Upload
semeidi-husrin
View
33
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
After the 2004 Aceh Tsunami, researches on the damping performance of coastal forests against tsunami have been conducted either by means of satellite image, field survey, physical laboratory and numerical simulation analyses. However, a comprehensive conclusion still could not be drawn due to so many unexplained critical aspects related to the physical processes involved. The 2011 Japan Tsunami and previous events showed us that coastal forests do not always provide protections. Myths surrounding the effectiveness of coastal forest in reducing the impact of tsunami and its factual data based on a systematic analysis were discussed thoroughly based on forest morphology, hydrodynamics, and other environmental aspects such as coastline orientation, bathymetry and topography of the region. Considering the latest scientific findings, the main objective of the paper is to analyse tsunami damping performance of coastal forests and how to determine the contribution of other environmental aspects to the total tsunami attenuation which are often neglected. Moreover, influencing aspects for the development and the use of coastal forests in the frame work of tsunami mitigation are successfully summarized for recommendations
Citation preview
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
130
Hutan Pantai Untuk Mitigasi Tsunami: Mitos, Realitas dan Tantangan
ke Depan
Semeidi Husrin1
1Peneliti, Balitbang Kelautan dan Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan
ABSTRAK
Pasca kejadian tsunami Aceh 2004, penelitian untuk melihat kemampuan hutan
pantai dalam meredam tsunami semakin gencar dilakukan baik itu dengan cara interpretasi
citra satelit, observasi lapangan, percobaan laboratorium fisik maupun pemodelan
numerik. Namun, latar belakang ilmiah dan proses-proses fisik yang terjadi di dalamnya
masih belum dapat disimpulkan secara menyeluruh. Kejadian tsunami di Jepang pada
Maret 2011 dan beberapa kejadian tsunami sebelumnya semakin memperlihatkan bahwa
hutan pantai tidak selamanya memberikan perlindungan terhadap gelombang tsunami.
Mitos hutan pantai sebagai peredam tsunami dan kondisi realitas di lapangan didiskusikan
secara mendalam berdasarkan hasil penelitian terkini dengan memperhitungkan aspek
morfologi hutan, hidrodinamika, dan aspek lingkungan seperti orientasi garis pantai,
batimetri, dan topografi. Berdasarkan kajian ilmiah dan informasi terkini, tulisan ini
bertujuan menganalisis secara sistematis efektifitas hutan pantai sebagai peredam tsunami
di mana salah satu tantangan terbesarnya adalah cara menentukan kontribusi dari aspek -
aspek lingkungan selain hutan pantai pada nilai redaman tsunami yang kerap terabaikan.
Lebih jauh lagi, aspek aspek penting untuk pengembangan dan pemanfaatan hutan pantai dalam kerangka mitigasi tsunami di masa yang akan datang berhasil dirangkum untuk
bahan rekomendasi.
Kata kunci: Hutan pantai, mitigasi, tsunami, kemampuan meredam, mitos
ABSTRACT
After the 2004 Aceh Tsunami, researches on the damping performance of coastal
forests against tsunami have been conducted either by means of satellite image, field
survey, physical laboratory and numerical simulation analyses. However, a
comprehensive conclusion still could not be drawn due to so many unexplained critical
aspects related to the physical processes involved. The 2011 Japan Tsunami and previous
events showed us that coastal forests do not always provide protections. Myths
surrounding the effectiveness of coastal forest in reducing the impact of tsunami and its
factual data based on a systematic analysis were discussed thoroughly based on forest
morphology, hydrodynamics, and other environmental aspects such as coastline
orientation, bathymetry and topography of the region. Considering the latest scientific
findings, the main objective of the paper is to analyse tsunami damping performance of
coastal forests and how to determine the contribution of other environmental aspects to the
total tsunami attenuation which are often neglected. Moreover, influencing aspects for the
development and the use of coastal forests in the frame work of tsunami mitigation are
successfully summarised for recommendations.
Key words: Coastal forest, mitigation, tsunami, damping performance, myth
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
131
PENDAHULUAN
Gempa bumi dan Tsunami merupakan salah satu bencana alam yang kerap
melanda kawasan pesisir di Indonesia. Keberadaan zona subduksi yang tersebar di Barat
Sumatera dan selatan Jawa serta kawasan Timur Indonesia menjadikan kawasan tersebut
secara alami menjadi sangat rentan dimana bencana gempabumi dan tsunami dan telah
banyak menyebabkan kerusakan dan korban jiwa. Kejadian tsunami yang kerap terjadi
belum mampu menggugah kepekaan pemerintah dan masyarakat Indonesia hingga
bencana Gempa Bumi dan Tsunami Aceh terjadi pada 26 Desember 2004. Pasca bencana
tsunami Aceh 2004, investasi besar besaran dalam kerangka upaya mitigasi bencana gempabumi dan tsunami di kawasan pesisir gencar dilakukan di mana - mana mulai dari
pembangunan infrastruktur sistem peringatan dini hingga pengembangan sistem
pendidikan (kurikulum) berwawasan kebencanaan. Salah satu upaya mitigasi yang gencar
dilakukan pemerintah Indonesia adalah penghijauan kawasan pesisir atau greenbelt untuk mitigasi tsunami. Bahkan, dalam Master Plan Pengurangan Resiko Bencana (PRB)
tsunami 2012-2014, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingdikasikan
kebutuhan prioritas mitigasi tsunami dengan greenbelt di 127 kota/kabupaten pesisir
dengan nilai mencapai 50 Milyar rupiah (BNPB, 2012).
Munculnya kebijakan greenbelt untuk mitigasi tsunami dilatar belakangi oleh
adanya anggapan dan pendapat yang menyebutkan bahwa hutan pantai memiliki
kemampuan yang cukup signifikan dalam mereduksi gelombang tsunami. Berbagai
publikasi dalam bentuk jurnal paper, laporan teknis, dan pemberitaan media banyak yang
mendukung anggapan tersebut dengan menampilkan data - data lapangan, hasil percobaan
laboratorium, gambar satelit dan simulasi numerik (Shuto, 1987, Dahdouh-Guebas (2005),
UNEP (2005), Tanaka et al., 2007). Namun demikian, temuan lapangan yang
menunjukkan ketidakmampuan hutan pantai dalam mereduksi gelombang tsunami juga
banyak dijumpai, seperti yang terjadi pada hutan mangrove di Ule Lheu, Banda Aceh di
mana hutan bakau yang cukup lebat dan luas habis tersapu oleh tsunami dan kayu kayu nya terbawa hingga beberapa kilometer ke daratan (EJF, 2006). Hal hal tersebut jelas memperlihatkan bahwa sebetulnya masih banyak hal hal penting terkait proses fisik interaksi hutan pantai dan gelombang tsunami serta lingkungan sekitarnya yang belum
diketahui sehingga efektifitas hutan pantai dalam meredam gelombang tsunami belum bisa
disimpulkan. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang
latar belakang teknis dan non-teknis pada anggapan hutan pantai yang mampu meredam
tsunami berdasarkan hasil-hasil penelitian terkini dengan memperhitungkan tidak hanya
morfologi hutan pantai tetapi juga aspek-aspek lingkungan lainnya seperti topografi,
batimetri dan orientasi hutan pantai terhadap arah gelombang datang.
METODE PENELITIAN
Sumber data dari penelitian ini diperoleh dari studi literatur terkait efektifitas hutan
pantai dalam meredam gelombang tsunami dan data lapangan di Pangandaran (Husrin et
al., 2013). Metoda penelitian, penentuan parameter hutan pantai, pendekatan atau
formulasi numerik dan empiris dari nilai tahanan hidraulik hutan pantai serta kesimpulan
akhir kemampuan hutan pantai dalam meredam tsunami didiskusikan secara mendalam.
Selanjutnya, hasil penelitian terkini dari penulis tentang parameterisasi hutan pantai serta
kemampuan hutan pantai dalam meredam tsunami berdasarkan percobaan laboratorium
akan ditampilkan di mana pohon bakau dan pohon cemara laut diskalakan sedemikian rupa
sehingga nilai redaman antar model dan prototipe memiliki kesamaan sifat hidraulik.
Model yang didapat dari hasil penelitian di laboratorium divalidasi dengan data lapangan
di Pangandaran, pasca kejadian tsunami 2006. Beberapa hasil penelitian di laboratorium
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
132
(Husrin, 2013) dan hasil hasil sebelumnya serta data lapangan dari Pangandaran dianalisis kembali untuk selanjutnya diformulasi ulang untuk membedakan mitos dan
kenyataan dari kemampuan hutan pantai dalam meredam tsunami.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagaimana Mitos Terbangun ?
Hutan pantai sebagai peredam tsunami sudah diterapkan di Jepang pada abad ke-19
tepatnya pasca kejadian gempa dan tsunami Nankai pada tahun 1854. Goryo Hamaguchi
memimpin penduduk Desa Hiro (sekarang Kota Hirogawa, Wakayama) untuk membangun
sebuah sistem perlindungan buatan terhadap bencana tsunami dengan membangun tanggul
laut yang diatasnya ditanami tanaman pantai (Gambar 1). Sistem ini jelas memperlihatkan
pentingnya sebuah kombinasi antara dua jenis sistem mitigasi bencana tsunami, yaitu
tanggul pelindung dan hutan pantai. Sistem seperti ini terbukti ampuh menurunkan
dampak kejadian tsunami yang terjadi pada tahun 1946 sehingga memacu daerah lain
untuk melakukan hal serupa. Kegiatan penanaman sistem greenbelt untuk mitigasi tsunami terus berlangsung hingga bencana Tsunami Chile menerjang pesisir timur Jepang
pada tahun 1960. Kejadian tsunami Chile pada tahun 1960 menggeser kecenderungan
Jepang dalam membangun sistem mitigasi yang mengutamakan sistem perlindungan
struktural (hard measures) disamping sistem peringatan dini tsunami. Hal ini bisa terlihat
dari pembangunan beberapa pemecah gelombang lepas pantai (misal Breakwater Kamaishi
dan Oofunato) dan pembangunan tembok laut yang banyak dibangun di kawasan kawasan yang rawan bencana tsunami seperti kawasan pesisir Timur Tohoku.
Gambar 1. Sistem pelindung pantai terhadap bencana tsunami di desa Hiro (Shuto, 2010)
Secara ilmiah, Shuto (1987) adalah di antara yang pertama yang menjelaskan
secara sistematis peran penting dari hutan pantai dalam meredam gelombang tsunami
berdasarkan data dari lima kejadian tsunami besar di Jepang yang terjadi pada tahun 1896,
1933, 1944, 1960, dan 1983. Shuto (1987) menyebutkan bahwa hutan pantai mungkin
dapat berfungsi mengurangi tinggi rendaman dan laju tsunami, menyediakan pegangan
bagi korban yang hanyut, sebagai fasilitas evakuasi vertikal dan menyediakan gundukkan
tanah sebagai penghalang alami tsunami. Hasil kajian Shuto (1987) memperlihatkan
pentingnya peran dari geometri pohon pantai dan dimensi dari hutan pantai termasuk
derajat ketebalannya (kerapatan pohon). Sebagaimana terangkum dalam Oumeraci (2006),
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
133
peran dari hutan pantai dalam meredam tsunami terlihat cukup signifikan untuk kasus kasus tsunami relatif kecil (Gambar 2).
Gambar 2. Formulasi Shuto (1987) untuk redaman tsunami oleh hutan pantai (Oumeraci,
2006)
Hutan pantai pada umumnya merupakan solusi yang tepat untuk menahan angin
ekstrim, badai, dan semburan garam. Namun, kemampuan untuk menahan dampak
tsunami telah menjadi kontroversi di kalangan peneliti sehingga diskusi mengenai peran
hutan pantai (misalnya mangrove dan vegetasi pantai lainnya seperti Cemara Laut) sebagai
penghalang tsunami alami yang efektif masih terus berlangsung. Banyak laporan dan hasil
survei (observasi lapangan, laporan kerusakan, dan citra satelit) telah menunjukkan bukti
bahwa hutan pantai memainkan peran penting sebagai perlindungan alami terhadap
tsunami (Shuto (1987), Dahdouh-Guebas et al., (2005), Danielsen et al., (2005), UNEP
(2005), Kathiresan & Rajendran (2005). Temuan-temuan tersebut juga didukung oleh
pendekatan semi-analitis dan empiris berdasarkan serangkaian percobaan pada model fisik
dan numerik (Harada et al., (2002), Istiyanto et al., (2003), Hiraishi & Harada (2003),
Harada & Kawata (2004), Imai dan Matsutomi (2005), Latief & Hadi. (2006), dan Tanaka
et al., (2007). Namun, pendapat lain percaya bahwa masih banyak aspek yang tidak
diketahui untuk menarik kesimpulan untuk efektivitas vegetasi pantai sebagai greenbelt mitigation system. Perambatan tsunami di pantai, efek batimetri dan topografi yang kompleks, dan kemampuan vegetasi dalam menahan kekuatan tsunami adalah beberapa
aspek yang kurang dipahami. Bukti lapangan (pengamatan kerusakan) juga menunjukkan
bahwa tidak semua hutan pantai secara efektif melindungi kawasan pesisir dari
kehancuran. Bahkan di beberapa daerah dengan hutan mangrove yang lebat dan sehat,
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
134
hutan pantai tidak memberikan perlindungan sama sekali terhadap tsunami (FAO / MOAC
(2005), Bappenas (2005), Latief & Hadi. (2006), EJF (2006), Forbes & Broadhead (2007).
Tiga peristiwa tsunami terbaru (Tsunami Chili 2009, Tsunami Mentawai 2010 dan
Tsunami Jepang 2011) mengungkapkan banyak bukti yang menunjukkan kerusakan berat
pada hutan pantai dan daerah sekitarnya. Morton et al., (2010) melaporkan bahwa banyak
pohon ditemukan tumbang, rusak atau roboh dalam peristiwa Tsunami Chili 2010.
Penyebab kerusakan bervariasi dan tergantung pada banyak aspek lingkungan seperti arah
gelombang datang, karakteristik pantai dan jenis/karakteristik pohon. Kerusakan serupa
juga ditemukan di Pagai Selatan Kepulauan Mentawai Indonesia dimana sebagian besar
pohon di lini depan mengalami kerusakan berat akibat tsunami. Kejadian tsunami di
Jepang tahun 2011 yang untuk pertama kalinya disiarkan secara langsung menunjukkan
bagaimana tsunami menghancurkan banyak infrastruktur setelah melewati hambatan hutan
pantai. Selain itu, seperti dilansir media, 2 km lebar hutan di sepanjang garis pantai
Prefektur Iwate dengan 70000 pinus merah dan pinus hitam hancur dan hanyut sehingga
menyisakan satu pohon berdiri dan sekarat. Penelitian awal dari ADRC (2011) juga
menyebutkan bahwa hutan pantai di sepanjang garis pantai Sendai sebagian besar
diratakan dan hampir tidak memberikan perlindungan apapun.
Gambar 3. Parameterisasi model pohon (a) kumpulan silinder dari Petryk & Bosmaijan
(1975) (b) model terdiri dari media berpori dari Harada dan Kawata (2004) (c)
Model kawat menyerupai struktur pohon bakau (Istiyanto et al., 2003) (d)
Model terdiri dari silinder (Kongko, 2004) (e) model pohon Cemara Laut dari
Imai & Matsutomi (2005), (f) model pohon plastik (Irtem et al., 2009)
Model-model gelombang tsunami dan interaksi mereka dengan vegetasi telah
diteliti oleh para peneliti menggunakan asumsi dan metodologi yang berbeda - beda.
Akibatnya, beberapa model berbeda telah dikembangkan dalam upaya untuk
menggambarkan efektifitas hutan pantai untuk mengurangi dampak tsunami. Konsep
perbandingan volume (rasio biomasa terendam terhadap volume kendali), dimensi pohon,
karakteristik hutan, dan berbagai bentuk koefisien tahanan hidroulik seperti koefisien seret
dan inersia serta koefisien Manning telah umum diperkenalkan oleh Hiraishi & Harada
(2003), Harada dan Kawata (2004), Istiyanto et al., (2003), dan Kongko (2004) dengan
metoda parameterisasi pohon yang berbeda beda (Gambar 3). Pengembangan model ini di mana tsunami disimulasikan sebagai Persamaan Nonlinier Shallow Water Equations
(NSWE) dalam persamaan momentum 1-D telah dimodifikasi, khususnya dalam
menggambarkan hambatan hidraulik akibat keberadaan hutan pantai (Latief & Hadi.,
2006). Selain itu, metodologi penelitian tentang bagaimana jenis vegetasi hutan pantai
dimodelkan dalam skala laboratorium terkadang masih sangat sederhana dan jauh dari
mewakili kondisi nyata, khususnya, parameter vegetasi yang berkaitan dengan tahanan
hidraulik (Oumeraci, 2006). Oleh karena itu, interaksi hutan pantai dan gelombang
(a) (d)(c)(b) (e) (f)
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
135
tsunami masih memerlukan penelitian lebih lanjut yang diarahkan untuk peningkatan
pemahaman dari hutan pesisir sebagai peredam dan pengembangan model prediksi yang
tepat, termasuk parameterisasi fisik yang tepat dari setiap jenis vegetasi hutan pantai.
Dari diskusi di atas, meskipun potensi hutan pantai dalam meredam dampak
tsunami dapat saja terjadi. Kamampuan hutan pantai masih tebatas pada skala dan kondisi
tertentu dari tsunami. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan hutan pantai mampu
meredam dampak tsunami merupakan pendapat yang memiliki resiko tinggi dan dalam
beberapa kasus dapat dikategorikan sebagai sebuah mitos (informasi yang belum tentu
kebenarannya). Lahirnya mitos hutan pantai untuk mitigasi tsunami dipengaruhi oleh
aspek aspek sebagai berikut: - Kajian dari interaksi gelombang angin / aliran sungai dengan vegetasi yang
mengindikasikan kemampuan vegetasi dalam mereduksi gaya - gaya hidraulik
- Kajian efektifitas hutan pantai dalam meredam tsunami yang masih parsial di mana aspek lingkungan sekitar, morfologi hutan pantai, serta kestabilan
struktural pohon kurang mendapat perhatian atau belum dilibatkan
- Metoda dan pendekatan yang berbeda dalam menurunkan redaman hidraulik yang diakibatkan oleh keberadaan hutan pantai
- Dukungan yang cukup kuat dari pegiat lingkungan yang menghendaki penghijauan di kawasan pesisir
Kerusakan hutan pantai akibat tsunami
Pengamatan dari peristiwa tsunami baru-baru ini (misalnya Tsunami Aceh 2004
dan Tsunami Selatan Jawa 2006) telah menunjukkan gambaran efektifitas hutan pantai
dalam meredam tsunami. Tsunami Mentawai 2010 dan Tsunami Jepang 2011
menunjukkan bahwa hutan pantai hancur total akibat tsunami (Gambar 4). Besarnya skala
tsunami mungkin berkontribusi terhadap kerusakan hutan pantai sepanjang garis pantai.
Namun, aspek lain yang belum diteliti secara lebih rinci seperti topografi tepi pantai,
batimetri, karakteristik vegetasi, dll mungkin juga memainkan peran penting. Vegetasi
hutan pantai dapat menjadi efektif dalam mitigasi tsunami jika stabilitas struktural dari
pohon-pohon pembentuk hutan pantai terjaga (tidak tergerus, tetap berdiri). Selain itu,
serpihan pohon-pohon yang hancur juga dapat terbawa aliran tsunami dan menjadi puing-
puing terapung yang mematikan (Latief & Hadi, 2006).
Tipe kerusakan yang paling umum terjadi pada vegetasi hutan pantai setelah
diterjang tsunami adalah patah batang. Patah batang telah banyak dilaporkan di awal
penelitian terhadap efektivitas hutan pantai dalam mitigasi tsunami (Shuto, 1987).
Pengikisan (scouring), usia hutan, luas hutan dan densitas hutan juga secara statistik
teridentifikasi sebagai faktor penting yang berpengaruh dalam meredam dampak tsunami.
Berdasarkan data statistik lapangan, batang yang rusak dengan kondisi seperti terlihat pada
Gambar 4 adalah tipe kerusakan yang kerap ditemui. Setelah tsunami Aceh 2004, banyak
laporan yang menggambarkan kerusakan hutan pantai telah diselidiki. Tanaka et al.,
(2007) mengumpulkan delapan species vegetasi berbeda di kawasan pantai Sri Lanka dan
Thailand setelah tsunami Aceh 2004. Ditemukan bahwa banyak aspek berkontribusi
terhadap kerusakan vegetasi pantai. Batang patah biasanya ditemukan di hutan yang
didominasi oleh pohon berdiameter lebih kecil atau usia muda atau di daerah di mana
ketinggian tsunami yang sangat besar. Pentingnya peran distribusi lateral pohon yang
membentuk suatu hutan terhadap arah datangnya tsunami juga sangat berperan dalam
meredam gelombang.
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
136
Gambar 4. Kerusakan hutan pantai di Pulau Pagai pasca Tsunami Mentawai 2010 (sumber
foto: tim survey GITEWS)
Kasus batang patah juga dilaporkan oleh Bappenas (2005) dan Yanagisawa et al.,
(2009). Survei lapangan dilakukan dalam hutan yang didominasi Rhizophora di Pakarang
Cafe, Thailand dimana ketinggian tsunami diperkirakan sekitar 5-10 m. Mereka
menemukan bahwa 70% dari total hutan hancur. Berdasarkan data tersebut, Rhizophora
kehilangan 77% populasinya sedangkan Avicennia hampir 100%. Sekitar 72% hutan
mangrove dengan diameter batang 0,15 - 0,20 m selamat sementara sisanya mengalami
kerusakan yang didominasi batang patah di atas akar Rhizophora sp. Species ini memiliki
sistem akar yang luas dan membuatnya kuat secara alami untuk tetap berdiri di tanah tetapi
tidak untuk batang (lihat Gambar 5). Pepohonan yang tercabut (uprooted) dari akarnya
biasanya ditemukan di garis depan hutan pada sebagian besar kasus kejadian tsunami.
Kasus pohon yang tercabut dipengaruhi oleh usia pohon, karakterisasi spesies vegetasi
oleh sistem akar dangkal, karakteristik tanah, dan densitas hutan. Berdasarkan aspek-aspek
tersebut, semua vegetasi kecuali Rhizophora sp. dan khususnya bagi yang memiliki sistem
akar menyebar akan rentan terhadap kasus tercabut dari akar (Latief & Hadi, 2006; Tanaka
et al., 2007). Spesies Rhizophora sp. juga rentan tercabut ketika pepohonan masih pada
usia muda.
Tipe kerusakan lain yang berpengaruh pada efektivitas vegetasi hutan pantai
terhadap tsunami adalah pohon tumbang (tilted). Pohon yang miring juga dianggap sebagai
tipe kerusakan pohon dalam kategori ini. Kasus-kasus seperti ini bisa ditemukan pada
hampir semua jenis vegetasi dan terkait dengan kekuatan gelombang tsunami, karakteristik
tanah, spesies vegetasi, kekakuan batang dan umur pohon (Yanagisawa et al., 2009).
Singkatnya, kerusakan hutan pantai yang terkait dengan efektivitas mereka untuk meredam
tsunami dapat dikategorikan menjadi tiga tipe kegagalan yang berbeda berdasarkan
integritas struktural dan karakteristik morfologi. Tabel 1 menunjukkan ringkasan tipe
kerusakan untuk Mangrove (Rhizophora sp.) dan Cemara laut (C. equisetifolia).
I n d o n e s i aI n d o n e s i a
Padang City
Bengkulu
City
3.61 S, 99.93E
7.2 RS, 10 km deep
Tsunami ~3 - 7 m
S u m
a t e r a
Jakarta
AUSTRALIA
ASIA
a) The 2010 Mentawai Tsunami
b) The damage of coastal forest in Pagai Island, Mentawai
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
137
Gambar 5. Batang patah merupakan tipe dampak kerusakan yang paling umum untuk
mangrove (Rhizophora sp.) (Yanagisawa et al., 2009)
Tabel 1. Ringkasan tipe kerusakan Mangrove dan Cemara Laut
No. Tipe kerusakan Species Aspek yang berpengaruh
1. Batang/cabang
patah
Mangrove (Rhizophora
sp.)
Sistem akar kompleks, tajuk,
diameter batang and kekakuan
berhubungan dengan usia pohon
Cemara Laut
(C. equisetifolia)
Diameter batang dan kekakuan
berhubungan dengan usia pohon
2. Tercabut Cemara Laut
(C. equisetifolia)
Karakteristik tanah, system akar
dangkal, usia muda, densitas tegak
hutan,dan lokasi (kebanyakan kasus
ditemukan di bagian depan)
Mangrove (Rhizophora
sp.)
Usia muda, karakteristik tanah, dan
densitas hutan
3. Tumbang Mangrove dan Cemara
Laut
Diameter batang dan kekakuan
berhubungan dengan usia pohon
Hambatan Hidraulik Hutan Pantai Terhadap Tsunami
Pengukuran lapangan, percobaan laboratorium serta pendekatan teoritis dan
numerik telah banyak dilakukan untuk menurunkan hambatan hidraulik (hydraulic
resistance) dari hutan pantai terhadap tsunami dan gelombang badai. Umumnya hambatan
hidraulik hutan pantai terhadap tsunami berupa sbb:
- Kehilangan energi seret dan inersia yang dapat digambarkan dengan koefisien seret
dan inersia (CD dan CM) sebagai fungsi dari kedalaman air, rezim aliran (misal Bilangan
Reynolds, Re ), dan densitas hutan.
- Friksi dasar/permukaan yang dapat direpresentasikan oleh nilai kekasaran Manning
(n) sebagai fungsi dari tipe lanskap pantai dari dasar pantai (seperti pasir atau lumpur), dan
semak.
- Viskositas Eddy dan kehilangan energi vortex karena aliran turbulen melalui hutan
Sejauh ini, koefisien seret CD, koefisien inersia CM dan kekasaran Manning 'n'
telah banyak digunakan dalam model teoritis maupun numerik untuk menyelidiki peran
hutan pantai dalam mengurangi dampak tsunami. Selain pendekatan dan metodologi yang
berbeda, koefisien hambatan untuk menggambarkan resistensi hidrolik vegetasi hutan
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
138
dihasilkan dari percobaan laboratorium dengan memodifikasi koefisien kekasaran
Manning (n) sebagai fungsi dari koefisien tarik dan koefisien inersia (CD dan CM).
Koefisien seret dan inersia sangat dipengaruhi oleh karakteristik geometris dari pohon,
kekakuan vegetasi, dan rezim aliran ditandai dengan angka Reynolds (Re ). CD dan CM
telah diturunkan langsung dari kecepatan dan elevasi permukaan yang didapat dari
percobaan laboratorium (atau pengukuran lapangan) menggunakan persamaan Morison
(Morison et al., 1950.) sbb:
21
2t D v M v
Drag force Inertia force
uF C A u C V
t
(1)
Dimana:
Ft : total gaya hidraulik [N]
: densitas air [kg/m3] Av : area bagian melintas dari subyek badan untuk mengalir [m2]
Vv : volume subyek badan untuk mengalir [m3]
u : kecepatan aliran [m/s] u
t
: percepatan aliran air [m/s2]
CD : koefisien seret [-]
CM : Koefisien inersia [-]
Umumnya koefisien hambatan hidraulik dalam bentuk koefisien seret CD,
koefisien inersia CM dan kekasaran Manning 'n' diturunkan dari percobaan laboratorium
menggunakan model pohon dengan bahan dan metoda yang berbeda-beda. Hasilnya, saat
ini kita menemukan berbagi rumus dan nilai dari Cd, CM dan n yang berbeda-beda
(Gambar 3). Dalam studi kali ini, metodologi pendekatan yang diterapkan oleh
Yanagisawa et al., (2009) dan Husrin, (2013) untuk mendapatkan nilai kekasaran
permukaan dan koefisien seret dari hutan akan diterapkan. Formula yang sudah diterapkan
oleh Yangisawa dkk (2009) cukup praktis untuk dapat diterapkan pada pemodelan numerik
menggunakan Nonlinear Shallow Water Equation (NLSWE) model. Sementara itu,
pemilihan hambatan hidraulik berdasarkan metoda yang dipakai oleh Husrin (2013)
memberikan panduan praktis dalam estimasi nilai CD berdasarkan estimasi ketinggian
tsunami dan geometri dari pohon pantai. Persamaan nilai koefisien kekasaran Manning
sebagai fungsi dari koefisien seret (CD) berdasarkan Yanagisawa et al., (2009) adalah sbb:
4/3
2( )2
re D f b
Hn C A n
gV
(2)
Dimana: CD : Koefisien seret [-]
g : percepatan gravitasi [m/s2]
Af : luas bidang depan dari pohon yang terendam [m2]
nb : kekasaran Manning roughness untuk permukaan dasar [s/m1/3
]
V : volume kontrol sebagai fungsi dari kedalaman air [m3]
Hr : kedalaman air keseluruhan (h+) [m]
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
139
Contoh Kasus Pangandaran 2006 (Realitas Lapangan dan Tantangan ke Depan)
Gempa yang terjadi di selatan Pangandaran pada tanggal 17 Juli 2006 telah
membangkitkan tsunami yang melanda sebagian pesisir Selatan Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Gempa tersebut terjadi pada pukul 15:19:73 WIB, dan 20 menit kemudian
gelombang tsunami melanda sebagian pesisir selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah,
kerusakan paling parah terjadi di pesisir Pangandaran. Ketinggian tsunami di pantai
bervariasi dari 1 3,5 meter dan rambahan 75 500 meter (Badan Geologi, 2014). Akibat tsunami tersebut dilaporkan telah menelan korban jiwa sekitar 668 jiwa, 65 orang hilang,
dan 9.299 jiwa dirawat karena bencana tersebut (Lavigne et al., 2006). Pasca kejadian
tsunami, tim survey baik itu dari komunitas nasional dan internasional berdatangan ke
Pangandaran dan sekitarnya. Tim survey pasca tsunami dari BMKG menyatakan bahwa
tsunami sama sekali tidak diperkirakan akan datang oleh sebagian besar masyarakat pesisir
karena gempa yang relatif terasa kecil. Suara ledakan dari arah lautan terdengar jelas
beberapa saat sebelum tsunami tiba yang diikuti oleh surutnya muka air laut 50 100 m. Survey yang dilakukan oleh Tim BMKG dari Pameumpeuk Garut hingga Yogyakarta
mencatat ketinggian maksimun hingga 6,96 m di Pantai Suwu (Kebumen) di mana
gelombang tsunami menerjang pesisir tiga kali. Gelombang yang kedua merupakan
gelombang yang paling tinggi dan merusak (BMKG, 2006).
Dari sekian banyak paparan karakteristik tsunami di Pangandaran, gambaran yang
diberikan oleh Lavigne et al., (2007) memberikan data dan informasi yang lebih lengkap
dan mencakup wilayah yang lebih luas dibanding sumber-sumber lainnya (Gambar 6).
Selain mengkompilasi beberapa hasil survey sebelumnya, Lavigne et al., (2007) juga
memaparkan karakteristik fisik tsunami dan waktu kedatangannya dengan sangat rinci
berdasarkan temuan di lapangan, wawancara dan rekaman video dari PLTU di Cilacap.
Pangandaran mengalami ketinggian tsunami hingga 8 m sementara ketinggian maksimum
terukur mencapai 15,7 m di Pulau Nusa Kambangan. Disebutkan pula bahwa Pantai Timur
Pangandaran mengalami sedikit kerusakan yang diakibatkan oleh padatnya bangunan di
sepanjang pantai barat yang mereduksi sebagian besar gelombang tsunami yang datang
dari arah barat menuju timur. Berbeda dengan temuan Hawkes et al.,(2006) yang
melaporkan waktu kedatangan tsunami sekitar 20 menit setelah kejadian gempa, Lavigne
et al., (2007) menyimpulkan bahwa gelombang tsunami yang pertama tiba di Pangandaran
sekitar 1 jam setelah kejadian gempa (jam 16.20 WIB, gempa terjadi pada jam 15.19
WIB). Hal ini, diperkuat dengan data-data lapangan seperti jam dinding yang berhenti
karena terendam tsunami, foto-foto dari saksi mata dan rekaman video PLTU Cilacap.
Kejadian tsunami pangandaran 2006 juga melahirkan anggapan tentang peran dari
hutan pantai dalam meredam dampak tsunami. Hutan pantai di sepanjang pesisir
Pangandaran telah lama mengalami kerusakan akibat pembukaan lahan untuk berbagai
kepentingan ekonomi. Beberapa publikasi seperti dilaporkan oleh Latief dan Hadi (2006)
masih mempertanyakan apakah hutan antai benar benar mampu meredam dampak tsunami mengingat berbagai kajian dengan hanya membandingkan kondisi dengan dan
tanpa keberadaan hutan pantai dikaitkan dengan tingkat kerusakan belum cukup untuk
menarik kesimpulan tersebut.
Sistem hutan pantai berlapis yang menitikberatkan pada pengaturan jenis tanaman
di mana tanaman kecil berada di depan dan tanaman lebih besar ditempatkan di belakang
diharapkan mampu memberikan redaman tsunami yang lebih baik (Mile, 2007). Pada
sistem ini, aspek estetika juga diterapkan untuk lokasi wisata dan non-wisata, di mana
untuk lokasi wisata, beberapa spesies dengan nilai estetika lebih baik banyak ditanam.
Kondisi saat ini atau enam tahun setelah penanaman, hutan pantai Pangandaran didominasi
pohon dengan usia muda dengan jenis Ketapang, Waru laut, Kelapa, dan Pandan laut
sangat mendominasi (Gambar 7). Namun, pola tanam yang direncanakan pada tahun 2007
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
140
tidak terlihat di lapangan karena tingginya aktifitas manusia di daerah tersebut dan
tingginya kematian pohon pohon pasca penanaman. Simulasi numerik menggunakan model tsunami Nonlinear Shallow Water
Equation Model (NLSWE) untuk melihat efektifitas dari hutan pantai serta parameter parameter lingkungan lainnya telah dilakukan dengan merekonstruksi kejadian tsunami
tahun 2006 dan dengan mempertimbangkan kondisi pantai dengan dan tanpa kehadiran
hutan pantai. Nilai kekasaran dari hutan pantai diambil dari persamaan 2 di mana data
lapangan hasil survey tahun 2013 menjadi acuan dalam penentuan koefisien seret (CD) dan
parameter parameter lainnya (Husrin et al., 2013). Analisis numerik memperlihatkan bahwa peran batimetri dan topografi jauh lebih penting dibanding hutan pantai. Kontribusi
dari hutan pantai terhadap atenuasi total tsunami kurang dari 5 %, sementara peran dari
topografi serta orientasi dari garis pantai mencapai lebih dari 90%. Hal ini terjadi karena
karakteristik hutan pantai yang tidak terlalu rapat (jarak tanaman sekitar 4 m x 4 m) dan
lebarnya hanya sekitar 100 m (Husrin et al.,2013).
Gambar 6. Tinggi tsunami di Pesisir Selatan Jawa. Tsunami mencapai ketinggian 15,7 m
di Pulau Nusa Kambangan (Lavigne et al., 2007)
Hasil yang didapat dari lapangan dan simulasi numerik di Pangandaran sesuai
dengan data data lapangan sebelumnya sebagaimana terangkum dalam Gambar 8. Dari Gambar 8 terlihat bahwa tsunami dengan ketinggian pada atau melebihi tajuk pohon
(canopy) akan cenderung merusak hutan pantai. Atau dengan kata lain, efektifitas hutan
pantai dalam meredam tsunami dengan ketinggian mencapai tajuk atau lebih tidak dapat
diandalkan. Namun, untuk tsunami dengan ketinggian di bawah tajuk pohon, kemungkinan
hutan pantai dalam meredam tsunami mungkin terjadi dengan mempertimbangkan aspek
jenis pohon, kerapatan serta keutuhan strukturalnya. Lebih rinci lagi, untuk tsunami kecil
tersebut, peran topografi terlihat lebih signifikan dalam mereduksi gelombang tsunami
dibanding hutan pantai. Walaupun, peran hutan pantai tidak terlalu besar, peran
lingkungan hutan pantai (topografi) yang merupakan satu kesatuan tidak bisa
dikesampingkan. Hutan mangrove merupakan salah satu habitat penting yang berperan
banyak dalam hal meredam gelombang tsunami karena hutan mangrove terletak di daerah
yang sudah terlindung baik itu oleh batimetri yang dangkal maupun wilayahnya yang
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
141
terisolasi dari gelombang ekstrim. Oleh karena itu, kebijakan untuk penanaman hutan
pantai untuk mitigasi tsunami sebaiknya memperhatikan aspek jenis vegetasi hutan pantai,
pemanfaatan/kesesuaian lahan, topografi, batimetri dan orientasi garis pantai yang
berperan cukup penting dalam efektifitas hutan pantai dan lingkungannya dalam meredam
tsunami. Penggunaan hutan pantai sebagai sistem pelindung pelapis (bukan sistem mitigasi
utama) seperti yang dicontohkan di Jepang mungkin bisa dijadikan sebagai acuan.
Peninggian topografi hutan pantai akan memberikan efek tambahan dalam mereduksi
tsunami. Namun demikian, dari sekian banyak usaha yang telah dilakukan tantangan
terbesar pada upaya mitigasi dengan hutan pantai adalah perawatan dan budaya sosial dari
masyarakat untuk menjaga lingkunganya. Pendidikan atau informasi kepada masyarakat
bahwa hutan pantai tidak dapat menjamin reduksi tsunami perlu sosialisasikan.
Gambar 7. Skema kondisi hutan pantai di Pangandaran berdasarkan perencanaan tahun
2007 dan kondisi di lapangan tahun 2013 (Husrin et al., 2013)
Gambar 8. Peran hutan pantai dan lingkungannya dalam meredam gelombang tsunami
berdasarkan data lapangan
The design in 2007
Real condition in 2013
The design in 2007
Real condition in 2013
a) Tourism area
b) Non-tourism area
(Mile, 2007)
(Mile, 2007)
70 % (1)
0.0 % (1)
50 % (1)
74% (2)
55% (2)
50% (2)
0.0 % (2) 0 % (3)
< 2 m
< 4 m
< 10 m
> 10 m
0 % (4)
50% (5)
20% (6)
0% (7)
1. Yanagisawa et al., (2010), 2. Yanagisawa et al., (2009), 3. Tanaka et al., (2006), 4. Fritz et al., (2012), 5. Cyranoski (2012), 6. World bank (2012), 7. Imamura & Anawat (2012)
Bathymetry reduction
topography, significant reduction
topography, geometry, density & forest widht,
tsunami reduction possible
canopy, forest density, no reduction, tsunami is
too strong
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
142
KESIMPULAN
Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa efektifitas hutan pantai dalam
mereduksi dampak gelombang tsunami dapat menjadi mitos jika tidak mempertimbangkan
aspek morfologi hutan pantai serta parameter parameter lingkungan seperti topografi, batimetri dan orientasi garis pantai. Hutan pantai tidak dapat sepenuhnya diandalkan untuk
kasus kasus tsunami dengan ketinggian melebihi tajuk pohon karena kekuatan gelombang tsunami terlalu besar untuk diredam oleh barisan hutan pantai yang mudah
mengalami patah, tercabut atau runtuh. Namun demikian, hutan pantai tetap dapat
diandalkan untuk untuk kasus kasus tsunami yang tidak terlalu besar di mana faktor lingkungan berperan jauh lebih besar dibanding hutan pantai itu sendiri. Oleh karena itu,
pendidikan serta informasi kepada masyarakat tentang efektifitas hutan pantai dalam
meredam tsunami perlu disosialisasikan secara menyeluruh. Perawatan, kepastian hukum
serta kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan menjadi tantangan terbesar ke
depan dalam pemanfaatan hutan pantai sebagai salah satu upaya mitigasi bencana tsunami
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada Loka Penelitian Sumberdaya dan
Kerentanan Pesisir (LPSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah mendanai kegiatan penelitian di Pnagandaran pada tahun 2013. Ucapan terimakasih juga
kami ucapkan kepada Persatuan Alumni Jerman (PAJ) Aceh dan DAAD yang telah
mendanai kegiatan Seminar Nasional di Banda Aceh dalam rangka memperingati 10 tahun
bencana Tsunami Aceh.
DAFTAR PUSTAKA
ADRC & IRP. 2011. Great east japan earthquake preliminary oberservation, (GLIDE: EQ-2011-000028-JPN), May 2011.
BAPPENAS, 2005. Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias,
Sumatera Utara: Buku 1 Rencana Bidang Tata Ruang dan Pertanahan, Jakarta,
Indonesia (Indonesian).
BMKG, 2006. Survey tsunami pantai selatan jawa, Laporan tim survey BMKG, Jakarta
BNPB, 2012. Master Plan Pengurangan Resiko Bencana Tsunami: Menuju Indonesia
Tangguh Menghadapi Bencana Tsunami, Badan Nasional Penanggulangan
Bencana BNPB, Jakarta
Cyranoski, D. 2012. Rebuilding Japan: After the deluge, news feature, Nature 483, 141143 (08 March 2012)
Dahdouh-Guebas, F., L.P. Jayatissa, D. Di Nitto, J.O. Bosire, D. Lo Seen & N. Koedam,
2005.How effective were mangroves as a defence against the recent tsunami ?
Current Biology 15(12): R443-447
Danielsen, M.K., Sorensen, M.F. Olwig, V. Selvam, F. Parish, N.D. Burgess, T. Hiralshi,
V.M. Karunagaran, M.S. Rasmussen, L.B. Hansen, A. Quarto & N. Suryadiputra,
.2005. The Asian tsunami: a protective role for coastal vegetation, Science 310 p. 643
EJF, 2006. Mangroves: Nature's defence against Tsunamis - A report on the impact of
mangrove loss and shrimp farm development on coastal defences. Environmental Justice Foundation, London, UK, pp. 30.
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
143
FAO/MOAC, 2005. Report of Joint FAO/MOAC Detailed Technical Damages and Needs
Assessment Mission in Fisheries and Agriculture Sectors in Tsunami Affected Six
Provinces in Thailand 11-24 January 2005, FAO/MOAC
Forbes, K., Broadhead, J., 2007. The role of coastal forests in the mitigation of tsunami
impacts, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), FAO, Bangkok, 20 pp.
Harada, K., Kawata, Y., 2004. Study on Tsunami Reduction Effect of Coastal Forests due
to Forest Growth, Annuals of Disaster Prevention Research Institute, Tokyo Universty - Japan.
Hawkes, A.D., engelhard, S., & horton, B.P., 2007. Tsunami: A white cobra hits
Pangandaran West Java, Geology Today Vol.23, No.1, Blacwell pubs, ltd.
Hiraishi, T., & Harada, K., 2003. Greenbelt Tsunami Prevention in South-Pacific Region. Report of the Port and Airport Research Institute, 42, 123
Husrin, H, Jaya Kelvin, Aprizon Putra, Joko Prihantono,
Yudhi Cara, Aditya Hani, 2013.
Assessment on the characteristics and the damping performance of coastal forests
in Pangandaran after the 2006 Java Tsunami, presented paper on 3rd
International
Symposium on Earthquake and Disaster Mitigation, Yogyakarta - Indonesia
Husrin, S., 2013. Attenuation of solitary waves and wave trains by coastal forests, PhD
thesis, TU Braunschweig, Germany
Imai, K.; Matsutomi, H., 2005. Fluid force on vegetation due to the tsunami flow on sand
spit. K. Satake (ed.), Tsunamis: Case Studies & Recent Developments, pp. 293-304.
Irtem, E.,Gedik, N.,Kabdasli, M.S.,& YaSA, N.E., 2009. Coastal forest effects on tsunami
run-up heights, Ocean Engineering 36 (2009) 313320.
Istiyanto, D.C., Utomo K.S., & Suranto, 2003. Pengaruh Rumpun Bakau Terhadap
Perambatan Tsunami di Pantai, Seminar Mengurangi Dampak Tsunami: Kemungkinan Penerapan Hasil Riset, BPPT JICA, 11 March 2003, Yogyakarta
Kathiresan & Rajendran, 2005. Coastal mangrove forests mitigated tsunami, Estuarine,
Coastal and Shelf Science 65 (2005), pp. 601606.
Kongko, W., 2004. Study On Tsunami Energy Dissipation In Mangrove Forest, Master
Thesis Report, Iwate University, Japan.
Latief, H., & Hadi, S., 2006. Protection from Tsunamis, Coastal Protection in the
Aftermath of the Indian Ocean Tsunami: What role for forests and trees?; proceedings of the regional technical workshop, FAO, Khao Lak, Thailand.
Lavigne, F., Gomes, C., Giffo, M., Wassmer, P., Hoebreck, C., Mardiatno, D., Prioyono,
J., & Paris R., 2007. Field Observation of the 17 July 2006 Tsunami in Java,
Natural Hazards and Earth Systems Sciences, 7: 177-183.
Mile, YM, 2007. The Development of CoastalSpecies for Rehabilitation and Protection
Coastal Regions After Ttsunami, INFO TEKNIS Vol. 5 no. 2, September 2007,
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (In
Indonesian)
Morison, J.R. , Obrien, M.P., Johnson, J.W. & Shaaf, S.A. 1950. The force exerted by surface waves on piles, AIME Petroleum Transactions 189 (1950), pp. 149154.
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
144
Morton, R.A., Buckley, ML., Gelfenbaum, G., Richmond, BM., Cecioni, A., Artal, O.,
Hoffmann, C., and Perez, F. 2010. Geological Impacts and Sedimentary Record of the February 27, 2010, Chile TsunamiLa Trinchera to Concepcion, USGS/ITST
Oumeraci, H. 2006. Tsunami Attenuation performance of Coastal Forest (TAFPOR), DFG Research Proposal, TRIAS Project, Braunschweig Germany.
Petryk, S. and G. Bosmaijan., G. 1975. Analysis of flow through vegetation, Journal of
Hydraulics Div., ASCE: pp:871884.
Shuto, 2010. Structure-prefered tsunami countermeasures after the chile tsunami of 1960,
Presentation slide, International Tsunami Field Symposium (ITFS) - Sendai 2010.
Shuto, N., 1987. The effectiveness and limit of tsunami control forests, Coastal
Engineering in Japan 30: pp.143-153.
Tanaka, N., Sasaki, Y., Mowjood, M.I.M., Jinadasa, K.B.S.N. and Homchuen, S., 2007.
Coastal vegetation structures and their functions in tsunami protection: experience
of the recent
UNEP, 2005. After the tsunami - Rapid Environmental Assessment. Thailand, pp. 301-
304.
World Bank, 2012. Greenbelts and coastal risk management, cluster 2: Nonstructural
measures, Knowledge Note 2-7 World Bank report 2012.
Yanagisawa, H., Koshimura, S., Goto, K., Miyagi,T., Imamura, F., Ruangrassamee, A.
and Tanavud, C., 2009. The reduction effects of mangrove forest on a tsunami
based on field surveys at Pakarang Cape, Thailand and numerical analysis,
Estuarine, Coastal and Self Sciences 81 (2009) pp. 2737.