14
1 I. PENDAHULUAN Pada tahun 1999, pemerintah telah mencanangkan Visi “Indonesia Sehat 2010” sebagai inspirator dalam pembangunan nasional di bidang kesehatan yang misi dan sasarannya antara lain 1) mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat . Indonesia memiliki ketergantungan yang besar terhadap obat impor, dan perlu dicarikan substitusinya dengan produk industri di dalam negeri. Salah satu program yang telah ditetapkan untuk mencapai sasaran tersebut adalah meningkatkan penggunaan cara pengobatan tradisional yang aman dan bermanfaat, baik secara tersendiri maupun terpadu dalam jaringan pelayanan kesehatan paripurna. Pada pembukaan Seminar Obat Alami Cina-Indonesia tanggal 8 Desember 2003, secara eksplisit Presiden RI menekankan perlunya perhatian khusus yang sungguh- sungguh untuk mengembangkan obat alami di Indonesia yang sangat penting dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kemandirian Indonesia di bidang kesehatan. Diharapkan “jamu” yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari tanaman obat, bisa “menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan tamu terhormat di negara lain”. Revitalisasi Pertanian juga telah ditetapkan sebagai prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2005 - 2010 di Bidang Ekonomi. Revitalisasi diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sebagian besar rakyat dan meletakkan landasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi. Pada akhir tahun 2025 diharapkan sektor pertanian telah menjadi fondasi yang kuat dalam pembentukan struktur perekonomian nasional menuju tinggal landas. Tanpa usaha agribisnis atau investasi yang memadai dalam agroindustri, tidak mungkin revitalisasi pertanian dapat dilaksanakan. Dalam kerangka demikian, pengembangan tanaman obat memiliki arti penting dan strategis. Trend global masyarakat konsumen dunia yang menuntut pangan dan produk kesehatan yang aman dengan slogan ”back to nature” dan meninggalkan rokok, menunjukkan pertumbuhan yang semakin meningkat, termasuk di Indonesia sendiri. Nilai pasar tanaman obat, termasuk rimpang- 1) . Depkes (2003) Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

I. PENDAHULUAN - · PDF filemenerapkan SOP (Standard Operational Procedures) budidaya yang telah dibakukan. Faktor pendukung yang mempunyai nilai tambah adalah penyediaan benih unggul

  • Upload
    tranthu

  • View
    225

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

1

I. PENDAHULUAN

Pada tahun 1999, pemerintah telah mencanangkan Visi “Indonesia Sehat 2010” sebagai inspirator dalam pembangunan nasional di bidang kesehatan yang misi dan sasarannya antara lain

1)mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat . Indonesia memiliki ketergantungan yang besar terhadap obat impor, dan perlu dicarikan substitusinya dengan produk industri di dalam negeri. Salah satu program yang telah ditetapkan untuk mencapai sasaran tersebut adalah meningkatkan penggunaan cara pengobatan tradisional yang aman dan bermanfaat, baik secara tersendiri maupun terpadu dalam jaringan pelayanan kesehatan paripurna. Pada pembukaan Seminar Obat Alami Cina-Indonesia tanggal 8 Desember 2003, secara eksplisit Presiden RI menekankan perlunya perhatian khusus yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan obat alami di Indonesia yang sangat penting dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kemandirian Indonesia di bidang kesehatan. Diharapkan “jamu” yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari tanaman obat, bisa “menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan tamu terhormat di negara lain”.

Revitalisasi Pertanian juga telah ditetapkan sebagai prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2005 - 2010 di Bidang Ekonomi. Revitalisasi diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sebagian besar rakyat dan meletakkan landasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi. Pada akhir tahun 2025 diharapkan sektor pertanian telah menjadi fondasi yang kuat dalam pembentukan struktur perekonomian nasional menuju tinggal landas. Tanpa usaha agribisnis atau investasi yang memadai dalam agroindustri, tidak mungkin revitalisasi pertanian dapat dilaksanakan.

Dalam kerangka demikian, pengembangan tanaman obat memiliki arti penting dan strategis. Trend global masyarakat konsumen dunia yang menuntut pangan dan produk kesehatan yang aman dengan slogan ”back to nature” dan meninggalkan rokok, menunjukkan pertumbuhan yang semakin meningkat, termasuk di Indonesia sendiri. Nilai pasar tanaman obat, termasuk rimpang-

1) . Depkes (2003)

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman ObatProspek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

3

2

rimpangan, di dalam negeri relatif tinggi dan menunjukkan kecenderungan meningkat dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi obat berbasis bahan baku alami, termasuk semakin maraknya penggalian potensi bahan obat dari tanaman baru, seperti purwoceng. Sebuah perusahaan distributor ”food suplement” ex impor di Indonesia telah membuktikan meningkatnya penjualan produk yang mereka pasarkan sebesar 100% per tahun dengan omset milyaran rupiah sejak tahun 2001.

Berdasarkan klaim khasiat yang dimilikinya, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga yang terlibat, prospek pengembangan dan trend investasi ke depan, telah dipilih lima komoditas tanaman obat potensial yaitu temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk menunjang program revitalisasi pembangunan pertanian, melalui peningkatan nilai tambah komoditas tanaman obat. Temulawak, kunyit, kencur dan jahe mempunyai kontribusi yang tinggi terhadap PDB nasional, masyarakat petani dan industri. Sedangkan purwoceng merupakan tanaman obat potensial yang dapat dikembangkan untuk komplemen dan substitusi impor ginseng, sehingga dapat menghemat devisa.

II. KONDISI SAAT INI

Peran agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat sebagai sumber PDB dan penyumbang devisa di Indonesia masih relatif kecil dan jauh tertinggal dari berbagai negara lain yang potensi sumber dayanya jauh lebih kecil. Trend back to nature telah dimanfaatkan oleh banyak negara di dunia termasuk negara-negara di Asia Tenggara, yang juga telah memanfaatkan pasar Indonesia. Nilai perdagangan obat herbal, suplemen makanan, nutraceutical dll di dunia pada tahun 2000 mencapai 40 milyar USD. Pada tahun 2002 meningkat menjadi 60 milyar USD dan pada tahun 2050 diperkirakan menjadi 5 triliun USD dengan peningkatan 15% per tahun, lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan nilai perdagangan obat konvensional modern hanya 3% per tahun.

Cina sebagai negara yang paling maju dalam bidang produk herbal, memiliki 940 perusahaan obat tradisional dengan nilai penjualan domestik mencapai 6 milyar USD dengan pangsa pasar mencapai 33% dari total pasar obat dunia. Di India 60-70% penduduk menggunakan sistem pengobatan alami, dengan nilai penjualan mencapai 3 milyar USD pada tahun 2002. Di Korea output dari obat herbal mencapai 500 juta USD yang merupakan 12% dari total penjualan obat dunia. Di Malaysia, nilai perdagangan produk herbal tahun 2000 mencapai 1,2 milyar USD, dengan trend pasar meningkat 13% per tahun. Di Indonesia volume perdagangan obat tradisional pada tahun 2002 baru mencapai 150 juta USD, padahal kurang lebih 61% penduduk Indonesia diketahui sudah terbiasa mengkonsumsi obat tradisional yang dikenal sebagai “jamu”. Hal yang memprihatinkan adalah bahwa kebutuhan bahan baku untuk 1.023 buah perusahaan obat tradisional, yang terdiri dari 118 industri obat tradisional (IOT, aset > Rp. 600 juta), dan 905 industri kecil obat tradisional (IKOT, aset < Rp. 600 juta) justru 85% diperoleh dari upaya penambangan dari hutan dan pekarangan tanpa upaya budidaya.

Ekspor bahan baku dan simplisia tanaman obat Indonesia menunjukkan peningkatan yang berarti. Pada tahun 2000 mencapai 26,06 juta USD dan tahun 2001 890,24 juta USD. Negara pengimpor

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman ObatProspek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

54

tanaman obat asal Indonesia antara lain Singapura, Taiwan, Hongkong dan Jepang. Trend penjualan tanaman obat yang di ekspor cukup fluktuatif. Neraca perdagangan internasional tanaman obat Indonesia adalah positif pada kurun waktu 1996-2001, dengan nilai surplus eskpor tertinggi terjadi pada tahun 1997 sebesar 400,48 juta USD.

Komoditas jahe, temulawak, kunyit, kencur dan purwoceng, sampai saat ini, kontribusinya terhadap ekspor simplisia masih kecil, mengingat kebutuhan dalam negeri atas komoditas tersebut masih cukup tinggi. Sebagian IOT bahkan masih mengimpor bahan baku dari luar negeri, terutama temulawak, kunyit, kencur dan jahe. Padahal, potensi lahan dan sumberdaya manusia yang ada di dalam negeri cukup memadai untuk membangun industri hulu sampai hilir (pengembangan produk) untuk keempat komoditas tersebut. Hal ini terjadi karena nilai jual bahan baku tanpa olah di tingkat petani sangat rendah, sehingga kurang menarik minat untuk mengusahakan komoditas tersebut secara intensif. Pada saat ini, harga rimpang temulawak yang wajar di tingkat petani adalah Rp. 1.500,-/kg, kunyit Rp. 1.000,-/kg, kencur Rp. 5.000,-/kg dan jahe Rp. 2.500,-. Investasi di sektor hulu akan menarik minat apabila nilai jual hasil produk pertanian tanaman obat bisa ditingkatkan, dengan mengoptimalkan industri hilir melalui diversifikasi produk.

Industri obat tradisional kelompok menengah/besar (IOT), 97% berada di P. Jawa (DKI Jaya, Jabar, Jateng dan Jatim), demikian pula kelompok industri kecil (IKOT) 73% berada di P. Jawa dan hanya 23% diluar Jawa. Laju pertumbuhan IOT (6,40%/tahun) lebih tinggi dari laju pertumbuhan IKOT (1,8%/tahun) menunjukkan bahwa animo investor terhadap industri berbasis tanaman obat untuk perusahaan menengah dan besar lebih tinggi. Hal itu juga terlihat dari produksi obat tradisional, yang berkembang ternyata produk-produk industri besar seperti Air Mancur, Martina Berto, Sido Muncul, Nyonya Meneer, Borobudur, Mustika Ratu, dan lain-lain.

A. Usaha Pertanian Primer

Luas lahan pertanian tanaman obat di Indonesia pada tahun 2003 mencapai 14.333 ha, dan luas tanam temulawak, kunyit, kencur serta jahe mencapai 48,35% dari luas total areal tersebut. Lokasinya

menyebar di seluruh propinsi Indonesia, dengan sentra produksi utama di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk temulawak, kunyit dan kencur (Gambar 1), sedangkan areal pengembangan jahe selain di ketiga propinsi tersebut, juga di Sumater Utara. Luas areal dan produksi temulawak, kunyit, kencur dan jahe tahun 2002 - 2003 seperti tercantum, pada Tabel 1.

Sumber:Ditjen BP Hortikultura (2004); Balittro (2003).

Luas areal (ha) Produksi (ton) Serapan

(ton)No. Komoditas

2002 2003 2002 2003 2003

1. Temulawak 673,32 684,49 7.173,57 11.761,98 9.495,00 2. Kunyit 881,64 1.894,21 23.993,02 30.707,45 12.520,00 3. Kencur 1290,26 1.811,60 12.848,18 19.527,11 19.334,00 4. Jahe 2.220,00 2.540,00 110.700,00 112.300,00 47.149,16

Jumlah 5.065,22 6.930,30 - -

Untuk keempat komoditas tersebut, terjadi peningkatan produktivitas per tahun masing-masing temulawak 11%, kunyit 28%, kencur 52% dan jahe 2,3%. Sedangkan serapan yang terdiri atas IOT/IKOT dan farmasi mencapai rata-rata 63%, ekspor 14%, serta untuk konsumsi rumah tangga 23%. Dalam kurun waktu 6 tahun (2005 - 2010), diperkirakan akan terjadi kekurangan suplai bahan baku dari keempat komoditas tersebut, terutama jahe. Hal ini berarti membuka peluang untuk intensifikasi dan/atau perluasan areal tanam temulawak, kunyit, kencur dan jahe seluas 10 - 15% dari areal yang tersedia saat ini.

B. Usaha Agribisnis Hulu

Nilai tambah tanaman obat di sektor usaha industri hulu, ditentukan oleh faktor produksi di dalam pembudidayaannya, antara lain cara budidaya sesuai GAP (Good Agricultural Practices) dengan menerapkan SOP (Standard Operational Procedures) budidaya yang telah dibakukan. Faktor pendukung yang mempunyai nilai tambah adalah penyediaan benih unggul. Rendahnya produktivitas tanaman obat di sebagian besar sentra produksi, disebabkan petani belum mengikuti teknik budidaya anjuran berdasarkan SPO yang dibakukan,

Tabel 1. Luas areal, produksi dan serapan temulawak, kunyit, kencur dan jahe tahun 2002-2003

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman ObatProspek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

76

serta belum menggunakan bibit unggul. Meskipun penyebaran benih beberapa tanaman obat dari satu ke lain daerah terus berlangsung, namun sampai saat ini belum ada standar benih bermutu yang berasal dari varietas yang sudah dilepas. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) telah melepas 1 varietas unggul Jahe Putih Besar (Cimanggu-1) dengan potensi produksi 20 - 40 ton/ha dan 3 varietas unggul kencur (Galesia-1, Galesia-2 dan Galesia-3) dengan potensi produksi 10 -16 ton/ha, yang sangat potensial untuk mendukung pengembangan industri benih guna meningkatkan nilai tambah agribisnis tanaman obat di sektor hulu, sekaligus dalam upaya memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri obat tradisional.

C. Usaha Agribisnis Hilir

Peningkatan nilai tambah melalui diversifikasi produk primer (rimpang) menjadi produk sekunder (simplisia, ekstrak) oleh usaha agroindustri primer (pengirisan, pengeringan rimpang serta ekstraksi), merupakan salah satu aspek usaha berdayasaing tinggi di dalam upaya pemenuhan kebutuhan industri serta peningkatan pendapatan petani. Bidang usaha pengolahan rimpang menjadi simplisia mampu meningkatkan harga produk menjadi 7-15 kali, sedangkan dari rimpang menjadi produk olahan ekstrak sebesar 81- 280 kali (Tabel 2). Namun sampai saat ini, usaha agribisnis hilir untuk komoditas rimpang-rimpangan masih terbatas jumlahnya, padahal usaha ini berpeluang besar dilakukan di sentra-sentra produksi tanaman obat dan daerah industri jamu/farmasi.

Tabel 2. Harga berbagai jenis produk temulawak, kunyit, kencur dan jahe

untuk IOT/IKOT dan industri farmasi

Rasio harga (x 100%)

No. Komoditas

Harga

Rimpang Segar

(Rp/kg)*

Simplisia Kering

Ekstrak

Simplisia Ekstrak

1. Temulawak 1.500 15.000 174.000 1 : 10 1 : 116 2. Kunyit 1.000 15.000 280.000 1 : 15 1 : 280 3. Kencur 5.000 40.000 800.000 1 : 8 1 : 90 4. Jahe 2.500 17.500 202.000 1 : 7 1 : 80,8

Keterangan : *Berdasarkan harga jual pada beberapa pedagang komoditas tanaman obat Tahun 2004

Usaha agribisnis hilir tanaman obat yang telah berkembang adalah industri jamu, sedangkan industri farmasi (fitofarmaka) dalam tahap rintisan. Industri jamu yang diawali dengan jamu gendong, cukup pesat perkembangannya. Pemakaian tanaman obat untuk industri jamu (IOT/IKOT) dan farmasi pada tahun 2002 dan 2003 disajikan pada Tabel 3. Porsi serapan untuk temulawak mencapai 49,69%, kunyit 12,75%, kencur 13,45%, jahe 24,11% dan purwoceng 0,002%. Sedangkan pada tahun 2003 untuk temulawak 10,74%, kunyit 14,14%, kencur 21,85%, jahe 53,25% dan purwoceng 0,1%. Selain IKOT dan IOT, industri obat tradisional juga mencakup industri jamu racikan dan jamu gendong yang setiap tahun terus berkembang. Perkembangan IKOT/IOT sepuluh tahun terkahir (1993-2003) seperti pada Gambar 1.

0

200

400

600

800

1000

1200

1939

1994

1995 99

61

19

97 19

98 19

99 20

00 20

01 20

02 20

03

Tahun

Ju

mla

h

IOT IKOT TOTAL

Gambar 1.Perkembangan IKOT/IOT di Indonesia tahun 1993-2003.

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman ObatProspek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

98

Tabel 3. Serapan simplisia temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk IKOT/IOT dan farmasi tahun 2002

No. Komoditas Serapan (ton) (%)

1. Temulawak 324.832

2. Kunyit 83.371

3. Kencur 87.959

4. Jahe 157.599

5. Purwoceng 15,47

Jumlah 653.776,47

Sumber: BPOM (2003)

D. Pasar dan Harga

1. Penggunaan domestik

Penggunaan domestik temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk kebutuhan konsumsi, IOT dan IKOT serta industri farmasi disajikan pada Tabel 4.

Temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng sebagian besar (+ 90%) digunakan untuk keperluan domestik. Hampir semua komoditas, sebagian besar pasokan digunakan untuk IKOT dan IOT, sedangkan penggunaan dalam industri farmasi masih terbatas. Hal ini disebabkan masih sedikit produk industri obat yang sudah melalui uji pra-klinik atau uji klinik.

Tabel 4. Penggunaan domestik temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk konsumsi, IKOT dan IOT serta industri farmasi tahun 2002

Sumber Balittro (2003)

Penggunaan (ton)No Komoditas

Konsumsi IOT IKOT Farmasi Total

1. Temulawak 2.033,70 (17,18%)

3.244,01 (27,41%)

4.217,21 (35,63%)

2.341,10 (19,78%)

11.836,02

2. Kunyit 4.187,46 (40,93%)

2.408,84 (23,55%)

3.131,49 (30,61%)

502,00 (4,91%)

10.229,79

3. Kencur 5.987,71 (38,28%)

2.340,31 (14,96%)

3.042,40 (19,45%)

2.815,00 (27,31%)

15.640,83

4. Jahe 21.641,16 (69,15%)

4.197,01 (13,41%)

5.456,11 (17,44%)

- 31.294,28

5. Purwoceng - 6,90 8,97 3.928,00 3.943,87

2. Ekspor dan impor

Kebutuhan ekspor serta pasokan impor temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng seperti pada Tabel 5. Kebutuhan ekspor jahe, kunyit dan kencur, cukup berarti, namun impor jahe juga cukup besar (127 ton). Pada tahun 2004 dan awal tahun 2005, harga jahe putih besar melonjak sampai Rp. 20.000 /kg, karena terjadi kelangkaan pasokan di dalam negeri. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh kegagalan panen di berbagai daerah akibat serangan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum), yang sampai saat ini belum ditemukan teknik pengendaliannya.

Tabel 5. Ekspor dan impor komoditas temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng tahun 2002

Sumber: Balittro (2003).

No. Komoditas Ekspor (ton) Impor (ton)

1. Temulawak - -

2. Kunyit 2.791,64 -

3. Kencur 7.983,62 -

4. Jahe 15.854,88 126,00

5. Purwoceng - -

3. Perkembangan harga

Perkembangan harga domestik dan ekspor komoditas tanaman obat hanya tersedia untuk jahe, seperti terlihat pada Gambar 2 dan 3.

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

Harg

a/k

g(R

p.)

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Tahun

Gambar 2.Perkembangan harga komoditi jahe di dalam negeri tahun 1993-2002.

(49,69)(12,75)

(13,45)

(24,11)

(0,002)

(100)

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman ObatProspek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

1110

Seperti terlihat pada Gambar 2, harga domestik jahe sampai tahun 1999 mengalami kenaikan yang tajam, dengan rata-rata kenaikan 60% per tahun. Namun pada tahun 1999, setelah krisis ekonomi terjadi penurunan dari Rp. 3.845 /kg pada tahun 1999 menjadi Rp. 2.525 /kg pada tahun 2002. Sedangkan ekspor jahe segar Indonesia tahun 2001 (Gambar 3) mencapai 8.150 ton dengan nilai US$ 3.623.000 atau US$ 444,54 /ton, mengalami penurunan volume pada tahun 2002 (7.471 ton) tetapi harganya mengalami kenaikan (US$539,29 /ton).

E. Infrastruktur dan Kelembagaan

Sentra produksi tanaman obat, terutama yang dibudidayakan, seperti temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng sebagian besar terdapat di pedesaan P. Jawa, dimana infrastrukturnya kurang baik, sehingga menyebabkan biaya transportasi yang tinggi. Selain itu belum adanya pola perdagangan tanaman obat yang jelas menyebabkan posisi tawar petani menjadi lemah dalam pembentukan harga (price taker). Kondisi ini menyebabkan kelembagaan penunjang cenderung tidak berperan, seperti kelembagaan pemasaran yang cenderung oligopsoni, sistem ijon dan tebas yang cenderung merugikan petani. Peranan kelembagaan koperasi dalam memperbaiki ekonomi petani

sampai saat ini belum dapat dipulihkan. Demikian pula asosiasi petani tanaman obat belum banyak berfungsi, sementara itu akses petani terhadap pasar dan teknologi perlu dipermudah dan dipercepat.

Kebijakan yang ditempuh saat ini masih bersifat umum, seperti pengembangan dan perbaikan jalan bersamaan dengan pembangunan desa dan kewilayahan, juga pengembangan kelompok tani dan lembaga penyuluhan lainnya. Di beberapa desa di Kabupaten Boyolali, sebagai salah satu sentra produksi tanaman obat rimpang-rimpangan di Jawa Tengah, usaha perbaikan jalan desa dilakukan petani tanaman obat secara swadaya.

F. Kebijakan Harga, Perdagangan dan Investasi

Nilai jual komoditas tanaman obat sampai saat ini tergolong sangat rendah, bila dibandingkan dengan komoditas tanaman hortikultura atau perkebunan rakyat lainnya. Petani sebagai pelaku usaha pertanian primer, sangat dirugikan dengan tidak adanya kepastian pasar dan kepastian harga jual komoditas yang dihasilkannya. Hal ini terjadi karena belum adanya kebijakan harga dari pemerintah di dalam perdagangan komoditas tanaman obat. Akibatnya minat investasi dalam usaha pertanian primer tanaman obat menjadi rendah.

Rendahnya peran tanaman obat khususnya dan industri obat tradisional umumnya dalam menghasilkan devisa dan PDB di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) belum adanya dukungan dan kemauan politik yang cukup dari pemerintah untuk menjadikan industri tanaman obat Indonesia sebagai salah satu sumber kesejahteraan rakyat dan “prime mover” perekonomian nasional; (2) belum adanya program menyeluruh dan terpadu dari hulu hingga hilir untuk pengembangan tanaman obat; (3) kurangnya koordinasi dan sinkronisasi program dari instansi pemerintah, swasta dan litbang, sehingga program yang ada menjadi kurang terarah, kurang efektif dan kurang efisien; (4) peraturan perundang-undangan yang ada belum cukup kondusif bagi pengembangan tanaman obat.

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

70000

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Nilai impor (USD)

Nilai ekspor (USD)

Tahun

Gambar 3. Perkembangan volume dan nilai ekspor-impor jahe

Indonesia di pasar dunia tahun 1993-2002

Nilai impor (USD) Volume impor (ton)

Nilai ekspor (USD) Volume ekspor (ton)

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman ObatProspek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

1312

III. PROSPEK, POTENSI DAN ARAH PENGEMBANGAN

A. Prospek Pasar dan Pesaing

Kecenderungan back to nature masyarakat Indonesia maupun mancanegara saat ini, merupakan suatu peluang yang cukup besar bagi obat bahan alam untuk menggantikan obat modern walaupun belum secara penuh. Sampai saat ini belum ada data pasti mengenai permintaan jamu secara nasional maupun ekspor. Menurut data yang ada, omset industri jamu nasional mencapai Rp. 3,2 - 3,5 triliun pada tahun 2004, naik sekitar 15-20% dari tahun 2003. Data lain menyatakan, walaupun pangsa pasar obat bahan alam belum sebesar obat modern tetapi potensi peningkatannya cukup besar (Tabel 6). Meskipun kontribusi obat tradisional pada saat ini hanya mencapai 10,5%, namun nlainya cukup berarti (Rp. 2 triliun). Diperkirakan untuk tahun 2010 akan meningkat menjadi 16% dengan nilai Rp. 7,2 triliun. Selain permintaan domestik, permintaan mancanegara akan produk jamu terus meningkat walaupun data yang akurat belum tersedia.

Tabel 6.Perbandingan permintaan obat modern dan obat bahan alam

Sumber: LIPI (2003).

Obat Modern Obat bahan Alam Tahun Permintaan

(Rp. trilyun ) Pangsa

pasar (%) Permintaan

(Rp. trilyun ) Pangsa

pasar (%)

2003 17 89,5 2 10,5

2010 37 84,0 7,2 16,0

B. Potensi Lahan

Selain sumberdaya hayati, sumber daya lahan dan sumber daya manusia merupakan modal dasar yang penting di dalam pengembangan komoditas pertanian. Pada tahun 2002, luas lahan pengembangan temulawak, kunyit, dan kencur di P. Jawa, masing-masing mencapai 6.733 ha, 8.816 ha dan 12.900 ha. Sedangkan jahe yang dikembangkan di P. Jawa dan Sumatera (Sumatera Utara khususnya) luas areal pengembangannya pada tahun 2002 mencapai 22.542 ha (Gambar 4).

Kunyit Kencur Temulawak

Purwoceng Jahe

Gambar 4. Peta areal penanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng di P. Jawa dan Sumatera Utara.

Potensi lahan untuk pengembangan temulawak dan kunyit di P. Jawa, masih terbuka luas dengan memanfaatkan areal di bawah tegakan, pada ketinggian 50 - 800 m dpl., curah hujan 1.500 - 4.000 mm/tahun, di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan untuk kencur, potensi lahan pengembangan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, terbatas pada areal terbuka atau sedikit ternaungi (30%) pada ketinggian 50 - 600 m dpl., tipe iklim A dan B (Schmidt & Ferguson). Pengembangan

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman ObatProspek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

1514

jahe dalam kurun waktu 5 tahun ke depan masih memungkinkan untuk dilakukan di P. Jawa dengan memilih lahan baru yang bebas penyakit layu bakteri, pada ketinggian 300 - 900 m dpl., temperatur rata-rata tahunan 25 - 30º C, jumlah bulan basah (> 100 mm/bl) 7 - 9 bulan per tahun, curah hujan per tahun 2.500 - 4.000 mm, intensitas cahaya matahari 70 - 100% atau agak ternaungi sampai terbuka, drainase tanah baik, tekstur tanah lempung sampai lempung liat berpasir, pH tanah 6,8 - 7,4. Pada lahan dengan pH rendah dapat diberikan kapur pertanian (kaptan) 1 - 3 ton/ha atau dolomit 0,5 - 2 ton/ha untuk meningkatkan pH tanah.

Kesesuaian agroekosistem untuk masing-masing tanaman obat unggulan disajikan pada Tabel 7.

Akibat berkembangnya penyakit layu bakteri tular tanah ataupun yang terbawa bibit di P. Jawa, maka perluasan areal pengembangan jahe diarahkan ke luar P. Jawa, seperti Kalimantan dan Sulawesi dengan kondisi agroklimat yang sesuai. Selain itu, meluasnya penyebaran penyakit layu bakteri yang masih dicari teknik pengendaliannya, perlu dipacu dengan dukungan penelitian untuk memperoleh bahan tanaman unggul tahan penyakit layu bakteri.

Tabel 7.K

ese

suaia

n a

gro

ekosist

em

untu

k tem

ula

wak,

kunyit,

kencu

r, jahe d

an p

urw

oce

ng d

i In

donesia

Ko

moditas

Je

nis

tanah

Tip

e

iklim

Ele

vasi

(m.

dpl.)

Jum

lah

cura

h

huja

n/t

ahun

(mm

)

Jum

lah b

ula

n

basa

h/t

ahun

Suhu

Tin

gkat

naungan

(%)

Tem

ula

wak

Lato

sol,

Andoso

l,

Podso

lik

A,B

,C

100 -

1.5

00

1.5

00 -

4.0

00

5

9

26 -

30

0 -

30

Kunyit

Lato

sol,

Alu

via

l,

Regoso

l

A,B

,C

240 -

1.2

00

2.0

00 -

4.0

00

6

9

25 -

30

0 -

30

Kencu

r

Lato

sol,

Andoso

l,

Regoso

l

A,B

,C

50 -

600

2.5

00 -

4.0

00

5

9

26 -

30

0 -

30

Jahe

Lato

sol,

Andoso

l,

Regoso

l

A,B

,C

300 -

900

2.5

00 -

4.0

00

6

9

25 -

30

0 -

30

Purw

oce

ng

Andoso

l A,B

1.8

00-

2.1

00

> 4

.000

7

9

15 -

21

30 -

40

---- -

udara

o (C )

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman ObatProspek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

1716

C. Arah Pengembangan

Arah pengembangan tanaman obat ditujukan untuk kosmetika, industri rumah tangga, jamu gendong, dan ekspor dengan memperhatikan peluang pasar, potensi areal pengembangan, teknologi yang tersedia, kondisi saat ini dan permasalahan yang ada.

Peluang pasar masih cukup luas baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Kebutuhan dalam negeri setiap tahunnya meningkat sebagaimana tercermin dari pertumbuhan jumlah IOT dan IKOT di Indonesia, belum termasuk kebutuhan industri rumah tangga dan jamu gendong yang tidak diwajibkan melapor ke Badan POM. Survei menunjukkan bahwa keuntungan bersih yang diperoleh seorang bakul jamu gendong berkisar Rp. 50.000 - 75.000,- per hari. Adalah fakta bahwa sebagian besar IOT memperoleh bahan baku di samping berasal dari dalam negeri juga berasal dari impor, dengan alasan bahan baku domestik kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya tidak terjamin, terutama simplisia impor untuk formulasi obat ekstrak dan nutraceutical. Oleh karena itu salah satu arah pengembangan tanaman obat adalah untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan baku dan peningkatan nilai tambah seperti terlihat pada pohon industri temu-temuan dan purwoceng yang disajikan pada Gambar 5 dan 6.

1. Usaha pertanian primer

Areal pengembangan tanaman obat sampai tahun 2010 masih diarahkan ke lokasi di mana industri obat tradisional berkembang, yaitu di Pulau Jawa, dengan target luas areal 1.276 ha untuk temulawak, 1.527 ha kunyit, 3.270 ha kencur, 7.124 ha jahe dan 154 ha purwoceng. Target produksi sampai tahun 2010 dengan asumsi produktivitas per tahun rata-rata 7 - 8 ton/ha, maka produksi temulawak diperkirakan mencapai 14.020 ton, kunyit 15.426 ton, kencur 26.290 ton, jahe 63.967 ton dan purwoceng 850 ton. Kecuali ada permintaan khusus, setelah 2010 areal pengembangan temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng dapat diperluas ke luar P. Jawa yang ketersediaan lahannya lebih luas.

Ket

eran

gan

:* :

Tek

nol

ogi te

rsed

ia,d

apat

dila

kuka

n d

i tin

gka

t IO

T d

an I

KO

T**

:

Pot

ensi

& p

rosp

ektif

, fit

ofar

mak

a, m

emer

luka

n in

vest

asi al

ih tek

nol

ogi &

bia

ya riset

Gam

bar

5.

Pohon indust

ri tem

ula

wak,

kunyit,

kencu

r dan jahe

N

am

a

ko

mo

dit

as

Usa

ha A

gribis

nis

Hulu

Usa

ha P

ert

ania

n P

rim

er

Pro

duk �

� jadi

Pro

duk

jadi

Jenis

Pro

duk

Jadi

Rim

pang

Segar

Sim

plis

ia

Pati

Min

yak*

Eks

trak*

Maka

nan/

Min

um

an

Kosm

etika

Fa

rmasi

,IKO

T,IO

T

Sirup*

Maka

nan

Padat*

In

stan*

Bedak*

Lu

lur*

Ta

ble

t **

Kapsu

l**

Sirup**

Indust

ri B

enih

Budid

aya

On-f

arm

Te

mu

law

ak

, K

un

yit

, K

en

cu

r, J

ah

e

Usa

ha A

gribis

nis

Hili

r/

Div

ers

ifik

asi

Pro

duk

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman ObatProspek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

1918

Kete

rangan :

* :

Teknolo

gi te

rsedia

,dapat

dila

kukan d

i tingkat

IOT d

an I

KO

T** :

Pote

nsi

& p

rosp

ektif, fitofa

rmaka,

mem

erlukan invest

asi

alih

teknolo

gi &

bia

ya r

iset

Gam

bar

6.

Pohon indust

ri P

urw

oce

ng

N

am

a

ko

mo

dit

as

Pro

duk �

� jadi

Industr

i

Pro

duk J

adi

Herb

a

Sim

plis

ia

Eks

trak*

IKO

T

IOT

Fa

rmasi

Jam

u

Seduh*

Pil*

Sirup*

Table

t/

Kapsu

l*

Sirup**

Indust

ri B

enih

Budid

aya

On-f

arm

Pu

rwo

ce

ng

Bagia

n y

ang d

igunakan

Teknologi budidaya dan pasca panen temulawak, kencur, kunyit, jahe dan purwoceng, telah tersedia. Namun teknologi tersebut belum semuanya diadopsi oleh petani, mengingat proses didalam pengalihan teknologi kepada petani, memerlukan investasi yang cukup tinggi. Karena keterbatasan modal, petani belum mampu mengadopsi teknologi tersebut. Oleh karena itu arah pengembangan industri tanaman obat temulawak, kunyit, kencur difokuskan pada pemanfaatan varietas/klon unggul, sosialisasi dan pelatihan teknologi serta bantuan investasi permodalan. Sedangkan untuk jahe arah pengembangan industri di sektor hulu, difokuskan kepada investasi di bidang penelitian untuk menghasilkan varietas unggul tahan penyakit.

Klaim industri obat tradisional atas ketidaksesuaian standar kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan baku, merupakan implikasi dari lemahnya adopsi teknologi dan permodalan di tingkat petani, serta lemahnya kelembagaan petani tanaman obat. Oleh karena itu pengembangan diarahkan untuk pemecahan masalah tersebut, melalui investasi di dalam alih teknologi, melalui pelatihan dan pendidikan terhadap petani tanaman obat dan IKOT yang terlibat dalam proses pasca panen primer di sektor hulu.

2. Usaha agribisnis hulu

Produksi rata-rata yang dicapai oleh petani untuk komoditas temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng hanya mencapai 60% dari usaha pertanian primer yang mengacu kepada SOP (Standard Operational Procedures) budidaya yang dibakukan. Dilain pihak, untuk mencapai kontinuitas produksi diperlukan jaminan akan ketersediaan bahan baku. Dengan mengacu kepada SPO budidaya yang dibakukan, telah dihasilkan teknologi hulu berupa bahan tanaman unggul hasil penelitian BALITTRO. Rata-rata produktivitas varietas unggul temulawak 20-40 ton/ha, kadar minyak atsiri (6,2-10,6%), kadar kurkumin (2,0-3,3%); kunyit 7-20 ton/ha, kadar kurkumin (8-11%); kencur 12-16 ton/ha, kadar minyak atsiri (2,6-6,2%), kadar sari larut dalam air (16-23%), kadar sari larut dalam etanol (5-9,5%); dan potensi produksi jahe putih besar 20-40 ton/ha. Teknologi budidaya yang tersedia meliputi jarak tanam, pemupukan dan polatanam, pasca panen primer (teknik pemanenan, pengirisan, pengeringan dan ekstraksi),

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman ObatProspek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

2120

serta pasca panen sekunder (teknik pembuatan sirup, kapsul dan minuman kesehatan).

Sesuai dengan arah pengembangan tanaman obat dan target yang akan dicapai, pada tahun 2010 kebutuhan bibit dan luas areal yang dibutuhkan untuk pengadaan bibit temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng seperti pada Tabel 8.

Tabel 8. Kebutuhan bibit dan luas lahan pengusahan temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng pada tahun 2005-2010

Keterangan : *angka dalam kurung menunjukkan luas lahan (ha)

Kebutuhan bibit (ton) No Komoditas

2005 2006 2007 2008 2009 2010

1. Temulawak

3.594,0(260)

3.645,0(266)

3.735,0 3.828,0(280)

2. Kunyit

4.284,0(310)

4.380,0(318)

4.580,0(334)

3. Kencur

6.090,0(609)

6.240,0(624)

6.540,0(656)

4. Jahe

19.845,0(1.415)

20.340,0(1.450)

21.372,0(1.523)

5. Purwoceng*

3.390,0(240)

4.080,0(290)

5.800,0(580)

18.900,0(1.350)

10,4(1,5)

3.570,0(255)

4.170,0(300)

5.940,0(594)

19.380,0(1.380)

10,8(1,55)

11,2

(1,6)

11,6

(1,65)

(273)

4.470,0(326)

6.380,0(624)

20.850,0(1.486)

12,0(1,7)

12,3(1,75)

3. Usaha agribisnis hilir

Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Badan POM RI, telah mengelompokkan obat bahan alam Indonesia menjadi tiga kelompok yaitu : (a) Jamu (khasiat dibuktikan secara empiris), (b) Obat herbal terstandar (khasiat dibuktikan dengan uji pra-klinik, (c) Fitofarmaka (khasiat dibuktikan dengan uji klinik). Sampai dengan tahun 2005, baru terdaftar dua merek produk komersial fitofarmaka yang mengandung kunyit, satu produk mengandung temulawak, satu produk mengandung jahe. Sedangkan produk herbal terstandar yang mengandung kunyit, enam merek, temulawak satu merek, kencur dua merek dan jahe dua merek.

Selain pengembangan produk turunan berupa produk jadi, pengembangan industri hilir temulawak, kunyit, kencur, jahe dan

purwoceng dapat dilakukan dengan diversifikasi produk dalam bentuk yang lebih sederhana yaitu simplisia atau ekstrak.

Berdasar manfaat, kandungan fitokimia dan khasiatnya terhadap penyakit yang dewasa ini menjadi trend masyarakat moderen (penyakit degeneratif, penurunan imunitas dan vitalitas tubuh), 5 tanaman obat (temulawak, kencur, kunyit, jahe dan purwoceng) mempunyai prospek besar untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat unggulan nasional. Penyakit degeneratif merupakan penyebab kematian manusia tertinggi (penyakit jantung, hipertensi, kanker). Pengobatan secara moderen cukup mahal namun belum menjamin kesembuhan, selain itu juga banyak pengaruh sampingnya. Oleh karena itu, tanaman obat menjadi alternatif pengobatan yang potensial.

Temulawak, kunyit, kencur dan jahe adalah kelompok tanaman rimpang-rimpangan (Zingiberaceae), yang digunakan dalam hampir semua produk obat tradisional (jamu) serta paling banyak diklaim sebagai penyembuh berbagai penyakit. Untuk meningkatkan nilai tambah dari keempat komoditas tersebut, diperlukan terobosan di dalam pengembangan produk (product diversification and development), dari produk primer (rimpang segar) menjadi produk sekunder (simplisia, ekstrak, minyak) dan produk tertier (produk jadi hasil formulasi) berupa suplemen makanan dan minuman dalam bentuk cair (sirup), padat (pil, kapsul) dan formula obat herbal terstandar, fitofarmaka dan kosmetika. Dengan demikian prospek pasar dan peluang pengembangan keempat jenis tanaman tersebut masih terbuka.

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) yang saat ini dicanangkan sebagai minuman kesehatan nasional, tergolong komoditas multifungsi. Kandungan minyak atsiri, kurkuminoid, xanthorrizol dan pati didalam rimpang temulawak memungkinkan penggunaan yang luas di dalam penyembuhan berbagai penyakit (anti kolesterol, antioksidan, penanggulangan penyakit hati, gangguan pencernaan, dll). Sebagai obat anti kolesterol dan penanggulangan penyakit hati (Hepato-protector), rimpang temulawak bisa dibuat menjadi berbagai jenis produk dalam bentuk kapsul, tablet dan minuman penyegar.

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman ObatProspek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

2322

Meskipun di pasaran beredar obat kimia dengan bahan aktif sintetis laktulosa, fosfolipid dan chelidonin yang bersifat koleritikum, tetapi karena harga yang mahal dan adanya efek samping dari obat-obatan tersebut, maka peluang pasar untuk produk industri farmasi/minuman kesehatan dan produk IOT/IKOT berbahan baku temulawak terbuka luas (Gambar 5). Produk fitofarmaka berupa bahan jadi berbentuk tablet/kaplet untuk menanggulangi gangguan hati (hepato-protektor) diproduksi dengan bahan baku utama ekstrak temulawak dengan bahan tambahan Amprotab, Mg-stearat, Nepagin, Aerasil dan Kolidon 90.

Kunyit (Curcuma domestica), dengan kandungan utama kurkumin dan minyak atsiri, berfungsi untuk pengobatan hepatitis, antioksidan, gangguan pencernaan, anti mikroba (broad spectrum), anti kolesterol, anti HIV, anti tumor (menginduksi apostosis), menghambat perkembangan sel tumor payudara (hormone dependent and independent), menghambat ploriferasi sel tumor pada usus besar (dose-dependent), anti invasi, anti rheumatoid arthritis (rematik), mempunyai prospek yang cerah pada sektor industri hilir (Gambar 5) dalam berbagai bentuk (ekstrak, minyak, pati, makanan/minuman, kosmetika, produk farmasi dan IKOT/IOT).

Produk farmasi berbahan baku kunyit, mampu bersaing dengan berbagai obat paten, misalnya untuk peradangan sendi (arthritis-rheumatoid) atau osteo-arthritis berbahan aktif natrium deklofenak, piroksikam, dan fenil butason dengan harga yang relatif mahal atau suplemen makanan (Vitamin-plus) dalam bentuk kapsul. Produk bahan jadi dari ekstrak kunyit berupa suplemen makanan dalam bentuk kapsul (Vitamin-plus) pasar dan industrinya sudah berkembang. Suplemen makanan dibuat dari bahan baku ekstrak kunyit dengan bahan tambahan Vitamin B1, B2, B6, B12, Vitamin E, Lesitin, Amprotab, Mg-stearat, Nepagin dan Kolidon 90.

Kencur (Kaempferia galanga) di dunia kesehatan digunakan untuk pengobatan gangguan pencernaan, saluran pernafasan dan campuran ramuan afrodisiak, juga digunakan untuk industri kosmetika berbasis bahan alam, sehingga sangat potensial dikembangkan di sektor hilir dalam bentuk ekstrak, minyak dan suplemen makanan/minuman (Gambar 5).

Dewasa ini perusahaan kosmetika, berlomba-lomba memproduksi jenis produk perawatan wajah dan kulit berbahan baku alami, ter-utama untuk pemutih. Bahan sintetis untuk pemu-tih kulit seperti AHA (Alpha Hydroxy Acid), banyak menimbulkan efek samping (iritasi dan bersifat karsinogenik), membuka peluang penggunaan bahan alami. Turunan minyak atsiri dari rimpang kencur etil-para metoksi sinamat (EPMS) merupakan sumber bahan baku potensial untuk pemutih dan tabir surya pada kosmetika. Produk herbal terstandar dari rimpang segar kencur dengan potensi pasar luas dewasa ini adalah minuman kesehatan beras kencur. Produk jadi minuman beras kencur terbuat dari bahan utama rimpang segar kencur dengan bahan tambahan pati/tepung beras, gula kelapa, asam jawa, asam benzoat.

Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu jenis komoditas tanaman obat yang tergolong tinggi permintaannya baik di dalam maupun di luar negeri. Sebagian besar rimpang jahe digunakan untuk bahan baku makanan (asinan jahe, permen jahe) dan minuman (instan jahe). Fungsi utama jahe di dalam pengobatan tradisional adalah untuk mengeluarkan angin, pengobatan rematik, menghangatkan tenggorokan dan campuran ramuan afrodisiak. Hampir tidak ada obat fitofarmaka yang diproduksi di dalam negeri menggunakan bahan baku utamanya jahe, kecuali sebagai bahan tambahan untuk produk obat tertentu, sebagian besar simplisia jahe digunakan oleh IOT dan IKOT sebagai bahan baku jamu.

Jenis produk jadi yang prospektif dikembangkan dengan bahan baku utama jahe adalah herbal terstandar untuk obat batuk dan minuman kesehatan (instan jahe). Selain itu, kandungan gingerol dan shogaol yang tinggi terutama pada jahe merah, potensial dikembangkan sebagai obat fitofarmaka untuk penyembuhan kanker dengan dukungan penelitian yang kuat. Produk jadi minuman

Pertanaman Kencur

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman ObatProspek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

2524

kesehatan instan jahe, terbuat dari bahan utama rimpang segar jahe dengan bahan tambahan tepung gula dan bahan aditif.

Salah satu produk yang mempunyai prospek pasar tinggi adalah suplemen minuman untuk meningkatkan vitalitas tubuh (afrodisiak) yang berbahan baku impor dari Korea (ginseng), dengan harga bahan baku cukup tinggi (Rp. 190 000,-/kg). Selain itu, trend meningkatkan vitalitas tubuh para pria juga dilakukan dengan mengonsumsi obat paten impor (Viagra) yang berbahan aktif Sildenafil Sitrat, dengan harga sangat mahal dan berefek negatif terhadap jantung (hipertensi), kehilangan penglihatan sementara dan mata bengkak. Indonesia memiliki purwoceng, tanaman obat asli yang potensial sebagai komplemen untuk afrodisiak dan substitusi ginseng Korea serta Viagra. Hasil penelitian BALITTRO menunjukkan, akar dan daun purwoceng mengandung steroid (stigmasterol dan sitosterol), turunan kumarin (psoralen dan scopoletin) serta vitamin E.

Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) sangat prospektif untuk dijadikan sumber bahan baku industri suplemen minuman yang berfungsi untuk meningkatkan vitalitas tubuh (steroid). Selain itu, kandungan vitamin E di dalam herba purwoceng, dapat dimanfaatkan sebagai bahan kosmetika yang berfungsi untuk peremajaan sel-sel tubuh dan memperbaiki kesuburan wanita. Namun, karena status kelangkaan (endangered species) tanaman ini di habitat endemiknya di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, purwoceng tidak dapat didaftarkan sebagai bahan baku obat.

Pe n g e m b a n g a n industri di sektor hilir (pro-duksi simplisia, ekstrak, suplemen minuman), perlu didukung dengan pengem-bangan sektor hulu dan tengah (industri benih, tek-nologi budidaya dan pasca panen primer), sehingga status kelangkaan tana- Pertanaman Purwoceng

man ini bisa dihapus, juga di sektor hilir (industri simplisia, ekstrak, dan obat herbal terstandar) untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani dan komoditas tersebut (Gambar 6). Produk jadi ramuan afrodisiak dalam bentuk minuman kesehatan dari purwoceng, terbuat dari bahan utama simplisia kering purwoceng dengan bahan tambahan simplisia kering jahe, secang dan bahan adirif.

Dengan mengembangkan lima komoditas tersebut di atas, harapan Indonesia menjadi eksportir kelas dunia untuk produk obat berbasis bahan alam dapat terpenuhi serta dapat menekan impor obat dan bahan baku obat konvensional yang mencapai 160 juta USD per tahun.

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman ObatProspek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

2726

IV. TUJUAN DAN SASARAN

A. Tujuan

Tujuan yang akan dicapai dalam pengembangan tanaman obat ke depan adalah mengoptimalkan agroindustri hulu hingga hilir sehingga dapat menarik minat investor, didukung oleh sistem dan infrastruktur yang akan menjadikan tanaman obat sebagai pipilhan untuk pelayanan kesehatan masyarakat.

1. Membangun infrastruktur, kelembagaan, dan dukungan kebijakan.

2. Mengoptimalkan agroindustri hulu berupa intensifikasi dan ekstensifikasi areal penanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng.

3. Meningkatkan nilai tambah dan menyediakan bahan baku terstandar temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng.

4. Meningkatkan pendapatan petani dari nilai tambah produk temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng.

5. Menambah dan menghasilkan devisa.

B. Sasaran

Sasaran pengembangan komoditas tanaman obat yang ingin dicapai pada periode 2005 - 2010 adalah :

1. Terbangunnya infrastruktur yang baik dengan dukungan kebijakan yang kondusif di sentra-sentra agribisnis tanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng

2. Terbangunnya agroindustri berbasis tanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng

3. Terpenuhinya 60% kebutuhan bahan baku terstandar tanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk industri obat berbahan baku alami di dalam negeri.

4. Tercapainya peningkatan pendapatan petani melalui peningkatan nilai tambah produk olahan temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng sebesar 50%.

5. Terwujudnya penghematan devisa negara untuk impor obat-obatan sebesar 50%, dan pemasukan devisa sebesar 20 milyar USD pada tahun 2010.

V. KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PROGRAM

A. KebijakanGuna membangun agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman

obat yang kuat, mandiri dan berdaya saing untuk peningkatan kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia dibutuhkan Kebijakan Nasional dan Keputusan Politik pemerintah pada level paling atas yaitu Presiden RI dan jajaran birokrasi di bawahnya, yang didukung penuh oleh DPR dan seluruh masyarakat.

Kebijakan pemerintah tersebut diwujudkan dengan menyusun Program Nasional Pengembangan Obat Bahan Alam, yang ditindak lanjuti oleh masing-masing pihak terkait, yaitu: Badan POM, Depkes, Deptan, Dephut, Deperin, Depdag, Depdagri, Depag, Kementrian Ristek/BPPT, LIPI, Pemda, Perguruan Tinggi, dunia usaha, petani maupun oleh berbagai organisasi yang terkait dengan pengembangan dan pemanfaatan tanaman obat lainnya. Target program tersebut adalah menjadikan Indonesia sebagai produsen nomor satu di dunia dalam industri obat berbasis bahan alami (world first class herbal medicine country) pada tahun 2020.

B. StrategiGuna mencapai target yang telah ditetapkan di dalam Program

Nasional Pengembangan Obat Bahan Alam, maka perlu disusun Grand Strategi Pengembangan Tanaman Obat Indonesia yang merupakan bagian dari Program Nasional tersebut, yang meliputi: (1) Penetapan komoditas tanaman obat unggulan, (2) Penetapan wilayah pengembangan tanaman obat unggulan, (3) Peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditas tanaman obat unggulan, (4) Penetapan produk turunan dari tanaman obat unggulan dan bentuk industri pengolahannya, (5) Peningkatan kompetensi sumberdaya manusia, (6) Pengembangan infrastruktur dan kelembagaan, (7) Peningkatan pelayanan informasi, promosi dan pemasaran, (8) Penyusunan kebijakan perpajakan dan insentif investasi yang kondusif di sub sistem hulu sampai hilir dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat. Road map agribisnis tanaman obat sebagai panduan dan arah kebijakan sampai tahun 2010 disajikan pada Gambar 7.

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman ObatProspek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat