32
NEGARA HUKUM INDONESIA ANTARA STRATEGI RESPONSIF DAN STRATEGI ORTODOKS A. Pendahuluan Namun, menurut pandangan saya justru cuma ada tiga ciri penting dari negara hukum sehingga suatu negara dapat dikategorikan dalam negara yang berdasarkan hukum yaitu: Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman (Independent of the Judiciary), Kemandirian Profesi Hukum (Independent of the Legal Profession), dan Kemerdekaan Pers (Press Freedom). Dalam pandanganku, kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah paling sentral untuk menentukan apakah suatu negara dapat dikatakan layak menyandang gelar negara hukum. Tanpa adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri, maka bisa dipastikan bahwa suatu negara hanya berdasarkan kekuasaan dan selera politik dari penguasa resmi negara tersebut. Kekuasaan kehakiman yang Merdeka dan Mandiri ini tidak bisa juga diartikan bahwa hakim sangat bebas dalam memutus perkara akan tetapi dalam memutus perkara hakim harus dapat melihat dengan jernih dalam memberikan pertimbangan dalam putusan-putusannya sehingga layak untuk dipertanggung jawabkan kepada Tuhan YME, layak juga secara akademis, dan layak untuk masyarakat dapat menemukan kepastian dan keadilan Akan tetapi kemerdekaan kekuasaan kehakiman ini juga harus ditopang oleh kemandirian dari profesi hukum, tanpa adanya kemandirian dari profesi hukum maka sulit untuk bisa mengharapkan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. Artinya asosiasi profesi hukum harus mengambil peran

Hukum Responsif

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hk Responsif

Citation preview

NEGARA HUKUM INDONESIA ANTARA STRATEGI RESPONSIF DAN STRATEGI ORTODOKS

A. PendahuluanNamun, menurut pandangan saya justru cuma ada tiga ciri penting dari negara hukum sehingga suatu negara dapat dikategorikan dalam negara yang berdasarkan hukum yaitu: Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman (Independent of the Judiciary), Kemandirian Profesi Hukum (Independent of the Legal Profession), dan Kemerdekaan Pers (Press Freedom).

Dalam pandanganku, kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah paling sentral untuk menentukan apakah suatu negara dapat dikatakan layak menyandang gelar negara hukum. Tanpa adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri, maka bisa dipastikan bahwa suatu negara hanya berdasarkan kekuasaan dan selera politik dari penguasa resmi negara tersebut. Kekuasaan kehakiman yang Merdeka dan Mandiri ini tidak bisa juga diartikan bahwa hakim sangat bebas dalam memutus perkara akan tetapi dalam memutus perkara hakim harus dapat melihat dengan jernih dalam memberikan pertimbangan dalam putusan-putusannya sehingga layak untuk dipertanggung jawabkan kepada Tuhan YME, layak juga secara akademis, dan layak untuk masyarakat dapat menemukan kepastian dan keadilan

Akan tetapi kemerdekaan kekuasaan kehakiman ini juga harus ditopang oleh kemandirian dari profesi hukum, tanpa adanya kemandirian dari profesi hukum maka sulit untuk bisa mengharapkan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. Artinya asosiasi profesi hukum harus mengambil peran aktif dalam melindungi hak-hak asasi manusia termasuk pemberantasan korupsi di suatu negara dan mengambil peran aktif dalam merumuskan tujuan negara di bidang hukum.

Kemerdekaan Pers merupakan kata kunci dalam memahami makna transparansi dan akuntabilitas dari penyelenggara negara, maka saya sangat sepakat dengan pendapat dari Ketua MA Prof Dr. Bagirmanan, SH, MCL yang menyatakan bahwa Jangan sampai tangan hakim berlumuran ikut memasung kemerdekaan pers yang akan mematikan demokrasi, pers yang bebas bukan hanya instrumen demokrasi tetapi juga penjaga demokrasi. Hakim sangat memerlukan demokrasi, Menurut dia, hanya demokrasi yang mengenal dan menjamin kebebasan hakim atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu jangan sampai hakim ikut mematikan demokrasi. Jika itu terjadi maka tidak lain berarti hakim sedang memasung kebebasan atau kemerdekaannya sendiri.

Unsur inipun penting karena tanpa adanya kemerdekaan pers maka kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kemandirian profesi hukum menjadi hilang tak bermakna

Tiga ciri ini sangat penting untuk mendukung terciptanya negara hukum, karena jika salah satu ciri ini hilang, maka perdebatan konseptual dan konteksual akan negara hukumpun serta merta menjadi hilang. Dan masyarakat akan menjadi hilang kepercayaan terhadap kedaulatan hukum yang justru akan menjauhkan masyarakat dari aspek keadilan dan kepastian hukum.Sehingga pembangunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan dapat mengarah pada terbentuknya suatu sistem hukum nasional Indonesia yang dapat mengakomodir harapan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang berorientasi pada terciptanya hukum yang responsive. Berkaitan dengan hal tersebut Mahfud MD juga menyatakan:

Hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi pembangunan hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi secara penuh kelompok-kelompok masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat pada umumnya. Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundang-undangan dapat diformulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung berbagai pemikiran dan partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga hukum yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini sangat penting karena dapat menghindari benturan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah atau negara yang akan terjebak ke dalam tindakan yang dijalankan diluar jalur atau landasan hukum. Bila hukum yang dihasilkan adalah hukum yang responsif, maka tidak akan ada lagi hukum siapa yang kuat (punya kekuasaan) akan menguasai yang lemah atau anggapan rakyat selalu menjadi korban, karena lahirnya hukum tersebut sudah melalui proses pendekatan dan formulasi materi muatannya telah menampung berbagai aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai, keyakinan, atau sistem sosial politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.

Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia pernah terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reformasi tahun 1998, konfigurasi politik yang berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum yang konservatif dan terpuruk karena selalu dijadikan sub ordinat dari politik. Sedangkan ciri atau karakteristik yang melekat pada hukum konservatif antara lain: 1) Proses pembuatannya sentralistik (tidak partisipatif) karena didominasi oleh lembaga-lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh negara. Di sini peran lembaga peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat sangat sumir.2) Isinya bersifat positivist-instrumentalistik(tidak aspiratif) dalam arti lebih mencerminkan kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah dijadikan alat (instrumen) pembenar yang akan maupun (terlanjur) dilakukan oleh pemegang kekuasaan yang dominan.3) Lingkup isinya bersifat open responsive (tidak responsif) sehingga mudah ditafsir secara sepihak dan dipaksakan penerimanya oleh pemegang kekuasaan negara.4) Pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan sektoral jangka pendek dari pada menegakkan aturan-aturan hukum yang resmi berlaku.5) Penegakannya lebih mengutamakan perlindungan korp sehingga tidak jarang pembelokan kasus hukum oleh aparat dengan mengaburkan kasus pelanggaran menjadi kasus prosedur atau menampilkan kambang hitam sebagai pelaku yang harus dihukum.

Sejalan dengan M. Mahfud MD, mengenai ciri tersebut, Satya Arinanto memberikan pendapatnya bahwa produk hukum yang konservatif mempunyai makna: Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Ia lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.

Sedangkan produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat.

Dari pengalaman sejarah hukum tersebut seharusnya perlu dirancang suatu skenario politik perundang-undangan nasional yang berorientasi pada pemahaman konsep sistem hukum nasional yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan peraturan perundang-undangan secara komprehensif dan aspiratif. Penyusunan atau pembentukan peraturan perundang-undangan yang aspiratif tersebut merupakan rangkaian dari langkah-langkah strategis yang dituangkan dalam program pembangunan hukum nasional yang dilaksanakan untuk mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis serta berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Satjipto Rahardjo mengutip Paul Scholten yang mengemukakan konsep bahwa hukum merupakan suatu kesatuan norma-norma yang merupakan rangkaian perjalanan sejarah yang memandang kebelakang kepada peraturan perundang-undangan yang ada dan memandang kedepan untuk mengatur kembali.Kalau dalam literatur ilmu politik hukum, kita bisa menyebut John Henry Marrymann yang pada 1969 menulis buku The Civil Law Tradition. Dalam buku itu, Marrymann menyebut adanya dua tradisi dan strategi pembangunan hukum. Yakni, pembangunan hukum yang responsif dan pembangunan hukum yang ortodoks.

Pembangunan hukum responsif adalah pembangunan hukum yang dianut di negara-negara Anglo Saxon yang negara hukumnya disebut the rule of law. Pembangunan hukum ortodoks merupakan pembangunan hukum yang dilakukan di negara-negara Eropa Kontinental yang negara hukumnya disebut rechtsstaat.

Di negara kawan Anglo Saxon (the rule of law), hakim diberi kebebasan untuk tak terbelenggu dan boleh keluar dari ketentuan UU guna mencari keadilan serta menciptakan hukum sendiri, sehingga produk hukum menjadi responsif. Sebaliknya, di negara-negara Eropa Kontinental (Rechtsstaat), hakim hanya boleh menerapkan hukum sesuai bunyi UU, sehingga produk hukumnya menjadi ortodoks.

B. Penyajian DataPolitik hukum kita sebenarnya telah lama mengikuti paham bahwa lembaga peradilan kita bebas, bahkan diperintahkan, menggali nilai keadilan di dalam masyarakat tanpa harus terbelenggu atau mengikuti mentah-mentah bunyi UU. Bahkan lebih dipuji jika hakim mau mencari dan menemukan alasan untuk tidak mengindahkan isi UU yang dinilainya tidak memberi keadilan,asalkan hal itu memang benar-benar dimaksudkan untuk menegakkan keadilan. Pasal 27 ayat (1) UU No 14/1970 yang telah diubah dengan UU No 35/1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman memerintahkan hakim untuk memahami dan menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat.

UUD 1945 hasil amendemen telah meniadakan istilah rechtsstaat dari konstitusi dan menyebut istilah negara hukum dengan konsep netral. Semula, negara hukum kita sering diidentikkan dengan rechtsstaat yang cenderung memosisikan hakim hanya sebagai corong UU dan tak boleh membuat putusan di luar ketentuan UU. Tetapi UUD 1945 hasil amendemen telah meniadakan penjelasanyang di dalamnya ada kata-kata, ...negara hukum (rechtsstaat) sehingga sekarang ini, seperti tertuang di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, negara hukum Indonesia tidak diembelembeli istilah rechtsstaat.

Negara hukum kita bukan hanya rechtsstaat, tetapi sekaligus the rule of law. Rechtsstaat sebagai istilah negara hukum di Eropa Kontinental lebih memosisikan hakim sebagai corong UU dan setengah mengharamkan hakim untuk membuat vonis yang keluar dari bunyi UU dengan alasan demi kepastian hukum; sedangkan the rule of law sebagai istilah negara hukum di kawasan Anglo Saxon lebih memosisikan hakim sebagai pembuat hukum (judge made law) yang didorong untuk mencari nilainilai keadilan substansial, kalau perlu, dengan tidak mengindahkan bunyi UU.

Di dalam kepustakaan strategi pembangunan, hukum ala the rule of law disebut sebagai strategi pembangunan hukum yang responsif; sedangkan strategi pembangunan hukum ala rechsstaat disebut strategi hukum ortodoks. UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi menyandera negara hukum kita dengan konsepsi rechtsstaat yang berpijak pada legisme dan watak ortodoks, melainkan sudah menganut politik hukum responsif dengan konsepsi the rule of law. Hal ini bukan hanya dapat disimpulkan dari peniadaan istilah rechtsstaat melalui penuangan di dalam Pasal 1 ayat (3) melainkan tersurat juga di dalam Pasal 24A dan Pasal 28D yang secara eksplisit menegaskan bahwa peradilan dan perlindungan hak-hak asasi manusia harus berdasar kepastian hukum,keadilan, dan manfaat.

Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).

Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model).

Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan II (hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.

Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.

Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.

Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis.

Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinnya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.

Pendekatan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-benar untuk mensejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar, bukan untuk kepentingan mereka yang berkuasa.

Indonesia sebagai negara yang menganut civil law system (Eropa Kontinental), mengedepankan hukum positif sebagai patokan utama dalam menjalankan tugas-tugas negara dan juga dalam sistem peradilannya. Apabila konsep negara hukum Indonesia dengan civil law system- nya diterapkan sesuai dengan prinsip-prinsip idealnya maka rule of law sudah pasti akan dapat terwujud.

Bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang berdiri sebagai negara hukum atau rechtsstaat sudah merupakan finalisasi dari perjalanan sejarah tata hukum Indonesia. Juga civil law system yang dianutnya merupakan sistem yang telah menjadi dasar tata hukum di sini.

Rule of law yang menjadi konsep hukum dan keadilan dari negara-negara common law, merupakan suatu tatanan baru yang ada di hadapan Indonesia saat ini. Indonesia tidak mungkin mengubah sistem hukumnya menjadi common law system.

Apakah mungkin sebuah negara hukum Indonesia dengan sistem civil law (Eropa Kontinental) mewujudkan rule of law dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya? Jawabannya adalah mungkin. Karena pada hakikatnya konsep negara hukum Indonesia yang ideal juga mencakup rasa keadilan dari masyarakat dan melindungi hak-hak asasi setiap warga negara Indonesia. Namun, sampai saat ini rule of law mungkin belum terwujud, dan itu bukan karena sistem hukum yang salah, tetapi karena unsur manusia yang menjadi pelaksana-pelaksana kenegaraan yang telah salah menjalankan negara ini.

Untuk dapat mewujudkan rule of law di Indonesia, Indonesia harus melakukan beberapa hal, yaitu;

1. Hukum di Indonesia harus memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Maksudnya, sejak dari proses legislasi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) para wakil rakyat harus bisa mengejawantahkan aspirasi keadilan rakyat dalam rancangan undang-undang yang sedang dikerjakannya. Hukum yang diciptakan harus responsif terhadap tuntutan akan rasa keadilan rakyat dan hukum yang diciptakan harus bersih, murni dari intervensi politik, ekonomi, dan kepentingan sekelompok orang.

2. Indonesia harus menjalankan suatu sistem peradilan yang jujur, adil, dan bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Sistem peradilan Indonesia saat ini belum dilaksanakan sebagaimana mestinya karena kurangnya pemahaman dan kemampuan atau bahkan kurangnya ketulusan dari mereka yang terlibat dalam sistem peradilan, baik penyidik, penuntut umum, hakim, penasihat hukum, bahkan masyarakat pencari keadilan.

Proses peradilan yang berjalan tidak sebagaimana mestinya, padahal Indonesia memiliki asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya murah, namun akhirnya semua itu hanya menjadi slogan semata. Disinyalir, sistem peradilan di Indonesia telah terkontaminasi oleh mafia peradilan. Jika ini semua belum dapat diberantas mustahil rule of law dapat terwujud. Kasus Akbar Tanjung yang akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung, kasus HAM Timor-Timur, dan pembubaran TGTPK oleh judicial review MA merupakan contoh yang sangat melukai rasa keadilan masyarakat.

3. Akses publik ke peradilan harus ditingkatkan. Hukum positif Indonesia telah merumuskan sejumlah hak masyarakat pencari keadilan yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Secara umum dapat dikatakan bahwa hak yang diberikan kepada pencari keadilan dalam sistem peradilan Indonesia tidak tertinggal dari negara-negara lain, dan umumnya mengikuti norma dan prinsip dalam instrumen internasional.

Dalam banyak peristiwa justru kewenangan yang dijalankan oleh aparat penegak hukum tersebut telah disalahgunakan sehingga merugikan hak para pencari keadilan.

Sejumlah kenyataan lain yang sering dijumpai adalah awal pemeriksaan yang tidak pasti, intimidasi, meremehkan keterangan yang diberikan, dan lain sebagainya. Tidak jarang pula pemeriksaan terhadap tersangka memiliki kendala yang dialami oleh penyidik.

Salah satunya yang sering muncul adalah tersangka dengan sengaja mempersulit jalannya pemeriksaan. Ini mengakibatkan polisi sebagai penyidik menggunakan berbagai upaya baik yang lazim maupun tidak agar penyelesaian dapat berjalan cepat. Oleh karena itu untuk mewujudkan rule of law, akses publik ke peradilan jelas harus ditingkatkan.

Indonesia sebagai negara hukum, secara teori pasti dapat mewujudkan rule of law dalam negaranya. Semua itu tergantung dari niat dan keikhlasan semua pihak yang terlibat dalam proses hukum untuk berkorban dan berjuang menyingkirkan segala kebobrokan masa lalu dan menatap pada masa depan negara hukum Indonesia yang baru, yang memiliki the rule of law dalam negaranya. Penulis adalah advokat senior dan anggota Komisi Hukum NasionalSalus Populi Suprema Lex Oleh FRANS H. WINARTA

Dalam kehidupan bermasyarakat sebuah aturan sangat dibutuhkan untuk mewujudkan ketertiban, keamanan, ketentraman, serta tercapainya keadilan ditengah masyarakat. Hal ini merupakan salah satu fungsi hukum yang harus di kedepankan secara bersama-sama disetiap sendi kehidupan umat manusia. Kita tidak hanya berpegang pada aturan yang dibuat oleh penguasa namun juga harus kembali kepada nilai-nilai yang hidup ditengah masayarakat. Kehidupan tidak hanya untuk kepentingan pribadi namun lebih mengarah kedalam aspek bersama atau lebih dikenal dengan hidup berjamaah.

Dalam pembuatan suatu produk hukum, tidak hanya memandang dari segi yuridisnya saja. Artinya pembentukan sebuah produk hukum tidak hanya berdasarkan nilai hukum yang harus ditetapkan namun juga harus memandang aspek filosofis dan aspek sosiologis. Kedua aspek ini tentu bertujuan supaya hokum mengakar serta diterima oleh masyarakat. Pertimbangan terhadap aspek filosofis dan aspek sosiologis akan mendapat respon hukum dari masyarakat, mereka tidak akan memandang hukum sebagai kepentingan, namun masyarakat akan menyadari makna dari kebutuhan hukum tersebut.

Produk hukum responsif adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Hasilnya akan bersifat respon terhadap kepentingan seluruh elemen, baik dari segi masyarakat ataupun dari segi penegak hukum. Hasil dari produk hukum tersebut mengakomodir kepentingan rakyat dan penguasanya. Prinsip check and balance akan selalu tumbuh terhadap dinamika kehidupan masyarakat.

Lawan dari hukum responsif adalah produk hukum konservatif atau hukum refresif yang merupakan produk hukum yang isinya mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positif instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana idiologi dari program negara. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum konservatif lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil (Moh Mahfud Md, Politik hukum di Indonesia). Dalam realita masyarakat Indonesia pembentukan produk hukum konservatif ralatif lebih mudah dan lebih gampang dilakukan.

Walaupun dalam pensahannya mendapat pertentangan ataupun melalui perdebatan panjang yang akhirnya lahir produk hukum dalam bentuk konsertvatif. Kenyataan ini akan menimbulkan reaksi dari mereka yang merasa diskriminasi terhadap kelahiran sebuah produk hukum tersebut. Atau ada juga produk hukum yang bertentangan dengan produk hukum yang ada diatasanya. Hal ini sudah banyak terjadi di Indonesia, kasus-kasus judicial review merupakan bukti nyata terhadap adanya sebuah aturan yang dianggap diskriminasi atau peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya., pengajuan Judicial reviuw terhadap peraturan yang lebih rendah apabila bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi merupakan salah satu bukti lahirnya produk hukum yang konservatif.

Polemik bahwa produk hukum tersebut merupakan produk hukum konservatif terlihat bahwa hukum itu berpihak pada kelompok tertentu atau kepada kepentingan tertentu, artinya terjadinya aturan yang berlaku dalam masyarakat bukan atas kehendak atau keinginan dari masyarakat namun lebih tertuju terhadap kepentingan politik dari para pembuat aturan tersebut maka lahirlah apa yang dinamakan produk hukum konservatif. .Salah satu produk hukum yang juga dianggap konservatif adalah Undang-undang terorisme dimana lahirnya undang-undang ini mengalami banyak perdebatan, kemudian Undang-undang terorisme ini mengenyampingkan azas-azas hukum yang lain serta mengenyampingkan Hak Asasi Manusia.

Untuk mengkalkulasikan apakah produk hukum tersebut responsif atau konservatif, ada indikator yang bisa dipakai dalam penilaian sebuah produk hukum tersebut. Penialan yang dipakai adalah proses pembuatannya, sifat hukumnya, fungsi hukum dan kemungkinan penafsiran terhadap pasal-pasal dari produk hukum tersebut. Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat pertisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat. Kemudian dilihat dari fungsi hukum yang berkarakter responsif tersebut harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat, produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Sehingga fungsi hukum bisa menjadi nilai yang telah terkristal dalam masyarakat.

Kemudian dilihat dari segi penafsiran produk hukum yang berkarakter responsif tersebut biasanya memberikan sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksana dan peluang yang sempit itupun hanyan berlaku untuk hal yang bersifat tehknis, bukan dalam sifat pengaturan yang bertentangan dengan aturan yang ada diatasnya.

Pembangunan hukum responsif ini harus disertakan dengan masyarakat yang responsif pula. Karena pilar utama dari penegakan hukum ada dalam diri masyarakat. Masyarakat responsif adalah masyarakat atau komonitas yang lebih tanggap terhadap tuntutan warganya dan mau mendengarkan keluhan serta keinginan-keingian warganya. Masyarakat jenis responsif ini adalah masyarakat yang dalam mengungkapkan dan menegakan nilai-nilai sosialnya, tujuan-tujuannya, kepentingan-kepentingannya tidak dilakukan dengan melalui cara paksaan akan tetapi cendrung dilakukan dengan cara penyebarluasan informasi, pengetahuan dan komonikasi. Konsekwensinya, dalam memecahkan masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hankamnya terutama dilakukan dengan cara-cara persuasif dan dengan memberikan dorongan, bukannya unjuk kekuasaan atau bahkan melembagakan budaya kekerasan. Kenyataan ini menunjukan betapa pentingan pembangunan hukum responsif harus diiringi dengan masyarakat responsif.

Tuntutan untuk mengagendakan urgensi pembangan hukum responsif tersebut secara teoritis juga dilandasi oleh suatu asumsi bahwa hukum, selain dapat dipergunakan sebagai tool of social control juga seharusnya dipergunakan pula sebagai tool of social engineering yang akan menuntun perubahan-perubahan sosial dan cita hukum masyarakat bersangkutan. (M.Abdul kholiq, Jurnal hukum dan Keadilan) Dalam perspektif konstitusional misalnya, hukum responsif yang aspiratif dalam arti mengakomodir segala kepentingan masyarakat banyak dan dengan demikian juga berarti bahwa hukum tersebut bersifat melindungi (social defence), menemukan legitimasinya dalam UUD tahun 1945.

Praktisi Hukum Pada Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM), Sumbardalam hubungan ini, bahwa sesungguhnya pada pembukaan UUD 1945 dalam konteksnya dengan hukum mengandung empat nilai dasar yang merupakan law frame yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum di Indonesia. Pertama Hukum itu berwatak melindungi (mengayomi) dan bukan sekedar berisi muatan norma imperatif (memerintah) begitu saja. Kedua Hukum itu mewujudkan kadilan sosial bagi seluruh rakyat. Keadilan sosial disini bukan semata-mata sebagai tujuan, akan tetapi sekaligus sebagai pegangan yang konkrit dalam membuat peraturan hukum. Ketiga Hukum itu adalah dari rakyat dan mengandung sifat kerakyatan. Keempat Hukum adalah pernyataan kesusilaan dan moralitas yang tinggi baik dalam peraturan maupun dalam pelaksanaanya sebagaimana diajarkan didalam ajaran agama dan adat rakyat kita (M. Abdul Kholik). Keseiringan antara nilai hukum dengan keadaan masyarakat menjadikan hukum tersebut berpihak serta melindungi masyarakat. Maka untuk tercapainya sebuah keadilan akan lebih mudah.

Dalam mencapai tatanan hukum responsif ini paradikma politik kita juga harus diobah. Tujuannya adalah agar kepentingan politik sesaat tidak selalu ditonjolkan, yang terjadi dalam era reformasi sekarang ini adalah bahwa pembuatan sebuah produk hukum akan selalu ditonjolkan kepentingan politik. Makanya untuk membangun sebuah produk hukum yang responsif arah perpolitikan Indonesia harus disertai dengan politik bermoral dengan tujuan kebersamaan untuk masyarakat. Kalau selama ini banyak partai politik yang menonjolkan kepentingan partainya maka untuk masa yang akan datang arah politik tersebut lebih menjurus terhadap kepentingan rakyat. Karena kita sadari bersama bahwa hukum merupakan produk dari politik, kalau politiknya baik maka akan menghasilkan produk hukum yang baik, kalau politiknya buruk akan melahirkan produk hukum yang menyengsarakan rakyat.

Untuk masa yang akan datang dalam proses perubahan, serta reformasi yang kita hadapi peran masyarakat akan sangat dibutuhkan untuk menegakkan hukum, apalagi saat ini banyak para elit politik yang mengatasnamakan rakyat namun untungnya adalah untuk elit politik sendiri, mudah-mudahan kita membangun hukum responsif demi kepentingan bersama. Apabila pembanguna hukum responsif terwujud maka budaya hukum masyarakat akan datang dengan sendirinya. Karena dengan produk hukum yang dihasilkan secara responsif maka lahirnya aturan itu adalah kehendak bersama masyarakat bukan kehendak dari para pembuat kebijakan. (Praktisi Hukum Pada Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM), Sumbar)

C. PenutupPemikiran hukum di Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh dua aliran besar, yaitu positivis dan sociological jurisprudence. Aliran positivis terutama dipegang oleh kalangan aparat penegak hukum, akademisi dan birokrasi, sehingga seringkali menjadi penghalang perkembangan hukum serta mengalami kebuntuan ketika menghadapi kasus-kasus baru.

Saat ini Indonesia berada dalam masa transisi yang ditandai oleh pergulatan kekuatan-kekuatan yang mencoba untuk mendominasi baik dari dalam negeri maupun kekuatan kapitalis internasional.

Sebenarnya, tata hukum Indonesia sudah lama menganut strategi pembangunan hukum yang kritis-responsif. UU No 14/1970 sudah mengharuskan hakim untuk menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, suatu bukti bahwa kita menganut the rule of law.Selanjutnya, melalui perubahan UUD 1945 (1999-2002), secara resmi kita mencabut istilah rechtstaat dari UUD 1945. Penjelasan UUD 1945 yang memuat istilah rechtsstaat dicabut dari UUD 1945 dan istilah negara hukum dinetralkan. Pasal 1 ayat (3) hanya menyebut "negara Indonesia adalah negara hukum" tanpa embel-embel rechtsstaat yang diletakkan dalam kurung. Dengan demikian, negara hukum Indonesia bukan hanya rechtsstaat, tapi juga sekaligus the rule of law..................................................................................

Tiga Tipe Hukum dari Nonet & Selznick

Tulisan di bawah ini diangkat dari dua buku. Pertama, karya dari Philippe Nonet dan Philip Selznick berjudul "Law and Society in Transition: toward Responsive Law" dan buku kedua berjudul "Politik Hukum di Indonesia" karya Moh. Mahfud M.D.Philippe Nonet lahir dan besar di Belgia. Ia mendapat pendidikan hukum dan meraih doktor di bidang ini pada tahun 1961. Setelah itu ia belajar dan mengajar di bagian sosiologi UC Berkeley sebelum bergabung di Boalt Faculty pada 1977. Nonet adalah Charge de Cours pada the Universite Catholique de Louvain dari tahun 1966 sampai dengan 1970, seorang visiting professor di Universitas Bremen pada 1981. Sementara itu, Philip Selznick adalah professor emeritus of law and society pada UC Berkeley. Ia meraih gelar doktor tahun 1947 dari Universitas Columbia, tempat ia menimbah ilmu dari Robert K. Merton. Selznick dikenal sebagai penggagas teori organisasi, sosiologi hukum, dan administrasi publik. Philippe Nonet dan Philip Selznick adalah dua nama yang dikenal luas sebagai pencetus Teori Pembangunan Hukum (Development Theory of Law), suatu teori yang diangkat dari kajian hukum menurut perspektif ilmu politik.Dua nama ini, Nonet & Selznick kerap diperbincangkan karena mereka memperkenalkan tiga tipe hukum dalam teori pembangunan hukumnya, yaitu tipe hukum represif, otonom, dan responsif.

1) Hukum Represif

Tipe hukumrepresif dapat dilihat dari adaptasi yang pasif dan oportunistis dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial-politik. Kata "adaptasi" menunjukkan hukum berada pada kondisi subordinat (di bawah pengaruh) sistem sosial dan politik. Bahkan, kekuatan orang-orang yang menjadi penguasapolitik dapat menembus semua pintu masuk ke dalam "sistem" hukum. Hukum dikendalikan oleh figur tokoh politik yang paling berkuasa di negara itu. Kriminalisasi adalah bentuk yang paling disukai oleh para penguasa politik dalam mengontrol warga masyarakat agar selalu menaati kehendak pemerintah. Di sinilah wajah represif itu muncul. Hukum tampil dengan wajah menakutkan dantanpa kompromi. Sebaliknya akses warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam hukum sangatlah sempit. Keberadaan dan keberlakuan hukum tidak perlu harus memperhatikan kepentingan warga yang diperintah. Pada tipe ini hukum dan politik merupakan satu kesatuan di dalam sistem pemerintahan.

2) Hukum Otonom

Jika pada tipe hukum represif, FIGUR sang tokoh politik sangat berperan menentukan wajah hukum, maka pada tipe hukum otonom, wajah "orang" ini berganti menjadi "sistem negara hukum" (the rule of law; rechsstaat). Konsep the rule of law (lazim disingkat: RoL) ini merupakan reaksi negara atas gagasan-gagasan keterbukaan yang kerap datang dari masyarakat luas. Atas nama hukum, desakan-desakan demikian dapat diredam. Di sisi lain, dalam tipe negara hukum otonom, tertib hukum jugadugunakan untuk menjinakkan perilaku represif negara. Jadi, tipe hukum otonom ini ingin menjadi "penengah" bagi masyarakat dan penguasa agar kedua kekuatan itu tidak saling berbenturan secara destruktif. Untuk itulah RoL mengedepankan penyelesaian masalah melalui prosedur-prosedur tertentu. Keadilan pun pada akhirnya cukup dilihat sebagai keadilan prosedural (sesuatu dianggap adil sepanjang sesuai dengan prosedur). Namun, berbeda dengan tipe represif, pada tipe hukum otonom ini hukum sudah terpisah dari politik.

3) Hukum Responsif

Sekalipun dapat secara kasatmata terlihat bahwa Nonet & Selznick ingin menempatkan tipe hukum responsif sebagaitahapan evolusi yang tertinggi (dibanding hukum represif dan otonom), keduanya tidak ingin menyatakan bahwa tahap inilah yang paling tepat untuk semua sistem hukum. Artinya, mereka melihat masing-masing negaradapat menyesuaikan sendiri kondisi sistem hukum negara mereka dengan perkembangan yang ada. Ada kalanya masyarakat membutuhkan tipe hukum represif beberapa waktu, sebelum beralih ke tipe otonom dan responsif. Pada tipe hukum responsif ini, kompetensi menjadi ukuran bagi warga masyarakat untuk memiliki akses berpartisipasi di dalam segala sistem kemasyarakatan. Di sini urusan prosedur bisa dinomorduakan, karena yang lebih penting adalah sisi substansinya. Pada tipe hukum inilah dikenal istilah keadilan substantif itu.

Dua tipe hukum yang pertama, yakni hukum represif dan otonom pada hakikatnya berada dalam kondisi tatkala suatu negara sedang memasuki tahap pembentukan tatanan politiknya. Jika pada tahap itu sumber daya elit pemerintahannya masih sangatlemah, maka corak hukumnya akan menuju ke tipe represif. Pada tahap ini seseorang atau sekelompok kecil orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan akan memaksimalkan kekuatannya untuk memaksakan pengaruhnya terhadap masyarakat luas. Apabila pengaruh elit kekuasaan sudah mulai sedikit melemah berhadapan dengan masyarakat, maka tahapan ini sudah mengarah ke tipe hukum otonom. Tatanan politik pada tipe hukum otonom ini masih mudah berubah, dan jika komitmen masyarakatnya tidak cukup kuat, akan mudah tergelincir kembali ke tipe hukum represif.Seorang ahli hukum Indonesia, Moh. Mahfud M.D. pernah melakukan penelitian mengenai pengaruh konfigurasi politik di Indonesia terhadap karakter produk hukumnya. Beliau adalah guru besar dari Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta) dan saat ini menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam bukunya "Politik Hukum di Indonesia" (aslinya merupakan disertasi yang bersangkutan di Universitas Gadjah Mada), Mahfud ingin melihat apakah sistem politik tertentu memiliki dampak pada peraturan perundang-undangan yang lahir pada masa itu. Untuk itu, teori pembangunan hukum dari Nonet & Selznick ini dipakai sebagai kerangka acuannya. Konfigurasi politik yang dimaksud oleh Mahfud terbagi menjadi dua, yakni demokratis dan non-demokratis. Istilah terakhir ini disamakannya dengan otoriter. Mahfud melihat Indonesia pernah memasuki kedua model politik ini, yakni pada masa era sebelum Orde Lama (periode demokrasi liberal), era Orde Lama (periode demokrasi terpimpin), dan era Orde Baru. Karakter produk hukum yang diteliti oleh Mahfud meliputi peraturan perundang-undangan di bidang pemilihan umum, pemerintahan daerah, dan agraria. Ia melihat bahwa pada konfigurasi politik yang demokratis, produk hukumnya cenderung reponsif (=populistik); sebaliknya pada konfigurasi politik yang non-demokratis atau otoriter, kecenderungan produk hukumnya adalah konservatif, ortodoks atau elitis. Kesimpulan Mahfud adalah:

(1) Pada periode 1945-1959 (demokrasi liberal), konfigurasi politik Indonesia adalah demokratis, dan kecenderungan karakter semua produk hukum (pemilu, pemda, agraria) adalah responsif. (2) Pada periode 1959-1966 (demokrasi terpimpin), konfigurasi poltiknya adalah otoriter, dan kecenderungan karakter produk hukumnya di bidang pemda adalah ortodoks/konservatif/elitis, tetapi di bidang agraria menunjukkan tipe responsif dengan alasan-alasan tertentu; sedangkan untuk bidang pemilu tidakterdapat produk tersebut pada masa itu. (3) Pada periode 1966-1998 (Orde Baru) konfigurasi politiknya adalah otoriter, dan kecenderungan semua produk hukumnya adalah ortodoks/konservatif/elitis.Alasan-alasan tertentuyang dimaksud oleh Mahfud terjadi pada bidang agraria di era demokrasi terpimpin adalah terkait dengan keberadaan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini, menurut Mahfud bukan peraturan yang positivis-instrumentalis dan memperlihatkan karakter responsifnya dengan merombak seluruh sistem yang dianut oleh Agrarische Wet 1870, menghapus domeinverklaring, menghilangkan feodalisme dan segala hak konvesinya, menghilangkan dualisme huum sehingga tercipat unifiksi hukum, serta penegasan tentang melekatnya fungsi sosial atas hak atas tanah. Posisi unik dari UUPA ini disebabkan oleh sedikitnya empat hal: (1) UUPA berasal dari rancangan zaman demokrasi liberal yang pengundangannya tertunda; (2) UUPA membalik dasar-dasar kolonialisme yang sudah pasti ditentang oleh semua pemimpin Indonesia baik yang demokratis maupun otoriter; (3) materi UUPA tidak menyangkut distribusi kekuasaan sehingga pemberlakuannya tidak akan mengganggu sebuah rezim otoriter sekalipun, dan (4) UUPA tidak hanya memuat aspek politik (hukum administrasi negara) tetapi juga memuat masalah-masalah privat (hukum perdata).

Jika demikian halnya kesimpulan Mahfud, kita dapat menyatakan bahwa UUPA sebagai contoh produk hukum yang berkarakter responsif di Indonesia tidak muncul karena adanya konfigurasi politik (secara makro) di Indonesiayang sudah demokratis. Dengan perkataan lain, kita juga dapat mengatakan bahwadalam kondisi (alasan-alasan) tertentu, produk hukum responsif pun dapat saja muncul sekalipun di tengah konfigurasi politik yang otoriter sekalipun. Sampai pada titik ini Mahfud ingin mengatakan bahwa DEMOKRATISASI merupakan kata kunci untuk membawa negara kita menuju ke tipe hukum responsif itu.

....................................................................

HUKUM RESPONSIF

Mencermati Arah Politik Hukum Pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Dalam konsep berhukum, Philippe Nonet dan Philip Selznick membedakan tiga jenis hukum, yaitu hukum represif (repressive law), hukum otonom (autonomous law), dan hukum responsif (responsive law). Titik berat dari konsep berhukum yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick tersebut adalah aspek Jurisprudence and Social Sciences dengan bertumpu pada Sociological Jurisprudenc.

Tujuan hukum represif menurut Nonet dan Selznick adalah ketertiban. Peraturan perundang-undangan pada hukum represif bersifat keras dan rinci, namun tingkat keberlakuannya pada pembuat hukum sangat lemah. Contoh hukum represif yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yaitu hukum yang menyalahi moral konstitusionalisme yang pengelolaan hukumnya berada di tangan para pejabat pemerintah dan digunakan sebagai instrumen legal untuk menjamin keutuhan dan keefektifan kekuasaan pemerintah berdasarkan sanksi-sanksi pemaksa. Tipe hukum represif banyak mengandalkan penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada di pihak rakyat.

Pada hukum otonom, peraturan perundang-undangan dibuat luas dan terinci serta mengikat penguasa maupun yang dikuasai. Tujuan dari hukum otonom adalah sebuah legitimasi. Sifat-sifat dari hukum otonom adalah penekanan pada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi, serta adanya manipulasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi.

Pada tataran hukum responsif, tujuan hukum yang hendak dicapai adalah kompetensi. Pada perspektif hukum responsif, hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil, mampu mengenali keinginan publik dan memiliki komitmen bagi tercapainya keadilan substantif. Hukum responsif merupakan hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatan produk hukum responsif, kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat diberikan peranan besar dan partisipasi penuh. Hasil dari proses tersebut adalah produk hukum yang bersifat respon terhadap seluruh kepentingan, baik masyarakat maupun Pemerintah. Karakteristik yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah pergeseran aturan penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan, serta pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan maupun cara untuk mencapainya. Menurut Satjcipto Rahardjo, hukum responsif merupakan hukum yang lebih peka terhadap masyarakat dalam upaya mewujudkan kepastian hukum, perlindungan hukum, dan keadilan dalam.

Untuk mencermati arah politik hukum bangsa ini, kita coba melihat ke salah satu peraturan perundang-undangan di negara ini, yaitu Undang-Undang No.13 Tsahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang No.13 Tahun 2006 hanyalah merupakan sebagai alat atau sarana, tetapi di dalamnya terletak hakikat supremasi hukum, sebab kebijakan sebagai alat di dalam pengetian itu adalah alat untuk mencapai tujuan negara, bahkan alat rekayasa politik (political engineering). Supremasi hukum harus diletakan sebagai sentral pengaruh dan pedoman dalam upaya pencapaian tujuan negara melalui politik hukum nasional.

Saksi dan koban menjadi elemen penting untuk membantu lembaga peradilan mewujudkan supremasi hukum. Keterangan saksi dan korban membantu mengakselerasikan tuntutan rasa keadilan bagi korban kekejaman suatu rezim masa lalu. Permasalahannya ketika saksi dan korban memberikan keterangan, mereka trauma dan takut untuk menjelaskan tentang apa yang terjadi. Mereka beranggapan ketidakgunaan untuk memberikan kesaksiaan, disamping ketakutan apabila mereka bersaksi tanpa disertai dengan proses perlindungan dari negara terhadap dirinya dan keluarga mereka. Tuntutan seperti ini, pada akhirnya membawa konsekuensi pasti bahwa negara harus mampu membantu proses ini. Salah satunya adalah dengan jalan menyediakan mekanisme perlindungan saksi dan korban yang merupakan wujud dari apresiasi atas peran sertanya dalam proses peradilan pidana.

Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya ditulis UU PSK) pada awalnya adalah amanat yang didasarkan kepada TAP MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang menyatakan bahwa perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban. Seperti yang sudah diketahui, untuk mencermati arah politik hukum dari UU PSK ini maka perlu dilihat beberapa ketentuan yang mengarah kepada politik hukum baik yang bersifat positif (responsif) maupun yang bersifat negative (konservatif), antara lain sebagai berikut;

Arah politik hukum yang bersifat positif (responsif) yang tertuang di dalam UU PSK :

1. Dengan disahkannya UU PSK ini, adanya suatu peraturan yang mengakomodasi perlindungan ( payung hukum) terhadap saksi dan korban dalam sistem peradilan terpadu di Indonesia, yang mana sama-sama kita ketahui bahwa saksi dan korban menjadi elemen penting untuk membantu tercapainya tuntutan keadilan di dalam sistem peradilan terpadu (integrated justice system).

2. UU PSK tidak saja sebagai sarana untuk mengakomodasi perlindungan saksi dan korban, tetapi juga diberikan sarana perlindungan yang sama terhadap keluarga saksi dan korban. Hal ini memberikan dampak positif karena cakupan perlindungan tidak saja sebatas saksi dan korban melainkan juga terhadap keluarga saksi dan korban.

3. Di dalam UU PSK ini terdapatnya materi pasal-pasal yang mengatur untuk dibentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya ditulis LPSK) (Pasal 11-27 UU PSK) yang akan melaksanakan tugas terhadap terpenuhinya hak-hak saksi dan pemberian perlindungan terhadap saksi. Dengan adanya LPSK tersebut diharapkan hak-hak saksi yang selama ini telah diatur secara normatif, dapat diwujudkan dalam praktiknya. Begitu juga terhadap saksi yang selama ini terkendala oleh tidak jelasnya lembaga yang akan dan bertanggung jawab melakukan perlindungan tersebut.

4. UU PSK memberikan kejelasan dan kepastian tentang hak-hak saksi dan korban pada saat sebelum, sedang, dan setelah saksi dan korban memberikan keterangannya. Yang mana hal ini terdapat di dalam Pasal 5 sampai Pasal 10. Semua kejelasan yang terdapat di dalam pasal-pasal tersebut akan terealisasikan melalui LPSK.

Kesimpulan :Secara umum pembentukan UU PSK ini bertujuan baik yaitu sebagai sarana untuk mengakomodasi perlindungan (payung hukum) terhadap saksi dan korban dalam sistem peradilan terpadu di Indonesia yang selama ini saksi dan korban tidak merasa terlindungi. Untuk itu, dengan adanya UU PSK ini melalui LPSK nantinya akan dapat merealisasikan segala apa yang menjadi hak-hak dari pada saksi dan korban untuk mendapatkan perlindungan baik dari ancaman, keamanan maupun jiwa mereka. Dengan demikian UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan type undang-undang/hukum yang bersifat responsif.