18
Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004 66 IDENTIFIKASI TANAH LONGSOR DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA STUDI KASUS DI KULONPROGO, PURWOREJO DAN KEBUMEN Oleh: Agus Wuryanta, Sukresno dan Sunaryo Abstrak Bencana alam tanah longsor sering melanda beberapa wilayah di Indonesia. Secara umum hal tersebut disebabkan karena letak geografis wilayah Indonesia yang dilewati “cincin api”, Iklim dan penutup lahan. Bencana tanah longsor yang terjadi di berbagai lokasi di Indonesia, umumnya terjadi pada musim penghujan, sehingga dampak yang ditimbulkan tidak hanya terjadi setempat (on site) namun juga disebelah hilirnya (off site), yaitu berupa hasil sedimen yang jumlahnya cukup besar untuk suatu kejadian hujan tertentu. Penyebab tanah longsor terutama disebabkan oleh ketahanan geser batuan yang menurun tajam jauh melebihi tekanan geser dan yang terjadi seiring dengan meningkatnya tekanan air akibat pembasahan atau peningkatan kadar air, disamping juga karena adanya peningkatan muka air tanah. Identifikasi lahan berpotensi longsor sangat diperlukan untuk mengetahui sebaran daerah yang rawan longsor sehingga dapat dilakukan upaya penanganannya. Data yang diperoleh dari teknologi PJ dalam hal ini Citra Landsat 7 ETM+ yang dilakukan penajaman dengan filter 7 x 7 dapat digunakan untuk identifikasi lahan berpotensi longsor. Disamping itu, teknik yang diujicobakan untuk menanggulangi lahan berpotensi longsor yaitu teknik pengendalian kaki tebing/lereng dengan bronjong kawat yang diisi batu kali, masing-masing lokasi dicobakan bangunan tersebut untuk panjang 6 m dan 7 m, lebar 1 m dan tinggi 2.5 m dan 2.0 m, perbaikan sistem drainase permukaan pada lereng yang telah mengalami gejala adanya retakan tanah dengan pembuatan SPA yang diperkuat dengan drop strukture dari batu, perbaikan sistem drainase dalam pada tanah diatas bidang lincir dengan lereng terjal melalui pembuatan saluran drainase horizontal yang terbuat dari pipa peralon Ø 3/4". Kata kunci: Identifikasi Lahan berpotensi longsor, Citra Landsat 7 ETM+, Teknik Pengendalian Lahan berpotensi longsor. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana alam tanah longsor sering melanda beberapa wilayah di tanah air. Beberapa faktor alami yang menyebabkan seringnya terjadi bencana tersebut antara lain banyak dijumpainya gunung api baik yang masih aktif maupun yang non aktif terutama Pulau Sumatera bagian barat dan Pulau Jawa bagian selatan. Kedua wilayah tersebut merupakan bagian dari cincin api yang melingkari cekung Samudera Pasifik dari Benua Asia sampai Benua Amerika. Selain itu, wilayah Indonesia merupakan pertemuan 3 lempeng Australia, Eurasia dan Pasifik sehingga sering dilanda gempa bumi tektonik. Guncangan gempa tersebut dapat mengakibatkan terjadinya tanah longsor pada daerah

Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

identifikasi

Citation preview

Page 1: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

66

IDENTIFIKASI TANAH LONGSOR DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA STUDI KASUS DI KULONPROGO, PURWOREJO DAN KEBUMEN

Oleh:

Agus Wuryanta, Sukresno dan Sunaryo

Abstrak

Bencana alam tanah longsor sering melanda beberapa wilayah di Indonesia. Secara umum hal

tersebut disebabkan karena letak geografis wilayah Indonesia yang dilewati “cincin api”, Iklim dan penutup lahan. Bencana tanah longsor yang terjadi di berbagai lokasi di Indonesia, umumnya terjadi pada musim penghujan, sehingga dampak yang ditimbulkan tidak hanya terjadi setempat (on site) namun juga disebelah hilirnya (off site), yaitu berupa hasil sedimen yang jumlahnya cukup besar untuk suatu kejadian hujan tertentu. Penyebab tanah longsor terutama disebabkan oleh ketahanan geser batuan yang menurun tajam jauh melebihi tekanan geser dan yang terjadi seiring dengan meningkatnya tekanan air akibat pembasahan atau peningkatan kadar air, disamping juga karena adanya peningkatan muka air tanah. Identifikasi lahan berpotensi longsor sangat diperlukan untuk mengetahui sebaran daerah yang rawan longsor sehingga dapat dilakukan upaya penanganannya. Data yang diperoleh dari teknologi PJ dalam hal ini Citra Landsat 7 ETM+ yang dilakukan penajaman dengan filter 7 x 7 dapat digunakan untuk identifikasi lahan berpotensi longsor. Disamping itu, teknik yang diujicobakan untuk menanggulangi lahan berpotensi longsor yaitu teknik pengendalian kaki tebing/lereng dengan bronjong kawat yang diisi batu kali, masing-masing lokasi dicobakan bangunan tersebut untuk panjang 6 m dan 7 m, lebar 1 m dan tinggi 2.5 m dan 2.0 m, perbaikan sistem drainase permukaan pada lereng yang telah mengalami gejala adanya retakan tanah dengan pembuatan SPA yang diperkuat dengan drop strukture dari batu, perbaikan sistem drainase dalam pada tanah diatas bidang lincir dengan lereng terjal melalui pembuatan saluran drainase horizontal yang terbuat dari pipa peralon Ø 3/4".

Kata kunci: Identifikasi Lahan berpotensi longsor, Citra Landsat 7 ETM+, Teknik

Pengendalian Lahan berpotensi longsor.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bencana alam tanah longsor sering melanda beberapa wilayah di tanah air.

Beberapa faktor alami yang menyebabkan seringnya terjadi bencana tersebut antara lain

banyak dijumpainya gunung api baik yang masih aktif maupun yang non aktif terutama

Pulau Sumatera bagian barat dan Pulau Jawa bagian selatan. Kedua wilayah tersebut

merupakan bagian dari �cincin api� yang melingkari cekung Samudera Pasifik dari

Benua Asia sampai Benua Amerika. Selain itu, wilayah Indonesia merupakan pertemuan

3 lempeng Australia, Eurasia dan Pasifik sehingga sering dilanda gempa bumi tektonik.

Guncangan gempa tersebut dapat mengakibatkan terjadinya tanah longsor pada daerah

Page 2: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

67

perbukitan dengan lereng yang curam (Kompas, 14 Desember 2002). Bencana tanah

longsor yang terjadi di berbagai lokasi di Indonesia, umumnya terjadi pada musim

penghujan, sehingga dampak yang ditimbulkan tidak hanya terjadi setempat (on site)

namun juga disebelah hilirnya (off site), yaitu berupa hasil sedimen yang jumlahnya

cukup besar untuk suatu kejadian hujan tertentu. Penyebab tanah longsor terutama

disebabkan oleh ketahanan geser batuan yang menurun tajam jauh melebihi tekanan

geser dan yang terjadi seiring dengan meningkatnya tekanan air akibat pembasahan atau

peningkatan kadar air, disamping juga karena adanya peningkatan muka air tanah.

Selanjutnya batuan/tanah penyusun lereng tersebut kondisinya menjadi kritis-labil dan

cenderung mudah longsor (Hirmawan, 1994).

Bencana tanah longsor selain menimbulkan korban jiwa, harta benda dan material

lain yang tidak sedikit juga menimbulkan dampak negatif jangka panjang yaitu

berkurangnya (hilangnya) lapisan permukaan tanah (top soil) yang subur sehingga

produktifitas tanah menurun. Menurut Soebroto, dkk.(1981), faktor � faktor yang

menyebabkan terjadinya gerakan tanah (tanah longsor) adalah topografi (kemiringan

lereng), keadaan tanah (tekstur, struktur perlapisan), keairan termasuk curah hujan,

gempa bumi dan keadaan vegetasi/hutan dan penggunaan lahan.

Dari uraian di atas diperlukan identivikasi tanah yang berpotensi longsor serta

berbagai cara pengendaliannya. Pada kajian ini dilakukan identivikasi tanah berpotensi

longsor dengan menggunakan teknik Penginderaan Jauh (PJ) yaitu citra Landsat 7

ETM+. Sedangkan teknik pengendaliannya digunakan berbagai metode yang adaptif

dengan lingkungan setempat, a.l.: 1) teknik penutupan retakan tanah dengan tanah liat,

2) teknik pengendalian sudut lereng, 3) teknik pemadatan tanah, 4) teknik pengendalian

aliran air permukaan dan bawah permukaan/drainase tanah, 5) teknik perbaikan kualitas

tanah, dan 6) teknik pengendalian vegetasi/jenis tegakan penutup tanah.

B. Tujuan Tujuan kajian adalah untuk mendapatkan metode pemrosesan data penginderaan

jauh (PJ) untuk memudahkan di dalam melakukan zonasi daerah rawan longsor serta

metode dan teknik pengendalian tanah longsor yang efektif dan efisien.

Page 3: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

68

II. METODOLOGI

Lokasi Kajian

Untuk kajian identifikasi lahan berpotensi longsor dengan citra PJ dalam hal ini

citra digital landsat 7 ETM+ dilaksanakan di wilayah Kabupaten Kebumen. Sedangkan

berdasarkan letak geografis pada koordinat 109o25� BT dan 7o45�LS sampai dengan

109o40�BT dan 7o30�LS. Wilayah kajian meliputi beberapa kecamatan yaitu kecamatan

Sadang, Kec. Karang Sambung, Kec. Karang Gayam, Kec. Karang anyar, Kec.Sempor

dan Kec. Ayah. Topografi daerah kajian bervariasi dari datar (di sebelah selatan jalan

utama Kebumen � Purwokerto ke arah pantai selatan kecuali di daerah kec. Ayah),

berbukit kecil sampai pegunungan dengan kemiringan lereng mulai landai

sampai terjal (di sebelah utara jalan utama Kebumen � Purwokerto).

Gambar 1. Lokasi kajian di Kabupaten Kebumen dan sekitarnya

Sedangkan lokasi teknik pengendalian tanah longsor terletak di wilayah

administratif kabupaten Purworejo-Propinsi Jawa Tengah dan kabupaten Kulonprogo-

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Lokasi kajian di kabupaten Purworejo

terletak di desa Kemanukan, kecamatan Bagelen pada koordinat 110o02'20"-110o02'30"

BT dan 7o25'35"-7o45'45" LS, sedang lokasi di kabupaten Kulonprogo terletak di desa

Purwoharjo, kecamatan Samigaluh pada koordinat 110o12'30"-110o12'40" BT dan

7o42'30"-7o42'40" LS.

Lokasi Kajian

Page 4: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

69

B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan untuk kegiatan kajian ini antara lain :

! Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dan peta topografi skala 1 : 25.000 dan 1 :

50.000

! Peta geologi skala 1 : 100.000

! Citra digital landsat 7 ETM perekaman tanggal 21 Juni 2000

! Alat tulis seperti pensil, balpoint dan alat tulis untuk penafsiran citra yaitu OHP

fine full color, selotip dan plastik astralon.

! Kertas plotter, kertas printer dan tinta warna (cartridengane) untuk warna hitam,

kuning, magenta dan cyan.

! Peralatan survei lapangan seperti tally sheet, kompas, abney level dan pH stik

! Peralatan untuk pengolahan data digital dan SIG, antara lain

• Perangkat keras (hard ware) berupa komputer

• Perangkat lunak (soft ware) untuk analisis citra yaitu

ErdasImagine versi 8.2 dan PC Arc/Info versi 3.4D plus untuk

analisa SIG. Untuk tabulasi diperlukan Exel, microsoft word

dan DBASE IIIPlus.

• Penakar hujan (otomatis/manual)

• Bahan perlakuan (bronjong kawat, batu kali, bambu, dan peralon

C. Metode Penelitian 1. Identifikasi Tanah Berpotensi Longsor dengan Citra Landsat 7 ETM+

Tahapan kegiatan kajian sebagai berikut :

• Image enhancement, perbaikan citra dengan koreksi geometri dan

koreksi radiometri.

• Penajaman citra dan pemrosesan citra dengan metode filtering

• Dijitasi peta situasi dan peta dasar lainnya serta peta � peta pendukung

lainnya seperti peta geologi, peta jaringan jalan dan sungai

Page 5: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

70

• Klasifikasi awal daerah rawan longsor dan erosi jurang pada citra satelit

Landsat TM secara visual dengan metode tidak berbantuan

(unsupervised classification method).

• Kegiatan lapangan, untuk mengumpulkan data lapangan (seperti data

koordinat penutup lahan, data curah hujan, kemiringan lereng, solum

tanah dll) disamping itu untuk mengecek akurasi hasil klasifikasi awal

seperti tersebut di atas.

• Data hasil kegiatan lapangan digunakan untuk melakukan klasifikasi

ulang (reklasifikasi) dengan metode klasifikasi berbantuan (supervised

classification method)

• Tumpang susun (overlay) hasil klasifikasi berbantuan dengan peta

tematik digital seperti peta geologi, peta jaringan jalan dll.

• Analisa hasil

• Pencetakan peta hasil kegiatan

2. Teknik Pengendalian Tanah Berpotensi Longsor

Pelaksanaan kajian tahun I dilakukan melalui tahapan kegiatan sebagai berikut:

• Inventarisasi daerah berpotensi longsor di Purworejo dan Kulonprogo

dengan menggunakan bantuan citra satelit (landsat) atau foto udara,

kemudian ditumpangtindihkan dengan peta topografi dan peta daerah rawan

longsor/geologi.

• Desa-desa terpilih dijadikan lokasi kajian, yaitu di desa Kemanukan-

kecamatan Bagelen dan desa Purwoharjo-kecamatan Samigaluh.

• Plot/site kajian ditetapkan berdasarkan kejadian bencana terakhir yang

terjadi, yaitu tanggal 5 Nopember 2000 di desa Kemanukan dan 20

Nopember 2001 di desa Purwoharjo.

• Penyelidikan geoteknik (sifat mekanika tanah) dilakukan untuk menetapkan

dan menghitung kekuatan geser masa tanah/batuan (r), tegangan geser (t),

Page 6: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

71

kohesi (c), dan sudut geser (α) tanah dari contoh tanah yang berada diatas

bidang luncur.

• Penyelidikan gerak masa tanah dilakukan dengan menggunakan metode

pengukuran lubang bor yang beri stik dari basi baja dan diukur tingkat

gerakannya (perubahan kemiringan) dengan kedalaman vertical lubang bor

berkisar antara 0.5-2 m.

• Penentuan tingkat kandungan air tanah yang dapat didrainasekan dilakukan

dengan menggunakan sulingan yang terbuat dari peralon yang dilobangi

seperti seruling. Peralon tersebut secara horizontal ditancapkan kedalam

dinding/lereng sedalam sampai pada batuan keras/bidang luncur.

• Rencana (design) teknis untuk pengendalian tanah berpotensi longsor

dilakukan dengan tujuan untuk menetapkan rencana teknik pengendalian

yang akan diterapkan yang disesuaikan dengan kondisi lokasi, tingkat

potensi bahaya tanah longsor, sosial-ekonomi-budaya masyarakat setempat

yang meliputi:

- penutupan retakan tanah (sebelum hujan) dengan tanah liat

- pengendalian sudut lereng (tebing) dengan bronjong kawat yang diisi

dengan batu kali.

- pengaturan drainase air permukaan dengan pembuatan saluran

pembuangan air (SPA) yang dilengkapi dengan drop structure

(terjunan) dari batu.

- Pengaturan drainase bawah permukaan tanah dengan pembuatan

sulingan yang terbuat dari pipa pralon yang ditusukkan secara

horizontal pada lereng/tebing sampai pada batuan keras.

• Peralatan pemantau hujan, gerak masa tanah, dan efektivitas kerja dari

sulingan dilakukan di masing-masing lokasi daerah rawan longsor di desa

Kemanukan dan desa Purwoharjo.

Page 7: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

72

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Metode Penajaman Citra Digital Landsat 7 ETM+ Untuk Identifikasi Lahan Berpotensi Longsor

Penajaman yang diterapkan pada citra digital untuk kajian tersebut adalah

metode penapisan (filtering). Secara umum metode tersebut ada 2 macam yaitu low pass

filtering dan high pass filtering. Sedangkan kombinasi dari kedua metode tersebut

adalah penajaman kenampakan pada arah horisontal, vertikal, deteksi kenampakan garis

(edengane detect) dan penajaman kenampakan garis (edengane enhance). Untuk kajian

ini digunakan high pass filtering untuk menajamkan kenampakan garis. Pelaksanaan

penajaman dapat dilakukan dengan menggunakan software ErdasImagine.

Pemilihan ukuran matrik (window size) untuk pelaksanaan filter tersedia dengan

ukuran 3 X 3, 5 X 5, 7 X 7, 9 X 9 dst. Disamping itu pengguna dapat membuat formula

matrik tersendiri. Di bawah ini matrik yang diterapkan pada citra untuk kajian tersebut :

-1 -1 -1

Matrik dengan ukuran 3 X 3 -1 17 -1

-1 -1 -1

-1 -1 -1 -1 -1

-1 -1 -1 -1 -1

Matrik dengan ukuran 5 X 5 -1 -1 49 -1 -1

-1 -1 -1 -1 -1

-1 -1 -1 -1 -1

-1 -1 -1 -1 -1 -1 -1

-1 -1 -1 -1 -1 -1 -1

-1 -1 -1 -1 -1 -1 -1

Matrik dengan ukuran 7 X 7 -1 -1 -1 97 -1 -1 -1

-1 -1 -1 -1 -1 -1 -1

-1 -1 -1 -1 -1 -1 -1

-1 -1 -1 -1 -1 -1 -1

Page 8: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

73

Penerapan ketiga matrik tersebut di atas pada citra akan merubah tampilan citra pada

layar (screen) komputer, disamping itu akan merubah juga nilai digital citra satelit. Oleh

karena itu setelah proses filtering, citra tersebut sebaiknya tidak dilakukan klasifikasi

secara digital.

Dengan metode ini dimungkinkan untuk memperjelas kenampakan garis

(edengane enhancement) seperti jalan, jaringan sungai dan alur � alurnya sehingga

sangat membantu dalam membedakan kelerengan dan topografi. Gambar di bawah ini

citra yang belum dilakukan proses filtering.

Gambar 2. Citra digital Landsat 7 ETM+ sebelum proses filter.

Pada gambar di atas terdapat kelemahan dan keuntungan, antaralain:

Kelemahan :

• Kenampakan garis seperti jaringan jalan, alur sungai tidak tampak dengan jelas

sehingga menyulitkan di dalam pembedaan topografi.

• Identifikasi daerah yang berpotensi longsor sulit dilakukan

Keuntungan :

• Citra digital asli dapat digunakan untuk klasifikasi penutupan lahan secara

digital.

Page 9: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

74

Metode filtering citra digital dengan matrik 3 X 3 seperti tersebut di dalam bab

IV di atas adalah tipe high pass filter untuk menajamkan kenampakan garis (edengane

enhance). Ukuran matrik yang dipakai adalah ukuran yang paling kecil. Hasil proses

tersebut terdapat pada gambar di bawah ini.

Gambar3. Citra digital landsat 7 ETM+ hasil proses filtering 3 X 3.

Kelemahan :

• Sangat tergantung pada kualitas citra. Kalau citra asli berkualitas kurang baik

(banyak tertutup awan, bergaris - garis/stipping line dll) hasil filteringnya

kurang optimal.

• Merubah nilai digital yang asli sehingga tidak dapat digunakan untuk analisa

digital yang lain tidak seperti klasifikasi.

Keuntungan : • Tidak mengurangi jumlah bands

• Kenampakan garis pada citra seperti jalan alaur sungai lebih kontras

dibandingkan dengan citra asli.

Page 10: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

75

Gambar 4. Citra digital landsat 7 ETM+ hasil proses filtering 5 X 5

Kelemahan filtering 5 X 5:

• Penajaman akan mengakibatkan perubahan nilai pixel sehingga tidak bisa

digunakan untuk klasifikasi digital.

• Sangat tergantung pada kualitas citra. Kalau citra asli berkualitas kurang baik

(banyak tertutup awan, bergaris - garis/stipping line dll) hasil filteringnya

kurang optimal.

Keuntungan filtering 5 X 5:

• Jumlah band (channel) pada citra tetap sehingga dimungkinkan pembentukan

kombinasi band untuk menyusun citra color composit

Page 11: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

76

Gambar 5. Citra digital landsat 7 ETM+ hasil proses filtering 7 X 7

Keuntungan

• Citra hasil filter sesuai untuk deliniasi kenampakan garis seperti jalan dan alur

sungai.

• Tidak mengurangi jumlah band sehingga tidak mengganggu di dalam pembuatan

kombinasi color composite.

• Untuk membedakan daerah yang berbeda topografinya lebih mudah

dibandingkan dengan 2 metode filter tersebut di atas.

• Membantu di dalam identifikasi dan zonasi daerah rawan longsor.

Kelemahan

• Penajaman akan mengakibatkan perubahan nilai pixel sehingga tidak bisa

digunakan untuk klasifikasi digital.

• Sangat tergantung pada kualitas citra. Kalau citra asli kualitasnya kurang baik

(banyak tertutup awan, bergaris - garis/stripping line dll) hasil filteringnya

kurang optimal.

B. Identifikasi lahan berpotensi longsor melalui citra landsat

Faktor � faktor terjadinya gerakan tanah (tanah longsor) adalah topografi/lereng,

Keadaan tanah/batuan termasuk struktur, Keairan termasuk curah hujan, Gempa bumi

(baik tektonik maupun vulkanis), keadaan vegetasi dan penggunaan lahan. Tidak semua

Page 12: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

77

faktor tersebut dapat diperoleh dari citra landsat 7 ETM+ seperti gempa bumi, curah

hujan dan keadaan tanah, oleh karena itu diperlukan data dan peta penunjang seperti peta

geologi, peta tanah dan data curah hujan. Peta geologi menggambarkan jenis batuan dan

kenampakan tektonis seperti jalur patahan, sesar (fault), sinklinal dan antiklinal. Hal

tersebut menunjukkan bahwa daerah kajian merupakan daerah yang rawan bencana

gerakan tanah secara tektonik. Untuk jalur sinklinal, antiklinal dan jalur perbukitan

lipatan dapat dikenali pada citra landsat.

Sedangkan topografi/ lereng dapat diinterpretasi pada citra. Daerah dengan

topografi datar dapat dibedakan dengan daerah perbukitan dan pegunungan, yaitu

dengan melihat alur - alur sungai yang tampak pada citra. Sedangkan penutupan lahan

seperti lahan berhutan dan tidak berhutan (tegalan, lahan kosong, sawah dan

pemukiman) dapat diinterpretasi pada citra. Di dalam kajian ini penutupan lahan

merupakan salah satu faktor yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan tanah

longsor dan erosi jurang. Disamping itu kegiatan lapangan (survei lapangan) digunakan

untuk mengumpulkan data lapangan dan mengecek hasil deliniasi awal pada citra.

Beberapa data yang diamati dan diukur serta dicatat di lapangan untuk kajian ini

antaralain koordinat, bentuk lahan, kemiringan lereng, tingkat erosi, relief, batuan

singkapan, batuan permukaan, jenis erosi, kedalaman solum tanah, regolit, warna tanah,

tekstur drainase permeabilitas dan penutupan lahan dan kerapatan vegetasi.

Dari hasil pemrosesan citra, kenampakan lapangan serta data lapangan yang

berhasil dikumpulkan, digunakan untuk klasifikasi secara visual daerah rawan longsor

dan erosi jurang pada citra satelit. Klasifikasi citra secara visual dibagi menjadi 2 tema

yaitu klasifikasi daerah rawan longsor dan klasifikasi untuk daerah yang rawan erosi

jurang. Klasifikasi citra satelit untuk identifikasi dan pemetaan daerah rawan longsor

didasarkan pada hasil pembobotan (scoring) parameter yang dikumpulkan di lapangan.

Sistem pengharkatan seperti terdapat pada tabel 1 di bawah ini.

Page 13: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

78

Tabel 1. Pembobotan parameter pengaruh tanah longsor Skor

No

Faktor Pengaruh

Parameter Pengaruh

Bobot Maks. Min.

1 Bentuk lahan Proses 10 50 10

2 Lereng Kemiringan lereng 10 50 10

3 Geologi Tingkat pelapukan 1 5 1

4. Tanah Ketebalan solum

Tekstur

Drainase

Stabilitas

1

1

1

1

5

5

5

5

1

1

1

1

5. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan

Kerapatan Vegetasi

1

1

5

5

1

1

Jumlah 27 135 27

Sumber : Analisis Studio PSBA UGM.2001 (dengan modifikasi)

Sedangkan penentuan interval kelas kerawanan tanah longsor ditentukan berdasarkan

perhitungan jumlah nilai maksimum dikurangi jumlah nilai minimum dibagi jumlah

klas. Klas kerawanan tanah longsor pada kajian ini ada 3 yaitu rendah, sedang dan

tinggi. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh interval nilai tingkat kerawanan

tanah longsor yaitu interval nilai 27 � 63 termasuk di dalam klas rendah, 64 � 100 klas

sedang dan lebih besar dari 101 klas tinggi. Tabel 2 di bawah ini menunjukkan hasil

perhitungan parameter tanah longsor.

Page 14: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

79

Tabel 2. Pembobotan parameter tanah longsor pada titik sampel

NO. BL Slope Tk.lapuk Solum Tekstur Drainase Stb PL K.Veg Jumlah Lokasi

1 40 25 5 4 3 3 2 3 5 90 Seling 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Widoro 3 40 45 5 1 3 4 1 5 5 109 Kaligending 4 40 45 5 5 4 5 5 5 5 119 Kr.Sambung 5 40 45 5 3 3 3 3 4 5 111 G.Paras 6 50 45 5 5 4 5 3 5 5 127 G.Penusupan7 40 35 5 5 4 5 3 5 5 107 Kr.Anyar 8 40 45 4 3 3 3 5 5 5 113 Muntuk 9 40 35 4 2 4 5 2 1 1 94 Karangmojo

10 40 40 5 5 4 4 1 1 1 101 Karangmojo 11 10 10 5 5 4 5 1 5 5 50 Kr.Gayam 12 30 25 1 1 2 1 1 5 5 71 Argopeni 13 40 45 5 4 4 4 5 4 3 114 Kr.Duwur 14 40 45 5 4 4 4 5 4 3 114 Jintung 15 40 45 5 4 4 4 5 4 3 114 Jintung 16 40 35 3 2 3 2 5 4 4 93 Kalidondong 17 40 25 5 5 5 5 5 5 5 100 Keteng 19 30 15 5 5 5 5 2 1 1 74 Gedang kulon20 40 20 5 5 5 5 4 5 5 94 Berpasangan21 40 20 5 5 5 5 4 5 5 94 Kalitengah

Sumber : data primer

C. Metode Pengendalian Lahan Berpotensi Longsor

Sebelum menentukan metode pengendalian lahanberpotensi longsor terlebih

dahulu diteliti sifat � sifat mekanika tanahnya, meliputi parameter: tekstur, bulk density,

plastisitas (PI), konsistensi, cohesi (c), sudut geser (α), kekuatan geser (r) dan tegangan

geser (t). Sample tanah diambil pada sekitar site tanah longsor yang telah ada dan pada

bekas longsoran di desa Kemanukan-Purworejo dan desa Purwoharjo-Kulonprogo.

Sampel tanah diambil pada kedalaman sampai + 1 m dengan menggunakan tabung

(ring) dan contoh tanah terganggu dengan menggunakan karung plastik. Pengambilan

dilakukan 2 kali yaitu saat musim kemarau (sebelum tanah basah) dan saat musim

penghujan (saat tanah telah basah) sehingga dapat diketahui kondisi tanah pada 2

kondisi kadar air yang berbeda. Hasil analisis sample tanah di 2 lokasi disajikan pada

Tabel 3.

Page 15: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

80

Tabel 3. Hasil analisis sifat-sifat fisik tanah daerah berpotensi longsor

No. Kedalaman KA PI BJ r t c α

(m) (%) (%) g/cm3 (kN/m2) (kN/m2) (kN/m2) (û)

Kelas Tekstur

1. PURWOHARJO-KULONPROGO

a. Sebelum Musim Hujan 2 15 12,34 17,48 2,63 0,26 0,39 0,31 20,91 SC 2 75 23,73 26,17 2,64 0,26 0,39 0,31 20,91 SC 3 15 12,99 17,14 2,48 0,26 0,33 0,24 20,99 CL 4 15 13,89 23,12 2,51 0,26 0,40 0,33 17,18 CL 4 75 16,67 12,59 2,53 0,26 0,40 0,33 17,18 ML 5 15 25,44 22,99 2,59 0,26 0,33 0,24 20,72 MH 6 15 15,00 23,52 2,56 0,26 0,27 0,16 25,71 MH 7 15 16,42 15,25 2,52 0,26 0,31 0,26 12,21 SC

Rata2 17,06 19,78 2,56 0,26 0,35 0,27 19,48 b. Musim Hujan

1 15 47,19 10,44 2,44 0,26 0,32 0,20 24,26 ML 2 15 40,93 4,84 2,52 0,26 0,30 0,26 6,38 ML 3 15 44,85 9,72 2,72 0,26 0,27 0,24 6,22 ML

Rata2 44,32 8,33 2,56 0,26 0,30 0,23 12,29

2. KEMANUKAN-PURWOREJO a. Sebelum Musim Hujan

1 15 36,96 24,65 2,27 0,26 0,33 0,17 31,42 MH 1 100 34,12 19,11 2,58 0,26 0,33 0,17 31,42 MH 2 15 31,80 26,63 2,20 0,26 0,32 0,15 33,21 MH 2 100 34,42 22,93 2,33 0,26 0,32 0,15 33,21 CL 3 15 17,33 21,05 2,36 0,26 0,34 0,18 31,73 SC 3 100 25,93 16,55 2,40 0,26 0,34 0,18 33,73 MH 4 100 11,97 20,04 2,24 0,26 0,30 0,17 25,48 SC 5 100 16,94 23,10 2,34 0,26 0,36 0,21 28,61 MH 6 15 12,23 6,63 2,34 0,26 0,33 0,20 31,42 SM 6 100 12,01 4,95 2,26 0,26 0,33 0,20 31,42 SM

Rata2 23,37 18,56 2,33 0,26 0,33 0,18 31,17 b. Musim Hujan

1 15 43,46 16,85 2,53 0,26 0,34 0,23 23,48 ML 2 15 39,36 7,77 2,50 0,26 0,29 0,17 25,55 ML 3 15 40,25 6,49 2,53 0,26 0,26 0,19 15,25 ML 4 15 62,54 27,15 2,73 0,26 0,25 0,18 14,67 MH 5 15 34,39 6,00 2,50 0,26 0,29 0,20 19,88 ML

Rata2 44,00 12,85 2,56 0,26 0,29 0,19 19,77 Sumber : data primer Keterangan: MH = Lanau/lempung plastisitas tinggi CL = Lempung plastisitas rendah ML = Lanau/lempung plastisitas rendah SM = Pasir berlanau SC = Pasir berlempung/berlanau

Page 16: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

81

Ujicoba teknik pengendalian tanah berpotensi longsor yang disepakati baik di

desa Kemanukan maupun Purwoharjo yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil

pertemuan dan diskusi, yaitu: a) Ujicoba teknik pengendalian kaki tebing/lereng dengan bronjong kawat yang

diisi batu kali, masing-masing lokasi dicobakan bangunan tersebut untuk

panjang 6 m dan 7 m, lebar 1 m dan tinggi 2.5 m dan 2.0 m (gambar 6).

b) Ujicoba perbaikan sistem drainase permukaan pada lereng yang telah

mengalami gejala adanya retakan tanah dengan pembuatan SPA yang

diperkuat dengan drop strukture dari batu (gambar 7).

c) Ujicoba perbaikan sistem drainase dalam pada tanah diatas bidang lincir

dengan lereng terjal melalui pembuatan saluran drainase horizontal yang

terbuat dari pipa peralon Ø 3/4" (gambar 8).

d)

Gambar 6. Pengendalian tebing dengan bronjong kawat

Gambar 7. Perbaikan SPA dengan drop

Gambar 8. Perbaikan sistem drainase dalam tanah dengan sulingan

Page 17: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

82

IV. KESIMPULAN

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa :

1. Metode penajaman dengan menggunakan filter berukuran matrik 7 X 7

menghasilkan citra yang paling kontras untuk membedakan kenampakan

topografi dan sungai serta jalan.

2. Survei lapangan dengan bantuan GPS (Global Positioning System) sangat

membantu di dalam menentukan posisi dan koordinat suatu tempat.

3. Sosialisasi dan penggalian informasi dari penduduk yang tinggal di daerah

bencana tanah longsor dan daerah sekitarnya dilakukan melalui pertemuan dan

diskusi dengan penduduk dengan materi berupa langkah-langkah penanganan

awal dan jenis uji-coba yang dapat diterapkan, a.l.: 1) pengendalian tebing curam

bronjong kawat yang diisi batu (gabion) dengan panjang 6-7 m, lebar 1 m dan

tinggi 2.0-2.5 m., 2) perbaikan saluran air permukaan (SPA) dengan lebar 0.5-1.0

m yang dilengkapi dengan drop structure, dan 3) pembuatan sulingan dari pipa

peralon Ø 3/4" panjang 0.5 - 2.0 m yang disuntikkan secara horizontal untuk

pengatusan air tanah bawah permukaan.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat DTL. 1981. Gerakan Tanah di Indonesia. Ditjen Pertambangan Umum, Dep. Pertambangan dan Energi, Bandung.

Elsie M.J. and R.A.Zuidan. 1998. Remote Sensing, Synergism and Geographical

Information System for Desertification Analysis : an example from northwest Patagonia, Argentina,ITC Journal 1998:134.

Hirmawan, F. 1994. Pemahaman Sistem Dinamis Kestabilan Lereng untuk Mitigasi

Kebencanaan Longsor. Makalah Penunjang No. 17 Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F-Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan Bencana, Yogyakarta.

Jensen, R. 1986. Introductory Digital Image Processing, A Remote Sensing Perspective.

Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey 07632.

Page 18: Identifikasi Tanah Longsor & Mtigasi

Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta Kebumen, 3 Agustus 2004

83

Karnawati, D. 2000. Ditemukan 13 Lokasi Baru Rawan Longsor di Purworejo. Kompas,

20-11-2000). Koesmaryono, Y., R. Boer, H. Pawitan, Yusmin dan I. Las. 1999. Pendekatan IPTEK

dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Prosiding Diskusi Panel Strategi Antisipasi Menghadapi Gejala Alam La-Nina dan El-Nino untuk Pembangunan Pertanian, PERHIMPI-FMIPA IPB-PPTA-ICSA, Bogor.

Lillesand,T.M. dan Kiefer. 1986. Remote Sensing and Image Interpretation. John

Wilew and Son Soemarsono, 1999. Kebijakan Departemen Kehutanan dan Perkebunan di Bidang

Pengendalian Kebakaran Hutan dan Kebun. Prosiding Diskusi Panel Strategi Antisipasi Menghadapi Gejala Alam La-Nina dan El-Nino untuk Pembangunan Pertanian, PERHIMPI-FMIPA IPB-PPTA-ICSA, Bogor.

Sutikno. 2000. Kondisi Tanah Longsor di Indonesia. Kompas, 11-12-2000.

Tjojudo, S. 1994. Teknik Penentuan Bidang Longsoran. Makalah Penunjang No. 13 Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F-Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan Bencana, Yogyakarta.

Wahyono. 1994. Zonasi Kerentanan Longsoran Daerah Cianjur Selatan Jabar Lewat

Citra Satelit SPOT. Makalah Penunjang No. 11 Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F-Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan Bencana, Yogyakarta.