah pengetahuan yang oleh hakim bersangkutan
diketahui dan diyakini kebenarannya.salah satu dari itu adalah hal hal yang terjadi
selama pemeriksaan oleh Hakim tersebut atau hakim lain yang ditunjuknya,
seperti hasil pemeriksaan setempat. Selanjutnya termasuk juga kedalam kelompok
pengetahuan hakim yaitu barang-barang dan orang-orang yang ditunjukkan
kepada hakim yang sedang memeriksa perkara itu.
Sumpah decissoir yang dalam hukum acara perdata merupakan alat bukti
tambahan itu tidak dikenal dalam proses TUN ini.
B. UPAYA HUKUM
a. Banding
Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan
pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 terhadap putusan
PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau
Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau
kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan
putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan
diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.
Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan
pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak
bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
mereka menerima pemberitahuan tersebut.
Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai
surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori
banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera Pengadilan
(Pasal 126).
Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-
kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN
berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap,
maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan
tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan.
Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh
Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi
TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan
putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-
surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat
pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan
(Pasal 127).
Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan
setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh
Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan
pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun
tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum
lampau (Pasal 129).
b. Kasasi
Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum
Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal
131, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah
Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14
Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk
perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh
pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut
ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang
lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka
Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung.
Untuk dapat mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, Pasal
143 UU No 14 Tahun 1985 menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan
jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Menurut Pasal 46 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985, permohonan pemeriksaan
di tingkat kasasi harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diberitahukan kepada pemohon. Apabila
tenggang waktu 14 hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang
diajukan oleh pihak yang berperkara, maka menurut Pasal 46 ayat (2) UU Nomor
14 Tahun 1985 ditentukan bahwa pihak yang berperkara dianggap telah menerima
putusan.
Mengingat pemberitahuan adanya putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara itu dilakukan dengan menyampaikan salinan putusan Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara dengan surat tercatat oleh Panitera kepada penggugat atau
tergugat, maka perhitungan 14 hari itu dimulai esok harinya setelah penggugat
atau tergugat menerima surat tercatat yang dikirim oleh Panitera yang isinya
salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Alasan pengajuan kasasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (1) UU
No 14 Tahun 1985 jo UU No 5 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa MA dalam
tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari
semua lingkungan peradilan, karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
c. Peninjauan Kembali
Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas
terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat
ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132, yang
menyebutkan bahwa :
Ayat (1) : “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.”
Ayat (2) : “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.”
Dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 UU No 14 Tahun
1985, dapat diketahui bahwa permohonan peninjauan kembali terhadap putusan
perkara sengketa TUN yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hanya
dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-
bukti baru yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
2. Apabila perkara setelah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut;
4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5. Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu hal yang sama, atas
dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah
diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
BAB IIIPENUTUP
Hukum acara PTUN adalah rangkaian perturan-peraturan yang memuat cara
bagaimana orang harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan Tata Usaha Negara Salah satu hal penting yang harus dilakukan hakim
dalam pemeriksaan pengadilan adalah dengan cara yang tepat (sesuai dengan prosedur
yang ditetapkan dalam peraturan pembuktian) menetapkan terbuktinya eksistensi
fakta-fakta yang relevan untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam putusan
akhir nanti yang disingkat dengan kata pembuktian.
Membuktikan atau memberikan pembuktian adalah: dengan alat-alat pembuktian
tertentu meberikan suatu tingkatan kepastian yang sesuai dengan penalaran tentang
eksistensi fakta-fakta hukum yang disengketakan.
Yang dimaksud dengan fakta-fakta adalah:
1. Fakta hukum:
Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksistensinya (keberadaannya
tergantung kepada penerapan suatu peraturan.
2. Fakta-fakta biasa:
Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya
fakta-fakta hukum tertentu.
Sedangkan di dalam upaya hukumnya terdapat 3 inti masalah yang saya kemukakan , diantaranya :
a. Bandingb. Kasasic. Peninjauan Kembali
DAFTAR PUSTAKA
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Buku II), Sinar Harapan, Jakarta.
________, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta.
Siti Soetami, A, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT Refika Aditama, Jakarta.
_______, UU No. 05 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara , http://www.ptun-jakarta.go.id/index.php?option=com_content&task=v iew&id=32&Itemid= 41