Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
HUKUM SHALAT JUM’AT SELAIN DI MASJID DITINJAU
DARI FIQIH EMPAT MAZHAB DAN FATWA MUI
NO. 53 TAHUN 2016
SKRIPSI
Oleh
AL QODRI
NIM. SPM.141888
PEMBIMBING
Drs. Hasbi Ash Shiddiqi, M. Ag
Al Husni, S. Ag., M. HI
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2019
i
i
HUKUM SHALAT JUM’AT SELAIN DI MASJID DITINJAU
DARI FIQIH EMPAT MAZHAB DAN FATWA MUI
NO. 53 TAHUN 2016
SKRIPSI
Diajukan sebgai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan
Oleh
AL QODRI
NIM. SPM.141888
PEMBIMBING
Drs. Hasbi Ash Shiddiqi, M. Ag
Al Husni, S. Ag., M. HI
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2019
ii
ii
iii
iii
Pembimbing I : Drs. Hasbi Ash Shiddiqi, M. Ag
Pembimbing II : Al Husni, S. Ag., M. HI
Alamat : Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Jln. Jambi – Muaro Bulian KM. 16 simp. Sei Duren
Kab. Muaro Jambi 31346 Telp. (0741) 582021
Jambi, September 2019
Kepada Yth,
Bapak Dekan Syari‟ah
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Di-
Jambi
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Assalamu‟alaikum Wr.Wb.
Setelah membaca dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka skripsi saudara Al
Qodri yang berjudul “Hukum Shalat Jum’at Selain Di Masjid Ditinjau Dari
Fiqih Empat Mazhab Dan Fatwa Mui No. 53 Tahun 2016” telah
disetujui dan dapat diajukan untuk dimunaqasahkan guna melengkapi syarat-
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) dalam ilmu Perbandingan
Mazhab pada Fakultas Syari‟ah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi .
Demikianlah kami ucakpan terima kasih, semoga bermanfaat bagi
kepentingan Agama, Nusa dan Bangsa.
Wassalamu‟alaikum Wr.Wb
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Hasbi Ash Shiddiqi, M. Ag Al Husni, S. Ag., M. HI
NIP. 196406081992031004 NIP. 19761225 200901 1 017
iv
iv
v
v
MOTTO
Artinya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar
merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali „Imran: 104)
vi
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi yang sederhana ini penulis mempersembahkan buat orang-orang yang
terkasih dan tersayang yang selama ini banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan perkuliahan di Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
1. Ayahanda Hafizul yang selalu memberikan motivasi serta bantuan yang
bersifat moril atau materil kepada penulis dalam mengenyam pendidikan
dari mulai tingkat dasar hingga ke perguruan tinggi.
2. Ibunda Nazifah yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkanku,
sehinga penulis dapat menjadikan insan yang berpengetahuan.
3. Kakak tercinta Masni Ulfa dan Adik ku tercinta Aulia, Dan keluarga
besarku tercinta yang selalu memberikan do‟a yang selalu memberikan
semangat dalam menulis skripsi ini.
4. Dan untuk teman seperjuangan ku Bahtiar mahasiswa Sastra Ingris
angkatan tahun 2014 yang memberi semangat dalam membuat Skripsi ini.
Mudah-mudahan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT,
Amiin yaa robbal ’alamin
vii
vii
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui Problematika Sholat Jum‟at
Menurut Imam Mazhab. Sebagai tujuan diantaranya adalah untuk mengetahui
problem sholat jum‟at tentang tempat sholat jum‟at menurut imam mazhab.
Skripsi ini menggunakan pendekatan tinjauan pustaka dengan metode
pengumpulan data melalui membaca, meneliiti, menganalisis dan mengadakan
pengecekan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai
berikut: pendapat keempat imam mazhab yakni imam Abu Hanifah, imam Asy-
Syafi‟i , imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Malik. Ketiga para ulama ini
sepakat tentang kebolehannya melaksanakan sholat jum‟at di tanah lapang.
Namun yang terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama mazhab yakni
Ulama Malikiyah. Mazhab malikiyah berpendapat sholat jum‟at itu tidak sah
dilaksanakan di rumah-rumah dan tanah lapang, jadi sholat jum‟at harus
dilaksanakan di masjid.
viii
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yanag mana dalam
penyelesaian skripsi ini penulis selalu diberikan kesehatan dan kekuatan, sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Disamping itu, tidak lupa pula
iringan sholawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi
Muhammad saw.
Menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa pada semester akhir untuk
menyusun skripsi sebagai suatu syarat untuk memperoleh predikat Sarjana dalam
bidang ilmu yang dituntut maka penulis dapat persetujuan untuk menyusun skripsi
dengan judul Problematika Shalat Jum‟at Menurut Imam Mazhab.
Kemudian dalam penyelesaian skripsi ini, penulis akui tidak sedikit
hambatan dan rintangan yang penulis temui baik dalam mengumpulkan data
maupun dalam penyusunannya. Dan berkat adanya bantuan dan bimbingan yang
diberikan oleh dosen pembimbing, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan
baik. Oleh karena itu, hal yang pantas penulis ucapkan adalah kata terima kasih
kepada semua pihak yang turut membantu penyelesaian skripsi ini terutama sekali
kepada yang terhormat:
1. Bapak, Dr. H. Hadri Hasan, MA selaku Rektor UIN STS Jambi
2. Bapak, Dr. A. A Miftah, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah UIN STS
Jambi
3. Bapak, Dr. H. Hermanto Harun, Lc. MA selaku Wakil Dekan I Bidang
Akademik,
ix
ix
4. Ibu, Dr. Rahmi Hidayati, S.Ag., M. HI selaku Wakil Dekan II Bidang Umum,
Perencanaan dan Keuangan,
5. Ibu, Dr. Yuliatin, S. Ag., M. HI selaku Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan
Kerjasama di lingkungan Fakultas Syari‟ah UIN STS Jambi.
6. Bapak, Al Husni, S. Ag., M. HI selaku Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab
Fakultas Syariah UIN STS Jambi serta selaku Pembimbing II
7. Bapak, Yudi Armansyah, S. Th. I., M. Hum Selaku Sekretaris Jurusan
Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
8. Bapak, Drs. Hasbi Ash Shiddiqi, M. Ag selaku Pembimbing I Skripsi,
9. Bapak dan Ibu Dosen, Asisten Dosen dan seluruh Karyawan/Karyawati
Fakultas Syari‟ah UIN STS Jambi.
10. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan Skripsi ini, baik langsung
maupun tidak langsung.
Disamping itu, didasari juga bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karenanya diharapkan kepada semua pihak untuk dapat
memberikan kontribusi pemikiran demi perbaikan skripsi ini. Kepada Allah SWT
kita memohon ampunannya, dan kepada manusia kita memohon kemaafannya.
Semoga amal kebaikan kita dinilai seimbang oleh Allah SWT
Jambi, Juli 2019
Penulis
Al Qodri
SPM.141888
x
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... ii
PESETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .............................................................. iv
MOTTO ......................................................................................................... v
PERSEMBAHAN .......................................................................................... vi
ABSTRAK ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 5
C. Batasan Masalah ............................................................................... 5
D. Tujuan Penelitian .............................................................................. 6
E. Kegunaan Penelitian ......................................................................... 6
F. Kerangka Teori ................................................................................. 7
G. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 18
H. Metode Penelitian ............................................................................. 22
I. Sistematika Penulisan ....................................................................... 28
BAB II BIOGRAFI IMAM MAZHAB
A. Imam Abu Hanifah Annu‟man ......................................................... 30
B. Imam Malik Bin Anas ....................................................................... 34
C. Imam Asy-Syafi‟i .............................................................................. 35
D. Imam Ahmad Bin Hambal ................................................................ 36
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG SHOLAT JUM’AT
A. Pengertian Shalat Jum‟at ................................................................... 39
B. Hukum Shalat Jum‟at ........................................................................ 40
C. Waktu Shalat Jum‟at ......................................................................... 41
xi
xi
D. Kapan Wajib Bersegera Menuju Shalat Jum‟at ................................. 43
E. Dalil Tentang Shalat Jum‟at............................................................... 44
F. Keutamaan Shalat Jum‟at dan Ancaman Bagi Yang
Meninggalkannya ............................................................................... 46
G. Tempat Yang Dilarang Melaksanakan Shalat Jum‟at ........................ 47
H. Berada di Suatu Negeri (Pusat Kota) ................................................. 48
BAB IV PEMBAHASAN
A. Shalat Jum‟at di Tanah Lapang.......................................................... 50
B. Analisis Hukum Shalat Jum‟at Selain di Masjid di Tinjau
dari Fiqh Empat Mazhab .................................................................... 53
C. Analisis Fatwa MUI No. 53 Tahun 2016 Tentang Pelaksanaan
Shalat Jum‟at di Tempat Selain Masjid ............................................. 60
D. Analisa Penulis Terhadap Shalat Jum‟at Selain di Masjid ................ 65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 68
B. Saran ................................................................................................. 69
C. Penutup ............................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA
CURRICULUM VITAE
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibadah shalat merupakan salah satu media komunikasi antara manusia
dengan Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Di samping itu shalat merupakan rukun
Islam yang kedua dan merupakan bentuk amaliah ibadah seorang hamba kepada
khaliknya untuk mendekatkan diri.1 Dalam agama Islam shalat menempati
kedudukan tertinggi dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lainnya, karena
shalat merupakan kewajban bagi setiap orang yang beriman, sebagaimana dalam
Al-Quran surat An-Nisa ayat 103 sebagai berikut;
لة فاذكروا اللو قياما وق عودا وعلى جنوبكم فإذا اطمأننتم فأقيموا الصلة فإذا قضيتم الصلة كانت على المؤمنني كتابا موقوتا إن الص
Artinya: ”Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di
waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila
kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana
biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman.”2
Dari ayat di atas menjelaskan bahwa hukum shalat bagi umat Islam adalah
wajib, ini menunjukkan bahwa hamba tersebut merupakan hamba yang beriman
kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Shalat sebagai tiang agama, artinya
seseorang yang mendirikan shalat telah membangun fondasi agama; sebaliknya,
seseorang yang meninggalkan shalat berarti meruntuhkan dasar bangunan agama.
Hal ini sekaligus memberikan pengertian pada umat Islam bahwa yang
1Ahmad Sarwat, Fiqih Perbedaan, (Jakarta: PT Gramedia, 2011), hlm. 34
2Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemah, 1982, (An-
Nisa: 103), hlm. 95
1
2
menegakkan dan meruntuhkan agama itu bukan umat yang lain akan tetapi
tergantung pada umat Islam itu sendiri.3 Dalam sebuah hadis diterangkan bahwa
yang pertama-tama dihisab oleh Allah swt. Dari amal seorang hamba pada hari
kiamat adalah shalatnya; jika shalatnya baik, maka baiklah seluruh amalnya.
Sebaliknya, jika shalatnya rusak, maka ia akan merugi dan sia-sialah seluruh
amalnya. Dari „Abdullah bin Mas‟ud radhiyallahu „anhu, Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda,
ل ما لة، وأو ل ما ياسب بو العبد الص ماء أو )رواه النسائي( ي قضى ب ني الناس ف الدArtinya: “Perkara yang pertama kali dihisab adalah shalat. Sedangkan yang
diputuskan pertama kali di antara manusia adalah (yang berkaitan
dengan) darah.” (HR. An-Nasa‟i).”4
Itu artinya amal seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat
adalah shalat. Sedangkan yang pertama kali diputuskan berkaitan dengan perkara
yang terjadi di antara sesama manusia adalah darah. Shalat adalah hubungan
antara manusia dengan Rabb-nya. Sedangkan darah berkaitan dengan masalah
yang terjadi antara sesama manusia.
Lebih dari itu, apabila dilihat dari kacamata hukum Islam, semua jenis
ibadah termasuk shalat adalah memiliki syarat dan rukun dalam pelaksanaannya,
sehingga pemenuhan terhadap syarat dan rukun tersebut yang nantinya akan
menentukan sah dan tidaknya ibadah seseorang. Adapun mengenai syarat sahnya
shalat, yaitu terdiri dari 11 syarat yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu:
mengetahui masuknya waktu shalat, suci dari hadas besar dankecil, suci dari najis,
3Mazdar Amir, Fiqih Praktis Empat Mazhab, (Jakarta: QafNediaKreativia,
2017), hlm.206 4 An nasa‟i. No. 466
3
menutup aurat, menghadap kiblat, niat, tartib, bersegera, tidak berbicara,
meninggalkan perbuatan yang membatalkan shalat dan tidak makan dan minum.
Adapun rukun-rukun shalat adalah terdiri dari; niat, takbiratul ihram, berdiri jika
mampu, membaca fatihah, rukuk, iktidal, sujud, duduk diantara duas ujud, duduk
tasyahud akhir, membaca tasyahud akhir, tumakninah dalam semua rukun dan
salam yang pertama.
Kesepakatan para ulama dalam menentukan syarat dan rukun-rukun shalat
ini apabila ditilik lebih jauh lagi, ternyata mereka masih berbeda pendapat ketika
menentukan bagaimana seharusnya syarat dan rukun-rukun tersebut dilaksanakan
dalam shalat. Salah satunya dalam shalat jumat, hukum melaksanakan shalat
jumat adalah fardu „ain yang mana Allah berfirman dalam Al-Quran dalam surat
Al-Jumu‟ah ayat 9 sebagai berikut:
Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.5
Dari ayat di atas dapat dicermati bahwa, shalat jumat atas muslim yang
berakal sehat, baligh, berkelamin laki-laki merdeka, bermukmin serta tidak
berhalangan maka hukumnya wajib. Sedangkan shalat jumat tidak diwajibkan atas
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemah, 1982, (Al-
Jumu‟ah: 9)
4
orang kafir, orang gila, budak, serta musafir yang melakukan perjalanan
sekurangnya 89 km yang merupakan jarak minimal diperbolehkannya qashar.
Menurut mazhab Maliki dan Syafi‟i menetapkan shalat jumat tidak
dianggap sah kecuali dilaksanakan di masjid. Sedangkan mazhab Hanafi dan
Hambali berpendapat shalat jumat boleh dilaksanakan di mana pun. Adapun
perbedaan dalam jumlah minimal jamaah yang mengikuti shalat jumat, menurut
mazhab Hanafi bahwa shalat jumat minimal diikuti oleh seorang makmum dan
seorang imam, mazhab Maliki berpendapat minimal dihadiri oleh seorang imam
dan dua belas makmum, sedangkan mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa dalam
melaksanakan shalat jumat harus mencapai empat puluh orang.
Dewasa ini, praktek keagamaan yang berkembang terkadang terasa janggal
dan diluar kebiasaan. Misalnya masalah sholat Jum‟at yang telah berkembang,
dimana sholat Jum‟at tidak hanya dilakukan di masjid saja, tetapi di pasar,
perkantoran, kampus, sekolah, atau tempat lain selain masjid. Pendapat apakah
yang mereka ambil dan atas dasar apa melakukan itu? Memang kini banyak
perusahan atau lembaga pendidikan yang dengan alasan efisiensi waktu dan
tenaga, melarang untuk berjamaah di Masjid Jami‟ lalu sebagai jalan keluarnya
menyulap halaman besar, ballroom atau tempat parkir untuk dijadikan sholat
Jum‟at di kalangan tersebut6
Oleh karenanya, dari penjelasan di atas diketahui bahwa persoalan dalam
pelaksanaan shalat jumat memiliki perbedaan antara keempat mazhab di atas,
6 Rahmat Hidayatullah, Talfiq dan Sholat Juma‟at di Selain Masjid, dalam
http://hitamkelam-budaksundaoke.blogspot.co.id/2011/05/talfiq-sholat-jumaat-di-
selainmasjid.html (Diakses pada tanggal 18 Mei 2011).
5
dimana perbedaan ini dijadikan khazanah keilmuan bukan semata untuk
diperselisihkan. Bertitik tolak dari tata cara pelaksanaan shalat jum‟at yang
memiliki perbedaan dalam pelaksanaanya menurut empat mazhab maka perlu
dilakukan pengkajian lebih dalam, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi
dengan judul: “Hukum Shalat Jum’at Selain Di Masjid Ditinjau Dari Fiqih
Empat Mazhab dan Fatwa MUI No. 53 Tahun 2016”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, dalam upaya
mengkonkretkan pokok masalah tersebut, beberapa masalah krusial yang akan
diangkat melalui karya ini adalah:
1. Bagaimana hukum Sholat Jumat di tempat selain masjid menurut Fiqh
Empat Madzhab?
2. Bagaimana hukum sholat Jumat di tempat selain masjid menurut Fatwa
MUI Nomor 53 Tahun 2016?
3. Bagaimana Analisa Penulis Terhadap Shalat Jum‟at Selain Di masjid?
C. Batasan Masalah
Untuk menghindari adanya perluasan masalah yang dibahas yang
menyebabkan pembahasan menjadi tidak konsisten dengan rumusan masalah yang
telah penulis buat sebelumnya, untuk itu penulis memberikan batasan masalah
dalam penelitian ini yaitu :
6
1. Mengenai hukum Sholat Jumat di tempat selain masjid menurut Fiqh
Empat Madzhab dan Fatwa MUI No. 53 Tahun 2016.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian yang telah dipaparkan peneliti diatas, maka
tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan hukum Sholat Jumat di tempat selain masjid
menurut Fiqh Empat Madzhab.
2. Untuk mendeskripsikan hukum sholat Jumat di tempat selain masjid
menurut Fatwa MUI Nomor 53 Tahun 2016.
3. Untuk mengetahui dasar hukum mengenai Shalat Jum‟at selain di
Masjid.
E. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
a. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman
dalam mengadakan penelitian selanjutnya.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
a. Bagi Masyarakat
Sebagai informasi agar lebih berhati-hati dalam melaksanakan
sholat Jumat di selain masjid.
7
b. Bagi Peneliti
Penelitian ini sangat penting untuk memperoleh informasi tentang
hukum sholat Jumat di selain masjid menurut Fiqh Empat
Madzhab dan Fatwa MUI Nomor 53 Tahun 2016. Selain daripada
itu, penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan
studi strata satu (S1).
F. Kerangka Teori
1. Pengertian Shalat Jum’at
Shalat Jum‟at merupakan salah satu bentuk dari amal shaleh yang
merupakan kewajiban untuk dilaksanakan bagi setiap muslim apabila tidak ada
udzur dan memenuhi syarat untuk terselenggaranya jamaah shalat Jum‟at.7 Salah
satu kegiatan yang berkesinambungan yang di selenggarakan di masjid-masjid
dalam rangka pembinaan umat Islam adalah shalat Jum‟at yang di pimpin oleh
imam dan khatib, hari Jum‟at bagi umat Islam merupakan hari yang mulia
(Sayyidul Ayyam). Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
R.a. Rasulullah S.a.w dengan tegas menjelaskan bahwa hari yang paling baik
ialah hari Jum‟at. Shalat Jum‟at itu fardu ain bagi setiap orang muslim yang tidak
udzur atau berhalangan maupun sakit. Dasar kewajiban melaksanakan
shalatJum‟at adalah sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Jumu‟ah : 9:
7Ghazali IhyaUllumuddin,(Jakarta: PT Gramedia, 2008), hlm. 11
8
Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”8
Dalam ayat ini, Allah SWT menggunakan lafadz Amr (perintah) yaitu
untuk segera menunaikan shalat Jum‟at. Lafadz perintah dalam usul fiqh
menunjukkan kepada hukum wajib. Hal ini diperkuat lagi dengan larangan Allah
SWT untuk melakukan aktivitas apapun jika waktu shalat Jum‟at sudah
masuk, seperti segeralah meninggalkan jual beli sebagaimana tercantum dalam
ayat tersebut. Shalat jum'at adalah wajib bagi setiap orang yang beriman. Ketika
telah sampai waktu untuk menunaikan ibadah shalat jum‟at maka janganlah kita
menunda-nunda shalat jum'at. Kata “ingatlah” bermakna agar kita meninggalkan
seluruh kegiatan keduniawian.9 seperti menuntut ilmu, bekerja termasuk jual beli
dan lainya agar kita segera melaksanakan shalat jum'at. Dikuatkan lagi dengan
sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam.
و المعة حق واجب على كل مسلم ف جاعة إال أرب عة عبد ملوك أو امرأة أو صب أ مريض
8 Departemen agama Republik Indonesi. Al-qurand an Terjermah, 1982, Al-
Jumu‟ah 9. 9Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fiqih Shalat Empat Mazhab,(Jakarta: HikamPustaka,
2009), hlm. 19
9
Artinya: “(Shalat) Jum‟at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam
jama‟ah kecuali bagi empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak
kecil dan orang yang sakit.” (HR. Abu Daud)10
Begitu pula disebutkan dalam sabda lainnya,
قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: من ترك جعة من غري عذر فليتصدق بدينار فإن مل )رواه النسائي( جيد فبنصف دينار
Artinya: Rasulullah Shalallahu „Alaihi Wa sallam bersabda : “ Barangsiapa yang
meninggalkan shalat jum‟at tanpa ada udzur (alasan yang dibenarkan),
hendaklah dia bersedekah dengan satu dinar, jika dia tidak bisa maka dengan
setengah dinar. 11
Dan (atas dasar dalil diatas) telah diadakan Ijma‟ bahwa shalat jum‟at itu
hukumnya fardhu „ain.
2. Syarat-Syarat Shalat Jum'at
Syarat sholat Jum‟at sama dengan syarat sholat Dzuhur dan sholat-sholat
lainnya, akan tetapi pada sholat Jum‟at ada beberapa syarat tambahan. Masing-
masing imam madzhab mempunyai pendapat yang berbeda.12
Menurut Hanafiyah, syarat-syarat Jum‟at yang tidak termasuk dalam
syarat-syarat sholat lainnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu syarat wajib
dan syarat sah. Syarat wajib menurut mereka ada enam, diantaranya yaitu:13
a. Laki-laki, maka sholat Jum‟at tidak wajib bagi wanita.
10
Abu Dawud, Terjemah Sunan Abi Dawud, alih bahasa H. Bey Arifin
(Semarang : CV . Asy Syifa, 1992). Hlm 19. 11
HR. Nasa‟i, Sunan Nasa‟i, No. 1355, dalam lidwa pusaka i-Software – Kitab 9
Imam Hadist. 12
Ibid. Hlm 9. 13
Ibid. Hlm 9.
10
b. Merdeka, maka sholat Jum‟at tidak wajib bagi hamba.
c. Sehat, maka sholat Jum‟at tidak wajib atas orang yang tengah sakit
dan tidak dapat menghadiri sholat Jum‟at dengan jalan kaki. Jika
tidak dapat jalan kaki menuju sholat Jum‟at maka kewajiban itu
gugur baginya.
d. Bermukim di daerah tempat didirikannya sholat Jum‟at atau dekat
dengannya. e. Berakal, maka sholat Jum‟at tidak wajib bagi orang
gila dan yang sama hukumnya dengan orang gila.
e. Baligh, maka sholat Jum‟at tidak wajib bagi anak kecil yang belum
mencapai usia baligh.
Sedangkan syarat sahnya sholat Jum‟at ada 7,14
diantaranya yaitu:
a. Di dalam kota, maka sholat Jum‟at tidak diwajibkan atas orang
yang tinggal di desa.
b. Ada izin dari penguasa (pemimpin) atau wakilnya yang
dipercayakan.
c. Masuk waktu, maka sholat Jum‟at tidak sah kecuali apabila waktu
Dzuhur telah masuk.
d. Berkhutbah.
e. Khutbah dilakukan sebelum sholat Jum‟at.
f. Berjama‟ah, maka sholat Jum‟at tidak sah apabila dilaksanakan
sendirian.
14
Ibid. Hlm 10.
11
g. Diperkenankan untuk masyarakat umum oleh imam (penguasa),
maka sholat Jum‟at tidak sah dilaksanakan di suatu tempat yang
sebagian orangnya dilarang memasuki daerah tersebut. Sholat
Jum‟at juga sah dilaksanakan di tanah lapang dengan dua syarat:
1. Mendapat izin dari imam (penguasa).
2. Tanah lapang tersebut tidak jauh dari kota dengan jarak
lebih dari satu farsakh (3 mil) dan hendaklah antara tanah
lapang dengan kota itu terhubung, misalnya terdapat tempat
yang disediakan untuk pacuan kuda atau untuk mengubur
mayat.
Malikiyah berpendapat bahwa sholat Jum‟at itu dibagi menjadi dua bagian
yaitu syarat wajib dan syarat sah. Adapun syarat wajibnya sholat Jum‟at sama
seperti syarat wajibnya sholat yang lain, namun ada beberapa hal yang
ditambahkan, yaitu:15
a. Laki-laki, maka sholat Jum‟at tidak diwajibkan kepada wanita.
b. Merdeka, maka sholat Jum‟at tidak diwajibkan kepada hamba.
c. Tidak ada udzur yang membolehkan untuk meninggalkan sholat
Jum‟at. Maka sholat Jum‟at itu gugur dari kewajiban seseorang
yang tidak bisa pergi dengan cara berkendara atau digotong.
15
Ibid. Hlm 13.
12
d. Orang tersebut dapat melihat, maka sholat Jum‟at tidak wajib atas
orang yang buta bila ia tidak dapat hadir sendirian, atau ia tidak
mendapatkan orang yang dapat menuntunnya.
e. Bukan seseorang yang tua bangka yang sulit untuk menghadiri
sholat Jum‟at.
f. Ia tidak khawatir ada seorang dzalim memenjarakannya atau
memukulnya dengan aniaya. Sedang apabila ia memang berhak
memperoleh itu, maka kewajiban sholat Jum‟at itu tidak gugur.
g. Bukan pada waktu panas membakar atau dingin mencekam.
h. Ia tidak mengkhawatirkan hartanya, kehormatannya, atau jiwanya.
Dalam hal harta disyaratkan hilangnya itu dapat melenyapkan
seluruh harta.
i. Ia bermukim di suatu kota yang disana didirikan sholat Jum‟at,
atau bermukim di suatu desa atau kemah yang jauhnya dari kota itu
berjarak 3 1/3 mil.
j. Hendaknya ia berada di negeri tempat tinggalnya. Jika sejumlah
orang singgah di suatu tempat dan berniat untuk bermukim di
tempat itu selama satu bulan misalnya, dan mereka hendak
mendirikan sholat Jum‟at di tempat itu maka sholat Jum‟at itu tidak
wajib bagi mereka dan tidak sah.
13
Sedangkan syarat-syarat sholat Jum‟at ada lima perkara, yaitu:16
a. Tinggal di suatu kota atau daerah dimana ia hidup di kota
tersebut selamanya dalam keadaan aman dari orang-orang
pendatang yang dapat menguasai.
b. Dihadiri oleh 12 orang selain imam, dan tidak harus dihadiri
oleh seluruh penduduk kota itu, sekalipun hanya pada awal sholat
Jum‟at berdasarkan pendapat yang shohih. Memang mereka
disyaratkan ada dalam kota tersebut atau tempat yang dekat dengan
kota itu sehingga memungkinkan untuk diminta bantuannya setiap
Jum‟at.
c. Imam. Mengenai imam ada dua syarat yang harus dipenuhi,
yaitu:
1) Imam tersebut seorang yang mukim atau musafir yang
berniat mukim selama empat hari.
2) Yang menjadi imam adalah orang yang menjadi khatib.
Jika yang mengimami mereka bukan yang menjadi khatib
Jum‟at, maka sholat tersebut hukumnya batal kecuali
apabila ada suatu halangan bagi khatib yang
memperbolehkan untuk mengundurkan diri, seperti
hidungnya berdarah atau wudhunya batal, maka yang
demikian tersebut sah. Atau ada orang lain yang
menggantikannya bila udzurnya tidak dapat ditunggu dalam
16
Ibid. Hlm 15.
14
waktu dekat. Jika dapat ditunggu, maka wajib ditunggu.
Batas waktu dekat yang dimaksud adalah selama kurang
lebih dua rakaat pertama sholat Isya‟ termasuk bacaannya.
d. Dua khutbah.
e. Di masjid Jami‟, maka sholat Jum‟at tidak sah dilaksanakan di
rumah-rumah atau di tanah lapang. Untuk masjid Jami‟ ada empat
syarat, yaitu:
1) Masjid tersebut dibangun, maka sholat Jum‟at tidak sah
dilaksanakan di masjid yang sekelilingnya batu-batu atau
batu bata tanpa dibangun.
2) Minimal bangunan itu sama dengan bangunan yang
biasa dipakai oleh penduduk kota. Jika orang kota
menggunakan bangunan masjid yang
terbuat dari kayu, maka masjid itu sah dibangun dengan
bambu.
3) Masjid Jami‟ itu berada di dalam kota atau dekat
dengannya, dimana asap kota tempat didirikan sholat
Jum‟at itu bisa sampai ke tempat orang yang mukim tadi.
4) Masjid Jami‟ itu satu. Jika dalam sebuah kota terdapat
banyak masjid, maka tidak sah kecuali di masjid Jami‟ yang
tertua.
15
Ulama dari golongan Syafi‟iyah juga berpendapat bahwa syarat-syarat
sholat Jum‟at itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu syarat wajib dan syarat sah.17
Adapun syarat-syarat wajibnya yang ditambahkan kepada ketentuan syarat yang
telah dikemukakan terdahulu dalam syarat-syarat wajib sholat antara lain adalah
syarat-syarat yang telah disebutkan oleh Malikiyah hingga syarat yang kesepuluh.
Sebagian dari Syafi‟iyah sepakat dengan Malikiyah, bahwa sholat Jum‟at tidak
diwajibkan atas orang yang sakit, orang yang tidak mampu dan orang yang buta
kecuali dengan beberapa syarat yang telah disebutkan oleh Malikiyah dalam
syarat wajib sholat Jum‟at.18
Dan diantara syarat-syarat wajib sholat Jum‟at menurut pendapat
Syafi‟iyah adalah bermukim di tempat dilaksanakannya sholat Jum‟at atau di
tempat yang dekat dengannya sebagaimana dikatakan oleh imam-imam madzhab
lainnya. Hanya saja dalam hal ini, Syafi‟iyah mensyaratkan bagi orang yang
bermukim di tempat yang dekat dengan tempat didirikannya sholat Jum‟at
hendaklah dapat mendengar adzan atau seruan sholat.19
Dalam syarat wajibnya sholat Jum‟at tidak disyaratkan istithan (bermukim
di suatu negeri untuk selamanya) sehingga mereka tidak berpindah-pindah lagi
dari tempat tersebut pada musim panas atau dingin kecuali karena suatu
kepentingan seperti biasa bagi penduduk asli suatu negeri. Melainkan istithan
yang dimaksud tidak lain adalah syarat untuk mendirikan sholat Jum‟at.20
17
Ibid. Hlm 16. 18
Ibid. 19
Ibid. Hlm 17. 20
Ibid. Hlm 18.
16
Diantara syarat wajib sholat Jum‟at lainnya adalah mukim, maka sholat
Jum‟at tidak diwajibkan kepada musafir, kecuali apabila musafir itu berniat
mukim selama empat hari di negeri tempat didirikan sholat Jum‟at
tersebut.Adapun syarat sahnya sholat Jum‟at menurut Syafi‟iyah ada enam
perkara, yaitu:21
a. Keseluruhan sholat Jum‟at dan kedua khutbahnya jatuh pada waktu
Dzuhur dengan yakin.
b. Dilaksanakan dalam suatu bangunan yang luas (memadai), baik
bangunan tersebut di desa, kota, kampung, gua dalam gunung, atau
pun di bangunan bawah tanah. Maka sholat Jum‟at itu tidak sah
dilaksanakan di padang pasir.
c. Sholat Jum‟at dilaksanakan secara berjamaah.
d. Jumlah jamaahnya mencapai empat puluh orang.
e. Sholat Jum‟at hendaklah dilakukan terlebih dahulu daripada sholat
lainnya di tempat sholat Jum‟at tersebut dilaksanakan.
f. Mendahulukan dua khutbah lengkap dengan syarat dan rukunnya.
Hanabilah berpendapat bahwa syarat-syarat sholat Jum‟at yang ditambahkan
kepada syarat sholat dapat diklasifikasikan menjadi syarat wajib dan syarat sah.
Adapun syarat wajibnya yang ditambahkan kepada syarat sholat telah
dikemukakan pada pembahasan terdahulu, sebagian berupa syarat-syarat yang
21
Ibid. Hlm 18.
17
telah disebutkan oleh Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanafiyah. Diantaranya
adalah:22
a. Merdeka, maka sholat Jum‟at tidak wajib atas seorang hamba.
b. Laki-laki, maka sholat Jum‟at tidak diwajibkan kepada wanita.
c. Tidak ada udzur yang membolehkan untuk meninggalkan sholat
Jum‟at. Maka sholat Jum‟at itu tidak diwajibkan kepada orang sakit
yang dapat berbahaya bila pergi menghadiri sholat Jum‟at, baik
dengan berkendaraan atau digotong. Sedang apabila ia mampu
walaupun dengan membayar upah yang tidak sampai sampai
menghabiskan hartanya, maka sholat Jum‟at itu wajib baginya.
Yang semisal dengan orang sakit adalah orang yang lumpuh.
d. Hendaklah orang itu dapat melihat. Maka sholat Jum‟at itu tidak
diwajibkan kepada orang buta sekalipun ia mendapatkan orang lain
yang dapat menuntunnya, kecuali apabila memungkinkan baginya
untuk berpegang pada tali yang bersambung ke masjid tempat
melaksanakan sholat Jum‟at.
e. Bukan pada waktu panas membakar atau dingin mencekam, atau
pada waktu hujan deras dan tanah sangat berlumpur.
f. Tidak takut dipenjarakan dan lain sebagainya karena didzalimi,
bukan karena ia sendiri dzalim.
22
Ibid. Hlm 19.
18
g. Tidak khawatir akan kehilangan harta, atau mengkhawatirkan
kehormatannya atau jiwanya, dan disyaratkan hilangnya harta itu
dapat menghabiskan seluruhnya.
h. Sholat Jum‟at itu didirikan di sebuah gedung (bangunan) yang
meliputi sebuah nama, misalnya Mesir. Maka setiap orang yang
tinggal di kota Mesir itu wajib melaksanakan sholat Jum‟at
sekalipun jarak antara mereka dan tempat mendirikan sholat Jum‟at
itu berfarsakh-farsakh, karena tempat itu adalah satu kota yang
mempunyai satu nama.
G. Tinjauan Pustaka
Terdapat penelitian yang memiliki kesamaan tema dengan penelitian yang
peneliti lakukan, yaitu;
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Muhamad Faizun mahasiswa
Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syari‟ah Dan Hukum Uin Sunan Kalijaga
Yogyakarta angkatan tahun 2016, dengan judul “Salat Menggunakan Bahasa
Terjemahan Studi Komparasi Pemikiran Imam Abû Ḥanîfah Dan Imam As
Syafi‟i”.23
Penelitian ini berfokus pada hukum salat menggunakan bahasa
terjemahan menurut hukum Islam, khususnya menurut pandangan Imam Abû
Ḥanîfah dan Imam asy-Syâfi‟î.Jenis penelitian ini adalah library reseacrh, yaitu
penelitian yang mengambil dan mengolah data yang bersumber dari buku-buku
atau kitab fikih. Kitab Badâi‟ aṣ-Ṣanâi‟ fî Tartîb asy-Syarâi‟, al-Umm, At-Tahżîb
23
Muhamad Faizun, “Salat Menggunakan Bahasa Terjemahan Studi Komparasi
Pemikiran Imam Abû Ḥanîfah Dan Imam”, Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas
Syari‟ah Dan Hukum Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014, hlm. 4
19
fî Fiqh al-Imâm asy-Syafi‟i, dan al-Majmû‟ Syarh al-Muhażżab sebagai rujukan
utama. Adapun pendekatan yang digunakan adalah uṣûl al-fiqh dengan
menggunakan teori ta‟abbudî dan ta‟aqqulî, serta teori ṭarîqah lafẓiyyah
lugawiyyah dan ṭarîqah lafẓiyyah ma‟nawiyyah yang merupakan salah satu teori
atau metodologi yang ada dalam ilmu uṣûl al-fiqh. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif yang analisis datanya menggunakan metode analisis data
deskriptif non statistik, yaitu menggambarkan atau menguraikan suatu masalah.
Berdasarkan kepada hasil penelitian, persamaan pemikiran Imam Abû
Ḥanîfah dan Imam Asy-Syâfi‟î tentang salat menggunakan bahasa terjemahan
adalah sama-sama memperbolehkannya. Adapun pemahaman dalil tentang salat
menggunakan bahasa terjemahan antara Imam Abû Ḥanîfah dan Imam
Asy-Syâfi‟î adalah berbeda. Imam Abû Ḥanîfah secara konstekstual dalam
memahami Al-Quran ataupun Hadis sebagai pijakan, ia memperbolehkan salat
menggunakan bahasa terjemahan yaitu dengan melakukan penalaran lebih jauh
dan rasional terhadap kandungan nas. Sedangkan Imam Asy-Syâfi‟î yang sangat
tekstual, ia menetapkan ketidak hujahan salat menggunakan bahasa terjemahan
kecuali ada uzur atau darurat yang tidak menghendaki demikian karena mengikuti
apa adanya terhadap ketentuan nas yang terdapat dalam al-Quran dan Hadis.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Ari Setiawan, mahasiswa Fakultas
Syari‟ah Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibraim Malang angkatan tahun 2004, dengan judul “Aktivitas Shalat Jum‟at
Bagi Tersangka Muslim Di Polresta Malang Perspektif Fiqih Dan
20
Ham”.24
Penelitian ini berfokus pada ibadah para tersangka di dalama tahanan
Polresta Malang, yang bertujuan mutlak untuk menggali lebih dalam tentang
metode pengambilan hukum islam secara mahdloh, sehingga dapat memberikan
solusi terhadap problematika tersebut. Obyek dalam penelitian ini adalah lembaga
kepolisian POLRESTA Malang. Adapun metode pendekatan yang digunakan
penulis dalam penelitian ini adalah metode observasi; metode dokumentasi; dan
metode interview. Hasil penelitian ini memperoleh gambaran bahwa para
tersangka mendapatkan hak-haknya walaupun mereka berada di dalam tahanan,
akan tetapi terdapat batasan-batasan dalam hal beribadah khususnya pada
pelaksanaan shalat jum‟at yang mana para tersangka dibolehkan mengikuti
shalat jum‟at di dalam tahanan dengan difasilitasi media (CCTV) sebagai acuan
dalam shalat jum‟at. Di dalam syariat Islam tidak dijumpai adanya hukum yang
melarang model berjama‟ah melalui media televisi, dan bahkan dalam konsep
syariat tentang shalat terdapat juga sebuah rukhsah (keringanan) yang berfungsi
ketika dalam kondisi musaqqah.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Firdaus mahasiswa Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru pada
tahun 2012, dengan judul “Shalat Jum‟at Di Desa Ranah Singkuang Kecamatan
Kampar (Studi Kasus Terhadap Masyarakat Penyadap Karet Dan
Buruh)”.25
Penelitian ini berfokus pada menggambarkan pemahaman tentang
24
Ari Setiawan, “Aktivitas Shalat Jum‟at Bagi Tersangka Muslim Di Polresta
Malang Perspektif Fiqih Dan Ham “, Fakultas Syari‟ah Jurusan Al-Ahwal Al-
Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibraim Malang, 2004, hlm. 4 25
Firdaus, “Shalat Jum‟at Di Desa Ranah Singkuang Kecamatan Kampar (Studi
Kasus Terhadap Masyarakat Penyadap Karet Dan Buruh)”, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru, 2012, hlm. 4
21
shalat Jum‟at dikalangan masyarakat penyadap karet dan buruh di Desa Ranah
Singkuang kecamatan Kampar kabupaten Kampar. Dari penelitian ini dapat
dilihat bahwa dalam masyarakat Ranah Singkuang khususnya, ada yang
melaksanakan shalat Jum‟at, akan tetapi mereka tidak paham atas apa yang
mereka kerjakan. Mereka kurang memahami persoalan tentang shalat Jum‟at
antara lain masyarakat buruh, sedangkan masyarakat pedagang mereka paham
tentang shalat Jum‟at akan tetapi ada diantara mereka yang tidak
melaksanakannya.
Dari beberapa contoh hasil penelitian di atas, maka dapat digambarkan
beberapa persamaan dan perbedaannya. Persamaan skripsi ini dengan hasil-hasil
penelitian sebelumnya adalah pada salah satu variabel yang digunakan dalam
membahas pokok permasalahan, yaitu variabel shalat jumat. Sedangkan,
perbedaan antara skripsi ini dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya adalah pada
kaitan pembahasan mengenai Problematika shalat jumat di tinjau dari perspektif
imam mazhab itu sendiri. Pada proposal skripsi ini kajian lebih difokuskan untuk
menjelaskan secara deskriptif mengenai pandangan imam mazham terkait
pelaksanaan shalat jum‟at.
Adanya persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam skripsi ini dengan
hasil-hasil penelitian sebelumnya tentu membawa konsekuensi pada hasil
penelitian yang diperolehnya. Bila pada hasil-hasil penelitian sebelumnya
ditujukan untuk memperoleh gambaran/deskriptif variabel itu sendiri (shalat
jum‟at), maka pada penelitian ini diharapkan untuk menghasilkan gambaran
22
tentang persamaan dan perbedaan pandangan empat mazhab tentang pelaksanaan
shalat jum‟at.
H. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif yaitu
untuk mengetahui atau menggambarkan kenyataan dari kejadian yang diteliti.
Sehingga memudahkan penulis untuk mendapatkan data yang objektif dalam
rangka mengetahui Problematika Shalat Jum‟at Ditinjau Dari Perpspektif
Imam Mazhab. Dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada
generalisasi.26
2. Sumber dan Jenis Data
Sumber data dalam skripsi ini adalah dokumentasi. Menurut Martinis,
“Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan
sebagainya.”.27
Itu artinya dokumentasi berupa data dalam bentuk literature,
pustaka lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.28
Dalam hal ini penulis
akan menggunakan beberapa buku yang dijadikan rujukan dalam penyelesaian
26
Umar, Metode Penelitian Untuk Sekripsi dan Tesis Bisnis, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011), hlm.22 27
Martinis Yamin, Metodologi Penelitian Pendidikan Dan Sosial Kualitatif Dan
Kuantitatif, (Jakarta: Komplek Kejaksaan Agung, Cipaayung, 2009), hlm. 219 28
Tim Penyusun, Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas
Ushuludin Iain Sts Jambi (Jambi: Fakultas Ushuludin Institute Agama Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2015), hlm. 59
23
skripsi ini. Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder.
Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri atau
dirinya sendiri. Ini adalah data yang belum pernah dikumpulkan sebelumnya, baik
dengan cara tertentu atau pada periode waktu tertentu.29
Penelitian ini termasuk
jenis penelitian kepustakaan (library research). Sehingga penelitian ini berupaya
melakukan pengkajian dan penelaahan terhadap literatur yang tekait dengan tema
yang penulis angkat, yakni Problematika Shalat Jum‟at Ditinjau Dari
Perpspektif Imam Mazhab, untuk itu buku yang digunakan sebagai data primer
yaitu dari buku karya Mazdar Amir dengan judul Fiqih Praktis Empat Mazhab.
Abdul Qadir Ar-Rahbawi dengan judul Fiqih Shalat Empat Mazhab, Hidayatullah
Husain Al-Habsyi dengan judul Shalat Dalam Mazhab Ahlul Bait.
b. Data skunder
Data skunder yaitu sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, misalnya melalui orang lain, dokumentasi, literature, pustaka
lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.30
Penulis dapat memperoleh data
melalui data sekunder misalnya melalui orang lain, dokumentasi, literature,
pustaka lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu dari buku karya
Ahmad Sarwat dengan judul Fiqih Perbedaan,dan buku-buku lain yang memberi
informasi tentang Problematika Shalat Jum‟at Ditinjau Dari Perspektif Imam
Mazhab.
29
Martinis Yamin, Metodologi Penelitian Pendidikan Dan Sosial Kualitatif Dan
Kuantitatif,hlm. 79 30
Ibid., hlm. 81
24
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian kepustakaan, maka
untuk mendapatkan data peneliti melakukan pencarian, pengumpulan dan
dokumentasi melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan buku maupun literatur
yang relevan dengan pokok bahasan.31
Di dalam skripsi penulis menggunakan
tehnik pengumpulan bahan penelitian menggunakn dokumentasi. analisis
dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari arsip dan
dokumen baik terkait Problematika Shalat Jum‟at Ditinjau Dari Perspektif Imam
Mazhab. Nasution menyatakan dokumentasi adalah mengumpulkan data dengan
cara mengalir atau mengambil data-data dari catatan, dokumentasi, administrasi
yang sesuai dengan masalah yang diteliti.32
Dalam hal ini dokumentasi diperoleh
melalui dokumen-dokumen atau arsip-arsip dari lembaga yang di teliti.
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa sumber data berasal
dari literatur pustaka. Untuk itu langkah yang diambil adalah mencari literatur
yang ada hubungannya dengan pokok masalah, kemudian dibaca, dianalisa dan
disesuaikan dengan kebutuhan. Setelah itu diklasifikasikan sesuai dengan
kebutuhan dan menurut kelompoknya masing-masing secara sistematis, sehingga
mudah dalam memberikan penganalisaan. Adapun di dalam skripsi ini penulis
mengumpulkan data mengenai Problematika Shalat Jum‟at Ditinjau Dari
Perspektif Imam Mazhab.
31
Tim Penyusun, Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas
Ushuludin Iain Sts Jambi, hlm. 59 32
Nasution, Metodologi Research Penelitian Ilmia, (Jakarta: Bumi Aksara,
2003), hlm.143
25
4. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya
ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana
yang penting dan akan dipelajari dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan
kepada orang lain. Sedangkan jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah
Analisis Isi (Content Analysis) yang artinya suatu model yang dipakai untuk
meneliti dokumentasi data yang berupa teks, gambar, simbol, dan sebagainya.
Analisis Isi (Content Analysis) pada awalnya berkembang dalam bidang surat
kabar yang bersifat Kuantitatif . Ricard Budd, dalam bukunya Content Analysis In
Communication Research, mengemukakan, “Analisis adalah teknik sistematik
untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau suatu alat untuk
mengopservasi dan menganalisis perilaku komunikasi yang terbuka dari
komunikator yang dipilih.”33
Penelitian dengan metode Analisis Isi digunakan untuk memperoleh
keterangan dari komunikasi, yang disampaikan dalam bentuk lambang yang
terdokumentasi atau dapat didokumentasikan. Metode ini dapat dipakai untuk
menganalisa semua bentuk komunikasi, seperti pada surat kabar, buku, film dan
sebagainya. Dengan menggunakan metode Analisis Isi, maka akan diperoleh
suatu pemahaman terhadap berbagai isi pesan komunikasi yang disamapaikan
oleh media massa, atau dari sumber lain secara obyektif, sistematis, dan relevan.34
Menurut Sugiono “Analisis Isi bukan sekedar menjadikan isi pesan
sebagai obyeknya, melainkan lebih dari itu terkait dengan konsepsikonsepsi yang
33
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, 128. 34
Ibid, hlm. 128
26
lebih baru tentang gejala-gejala simbolik dalam dunia komunikasi...”. Sedangkan
untuk jenis penelitiannya, menggunakan analisis isi (Content Anayisis). Analisis
isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat
ditiru (repicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Sebagai
suatu teknik penelitian, analisis isi mencakup prosedur-prosedur khusus untuk
pemerosesan dalam data ilmiah dengan tujuan memberikan pengetahuan,
membuka wawasan baru dan menyajikan fakta. Selain itu digunakknya analisis isi
dalam penelitian ini untuk meneliti dokumen yang berupa Problematika, dengan
menggunakan analisis isi secara kualitatif terhadap Problematika Shalat Jum‟at
Ditinjau Dari Perspektif Imam Mazhab.
Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teknik analisis model
Miles and Huberman. Menurut Miles and Huberman di dalam buku Sugiyono
mengemukakan bahwa “Aktivitas analisis data kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya
sudah jenu...”.35
Aktivitas analisis data yaitu reduksi data, penyajian data, dan
mengambil kesimpulan lalu diverifikasi.
1. Reduksi Data
Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-
catatan atau data penelitian. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data dimulai
dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus,
menulis memo dan sebagainya dengan maksud menyisihkan data atau informasi
35
Ibid, hlm. 95
27
yang tidak relevan. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting. Adapun data yang direduksi
akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah penulis untuk
melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
Dalam penelitian ini, data diperoleh melalui buku, jurnal dan internet kemudian
data tersebut dirangkum, dan diseleksi sehingga akan memberikan gambaran yang
jelas kepada penulis.
2. Penyajian Data
Langkah selanjutnya setelah data direduksi adalah data display atau
menyajikan data. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif.
Penyajiannya juga dapat berbentuk matrik, diagram, tabel dan bagan. Penyajian
data juga dapat dilakukan dengan bentuk uraian singkat, bagan antara kategori dan
sejenisnya. Dalam hal ini Miles dan Huberman menyatakan “The most frequent
from of display data for qualitative research data in the past has been narrative
text...”.36
Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian
kualitatif adalah data teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data, maka
akan memudahkan penulis untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja
selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami, selain dengan teks yang naratif,
juga dapat berupa, grafik, matrik, nerwork (jejaring kerja) dan chart.
Dalam penulisan kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dengan bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya, tetapi yang paling
sering digunakan adalah teks yang bersifat naratif dan di dalam skripsi ini peneliti
36
Ibid, hlm. 249
28
menggunakan teks yang bersifat naratif. Penyajian data dilakukan dengan
mengelompokkan data sesuai dengan sub bab-nya masing-masing. Data yang
telah didapatkan dari hasil dokumentai, dari sumber tulisan maupun dari sumber
pustaka. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teks yang bersifat naratif.
3. Kesimpulan/Verifikasi
Langkah yang terakhir dilakukan dalam analisis data kualitatif adalah
penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara, dan akan berubah apabila tidak ditemukan bukti yang kuat
yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.37
Kesimpulan dalam
penulisan kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada.
Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya
kurang jelas sehingga menjadi jelas setelah diteliti.
Dari ketiga metode analisis data di atas penulis menyimpulkan bahwa,
ketiga metode ini yang meliputi reduksi data, penyajian data dan kesimpulan akan
penulis lakukan setelah semua data telah diperoleh melalui dokumentasi, dan juga
memudahkan penulis di dalam mengetahui dan menarik kesimpulan terkait
Problematika Shalat Jum‟at Ditinjau Dari Perspektif Imam Mazhab.
I. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dan mendapatkan gambaran yang jelas tentang
penulisan skripsi ini, penulis membaginya dalam lima bab sebagai berikut:
37
Ibid, hlm. 252
29
BAB I : Adalah pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,
perumusan masah, batasan masalah, tujuan penulisan skripsi, kerangka teori,
tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II : Biografi Imam (Hanafiyyah, Syafi‟iyyah, Malikiyah, Hambaliyah),
Pendidikan (Hanafiyyah, Syafi‟iyyah), Pengalaman (Hanafiyyah, Syafi‟iyyah,
Malikiyah, Hambaliyah), Wafatnya (Hanafiyyah, Syafi‟iyyah, Malikiyah,
Hambaliyah), Karya-karya (Hanafiyyah, Syafi‟iyyah, Malikiyah, Hambaliyah).
BAB III : Gambaran umum tentang Shalat Jum‟at. Pengertian, hukum. Tempat
pelaksanaan, serta tata cara pelaksanaan shalat jum‟at.
BAB IV : Pandangan Imam Mazhab tentang Hukum Shalat Jum‟at Selain Di
Masjid
BAB V : Adalah penutup yang berisi kesimpulan, saran-saran, dan penutup
30
BAB II
BIOGRAFI IMAM MAZHAB
A. Imam Abu Hanifah An-Nu’man
1. Kedudukan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah salah seorang imam yang empat dalam Islam. Ia lahir
dan meninggal lebih dahulu dari para imam-imam yang lain. Imam Abu Hanifah
seorang seorang yang berjiwa besar dalam arti kata seorang yang berhasil dalam
hidupnya, dia seorang yang bijak dalam bidang ilmu pengetahuan tepat dalam
memberikan sesuatu keputusan bagi sesuatu masalah atau peristiwa yang
dihadapi.
Imam Abu Hanifah terkenal sebagai seorang ahli dalam ilmu fiqh di negara
Irak, dan beliau juga sebagai ketua kelompok ahli pikir (ahlu- Ra‟yi). Ia dapat
penghargaan di masa itu.38
2. Masa Hidup Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah hidup di zaman pemerintah kerajaan Umawiyah dan
pemerintahan Abbasiyah. Ia lahir di sebuah desa di wilayah pemerintah Abdullah
bin Marwan dan beliau meninggal dunia pada masa khalifah Abu Ja‟far Al-
Mansur.
Ketika hidupnya ia dapat mengikuti bermacam-macam pertumbuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan baik di bidang ilmu politik maupun timbulnya
agama. Zaman ini memang terkenal sebagai zaman politik, agama dan ideologi-
ideologi atau isme-isme.
38
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam, (Jakarta: Amzah,
2015), hlm. 12
30
31
Waktu terjadi penggantian pemerintah umawiyyah pada raja Adhudh,
timbullah fitnah dan kekacauan di dalam negeri. Seruan kaum (Nationalist) Arab
kelihatan dengan nyata dan begitu juga unsur-unsur yang anti pada bangsa asing.
Tekanan-tekanan yang kuat terhadap pemerintah terjadi, sehingga
bermacam-macam hal telah timbul. Sering kedengaran isu-isu begitu juga siksaan
terhadap keluarga Rasulullah telah terjadi.
Ketika pemerintah Abbasiyah ia dapat mengikuti perselisihan hebat antara
mereka yang pro-Abbasiyah dan pro-Umawiyah. Bermacam-macam agama dan
ideologi telah tibul. Penerjemah buku-buku menyebabkan pertalian Islam dengan
falsafah Yunani lebih luas dan begitu juga dengan ideologi Persi dan Hindu.
Ia hidup dalam masyarakat yang kacau balau disebabkan penduduk waktu
itu dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Asing , Persi dan Romawi.39
3. Kelahiran dan Keturunan Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 H/659 M. Nama asli Abu Hanifah
ialah Annu‟man dan keturunan beliau seelanjutnya adalah di bawah ini:
Tsabit, Zuta, Maah, Muli-Taimullah dan akhirmya Ta‟labah, ahli sejarah
ada pula yang berpendapat bahwa Abu Hanifah berasal dari bangsa ara suku
(Bani) Yahya bin Asad dan ada pula yang mengatakan ia berasal dari keturunan
Ibnu Rusyd Al-Ansari.40
39
Ibid, hlm. 13 40
Ibid, hlm. 14
32
4. Bapak Imam Abu Hanifah
Bapak Abu Hanifah dilahirkan dalam Islam. Ada beberapa pendapat ahli
sejarah tentang bapaknya. Diantaranya mengatakan bahwa dia berasal dari Anbar
dan ia pernah tinggal di Tarmuz dan Nisa
Bapak Abu Hanifah seorang pedagang beliau satu keturunan dengan bapak
saudara Rasulullah. Manakala neneknya Zuta adalah hamba kepada suku (Bani)
Tamim.
5. Ibu Imam Abu Hanifah
Ibu Hanifah tidak terkenal dikalangan ahli sejarah tetapi walau
bagaimanapun juga ia menghormati dan sangat taat kepada ibunya. Abu Yusuf
pernah menceritakan bahwa Abu Hanifah pernah membawa ibunya bersama-sama
diatas keledai untuk menghadiri majlis ilmu pengetahuan Umar bin Zar untuk
memenuhi kehendak ibunya.41
6. Menuntut Ilmu
Abu Hanifah tinggal di kota Kupah di Irak. Kota ini terkenal sebagai kota
yang dapat menerimaperubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Ia seorang
yang bijaksana dan gemar ilmu pengetahuan. Ketika ia menambah ilmu
pengetahuan, mula-mula ia belajar sastra bahasa arab. Karna ilmu bahasa, tidak
banyak dapat digunakan akal (pikiran). Ia meninggalkan pelajaran ini dan beralih
mempelajari fiqh.
41
Ibid, hlm. 15
33
Disamping itu, beliau sempat juga mempelajari ilmu-ilmu lain seperti tauhid
dan lain-lain. Diantara buku kajiannya antara lain: Al-Fiqhhul Akbar, Al-Rad Ala
Al-Qadariyah dan Al-„Alim Wal-Muta‟alim.42
7. Guru-Guru Abu Hanifah
Abu Hanifah terkenal sebagai seorang alim dalam ilmu fiqih dan tauhid.
Menurut sebagian dari para ahli sdejarah bahwa beliau mempelajari ilmu fiqh dari
Ibrahim, Umar, Ali bin abi Thalib, Abdullah bin Mas‟ud dan Abdullah bin Abbas.
Diantara para guurunya ialah Hamad bin Abu Sulaiman Al-Asya‟ari. Beliau
banyak sekali memberi pelajaran kepadanya. Setelah Hamad meninggal dunia
beliau menggantikan gurunya untuk mengajar ilmu fiqih.
Pelajaran ilmu tajwid juga beliau pelajari dari Idris bin „Asir seorang yang
alim dalam ilmu tajwid. 43
8. Abu Hanifah Meninggal
Abu Hanifah meninggal dunia pada tahun 150 H dan ada beberapa pendapat
yang berbeda tentang tarikh ini, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa
beliau meninggal pada tahun 151 dan 153 H, pendapat yang lebih kuat ialah
beliau meniggal pada tahun 150 H.
Jenazah Abu Hanifah dikebumikan dimakam perkuburan „Al-khaizaran di
Timur kota Baghdad.44
42
Ibid, hlm. 17 43
Ibid, hlm. 17 44
Ibid, hlm. 69
34
B. Imam Malik Bin Annas
1. Kelahiran Malik
Imam Malik adalah imam yang kedua dari imam-imam empat serangkai
dalam Islam dari segi umur. Ia dilahirkan tiga belas tahun setelah kelahiran Abu
Hanifah. Imam Malik ialah imam dari kota Madinah dan imam bagi penduduk
Hijaz. Ia salah seorang dari ahli fiqh yang terakhir bagi kota Madinah dan juga
yang terakhir bagi fuqaha Madinah.
Imam Malik semasa hidupnya sebagai pejuang demi agama dan umat
islam. Imam malik dilahirkan pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik
Al-Umawi. Dia meninggal dunia pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid
dimasa pemerintahan Abbasiyah. Semasa hidupnya, Imam Malik mengalami dua
corak kehidupan, Umayyah dan Abbasiyah dimana terjadi perselisihan hebat
antara dua pemerintahan tersebut.
Imam Malik dilahirkan disuatu tempat yang bernama Zulmarwah.
Kemudian beliau tinggal di Al-Akik buat sementara waktu, akhirnya beliau terus
menetap di Madinah.
Silsilah keturunan Imam Malik seperti berikut:
Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amru bin Ghaiman bin
Huthail bin Amru bin Al-Haris dan beliau pendukung suku (Bani) Tamim Ibnu
Murrah.
Datuknya yang kedua Abu Amir bin Umru salah seorang sahabat
Rasulullah SAW yang ikut berperang bersama Rasulullah SAW kecuali dalam
35
perang badar. Datuk Malik yang pertama yaitu Malik bin Amar dari golongan
Tabi‟in gelarnya ialah Abu Anas.
Bapak imam Malik bukan seorang yang biasa menuntut ilmu. Walaupun
demikian beliau pernah mempelajari sedikit banyak hadist-hadist Rasulullah,
beliau bekerja sebagai pembuat panah sebagai sumber nafkah bagi hidupnya.
Ibu Imam Malik bernama Al-Ghalit binti Syarik bin Abdul Rahman bin
Syarik Al-Azdiyyah dan ada pula yang mengatakan namanya Talhah. Tetapi dia
lebih dikenal dengan nama yang pertama.45
2. Malik Meninggal Dunia
Imam Malik meninggal dunia di Madinah, yaitu pada tanggal 4 bulan
Rabi‟ul Awwal tahun 179 Hijriah, ada juga yang berpendapat beliau meninggal
dunia pada 11,13, dan 14 bulan rajab. Sementara An-Nawawi juga berpendapat
bahwa beliau meninggal pada bulan safar. 46
C. Imam Asy-Syafi’i
Imam Syafi‟i adalah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran.
Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadis dan pembaharu dalam agama
(mujaddid) dalam abad kedua Hijriah.
Keluarga imam Syafi‟i adalah dari keluarga Palestina yang miskin yang
dihalau dari negerinya. Mereka hidup di dalam perkampungan orang Yaman,
tetapi kemuliaan keturunan beliau adalah menjadi tebusan kepada kemiskinan.
45
Ibid, hlm. 73 46
Ibid, hlm. 138
36
Bapak imam Syafi‟i meninggal dunia ketika beliau masih kecil. Ibu beliau
membawanya ke Mekah di waktu umur beliau dua tahun. Ibu imam Syafi‟i adalah
keturunan Al-Azd. Nama ibunya ialah Fatimah binti Abdullah Al-Azdiyyah.
Semasa muda imam Syafi‟i hidup dalam kemiskinan, sehingga beliau
terpaksa mengumpulkan batu-batu, belulang, pelepah tamar dan tulang unta di
tulis di atasnya. Kadangkala beliau pergi ketempat-tempat perkumpulan orang
banyak meminta kertas untuk menulis pelajarannya.
Imam Syafi‟i dapat menghafal Al-Qur‟an dengan mudah, yaitu ketika
beliau masih kecil dan beliau menghafal serta menulis hadist-hadist. Beliau sangat
tekun mempelajari kaidah-kaidah dan nahwu bahasa Arab.
Imam Syafi‟i meninggal dunia di Mesir pada malam kamissesudah
maghrib, yaitu pada malam akhir bulan rajab tahun 204 Hijriah. Umurnya di
waktu itu ialah 54 tahun. Beliau wafat di tempat kediaman Abdullah bin Abdul
Hakam dan kepadanyalah ia meninggalkan wasiat. Jenazah imam Syafi‟i
dikebumikan pada hari jum‟at. Anak-anak Abdul Hakam mengebumikannya di
tanah perkuburan mereka.47
D. Imam Ahmad Bin Hambal
Ahmad bin Muhammad bin Hambal atau Ahmad bin Hambal adalah
imam yang keempat dari para fuqaha Islam. Beliau adalah seorang yang
mempunyai sifat-sifat yang luhur dan tinggi yaitu sebagaimana yang dikatakan
oleh orang-orang yang hidup semasa dengannya, juga orang yang mengenalinya.
Beliau imam bagi umat Islam seluruh dunia, juga imam bagi Darul Salam, mufti
47
Ibid, hlm. 139-188
37
bagi negeri Irak dan seorang yang alim tentang hadist-hadist Rasulullah SAW.
juga seorang yang zuhud dewasa itu, penerang untuk dunia dan sebagai contoh
dan teladan bagi orang-orang ahli Sunnah, seorang yang sabar dikala menghadapi
percobaan, seorang yang saleh dan zuhud.
As-Sayyid Ridha berpendapat bahwa Ahmad bin Hambal adalah seorang
pembaharu (mujaddid) agama dalam abad ke-3 H, dan menurut sebagian pengkaji
sejarah yang lain pula mereka berpendapat Ibnu Hambal adalah orang yang lebih
berhak dengan gelar tersebut sebanding dengan Ibnu Suraij, Syafii, Al-Khilal dan
An-Nasai.
Masa hidup Ahmad bin Hambal ialah di zaman pemerintahan Abbasiyah
dimana golongan kebangsaan Persi mengatasi kelompok kebangsaan Arab, dan
diwaktu itu juga perselisihan merebut kekuasaan sering terjadi, dan manakala
kekuasaan ditangan golongan orang-orang Mu‟tazilah. Mereka itu mempunyai
pendapat-pendapat yang terasing, yaitu disamping penolakan mereka terhadap
pembangkang-pembangkang dan pengkritik-pengkritik. Dizaman inilah bidang
ilmu fiqh berkembang lebih luas dan matang. Dimasa ini juga Imam Syafi‟i mulai
menjaga ilmu ushul fiqh, ilmu hadist juga turut berkembang. Dimasa ini juga ikut
dikumpulkan bermacam-macam ilmu serta disusun kitab-kitab.
Ahmad bin Hambal dilahirkan di kota Baghdad, pada bulan Rabi‟ul
Awwal tahun 164 Hijriah. Bapak Ibnu Hambal meninggal dunia sewaktu beliau
masih kecil. Oleh karena itu, beliau hidup sebagai seorang anak yatim yang diasuh
oleh ibunya saja. Ibu beliau bernama Safiyyah binti Maimunah binti Abdul Malik
Asy-Syaibani dari suku Amir.
38
Ibnu Hambal hidup sebagai seorang yang rendah dan miskin, karena
bapaknya tidak meninggalkan warisan padanya selain dari sebuah rumah kecil,
dan sedikit tanah yang sangat kecil penghasilannya. Oleh karena itu beliau
menempuh kehidupan yang susah beberapa lama sehingga beliau terpaksa bekerja
untuk mencari kebutuhan hidup, beliau pernah bekerja dikedai-kedai jahit
sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Rajabul Hambali, dan kadangkala beliau
memungut sisa-sisa tanaman yang ditinggalkan sesudah musim panen, sesudah
mendapat izi dari pemilik-pemiliknya. Diwaktu yang lain pula beliau mengambil
upah menenun kain atau mejualnya, dan kadangkala beliau terpaksa mengambil
upah membawa barang-barang dijalan-jalan, sungguhpun demikian beliau sangat
menjaga dengan perkara yang halal, beliau tidak menerima perkara yang ada
subhat dan tidak pula beliau menerima hadiah-hadiah atau pemberian-pemberian.
Semasa dalam perjalanan ke Kufah untuk menuntut ilmu, beliau pernah
tidur disebuah rumah berbantalkan tanah. Beliau selalu bercita-cita ingin
mengembara ke kota “Ar-Rai” untuk belajar kepada Jurair bin Abdul Hamid.
Ahmad bin Hambal menghafal Al-Qur‟an dan mempelajari bahasa. Beliau
mempelajari dna menulis di Diwai, umurnya diwaktu itu adalah empat belas
tahun. Beliau hidup sebagai seorang yang cnta menuntut ilmu dan bekerja keras.48
48
Ibid, hlm. 190
39
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG SHALAT JUM’AT
A. Pengertian Shalat Jum’at
Sebelum membahas tentang pengertian shalat jum‟at, penulis akan
mengemukakan arti dari shalat. Shalat menurut bahasa (etimologi) adalah do‟a.
Sedangkan arti shalat menurut syara‟ adalah beberapa ucapan dan beberapa
perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhirri dengan salam menurut syarat-
syarat yang telah ditentukan. Adapun arti shalat yang melengkapi bentuk hakikat
dan jiwa adalah berharap hati (jiwa) kepada Allah SWT yang mendatangkan rasa
takut, serta menumbuhkan rasa kebesaran-Nya dan kekuasan-Nya dengan khusu‟
dan ikhlas didalam beberapa perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam.
Sedangkan pengertian shalat jum‟at menurut etimologi adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekh Muhammad al Syarbini al- Khatib
dalam kitab Al-Iqna sebagai berikut: shalat jum‟at secara etimologi dari kata
jama‟a yang artinya berkumpul. Sedangkan shalat jum‟at menurut para fuqaha
adalah shalat dua rakaat yang dilakukan dengan berjamaah, dilaksanakan pada
waktu dzuhur pada setiap hari jum‟at.
Adapun sebab dinamakan shalat jum‟at menurut T. M. Hasbi Ash Shidiqy
ialah karena shalat ini dilakukan pada shalat jum‟at.49
49
https://www.tongkrongan islami.net/pengertian-shalat-jumat-dan-dasar/
39
40
B. Hukum Shalat Jum’at
Shalat jum‟at adalah shalat yang diwajibkan kepada setiap laki-laki
muslim dan dewasa. Hukum wajibnya bersumber dari firman Allah SWT dalam
Al-Qur‟an surah Al-Jumu‟ah ayat 9:
Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui
Shalat Jum‟at itu dua raka‟at, berdasarkan dari hadist yang diriwayatkan
dari Umar r.a ia berkata:
صلة المعة ركعتان دتام غري قصر على لسان نبيكم صلى اهلل عليو وسلم )رواه امحد(Artinya: Shalat Jum‟at itu dua raka‟at , dilaksanakan dengan sempurna tanpa
qashar berdasarkan lisan Nabi SAW. 50
Shalat Jum‟at itu hukumnya fardhu „ain bagi setiap mukallaf yang mampu
dan memenuhi syarat-syaratnya, dan ia bukan sebagai pengganti shalat zuhur. Bila
ketinggalan, maka wajib melaksanakan shalat zuhur empat raka‟at. Hukum fardhu
shalat Jum‟at itu ditetapkan dalam kitab (al-Qur‟an), Sunnah , dan Ijma‟.51
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa shalat jum‟at hukumnya
fardhu ain (kewajiban bagi setiap pribadi muslim) dan orang yang
mengingkarinya dianggap kafir, karena keberadaan shalat jum‟at telah ditetapkan
50
HR. Ahmad, Musnad Ahmad, No. 248, dalam Lidwa Pusaka i-Software –
Kitab 9 Imam Hadist. 51
Syekh Abdurrahman Al-Juzairi, Al-fiqh „Ala Mazahib Al Arba‟ah, terj. Prof.
H. Chatibul Umam dan Abu Hurairah, (Darul Ulum Press, 2001). Hlm 4
41
berdasarkan dalil qot‟i (pasti) dan shalat jum‟at merupakan kewajiban
tersendiri dalam ajaran islam. Oleh karena itu, shalat jum‟at tidak bisa
dilaksanakan dengan niat shalat dzuhur.52
C. Waktu Shalat Jum’at
Waktu shalat Jum‟at adalah sama dengan waktu Dzuhur, yaitu dari
tergelincirnya matahari hingga ukuran bayangan sesuatu sama dengannya, setelah
bayangan istiwa‟. Maka jika sholat Jum‟at dilakukan di selain waktu Dzuhu
rhukumnya tidak sah. Hal itu disepakati oleh Hanafiyah dan Syafi‟iyah. Namun
berbeda halnya dengan pendapat ulama Hanabilah dan Malikiyah.53
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa waktu sholat Jum‟at itu mulai
matahari menyingsing setinggi satu tombak dan berakhir ketika bayangan sesuatu
itu sama dengannya, tidak termasuk bayangan zawal. Akan tetapi sebelum
tergelincirnya matahari adalah waktu boleh melaksanakan sholat Jum‟at,
sedangkan setelah tergelincirnya matahari adalah waktu wajib melaksanakan
sholat Jum‟at. Dan melaksanakan pada waktu ini (setelah tergelincirnya matahari)
lebih utama.54
Sedangkan Malikiyah berpendapat bahwa waktu sholat Jum‟at adalah
sejak tergelincirnya matahari hingga terbenam dimana ia dapat melaksanakannya
secara sempurna beserta khutbah sebelum matahari terbenam. Jika ia tahu bahwa
waktu yang tersisa hingga terbenamnya matahari tidak cukup kecuali untuk satu
rakaat Jum‟at setelah khutbah, maka tidak boleh memulai sholat Jum‟at
52
Ibid. Hlm 5. 53
Ibid. Hlm 5. 54
Ibid. Hlm 5.
42
melainkan hendaklah melaksanakan sholat Dzuhur. Kalaupun ia memulai sholat
Jum‟at, maka itu sah.55
Apabila waktunya habis sementara mereka tengah melaksanakan sholat
Jum‟at, maka tentang sah-tidaknya sholat itu terdapat perbedaan pendapat dalam
berbagai madzhab. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sholat mereka itu batal
dengan habisnya waktu sebelum sholat itu sempurna, karena ia telah kehilangan
syarat, sekalipun setelah duduk sebatas tasyahud.56
Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa bila telah memulai sholat Jum‟at,
sementara waktunya tinggal sebatas cukup untuk sholat tetapi mereka
memanjangkan sholatnya sehingga waktunya keluar (habis), maka sholat yang
dilakukan itu tidak batal, akan tetapi hendaklah sholat itu disempurnakan sebagai
sholat Dzuhur dengan tetap melanjutkan sholat yang sebelumnya tanpa berniat
Dzuhur. Dan bagi imam hendaklah menyamarkan sisa bacaannya, dan haram bagi
mereka membatalkan sholat itu dengan memulai sholat Dzuhur dari awal. Sedang
apabila mereka memulai sholat Jum‟at setelah waktunya sempit dengan dugaan
bahwa waktunya masih cukup, tapi ternyata tidak dan waktunya habis ketika
mereka tengah melaksanakan sholat Jum‟at, maka sholat itu batal dan tidak boleh
dialihkan menjadi sholat Dzuhur.57
55
Ibid. Hlm 5. 56
Ibid. Hlm 5. 57
Ibid. Hlm 6.
43
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila mereka memulai sholat
Jum‟at pada akhir waktu, kemudian waktunya habis sementara mereka tengah
melaksanakan sholat, maka hendaklah tetap menyempurnakan sholat Jum‟at itu.
Yang terakhir adalah ulama Malikiyah, mereka berpendapat bahwa apabila
memulai sholat Jum‟at dengan yakin bahwa ia akan dapat melaksanakannya
secara sempurna, kemudian matahari terbenam sebelum sholat itu sempurna,
maka jika terbenamnya itu setelah rakaatnya sempurna beserta sujudnya, maka
hendaklah sholat itu disempurnakan sebagai sholat Jum‟at. Jika tidak, maka
hendaklah disempurnakan sebagai sholat Dzuhur.58
D. Kapan Wajib Bersegera Menuju Sholat Jum’at
Bersegera menuju sholat Jum‟at adalah wajib atas orang yang diwajibkan
melaksanakan sholat Jum‟at apabila telah diseru dengan adzan yang
dikumandangkan di hadapan khatib. Berdasarkan firman Allah swt. Pada surat al
Jumu‟ah ayat 9 berikut.
Artinya:
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum‟at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.59
58
Ibid. Hlm 7. 59
(QS. Al Jumu‟ah: 9)
44
Ketiga imam madzhab sepakat bahwa orang mukallaf wajib bersegera
menuju sholat Jum‟at apabila telah mendengar seruan adzan yang
dikumandangkan di hadapan khatib. Namun Hanafiyah menyangkal pendapat ini.
Menurut mereka, ketika mendengar adzan Jum‟at setelah tergelincirnya matahari,
maka ia wajib bersegera. Jadi adzan yang biasanya dikumandangkan atas
mi‟dzanah (tempat adzan) adalah isyarat wajib untuk bersegera menuju sholat,
karena ia adalah panggilan yang disyariatkan. Dan ayat tadi bersifat umum, tidak
mengkhususkan pada adzan yang dikumandangkan di hadapan khatib
sebagaimana yang dikatakan oleh ketiga imam madzhab sebelumnya.60
Semua itu berlaku bagi orang yang berkewajiban melaksanakan sholat
Jum‟at. Sedangkan bagi mereka yang tidak berkewajiban maka tidak ada
kewajiban pula untuk memenuhinya.
E. Dalil Tentang Shalat Jum’at
Ketentuan salat jum‟at yang telah dijelaskan di atas tentunya mempunyai
landasan hukum (dalil)nya. Berikut dikemukakan beberapa dalillnya,yakni
sebagai berikut:
1. Al-Qur‟an
Dalil wajibnya shalat jum‟at ditemukan dalam nash Al-Qur‟an pada surah Al-
Jumu‟ah ayat 9:
60
Syekh Abdurrahman Al-Juzairi, Al Fiqh „Ala…………, hlm 8.
45
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat
pada hari jum‟at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika
kamu mengetahui”.
Penggunaan ayat diatas sebagai dalil atas wajibnya shalat jum‟at
dipandang sebagai dalil qat‟i (pasti). Oleh karena itu, menunjukkan wajibnya apa
yang harus segera didatangi, sedangkan larangan jual beli pada dasarnya adalah
mubah, padahal tidak ada yang bisa melarang dari yang mubah kecuali hal-hal
yang wajib.
2. Hadis
Hadis- hadis yang dapat dijadikan dalil wajibnya shalat jum‟at terdapat
dalam hadis sebagai berikut:
Hadis yang diriwayatkan dari Abu Daud :
صب, أة, أو المعة حق واجب على كل مسلم ف جاعة اال أر ب عة. عبد ملو ك, أوامر
أو مريض Artinya: dari Nabi SAW beliau bersabda: “ Salat jum‟at adalah suatu hak yang
wajib bagi setiap muslim deengan berjamaah kecuali atas empat orang, yaitu
hamba sahaya, perempuan, anak-anak dan orang yang sakit”.61
61
(H.R Abu Daud) Abu Daud Bab Jum‟at , Hadist No. 1069, juz III, hlm. 439
46
3. Ijma‟
Disamping nash Al-Qur‟an dan Hadis Nabi yang dijadikan sebagai
landasan hukum wajibnya salat jum‟at sebagaimana dijelaskan diatas, maka ijma‟
mendukung sekaligus dalil atas wajibnya salat jum‟at
Dengan demikian, kewajiban salat jum‟at sangat mutlak yang tidak hanya
ditunjukkan oleh nash Al-Qur‟an sebagai dalilnya, tetapi lebih dari itu, bahwa
hadis Nabi juga menunjukkan hal yang sama pada akhirnya ijma‟lah kaum
muslimin atas wajibnya.62
F. Keutamaan Shalat Jum’at dan acaman Bagi Yang Meninggalkannya
Allah telah memberikan karunia yang besar pada kita dengan adanya
Shalat Jum‟at. Diantara keutamaan shalat jum‟at tersebut bisa menghapuskan dosa
dan kesalahan, juga bisa meninggikan derajat seorang mukmin. Keutamaan/
fadhilah dalam mengerjakan shalat jum‟at adalah sebagai berikut:
a. Dapat menghapuskan dosa
b. Allah menyempurnakan Islam dan mencukupi nikmat
c. Hari yang disebut Asy Syahid
d. Jika bersegera menghadiri shalat jum‟at, akan memperoleh pahala yang
besar
e. Setiap langkah menuju shalat jum‟at mendapat ganjaran puasa dan shalat
setahun
62
Rahmat Fajri Rao, Hukum Pelaksanaan Salat Jum‟at yang kurang dari 40
orang, Fakultas Syari‟ah,Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Tahun 2017
47
Adapula ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat jum‟at dengan
sengaja antara lain sebagai berikut:
Meninggalkan shalat jum‟at tanpa sebab yang syar‟i seperti sakit parah,
safar, hujan, sangat lebat adalah dosa besar. Rasulullah SAW telah
memperingatkan dengan keras atas siapa saja yang melalaikannya,
اهلل على ق لو بم ث ليكو نن من الغا لي نتهني اق وام عن ودعهم المعات أو ليختمن
فلني Artinya: “Hendaknya suatu kaum berhenti dari meninggalkan shalat jum‟at atau
Allah akan menutup hati mereka kemudian menjadi bagian dari orang-
orang yang lalai”63
Dalam Musnad Ahmad dan Kutub Sunan, Nabi SAW. bersabda,
ى ق لبو من ت رك ثلث جع ت هاونا با طبع اهلل عل
Artinya: “Siapa yang meninggalkan tiga kali shalat jum‟at karena
meremehkannya, pasti Allah menutup mati hatinya.”64
G. Tempat Yang dilarang Melaksanakan Shalat Jum’at
Beberapa syarat sahnya shalat diantaranya adalah memakai pakaian yang
suci dari najis, menghadap ke kiblat dan tempat yang suci. Boleh saja seseorang
menjalankan shalat di tempat manapun asalkan tempat tersebut suci dari najis,
entah di rumah, di sekolah, di apartemen, kos-kosan dan lain-lain. Perihal
63
”( H.R. Muslim dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar)HR. Muslim, shahih
muslim, No. 1432, dalam Lidwa Pusaka i-Software – Kitab 9 Imam Hadist. 64
HR. Abu Daud, Sunan Abu Daud, No. 1052, dalam Lidwa Pusaka i-Software –
Kitab 9 Imam Hadist.
48
pelaksanaan shalat jum‟at di halaman masjid dan dijalan hukumnya makruh
apabila tidak dalam kondisi mendesak.
H. Berada Di Suatu Negeri (Pusat Kota)
Sholat Jum‟at hendaknya diselenggarakan di pusat kota atau musholla-nya
menurut Hanafiyah, yaitu setiap daerah yang ada kepala daerahnya dan hakim
yang melaksanakan berbagai hukum dan peraturan. Inilah yang masyhur di
kalangan madzhab Hanafi. Akan tetapi menurut hasil fatwa dari mayoritas
pendapat Hanafiyah dikatakan bahwa yang dinamakan pusat kota adalah suatu
tempat yang masjid Jami‟nya cukup menampung orang-orang yang wajib sholat
Jum‟at. Hal ini merupakan syarat wajib dan sahnya sholat Jum‟at. Oleh sebab itu,
sholat Jum‟at tidak sah dilakukan selain di pusat kota atau bagian wilayahnya.
Maka penduduk perkampungan tidak wajib sholat Jum‟at, sebab bukan bagian
dari wilayah kota bahkan sholat Jum‟at tidak sah bila diselenggarakan disana.65
\ Malikiyah berpendapat, hendaklah sholat Jum‟at diselenggarakan di
tempat yang tetap, baik di kota maupun di desa, di sebuah bangunan berbatu atau
berkayu selama bukan berbentuk kemah dari bulu atau perkakas rumah, sebab
tempat seperti ini umumnya jarang dihuni, sehingga penghuninya laksana orang
yang bepergian. Inilah merupakan syarat sah dan wajib sholat Jum‟at menurut
Malikiyah, sebab menurut mereka keempat syarat, yaitu imam, berjamaah, masjid
dan terletak dalam suatu negeri, sekaligus merupakan syarat wajib dan sahnya
sholat Jum‟at. Oleh sebab itu, suatu desa mesti mempunyai penduduknya yang
65
Ibid. Hlm 652.
49
aman dan cukup kehidupannya. Jumlah mereka tidak dibatasi sedikit lebihnya
oleh bilangan tertentu, umpamanya 10 orang.66
Syafi‟iyah menetapkan bahwa sholat Jum‟at hendaknya diselenggarakan
di tempat yang telah disediakan (khittah) di suatu negeri atau desa dalam sebuah
bangunan yang menampung jama‟ah menurut adat setempat.67
Hanabillah berpendapat, hendaknya orang yang wajib sholat Jum‟at
(mukallaf) berjumlah 40 orang atau lebih dan berada di suatu desa dalam sebuah
bangunan masjid yang sesuai dengan adat setempat, baik terbuat dari batu, bata,
tanah, bambu atau kayu. Karena Nabi saw. telah mengirim surat kepada desa
„Urainah agar sholat Jum‟at, kecuali bagi penghuni kemah, rumah-rumah bulu dan
tenda-tenda yang umumnya bukan merupakan tempat tinggal.68
Kesimpulan dari uraian-uraian diatas yaitu, menurut Jumhur, Jum‟at mesti
diselenggarakan di suatu kota atau desa. Menurut Hanafiyah, hendaklah
desatempat sholat Jum‟at itu desa yang besar, sebab sholat Jum‟at tidak wajib
bagi desa yang kecil. Sedangkan menurut ulama lainnya, ukuran besar kecilnya
desa tidak menjadi syarat, sebab tidak ada bedanya antara desa dengan kota.69
66
Ibid. Hlm 653. 67
Ibid. 68
Ibid. 69
Ibid. Hlm 653.
50
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
Setelah melewati proses penelitian sehingga terkumpul berbagai data dari
berbagai sumber yang berbeda, maka peneliti menemukan perbedaan pendapat
Imam Mazhab tentang shalat jum‟at selain di masjid. Berikut peneliti sampaikan
pendapat mengenai pelaksanaan shalat jum‟at selain dimasjid;
A. Shalat jum’at di tanah lapang
1. Imam Abu Hanifah
Mazhab Hanafi mengkategorikan bahwa pelaksanaan shalat
jum‟at dimasjid bukanlah syarat sahnya shalat jum‟at. Mereka
berpendapat bahwa sahnya shalat jum‟at itu tidak di syaratkan harus
dilaksanakan di dalam masjid, melainkan sah juga hukumnya jika di
laksanakan di tanah lapang dengan syarat jarak jauhnya dari kota tidak
lebih dari satu fasakh dan di izinkan oleh imam untuk mendirikan
shalat jum‟at.
Pernyataan diatas sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
Abi Abdullah bahwa Mazhab Hanafi berpendapat bahwa, shalat
jum‟at itu sah di lakukan didekat tanah lapang jika itu didekat
bangunan, jika tanah lapang itu tidak dekat dengan bangunan maka
shalat itu tidak sah.70
70
Abi Muhammad Abdullah bin Ibnu Qudomah, hlm. 213
50
51
2. Imam Maliki
Berbeda halnya dengan Mazhab Maliki mereka berpendapat
bahwa shalat jum‟at itu tidak sah dilaksanakan di rumah, tidak pula di
tanah lapang, dihalaman rumah, dan di hotel. Melainkan harus
dimasjid. Dan ini merupakansyarat mutlak yang harus dipenuhi agar
terciptanya kekhusyukan di dalam pelaksanaan shalat jum‟at.71
3. Imam Syafi’i
Senada dengan pernyataan mayoritas ulama dalam Mazhab
Hanafi, Mazhab Syafi‟i juga berpendapat bahwa, shalat jum‟at itu sah
jika dilaksanakan di tanah lapang apabila tanah lapang tersebut dekat
dengan bangunan. Batas dekat disini menurut mereka adalah tempat
yang tidak sah bagi seorang musyafir mengqhasar shalat ketika
sampai ditempat shalat itu. Yang semisal dengan tanah lapang adalah
lembah yang terdapat dalam pagar suatu negeri.
Sesuai dengan pernyataan Zainuddin Bin Muhammad Al-
Ghazali yang bermazhabkan Imam Syafi‟i menyatakan bahwa
sekalipun jika pelaksanaan shalat jum‟at disebuah padang yang masih
pedalaman wilayahnya maka shalat tersebut tidak boleh dilaksanakan
sejauh diperbolehkannya shalat qhasar 86 km.
71
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, hlm. 388
52
4. Imam Hambali
Mazhab Hanabilah, mereka berpendapat bahwa sholat jum‟at itu
sah dilaksanakan di tanah lapang tidak dekat dengan bangunan. Yang
dimaksud dengan bangunan yaitu hendaklah disesuaikan dengan „urf.
Jika tanah lapang tidak dekat dengan bangunan, maka sholat itu tidak
sah. Jika imam hendak melaksanakan sholat tersebut dipadang pasir,
maka hendaklah ia mencari pengganti orang lain agar sholat bersama
orang-orang yang lemah
Dari keempat Mazhab tersebut diatas maka jelaslah bahwa mayoritas
ulama dan Imam Mazhab menghukumi sah shalat jum‟at yang dilaksanakan
dengan ditanah lapang kecuali Maliki. Pendapat jumhur imam mazhab inilah yang
dianggap mu‟tamad dan paling kuat sehingga banyak digunakan dalam
menjalankan shalat jum‟at jika kondisi menuntut untuk dilaksanakan ditanah
lapang.
Jumhur pendapat ini juga yang digunakan pada perlatan akbar aksi 212
dalam rangka aksi damai untuk menuntut keadilan supaya mempenjarakan penista
agama. Jumlah umat Islam yang berkumpul di Monas mencapai 7 juta manusia,
sehingga tidak memungkinkan untuk dilaksanakan shalat jum‟at dimasjid Istiqlal
dan masjid-masjid terdekat, oleh karena itu diadakanlah shalat jum‟at dilokasi
acara 212 tersebut.
53
B. Analisis Hukum Shalat Jumat Selain Di Masjid Ditinjau Dari Fiqh
Empat Madzhab
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah tertera diatas, peneliti
menemukan pendapat dari beberapa imam madzhab terkait hukum sholat Jum‟at
di selain masjid. Yaitu bahwa para imam madzhab sepakat tentang bolehnya
sholat Jum‟at di tanah lapang. Kecuali Malikiyah, mereka berpendapat bahwa
sholat Jum‟at tidak sah kecuali di masjid Jami‟. Imam Maliki menyatakan bahwa
sholat Jum‟at harus dilaksanakan di masjid dengan alasan bahwa Nabi dan para
sahabat setiap melaksanakan sholat Jum‟at selalu di masjid. Seperti yang tertulis
dalam beberapa kitab berikut :
وال يصح أن يقول أحد ف املسجد أنو ليس من شرائط الصحة، إذا ال اختلف ف أنو ال يصح أن تقام المعة ف غري مسجد
Tak ada ikhtilaf atau perbedaan para ulama‟ (Perbedaan yang dimaksud
disini yaitu dalam kalangan ulama yang mengikuti madzhab Imam Maliki. Bahwa
sholat Jum‟at hanya dapat dilaksanakan di Masjid Jami‟) dan shalat jum‟at itu
tidak sah dilaksanakan di selain masjid72
ووقوع الصلة واخلطبة ف الامع املبين على وجو العادة وأن يكون متحدا وأن يكون متصل بالبلد املتصل حني بنائوأو ف حكم
72
Khalil bin Ishaq al-Maliki, at-Taudhih fi Syarh Mukhtashar ibn al-Hajib, Juz
2. Hlm 54.
54
Shalat jum‟at dan khutbahnya harus diadakan di al-Jami‟ yang berupa bangunan
sebagaimana biasanya, bangunan itu menyatu dan menyambung dengan suatu
daerah tempat tinggal.73
الشرط الرابع املسجد .... وقال الباجي ال تقام إال ف الامعSyarat keempat adalah (jum‟at) harus diadakan di masjid… al-Baji Abu
al-Walid berkata: Shalat jum‟at tak boleh diadakan kecuali di alJami‟.74
Dijelaskan dalam kitab-kitab diatas bahwa menurut Imam Maliki sholat
Jum‟at harus dilaksanakan di masjid Jami‟ yang menyatu dan berada dalam area
pemukiman penduduk setempat. Karena salah satu syarat sholat Jum‟at menurut
Imam Maliki yaitu sholat Jum‟at haru dilaksanakan di masjid Jami‟, seperti yang
telah disebutkan oleh al Baji Abu al-Walid bahwa syarat keempat dalam
melaksanakan sholat Jum‟at harus diadakan/ dilaksanakan di masjid. Dan juga
telah dijelaskan pada sub bab pembahasan yang telah tertulis di depan, Imam
Maliki menyebutkan bahwa syarat-syarat dilaksanakannya sholat Jum‟at yaitu:
a. Tinggal di suatu kota atau daerah dimana ia hidup di kota tersebut
selamanya dalam keadaan aman dari orang-orang pendatang yang dapat
menguasai.
b. Dihadiri oleh 12 orang selain imam, dan tidak harus dihadiri oleh seluruh
penduduk kota itu, sekalipun hanya pada awal sholat Jum‟at berdasarkan
pendapat yang shohih.
c. Imam.
73
Ahmad bin Ghanim al-Azhari al-Maliki, al-Fawakih ad-Dawani, Juz 1. Hlm
260 74
Syihabuddin al-Qarafi, ad-Dzakhirah, Juz 2. Hlm 335
55
d. Dua khutbah.
e. Di masjid Jami‟, maka sholat Jum‟at tidak sah dilaksanakan di rumah-
rumah atau di tanah lapang.
Menurut Hanabilah, mereka berpendapat bahwa sholat Jum‟at itu sah
dilaksanakan di tanah lapang apabila tanah lapang tersebut dekat dengan
bangunan. Yang dimaksud dekat dengan bangunan yaitu hendaklah disesuaikan
dengan ukuran „urf. Jika tanah lapang tidak dekat dengan bangunan, maka sholat
itu tidak sah. Jika imam hendak melaksanakan sholat tersebut di padang pasir,
maka hendaklah ia mencari pengganti orang lain agar sholat bersama orang-orang
yang lemah.
Ibnu Qudamah al Maqdisi al Hanbali menyatakan dalam kitabnya:
فصل: وال يشرتط لصحة المعة إقامتها ف البنيان، وجيوز إقامتها فيما قاربو من الصحراءShalat jum‟at tidak disyaratkan harus dilaksanakan di suatu bangunan, bahkan
boleh dilakukan di suatu tempat yang seperti bangunan di padang pasir.75
Dalam kutipan kitab tersebut dinyatakan bahwa sholat Jum‟at tidak harus
dilaksanakan di sebuah bangunan tertentu, namun bisa dilakukan di suatu tempat
yang menyerupai bangunan. Misalkan di padang pasir sekalipun ada sebuah
tempat yang menyerupai sebuah bangunan yang mana bisa untuk melaksanakan
sholat Jum‟at, maka boleh melakukan sholat Jum‟at di tempat tersebut. Bangunan
tertentu yang dimaksud disini yaitu masjid, tempat yang biasa untuk
melaksanakan sholat Jum‟at pada umumnya.
75
Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, al-Mughni, Juz 2. Hlm 246.
56
Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab al-
Mughni adalah suatu ketika ada salah seorang sahabat Nabi, yaitu Mush‟ab bin
Umair melaksanakan sholat Jum‟at dengan para sahabat Anshar di suatu tempat
yang tak dihuni oleh manusia, atau biasa disebut dengan Naqi‟ al-Khadhimat.
Yaitu nama tempat penampungan air di desa Hazm an-Nabit di Madinah. Melihat
hal tersebut, maka beliau mengambil kesimpulan bahwa sholat Jum‟at boleh
dilaksanakan di tempat selain masjid. Alasan lain yang dikemukakan oleh Ibnu
Quddamah dalam kitabnya adalah shalat Jum‟at itu seperti shalat „Id. Sedangkan
shalat „Id boleh dilaksanakan di selain masjid. Secara teks dalil juga tidak ada
peraturan yang mengharuskan sholat Jum‟at dilaksanakan disuatu tempat tertentu.
Ulama golongan Syafi‟iyah berpendapat bahwa sholat Jum‟at itu sah
dilaksanakan di tanah lapang dengan syarat tanah lapang tersebut dekat dengan
bangunan. Batas dekat disini menurut mereka adalah jarak tempat yang tidak sah
bagi seorang musafir meng-qashar sholat ketika sampai di tempat itu. Yang
semisal dengan tanah lapang adalah lembah yang terdapat di dalam pagar suatu
negeri, jika ia berpagar.
Dalam kitab Tharhu at-Tatsrib karya al-Hafidz Abu al-Fadhl Zainuddin
al-Iraqi disebutkan:
خطة ابأبنية فلو فعلوىا ف غري مسجد مل مذىبنا أن إقامة المعة ال ختتص باملسجد بل تقام ف يصل الداخل إىل ذلك املوضع ف حالة اخلطبة إذ ليست لو حتية فل يرتك استماع اخلطبة
Madzhab kami (as-Syafi‟iyyah) berpendapat bahwa pelaksanaanshalat
jum‟at tak hanya khusus di masjid. Tetapi boleh dilaksanakan di suatu bangunan.
Hanya saja ketika shalat jum‟at dilaksanakan tidak dimasjid, ketika ada orang
57
masuk dan khatib telah naik keatas mimbar, maka dia tak disunnahkan shalat
tahiyyat al-masjid.76
Dalam kutipan kitab diatas dijelaskan bahwa menurut madzhab
Syafi‟iyah tidak diharuskan melaksanakan sholat Jum‟at di masjid, melainkan
dapat dilaksanakan di tempat lain atau di bangunan dengan syarat masih berada
dalam lingkup pemukiman warga sekitar. Dan jika ada orang yang masuk dalam
bangunan tersebut saat khatib sedang berkhutbah, maka tidak disunnahkan untuk
sholat tahiyyatal masjid, karena bangunan yang ditempati untuk melaksanakan
sholat Jum‟at tersebut bukanlah masjid.
Imam Nawawi asy-Syafi‟i juga berpendapat dalam kitabnya:
الثاين: أن تقام ف خطة أبنية أوطان اجملتمعنيKedua: (Shalat jum‟at) dilaksanakan di suatu bangunan orang-orang yang
mempunyai kewajiban shalat Jum‟at.77
Dalam cuplikan diatas dijelaskan bahwa menurut Imam Syafi‟i
memperbolehkan sholat Jum‟at dilaksanakan di tempat selain masjid dengan
ketentuan tempat tersebut berada di lingkup masyarakat yang juga berkewajiban
untuk melaksanakan sholat Jum‟at. Jadi jika ada sebuah perkampungan penduduk
yang mayoritas penduduknya bukan muslim, maka tidak boleh melaksanakan
sholat Jum‟at di tempat tersebut karena tidak berada di lingkup perkampungan/
pemukiman penduduk yang berkewajiban melaksanakan sholat Jum‟at.
قال أصحابنا وال يشرتط إقامتها ف مسجد ولكن جتوز ف ساحة مكشوفة بشرط أن تكون داخلة أو البلدة معدودة خطهاف القرية
76
Abu al-Fadhl Zainuddin al-Iraqi, Tharhu at-Tatsrib, Juz 3. Hlm 190. 77
Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Minhaj at-Thalibin. Hlm 47
58
Ulama-ulama Syafi‟iyyah berkata: (shalat jum‟at) tidak harus dilaksanakan di
masjid, tetapi boleh di pelataran, asalkan masih di tengah-tengah kampung atau
suatu wilayah tertentu.78
Maksud dari cuplikan kitab diatas yaitu, imam Syafi‟i memperbolehkan
sholat tidak di masjid ataupun di bangunan tertentu, misalnya di lapangan atau di
pelataran yang lebih luas, namun dengan syarat tempat tersebut masih di tengah
tengah perkampungan atau masih dalam lingkup suatu wilayah tertentu.
Yang mana perkampungan tersebut merupakan wilayah yang mayoritas
penduduknya muslim.
Imam al-Khatib as-Syirbini menjelaskan perkataan Imam Nawawi:
ين( من الشروط )أ، تقام ف خطة أبنية أوطان اجملمعني( بشديد امليم: أي املصلني )الثا -صلى اهلل عليو وسلم-المعة، وإن مل تكن ف مسجد بأهنا مل تقم ف عصر النب
واخللفاء الراشدين إال ف مواضع اإلقامة كما ىو معلوم
Syarat kedua dari syaratnya shalat jum‟at adalah diadakan di suatu bangunan
orang yang mempunyai kewajiban shalat jum‟at. Meskipun
bangunan itu tidak masjid.79
Hampir sama dengan penjelasan cuplikan kitab yang diatas, menurut
Imam al-Khatib as-Syirbini sholat Jum‟at yang tidak dilaksanakan di masjid
seperti biasanya harus dilaksanakan di tempat yang berada di lingkup masyarakat
yang berkewajiban untuk melaksanakan sholat Jum‟at, yaitu harus berada di
lingkup pemukiman muslim.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, sahnya sholat Jum‟at itu tidak
disyaratkan harus dilaksanakan di dalam masjid, melainkan sah dilaksanakan di
78
Ibid. 79
al-Khatib as-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 1. Hlm 543.
59
tanah lapang dengan syarat jarak jauhnya dari negeri (kota) tidak lebih dari 1
farsakh, dan diizinkan oleh imam (pemimpin) untuk mendirikan sholat Jum‟at di
tempat tersebut sebagaimana telah dikemukakan dalam syarat-syarat sholat Jum‟at
terdahulu.
Disebutkan dalam kitab Bahru ar-Raiq karya Ibnu Nujaim al-Hanafi :
ف احمليط: فإن فتح باب قصره وأذن للناس بالدخول: جاز، ويكره: بأن يقض حق املسجد الامع
Ketika sang pemimpin/ penguasa membuka pintu istananya dan mengijinkan
masyarakat untuk masuk (untuk shalat jum‟at disitu), maka hukumnya boleh
tetapi makruh. Karena si pemimpin itu tidak menunaikan hak masjid Jami‟.80
Seperti yang telah tertera di paragraf atas bahwa menurut ulama
Hanafiyah, sholat Jum‟at boleh dilakukan di tempat selain masjid misalkan
lapangan atau tempat yang lain, namun dengan syarat harus ada izin dari
pemimpin/ penguasa wilayah tersebut. Karena tanpa adanya izin dari pemimpin
maka sholat tersebut tidak akan bisa terselenggarakan. Maka dalam madzhab
Hanafiyyah, jika penguasa mengadakan shalat jum‟at di Istananya dan
mengijinkan orang lain untuk shalat di istana tersebut, maka hukumnya boleh
tetapi makruh.
Menurut pendapat yang lain dalam buku karangan Dr. Wahbah al Zuhaily
yang berjudul “Fikih Sholat Kajian Berbagai Madzhab” dinyatakan bahwa sholat
Jum‟at sah jika dilakukan di halaman masjid termasuk di jalan yang saling
bersambung barisan sholatnya. Tetapi kalau tanpa terpaksa, sholat Jum‟at di
halaman masjid hukumnya makruh.
80
Ibnu Nujaim al-Mishri al-Hanafi, Bahru ar-Roiq, Juz 2. Hlm 163.
60
C. Analisis Fatwa MUI Nomor 53 Tahun 2016 Tentang Pelaksanaan Shalat
Jum’at Di Tempat Selain Masjid
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan sebuah
fatwa pada tanggal 28 November 2016/ 28 Shafar 1437 H. tentang Pelaksanaan
Shalat Jum‟at, Di Tempat Selain Masjid.81
Menimbang:
1. Bahwa di tengah masyarakat ada rencana kegiatan sosial
kemasyarakatan yang dilaksanakan dan dirangkai dengan kegiatan
keagamaan yang mengambil tempat di jalan dan fasilitas umum, salah
satunya adalah kegiatan unjuk rasa untuk menuntut keadilan;
2. Bahwa penyelenggara unjuk rasa merencanakan kegiatan dzikir dan doa
serta Shalat Jum‟at secara berjamaah di fasilitas umum, yang salah satu
sebabnya adalah jumlah jamaah yang sangat banyak sehingga tidak
tertampung jika dilaksanakan di masjid, kemudian memilih
melaksanakannya di fasilitas umum yang dapat mengganggu ketertiban
umum; bahwa terhadap masalah tersebut, Kepolisian Negara Republik
Indonesia mengajukan permohonan pandangan dan penjelasan terkait
dengan pelaksanaan Sholat Jum‟at dan Dzikir di jalan raya;
3. Bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang
pelaksanaan Shalat Jum‟at dan dzikir di tempat selain masjid guna
dijadikan pedoman.
81
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Fatwa tentang Pelaksanaan Shalat
Jum‟at, Dzikir, Dan Kegiatan Keagamaan Di Tempat Selain Masjid, (Jakarta: Sekretariat
MUI, 2016). Halaman 1-6.
61
Mengingat:
1. Al-Quran:
a. Firman Allah SWT yang menegaskan perintah untuk melaksanakan
Shalat Jum‟at, antara lain:
Artinya:
Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalatJum‟at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamumengetahui.82
b. Firman Allah SWT yang menegaskan tanggung jawab orang beriman
untuk memakmurkan masjid, antara lain:
Artinya:
Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain
kepadaAllah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk
golonganorang-orang yang mendapat petunjuk.83
(QS At-Taubah; 18 )
82
(QS Al-Jumu‟ah: 9) Surabaya: Mekar Surabaya, 2004. Halaman 554.
83 Ibid. hlm 189.
62
Artinya:
Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah. Oleh karena
itu, janganlah kamu menyembah seorang pun (di dalamnya) di samping juga (menyembah) Allah. (QS. Al-Jin: 18)
84
2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
ام ابأرض كلها مسجد إال المقب رة والمArtinya:
Dijadikan untukku bumi ini sebagai masjid dan suci. Maka dimanapun
kamu menemui waktu shalat, maka shalatlah.85
لي نتهني أق وام عن ودعهم المعات أو ليختمن اللو على ق لوبم ث ليكونن من الغافلني
Artinya:
Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan Shalat Jum‟at
atau Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka
menjadi orang-orang yang lalai.86
3. Ijma‟ Ulama mengenai kewajiban Shalat Jum‟at bagi setiap muslim yang
memenuhi syarat dan kebolehan untuk tidak melaksanakan Shalat Jum‟at
bagi yang memperoleh dispensasi.
Berdasarkan paparan materi diatas, ada beberapa pendapat yang
memperbolehkan sholat Jum‟at di selain masjid namun ada juga pendapat yang
84
Ibid. Hlm 573. 85
HR. Bukhari, Shahih Bukhari, No. 419, dalam Lidwa Pusaka i-Software -
Kitab 9 Imam Hadist. 86
HR. Muslim, Shahih Muslim, No. 865, dalam Lidwa Pusaka i-Software -
Kitab 9 Imam Hadist.
63
menyatakan makruh apabila sholat Jum‟at dilaksanakan di selain masjid. Berikut
rincian pendapat-pendapat yang telah dijelaskan diatas:
1. Imam Nawawi berpendapat dalam kitab “al Majmu‟ Syarh al
Muhadzdzab” juz halaman 648, bahwa ulama Syafi‟iyah memperbolehkan
pelaksanaan sholat Jum‟at di area terbuka dengan syarat masih di tengah-
tengah pemukiman atau suatu wilayah tertentu.
2. Imam al Khatib as Syarbini berpendapat dalam kitab “Mughni al Muhtaj”
juz 1 halaman 543, bahwa syarat kedua dari syarat sahnya sholat jum‟at
adalah dilaksanakan di lokasi permukiman yang dihuni oleh orang-orang
yang wajib sholat jum‟at, sekalipun sholat jum‟atnya bukan di masjid. Jadi
sholat Jum‟at tetap sah dilaksanakan walau bukan di masjid.
3. Imam al Ramli berpendapat dalam kitab “Nihayah al Muhtaj” juz 2
halaman 63, bahwa sholat di jalan dan di bangunan saat orang-orang
sedang berlalu-lalang hukumnya makruh karena dapat mengganggu
kekhusyukan. Namun lain halnya jika dilaksanakan di lapangan yang sepi
dari lalu-lalang orang banyak, maka hukumnya tidak makruh.
4. Imam al Mardawi berpendapat dalam kitab “al Inshaf” juz 2 halaman 378,
bahwa shalat Jum‟at boleh dilaksanakan di beberapa bangunan yang
terpisah sepanjang masih meliputi satu tempat, boleh juga dilaksanakan di
tanah lapang dekat bangunan permukiman.
5. Imam al Imam Ibn Qudamah al Maqdisi berpendapat dalam kitab “al
Mughni” juz 2 halaman 171, bahwa tidak termasuk syarat sah pelaksanaan
64
shalat Jum‟at harus dilakukan di dalam bangunan. Pelaksanaan Shalat
Jum‟at boleh dilakukan di tanah lapang yang dekat dengan bangunan.
6. Imam Abu Husain Yahya bin Abu al Khair Salim al „Imrani al Yamani
berpendapat dalam kitab “al Bayan fi Madzhabi al Imam al Syafi‟i” juz 2
halaman 113, bahwa menurut hadits riwayat Umar ra. sholat Jum‟at di
jalanan maka hukumnya makruh karena tidak memungkinkan khusyu‟
dalam menjalankan sholat akibat banyaknya orang yang berlalu-lalang
serta bisa terkena najis. Apabila sholat di gang jalanan dan nampak jelas
akan kesuciannya maka sah sholatnya.
Dari rincian-rincian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sholat
Jum‟at dalam kondisi normal harus dilaksanakan di masjid, namun jika dalam
kondisi tertentu dan terpaksa sholat Jum‟at dilaksanakan di selain masjid misalnya
di jalanan atau di lapangan maka hukumnya tetap sah ditinjau dari Fatwa MUI
Nomor 53 Tahun 2016 dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:87
1. Terjaminnya kekhusyukan rangkaian pelaksanaan Shalat Jum‟at.
2. Terjamin kesucian tempat dari najis.
3. Tidak mengganggu kemaslahatan umum.
4. Menginformasikan kepada aparat untuk dilakukan pengamanan dan
rekayasa lalu lintas.
5. Mematuhi aturan hukum yang berlaku
.
87
Ibid. Hlm 5.
65
Sedangkan setiap orang muslim yang berkewajiban melaksanakan sholat
Jum‟at namun sedang bertugas untuk mengamankan kegiatan yang tidak
memungkinkan meninggalkan tugas saat Shalat Jum'at tiba, maka tidak wajib
Shalat Jum'at melainkan harus menggantinya dengan shalat Dzuhur.
D. Analisa Penulis Terhadap Shalat Jum’at Selain Di masjid
Peneliti telah menemukan beberapa pendapat yang membahas tentang
hukum sholat yang dilaksanakan tidak di masjid. Sebelum dibahas mengenai
hukum sholat Jumat Selain di Masjid lebih lanjut, mari kita sejenak mengingat
salah satu cerita sejarah dalam Islam.
Dahulu pernah terjadi peristiwa yang bisa dikatakan mirip dengan
peristiwa aksi demo 212 yaitu sholat Jum‟at yang dilaksanakan di jalanan. Sholat
Jumat di jalanan pernah terjadi pada tahun 1453 dilakukan oleh Sultan
Muhammad Al Fatih saat hendak menaklukan Konstantinopel. Sholat tersebut
dinyatakan sebagai sholat termegah karena dilakukan di jalan menuju
Konstatinopel dengan jamaah yang membentang sepanjang 4 km dari Pantai
Marmara hingga Selat Golden Horn di utara. Sholat jumat tesebut terjadi 1,5 KM
di depan benteng Konstantinopel, dalam proses Penaklukan Konstantinopel oleh
Sultan Muhammad Al Fatih.88
88
Nahimunkar.com, Sholat Jumat Di Jalan & Penaklukan Konstatinopel, dalam
https://www.nahimunkar.org/sholat-jumat-jalan-penaklukan-konstantinopel/ . Diakses
tanggal 25 November 2016.
66
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Abu Hurairah Ra. أن هم كتب وا إىل عمر يسألونو عن المعة فكتب: جعوا حيثما كنتم
Kaum muslimin pernah menulis surat kepada Khalifah „Umar binKhatab
menanyakan tentang shalat Jum‟at. Lalu beliau menulis suratkepada mereka
(yang isinya): „Lakukanlah shalat Jum‟at di mana saja kalian berada. 89
Dalam hadits diatas telah jelas bahwa Umar bin Khatab memperbolehkan
sholat Jum‟at dimana saja berada. Namun pastinya dengan keadaan dan juga
syarat-syarat tertentu. Maka dengan berdasarkan hadits tersebut Sultan
Muhammad al Fatih melaksanakan sholat Jum‟at di sepanjang jalan 4 km di
Pantai Marmara hingga Selat Golden Horn.
Namun berbeda hal mengenai hukum sholat Jum‟at di selain masjid ini
jika ditinjau dari Fiqh Empat Madzhab. Ada perbedaan pendapat dari 4 imam
Madzhab, yang mana ketiga Imam Madzhab (Hanafi, Syafi‟i, dan Hanbali)
memperbolehkan sholat Jum‟at di selain masjid dengan ketentuan masing-masing
dari ketiga imam madzhab tersebut. Sedangkan imam Maliki tidak
memperbolehkan sholat Jum‟at di selain masjid Jami‟, dengan alasan bahwa salah
satu syarat sah sholat Jum‟at adalah dilaksanakan di Masjid Jami‟.
Jadi pada kesimpulannya, ketiga imam madzhab yaitu imam Hanafi, imam
Syafi‟i, dan imam Hanbali memperbolehkan sholat Jumat dilaksanakan di tanah
yang lapang atau di tempat selain di masjid dengan syarat-syarat yang telah
disebutkan. Namun berbeda dengan imam Maliki yang berpendapat bahwa
89
Abu Ja‟far Ahmad bin Muhammad bin Salamah at Thohawiy, Syarh Musykil
al Atsar, Juz 3. Hlm 189
67
melaksanakan sholat Jum‟at di tanah yang lapang atau selain di masjid maka
hukumnya tidak sah. Karena menurut Imam Maliki, salah satu syarat sah untuk
melaksanakan sholat Jum‟at yaitu harus dilaksanakan di masjid Jami‟.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis uraikan pada bab-bab di atas, maka setelah
penulis membaca uraian dari beberapa bab di atas, maka akhirnya sampailah
penulis untuk mengemukakan beberapa kesimpulan yang merupakan inti dari
skripsi ini, untuk lebih tegasnya dapat penulis sajikan sebagai berikut:
1. Mazhab Malikiyah berpendapat sholat jum‟at itu tidak sah dilaksanakan di
rumah-rumah dan tanah lapang, jadi sholat jum‟at harus dilaksanakan di
masjid
2. Mazhab Hambaliyah berpendapat bahwa sholat jum‟at itu sah hukumnya
jika dilaksanakan di tanah lapang dekat dengan pemukiman. Jika tanah
lapang itu tidak dekat dengan pemukiman maka sholatnya tidak sah.
3. Mazhab Safi‟iyah berpendapat bahwa sholat jum‟at itu sah dilaksanakan di
tanah lapang apabila tanah lapang itu dekat dengan pemukiman,. Batas
jarak tempat yang tidak sah bagi musafir untuk mengqhasar sholat ketika
sampai di tempat.
4. Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa sahnya sholat jum‟at itu tidak
disyaratkan harus dilaksanakan di masjid . jadi sah dilaksanakan di tanah
lapang dengan syarat jarak jauhnya dari kota tidak lebih satu fasakh.
68
69
A. Saran
1. Agar setiap muslim tidak merasa bingung ketika ingin melaksanakan
sholat jum‟at dimnapun berada.
2. Agar setiap muslim mengetahuihukum sholat jum‟at di ntanah lapang
menurut empat mazhab
B. Penututup
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, dipersembahkan kepada zat
yang Maha Sempurna. Yang telah memberi petunjuk dan jalan keluar bagi penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun dengan rintangan dan
hambatan yang dihadapi. Tetapi rintangan dan hambatan itu penulis anggap
sebagai motivasi untuk meraih kesuksesan pada masa yang akan datang.
Dalam hal ini penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata
sempurna, masih banyak terdapat kekeliruan dan kekurangan dalam penulisannya.
Oleh karena itu, penulis sangatlah mengharapkan sumbangan, saran dan kritikan
yang sifatnya membangun bagi para pembaca guna menyempurnakan
pembahasan skripsi ini.
Semoga apa yang tertuang dalam skripsi nini dapat menjadi salah satu
sumber informasi serta bermanfaat bagi pembaca dan merupakan amal ibadah
bagi penulis.
Akhirukalam Wassalamu‟alaikum Wr.Wb.
70
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemah, 1982
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fiqih Shalat Empat Mazhab
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fiqih Shalat Empat Mazhab,(Jakarta: HikamPustaka,
2009)
Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudomah
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam, (Jakarta: Amzah,
2015)
Ahmad Sarwat, Fiqih Perbedaan, (Jakarta: PT Gramedia, 2011)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Perpustakaan Nasional KDT, 1999)
Ari Setiawan, “Aktivitas Shalat Jum‟at Bagi Tersangka Muslim Di Polresta
Malang Perspektif Fiqih Dan Ham “, Fakultas Syari‟ah Jurusan Al-Ahwal
Al-Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibraim Malang,
2004
Firdaus, “Shalat Jum‟at Di Desa Ranah Singkuang Kecamatan Kampar (Studi
Kasus Terhadap Masyarakat Penyadap Karet Dan Buruh)”, Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Pekanbaru, 2012
Ghazali IhyaUllumuddin
Hartinis Yamin, Metodologi Penelitian Pendidikan Dan Sosial Kualitatif Dan
Kuantitatif, (Jakarta: Komplek Kejaksaan Agung, Cipaayung, 2009)
Hartinis Yamin, Metodologi Penelitian Pendidikan Dan Sosial Kualitatif Dan
Kuantitatif,
Hidayatullah Husain Al-Habsyi, Shalat Dalam Mazhab Ahlul Bait, (Jakarta:
Yayasan Islam, 2002)
Juhaya Pradja, Konflik Antar Mazhab Dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2013)
Mazdar Amir, Fiqih Praktis Empat Mazhab, (Jakarta: QafNediaKreativia, 2017)
Muhamad Faizun, “Salat Menggunakan Bahasa Terjemahan Studi Komparasi
Pemikiran Imam Abû Ḥanîfah Dan Imam”, Jurusan Perbandingan Mazhab
Fakultas Syari‟ah Dan Hukum Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014
71
Nasution, Metodologi Research Penelitian Ilmia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003)
Rahmat Fajri Rao, Hukum Pelaksanaan Salat Jum‟at yang kurang dari 40 orang,
Fakultas Syari‟ah,Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Tahun 2017
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D
Syaikh NashiruddinAl Albani,SifatShalatNabi, (Jakarta: DarulHaq, 2004)
Tim Penyusun, Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ushuludin
Iain Sts Jambi (Jambi: Fakultas Ushuludin Institute Agama Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2015)
Tim Penyusun, Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ushuludin
Iain Sts Jambi
Umar, Metode Penelitian Untuk Sekripsi dan Tesis Bisnis, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011)
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu
B. Lain-Lain
https://www.tongkrongan islami.net/pengertian-shalat-jumat-dan-dasar/
https://www.tongkrongan islami.net/pengertian-shalat-jumat-dan-dasar/
http://bloggerbondowoso24.blogspot.com/2013/05/keutamaan-sholat-jumat-dan-
ancaman-bagi.html?m=1