1
PERGANTIAN KEDUDUKAN AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM ALAH satu konsep pembaharuan Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah diberikannya hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut: (1) Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. (2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajad dengan yang diganti. Dilihat dari tujuannya, pembaharuan hukum kewarisan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah dan menghindari sengketa. Dalam kaitannya dengan hal ini, Soepomo dalam bukunya bahkan mengatakan bahwa munculnya institusi pergantian tempat didasarkan pada aliran pemikiran bahwa harta benda dalam keluarga sejak semula memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan turunannya. Jika seorang anak meninggal sedang orangtuanya masih hidup, anak-anak dari orang yang meninggal dunia tersebut akan menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris harta benda kakeknya. Namun demikian, KHI juga memberi batasan bahwa harta yang didapat oleh sang cucu bukanlah keseluruhan dari harta yang seharusnya didapat sang ayah, melainkan hanya 1/3 bagiannya saja. Walaupun demikian, dalam pembaharuan yang terjadi di beberapa Negara muslim lainnya seperti Mesir, Tunisia dan Pakistan, dalam konteks ini sang cucu bisa berlaku menghabiskan seluruh warisan ayahnya yang beralih kepadanya karena sang ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Sebaliknya, di dalam kitab-kitab Fiqih Mawaris (Faraidh), khususnya kitab-kitab fiqih klasik, ketentuan ahli waris pengganti seperti demikian tidak dijumpai, kecuali hanya dalam menentukan besarnya bagian ahli waris dzawil arham bagi madzhab Ahlut Tanzil apabila tidak dijumpai ahli waris dzawil furud dan ahli waris ashabah . Sebelum dilakukan pembahasan lebih jauh, tulisan ini akan melihat makna dari penggantian tempat ahli waris dari berbagai sudut. Istilah penggantian tempat dalam bahasa Belanda disebut dengan plaatsvervulling. Penggantian tempat dalam hukum waris disebut dengan penggantian ahli waris, yaitu meninggal dunianya seseorang dengan meninggalkan cucu yang orangtuanya telah meninggal terlebih dahulu. Cucu ini menggantikan posisi orangtuanya yang telah meninggal untuk mendapatkan warisan dari kakek atau neneknya. Besarnya bagian yang seharusnya diterima oleh cucu adalah sejumlah bagian yang seharusnya diterima orangtuanya jika mereka masih hidup. Menurut Alyasa’ Abubakar, dosen pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, istilah penggantian tempat ini hanya dikenal dalam hukum barat (BW) dan hukum adat namun tidak dikenal dalam hukum Islam. Walaupun demikian, dengan adanya pembaharuan penafsiran hukum waris ini, istilah penggantian tempat pun kini sudah dibukukan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang kini digunakan dalam setiap penyelesaian sengketa di Mahkamah Syar’iyah. Syahrizal, Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, dalam disertasinya mengenai Penggantian Ahli Waris dalam Hukum Islam mengatakan bahwa jika dikaji secara mendalam, kitab fiqih klasik sebenarnya juga memberi peluang adanya pemberian saham waris kepada cucu walaupun konteksnya tidak sama dengan konteks hukum adat. Dalam disertasinya Syahrizal juga menyatakan pendapat Professor di bidang hukum, Ismuha, yang menjelaskan bahwa dalam kitab fiqih terdapat istilah penggantian tempat ahli waris namun dengan bentuk ANDA DAN HUKUM DALAM KESEHARIAN - 67 Rubrik ini dipublikasikan atas kerjasama Harian Serambi INDONESIA dengan IDLO Semua artikel dalam seri ini dapat ditemukan pada website IDLO di http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM penggantian yang berbeda dengan apa yang terdapat dalam hukum adat. Selain itu, masih menurut Ismuha seperti dikutip Syahrizal, hak ahli waris pengganti pun tidak tentu sama dengan yang diganti. Dia mencontohkannya dalam Khulasah Ilmu Faraidh karya Amin al-Asyi dan Nihayat al-Muhtaj karya ar-Ramly. Dalam kitab Nihayat al-Muhtaj, ar-Ramly menuliskan bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki dapat menggantikan ayahnya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, sedangkan cucu dari anak perempuan tidak mungkin. Cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan orangtuanya apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki lain yang masih hidup. Namun demikian, jika anak laki-laki lain masih ada, cucu tersebut tidak mendapatkan apa-apa. Selain itu, sebut Syahrizal, satu-satunya pendapat yang mengatakan adanya penggantian tempat dalam hukum Islam adalah Hazairin. Pendapatnya hanyalah sekedar untuk menggugah para ahli hukum baik ahli hukum Islam maupun ahli-ahli hukum lain agar mau mengkaji dan meneliti lebih lanjut persoalan penggantian tempat ini. Hazairin memberikan penafsiran tentang adanya penggantian ahli waris dalam hukum Islam dengan mengambil dalil Ayat 33 Surah an-Nisa tersebut, yang menurut terjemahan Departemen Agama RI berbunyi: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya (ahli waris). Dan (jika ada) orang- orang yang kamu telah sumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” Secara bebas Hazairin menerangkan bahwa teks Ayat 33 Surah an-Nisa mengandung makna bahwa Al- lah mengadakan mawali untuk si fulan dari harta peninggalan orangtua dan keluarga dekat (serta allazina ‘aqadat aymanukum) dan bahwa untuk itu berikanlah kepada mawali itu (hak yang menjadi) bagiannya. Fulan dianggap sebagai ahli waris, karena diiringkan dengan kata walidan dan aqrabun yang menjadi pewaris. Apabila yang menjadi pewaris adalah orangtua (ayah atau ibu), ahli waris adalah anak dan atau mawali anak, demikian menurut Hazairin.. Jika anak- anak itu masih hidup, tentu merekalah yang secara serta merta mengambil warisan berdasarkan Ayat 11 Surah an-Nisa. Di Indonesia, khususnya di Aceh, yang kehidupan hukum adatnya sangat kental dengan hukum Islam, kondisi ini memang menjadi persoalan yang masih diperdebatkan. Sebagian ulama, termasuk di Aceh, masih menolak adanya pembaharuan seperti yang tertera dalam KHI dengan alasan bahwa istilah penggantian tempat ini tidak ditemukan secara tegas dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadist Nabi yang menerangkan tentang hukum faraidh (hukum kewarisan) . Namun demikian, mereka yang menerima keberadaan pembaruan penafsiran ini mendasarkan pada bahwa Islam juga membawa nilai keadilan, ukhuwah, persamaan, menjunjung tinggi anak yatim. Karena alasan inilah mereka menganggapnya sebagai suatu yang penting untuk dipraktekkan di Indonesia. Meski demikian, sebut Syahrizal, walau di dalam hukum adat di Aceh tidak dikenal dengan penggantian ahli waris, pada prakteknya banyak juga ahli waris yang memberikan sedikit atau sebagian hartanya untuk anak- anak yatim yang ditinggalkan orangtuanya tadi. Patah Titi atau Putoh Tutu Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk Daud Zamzami, menerangkan bahwa tidak ada alasan untuk memberi tafsiran lebih jauh tentang penggantian kedudukan ahli waris jika memang tidak terdapat penjelasan yang tegas didalam Al-Quran. Selain itu, dalam hukum adat di Aceh pun tidak terdapat aturan adanya penggantian kedudukan ahli waris. Aceh memegang hukum adat yang kental dengan hukum Islam. Dalam hukum adat di Aceh disebutkan bahwa jika seorang anak meninggal dunia, putuslah hubungan kewarisan yang dimiliki oleh orangtua si anak yang sudah meninggal tadi dengan keberadaan cucu (dalam hal ini hubungan kewarisan kakek dan cucu). Hak waris seorang cucu ini akan terhijab oleh keberadaan saudara laki dan perempuan si anak yang meninggal. Istilah ini menurut Tgk Daud Zamzami dikenal dengan istilah Patah Titi atau Putoh Tutu atau Hijab. Di sini, sang ayah berlaku sebagai titi alias jembatan penghubung antara kakek dan cucu. Ketika sang ayah meninggal, terputuslah hubungan (khususnya hubungan penyebab kewarisan) antara kakek dan cucu. Kendati demikian, Islam tetap memandang kemuliaan dan keadilan bagi cucu atau anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orangtuanya tadi, antara lain dengan memberikan atau menyisihkan sedikit bagian dari harta warisan tersebut kepada sang anak yatim. Selain itu, dalam aturan adat Aceh, sang kaum ulama yang menjadi saksi dalam pembagian warisan tersebut pun akan mendapat sedikit bagian yang dikenal dengan istilah hak raheung. Pemberian yang diberikan kepada anak yatim tersebut (kepada cucu ) dan ulama ini bukanlah disebut warisan, tetapi hibah. Sejumlah ulama di Aceh masih menganut ajaran faraidh patah titi dengan berdasarkan pada kitab-kitab fiqih klasik. Oleh karena itu, wajarlah jika ada persengketaan perwarisan terkait dengan penggantian kedudukan ahli waris di Aceh yang sangat jarang diselesaikan lewat jalur hukum formal di Mahkamah Syar’iyah. Hingga saat ini masih dipraktekkan sistem patah titi ini di Aceh. Penyelesaian kasus ini biasanya dilakukan secara adat dan agama dengan mengumpulkan orangtua kampung, ulama dan kaum kerabat. Dengan demikan nampak bahwa sedikit sekali yang menyelesaikannya di Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah. Pada kenyataannya, tidak sedikit anak yatim yang kini diasuh oleh kakek dan neneknya karena orangtua mereka meninggal akibat musibah gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 lalu. Terkait dengan penyelesaian sengketa kewarisan, sepanjang tahun 2007 Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh telah menangani 125 kasus kewarisan dan 292 kasus penetapan ahli waris (bukan penetapan penggantian ahli waris). Namun demikan, dalam kasus yang berkaitan dengan patah titi ini, dengan sendirinya Mahkamah Syar’iyah akan menerapkan ketentuan Pasal 185 KHI, yaitu menghapus lembaga patah titi yang dikenal oleh masyarakat Aceh yang sekaligus mengakui cucunya sebagai ahli waris pengganti bagi ayahnya yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pada kakek/ neneknya. Minimnya penanganan kasus penggantian ahli waris di Mahkamah Syar’iyah, sebut Syahrizal, dikarenakan masih minimnya sosialisasi tentang penggantian ahli waris. Pada kenyataannya, penggantian ahli waris merupakan suatu pembaharuan hukum Islam yang cukup besar di Indonesia. Jika aturan hukum ini disosialisasikan dengan baik, pemahaman patah titi tidak lagi mencuat dalam kehidupan masyarakat Aceh Selain itu, pemahaman masyarakat akan kasus ini pun masih sangat terbatas. Tgk. Daud Zamzami mengatakan bahwa masyarakat tidak terlalu memahami aturan-aturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dan juga tidak terlalu memahami ajaran-ajaran yang ada dalam kitab fiqih. Masyarakat hanya akan bertanya kepada guru-guru mereka, dalam hal ini ulama, jika mereka mendapatkan kesulitan. S

Hukum Waris

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hukum Waris

PERGANTIAN KEDUDUKAN AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAMALAH satu konsep pembaharuan HukumKewarisan Islam dalam Kompilasi HukumIslam (KHI) adalah diberikannya hakseorang ahli waris yang telah meninggal

dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturanini tercantum dalam Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnyaadalah sebagai berikut:

(1) Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahuludari pada si pewaris, maka kedudukannyadapat digantikan oleh anaknya, kecuali merekayang tersebut dalam Pasal 173.

(2) Bagian ahli waris pengganti t idak bolehmelebihi dari bagian ahli waris yang sederajaddengan yang diganti.

Dil ihat dari tujuannya, pembaharuan hukumkewarisan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikanmasalah dan menghindari sengketa. Dalam kaitannyadengan hal ini, Soepomo dalam bukunya bahkanmengatakan bahwa munculnya institusi pergantiantempat didasarkan pada aliran pemikiran bahwa hartabenda dalam keluarga sejak semula memang disediakansebagai dasar material keluarga dan turunannya. Jikaseorang anak meninggal sedang orangtuanya masihhidup, anak-anak dari orang yang meninggal duniatersebut akan menggantikan kedudukan bapaknyasebagai ahli waris harta benda kakeknya.

Namun demikian, KHI juga memberi batasan bahwa harta yang didapat oleh sang cucu bukanlahkeseluruhan dari harta yang seharusnya didapat sangayah, melainkan hanya 1/3 bagiannya saja. Walaupundemikian, dalam pembaharuan yang terjadi dibeberapa Negara musl im lainnya sepert i Mesir ,Tunisia dan Pakistan, dalam konteks ini sang cucu bisaberlaku menghabiskan seluruh warisan ayahnya yangberalih kepadanya karena sang ayah sudah meninggaldunia terlebih dahulu.

Sebaliknya, di dalam kitab-kitab Fiqih Mawaris(Faraidh), khususnya kitab-kitab fiqih klasik, ketentuanahli waris pengganti seperti demikian tidak dijumpai,kecuali hanya dalam menentukan besarnya bagian ahliwar is dzawi l arham bagi madzhab Ahlut Tanz i lapabila tidak dijumpai ahli waris dzawil furud danahli waris ashabah.

Sebelum dilakukan pembahasan lebih jauh, tulisanini akan melihat makna dari penggantian tempat ahliwaris dari berbagai sudut. Istilah penggantian tempatdalam bahasa Belanda disebut dengan plaatsvervulling.Penggantian tempat dalam hukum waris disebut denganpenggantian ahli waris, yaitu meninggal dunianyas e s e o r a n g d e n g a n m e n i n g g a l k a n c u c u y a n gorangtuanya telah meninggal terlebih dahulu. Cucu inimenggantikan posisi orangtuanya yang telah meninggaluntuk mendapatkan warisan dari kakek atau neneknya.Besarnya bagian yang seharusnya diterima oleh cucuadalah sejumlah bagian yang seharusnya diterimaorangtuanya jika mereka masih hidup.

Menurut Alyasa’ Abubakar, dosen pascasarjanaInstitut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh,istilah penggantian tempat ini hanya dikenal dalamhukum barat (BW) dan hukum adat namun tidak dikenaldalam hukum Islam. Walaupun demikian, denganadanya pembaharuan penafsiran hukum waris ini, istilahpenggantian tempat pun kini sudah dibukukan dalamKompilasi Hukum Islam, yang kini digunakan dalam setiappenyelesaian sengketa di Mahkamah Syar’iyah.

Syahrizal, Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry,dalam disertasinya mengenai Penggantian Ahli Warisdalam Hukum Islam mengatakan bahwa jika dikaji secaramendalam, kitab fiqih klasik sebenarnya juga memberipeluang adanya pemberian saham waris kepada cucuwalaupun konteksnya tidak sama dengan konteks hukumadat. Dalam disertasinya Syahrizal juga menyatakanpendapat Professor di bidang hukum, Ismuha, yangmenjelaskan bahwa dalam kitab fiqih terdapat istilahpenggantian tempat ahli waris namun dengan bentuk

ANDA DAN HUKUM DALAM KESEHARIAN - 67

Rubrik ini dipublikasikan atas kerjasama Harian Serambi INDONESIA dengan IDLO

Semua artikel dalam seri ini dapat ditemukan pada website IDLOdi http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM

penggantian yang berbeda dengan apa yang terdapatdalam hukum adat. Selain itu, masih menurut Ismuhaseperti dikutip Syahrizal, hak ahli waris pengganti punt i d a k t e n t u s a m a d e n g a n y a n g d i g a n t i . D i amencontohkannya dalam Khulasah Ilmu Faraidh karyaAmin al-Asyi dan Nihayat al-Muhtaj karya ar-Ramly.

Dalam kitab Nihayat al-Muhtaj, ar-Ramly menuliskanbahwa cucu lak i - lak i dar i anak lak i - lak i dapatmenggantikan ayahnya yang telah meninggal duniaterlebih dahulu, sedangkan cucu dari anak perempuantidak mungkin. Cucu dari anak laki-laki baru dapatmenggantikan orangtuanya apabila pewaris tidakmeninggalkan anak laki-laki lain yang masih hidup.Namun demikian, jika anak laki-laki lain masih ada, cucutersebut tidak mendapatkan apa-apa.

Selain itu, sebut Syahrizal, satu-satunya pendapatyang mengatakan adanya penggantian tempat dalamhukum Islam adalah Hazairin. Pendapatnya hanyalahsekedar untuk menggugah para ahli hukum baik ahlihukum Islam maupun ahli-ahli hukum lain agar maumengka j i dan mene l i t i l eb i h l an j u t pe rsoa lanpenggantian tempat ini.

Hazairin memberikan penafsiran tentang adanyapenggantian ahli waris dalam hukum Islam denganmengambil dalil Ayat 33 Surah an-Nisa tersebut, yangmenurut terjemahan Departemen Agama RI berbunyi:“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yangditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikanpewaris-pewarisnya (ahli waris). Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah sumpah setia dengan mereka,m a k a b e r i l a h k e p a d a m e r e k a b a h a g i a n n y a .Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”

Secara bebas Hazairin menerangkan bahwa teksAyat 33 Surah an-Nisa mengandung makna bahwa Al-lah mengadakan mawali untuk si fulan dari hartapeninggalan orangtua dan keluarga dekat (serta allazina‘aqadat aymanukum) dan bahwa untuk itu berikanlahkepada mawali itu (hak yang menjadi) bagiannya.

Fulan d ianggap sebagai ahl i war is , karenadiiringkan dengan kata walidan dan aqrabun yangmenjadi pewaris. Apabila yang menjadi pewaris adalahorangtua (ayah atau ibu), ahli waris adalah anak danatau mawali anak, demikian menurut Hazairin.. Jika anak-anak itu masih hidup, tentu merekalah yang secaraserta merta mengambil warisan berdasarkan Ayat 11Surah an-Nisa.

Di Indonesia, khususnya di Aceh, yang kehidupanhukum adatnya sangat kental dengan hukum Islam,kondisi ini memang menjadi persoalan yang masihdiperdebatkan. Sebagian ulama, termasuk di Aceh,masih menolak adanya pembaharuan seperti yangtertera dalam KHI dengan alasan bahwa isti lahpenggantian tempat ini tidak ditemukan secara tegasdalam ayat-ayat Al-Quran dan hadist Nabi yangmenerangkan tentang hukum faraidh (hukum kewarisan). Namun demikian, mereka yang menerima keberadaanpembaruan penafsiran ini mendasarkan pada bahwaIs lam juga membawa n i la i kead i lan , ukhuwah,persamaan, menjunjung tinggi anak yatim. Karenaalasan inilah mereka menganggapnya sebagai suatuyang penting untuk dipraktekkan di Indonesia.

Meski demikian, sebut Syahrizal, walau di dalamhukum adat di Aceh tidak dikenal dengan penggantianahli waris, pada prakteknya banyak juga ahli waris yangmemberikan sedikit atau sebagian hartanya untuk anak-anak yatim yang ditinggalkan orangtuanya tadi.

Patah Titi atau Putoh TutuWakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)

Aceh, Tgk Daud Zamzami, menerangkan bahwa tidakada alasan untuk memberi tafsiran lebih jauh tentangpenggantian kedudukan ahli waris jika memang tidakterdapat penjelasan yang tegas didalam Al-Quran. Selainitu, dalam hukum adat di Acehpun tidak terdapat aturana d a n y a p e n g g a n t i a n

kedudukan ahli waris. Aceh memegang hukum adat yangkental dengan hukum Islam. Dalam hukum adat di Acehdisebutkan bahwa jika seorang anak meninggal dunia,putuslah hubungan kewarisan yang dimiliki olehorangtua si anak yang sudah meninggal tadi dengankeberadaan cucu (dalam hal ini hubungan kewarisankakek dan cucu). Hak waris seorang cucu ini akan terhijaboleh keberadaan saudara laki dan perempuan si anakyang meninggal. Istilah ini menurut Tgk Daud Zamzamidikenal dengan istilah Patah Titi atau Putoh Tutu atauHijab. Di sini, sang ayah berlaku sebagai titi alias jembatanpenghubung antara kakek dan cucu. Ketika sang ayahmen ingga l , t e rpu tus lah hubungan ( khususnyahubungan penyebab kewarisan) antara kakek dan cucu.

Kendat i demik ian, Is lam te tap memandangkemuliaan dan keadilan bagi cucu atau anak yatim yangtelah ditinggalkan oleh orangtuanya tadi, antara laindengan memberikan atau menyisihkan sedikit bagiandari harta warisan tersebut kepada sang anak yatim.Selain itu, dalam aturan adat Aceh, sang kaum ulamayang menjadi saksi dalam pembagian warisan tersebutpun akan mendapat sedikit bagian yang dikenal denganistilah hak raheung. Pemberian yang diberikan kepadaanak yatim tersebut (kepada cucu ) dan ulama inibukanlah disebut warisan, tetapi hibah.

Sejumlah ulama di Aceh masih menganut ajaranfaraidh patah titi dengan berdasarkan pada kitab-kitabf iq ih k las ik . Oleh karena i tu , wajar lah j ika adapersengketaan perwarisan terkait dengan penggantiank e d u d u k a n a h l i w a r i s d i A c e h y a n g s a n g a tjarang d ise lesaikan lewat ja lur hukum formal d iMahkamah Syar ’ i yah .

Hingga saat ini masih dipraktekkan sistem patah titiini di Aceh. Penyelesaian kasus ini biasanya dilakukansecara adat dan agama dengan mengumpulkanorangtua kampung, ulama dan kaum kerabat. Dengand e m i k a n n a m p a k b a h w a s e d i k i t s e k a l i y a n gmenye lesa i kannya d i Pengad i l an Agama a tauMahkamah Syar’iyah. Pada kenyataannya, tidak sedikitanak yatim yang kini diasuh oleh kakek dan neneknyakarena orangtua mereka meninggal akibat musibahgempa dan tsunami yang melanda Aceh pada tahun2004 lalu.

Terkait dengan penyelesaian sengketa kewarisan,sepanjang tahun 2007 Mahkamah Syar’iyah ProvinsiAceh telah menangani 125 kasus kewarisan dan 292kasus penetapan ah l i war is (bukan penetapanpenggantian ahli waris). Namun demikan, dalam kasusyang berkaitan dengan patah titi ini, dengan sendirinyaMahkamah Syar’iyah akan menerapkan ketentuan Pasal185 KHI, yaitu menghapus lembaga patah titi yangdikenal oleh masyarakat Aceh yang sekaligus mengakuicucunya sebagai ahli waris pengganti bagi ayahnya yangtelah meninggal dunia lebih dahulu dari pada kakek/neneknya.

Minimnya penanganan kasus penggantian ahliwar is d i Mahkamah Syar ’ iyah, sebut Syahr iza l ,dikarenakan masih minimnya sosialisasi tentangp e n g g a n t i a n a h l i w a r i s . P a d a k e n y a t a a n n y a ,penggantian ahli waris merupakan suatu pembaharuanhukum Islam yang cukup besar di Indonesia. Jikaaturan hukum in i d isos ia l isas ikan dengan baik ,pemahaman patah t i t i t idak lagi mencuat dalamkehidupan masyarakat Aceh

Selain itu, pemahaman masyarakat akan kasus inipun masih sangat terbatas. Tgk. Daud Zamzamimengatakan bahwa masyarakat tidak terlalu memahamiaturan-aturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islamdan juga tidak terlalu memahami ajaran-ajaran yang adadalam kitab fiqih. Masyarakat hanya akan bertanyakepada guru-guru mereka, dalam hal ini ulama, jikamereka mendapatkan kesulitan.

S