Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
57
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEM TERHADAP PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI
PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI SALAH SATU RUMAH SAKIT DI MAKASSAR
MUSFIRA DEWY SUARDI N111 13 048
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2017
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEM TERHADAP PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI
PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI SALAH SATU RUMAH SAKIT DI MAKASSAR
SKRIPSI
untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana
MUSFIRA DEWY SUARDI N111 13 048
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
iii
PERSETUJUAN
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEM TERHADAP PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI
PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI SALAH SATU RUMAH SAKIT DI MAKASSAR
MUSFIRA DEWY SUARDI
N111 13 048
Disetujui oleh:
Pembimbing Utama,
Prof. Dr. rer. nat. Hj. Marianti A. Manggau, Apt. NIP. 19670319 199203 2 002
Pembimbing Pertama, Pembimbing Kedua, Dr. A. Ilham Makhmud Anshar Saud, S.Si., M. Farm., Apt. NIP. 19590708 198601 1 003 NIP. 19780630 200812 1 002
Pada tanggal, 16 Agustus 2017
iv
PENGESAHAN
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEM
TERHADAP PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI
PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK
DI SALAH SATU RUMAH SAKIT DI MAKASSAR
MUSFIRA DEWY SUARDI
N111 13 048
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Pada Tanggal, 16 Agustus 2017
Panitia Penguji Skripsi :
1. Ketua :
Prof. Dr. H. M. Natsir Djide, M.Si., Apt. : .................................
2. Sekretaris :
Usmar, S.Si., M.Si., Apt. : ................................
3. Ex. Officio :
Prof. Dr. rer-nat. Hj. Marianti A. Manggau, Apt. : ................................
4. Ex. Officio :
Dr. A. Ilham Makhmud : ................................
5. Ex. Officio :
Anshar Saud, S.Si., M.Farm., Apt. : ................................
6. Anggota :
Yulia Yusrini Djabir, S.Si., MBM.Sc.M.Si., Ph.D ,Apt. : ................................
Mengetahui : Dekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si., Apt. NIP. 19641231 199002 1 005
v
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Musfira Dewy Suardi
NIM : N111 13 048
Judul Skripsi :”Identifikasi Drug Related Problem terhadap
penggunaan obat antihipertensi pada pasien gagal
ginjal kronik di salah satu rumah sakit di Makassar”
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini adalah karya
saya sendiri, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan
saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah
ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya ini tidak
benar, maka skripsi dan gelar yang diperoleh, batal demi hukum.
Makassar, 16 Agustus 2017
Penyusun,
Musfira Dewy Suardi
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur kepada Allah Subhana Wata’ala, karena atas karunia dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi Wasallam Sang
Revolusioner sejati yang membawa kita dari jalan penuh kebatilan menuju
jalan kebenaran iman.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Ayahanda Suardi dan ibunda Suhaeni terkasih, terima kasih atas
segala doa, ikhtiar, kepercayaan, dan kesabaran dalam mendidik
penulis selama ini. Kata-kata tak cukup melukiskan rasa syukur ini
memiliki kedua orang tua seperti ayahanda dan ibunda.
2. Ibu Prof. Dr. rer. nat. Hj. Marianti A. Manggau, Apt. selaku
pembimbing utama, bapak Dr. A. Ilham Makhmud selaku pembimbing
pertama dan bapak Anshar Saud, S.Si., M. Farm., Apt. selaku
pembimbing kedua, terima kasih atas seluruh nasehat dan ilmu yang
diberikan kepada penulis selama ini.
vii
3. Bapak Prof. Dr. H. M. Natsir Djide, M.Si., Apt., bapak Usmar, S.Si.,
M.Si., Apt. dan ibu Yulia Yusrini Djabir, S.Si., MBM.Sc.M.Si., Ph.D,
Apt. selaku penguji.
4. Dr. Risfah Yulianty, S.Si., M.Si., Apt. selaku penasehat akademik.
5. Pihak Rumah Sakit Universitas Hasanuddin yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan penelitian.
6. Dekan Fakultas Farmasi, seluruh staf pengajar dan staf pegawai yang
membantu penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin.
7. Bapak/ibu pimpinan Laboratorium terutama laboran Biofarmasi
Farmakologi Toksikologi yang paling kece bu Syamsiah, ST.
8. Kerabat dekat yang membantu penulis dari awal perkuliahan hingga
memperoleh gelar sarjana di Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin.
9. Keluarga Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
khususnya angkatan 2013 (THEO13ROMINE) yang telah menjadi
keluarga baru penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin.
10. Pengurus BEM Kabinet “Progresif Revolusioner” dan MAPERWA
Kabinet “Kolaboratif Integrasi” yang telah mengajarkan penulis
substansi dan aksiden berlembaga.
11. Korps Asisten Laboratorium Biofarmasi Farmakologi Toksikologi mulai
dari anggota yang paling muda hingga paling berpengalaman. Terima
viii
kasih karena selalu mendorong penulis untuk terus belajar khususnya
tentang obat-obatan. Selain itu terima kasih karena telah memberikan
kesempatan kepada penulis sehingga dapat menambah maupun
membagi ilmu di korps.
12. Rekan seperjuangan dunia hingga akhirat Friends Until Jannah Ade
Andini, S.Si., Ayu Masyita, S.Si., Asih Ekawati, S.Si., Hadijah Jabbar,
S.Si., Masni, S.Si., dan Yanuar Narimo Mahanani, S.Si. Terima kasih
karena telah menjadi sahabat terdekat dan selalu memberi semangat
kepada penulis. Semoga kedekatan ini tak lekang digerus zaman dan
semuanya dapat berhijrah. Amin.
13. Tim Aurora Asih Ekawati, S.Si., Yunita Cahyani, S.Si., Mustika, S.Si.,
Andi Mintasary, S.Si., dan Rika Riyanti, S.Si. Terima kasih atas
kerjasama dan konsistensinya dalam menyelesaikan proyek.
Penulis menyadari banyak hambatan dan ketidaksempurnaan dalam
menyusun skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca untuk menyempurnakan skripsi ini.
Semoga Allah Subhanawata’ala meridhoi seluruh niat dan aktivitas kita
serta senantiasa menunjukkan kita jalan yang lurus dan benar.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, 16 Agustus 2017
Musfira Dewy Suardi
ix
ABSTRAK
Gagal ginjal kronik adalah penyakit yang disebabkan karena fungsi
ginjal menghilang secara progresif. Hipertensi dapat meningkatkan risiko
gagal ginjal kronik. Hipertensi terjadi karena meningkatnya tekanan pada
sistem pembuluh darah. Pengobatan hipertensi sangat penting bagi fungsi
ginjal. Masalah terkait pemberian obat (Drug Related Problem, DRP) dapat
terjadi pada pengobatan hipertensi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui persentase Drug Related Problem khususnya pada obat
antihipertensi yang digunakan oleh pasien gagal ginjal kronik di salah satu
rumah sakit di Makassar yaitu Rumah Sakit Universitas Hasanuddin.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross
sectional retrospective dan dianalisis menggunakan metode deskriptif
nonanalitik. Data yang diambil merupakan data rekam medik pasien.
Populasi penelitian adalah semua pasien yang didiagnosis menderita
hipertensi dan gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Universitas Hasanuddin tahun 2015. Jumlah populasi yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi adalah 21 pasien. Pengambilan sampel
menggunakan metode sampling jenuh. Berdasarkan penelitian diperoleh 97
kasus DRP. Masalah DRP terkait indikasi sebanyak 15 kasus (15,46%),
efektivitas sebanyak 29 kasus (29,90%), keamanan sebanyak 18 kasus
(18,56%), dan kepatuhan sebanyak 35 kasus (36,08%).
Kata kunci: gagal ginjal kronik, hipertensi, drug related problem
xviii + 68 halaman; 6 gambar; 10 tabel; 3 lampiran
Bibliografi: 32 (2003-2017)
x
ABSTRACT
Chronic kidney disease is characterized by a progressive deterioration
in kidney function. The presence of hypertension can increase the risk of
chronic kidney disease. Hypertension is a common disease that is defined
simply as persistently elevated arterial blood pressure. Antihypertension
drug therapy is very important to manage kidney function. Drug related
problem (DRP) is common in treating hypertension. The purpose of this
research is to evaluate the used of antihypertensive agent in hypertensive
patient with chronic kidney disease. This research is a descriptive research
using cross sectional retrospective and analysis using descriptive
nonanalytic method. The data collected from patient medical record. The
population of this research are all the patients with hypertension and
chronic kidney disease in Hasanuddin University hospital in 2015. Total
population that met the inclusion and exclusion criteria are 21 patients.
Samples collected using saturation sampling method. The result showed
the number of drug related problem are 97 cases. There are 15 cases
(15,46%) related to indication, 29 cases (29,90) related to effectiveness, 18
cases (18,56%) related to safety and 35 cases (36,08%) related to
adherence.
Keywords: chronic kidney disease, hypertension, drug related problem
xviii + 68 pages; 6 images; 10 tables; 3 attachments
Bybliography: 32 (2003-2017)
xi
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................ vi
ABSTRAK .................................................................................... ix
ABSTRACT ................................................................................. x
DAFTAR ISI ................................................................................. xi
DAFTAR TABEL .......................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................... xvii
DAFTAR LAMBANG ATAU SINGKATAN ..................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
BAB II TINJUAN PUSTAKA ............................................................ 6
II.1. Ginjal ............................................................................... 7
II.2. Gagal Ginjal Kronik ......................................................... 7
II.2.1. Pengertian dan Klasifikasi ..................................... 7
II.2.2. Epidemiologi ......................................................... 8
II.2.3. Etiologi .................................................................. 8
II.2.4. Patofisiologi ........................................................... 9
II.2.5. Penatalaksanaan .................................................. 11
xii
II.2.5.1. Antihipertensi ............................................ 11
II.2.5.2. Kontrol Glukosa secara Intensif ................ 11
II.2.5.3. Antihiperlipidemia ..................................... 11
III.3 Hipertensi ........................................................................ 12
III.3.1. Pengertian dan Klasifikasi .................................... 12
III.3.2. Epidemiologi ........................................................ 13
III.3.3. Etiologi ................................................................. 13
III.3.4. Patofisiologi .......................................................... 15
III.3.5. Penatalaksanaan ................................................. 16
III.3.5.1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) ...................................................... 16
III.3.5.2. Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) .... 19
III.3.5.3. Calcium Channel Blocker (CCB) .............. 22
III.3.5.4. Obat Diuretik ............................................ 25
III.3.5.5. Renin Inhibitor .......................................... 28
III.3.5.6. Penghambat Adrenoreseptor Alfa ............ 29
III.3.5.7. Agen Vasodilator Langsung ..................... 29
III.3.5.8. Adrenolitik Sentral .................................... 29
III.3.5.9. Penghambat Adrenoreseptor Beta ........... 31
III.3.6. Implementasi Farmakoterapi Hipertensi .............. 33
III.3.6.1. Monoterapi ............................................... 33
III.3.6.2. Terapi Kombinasi ..................................... 34
III.3.6.3. Terapi Kombinasi yang Umum dipilih ....... 35
II.4. Drug Related Problem (DRP) .......................................... 35
xiii
II.4.1. Komponen Primer DRP ......................................... 36
II.4.2. Kategori DRP ........................................................ 36
II.5. Rekam Medik .................................................................. 38
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................... 40
III.1. Tempat Penelitian .......................................................... 40
III.2. Desain Penelitian ........................................................... 40
III.3. Sumber Data .................................................................. 40
III.4. Populasi dan Sampel...................................................... 40
III.4.1. Populasi .............................................................. 40
III.4.2. Definisi Operasional ............................................ 40
III.4.3. Sampel ................................................................ 41
III.5. Kriteria Seleksi ............................................................... 41
III.5.1. Kriteria Inklusi ..................................................... 41
III.5.2. Kriteria Eksklusi................................................... 41
III.6. Analisis Data .................................................................. 42
III.7. Pembahasan .................................................................. 42
BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN ................................................ 43
IV.1. Karakteristik Demografi Pasien ...................................... 43
IV.2. Profil Pengobatan Antihipertensi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik ................................................................... 45
IV.3. Drug Related Problem (DRP) Pengobatan Antihipertensi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik .................................... 46
IV.3.1. Indikasi ............................................................... 49
IV.3.2. Efektivitas ........................................................... 50
xiv
IV.3.3. Keamanan .......................................................... 53
IV.3.4. Kepatuhan .......................................................... 58
IV.4 Kondisi Ginjal Pasien berdasarkan Kadar Kreatinin ........ 60
BAB V KESIMPULAN dan SARAN ................................................. 61
VI.1. Kesimpulan .................................................................... 61
VI.2. Saran ............................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 62
LAMPIRAN .................................................................................... 66
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kategori, sub ketegori dan penyebab DRP ............... 37
Tabel 4.2 Karakteristik demografi penderita hipertensi disertai gagal ginjal kronik ..................................................... 43
Tabel 4.3 Hubungan umur dan jenis kelamin penderita hipertensi disertai gagal ginjal kronik......................... 44
Tabel 4.4 Obat antihipertensi yang diberikan pada pasien gagal ginjal kronik ............................................................... 45
Tabel 4.5 Persentase DRP penggunaan obat antihipertensi pada
pasien gagal ginjal kronik.......................................... 47
Tabel 4.6 Penyebab DRP kategori indikasi ............................... 49 Tabel 4.7 Penyebab DRP kategori efektivitas ........................... 51 Tabel 4.8 Penyebab DRP kategori keamanan .......................... 54 Tabel 4.9 Penyebab DRP kategori kepatuhan .......................... 58
Tabel 4.10 Rata-rata nilai ureum dan kreatinin pasien sebelum dan setelah mendapat pengobatan di rumah sakit .... 60
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan nilai GFR ........................................................................ 7
Gambar 2.2 Mekanisme gangguan pada ginjal ........................... 10
Gambar 2.3 Klasifikasi hipertensi berdasarkan tekanan darah orang dewasa ......................................................... 12 Gambar 2.4 Klasifikasi dan manajemen tekanan darah untuk orang dewasa ......................................................... 32 Gambar 2.5 Panduan dan dasar uji klinis pemberian obat antihipertensi pada pasien yang memiliki riwayat penyakit lain ............................................................ 33 Gambar 4.6 Persentase DRP penggunaan obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik ............................... 46
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skema Kerja ........................................................... 66
Lampiran 2. Data laboratorium pasien sebelum mendapat pengobatan di rumah sakit ...................................... 67 Lampiran 3. Data laboratorium pasien setelah mendapat pengobatan di rumah sakit ...................................... 68
xviii
DAFTAR ARTI LAMBANG/SINGKATAN
Lambang/singkatan Arti
JNC-7
The Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure
NKF K/DOQI National Kidney Foundation Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative
AHA American Heart Association
NYHA New York Heart Association
PERNEFRI Persatuan Nefrologi Indonesia
ESRD End Stages Renal Disease
GFR Glomerular Filtrate Rate
RAAs Renin Angiotensin Aldosterone System
BUN Blood Urea Nitrogen
LDL Low Density Lipoprotein
ACEI Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
ARB Angiotensin II Receptor Blocker
CCB Calcium Channel Blocker
AINS Anti Inflamasi Non-Steroid
MAO Monoamine Oxidase
SL Sublingual
IM Intra Muscular
IV Intra Vena
t1/2 Waktu paruh eliminasi obat
1
BAB I
PENDAHULUAN
Prevalensi gagal ginjal kronik di Eropa (2009) stadium 1 sampai 5
bervariasi yakni dari 3,3% hingga 17,3% (1). Penelitian United States Renal
Data System (USRDs) di Amerika Serikat (1995-2012) menemukan bahwa
tingkat kematian penderita gagal ginjal kronik menurun dari 245 menjadi 143
per 1.000 kematian (2). Perkumpulan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
melakukan studi prevalensi gagal ginjal dan membagi kategorinya menjadi
gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik dan gagal ginjal akut-kronik (Acute on
Chronic Renal Failure). Hasilnya adalah prevalensi gagal ginjal tertinggi
adalah gagal ginjal kronik. PERNEFRI menemukan bahwa persentase gagal
ginjal kronik tahun 2012 sebesar 83%, 2013 sebesar 82% dan 2014 sebesar
84%. Penyakit yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik adalah nefropati
asam urat, nefropati diabetika, proteinuria, hiperlipidemia dan hipertensi.
Hipertensi merupakan penyebab tertinggi di Inonesia tahun 2014 yakni
sebesar 36,8%. Pasien yang mengalami gagal ginjal kronik karena hipertensi
juga merupakan kejadian terbanyak di Sulawesi Selatan tahun 2014 yakni
sebesar 35,4% (3).
Gagal ginjal kronik adalah penyakit yang disebabkan karena fungsi
ginjal menghilang secara progresif dan tidak dapat kembali ke keadaan
normal. Obat-obat yang dapat digunakan untuk mengobati gagal ginjal kronik
2
adalah diet restriksi protein, Intensive Insulin Therapy, antihipertensi, dan
antihiperlipidemia. Obat-obat yang dapat digunakan sebagai antihipertensi
yakni diuretika, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin
II Receptor Blocker (ARB), β-Blocker dan Calcium Channel Blocker (CCB).
Obat yang tepat bagi penderita hipertensi dan gagal ginjal kronik adalah
golongan ACEI dan ARB. Tujuan terapi tekanan darah yang harus dicapai
pada pasien gagal ginjal kronik adalah tekanan darah <130/80 mmHg. Selain
itu juga harus memenuhi kriteria Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <65
mL/menit/1.73 m2, kreatinin serum >1.5 mg/dL bagi pria dan >1.3 mg/dL bagi
wanita, dan albuminuria mencapai >300 mg albumin pada urin 24 jam (4-7).
Penggunaan obat antihipertensi dapat mengakibatkan iatrogenik
(penyakit atau gejala yang timbul akibat kesalahan diagnosa). Pemberian
The Triple Whammy (kombinasi dari obat golongan AINS, diuretik dan ACEI)
pada pasien hipertensi dapat mengakibatkan gagal ginjal iatrogenik. Adverse
Drug Reactions Advisory Committee (ADRAC) (2003) melaporkan bahwa
lebih dari setengah kasus gagal ginjal iatrogenik terjadi karena kombinasi tiga
obat ini dan tingkat kematiannya hingga 10% (8,9).
Selain iatrogenik, terdapat resiko masalah terkait obat (Drug Related
Problem, DRP) karena umumnya pasien menerima terapi multi-obat (10).
Menurut Pedoman Pemantauan Terapi Obat (2009), masalah terkait obat
(DRP) dapat dikategorikan menurut Hepler dan Strand (11). Klasifikasi DRP
3
menurut metode Strand (2012) meliputi empat kategori yakni indikasi,
efektivitas, keamanan, dan kepatuhan (12).
Penelitian tentang Drug Related Problem telah dilakukan di berbagai
negara di dunia. Penelitian oleh Cipolle, Strand dan Morley (2012) di London
menemukan masalah DRP tertinggi berasal dari kategori indikasi yakni
sebesar 39%, sedangkan masalah terendah berasal dari kategori kepatuhan
yakni sebesar 14% (12). Studi oleh Nefrologi Klinik mengenai DRP
penggunaan obat antihipertensi pada penyakit gagal ginjal kronik (November
2009-Mei 2010) di Rumah Sakit Pendidikan Grenobel, Italia menemukan
masalah DRP tertinggi berasal dari kategori efektivitas yakni sebesar 9,3%
dan masalah terendah berasal dari kategori indikasi dan keamanan yakni
sebesar 1,7% (13). Masalah DRP juga diidentifikasi di negara Etopia
Tenggara (2013). Kasus DRP terbanyak di negara tersebut adalah kategori
indikasi sebesar 18,7% sedangkan kasus DRP terendah pada kategori
keamanan 0,8% (14).
Penelitian DRP di wilayah Asia dilakukan di negara Iraq dan India
Selatan. Penelitian oleh Ossman, Marouf dan Ameen mengenai identifikasi
Drug Related Problem pada pasien gagal ginjal kronik tahun 2015 di Iraq
menemukan kasus DRP masalah indikasi sebesar 34%, efektivitas sebesar
36%, keamanan sebesar 18% dan kepatuhan sebesar 12% (15). Penelitian
oleh Rani, Thomas, Rohini, Soundararajan, Kanan dan Thennarasu
mengenai studi Drug Related Problem pada pasien gagal ginjal kronik tahun
4
2014 di India Selatan menemukan kasus DRP masalah indikasi sebesar
2,7%, keamanan 50%, dan kepatuhan sebesar 47,3% (16).
Penelitian mengenai DRP juga dilakukan di beberapa wilayah
Indonesia. Identifikasi kasus DRP penggunaan obat antihipertensi pada
pasien gagal ginjal kronik di Manado. menemukan masalah DRP tertinggi
berasal dari kategori efektivitas yakni 93,1% dan masalah terendah berasal
dari kategori keamanan yakni sebesar 3,3% (17). Penelitian di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari 2014-Mei 2016 menemukan
kasus DRP terkait indikasi sebesar 40,48%, efektivitas sebesar 21,43%, dan
keamanan sebesar 38,10% (18). Penelitian serupa juga dilakukan di wilayah
lain Yogyakarta yaitu di RSUD Tugurejo periode Januari 2013-Juni 2016.
Hasilnya adalah masalah DRP terkait indikasi sebesar 58,62%, efektivitas
sebesar 6,90%, dan keamanan sebesar 34,48% (19). Kajian DRP pada
Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium V yang Menjalani Hemodialisa di
Instalasi Hemodialisa RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Agustus-Oktober
2016 menemukan bahwa masalah terkait indikasi sebesar 47,62%, efektivitas
sebesar 14,29%, keamanan 9,52%, dan kepatuhan sebesar 28,57% (20).
Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah penelitian adalah
apakah terdapat masalah DRP terkait indikasi, efektivitas, keamanan dan
kepatuhan terhadap penggunaan obat antihipertensi pada penderita gagal
ginjal kronik di salah satu rumah sakit di Makassar? Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui persentase DRP terkait indikasi, efektivitas, keamanan dan
5
kepatuhan terhadap penggunaan obat antihipertensi yang diberikan pada
pasien gagal ginjal kronik di salah satu rumah sakit di Makassar. Semoga
penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan menjadi pertimbangan
dalam memberikan obat antihipertensi yang tepat untuk pasien gagal ginjal
kronik sehingga menurunkan resiko masalah DRP.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Ginjal
Ginjal terletak pada bagian posterior abdomen mulai dari vertebrata
torakalis terakhir hingga vertebrata lumbalis ketiga. Setiap ginjal panjangnya
5 cm dan tebalnya 1,5-2,5 cm. Ginjal berfungsi untuk mempertahankan
osmolaritas cairan tubuh melalui regulasi keseimbangan air, menghasilkan
eritropoietin, menghasilkan renin, dan mengubah vitamin D menjadi bentuk
aktifnya. Ginjal berperan untuk mengekskresi produk akhir sisa metabolisme
tubuh melalui urin melalui tiga proses yaitu filtrasi glomerulus, reabsorpsi
tubulus dan sekresi tubulus. Saat darah mengalir melalui glomerulus, plasma
bebas protein tersaring melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsul bowman.
Plasma yang tersaring ke glomerulus sebanyak 20% pada keadaan normal.
Proses ini dikenal sebagai proses filtrasi glomerulus. Proses selanjutnya
adalah reabsorpsi tubulus. Senyawa yang masih bermanfaat bagi tubuh
dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus ketika filtrat mengalir melalui
tubulus. Proses terakhir adalah sekresi tubulus. Sekresi tubulus adalah
pemindahan selektif senyawa-senyawa dari kapiler peritubulus ke dalam
lumen tubulus. Sekresi tubulus merupakan proses mengeluarkan zat dari
plasma secara cepat dan mengekstraksi sejumlah zat tertentu dari 80%
plasma yang tidak terfiltrasi di kapiler peritubulus (21,22).
7
II.2. Gagal Ginjal Kronik
II.2.1. Pengertian dan Klasifikasi
Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) atau yang biasa disebut
dengan insufisiensi renal kronik (Chronic Renal Insufficiency) adalah fungsi
ginjal menghilang secara progresif yang ditandai dengan perubahan struktur
ginjal. Kehilangan fungsi ini terjadi selama beberapa bulan hingga tahun.
Gagal ginjal kronik bersifat irreversible yakni kerusakan permanen pada
jaringan ginjal (5,6). Gagal ginjal kronik terbagi menjadi lima klasifikasi
berdasarkan nilai GFR. Klasifikasinya sesuai tabel di bawah ini.
[Sumber: Alldredge et al. 2013, telah diolah kembali]
Gambar 2.2. Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan nilai GFR
8
II.2.2. Epidemiologi
Penyakit ginjal masuk dalam 10 kategori penyakit yang menyebabkan
kematian di dunia menurut data WHO (2012). NHANES (1999-2004)
melakukan studi secara cross sectional terhadap lebih dari 13.000 orang
dewasa berumur ≥20 tahun tentang pasien gagal ginjal kronik di Amerika
Serikat. Warga Amerika yang mengalami gagal ginjal kronik stadium 1 dan 2
sebesar 10,1 miliar dan stadium 3 dan 4 sebesar 16,2 miliar. Prevalensi
gagal ginjal kronik stadium 1 sampai 5 di Eropa (2009) bervariasi yakni dari
3,3% hingga 17,3% (1,4).
PERNEFRI juga melakukan studi prevalensi gagal ginjal yang disebut
Indonesian Renal Registry. PERNEFRI menemukan bahwa persentase gagal
ginjal kronik di Indonesia tahun 2012 sebesar 83%, 2013 sebesar 82% dan
2014 sebesar 84%. Selain itu, PERNEFRI menemukan penderita gagal ginjal
kronik di Sulawesi meningkat dari tahun 2012 hingga 2014 yaitu 206 kasus di
tahun 2012, 237 kasus di tahun 2013 dan 239 kasus di tahun 2014 (3).
II.2.3. Etiologi
Penyebab ESRD pada pasien gagal ginjal kronik yang terdiagnosa di
Amerika Serikat karena faktor pencetus yakni diabetes mellitus sebesar 44%,
hipertensi sebesar 28% dan glomerulonefritis kronik sebesar 7% menurut
data NHANES (2008). Penyebab utama gagal ginjal kronik di Indonesia
9
menurut PERNEFRI adalah hipertensi yakni sebesar 35% tahun 2012, 31%
pada tahun 2013 dan 36,8% pada tahun 2014 (3,6).
Penyebab gagal ginjal kronik terbagi menjadi dua jenis yakni primer dan
sekunder. Gangguan primer disebabkan oleh gangguan pada ginjal
sedangkan gangguan sekunder berasal dari penyakit sistemik seperti
diabetes dan hipertensi. Penyebab primer dan sekunder tersebut terbagi
dalam faktor resiko, inisiasi dan progresi. Faktor resiko gagal ginjal kronik
adalah umur bertambah, massa ginjal menurun, prematur, ras/etnis, riwayat
keluarga, pendapatan dan pengetahuan rendah, inflamasi sistemik dan
dislipidemia. Faktor inisiasi (pencetus) adalah kerusakan ginjal seperti
diabetes mellitus, hipertensi, glumorulonefritis, autoimun, infeksi sistemik,
infeksi saluran kemih, batu ginjal, obstruksi saluran kemih bawah, dan efek
toksik obat. Faktor progresi adalah faktor yang yang mempercepat gagal
ginjal kronik. Faktor progresi diantaranya glikemia, hipertensi, proteinuria dan
kebiasaan merokok (5,6).
II.2.4. Patofisiologi
Penyebab stadium ESRD pada gagal ginjal kronik adalah diabetes
mellitus, hipertensi dan gangguan glomerular. Diabetes mellitus
mengakibatkan filtrasi glukosa berlebihan dan meningkatnya tekanan osmotik
di sel tubular serta menebalnya membran dasar kapiler. Hipertensi sistemik
berpotensi menjadi stimulus penyakit gagal ginjal kronik karena
10
meningkatkan nilai GFR nefron tunggal sehingga merusak nefron secara
perlahan. Hiperkolesterolemia mengakibatkan akumulasi apolipoprotein di sel
mesangial glomerular. Implikasi dari proses ini adalah produksi sitokin dan
infiltrasi makrofag. Jika terjadi hal demikian, maka ginjal akan mengalami
gangguan secara progresif. LDL merupakan faktor kerusakan ginjal melalui
inisiasi sel mesangial yang mengoksidasi turunan sitokin. Salah satu tes yang
dapat dilakukan untuk melihat fungsi ginjal adalah pengecekan kadar
kreatinin serum (5).
[Sumber: Dipiro, Talbert, Yees, Matzke, Wells, & Posey. 2005, telah diolah kembali]
Gambar 2.2. Mekanisme gangguan pada ginjal
11
II.2.5. Penatalaksanaan
II.2.5.1. Antihipertensi
Terapi antihipertensi dapat mencegah kerusakan ginjal. Menurut JNC-7
dan rekomendasi NKF K/DOQI Hypertension and Diabetes Executive
Committee, tujuan terapi tekanan darah penderita hipertensi pada pasien
gagal ginjal kronik dan diabetes adalah <130/80 mmHg. Pengontrolan
tekanan darah sangat penting dalam menghambat gagal ginjal kronik. JNC-7
merekomendasikan ACEI dan ARB menjadi pilihan utama bagi penderita
hipertensi dan gagal ginjal kronik. Mekanisme kerja ARB menyerupai ACEI
yakni menurunkan resistensi arteriol eferen dengan cara memblok reseptor
angiotensin 1 (6).
II.2.5.2. Kontrol Glukosa secara Intensif
Kontrol glukosa intensif (gula darah puasa <108 mg/dL) bersama insulin
dan sulfonilurea oral selama 10 tahun dapat menurunkan komplikasi
nefropati. Pengobatan ini juga menurunkan resiko penyakit albuminuria
sebesar 33% ketika dikombinasi dengan terapi diet konvensional (gula darah
puasa <270 mg/dL) (6).
II.2.5.3. Antihiperlipidemia
Terapi obat antihiperlipidemia untuk mencegah perkembangan penyakit
gagal ginjal kronik tidak menentu. Penelitian meta analisis menunjukkan
bahwa terapi penurunan lipid dapat mencegah menurunnya nilai GFR.
12
Pengobatan menggunakan fibrat tidak menunjukkan efek pada pengobatan
gagal ginjal kronik (6).
II.3. Hipertensi
II.3.1. Pengertian dan Klasifikasi
Hipertensi adalah kondisi tekanan darah yang meningkat secara terus-
menerus. Hipertensi merupakan salah satu penyebab strok, serangan
jantung, dan gagal ginjal kronik. Gejala hipertensi biasanya muncul setahun
kemudian dan dapat merusak organ secara permanen (23). Klasifikasi
hipertensi berdasarkan tekanan darah sistol dan diastol dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
[Sumber: Alldredge et al. 2013, telah diolah kembali]
Gambar 2.3. Klasifikasi hipertensi berdasarkan tekanan darah orang dewasa
13
III.3.2. Epidemiologi
30% dari populasi (sekitar 50 juta orang Amerika) diperkirakan memiliki
tekanan darah ≥140/90 mmHg. Menurut NHANES (1999-2000), persentase
penderita hipertensi yang paling meningkat secara signifikan adalah wanita
yakni 5,6% sedangkan pada laki-laki cenderung tidak ada perubahan yang
signifikan. Selain itu, prevalensi hipertensi meningkat dari 57,9% menjadi
65,4% pada pasien yang berumur >60 tahun dari tahun 1988 hingga 2000.
Tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan hipertensi
umumnya terjadi pada orang usia lanjut. Beberapa pasien mengalami
prahipertensi sebelum mereka terdiagnosis menderita hipertensi. Banyak
hipertensi yang terdiagnosis terjadi pada umur 30 sampai 50 tahun. Laki-laki
cenderung lebih banyak mengalami hipertensi dibandingkan perempuan
pada umur 55 tahun sedangkan perempuan lebih banyak terkena hipertensi
umur 55-74 tahun (5).
III.3.3. Etiologi
Penyebab hipertensi terbagi atas tiga yaitu hipertensi esensial,
sekunder, dan pseudohipertensi. Hipertensi esensial adalah hipertensi yang
penyebabnya tidak diketahui secara pasti namun terkadang terjadi karena
faktor gen di keluarga. Gen tersebut khususnya mengatur keseimbangan
natrium, pelepasan nitrit oksida, sekresi aldosteron dan angiotensinogen.
Individu yang mengalami hipertensi primer lebih dari 90% (5).
14
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat
diketahui. Beberapa kasus hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit dan
penggunaan obat tertentu. Penyakit yang dapat menyebabkan hipertensi
sekunder adalah gagal ginjal kronik, sindrom Cushing, stenosis aorta,
gangguan paratiroid, aldosteronisme primer, gangguan renovaskular dan
gangguan tiroid. Obat-obat yang dapat meningkatkan hipertensi terbagi
menjadi empat sumber yaitu obat yang diresepkan, obat alami, zat yang
terkandung dalam makanan dan bahan kimia. Obat yang diresepkan antara
lain kortikosteroid, estrogen, AINS, fenilpropanolamin dan analog, siklosporin
dan takrolimus, eritropoietin, sibutramin, dan antidepresan. Obat alami terdiri
dari Ma Huang (herbal ecstasy) dan analog fenilpropanolamin lain, nikotin,
steroid anabolik, narkotika, metilfenidat, fensiklidin, ketamin, ergotamin dan
produk alami yang mengandung ergot. Zat yang terkandung dalam makanan
seperti natrium, etanol, likorin, dan tiramin. Bahan kimia yang dapat
meningkatkan hipertensi adalah besi, merkuri, talium, dan logam berat
lainnya (5).
Pseudohipertensi adalah gangguan tekanan darah pada pasien usia
lanjut. Pembuluh darah pasien menjadi kaku dan tebal karena kalsifikasi dan
elastisitas pembuluh darah menurun. Tekanan yang kuat dibutuhkan untuk
arteri tersebut dan sehingga tubuh meresponnya dengan cara menaikkan
tekanan darah sistol (5).
15
III.3.4. Patofisiologi
Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor yakni curah jantung (cardiac
output) dan resistensi perifer. Curah jantung adalah jumlah darah yang
dipompa jantung permenit. Dua faktor yang menentukan curah jantung yaitu
denyut jantung permenit (heart rate) dan volume sekuncup (stroke volume).
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa perdenyut jantung.
Resistensi perifer adalah gaya gesekan arteriola terhadap aliran darah.
Faktor utama yang meningkatkan resistensi perifer adalah vasokontriksi.
Vasokontriksi dan peningkatan tekanan darah diproduksi oleh stimulasi
sistem saraf simpatis (norepinefrin dan epinefrin), angiotensin II, dan faktor
vasoaktif lainnya. Obat yang menyebabkan vasodilatasi dapat menurunkan
resistensi perifer (23).
Stimulasi sistem saraf simpatis dapat meningkatkan denyut jantung,
volume sekuncup, dan resistensi perifer. Denyut jantung, volume sekuncup,
dan resistensi perifer yang meningkat dapat menyebabkan tekanan darah
naik. Sehingga sistem saraf simpatis dapat meningkatkan tekanan darah.
Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat pada beberapa kasus hipertensi
esensial (23).
Beberapa faktor lain yang mengendalikan dan berpotensi meningkatkan
tekanan darah adalah RAAs, kelainan pada sistem perifer, gangguan pada
elektrolit tubuh seperti natrium dan kalium, dan hormon natriuretik (23).
16
III.3.5. Penatalaksanaan
Pemilihan farmakoterapi yang tepat dapat menurunkan resiko
komplikasi hipertensi. Obat-obat yang dapat digunakan untuk mengobati
hipertensi adalah ACEI, ARB, CCB, diuretik, renin inhibitor, α1-Blocker, Agen
vasodilator langsung, agonis α2, dan β-Blocker.
III.3.5.1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Mekanisme kerja ACEI adalah menghambat Angiotensin Converting
Enzyme (ACE) secara langsung. Efeknya menurunkan angiotensin II yang
memediasi vasokontriksi dan sekresi aldosteron sehingga menurunkan
tekanan darah. Efek sampingya adalah hiperkalemia sehingga kadar kalium
darah harus dimonitor secara rutin. Pasien dengan gagal ginjal kronik atau
penurunan volume urin lebih rentan mangalami hiperkalemia. Pasien yang
mengalami gagal ginjal kronik yang terkena hiperkalemia rentan mengalami
disfungsi ginjal lebih lanjut. ACEI menginaktivasi penguraian bradikinin dan
meningkatkan vasodilatasi melalui peningkatan nitrit oksida. Akumulasi
bradikinin menyebabkan batuk pada pasien. Contoh obatnya captopril
(Capoten®), benazepril (Lotensin®), enalapril (Vasotec®), dan lisinopril
(Prinivil®) (6).
Lisinopril, dapat diberikan tunggal atau kombinasi dengan antihipertensi
lain. Obat ini diindikasikan pada penyakit hipertensi, gagal jantung, infark
miokard akut, dan disfungsi ventrikular setelah infark miokard. Kontraindikasi
17
pada penderita hipersensitivitas dengan lisinopril, angiodema yang
berhubungan dengan pengobatan ACEI, pasien dengan angiodema herediter
dan idiopatik. Selain itu juga kontraindikasi bila digunakan bersamaan
dengan aliskiren pada pasien diabetes mellitus. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam memberikan lisinopril adalah reaksi anafilaksis yang
dapat terjadi tiba-tiba. Obat yang bekerja pada RAAs dapat menyebabkan
kematian pada janin. Sehingga pemberiannya pada wanita hamil harus
dihentikan. Hiperkalemia dapat terjadi akibat penggunaan ACEI jika terdapat
faktor resiko seperti disfungsi ginjal, diabetes mellitus, penggunaan
bersamaan dengan diuretik hemat kalium, dan suplemen kalium. Lisinopril
dapat memperburuk fungsi ginjal dan meningkatkan kreatinin serum,
khususnya pada pasien yang mengalami penurunan aliran darah ke ginjal
(stenosis arteri renal, gagal jantung). Jika obat ini diberikan pada kasus tadi
maka dapat terjadi gagal ginjal akut. Kreatinin serum yang meningkat secara
perlahan dapat menjadi ciri awal gagal ginjal akut dan hanya
dipertimbangkan pada pasien yang memiliki kerusakan ginjal. Efek samping
pada penggunaan lisinopril adalah hipotensi, hiperkalemia, sakit kepala,
pusing, mual, diare, muntah, kelelahan, penurunan hemoglobin, nyeri dada,
infeksi saluran pernapasan atas, batuk, gagal ginjal akut, aritmia, asma,
takikardi atrial, angiodema, infark miokard, leukopenia, psoriasis. Dosis
hipertensi untuk orang dewasa menurut JNC-7 adalah 10-40 mg/hari. Jika
tidak disertai diuretik maka dosis awal 10 mg/hari. Jika disertai diuretik maka
18
dosis awal 5 mg/hari. Efek antihipertensi dapat berkurang karena interval
dosis khususnya pada dosis 10 mg/hari. Dosis dapat ditingkatkan untuk
menambah durasi antihipertensi. Dosis hingga 80 mg/hari dapat digunakan
walaupun tidak memperlihatkan efek yang lebih baik. Pasien yang menerima
diuretik harus diberhentikan 2-3 hari lebih dahulu untuk memulai pemberian
lisinopril jika dimungkinkan. Jika tidak dapat dihentikan terlebih dulu pada
terapi maka dimulai dengan dosis 5 mg melalui pengawasan ketat hingga
tekanan darah normal. Usia lanjut dosis awal 2,5-5 mg/hari dan dosis titrasi
untuk menimbulkan efek. Lisinopril dapat meningkatkan kadar/toksisitas obat-
obat tertentu. Obat-obat tersebut adalah amifostin, azathioprin, siklosporin,
ferri glukonat, AINS, dan rituksimab. Obat yang dapat meningkatkan
kadar/toksisitas lisinopril adalah aliskiren, ARB, diazoksid, penghambat DPP
IV, eplerenon, everolimus, loop diuretik, penghambat MAO, pentoksifilin,
diuretik hemat kalium, analog prostasiklin, sirolimus, diuretik tiazid, titanzidin,
tolvaptan, dan trimethoprim. Obat yang dapat menurunkan efek lisinopril
adalah antasida, aprotinin, ikatiban, lantanum, metilfenidat, AINS, salisilat,
dan yohimbin. Profil farmakokinetik lisinopril adalah t1/2 11-12 jam, onset 1
jam, durasi 24 jam dan ikatan protein plasma sebesar 25%. Contoh obat
yang mengandung lisinopril adalah Tensinop®, Interpril®, Prinivil®, dan
Noperten® (24).
19
III.3.5.2. Angiotensin II Receptor Blocker (ARB)
ARB bekerja secara langsung pada sistem RAAs yaitu memblok
reseptor angiotensin II sehingga mencegah pelepasan aldosteron. Aldosteron
adalah salah satu agen vasokontriktor kuat. ARB tidak mempengaruhi
bradikinin sehingga tidak menimbulkan batuk saat dikonsumsi. Efek samping
ARB mirip dengan ACEI karena menghambat pelepasan aldosteron yaitu
hiperkalemia. Pasien yang mengalami gagal ginjal kronik mudah mengalami
hiperkalemia dan dapat mengalami disfungsi ginjal (6).
Irbesartan, dapat diberikan tunggal atau kombinasi dengan
antihipertensi lain. Obat ini diindikasikan pada penyakit hipertensi dan
diabetes nefropati pada pasien diabetes tipe II (noninsulin dependent,
NIDDM) yang juga mengalami hipertensi. Irbesartan kontraindikasi pada
pasien hipersensitivitas dengan irbesartan dan pasien yang mengonsumsi
aliskiren pada pasien diabetes mellitus. Hal-hal yang harus diperhatikan
adalah dapat menyebabkan hiperkalemia, memperburuk kerja ginjal dan/atau
meningkatkan kreatinin serum khususnya pada pasien stenosis aorta dan
gagal jantung. Jika digunakan bersamaan dengan ACEI atau renin inhibitor
maka dapat meningkatkan resiko hipotensi, hiperkalemia, dan disfungsi renal.
Pemakaian bersamaan dengan aliskiren pada pasien dengan GFR <60
mL/menit kontraindikasi dengan pasien diabetes mellitus. Efek samping yang
dapat terjadi adalah hiperkalemia, kelelahan, pusing, diare, dispepsia, infeksi
saluran pernapasan atas, batuk, anemia, aritmia, dispnea, infark miokard,
20
gagal jantung, gagal ginjal atau memperburuk fungsi ginjal, dan
trombositopenia. Dosis hipertensi untuk orang hipertensi dewasa adalah 150
mg sekali sehari peroral. Dosis titrasi hingga 300 mg perhari. Pasien yang
mengalami penahanan volume urin harus dimulai dengan dosis 75 mg.
Irbesartan dapat meningkatkan kadar/toksisitas obat-obat lain seperti ACEI,
amifostin, aripiprazol, karvedilol, siklosporin, lomitapid, AINS, pimozid, diuretik
hemat kalium, dan rituksimab. Obat yang dapat meningkatkan
kadar/toksisitas irbesartan adalah alfusozin, aliskiren, diazoksid, eplerenon,
flukonazol, penghambat MAO, pentoksifilin, analog prostasiklin, tolvaptan,
dan trimethoprim. Obat yang dapat menurunkan efek irbesartan adalah
metilfenidat, AINS, derivat rivamisin, dan yohimbin. Profil farmakokinetik
irbesartan adalah t1/2 11-15 jam, onset 1-2 jam, durasi 24 jam, dan ikatan
dengan plasma sebesar 90%. Contoh obat yang mengandung irbesartan
adalah Aprovel®, Fritens®, dan Iretensa® (24).
Valsartan, indikasi obat ini pada hipertensi, menurunkan gangguan
kardiovaskular pada pasien yang memiliki disfungsi ventrikel kiri, dan
mengobati gagal jantung (NYHA kelas II-IV). Kontraindikasi pada pasien
hipersensitif dengan valsartan dan pasien yang menggunakan aliskiren pada
pengobatan antidiabetik. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah obat bekerja
pada RAAs sehingga dapat menyebabkan kematian fetus (janin). Jangan
melanjutkan pengobatan pada ibu hamil karena dapat menyebabkan
hiperkalemia. Selama terapi awal dapat terjadi hipotensi utamanya pada
21
pasien gagal jantung dan infark miokard. Harus hati-hati jika dikombinasikan
dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium pada penderita
gangguan fungsi hati karena dapat mengeluarkan banyak air dan natrium.
Pasien usia lanjut harus melakukan pemeriksaan jumlah volume cairan tubuh
dan kadar natrium untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan hiponatremia.
Jika terjadi stenosis arteri renal bilateral maka pemberian valsartan harus
dihindari karena beresiko tinggi memperburuk fungsi renal. Valsartan dapat
memperburuk kerja ginjal dan/atau meningkatkan serum kreatinin utamanya
pada pasien yang mengalami penurunan aliran darah ke ginjal (stenosis
arteri renal, gagal jantung). Jika dikombinasi dengan ACEI atau renin inhibitor
dapat meningkatkan resiko hipotensi, hiperkalemia, dan disfungsi renal. Efek
samping yang dapat terjadi adalah pusing, BUN meningkat >50%, hipotensi,
kelelahan, vertigo, sakit kepala, kalium serum meningkat >20%, hiperkalemia,
diare, mual, kreatinin meningkat 2 kali lipat dan kreatinin meningkat >50%
pada ginjal, disfungsi renal, batuk, ansietas, palpitasi, gagal ginjal, dan
muntah. Dosis untuk sediaan oral adalah dewasa pada penderita hipertensi
adalah dosis awal 80 mg atau 160 mg sekali sehari (pada pasien yang tidak
mengalami penurunan volume urin). Dialisis tidak mengeliminasi kadar
valsartan secara signifikan oleh karena itu tidak membutuhkan obat
tambahan lain dalam meningkatkan efek valsartan. Valsartan dapat
meningkatkan kadar/toksisitas obat lain seperti ACEI, siklosporin,
hidroklortiazid, AINS, dan diuretik hemat kalium. Obat yang dapat
22
meningkatkan kadar/toksisitas valsartan dan alfuzosin, aliskiren, diazoksid,
eplerenon, penghambat MAO, hidroklortiazid, prostasiklin analog, tolvaptan,
dan trimethoprim. Obat yang dapat menurunkan efek valsartan adalah
metilfenidat, AINS, dan yohimbin. Profil farmakokinetik valsartan adalah t1/2
sekitar 6 jam, onset sekitar 2 jam, durasi 24 jam dan ikatan dengan protein
plasma sebesar 95%. Contoh obat yang mengandung valsartan adalah
Valsartan-ni®, Diovan®, dan Exforge® (24).
III.3.5.3. Calcium Channel Blocker (CCB)
CCB menurunkan kalsium masuk ke dalam otot jantung dan pembuluh
darah sehingga memvasodilatasi pembuluh arteri. Hal tersebut menurunkan
resistensi perifer dan tekanan darah. Golongan obat CCB adalah
nondihidropiridin dan dihidropiridin. Nondihidropiridin terbagi menjadi dua
golongan yaitu benzodiazepin dan difenilalkilamin. Mekanisme obat
nondihidropiridin adalah memblok nodus atrioventrikular (AV) jantung secara
langsung sehingga menurunkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung
sedangkan golongan obat dihidropiridin tidak memiliki efek langsung pada
jantung. Contoh obat dari golongan benzodiazepin adalah diltiazem
(Cardizem®) dan obat dari golongan verapamil (Calan®). Contoh obat
golongan dihidropiridin adalah amlodipin (Norvasc®), klevidipin (Cleviprex®),
nifedipin (Procardia®), nisoldipin (Sular®), dan mibefradil (Posicor®) (6,23).
23
Amlodipin, indikasi obat ini pada hipertensi dan angina stabil.
Kontraindikasi pada pasien hipersensitivitas dengan amlodipin. Hal-hal yang
harus diperhatikan adalah dapat meningkatkan angina dan/atau infark
miokard. Hati-hati diberikan pada pasien stenosis aorta dan kerusakan hati.
Efek yang biasa terjadi adalah edema perifer yang terjadi dalam 2-3 minggu
sejak terapi. Dosis titrasi dapat diberikan setelah 7-14 hari sejak dosis
diberikan bila dosis sebelumnya tidak memberikan efek yang signifikan. Dosis
inisiasi diberikan pada pasien usia lanjut. Efek samping yang dapat terjadi
adalah edema perifer, gagal jantung, kelelahan, pusing, mual, nyeri perut,
keram otot, dan dispnea. Dosis untuk dewasa (oral) pada hipertensi adalah
dosis awal 5 mg sekali sehari. Dosis maksimum 10 mg sekali sehari. Dosis
titrasi dinaikkan setelah 7-14 hari. Rentan dosis yang disarankan oleh JNC-7
adalah 2,5-10 mg sekali sehari. Dosis untuk angina adalah 5-10 mg. Dosis
untuk pasien usia lanjut lanjut harus dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi
untuk memperoleh efek karena amlodipin memungkinkan resiko terjadinya
kerusakan hati, ginjal, dan jantung. Jika usia lanjut yang menunjukkan klirens
amlodipin yang rendah maka dosis untuk mengobati hipertensi adalah 2,5 mg
sekali sehari, angina sebanyak 5 mg sekali sehari. Hemodialisis dan dialisis
peritonial tidak meningkatkan eliminasi sehingga dosis tambahan tidak
dibutuhkan. Amlodipin dapat meningkatkan kadar/toksisitas obat amifostin,
antihipertensi (aripiprazol, β-blocker, CCB golongan nondihidropiridin),
fosfenitoin, agen hipotensi, lomitopid, nondepolarisasi, fenitoin, simvastatin,
24
dan takrolimus. Obat yang dapat meningkatkan kadar/toksisitas amlodipin
adalah α1-blocker, antifungi, CCB golongan nondihidropiridin, siklosporin, dan
prostasiklin analog. Amlodipin dapat menurunkan efek obat klopidogrel dan
kuinidin. Obat yang dapat menurunkan efek amlodipin adalah barbiturat,
garam kalsium, karbamazepin, dan yohimbin. Profil farmakokinetik amlodipin
adalah t1/2 30-50 jam, durasi 24 jam, dan ikatan protein plasma sebesar 93-
98%. Contoh obat yang mengandung amlodipin adalah Actapin®, Calcivas®,
Exforge®, dan Norvask® (24).
Nifedipin, indikasi obat ini pada angina vasospastik atau angina stabil
kronik, dan hipertensi. Kontraindikasi pada pasien hipersensitif dengan
nifedipin, infark miokard akut, dan bersamaan dengan CYP3A4 inducer
seperti rifampin. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah ciri-ciri hipotensi
dapat terjadi dengan/tanpa gejala. Pemakaian nifedipin lepas lambat
(sublingual atau oral) pada status emergensi tidak aman dan tidak efektif.
Efek samping seperti kematian, iskemik, strok telah dilaporkan. Nifedipin
sediaan immediate release tidak dapat digunakan untuk menurunkan
hipertensi akut. Efek samping edema perifer dapat terjadi setelah pemakaian
2-3 minggu. Klirens nifedipin menurun pada pasien sirosis hati sehingga
dapat meningkatkan kadar sistemik nifedipin. Jika dipakai bersama dengan
CYP3A4 inducer (rifampin, rifabutin, fenobarbital, fenitoin, karbamazepin)
dapat menurunkan bioavailabitilas dan efikasi nifedipin. Efek samping yang
dapat terjadi adalah kelelahan, edema perifer, pusing, sakit kepala, mual,
25
palpitasi, dermatitis, dispnea, ginekomastia, anemia, nokturia, migran, dan
perubahan nilai elektrokardiogram (EKG). Penambahan dosis harus pada
interval 7-14 hari bagi orang dewasa untuk menilai dosis baru memadai atau
tidak. Jika diubah dari immediate release menjadi sustained release harus
menggunakan dosis yang sama. Dosis untuk hipertensi adalah dosis awal
30-60 mg sehari sekali (extended release). Dosis maksimum 90-120 mg/hari.
Hemodialisis tidak mempengaruhi eliminasi nifedipin sehingga tidak perlu
obat tambahan. Nifedipin dapat meningkatkan kadar/toksisitas obat-obat
tertentu seperti amifostin, aripiprazol, β-blocker, CCB nondihidropiridin,
digoksin, fosfenitoin, lomitapid, pemblok neuromuskular, nitroprusida, fenitoin,
pimozid, kuinidin, takrolimus, vinkristin, dan vimblastin). Nifedipin dapat
menurunkan efek klopidogrel dan kuinidin). Obat yang dapat menurunkan
efek nifedipin adalah barbiturat, garam kalsium, karbamazepin, melantonin,
metilfenidat, nafsilin, penginterferon α-2b, turunan rifamisin, taklizumab dan
yohimbin. Profil farmakokinetik nifedipin adalah t1/2 2-5 jam (7 jam pada
pasien sirosis hari), onset sekitar 20 menit, durasi 6-10 jam, dan ikatan
protein plasma sebesar 90-96%. Contoh obat yang mengandung nifedipin
adalah Adalat®, Adalat Oros®, Carvas®, dan Calcianta® (24).
III.3.5.4. Obat Diuretik
Obat ini digunakan selama beberapa tahun sebagai restriksi garam
untuk menurunkan tekanan darah. Mekanisme diuretik adalah meningkatkan
26
ekskresi garam melalui ginjal. Diuretik digunakan untuk hipertensi ringan.
Diuretik dapat dikombinasi dengan antihipertensi lain pada hipertensi
moderat dan parah. Efek sampingnya adalah hipokalemia, kehilangan air dan
natrium, lemah otot dan mual. Obat antihipertensi ini terbagi atas tiga yaitu
diuretik tiazid, loop diuretik (asam organik), dan diuretik hemat kalium.
Diuretik kontraindikasi pada penyakit gagal ginjal, hiperurisemia dan
dislipidemia. Contoh obatnya furosemid dan spironolakton (6,23).
Furosemid, dapat diberikan dalam bentuk tunggal atau kombinasi
dengan obat lain. Indikasi obat ini pada edema yang berasosiasi dengan
gagal jantung dan penyakit hati atau ginjal, edema pulmonal akut, hipertensi.
Kontraindikasi pada pasien hipersenstivitas dengan furosemid, dan anuria.
Khusus obat Lasix® dan injeksi furosemid jika diberikan pada pasien dengan
nilai GFR <5 mL/menit atau GFR >20 mL/menit kontraindikasi dengan sirosis
hepatik, gagal ginjal disertai hepatic coma dan precome, gagal ginjal karena
nefrotoksik dan hepatotoksik. Monitor status cairan tubuh dan fungsi ginjal
harus dilakukan secara berkala untuk mencegah oliguria, azotemia, dan
peningkatan BUN dan kreatinin secara reversible. Obat ini beresiko
meningkatkan nefropati. Pemberian rute IV cepat dapat mengakibatkan
kerusakan ginjal, meningkatnya kadar dalam tubuh, dan hipoproteinemia.
Efek samping pada gastrointestinal yakni anorexia, konstipasi, kram, diare,
mual, dititrasi mulut dan lambung, dan muntah. Dosis untuk edema/gagal
jantung rute oral adalah dosis awal 20-80 mg pada orang dewasa. Jika tidak
27
memberikan respon maka dapat diulang dengan dosis yang sama atau
ditingkatkan 20-40 mg/dosis pada interval 6-8 jam. Jika tidak berefek dalam 1
jam maka dapat ditingkatkan menjadi 80 mg. Dosis untuk hipertensi rute oral
adalah 20-80 mg/hari dalam dosis terbagi. Dosis untuk pasien usia lanjut
adalah dosis awal 20 mg/hari. Dosis dapat ditingkatkan perlahan untuk
memberikan efek. Dosis untuk pasien yang mengalami kerusakan ginjal akut
adalah dosis tinggi hingga 1-3 g/hari melalui rute oral atau IV. Furosemid
dapat meningkatkan kadar/toksisitas obat ACEI, allopurinol dan topiramat.
Furosemid dapat menurunkan efek obat hipoglikemik dan pemblok
neuromuskular). Obat yang dapat menurunkan efek furosemid adalah
aliskiren, fosfenitoin, metotreksat, metilfenidal, AINS, salisilat, sukralfat, dan
yohimbin. Profil farmakokinetik furosemid adalah t1/2 0-2 jam (9 jam pada
pasien ESRD), onset 30-60 menit (oral), 30 menit (IM) dan 5 menit (IV),
durasi 6-8 jam (rute oral dan sublingual) dan 2 jam (IV), ikatan protein plasma
sebesar 91-99%. Contoh obat yang mengandung furosemid adalah Lasix®,
Afrosic®, Silax®, dan Leveric® (24).
Spironolakton, indikasi obat ini pada manajemen edema,
mengekskresikan kelebihan aldosteron, hipertensi, hiperaldosteronisme,
hipokalemia, sirosis hati, dan sindrom nefrotik. Kontraindikasi pada pasien
anuria, gangguan renal akut, gangguan fungsi eksresi ginjal, dan
hiperkalemia. Dosis tinggi dapat menyebabkan diuresis dan hilangnya cairan
elektrolit. Efek samping yang dapat terjadi adalah vaskulitis, sakit kepala,
28
demam, mengantuk, ataksia (gangguan keseimbangan), kebingungan, kram
perut, diare, gastritis, hiperkalemia, mual, dan muntah. Efek pada ginjal
adalah BUN meningkat, disfungsi ginjal, dan gagal ginjal. Dosis dewasa
untuk pasien edema adalah 25-200 mg/hari pada 1-2 dosis terbagi. Dosis
maksimum 50 mg sehari. Jika 25 mg sekali sehari tidak dapat dipertahankan
maka dapat diturunkan menjadi 25 mg setiap hari lain yang memungkinkan
dosis diturunkan. Jika kalium >5 mEq/L atau kreatinin serum >4 mg/dL maka
hentikan terapi. Usia lanjut dosis awal 12,5 -50 mg/hari dalam 1-2 dosis
terbagi, ditingkatkan 25-50 mg setiap 5 hari jika dibutuhkan untuk
memperbaiki kerusakan ginjal. Obat yang dapat meningkatkan
kadar/toksisitas spironolakton adalah alfusozin, ARB, AINS, dan pentoksifilin.
Spironolakton dapat menurunkan efek obat Profil farmakokinetik
spironolakton adalah t1/2 78-84 menit, durasi 2-3 hari, ikatan protein plasma
sebesar 91-98%. Contoh obat yang mengandung spironolakton adalah
Aldactone®, Aldazide®, Spirolacton®, dan Letonal® (24).
III.3.5.5. Renin Inhibitor
Mekanisme obat ini adalah menghambat aktifitas enzim renin dan
menurunkan perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II. Contohnya
aliskiren (Tekturna®) (6,23).
29
III.3.5.6. Penghambat Adrenoreseptor Alfa
Obat ini bekerja pada reseptor α1 yakni menghambat pengambilan
katekolamin di otot polos sehingga dapat menyebabkan vasodilatasi. Contoh
doxasozin (Cardura®), prazosin (Minipress®), dan terazosin (Hytrin®) (6,23).
III.3.5.7. Agen Vasodilator Langsung
Mekanisme obat ini terbagi menjadi dua yakni dilatasi arteri dan vena.
Contoh obat yang mendilatasi arteri adalah hidralazin (Apresoline®) dan
minoksidil (Loniten®). Mekanisme dilatasi arteri berhubungan dengan nitrit
oksida. Nitrit oksida merupakan substansi yang memvasodilatasi langsung
pembuluh darah. Obat yang memvsodilatasi vena adalah golongan nitrat
(nitrogliserin dan isosorbit dinitrat (ISDN). Obat ini khusus memvasodilatasi
pembuluh darah vena (6).
III.3.5.8. Adrenolitik Sentral
Obat ini bekerja pada reseptor α2 di pusat vasomotor medula oblongata
dan otak. Mekanisme kerjanya menghambat saraf dan menurunkan efek
simpatis di sistem saraf pusat. Selain itu juga menurunkan curah jantung dan
resistensi perifer. Contohnya klonidin (Catapres®) dan metildopa (Aldomet®),
guanfasin (Tenex®) dan guanabenz (Wytensin®) (6,23).
Klonidin, dapat diberikan dalam bentuk monoterapi atau terapi
tambahan. Indikasi obat ini pada manajemen hipertensi dan beberapa nyeri
karena kanker. Kontraindikasi pada pasien hipersensitif dengan klonidin
30
hidroklorida. Kontrandikasi jika diberi bersamaan dengan terapi antikoagulan
pada pemberian di titik injeksi epidural. Hal-hal yang harus diperhatikan
adalah dapat menimbulkan depresi sistem saraf pusat sehingga dapat
mengakibatkan gangguan mental. Harus digunakan hati-hati pada penderita
insufisiensi koroner, infark miokard, dan gangguan ginjal kronik. Harus
digunakan hati-hati pada pasien yang menerima agen penurun fungsi
konduksi nodus sinoatrial dan atrioventrikular (digoksin, diltiazem, metoprolol,
dan verapamil). Klonidin dapat menyebabkan mata kering dan xerostomia.
Efek samping yang dapat terjadi adalah bradikardi, palpitasi, aritmia,
mengantuk, sakit kepala, mual, pusing, ansietas, sedasi, hiperglikemia,
penurunan libido, xerostomia, konstipasi, diare, nyeri perut, muntah, nokturia,
hepatitis, asma, nasofaringitis, dan hipotensi. Dosis untuk pasien hipertensi
dewasa rute oral adalah dosis awal 0,1 mg 2x sehari (maksimum 2,4
mg/hari). Dosis yang sering digunakan menurut JNC-7) adalah 0,12-0,8
mg/hari dalam dua dosis terbagi. Dosis untuk pasien usia lanjut adalah dosis
awal 0,1 mg sekali sehari sebelum tidur. Dosis dapat ditingkatkan bila
dibutuhkan. Dosis tambahan disarankan apabila ada kerusakan ginjal namun
tidak ada dosis spesifik. Efek yang dapat terjadi pada pasien yang mengalami
gagal ginjal adalah bradikardi, sedasi dan hipotensi. Hemodialisis tidak
mempengaruhi eliminasi klonidin sehingga tidak dibutuhkan obat tambahan.
Obat antihipertensi sebaiknya diberikan pada malam hari untuk mencegah
peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba malam hari dan meminimalkan
31
hipotensi intradialitik yang biasanya terjadi pagi hari sebelum proses dialisis.
Klonidin dapat meningkatkan kadar/toksisitas obat amifostin, β-blocker,
buprenorfin, CCB (nondihidropiridin), glikosida jantung, antidepresan,
metotrimeprazin, metirosin, paraldehid, pramipeksole, rituksimab, rotigotin,
zolpidem, dan selektif serotonin reuptake). Obat-obat yang dapat
meningkatkan kadar/toksisitas klonidin adalah alfusozin, β-blocker, diazoksid,
droperidol, magnesium sulfat, penghambat MAO, metotrimeprazin,
metilfenidat, pentoksifilin, perampanel, dan prostasiklin analog. Obat-obat
yang menurunkan efek klonidin adalah antidepresan/antagonis α2, serotonin/
norepinefrin reuptake inhibitor, antidepresan trisiklik, dan yohimbin. Profil
farmakokinetik klonidin adalah t1/2 12-16 jam (>41 jam pada pasien gagal
ginjal), onset 0,5-1 jam (oral), durasi 6-10 jam, ikatan protein plasma sebesar
20-40% (24).
III.3.5.9. Penghambat Adrenoreseptor Beta
Obat ini berefek langsung pada reseptor β yakni menurunkan
kontraktilitas jantung, denyut jantung, stimulasi adrenergik, menghambat
pelepasan norepinefrin di perifer dan menurunkan pelepasan renin di ginjal.
Efek sampingnya dapat mengubah kadar lipid dan meningkatkan kadar
glukosa darah obat ini sebaiknya dikombinasi dengan obat antihipertensi lain
seperti ACEI, ARB, CCB atau diuretik tiazid untuk memperoleh tujuan
tekanan darah (5).
32
Berikut ini adalah klasifikasi dan manajemen terapi sesuai tekanan
darah orang dewasa menurut JNC-7 (25).
[Sumber: The National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee
(NHBPEP CC). 2003, telah diolah kembali]
Gambar 2.4. Klasifikasi dan manajemen tekanan darah untuk orang dewasa
Target terapi hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik adalah
menurunkan tekanan darah dan mencegah bertambahnya kerusakan ginjal.
Tekanan darah pasien harus <130/80 mmHg. Selain itu nilai GFR <60
mL/min, kreatinin serum >1,3 mg/dL pada wanita dan >1,5 mg/dL pada laki-
laki, albuminuria >300 mg/hari atau ≥200 mg/g kreatinin (5,25). Pemberian
obat antihipertensi dapat dipengaruhi oleh penyakit yang diderita oleh pasien.
33
Berikut ini adalah tabel pemberian obat antihipertensi sesuai penyakit yang
diderita pasien menurut JNC-7 (25).
[Sumber: The National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee (NHBPEP CC). 2003, telah diolah kembali]
Gambar 2.5. Panduan dan dasar uji klinis pemberian obat antihipertensi pada pasien yang memiliki riwayat penyakit lain
III.3.6. Implementasi Farmakoterapi Hipertensi
III.3.6.1. Monoterapi
Pengobatan hipertensi yang optimal yaitu tekanan darah mencapai
tujuan terapi. Obat antihipertensi pilihan pertama (ACEI, ARB, CCB, atau
diuretik tiazid) bahkan dengan β-blocker ketika memakai dosis standar dapat
34
menurunkan rata-rata tekanan darah sistol/diastol sebesar 10/5 mmHg.
Pendekatan monoterapi terbagi menjadi dua secara umum yaitu pendekatan
tunggal dan bertahap. Pendekatan tunggal dimulai dengan meningkatkan
dosis awal hingga tekanan darah terkontrol. Jika tujuan tekanan darah belum
tercapai maka dapat menambahkan obat dari golongan kedua. Hal ini dapat
dilanjutkan dengan kombinasi tiga atau bahkan empat obat jika dibutuhkan.
Pendekatan bertahap dimulai dengan meningkatkan dosis obat tunggal dan
dititrasi hinga dosis maksimal jika dibutuhkan. Jika tujuan tekanan darah tidak
tercapai maka dibutuhkan obat pengganti. Kombinasi terapi obat dapat
menjadi cadangan bagi pasien yang tidak mencapai tujuan tekanan darah
setelah pemberian obat golongan kedua. Pendekatan bertahap lebih tepat
digunakan ketika efek obat pertama sedikit menurunkan tekanan darah (6).
III.3.6.2. Terapi kombinasi
Terapi kombinasi dimulai dengan dua obat sebagai terapi awal.
Pendekatan ini diberikan pada pasien yang memiliki tekanan darah jauh dari
tujuan terapi tekanan darah (pasien umumnya berada pada hipertensi
stadium 2) atau tujuan tekanan darah harus <130/80 mmHG. Pasien
hipertensi rata-rata akan memperoleh dua atau lebih obat antihipertensi
hingga mencapai tujuan tekanan darah yang diinginkan. Hal tersebut berbeda
dengan monoterapi dosis tinggi. Kombinasi dua obat dengan dosis rendah
merupakan terapi yang lebih baik menurunkan tekanan darah dan juga
35
memiliki efek samping yang minim. Percobaan klinis secara prospektif
memperlihatkan bahwa tingkat tercapainya tujuan tekanan darah lebih dari
70% ketika terapi awal yang diberikan merupakan kombinasi dua obat pada
pasien hipertensi stadium 2. Selain itu pendekatan ini cepat menghasilkan
tekanan darah yang diinginkan, lebih aman, dan terkadang dikombinasi
dengan terapi pendekatan bertahap. Khusus untuk pasien usia lanjut (≥80
tahun) harus memiliki satu obat antihipertensi untuk meminimalkan resiko
hipotensi ortostatik (6).
III.3.6.3. Terapi Kombinasi yang Umum dipilih
Terapi kombinasi antihipertensi harus mempertimbangkan indikasi
penyakit lain dalam memilih obat yang akan dikombinasi. Jika terdapat
indikasi penyakit lain maka praktik klinis sebaiknya menggunakan kombinasi
untuk menurunkan tekanan darah. American Society of Hipertension
merekomendasikan kombinasi ACEI atau ARB dengan CCB atau kombinasi
ACEI atau ARB dengan diuretik karena efektivitasnya dalam menurunkan
tekanan darah. Banyak pasien yang memiliki tekanan darah akhir <140/90
mmHg bahkan hingga <130/80 mmHg saat diberikan kombinasi obat yang
tepat (6).
II.4. Drug Related Problem (DRP)
DRP mendeskripsikan secara jelas tentang potensi efek negatif dari
penggunaan obat. Hal ini dapat terjadi karena kesalahan peresepan,
36
pemantauan obat yang tepat dan cara pasien menggunakan obat. Istilah
terkait DRP sangat beragam yakni drug therapy problem, medicine related
problem, medication related problem, therapy related problem, dan drug
management problem. Praktisi pelayanan farmasi melakukan terapi dengan
cara mendeteksi, mengobati, dan mencegah masalah (12,26).
II.4.2 Komponen Primer DRP
Jika seorang praktisi pelayanan farmasi ingin mengidentifikasi,
menyelesaikan, dan mencegah DRP maka ia harus mengerti pasien sesuai
dengan DRPnya masing-masing. Tiga komponen primer pada DRP adalah:
1. Hal yang tidak diinginkan atau resiko yang dialami pasien. Masalah
tersebut dapat berasal dari keluhan medis, tanda, gejala, diagnosis,
penyakit, gangguan, cacat, dan nilai laboratorium abnormal atau
sindrom. Peristiwa ini dapat disebabkan oleh fisiologi, psikologi,
sosiokultural, dan kondisi ekonomi pasien.
2. Terapi obat dari segi produk dan regimen dosis.
3. Pengaruh yang tidak diinginkan antara obat dan pasien. Pengaruh
tersebut berupa efek dari terapi obat yakni pengaruh langsung atau efek
sebab akibat. Selain itu terapi yang memerlukan penambahan atau
modifikasi dalam mencegah penyakit (12).
II.4.3 Kategori DRP
Kategori DRP terdiri atas empat masalah yaitu indikasi, efektivitas,
keamanan dan kepatuhan yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini (12).
37
Tabel 2.1. Kategori, sub kategori dan penyebab DRP.
Kategori Sub Kategori Penyebab
Indikasi Terapi obat tidak perlu Tidak terdapat indikasi medis yang valid untuk
terapi obat pada waktu tertentu.
Penggunaan lebih dari satu obat pada pasien
yang hanya memerlukan obat tunggal.
Kondisi medis yang lebih tepat diobati dengan
terapi nonfarmakologi.
Terapi obat diberikan untuk mencegah dan
menghindari reaksi efek samping dari
pengobatan lain.
Penyalahgunaan obat, konsumsi alkohol dan
merokok merupakan penyebab utama
masalah.
Membutuhkan terapi obat
tambahan
Kondisi medis memerlukan inisiasi terapi obat.
Terapi pencegahan untuk menurunkan resiko
berkembangnya masalah penyakit baru.
Kondisi medis memerlukan farmakoterapi
tambahan untuk mencapai efek sinergis dan
efek tambahan.
Efektivitas Obat tidak efektif Obat tidak efektif sehingga obat berbeda
dibutuhkan.
Kondisi medis sulit disembuhkan oleh obat.
Dosis obat tidak tepat.
Obat tidak efektif pada indikasi.
Dosis terlalu rendah Dosis terlalu rendah untuk menimbulkan efek.
Frekuensi dosis jarang menimbulkan efek.
Interaksi obat memungkinkan kadar bahan
aktif menurun sehingga menurunkan efektivitas
obat pasien.
Durasi obat sangat pendek untuk menimbulkan
respon yang diinginkan
Keamanan Reaksi efek samping Obat menyebabkan reaksi yang tidak
diinginkan yang tidak ada hubungannya
dengan dosis.
Obat yang lebih aman diperlukan karena faktor
resiko obat tersebut.
Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak
diinginkan. Interaksi tidak berhubungan
dengan dosis.
Regimen dosis diberikan atau diubah sangat
cepat.
38
Obat menyebabkan reaksi alergi.
Obat kontraindikasi dengan pasien.
Dosis terlalu tinggi Dosis obat sangat tinggi sehingga
menyebabkan toksik.
Parameter klinik dan lab dibutuhkan untuk
memantau dosis yang tinggi
Frekuensi pemberian dosis pada pasien
sangat cepat.
Durasi obat lama.
Interaksi obat meningkatkan kadar zat aktif
sehingga timbul efek toksik.
Kepatuhan Ketidakpatuhan Pasien tidak mengerti regimen dosis dan cara
menggunakan obat.
Pasien tidak menggunakan obat yang
direkomendasikan atau diresepkan.
Pasien lebih memilih tidak mengambil obat
yang diinstruksikan.
Pasien lupa meminum obat.
Obat tidak tersedia atau obat tidak diberikan
pada pasien.
Pasien tidak dapat menelan obat yang
diberikan
[Sumber: Cipolle, Strand, & Morley. 2012, telah diolah kembali]
II.5. Rekam Medik
Rekam medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen
tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindakan
dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama dirawat
di rumah sakit, baik rawat jalan maupun rawati inap. Rekam medik yang
lengkap bila mencakup data identifikasi dan sosiologis, sejarah keluarga,
sejarah penyakit sekarang, pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus seperti
konsultasi, data laboratorium klinis, pemeriksaan sinar-X dan pemeriksaan
lain, diagnosis sementara, diagnosis kerja, penanganan medik atau bedah,
patologi mikroskopik dan nyata, kondisi pada waktu pembebasan, tindak