17
1 Revitalisasi SMK Untuk Meningkatkan Daya Saing Ketenagakerjaan: Framework Re-enginering Struktur Kompetensi dan Pedagogi Pendidikan Kejuruan Yang Sesuai Kebutuhan dan Tuntutan Pasar I Gusti Kade Siladana, S.Pd.T Guru SMK Negeri 3 Tabanan Bali Email: [email protected] Pengantar Faktor determinan yang mempengaruhi daya saing suatu bangsa saat ini telah mengalami pergeseran dari keunggulan komparatif menuju keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif salah satunya terlihat dari melimpahnya sumber daya alam yang dimiliki, dan juga melimpahnya jumlah tenaga kerja yang murah (Dirjen Dikti, 2008: 17). Sedangkan keunggulan kompetitif salah satunya ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang tercermin dari keunggulan inovasi teknologi (engineering-technology) dan ilmu pengetahuan (science), bahkan bila perlu kemampuan mengkombinasikan keduanya (Trilling & Fadel, 2009: 91-93). Untuk itu sekolah dalam hal ini guru perlu membentuk mindset siswa dengan konsep berpikir seorang engineer (teknokrat) sekaligus juga sebagai scientist (ilmuwan). Seperti diilustrasikan dalam bagan berikut ini. Hubungan Science dan Teknologi dalam Menghasilkan Karya (Sumber: Trilling & Fadel, 2009 : 92)

I Gusti Kade Siladana, S.Pd.T Pengantarsimposium.gtk.kemdikbud.go.id/karya/files/dikmen_2/... · Framework Re-enginering Struktur Kompetensi dan Pedagogi Pendidikan ... kewirausahaan

  • Upload
    hahanh

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

Revitalisasi SMK Untuk Meningkatkan Daya Saing Ketenagakerjaan: Framework Re-enginering Struktur Kompetensi dan Pedagogi Pendidikan

Kejuruan Yang Sesuai Kebutuhan dan Tuntutan Pasar

I Gusti Kade Siladana, S.Pd.T Guru SMK Negeri 3 Tabanan Bali Email: [email protected]

Pengantar

Faktor determinan yang mempengaruhi daya saing suatu bangsa

saat ini telah mengalami pergeseran dari keunggulan komparatif menuju

keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif salah satunya terlihat

dari melimpahnya sumber daya alam yang dimiliki, dan juga

melimpahnya jumlah tenaga kerja yang murah (Dirjen Dikti, 2008:

17). Sedangkan keunggulan kompetitif salah satunya ditentukan oleh

kualitas sumber daya manusia yang tercermin dari keunggulan inovasi

teknologi (engineering-technology) dan ilmu pengetahuan

(science), bahkan bila perlu kemampuan mengkombinasikan

keduanya (Trilling & Fadel, 2009: 91-93). Untuk itu sekolah dalam hal

ini guru perlu membentuk mindset siswa dengan konsep berpikir

seorang engineer (teknokrat) sekaligus juga sebagai scientist

(ilmuwan). Seperti diilustrasikan dalam bagan berikut ini.

Hubungan Science dan Teknologi dalam Menghasilkan Karya (Sumber: Trilling & Fadel, 2009 : 92)

2

Kedua perspektif berpikir tersebut bila dipadukan akan menghasilkan

sebuah karya yang tidak hanya berguna bagi penyelesaian masalah di

kehidupan sehari-hari (proposed solutions), tetapi juga mampu

menjelaskan konsep atau hal-hal yang mendasari penciptaan sebuah

karya secara ilmiah (proposed explanations).

Berkaitan dengan upaya dalam mengembangkan keunggulan

kompetitif, maka keberadaan SMK memegang peranan yang sangat

penting. Pendidikan kejuruan di SMK berorientasi pada penyiapan tenaga-

tenaga kerja terampil yang nantinya diharapkan dapat menjadi motor

penggerak penguatan ekonomi lokal bahkan nasional, baik itu melalui

sektor formal maupun informal. Untuk itu ukuran keberhasilan program

pendidikan kejuruan di SMK memiliki standar ganda, yaitu: : (1) in-school

success standards dan (2) out-school success standards (Finch &

Crunkilton, 1999: 15-16).

Pespektif in-school success standards lebih menekankan pada

keberhasilan jangka pendek yang dipotret dari capaian hasil belajar dan

kompetensi lulusan pada akhir program pendidikan kejuruan. Sementara

itu, perspektif out-school success standards lebih menekankan pada

keberhasilan jangka panjang, seperti: (1) tingginya angka keterserapan

lulusan oleh lapangan kerja pada sektor yang relevan; (2) masa tunggu

diterima bekerja yang semakin cepat; (3) aspek kesejahteraan (gaji) yang

layak sesuai kualifikasi yang dimiliki; (4) perkembangan karir di tempat

kerja yang semakin meningkat; (5) kemampuan beradaptasi dan belajar

dengan cepat dalam dinamika lingkungan pekerjaannya; dan masih

banyak lagi tuntutan lain dalam konteks dinamika ketenagakerjaan.

Konsekuensi logis dari kedua ukuran keberhasilan tersebut mutlak

memerlukan kemampuan untuk menterjemahkan dua filosofi pendidikan

kejuruan yaitu education for earn a living (for work) dan education for life

dalam tataran implementasi program pendidikan kejuruan (SMK). Filosofi

education for earn a living (for work) yang bermakna pendidikan kejuruan

harus mampu membekali lulusannya dengan kompetensi kerja pada

3

bidang keahlian tertentu. Selanjutnya filosofi education for life bermakna

pendidikan kejuruan juga harus bisa membekali lulusannya dengan

kemampuan beradaptasi, belajar dengan cepat, menemukan pola dan

mengembangkan kapabilitas diri dalam dinamika karirnya.

Untuk memenuhi tuntutan pengejawantahan kedua filosofi tersebut

diperlukan sebuah rumusan ideal tentang struktur hierarki bangunan

kompetensi yang harus diberikan kepada peserta didik dari tingkat bawah

(kelas X) sampai tingkat akhir (kelas XII). Dengan terbentuknya struktur

hierarki bangunan kompetensi tersebut, diharapkan akan memudahkan

guru dalam menyusun sekuen bahan ajar dan sistematika penyampaian

materi kepada siswanya. Hal ini dimulai dari materi yang tingkat

kesulitannya rendah kemudian meningkat ke materi dengan kesulitan

yang lebih tinggi. Dengan demikian siswa akan lebih mudah

mengkonstruksi konsep pemahamannya sendiri, dan juga memiliki

kemampuan memberdayakan konsep yang telah dikuasainya untuk

memecahkan permasalahan belajar atau pun masalah pekerjaan (karir)

dalam konteks yang berbeda (transferable ability).

Permasalahan Yang Menjadi Sorotan

Beberapa permasalahan pendidikan kejuruan yang menjadi sorotan

dalam karya tulis ini, meliputi :

1. Kesenjangan pertumbuhan daya serap lapangan kerja yang tidak

sebanding dengan pertumbuhan jumlah pencari kerja, termasuk di

dalamnya pencari kerja lulusan SMK. Sementara itu, kecenderungan

orientasi kerja mayoritas siswa SMK adalah bekerja pada pihak lain

atau bukan sebagai wirausaha. Hal ini tentu berdampak pada semakin

meningkatnya tingkat pengangguran terbuka (TPK) lulusan SMK.

2. Belum optimalnya peran bursa kerja khusus (BKK) dalam hal

menginkubasi program kewirausahaan (program pendampingan).

3. Re-engineering struktur kompetensi keahlian SMK orientasinya

cenderung masih sebatas melayani social demand (animo masyarakat).

4

Dengan kata lain, belum menyentuh pertimbangan aspek manpower

demand berdasarkan peta proyeksi kebutuhan tenaga kerja dan

pemetaan potensi ekonomi lingkungan sekitar SMK, sehingga

keberadaan lulusan belum dapat berkontribusi pada penguatan

ekonomi lokal/daerah.

4. Re-engineering struktur kompetensi keahlian juga belum mengacu

pada data occupational and prerequisites analysis. Data hasil analisis

ini seharusnya menjadi dasar pertimbangan pemilihan item-item

kompetensi apa saja yang harus dimiliki calon tenaga kerja agar dapat

mengerjakan suatu pekerjaan kejuruan sesuai standar yang benar atau

dunia usaha dan industri (Blank, 1982: 29-38).

5. Data kualitatif di lapangan memperlihatkan bahwa masih banyak SMK

yang belum mengoptimalkan feedback data tracer study (penelusuran

lulusan), meliputi: (a) sudah bekerja atau belum; (b) studi lanjut dan

alasannya; (c) pendapat lulusan terkait relevansi program dengan

kompetensi yang digunakan di tempatnya bekerja; (d) riwayat

pengalaman kerja sejak tamat sampai saat ini (Finch & Crunkilton,

1999: 88). Hal tersebut sangat penting untuk menakar tingkat relevansi

program yang telah dan sedang diselenggarakan.

6. Masih banyak guru SMK yang terjebak oleh miskonsepsi dalam

pemilihan pedagogi pembelajaran kejuruan antara “student centered

learning” atau “teacher centered learning”.

7. Masih banyak guru SMK terjebak dalam pemahaman sempit bahwa

pembelajaran dengan menggunakan dukungan ICT akan selalu lebih

baik dari pada pembelajaran dengan media konvensional (benda

aslinya).

8. Minimnya inisiatif pembelajaran kolaboratif antara mata diklat kejuruan,

kewirausahaan, ataupun mata diklat relevan lainnya ditinjau dari aspek

perencanaan, pelaksanaan dan strategi penilaian hasil belajar siswa

dalam perspektif “hands on learning experience”.

5

Pembahasan dan Solusi

Permasalahan pertama yaitu kesenjangan pertumbuhan daya serap

lapangan kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah pencari

kerja, termasuk pencari kerja lulusan SMK. Sementara itu kecenderungan

orientasi kerja mayoritas siswa SMK adalah sebagai karyawan atau bukan

sebagai wirausaha, sehingga tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan

SMK semakin tinggi. Hal ini semakin dikuatkan oleh data statistik indikator

kesejateraan rakyat (2015: 95) yang memperlihatkan bahwa tingkat

pengangguran terbuka (TPT) berdasarkan tingkat pendidikan yaitu:

(1)lulusan SMK sebanyak 9,05%; (2)lulusan SMA sebanyak 8,17%;

(3)diploma I/II/III sebanyak 7,49%; (4)lulusan SMP sebanyak 7,14%;

(5)lulusan diploma IV dan universitas sebanyak 5,34%; dan terakhir

(6)lulusan SD ke bawah sebanyak 3,22%.

Beberapa solusi yang dapat dijadikan alternatif pemecahan

permasalahan tersebut, yaitu: revitalisasi peran program bimbingan dan

konseling (BK), tidak hanya sebatas pembinaan siswa bermasalah

(pelanggaran disiplin). Sasaran revitalisasi terutama pada bidang :

1. Bimbingan karir dengan cara melibatkan figur yang dinilai sukses

sebagai pelaku sektor wirausaha, sehingga memotivasi dan membuka

wawasan siswa bahwa sektor wirausaha juga memiliki prospek

kesuksesan yang tidak kalah dengan karir di perusahaan.

2. Bidang bimbingan belajar dengan cara menginisiasi ide pembelajaran

kewirausahaan terintegrasi pembelajaran produktif sampai kepada

level hands on learning experience. Hal tersebut meliputi : (a) survey

potensi pasar; (b) penentuan salah satu bidang garapan dari hasil

survey; (c) perencanaan model produk/jasa; (d) penentuan harga

produk/jasa; (e) pemasaran produk/jasa; dan (f) simulasi layanan

purna jual produk/jasa pada konsumen.

Permasalahan kedua yaitu belum optimalnya peran bursa kerja

khusus (BKK) SMK dalam hal inkubasi kewirausahaan. Hal ini dapat

dipahami bahwa dasar pemikiran awal dibentuknya bursa kerja khusus di

6

SMK umumnya bersifat sebagai penyalur tenaga kerja lulusan SMK ke

industri atau perusahaan rekanan (mitra) SMK yang membuka lowongan

pekerjaan. Sementara peran sebagai inkubator program kewirausahaan

bagi lulusannya yang memilih sektor wirausaha belum tersentuh.

Beberapa solusi alternatif yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan

bursa kerja khusus (BKK), yaitu:

1. Revitalisasi peran bursa kerja khusus (BKK) sebagai konsultan

program kewirausahaan yang bertugas membimbing dan membina

lulusan SMK yang sedang merintis bisnis wirausaha.

2. Terkadang lulusan SMK mengurungkan niatnya untuk berwirausaha

karena terbentur oleh masalah modal awal. Dalam hal ini bursa kerja

khusus (BKK) dapat berperan sebagai mediator finacial intermediary

bagi lulusan SMK yang ingin memulai bisnis wirausaha. Peran

financial intermediary sebagai pihak penjamin peminjaman kredit

modal usaha bagi lulusan atau pun siswa SMK yang masih aktif

dengan syarat membentuk usaha patungan (berkelompok minimal 4

orang). Mengapa harus berkelompok? Karena dengan berkelompok,

jika satu orang macet angsurannya dan menjadi non performing

loan, masih ada anggota lain yang bertanggungjawab terhadap

pengembalian pinjaman dengan cara terus menjalankan usahanya.

3. Saat ini banyak bermunculan para philanthropist yang tentunya

bergerak pada sektor coorporate social responsibility (CSR). Hal ini

dapat diarahkan untuk menstimulasi tumbuhnya wirausaha-wirausaha

muda lulusan SMK. Dalam konteks ini, bursa kerja khusus dapat

menjembatani komunikasi antara pihak pemilik modal dengan lulusan

SMK atau siswa SMK yang masih aktif untuk memulai bisnis

wirausahanya. Untuk menjaga kepercayaan pihak pemberi modal,

bursa kerja khusus (BKK) juga harus melaksanakan program

pendampingan untuk mengkondisikan bahwa bisnis wirausaha yang

dikelola lulusan atau siswa SMK berjalan dengan kinerja yang terbaik.

7  

Masalah ketiga, keempat dan kelima yaitu belum konsistennya

pelaksanaan upaya sistematis re-engineering struktur kompetensi

keahlian di tingkat sekolah dengan mempertimbangkan: (a) aspek

manpower demand (profil kebutuhan tenaga kerja) bukan hanya social

demand (animo masyarakat); (b) data occupational and prerequisites

analysis; (c) feed back tracer study; dan (d) pemetaan potensi ekonomi

lingkungan sekitar SMK. Masalah ini akan berdampak pada lulusan-

lulusan SMK tidak disiapkan untuk mampu memberikan kontribusi pada

penguatan sektor ekonomi lokal/daerah dan ekonomi nasional.

Solusi alternatif yang dapat dijadikan jalan keluar untuk memecahkan

permasalahan tersebut, yaitu pergeseran paradigma re-engineering

struktur kompetensi keahlian di tingkat sekolah dari hanya mengandalkan

pendekatan social demand (berdasarkan animo masyarakat) ke

pendekatan man power demand. Argumentasinya adalah pendekatan

social demand (berdasarkan animo masyarakat) dikhawatirkan akan

menghasilkan lulusan dengan profil kompetensi yang sebenarnya tidak

dibutuhkan oleh lapangan kerja yang tersedia. Pihak penyelenggara

pendidikan kejuruan (SMK) harus menyadari bahwa tanggungjawab

lembaga tidak sebatas metafora pendidikan sistem terminal bus. Metafora

ini menyiratkan bahwa sopir bus jangan hanya mengantar penumpangnya

sampai di terminal (tamat SMK) dan membiarkannya terkatung-katung

tidak jelas mau kemana tujuan selanjutnya. Akan lebih baik jika semuanya

dilaksanakan by design, tersistem dan indikator keberhasilannya terukur.

Untuk itu diperlukan sebuah framework re-engineering yang jelas

tentang apa saja yang menjadi bahan pertimbangan. Framework dari

proses re-enginering tersebut dapat dipahami melalui ilustrasi berikut.

8  

SCANNING DATA LINGKUNGAN EKSTERNAL SEKOLAH 

Data Kekuatan Ekonomi & Industri      *  Data Penelusuran Lulusan      

Data Peta Politik dan Birokrasi              * Data Kekuatan Sosio‐kultural 

Data Peta Ketenagakerjaan             * Data lingkungan ekternal lainnya 

 

 

 

 

 

 

 

LINGKUNGAN EKSTERNAL SEKOLAH 

5 1 

Proses  Internal Organisasi Sekolah  Outputs Inputs 

Design  Develop  Implement  

 

3

 

4

    Evaluate Analyze 

(PROSES RE‐ENGINEERING KOMPETENSI KEAHLIAN) 

Organisasi; visi-misi sekolah

Kurikulum; data hasil belajar

Dukungan Infrastruktur & Finansial

Dukungan Sumber Daya Manusia, dsb

SCANNING DATA LINGKUNGAN INTERNAL SEKOLAH 

Sumber : gambar diadaptasi dari Finch & Crunkilton, 1999 : 31

Selanjutnya big picture struktur kompetensi keahlian yang sesuai

dengan dinamika kebutuhan dan tuntutan pasar (dunia usaha dan industri)

dapat dipahami hierarkinya melalui ilustrasi berikut.

Structure Development of Vocational Education and Training Skills

Sumber: Dr. Barry Stern (2003) dalam Sudira (2013: 12).

Ilustrasi tersebut dapat dijadikan acuan untuk melakukan pemetaan

kelompok kompetensi mana akan lebih efektif diberikan di sekolah atau

Education for Work 

Education for Life 

9  

diberikan di dunia usaha dan industri (DU/DI). Untuk kelompok kompetensi

fundamental skills dan generic work skills lebih cocok diberikan di sekolah

karena karakteristiknya yang bersifat transferable atau tidak terpengaruh

dengan perubahan trend dunia kerja. Kelompok fundamental skills ini

terdiri dari: (1) keterampilan menyimak, membaca, menulis dan

menyampaikan informasi; (2) keterampilan berpikir (creative thinking,

critical thinking, problem solving and deccission making, dan keterampilan

berpikir lainnya); dan (3) kualitas kepribadian (bertanggungjawab,

berintegritas, percaya diri, berkarakter, memiliki loyalitas dan kompetensi

kepribadian lainnya).

Selanjutnya kelompok generic work skills terdiri dari: (1)

keterampilan menggunakan sumberdaya; (2) keterampilan mengolah

informasi; (3) penguasaan teknologi; (4) kemampuan memahami sistem;

(5) kemampuan berkolaborasi dengan orang lain dalam sebuah tim (baik

secara nyata maupun secara virtual); dan (6) kemampuan pemahaman

lintas budaya (cross cultural understanding); dan kemampuan kerja

generik lainnya (education for life demand).

Sementara itu kelompok industry specific-skills dan employer

specific-skills akan lebih efektif jika diberikan di dunia usaha dan dunia

industri (DU/DI). Argumentasi yang mendasari bahwa proses penempaan

kedua kelompok kompetensi tersebut adalah karakteristik hands on

learning experience yang menjadi syarat utama keberhasilan

pembelajaran. Sesuai dengan teori Prosser 1, 2 dan 3 terkait dengan

pembelajaran kejuruan bahwa pembelajaran akan efektif bila dilakukan

dengan setting lingkungan kerja (work environment), fasilitas latihan

bekerja (learning facilities) dan sikap atau kebiasaan kerja (work habbits)

yang sama dengan setting dunia kerja aslinya (tempat keterampilan

tersebut digunakan) (Prosser, 1950: 217-220). Dengan alasan biaya

investasi peralatan yang cenderung mahal jika harus menyediakan

fasilitas yang sama dengan industri dan keterbatasan sekolah dalam

mengikuti perkembangan trend teknologi, maka kedua kelompok

10  

kompetensi tersebut lebih tepat diberikan di industri. Hanya saja perlu

dilakukan kesepahaman secara tertulis (MoU) mengenai teknis

pelaksanaan dan cost-sharing atau minimal win-win solution antara pihak

sekolah dengan pihak industri (education for work demand).

Masalah keenam adalah masih banyak guru SMK yang terjebak

oleh miskonsepsi pemilihan pedagogi pembelajaran kejuruan antara

“student centered learning” atau “teacher centered learning”. Sering

dijumpai di sekolah (SMK) guru mata diklat produktif dalam mengajar

praktikum, langsung melepas siswanya praktek dengan menggunakan

trainer (misalnya: over-houl engine) yang memiliki resiko kerusakan tinggi

bila dilakukan dengan prosedur yang salah. Akan lebih baik bila guru

mendemonstrasikan prosedur praktek yang benar, kemudian secara

bertahap memberikan kesempatan kepada siswa untuk menirukan

prosedur kerja di bawah bimbingan guru atau instruktur. Setelah dirasakan

sudah menguasainya, maka ukuran keberhasilan belajar siswa adalah

kemampuan melakukan semua prosedur praktek secara benar tanpa

bimbingan guru atau pun rekan sekelasnya (hands on performance

assessment). Jadi ada saatnya teacher centered learning itu lebih baik

dari pada student centered learning, tergantung faktor kontekstualitasnya,

meliputi: karakteristik materi, peserta didik, fasilitas belajar dan lain

sebagainya.

Akan tetapi saat fokus pembelajaran tertumpu pada proses

mengkonstruksi pemahaman dengan alur berpikir masing-masing siswa

(thinking skills), maka guru harus memposisikan diri sebagai partner guide

yang mengkondisikan pengalaman belajar siswa berlangsung secara

efektif dan optimal dengan prinsip individualitas (student centered

learning). Singkatnya untuk mengatasi permasalahan miskonsepsi

tersebut perlu dilakukan pergeseran paradigma berpikir dalam memilih

pedagogi pembelajaran kejuruan.

Bentuk pergeseran paradigma pembelajaran tersebut dirumuskan

dengan baik oleh Cheng (2012 : 31-34) dalam buku New Paradigm for Re-

11  

engineering Education: Globalization, Localization and Individualization.

Kata kuncinya adalah kustomisasi metode pembelajaran kejuruan yang

efektif ditinjau dari proporsi peran guru dan siswa dalam proses

pembelajaran. Seperti diilustrasikan pada gambar dan tabel berikut.

The Ecological Relationship between Roles of Teachers and Students

Sumber: Cheng, 2012 : 33

Tabel.Teachers’ Roles and Corresponding Students’ Roles and Outcomes

*) Sumber: Cheng, 2012 : 33

Terlihat jelas reposisi peran guru dan siswa dalam proses pembelajaran

yang sangat situasional dan kontekstual dengan tetap mengedepankan

aspek kualitas pengalaman belajar terbaik bagi siswa secara individu.

Untuk masalah ketujuh yaitu miskonsepsi bahwa pembelajaran

dengan menggunakan dukungan ICT akan selalu lebih baik dari pada

pembelajaran dengan media konvensional (benda aslinya). Oleh karena

begitu gencarnya kampanye pentingnya penguasaan skills abad 21

tentang “digital literacy” termasuk di dalamnya “ICT litercy”, bukan berarti

semua masalah pembelajaran akan beres dengan hanya mengandalkan

12  

pembelajaran berbasis ICT. Untuk meluruskan miskonsepsi ini perlu

dilakukan pencerahan tentang esensi media pembelajaran terkait

pengaruhnya terhadap kualitas pengalaman belajar siswa secara individu.

Rumusan tahapan pertimbangan pemilihan vocational pedagogy

secara eklektik terdiri dari 5 tahapan, meliputi: (1) be clear about the goal

of vocational education; (2) understand the nature of your subject; (3) be

clear about the breadth of desired outcomes; (4) understand the range of

learning methods that may taken together and provide the best blend; and

(5) bear in mind any contextual factors: the nature of learners, the

expertise of the teacher and the setting for learning (Lucas, Spencer &

Claxton, 2012: 108).

Tahap pertama, guru harus paham benar esensi tujuan pendidikan

kejuruan. Selanjutnya, guru juga hendaknya memahami karakteristik

materi ajar yang diampunya. Kemudian, guru harus paham benar cakupan

hasil belajar yang dikehendaki. Apakah hanya sampai thinking skills atau

hands on expertise, atau keduanya? Setelah itu, guru harus memahami

hubungan antara karakteristik materi ajar dengan beberapa metode

penyampaian materi ajar. Ini akan lebih baik bila mampu memadukan

secara eklektik beberapa metode (blending methods) untuk menghasilkan

kualitas pengalaman belajar terbaik bagi siswa secara individu. Terakhir,

pertimbangkan dengan cermat aspek kontekstualitas pembelajaran yang

diampu, meliputi: (1) karakteristik peserta didik; (2) kapabilitas guru terkait

keterampilan teknis/praktek (teaching literacy), penguasaan metode &

penggunaan media, kemanfaatan materi terhadap karir siswa kelak; dan

(3) situasi lingkungan belajar saat materi diberikan, apakah pada jam

awal, pertengahan atau menjelang pulang? Jika semua tahapan dipahami

dengan baik maka kualitas pengalaman belajar yang terbaik bagi siswa

akan tercapai secara optimal.

Selanjutnya masalah kedelapan yaitu minimnya inisiatif

pembelajaran kolaboratif antara mata diklat kejuruan, kewirausahaan, dan

mata diklat relevan lainnya. Kolaborasi ditinjau dari aspek perencanaan,

13

pelaksanaan dan strategi penilaian hasil belajar siswa dalam perspektif

“hands on learning experience”. Apabila ditinjau dari filosofi pragmatisme

John Dewey bahwa sebuah konsep dikatakan baik apabila mampu

menunjukkan kemanfaatan praktis secara nyata, bukan hanya baik secara

teoritis. Materi diklat kejuruan akan bermanfaat bila guru mampu

menunjukkan manfaat ekonomis dari penguasaan kompetensi tersebut.

Materi kewirausahaan akan lebih membumi apabila mampu mengantarkan

penguasaan kompetensi keahlian menjadi sesuatu yang layak jual dan

prospek bisnisnya feasible. Mata diklat seni budaya dan budi pekerti akan

bermanfaat apabila mampu memberikan nilai tambah (added value) dari

sebuah produk penguasaan kompetensi keahlian, baik dari sisi tampilan,

penghayatan esensi human relationship, empati, atau merangkai narasi

yang indah pada sebuah jargon pemasaran, dan sebagainya.

Rumusan tahapan kolaborasi mata diklat kejuruan, kewirausahaan

dan mata diklat relevan lainnya, meliputi: (1) menyatukan visi dan misi

bersama di antara guru-guru mata diklat yang terlibat; (2) membuat tabel

atau daftar kompetensi dari mata diklat yang terlibat; (3) menyusun

matriks kemungkinan kolaborasi atau integrasi di antara kompetensi-

kompetensi mata diklat yang terlibat; (4) menemukan kompetensi generik

hasil kolaborasi atau integrasi pada tahap sebelumnya; (5) merancang

metode pembelajaran dan pendekatan evaluasi hasil belajar yang sesuai

dengan karakteristik materi, karakteristik siswa, setting lokasi belajar

(kelas, lab/workshop, atau out door study); (6) mengimplementasikan

skenario pembelajaran secara kontekstual, baik di kelas, lab/workshop,

atau out door study, berserta evaluasi proses dan produk/hasil belajar; (7)

menganalisa dan melakukan refleksi terhadap temuan data proses dan

evaluasi hasil belajar; (8)merevisi program pembelajaran dan mengujicoba

kembali sampai diperoleh format atau model yang paling ideal;

(9)mendokumentasikan semua proses, skenario pembelajaran (RPP),

semua evident/artifact transkrip pengamatan, tes, interview, rekaman

audio atau video, foto dan sebagainya dalam bentuk laporan utuh sebuah

14  

best practise pembelajaran; dan (10) diseminasi hasil best practise dalam

lingkup forum ilmiah guru tingkat internal sekolah atau juga eksternal

sekolah.

Kesimpulan dan Harapan Penulis

Berdasarkan uraian-uraian pada bagian sebelumnya, beberapa

simpulan yang dapat diambil yaitu:

1. Untuk membentuk orientasi karir yang ideal pada siswa, sekolah harus

merevitasilasi peran program bimbingan konseling terutama bidang

bimbingan karir melalui kolaborasi dengan figur wirausahawan sukses,

kolaborasi dengan guru produktif/kejuruan dan kewirausahaan.

2. Sekolah harus merevitalisasi peran bursa kerja khusus (BKK) selain

sebagai penyalur lulusan, juga sebagai pendamping program

kewirausahaan, financial intermediary, dan mediator coorporate social

responsibility dalam hal pemberian modal usaha baik bagi lulusan

atau bisa juga bagi siswa yang masih aktif untuk belajar berwirausaha.

3. Revitalisasi sistem re-engineering struktur kompetensi keahlian SMK,

dari hanya melayani social demand (animo masyarakat) menjadi man

power demand (mengacu pada profil kebutuhan tenaga kerja).

4. Framework re-engineering struktur kompetensi keahlian SMK harus

didasarkan pada dua orentasi utama yaitu: (a) education for life dan

(b) education for work. Hal tersebut dilakukan melalui: (a) pembekalan

fundamental skills dan generic work skills oleh sekolah dan (b)

pembekalan industry specific work skills dan employer specific work

skills oleh sekolah dan juga industri pasangan.

5. Guru harus mampu melepaskan diri dari miskonsepsi pemilihan

vocational pedagogy. Caranya dengan memahami esensi pendidikan

kejuruan, aspek kontekstualitas pembelajaran: tujuan dan karakteristik

materi ajar, peserta didik, situasi lingkungan belajar, metode evaluasi,

kapabilitas guru (teaching literacy).

15

6. Guru-guru SMK hendaknya mampu menyelenggarakan pembelajaran

kolaboratif interdisipliner (produktif-kewirausahaan-seni budaya, dan

sebagainya) dalam bentuk materi dan pembelajaran generik yang

dievaluasi secara autentik (by process and by product).

Harapan penulis terkait potret permasalahan pendidikan kejuruan

dalam kaitannya dengan sumbangan ide pemecahan masalah dalam

tulisan ini, yaitu:

1. Re-engineering struktur kompetensi keahlian SMK pada masa-masa

mendatang benar-benar didasarkan pada man power demand

(berorientasi pada profil kebutuhan tenaga kerja), tidak hanya atas

dasar kepentingan melayani animo masyarakat (social demand).

2. Diberikannya ruang gerak yang lebih luas dan apresiasi bagi guru-

guru SMK yang penuh ide kreatif dalam rangka menghasilkan solusi

alternatif untuk mengurai permasalahan pendidikan kejuruan baik

secara lokal/daerah maupun nasional.

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Pusat Statistik. (2015). Indikator Kesejahteraan Rakyat 2015.Jakarta: BPS

2. Blank, W.E. (1982). Handbook for Developing Competency-BasedTraining Programs. London: Prentice-Hall, Inc.

3. Cheng, Y.C. (2005). New Paradigm For Re-Engineering Education,Globalization, Localization and Individualization. Dordrecht: Springer.

4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. (2008). Technopreneurship.Jakarta: Kemendikbud

5. Finch, C.R & Crunkilton, J.R. (1999). Curriculum Development inVocational and Technical Education. Boston: Allyn & Bacon

6. Lucas.B., Spencer.,E., Claxton.G. (2012). How to Teach VocationalEducation, A Theory of Vocational Pedagogy. London: Centre forSkills Development

7. Putu Sudira. (2013). Kurikulum dan Pembelajaran BerbasisKompetensi Menyongsong Skill Masa Depan. Yogyakarta: AAKM

8. Prosser. C.A & Quigley. T.H (1950). Vocational Education in aDemocracy. Great Britain: American Technical Society.

9. Trilling, B. dan Fadel, C. (2009). 21st Century Skills Learning for Life inOur Times. Sanfrancisco: Jossey Bass

BIO DATA PESERTA SIMPOSIUM GURU NASIONAL 2016

1. Nama I Gusti Kade Siladana, S.Pd.T 2. NIP 19810416 200804 1 001 3. NUPTK 4748-7596-6020-0042 4. NPWP 79.845.271.0-908.000 5. Pangkat/Gol. Ruang Penata. III/c 6. Tempat / Tanggal Lahir Tabanan Bali, 16 April 19817. Jenis Kelamin Laki-Laki 8. Agama Hindu 9. Mata Diklat/ Pelajaran Mata Diklat Produktif Otomotif 10. Judul Karya Tulis Revitalisasi SMK Untuk Meningkatkan Daya

Saing Ketenagakerjaan: Framework Re-enginering Struktur Kompetensi dan Pedagogi Pendidikan Kejuruan Yang Sesuai Kebutuhan dan Tuntutan Pasar

11. Pendidikan Terakhir S1 Pendidikan Teknik Mesin (K.K Otomotif) 12. Fakultas / Perguruan

TinggiFakultas Teknik/ Universitas Negeri Yogyakarta

13. Status Perkawinan Kawin 14. Sekolah :

a. Kepala Sekolahb. Nama Sekolahc. Jaland. Kelurahan / Desae. Kecamatanf. Kabupateng. Propinsih. Teleponi. Email (Surel)

Drs. I Ketut Suardana, MM SMK Negeri 3 Tabanan Jln. Kahyangan, Bunut Puhun Bantas Selemadeg Timur Tabanan Bali 08123692575 [email protected]

15. Alamat Rumah:a. Jalanb. Kelurahan/Desac. Kecamatand. Kabupatene. Propinsif. Telepong. Email (Surel)

Jln. Pura Dalem Jelijih Desa Megati Selemadeg Timur Tabanan Bali 0821 4704 3518 [email protected]

16. Kegiatan Peningkatan Profesionalitas Guru Yang Pernah Diikuti

a. SEAMOLEC Sea-Cyber Class di bidangpemanfaatan TIK dalam prosespembelajaran

b. Diklat Keselamatan Kerja dan Fundamental Hydrolic di P4TK-VEDC Malang

c. Diklat Manajemen Pembelajaran Otomotifdan Penelitian Tindakan Kelas di BMTI-TEDC Bandung