15
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014 130 Hutan Pantai Untuk Mitigasi Tsunami: Mitos, Realitas dan Tantangan ke Depan Semeidi Husrin 1 1 Peneliti, Balitbang Kelautan dan Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan ABSTRAK Pasca kejadian tsunami Aceh 2004, penelitian untuk melihat kemampuan hutan pantai dalam meredam tsunami semakin gencar dilakukan baik itu dengan cara interpretasi citra satelit, observasi lapangan, percobaan laboratorium fisik maupun pemodelan numerik. Namun, latar belakang ilmiah dan proses-proses fisik yang terjadi di dalamnya masih belum dapat disimpulkan secara menyeluruh. Kejadian tsunami di Jepang pada Maret 2011 dan beberapa kejadian tsunami sebelumnya semakin memperlihatkan bahwa hutan pantai tidak selamanya memberikan perlindungan terhadap gelombang tsunami. Mitos hutan pantai sebagai peredam tsunami dan kondisi realitas di lapangan didiskusikan secara mendalam berdasarkan hasil penelitian terkini dengan memperhitungkan aspek morfologi hutan, hidrodinamika, dan aspek lingkungan seperti orientasi garis pantai, batimetri, dan topografi. Berdasarkan kajian ilmiah dan informasi terkini, tulisan ini bertujuan menganalisis secara sistematis efektifitas hutan pantai sebagai peredam tsunami di mana salah satu tantangan terbesarnya adalah cara menentukan kontribusi dari aspek - aspek lingkungan selain hutan pantai pada nilai redaman tsunami yang kerap terabaikan. Lebih jauh lagi, aspek aspek penting untuk pengembangan dan pemanfaatan hutan pantai dalam kerangka mitigasi tsunami di masa yang akan datang berhasil dirangkum untuk bahan rekomendasi. Kata kunci: Hutan pantai, mitigasi, tsunami, kemampuan meredam, mitos ABSTRACT After the 2004 Aceh Tsunami, researches on the damping performance of coastal forests against tsunami have been conducted either by means of satellite image, field survey, physical laboratory and numerical simulation analyses. However, a comprehensive conclusion still could not be drawn due to so many unexplained critical aspects related to the physical processes involved. The 2011 Japan Tsunami and previous events showed us that coastal forests do not always provide protections. Myths surrounding the effectiveness of coastal forest in reducing the impact of tsunami and its factual data based on a systematic analysis were discussed thoroughly based on forest morphology, hydrodynamics, and other environmental aspects such as coastline orientation, bathymetry and topography of the region. Considering the latest scientific findings, the main objective of the paper is to analyse tsunami damping performance of coastal forests and how to determine the contribution of other environmental aspects to the total tsunami attenuation which are often neglected. Moreover, influencing aspects for the development and the use of coastal forests in the frame work of tsunami mitigation are successfully summarised for recommendations. Key words: Coastal forest, mitigation, tsunami, damping performance, myth

Hutan Pantai Untuk Mitigasi Tsunami: Mitos, Realitas dan Tantangan Ke Depan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

After the 2004 Aceh Tsunami, researches on the damping performance of coastal forests against tsunami have been conducted either by means of satellite image, field survey, physical laboratory and numerical simulation analyses. However, a comprehensive conclusion still could not be drawn due to so many unexplained critical aspects related to the physical processes involved. The 2011 Japan Tsunami and previous events showed us that coastal forests do not always provide protections. Myths surrounding the effectiveness of coastal forest in reducing the impact of tsunami and its factual data based on a systematic analysis were discussed thoroughly based on forest morphology, hydrodynamics, and other environmental aspects such as coastline orientation, bathymetry and topography of the region. Considering the latest scientific findings, the main objective of the paper is to analyse tsunami damping performance of coastal forests and how to determine the contribution of other environmental aspects to the total tsunami attenuation which are often neglected. Moreover, influencing aspects for the development and the use of coastal forests in the frame work of tsunami mitigation are successfully summarized for recommendations

Citation preview

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    130

    Hutan Pantai Untuk Mitigasi Tsunami: Mitos, Realitas dan Tantangan

    ke Depan

    Semeidi Husrin1

    1Peneliti, Balitbang Kelautan dan Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan

    ABSTRAK

    Pasca kejadian tsunami Aceh 2004, penelitian untuk melihat kemampuan hutan

    pantai dalam meredam tsunami semakin gencar dilakukan baik itu dengan cara interpretasi

    citra satelit, observasi lapangan, percobaan laboratorium fisik maupun pemodelan

    numerik. Namun, latar belakang ilmiah dan proses-proses fisik yang terjadi di dalamnya

    masih belum dapat disimpulkan secara menyeluruh. Kejadian tsunami di Jepang pada

    Maret 2011 dan beberapa kejadian tsunami sebelumnya semakin memperlihatkan bahwa

    hutan pantai tidak selamanya memberikan perlindungan terhadap gelombang tsunami.

    Mitos hutan pantai sebagai peredam tsunami dan kondisi realitas di lapangan didiskusikan

    secara mendalam berdasarkan hasil penelitian terkini dengan memperhitungkan aspek

    morfologi hutan, hidrodinamika, dan aspek lingkungan seperti orientasi garis pantai,

    batimetri, dan topografi. Berdasarkan kajian ilmiah dan informasi terkini, tulisan ini

    bertujuan menganalisis secara sistematis efektifitas hutan pantai sebagai peredam tsunami

    di mana salah satu tantangan terbesarnya adalah cara menentukan kontribusi dari aspek -

    aspek lingkungan selain hutan pantai pada nilai redaman tsunami yang kerap terabaikan.

    Lebih jauh lagi, aspek aspek penting untuk pengembangan dan pemanfaatan hutan pantai dalam kerangka mitigasi tsunami di masa yang akan datang berhasil dirangkum untuk

    bahan rekomendasi.

    Kata kunci: Hutan pantai, mitigasi, tsunami, kemampuan meredam, mitos

    ABSTRACT

    After the 2004 Aceh Tsunami, researches on the damping performance of coastal

    forests against tsunami have been conducted either by means of satellite image, field

    survey, physical laboratory and numerical simulation analyses. However, a

    comprehensive conclusion still could not be drawn due to so many unexplained critical

    aspects related to the physical processes involved. The 2011 Japan Tsunami and previous

    events showed us that coastal forests do not always provide protections. Myths

    surrounding the effectiveness of coastal forest in reducing the impact of tsunami and its

    factual data based on a systematic analysis were discussed thoroughly based on forest

    morphology, hydrodynamics, and other environmental aspects such as coastline

    orientation, bathymetry and topography of the region. Considering the latest scientific

    findings, the main objective of the paper is to analyse tsunami damping performance of

    coastal forests and how to determine the contribution of other environmental aspects to the

    total tsunami attenuation which are often neglected. Moreover, influencing aspects for the

    development and the use of coastal forests in the frame work of tsunami mitigation are

    successfully summarised for recommendations.

    Key words: Coastal forest, mitigation, tsunami, damping performance, myth

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    131

    PENDAHULUAN

    Gempa bumi dan Tsunami merupakan salah satu bencana alam yang kerap

    melanda kawasan pesisir di Indonesia. Keberadaan zona subduksi yang tersebar di Barat

    Sumatera dan selatan Jawa serta kawasan Timur Indonesia menjadikan kawasan tersebut

    secara alami menjadi sangat rentan dimana bencana gempabumi dan tsunami dan telah

    banyak menyebabkan kerusakan dan korban jiwa. Kejadian tsunami yang kerap terjadi

    belum mampu menggugah kepekaan pemerintah dan masyarakat Indonesia hingga

    bencana Gempa Bumi dan Tsunami Aceh terjadi pada 26 Desember 2004. Pasca bencana

    tsunami Aceh 2004, investasi besar besaran dalam kerangka upaya mitigasi bencana gempabumi dan tsunami di kawasan pesisir gencar dilakukan di mana - mana mulai dari

    pembangunan infrastruktur sistem peringatan dini hingga pengembangan sistem

    pendidikan (kurikulum) berwawasan kebencanaan. Salah satu upaya mitigasi yang gencar

    dilakukan pemerintah Indonesia adalah penghijauan kawasan pesisir atau greenbelt untuk mitigasi tsunami. Bahkan, dalam Master Plan Pengurangan Resiko Bencana (PRB)

    tsunami 2012-2014, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingdikasikan

    kebutuhan prioritas mitigasi tsunami dengan greenbelt di 127 kota/kabupaten pesisir

    dengan nilai mencapai 50 Milyar rupiah (BNPB, 2012).

    Munculnya kebijakan greenbelt untuk mitigasi tsunami dilatar belakangi oleh

    adanya anggapan dan pendapat yang menyebutkan bahwa hutan pantai memiliki

    kemampuan yang cukup signifikan dalam mereduksi gelombang tsunami. Berbagai

    publikasi dalam bentuk jurnal paper, laporan teknis, dan pemberitaan media banyak yang

    mendukung anggapan tersebut dengan menampilkan data - data lapangan, hasil percobaan

    laboratorium, gambar satelit dan simulasi numerik (Shuto, 1987, Dahdouh-Guebas (2005),

    UNEP (2005), Tanaka et al., 2007). Namun demikian, temuan lapangan yang

    menunjukkan ketidakmampuan hutan pantai dalam mereduksi gelombang tsunami juga

    banyak dijumpai, seperti yang terjadi pada hutan mangrove di Ule Lheu, Banda Aceh di

    mana hutan bakau yang cukup lebat dan luas habis tersapu oleh tsunami dan kayu kayu nya terbawa hingga beberapa kilometer ke daratan (EJF, 2006). Hal hal tersebut jelas memperlihatkan bahwa sebetulnya masih banyak hal hal penting terkait proses fisik interaksi hutan pantai dan gelombang tsunami serta lingkungan sekitarnya yang belum

    diketahui sehingga efektifitas hutan pantai dalam meredam gelombang tsunami belum bisa

    disimpulkan. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang

    latar belakang teknis dan non-teknis pada anggapan hutan pantai yang mampu meredam

    tsunami berdasarkan hasil-hasil penelitian terkini dengan memperhitungkan tidak hanya

    morfologi hutan pantai tetapi juga aspek-aspek lingkungan lainnya seperti topografi,

    batimetri dan orientasi hutan pantai terhadap arah gelombang datang.

    METODE PENELITIAN

    Sumber data dari penelitian ini diperoleh dari studi literatur terkait efektifitas hutan

    pantai dalam meredam gelombang tsunami dan data lapangan di Pangandaran (Husrin et

    al., 2013). Metoda penelitian, penentuan parameter hutan pantai, pendekatan atau

    formulasi numerik dan empiris dari nilai tahanan hidraulik hutan pantai serta kesimpulan

    akhir kemampuan hutan pantai dalam meredam tsunami didiskusikan secara mendalam.

    Selanjutnya, hasil penelitian terkini dari penulis tentang parameterisasi hutan pantai serta

    kemampuan hutan pantai dalam meredam tsunami berdasarkan percobaan laboratorium

    akan ditampilkan di mana pohon bakau dan pohon cemara laut diskalakan sedemikian rupa

    sehingga nilai redaman antar model dan prototipe memiliki kesamaan sifat hidraulik.

    Model yang didapat dari hasil penelitian di laboratorium divalidasi dengan data lapangan

    di Pangandaran, pasca kejadian tsunami 2006. Beberapa hasil penelitian di laboratorium

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    132

    (Husrin, 2013) dan hasil hasil sebelumnya serta data lapangan dari Pangandaran dianalisis kembali untuk selanjutnya diformulasi ulang untuk membedakan mitos dan

    kenyataan dari kemampuan hutan pantai dalam meredam tsunami.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Bagaimana Mitos Terbangun ?

    Hutan pantai sebagai peredam tsunami sudah diterapkan di Jepang pada abad ke-19

    tepatnya pasca kejadian gempa dan tsunami Nankai pada tahun 1854. Goryo Hamaguchi

    memimpin penduduk Desa Hiro (sekarang Kota Hirogawa, Wakayama) untuk membangun

    sebuah sistem perlindungan buatan terhadap bencana tsunami dengan membangun tanggul

    laut yang diatasnya ditanami tanaman pantai (Gambar 1). Sistem ini jelas memperlihatkan

    pentingnya sebuah kombinasi antara dua jenis sistem mitigasi bencana tsunami, yaitu

    tanggul pelindung dan hutan pantai. Sistem seperti ini terbukti ampuh menurunkan

    dampak kejadian tsunami yang terjadi pada tahun 1946 sehingga memacu daerah lain

    untuk melakukan hal serupa. Kegiatan penanaman sistem greenbelt untuk mitigasi tsunami terus berlangsung hingga bencana Tsunami Chile menerjang pesisir timur Jepang

    pada tahun 1960. Kejadian tsunami Chile pada tahun 1960 menggeser kecenderungan

    Jepang dalam membangun sistem mitigasi yang mengutamakan sistem perlindungan

    struktural (hard measures) disamping sistem peringatan dini tsunami. Hal ini bisa terlihat

    dari pembangunan beberapa pemecah gelombang lepas pantai (misal Breakwater Kamaishi

    dan Oofunato) dan pembangunan tembok laut yang banyak dibangun di kawasan kawasan yang rawan bencana tsunami seperti kawasan pesisir Timur Tohoku.

    Gambar 1. Sistem pelindung pantai terhadap bencana tsunami di desa Hiro (Shuto, 2010)

    Secara ilmiah, Shuto (1987) adalah di antara yang pertama yang menjelaskan

    secara sistematis peran penting dari hutan pantai dalam meredam gelombang tsunami

    berdasarkan data dari lima kejadian tsunami besar di Jepang yang terjadi pada tahun 1896,

    1933, 1944, 1960, dan 1983. Shuto (1987) menyebutkan bahwa hutan pantai mungkin

    dapat berfungsi mengurangi tinggi rendaman dan laju tsunami, menyediakan pegangan

    bagi korban yang hanyut, sebagai fasilitas evakuasi vertikal dan menyediakan gundukkan

    tanah sebagai penghalang alami tsunami. Hasil kajian Shuto (1987) memperlihatkan

    pentingnya peran dari geometri pohon pantai dan dimensi dari hutan pantai termasuk

    derajat ketebalannya (kerapatan pohon). Sebagaimana terangkum dalam Oumeraci (2006),

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    133

    peran dari hutan pantai dalam meredam tsunami terlihat cukup signifikan untuk kasus kasus tsunami relatif kecil (Gambar 2).

    Gambar 2. Formulasi Shuto (1987) untuk redaman tsunami oleh hutan pantai (Oumeraci,

    2006)

    Hutan pantai pada umumnya merupakan solusi yang tepat untuk menahan angin

    ekstrim, badai, dan semburan garam. Namun, kemampuan untuk menahan dampak

    tsunami telah menjadi kontroversi di kalangan peneliti sehingga diskusi mengenai peran

    hutan pantai (misalnya mangrove dan vegetasi pantai lainnya seperti Cemara Laut) sebagai

    penghalang tsunami alami yang efektif masih terus berlangsung. Banyak laporan dan hasil

    survei (observasi lapangan, laporan kerusakan, dan citra satelit) telah menunjukkan bukti

    bahwa hutan pantai memainkan peran penting sebagai perlindungan alami terhadap

    tsunami (Shuto (1987), Dahdouh-Guebas et al., (2005), Danielsen et al., (2005), UNEP

    (2005), Kathiresan & Rajendran (2005). Temuan-temuan tersebut juga didukung oleh

    pendekatan semi-analitis dan empiris berdasarkan serangkaian percobaan pada model fisik

    dan numerik (Harada et al., (2002), Istiyanto et al., (2003), Hiraishi & Harada (2003),

    Harada & Kawata (2004), Imai dan Matsutomi (2005), Latief & Hadi. (2006), dan Tanaka

    et al., (2007). Namun, pendapat lain percaya bahwa masih banyak aspek yang tidak

    diketahui untuk menarik kesimpulan untuk efektivitas vegetasi pantai sebagai greenbelt mitigation system. Perambatan tsunami di pantai, efek batimetri dan topografi yang kompleks, dan kemampuan vegetasi dalam menahan kekuatan tsunami adalah beberapa

    aspek yang kurang dipahami. Bukti lapangan (pengamatan kerusakan) juga menunjukkan

    bahwa tidak semua hutan pantai secara efektif melindungi kawasan pesisir dari

    kehancuran. Bahkan di beberapa daerah dengan hutan mangrove yang lebat dan sehat,

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    134

    hutan pantai tidak memberikan perlindungan sama sekali terhadap tsunami (FAO / MOAC

    (2005), Bappenas (2005), Latief & Hadi. (2006), EJF (2006), Forbes & Broadhead (2007).

    Tiga peristiwa tsunami terbaru (Tsunami Chili 2009, Tsunami Mentawai 2010 dan

    Tsunami Jepang 2011) mengungkapkan banyak bukti yang menunjukkan kerusakan berat

    pada hutan pantai dan daerah sekitarnya. Morton et al., (2010) melaporkan bahwa banyak

    pohon ditemukan tumbang, rusak atau roboh dalam peristiwa Tsunami Chili 2010.

    Penyebab kerusakan bervariasi dan tergantung pada banyak aspek lingkungan seperti arah

    gelombang datang, karakteristik pantai dan jenis/karakteristik pohon. Kerusakan serupa

    juga ditemukan di Pagai Selatan Kepulauan Mentawai Indonesia dimana sebagian besar

    pohon di lini depan mengalami kerusakan berat akibat tsunami. Kejadian tsunami di

    Jepang tahun 2011 yang untuk pertama kalinya disiarkan secara langsung menunjukkan

    bagaimana tsunami menghancurkan banyak infrastruktur setelah melewati hambatan hutan

    pantai. Selain itu, seperti dilansir media, 2 km lebar hutan di sepanjang garis pantai

    Prefektur Iwate dengan 70000 pinus merah dan pinus hitam hancur dan hanyut sehingga

    menyisakan satu pohon berdiri dan sekarat. Penelitian awal dari ADRC (2011) juga

    menyebutkan bahwa hutan pantai di sepanjang garis pantai Sendai sebagian besar

    diratakan dan hampir tidak memberikan perlindungan apapun.

    Gambar 3. Parameterisasi model pohon (a) kumpulan silinder dari Petryk & Bosmaijan

    (1975) (b) model terdiri dari media berpori dari Harada dan Kawata (2004) (c)

    Model kawat menyerupai struktur pohon bakau (Istiyanto et al., 2003) (d)

    Model terdiri dari silinder (Kongko, 2004) (e) model pohon Cemara Laut dari

    Imai & Matsutomi (2005), (f) model pohon plastik (Irtem et al., 2009)

    Model-model gelombang tsunami dan interaksi mereka dengan vegetasi telah

    diteliti oleh para peneliti menggunakan asumsi dan metodologi yang berbeda - beda.

    Akibatnya, beberapa model berbeda telah dikembangkan dalam upaya untuk

    menggambarkan efektifitas hutan pantai untuk mengurangi dampak tsunami. Konsep

    perbandingan volume (rasio biomasa terendam terhadap volume kendali), dimensi pohon,

    karakteristik hutan, dan berbagai bentuk koefisien tahanan hidroulik seperti koefisien seret

    dan inersia serta koefisien Manning telah umum diperkenalkan oleh Hiraishi & Harada

    (2003), Harada dan Kawata (2004), Istiyanto et al., (2003), dan Kongko (2004) dengan

    metoda parameterisasi pohon yang berbeda beda (Gambar 3). Pengembangan model ini di mana tsunami disimulasikan sebagai Persamaan Nonlinier Shallow Water Equations

    (NSWE) dalam persamaan momentum 1-D telah dimodifikasi, khususnya dalam

    menggambarkan hambatan hidraulik akibat keberadaan hutan pantai (Latief & Hadi.,

    2006). Selain itu, metodologi penelitian tentang bagaimana jenis vegetasi hutan pantai

    dimodelkan dalam skala laboratorium terkadang masih sangat sederhana dan jauh dari

    mewakili kondisi nyata, khususnya, parameter vegetasi yang berkaitan dengan tahanan

    hidraulik (Oumeraci, 2006). Oleh karena itu, interaksi hutan pantai dan gelombang

    (a) (d)(c)(b) (e) (f)

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    135

    tsunami masih memerlukan penelitian lebih lanjut yang diarahkan untuk peningkatan

    pemahaman dari hutan pesisir sebagai peredam dan pengembangan model prediksi yang

    tepat, termasuk parameterisasi fisik yang tepat dari setiap jenis vegetasi hutan pantai.

    Dari diskusi di atas, meskipun potensi hutan pantai dalam meredam dampak

    tsunami dapat saja terjadi. Kamampuan hutan pantai masih tebatas pada skala dan kondisi

    tertentu dari tsunami. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan hutan pantai mampu

    meredam dampak tsunami merupakan pendapat yang memiliki resiko tinggi dan dalam

    beberapa kasus dapat dikategorikan sebagai sebuah mitos (informasi yang belum tentu

    kebenarannya). Lahirnya mitos hutan pantai untuk mitigasi tsunami dipengaruhi oleh

    aspek aspek sebagai berikut: - Kajian dari interaksi gelombang angin / aliran sungai dengan vegetasi yang

    mengindikasikan kemampuan vegetasi dalam mereduksi gaya - gaya hidraulik

    - Kajian efektifitas hutan pantai dalam meredam tsunami yang masih parsial di mana aspek lingkungan sekitar, morfologi hutan pantai, serta kestabilan

    struktural pohon kurang mendapat perhatian atau belum dilibatkan

    - Metoda dan pendekatan yang berbeda dalam menurunkan redaman hidraulik yang diakibatkan oleh keberadaan hutan pantai

    - Dukungan yang cukup kuat dari pegiat lingkungan yang menghendaki penghijauan di kawasan pesisir

    Kerusakan hutan pantai akibat tsunami

    Pengamatan dari peristiwa tsunami baru-baru ini (misalnya Tsunami Aceh 2004

    dan Tsunami Selatan Jawa 2006) telah menunjukkan gambaran efektifitas hutan pantai

    dalam meredam tsunami. Tsunami Mentawai 2010 dan Tsunami Jepang 2011

    menunjukkan bahwa hutan pantai hancur total akibat tsunami (Gambar 4). Besarnya skala

    tsunami mungkin berkontribusi terhadap kerusakan hutan pantai sepanjang garis pantai.

    Namun, aspek lain yang belum diteliti secara lebih rinci seperti topografi tepi pantai,

    batimetri, karakteristik vegetasi, dll mungkin juga memainkan peran penting. Vegetasi

    hutan pantai dapat menjadi efektif dalam mitigasi tsunami jika stabilitas struktural dari

    pohon-pohon pembentuk hutan pantai terjaga (tidak tergerus, tetap berdiri). Selain itu,

    serpihan pohon-pohon yang hancur juga dapat terbawa aliran tsunami dan menjadi puing-

    puing terapung yang mematikan (Latief & Hadi, 2006).

    Tipe kerusakan yang paling umum terjadi pada vegetasi hutan pantai setelah

    diterjang tsunami adalah patah batang. Patah batang telah banyak dilaporkan di awal

    penelitian terhadap efektivitas hutan pantai dalam mitigasi tsunami (Shuto, 1987).

    Pengikisan (scouring), usia hutan, luas hutan dan densitas hutan juga secara statistik

    teridentifikasi sebagai faktor penting yang berpengaruh dalam meredam dampak tsunami.

    Berdasarkan data statistik lapangan, batang yang rusak dengan kondisi seperti terlihat pada

    Gambar 4 adalah tipe kerusakan yang kerap ditemui. Setelah tsunami Aceh 2004, banyak

    laporan yang menggambarkan kerusakan hutan pantai telah diselidiki. Tanaka et al.,

    (2007) mengumpulkan delapan species vegetasi berbeda di kawasan pantai Sri Lanka dan

    Thailand setelah tsunami Aceh 2004. Ditemukan bahwa banyak aspek berkontribusi

    terhadap kerusakan vegetasi pantai. Batang patah biasanya ditemukan di hutan yang

    didominasi oleh pohon berdiameter lebih kecil atau usia muda atau di daerah di mana

    ketinggian tsunami yang sangat besar. Pentingnya peran distribusi lateral pohon yang

    membentuk suatu hutan terhadap arah datangnya tsunami juga sangat berperan dalam

    meredam gelombang.

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    136

    Gambar 4. Kerusakan hutan pantai di Pulau Pagai pasca Tsunami Mentawai 2010 (sumber

    foto: tim survey GITEWS)

    Kasus batang patah juga dilaporkan oleh Bappenas (2005) dan Yanagisawa et al.,

    (2009). Survei lapangan dilakukan dalam hutan yang didominasi Rhizophora di Pakarang

    Cafe, Thailand dimana ketinggian tsunami diperkirakan sekitar 5-10 m. Mereka

    menemukan bahwa 70% dari total hutan hancur. Berdasarkan data tersebut, Rhizophora

    kehilangan 77% populasinya sedangkan Avicennia hampir 100%. Sekitar 72% hutan

    mangrove dengan diameter batang 0,15 - 0,20 m selamat sementara sisanya mengalami

    kerusakan yang didominasi batang patah di atas akar Rhizophora sp. Species ini memiliki

    sistem akar yang luas dan membuatnya kuat secara alami untuk tetap berdiri di tanah tetapi

    tidak untuk batang (lihat Gambar 5). Pepohonan yang tercabut (uprooted) dari akarnya

    biasanya ditemukan di garis depan hutan pada sebagian besar kasus kejadian tsunami.

    Kasus pohon yang tercabut dipengaruhi oleh usia pohon, karakterisasi spesies vegetasi

    oleh sistem akar dangkal, karakteristik tanah, dan densitas hutan. Berdasarkan aspek-aspek

    tersebut, semua vegetasi kecuali Rhizophora sp. dan khususnya bagi yang memiliki sistem

    akar menyebar akan rentan terhadap kasus tercabut dari akar (Latief & Hadi, 2006; Tanaka

    et al., 2007). Spesies Rhizophora sp. juga rentan tercabut ketika pepohonan masih pada

    usia muda.

    Tipe kerusakan lain yang berpengaruh pada efektivitas vegetasi hutan pantai

    terhadap tsunami adalah pohon tumbang (tilted). Pohon yang miring juga dianggap sebagai

    tipe kerusakan pohon dalam kategori ini. Kasus-kasus seperti ini bisa ditemukan pada

    hampir semua jenis vegetasi dan terkait dengan kekuatan gelombang tsunami, karakteristik

    tanah, spesies vegetasi, kekakuan batang dan umur pohon (Yanagisawa et al., 2009).

    Singkatnya, kerusakan hutan pantai yang terkait dengan efektivitas mereka untuk meredam

    tsunami dapat dikategorikan menjadi tiga tipe kegagalan yang berbeda berdasarkan

    integritas struktural dan karakteristik morfologi. Tabel 1 menunjukkan ringkasan tipe

    kerusakan untuk Mangrove (Rhizophora sp.) dan Cemara laut (C. equisetifolia).

    I n d o n e s i aI n d o n e s i a

    Padang City

    Bengkulu

    City

    3.61 S, 99.93E

    7.2 RS, 10 km deep

    Tsunami ~3 - 7 m

    S u m

    a t e r a

    Jakarta

    AUSTRALIA

    ASIA

    a) The 2010 Mentawai Tsunami

    b) The damage of coastal forest in Pagai Island, Mentawai

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    137

    Gambar 5. Batang patah merupakan tipe dampak kerusakan yang paling umum untuk

    mangrove (Rhizophora sp.) (Yanagisawa et al., 2009)

    Tabel 1. Ringkasan tipe kerusakan Mangrove dan Cemara Laut

    No. Tipe kerusakan Species Aspek yang berpengaruh

    1. Batang/cabang

    patah

    Mangrove (Rhizophora

    sp.)

    Sistem akar kompleks, tajuk,

    diameter batang and kekakuan

    berhubungan dengan usia pohon

    Cemara Laut

    (C. equisetifolia)

    Diameter batang dan kekakuan

    berhubungan dengan usia pohon

    2. Tercabut Cemara Laut

    (C. equisetifolia)

    Karakteristik tanah, system akar

    dangkal, usia muda, densitas tegak

    hutan,dan lokasi (kebanyakan kasus

    ditemukan di bagian depan)

    Mangrove (Rhizophora

    sp.)

    Usia muda, karakteristik tanah, dan

    densitas hutan

    3. Tumbang Mangrove dan Cemara

    Laut

    Diameter batang dan kekakuan

    berhubungan dengan usia pohon

    Hambatan Hidraulik Hutan Pantai Terhadap Tsunami

    Pengukuran lapangan, percobaan laboratorium serta pendekatan teoritis dan

    numerik telah banyak dilakukan untuk menurunkan hambatan hidraulik (hydraulic

    resistance) dari hutan pantai terhadap tsunami dan gelombang badai. Umumnya hambatan

    hidraulik hutan pantai terhadap tsunami berupa sbb:

    - Kehilangan energi seret dan inersia yang dapat digambarkan dengan koefisien seret

    dan inersia (CD dan CM) sebagai fungsi dari kedalaman air, rezim aliran (misal Bilangan

    Reynolds, Re ), dan densitas hutan.

    - Friksi dasar/permukaan yang dapat direpresentasikan oleh nilai kekasaran Manning

    (n) sebagai fungsi dari tipe lanskap pantai dari dasar pantai (seperti pasir atau lumpur), dan

    semak.

    - Viskositas Eddy dan kehilangan energi vortex karena aliran turbulen melalui hutan

    Sejauh ini, koefisien seret CD, koefisien inersia CM dan kekasaran Manning 'n'

    telah banyak digunakan dalam model teoritis maupun numerik untuk menyelidiki peran

    hutan pantai dalam mengurangi dampak tsunami. Selain pendekatan dan metodologi yang

    berbeda, koefisien hambatan untuk menggambarkan resistensi hidrolik vegetasi hutan

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    138

    dihasilkan dari percobaan laboratorium dengan memodifikasi koefisien kekasaran

    Manning (n) sebagai fungsi dari koefisien tarik dan koefisien inersia (CD dan CM).

    Koefisien seret dan inersia sangat dipengaruhi oleh karakteristik geometris dari pohon,

    kekakuan vegetasi, dan rezim aliran ditandai dengan angka Reynolds (Re ). CD dan CM

    telah diturunkan langsung dari kecepatan dan elevasi permukaan yang didapat dari

    percobaan laboratorium (atau pengukuran lapangan) menggunakan persamaan Morison

    (Morison et al., 1950.) sbb:

    21

    2t D v M v

    Drag force Inertia force

    uF C A u C V

    t

    (1)

    Dimana:

    Ft : total gaya hidraulik [N]

    : densitas air [kg/m3] Av : area bagian melintas dari subyek badan untuk mengalir [m2]

    Vv : volume subyek badan untuk mengalir [m3]

    u : kecepatan aliran [m/s] u

    t

    : percepatan aliran air [m/s2]

    CD : koefisien seret [-]

    CM : Koefisien inersia [-]

    Umumnya koefisien hambatan hidraulik dalam bentuk koefisien seret CD,

    koefisien inersia CM dan kekasaran Manning 'n' diturunkan dari percobaan laboratorium

    menggunakan model pohon dengan bahan dan metoda yang berbeda-beda. Hasilnya, saat

    ini kita menemukan berbagi rumus dan nilai dari Cd, CM dan n yang berbeda-beda

    (Gambar 3). Dalam studi kali ini, metodologi pendekatan yang diterapkan oleh

    Yanagisawa et al., (2009) dan Husrin, (2013) untuk mendapatkan nilai kekasaran

    permukaan dan koefisien seret dari hutan akan diterapkan. Formula yang sudah diterapkan

    oleh Yangisawa dkk (2009) cukup praktis untuk dapat diterapkan pada pemodelan numerik

    menggunakan Nonlinear Shallow Water Equation (NLSWE) model. Sementara itu,

    pemilihan hambatan hidraulik berdasarkan metoda yang dipakai oleh Husrin (2013)

    memberikan panduan praktis dalam estimasi nilai CD berdasarkan estimasi ketinggian

    tsunami dan geometri dari pohon pantai. Persamaan nilai koefisien kekasaran Manning

    sebagai fungsi dari koefisien seret (CD) berdasarkan Yanagisawa et al., (2009) adalah sbb:

    4/3

    2( )2

    re D f b

    Hn C A n

    gV

    (2)

    Dimana: CD : Koefisien seret [-]

    g : percepatan gravitasi [m/s2]

    Af : luas bidang depan dari pohon yang terendam [m2]

    nb : kekasaran Manning roughness untuk permukaan dasar [s/m1/3

    ]

    V : volume kontrol sebagai fungsi dari kedalaman air [m3]

    Hr : kedalaman air keseluruhan (h+) [m]

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    139

    Contoh Kasus Pangandaran 2006 (Realitas Lapangan dan Tantangan ke Depan)

    Gempa yang terjadi di selatan Pangandaran pada tanggal 17 Juli 2006 telah

    membangkitkan tsunami yang melanda sebagian pesisir Selatan Jawa Barat dan Jawa

    Tengah. Gempa tersebut terjadi pada pukul 15:19:73 WIB, dan 20 menit kemudian

    gelombang tsunami melanda sebagian pesisir selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah,

    kerusakan paling parah terjadi di pesisir Pangandaran. Ketinggian tsunami di pantai

    bervariasi dari 1 3,5 meter dan rambahan 75 500 meter (Badan Geologi, 2014). Akibat tsunami tersebut dilaporkan telah menelan korban jiwa sekitar 668 jiwa, 65 orang hilang,

    dan 9.299 jiwa dirawat karena bencana tersebut (Lavigne et al., 2006). Pasca kejadian

    tsunami, tim survey baik itu dari komunitas nasional dan internasional berdatangan ke

    Pangandaran dan sekitarnya. Tim survey pasca tsunami dari BMKG menyatakan bahwa

    tsunami sama sekali tidak diperkirakan akan datang oleh sebagian besar masyarakat pesisir

    karena gempa yang relatif terasa kecil. Suara ledakan dari arah lautan terdengar jelas

    beberapa saat sebelum tsunami tiba yang diikuti oleh surutnya muka air laut 50 100 m. Survey yang dilakukan oleh Tim BMKG dari Pameumpeuk Garut hingga Yogyakarta

    mencatat ketinggian maksimun hingga 6,96 m di Pantai Suwu (Kebumen) di mana

    gelombang tsunami menerjang pesisir tiga kali. Gelombang yang kedua merupakan

    gelombang yang paling tinggi dan merusak (BMKG, 2006).

    Dari sekian banyak paparan karakteristik tsunami di Pangandaran, gambaran yang

    diberikan oleh Lavigne et al., (2007) memberikan data dan informasi yang lebih lengkap

    dan mencakup wilayah yang lebih luas dibanding sumber-sumber lainnya (Gambar 6).

    Selain mengkompilasi beberapa hasil survey sebelumnya, Lavigne et al., (2007) juga

    memaparkan karakteristik fisik tsunami dan waktu kedatangannya dengan sangat rinci

    berdasarkan temuan di lapangan, wawancara dan rekaman video dari PLTU di Cilacap.

    Pangandaran mengalami ketinggian tsunami hingga 8 m sementara ketinggian maksimum

    terukur mencapai 15,7 m di Pulau Nusa Kambangan. Disebutkan pula bahwa Pantai Timur

    Pangandaran mengalami sedikit kerusakan yang diakibatkan oleh padatnya bangunan di

    sepanjang pantai barat yang mereduksi sebagian besar gelombang tsunami yang datang

    dari arah barat menuju timur. Berbeda dengan temuan Hawkes et al.,(2006) yang

    melaporkan waktu kedatangan tsunami sekitar 20 menit setelah kejadian gempa, Lavigne

    et al., (2007) menyimpulkan bahwa gelombang tsunami yang pertama tiba di Pangandaran

    sekitar 1 jam setelah kejadian gempa (jam 16.20 WIB, gempa terjadi pada jam 15.19

    WIB). Hal ini, diperkuat dengan data-data lapangan seperti jam dinding yang berhenti

    karena terendam tsunami, foto-foto dari saksi mata dan rekaman video PLTU Cilacap.

    Kejadian tsunami pangandaran 2006 juga melahirkan anggapan tentang peran dari

    hutan pantai dalam meredam dampak tsunami. Hutan pantai di sepanjang pesisir

    Pangandaran telah lama mengalami kerusakan akibat pembukaan lahan untuk berbagai

    kepentingan ekonomi. Beberapa publikasi seperti dilaporkan oleh Latief dan Hadi (2006)

    masih mempertanyakan apakah hutan antai benar benar mampu meredam dampak tsunami mengingat berbagai kajian dengan hanya membandingkan kondisi dengan dan

    tanpa keberadaan hutan pantai dikaitkan dengan tingkat kerusakan belum cukup untuk

    menarik kesimpulan tersebut.

    Sistem hutan pantai berlapis yang menitikberatkan pada pengaturan jenis tanaman

    di mana tanaman kecil berada di depan dan tanaman lebih besar ditempatkan di belakang

    diharapkan mampu memberikan redaman tsunami yang lebih baik (Mile, 2007). Pada

    sistem ini, aspek estetika juga diterapkan untuk lokasi wisata dan non-wisata, di mana

    untuk lokasi wisata, beberapa spesies dengan nilai estetika lebih baik banyak ditanam.

    Kondisi saat ini atau enam tahun setelah penanaman, hutan pantai Pangandaran didominasi

    pohon dengan usia muda dengan jenis Ketapang, Waru laut, Kelapa, dan Pandan laut

    sangat mendominasi (Gambar 7). Namun, pola tanam yang direncanakan pada tahun 2007

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    140

    tidak terlihat di lapangan karena tingginya aktifitas manusia di daerah tersebut dan

    tingginya kematian pohon pohon pasca penanaman. Simulasi numerik menggunakan model tsunami Nonlinear Shallow Water

    Equation Model (NLSWE) untuk melihat efektifitas dari hutan pantai serta parameter parameter lingkungan lainnya telah dilakukan dengan merekonstruksi kejadian tsunami

    tahun 2006 dan dengan mempertimbangkan kondisi pantai dengan dan tanpa kehadiran

    hutan pantai. Nilai kekasaran dari hutan pantai diambil dari persamaan 2 di mana data

    lapangan hasil survey tahun 2013 menjadi acuan dalam penentuan koefisien seret (CD) dan

    parameter parameter lainnya (Husrin et al., 2013). Analisis numerik memperlihatkan bahwa peran batimetri dan topografi jauh lebih penting dibanding hutan pantai. Kontribusi

    dari hutan pantai terhadap atenuasi total tsunami kurang dari 5 %, sementara peran dari

    topografi serta orientasi dari garis pantai mencapai lebih dari 90%. Hal ini terjadi karena

    karakteristik hutan pantai yang tidak terlalu rapat (jarak tanaman sekitar 4 m x 4 m) dan

    lebarnya hanya sekitar 100 m (Husrin et al.,2013).

    Gambar 6. Tinggi tsunami di Pesisir Selatan Jawa. Tsunami mencapai ketinggian 15,7 m

    di Pulau Nusa Kambangan (Lavigne et al., 2007)

    Hasil yang didapat dari lapangan dan simulasi numerik di Pangandaran sesuai

    dengan data data lapangan sebelumnya sebagaimana terangkum dalam Gambar 8. Dari Gambar 8 terlihat bahwa tsunami dengan ketinggian pada atau melebihi tajuk pohon

    (canopy) akan cenderung merusak hutan pantai. Atau dengan kata lain, efektifitas hutan

    pantai dalam meredam tsunami dengan ketinggian mencapai tajuk atau lebih tidak dapat

    diandalkan. Namun, untuk tsunami dengan ketinggian di bawah tajuk pohon, kemungkinan

    hutan pantai dalam meredam tsunami mungkin terjadi dengan mempertimbangkan aspek

    jenis pohon, kerapatan serta keutuhan strukturalnya. Lebih rinci lagi, untuk tsunami kecil

    tersebut, peran topografi terlihat lebih signifikan dalam mereduksi gelombang tsunami

    dibanding hutan pantai. Walaupun, peran hutan pantai tidak terlalu besar, peran

    lingkungan hutan pantai (topografi) yang merupakan satu kesatuan tidak bisa

    dikesampingkan. Hutan mangrove merupakan salah satu habitat penting yang berperan

    banyak dalam hal meredam gelombang tsunami karena hutan mangrove terletak di daerah

    yang sudah terlindung baik itu oleh batimetri yang dangkal maupun wilayahnya yang

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    141

    terisolasi dari gelombang ekstrim. Oleh karena itu, kebijakan untuk penanaman hutan

    pantai untuk mitigasi tsunami sebaiknya memperhatikan aspek jenis vegetasi hutan pantai,

    pemanfaatan/kesesuaian lahan, topografi, batimetri dan orientasi garis pantai yang

    berperan cukup penting dalam efektifitas hutan pantai dan lingkungannya dalam meredam

    tsunami. Penggunaan hutan pantai sebagai sistem pelindung pelapis (bukan sistem mitigasi

    utama) seperti yang dicontohkan di Jepang mungkin bisa dijadikan sebagai acuan.

    Peninggian topografi hutan pantai akan memberikan efek tambahan dalam mereduksi

    tsunami. Namun demikian, dari sekian banyak usaha yang telah dilakukan tantangan

    terbesar pada upaya mitigasi dengan hutan pantai adalah perawatan dan budaya sosial dari

    masyarakat untuk menjaga lingkunganya. Pendidikan atau informasi kepada masyarakat

    bahwa hutan pantai tidak dapat menjamin reduksi tsunami perlu sosialisasikan.

    Gambar 7. Skema kondisi hutan pantai di Pangandaran berdasarkan perencanaan tahun

    2007 dan kondisi di lapangan tahun 2013 (Husrin et al., 2013)

    Gambar 8. Peran hutan pantai dan lingkungannya dalam meredam gelombang tsunami

    berdasarkan data lapangan

    The design in 2007

    Real condition in 2013

    The design in 2007

    Real condition in 2013

    a) Tourism area

    b) Non-tourism area

    (Mile, 2007)

    (Mile, 2007)

    70 % (1)

    0.0 % (1)

    50 % (1)

    74% (2)

    55% (2)

    50% (2)

    0.0 % (2) 0 % (3)

    < 2 m

    < 4 m

    < 10 m

    > 10 m

    0 % (4)

    50% (5)

    20% (6)

    0% (7)

    1. Yanagisawa et al., (2010), 2. Yanagisawa et al., (2009), 3. Tanaka et al., (2006), 4. Fritz et al., (2012), 5. Cyranoski (2012), 6. World bank (2012), 7. Imamura & Anawat (2012)

    Bathymetry reduction

    topography, significant reduction

    topography, geometry, density & forest widht,

    tsunami reduction possible

    canopy, forest density, no reduction, tsunami is

    too strong

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    142

    KESIMPULAN

    Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa efektifitas hutan pantai dalam

    mereduksi dampak gelombang tsunami dapat menjadi mitos jika tidak mempertimbangkan

    aspek morfologi hutan pantai serta parameter parameter lingkungan seperti topografi, batimetri dan orientasi garis pantai. Hutan pantai tidak dapat sepenuhnya diandalkan untuk

    kasus kasus tsunami dengan ketinggian melebihi tajuk pohon karena kekuatan gelombang tsunami terlalu besar untuk diredam oleh barisan hutan pantai yang mudah

    mengalami patah, tercabut atau runtuh. Namun demikian, hutan pantai tetap dapat

    diandalkan untuk untuk kasus kasus tsunami yang tidak terlalu besar di mana faktor lingkungan berperan jauh lebih besar dibanding hutan pantai itu sendiri. Oleh karena itu,

    pendidikan serta informasi kepada masyarakat tentang efektifitas hutan pantai dalam

    meredam tsunami perlu disosialisasikan secara menyeluruh. Perawatan, kepastian hukum

    serta kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan menjadi tantangan terbesar ke

    depan dalam pemanfaatan hutan pantai sebagai salah satu upaya mitigasi bencana tsunami

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada Loka Penelitian Sumberdaya dan

    Kerentanan Pesisir (LPSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah mendanai kegiatan penelitian di Pnagandaran pada tahun 2013. Ucapan terimakasih juga

    kami ucapkan kepada Persatuan Alumni Jerman (PAJ) Aceh dan DAAD yang telah

    mendanai kegiatan Seminar Nasional di Banda Aceh dalam rangka memperingati 10 tahun

    bencana Tsunami Aceh.

    DAFTAR PUSTAKA

    ADRC & IRP. 2011. Great east japan earthquake preliminary oberservation, (GLIDE: EQ-2011-000028-JPN), May 2011.

    BAPPENAS, 2005. Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias,

    Sumatera Utara: Buku 1 Rencana Bidang Tata Ruang dan Pertanahan, Jakarta,

    Indonesia (Indonesian).

    BMKG, 2006. Survey tsunami pantai selatan jawa, Laporan tim survey BMKG, Jakarta

    BNPB, 2012. Master Plan Pengurangan Resiko Bencana Tsunami: Menuju Indonesia

    Tangguh Menghadapi Bencana Tsunami, Badan Nasional Penanggulangan

    Bencana BNPB, Jakarta

    Cyranoski, D. 2012. Rebuilding Japan: After the deluge, news feature, Nature 483, 141143 (08 March 2012)

    Dahdouh-Guebas, F., L.P. Jayatissa, D. Di Nitto, J.O. Bosire, D. Lo Seen & N. Koedam,

    2005.How effective were mangroves as a defence against the recent tsunami ?

    Current Biology 15(12): R443-447

    Danielsen, M.K., Sorensen, M.F. Olwig, V. Selvam, F. Parish, N.D. Burgess, T. Hiralshi,

    V.M. Karunagaran, M.S. Rasmussen, L.B. Hansen, A. Quarto & N. Suryadiputra,

    .2005. The Asian tsunami: a protective role for coastal vegetation, Science 310 p. 643

    EJF, 2006. Mangroves: Nature's defence against Tsunamis - A report on the impact of

    mangrove loss and shrimp farm development on coastal defences. Environmental Justice Foundation, London, UK, pp. 30.

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    143

    FAO/MOAC, 2005. Report of Joint FAO/MOAC Detailed Technical Damages and Needs

    Assessment Mission in Fisheries and Agriculture Sectors in Tsunami Affected Six

    Provinces in Thailand 11-24 January 2005, FAO/MOAC

    Forbes, K., Broadhead, J., 2007. The role of coastal forests in the mitigation of tsunami

    impacts, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), FAO, Bangkok, 20 pp.

    Harada, K., Kawata, Y., 2004. Study on Tsunami Reduction Effect of Coastal Forests due

    to Forest Growth, Annuals of Disaster Prevention Research Institute, Tokyo Universty - Japan.

    Hawkes, A.D., engelhard, S., & horton, B.P., 2007. Tsunami: A white cobra hits

    Pangandaran West Java, Geology Today Vol.23, No.1, Blacwell pubs, ltd.

    Hiraishi, T., & Harada, K., 2003. Greenbelt Tsunami Prevention in South-Pacific Region. Report of the Port and Airport Research Institute, 42, 123

    Husrin, H, Jaya Kelvin, Aprizon Putra, Joko Prihantono,

    Yudhi Cara, Aditya Hani, 2013.

    Assessment on the characteristics and the damping performance of coastal forests

    in Pangandaran after the 2006 Java Tsunami, presented paper on 3rd

    International

    Symposium on Earthquake and Disaster Mitigation, Yogyakarta - Indonesia

    Husrin, S., 2013. Attenuation of solitary waves and wave trains by coastal forests, PhD

    thesis, TU Braunschweig, Germany

    Imai, K.; Matsutomi, H., 2005. Fluid force on vegetation due to the tsunami flow on sand

    spit. K. Satake (ed.), Tsunamis: Case Studies & Recent Developments, pp. 293-304.

    Irtem, E.,Gedik, N.,Kabdasli, M.S.,& YaSA, N.E., 2009. Coastal forest effects on tsunami

    run-up heights, Ocean Engineering 36 (2009) 313320.

    Istiyanto, D.C., Utomo K.S., & Suranto, 2003. Pengaruh Rumpun Bakau Terhadap

    Perambatan Tsunami di Pantai, Seminar Mengurangi Dampak Tsunami: Kemungkinan Penerapan Hasil Riset, BPPT JICA, 11 March 2003, Yogyakarta

    Kathiresan & Rajendran, 2005. Coastal mangrove forests mitigated tsunami, Estuarine,

    Coastal and Shelf Science 65 (2005), pp. 601606.

    Kongko, W., 2004. Study On Tsunami Energy Dissipation In Mangrove Forest, Master

    Thesis Report, Iwate University, Japan.

    Latief, H., & Hadi, S., 2006. Protection from Tsunamis, Coastal Protection in the

    Aftermath of the Indian Ocean Tsunami: What role for forests and trees?; proceedings of the regional technical workshop, FAO, Khao Lak, Thailand.

    Lavigne, F., Gomes, C., Giffo, M., Wassmer, P., Hoebreck, C., Mardiatno, D., Prioyono,

    J., & Paris R., 2007. Field Observation of the 17 July 2006 Tsunami in Java,

    Natural Hazards and Earth Systems Sciences, 7: 177-183.

    Mile, YM, 2007. The Development of CoastalSpecies for Rehabilitation and Protection

    Coastal Regions After Ttsunami, INFO TEKNIS Vol. 5 no. 2, September 2007,

    Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (In

    Indonesian)

    Morison, J.R. , Obrien, M.P., Johnson, J.W. & Shaaf, S.A. 1950. The force exerted by surface waves on piles, AIME Petroleum Transactions 189 (1950), pp. 149154.

  • Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana

    Banda Aceh, 22 November 2014

    144

    Morton, R.A., Buckley, ML., Gelfenbaum, G., Richmond, BM., Cecioni, A., Artal, O.,

    Hoffmann, C., and Perez, F. 2010. Geological Impacts and Sedimentary Record of the February 27, 2010, Chile TsunamiLa Trinchera to Concepcion, USGS/ITST

    Oumeraci, H. 2006. Tsunami Attenuation performance of Coastal Forest (TAFPOR), DFG Research Proposal, TRIAS Project, Braunschweig Germany.

    Petryk, S. and G. Bosmaijan., G. 1975. Analysis of flow through vegetation, Journal of

    Hydraulics Div., ASCE: pp:871884.

    Shuto, 2010. Structure-prefered tsunami countermeasures after the chile tsunami of 1960,

    Presentation slide, International Tsunami Field Symposium (ITFS) - Sendai 2010.

    Shuto, N., 1987. The effectiveness and limit of tsunami control forests, Coastal

    Engineering in Japan 30: pp.143-153.

    Tanaka, N., Sasaki, Y., Mowjood, M.I.M., Jinadasa, K.B.S.N. and Homchuen, S., 2007.

    Coastal vegetation structures and their functions in tsunami protection: experience

    of the recent

    UNEP, 2005. After the tsunami - Rapid Environmental Assessment. Thailand, pp. 301-

    304.

    World Bank, 2012. Greenbelts and coastal risk management, cluster 2: Nonstructural

    measures, Knowledge Note 2-7 World Bank report 2012.

    Yanagisawa, H., Koshimura, S., Goto, K., Miyagi,T., Imamura, F., Ruangrassamee, A.

    and Tanavud, C., 2009. The reduction effects of mangrove forest on a tsunami

    based on field surveys at Pakarang Cape, Thailand and numerical analysis,

    Estuarine, Coastal and Self Sciences 81 (2009) pp. 2737.