Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IDENTIFIK
DAUN TEH
KASI KAN
H (Camelli
M
DiajuMemp
UN
DUNGAN K
ia sinensis L
METODE K
ukan untuk Mperoleh Gela
Program
Inge
NIM
FAKUL
NIVERSITA
YO
i
KAFEIN DA
L.) DARI DA
KLT-DENSI
SKRIPSI
Memenuhi Saar Sarjana FStudi Ilmu F
Oleh:
Maria Wibo
M : 0681140
LTAS FAR
AS SANATA
GYAKART
2010
ALAM EK
AERAH BO
ITOMETRI
alah Satu Syarmasi (S.FaFarmasi
owo
59
MASI
A DHARMA
TA
STRAK ET
OYOLALI D
I
yarat arm)
A
TANOLIK
DENGAN
IDENTIFIK
DAUN TEH
KASI KAN
H (Camelli
M
DiajuMemp
UN
DUNGAN K
ia sinensis L
METODE K
ukan untuk Mperoleh Gela
Program
Inge
NIM
FAKUL
NIVERSITA
YO
ii
KAFEIN DA
L.) DARI DA
KLT-DENSI
SKRIPSI
Memenuhi Saar Sarjana FStudi Ilmu F
Oleh:
Maria Wibo
M : 0681140
LTAS FAR
AS SANATA
GYAKART
2010
ALAM EK
AERAH BO
ITOMETRI
alah Satu Syarmasi (S.FaFarmasi
owo
59
MASI
A DHARMA
TA
STRAK ET
OYOLALI D
I
yarat arm)
A
TANOLIK
DENGAN
iii
iv
v
In the day of trouble He will keep me
safe in His dwelling; He will hide me
in the shelter of His tabernacle and set
me high upon a rock
Psalm 27:5
Kupersembahkan karyaku ini kepada :
♥ Tuhan Yesus atas segala berkat dan perlindunganNya
♥ Papaku Alm. Soenarto dan mamaku Dewi Ratnawati sebagai
ungkapan terima kasihku atas kasih sayang yang telah kalian
berikan
♥ Adikku Edwin Yakub Winarto
♥ Koko Anton, yang selalu memberi dukungan dan mencintai
♥ Almamaterku
vi
vii
PRAKATA
Puji syukur dan terima kasih ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
bimbingan dan kasih-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Identifikasi Kandungan Kafein dalam
Ekstrak Etanolik Daun Teh (Camellia sinensis L.) dari Daerah Boyolali dengan
Metode KLT-Densitometri.
Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
kesarjanaan pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulisan skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya bimbingan,
pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. Selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta atas semua kesempatan yang diberikan untuk
menuntut ilmu dan melaksanakan penelitian.
2. Erna Tri Wulandari M.Si.,Apt. selaku dosen pembimbing, yang telah
memberikan bimbingan yang sangat berguna demi terselesaikannya skripsi
ini.
3. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku dosen penguji atas masukan dan saran
kepada penulis.
4. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen penguji atas masukan dan
saran kepada penulis.
viii
5. Semua Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
atas semua ilmu yang telah diberikan kepada penulis di bangku kuliah.
6. Teman-teman seperjuangan selama menyusun skripsi, Ayu, Dini, Grace.
7. Seluruh staff laboratorium Farmakognosi Fitokimia dan Laboratorium
Kimia Analisis Instrumen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta: Mas
Wagiran, Mas Sigit, Mas Sarwanto, Mas Parlan, Mas Kunto, dan Mas
Bimo yang telah menemani dan membantu selama penelitian.
8. Keluarga yang kucintai yang menjadi semangat dan tujuan perjuanganku.
9. Anthony, atas pinjaman laptopnya, cinta, rasa sayang, perhatian, dukungan
dan kesabarannya.
10. Teman–teman seperjuangan praktikum semester 1-3, Tony, Oktav, Arum,
Aroma.
11. Sahabat-sahabatku, Yuni, Winny, Yenni, Rico, Linda dan seluruh teman-
teman FKK Angkatan 2006.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu terwujudnya skripsi ini.
Penulis menyadari atas keterbatasan dan kekurangan penulis, maka ini
jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
segenap pembaca, semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya dalam hal penelitian di bidang Farmakognosi dan berguna
bagi pembaca.
Penulis
ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
x
INTISARI
Salah satu daerah perkebunan teh di Jawa Tengah berada di Kabupaten Boyolali, tepatnya di Kecamatan Selo, yang terletak pada ketinggian 1.300-1.500 dpl (di atas permukaan laut). Ketinggian tempat mempengaruhi kadar dan efek kandungan kimia suatu tanaman. Salah satu minuman teh yang saat ini banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah teh hijau, yang berfungsi sebagai stimulan karena adanya kandungan kafein di dalamnya. Kafein dalam daun teh yang berbentuk basa bebas dapat diekstraksi menggunakan pelarut etanol 70% karena kafein dalam bentuk basa dapat larut dalam pelarut organik. Berdasarkan gugus kromofor dalam struktur kafein yang bertanggung jawab atas penyerapan energi radiasi sinar UV, maka untuk identifikasi kuantitatif kandungan kafein digunakan metode KLT-densitometri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan kafein dalam ekstrak etanolik daun teh dari daerah Boyolali dengan metode KLT-densitometri.
Penelitian ini merupakan penelitian noneksperimental karena tidak ada perlakuan terhadap subyek uji. Langkah penelitian terdiri atas identifikasi secara kualitatif, yaitu pemeriksaan kandungan kafein secara KLT, dan dilanjutkan dengan identifikasi secara kuantitatif dengan KLT-densitometri. Prinsip metode KLT-densitometri adalah dengan mengukur kerapatan bercak senyawa uji yang dipisahkan dengan KLT dan dibandingkan dengan kerapatan bercak senyawa standar yang dielusi bersama-sama.
Hasil identifikasi kualitatif secara KLT menunjukkan ekstrak etanolik daun teh mengandung kafein dengan Rf 0,39 dibandingkan standar kafein dengan Rf 0,40. Pada identifikasi kuantitatif secara densitometri diperoleh rata-rata kadar kafein dalam ekstrak etanolik daun teh yang berasal dari daerah Boyolali sebesar (1,2439 ± 0,1039) % b/b . Kata kunci : ekstrak etanolik daun teh, kafein, KLT, densitometri
xi
ABSTRACT
One of tea garden in Jawa Tengah is located at Kabupaten Boyolali, the exact place is Kecamatan Selo which is located at 1.300-1.500 m above the surface of the sea. A higher area will influence tthe amount and effect of chemical contains in a plant. One of tea beverage which is mostly consumed by Indonesian people is green tea, which is used as a stimulant because of it’s caffeine contains. Caffeine in tea’s leaves in base forms can be extracted by ethanol 70% because caffeine in base forms is soluble in organic solvent. According to the chromophor in caffeine structure which is responsible to absorption of UV radiation energi, TLC-densitometry method is used as quantitative identification of caffeine contains. The purpose of this research is to determine the amount of caffeine in tea’s leaves ethanolic extract.
This research is a nonexperimental research because there is no treatment to the subject. The step of this research are consist of qualitative identification, a determination of caffeine by TLC, and then followed by quantitative identification by TLC-densitometry. The principle of this method is by measuring the density of sample chromatogram which is separated by TLC and compared to the density of standard chromatogram wich is eluted together.
The result of qualitative identification by TLC shows that tea’s leaves ethanolic extract contains caffeine with Rf 0,39 compared to caffeine standard with Rf 0,40. While quantitative identification by densitometry shows that the rate amount of caffeine in tea’s leaves ethanolic extract from Boyolali is (1,2439 ± 0,1039) % w/w. Key words : tea’s leaves ethanolic extract, caffeine, TLC, densitometry
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ v
PRAKATA ............................................................................................................ vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................................................. ix
INTISARI .............................................................................................................. x
ABSTRACT ............................................................................................................ xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii
BAB I. PENGANTAR .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
1. Perumusan masalah ........................................................................ 2
2. Keaslian penelitian ......................................................................... 3
3. Manfaat penelitian ......................................................................... 3
B. Tujuan Penelitian ................................................................................ 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 5
A. Teh ..................................................................................................... 5
1. Keterangan botani .......................................................................... 5
xiii
2. Deskripsi ........................................................................................ 5
3. Penggolongan ................................................................................. 5
4. Kandungan kimia ........................................................................... 6
5. Jalur biosintesis kafein ................................................................... 7
6. Penggunaan .................................................................................... 9
B. Syarat Penanaman Teh ....................................................................... 9
1. Curah hujan .................................................................................... 9
2. Tinggi tempat ............................................................................... 10
3. Tanah ............................................................................................ 10
C. Pembuatan Simplisia ........................................................................ 10
1. Pengumpulan bahan baku ............................................................ 10
2. Sortasi basah ................................................................................ 11
3. Pencucian ..................................................................................... 12
4. Pengeringan .................................................................................. 12
5. Sortasi kering ............................................................................... 13
D. Penyarian .......................................................................................... 13
1. Ekstrak ......................................................................................... 13
2. Pemilihan pelarut ......................................................................... 14
3. Maserasi ....................................................................................... 14
4. Penguapan .................................................................................... 16
E. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ...................................................... 16
F. Densitometri ..................................................................................... 19
G. Keterangan Empiris ........................................................................... 20
xiv
BAB III.METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 21
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ....................................................... 21
1. Jenis penelitian ............................................................................. 21
2. Rancangan penelitian ................................................................... 21
B. Definisi Operasional ......................................................................... 21
C. Alat dan Bahan ................................................................................. 22
1. Alat penelitian .............................................................................. 22
2. Bahan penelitian ........................................................................... 22
D. Tata Cara Penelitian ......................................................................... 22
1. Pengumpulan bahan ..................................................................... 22
2. Determinasi tanaman ................................................................... 23
3. Pembuatan simplisia daun teh ...................................................... 23
4. Pembuatan serbuk daun teh ......................................................... 23
5. Pembuatan ekstrak etanolik daun teh ........................................... 23
6. Identifikasi kafein secara kualitatif dengan KLT ......................... 24
7. Identifikasi kafein secara kuantitatif dengan KLT-densitometri . 24
E. Analisis Hasil .................................................................................... 26
BAB IV.HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 27
A. Pengumpulan Bahan ........................................................................ 27
B. Determinasi Tanaman ...................................................................... 28
C. Sortasi Basah .................................................................................... 28
D. Pencucian ......................................................................................... 28
E. Pengeringan ...................................................................................... 29
xv
F. Sortasi Kering ................................................................................... 30
G. Pembuatan Serbuk Daun .................................................................. 30
H. Pembuatan Ekstrak Etanolik Daun Teh ........................................... 32
I. Identifikasi Kafein secara Kualitatif dengan KLT............................ 34
J. Identifikasi Kafein secara Kuantitatif dengan KLT-Densitometri ... 38
1. Penentuan panjang gelombang maksimum standar dan sampel .. 38
2. Pembuatan kurva baku ................................................................. 41
3. Penetapan kadar kafein sampel dengan KLT-Densitometri ........ 42
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 45
A. Kesimpulan ....................................................................................... 45
B. Saran .................................................................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 46
LAMPIRAN .......................................................................................................... 49
BIOGRAFI PENULIS .......................................................................................... 70
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel I. Hasil ekstraksi daun teh ........................................................................ 34
Tabel II. Hasil KLT standar kafein dan sampel ................................................... 36
Tabel III. Data pembuatan kurva baku kafein....................................................... 41
Tabel IV. Hasil pengukuran AUC dan kadar kafein pada kromatogram ekstrak
etanolik daun teh ................................................................................... 43
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur kafein ....................................................................................... 7
Gambar 2. Jalur biosintesis kafein .......................................................................... 8
Gambar 3. Ekstrak etanol cair ............................................................................... 33
Gambar 4. Ekstrak kental daun teh ....................................................................... 33
Gambar 5. Kromatogram ekstrak etanolik daun teh dan larutan standar kafein
pada silika gel GF254 dengan deteksi lampu UV 254 nm .................... 36
Gambar 6. Gugus kromofor dalam struktur kafein ............................................... 37
Gambar 7. Kurva penelusuran panjang gelombang maksimum standar kafein
dengan TLC densitometry scanner ...................................................... 39
Gambar 8. Kurva penelusuran panjang gelombang maksimum sampel dengan
TLC densitometry scanner .................................................................. 40
Gambar 9. Kurva hubungan konsentrasi dengan AUC pada kurva baku kafein
dengan persamaan regresi linier y = 48782,5 x + 28037,7 ................. 42
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat keterangan determinasi ........................................................... 49
Lampiran 2. Foto bahan dan alat penelitian .......................................................... 51
Lampiran 3. Data pengentalan ekstrak etanolik daun teh ..................................... 52
Lampiran 4. Perhitungan perolehan ekstrak kental ............................................... 53
Lampiran 5. Perhitungan rendemen ekstrak kental daun teh ................................ 54
Lampiran 6. Hasil pengukuran AUC standar kafein dengan TLC densitometry
scanner pada panjang gelombang 274 nm ....................................... 55
Lampiran 7. Hasil pengukuran AUC sampel dengan TLC densitometry scanner
pada panjang gelombang 274 nm .................................................... 60
Lampiran 8. Perhitungan kadar kafein dalam sampel ........................................... 65
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Teh merupakan tanaman yang membutuhkan curah hujan yang tinggi
dan suhu rendah. Daerah dataran tinggi menjadi daerah yang sesuai untuk
penanaman tanaman teh. Salah satu daerah perkebunan teh di Jawa Tengah berada
di Kabupaten Boyolali, tepatnya di Kecamatan Selo, yang terletak pada ketinggian
1.300-1.500 dpl (di atas permukaan laut).
Ketinggian suatu tempat akan mempengaruhi kadar dan efek kandungan
kimia suatu tanaman. Berdasarkan penelitian Purnamasari (2009) yang berjudul
Perbandingan Aktivitas Daya Antioksidan Infusa Teh Hijau (Camellia sinensis L.)
dari Daerah Wonosobo dan Daerah Karanganyar dengan Menggunakan Metode
Deoksiribosa, infusa teh hijau dari daerah Karanganyar dengan ketinggian 1.200
m dpl memiliki aktivitas penangkapan radikal hidroksil yang lebih besar (nilai
ES50 rata-rata = 0,029 mg/ml) daripada infusa teh hijau daerah Wonosobo (nilai
ES50 rata-rata = 0,032 mg/ml) dengan ketinggian 760 m dpl.
Sejak dulu masyarakat Indonesia banyak memanfaatkan tanaman teh
sebagai bahan minuman. Salah satu minuman teh yang saat ini banyak dikonsumsi
masyarakat Indonesia adalah teh hijau. Selain berfungsi sebagai antioksidan, teh
hijau juga berfungsi sebagai stimulan karena adanya kandungan kafein di
dalamnya. Kandungan kafein dalam daun teh dapat diperoleh dengan proses
ekstraksi. Salah satu metode ekstraksi yang dapat digunakan adalah maserasi.
2
Proses ekstraksi dapat berlangsung dengan sempurna apabila digunakan cairan
penyari yang sesuai. Kafein dalam daun teh berbentuk basa bebas sehingga dapat
larut dalam pelarut organik. Salah satu pelarut organik yang dapat melarutkan
kafein adalah etanol sehingga etanol digunakan sebagai cairan penyari.
Kafein memiliki gugus kromofor dalam strukturnya. Berdasarkan gugus
kromofor dalam struktur kafein yang bertanggung jawab atas penyerapan energi
radiasi sinar UV, maka untuk identifikasi kuantitatif kandungan kafein digunakan
metode KLT-densitometri.
Pada penelitian ini akan dilakukan identifikasi kandungan kafein di
dalam ekstrak daun teh hasil proses maserasi dengan cairan penyari etanol, baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Identifikasi secara kualitatif akan dilakukan
menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), dengan membandingkan Rf dan
warna kromatogram antara standar dan sampel. Sementara identifikasi secara
kuantitatif dilakukan menggunakan TLC densitometry scanner, dengan
membandingkan kerapatan antara kromatogram standar dan sampel yang dielusi
bersama-sama dengan KLT.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi industri farmasi maupun
masyarakat dalam mengidentifikasi kandungan kafein dari daun teh dan dalam
penggunaannya sebagai stimulan.
1. Perumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka timbul permasalahan, berapa
kandungan kafein dalam ekstrak etanolik daun teh dari daerah Boyolali dengan
metode KLT-densitometri?
3
2. Keaslian penelitian
Sejauh pengetahuan penulis penelitian mengenai identifikasi kandungan
kafein ekstrak etanolik daun teh dengan metode KLT-densitometri belum pernah
dilakukan. Penelitian yang sudah ada : Pengaruh Sari Daun Teh (Camellia
sinensis L.) dan Herba Urang-Aring (Eclipta prostrata L.) Terhadap Pertumbuhan
Rambut Kelinci Jantan serta Skrining Fitokimianya (Rangga, 1995), Uji
Hepatoprotektif Infus Daun Teh (Camellia sinensis.(L.).O.K) pada Tikus Jantan
Terangsang Parasetamol (Yuningsih, 1998), Penetapan Kadar Flavonoid Total
Terhitung sebagai Kuersetin dengan Menggunakan Metode Kolorimetri dalam
Teh Hijau dan Teh Hitam (Merk X) (Pertiwi, 2002), Uji Aktivitas Penangkapan
Radikal Hidroksil oleh Ekstrak Etanol Daun Teh Hijau dan Teh Hitam dengan
Metode Deoksiribosa (Kuntari, 2002), Perbandingan Daya Antioksidan Infusa
Teh Hijau (Camellia sinensis L.) dari Daerah Wonosobo dan Daerah Karanganyar
dengan Menggunakan Metode Deoksiribosa (Purnamasari, 2009).
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi ilmu
pengetahuan mengenai kandungan kafein dalam ekstrak etanolik daun teh
dengan metode KLT-densitometri.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi industri
farmasi dan masyarakat mengenai kandungan kafein dalam daun teh yang
berguna sebagai stimulan.
4
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan kafein dalam
ekstrak etanolik daun teh yang berasal dari daerah Boyolali dengan metode KLT-
densitometri.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teh
1. Keterangan botani
Tanaman teh termasuk ke dalam famili Theaceae, suku Camellia, dan
memiliki nama ilmiah Camellia sinensis L.. Nama umum atau dagang biasa
disebut Tea (Inggris), Pu erh cha (Cina), Teh (Jawa). Nama daerah : Teh
(Melayu), Nteh (Sunda), Teh (Jawa Tengah) (Hutapea, 1994).
2. Deskripsi
Teh merupakan tanaman perkebunan, dipanen secara manual, dan dapat
tumbuh pada ketinggian 200-2.300 m dpl. Berdaun kecil, ujung agak tumpul, dan
permukaannya mengkilap. Batang pohonnya tegak, berkayu, dan bercabang-
cabang. Bunga di ketiak daun, berkelamin dua, berwarna putih cerah dengan
kepala sari berwarna kuning. Buahnya kotak, berdinding tebal, berwarna hijau
saat muda, dan berwarna cokelat kehitaman saat tua. Biji keras, berjumlah 1 – 3
(Arisandi, 2006).
3. Penggolongan
Ada 2 kelompok varietas teh yang terkenal, yaitu varietas assamica yang
berasal dari Assam dan varietas sinensis yang berasal dari Cina. Varietas assamica
daunnya agak besar dengan ujung yang runcing, sedangkan varietas sinensis
daunnya lebih kecil dan ujungnya agak tumpul (Arisandi, 2006).
Komoditas teh dihasilkan dari pucuk daun tanaman teh melalui proses
6
pengolahan tertentu. Secara umum berdasarkan proses pengolahannya, teh dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu teh hijau, teh oolong, dan teh hitam. Teh
hijau dibuat dengan cara menginaktivasi enzim oksidase/fenolase yang ada dalam
pucuk daun teh segar, dengan cara pemanasan atau penguapan menggunakan uap
panas, sehingga oksidasi enzimatik terhadap katekin dapat dicegah. Teh hitam
dibuat dengan cara memanfaatkan terjadinya oksidasi enzimatis terhadap
kandungan katekin teh. Sementara, teh oolong dihasilkan melalui proses
pemanasan yang dilakukan segera setelah proses penggulungan daun, dengan
tujuan untuk menghentikan proses fermentasi. Oleh karena itu, teh oolong disebut
sebagai teh semi-fermentasi, yang memiliki karakteristik khusus dibandingkan teh
hitam dan teh hijau (Hartoyo, 2003).
4. Kandungan kimia
Setiap 100 gram daun teh mengandung 7-80% air, polifenol 25%,
protein 20%, karbohidrat 4%, kafein 2,5-4,5%, teofilin, teobromin, tanin, serat
27%, dan pektin 6%. Teh mengandung alkaloid purin, yaitu kafein mencapai 4%,
serta sedikit teofilin dan teobromin (Arisandi, 2006).
Kafein secara alami di dalam tanaman terdapat dalam bentuk basa.
Kafein bebas dalam bentuk basa tidak dapat larut dalam air, tetapi kafein dalam
bentuk garam yang dihasilkan dari reaksi dengan asam dapat larut dalam air.
Kafein bebas dalam bentuk basa larut dalam eter, kloroform atau pelarut organik
lain, tetapi garam kafein tidak larut (Robbers, 1996).
Kafein merupakan alkaloid golongan derivat asam nikotinat atau
golongan purin, yang bersifat basa dan mengandung 4 atom nitrogen (N) sebagai
7
bagian dari sistem siklik. Kafein dalam teh berfungsi sebagai stimulan susunan
saraf pusat (Roberts, 1998).
Kafein memiliki sinonim 1, 3, 7 – trimetil xantin dan memiliki rumus
molekul C8H10N4O2. Pemerian kafein berupa serbuk putih atau bentuk jarum
mengkilat putih, biasanya menggumpal, tidak berbau, rasa pahit, agak sukar larut
dalam air, dalam etanol, mudah larut dalam kloroform, sukar larut dalam eter
(Anonim, 1995). Sedangkan menurut Popl (1990), kafein dapat larut dalam etanol
dan kloroform. Struktur kafein adalah sebagai berikut :
N
N
N
N
CH3
H
O
H3C
O
CH3
Gambar 1. Struktur kafein
5. Jalur biosintesis kafein
Jalur biosintesis kafein mengikuti jalur biosintesis asam sikimat. Jalur
biosintesis asam sikimat berasal dari karbohidrat menuju asam amino. Asam
sikimat adalah bahan awal untuk biosintesis tanin dan dapat juga lewat asam
chorismat yang dibentuk dengan reaksi dengan molekul asam piruvat menjadi
asam amino aromatik. Nitrogen yang dibutuhkan untuk biosintesis asam amino
berasal dari udara. Nitrogen udara direduksi menjadi ammonia oleh bakteri
pengikat N2 sehingga dapat digunakan untuk proses biosintesis yang terjadi dalam
tanaman (Roberts, 1998).
8
Gambar 2. Jalur biosintesis kafein
Adenosin merupakan asam amino yang berperan sebagai prekursor
biosintesis kafein. Adenosin akan berubah menjadi adenin, dan adenin kemudian
akan berubah menjadi AMP (Adenosin Monofosfat) yaitu suatu nukleotida purin.
AMP kemudian akan berubah menjadi IMP (Inosin Monofosfat), dan selanjutnya
IMP akan berubah menjadi XMP (Xantosin Monofosfat). XMP akan melepas
gugus fofatnya sehingga XMP berubah menjadi xantosin, yang kemudian
termetilasi menjadi 7-metilxantosin. Tujuh-metilxantosin akan melepas gula
ribosanya sehingga berubah menjadi 7-metilxantin, yang kemudian termetilasi
menjadi teobromin. Teobromin akan termetilasi lagi hingga menjadi kafein
9
(Hiroshi, 1996).
6. Penggunaan
Teh terkenal memiliki efek antimikrobia, antimutagenik, dan
antioksidan. Selain itu, teh hijau dapat menurunkan resiko kanker, menurunkan
kadar kolesterol/lemak dalam tubuh, serta sebagai terapi diare dan muntah
(Anonim, 2009).
Kandungan kafein dan teobromin dalam teh berfungsi untuk merangsang
susunan saraf pusat dan aktivitas jantung, karena keduanya sama-sama memiliki
efek stimulan. Sementara teofilin dapat menstimulasi kerja jantung dan
melebarkan pembuluh darah koroner (Arisandi, 2006).
Sifat antioksidan yang dimiliki teh disebabkan oleh kandungan
flavonoid, yang juga mampu memperkuat dinding sel darah merah dan
mengurangi kecenderungan trombosis, serta menghambat oksidasi LDL sehingga
mengurangi terjadinya proses aterosklerosis di pembuluh darah. Sedangkan sifat
antimutagenik yang dimiliki teh disebabkan oleh tanin, yang mengandung
epigallocatechin galat, yang mampu mencegah kanker lambung dan
kerongkongan (Arisandi, 2006).
B. Syarat Penanaman Teh
1. Curah hujan
Tanaman teh tidak tahan terhadap kekeringan, oleh karena itu
memerlukan daerah yang mempunyai curah hujan yang cukup tinggi dan merata
sepanjang tahun. Curah hujan tahunan yang diperlukan adalah 2.000 mm – 2.500
10
mm. Curah hujan yang kurang dari batas minimum akan mengakibatkan
penurunan produksi, terutama di daerah yang relatif rendah letaknya
(Setyamidjaja, 2000).
2. Tinggi tempat
Tanaman teh di Indonesia hanya ditanam di dataran tinggi. Penanaman
teh dilakukan pada ketinggian 400 m - > 1.200 m dpl, sehingga daerah penanaman
teh dapat dibagi menjadi 3 daerah berdasarkan ketinggian tempat, yaitu :
a. Daerah dataran rendah : 400 – 800 m dpl
b. Daerah dataran sedang : 800 – 1.200 m dpl
c. Daerah dataran tinggi : di atas 1.200 m dpl (Setyamidjaja, 2000).
3. Tanah
Area penanaman teh dunia terdapat pada tanah dengan jenis yang
berbeda-beda. Teh di India Utara ditanam pada tanah kuarter dan aluvial, di Sri
Lanka dan India Selatan pada hasil pelapukan batuan archaen. Teh di pulau Jawa
ditanam pada tanah hasil erupsi yang berasal dari pelapukan granit, gneis,batu
pasir, dan deposit baru kegiatan vulkanis. Tipe tanah untuk tanaman teh di
Indonesia dibedakan menjadi 2 jenis utama, yaitu tanah andosol (di pulau Jawa,
pada ketinggian di atas 800 m dpl) dan tanah podsolik (di Sumatra) (Setyamidjaja,
2000).
C. Pembuatan Simplisia
1. Pengumpulan bahan baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda antara lain
11
tergantung pada :
a. Umur tanaman yang dipanen. Umur tanaman yang dipanen berpengaruh pada
kadar senyawa aktif. Apabila umur tanaman pada saat panen sama, maka mutu
simplisia yang dihasilkan juga akan sama.
b. Lingkungan tempat tumbuh. Lingkungan tempat tumbuh yang berbeda dapat
mengakibatkan perbedaan kadar kandungan senyawa aktif. Pertumbuhan
tanaman dipengaruhi tinggi tempat, keadaan tanah, dan cuaca.
d. Waktu panen. Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan
senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang
tepat adalah pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif
dalam jumlah yang terbesar. Panen dapat dilakukan dengan tangan,
menggunakan alat atau mesin. Dalam hal ini ketrampilan pemetik diperlukan,
agar diperoleh simplisia yang benar, tidak tercampur dengan bagian lain dan
tidak merusak tanaman induk. Alat atau mesin yang digunakan untuk memetik
perlu dipilih yang sesuai. Alat yang terbuat dari logam sebaiknya tidak
digunakan bila diperkirakan akan merusak senyawa aktif simplisia seperti
fenol, glikosida, dan sebagainya (Anonim, 1985).
2. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-
bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat
dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput,
batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotor lainnya harus dibuang. Tanah
mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi, oleh karena
12
itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah
mikroba awal (Anonim, 1985).
3. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya
yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih,
misalnya air dari mata air, air sumur atau air PAM. Bahan simplisia yang
mengandung zat yang mudah larut dalam air yang mengalir, pencucian agar
dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Pencucian sayur-sayuran 1 kali
dapat menghilangkan 25% dari jumlah mikroba awal. Jika dilakukan pencucian 3
kali, jumlah mikroba yang tertinggal hanya 42% dari jumlah mikroba awal.
Pencucian tidak dapat membersihkan semua mikroba karena air pencucian yang
digunakan biasanya mengandung sejumlah mikroba juga (Anonim, 1985).
4. Pengeringan
Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak
mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan
mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik maka penurunan mutu
atau perusakan simplisia dapat dicegah. Air yang masih tersisa dalam simplisia
pada kadar tertentu dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan jasad renik
lainnya. Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar matahari
atau menggunakan suatu alat pengering. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama
proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara,
waktu pengeringan dan luas permukaan bahan.
Suhu pengeringan tergantung pada bahan simplisia dan cara
13
pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30-90°C, tetapi
suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60°C (Anonim, 1985).
5. Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir
pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti
bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang
masih ada dan tertinggal pada simplisia kering (Anonim, 1985).
D. Penyarian
Penyarian (ekstraksi) merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut
dari bahan yang tidak dapat larut dengan cairan penyari. Pada proses penyarian
terjadi perpindahan masa zat aktif yang semula berada di dalam sel akan ditarik
oleh cairan penyari. Hasil penyarian akan semakin baik apabila ukuran serbuk
semakin halus, karena permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan
cairan penyari semakin luas. Pertimbangan ini tidak selalu dapat dilaksanakan
karena dengan semakin halus serbuk simplisia juga akan mengganggu proses
penyarian. Hal ini dikarenakan serbuk yang terlalu halus dapat membentuk
suspensi yang sulit dipisahkan dari hasil penyarian (Anonim, 1986).
1. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan
menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok (Anonim, 1979).
Ekstrak kental adalah ekstrak yang liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat
dituang, dengan kandungan air mencapai 30% (Voigt, 1994).
14
2. Pemilihan pelarut
Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi harus memenuhi syarat
berikut :
a. Memiliki selektivitas tinggi terhadap zat yang akan diekstraksi
b. Tidak bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi dan dengan zat lain yang ada
dalam tanaman
c. Murah
d. Tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan
e. Mudah menguap
Alkohol alifatik, mulai dari 1 sampai 3 atom karbon, atau campuran
antara alkohol dan air, merupakan pelarut yang sangat baik untuk proses ekstraksi
semua kandungan kimia tanaman yang berbobot molekul rendah seperti alkaloid,
saponin, dan flavonoid (Samuelsson, 1999).
3. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan
zat aktif di dalam sel dan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar.
Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan di luar dan di dalam sel. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia
yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari (Anonim,
1986).
15
Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau
pelarut lain. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan
dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara
maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna
(Anonim, 1986).
Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara : 10 bagian simplisia
dengan derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana, kemudian dituangi
dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung
dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari, sari diambil, ampas
diperas. Ampas ditambah cairan penyari secukupnya dan diaduk kembali sehingga
diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana ditutup dibiarkan di tempat
sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari. Kemudian endapan dipisahkan
(Anonim, 1986).
Pada penyarian dengan cara maserasi, perlu dilakukan pengadukan.
Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk
simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat
perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan
larutan di luar sel. Maserasi dapat dilakukan modifikasi, misalnya maserasi
dengan mesin pengaduk. Pengunaan mesin pengaduk yang berputar terus-
menerus, waktu proses maserasi dapat dipersingkat menjadi 6 sampai 24 jam
(Anonim, 1986).
Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu
tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak
16
diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari seperti malam dan lain-lain
(Anonim, 1986).
4. Penguapan
Penguapan merupakan proses terbentuknya uap dari permukaan cairan.
Kecepatan terbentuknya uap tergantung pada difusi uap melalui lapisan batas di
atas cairan yang diuapkan. Kecepatan penguapan tergantung pada kecepatan
pemindahan panas. Oleh karena itu luas permukaan penguapan harus seluas
mungkin dan lapisan batas dikurangi (Anonim, 1986).
Ekstrak cair dapat diubah menjadi ekstrak kental dengan cara
penguapan. Salah satu cara penguapan yang dapat dilakukan adalah dengan
menggunakan penguap rotasi-hampa udara (Vacuum Rotary Evaporator).
Penguapan akan berlangsung dalam waktu yang lebih singkat ketika luas
permukaan penguapan semakin besar. Melalui pengaturan kedalaman pencelupan
di dalam penangas air, suhu penangas, hampa udara dan suhu pendinginan, maka
kondisi optimal dapat tercapai (Voigt, 1994).
E. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi adalah cara pemisahan zat khasiat dan zat lain yang ada
dalam sediaan dengan jalan penyarian berfraksi, penyerapan, atau penukaran ion
pada zat berpori, menggunakan cairan atau gas yang mengalir. Kromatografi lapis
tipis (KLT) digunakan untuk pemisahan senyawa secara cepat, dengan
menggunakan zat penjerap berupa serbuk halus yang dilapiskan rata pada
lempeng kaca (Anonim, 1979).
17
Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak
atau pita. Setelah pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang
berisi fase gerak yang cocok, pemisahan terjadi selama pengembangan.
Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus dideteksi (Stahl, 1985).
Fase diam yang umum ialah silika gel, aluminium oksida, kieselgur,
selulosa dan turunannya, dan lain-lain. Panjang lapisan fase diam kurang lebih
200 mm dengan lebar 200 atau 100 mm. Sebelum digunakan, fase diam disimpan
dalam lingkungan yang tidak lembab dan bebas dari uap laboratorium (Stahl,
1985).
Fase gerak adalah cairan pembawa yang terdiri atas satu atau beberapa
pelarut. Fase gerak bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori,
karena ada gaya kapiler. Sistem pelarut multikomponen ini harus berupa suatu
campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen
(Stahl, 1985).
Bercak ditotolkan pada jarak 15 mm dari tepi bawah lapisan. Jarak suatu
bercak awal, yang berukuran 3-5 mm, ke bercak awak lainnya dan jarak antara
bercak paling pinggir dengan tepi samping sekurang-kurangnya 10 mm. Lapisan
fase diam tidak boleh rusak selama penotolan cuplikan itu. Biasanya ditotolkan 1-
10 µl larutan cuplikan 0,1-1%. Untuk menotolkan disarankan agar menggunakan
mikropipet berujung runcing, khusus berskala 1 µl dan bervolume 10 µl (Stahl,
1985).
Di samping larutan cuplikan, selalu ada suatu campuran pembanding
yang dikembangkan pada waktu bersamaan. Campuran ini terdiri atas 1-5
18
senyawa yang diketahui, dengan konsentrasi yang telah diketahui pula. Bila
mungkin, senyawa pembanding ini sama dengan senyawa yang terdapat dalam
larutan cuplikan (Stahl, 1985).
Terdapat berbagai kemungkinan untuk deteksi senyawa tak berwarna
pada kromatogram. Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan
penyerapan di daerah UV 254 nm atau jika senyawa itu dapat dieksitasi ke
fluoresensi radiasi UV 365 nm. Selain itu, senyawa juga dapat dideteksi dengan
pereaksi semprot dan pemanasan (Stahl, 1985).
Identifikasi senyawa pada lempeng KLT dinyatakan dengan harga Rf.
Angka ini diperoleh dengan membagi jarak yang ditempuh oleh totolan cuplikan
dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut. Keduanya diukur dari titik awal, dan
harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1 (Gritter, 1985). Penilaian visual
kromatogram diperoleh dengan pengamatan 2 bercak dengan harga Rf dan ukuran
yang hampir sama (Anonim, 1979). Selain itu, beberapa sifat, misalnya
fluorosensi atau pemadaman flurosensi, dan terutama warna hasil reaksi warna
juga dapat dijadikan penilaian visual. Informasi mengenai identitas seringkali
dapat juga diperoleh dengan membandingkan perubahan warna pada pemanasan,
dan selanjutnya pada penyimpanan pelat (Stahl, 1985).
Dengan menggunakan KLT, pemisahan senyawa yang amat berbeda
seperti senyawa organik alam dan senyawa organik sintetik, kompleks anorganik-
organik, dan bahkan ion anorganik, dapat dilakukan dalam beberapa menit dengan
biaya yang tidak terlalu mahal. Kelebihan KLT yang lain ialah pemakaian pelarut
dan cuplikan yang jumlahnya sedikit (Gritter, 1985).
19
F. Densitometri
Densitometri merupakan salah satu metode analisa KLT kuantitatif.
Metode ini dilakukan dengan cara mengukur kerapatan bercak senyawa uji yang
dipisahkan, dibandingkan dengan kerapatan bercak senyawa standar yang dielusi
bersama-sama. Syarat-syarat senyawa standar adalah murni, inert, dan stabil
(Hardjono, 1983).
Alat densitometri mempunyai sumber sinar yang bergerak di atas bercak
pemisahan pada lempeng kromatografi yang akan ditetapkan kadar komponennya.
Lazimnya lempeng itu digerakkan menyusuri berkas sinar tersebut. Bercak yang
kecil dan intensif akan menghasilkan suatu puncak kurva absorbsi yang sempit
dan tajam, sebaliknya bercak yang lebar akan menghasilkan puncak kurva
absorbsi yang melebar dan tumpul (Sudjadi, 1988).
Banyaknya sinar yang direfleksikan akan ditangkap oleh suatu alat yang
disebut reflection photomultiplier yang akan diteruskan ke pencatat atau rekorder
untuk diubah menjadi suatu puncak atau kromatogram. Luas puncak atau tinggi
puncak sesuai dengan konsentrasi senyawa pada noda yang diukur kerapatannya
(Mintarsih, 1990).
Penelusuran bercak akan mendapatkan hasil yang baik apabila dilakukan
pada panjang gelombang maksimum, karena perubahan konsentrasi pada bercak
sedikit saja sudah dapat terdeteksi. Pengukuran dilakukan dengan menelusuri
bercak yang akan ditetapkan kadarnya pada kisaran panjang gelombang zat
tersebut (Mintarsih, 1990).
Teknik pengukuran dapat didasarkan atas pengukuran intensitas sinar
20
yang diserap (absorbansi), intensitas sinar yang dipantulkan (reflaktansi) atau
intensitas sinar yang diflurosensikan. Teknik pengukuran berdasarkan refleksi
dimana sinar datang sebagian diserap dan sebagian lagi dipantulkan.
Ada dua cara penetapan kadar dengan alat densitometer. Pertama, setiap
kali penetapan ditotolkan sediaan baku dari senyawa yang bersangkutan dan
dielusi bersama dalam satu lempeng, kemudian AUC (luas daerah di bawah
kurva) sampel dibandingkan dengan harga AUC zat baku. Yang kedua, dengan
membuat kurva baku hubungan antara jumlah zat baku dengan AUC. Kurva baku
diperoleh dengan membuat totolan zat baku pada pelat KLT dengan bermacam-
macam konsentrasi (minimal 3 macam konsentrasi). Bercak yang diperoleh dicari
AUC nya dengan alat densitometer. Dari kurva baku diperoleh persamaan y = bx
+ a, dimana x adalah banyaknya zat yang ditotolkan dan y adalah AUC
(Supardjan, 1987).
G. Keterangan Empiris
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang dianalisis
secara deskriptif. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai kandungan kafein dalam ekstrak etanolik daun teh yang berasal dari
daerah Boyolali dengan metode KLT-densitometri.
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian noneksperimental karena tidak
ada perlakuan terhadap subyek uji.
2. Rancangan penelitian
Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap yaitu :
a. Pengumpulan bahan
b. Determinasi tanaman
c. Pembuatan simplisia daun teh
d. Pembuatan serbuk daun teh
e. Pembuatan ekstrak etanolik daun teh
f. Identifikasi kafein secara kualitatif dengan KLT
g. Identifikasi kafein secara kuantitatif dengan KLT-densitometri
B. Definisi Operasional
1. Daun teh yang digunakan diambil pada pucuk daun nomor 1-4, berasal dari
Kecamatan Selo, Boyolali, dan tidak mengalami proses fermentasi atau
disebut juga teh hijau.
2. Ekstrak etanolik daun teh adalah ekstrak yang dibuat dari daun tanaman teh,
yang dihasilkan melalui proses maserasi dengan etanol 70% selama 6 jam, dan
22
dikentalkan menggunakan Vaccum Rotary Evaporator yang dilanjutkan
dengan oven hingga diperoleh ekstrak kental yang tidak dapat dituang.
3. Identifikasi kandungan kafein dalam ekstrak etanolik daun teh dilakukan
secara kualitatif dengan metode KLT dan dilanjutkan secara kuantitatif
menggunakan metode KLT-densitometri.
C. Alat dan Bahan
1. Alat penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven (Memmert),
timbangan analitik (Mettler Toledo, Model AB-204), UV Cabinet, penangas air,
alat-alat gelas (Pyrex), shaker (Innova 2100), Vaccum Rotary Evaporator (Janke
& Kunkel Kika-Labortechnik, RV 05-ST), TLC Densitometry scanner (Camag
TLC Scanner 3, seri no.160602).
2. Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun teh dari
Kecamatan Selo, Boyolali. Bahan kimia yang digunakan meliputi etil asetat p.a
(Merck), metanol p.a (Merck), plat fase diam silika gel GF254 p.a (Merck). Bahan
lainnya berupa kafein standar (Brataco), etanol 70% teknis, aquades, kertas saring,
kloroform teknis, asam sulfat 1N, ammonia 6N, Na sulfat anhidrat.
D. Tata Cara Penelitian
1. Pengumpulan bahan
Daun teh yang diambil adalah pucuk daun nomor 1-4, berasal dari kebun
23
teh di Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah dan diambil pada bulan Juni 2009.
2. Determinasi tanaman
Determinasi tanaman dilakukan dengan menggunakan acuan/pustaka
Flora of Java (Backer dan Bakhuizen Van Den Brink, 1963) untuk memastikan
kebenaran tanaman teh yang digunakan.
3. Pembuatan simplisia daun teh
Daun teh dibersihkan dari pengotor-pengotor seperti tanah, batang,
semut, serta pengotor lainnya kemudian dicuci dengan air keran yang mengalir.
Pencucian dilakukan sampai air bilasan tidak keruh lagi. Daun teh dikeringkan
menggunakan oven pada suhu 45°C selama 2 hari. Pengeringan dihentikan sampai
daun mudah dipatahkan. Daun teh yang telah kering dibersihkan lagi dari
pengotor-pengotor yang masih tersisa.
4. Pembuatan serbuk daun teh
Daun yang telah kering diserbuk menggunakan blender sehingga
dihasilkan serbuk kering daun teh. Serbuk daun kemudian diayak menggunakan
pengayak dengan nomor mesh 12/50 (inchi).
5. Pembuatan ekstrak etanolik daun teh
Ekstrak dibuat dengan cara maserasi menggunakan etanol 70%. Lima
belas gram serbuk kering daun teh dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, ditambah
15 ml etanol 70%, direndam selama 6 jam sambil berkali-kali diaduk, kemudian
didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan dan proses diulangi 2 kali dengan
jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan
dengan penguap vakum yang dilanjutkan dengan oven pada suhu 45° C selama 2
24
hari hingga diperoleh ekstrak kental yang tidak dapat dituang.
6. Identifikasi kafein secara kualitatif dengan KLT
a. Pembuatan larutan standar kafein
Sebanyak 0,01 g kafein dilarutkan dalam 10 ml kloroform-metanol (60:40).
b. Pembuatan larutan sampel
Sebanyak 1 g ekstrak etanolik daun teh, ditambah 5 ml asam sulfat 1N,
dipanaskan sampai mendidih selama 5 menit. Disaring dalam keadaan
panas, didinginkan, kemudian dialkaliskan dengan 5 ml ammonia 6N dalam
corong pisah dan diekstraksi dengan 5 ml kloroform. Larutan kloroform
dipisahkan dan sisa-sisa air dihilangkan dengan sedikit Na-sulfat anhidrat,
selanjutnya sari kloroform dipekatkan sampai 0,1 ml. Residu ditambah 1 ml
kloroform-metanol (60:40).
c. Kromatografi lapis tipis
Larutan standar dan sampel ditotolkan sebanyak 5 µl, kemudian keduanya
dielusi bersama-sama dengan fase gerak etil asetat:metanol:air (100:13,5:10)
v/v dalam 1 plat fase diam silika gel GF254 p.a dengan deteksi UV 254 nm.
7. Identifikasi kafein secara kuantitatif dengan KLT-densitometri
a. Pembuatan larutan stok kafein
Timbang seksama 0,25 gram kafein, dilarutkan dalam kloroform-metanol
(60:40) sampai volumenya tepat 25,0 ml.
b. Pembuatan larutan intermediet kafein
Larutan intermediet dibuat dengan mengambil 2,0; 4,0; 6,0; 8,0; dan 10,0 ml
dari larutan stok kemudian diencerkan dengan kloroform:metanol (60:40)
25
sampai volumenya tepat 10,0 ml sehingga diperoleh seri konsentrasi larutan
baku 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 % b/v.
c. Pembuatan larutan sampel
Timbang seksama 1 g ekstrak etanolik daun teh, ditambah 5,0 ml asam
sulfat 1N, dipanaskan sampai mendidih selama 5 menit. Disaring dalam
keadaan panas, didinginkan, kemudian dialkaliskan dengan 5,0 ml ammonia
6N dalam corong pisah dan diekstraksi dengan 5,0 ml kloroform. Larutan
kloroform dipisahkan dan sisa-sisa air dihilangkan dengan sedikit Na-sulfat
anhidrat, selanjutnya sari kloroform dipekatkan sampai 0,1 ml. Residu
ditambah 1 ml kloroform-metanol (60:40).
d. Kromatografi lapis tipis
Seri larutan baku dan larutan sampel ditotolkan sebanyak 5 µl. Keduanya
dielusi bersama-sama dengan fase gerak etil asetat:metanol:air (100:13,5:10)
v/v dalam 1 plat fase diam silika gel GF254.
e. Penentuan panjang gelombang maksimum standar dan sampel
Seri larutan baku dengan konsentrasi 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 % b/v serta
larutan sampel diukur serapan maksimumnya pada panjang gelombang 200
– 380 nm. Panjang gelombang maksimum standar dan sampel diperoleh
pada saat terjadi puncak kurva.
f. Pembuatan kurva baku
Kromatogram seri larutan baku yang telah dibuat, yaitu 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan
1 % b/v, diukur AUC nya pada panjang gelombang standar kemudian dibuat
kurva hubungan antara AUC dengan konsentrasi sehingga diperoleh
26
persamaan regresi linier.
g. Penetapan kadar kafein dalam sampel
Kromatogram sampel diukur AUC nya pada panjang gelombang standar dan
ditetapkan kadarnya menggunakan persamaan regresi linier yang diperoleh
yaitu y = b x + a, dimana y adalah AUC, b adalah slope, a adalah koefisien
regresi, dan x adalah konsentrasi xat yang ditotolkan.
E. Analisis Hasil
Analisis hasil dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan memaparkan
hasil identifikasi kualitatif dengan cara membandingkan nilai Rf dan warna
kromatogram antara standar dan sampel serta hasil identifikasi kuantitatif berupa
AUC yang dihitung menggunakan persamaan regresi linier sehingga dihasilkan
kadar kandungan kafein dalam ekstrak etanolik daun teh dalam satuan % b/b.
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengumpulan Bahan
Daun tanaman teh segar diperoleh dari Kecamatan Selo, Kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah, yang berada di antara gunung Merapi dan Merbabu
dengan ketinggian 1.300-1.500 m dpl dengan curah hujan 3.222 mm per tahun.
Menurut Setyamidjaja (2000), penanaman teh pada daerah dataran tinggi terletak
pada ketinggian lebih dari 1.200 m dpl (suhu mencapai 18°-19°C) dengan curah
hujan 2.000-2.500 mm.
Semakin tinggi daerah penanaman teh maka suhu udara menjadi
semakin rendah. Hal ini diperlukan bagi tanaman teh karena tanaman ini dapat
tumbuh dengan baik pada suhu udara yang sejuk. Menurut Setyamidjaja (2000),
suhu udara yang baik bagi tanaman teh berkisar antara 13°-25°C. Selain itu,
daerah ini memiliki curah hujan yang tinggi yang sesuai untuk penanaman teh.
Tanaman teh tidak tahan terhadap kekeringan sehingga memerlukan daerah
penanaman dengan curah hujan yang cukup tinggi dan merata sepanjang tahun.
Pemetikan dilakukan pada bulan Juni 2009, yaitu pada musim kemarau,
karena apabila dilakukan pada musim hujan kadar kandungan kimianya tidak
optimal, jumlah daun yang diperoleh juga lebih sedikit karena saat pengambilan
terganggu oleh hujan. Pemetikan daun teh dilakukan menggunakan tangan pada
pagi hari karena pada pagi hari sinar matahari dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk
melakukan fotosíntesis sehingga diharapkan kandungan kimia dalam teh dapat
28
dihasilkan dengan optimal. Daun teh yang dipetik adalah pucuk daun nomor 1-4
dihitung dari pucuk ranting.
B. Determinasi Tanaman
Determinasi tanaman berguna untuk memastikan apakah tanaman yang
digunakan sesuai dengan yang dimaksud dalam penelitian. Determinasi dilakukan
di Laboratorium Farmakognosi Fitokimia, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta dengan menggunakan kunci determinasi yang terdapat dalam
buku Flora of Java (Backer dan R.C. Bakhuizen Van Den Brink Jr, 1963).
Berdasarkan hasil determinasi, tanaman yang digunakan benar-benar tanaman teh
dengan nama ilmiah Camellia sinensis L. (Lampiran 1.).
C. Sortasi Basah
Daun teh harus melewati tahap sortasi basah sebelum dicuci, yaitu daun
teh dibersihkan terlebih dahulu dari bahan-bahan asing seperti tanah, batang,
rumput, semut, serta pengotor lainnya. Hal ini dikarenakan tanah merupakan
sumber mikroba yang potensial (Anonim, 1985). Tujuan tahap sortasi ini antara
lain untuk memisahkan daun yang baik dan tidak cacat, serta memisahkan daun
yang masih baik dengan daun yang rusak akibat kesalahan panen atau serangan
patogen, serta kotoran berupa bahan asing yang mencemari tanaman.
D. Pencucian
Daun teh dicuci dengan air mengalir dari keran air, jika pencucian
29
dilakukan dengan merendam daun di dalam wadah berisi air maka mikroba dan
kotoran yang menempel pada daun akan tetap menempel pada daun. Cemaran
mikroba pada daun dapat mempengaruhi kandungan kimia yang dihasilkan.
Menurut Anonim (1985), pencucian dilakukan dengan air bersih, misalnya air dari
mata air, air sumur atau air PAM. Tujuan pencucian ini adalah untuk
menghilangkan kotoran-kotoran dan mengurangi mikroba yang melekat pada
daun. Penggunaan air yang kotor akan menyebabkan jumlah mikroba pada daun
tidak akan berkurang bahkan akan bertambah. Pencucian dilakukan sampai air
cucian/bilasan terlihat bersih dan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk
menghindari larut dan terbuangnya zat yang terkandung dalam daun.
E. Pengeringan
Tujuan pengeringan ini adalah untuk meminimalkan kandungan air daun
teh sehingga dapat mengurangi resiko pertumbuhan jamur selama penyimpanan.
Proses pengeringan ini dapat mengurangi kandungan air dalam daun teh.
Daun teh dikeringkan menggunakan oven pada suhu 45°C selama 2 hari.
Menurut Anonim (1985), bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30-90°C,
tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60°C. Suhu pengeringan yang
terlalu tinggi dapat merusak kandungan kimia yang tidak tahan terhadap
pemanasan, namun kafein tahan terhadap pemanasan. Suhu pengeringan yang
terlalu tinggi juga dapat mengakibatkan terjadinya face hardening, yaitu bagian
luar daun sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah. Daun teh ditata
sedemikian rupa sehingga semua bagian permukaan daun teh menerima panas
30
yang sama dan kering secara merata. Pengeringan dianggap sudah berakhir
apabila daun sudah dapat dipatahkan dengan mudah.
Cara pengeringan lain adalah dengan penjemuran daun di bawah sinar
matahari, namun cara ini membutuhkan waktu yang lama, yaitu lebih dari 1
minggu, sehingga cara pengeringan menggunakan oven lebih dipilih, selain
karena waktu pengeringan lebih singkat, suhu pengeringan juga dapat
dikendalikan.
F. Sortasi Kering
Daun teh yang telah kering melewati tahap sortasi lagi, yaitu sortasi
kering, yang merupakan tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi kering
ini adalah untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian tanaman yang
tidak diinginkan dan pengotor lain yang masih tertinggal pada daun yang telah
kering. Adanya pengotor lain misalnya batang akan mempengaruhi kandungan
kimia daun karena kandungan kimia yang akan diambil menjadi tidak murni
berasal dari daun tetapi mungkin juga berasal dari batang.
G. Pembuatan Serbuk Daun
Semua bagian daun teh yang telah kering diserbuk menggunakan alat
penyerbuk hingga didapatkan serbuk yang halus. Pembuatan serbuk bertujuan
untuk memperkecil ukuran partikel daun sehingga luas permukaan partikel serbuk
daun lebih besar dan kontak partikel serbuk daun dengan larutan penyari semakin
besar. Hal ini akan menyebabkan kandungan kimia daun lebih cepat dan lebih
31
banyak tersari.
Dalam pembuatan simplisia diperlukan suatu aturan derajat halus serbuk.
Secara umum, semakin kecil ukuran serbuk daun maka luas permukaannya akan
semakin besar. Namun apabila ukuran serbuk terlalu kecil justru akan
menyulitkan saat proses penyarian karena ukuran partikel serbuk yang terlalu
kecil akan meningkatkan gaya kohesi antar partikel serbuk sehingga serbuk
cenderung menggumpal dan tersuspensi sehingga sulit untuk diekstraksi.
Menurut Anonim (1977), kecuali dinyatakan lain, seluruh simplisia
harus dihaluskan menjadi serbuk dengan derajat halus 4/18. Derajat halus
dinyatakan dengan nomor pengayak, yang dinyatakan dengan 2 nomor. Nomor
pengayak 4/18 (cm) memiliki pengertian semua serbuk dapat melewati pengayak
dengan nomor 4 dan tidak lebih dari 40% melewati pengayak dengan nomor 18.
Penentuan jenis ayakan, yang dinyatakan dengan nomor mesh, dilakukan melalui
konversi angka derajat halus yaitu mengalikan 4/18 dengan 2,54 (1 inchi). Hasil
konversi menunjukkan nomor mesh yang digunakan adalah 10/45 (inchi), namun
karena keterbatasan alat maka digunakan pengayak dengan nomor mesh 12/50
(inchi). Penggunaan pengayak yang berbeda ini tidak berpengaruh terhadap hasil
penyarian. Serbuk yang diambil adalah serbuk yang dapat melewati pengayak
dengan nomor mesh 12 dan yang tidak lebih dari 40% melewati pengayak dengan
nomor mesh 50.
Derajat kehalusan serbuk ini akan menguntungkan dalam proses
maserasi karena luas permukaan partikel serbuk akan semakin besar, sehingga
kontak antara partikel serbuk dengan larutan penyari yang digunakan pada proses
32
maserasi juga akan semakin besar. Dengan demikian, kandungan kimia daun yang
tersari juga akan lebih banyak.
H. Pembuatan Ekstrak Etanolik Daun Teh
Penyarian serbuk daun dilakukan dengan proses maserasi. Proses
penyarian ini dipilih karena sederhana dan mudah dilakukan. Menurut Popl
(1990), kafein dapat larut dalam etanol dan kloroform. Etanol 70% dipilih sebagai
pelarut karena daun teh mengandung kafein dalam bentuk basa bebas yang dapat
larut dalam pelarut organik sehingga kombinasi etanol dan air diharapkan dapat
melarutkan kafein yang bersifat semi polar. Pada proses maserasi, penyarian
dilakukan selama 3 hari berturut-turut agar kandungan kimia dapat tersari secara
optimal.
Prinsip proses maserasi adalah terjadinya perbedaan konsentrasi antara
kandungan kimia di dalam sel daun yang disari dengan kandungan kimia yang
berada di luar sel. Pelarut akan masuk ke dalam sel daun dan karena ada
perbedaan konsentrasi antara kandungan kimia di dalam sel daun dengan
kandungan kimia yang berada di luar sel, kandungan kimia di dalam daun akan
tersari oleh pelarut dan keluar dari dalam sel daun. Proses maserasi dilakukan
dengan alat shaker dan pengadukan dilakukan secara otomatis. Pengadukan ini
berfungsi untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia,
sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan
konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di
luar sel (Anonim, 1986).
33
Gambar 3. Ekstrak etanol cair
Ekstrak hasil proses maserasi berupa ekstrak etanol cair yang mudah
dituang, yang selanjutnya dipekatkan menggunakan Vaccum Rotary Evaporator
hingga volume ekstrak tinggal seperempat volume awal. Pada proses penguapan
menggunakan Vaccum Rotary Evaporator, penguapan pelarut menjadi lebih cepat
karena tekanan vakum yang dapat diatur sesuai dengan tekanan dimana pelarut
menguap. Tekanan diatur pada 175 mbar untuk menguapkan etanol 70%,
kemudian setelah seluruh etanol menguap, tekanan diubah menjadi 72 mbar untuk
menguapkan air. Selain itu, suhu juga diatur dan dijaga pada suhu 50° C untuk
menjaga stabilitas kandungan kimia. Apabila suhu terlalu tinggi kemungkinan
kandungan kimia di dalam daun teh akan rusak. Pemekatan dilakukan sampai
didapatkan ekstrak yang sukar dituang.
Gambar 4. Ekstrak kental daun teh
Hasil pemekatan dipekatkan lagi menggunakan oven hingga dihasilkan
ekstrak kental yang tidak dapat dituang. Pemekatan menggunakan oven dilakukan
pada suhu 45° C untuk menjaga konsistensi ekstrak. Apabila suhu terlalu tinggi,
ekstrak akan menjadi terlalu kering.
34
Tabel I. Hasil ekstraksi daun teh Ekstraksi Jumlah serbuk yang
diekstraksi (gram) Ekstrak kental yang
dihasilkan (gram) Replikasi I 105 22,03 Replikasi II 105 26,45 Replikasi III 105 29,45
Rata-rata ekstrak kental 25,98 gram
Proses ekstraksi dilakukan 3 kali replikasi menggunakan bahan serbuk
daun teh sebanyak 105 gram. Berdasarkan hasil ekstraksi diperoleh ekstrak kental
daun teh yang tidak dapat dituang dan beraroma khas sebanyak 22,03; 26,45; dan
29,45 gram sehingga diperoleh rata-rata ekstrak kental yang dihasilkan sebanyak
25,98 gram.
I. Identifikasi Kafein secara Kualitatif dengan KLT
Identifikasi kualitatif dilakukan dengan metode KLT karena mudah
dilakukan dan sederhana, serta tidak membutuhkan jumlah pelarut dan sampel
yang banyak. Tujuan identifikasi kualitatif ini adalah untuk mengetahui ada
tidaknya kafein dalam sampel. Sampel yang dimaksud disini adalah ekstrak
etanolik daun teh. Fase diam yang digunakan merupakan fase diam dengan sistem
fase normal, mengandung gugus OH yang terikat pada gugus silanol. Fase normal
adalah suatu sistem kromatografi yang menggunakan fase diam yang bersifat
lebih polar dibanding fase gerak (Sethi, 1996). Fase diam yang digunakan adalah
silika gel GF254 yang bersifat polar dan berfosforesensi pada UV 254 nm. Menurut
Popl (1990), G pada GF254 berarti Gypsum, yang berfungsi sebagai pengikat,
meningkatkan gaya kohesi antar partikel fase diam dan gaya adhesi antara
permukaan fase diam dengan lempeng aluminium tempat melekatnya fase diam.
35
Sedangkan F pada F254 berarti fosforesensi, menunjukkan adanya indikator
fosforesensi anorganik sehingga pada panjang gelombang 254 nm fase diam ini
akan berfosforesensi (Jork, 1990). Fase gerak yang digunakan adalah etil
asetat:metanol:air (100:13,5:10) v/v karena merupakan fase gerak yang sesuai
untuk identifikasi alkaloid (Anonim, 1987). Selain itu, fase gerak ini bersifat
semipolar, sehingga diharapkan kandungan kafein yang bersifat semipolar dapat
ikut terelusi oleh fase gerak.
Standar yang digunakan adalah kafein murni karena syarat suatu standar
adalah murni atau tunggal, yaitu hanya mengandung 1 jenis senyawa saja serta
strukturnya sama atau mirip dengan senyawa yang diuji. Deteksi yang digunakan
adalah UV 254 nm yang merupakan metode deteksi fisik.
Plat fase diam harus diaktifkan terlebih dahulu sebelum penotolan,
dengan cara dipanaskan menggunakan oven pada suhu 110-120° C selama 30
menit (Sethi, 1996). Proses ini bertujuan untuk mengurangi kandungan air pada
fase diam yang disebabkan oleh proses penyimpanan.
Proses preparasi sampel dilakukan dengan cara mengisolasi kafein yang
ada pada ekstrak kental daun teh. Daun teh yang diekstrak mengandung kafein
dalam bentuk basa bebas sehingga dalam perlakuannya perlu ditambahkan asam
sulfat 1N untuk menggaramkan kafein. Kafein dalam bentuk garam tersebut
kemudian dibasakan lagi menggunakan amonia 6N untuk mengembalikan kafein
ke dalam bentuk basa. Kafein yang sudah berada dalam bentuk basa kemudian
diekstrak dengan kloroform karena kafein dalam bentuk basa larut dalam pelarut
organik. Fase kloroform kemudian dipisahkan dan ditambahkan dengan natrium
36
sulfat anhidrat untuk menghilangkan sisa-sisa air. Fase kloroform tersebut
dipekatkan hingga 0,1 ml dan ditambah kloroform:metanol (60:40), kemudian
ditotolkan pada plat fase diam.
Tabel II. Hasil KLT standar kafein dan sampel
Larutan Rf Deteksi UV 254 nm
Standar kafein 0,40 Ungu Sampel replikasi I 0,39 Ungu Sampel replikasi II 0,39 Ungu Sampel replikasi III 0,39 Ungu
Hasil pengembangan menunjukkan bahwa pada standar hanya muncul 1
kromatogram saja dengan Rf 0,40 dan pada masing-masing replikasi sampel juga
hanya muncul 1 kromatogram saja dengan Rf 0,39. Hasil pengembangan ini
menunjukkan kemiripan Rf antara standar (Rf 0,40) dan sampel (Rf 0,39).
Gambar 5. Kromatogram ekstrak etanolik daun teh dan larutan standar kafein pada silika gel GF254 dengan deteksi lampu UV 254 nm
DCBA
37
Keterangan : Fase gerak : etil asetat : metanol : air (100:13,5:10) v/v Fase diam : silika gel GF254 Bercak A : standar kafein Bercak B,C,D : sampel replikasi I, II, dan III Deteksi : UV 254 nm
Metode deteksi fisik yang digunakan adalah lampu UV 254 nm karena
dalam strukturnya kafein memiliki gugus kromofor yang bertanggung jawab atas
penyerapan energi radiasi sinar UV.
N
N
N
N
CH3
H
O
H3C
O
CH3
Gambar 6. Gugus kromofor dalam struktur kafein
Pendaran yang dihasilkan antara standar dan sampel menunjukkan
kesamaan. Dengan demikian, sampel diduga mengandung kafein. Pada deteksi
ini, fase diam mengalami fosforesensi pada panjang gelombang UV 254 nm
sedangkan kromatogram standar dan sampel berpendar ungu karena kafein
memiliki struktur yang rigid.
Menurut Jork (1990), deteksi ini menjadi sensitif bila panjang
gelombang sampel sama dengan panjang gelombang lampu UV yang digunakan.
Semakin jauh selisih antara panjang gelombang sampel dengan panjang
gelombang lampu UV yang digunakan, maka intensitas warna yang ditimbulkan
juga akan semakin berkurang. Dalam hal ini, panjang gelombang teoritis kafein
adalah 273 nm (Sethi, 1996). Ini berarti pada panjang gelombang 273 nm kafein
akan berpendar ungu. Sedangkan lampu UV yang digunakan memiliki panjang
38
gelombang 254 nm. Selisih antara keduanya tidak terlalu jauh sehingga pada
deteksi dengan lampu UV 254 nm kromatogram standar dan sampel berpendar
ungu. Metode deteksi ini sudah cukup sensitif untuk identifikasi kualitatif kafein.
Berdasarkan hasil deteksi dengan lampu UV 254 nm serta dilihat dari
perbandingan Rf dan kromatogram antara standar dan sampel, dapat dikatakan
bahwa sampel mengandung kafein.
J. Identifikasi Kafein secara Kuantitatif dengan KLT-Densitometri
Hasil identifikasi kualitatif dengan KLT menunjukkan bahwa sampel
mengandung kafein, selanjutnya dilakukan identifikasi secara kuantitatif
menggunakan TLC densitometry scanner. Alat ini menggunakan prinsip
densitometri, dimana kerapatan kromatogram senyawa uji yang dipisahkan diukur
dan dibandingkan dengan kerapatan kromatogram senyawa standar yang dielusi
bersama-sama (Hardjono, 1983). Metode KLT-densitometri ini dipilih karena
kafein memiliki gugus kromofor yang bertanggung jawab atas penyerapan energi
radiasi sinar UV. Sumber radiasi yang digunakan pada penelusuran kafein adalah
lampu deuterium atau D2 karena lampu ini menghasilkan radiasi pada panjang
gelombang 160-380 nm.
1. Penentuan panjang gelombang maksimum standar dan sampel
Panjang gelombang standar diperoleh dengan menelusuri bercak pada
panjang gelombang 200-400 nm karena gugus kromofor kafein menyerap energi
radiasi sinar UV. Penelusuran bercak akan mendapatkan hasil yang baik apabila
dilakukan pada panjang gelombang maksimum, karena perubahan konsentrasi
39
pada bercak sedikit saja sudah dapat terdeteksi (Mintarsih,1990). Panjang
gelombang maksimum standar dicapai saat terjadi serapan maksimum yang
ditunjukkan oleh puncak kurva. Penelusuran panjang gelombang maksimum
dilakukan pada standar kafein.
Gambar 7. Kurva penelusuran panjang gelombang maksimum standar
kafein dengan TLC densitometry scanner
Berdasarkan penelusuran, puncak kurva ditunjukkan pada panjang
gelombang 274 nm sehingga panjang gelombang maksimum standar kafein yang
diperoleh adalah 274 nm. Menurut Sethi (1996), panjang gelombang teoritis
kafein adalah 273 nm. Syarat panjang gelombang hasil pengukuran dapat
digunakan apabila selisih antara hasil pengukuran dengan teoritis yang tertulis
pada literatur yaitu ± 2 nm (Anonim, 1995). Berdasarkan hasil penelusuran
tersebut, kafein ini dapat digunakan sebagai standar dan panjang gelombang 274
40
nm dapat digunakan selanjutnya untuk pengukuran AUC standar maupun sampel,
kemudian dilakukan penelusuran panjang gelombang maksimum sampel pada
panjang gelombang 200-380 nm untuk memastikan bahwa senyawa yang
terkandung dalam sampel adalah kafein.
Gambar 8. Kurva penelusuran panjang gelombang maksimum sampel
dengan TLC densitometry scanner
Berdasarkan penelusuran, puncak kurva ditunjukkan pada panjang
gelombang 274 nm sehingga panjang gelombang maksimum sampel yang
diperoleh adalah 274 nm. Hasil ini menunjukkan kesamaan panjang gelombang
antara standar dan sampel. Selain itu, bentuk kurva hasil penelusuran panjang
gelombang antara standar dan sampel juga sama sehingga dapat dipastikan bahwa
senyawa yang terkandung dalam sampel adalah kafein.
41
2. Pembuatan kurva baku
Digunakan 5 seri standar dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yaitu
0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1% b/v. Tujuan pembuatan kurva baku ini adalah untuk
mendapatkan persamaan regresi linier yang selanjutnya digunakan untuk
menghitung kadar kafein dalam ekstrak etanolik daun teh. Pembuatan kurva baku
dilakukan untuk mencari persamaan regresi linier dengan nilai r terbesar, yang
paling mendekati 1. Lima seri standar tersebut dielusi menggunakan fase gerak
dan fase diam yang sama dengan identifikasi kualitatif, dan dilakukan pengukuran
AUC 5 seri standar pada panjang gelombang 274 nm dengan TLC densitometry
scanner sehingga didapatkan data kurva baku berupa luas area di bawah kurva
atau AUC. Berdasarkan pengukuran tersebut, didapat hasil sebagai berikut :
Tabel III. Data pembuatan kurva baku kafein Konsentrasi (% b/v) AUC AUC AUC
0,2 37317,0 35613,6 27861,3 0,4 47807,3 47465,8 37268,5 0,6 57822,7 56977,4 44698,7 0,8 67171,9 69062,7 52286,1 1 76417,2 79022,4 60844,1
Persamaan regresi linier a 28037,7 25104,0 20296,8 b 48782,5 54207,3 40491,6 r 0,9996 0,9994 0,9992
Berdasarkan pembuatan kurva baku dan setelah dilakukan perhitungan
regresi linier, didapat nilai r 0,9996; 0,9994; dan 0,9992. Dalam penelitian ini
persamaan regresi linier yang digunakan adalah y = 48782,5 x + 28037,7 karena
nilai koefisien korelasi (r) dari persamaan ini lebih baik daripada 2 persamaan
yang lain.
42
Gambar 9. Kurva hubungan konsentrasi dengan AUC pada kurva baku
kafein dengan persamaan regresi linier y = 48782,5 x + 28037,7
Berdasarkan kurva hubungan antara konsentrasi dan AUC, dapat dilihat
korelasi yang baik antara konsentrasi dan AUC dengan garisnya yang linier
dimana konsentrasi yang semakin meningkat akan menyebabkan AUC juga
meningkat sehingga persamaan garis yang diperoleh dapat digunakan untuk
menghitung kadar kafein dalam ekstrak etanolik daun teh.
3. Penetapan kadar kafein sampel dengan KLT-Densitometri
Digunakan sampel dengan 4 kali replikasi dengan konsentrasi awal 0,2
g/ml. Empat replikasi sampel tersebut dielusi menggunakan fase gerak dan fase
diam yang sama dengan analisa kualitatif, dan dilakukan pengukuran AUC pada
panjang gelombang 274 nm dengan Camag densitometer sehingga didapatkan
data berupa luas area di bawah kurva atau AUC. Berdasarkan pengukuran
tersebut, didapat hasil sebagai berikut :
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
90000
0.2 0.4 0.6 0.8 1
AU
C
Konsentrasi (% b/v)
43
Tabel IV. Hasil pengukuran AUC dan kadar kafein pada kromatogram ekstrak etanolik daun teh
Replikasi AUC Kadar (% b/v) Kadar (% b/b) I 39019,1 0,2251 1,1274 II 39062,0 0,2260 1,1270 III 39436,0 0,2337 1,1667 IV 43283,1 0,3125 1,5543
(Kadar rata-rata ± SE) % b/b (1,2439 ± 0,1039) % b/b
Kadar diperoleh dengan memasukkan nilai AUC sampel ke dalam y
pada persamaan regresi linier yang telah dipilih sehingga didapatkan nilai x yaitu
kadar kafein dalam sampel. Kadar kafein dari ekstrak etanolik daun teh yang
diperoleh berdasarkan perhitungan adalah (1,2439 ± 0,1039) % b/b. Berdasarkan
analisis hasil secara kuantitatif tersebut dapat diketahui bahwa di dalam setiap 100
gram serbuk daun teh dengan larutan pengekstraksi etanol 70% rata-rata terdapat
1,2439 gram kafein.
Menurut Arisandi (2006), setiap 100 gram daun teh mengandung kafein
sebesar 2,5-4,5 gram, sedangkan menurut hasil penelitian ini setiap 100 gram
mengandung 1,2439 gram kafein. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah
kandungan kafein yang lebih rendah dibanding acuan yang ada. Hal ini
dikarenakan lingkungan tempat tumbuh yang dipengaruhi oleh tinggi tempat,
kondisi tanah, dan cuaca akan mengakibatkan perbedaan kadar kandungan kimia
(Anonim, 1985). Kondisi tanah akan sangat mempengaruhi kandungan kimia
yang dihasilkan dalam suatu tanaman karena tanah mengandung unsur hara yang
penting untuk proses pembentukan kandungan kimia. Menurut Setyamidjaja
(2000), tanaman teh dapat tumbuh dengan baik pada jenis tanah andosol (di
Pulau Jawa), yaitu tanah yang berasal dari bahan vulkanik yang dihasilkan dari
44
erupsi dan lelehan lahar gunung berapi, sedangkan jenis tanah di Kecamatan Selo,
Boyolali adalah kombinasi tanah jenis andosol dan latosol, dimana tanah jenis
latosol ini adalah tanah yang kurang unsur nitrogennya (N), padahal unsur N ini
sangat penting dalam proses biosintesis kafein. Hasil penelitian ini yang lebih
rendah dibanding acuan yang ada dapat dikarenakan oleh kondisi tanah di
Kecamatan Selo, Boyolali, yang kurang unsur N nya.
45
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Ekstrak etanolik daun teh yang berasal dari daerah Boyolali mengandung kafein
sebesar (1,2439 ± 0,1039) % b/b dengan metode KLT-densitometri.
B. Saran
Saran yang dapat dipertimbangkan sesuai hasil penelitian ini adalah perlu ada
penelitian lebih lanjut mengenai validasi metode analisis KLT-densitometri terkait
dengan identifikasi kandungan kafein dalam ekstrak etanolik daun teh.
46
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1977, Materia Medika, Jilid I, xx, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta. Anonim, 1979, Farmakope Indonesia III, 782, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta. Anonim, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, 4, 7, 10, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta. Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 8, 25, 32, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta. Anonim, 1987, Analisis Obat Tradisional, Jilid 1, 58, 60, Dirjen POM, Jakarta. Anonim, 1995, Farmakope Indonesia IV, 7, 254, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta. Anonim, 2001, Herbal Drugs and Phytopharmaceuticals, Edisi 2, 491, CRC
Press, America. Anonim, 2009, http://www.farsinet.com/hottea/greenblacktea.html, diakses
tanggal 8 Desember 2009. Arisandi, 2006, Khasiat Berbagai Tanaman Untuk Pengobatan, 457, Eska Media,
Jakarta. Anonim, 2007, Pemastian Mutu Obat : Kompendium Pedoman dan Bahan-bahan
Terkait, GMP dan Inspeksi, diterjemahkan oleh Fabiola C.R. Hutabarat, S.Si., Apt., Volume 2, Penerbit EGC, Jakarta.
Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen Van Den Brink Jr, 1963, Flora of Java, Vol.1,
3-6, 29-34, 47, 318-320, N.V.P., Noordhoff, Groningen, The Netherlands.
Bruneton, J., 1999, Pharmacognosy Phytochemistry Medicinal Plants, 2nd edition,
371, Lavoisier Publishing, Perancis. Gritter, R.J., 1985, Introduction to Chromatography, diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata, Edisi II, 6, 8, 107, ITB, Bandung. Hardjono, S., 1983, Kromatografi, 45, Laboratorium Analisa Kimia Fisika Pusat,
UGM, Yogyakarta.
47
Hartoyo, A., 2003, Teh & Khasiatnya bagi Kesehatan, Sebuah Tinjauan Ilmiah, 11, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Hiroshi, A., 1996, Biosynthesis of Caffeine in Leaves of Coffee,
www.ncbi.nlm.nih.gov, diakses tanggal 3 Februari 2010. Hutapea, J.R., 1994, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, Jilid 3, 155, Depkes RI,
Jakarta. Jork, H., 1990, Thin-Layer Chromatography Reagents and Detection Methods,
12, VCH, New York. Kuntari, C., 2002, Uji Aktivitas Penangkapan Radikal Hidroksil oleh Ekstrak
Etanol Daun Teh hijau dan Teh Hitam dengan Metode Deoksiribosa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Lin, Y.L., 1996, Composition of Polyphenols in Fresh Tea Leaves and
Associations of Their Oxygen-Radical-Absorbing Capacity with Antiproliferative Actions in Fibroblast Cells, http://www.pubs.acs.org, diakses tanggal 3 Februari 2009.
Mintarsih, E.R.R., 1990, Penetapan Kadar Alkaloid Kinina dalam Akar, Batang,
dan Daun Chinchona Succirubra Pavon et Klotzsch dari Daerah Kaliurang secara Spektrodensitometri (TLC-scanner), Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Pertiwi, M.V., 2002, Penetapan Kadar Flavonoid Total Terhitung sebagai
Kuersetin dengan Menggunakan Metode Kolorimetri dalam Teh Hijau dan Teh Hitam (Merk X), Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Purnamasari, G., 2009, Perbandingan Daya Antioksidan Infusa Teh Hijau
(Camellia sinensis L.) dari Daerah Wonosobo dan Daerah Karanganyar dengan Menggunakan Metode Deoksiribosa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Popl, M., 1990, Chromatographic Analysis of Alkaloids, 43, Marcel Dekker Inc.,
New York. Rangga, H.C.S., 1995, Pengaruh Sari Daun Teh (Camellia sinensis L.) dan Herba
Urang-Aring (Eclipta prostrata L.) Terhadap Pertumbuhan Rambut Kelinci Jantan serta Skrining Fitokimianya, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Robbers, J.E., 1996, Pharmacognosy and Pharmacobiotechnology, 146, 147, 184,
Lea & Febiger, Pennsylvania.
48
Roberts, M.F., 1998, Alkaloids Biochemistry, Ecology, and Medicinal Applications, 23, Plenum Press, New York.
Samuelsson, G., 1999, Drugs of Natural Origin, a Text Book of Pharmacognosy,
47, Swedish Pharmaceutical Press, Stockholm. Sethi, P.H., 1996, High Performance Thin Layer Chromatography Quantitative
Analysis of Pharmaceutical Formulations, 40, CBS Publishers, New Delhi.
Setyamidjaja, D., 2000, Teh Budidaya dan Pengolahan Pasca Panen, 22-25,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, 3-17,
Penerbit ITB, Bandung. Sudjadi, 1988, Metode Pemisahan, 75, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Supardjan, A. M., 1987, Pemisahan Tetrasiklin dan Hasil Pemisahannya dalam
Sediaan Tetrasiklin secara KLT-densitometri, Lembaga Penelitian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Voigt, 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi 5, 579-582 Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta. Yuningsih, Y., 1998, Uji Hepatoprotektif Infus Daun Teh (Camellia
sinensis.(L.).O.K) pada Tikus Jantan Terangsang Parasetamol, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
49
LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat keterangan determinasi
50
Hasil determinasi tanaman teh sebagai berikut :
1b-2b-3b-4b-12b-13b-14b-17b-18b-19b-20b-21b-22b-23b-24b-25b-26b-27b-28b-
29b-30b-31b-403b-404b-405b-414a-415b-451b-466b-467b-468b-469b-470f-
617b-618c-619b-620b-621b-622b-623a-624b-625a Familia 625. Theaceae -1a-2b-
Genus 1. Camellia -1a-2b – Spesies Camellia sinensis L.
Berdasarkan hasil determinasi, tanaman yang digunakan benar-benar
tanaman teh dengan nama ilmiah Camellia sinensis L..
51
Lampiran 2. Foto bahan dan alat penelitian
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
(g) (h) Keterangan : (a) : Tanaman teh dari perkebunan di Boyolali, Jawa Tengah (b) : Daun teh (c) : Timbangan analitik (Mettler Toledo, Model AB-204) (d) : Vaccum Rotary Evaporator (Janke & Kunkel Kika-Labortechnik, RV 05- ST) (e) : Shaker (Innova 2100) (f) : Oven (Memmert) (g) : UV Cabinet (h) : TLC densitometry scanner (Camag TLC Scanner 3 seri no.160602).)
52
Lampiran 3. Data pengentalan ekstrak etanolik daun teh
Vaccum Rotary Evaporator Ekstrak Daun Teh (Camellia sinensis L.)
∆p (%) 50
Suhu (° C) 50
∆p (mbar) 10
Volume awal (ml) 500
Tekanan (mbar) 175 dan 72
Waktu 1 jam 30 menit
Oven
Suhu (° C) 45
Waktu 2 hari
53
Lampiran 4. Perhitungan perolehan ekstrak kental
Hasil Ekstrak
Kental Replikasi I Replikasi II Replikasi III
Berat serbuk awal (g) 105 105 105
Berat cawan kosong (g) 61,57 78,74 74,48
Berat cawan + ekstrak kental (g) 83,60 105,19 103,93
Berat ekstrak kental (g) 22,03 26,45 29,45
Rata-rata ekstrak kental (g) 25,98
54
Lampiran 5. Perhitungan rendemen ekstrak kental daun teh
Replikasi I
Berat bahan kering = 105 gram
Berat ekstrak kental = 22,03 gram
Rendemen ekstrak kental = 105
03,22 x 100% = 20,98%
Replikasi II
Berat bahan kering = 105 gram
Berat ekstrak kental = 26,45 gram
Rendemen ekstrak kental = 105
45,26 x 100% = 25,19%
Replikasi III
Berat bahan kering = 105 gram
Berat ekstrak kental = 29,45 gram
Rendemen ekstrak kental = 150
45,29 x 100% = 19,63%
55
Lampiran 6. Hasil pengukuran AUC standar kafein dengan TLC densitometry scanner pada panjang gelombang 274 nm
56
57
58
59
60
Lampiran 7. Hasil pengukuran AUC sampel dengan TLC densitometry scanner pada panjang gelombang 274 nm
61
62
63
64
65
Lampiran 8. Perhitungan kadar kafein dalam sampel
Persamaan kurva baku : y = 48782,5 x + 28037,7
1. Untuk y = 39019,1
39019,1 = 48782,5 x + 28037,7
39019,1– 28037,7 = 48782,5 x
10981,4 = 48782,5 x
0,2251 = x
x = 0,2251% b/v = 0,2251g/100 ml = 0,002251 g/ml
Jumlah yang ditotolkan = 5 µl
Berat kafein dalam 5 µl = 0,002251 g/ml x 0,005 ml = 1,1255 x 10-5 g
Penimbangan sampel
Berat cawan kaca = 17,3173 g
Berat cawan kaca + ekstrak = 18,3197 g
Berat ekstrak = 1,0024 g
Berat kafein dalam 5 ml = , ,
x 5 ml = 0,0113 g
Berat kafein dalam 25,98 g ekstrak = , ,
x 25,98 g = 0,2929 g
Berat kafein dalam 105 g serbuk = , ,
x 105 g = 1,1838 g
Berat kafein dalam 100 g serbuk = 1,1838 g/105 g = 1,1274 g/100 g = 1,1274% b/b
66
2. Untuk y = 39062,0
39062,0 = 48782,5 x + 28037,7
39062,0 – 28037,7 = 48782,5 x
11024,3 = 48782,5 x
0,2260 = x
x = 0,2260 % b/v = 0,2260 g/100 ml = 0,002260 g/ml
Jumlah yang ditotolkan = 5 µl
Berat kafein dalam 5 µl = 0,002260 g/ml x 0,005 ml = 1,1300 x 10-5 g
Penimbangan sampel
Berat cawan kaca = 17,3170 g
Berat cawan kaca + ekstrak = 18,3196 g
Berat ekstrak = 1,0026 g
Berat kafein dalam 5 ml = , ,
x 5 ml = 0,0113 g
Berat kafein dalam 25,98 g ekstrak = , ,
x 25,98 g = 0,2928 g
Berat kafein dalam 105 g serbuk = , ,
x 105 g = 1,1834 g
Berat kafein dalam 100 g serbuk = 1,1834 g/105 g = 1,1270 g/100 g = 1,1270% b/b
67
3. Untuk y = 39436,0
39436,0 = 48782,5 x + 28037,7
39436,0 – 28037,7 = 48782,5 x
11398,3 = 48782,5 x
0,2337 = x
x = 0,2337% b/v = 0,2337 g/100 ml = 0,002337 g/ml
Jumlah yang ditotolkan = 5 µl
Berat kafein dalam 5 µl = 0,002337 g/ml x 0,005 ml = 1,1685 x 10-5 g
Penimbangan sampel
Berat cawan kaca = 17,3174 g
Berat cawan kaca + ekstrak = 18,3202 g
Berat ekstrak = 1,0028 g
Berat kafein dalam 5 ml = , ,
x 5 ml = 0,0117 g
Berat kafein dalam 25,98 g ekstrak = , ,
x 25,98 g = 0,3031 g
Berat kafein dalam 105 g serbuk = , ,
x 105 g = 1,2250 g
Berat kafein dalam 100 g serbuk = 1,2250 g/105 g = 1,1667 g/100 g = 1,1667% b/b
68
4. Untuk y = 43283,1
43283,1 = 48782,5 x + 28037,7
43283,1 – 28037,7 = 48782,5 x
15245,4 = 48782,5 x
0,3125 = x
x = 0,3125 % b/v = 0,3125 g/100 ml = 0,003125 g/ml
Jumlah yang ditotolkan = 5 µl
Berat kafein dalam 5 µl = 0,003125 g/ml x 0,005 ml = 1,5625 x 10-5 g
Penimbangan sampel
Berat cawan kaca = 17,3174 g
Berat cawan kaca + ekstrak = 18,3212 g
Berat ekstrak = 1,0038 g
Berat kafein dalam 5 ml = , ,
x 5 ml = 0,0156 g
Berat kafein dalam 25,98 g ekstrak = , ,
x 25,98 g = 0,4038 g
Berat kafein dalam 105 g serbuk = , ,
x 105 g = 1,6320 g
Berat kafein dalam 100 g serbuk = 1,6320 g/105 g = 1,5543 g/100 g = 1,5543% b/b
69
SD = ∑
= 0,2078
Kadar rata-rata = , , , , = 1,2439 % b/b
SE =
= ,√
= 0,1039
CV =
x 100% = ,,
x 100% = 8,35%
70
BIOGRAFI PENULIS
Penulis lahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara
pada tanggal 5 Maret 1988 di Yogyakarta. Lahir dari
ayah bernama Soenarto dan ibu bernama Dewi
Ratnawati, memiliki adik laki-laki yang bernama
Edwin Yakub Winarto. Pendidikan formal yang
dialami oleh penulis yaitu TK Tarakanita Yogyakarta
(1993-1994), SD Tarakanita Yogyakarta (1994-2000),
SMP Stella Duce 1 Yogyakarta (2000-2003), SMU
Stella Duce 1 Yogyakarta (2003-2006), dan Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma (2006-sekarang). Penulis pernah menjadi
panitia Pelepasan Wisuda Fakultas Farmasi 2007 sebagai Sie Dekorasi dan
Dokumentasi.