36
AGAMA HINDU PERSPEKTIF POLITIK MENUTUT AJARAN HINDU DALAM KEHIDUPAN SOSIAL ORGANISASI SUBAK OLEH : NAMA : I KETUT SUENA NIM : 1213021024 KELAS : II B JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA

i Ketut Suena 1213021024

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: i Ketut Suena 1213021024

AGAMA HINDU

PERSPEKTIF POLITIK MENUTUT AJARAN HINDU DALAM

KEHIDUPAN SOSIAL ORGANISASI SUBAK

OLEH :

NAMA : I KETUT SUENA

NIM : 1213021024

KELAS : II B

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

SINGARAJA

2013

Page 2: i Ketut Suena 1213021024

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

rahmat Asung Kertha Wara Nugraha yang diberikan oleh Beliau, penulis dapat

menyelesaikan makalah ini dengan judul “Persepektif Politik Menurut Ajaran

Hindu dalam Organisasi Sosial Subak” untuk pendidikan agama Hindu tepat pada

waktunya. Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas dari

dorongan bantuan, serta bimbingan diantaranya:

1) Prof. Dr. I Wayan Santyasa, M.Si. selaku dosen pengajar mata kuliah

pendidikan agama Hindu yang telah memberikan pengarahan-pengarahan

yang membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.

2) Pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini yang tidak dapat

kami sebutkan satu-persatu yang sangat membantu kami baik dalam

bentuk dorongan akademik dan dorongan moril sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Mudah-mudahan dengan penyusunan makalah ini diharapkan dapat

membantu menambah ilmu pengetahuan mengenai politik menurut persepektif

Hindu.

Penulis menyadari banyak kekurangan-kekurangan dan hambatan-

hambatan yang kami temui dalam penyusunan makalah ini. Maka dari itu kami

mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca.

Sekian kata pengantar yang dapat penulis sampaikan. Atas perhatiannya,

penulis mengucapkan terimakasih.

Om Santi, Santi, Santi, Om.

Singaraja, 26 Juni 2013

Penulis

2

Page 3: i Ketut Suena 1213021024

DAFTAR ISI

Halaman Judul .................................................................................................................. i

Kata Pengantar .................................................................................................................. ii

Daftar Isi ........................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 2

1.3 Tujuan ................................................................................................................... 3

1.4 Manfaat ................................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Politik dalam Persepektif Agama Hindu ……………………………..

2.2 Sumber Ajaran Hindu Tentang Politik(Nitisastra) .………………………………

2.3 Implementasi Ajaran Nitisastra sebagai Sumber Ajaran Politik Agama Hindu

dalam Politik pada Organisasi Subak Menurut Perspektif Hindu .........................

4

4

12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan........................................................................................................... 17

3.2 Saran ..................................................................................................................... 17

Daftar Pustaka

3

Page 4: i Ketut Suena 1213021024

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak pihak yang beranggapan bahwa politik adalah kotor karena politik

selalu diidentikkan dengan perebutan kekuasaan serta berbaga kepentingan yang

menghalalkan segala cara. Ini tak lain disebabkan trauma masyarakat terhadap

kenyataan yang ditemui mengenai politik di Indonesia. Namun seiring berjalannya

waktu dan kehidupan politik, kepentingan mengalami penyempitan makna sebatas

kepentingan pribadi atau kelompok.

Saat ini, orang yang berkecimpung dalam dunia politik cenderung

mengabaikan nilai moral dan etika yang digariskan oleh ajaran agama. Bahkan,

agama sering dijadikan alat untuk kepentingan politik. Politik bagi beberapa

oknum hanyalah sebuah permainan.Yang nantinya cenderung mengarah ke politik

uang (money politics). Sesungguhnya masalah politik merupakan bagian dari

agama sebab agama memberikan garis tengah bahwa kegiatan politik harus tetap

menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etik, dan spiritual.1

Subak adalah organisasi yang mengatur tentang pengairan pertanian di

Bali. Organisasi ini sudah ada kurang lebih sejak abad ke-9. Hal ini diperkuat oleh

keterangan tertulis mengenai praktik bertani masyarakat Bali kali pertama dimuat

dalam Prasasti Sukawana yang bertitimangsa 882. “Di dalam prasasti itu ada kata

‘huma’ yang berarti sawah. Orang Bali sampai sekarang menggunakannya untuk

menyebut sawah. Kata “huma” kala itu lazim digunakan untuk menyebut sawah

irigasi. Keterangan lebih jelas mengenai pengelolaan irigasi termuat dalam

Prasasti Trunyan (891). Dalam prasasti itu dimuat kata “serdanu” yang berarti

kepala urusan air danau. Itu berarti masyarakat Bali mengenal sebentuk cara

mengelola irigasi pada akhir abad ke-9. Hal ini diperkuat Prasasti Bebetin (896)

yang ditemukan di Buleleng dan Prasasti Batuan (1022). Kata subak dinilai

sebagai bentuk modern dari kata suwak. Suwak ditemukan dalam Prasasti Pandak

Badung (1071) dan Klungkung (1072). Suwak berasal dari dua kata, “su” yang

berarti baik dan “wak” untuk pengairan. Dengan demikian, suwak dapat diartikan

sebagai sistem pengairan yang baik. Suwak itu telah berjalan di wilayah

1 Gunada(2008)4

Page 5: i Ketut Suena 1213021024

Klungkung. Wilayah yang mendapat pengairan yang baik disebut Kasuwakan

Rawas.

Secara filosofis, sistem Subak sebagai sebuah manifestasi filosofi Tri Hita

Karana, yaitu tiga hubungan manusia dengan alam, Tuhan dan Manusia sendiri.

Subak, selain mengurus pertanian tanah, organisasi subak juga mengurus

kelestarian hutan sebagai salah satu sumber air dan merupakan tempat penting

perburuan bagi Raja mereka. Setiap Subak memiliki Pekaseh, sebagai

pemimpinnya. Pekaseh ini merupakan jabatan yang diwariskan secara turun

temurun di beberapa daerah di Bali. Selain itu ada juga yang disebut Sedahan,

merupakan pimpinan kelompok Subak yang berada di satu sumber air yang sama.

(Budiasa, 2010).

Meskipun subak telah diakui sebagai warisan dunia, Subak dan Pasedahan

Agung belakangan ini mengalami beberapa masalah serius dalam pertanian di

Bali. Hal ini dibuktikan dengan munculnya permasalahan alih fungsi lahan

pertanian, rusaknya kualitas air irigasi dan menipisnya persediaan air, kurangnya

keuntungan dari pertanian berdampak pada meredupnya organisasi subak.

(Sutawan, 2004). Bertitik tolak dari permasalahan ini, sangat diperlukannya

seorang pemimpin yang mampu mengembangkan subak di tingkat kabupaten

untuk mengambil kebijakan serta program untuk menyelamatkan subak. Konsep-

konsep dalam ajaran Nitisastra sebagai sumber upaya cerminan pemimpin

sepatutnya dapat dipahami agar politik dalam perspektif Hindu yaitu dharma

dapat terwujud. Oleh karena itu, dalam makalah ini mengangkat permasalahan

mengenai politik menurut perspektif Hindu, yaitu mengenai pemahaman politik,

sumber ajaran politik Hindu dan implementasinya dalam organisasi Subak untuk

mampu mempertahankan subak.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat

merumuskan masalah sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimana pengertian politik dalam perspektif agama Hindu?

1.2.2 Bagaimana kaitan sumber ajaran agama Hindu mengenai politik?

5

Page 6: i Ketut Suena 1213021024

1.2.3 Bagaimana implementasi ajaran Nitisastra sebagai sumber ajaran politik

agama Hindu dalam politik pada organisasi Subak menurut perspektif

Hindu?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan dengan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan dari

penulisan makalah ini, yaitu sebagai berikut.

1.3.1 Mendeskripsikan pengertian politik dalam perspektif agama Hindu.

1.3.2 Memahami sumber ajaran agama Hindu mengenai politik.

1.3.3 Mendeskripsikan implementasi ajaran Nitisastra sebagai sumber ajaran

politik agama Hindu dalam politik pada organisasi Subak menurut

perspektif Hindu.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini, yaitu bagi

penulis dan pembaca dapat mendeskripsikan, menambah wawasan dan

pengetahuan mengenai sumber-sumber ajaran Hindu tentang politik, serta dapat

mengamalkan nilai-nilai luhur agama Hindu dalam kehidupan politik sosial

khususnya organisasi masyarakat.

6

Page 7: i Ketut Suena 1213021024

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Politik dalam Perspektif Agama Hindu

Kata politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu “polis” yang berarti kota

atau negara kota, beranjak dari kata polis ini kemudian diturunkan kata polities

yang berarti warga negara, politicos yang berarti kewarganegaraan, dan politike

techne yang berarti kemahiran politik serta politice episteme untuk ilmu politik

(Suatama, 2007).

Adapun pengertian politik menurut perspektif agama Hindu bahwa kata

politik dapat disamakan dengan kata Nitisastra dalam sastra-sastra Hindu. Kata

Nitisastra berasal dari Niti dan Sastra dalam bahasa Sansekerta. Niti berarti

kemudi, pimpinan, politik dan sosial etik, pertimbangan, dan kebijakan sedangkan

kata Sastra berarti perintah, ajaran, nasehat, dan aturan tulisan ilmiah. Menurut

Mardiwarsito dalam kamus bahasa Jawa Kuno, Niti berarti kebijakan politik atau

ilmu tata negara, dan Sastra berarti ilmu pengetahuan atau kitab pelajaran. Di

dalam kamus Sansekerta karya Arthur Mac Donnel, kata Niti berarti Wordly

Wisdom (kebijakan duniawi) etika sosial politik dan tuntunan politik. Sebagai

istilah kata, Nitisastra diartikannya sebagai etika politik. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa Nitisastra adalah pengetahuan tentang politik Negara. Ajaran

agama Hindu dalam Nitisastra tidak pernah lepas dari pembahasan tentang

pentingnya upaya untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, di mana politik

menurut Hindu adalah pengetahuan untuk menyelenggarakan pemerintahan suatu

negara guna mencapai tujuan menciptakan masyarakat yang damai dan sejahtera

(Winawan, 2002).

2.2 Sumber Ajaran Hindu Tentang Politik (Nitisastra)

Veda adalah sumber ajaran agama Hindu yang di dalamnya mengalir

semua ajaran yang merupakan kebenaran agama Hindu. Dalam kitab Veda inilah

mengalir ajaran agama Hindu dan dikembangkan baik dalam kitab Sruti, Smerti,

Itihasa, Purana, Tantra, Darsana, Upanisad maupun lontar-lontar Tatwa yang ada

7

Page 8: i Ketut Suena 1213021024

sekarang ini. Dalam kitab-kitab inilah terkandung ajaran-ajaran Nitisastra

(Winawan, 2002).

2.2.1 Kitab Veda (Sruti)

Sruti merupakan kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh

Tuhan (Ida Hyang Widhi Wasa) melalui para maha Rsi. Selain itu, Sruti

adalah Weda yang sebenarnya (originair) yang diterima melalui pendengaran

dan diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau himpunan.

Oleh karena itu, Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda

Samhita (Samhita artinya himpunan). Kitab Sruti yang memuat ajaran

Nitisastra adalah kitab Arthaveda, seperti halnya yang termuat di dalam

Atharva Veda: 3.4.2 (Gunada, 2008).

“Bilamana seorang pemimpin dalam sebuah negara selalu mengikuti

kebenaran dan dharma, serta mencukupi kebutuhan rakyatnya, maka

semua orang bijaksana dan tokoh masyarakat akan mengikuti serta

menyebarkan dharma kepada masyarakat luas”.

Jika seorang pemimpin memperhatikan masalah kesejahteraan rakyat

serta mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat, maka rakyatpun

akan melindungi pemimpin itu sendiri ibaratnya singa dan hutan yang saling

melindungi, demikianlah keberadaan pemimpin dengan yang dipimpinnya.

Oleh karena itu, pemimpin harus selalu mendengarkan dan melaksanakan

aspirasi dari rakyat dengan tetap berlandaskan ajaran dharma.

2.2.2 Kitab Smerti

Smerti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan.

Penyusunan ini didasarkan atas pengelompokkan isi materi secara sistematis

menurut bidang profesi. Secara garis besarnya Smerti dapat digolongkan ke

dalam dua kelompok besar, yakni kelompok Wedangga (Sadangga) dan

kelompok Upaweda. Ajaran Nitisastra tersebar dalam kitab-kitab Smerti,

seperti halnya dalam kitab Manava Dharmasastra memuat ajaran-ajaran

Bhagawan Manu yang dihimpun dan disusun oleh Bhagawan Bhrigu, di

dalam kitab tersebut banyak sekali memuat ajaran Nitisastra. Di dalam kitab

ini terdapat istilah Raja Dharma, yaitu dalam Manava Dharmasastra VII.1

(Dewa, 2008).8

Page 9: i Ketut Suena 1213021024

“rajadharmam pravaksyami yatha vrtto bhaven nrpah sambhavasca

yatha tasya siddhisca paramayatha”.

Artinya: Akan saya nyatakan dan perlihatkan tentang kewajiban Raja (Raja

Dharma) bagaimana Raja seharusnya berbuat untuk dirinya sendiri,

bagaimana ia dijadikan dan bagaimana ia dapat mencapai

kesempurnaannya yang tertinggi.

Berdasarkan sloka tersebut dapat kita pahami bahwa agama Hindu

dalam ajaran Nitisastra mampu menuntun umatnya untuk menjadi seorang

pemimpin yang berlandaskan dharma, baik dalam memimpin dirinya sendiri,

memimpin orang lain maupun mampu mengendalikan diri seperti yang

tercantum dalam kitab Manawa Dharma Sastra VI. 52 yang menyatakan

pemimpin hendaknya siang dan malam mampu mengendalikan diri sekuat

tenaga, karena ia telah menundukkan indrianya sendiri, dapat menguasai diri,

maka pasti akan mampu mengendalikan rakyatnya. Begitu pentingnya

pengendalian diri, maka seorang pemimpin pastilah muncul sebuah taksu atau

karisma yang mampu mempengaruhi masyarakat. Namun, untuk

mengendalikan diri inilah yang sulit apalagi mau membuat karisma diri dan

mengendalikan rakyat. Oleh karena itu, seorang pemimpin berpedoman pada

sifat kedewataan dan menerapkannya pada kepemimpinannya. Menjadi

seorang pemimpin memang tidak mudah. Sekali lagi, perlu pengendalian diri.

Pengendalian diri memegang kontrol segala kegiatan untuk mencapai kinerja

yang baik dan berhasil. Pemimpin hendaknya menjadi panutan bagi yang

dipimpin dalam hal pengendalian diri. Jika sudah saling mengendalikan diri,

semua akan terkontrol, tidak ada kesimpang siuran, tumpang tindih, dan

kekacauan. Sifat-sifat kedewataannya itu tersurat dalam sloka Manawa

Dharmasastra VII. 4 (Mendra, 2010):

“indra nilaya markanam, agni ca waruna sya ca, candra wite ca yo

caiva, matra nir hertya cacwatih”

Artinya : Untuk memenuhi maksud tujuan itu, pemimpin harus memiliki sifat

kekal seperti Indra, Vayu, Yama, Surya, Agni, Varuna, Chandra

dan Kuwera.

9

Page 10: i Ketut Suena 1213021024

Jika seorang pemimpin Hindu bisa menempatkan Asta Brata itu

sebagai landasan berpolitiknya, niscaya tujuan politik Hindu untuk

menciptakan masyarakat sejahtera akan tercapai.

Dalam kitab Ramayana disebutkan:

“Hyang Indra Yama Surya Candranila Kuwera

Banyunagi nahan walu ta sira maka angga

Sang bupati matangyang inisti asta Brata”

Artinya: Dewa Indra, Yama, Surya, Chandra, Anila/Bayu, Kuwera, Baruna

dan Agni itulah delapan Dewa yang merupakan badan sang

pemimpin, kedelapannya itulah yang merupakan Asta Brata.

Jika seorang pemimpin Hindu bisa menempatkan Asta Brata itu sebagai

landasan berpolitiknya, niscaya tujuan politik Hindu untuk menciptakan

masyarakat sejahtera akan tercapai.

Adapun bagian dari Asta Brata adalah sebagai berikut (Gunada, 2008).

1. Indra Brata, seorang pemimpin mampu memberikan kemakmuran kepada

rakyatnya seperti dewa Indra yang slalu memberikan hujan untuk

kesuburan bumi.

2. Yama Brata, seorang pemimpin harus mampu bersikap adil dan bersikap

tegas terhadap orang-orang yang berbuat salah.

3. Surya Brata, pemimpin mampu memberikan penerangan bagi

masyarakatnya seperti sang surya yang menerangi bumi.

4. Candra Brata, seorang pemimpin diharapkan memberikan penerangan

yang sejuk dan nyaman. Seseorang akan menjadi senang dan taat apabila

kebutuhannya dapat dipenuhi, baik bersifat material maupun bersifat

spiritual.

5. Bayu Brata, seorang pemimpin hendaknya mengetahui pikiran atau

keinginan dari rakyatnya.

6. Kuwera Brata, pemimpin haruslah dapat memberikan contoh yang baik

kepada anak buahnya seperti berpakaian yang rapi sebab pakaian itu besar

sekali pengaruhnya terhadap seorang bawahan. Hal lain yang terkandung

adalah sebelum seorang pemimpin mengatur orang lain, pemimpin

haruslah bisa mengatur dirinya sendiri terlebih dahulu.

10

Page 11: i Ketut Suena 1213021024

7. Baruna Brata, bagaimana seorang pemimpin harus berpikiran luas seperti

samudera sehingga kebijaksanaan akan menyertai pemimpin tersebut.

8. Agni Brata, Seorang pemimpin haruslah mempunyai semangat yang

berkobar-kobar laksana agni dan dapat pula mengobarkan semangat anak

buah yang diarahkan untuk menyelesaikan segala pekerjaan yang menjadi

tanggung jawabnya.

2.2.3 Kitab Itihasa

Kitab Itihasa merupakan jenis epos yang terdiri dari dua macam, yaitu

Ramayana dan Mahabharata. Kitab Ramayana ditulis oleh Rsi Walmiki. Di

Indonesia cerita Ramayana sangat populer yang digubah ke dalam bentuk

Kekawin dan berbahasa Jawa Kuno. Kekawin ini merupakan kekawin tertua

yang disusun sekitar abad ke-8. Di samping Ramayana, epos besar lainnya

adalah Mahabharata. Kitab ini disusun oleh maharsi Wyasa. Ditinjau dari arti

Itihasa , berasal dari kata "Iti", "ha" dan "asa" artinya adalah "sesungguhnya

kejadian itu begitulah nyatanya", maka Mahabharata itu gambaran sejarah,

yang memuat mengenai kehidupan keagamaan, sosial, dan politik menurut

ajaran Hindu. Adapun salah satu kutipan mengenai Nitisastra dalam

Ramayana III, 65.

“Santasih nitya thaganan”

Artinya: Kasih sayang hendaknya selalu engkau lakukan.

Kutipan di atas mengandung makna bahwa raja atau pemimpin harus

mengembangkan nilai kejujuran. Oleh karena itu, semua rakyat akan menjadi

segan terhadap raja atau pemimpinnya, seperti dengan tidak melakukan

korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam memimpin. Seorang pemimpin yang

sempurna dalam konsep Hindu adalah pemimpin yang selalu mengupayakan

kehidupan bangsa dan negaranya yang damai dan sejahtera, seperti dengan

berusaha menegakkan hukum tanpa memandang kedudukan dan harta yang

dimiliki seseorang.

2.2.4 Kitab Purana

Kitab Purana merupakan kumpulan cerita-cerita kuno yang

menyangkut penciptaan dunia dan silsilah para raja yang memerintah di

dunia, juga mengenai silsilah dewa-dewa dan Bhatara, cerita mengenai

11

Page 12: i Ketut Suena 1213021024

silsilah keturunan dan perkembangan dinasti Suryawangsa dan Candrawangsa

serta memuat cerita-cerita yang menggambarkan pembuktian-pembuktian

hukum yang pernah dijalankan. Kitab Purana jumlahnya cukup banyak dan di

dalamnya banyak memuat tentang Nitisastra (Winawan, 2002).

2.2.5 Kitab-Kitab, Lontar-Lontar maupun Naskah-Naskah Lainnya yang

Bersumber dari Naskah Sanskerta maupun Jawa Kuno.

Tujuan rakyat agar mencapai Catur Purusha Artha (Dharma, Artha,

Kama, dan Moksa) dalam menjalankan hidup dan kehidupan manusia di

muka bumi ini dengan selalu berorientasi kepada Tuhan dengan mengikuti

aturan-aturannya, Swadharma dengan disiplin yang tinggi (Sudirga, 2004).

Kitab Sarasamuscaya, 156 memberikan petunjuk sebagai berikut (Kajeng,

1999).

”Tasmad wakkayacittaistu nacaredacubham narah, cubhacubham

hyacarati tasyactnute phalam, Matangnyan nihan kadayakenaning

wwang, tan wak, kaya, manah, kawarjana, makolahang acubhakarma,

apang ikang wwang mulahaken ikang hayu, hayu tinemunya yapwan

hala pinakolahnya, hale dinemunya”

Artinya: Oleh karena itu, yang harus diusahakan orang, janganlah

hendaknya membiarkan kata-kata, laksana, dan pikiran berbuat karma yang

tidak baik, sebab orang yang mengusahakan yang baik, baik pula yang

diperolehnya, jika jahat yang dilakukannya, maka celaka yang diperolehnya.

Seluruh aktivitas umat manusia yang baik berdasarkan petunjuk ajaran

agama dapat memberikan manfaat untuk terciptanya kesucian dan kesakralan

dari tempat suci. Politik seharusnya dilaksanakan dengan landasan moral,

agama, dan hukum Tuhan yang dihasilkan oleh pemerintah itu harus

didukung. Kalah dan menang itu soal biasa (Rwa Bhineda) tetapi itu bukan

tujuan utama, tujuan utama adalah aman, damai, dan sejahtera. Dalam

pelaksanaannya harus menjunjung tinggi hukum yang berkitan dengan

sraddha (Suatama, 2007). Bhagawadgita III.19 menyatakan sebagai berikut

(Pudja, 1999).

”Tasmad asaktah satatam karyam karma samachara, asakto hy acharan

karma param apnoti purushah”.

12

Page 13: i Ketut Suena 1213021024

Artinya: Dari itu laksanakanlah segala kerja sebagai kerja tanpa harap

keuntungan, sebab kerja tanpa keuntungan pribadi membawa orang ke jalan

kebahagiaan yang tertinggi.

Dalam tingkatannya, pekerjaan adalah paling mulia apabila

dilaksanakan tanpa tujuan untuk memperoleh phala bagi kepentingan pribadi.

Demikian pula pekerjaan yang disertai dengan persembahan sebagai tanda

berbhakti, jauh lebih mulia daripada pekerjaan yang mengangkat orang pada

penyucian dan kesempurnaan pikiran serta jiwanya, demikian juga dalam

berpolitik hendaknya lebih mengutamakan kepentingan bersama untuk

mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan hidup (Suatama, 2007).

2.3 Implementasi Ajaran Nitisastra sebagai Sumber Ajaran Politik Agama

Hindu dalam Politik pada Organisasi Subak Menurut Perspektif Hindu

Subak merupakan salah satu organisasi tradisional petani di Indonesia, yang

mengelola air irigasi selain organisasi yang juga terdapat di daerah lainnya,

namun dengan nama yang berbeda. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali

Nomor 2 Tahun 1972 dalam pasal 4 merumuskan bahwa subak merupakan

masyarakat hukum adat di bali yang bersifat sosio agraris religious yang secara

historis didirikan sejak dahulu kala, dan berkembang terus sebagai organisasi

pengairan di suatu daerah.

Seperti halnya sistem pengairan lainnya di nusantara, sistem subak bukanlah

tanpa kelemahan-kelemahan. Kelemahan paling menonjol dari sistem irigasi

subak adalah ketidakmampuannya untuk membendung pengaruh luar yang

menggerogoti artefaknya, yang terwujud dalam bentuk alih fungsi lahan, sehingga

eksistensi subak menjadi menurun. Ini dapat dlihat dari lahan produktif yang

berubah menjadi gedung-gedung bertingkat. Berkembangnya pariwisata di Bali

juga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan subak di Bali.

Mengingat betapa pentingnya peranan subak dalam pembangunan bidang

pertanian sebagai sistem pengairan tradisional untuk sanggup menyerap teknologi

pertanian modern secara berkelanjutan. Disamping itu, peningkatan kerja

pengurus subak baik di wilayah yang paling kecil maupun di tingkat tinggi

(Pasedahan Agung) perlu dilakukan, sebab masa di depan subak semakin

berhadapan dengan berbagai tantangan baik internal maupun eksternal. Sehingga

13

Page 14: i Ketut Suena 1213021024

subak memerlukan pengurus yang ulet, tangguh, disiplin, namun tetap

mempunyai kepekaan budaya khususnya kebudayaan Bali yang bernafaskan

Hindu. (Budiasa, 2010).

Sebagai suatu organisasi, Subak mempunyai unsur pimpinan yang disebut

dengan Prajuru. Pada Subak yang kecil, struktur organisasinya sangat sederhana,

hanya terdiri dari seorang ketua Subak yang disebut Kelihan Subak atau Pekaseh,

dan anggota Subak. Sedangkan pada Subak-subak yang lebih besar, prajuru subak

umumnya terdiri atas : Pekaseh (Ketua Subak), Petajuh (Wakil Pekaseh),

Penyarikan (Sekretaris), Petengan atau Juru Raksa (Bendahara), Juru arah atau

Kasinoman (Pembawa informasi), dan Saya (Pembantui khusus). Prajuru Subak

umumnya dipilih oleh anggota Subak dalam suatu rapat pemilihan, untuk masa

jabatan tertentu (biasanya 5 tahun). Untuk Juru arah biasanya dijabat bergilir oleh

anggota Subak dengan pergantian setiap bulan (35 hari) atau enam bulan (210

hari).

Subak-subak yang besar biasanya dibagi atas sub-sub yang disebut dengan

Tempek yang dipimpin seorang Kelihan Tempek. Untuk tujuan-tujuan tertentu,

misalnya koordinasi dalam distribusi air dan atau upacara pada suatu pura,

beberapa Subak dalam suatu wilayah bergabung dalam suatu koordinasi yang

disebut Subak Gede. Subak anggota dari suatu Subak Gede umumnya berada

dalam satu daerah irigasi, meskipun ada juga Subak Gede yang Subak anggotanya

memiliki sistem irigasi sendiri-sendiri. (Budiasa, 2010).

Kepemimpinan dalam organisasi subak adalah pemimpin yang dapat

mengaktualisasikan ajaran Nitisastra ini. Karena Pemimpim dan Kepemimpinan

ibarat mata uang. Dapat berfungsi bila keduanya sisinya utuh dan saling mengisi.

Bila salah satu tidak ada maka tidak dapat berfungsi sebagaimana yang

diharapkan. Untuk menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah, semua itu

memerlukan perjuangan, pengorbanan, pembelajaran tentang hal-hal yang

berhubungan dengan pemimpin dan kepemimpinannya.

Berbicara mengenai kempemimpinan/leadership kita tidak lepas dari dua

kata kapabilitas (kemampuan) dan akseptabilitas (diterima). Pada dasarnya hanya

ada dua pilihan bila kita hidup dalam suatu perkumpulan, yakni sebagai Pemimpin

atau sebagai yang dipimpin yang lazim di sebut anggota. Sebagai anggota yang

baik, kita harus memiliki loyalitas, patuh dan taat pada perintah atasan sebagai 14

Page 15: i Ketut Suena 1213021024

pemimpin dan rela berkorban serta bekerja keras untuk mendukung atasan dalam

pencapaian tujuan yang dalam ajaran agama Hindu, disebut Satya Bela Bhakti

Prabhu.

Sedangkan sebagai pemimpin, harus mempunyai pengetahuan dan

kemampuan untuk memimpin (kapabilitas) serta dapat diterima oleh yang

dipimpin ataupun atasannya (akseptabel). Kemampuan dalam arti mampu

memimpin, mampu mengorbankan diri demi tujuan yang ingin dicapai, baik

korban waktu, tenaga, materi dll serta dapat diterima, dalam arti dapat dipercaya

oleh anggota masyarakatnya dan pejabat yang di atasnya.

Untuk suksesnya pencapaian tujuan suatu perkumpulan, sangat tergantung

dari proses kerjasama dan rasa saling membutuhkan antara anggota dengan

pemimpinnya. Didalam Kitab Niti Sastra Bab I sloka 10, hubungan erat antara

pemimpin dan anggota diibaratkan seperti hubungan Singa dengan hutan, sebagai

berikut :

“Singa adalah penjaga hutan. Hutan pun selalu melindungi Singa, Singa dan

hutan harus selalu saling melindungi dan bekerjasama. Bila tidak atau

berselisih, maka hutan akan hancur dirusak manusia, pohon-pohonnya akan

habis dan gundul ditebang, hal ini membuat singa kehilangan tempat

bersembunyi, sehingga ia bermukim dijurang atau dilapangan yang akhirnya

musnah diburu dan diserang manusia.”

Hubungan kerja sama yang saling membutuhkan ibaratnya “Singa dengan Hutan”

perlu diterapkan oleh pemimpin dan masyarakatnya, sehingga dapat sukses dalam

mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Tidak ada pemimpin yang sukses

tanpa didukung masyarakatnya, demikian sebaliknya.

Kriteria kepemimpinan menurut Pustaka Niti Sastra (Mariana, 2011):

1. Abhikamika

Pemimpin harus tampil simpatik, berorientasi ke bawah dan

mengutamakan kepentingan rakyat banyak dari pada kepentingan pribadi

atau golongannya. Pemimpin subak (Pekaseh) harus memiliki sifat ini

karena sebagai pemimpin, ia harus mengutamakan kepentingan

anggotanya seperti ketika anggotanya mengalami permasalahan hak guna

air di pertanian maupun pembuatan/pengurusan akta tanah.

15

Page 16: i Ketut Suena 1213021024

2. Prajna

Pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana dan menguasai ilmu

pengetahuan teknologi, agama serta dapat dijadikan panutan bagi

rakyatnya. Pekaseh subak harus memiliki sifat ini karena sebagai

pemimpin, pekaseh harus arif bijaksana dalam mempimpin karena

pertanian dan subak seringkali mengalami permasalahan-permasalahan

baik secara intern organisasi maupun ektern organisasi sehingga dengan

pemimpin yang arif bijaksana mampu mengatasi permasalahan yang

dihadapi oleh subak itu sendiri.

3. Utsaha

Pemimpin harus proaktif, berinisiatif, kreatif dan inovatif (pelopor

pembaharuan) serta rela mengabdi tanpa pamrih untuk kesejahteraan

rakyat. Pekaseh subak harus memiliki sifat ini karena sebagai pemimpin,

pekaseh harus mampu menciptakan suatu program inovatif dalam hal

pertanian untuk dapat mensejahterakan para petani subak melalui inovasi

agribisnis maupun penerapan teknologi yang mampu diterapkan oleh

anggota subak itu sendiri.

4. Atma Sampad

Pemimpin mempunyai kepribadian : berintegritas tinggi, moral yang luhur

serta obyektif dan mempunyai wawasan yang jauh ke masa depan demi

kemajuan bangsanya. Pekaseh subak harus memiliki sifat ini karena

sebagai pemimpin, pekaseh harus mampu mengedepankan moral yang

baik dan mempunyai wawasan yang luas yang mampu mengarahkan

organisasi subak kea rah yang lebih baik sehingga tujuan subak tersebut

dapat tercapai.

5. Sakya Samanta

Pemimpin sebagai fungsi kontrol mampu mengawasi bawahan (efektif,

efisien dan ekonomis) dan berani menindak secara adil bagi yang bersalah

tanpa pilih kasih/tegas. Pekaseh subak harus memiliki sifat ini karena

sebagai pemimpin, pekaseh juga tentu dibantu oleh beberapa pengurus

subak dan anggotanya. Sebagai fungsi pengawas, pekaseh harus mampu

mengayomi dan membimbing pengurus di bawahnya dan anggotanya

untuk menjalankan kewajibannya dengan baik.16

Page 17: i Ketut Suena 1213021024

6. Aksudra Pari Sakta

Pemimpin harus akomodatif, mampu memadukan perbedaan dengan

permusyawaratan dan pandai berdiplomasi, menyerap aspirasi bawahan

dan rakyatnya. Pekaseh subak harus memiliki sifat ini karena sebagai

pemimpin, pekaseh harus mampu menjunjung tinggi demokrasi di anggota

subak. Keputusan yang diambil hendaknya hasil dari musyawarah dan

disepakati bersama, bukan dilaksanakan oleh sepihak maupun dari diri

sendiri. Hal ini akan berdampak pada ketidakpuasan anggota terhadap

pekaseh.

Manusia identik dengan alam. Ketika manusia diberi kedudukan sebagai

Raja, ketika salah mengendalikan dirinya maka seolah-olah alampun

mempercepat kehancuran dirinya. Demikian juga ketika dia mampu

mengendalikan dirinya, maka alampun dirasakan ikut mendukung karena alam

dipercayai sebagai penyebab membawa kebaikan maupun keburukan.

Dalam Nitisastra disebutkan jika raja saleh, rakyatpun saleh, raja jahat

rakyatpun jahat. Rakyat akan mengikuti sang raja, sebagaimana raja begitulah

rakyatnya. Selanjutnya dijelaskan dalam Ramayana pada saat Rama menyerahkan

Terompah, sebagai simbolis kekuasaan kepada Bharata, dengan wejangan sebagai

berikut : “Hilangkah sifat-sifat angkara murka, penghinaan jangan dilakukan,

lenyapkan orang mabuk, perbuatan baik merupakan sahabat mulia dan utama.

Kemarahan dalam hati harus dihilangkan. Dosa yang bertubi-tubi menimbulkan

keonaran dan kehancuran. Rakyat yang baik budi dan setia akan berbalik haluan.

Kawan baik makin menjauh, musuhlah yang mendekat. Dosa besar orang yang

doyan minum, mabuk, hilap hatinya, pelupa, gelisah, sombong, tekebur, angkuh

dan jahat, dan berniat jahat. Lagi pula jangan bohong dan berbuat hina, akan

menimbulkan keonaran yang sudah tentu akan menjadi buah bibir. Lagi pula bila

ada rakyat yang kelihatan jahat, jangan tinggal diam terhadap hal itu, hendaknya

lekas melakukan tindakan yang tegas.

Tuhan menciptakan raja, untuk melindungi ciptaanNya. Untuk mencapai

tujuan itu maka sang Raja harus memiliki sifat-sifat yang kekal pada Dewa Indra,

Bayu, Yama, Surya, Agni, Waruna, Candra dan Kuwera. Yang kesemuanya

tersebut tertuang dalam ajaran Asta Brata. Raja identik dengan pemimpin. Jika

dicermati kata dasar dari pemimpin adalah “pimpin” yang artinya “tuntun”. 17

Page 18: i Ketut Suena 1213021024

Maksudnya adalah seorang pemimpin memerlukan tuntunan, agar mampu

berjalan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang telah disepakati.

Etika politik dalam perspektif Hindu mencakup aspek yang sangat luas

meliputi fungsi-fungsi dan sifat pemimpin serta tugas-tugas seorang pemimpin

(Suatama, 2007). ''Dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, tetapi yang ada

abadi hanyalah kepentingan dan perubahan''. Demikian sebuah bait kata yang

menunjukkan betapa sebenarnya kehidupan berpolitik sering mengabaikan moral

dan etika. Ketika kepentingan yang menjadi tujuan, apapun yang menghalangi

tujuan tersebut dianggap sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Dalam Kitab

Atharwa Weda sloka 7 dan Yajur Weda sloka 13, disebutkan (Gunada, 2008):

''Idam Rastram piprhi saubhagaya''

Artinya: Oh pemimpin bekerjalah untuk kesejahteraan bangsa dan negaramu.

''visi rastre jagrhi rohitasya''

Artinya: Oh pemimpin hendaknya selalu waspada untuk melindungi warga negara

dan bangsamu.

Berdasarkan sloka di atas, diamanatkan bahwa seorang pemimpin harus

lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau

golongan, jangan sampai urusan pribadi merusak kepentingan bersama yang akan

berdampak pada kesejahteraan umum.

Di dalam kepemimpinan diperlukan komunikasi dua arah, yaitu antar

sesama anggota untuk mencapai tujuan bersama sehingga diperlukan suatu

keharmonisan dari sesama anggota atau kerukunan antar umat manusia yang

ditegaskan dalam Reg Veda X. 191. 2, yaitu sebagai berikut (Winata, 2004).

“Sam gacchadhvam sam vadadhuam sam wo manamsi janatam. Deva bhagam

yatha purve sam jnana upa sate”

Artinya: Berkumpul dan berbicara satu dengan yang lain, bersatulah dalam

pikiranmu seperti para dewa pada zaman dahulu bersatu.

Berdasarkan sloka di atas, kita sebagai umat manusia hiduplah dalam

harmoni dan kerukunan. Hendaknya hidup bersatu dan bekerjasama. Berbicaralah

dengan satu bahasa dan mengambil keputusan dengan satu pikiran. Seperti orang-

orang suci di masa lalu yang telah melaksanakan kewajibannya, hendaknya umat

manusia tidak goyah dalam melaksanakan kewajibannya sendiri.

18

Page 19: i Ketut Suena 1213021024

Dalam mewujudkan kepemimpinan yang mampu menjalankan aspirasi-

aspirasi orang banyak, hendaknya pemimpin melaksanakan ajaran Tat Twan Asi.

Ajaran Tat Twam Asi mengajak setiap orang untuk turut merasakan apa yang

sedang dirasakan orang lain. Tat Twam Asi merupakan kata kunci untuk dapat

membina agar terjalin hubungan yang serasi atas dasar saling asah, asih, dan asuh

di antara sesama mahluk hidup yang dapat dilihat dalam Sarasamuccaya 317,

yaitu sebagai berikut (Winata, 2004).

“Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada Brahmana

budiman yang rendah hati, maupun terhadap mahluk hidup lainnya, orang yang

hinapapa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang lain

terhadap dirimu, perbuatan orang sadhu hendaknya sebagai balasannnya,

janganlah sekali-sekali membalas dengan perbautan jahat, sebab orang yang

berhasrat kejahatan itu pada hakekatnya akan menghancurkan dirinya sendiri”

Untuk mewujudkan keselarasan dan kerukunan sebagaimana dimaksud,

maka ajaran Tata Susila diapresiasikan dalam bentuk ajaran Tri Kaya Parisudha

yang artinya tiga perilaku manusia yang disucikan, yakni: (1) Manachika

Parisudha, yaitu berpikir yang baik dan benar; (2) Wacika Parisudha, yaitu

berkata yang baik dan benar; (3) Kayika Parisudha, yaitu yang berbuat baik dan

benar. Jika ketiga hal tersebut dapat dikendalikan dengan baik dan benar, maka

dengan sendirinya seorang pemimpin akan mampu mewujudkan tujuan politik,

yaitu untuk menyelenggarakan pemerintahan suatu negara guna mencapai tujuan

menciptakan masyarakat sejahtera.

19

Page 20: i Ketut Suena 1213021024

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan pemaparan materi sebelumnya, maka penulis dapat menarik

simpulan sebagai berikut.

1. Pengertian politik menurut perspektif agama Hindu bahwa kata politik dapat

disamakan dengan kata Nitisastra. Niti berarti kemudi, pimpinan, politik dan

sosial etik, pertimbangan, dan kebijakan sedangkan kata Sastra berarti

perintah, ajaran, nasehat, dan aturan tulisan ilmiah, politik menurut Hindu

adalah pengetahuan untuk menyelenggarakan pemerintahan suatu negara guna

mencapai tujuan menciptakan masyarakat yang damai dan sejahtera.

2. Sumber ajaran agama Hindu mengenai Nitisastra adalah kitab Veda yang

merupakan kebenaran agama Hindu. Dalam kitab Veda inilah mengalir ajaran

agama Hindu tentang Nitisastra yang dikembangkan baik dalam kitab Sruti,

Smerti, Itihasa, Purana, Tantra, Darsana, Upanisad maupun lontar-lontar Tatwa

yang ada sekarang ini.

3. Implementasi ajaran Nitisastra dalam politik sosial pada organisasi subak

menurut perspektif Hindu adalah dalam ajaran pustaka Nitisastra yaitu

Abhikamika, Prajna, Utsaha, Atma Sampad, Sakya Samanta, dan Aksudra Pari

Sakta, yang dapat menjadi cerminan bagi pemimpin subak (Pekaseh) sehingga

subak tersebut akan mampu mengatasi permasalahan yang sering dihadapi dan

mampu berkembang lebih maju.

3.2 Saran

Adapun saran yang dapat penulis kemukakan, yaitu kita sebagai bagian dari

masyarakat Bali, khususnya umat Hindu hendaknya turut berperan aktif dalam

membangun bangsa dan mengisi segala kepentingan bangsa serta negara dengan

mengamalkan nilai-nilai agama Hindu dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam

bidang politik maupun di bidang yang lainnya, khususnya dalam

mempertahanakan organisasi sosial yang bersifat kearifan lokal Bali. Salah

satunya adalah organisasi Subak.

20

Page 21: i Ketut Suena 1213021024

DAFTAR PUSTAKA

Gunada, Nyoman. 2008. Politik dan Kepemimpinan Hindu. Diakses dari

http://www.parisada.org/index.php?

option=com_content&task=view&id=304&Itemid=29, pada tanggal 24

Juni 2013

Kajeng, I Nyoman, dkk. 1999. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.

Pudja, G. 1999. Bhagawad Gita. Surabaya: Paramita.

Suatama, Made. 2007. Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi. Surabaya:

Paramita.

Sudirga, Made. 2004. Agama Hindu untuk SMU Kelas X. Denpasar: Ganeca

Exact.

Sutawan, Nyoman. 2004. Eksistensi Subak di Bali : Mampukah Bertahan

Menghadapi Berbagai Tantangan. Jurnal Pertanian. Tersedia dalam

http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(8)-sutawan-eksistensi-subak-

dibali.pdf. Diakses tanggal 24 Juni 2013.

Winawan, I Wayan Winda. dkk. 2002. Pengembangan Kepribadian Pendidikan

Agama Hindu. Universitas Trisakti Jakarta.

Windia, Wayan dkk. 2005. Sistem Irigasi Subak dengan Landasan Tri Hita

Karana (THK) sebagai Teknologi Sepadan dalam Pertanian Beririgasi.

Jurnal Pertanian. Tersedia dalam http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/

article/download/4095/3082. Diakses pada 23 Juni 2013.

21