Upload
nguyenthuan
View
273
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
IDIOM MUSIKAL MINANGKABAU DALAM KOMPOSISI KARAWITAN
INSTITUT SENI INDONESIA PADANGPANJANG: SEBUAH ANALISIS DALAM KONTEKS ADAPTASI MUSIKAL
TESIS
Oleh :
ERIZON NIM 127037006
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N 2015
ii
IDIOM MUSIKAL MINANGKABAU
DALAM KOMPOSISI KARAWITAN
INSTITUT SENI INDONESIA PADANGPANJANG : SEBUAH ANALISIS DALAM KONTEKS ADAPTASI MUSIKAL
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dalam Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Oleh:
Erizon
NIM. 127037006
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
iii
2015
Judul Tesis : IDIOM MUSIKAL MINANGKABAU DALAM
KOMPOSISI KARAWITAN INSTITUT SENI
INDONESIA PADANGPANJANG : SEBUAH
ANALISIS DALAM KONTEKS ADAPTASI
MUSIKAL
Nama : ERIZON Nomor Pokok : 127037006 Program Studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Drs. Irwansyah, M.A. NIP. 19621221 199703 1 001 Ketua
Dr. Ridwan Hanafiah, SH, M.A. NIP. 19560705 198903 1 002 Anggota
Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Ketua Drs. Irwansyah, M.A. NIP. 19621221 199703 1 001
Fakultas Ilmu Budaya Dekan Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 19511013 197603 1 001
iv
Tanggal Lulus : 11 Pebruari 2015
Telah diuji pada
Tanggal, 11 Pebruari 2015
PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS
Ketua : Drs. Irwansyah, M.A. ( ___________________)
Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. ( ___________________)
Anggota I : Prof. DR. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. (_________________)
Anggota II : Dr. Ridwan Hanafiah, SH, M.A. ( ___________________)
Anggota III : Dra. Rithaony, M.A. (___________________)
v
ABSTRACT
The title of this research is Minangkabau Musical Idioms in the Karawitan Composition in Indonesia Fine Art Institute of Padangpanjang: an Analytical to Musical adaptation context. This reasearch attend to answere the problems as : (a) analyzing and understanding the meaning about terminology of composition and working methode so that the term arranging and composing can be understood contextualy, (b) analyzing and understanding the the making of Minangkabau musical idioms that developed in use of the Wastern musical instruments and elemens till to be a musical work, and (c) analyzing and understanding the adaptating of Minangkabau tradional music to the concepts of Western music in the musical work at Karawitan Department of Indonesia Fine Art Institute of Padangpanjang. This research is a field, laboratorium, and literature studies. The field research covered the observation, interview, recording. The laboratorium study covered treatment, sellection, and filtering the field data. Qualitative and verificative method is used in this research and started by collected field, interview, and literature data and then finding out the theorycal approach to analyzed the datas. The analyzed shows (a) There are misunderstanding to the term of composition. The meaning of composition term is ambigue to the term of arranging. There is treference to say the karawitan musical work by the term composition. The analyzed shows that Galodo Saluang Panjang is obsolutely used partly or fully the melodic structure of Duo Duo song. The work Bagaluik Di Nan Batingkah is absolutely used the talempong interlocking pattern as tradtionaly used. The making process of the work is done by group or colletively so that the work is not purely as a product of creativity by someone personaly. In fact the musical work is in the name of personaly, (b) there are using the Western musical elemen and instrumentasion like a tertian harmoni, homophonic and polyphonic texture, flute, alto saxophone, tenor saxophone,trumpet, trombone, tuba, electical guitar, electrical bass, keyboard, and drum set, and (c) Minangkabau traditional music have adaptated to the Western Music. In the academical context, it has adaptated Minangkabau music to the Western music in the Indonesia Fine Art Institute of Padangpanjang musical work in form.
Key words : idiom, minangkabau, composition, adaptation, and diatonic.
vi
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Idiom Musikal Minangkabau dalam Komposisi Karawitan Institut Seni Indonesia Padangpanjang: Sebuah Analisis dalam Konteks Adaptasi Musikal. Penelitian bertujuan menjawab permasalahan-permasalahan berikut: (a) Memahami dan menganalisis pengertian tentang terminologi komposisi dan metode penggarapan sehingga istilah-istilah komposisi dan aransemen bisa dipahami secara kontekstual, (b) Memahami dan menganalisis penggarapan idiom musikal Minangkabau yang dikembangkan dengan menggunakan elemen dan instrumen musik Barat hingga menjadi sebuah karya musik, dan (c) Memahami dan menganalisis pengadaptasian karawitan Minangkabau ke konsep musik Barat dalam sebuah karya musik di Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang. Penelitian ini bersifat kerja lapangan, laboratorium, dan kepustakaan. Penelitian lapangan meliputi observasi, wawancara, dan perekaman. Pekerjaan di laboratorium meliputi pengolahan, penyeleksian, dan penyaringan data lapangan. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif verivikatif yang diawali dengan pengumpulan data baik lapangan, wawancara, dan kepustakaan kemudian mencari pendekatan teoretis untuk menganalisis data-data yang telah diperoleh. Hasil analisis menunjukkan (a) Adanya persepsi yang kurang tepat terhadap istilah komposisi. Pengertian istilah komposisi menjadi rancu dengan istilah aransemen. Ada kecenderungan menganggap setiap karya karawitan disebut dengan istilah komposisi. Hasil analisis menunjukkan bahwa karya Galodo Saluang Panjang nyata-nyata masih menggunakan struktur melodi yang sudah ada yaitu lagu Duo-Duo. Karya Bagaluik Di Nan Batingkah nyata-nyata masih menggunakan pola permainan talempong Cak Din Din. Penggarapan karya cenderung dilakukan secara kolektif sehingga hasil garapan tidak murni dari hasil kreatifitas si pemilik karya. Padahal karya musik tersebut diatasnamakan seseorang saja. (b) Terdapat penggunaan elemen dan instrumen musik Barat dalam karya musik karawitan berupa harmoni tersian, tekstur homofoni dan polifoni serta penggunaan instrumen flute, saksofon alto, saksofon tenor, terompet, trombon, tuba, gitar, gitar bas, keyboard dan drum set. (c) Karawitan Minangkabau beradaptasi terhadap musik Barat. Dalam konteks akademis, di ISI Padangpanjang telah terjadi adaptasi karawitan Minangkabau terhadap musik Barat dalam bentuk karya musik. Kata kunci : idiom, minangkabau, komposisi, adaptasi, dan diatonis.
vii
PRAKATA
Bismillahir Rahmanir Rahim. Alhamdu Lillahi Rabbil Alamin. Dengan
pertolongan dan ridho Allah tesis ini dapat saya selesaikan.
Saya mengucapkan terimakasih kepada
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).,
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dr. Syahron Lubis,
M.A., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan
fasilitas dan sarana pembelajaran sehingga penulis dapat belajar di kampus
Universitas Sumatera Utara dalam kondisi nyaman.Dekan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Irwansyah M.A. selaku ketua Program Studi Magister (S2)
Penciptaan Dan Pengkajian Seni Universitas Sumatera Utara dan bapak
Drs. Torang Naiborhu selaku Sekretaris Program Studi Magister
Penciptaan dan Pengkajian Seni, atas kesempatan, bimbingan dan
pelayanan yang diberikan kepada saya dalam mengikuti perkuliahan
hingga menyelesaikan studi Program Studi Magister (S2) Penciptaan Dan
Pengkajian Seni Universitas Sumeatera Utara.
3. Bapak Drs. Irwansyah, M.A dan bapak Dr. Ridwan Hanafiah, SH, M.A.
selaku pembimbing tesis.
4. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin, M.Si dan ibu Dra. Rithaony, M.A. selaku
penguji tesis.
viii
5. Seluruh dosen di Program Studi Magister (S2) Penciptaan Dan Pengkajian
Seni Universitas Sumeatera Utara yang banyak membantu dalam
pengembangan wawasan keilmuan saya hingga dapat menyelesaikan studi.
6. Ayahanda Irsyad Adam, Bapak Hajizar, S.Kar., M.Sn, bapak Elizar Koto,
S.Sn, M.Sn, bapak M Halim, M.Sn (Mak Lenggang), bapak Yunaedi,
S.Sn, M.Sn, bapak Admiral, M.Sn.
7. Saudara-saudaraku: Darmansyah, S.Sn, M.Sn, Jumaidi Syafei, S.Sn, M.Sn,
Hafif HR, M.Sn, Fahmi Marh, S.Sn, M.Sn, Agusten Huri, S.Sn, M.Sn, dan
Siswandi, S.Sn.
8. Teman-teman sesama mahasiswa Program Studi Magister (S2) Penciptaan
dan Pengkajian Seni Universitas Sumeatera Utara Angkatan 2012, selamat
berjuang. Terimakasih khusus kepada saudaraku Muhammad Yusuf
Sinuhaji dan kakanda Anton Sitepu atas lecutan semangat untuk saya.
Semoga hari-hari yang pernah kita lalui dengan penuh suka cita selama
kuliah di program Studi Magister (S2) Penciptaan Dan Pengkajian Seni
Universitas Sumeatera Utara menjadi kenangan yang indah untuk
persahabatan kita di masa yang akan datang. Amin.
9. Nelli Herniwati ummi dari dua anakku yang baik hati Muhammad Alfajri
Ahsanal Haditsi dan Asyrata Aina. Alhamdulillah. Berkat doa dan
kesabaran kalian buya bisa menyelsaikan studi S2 Penciptaan Dan
Pengkajian Seni. Semoga Allah meridoi amal saleh kita. Amin.
ix
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Erizon, S.T, S.Sn
Tempat/Tanggal Lahir : Sungai Penuh, 15 Juli 1971
Alamat : Jl. H M Yamin Gg. Manggis No. 08 Medan
Agama : Islam
Jenis Kelamin : laki-laki
Pekerjaan : 1. Mengajar di SMA Amir Hamzah 2. Mengajar di Jurusan Sendratasik Unimed
Pendidikan :
1. Sarjana Seni dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang 2004
2. Sarjana Teknik dari Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan (1998)
3. SMA Negeri I Sungai Penuh (1990)
Pada tahun 2012/2013 diterima menjadi mahasiswa pada program studi magister (S2) Penciptaan dan pengkajian seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
x
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah di ajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan di sebutkan dalam daftar pustaka.
(ERIZON)
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Tetrakord dengan interval setengah berada di ujung ............ 48
Gambar 2. Tetrakord Dengan Interval Setengah Berada di tengah ........ 48
Gambar 3. Tetrakord Dengan Interval Setengah Berada di pangkal ...... 48
Gambar 4. Susunan interval tangga nada doris ..................................... 49
Gambar 5. Susunan interval tangga nada frigis ..................................... 49
Gambar 6. Susunan interval tangga nada lydis ....................................... 49
Gambar 7. Rentang suara normal sebagaimana dalam sebuah chorus ... 56
Gambar 8. Posisi nada-nada keyboard dalam notasi balok ................... 61
Gambar 9. Nada-nada kromatik ........................................................... 62
Gambar 10. Whole step dan Semitone .................................................. 63
Gambar 11. Birama dan garis bar ........................................................ 65
Gambar 12. Skala mode mayor dan minor ........................................... 74
Gambar 13. Penataan alat musik dalam orkestra .................................. 75
Gambar 14. Notasi lagu Malereang Tabiang dari Agam (Bukittinggi).. 79
Gambar 15. Notasi lagu Duo Duo dari Muara Labuh ........................... 79
Gambar 16. Notasi lagu Tak Tong Tong dari Darek ............................. 79
Gambar 17. Lagu Simarantang dari Kabupaten 50 Kota ...................... 80
Gambar 23. Notasi vokal lagu Duo-Duo .............................................. 163
Gambar 24. Notasi tetrakord lagu Duo Duo ......................................... 164
Gambar 25. Dua tetrakord berhimpitan ............................................... 164
Gambar 26. Notasi analisis modus ...................................................... 165
Gambar 27. Notasi nada yang sering dipakai pada frase A .................. 166
Gambar 28. Notasi nada yang sering dipakai pada frase A’ ................. 167
xii
Gambar 29. Notasi nada berdurasi paling panjang ............................... 167
Gambar 30. Notasi nada awal, tengah dan akhir .................................. 168
Gambar 31. Notasi nada paling rendah dan tepat di tengah .................. 168
Gambar 32. Notasi nada dengan ritme paling kuat ............................... 169
Gambar 33. Notasi nada akhir ............................................................. 169
Gambar 34. Notasi interval lagu Duo Duo ........................................... 172
Gambar 35. Notasi frase lagu Duo Duo ............................................... 174
Gambar 36. Frase A lagu Duo Duo ..................................................... 176
Gambar 37. Frase A' lagu Duo Duo ..................................................... 177
Gambar 38. Notasi subfrase lagu Duo Duo .......................................... 179
Gambar 39. Notasi subfrase A-a lagu Duo Duo ................................... 179
Gambar 40. Notasi subfrase A-b lagu Duo Duo ................................... 180
Gambar 41. Notasi subfrase A'-a' lagu Duo Duo ................................. 181
Gambar 42. Notasi subfrase A'-b' lagu Duo Duo ................................. 181
Gambar 43. Notasi motif lagu Duo Duo .............................................. 183
Gambar 44. Notasi motif a .................................................................. 183
Gambar 45. Notasi motif b .................................................................. 184
Gambar 46. Notasi motif b1 ................................................................. 184
Gambar 47. Notasi motif b2 ................................................................. 184
Gambar 48. Notasi motif c .................................................................. 185
Gambar 49. Notasi motif c1 ................................................................ 185
Gambar 50. Notasi motif c2 ................................................................ 185
Gambar 51. Notasi teknik silabis ......................................................... 186
Gambar 52. Notasi teknik melismatis .................................................. 187
Gambar 53. Notasi silabis lagu Duo Duo ............................................. 188
xiii
Gambar 56. Bagan komposisi Galodo Saluang Panjang ....................... 193
Gambar 57. Notasi instrumentasi Galodo Saluang Panjang ................. 194
Gambar 58. Full score Galodo Saluang Panjang birama ke-1 s.d. 13 ... 196
Gambar 59. Notasi penutup Ad Libitum saluang ................................. 196
Gambar 60. Notasi motif dasar penutup solo saluang .......................... 197
Gambar 61. Notasi melodi descending yang dikembangkan ................ 197
Gambar 62. Notasi respon terhadap solo saluang panjang ................... 197
Gambar 63. Notasi motif dasar respon ................................................. 198
Gambar 64. Notasi condenced score birama ke-1 s.d. 13 ..................... 199
Gambar 65. Notasi garis melodi birama ke-2 s.d. 4 ............................. 199
Gambar 66. Notasi konstruksi harmoni birama ke-2 s.d. 4 ................... 199
Gambar 67. Notasi orkestrasi dalam bentuk full score ......................... 200
Gambar 68. Notasi jalur suara birama ke-2 s.d. 4 ................................ 201
Gambar 69. Notasi scoring birorkestrasi birama ke-2 s.d. 4 ................. 201
Gambar 70. Skema orkestrasi birama ke-2 s.d. 4 ................................. 202
Gambar 72. Notasi talempong birama ke-12 s.d. 17 ............................ 204
Gambar 73. Sumber bentuk dasar motif talempong ............................. 204
Gambar 74. Notasi pengembangan motif talempong ........................... 204
Gambar 75. Notasi Galodo Saluang Panjang birama ke-18 s.d. 26 ....... 205
Gambar 76. Notasi susunan instrumen birama ke-18 s.d. 26 ................ 206
Gambar 77. Notasi condenced score birama ke-18 s.d. 26 ................... 207
Gambar 78. Skema orkestrasi birama ke-18 s.d. 26 ............................. 207
Gambar 80. Notasi motif birama ke-26 ............................................... 208
Gambar 81. Notasi sekuaensi turun berasal dari motif birama ke-26 .... 209
Gambar 82. Notasi sumber pengembangan motif birama ke-26 ........... 209
xiv
Gambar 83. Notasi birama ke-26 s.d. 33 .............................................. 210
Gambar 85. Notasi full score birama ke-34 s.d. 37 .............................. 211
Gambar 86. Notasi susunan harmoni birama ke-34 s.d. 37 ................... 211
Gambar 87. Notasi condenced score susunan orkestrasi birama ke-34 s.d. 37 ............................................................................................................ 212
Gambar 88. Skema orkestrasi birama ke-34 s.d. 37 ............................. 212
Gambar 89. Grafik tekstur birama ke-34 s.d. 37 .................................. 213
Gambar 90. Notasi birama ke-38 s.d. 41 .............................................. 214
Gambar 91. Notasi harmoni birama ke-37 s.d. 41 ................................ 214
Gambar 92. Susunan orkestrasi dalam bentuk skor piano birama ke-37 s.d. 41 ............................................................................................................ 214
Gambar 94. Notasi birama ke-41 s.d. 46 ............................................... 216
Gambar 95. Notasi birama ke-47 s.d. 50 .............................................. 216
Gambar 96. Notasi birama ke-51 s.d. 54 .............................................. 217
Gambar 97. Notasi solo Ad Libitum saluang panjang ........................... 218
Gambar 98. Notasi full score birama ke-57 s.d. 60 .............................. 219
Gambar 99. Notasi full score birama ke-61 s.d. 64 .............................. 219
Gambar 100. Notasi full score birama ke-65 s.d. 68 ............................ 220
Gambar 101. Notasi subfrase A-a ........................................................ 220
Gambar 102. Notasi respon birama ke-57 s.d. 60 ................................. 221
Gambar 103. Notasi subfrase A-b ....................................................... 221
Gambar 104. Notasi scoring orkestrasi birama ke-59 s.d. 62 ................ 221
Gambar 105. Skema orkestrasi birama ke-59 s.d. 62 ........................... 222
Gambar 106. Notasi susunan harmoni birama ke-59 s.d. 62 ................. 222
Gambar 107. Notasi susunan harmoni birama ke-65 s.d. 68 ................. 222
Gambar 109. Notasi vokal dan instrumen birama ke-69 s.d. 72 ........... 224
xv
Gambar 110. Notasi vokal dan instrumen birama ke-73 s.d. 76 ........... 224
Gambar 111. Notasi vokal kanon birama ke-69 s.d. 76 ........................ 225
Gambar 113. Notasi Ad Libitum saluang birama ke-77 s.d. 80 ............ 226
Gambar 114. Notasi tutti birama ke-80 s.d. 83 ..................................... 227
Gambar 115. Notasi tutti birama ke-84 s.d. 89 ..................................... 227
Gambar 116. Notasi susunan harmoni birama ke-80 s.d. 89 ................. 228
Gambar 117. Notasi scoring orkestrasi birama ke-80 s.d. 89 ................ 228
Gambar 119. Notasi pola ritme Gua Cak Din Din ................................ 231
Gambar 120. Notasi pola ritme bas meniru Talempong Paningkah ...... 232
xvi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Grafik dua dimensi musik (pitch dan time) ........................... 68
Grafik 2. Grafik tekstur ....................................................................... 70
Grafik 3. Grafik tekstur polifoni imitatif .............................................. 71
Grafik 4. Grafik tekstur polifoni non imitatif ....................................... 71
Grafik 5. Grafik tekstur homofoni ....................................................... 72
Grafik 6. Grafik kontur frase A-a lagu Duo Duo ................................. 195
Grafik 7. Grafik kontur frase A-b lagu Duo Duo ................................. 209
Grafik 8. Grafik tekstur birama ke-2 s.d. 4 .......................................... 203
Grafik 9. Grafik tekstur birama ke-18 s.d. 26 ...................................... 214
Grafik 10. Grafik tekstur birama ke-26 s.d. 33 ..................................... 216
Grafik 11. Grafik tekstur birama ke-34 s.d. 37 ..................................... 221
Grafik 12. Grafik tekstur birama ke-37 s.d. 41 ..................................... 215
Grafik 13. Grafik tekstur birama ke-59 s.d. 62 ..................................... 228
Grafik 14. Grafik tekstur vokal kanon birama ke-69 s.d. 76 ................. 230
Grafik 15. Grafik tekstur birama ke-84 s.d. 89 ..................................... 234
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kuantitas nada lagu Duo Duo ………………………………… 173
Tabel 2. Wilayah Nada Lagu Duo Duo ………………………………… 177
Tabel 3. Ambitus Lagu Duo-Duo dalam notasi balok ……………….. 178
Tabel 4 Interval Lagu Duo-Duo ……………………………………… 179
Tabel 5. Pola-Pola Kadens Lagu Duo Duo …………………………. 181
Tabel 6. Bentuk Kadens Dari Anteseden dan Konsekuen Lagu Duo Duo 182
DAFTAR ISI
xviii
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
ABSTRACT ................................................................................................ v
ABSTRAK .................................................................................................. vi
PRAKATA .................................................................................................. vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................... ix
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
DAFTAR GRAFIK ...................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xvii
DAFTAR ISI ............................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 17
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 18
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 19
1.5 Tinjauan Pustaka ...................................................................... 19
1.6 Landasan Teori ......................................................................... 24
1.6.1 Konsep Adaptasi ............................................................. 29
1.6.2 Teori Adaptasi ................................................................ 36
1.6.3 Teori Bobot Tangga Nada ............................................... 38
1.7 Metode Penelitian ..................................................................... 39
1.7.1 Penelitian Lapangan ........................................................ 39
1.7.2 Kerja Laboratorium ......................................................... 42
1.7.3 Metode Grafik Pitch and Time ........................................ 42
1.8 Sistematika Penulisan ............................................................... 42
xix
BAB II MUSIK DIATONIS DALAM BEBERAPA ASPEK ..................... 44
2.1 Tetrachord Awal ....................................................................... 47
2.2 Modalitas Gregorian ................................................................. 50
2.2.1 Tetrachord Gregorian ...................................................... 51
2.3 Syarat Bunyi (Sound Property ) ................................................ 52
2.4. Elemen Musik (Music Element) ............................................... 54
2.4.1 Pitch (Tinggi Randah Nada) ........................................... 55
2.4.1.1 Interval Oktaf (Octave Interval) ........................ 56
2.4.2 Dinamik (Dynamic) ....................................................... 57
2.4.3 Warna bunyi (Tone color) .............................................. 58
2.4.4 Tangga Nada (Scale) ....................................................... 59
2.4.5 Tangga nada diatonis (The Diatonic scale) .................... 60
2.4.5.1 Tangga nada kromatik (The Chromatics scale) ... 61
2.4.5.2 Instrumen dan Tangga Nada
(Scales And Instrument) .................................... 62
2.4.5.3 Langkah Setengah dan Langkah Penuh ............... 63
2.4.6 Waktu (rhythm) .............................................................. 64
2.4.6.1 Ketukan (beat) .................................................. 64
2.4.6.2 Tekanan (accent) .............................................. 64
2.4.6.3 Meter (meter) .................................................... 65
2.4.6.4 Waktu dan ritme (rhythm dan rhythms) .............. 66
2.4.7 Tempo .......................................................................... 66
2.4.7.1 Petunjuk Tempo (Tempo indication) .................. 67
2.5 Tinggi-Rendah Nada dan Waktu (Pitch dan Time) .................. 68
2.6 Struktur Musik (The Structure Of Music) ................................ 68
xx
2.6.1 Melodi (melody) ............................................................. 68
2.6.2 Anyaman (texture) ......................................................... 69
2.6.3 Key dan Mode ................................................................. 72
2.7 Bentuk dan Stil Musik (Musical Form and Musical Style) ....... 75
2.7.1 Bentuk Musik (Form in Music) ........................................ 76
2.7.2 Stil Musik (Musical Style) ............................................... 76
2.8 Musik Diatonis di Sekolah-Sekolah ........................................... 77
2.9 Tetrakord Diatonis Dalam Lagu-lagu Tradisional Minangkabau 78
2.10 Musik Diatonis Di Indonesia (Awal Penyebaran) .................... 80
2.11 Musik Diatonis Di Minangkabau (Peran Sekolah Belanda)...... 82
2.12 Peran Beberapa Tokoh dalam memeperkenalkan musik diatonis
di Minangkabau ...................................................................... 85
2.13 Komposisi dan Aransemen ..................................................... 98
2.13.1Komposisi ...................................................................... 98
2.13.2 Aransemen .................................................................... 100
BAB III KARAWITAN MINANGKABAU DAN JURUSAN KARAWITAN
INSTITUT SENI INDONESIA PADANGPANJANG ................... 102
3.1 Minangkabau (Sebuah Nama) ................................................... 104
3.2 Daerah Minangkabau ................................................................ 108
3.3 Adat Minangkabau ................................................................... 112
3.3.1 Bunyi-bunyian Dalam Konteks Adat Minangkabau ........ 114
3.3.2 Karawitan Minangkabau ................................................. 118
3.4 Jenis-Jenis Karawitan Minangkabau ......................................... 118
3.4.1 Salueng .......................................................................... 119
xxi
3.4.1.1 Salueng Darek .................................................. 120
3.4.1.2 Salueng Sirompak ............................................. 121
3.4.1.3 Salueng Sungai Pagu ........................................ 124
3.4.1.4 Salueng Paueh .................................................. 126
3.4.2 Rabab ................................................................................ 127
3.4.2.1 Rabab Darek .......................................................... 128
3.4.2.2 Rabab Pariaman ..................................................... 130
3.4.2.3 Rabab Pesisir ......................................................... 132
3.4.3 Talempong ......................................................................... 132
3.5 Konsep Penggarapan Komposisi Musik (Peran Pekan Komponis
Dan Festifal IKI .......................................................................... 138
3.6 Institut Seni Indonesia Padangpanjang ....................................... 147
3.6.1 Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran ISI Padangpanjang .......... 149
3.6.2 Visi, Misi, dan Tujuan Program Studi Seni Karawitan ..... 151
3.7 Musik Dalam Masyarakat Melayu Minangkabau ........................ 152
3.8 Mata Kuliah Komposisi Musik di Jurusan Karawitan ISI Padang
Padangpanjang ............................................................................ 160
3.9 Mata Kuliah Musik Barat di Jurusan Karawitan ISI
Padangpanjang .................................................................. 163
BAB IV IDIOM MUSIKAL MINANGKABAU DALAM KOMPOSISI KARAWITAN ÎNSTITUSI ...................................................... 165 4.1 Lagu Duo Duo Dalam Komposisi Galogo Saluang Panjang. 169 4.1.1 Analisis Tangga nada ..................................................... 170 4.1.2 Analisis Modus ............................................................... 172
4.1.3 Ànalisis Nada Dasar ....................................................... 173
4.1.4 Analisis Wilayah Nada ................................................... 177
xxii
4.1.5 Analisis Interval ............................................................. 178
4.1.6 Analisis Pola Kadens ..................................................... 180
4.1.7 Analisis Formula Melodi ................................................ 183
4.1.8 Analisis Bentuk Lagu Duo Duo ...................................... 185
4.1.9 Identifikasi Tema lagu Duo Duo ..................................... 189
4.1.10 Analisis Hubungan Teks Dengan Musik ........................ 193
4.1.11 Analisis Kontur Melodi ................................................ 194
4.1.12 Analisis Meter................. ................................................ 196
4.2 Komposisi Galodo Saluang Panjang ......................................... 198
4.2.1 Instrumentasi Galodo Saluang Panjang ........................... 199
4.2.2 Analisis Sub Bagian A ....................................................... 200
4.2.3 Analisis Sub Bagian B ..................................................... 209
4.2.4 Analisis Sub Bagian C ..................................................... 223
4.3 Gua Cak Din Din Dalam Komposisi Bagaluik Di Nan Batingkah 234
4.3.1 Bentuk Musik Bagaluik di Nan Batingkah ...................... 237
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 240
5.1 Kesimpulan ............................................................................... 240
5.2 Saran ......................................................................................... 244
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 246
LAMPIRAN ………………………………………………………………... 249
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang adalah sebuah Perguruan
Tinggi Seni dengan visi “Seniman dan Ilmuan Seni Budaya Melayu Berjaya”.
Salah satu misinya adalah menyelenggarakan pendidikian seni dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai dasar budaya Melayu1. Seni Budaya Melayu
dipelajari di beberapa fakultas yang ada di ISI Padangpanjang. ISI Padangpanjang
terdiri dari dua fakultas yaitu Fakultas Seni Pertunjukan Dan Fakultas Seni Rupa
dan Desain.
Penelitian ini berkaitan erat dengan musik tradisional Minangkabau
(karawitan Minangkabau) yang dalam perkembangannya beradaptasi dengan
musik luar Minangkabau. Musik luar Minangkabau yang dimaksud adalah musik
diatonis atau dikenal juga sebagai musik Barat. Secara akademis, karawitan
Minangkabau dipelajari di Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang di samping
musik dari rumpun Melayu lainnya serta musik Nusantara. Selain itu, dipelajari
juga musik Barat dalam bentuk mata kuliah Teori Musik, Solfegio, Piano, dan
Transkripsi Analisis. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui dan memahami
bagaimana, secara akademis, idiom musikal Minangkabau dijadikan bahan-bahan
dasar penciptaan dan kemudian diproses dan dikembangkan dengan melibatkan
elemen dan instrumen musik Barat hingga tercipta sebuah komposisi musik baru
di Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang. Tesis ini merupakan kajian yang
1 Buku Panduan Akademik Mahasiswa ISI Padangpanjang 2012/2013. Hal. 5.
2
didasarkan pada teori adaptasi dengan menggunakan anilisis atas sebuah
komposisi musik. Sebagai pelengkap tesis ini, penulis juga menghadirkan kilasan
sejarah tentang musik Barat atau diatonis di Minangkabau, orang-orang yang
berperan penting, dan hingga berdirinya Institut Seni Indonesia Padangpanjang.
Selama kuliah di STSI Padangpanjang (sekarang ISI) tahun 2000-2004
penulis kerap mengamati dan menyaksikan proses pengerjaan sebuah karya musik
karawitan baik oleh dosen maupun mahasiswa. Mereka berkumpul pada sebuah
tempat atau ruangan dengan peralatan musik masing-masing dan menerima arahan
dari seseorang (komposer); mencoba memainkan seperti yang diinstruksikan
komposer; pemain menyumbangkan ide-ide dan pemikirannya kepada komposer.
Jika sumbang-saran itu cocok dengan apa yang dipikirkan oleh komposer maka
usulan itu diterima untuk dimasukkan ke dalam bagian komposisi. Kemudian
mereka memainkan secara bersama-sama bahan-bahan yang telah mereka proses
tadi di bawah pengawasan dan arahan sang komposer.
Penulis menggunakan istilah komposer untuk orang yang memiliki
gagasan musikal, yang memegang kendali, mengambil keputusan, serta yang
memberikan arahan dalam proses penciptaan. Di kalangan Jurusan Karawitan pun
digunakan istilah komposer. Meskipun istilah komposer ini masih kerap dipahami
secara sepihak oleh berbagai kalangan, namun untuk sementara penulis
menggunakan istilah ini untuk menunjuk person yang memiliki, menggagas, dan
memegang kendali sebuah proses penciptaan karya musik.
Ide-ide musikal yang mereka pakai dalam penggarapan komposisi
kebanyakan berasal dari idiom karawitan Minangkabau. Sebagian mereka ada
3
yang menggunakan secara utuh sebuah lagu atau dendang untuk diolah dan
memadupadankannya dengan lagu-lagu lain hingga menjadi sebuah karya musik.
Sebagian lainnya ada yang mengambil cuplikan motif melodi atau pun motif ritme
dari sebuah lagu atau permainan perkusi Minangkabau untuk kemudian diolah dan
dikembangkan menjadi sebuah karya musik yang baru, sehingga berbeda dari
melodi atau ritme asli yang terdapat dalam sumber ide. Tidak jarang pula mereka
menggunakan kombinasi dari kedua cara di atas, yaitu mengambil melodi asli dan
kemudian membuat pengembangannya berdasarkan motif-motif yang ada pada
melodi asli tersebut. Itulah yang untuk sementara dapat penulis amati dari aktifitas
berkarya musik di Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang yang selanjutnya perlu
dikaji lebih jauh mengenai terminologi yang berhubungan dengan kekaryaan
musik seperti kata komposisi dan aransemen.
Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang berada di bawah Fakultas Seni
Pertunjukan yang merupakan sebuah jurusan yang mengkaji, meneliti, dan
menyajikan musik rumpun Melayu dengan konsentrasi yang lebih besar pada
musik-musik tradisional Minangkabau. Materi-materi musik Minangkabau yang
dipelajari mencakup seni vokal (dendang) dan instrumen-instrumen musik
tradisional.
Setiap akhir perkuliahan penciptaan musik, Tugas Akhir masa studi, dan
dalam berbagai even kreatifitas seni, masing-masing mahasiswa dari minat
penciptaan musik Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang dituntut untuk
mempresentasikan karya musik sendiri sebagai syarat perkuliahan hingga
mendapatkan gelar kesarjanaan di bidang seni (Sarjana Seni, S.Sn). Karya musik
4
yang mereka sajikan umumnya menggunakan idiom musikal Minangkabau.
Idiom-idiom tersebut dapat berasal dari dendang (musik vokal Minangkabau),
bansi, saluang (-darek, -sirompak, -panjang, -pauah), pupuik (-sarunai, -
gadang/liolot, -tanduak), rabab (-pariaman, -pasisie, -darek, -badoi), gandang (-
tambua, -sarunai, -adok, -katindiek, -rapa’i, -rabana), talempong (-pacik, -
unggan, -kreasi), kucapi payokumbuah, genggong, atau pun hal-hal musikal yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa tertentu (bailau2, misalnya), dan
sebagainya3.
Mahasiswa (baca: orang-orang muda) ini, sebagai generasi muda
Minangkabau yang posisinya sebagai “ujung tombak” kebudayaan, tentunya
bagaikan wadah yang menyerap dan menampung berbagai informasi dan
pelajaran dari generasi pendahulunya. Generasi pendahulu ini bisa berupa orang-
orang Minangkabau yang tidak sezaman dengan mereka, para seniman, dosen, dan
sebagainya. Dalam diri (pemikiran) merekalah bersemayam kultur seni
Minangkabau yang beradaptasi dengan elemen-elemen seni (musik) Barat.
Kreatifitas dan vitalitas orang-orang muda ini sangat menarik untuk
disimak dan dikaji melalui karya-karya musik mereka. Sebagai mahasiswa yang
notabene adalah orang-orang muda, karya-karya musik mereka tentunya akan
mempengaruhi perkembangan musik Minangkabau pada era-era selanjutnya. Jadi,
keberadaan mereka yang di “garis depan” generasi Minangkabau menjadi alasan
2 Sejenis ratapan untuk sesosok jenazah orang yang sudah meninggal dunia (penulis). Ratapan tersebut memiliki unsur-unsur vokal yang musikal. Bailau merupakan tradisi Minangkabau yang terdapat di daerah Solok. Unsur-unsur musikal bailau pernah dijadikan sebagai ide dasar karya musik. 3 Wawancara dengan Darmansyah, M.Sn, via telepon, salah seorang tenaga pengajar di jurusan Karwitan ISI Padangpanjang.
5
bagi penulis untuk melihat dan memahami bagaimana sebuah proses adaptasi di
sebuah titik kekinian.
Fenomena penciptaan karya musik dengan berlatar belakang idiom
musikal Minangkabau di ISI Padangpanjang ini memiliki sejarah yang cukup
menarik. Kreatifitas di bidang musik sudah ada sejak adanya Konservatori
Karawitan (KOKAR)4 yang membawahi Jurusan Minangkabau kemudian berubah
menjadi Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padangpanjang, berubah lagi
menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, dan terakhir
menjadi Institut Seni Indonesi (ISI) Padangpanjang saat ini.
Penyajian karya musik pada awal-awal ASKI dulu sangat bersahaja jika
dibandingkan dengan keadaan sekarang baik mengenai seting alat, tata panggung,
tata cahaya, kostum, posisi pemain, dan sebagainya. Berdasarkan wawancara
dengan Elizar Koto5, beliau menceritakan bahwa dulunya (kira-kira tahun 1970-
80-an) karya-karya musik Minangkabau ini dituangkan dalam media-media
instrumen tradisional Minangkabau saja. Alat-alat musik tersebut diset
sedemikian rupa supaya bisa dimainkan dalam posisi duduk. Kostum yang mereka
gunakan adalah kostum-kostum tradisional Minangkabau. Tata cahaya dan tata
panggung sangat sederhana. Hanya ada lampu penerang yang bersifat statis
terkadang (lebih sering) tanpa warna-warni. Sekarang ini, aturan penggunaan alat
4 KOKAR adalah singkatan dari Konservatorium Karawitan. Kata “konservatori” digunakan untuk memberi penekanan pada usaha pelestarian kesenian tradisional Indonesia. Konservatori jelas sebuah istilah yang dipinjam dari “Barat” yang biasa digunakan untuk menunjuk institusi—termasuk lembaga pendidikan—yang bergerak pada urusan konservasi atau pelestarian (periksa buku Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni Pertunjukan dan Seni Media, 2009. Editor: Mukhlis PaEni. Hal. 154-155.). 5 Elizar Koto adalah dosen di Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang dan juga seorang komposer.
6
musik, tata panggung, tata cahaya, kostum, posisi saat bermain, dan sebagainya
sudah lebih bebas dan longgar.
Wawancara yang penulis adakan dengan beberapa komposer yang juga
dosen di jurusan karawitan mengungkap hal-hal menarik seputar kreatifitas
berkarya musik. Wawancara dilakukan dengan santai dan penuh rasa
kekeluargaan dalam bahasa Minangkabau. Wawancara dilaksanakan mulai dari
tanggal 30,31 Mei sampai dengan 01 Juni 2014 di tempat dan waktu yang
berbeda. Penulis berkesempatan membuat pertanyaan silang untuk masing-masing
komposer sehingga dapat diketahui hal-hal yang khas dan menarik dari masing-
masing mereka kecuali Nedy Winuza (almarhum) yang belum lama berselang
telah meninggal dunia sehingga penulis tidak sempat mewawancarainya secara
langsung. Wawancara bersifat bebas tetapi penulis tetap pada satu fokus yaitu
kekaryaan musik yang berbasis idiom musikal Minangkabau.
Beberapa komposer (mereka juga sebagai dosen) masa-masa ASKI
Padangpanjang yang gigih berkarya dan menjadi inspirasi bagi generasi-generasi
baru adalah bapak Hajizar, Hanefi, dan kemudian dilanjutkan oleh Elizar Koto,
Nedy Winuza, M Halim (Mak Lenggang), Yunaidi, Rafiloza, dan lain-lain.
Mereka mengalami era “lama” yang bersahaja hingga era “baru” yang lebih
longgar dan banyak tersedia kemudahan baik teknis, informasi, peralatan, dan
sebagainya. Mereka sering mempertunjukkan karya musik baik di dalam maupun
luar negeri. Intensitas mereka yang tinggi dalam berkarya membuat ciri khas dan
gaya karya mereka lebih mudah di kenal. Masing-masing mereka menguasai
dengan baik berbagai permainan alat musik tradisional Minangkabau.
7
Penciptaan musik berdasarkan idiom-idiom musikal Minangkabau tidak
hanya dikerjakan oleh dosen atau mahasiswa dari Jurusan Karawitan saja. Pada
tahun 1990-an Yoesbar Djaelani, seorang dosen di Jurusan Musik, membuat
sebuah motto untuk menggairahkan kehidupan musik di ASKI (sekarang ISI)
Padangpanjang, yang berbunyi “Angkat Tradisi Raih Prestasi". Sejak saat itu
bermunculan karya-karya dari dosen-dosen (jurusan musik) dan mahasiswa
dengan mengambil ide-ide dasar dari idiom musikal Minangkabau. Djaelani
sendiri membuat beberapa karya musik yang salah satunya berjudul Langkisau
dan Simarantang6. Langkisau merupakan sebuah lagu populer Minangkabau
(1970-an) ciptaan Syahrul Tarun Yusuf (seorang penulis lagu Minangkabau-
populer) dan Simarantang adalah lagu rakyat yang selalu hadir dalam acara
Randai.7
Yoesbar Djaelani menuliskan dalam laporan karya musik Langkisau dan
Simarantang (1990), bahwa karya ini sepenuhnya dikerjakan dengan teknik
komposisi zaman Barok, Klasik, dan Romantik untuk instrumen musik Barat dan
teknis komposisi musik tradisi Minangkabau untuk instrumen tradisi
Minangkabau.8
Djaelani menjelaskan, bahwa instrumen musik pendukung dari sektor
musik tradisi Minangkabau yang ia gunakan dalam Langkisau Simarantang terdiri
dari: bansi (sejenis rekorder sopran), saluang (suling diagonal), talempong,
6 Yoesbar Djaelani, Langkisau dan Simarantang, Laporan Pergelaran Karya Seni, 1991. 7 Randai merupakan sebuah seni pertunjukan khas Minangkabau yang di dalamnya terdapat seni musik, tari, dan teater (pen.). Dalam Kamus Musik Pono Banoe (2003), randai diartikan sebagai jenis kesenian rakyat Sumatera Barat (Minangkabau, pen.) berupa nyanyian dengan paduan gerak silat. 8 Yoesbar Djaelani. 1991. Langkisau dan Simarantang. hal. 3.
8
canang (sejenis bonang pada gamelan), ganto (genta atau cowbell), tambua
(tambur atau grand cassa). Dari sektor musik Barat digunakan alat musik sebagai
berikut: flute, klarinet, trompet, saksofon alto, saksofon tenor, trombon, biola,
biola alto, cello, kontrabas, bas elektrik, drums, koor (paduan suara), dan secara
khusus tepukan tangan9.
Kecenderungan mengangkat idiom-idiom musikal Minangkabau dengan
elemen musikal dan medium alat musik Barat terus berlanjut. Pada tahun 2003
beberapa orang dosen dari Jurusan Karawitan membuat karya musik sebagai
Tugas Akhir untuk memperoleh gelar Magister Seni dari Program Pasca Sarjana
STSI Surakarta (sekarang ISI Surakarta) Jurusan Penciptaan dan Pengkajian Seni.
Mereka adalah Nedy Winuza, Elizar Koto, Rafiloza, dan Yunaidi. Keempat
komposer tersebut sama-sama mengangkat ide-ide yang berasal dari idiom
musikal Minangkabau. Masing-masing mereka memiliki kekhasan ide dan
penggunaan instrumen musik tertentu dalam karya mereka. Dari keempat
komposer tersebut, Yunaidi memiliki keunikan tersendiri. Yunaidi yang
memasukkan elemen Musik Barat (alat musik strings, flute, saxophone, dan brass)
ke dalam komposisi musiknya yang berjudul “Renungan Rantau: Penciptaan
Musik Asimilasi”. Yunaidi menggunakan seksi Strings (violin, viola, dan kontra
bass) dan seksi Woodwind-Brass (flute, saxophone, trumpet, dan trombone)
untuk komposisinya disamping penggunaan instrumen tradisional Minangkabau
(rabab pasisie, talempong, rapa’i), Bali (gendang, suling), Batak (taganing),
Bengkulu (dol), dan lain-lain untuk memperkuat/mencerminkan konsep Merantau
9 Ibid. hal. 4.
9
dalam komposisinya itu. Yunaidi dibimbing oleh Prof. Dr. Rahayu Supanggah
dan Dr. Waridi (Alm.).
Mahasiswa jurusan karawitan terinspirasi oleh karya Renungan Rantau.
Mereka meniru dengan menuangkan ide-ide musikalnya yang berdasarkan idiom
musikal Minangkabau dengan menggunakan format instrumentasi campuran
antara instrumen musik tradisional Minangkabau dengan instrumen musik Barat
(seperti strings dan brass section) serta elemen musik Barat. Fenomena
memasukkan elemen musik Barat ke dalam karya karawitan Minangkabau ini
ternyata terus berlanjut di kalangan mahasiswa jurusan karawitan hingga sepuluh
tahun terakhir (sekarang, 2014) yang di awali dari karya musik Siswandi dengan
judul Galodo Saluang Panjang pada tahun 2004.
Berdasarkan wawancara via telepon dengan Siswandi, ia mengatakan,
bahwa dalam berkarya, dirinya berangkat dari idiom musikal Minangkabau
berupa lagu (dendang) yang berjududl Duo Duo (salah satu lagu Saluang
Panjang) khas Sungai Pagu Muaralabuh, Solok Selatan. Siswandi menggunakan
instrumen musik Minangkabau berupa saluang panjang, talempong, canang,
gandang tambua, saluang darek, dan bansi. Sedangkan instrumen musik Barat
yang ia gunakan adalah flute, saksofon alto, saksofon tenor, terompet, trombon,
dan tuba.
Siswandi, pada waktu itu, cukup mendapat tantangan dari dosen
pembimbingnya maupun lingkungan akademis. Pembimbing tidak setuju dengan
adanya penggunaan instrumen musik Barat dalam karyanya sehingga Siswandi
harus menjalani beberapa kali ujian kelayakan di tingkat jurusan untuk
10
mempertahankan ide-ide musikalnya. Akhirnya, Siswandi berhasil meyakinkan
dosen pembimbing dan penguji pada waktu itu hingga ia bisa ujian sampai ke
tingkat final.
Keberhasilan Siswandi merupakan kemenangan ide-ide baru dari “orang-
orang muda” karawitan. Setelah karya Siswandi ini, penggunaan elemen musik
Barat dan instrumen campuran Barat dan Timur (khususnya Minangkabau) untuk
komposisi Tugas Akhir menjadi semacam trend di kalangan mahasiswa Jurusan
Karawitan ISI Padangpanjang hingga saat ini.
Penulis merangkum, bahwa fenomena penggunaan instrumen dan elemen
musik Barat dalam karya musik yang berlatar idiom musikal Minangkabau di ISI
Padangpanjang dimulai dari karya-karya Yoesbar Djaelani (1990), dilanjutkan
oleh Yunaedi (kalangan dosen) dan kawan-kawan di Jurusan Karawitan ISI
Padangpanjang (2003), dan kemudian oleh Siswandi (kalangan mahasiswa) dan
kawan-kawan (2004-sekarang). Sebagai catatan, di Jurusan Musik ISI
Padangpanjang juga terjadi hal yang sama hingga sekarang. Jika di Jurusan
Karawitan ide-ide penciptaan musik berasal dari musik Minangkabau dengan
medium ungkap instrumen tradisional dan Barat maka di Jurusan musik lebih
cenderung mengambil idiom musikal dari musik Minangkabau dan medium
ungkapnya berupa instrumen musik Barat saja. Namun, beberapa dari mahasiswa
Jurusan Musik ada juga (sedikit) yang menggunakan instrumen campuran
Minangkabau dan Barat.
Penulis mencermati ternyata tidak hanya dari segi instrumentasi saja hal-
hal dari musik Barat yang diadopsi untuk komposisi oleh mahasiswa karawitan
11
ISI Padangpanjang tetapi juga hal-hal yang menyangkut harmoni10. Hal menarik
yang perlu diteliti dari proses penciptaan komposisi oleh mahasiswa Jurusan
Karawitan adalah (1) pemanfaatan idiom musikal Minangkabau yang potensinya
beragam untuk dijadikan dasar penciptaan komposisis musik, (2) pemanfaatan
elemen dan instrumen musik Barat dalam komposisi mereka di samping
instrumen-instrumen tradisional Minangkabau. Mengapa menarik? Karena mereka
secara akademis atau khusus (mahasiswa JurusanKarawitan) belum mempelajari
teknik instrumentasi, teknik orkestrasi untuk instrumen-instrumen musik Barat
(seperti karakter suara pada register tinggi, sedang, dan rendah dari instrumen
tersebut dan juga tingkat-tingkat kesulitan tekniknya.), harmoni, kontrapung, dan
sebagainya. Kalaupun mereka bisa menangani instrumentasi Barat dalam sebuah
komposisi itu adalah karena sebuah sifat kegigihan belajar yang tidak hanya
mengharap dari kelas formal. Penulis berpendapat bahwa buah karya mereka
menarik dan layak untuk dikaji karena mereka memilki disiplin ilmu yang mandiri
yaitu karawitan Minangkabau. Penulis penasaran dan ingin mengetahui serta
memahami bagaimana sebuah idiom musikal Minangkabau dikembangkan dan
diadaptasikan dengan kaidah-kaidah musik non tradisional Minangkabau (dalam
hal ini musik Barat).
Kendala dapat pula terjadi bila instrumen tradisional dimainkan bersamaan
dengan instrumen musik Barat. Si komposer dituntut harus menguasai
10 Mardjani Martamin dan Rizaldi dalam tulisan mereka Harmoni dalam Karawitan Minangkabau membuat kesimpulan tentang harmoni dari beberapa sumber. Harmoni dalam musik adalah kombinasi bunyi yang terdengar sebagai akibat dari rangkaian nada yang terdengar secara simultan yang diatur menurut aturan tinggi-rendah, panjang-pendek, lemah-kuat, cepat-lambat, ritme, warna nada, dan sebagainya.
12
pengetahuan tentang karakter alat musik tradisional agar tidak terjadi
penutupan/penimpaan bunyi yang mengakibatkan bunyi instrumen yang
diinginkan malah tidak muncul. Contohnya, ketika satu buah saluang
(woodwind), yang berkarakter lembut, dimainkan bersamaan dengan brass
section, secara akustik berakibat bunyi saluang akan tenggelam (tertutup oleh
brass). Kasus-kasus lain mungkin saja muncul karena ketidak mengertian tentang
instrumentasi dan orkestrasi. Penulis tidaklah memposisikan diri untuk mencari-
cari kesalahan dari sebuah karya musik, namun lebih kepada tujuan mempelajari
dan menganalisis bagaimana sebuah adaptasi dapat dipelajari dari sebuah karya
musik.
Hal lain yang mungkin dapat terjadi akibat dari penggunaan multi
instrumen (berdasarkan pengalaman penulis) adalah ketidak seimbangan kekuatan
atau ketebalan bunyi dari beberapa jalur melodi/suara yang membentuk tekstur
tertentu: monofoni, homofoni, polifoni, dan sebagainya sebagai akibat dari
ketidakcermatan pengorkestrasian.
Persoalan harmoni dan kontrapung Barat tentunya sangat menentukan
keutuhan sebuah karya musik yang idiom musikalnya berasal dari skala nada yang
“bukan diatonik”. Harmonisasi diatonik terhadap melodi yang bukan berasal dari
skala diatonik dapat saja menunjang kualitas karya musik namun ketidak
cermatan penanganan nada per nada yang berhubungan dengan pitch maupun
durasi dapat membuat musik berkesan tidak “Minangkabau” lagi tetapi betul-betul
sudah seperti musik Barat. Terungkap dalam kesempatan wawancara dengan M
Halim, 30 Mei 2014, beliau mengatakan bahwa pada bagian solo vokal (Tenor)
13
Langkisau Simarantang karya Yoesbar Djaelani ada sesuatu yang janggal di mana
frase-frase vokal tersebut memiliki jeda yang terlalu panjang, berbeda dengan
karakter aslinya sehingga kesan ketradisonalannya tidak muncul dan terasa
janggal di “telinga” (telinga tradisional). Tentunya hal ini merupakan sebuah
kritik, bahwa ternyata tidak mudah untuk memasukkan elemen musikal Barat ke
dalam sebuah karya yang berangkat dari idiom-idiom musikal Minangkabau.
Tetapi, M Halim dengan tulus mengungkapkan bahwa ia sangat terkesan dengan
teknik orkestrasi yang digunakan oleh Yoesbar Djaelani sehingga ia pun
terinspirasi menggunakan teknik-teknik orkestra tersebut dalam karyanya.
Penulis ingin mengetahui dan memahami bagaimana seorang komposer
menangani berbagai persoalan yang berhubungan dengan pengembangan idiom
musikal, harmoni, instrumentasi, orkestrasi serta mengadaptasi hal-hal tersebut
untuk kebutuhan karya musiknya dalam perspektif pelestarian dan pengembangan
karawitan Minangkabau. Penulis mengambil sampel dari karya musik mahasiswa
jurusan karawitan yang merupakan generasi muda atau sebagai orang yang berada
di penghujung zaman dalam konteks kekiniannya. Sehingga, penulis dapat
mempelajari terjadinya sebuah adaptasi karawitan Minangkabau terhadap musik
Barat yang sudah berlangsung sejak dulu, selama kurun waktu tertentu, dalam
wujud sebuah komposisi musik.
Penulis juga memaparkan secara singkat beberapa fakta sejarah yang
melatari persinggungan orang Minangkabau dengan musik diatonis melalui
pendidikan di Sekolah Nagari, Kweekschool, hingga ada yang menempuh
pendidikan konservatori musik di Eropa. Tinjauan kesejarahan ini penulis
14
paparkan agar dapat dipahami bahwa persinggungan orang Minangkabau dengan
musik Barat merupakan sebuah kesinambungan dan bukanlah sesuatu yang hadir
secara tiba-tiba. Keberadaan Institut Seni Indonesia Padangpanjang tidak lepas
kaitannya dengan orang-orang tertentu yang nota bene adalah orang-orang yang
mengecap pendidikan musik Barat baik di Indonesia maupun di Eropa. Mereka
inilah yang membawa masuk dan memperkenalkan musik Barat ke dalam institusi
musik di Minangkabau.
Mengenai keaslian penelitian ini, sejauh pengetahuan penulis belum
pernah ada orang yang mengangkat tentang ide-ide musikal Minangkabau dalam
bentuk sebuah kajian adaptasi serta permasalahan teknik orkestrasi, instrumentasi,
tekstur, harmoni dan kontrapung sebagai objek kajian untuk penulisan tesis.
Pernah ada kajian musik Barat tentang orkestra oleh Herna Hirza, S.Pd, M.Sn
namun kajian tersebut berkisar tentang sejarah dan keberadaan kelompok-
kelompok orkestra di kota Medan dari masa ke masa. Tesis tersebut di tulis untuk
memperoleh gelar Magister Seni dari Program Pasca Sarjana Jurusan Penciptaan
dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara pada
tahun 2011.
Penulis sengaja tidak memasukkan persoalan bentuk dan struktur yang
mengacu pada bentuk dan struktur musik Barat seperti sonata, concerto, rondo,
dan sebagainya ke dalam kajian ini dengan latar belakang pemikiran—meminjam
pendapat—Suka Hardjana mengenai bentuk musik Nusantara, ia menuturkan,
bahwa “seni karawitan Indonesia mengacu pada konsentrasi batin, bukan
ketegangan yang mengacu pada suatu klimaks seperti pada konsepsi seni di
15
banyak negara Barat. Contoh, Gamelan Indonesia mengacu pada hakikat rasa,
bukan (permainan) bentuk dan struktur: Ia berpusar pada keselarasan bukan
kontras, dan keseluruhan (wholenese), bukan bagian-bagian”11. Sedangkan untuk
struktur musik, penulis akan merujuk pada pengetahuan struktur musik Barat
untuk dapat memahami, menganalisis dan menjelaskan struktur komposisi musik
yang dibuat oleh mahasiswa Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang tetapi tidak
dengan maksud membandingkannya dengan sonata, concerto, rondo, dan
sebagainya.
Berkenaan dengan judul tesis ini yakni: Idiom Musikal Minangkabau
dalam Komposisi Karawitan Institut Seni Indonesia Padangpanjang, penulis
merasa perlu menerangkan beberapa kata dari judul tersebut supaya tesis ini
dapat lebih dipahami dan menjembatani antara pemikiran penulis dan pembaca.
Penulis memaparkan pengertian kata tersebut dalam konteks pengertian umum
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kemudian membandingkannya
dengan pengertian yang lebih khusus.
Kata idiom dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan
jenis kata benda dalam bidang Liguistik berarti 1) a konstruksi dalam unsur-unsur
yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya
karena bersama yang lain. b konstruksi yang maknanya tidak sama dengan
gabungan makna anggota-anggotanya. 2) Dalam bidang arkeologi, berarti bahasa
dan dialek yang khas menandai suatu bangsa, suku, kelompok, dll.
11 Suka Hardjana. Antara Kritik dan Apresiasi. hal. 266.
16
Berdasarkan pengertian dari KBBI di atas, kata idiom musikal
Minangkabau dalam konteks musik dapat diartikan sebagai konstruksi musik
yang berasal dari elemen-elemen musik yang kekhasannya merujuk pada musik
sebuah bangsa, suku, atau pun kelompok yang bernama Minangkabau. Bentuk-
bentuk idiom musikal dapat kita temukan dalam nyanyian, permainan instrumen
atau pun bunyi-bunyian yang khas dari suatu kultur musik.
Kata musikal menurut KBBI merupakan adjektiva yang berarti 1)
berkenaan dengan musik; 2) mempunyai kesan musik; 3) mempunyai rasa peka
terhadap musik. Kata musikal sebagai nomina berarti cerita untuk pentas yang
seringkali jenaka dan sentimental, menggunakan nyanyian, tari, dan dialog. Dalam
Kamus Musik (Pono Banoe, 2003:287) kata musikal berarti: hal-hal yang
berkenaan dengan musik; orang yang berkemampuan musik.
Kata Minangkabau merujuk pada Alam Minangkabau yang di sebut
sebagai Luhak Nan Tigo, yaitu: Luhak Agam, Luhak Tanah Datar, dan Luhak
Limapuluh Kota. Ketiga Luhak tersebut merupakan kampung halaman atau
tempat asal orang Minangkabau yang sekaligus merupakan pusat kebudayaan
orang Minangkabau dengan Pariangan Padangpanjang sebagai nagari tuo. Secara
administratif, Minangkabau termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Propinsi
Sumatera Barat Republik Indonesia.
Kata komposisi dalam KBBI merupakan nomina yang berarti 1) susunan;
2) tata susunan; 3) gubahan, baik instrumental maupun vokal; 4) teknik menyusun
karangan agar diperoleh cerita yang indah dan selaras; 5) dalam bidang kesenian
(rupa, pen.) berarti integrasi warna, garis, dan bidang untuk mencapai kesatuan
17
yang harmonis. Berdasarkan The New Groove Dictionary of Music and Musicians
kata komposisi (Ingg.: composition) diartikan sebagai: The activity or process of
creating music, and the product of such activity.
Kata karawitan dalam KBBI merupakan nomina yang berhubungan
dengan kesenian yang berarti seni gamelan dan seni suara yang bertangga nada
slendro dan pelog. Pengertian ini bersifat sempit dalam lingkup wilayah yang
terbatas pada budaya Jawa saja karena kata karawitan memang berasal dari
bahasa Jawa. Dalam kamus musik (Pono Banoe, 2003: 210), karawitan berarti
keindahan; gamelan; musik tradisi berbagai wilayah Indonesia. Arti karawitan
yang lebih luas untuk menunjukkan sebuah cabang seni adalah seni bunyi-bunyian
atau dalam bahasa Minangkabau disebut dengan buni-bunian. Dengan demikian,
kata karawitan sudah dimaknai secara umum untuk menunjukkan seni bunyi-
bunyian tradisional yang berasal dari daerah-daerah di Indonesia, misalnya
karawitan Jawa, karawitan Sunda, karawitan Batak, karawitan Minang, dan
sebagainya.
1.2. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah mengapa
dan bagaimana idiom musikal Minangkabau diadaptasikan dengan elemen dan
instrumen musik Barat. Mengapa tidak menggunakan elemen dan instrumen
musik Minangkabau saja?
Hal penting dari kajian ini adalah dari mana idiom musikal secara spesifik
diperoleh dan bagaimana idiom itu ditransformasikan ke dalam teknik-teknik
18
tertentu. Penulis juga merasa perlu mengamati sejauh mana struktur musik Barat
digunakan dalam komposisi musik mahasiswa jurusan karawitan. Jadi, Secara
garis besar penulis akan mengamati bagaimana idiom musikal mula-mula
dikembangkan, struktur, pemilihan elemen musik, gaya musikal, pemilihan
instrumen, dan proses berkarya sampai karya tersebut tercipta secara utuh.
Berdasarkan semua paparan di atas penulis mengajukan rincian batasan
masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman tentang terminologi komposisi dan metode
penggarapan sehingga istilah-istilah komposisi dan aransemen bisa dipahami
secara kontekstual?
2. Bagaimana dan mengapa sebuah idiom musikal Minangkabau yang berasal
dari sebuah tangga nada yang berjumlah lima nada dikembangkan menjadi
sebuah komposisi musik baru dengan menggunakan elemen dan instrumen
musik Barat?
3. Hal-hal apa saja dari karya musik karawitan Minangkabau yang diadaptasikan
dengan elemen dan instrumen musik Barat?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan-
permasalahan yang telah dirumuskan dalam batasan masalah sebagai berikut:
1. Memahami dan menganalisis pengertian tentang terminologi komposisi dan
metode penggarapan sehingga istilah-istilah komposisi dan aransemen bisa
dipahami secara kontekstual.
19
2. Memahami dan menganalisis proses penggarapan idiom musikal
Minangkabau yang berasal dari sebuah tangga nada yang terdiri dari lima
nada yang kemudian dikembangkan dengan menggunakan elemen dan
instrumen musik Barat hingga menjadi sebuah karya musik.
3. Memahami dan menganalisis pengadaptasian karawitan Minangkabau ke
konsep musik Barat (musik diatonis) dalam sebuah karya musik di Jurusan
Karawitan ISI Padangpanjang.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Memperoleh gelar kesarjanaan Magister Seni di bidang Pengkajian Seni
2. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan pedoman dalam kajian seni
selanjutnya khususnya kajian tentang sumber-sumber ide musikal tradisi
musik tertentu dalam sebuah komposisi musik dalam perspektif teori adaptasi
budaya.
1.5. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini akan diperkuat dengan referensi dari berbagai buku, di
antaranya, buku-buku orkestrasi, instrumentasi, tekstur, harmoni, kontrapung, dan
buku-buku lain yang relevan dan menunjang penulisan tesis ini. Berikut ini
beberapa buku yang penulis jadikan referensi:
1. The Technique of Orchestration karangan Kent Wheeler Kennan (1970).
Buku ini menjelaskan teknik orkestrasi dan berbagai karakter instumentasi
berbagai jenis alat musik.
20
2. “Langkisau dan Simarantang” sebuah analisis karya aransemen oleh Yoesbar
Djaelani (1991) yang meliputi bentuk, orkestrasi, dan instrumentasi.
3. “Orkestrasi” karangan Budi Ngurah (tanpa tahun) berisi panduan praktis
tentang orkestrasi dan instrumentasi.
4. Introduction to Music karangan Ronald Pen (1992). Buku ini membahas
tentang dasar-dasar musik, penjelasan tentang elemen dasar bunyi,
periodesasi musik Eropa, dan yang paling dibutuhkan dari buku ini adalah
keterengan tentang Music as the Measure of Space yang berkaitan dengan
teknik orkestrasi.
5. Listen karangan Joseph Kerman (1987). Buku ini memuat tentang elemen
musik, struktur dan bentuk musik, tekstur dalam musik, periodesasi zaman
musik, tokoh-tokoh musik, instrumen musik, dan analisis karya musik.
6. Menuju Apresiasi Musik karangan Remy Sylado (1983). Buku ini berisi
tentang tuntunan untuk mengapresiasi musik, sejarah, dan kritik musik.
7. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu Dan Kini karangan Suka Hardjana.
Buku ini memuat 27 topik tentang musik kontemporer dalam hubungannya
dengan isu-isu mendasar dari aspek perkembangan sejarah, sistem dan
ideologi musik seni, konflik faham-faham aliran, hakekat musik, dan
pengaruh penyebab perubahan kebudayaan musik.
8. Musik Antara Kritk dan Apresiasi karangan Suka Hardjana (2004). Buku ini
memuat kumpulan kritik dan esai musikus Suka Hardjana yang menanggapi
peristiwa musik yang pernah terjadi di Jakarta. Buku ini berfokus pada musik
klasik, kontemporer, jazz, gamelan, dan berbagai musik lainnya.
21
9. Sejarah Kebudayaan Indonesia karangan Mukhlis PaEni (2009). Buku ini
memaparkan perkembangan seni pertunjukan di Indonesia dari waktu yang
sejauh mungkin dapat diketahui di masa silam hingga ke masa kini.
10. World Music dan Kreativitas Penciptaan Musik karangan Irwansyah
Harahap, M.A (2013). Buku ini memuat tentang kreatifitas penciptaan musik
dalam fenomena world music dan menerangkan beberapa tokoh world music.
Buku ini memuat karya musik Irwansyah Harahap yang berjudul Born yang
mendasarkan kreatifitas, konsep, tekstur, maupun idiom musikal dari tradisi
musi Batak Toba.
11. Esai dan Kritik Musik karangan Suka Hardjana (2004). Berisi tentang catatan-
catatan kritis tentang peristiwa musik dan seni di Indonesia.
12. Teori Budaya karangan David Kaplan (2013). Buku ini berisi tentang
pembandingan antropologis secara sistematis. Di dalam buku ini juga terdapat
penjelasan tentang konsep adaptasi antara budaya dan lingkungan.
13. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda
Abad XIX/XX karangan Elizabeth E. Graves (2007). Buku ini mengupas
tentang reaksi bumiputera terhadap kekuasaan kolonial Belanda di
Minangkabau. Salah satu aspek yang menjadi fokus Graves ialah kebijakan
dan organisasi pendidikan Barat yang diperkenalkan Belanda sejak abad ke-
19.
14. Menelusuri Sejarah Minangkabau (2002), merupakan kumpulan makalah
yang disampaikan dalam “Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau”
yang berlangsung pada tanggal 1-7 Agustus 1970 di Batu Sangkar, Kabupaten
22
Tanah Datar. Buku ini memuat banyak hal tentang keberadaan Minangkabau
yang ditulis dalam bentuk makalah seminar.
15. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi karangan Dr.
Hari Poerwanto. Buku ini membahas hubungan manusia dengan lingkungan
serta pemahaman terhadap strategi adaptasi dalam keanekaragaman suku-
bangsa dan golongan sosial di Indonesia yang memunculkan pola strategi
adaptasi.
16. Dimensi Mistik dan Bunyi karangan Hazrat Inayat Khan (2002). Buku ini
menjelaskan sisi-sisi non fisik dari kekuatan bunyi.
17. Instrumentation and Orchestration karangan Alfred Blatter (1980). Buku ini
menguraikan tentang orkestrasi dan karakter instrumen. Juga menjelaskan
tentang teknik arranging, scoring musical element, serta instrument
substitution.
18. Modern Arranging Technique karangan Gordon Delamont (1965). Buku ini
merupakan sebuah pendekatan komprehensif untuk menggubah dan
mengorkestrasi stage band, dance band, dan studio orchestra.
19. Arranging Popular Music karangan Genichi Kawakami (tt). Buku ini
merupaka sebuah panduan praktek menulis aransemen.
20. Music for Analisis karangan Thomas Benjamin dkk. (1970). Buku berisi
tentang analisis harmoni mulai dari akor sederhana sampai yang rumit dan
juga memuat analisis harmoni abad 20 hingga twelve tone-serialism.
23
21. Orchestration karangan Cecil Forsyth (1982). Buku ini merupakan penjelasan
tentang instrumentasi dan teknis yang cukup detail mulai dari perkusi, brass,
woodwind, dan strings.
22. Basic Formal Structure in Music karangan Paul Fontaine. Buku ini
membahas detil dari struktur sebuah musik mulai dari motif, subfrase, frase,
grup frase, bentuk sonata, tema dan variasi, fuga, dan canon.
23. Hamony, Counterpoint, and Improvisation book I and II karangan Benyamin
Dale dkk. (1940). Buku ini memuat ilmu harmoni dasar, kontrapung ketat,
dan teknik membuat melodi dalam improvisasi.
24. Technical Terms and Musical Device used in Musical Composition karangan
H.S. Yong (1994). Buku ini memuat istilah-istilah dalam komposisi yang
diambil langsung dari karya-karya asli.
25. A Concentrate Course in Traditional Harmony bagian I karangan Paul
Hindemith (1944). Buku ini memuat dasar-dasar harmoni hingga akor
dominan sekunder.
26. Harmony in Practice karangan Anna Butterworth (1999). Buku ini membahas
tentang harmoni dan ada bagian khusus tentang dekorasi melodis dengan non
harmonic tone dan dekorasi harmonis dengan borrowed chord.
27. Twentieth Century Harmony: Creative Aspect and Practice karangan Vincent
Persichetti. Buku ini merupakan buku harmoni modern yang tidak lagi hanya
sekedar memaparkan harmoni berdasarkan sistem ters atau super imposse
third tetapi berdasarkan interval 2, 4, 5, dan 7.
24
28. Advanced Harmony, Teory and Practice karangan Robert W. Ottman (1961).
Buku ini pada bagian akhir membahas tentang akor sembilan, sebelas, dan
tiga belas.
29. Elementary Harmony karangan Robert W. Ottman (1961). Buku memuat
dasar-dasar harmoni empat suara.
30. Harmony karangan Walter Piston (1978). Buku ini membahas cukup lengkap
aspek harmoni dari tradisional hingga abad XX.
31. Tonal Harmony karangan Stefan Kostka dan Dorothy Payne. Buku ini
memuat studi tentang harmoni tradisional hingga harmoni abad XX.
32. Guidelines to Instrument of the Orchestra karangan Lee Ching Ching (1996).
Buku ini membahas secara sederhana dan menarik tentang instrumentasi dan
orkestrasi.
33. Orchestration karangan Walter Piston (1955). Sebuah buku instrumentasi dan
orkestrasi. Di samping menjelaskan teknik orkestrasi yang cukup kompleks
buku ini juga memuat teknik mengorkestrasi satu garis melodi dengan
pemilihan instrumen yang cocok hingga terbentuk melodi paralel oktaf yang
berkesan lebih tebal dengan colour (timbre) baru.
34. Music Manuscipt Preparation a Concise Guide karangan Mona Mender
(1991). Buku ini menjelaskan teknik-teknik penulisan manuskrip musik.
1.6. Landasan Teori
Teori menurut Macward et al.memiliki enam pengertian: (1) sebuah
rancangan atau skema yang terdapat dalam pikiran saja, namun berdasar pada
25
prinsip-prinsip verivikasi dengan cara eksperimen atau pengamatan; (2) sebuah
bentuk prinsip dasar ilmu pengetahuan atau penerapan ilmu pengetahuan; (3)
abstrak pengetahuan yang selalu dilawan dengan praktik; (4) penjelasan awal atau
rancangan hipotesis untuk menangani berbagai fenomena; (5) spekulasi atau
hipotesis, sebagai ide atau yang mengarahkan seseorang; (6) dalam matematika
berarti sebuah rancangan hasil atau sebuah bentuk teorema, yang menghadirkan
pandangan sistematik dari beberapa subyek; dan (7) ilmu pengetahuan tentang
komposisi musik, yang membedakannya dengan seni yang dilakukan
(dieksekusi).12
Teori merupakan instrumen terpenting dari ilmu pengetahuan. Tanpa suatu
teori, yang ada hanyalah serangkaian pengetahuan mengenai fakta. Sedikitnya ada
empat fungsi teori yang dikemukakan oleh Hasan dalam Poerwanto (2000:1).
Pertama, teori sebagai generalisasi, ialah menyimpulkan hubungan korelasi antara
fakta-fakta sosial; dapat berupa generalisasi empirik sederhana, dan dapat pula
suatu generalisasi luas yang lebih kompleks. Contoh generalisasi yang sederhana
adalah suatu kesimpulan yang mengatakan bahwa anak-anak yang memiliki IQ
tinggi erat berkaitan dengan latar belakang keselarasan kehidupan keluarga
mereka. Kedua, teori sebagai kerangka pemikiran, yang berfungsi sebagai
pendorong proses berpikir deduktif yang bergeak dari abstrak ke alam fakta-fakta
konkret. Dalam hal ini teori merupakan kerangka pembatas. Ketiga, teori
berfungsi memberikan ramalan atau prediksi mengenai fakta-fakta yang akan
terjadi, yaitu dengan mendasarkan pada hasil generalisasi abstrak yang pernah
12 Albert H. Mackwardt et al. (eds.), Webster Comprehensive Dictionary, volume 2, (Chicago: J.G. Ferguson Publishing Company, 1990), p. 1302
26
dilakukan. Keempat, teori sebagai pengisi kelowongan dalam pengetahuan. Dalam
ilmu sejarah misalnya, selama abad X terjadi zaman kegelapan atau tanpa ada
keterangan sejarah. Dengan mendasarkan pada pusat kebudayaan Jawa-Hindu
pada abad VIII dan IX di Jawa Tengah, maka tiba-tiba pusat kebudayaan Jawa-
Hindu muncul di Jawa Timur pada abad XI dan XII. Para ahli sejarah mencoba
merekonstruksi, mengajukan teori mengenai apa yang kira-kira terjadi pada abad
X, misalnya pada waktu itu pusat perdagangan berpindah dari Jawa Tengah ke
Jawa Timur.
Pada hakikatnya teori merupakan alat untuk menduga dan membuat
kesimpulan. Menurut Poerwanto (2000:2), teori-teori terdiri dari dalil-dalil,
hipotesis-hipotesis dan ide-ide mengenai alam semesta yang tertata secara
hierarkis; dan teori tersebut bersifat instrumentalistik yang merupakan dalil-dalil
untuk membuat inferensi atau dugaan-dugaan dan kesimpulan-kesimpulan.
Berdasarkan pengertian dan fungsi teori di atas, maka penulis mengajukan
beberapa hal yang bersifat teoretik untuk menunjang penyelesaian penulisan tesis
ini:
Orkestrasi, dijelaskan oleh Walter Piston dalam bukunya Orchestration,
merupakan proses penulisan musik untuk orkestra dengan menggunakan asas-asas
pengkombinasian instrumen13. Pengkombinasian instrumen akan memunculkan
warna suara yang akan lebih memperkaya komposisi secara keseluruhan.
Instrumentasi, dijelaskan oleh Kent Wheeler Kennan dalam bukunya The
Technique of Orchestration, merupakan studi khusus tentang instrumen-instrumen
13 Walter Piston.1955. Orchestration, hal. vii.
27
yang meliputi konstruksi, sejarah, kemampuan (kemudahan-kemudahan yang
dapat diperoleh secara teknis dari sebuah alat musik, Penulis), dan sebagainya14.
Tekstur, dijelaskan oleh Joseph Kerman dalam bukunya Listen, merupakan
perpaduan berbagai macam bunyi dan garis melodi yang terjadi secara simultan
dalam sebuah musik15. Kerman menjelaskan tekstur dengan mengambil contoh
anyaman benang pada selembar kain. Kata tekstur diadopsi dari istilah
pertekstilan, dimana kata ini merujuk pada tenunan (anyaman) berbagai macam
benang—ketat atau longgar, polos atau campuran. Kain seperti wol, sebagai
contoh, lembaran-lembaran benang yang berbeda terlihat dengan jelas. Pada
sutera yang bagus, tenunannya sangat rapat dan licin sehingga lembaran benang-
benang sulit untuk dilihat.
Musik Barat (Eropa-Amerika) tidak hanya menekankan gerak interval atau
melodi yang bersifat horizontal tetapi juga sangat menekankan interval-interval
secara vertikal yang disebut sebagai harmoni. Gerak nada horizontal dan harmoni
vertikal merupakan satu kesatuan dalam musik Barat.
Harmoni, seperti dijelaskan oleh Ronald Pen, dalam bukunya Introduction
to Music, merupakan “The systematic chordal relationship of consonance and
dissonance”.sedangkan progresi harmoni dijelaskannya sebagai “A series of
simultaneously sounded intervals evoke an impression of motion”.
Kontrapung, ialah seni menulis dua atau lebih melodi16. Pengertian lain
dari kontrapung adalah seni mengkombinasi garis melodi.17
14 Kent Wheeler Kennan. 1970. The Technique of Orchestration,hal. 2. 15 Joseph Kerman. 1987. Listen, hal. 33. 16 Horwood, Frederick J. 1996. Kontrapung, hal.1. 17 Reed, H Owen. 1964. Basic Contrapuntal Technique, hal. ix.
28
Musik, cabang kesenian yang menggunakan media suara merupakan
bentuk ungkapan perasaan dan nilai kejiwaan manusia yang dianggap paling tua.
Musik (seni suara) mulai ada bersamaan dengan lahirnya (peradaban) manusia di
bumi. Perkembangannya sangat tergantung dari sikap, pandangan, cara kerja, dan
gaya hidup dari pelaku/pekerja musik, dengan mempertimbangkan atau pengaruh
dari lingkungan alam serta masyarakat pendukungnya dalam hidup beragama,
berkeluarga, bermasyarakat, dan berpemerintahan18.
Dalam proses kreatifitas penggarapan musik ternyata tidak cukup hanya
dengan mengandalkan perasaan saja tetapi harus diperkuat dengan keilmuan lain
yang relevan. Suka Hardjana (2004:302) mengungkapkan, bahwa seniman kita,
baik yang tradisional, modern, maupun kontemporer pada umumnya masih
bekerja kurang menggunakan daya referensi teoretis. Mereka lebih banyak
mengandalkan bakat alam, naluri, insting, atau daya intuisi yang kuat19.
Suka Hardjana, seorang komposer, pengajar sekaligus kritikus musik
berpendapat bahwa sangat penting terjadi sinergi antara ilmu teoretik dan tradisi
penciptaan musik. Berikut adalah kutipan pendapat beliau:
....”dalam sejarah perkembangan kesenian di Indonesia belum terasa adanya tradisi disiplin ilmu teoretik kesenian yang tidak berhubungan langsung dengan rekayasa penciptaan seni, sebagai kebalikannya, tradisi penciptaan karya seni di Indonesia banyak yang tidak didukung oleh disiplin ilmu pengetahuan teoretis yang sebenarnya dapat sangat mempengaruhi dan membantu rekayasa penciptaan para senimannya. Pada umumnya kondisi demikian justru dijauhi atau diabaikan oleh para seniman pencipta kita. Mereka lebih suka bergantung pada bakat alam dan “feeling”. Disiplin etnomusikologi dapat menjembatani kesenjangan ini. Kemitraan para etnomusikolog dan para
18 Mukhlis PaEni. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia. hal. 4. 19 Suka Hardjana, 2004. Antara Kritik dan Apresiasi, hal. 302.
29
seniman pencipta akan membuahkan karya-karya yang sungguh akan banyak memberikan harapan”20
Dari uraian di atas, dapat kita pahami bahwa sangat penting bagi seorang
komposer untuk memahami aspek-aspek keilmuan (baik Timur maupun Barat)
lainnya yang akan menunjang proses dan hasil sebuah karya musik. Dengan
demikian maka sangat pentinglah bagi seorang komposer yang berlatar belakang
musik tradisional—yang menggunakan instrumen musik Barat—untuk memahami
elemen, struktur, teknik-teknik instrumentasi dan orkestrasi instrumen musik
Barat dalam komposisinya.
1.6.1. Konsep adaptasi
Adaptasi (Ing.: Adaptation) secara umum berarti menyesuaikan dengan
kebutuhan atau tuntutan baru. Atau dapat pula berarti usaha mencari
keseimbangan kembali kekeadaan normal. Menurut ilmu faal khususnya tentang
organ sensoris, dalam sehari-hari tubuh manusia terus-menerus melakukan
adaptasi terhadap lingkungan (perubahan) sekitarnya. Ini berarti bahwa organ
tubuh selalu berubah-ubah tergantung dari ada tidaknya atau kuat lemahnya suatu
rangsangan21.
Menurut H. Helson (1974), individu setelah berulang-ulang
mempersepsikan suatu obyek, akhirnya ia akan dapat menetapkan apakah obyek
tersebut berat atau ringan, baik atau buruk, dst. Persepsi ini didasarkan atas
20 Ibid. hal. 301
21 Ensiklopedi Indonesia Jilid I, 1991. Hal. 75.
30
patokan tertentu yang disusun oleh individu berdasarkan pengalaman masa lalu
atau mendasarkan diri pada situasi.22
Istilah adaptasi dalam sastra disebut saduran. Tetapi adaptasi juga dapat
berupa peringkasan. Adaptasi dapat pula berupa parafrasa dari bentuk puisi ke
bentuk prosa. Kadang-kadang adaptasi dapat berupa pemindahan dari suatu
bentuk seni ke bentuk seni lainnya seperti dari roman ke drama, atau opera balet.
Ada kemungkinan sebuah adaptasi lebih bagus dari aslinya seperti yang
dibuktikan oleh adaptasi R.O Winstedt dari pantun-pantun Melayu23.
Kata adaptasi berasal dari bahasa Latin adaptare yang berarti
menyesuaikan kepada, mencocokkan diri. Proses penyesuaian diri oraganisme
terhadap lingkungannya24, mencakup tiga jenis, yaitu:
1. Adaptasi Morfologis
Suatu jenis adaptasi yang menyangkut perubahan bentuk struktur tubuh
yang disesuaikan dengan lingkungan hidupnya. Misalnya: ikan bergerak dengan
sirip, karena alat gerak yang cocok untuk hidup di perairan adalah sirip,
sedangkan hewan yang hidup di darat bergerak dengan kaki-kakinya. Pada
golongan tumbuhan yang hidup di rawa pantai, memiliki buah/biji yang sudah
berakar sebelum jatuh ke lumpur pantai agar dapat terus tumbuh di lingkungan
tersebut, seperti golongan Rhizophora (tumbuhan bakau).
22 Ibid. Hal. 76.
23 Ibid. Hal. 76. 24 Suroso AY, Anna P, dan Kardiawarman, 2003. Ensklopedi Sains dan Kehidupan. Jakarta: Tarity Samudra Berlian.
31
2. Adaptasi Fisiologis
Suatu jenis adaptasi menyangkut perubahan kerja faal organ tubuh yang
disesuaikan dengan lingkungan hidupnya. Misalnya, golongan Amphibia semasa
larva yang hidup di air bernafas dengan insang, sedangkan setelah dewasa hidup
di darat bernapas dengan paru-paru. Paru-paru mengandung atau terdiri dari jutaan
gelembung udara (alveoli), guna menampung oksigen yang dihisap dari udara luar
lewat saluran pernapasan. Alveoli yang berselaput tipis ini mengandung kapiler
darah, lalu oksegen diikat oleh hemoglobin (Hb) darah: Hb + O2 HbO2
untuk diangkat keseluruh jaringan yang hidup.
Pada tanaman eceng gondok memiliki tangkai daun yang menggelembung
berisi rongga udara untuk melancarkan penguapan di samping sebagai alat
pengapung di air.
3. Adaptasi Perilaku
Suatu jenis penyesuaian diri pada makhluk hidup yang ditunjukkan oleh
perilakunya disebabkan oleh faktor lingkungan. Contohnya, perubahan warna
tubuh bunglon terhadap warna lingkungan di mana ia berada; bunglon berwarna
hijau jika berada di daun-daunan, dan ia berwarna hitam keabu-abuan jika berada
di tanah. Contoh lainnya, lumba-lumba memiliki kebiasaan meloncat-loncat di
atas permukaan air untuk menghirup udara, karena ia bernafas menggunakan
paru-paru.
Sebelum menguraikan beberapa konsep adaptasi, penulis akan
mengetengahkan sebuah kutipan berikut:
Pelestarian seni tradisi tidak mempunyai keharusan untuk mempertahankan seperti semula. Inilah kesempatan bagi seniman untuk
32
berkreasi mengembangkan seni tradisi. Suatu bagian dari seni tradisi yang dirasa tidak lagi memenuhi selera (keinginan seniman) masa kini dapat dirubah (bukan berarti merombak). Dalam seni musik terdapat beberapa elemen yang dapat memberikan suatu kekhasan seni tradisi. Elemen tersebut dapat berupa ritme, unsur waktu, melodi, harmoni, warna suara (timbre), struktur, tekstur, dan ekspresi (Singgih Sanjaya). Perubahan dengan tujuan mengembangkan dapat dilakukan pada masing-masing elemen musik tersebut. Perubahan-perubahan tersebut bertujuan untuk mencari dan mencapai tahap mantap menurut tata nilai yang berlaku pada periode-periode zaman tertentu. inilah bukti bahwa seni itu hidup dan berkembang.
Jika seni tradisi diharuskan untuk kembali kehabitatnya ia akan lemah. Ia semakin tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman dan bersaing dengan seni tradisi lain. Ruang hidupnya semakin sempit, geraknya terbatas, dan akhirnya kerdil walaupun tetap bertahan hidup.25
David Kaplan (2002:112) mengartikan adaptasi sebagai proses yang
menghubungkan sistem budaya dengan lingkungannya. Dapat dipahami bahwa
adaptasi di sini merupakan suatu proses penghubung.
Dalam glosarium dari buku The Origin of Species karangan Charles
Darwin terdapat kata adaptasi yang diartikan sebagai: sifat makhluk hidup untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan (biotis dan fisik). Darwin menjelaskan,
melalui adaptasi sebuah varietas berubah menjadi spesies yang lebih baik.
Penyesuaian diri merupakan sebuah usaha atau perjuangan. Darwin menuliskan:
.......”karena perjuangan ini, varietas-varietas, biarpun sedikit dan berasal dari pendahulunya, akan cenderung melakukan pelestarian individu, jika dalam hubungannya dengan makhluk organik lainnya dan dengan kondisi fisik kehidupan memang menguntungkan bagi individu spesies, entah seberapa, dan umumnya diwarisi oleh keturunannya”.26
25Erizon Koto, 2004. “Menyoal Esai Yang Minim....” Jamaluddin Sharief: Tanggapan Atas Esai 29 agustus 2004. Harian Padang Ekspres, Minggu,12 September 2004.
26 Periksa, Charles Darwin (1958). The Origin of Species. Terjemahan F Susilohardo dan Basuki Hernowo (2002), Bab III.
33
Penulis menyimpulkan bahwa konsep adaptasi adalah sifat makhluk hidup
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga menguntungkan bagi
kelangsungan hidupnya. Dengan demikian sebuah penyesuaian diri yang berakibat
merugikan tidak termasuk dalam konsep adaptasi.
Forde dalam Poerwanto (2000:166) melihat bahwa pada hakikatnya
hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan alamnya dijembatani oleh
pola-pola kebudayaan yang dimiliki oleh manusia27. Selanjutnya Tax dalam
Poerwanto (2000:166) mengatakan, bahwa melalui kebudayaan yang dimilikinya,
manusia mampu mengadaptasikan dirinya dengan lingkungannya sehingga ia
tetap mampu melangsungkan kehidupannya28.
Penulis menyimpulkan bahwa dengan pola kebudayaan yang dimilkinya,
manusia beradaptasi dengan lingkungannya agar dapat bertahan hidup. Dengan
demikian baik secara biologis maupun sosial-budaya, manusia (makhluk hidup)
harus selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya dengan tujuan untuk bisa
bertahan dan berkembang.
Berikut ini kita lihat peran sebuah institusi dalam mengakomodir proses
adaptasi. Peran institusi tersebut berhubungan dengan sifat fungsional dan
disfungsional.
Menurut Kaplan (2002:82), suatu institusi atau kegiatan budaya dikatakan
fungsional manakala memberikan andil bagi adaptasi atau penyesuaian sistem
tertentu, dan disfungsional apabila melemahkan adaptasi29. Jadi, sebuah institusi
27 Hadi Poerwanto, 2000. Kebudayaan dan Lingkungan: dalam Perspektif Antropologi. 28 Ibid. hal. 166. 29 David Kaplan. 2002. Teori Budaya. hal.82.
34
dikatakan fungsional apabila institusi tersebut mendorong atau memberikan
peluang untuk sebuah adaptasi atau penyesuaian terhadap sistem tertentu.
Selain beradaptasi dengan lingkungan luar, sebuah kebudayaan juga harus
tetap mempertimbangkan keberadaan pendukungnya. Poerwanto (2000:166)
menjelaskan, kebudayaan yang menopang dan mengatur keberadaan suatu
masyarakat, dituntut untuk menempatkan diri dalam kondisi dinamis. Selanjutnya
Poerwanto menegaskan, bahwa kebudayaan juga harus mampu bersifat adaptif
dengan cara melakukan penyesuaian diri (adaptasi) terhadap lingkungan
biogeofisik maupun lingkungan sosial-budaya pendukungnya30.
Kaplan juga menjelaskan bahwa antropolog melihat suatu budaya yang
sedang bekerja, dan menganggap bahwa warga budaya itu telah melakukan
semacam adaptasi terhadap lingkungannya secara berhasil baik. Seandainya tidak
demikian, budaya itu niscaya sudah lenyap, dan kalaupun ada peninggalannya itu
hanya akan berupa kenangan arkeologis tentang kegagalan budaya itu beradaptasi.
Artinnya kegagalannya untuk lestari sebagai sebentuk budaya yang hidup.31
Selanjutanya tentang konsep adaptasi, Kaplan mengatakan bahwa:
...... ”lingkungan” yang muncul dalam pemikiran ekolog-budaya adalah selalu lingkungan yang telah mengalami modifikasi kultural......rumusan itu menyiratkan sebuah elemen sirkularitas yang tak terelakkan: lingkungan budaya, atau budaya lingkungan. Alasannya, interaksi antara habitat alami dengan sistem budaya niscaya melibatkan suatu saling pengaruh di antara elemen-elemen; dalam peristilahan modern disebut “balikan” (feedback) atau “kausalitas timbal balik” (ceciprocal causality). Akan tetapi mengakui adanya kausalitas timbal balik tidaklah sama dengan mengatakan bahwa semua unsur dalam sistem itu memiliki dampak kausal yang sama. Manakala kita periksa saling hubungan antara sistem budaya dengan lingkungannya dari masa ke
30 Op. cit. hal.166. 31 Ibid, hal. 113-114
35
masa, tampak jelas bahwa hal yang menghambat atau mengendala suatu teknologi yang sederhana ternyata sering ditanggulangi atau malah diubah menjadi peluang oleh budaya yang memilki sistem lebih maju. Rumput tebal dan rimbun di Dataran Amerika Utara merupakan kendala bagi pertanian cangkul dalam masa aborigin. Akan tetapi dengan penggunaan bajak berujung baja oleh orang-orang Euro-Amerika, wilayah ini menjadi lumbung pangan suatu bangsa32.
Sejalan dengan pendapat Paul B. Horton dan Chester L. Hunt dalam
Mahdi Bahar (2004), apabila perubahan kita lihat dari fenomena akulturasi maka,
pada umumnya masyarakat yang tingkat teknologinya paling sederhanalah yang
lebih banyak menyerap unsur budaya masyarakat lainnya.33
Dari konsep adaptasi di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
adaptasi yang menguntungkan dapat dicapai dengan menyerap “teknologi” dari
kebudayaan yang memiliki sistem yang lebih maju. Pertanyaannya, mungkinkah
kita mendapatkan sebuah kebudayaan musik (Minangkabau) yang lebih maju dan
unggul dengan memanfaatkan ilmu musik Barat sebagai alat “bajak berujung
baja”?
Menurut hemat penulis, dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa konsep-konsep adaptasi pada intinya berhubungan dengan hal-hal sebagai
berikut: (1) penyesuaian diri, (2) menjadi lebih baik, (3) menguntungkan, (4)
melestarikan atau bertahan hidup, dan (5) penyerapan teknologi yang lebih maju.
Perlu penulis tegaskan di sini bahwa inti dari konsep adaptasi yang kelima
(penyerapan teknologi yang lebih maju) lebih cocok diterapakan oleh/untuk
32 Ibid. hal. 105-106. 33 Mahdi Bahar, 2004. Fenomena Globalisasi dan Kebudayaan Melayu dalam Konteks Pendidikan Kesenian Tradisional dalam Bunga Rampai: Seni Tradisi Menantang Perubahan. STSI Padangpanjang Press.
36
manusia. Dengan demikian semakin lengkaplah konsep-konsep yang akan
diajukan untuk sebuah kajian adaptasi budaya.
1.6.2. Teori adaptasi
Inti dari konsep-konsep adaptasi dapat dihubungkan dengan teori adaptasi
yang dikemukakan oleh Wallace. Alfred Russel Wallace (1823-1913) seorang ahli
ilmu hewan berkebangsaan Inggris. Ia pernah mengadakan penyelidikan di daerah
Amazon (1848-1852 ) dan kepulauan Indonesia (1854-1862). Penemuannya
tentang garis Wallace banyak memberi manfaat di bidang geografi kehewanan.
Wallace mempunyai minat yang besar terhadap persoalan evolusi. Bersama C.R.
Darwin banyak menyusun kertas kerja ilmiah yang dibacakan kepada Linnaen
Society.34
Muara dari teori adaptasi yang dikemukakan oleh Wallace adalah sebuah
evolusi. Evolusi berhubungan erat dengan Seleksi Alam yang yang menurut
Charles Darwin (1958) berarti pelestarian variasi yang muncul dan
menguntungkan bagi makhluk hidup di bawah kondisi kehidupannya35.
Charles Darwin dalam bukunya, The Origin of Species (1858)
mengemukakan teori evolusi. Darwin menjadikan adaptasi sebagai bagian penting
dari teori evolusi. Inti dari teori evolusi adalah sebagai berikut:
1. Variasi pada tumbuhan maupun hewan merupakan variasi karakteristik yang
muncul dalam penampakan fenotipe dari organisme tersebut.
34Ensiklopedi Indonesia, 1992. Hal. 35 Charles Darwin, 1958. The Origin of Species. Terjemahan F. Sulihardo dan Basuki Hernowo (2002). Hal. 83.
37
2. Rasio pertambahan secara geometrik dipengaruhi oleh banyaknya individu
yang tersinggkir oleh predator, adanya perubahan iklim yang tak terkendali,
dan proses dari persaingan dalam memenuhi kebutuhan makanan.
3. The preservation of the favored races in the struggle for life mengandung
maksud bahwa usaha yang keras untuk bertahan hidup merupakan usaha setiap
individu organisme. Individu yang lemah dan tidak bisa menyesuaikan diri
dalam kondisi-kondisi yang umum di alam akan tersingkir atau punah,
sedangkan yang mampu beradaptasi akan bertahan hidup melanjutkan
kehidupannya dan memperbanyak diri dengan bereproduksi.
4. Natural selection (seleksi alam) adalah proses eliminasi variasi organisme yang
tidak sesuai lingkungan. Akibatnya, hanya variasi yang dapat menyesuaikan
diri terhadap lingkungan akan dapat bertahan hidup.
5. The survival of the fittest pada intinya menjelaskan bahwa hanya organisme
yang memiliki kualitas dan mampu beradaptasi sesuai dengan lingkunganlah
yang mampu melestarikan diri. Individu- Individu yang dapat hidup akan
mewariskan variasi-variasi tersebut kepada generasi berikutnya. Menurut
Darwin, terjadinya evolusi karena adanya natural selection ‘seleksi alam’
(faktor yang mampu menyeleksi makhluk hidup). Adaptasi merupakan
penyebab terjadinya seleksi alam (mekanisme seleksi alam), zarafah yang
berleher panjang berasal dari zarafah yang berleher panjang pula, sedangkan
yang berleher pendek musnah.
38
Bambang Sugiharto menuliskan, dalam bagian penutup tulisannya “Musik
dan Misterinya” bahwa telah terjadi percampuran budaya musik yang berujung
pada evolusi. Berikut kutipan tulisannya:
....”Pada abad ke-21 ini, intensitas dan frekuensi percampuran antar budaya dan aneka eksperimentasi musik memang semakin meningkat secara radikal dan cepat, sehingga kaidah-kaidah musik menjadi kian heterogen, dan dengan itu hakikat ‘musik’ sebetulnya terus menerus dipertanyakan kembali pula. Bagi mereka yang membutuhkan standar-standar yang pasti, sudah tentu ini situasi yang membingungkan, atau bahkan mungkin sebuah periode dekadensi. Namun bagi mereka yang mampu menikmati keragaman dan kompleksitas, ini periode yang kaya dan sangat mengasyikkan; sebuah evolusi”....36
Dengan demikian lengkaplah pemahaman tentang konsep adaptasi dan
memudahkan untuk memahami teori adaptasi yang dikemukakan oleh Alfred
Russel Wallace (1963) menyatakan bahwa adaptasi, yang prosesnya sampai
pada tingkatan di mana kemampuan menyesuaikan diri sudah berlangsung
turun temurun, pada prinsipnya adalah evolusi.
1.6.3. Teori bobot tangga nada (weighted scale)
Teori bobot tangga nada merupakan teori yang melihat kepentingan nada-
nada dalam suatu tangga nada. William P. Malm menawarkan delapan unsur
melodi yang akan dianalisis dengan pendekatan etnomusikologis, yaitu: (1) tangga
nada; (2) nada dasar; (3) wilayah nada; (4) jumlah nada-nada; (5) jumlah interval;
(6) pola-pola kadensa; (7) formula melodi; dan (8) kontur.
Analisis weighted scale ini ditambah dengan analis lainnya yang meliputi
36 Bambang Sugiharto, 2013. “Musik dan Misterinya” dalam buku Untuk Apa Seni? Hal.304.
39
(1) bentuk; (2) tema, (3) teks dan musik, dan (4) meter.
1.7. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, kerja laboratorium, dan
kepustakaan. Penelitian lapangan meliputi observasi, wawancara, dan perekaman.
Kerja laboratorium meliputi pengolahan, penyeleksian, dan penyaringan data
lapangan. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif verivikatif.
Metode kualitatif verifikatif diawali dengan pengumpulan data-data baik
lapangan, wawancara, dan kepustakaan kemudian baru mencari pendekatan
teoretis apa yang dapat digunakan untuk menganalisis data-data yang telah
diperoleh.
1.7.1. Penelitian lapangan
(1) Observasi. Observasi yang penulis lakukan adalah observasi
langsung—penulis melihat langsung proses penggarapan dan pertunjukan
komposisi baik mahasiswa mau pun dosen di Jurusan Karawitan ISI
Padangpanjang. Dengan observasi penulis mendapatkan gambaran yang lebih
jelas tentang interaksi sosial yang terjadi dalam sebuah proses pembuatan
komposisi maupun saat pertunjukan.
Berdasarkan jenisnya, maka observasi yang penulis lakukan adalah
sebagai pengamat dan partisipan (insider) yaitu sebagai mahasiswa/mantan
mahasiswa ISI Padangpanjang. Menurut S. Nasution dalam M Takari (1998)
keuntungan cara ini adalah peneliti telah merupakan bagian yang integral dari
40
situasi yang dipelajarinya, sehingga kehadirannya tidak mempengaruhi situasi itu
dalam kewajarannya.37
(2) Wawancara. Ada hal-hal tertentu yang tidak bisa penulis dapatkan
dengan observasi oleh karena iru diperlukan wawancara dengan orang-orang dan
tokoh-tokoh tertentu. Hal-hal tersebut misalnya tentang bagaimana dinamika
kekaryaan pada masa-masa awal ISI Padangpanjang, konsep-konsep dasar tentang
karya musik di Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang, kesejarahan ISI
Padangpanjang, dan sebagainya yang berhubungan dengan karawitan
Minangkabau.
S. Nasution membagi wawancara sebagai berikut: (1) Berdasarkan
fungsinya: (a) diagnostik, (b) terapeutik, dan (c) penelitian. (2) Berdasarkan
jumlah respondennya: (a) individual, (b) kelompok. (3) Berdasarkan lamanya
wawancara: (a) singkat, (b) panjang. (4) Berdasarkan pewawancara dan responden
(a) terbuka, tak berstruktur, bebas, non direktif, atau client centered; (b) tertutup
berstruktur.
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan jenis wawancara
penelitian. Berdasarkan jumlah responden adalah wawancara individual.
Bardasarkan lamanya adalah wawancara panjang. Berdasarkan peranan peneliti
dan narasumber adalah wawancara terbuka, tak berstruktur, bebas, dan non
direktif. Dalam hal ini penggunaan daftar pertanyaan hanya sebagai pedoman agar
penulis tak kehilangan fokus dalam wawancara. Penulis membuat catatan-catatan
penting tentang wawancara dan merekam setiap wawancara secara audiovisual.
37 Muhammad Takari, 1998. Ronggeng Melayu Sumatera Utara: Sejarah, Fungsi dan Strukturnya. Tesis S2 Universitas Gadjah Mada. Hal. 38.
41
Keuntungan cara ini adalah penulis mendapatkan keterangan secara mendalam
tentang fakta-fakta seputar karawitan Minangkabau, penciptaan musik di Jurusan
Karawitan ISI Padangpanjang, serta tokoh-tokoh komposer karawitan
Minangkabau. Suasana wawancara santai tak berjarak dan akrab anatara
narasumber dan peneliti.
Penelitian tentang idiom musikal Minangkabau ini telah dimulai sejak
awal semester ke-3 (September 2013) perkuliahan di Program Pasca Sarjana
Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara. Di mulai dengan tugas mata kuliah kolokium kemudian dikerjakan secara
intensif mulai Desember 2013 hingga Agustus 2014 meliputi pengumpulan
bahan-bahan bacaan, membuat kontak dengan narasumber, menajamkan fokus
penelitian, berdiskusi dengan dosen-dosen di Pasca sarjana, terjun ke lapangan,
wawancara, dan sebagainya. Pengalaman langsung penulis dalam hal penggunaan
idiom musikal Minangkabau ke dalam komposisi musik adalah dengan
keterlibatan menjadi pemain musik untuk komposisi tertentu. Pengalaman lain
adalah, menulis di media cetak lokal tentang komposisi musik karawitan
Minangkabau telah penulis lakoni sejak duduk di bangku kuliah STSI
Padangpanjang (sekarang ISI) hingga saat ini. Kesempatan dan pengalaman
tersebut memperkaya pengetahuan penulis dan sangat membantu dalam
kelancaran penulisan tesis ini.
42
1.7.2. Kerja Laboratorium
Kerja laboratorium meliputi pengolahan, penyeleksian, dan penyaringan
data lapangan. Data-data dipilah mana yang bisa digunakan untuk mendukung
penelitian ini dan mana yang tidak dilakukan dalam tahapan kerja laboratorium.
Komposisi musik yang berasal dari idiom musikal Minangkabau yang
digunakan sebagai sampel adalah: (1) Galodo Saluang Panjang (2004) karya
Siswandi. (2) Bagaluik Di Nan Batingkah (2011) karya Betmon Oktivi Paulin.
1.7.3. Metode Grafik Pitch and Time
Metode ini digunakan oleh Joseph Kerman untuk mempresentasikan hasil
analisis melodi dan harmoni dalam kaitannya dengan tekstur dalam kesan visual
yang cukup detil. Hasil analisis disajikan dalam bentuk grafik dengan sumbu
vertikal untuk pitch (tinggi-rendah nada) dan sumbu horizontal untuk time
(waktu).38
Keunggulan dari metode grafik ini adalah terpresentasikannya kontur di
samping tekstur. Metode grafik ini dapat dipakai untuk mempresentasikan lebih
dari satu garis melodi baik dalam tekstur homofoni maupun polifoni.
1.8. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari beberapa bab. Bab I terdiri dari Pendahuluan
berisi tentang Latar Belakang penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika
38 Periksa Listen, karangan Joseph Kerman. 1987. Hal. 33-36.
43
Penulisan. Bab II pembahasan tentang musik diatonis yang meliputi sejarah
masuknya musik diatonis di Indonesia yang diawali oleh misi Kristen di Maluku
oleh Fransisco Xaverius, diperkenalkannya musik diatonis di Minangkabau
melalui sekolah-sekolah Belanda di antaranya Kweekschool, tangga nada diatonis,
elemen dan struktur musik diatonis (Barat). Bab III tentang Istilah Minangkabau,
daerah Minangkabau dalam artian wilayah, adat Minangkabau, karawitan
Minangkabau dan jenis-jenisnya. Tentang sejarah Institut Seni Indonesia yang
dimulai dari sebuah usaha konservasi kesenian Minangkabau dalam format
sekolah Konservatori Karawitan (Kokar), visi-misi ISI dan Jurusan Karawitan ISI
Padangpanjang, dan musik dalam masyarakat Melayu Minangkabau. Bab IV
tentang Pembahasan dan Hasil analisis terhadap komposisi Galodo Saluang
Panjang karya Siswandi dan Bagaluik Di Nan Batingkah karya Betmon Oktivi
Paulin. Bab V berisi Kesimpulan dan Saran.
44
BAB II
MUSIK DIATONIS DALAM BEBERAPA ASPEK
Penulis memasukkan perihal musik diatonis ke dalam penelitian ini
dengan tujuan menjelaskan musik diatonis dari aspek-aspek yang nantinya dapat
dijadikan rujukan untuk menentukan sejauh mana seorang komposer, dalam
penelitian ini, mengadaptasi musik diatonis (musik Barat) dalam karya musiknya.
Dari aspek keilmuan musik, dasar-dasar musik Barat dijelaskan dengan konsep
tangganada diatonis, syarat bunyi, elemen musik, dan struktur musik. Dari aspek
penyebaran musik diatonis, akan dijelaskan secara singkat bagaimana masuknya
musik diatonis di Indonesia dan secara khusus di Minangkabau serta tokoh-tokoh
yang berperan.
Beberapa misi Kristen dan sekolah-sekolah Belanda pada masa pra
kemerdekaan sangat berperan dalam penyebaran musik diatonis di Indonesia.
Selain itu, terdapat juga orang-orang Indonesia, khususnya orang Minangkabau
yang menempuh pendidikan musik Barat di Eropa yang kelak juga memberikan
andil yang cukup besar terhadap perkembangan musik Barat di Indonesia. Peran
ini dilakukan terutama melalui institusi akademis.
Suka Hardjana berpendapat bahwa musik diatonis sangat mempengaruhi
kesadaran pendengaran anak-anak Indonesia. Menurut Suka Hardjana setiap anak
Indonesia telah menyesuaikan kesadaran pendengarannya dengan musik tradisi,
musik nasional, dan musik populer. Dua musik yang terakhir adalah diatonis
(disebut juga musik mayor-minor atau musik Barat).
45
Pengaruh musik diatonis bukanlah persoalan sederhana. Suka Hardjana
berpendapat bahwa pengaruh tersebut bukan perkara main-main, tetapi akan
mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam pembentukan budaya musik
anak Indonesia selanjutnya. Berikut kutipan dari pendapat Suka Hardjana tentang
kesadaran pendengaran anak-anak Indonesia yang ia beri judul Tiga Pasang
Telinga. Penulis menyebutnya sebagai Teori Tiga Pasang Telinga.
“Tiga Pasang Telinga”
(Telinga Daerah, Telinga Nasional, dan Telinga Internasional) “Dalam hal kesadaran pendengaran musik, setiap orang Indonesia mempunyai 3 pasang telinga, terutama bagi mereka yang berada di daerah-daerah yang seni tradisinya relatif masih kuat. ‘Telinga pertama’ adalah memori pendengaran musikal yang terbentuk dari pengalaman budaya ‘asal-usul’ sejak dini. Contoh, orang Bali, sejak dini telah dilahirkan dengan daya tangkap pendengaran yang akrab dengan tradisi gamelan Bali. Lingkungan dinamik dan karakter sistem nada tradisi gamelan Bali itulah yang mendasari latar belakang persepsi musik dan psikoestetik budaya orang Bali. Pengalaman budaya musik ini Fundamental dan tidak dapat di abaikan begitu saja. ‘Telinga kedua’ adalah kesadaran pendengaran yang bersifat ‘Nasional’. Penerimaan budaya ‘baru’ dari luar lingkungan diri ini dari sebuah toleransi yang ‘harus’, sebagai akibat dari politik budaya ‘nasionalisasi’ musik dalam bentuk lagu-lagu nasional yang diajarkan di sekolah. Politik pendidikan mengharuskan semua anak hafal lagu-lagu Indonesia – baik lagu-lagu perjuangan, lagu-lagu anak, lagu-lagu daerah atau folklor, dan lagu-lagu nasional yang sifatnya politisasi saja. Semua lagu-lagu itu diajarkan dengan sistem nada ‘solmisasi’ yang diambil dari bahan-bahan elementer sistem sakala nada mayor-minor musik Barat yang paling sederhana. Demikianlah seorang anak Indonesia mulai melatih dan membangun kesadaran telinga keduanya yang bersifat ‘Nasional’. Sampai di sini, setiap anak Indonesia telah memakai dua pasang telinga, yaitu telinga ‘daerah’ dan telinga ‘nasional’, dalam kesadaran pendengaran musik mereka. Ini bukan perkara main-main, tetapi akan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam pembentukan budaya musik anak Indonesia selanjutnya. ‘Telinga ketiga’ merupakan kesadaran pendengaran yang dipengaruhi budaya musik popular yang bertolak dari sistem musik Barat. Sebelum beranjak dewasa, setiap telinga anak Indonesia telah akrab dengan sistem musik mayor-minor yang dipakai sebagai sistem dasar musik pergaulan dunia. Pada akhirnya , justru pola perilaku budaya dan sistem musik Barat inilah – terutama kini dari
46
Amerika – yang sangat berpengaruh terhadap citra musik dan kesadaran pendengaran ‘telinga ketiga’ anak Indonesia”1.
Pendapat Suka Hardjana tentang kesadaran pendengaran anak-anak
Indonesia yang didominasi oleh musik diatonis bisa diperkuat dengan pendapat
Bambang Sugiharto tentang musik Barat. Bambang Sugiharto (2013:282)
mengungkapkan bahwa berbagai jenis musik memiliki kecerdasan dan
kecanggihannya sendiri. Sugiharto memilih musik Barat sebagai contoh tentang
kecerdasan dan kecanggihan dengan beberapa alasan2:
1. Musik Barat telah merupakan tradisi musik yang paling berpengaruh dan
sangat dominan di dunia kita saat ini. Posisinya serupa dengan bahasa Inggris
atau sains modern dalam sistem pendidikan kita kini.
2. Banyak hal dalam bahasa musikal yang kita gunakan hingga saat ini memang
berkembang dari dunia Barat juga, seperti sistem notasi, sistem nada, teori
harmoni, dsb.
3. Musik Barat adalah tradisi musik yang tingkat eksplorasinya atas
kemungkinan-kemungkinan musikal sangatlah ekstensif, agresif, dan kritis,
sehinggga pewacanaannya pun telah tergarap sedemikian sistemik dan
mendalam.
Pengaruh musik diatonis sangat mendominasi musik dunia. Musik-musik
yang ingin bertahan hidup ‘terpaksa’ harus beradaptasi. Tonal mayor-minor
bahkan memarjinalkan struktur dan naluri alami dan pendengaran ‘asli’ sebagian
besar penduduk bumi. Semua terpaksa harus menyesuaikan diri atau bahkan 1 Suka Hardjana, 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Periksa halaman 272-285. 2 Bambang Sugiharto, 2013. “Musik dan Misterinya” dalam buku Untuk Apa Seni? Hal. 282-283.
47
punah dihadapan pengaruh dominan sistem mayor minor – bukan hanya di luar
budaya musik Eropa, tetapi juga di lingkar kebudayaan musik Eropa sendiri3.
2.1. Tetrachord Awal
Orang Yunani memiliki konsep awal tentang pertangganadaan yang
disebut sebagai tetrachord. Tetrachord merupakan empat nada dengan susunan
interval-interval yang dapat dikombinasikan. Tetrachord ini merupakan cikal
bakal tangganada diatonis yang kita kenal sekarang.
Karl Edmund (2006:24) menuliskan bahwa bangsa Yunani membuat
tangga nadanya, yang disebut tangga nada diatonis atau tangga nada asli dari
rangkaian tetrachord4. Dasar dari semua teori tersebut ialah tetrachord yang
berarti: empat (=tetrares) dawai (=chorda), sesuai dengan kebiasaan pada musik
instrumental asli Yunani yang hanya memakai empat dawai saja. Empat dawai
berarti empat nada yang berasal dari dawai-dawai tersebut.
Sebuah tetrachord disebut diatonis bila pada empat nada tetrachord
tersebut sekurang-kurangnya terdapat dua langkah nada yang utuh (Edmund
2006:24). Nada utuh yang dimaksudkan adalah interval satu laras atau yang lebih
umum dikenal sebagai whole tone atau a tone. Atas dasar susunan nada-nada yang
berinterval utuh pada tetrachord diatonis tersebut maka posisi langkah nada
setengah (semitone; setengah laras; setengah nada) hanya dapat ditunjukkan
dengan tiga kemungkinan, yaitu:
3 Op. cit. Periksa halaman 130-131.
4 Karl Edmund, 2006. Sejarah Musik jilid 1. Hal. 24.
48
1. Sesudah dua langkah nada yang utuh barulah terdapat langkah setengah nada.
Deretan ini merupakan nada diatonis yang paling asli dari Yunani, oleh karena
itu dinamai doris (dari daerah Yunani: Doris). Susunananya sebagai berikut:
Gambar 1. Tetrakord Dengan Interval Setengah Berada Di Ujung
Perlu dicatat bahwa tangga nada Yunani selalu turun dari nada tinggi ke
nada rendah5. Hal ini berbeda dari tangga nada yang kita kenal sekarang yang
selalu naik dari nada rendah ke nada tinggi
2. Langkah setengah nada terdapat di tengah dua langkah nada yang utuh.
Deretan ini dinamai frigis (dari daerah Asia kecil: Phrygia). Susunannya
sebagai berikut:
Gambar 2. Tetrakord Dengan Interval Setengah Berada di tengah
3. Langkah setengah nada terletak sebelum dua langkah nada yang utuh. Deretan
nada ini dinamai lydis (dari daerah Asia kecil lain ialah: Lydia). Susunannya
sebagai berikut:
Gambar 3. Tetrakord Dengan Interval Setengah Berada di pangkal
5 Ibid. hal. 24.
49
Tangga nada yang utuh dihasilkan dari rangkaian dua tetrachord yang
persis sama susunan intervalnya. Dengan demikian diperoleh tiga tangga nada
pokok dari musik Yunani klasik:
1. Tangga nada Doris:
Gambar 4. Susunan interval tangga nada doris
2. Tangga nada Frigis:
Gambar 5. Susunan interval tangga nada frigis
3. Tangga nada Lydis:
Gambar 6. Susunan interval tangga nada lydis
Edmund (2006:25) memberi catatan bahwa ternyata tangga nada doris
Yunani berbeda dengan tangga nada doris Gregorian6.
Dari masing-masing tanggga nada pokok di atas masih dapat ditambahi
dengan satu tetrachord lagi. Penambahan tetrachord dari sebelah atas tangga nada
akan menghasilkan tangga nada hyper-, misalnya hyper doris (hyper dalam bahasa
Yunani = atas). Sebaliknya bila sebuah tetrachord ditambahkan dari sebelah atas
6 Perikasa Karl-Edmund, Sejarah Musik jilid 1. Hal 88.
50
tangga nada, maka dihasilkan tangga nada hypo-, misalnya hypo frigis (hypo
dalam bahasa Yunani = bawah).
Dengan variasi penambahan tetrachord di atas atau di bawah tangga nada
pokok Yunani kuno maka didapatkan 9 tangga nada sebagai berikut:
b’ a’ g’ f’ e’ d’ c’ b Hyperdoris = Miksolidis e’ d’ c’ b a g f e Doris a g f e d c B A Hypodoris = Eolis a’ g’ f’ e’ d’ c’ b a Hyperfrigis d’ c’ b a g f e d Frigis g f e d c b A G Hypofrigis = Yonis g’ f’ e’ d’ c’ b a g Hyperlydis c’ b a g f e d c Lydis f e d c B A G F Hypolidis
2.2. Modalitas Gregorian
Estetika musik Gregorian sangat bergantung pada modalitas. Edmund
(2006:87) mengatakan bahwa kekayaan estetik musik Gregorian hanya dapat
dimengerti bila modalitas dipahami. Modalitas Gregorian merupakan hasil mata
pelajaran “Musica” yang diajarkan dan dilatih dalam semua sekolah di Eropa
sepanjang Abad Pertengahan. Buku-buku yang menerangkan tentang tangga nada
Gregorian disusun oleh beberapa biarawan, seperti misalnya: Hucbald dari biara
St. Amand (840-930). Pengarang ini menjadi terkenal karena tulisannya De
harmonica institutione. Harmonica institutione diartikan sebagai tangga nada.
Lebih lanjut Edmund menuliskan bahwa dalam buku tersebut dipakai nama-nama
tangga nada yang dahulu dipakai oleh ahli-ahli musik Yunani, tetapi sayang
51
nama-nama tersebut digunakan secara berlainan. Menurut Edmund (2006:87)
perubahan agak aneh ini mungkin disebabkan oleh:
1. Karena praktek menyanyikan tangga nada-tangga nada ini berlainan dengan
metode yang biasa dalam kebudayaan Yunani klasik: dulu dimulai dari atas ke
bawah; pada Abad Pertengahan orang mulai menyanyikan tangga nada dari
bawah ke atas—suatu metode baru yang akan diteruskan sampai zaman
modern ini.
2. Karena pengaruh Boethius (480-524). Meskipun baru lahir sesudah keruntuhan
kerajaan Romawi (tahun 476) toh seringkali disebut sebagai ‘orang Romawi
sejati yang terakhir’, sebab berkat Boethius ini abad Pertengahan mewarisi
banyak kekayaan dari kebudayaan Yunani klasik. Hanya sayang sekali,
interpretasi Boethius tentang musik Yunani telah dibuktikan kurang benar.
Namun demikian pengaruh mental filsuf ini pada Abad Pertengahan mengenai
nama-nama tangga nada Yunani antara lain dapat diterangkan karena kurang
informasi ilmiah tentang kebudayaan Yunani.
2.2.1. Tetrachord Gregorian
Sebagaimana halnya musik klasik Yunani musik Gregorian juga
didasarkan pada tetrachord. Tetapi, tetrachord Gregorian terdiri dari nada D-E-F-
G (bergerak naik). Tetrachord ini dikembangkan menjadi empat tangga nada
Gregorian otentik, salah satunya adalah doris yang dimulai dari nada D.
Bandingkan dengan tetrachord doris dari Yunani kuno yang dimulai dari nada E-
D-C-B (bergerak turun). Jadi, terdapat perbedaan penggunaan kata doris untuk
52
menamai sebuah tangga nada Yunani kuno dan Gregorian. Namun, menurut
hemat penulis, konsep tentang interval diatonis dalam setiap tetrachord dari kedua
masa (Yunani kuno dan Gregorian) tersebut tetap dipertahankan yaitu kombinasi
dari dua tonos dan satu semi tonos.
Dari keempat nada yang ada dalam tetrachord Gregorian (D-E-F-G)
disusun empat tangga nada Gregorian otentik, dengan nada D atau E atau F atau G
sebagai nada dasar/finalis (=penutup).
2.3. Syarat Bunyi (Sound Property)
Sebelum menguraikan elemen musik, Kerman (1987:10) mengemukakan
tiga properti (sifat) bunyi yaitu adanya frekuensi, timbre, dan volume. Ketiga
istilah ilmiah tersebut berhubungan dengan istilah musik pitch, tone color, dan
dynamic.7
1. Frekuensi
Frekuensi berhubungan dengan kecepatan atau tingkat vibrasi dalam
sebuah benda yang memproduksi bunyi. Frekuensi yang lebih tinggi
menghasilkan bunyi yang lebih tinggi pula. Semakin pendek sebuah benda yang
bervibrasi maka bunyi semakin tinggi. Sebuah piccolo bunyinya lebih tinggi dari
pada sebuah trombon karena piccolo meliputi getaran udara dalam tabung yang
lebih pendek. Jika kita meniup permukaan mulut botol yang berisi air di
dalamnya, maka bunyi akan lebih tinggi jika ruang udara dalam botol semakin
kecil.
7 Joseph Kerman,1987. Listen. hal. 10.
53
Fenomena ini juga belaku untuk dawai. Semakin pendek dawai maka
fekuensinya atau terdengar semakin tinggi. Nada secara berurutan akan semakin
tinggi bila panjang dawai yang bergetar meliputi setengah, seperempat,
seperdelapan dari dawai, dan seterusnya.
Fraksi atau bunyi sampingan disebut partials atau overtones. Bunyi
overtone terdengar lebih lemah (lembut) dari pada bunyi utama.
2. Timbre
Timbre merupakan kualitas bunyi yang kerap disebut tone “color” sangat
tergantung pada jumlah atau proporsi dari overtones. Dalam sebuah flut, aliran
udara menggetarkan keseluruhan panjang tabung dan semakin berkurang dalam
setengah atau seperempat panjang tabung, sehingga hanya ada sedikit overtones.
Di lain pihak, senar-senar violin bergetar serempak dalam banyak subsegment
(ruas) sehingga violin kaya dengan overtones.
3. Volume
Volume atau tingkat kelantangan bunyi bergantung pada amplitudo dari
getaran, atas sebarapa jauh atau keras sebuah senar atau getaran aliran udara.
Sebagai contoh, pada sebuah gitar, volume tergantung pada seberapa kuat kita
memetik senarnya. Frekuensi tidak akan berubah.
Pemain alat musik tiup mengontrol volume dengan mengatur tekanan
angin yang dihasilkan dari tiupan. Bukanlah kebetulan bahwa kelantangan dalam
musik diasosiasikan dengan tenaga atau kekuatan.
Synthesizer, tidak seperti kebanyakan alat musik tradisional yang dayanya
berasal dari kekuatan atau nafas manusia, bunyi synthesizer murni berasal dari
54
benda-benda elektronik. Sebuah synthesizer terdiri dari tiga elemen dasar: 1)
sebuah jaringan osilator elektronik, amplifier, speaker, dan mekanisme lainnya
untuk memproduksi dan memanipulasi bunyi; 2)sebuah alat untuk memilih dan
menentukan jenis dan kualitas bunyi yang akan dihasilkan—umumnya sebuah
keybooard untuk not dan mengontrol tone color; 3) sebuah komputer atau
microchip untuk menterjemahkan perintah-perintah dalam bentuk getaran bunyi.
Ronald Pen (1992:12-17) mengemukakan elemen dasar (basic element)
dari bunyi adalah: duration, pitch, dynamic, dan timbre. Menurut Pen, keempat
elemen dasar inilah yang digunakan untuk menyusun musik8.
Jika kita bandingkan pendapat Kerman dan Pen, mereka hanya berbeda
satu elemen duration dalam hal properti atau elemen dasar bunyi. Penulis
berpendapat bahwa duration berhubungan erat dengan hal waktu dan sangat
penting dalam pembentukan rhythm, sebab rhythm merupakan unsur penting
dalam musik. Dengan demikian, pendapat Pen telah mencakup semua properti
bunyi yang diajukan oleh Kerman.
2.4. Elemen Musik (Music Element)
Kerman (1987:12) memaparkan, bahwa elemen (bagian penting) musik
terdiri dari: pitch, dynamics, tone color, scales, rhythm, tempo,dan pictch and
time.9
8 Ronald Pen, 1992. Introduction to Music. Hal. 12-17. 9 Joseph Kerman. Op.cit. hal. 12.
55
2.4.1. Pitch (Tinggi-rendah)
Kita dengan jelas dapat mendengarkan bunyi-bunyi, seperti bunyi tinggi
dan bunyi rendah. Kita memberi sifat kepada bunyi tersebut dengan kata tinggi
dan rendah untuk menggambarkan bunyi-bunyi itu dalam keraguan yang penuh
tanya, walaupun tidak dengan menggunakan alat yang layak. Kerman (1987:12)
menyebutkan, bahwa kualitas tinggi-rendahnya bunyi disebut pitch.10
Bunyi dihasilkan dari getaran yang sangat cepat dari senar yang tegang,
gong, bell, aliran udara dalam pipa,dan benda-benda lainnya. Tinggi rendahnya
sebuah bunyi ditentukan oleh cepatnya sebuah getaran. Pengukuran ilmiah dari
pitch adalah seberapa banyak jumlah getaran perdetik. Contoh, saat permulaan
latihan, sebuah orkestra melakukan tuning dengan pitch A, dan sebuah band
melakukan tuning dengan Bb (B mol). Not-not tersebut dapat dicek dengan
sebuah garpu tala atau sebuah alat tuning elektronik.
Lazimnya, jika bunyi-bunyian digunakan dalam musik, maka pitch-nya
harus difokuskan. Jadi, tidak kabur atau tidak tetap seperti sebuah bising yang
tinggi atau rendah. Suara knalpot sepeda motor dianggap sebagai noise (bising)
karena pitch-nya tidak difokuskan pada sebuah frekuensi tertentu. Namun
demikian, ada alat musik yang penalaannya tidak berdasarkan frekuensi tertentu,
seperti dram, simbal, cow bell, dan sebagainya.
Menurut Kerman (1987:12) pengalaman kita tentang pitch diperoleh
ketika kita masih kecil11. Bayi yang baru berumur beberapa jam dapat merespon
suara orang dewasa, mereka segera membedakan mana bunyi atau suara yang
10 Joseph Kerman. Ibid. hal. 12. 11 Joseph Kerman. Ibid. hal. 12.
56
tinggi dan mana yang rendah. Bayi-bayi itu sangat responsif terhadap bunyi yang
tinggi. Biasanya bunyi yang tinggi itu mereka kenal dari suara ibunya.
Berikut ini adalah rentang suara yang normal. Rentang suara ini lazim
digunakan saat bercakap-cakap atau bernyanyi oleh pria maupun wanita. Kerman
mendeskripsikannya dalam notasi berikut:
Gambar 7. Rentang suara normal sebagaimana dalam sebuah chorus
2.4.1.1. Interval: Oktaf
Kerman (1987:13) mendefinisikan interval sebagai perbedaan, atau jarak,
antara sebarang dua pitch. Dari sekian banyak perbedaan interval yang digunakan
dalam musik, sebuah interval memiliki karakter khusus yang membuatnya secara
khusus menjadi penting yaitu interval oktaf.
Interval oktaf merupakan jarak antara dua nada di mana kedua nada
tersebut sama tetapi tidak identik. Nada yang satu menduplikasi nada yang lain
dalam jarak oktaf. Duplikasi inilah yang disebut dengan oktaf.
Jika pria dan wanita menyanyikan lagu yang sama, maka secara insting
mereka menyanyi dalam jarak oktaf. Mereka saling menduplikasi suara dalam
57
jarak oktaf. Jika kita tanyakan pada mereka, maka mereka akan menjawab bahwa
mereka sedang menyanyikan lagu yang sama.
Interval oktaf digunakan untuk menentukan seberapa lebar rentang suara
manusia atau sebuah alat musik. Rata-rata suara manusia dan alat musik memiliki
rentang dua hingga tiga oktaf. Kecuali beberapa alat musik, misalnya piano
memiliki rentang suara hingga tujuh oktaf.
Interval nada-nada dalam satu oktaf dari sebuah tangga nada diatonis
C,D,E,F,G,A,B,c adalah sebagai berikut:
C-C = perfect first (prim murni) C-G = perfect fifth (kuint murni)
C-D = major second (sekonde besar) C-A = major sixth (sekt besar)
C-E = major third (ters mayor) C-B = major seventh (septim besar)
C-F = perfect fourth (kuart murni) C-c = perfect eighth (oktaf murni)
2.4.2. Dinamik (Dynamic)
Syarat dasar kedua dari bunyi musikal adalah loudness atau softness
(kelantangan atau kelirihan) atau disebut dynamic (dinamik).
Ilmuan mengukur dinamik secara kuantitatif dalam satuan yang disebut
decibels (db); gergaji mesin kelantangan bunyinya kira-kira 85 db, dan
operatornya terpaksa mengenakan peredam bunyi di telinga. Seorang ahli
kesehatan pernah mengukur sistem pengeras suara musik rock yang mencapai
128,5 db.
58
Musisi menggunakan istilah dalam bahasa Italia untuk menggambarkan
dinamik, sebab di masa-masa awal dulu, orang Italia menguasai kancah musik
Eropa. Beberapa contoh istilah dinamik:
pianissimo (pp) sangat lembut
piano (p) lembut
mezzo piano (mp) agak lembut
mezzoforte (mf) agak keras
forte (f) keras
fortissimo (ff) sangat keras
Kadang-kadang perubahan dinamik terjadi dengan tiba-tiba (subito)
kadang secara berangsur-angsur lantang atau lirih. Berikut adalah istilah dan
notasi perubahan dinamik (kadang-kadang disebut “pasak sanggul”):
crescendo (cresc.)
(berangsur-angsur lantang)
decrescendo(decresc.) atau diminuendo (dim)
(berangsur-angsur lirih)
2.4.3. Warna bunyi (Tone color)
Kerman (1978:14) mengatakan, bahwa not-not tunggal dalam musik, baik
keras maupun lembut, secara umum berbeda kualitas bunyinya.12 Perbedaan
12 Joseph Kerman. Ibid. hal. 14.
59
kualitas itu tergantung dari instrumen atau suara yang memproduksinya. Kerman
memberikan istilah tone color untuk menandai kualitas bunyi tersebut.
Tone color hampir tidak mungkin untuk digambarkan. Orang kadang-
kadang menggunakan istilah yang kurang pas seperti bright, harsh, hollow, atau
brassy. Kerman menuliskan, Tone color adalah elemen musikal yang dengan
mudah dapat dikenali. Orang yang tidak dapat menyanyikan sebuah lagu pun
dapat membedakan bunyi dari berbagai alat musik melalui nama instrumen
tersebut. Setiap orang dapat mendengar perbedaan antara bunyi yang halus, bunyi
yang penuh dari violin, bunyi cemerlang dari trumpet, dan gebukan dram.
Tetunya sangat mengagumkan bagaimana alat-alat musik yang berbeda
dipertemukan dalam sebuah kelompok untuk memproduksi tone color yang
berbeda. Saat ini teknologi komputer memungkinkan penemuan bunyi-bunyi baru.
2.4.4. Tangga nada (Scales)
Kerman (1978:15) mengatakan, musik tidak dibuat berdasarkan
keseluruhan rentang bunyi yang secara alami ada di alam, tetapi dibuat
berdasarkan sejumlah pitch yang sudah ditetapkan dalam setiap ruas oktaf.13
Pitch tersebut dapat disusun dalam sebuah kumpulan yang disebut scale
(“ladder” = tangga atau jenjang). Kerman menambahkan, sebenarnya sebuah
scale merupakan sekumpulan pitch yang disediakan untuk membuat musik.
Pitch mana yang digunakan dalam sebuah scale dan berapa banyak dalam
setiap oktafnya adalah berbeda dari satu kultur dengan kultur yang lain. Dua belas
13 Joseph Kerman. Ibid. Hal. 15.
60
pitch telah ditetapkan sebagai yang paling banyak digunakan dalam berbagai
musik. Lima nada digunakan di Jepang, sebanyak 24 nada digunakan di negeri-
negeri Arab, dan Eropa Barat pada dasarnya menggunakan tujuh nada.
Menurut Ronald Pen, sebuah scale (tangga nada) adalah serangkaian nada-
nada yang berurutan yang merupakan dasar dari pengaturan susunan melodi dan
harmoni14. Tangga nada memberikan kerangka susunan yang berjenjang untuk
mengorganisasikan konsonan dan disonan dalam sebuah kerangka tonal.
Pendapat Kerman dan Pen tentang tangga nada dapat disimpulkan sebagai
sekumpulan pitch yang berurutan yang digunakan sebagai dasar untuk menyusun
melodi dan harmoni. Sekumpulan pitch sebagai penyusun tangga nada dalam
musik Barat terdiri dari tujuh nada.
2.4.5. Tangga nada diatonis (The Diatonic scale)
Kerman (1978:15) menjelaskan, bahwa rangkaian tujuh nada yang secara
asli digunakan dalam musik Barat disebut tangga nada diatonik15. Tujuh nada
tersebut berasal dari era Yunani kuno, dan masih digunakan hingga saat ini. Bila
nada pertama diulang dengan duplikasi nada yang lebih tinggi, keseluruhannya
berjumlah delapan nada—oleh karena itu dinamakan “octave” berarti “delapan
jengkal”.
Menurut Kerman, Siapa pun yang mengetahui rangkaian “do, re, mi, fa,
sol, la, si, do” berarti ia terbiasa dengan tangga nada diatonis. Oktaf dapat dihitung
dengan memulai dari “do” pertama sebagai satu dan diakhiri dengan “do” kedua
14 Ronald Pen, 1992. Introduction to Music. Hal. 77. 15 Joseph Kerman. Op. cit. Hal. 15.
61
sebagai delapan. Serangkaian tuts putih pada piano atau keyboard merupakan
merupakan tangga nada ini (diatonis). Berikut ini sebuah gambar not-not pada
keyboard dengan rentang dua oktaf serta posisi not-not tersebut pada garis
paranada.
Pendapat Kerman di atas menyatakan bahwa orang yang mengetahui
rangkaian tangga nada diatonik dianggap sudah terbiasa dengan tangga nada
tersebut. Hal ini sangat berhubungan erat dengan dengan tetrakord diatonik yang
ada dalam musik Minangkabau.
Gambar 8. Posisi nada-nada keyboard dalam notasi balok
(Sumber : Kerman)
2.4.5.1. Tangga nada kromatik (The Chromatic scale)
Pada sebuah periode terakhir, lima buah pitch lagi ditambahkan di antara
tujuh nada anggota tangga nada diatonis, hingga berjumlah dua belas. Berikut ini
tangga nada kromatik yang disajikan dengan rangkaian dari not-not (tuts) pada
keyboard.
62
Gambar 9. Nada-nada kromatik
(Sumber : Kerman)
2.4.5.2. Instrumen dan tangga nada (Scales and instrument)
Hingga masa kini, musik Barat menggunakan 12 pitch dari tangga nada
kromatik yang diduplikasi dalam semua tingkatan oktaf dan pada dasarnya tidak
ada tangga nada yang lain16. Banyak jenis instrumen yang didisain untuk
menghasilkan pitch yang khusus: gitar dengan fret, lobang-lobang yang terukur
secara cermat pada flute, dan serangkaian senar yang tersetem pada piano dan
harpa. Termasuk juga, katup-katup dan pipa-pipa pada trompet dan tuba yang
didisain sedemikian rupa agar bisa mengahasilkan pitch kromatik.
Instrumen lain, seperti violin dan trombon gelincir (slide) memiliki
rentang pitch yang berkesinambungan (seperti sirine atau suara manusia). Dalam
menguasai instrumen ini, salah satu yang harus dikuasai adalah mempelajari
16 Joseph Kerman. Ibid. Hal. 16.
63
bagaimana cara mengambil sebuah pitch dengan tepat sebagai sebuah patokan.
Hal ini disebut sebagai playing in tune (bermain dalam keselarasan).
2.4.5.3. Langkah setengah dan langkah penuh (Half steps and whole steps)
Ada dua macam langkah nada yaitu langkah setengah (half step) dan
langkah penuh (whole step).
1. Interval paling kecil adalah langkah setengah (half step), atau semitone, yang
merupakan jarak antara dua not yang bergerak dari scale kromatik. Langkah
setengah merupakan interval antara not-not yang paling dekat. Jarak dari E ke
F dan dari B ke C adalah setengah langkah; demikian juga dari F ke F kres
(F#), G ke A flat (Ab), dan seterusnya.
2. Langkah penuh (whole step) atau nada penuh, ekuivalen dengan dua langkah
setengah atau dua semi tone. D ke E, E ke F#, F# ke G#, dan seterusnya.
Gambar 10. Whole step dan Semitone
(Sumber : Kerman)
64
2.4.6. Rhythm (Ritme)
Rhythm, dalam pengertian yang paling umum adalah, istilah yang merujuk
pada keseluruhan aspek waktu dari musik17. Joseph Kerman menjelaskan aspek
waktu dalam musik dengan istilah-istilah beat, accent, meter, dan rhythm and
rhythms.
2.4.6.1. beat (ketukan)
Beat merupakan satuan ukuran waktu dalam musik. Seseorang dapat
dengan mudah mengetukkan waktu dalam musik dengan mengayunkan tangan
atau mengetukkan kaki seirama dengan yang dilakukan oleh konduktor dengan
button-nya (tongkat kecil pengaba). Para komposer harus memanipulasi dan
mengelola elemen waktu sebagaimana tangga nada, harmoni, instrumentasi, dsb.
Mereka (komposer) menata (mengontrol) waktu sebagai mana seorang pelukis
menata ruang dalam dimensi dua atau seorang arsitek menata ruang dalam
dimensi tiga. Hanya dengan mengukur dan mengontrol waktu, para komposer
dapat menentukan kapan sebuah efek artistik dapat diterapkan18.
2.4.6.2. accent (tekanan)
Lazimnya waktu jam diukur dalam detik, dan waktu musik diukur dalam
beats (ketukan-ketukan). Terdapat perbedaan penting antara detik jam dengan
ketukan waktu dalam permainan dram. Secara mekanis detik jam selalu sama,
tetapi sebenarnya tidaklah mungkin untuk mengetuk (to beat) waktu tanpa
17 Joseph Kerman. Ibid. Hal. 18. 18 Joseph Kerman. Ibid. Hal. 18
65
membuat beberapa beat lebih tegas dari yang lainnya. Penegasan ini di sebut
sebagai pemberian accent (tekanan) pada sebuah beat19.
Cara alami dalam mengetuk waktu adalah dengan bergantiannya ketukan
kuat dan lemah dalam sebuah pola sederhana seperti: satu dua, satu dua, satu dua
atau satu dua tiga, satu dua tiga, satu dua tiga. Jadi, dalam mengetuk waktu tidak
hanya berarti mengukurnya tetapi juga mengelompokkannya, paling tidak dalam
bentuk biner atau terner. Dengan cara inilah mengapa sebuah dram dikatakan
sebagai intrumen musikal sedangkan sebuah jam tidak.
2.4.6.3. Meter (meter)
Setiap pola ketukan kuat dan lemah yang berulang-ulang disebut meter.
Meter adalah suatu pola kuat/lemah yang berulang-ulang untuk membentuk
sebuah denyut yang teratur dan berkesinambungan20. Setiap unit dari pola
berulang tersebut terdiri dari sebuah beat kuat dan satu atau lebih beat yang lebih
lemah, ini disebut sebagai mausure (birama) atau bar.
Dalam notasi musik, measure ditandai dengan garis vertikal yang disebut
garis bar.
Gambar 11. Birama dan garis bar
Ada dua jenis dasar penggunaan simple meter (meter sederhana), yaitu
duple meter dan triple meter. Kombinasi dari keduanya membentuk compound 19 Ibid. Hal. 18 20 Ibid. Hal. 19.
66
meter (birama gabungan)21. Contoh pola duple meter: 1 2 1 2 1 2 1 2. Contoh pola
triple meter: 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3. Contoh pola compound meter: 1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6.
2.4.6.4. rhythm dan rhythms
Kerman telah menegaskan bahwa istilah rhythm merujuk pada keseluruhan
aspek waktu dari musik. Dalam pengertian yang lebih spesifik rhythms merujuk
pada susunan khusus dari panjang-pendek not dalam melodi atau bagian musik
lainnya.
Dalam sebagian besar musik Barat, duple, triple, atau compound meter
berperan sebagai latar belakang yang bersifat teratur melawan rhythm yang
sebenarnya selalu lebih kompleks. Sepanjang rhythm bertepatan dengan meter,
kemudian berjalan dengan caranya sendiri, bermacam-macam ragam, tension
(tegangan), dan kehebohan dapat terjadi.
2.4.7. Tempo
Istilah tempo merujuk pada kecepatan perpindahan beat. Sering juga
disebut sebagai laju beat. Dalam musik yang bersifat metris, tempo merupakan
kecepatan dasar, beat-beat yang beraturan dari sebuah meter saling mengikuti satu
sama lain.
Tempo dapat diekspresikan secara kuantitatif dengan petunjuk seperti
, berarti 60 (not seperempat) beats per menit. Petunjuk demikian adalah
21 Ibid. Hal. 19.
67
tanda metronom. Metronom 100 adalah sebuah rata-rata tempo mars yang tenang;
42 adalah sangat lambat, 160 adalah sangat cepat.
2.4.7.1. tempo indications (petunjuk tempo)
Nada-nada dalam musik memiliki durasi relatif. Laju beat pun bersifat
relatif. Bila para komposer memberikan arahan untuk tempo (laju beat), mereka
biasanya lebih suka menggunakan istilah-istilah yang umum. Istilah konvensional
yang digunakan sebagai petunjuk tempo adalah dalam bahasa Italia.
Petunjuk tempo yang lazim digunakan:
adagio : lambat andante : mendekati lambat, tapi tidak terlalu lambat moderato : sedang allegretto : mendekati cepat, tapi tidak terlalu cepat allegro : cepat presto : sangat cepat
Petunjuk tempo yang jarang digunakan:
lento, largo, grave : lambat, sangat lambat larghetto : agak lebih cepat dari pada largo vivace, vivo : berkesan molto allegro : lebih cepat prestissimo : sangat cepat
68
2.5. Pitch dan Time: Dua dimensi musik
Pitch dan time merupakan dua dimensi penting atau merupakan koordinat
dari musik. Grafik pitch dengan pembacaan turun naik berada pada sumbu
vertikal, dan time yang bergerak dari kiri ke kanan pada sumbu horizontal dapat
membantu dalam konseptualisasi musik sebagai mana grafik harga makanan dan
waktu yang dapat membantu kita melacak perubahan harga di toko grosir dari
bulan ke bulan. Faktanya, demikian pulalah grafik pitch/time menjadi sangat
terkait erat dengan notasi musik. Dalam notasi musik, tinggi dan rendahnya nada-
nada ditempatkan pada kisi-kisi yang berderet secara horizontal yang sesekali
bersilangan dengan garis-garis vertikal. Garis-garis vertikal menandai pitch, dari
rendah ke tinggi; garis-garis horizontal menandai waktu dalam pecahan menit
(seperti bulan atau minggu, sebagaimana indeks harga):
Grafik 1. Grafik dua dimensi musik (pitch dan time)
(Sumber : Kerman)
2.6. The Structures of Music (Struktur Musik)
Musik terdiri dari struktur sederhana dan kompleks yang dibangun dari
pitch, ritme, tone color, dan dinamik. Keempat elemen ini tidak bisa dipsahkan
satu sama lain dalam membentuk struktur musik.
69
2.6.1. Melody (Melodi)
Kerman (1987) mendefenisikan melodi sebagai perpindahan serangkaian
nada yang dimainkan atau dinyanyikan dalam sebuah ritme tertentu22. Pen (1992)
mendefenisikan melodi sebagai urutan perpindahan interval yang merupakan ide
musikal yang bertalian secara logis. Penulis menyimpulkan pendapat Kerman dan
Pen tentang melodi sebagai suatu ide yang tertuang dalam bentuk perubahan
interval dalam ritme tertentu.
2.6.2. Texture (Anyaman)
Kerman (1987) menjelaskan bahwa tekstur merupakan istilah yang
digunakan untuk menyatakan perpaduan berbagai macam bunyi dan melodi
(banyak melodi) yang terjadi secara serempak dalam sebuah musik.
Tekstur yang paling sederhana adalah sebuah melodi tanpa iringan yang
disebut sebagai monofoni (monophony). Bila dua atau lebih melodi dimainkan
atau dinyanyikan secara bersamaan maka perpaduan tersebut dinamakan sebagai
polofoni (polyphony). Tekstur polifoni ada yang bersifat imitatif ada yang tidak.
Polifoni imitatif (imitative poliphony) terjadi bila beberapa jalur suara berbunyi
bersama dengan menggunakan melodi yang sama atau mirip, tetapi dimulai pada
waktu yang tidak bersamaan sehingga satu melodi disusul oleh melodi lainnya
dalam jeda interval waktu tertentu. Sedangkan polifoni nonimitatif (nonimitative
poliphony) terjadi bila beberapa melodi memang berbeda secara esensi. Bila ada
sebuah melodi saja dikombinasikan dengan bunyi-bunyi yang lain maka tekstur
22 Kerman, 1987. Listen. Hal. 30
70
ini disebut homofoni (homophony). Bisa saja berupa sebuah melodi yang diringi
dengan akor-akor atau setiap pergerakan nada yang diharmonisasi dengan sebuah
akor tertentu seperti yang kita dapati pada himne koor atau lagu himne (hymn
tune).
Harmoni merupakan bagian dari tekstur. Sebuah melodi dapat
diharmonisasi dengan banyak cara menggunakan akor-akor yang berbeda.
Kerman (1987) berpendapat bahwa, keseluruhan efek dari musik bergantung pada
perluasan akor-akor natural tersebut yang secara umum di sebut harmoni.
Grafik 2. Grafik tekstur
(Sumber : Kerman)
71
Grafik 3. Grafik tekstur polifoni imitatif
(Sumber : Kerman)
Grafik 4. Grafik tekstur polifoni non imitatif
(Sumber : Kerman)
72
Grafik 5. Grafik tekstur homofoni
(Sumber : Kerman)
2.6.3. Key dan Mode
Key berkaitan dengan tonalitas yang mengacu pada kombinasi susunan
interval tertentu. Menurut Kerman (1987) key bisa diawali oleh sebarang nada
sehingga tersusun menjadi sebuah key mayor atau minor. Misalnya, berawal dari
nada C dengan skala interval 1-1-1/2-1-1-1-1/2 akan dihasilkan susunan C-D-E-F-
G-A-B-C dengan nama key C mayor. Jika skala yang sama kita gunakan dengan
nada permulaan D akan dihasilkan susunan D-E-Fis-G-A-B-Cis-D maka kita
dapatkan key D mayor. Bila nada permulaan C dengan skala interval 1-1/2-1-1-
1/2-1-1 akan dihasilkan susunan C-D-Es-F-G-As-Bes-C dengan nama key C
minor. Jika skala yang sama kita gunakan dengan nada permulaan A akan
dihasilkan susunan nada A-B-C-D-E-F-G-A maka kita dapakan key A minor.
73
Posisi nada permulaan yang berbeda-beda dengan skala interval yang sama inilah
yang dimaksud dengan key.
Ronald Pen (1992) mengatakan, secara struktur, delapan buah not yang
menyusun mode menyerupai pola dari langkah penuh (whole step) dan langkah
setengah (hal step) yang terdapat dalam mode mayor dan minor. Setiap mode
memiliki pola half step yang unik. Berikut ini adalah susunan tujuh mode dengan
posisi half step yang berbeda-beda:
Ionian
Dorian
Phrygian
Lydian
Mixolydian
Aeolian
Locrian
74
Gambar 12. Skala mode mayor dan minor
(Sumber : Kerman)
75
Musik dengan struktur yang telah dirancang sedemikian rupa diwujudkan
dengan permainan berbagai alat musik. Sebagai contoh adalah ansambel besar
berupa orkestra yang terdiri dari seksi gesek (strings): violin, viola, cello, dan
kontra bas; tiup kayu (woodwind): flut, obo, klarinet, dan bason; tiup logam
(brass): trompet, horn, trombon,dan tuba, dan perkusi (percussion): timpani,
vibrafon, marimba, bell, grand cassa, simbal, dsb.
Gambar 13. Penataan alat musik dalam orkestra
(Sumber : Kerman)
2.7. Bentuk dan Stil Musik (Musical Form dan Musical Style)
Kerman (1987) menyatakan, bahwa bentuk secara umum merupakan
penataan elemen musikal dalam sebuah karya musik yang terdiri dari ritme,
76
dinamik, tone color, melodi, tonalitas, dan tekstur23. Sedangkan stil merupakan
kebiasaan atau kecenderungan seorang komposer dalam menggunakan ritme,
melodi, harmoni, tone color, bentuk tertentu, dsb24.
2.7.1. Bentuk Musik (Form in Music)
Bentuk musikal, sebagai pola yang baku, biasanya ditunjukkan dengan
huruf-huruf. Dua faktor yang menghasilkan bentuk musik adalah: repetisi dan
kontras. Bentunya ditulis dengan diagram A B A, A sebagai elemen repetisi dan B
sebagai kontras. Jika pada A terjadi modifikasi maka secara konvensional ditandai
dengan A' sehingga susunan dapat berupa A B A'
2.7.2. Stil Musik (Musical Style)
Menurut Bambang Sugiharto (2013:283) Style adalah cara khas
memperlakukan unsur-unsur musikal seperti: melodi, ritme, warna tone,
dinamika, harmoni, tekstur, dan bentuk25. Sugiharto menerangkan bahwa, Style
musik itu berubah-ubah dari zaman ke zaman, meskipun batas perubahan itu tidak
selalu sangat jelas, tidak mendadak dan tegas. Selanjutnya dijelaskan, bahwa
Style memang bisa menunjuk gaya pribadi seseorang komposer, sekelompok
komposer, atau suatu negara, tapi bisa juga menunjuk pada periode-periode
23 Ibid. Hal. 56 24 Ibid. Hal. 60 25 Bambang Sugiharto, 2013. “Musik dan Misterinya” dalam buku Untuk Apa Seni? Hal. 283.
77
tertentu. Menurut periode stilistiknya musik-seni di Barat dapat dibagi ke dalam
kategori sebagai berikut26:
1. Abad Pertengahan (450-1450)
2. Renaisanse (1450-1600)
3. Barok (1600-1750)
4. Klasik (1750-1820)
5. Romantik (1820-1900)
6. Modern (1900-1950)
7. Kontemporer (1950- )
2.8. Musik Diatonis di Sekolah-Sekolah
Pelajaran musik di sekolah-sekolah umum di Indonesia wajib diisi dengan
materi pembelajaran lagu-lagu nasional yang juga kita kenal sebagai lagu-lagu
wajib nasional. Sejak Sekolah Dasar, bahkan Taman Kanak-Kanak, hingga
Sekolah Menengah Tingkat Atas anak-anak Indonesia secara tidak langsung sudah
fasih menyanyikan lagu-lagu yang berdasarkan sistem nada diatonis. Selain dari
pelajaran musik di sekolah, anak-anak Indonesia juga terbiasa dengan musik-
musik populer Indonesia dan Barat (Amerika) yang juga didominasi oleh sistem
nada diatonis.
PaEni (2009) menuliskan, bahwa di sekolah-sekolah pelajaran menyanyi
masuk ke dalam kurikulum, dan isinya adalah menyanyi dalam sistem nada
26 Ibid. hal. 283. Silakan periksa halaman 283-304.
78
diatonik27. PaEni berpendapat bahwa orientasi musik anak sekolahan adalah ‘ke
Barat’. Bersama dengan sistem nada diatonik tersebut diperkenalkan pula
instrumen-instrumen musik dari Eropa seperti biola, piano, gitar, dan sebagainya.
Sekali dalam hidup, kita tentu pernah mengalami peristiwa musik.
Setidak-tidaknya setiap upacara bendera khususnya pada hari kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus semua murid Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Perguruan Tinggi, kantor-kantor
pemerintahan, dan organisasi-organisasi sosial politik serta seluruh rakyat
Indonesia, secara langsung atau pun tidak, tentunya pernah menyanyikan lagu
Indonesia Raya.
Sebagai sebuah karya musik, lagu kebangsaan kita Indonesia Raya
diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman melalui aturan nada yang umum
dikenal di seluruh dunia. Aturan nada yang dikenal di seluruh dunia ini disebut
diatonis (Remy Sylado, 1983:8)28. Sylado mengatakan bahwa perkataan diatonis
dipetik dari bahasa Latin, diatonicus, maksudnya nada-nada yang terdiri dari tujuh
jenis bunyi yang ditulis di atas garis titi, yaitu do re mi fa sol la si29.
2.9. Tetrachord Diatonis dalam Lagu-Lagu Tradisional Minangkabau
Karawitan Minangkabau yang berasal dari Darek (Luhak Tanah Datar,
Luhak Agam, Luhak Lima Puluh Kota) juga memiliki sistem tangga nada yang
mirip dengan konsep diatonis seperti yang dikemukakan dalam kajian sejarah
27 Mukhlis PaEni, 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni Pertunjukan dan Seni Media. Hal. 102.
28 Remy Sylado, 1983. Apresiasi Musik. Hal. 8 29 Remy Sylado, Ibid. hal.8
79
musik30. Lagu tradisional Minangkabau berikut ini memenuhi konsep dasar
tangga nada diatonis:
1. Lagu Malereang Tabiang:
Gambar 14. Notasi lagu Malereang Tabiang dari Agam (Bukittinggi)
2. Lagu Duo-duo:
Gambar 15. Notasi Lagu Duo Duo dari Muara Labuh
3. Lagu Tak Tong Tong:
Gambar 16. Notasi lagu Tak Tong Tong dari Darek
4. Lagu Simarantang:
30 Periksa Karl Edmund Prier sj, 2006. Sejarah Musik jilid 1.
80
Notasi 17. Lagu Simarantang dari Kabaupaten 50 Kota
2.10. Musik Diatonis di Indonesia (Awal Penyebaran)
Triyono Bramantyo dalam bukunya Disseminasi Musik Barat Di Timur
mengungkap bagaimana penyebaran musik Barat di Indonesia dan Jepang. Buku
ini sebenarnya merupakan sebuah desertasi yang berjudul Studi Historis
Penyebaran Musik Barat di Indonesia dan Jepang lewat aktivitas misionaris pada
kbad ke16. Tesis ini diselesaikan oleh Triyono Bramantyo di Universitas Osaka,
Jepang pada bulan Desember 1996. Buku ini merupakan studi komparatif tentang
sejarah penyebaran musik Barat di Indonesia dan Jepang pada abad keenam belas
khususnya dari Serikat Yesus.
Fransisco Xaverius (1506-1552) menyadari bahwa orang Indonesia dan
Jepang memiliki kegemaran dalam musik. Xaverius sudah mempersiapkan
katekismus31 dalam bahasa Melayu untuk misinya di Maluku, Indonesia dan
bahasa Jepang untuk misinya di Kyushu, Jepang. Termasuk dalam katekismus
tersebut adalah lagu-lagu Gregorian yang untuk pertama kalinya diperkenalkan di
31Katekismus: kitab pelajaran agam Kristen dalam bentuk daftar tanya jawab (Bramantyo, 2004:46).
81
Indonesia dan di Jepang sebagai benih dari musik Barat32. Selain lagu-lagu
Gregorian juga disebarkan lagu-lagu sekular, khususnya oleh saudagar dan pelaut
Portugis. Disebutkan bahwa musik keroncong mendapat pengaruh dari musik
sado, salah satu jenis musik rakyat Portugis.
Francisco Xafier tiba di Ambon pada tanggal 4 Pebruari1546. Dia sudah
mempersiapkan katekismus dalam bahasa Melayu yang dipahami oleh masyarakat
Maluku. Katekismus itu meliputi Credo, Deklarasi, Pater noster, Ave Maria, dan
Salve Regina33 (Jacobs dalam Bramantyo, 2004:46). Peristiwa ini menandai karya
Jesuit di Maluku.
Francisco Xafier tinggal di Ambon sampai Juni 1546 sambil berkarya di
antara umat Kristen di Morotai dan mengajari anak-anak bernyanyi Credo. Dia
melanjutkan tugasnya dengan harapan bahwa seluruh Ambon akan menjadi
Kristen. Dia merubah kepercayaan banyak penduduk dan mengajar agama Kristen
pada anak-anak dan mengenalkan doa-doa malam untuk orang-orang sekarat dan
pendosa34 (Jacobs dalam Bramantyo, 2004:46).
Dari Ambon, Xavier dikirim ke Ternate dan bertugas di sana hingga
September 1546. Di ambon dia menulis katekismus bersajak dalam bahasa
Portugis dan mendirikan Misericordia35 di Ternate. Dari Ternate, Xavier
mengunjungi umat Kristen di Moro. Dia menghabiskan waktunya tidak hanya
untuk kegiatan pengajaran agama tetapi juga untuk mengajar anak-anak. Setelah
menghabiskan beberapa waktu di Moro, dia berlayar kembali ke Ternate dan
32 Triyono Bramantyo,2004. Hal. viii. 33 Bramantyo, Ibid. hal. 46. Periksa buku Disseminasi Musik Barat Di Timur. 34 Bramantyo, Ibid. hal. 46.
35 Misericordia: suatu lembaga amal yang didirikanpada tahun 1498 di Portugal.
82
bertugas di sana hingga April 1547, sebelum meninggalkan Ambon lagi guna
berlayar kembali ke Malaka dan India36 (Bramantyo, 2004:47).
Selama tinggal di Maluku, Xavier (beserta para Jesuit lainnya) menyadari
bahwa apa yang benar-benar dia lakukan untuk menarik umat Kristen pribumi
bukan hanya lewat ajarannya saja tetapi berbagai macam seperti upacara-upacara,
cahaya lilin, musik ritual gereja (Wicki dalam Bramantyo, 2004:47). Dapat kita
pahami bahwa salah satu usaha Xavier dalam menyebarkan ajaran Kristen—selain
ajaran—adalah melalui musik khususnya musik ritual gereja. Salah satu trik jitu
yang dilakukan oleh Xavier adalah memadukan kecintaan musik pribumi dengan
ritual Katolik. Dengan cara seperti ini akan membuat orang Maluku semakin
familiar dengan musik diatonis. Andaya (dalam Bramantyo, 2004:47)
menggambarkan sebuah contoh dengan menyatakan bahwa “daerah terbuka di
Ternate dan di rumah-rumah, para wanita dan anak-anak sepanjang waktu
menyanyi Creed (Syahadat), Bapa Kami (Pater Noster), Salam Maria (Ave
Maria), Pengakuan (Confiteor), dan doa-doa lain, Firman-firman, dan karya-karya
kerahiman”37.
2.11. Musik Diatonis di Minangkabau (Peran Sekolah Belanda)
Penyebaran musik diatonis di Minangkabau tidak melalui misi Kristen
seperti halnya di Maluku dan Flores. Belanda berusaha agar hanya mencampuri
lalu lintas perdagangan dan tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan setempat
36 Bramantyo, Ibid. hal. 47. Untuk lebih lengkapnya silakan buka 37Bramantyo, Ibid. hal. 47.
83
dan kehidupan sehari-hari orang Asia (Denys Lombart, 2005:95)38. Selanjutnya
Lombard menuliskan, selain tidak terpikir untuk mengekspor agama mereka,
orang-orang Belanda juga sama sekali tidak berusaha menyebarluaskan bahasa
mereka.
Graves menuliskan, bahwa setelah menaklukkan Sumatera Barat pada
tahun 1837, Belanda membutuhkan penduduk setempat, yang memiliki
keterampilan teknis dasar – membaca, menulis, dan pengetahuan berhitung
secukupnya – untuk mengisi struktur birokrasi pemerintah kolonial yang semakin
luas39. Kesempatan-kesempatan tersebut diisi oleh golongan menengah. Golongan
inilah yang yang memberikan tanggapan kreatif terhadap kehadiran kekuatan
kolonial dan peluang-peluang baru yang ditawarkannya untuk memperoleh
kekayaan, prestise, kekuasaan, dan kedudukan. Graves (2007:xii) mengatakan,
bahwa golongan menegah ini sangat menyadari bahwa jalan terbaik untuk maju
adalah terdapat dalam upaya adaptasi mereka dengan pemerintah kolonial40 dan
untuk itu mereka harus belajar keterampilan dan teknik-teknik baru yang menjadi
prasyarat masuk lapangan kerja baru.
Dengan pernyataan Graves di atas dapat kita pahami bahwa ada
segolongan orang Minangkabau yang telah memiliki pemikiran bahwa jalan
terbaik untuk maju adalah dengan cara beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan
“Barat” dalam hal ini kekuasaan kolonial Belanda. Ini berarti bahwa mempelajari
bahasa Belanda, membaca, menulis, berhitung, berperilaku beradab, berkesehatan
38Denys Lombard, 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid 1 Batas-batas Pembaratan. Hal. 95. 39 Elisabeth E. Graves, 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX /XX. Hal. x. 40 Elisabeth E. Graves, Ibid. hal. xii.
84
yang baik, dan – poin berikut ini menjadi bagian penting bagi tulisan penulis –
mempelajari aspek-aspek lain dari gaya hidup dan budaya Eropa. Poin terakhir
yang berupa gaya hidup dan budaya Eropa tentulah di dalamnya juga termuat hal
kesenian yang di dalamnya terdapat musik Barat atau musik diatonis.
Selain untuk kepentingan Belanda dalam urusan perdagangan dan
administrasi, pendirian Nagari School merupakan akses bagi orang muda
Minangkabau untuk mengenal kebudayaan dan musik Barat (diatonis) secara
khusus, karena di Sekolah Nagari musik Barat diperkenalkan, salah satunya,
melalui nyanyian atau pelajaran musik.
Sekolah Normal School/”Sekolah Radja” Bukittinggi (dalam bahasa
Belanda disebut Kweekschool) didirikan lewat dekrit pemerintah pada tanggal 1
April 1856. Kweekschool menyajikan lebih banyak pelajaran dari pada Sekolah
Nagari yang hanya mengajarkan keterampilan dasar membaca, menulis, dan
berhitung. Kurikulum di Sekolah Radja diarahkan pada semua mata pelajaran –
bahasa Belanda, bahasa Melayu, menulis indah, berhitung, geometri, sejarah dan
geografi Hindia Belanda, sejarah Belanda, ilmu alam, survei, menggambar,
keahlian membuat draf, teknik-teknik pertanian, pedagogi (ilmu mendidik),
menyanyi, dan pendidikan jasmani (Graves, 2007:222)41.
Sebuah pemikiran yang masih bersifat sangat umum muncul dari kalangan
menengah Minangkabau dalam rangka mencapai kemajuan. Seperti telah
dituliskan di atas, golongan ini sangat yakin bahwa kemajuan pada masa itu hanya
bisa dicapai dengan jalan beradaptasi dengan pemerintah kolonial. Beradaptasi di
41 Elisabeth E. Graves, Ibid. hal. 222.
85
sisni dalam arti menyesuaikan diri di mana orang Minang dari golongan menegah
ini merasa nyaman diperlakukan secara profesional atas keterampilan dan
pengetahuan yang dimilikinya. Penulis berkesimpulan bahwa adaptasi yang
dilakukan oleh orang Minangkabau lebih kepada tuntutan atas kesetaraan hak-hak
hidup, sosial, dan ekonomi.
Jika persoalan adaptasi ini kita tarik ke ranah budaya, sesuai dengan
konsep adaptasi, bahwa hal yang menghambat atau mengendala suatu teknologi
yang sederhana ternyata sering ditanggulangi atau malah diubah menjadi peluang
oleh budaya yang memilki sistem lebih maju dalam hal ini kebudayaan Barat
(Eropa).
Salah satu putra Minangkabau yang menyelesaikan studi di Kweekschool
adalah Mohammad Sjafei. Ia adalah seorang tokoh pendidikan nasional Indonesia
yang juga mencintai seni musik. Melalui asuhannya berkembang pula bakat musik
dua anak didiknya di INS Kayu Tanam. Mereka adalah dua bersaudara Boestanoel
Arifin Adam dan Irsyad Adam.
2.12. Peran Beberapa Tokoh dalam Memperkenalkan Musik Diatonis Di
Minangkabau (Sumatera Barat)
Pada bagian ini penulis memaparkan beberapa orang putra Minangkabau
yang meraih pendidikan musik Barat di Eropa. Kelak mereka berjasa dalam
mendirikan institusi kesenian di Minangkabau. Pendidikan dasar musik mereka
adalah musik Barat. Mereka mengajarkan dan mengembangkan ilmu musiknya
tidak hanya di jurusan musik Barat tetap juga di jurusan karawitan Minangkabau.
86
Mohammad Sjafei pernah bercita-cita untuk mendirikan sekolah musik di
Sumatera Tengah. Cita-cita Mohammad Sjafei untuk mendirikan sekolah musik di
Minangkabau akhirnya terwujud melalui generasi setelah dia, yaitu dua
bersaudara Boestanoel dan Irsyad Adam.
Mohammad Sjafei42 adalah salah seorang figur yang pernah mengenyam
pendidikan Belanda. Ayahnya Mara Sutan, seorang pendidik, yang banyak berjasa
kepada pendidikan di Indonesia.
Mohammad Sjafei menamatkan Sekolah Guru (Kweekschool) di
Bukittinggi dalam tahun 1914. Ia juga seorang pemain violin yang baik. Setelah
itu ia menjadi guru pada “Sekolah Kartini” di Batavia (sekarang Jakarta) selama
enam tahun.
Atas biaya sendiri, Mohammad Sjafei melanjutkan pelajaran ke Eropa. Ia
mendalami mata-mata pelajaran ekspresi: menggambar, pekerjaan tangan, dan
seni suara. Ia mengunjungi beberapa negara lainnya di Eropa untuk memperdalam
pengetahuannya tentang seluk beluk pendidikan. Ketika pergerakan kebangsaan
memuncak, Mohammad Sjafei memutuskan kembali ke Tanah Air. Sjafei
berpendapat bahwa kemajuan pendidikan adalah hal utama untuk memperolah
kemerdekaan.
Mohammad Sjafei mendirikan Ruang Pendidikan model baru di Kayu
Tanam pada tahun 1926 sebagai reaksi terhadap pendidikan yang diberikan pada
sekolah-sekolah pemerintah Belanda. Sekolah itu ia beri nama Indische Nederland
School (INS). M Sjafei meninggal di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1969.
42 Tulisan ini penulis kutip dari sebuah buku karangan dra. Emma Zain dan Djaka Dt. Sati, (tt) berjudul Ilmu Mendidik.
87
Tujuan INS adalah: 1) memberikan pendidikan kepada rakyat yang ingin
merdeka, 2) memberikan pendidikan yang sesuai dengan keperluan masyarakat,
dan 3) memberikan pendidikan kepada pemuda supaya percaya kepada diri sendiri
dan berani bertanggung jawab.
Azas-azas pendidikan yang digunakan oleh Moh. Sjafei adalah: berpikir
logis dan rasional, keaktifan, pendidikan kemasyarakatan, bakat anak-anak harus
mendapat perindahan, dan memberantas intelektualisme.
Mohammad Sjafei telah berusaha mengubah manusia dan masyarakat. Ia
mementingkan bekerja sebagai alat pendidikan yang baik. Sebagian orang
mengatakan: INS lebih condong kepada kesenian yang tidak diperuntukkan bagi
sekalian anak.
Boestanoel Arifin Adam dan Irsyad Adam adalah dua bersaudara kandung.
Keduanya adalah putra dari bapak Adam BB. Mereka dilahirkan di
Padangpanjang dan dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi nialai-
nilai Islam. Sebagai orang Minangkabau yang Islami Ayah mereka cukup toleran
dalam memberikan kesempatan mempelajari musik Barat.
Irsyad Adam tak seberuntung uwan-nya (abangnya) karena sejak lahir ia
sudah tidak bisa melihat seperti layaknya orang normal alias tuna netra. Tetapi
Irsyad dikaruniai indera pendengaran yang tajam. Waktu kecil, menurut penuturan
ibu adang Rohani Adam (kakak perempuan Irsyad), Irsyad sangat senang
mendengarkan bunyi-bunyian. Bahkan, pada suatu hari Irsyad kecil sengaja
membanting sebuah piring kaleng berulang kali. Ia mendengarkan bunyi piring
dengan seksama seolah-olah ada sesuatu yang ingin diketahuinya dari bunyi itu.
88
Irsyad memang suka menyanyi, bermain harmonika, dan mendengarkan
abangnya, Bustanoel, memainkan violin.
Penulis sengaja datang ke Padangpanjang untuk berjumpa dan
mewawancarai bapak Irsyad Adam. Beliau banyak mengetahui seluk-beluk
kehidupan musik di sumatera Barat sejak pra kemerdekaan sampai sekarang. Daya
ingatnya masih cukup tajam. Beliau masih bisa mengenali suara penulis
walaupaun sudah bertahun-tahun tidak berjumpa. Pak Irsyad baru saja sembuh
dari sakit ketika penulis menjumpainya. Dia terlihat segar untuk ukuran orang
setua dia, tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya agak sedikit kurang jelas
karena dulu beliau pernah menderita stroke ringan yang membuat bibirnya sedikit
bergeser ke kiri. Tetapi penulis masih dapat menangkap kata-kata yang ia ucapkan
dalam bahasa Minang.
Tulisan berikut didapatkan dari wawancara dengan bapak Irsyad Adam di
rumahnya, Padangpanjang pada tanggal 01 Juni 2014 sekitar pukul 09.00-10.30.
Penulis ditemani oleh seorang rekan sesama kuliah dulu yang sekaligus
mengoperasikan alat perekam audiovisual.
Irsyad Adam memulai penuturannya dengan cerita tentang belajar musik.
Irsyad, awalnya, belajar musik khususnya violin kepada abangnya, Boestanul
Arifin. Selain belajar kepada abangnya, Irsyad juga belajar kepada guru dari
abangnya itu, yaitu bapak M Yunus Keucik, seorang Aceh yang beristeri dengan
orang Payakumbuh dan tinggal di Padangpanjang. Irsyad mengatakan bahwa
bapak M Yunus Keucik dulunya adalah murid dari bapak Khatib Sulaiman,
seorang tokoh Sumatera Barat. Bapak Khatib Sulaiman adalah murid dari bapak
89
M Nur. Menurut Irsyad dia pertama kali belajar memainkan klasik dari Lis
Wakidi, kakak dari Dirwan Wakidi.
Pada tahun 1942 Irsyad Adam menempuh pendidikan di INS Kayu Tanam
sebagai murid non formal. Setiap pagi selapas salat subuh ia barsama Boestanul
berangkat ke Kayu Tanam dengan kereta api. Tetapi sejak adanya kecelakaan
kereta api di Silaiang mereka takut naik kereta api dan beralih menggunakan
padati43. Kebetulan kejadian itu sudah di akhir-akhir masa studinya di INS.
Berangkat subuh dan sore harinya kembali ke Padangpanjang. Irsyad belajar di
INS selama tiga setengah tahun.
Sekitar tahun 1947 beberapa orang mendirikan sebuah orkestra di
Padangpanjang. Pada waktu itu Ibu Kota Negara Republik Indonesia berada di
Bukittinggi tetapi kegiatan-kegiatan kesenian dan kebudayaan dipusatkan di
Padangpanjang. Irsyad adalah anggota orkes termuda waktu itu. Ia sering di daulat
sebagai solis di orkestra tersebut. Pada waktu itu menteri Pendidikan untuk
wilayah Sumatera di jabat oleh Mohammad Sjafei, tokoh pendiri INS Kayu
Tanam.
Selama menjadi murid di INS, Irsyad sering mengadakan pertunjukan
musik bersama murid-murid lainnya. Pada waktu itu INS sering di datangi tamu
dari luar negeri khususnya anggota Komisi Tiga Negara. Komisi Tiga Negara
terdiri dari Indonesia, Mesir dan India. Mesir dan India adalah dua negara yang
pertama kali mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Irsyad menuturkan
bahwa musik yang disuguhkan kepada tamu-tamu asing yang berkunjung ke INS
43 Kendaraan tradisional berbentuk gerobak yang ditarik oleh seekor lembu atau bisa juga kerbau.
90
bukanlah musik tradisional Minangkabau tetapi musik Barat. Mengapa
menyambut tamu asing dengan musik barat? Irsyad menjawab, waktu itu dunia
internasional masih menganggap Indonesia sebagai sebuah negeri primitif dan
Belanda menyatakan di PBB bahwa Indonesia belum pantas untuk merdeka.
Maka, dengan pendidikan dan musik Barat kita menyatakan bahwa kita layak
sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Pendidikan dan kesenian
merupakan peluru yang lebih ampuh dari pada peluru senapan, ujar pak Irsyad.
Dengan melihat secara langsung aktifitas pelajar Indonesia di INS Kayu
Tanam, pahamlah para tamu-tamu asing tersebut. Pernyataan Belanda di PBB
berbeda dengan kenyataan yang mereka lihat. Ternyata anak-anak Indonesia
sudah maju bahkan bisa memainkan musik Barat. Mereka mamainkan musik
klasik dan beberapa karya WR Soepratman. Walaupun orkestra belum terlalu rapi
secarat teknis, tetapi mereka sudah memulai memainkan musik diatonis sebagai
sebuah wujud usaha dalam memperjuangkan persamaan hak sebagai masyarakat
dunia yang beradab.
Di Bukittinggi, pada tahun 1947 terdapat orkes simfoni negara.
Anggotanya terdiri dari tentara pengungsi dari Medan dan Siantar yang kemudian
bergabung dengan musisi di Bukittinggi. Konduktornya waktu itu bernama
Khalid. Orkestra inilah yang sering digunakan untuk menyambut dan menghibur
tamu-tamu negara di Bukittinggi. Orkes di Padangpanjang tetap ada, tetapi lebih
kepada orkestra gesek.
Pada tahun 1947 Presiden Soekarno berkedudukan di Yogyakarta dan
wakil presiden Mohammad Hatta di Bukittinggi. Ketika itu Bukittinggi sudah
91
memiliki pelabuhan kapal terbang sebagai peninggalan Jepang tepatnya di Gadut.
Melalui pelabuhan kapal terbang Gadut inilah seorang menteri (menteri baja)
utusan dari Jawaharlal Nehru (perdana menteri India kala itu) masuk ke
Bukittinggi. Hatta mengajak utusan itu menyaksikan orkestra di Padangpanjang
tepatnya di gedung Ruang Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Gedung
Mohammad Sjafei). Irsyad Adam, waktu itu adalah pemain yang paling muda
dalam kelompok orkestra tersebut. Irsyad juga menyebutkan nama Dirwan Wakidi
sebagai salah seorang pemain dalam orkestra tersebut. Pada momen inilah ‘Pak
Nait’ (demikian bunyi sebuah nama yang terucap dari mulut pak Irsyad), utusan
Jawaharlal Nehru itu menyaksikan permainan violin Irsyad. Utusan itu merasa
tertarik dengan permainan violin Irsyad muda yang berbakat. ‘Pak Nait’
mengungkapkan kenginannya kepada pak Hatta untuk menyekolahkan Irsyad ke
luar negeri. Pak Hatta seketika itu juga merestui tawaran dari utusan Nehru
tersebut. Bagaimana dengan orang tuanya? Tanpa persetujuan dari ayah Irsyad
pak Hatta waktu itu langsung mengatakan, “Orang tuanya setuju, saya mau
mengurusi, bertanggung jawab”, kata pak Hatta. Pak Irsyad menceritakan ini
sembari tertawa mengenang masa lalunya. Selanjutnya pak Hatta memberikan
syarat kepada ‘Pak Nait’, bahwa anak ini tentunya tidak bisa berangkat sendirian
karena keterbatasannya. Akhirnya diputuskan untuk menyekolahkan kedua
bersaudara Irsyad dan Boestanul Arifin.
Pada 1947 itu juga terjadi Agresi Militer I Belanda. Perhubungan
komunikasi terputus. Irsyad dan Boestanoel tertunda berangkat ke luar negeri.
Atas saran dari pemerintah pusat keberangkatan ditunda hingga situasi negara
92
dinyatakan tenang. Setelah itu meletus lagi agresi Militer II Belanda pada tahun
1948. ‘Pak Nait’ kerap ke Indonesia mengantarkan bantuan dan obat-obatan dari
India untuk Indonesia. pada tahun 1950 ‘Pat Nait’ datang ke Jakarta
mengantarkan bantuan pesawat terbang untuk Indonesia, yaitu pesawat Dakota.
Pada saat itu ia teringat kepada dua orang anak muda yang pernah dijanjikannya
untuk bersekolah di luar negeri. Ia bertanya kepada wartawan tentang kedua anak
itu, apakah keduanya masih hidup? Sebab, situasi beberapa tahun terakhir sangat
buruk. Ia ingin menepati janjinya, ujar pak Irsyad. Akhirnya Irsyad mengetahui
berita ini dari surat kabar Haluan bahwa seseorang yang dulu pernah menjanjikan
untuk menyekolahkannya tidak melupakan janji itu.
Bustanoel mengirim telegram ke pak Hatta menanyakan kepastian
keberangkatan mereka. Pak Hatta langsung menanyakan ke India. Ternyata,
Indonesia pun tak ingin lepas tangan yaitu dengan cara memberi izin dan biaya
belajar untuk dua tahun kepada Irsyad dan Boestanoel. ‘Pak Nait’ menyanggupi,
yang penting dia ingin memenuhi janjinya kepada dua pemuda ini. Dengan
demikian berangkatlah Irsyad dan Boestanoel ke India. Selama dua bulan di India,
lalu keduanya berangkat ke Belgia.
Di Jakarta pada tahun 1951, sebelum berangkat ke India, keduanya
berkenalan dengan seorang Melayu Riau yang juga seorang profesor di bidang
biola (violin), namanya Tengku Syarif Abu Bakar. Ia satu-satunya tamatan Eropa
waktu itu. Ketika penulis menanyakan, siapa saja keturunan dari Tengku Syarif
Abu Bakar itu? Pak Irsyad mengatakan, bahwa Tengku Syarif Abu Bakar itu
adalah salah satu keturunan Sultan Siak.
93
Tengku Syarif Abu Bakar banyak memberikan masukan kepada Irsyad dan
Boestanoel tentang sekolah-sekolah musik di Eropa. Tengku menyarankan kepada
mereka berdua untuk memilih sekolah musik di Belgia. Menurut Tengku, di
Belgia-lah waktu itu sekolah musik, untuk violin, yang paling bagus.
Ada sedikit cerita menggelikan dari perjalanan Irsyad dan Boestanoel
menuju Eropa. Karena kendala bahasa, keduanya mempersiapkan serba sedikit
bahasa Inggris dan Jerman. Waktu sebelum berangkat itu, mereka belum tahu
akan bersekolah di negara mana. Waktu itulah muncul usulan dari seseorang di
pemerintahan untuk memilih Mesir sebagai negara tujuan belajar. Pada waktu itu,
keduanya mengiakan saja usulan itu. Akhirnya cerita ini sampai juga ke pak
Hatta. Keduanya berjumpa denga pak Hatta. Beliau menyakan, dalam bahasa
Minang, “Lah bara lamonyo waang di Jakarta?” (sudah berapa lama kalian
tinggal di Jakarta?). Boestanoel menjawab, bahwa mereka sudah sekitar tiga bulan
berada di Jakarta. Mengapa lama sekali kalian di Jakarta? Boestanoel menjawab,
karena berurusan dengan pemerintahan. “Kan ndak pitih urang gaeknyo nan
dipagunoan, doh”, kata Hatta membela mereka, karena sudah lama sekali
keberangkatan mereka tertunda gara-gara birokrasi pemerintahan. Hatta bertanya
dalam bahasa Minang, “Kama waang ka dikirimnyo?”. “Ka Mesir, pak,” jawab
Boestanoel. “Ka Mesir?,” Hatta kaget bercampur marah. “Dari pado ka Mesir,
rancak jo den sae waang baraja. Kini ang den aja bisuak pulang lai ”.
Ha..ha..ha.., Pak Irsyad tertawa terbahak-bahak mengenang cerita itu. Penulispun
jadi ikut tertawa mendengar kisah lucu mereka dengan seorang tokoh proklamasi
RI. Ternyata pak Hatta seorang humoris juga.
94
Hatta menanyakan kapan mereka akan berangkat. Mereka menjawab
tanggal 26. “Surat-surat kalian sudah lengkap?” “Belum, pak”, jawab mereka.
“Baa kok pandai-pandai sajo kalian?”, bentak pak Hatta. “Kami sudah tidak
tahan lagi di sini (Jakarta, penulis), pak”, jawab Boestanoel. Akhirnya, dengan
bantuan pak Hatta, surat-surat untuk keberangkatan mereka ke luar negeri (India)
keluar hari itu juga. Hatta membekali mereka dengan surat untuk pak Soedarsono
duta besar RI untuk India pada waktu itu (1951).
Di India mereka berjumpa dengán ‘Pak Nait’. Mereka berada di India
selama dua bulan. Setelah itu Boestanoel dan Irsyad berangkat ke Belgia. Sebelum
masuk sekolah musik, Irsyad terlebih dahulu masuk sekolah khusus tuna netra
untuk mempelajari huruf Braile di Belgia. Di sekoalah itu ada pelajaran praktek
musiknya dengan persentase 75% dan vak umum 25%. Irsyad dibimbing oleh
seorang guru violin bernama Normans. Dua tahun belajar di sekolah khusus ini,
Irsyad mendaftar ke konservatori di Brussel, Konservatori Kerajaan Belgia. Ia
mengikuti tes dan dinyatakan lulus. Sekitar dua tahun belajar di konservatori, ia
mengikuti concour (semacam lomba dalam ujian) dan berhasil meraih peringkat
terbaik kedua. Pada kesempatan concour yang kedua kali Irsyad berhasil
mendapat peringkat pertama. Concour ini diikuti oleh semua siswa tanpa ada
pembedaan yang berhubungan dengan keterbatasan fisik. Salah satu nomor yang
pernah dimainkan Irsyad dalam concour adalah Simphonie Espagnole karya
Edouard Lalo seorang komposer Perancis. Sedangkan, Boestanoel masuk ke
akademi musik kemudian masuk konservatori di ‘Xenn’ sekitar 60 km dari
95
Brussel. Setelah kira-kira lima tahun di Belgia Irsyad dan Boestanoel pulang ke
Indonesia pada tahun 1956.
Tahun 1951 berdiri Sekolah Musik Indonesia (SMIND) di Yogyakarta.
Ketika mereka pulang ke Indonesia, waktu itu SMIND dipimpin oleh Amir
Pasaribu. Mereka ditempatkan di Yogyakarta tetapi belum langsung mendapat
tugas. Sebenarnya, kata pak Irsyad, Mohammad Sjafei pun berencana mendirikan
sekolah musik di Sumatera Tengah. Kata pak Irsyad lagi, belum terpikirkan
waktu itu untuk mendirikan sekolah yang berhubungan dengan karawitan
Minangkabau, tetapi yang penting adalah sekolah musik. Tetapi pada waktu itu
meletus pemberontakan PRRI sehingga rencana sekolah musik itu gagal
dilaksanakan. Piano-piano dari pemerintah pusat yang sedianya diperuntukkan
untuk sekolah musik tersebut akhirnya dibagi-bagikan ke SPG (sekolah
Pendidikan Guru).
Sekolah Musik di Yogyakarta belum sepenuhnya bisa menerima pak
Irsyad sebagai guru karena kondisi ketunanetraannya. Akhirnya pak Irsyad
ditempatkan di sekolah tuna netra Departemen Sosial Yogyakarta dengan status
masih pegawai honor. Waktu itu beliau diberi tugas mengajar notasi Braile.
Sedangkan pak Boestanoel di tempatkan di Jakarta.
Seorang wartawan mewawancarai pak Irsyad untuk sebuah surat kabar.
Berita itu sampai ke Nicolai Varvolomeyef, salah satu pelopor berdirinya SMIND
Yogyakarta. Irsyad diminta untuk menghadiri wawancara di SMIND. Atas
rekomendasi Nicolai Varvolomeyef Irsyad diberi kesempatan mengajar di
SMIND Yogyakarta. Kepala sekolah SMIND waktu itu adalah bapak Dailamy
96
Hasan. Di SMIND Irsyad mengajar selama dua tahun. Setelah itu SK-nya keluar
untuk penempatan tugas di Jakarta. Irsyad mengajar di Yayasan Pendidikan Musik
Jakarta selama tiga tahun. Kala itu ketua yayasan YPM adalah Ny. Slamet
Soedibyo dan kepala sekolahnya adalah Wie Chong Lie, tamatan sekolah musik di
Paris. Salah seorang guru biola di YPM sebagai rekan sesama mengajar waktu itu
adalah Adi Darma (Lie Eng Liong), tamatan sekolah musik Belanda.
Ketika ditanyakan siapa muridnya yang terbaik ketika beliau mengajar di
Yoryakarta, pak Irsyad menyebutkan nama Sudomo dan Ati Bagyo. Keduanya
sudah meninggal dunia.
Tahun 1967 Bustanoel dan Irsyad kembali ke Padangpanjang.
Sebelumnya, tahun 1965, di Padangpanjang telah berdiri KOKAR A dan KOKAR
B. KOKAR A beralih menjadi SMKI (sekarang SMK) dan KOKAR B menjadi
ASKI (sekarang ISI Padangpanjang). Di samping musik karawitan Minangkabau,
pada kedua KOKAR ini dipelajari juga teori musik Barat. Di KOKAR B
dipelajari juga Ilmu Bentuk dan Analisa Musik.
ASKI berdiri pada tahun 1967 dengan satu jurusan yaitu Jurusan
Minangkabau. Ketua ASKI waktu itu adalah pak Boestanoel Arifin Adam. Dalam
rapat pimpinan ASKI di Jakarta, dicanangkan akan dibuka jurusan Karawitan dan
Pedalangan. Pak Boestanoel menyampaikan dalam rapat tersebut bahwa Jurusan
Karawitan saja belum jelas perkembangannya konon lagi jurusan Pedalangan.
Kemudian pak Boestanoel mengusulkan agar dibuka Jurusan Musik, yang
sebenarnya sudah sejak tahun 1950-an di idam-idamkan oleh orang Minangkabau.
Maka pada tahun 1979 ASKI sudah terdiri dari jurusan Karawitan, Tari, dan
97
Musik. Ketua ASKI waktu itu dijabat oleh Pak Boestanoel Arifin Adam (menjabat
1979-1981). Singkatnya, sejak 1967-1981 kepemimpinan ASKI dipegang oleh
pak Boestanoel Arifin Adam.
Angkatan pertama Jurusan Musik pada waktu itu antara lain, yang teringat
oleh pak Irsyad, adalah Gitrif Yunus dan Admawati. Keduanya menjadi dosen ISI
Padangpanjang sampai saat ini.
Pada tahun 1982 pernah terjadi bahwa jurusan musik akan diintegrasikan
ke Jurusan Tari atau Karawitan. Ketua ASKI waktu itu adalah bapak Drs. Anas
Amir. Saat itu timbul gejolak hingga unjuk rasa ke DPRD Padangpanjang. Ketua
ASKI diganti dengan bapak Drs. Mardjani Martamin. Akhirnya rencana integrasi
itu gagal dengan diadakannya sebuah studi kelayakan di masa kepemimpinan Drs.
Mardjani Martamin. Dalam studi kelayakan tersebut terdapat 22 makalah, 20 di
antaranya menyetujui agar Jurusan Musik tetap dipertahankan. Suasana
perkuliahan kembali kondusif. Tahun 1983 masuklah ke ASKI nama-nama antara
lain Yon Henri, Sastra Munafri, dkk. yang sekarang juga menjadi dosen di ISI
Padangpanjang.
Pak Irsyad dipercayai mengajar mata kuliah violin, solfegio, ansambel,
dan lain-lain. Generasi penerus dari Boestanoel dan Irsyad Adam adalah Yaseril
Adha, seorang dosen di jurusan Musik ISI Padangpanjang. Yaseril mengajar mata
kuliah instrumen mayor violin. Saat ini sedang menempuh kuliah S3 di
Universitas Indonesia.
Penulis menyimpulkan bahwa musik Barat menyebar ke Indonesia melalui
dua jenis musik yaitu musik rohani (nyanyian Gregorian) dan musik sekuler.
98
Menurut hemat penulis pembagian dari dua jenis musik tersebut sangat penting
keberadaanya mengingat tidak semua daerah di Indonesia dapat di-Kristen-kan
melalui Misi Jesuit tetapi di daerah-daerah non Kristen tersebut dapat tumbuh
musik Barat, khususnya di daerah Minangkabau Sumatera Barat. Musik diatonis
(Barat) masuk ke Minangkabau melalui jalur pendidikan formal yang diprakarsai
oleh Belanda.
2.13. Komposisi dan Aransemen
Komposisi dan aransemen sama-sama merupakan karya musik. Bedannya,
komposisi berangkat dari sebuah struktur (belum ada) yang diadakan sedangkan
aransemen berangkat dari sebuah struktur yang sudah ada.
2.13.1. Komposisi
Kata komposisi merupakan kata kerja bahasa Jerman komponieren (Latin:
componere, Italia: comporre, Inggris: to compose) pertama kali digunakan oleh
pujangga Jerman, Johann Wolfgang Goethe (1749-1832) untuk menandai cara-
cara menggubah (componier-en) pada abad-abad sebelumnya (abad XV-XVII); di
mana suara atau lagu utama akan diikuti oleh susunan suara-suara atau lagu
lainnya yang dikordinasikan, ditata, atau dirangkai di bawah (berdasarkan) lagu
utama yang disebut cantus44. Suka Hardjana (2003) menegaskan, bahwa
komponieren adalah pekerjaan mengatur, menyusun, menata, merangkai berbagai
44 Cantus firmus = lagu, melodi utama; cantus figuralus = lagu, musik figurasi.
99
suara atau nada-nada yang mengacu kepada lagu utama atau melodi utama45 yang
disebut cantus46.
Komposisi dalam pengertian tulisan atau teks musik pada dasarnya adalah
catatan, dokumen tertulis seorang komponis dalam berkarya47. Dokumen tersebut
dapat berupa simbol-simbol , tanda-tanda, dan isyarat-isyarat musik yang disebut
partitur atau score. Selain untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, catatan
juga digunakan sebagai penampung semua kehendak, mengingat, keinginan,
gejolak hati, pikiran, perasaan, angan-angan, dan fantasi.
Para komponis di Barat menuliskan semua konsep, ide, angan-angan, dan
gagasan musik ke dalam dokumen tertulis. Mereka menandai dunia kerja musik
dengan kata “menulis komposisi” (writing composition) bukan “membuat
komposisi” atau “mencipta komposisi”. Dua kata kerja terakhir (membuat,
mencipta) tidak menyiratkan adanya sebuah proses dan cara kerjanya karena
masih bisa dipertanyakan “membuat dan mencipta komposisi dengan cara
bagaimana komposisi itu dibuat?” jika digunakan kata “menulis komposisi” maka
makna yang dapat kita tangkap adalah mengerjakan komposisi musik dengan cara
menulis. Tindakannya adalah “mengerjakan”, prosesnya adalah “menulis”, dan
produknya adalah “tulisan” musik.
Kata cipta pada penciptaan (mencipta, dicipta) lebih memberi tekanan
pada hasil kualitatif nilai akhir karya musik. Kata menulis (menyusun komposisi)
musik menunjuk pada proses kerja dari apa yang hendak dicapai.
45 Suka Hardjana, 2003. Corat Coret Musik Kontemporer. Hal. 79. 46 Ibid. Hal. 79. 47 Ibid. Hal. 78.
100
Kata “komposisi” mengafiliasikan bentuk. Bentuk menunjuk pada
pengertian struktur. Dalam bentuk dan struktur inilah rekayasa seni yang bersifat
material (bunyi, suara, nada, ritme, harmoni, dst.) dan non material (dinamik,
sifat, watak, warna, rasa, dsb.) diakomodasikan.
Membahas kata (term) komposisi sangat penting jika dikaitkan dengan hak
kekayaan intelektual. Kata komposisi mengandung suatu pengertian di bawah
kontrol kriteria dan dilindungi oleh hukum dan undang-undang. Menurut Suka
Hardjana (2003), banyak pemain musik dan seniman di luar negeri yang terpaksa
berurusan dengan hukum karena pelanggaran kriteria dalam pengertian makna
kata maupun nama. Komposer tidak menjadi pengarang lagu (song writer) atau
penggubah lagu (arranger).
2.13.2. Aransemen
Aransemen (arrangement) merupakan gubahan dari sebuah musik yang
sudah ada. Mengaransemen adalah sebuah tindakan menghasilkan sebuah struktur
musik baru dari sebuah musik yang sudah ada sebelumnya.
Pono Banoe memberikan pengertian aransemen sebagai gubahan lagu
untuk orkes atau kelompok paduan musik, baik vokal maupun instrumental48.
Orang yang melakukan tindakan menggubah musik disebut arranger atau
penggubah. Dalam The New Grove Dictionary of Music And Musician, istilah
arrangement diartikan sebagai The reworking of a musical composition, usually
for a different medium from that of the original. Jadi, aranging dapat dipahami
48 Pono Banoe, 2003. Kamus Musik.
101
sebagai tindakan menata kembali melodi atau lagu yang sudah ada sehingga
terkesan sebagai sesuatu yang baru.
95
BAB III
KARAWITAN MINANGKABAU DAN JURUSAN KARAWITAN
INSTITUT SENI INDONESIA PADANGPANJANG
Berdasarkan visi dan misi Jurusan Karawitan Institut Seni Indonesia
Padangpanjang yang diturunkan dari visi dan misi Institut Seni Indonesia
Padangpanjang tertulis bahwa bidang yang didalami di Jurusan Karawitan ISI
Padangpanjang adalah pengkajian, penciptaan, dan penyajian seni rumpun
Melayu. Minangkabau sebagai salah satu rumpun Melayu mendapat tempat
istimewa dalam kajian-kajian akademis yang ada di ISI Padangpanjang. Oleh
karena itu, Karawitan Minangkabau mendapat porsi lebih besar pula dalam
pengkajian, penciptaan, dan penyajian seni di Jurusan Karawitan ISI
Padangpanjang.
Ciri-ciri utama rumpun Melayu adalah diterapkannya nilai-nilai Islam
dalam sendi-sendi kehidupan mereka. Khususnya di Minangkabau ada pepatah
yang menggambarkan sinergi antara adat dan agama yang merupakan sendi baru
bagi adat Minangkabau yang berbunyi: adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah1. Menurut Mahdi Bahar (2004), berdasarkan kehadiran nilai-nilai Islam
itulah dapat dilacak, bahwa: sub-kultur atau rumpun Melayu yang meliputi
1 Ikrar ini diberlakukan di zaman Paderi, yang diperkirakan terjadi pada tahun 1837. Tiga orang Minangkabau yang berada di Tanah Arab ketika revolusi Wahabi berkobar, yaitu Haji Sumanik dari Tanah Datar, Haji Piobang dari 50 Kota, dan Haji Miskin dari Luhak Agam terinspirasi dengan gerakan wahabi. Ketiganya, pada tahun 1803, pulang ke Luhak masing-masing dengan misi memurnikan ajaran Islam di Minangkabau yang sebelumnya didominasi oleh Golongan Syiah. Ketika itu, pelanggaran hukum Islam seperti berjudi, menyabung ayam, minum tuak, mabok-mabokan, dan berbagai kebatilan merajalela. Ulama Syiah tidak mampu melarang praktik-praktik itu. Setelah penganut Wahabi cukup kuat, pada tahun 1809 mereka mulai bertindak membersihkan Islam di Minangkabau dari praktik-praktik tersebut. Perang saudara ini dalam sejarah Minangkabau dikenal sebagai Perang Paderi. Periksa Amir MS, 1997 dalam buku Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, halaman 123-124.
96
masyarakat Aceh, masyarakat Melayu Sumatera Utara, Minangkabau, Palembang,
Jambi, Riau, Malaysia, Banjar, Brunai Darussalam, Bugis, Betawi, dan
sebagainya telah secara ideal menggunakan nilai-nilai Islam sebagai inti dari
kebudayaan Melayu2.
Secara geografis, ISI Padangpanjang terletak di kota Padangpanjang.
Secara kewilayahan adat Minangkabau, Kota Padangpanjang merupakan bagian
dari Luhak Tanah Datar yang merupakan luhak pertama orang Minangkabau. Di
Luhak Tanah Datar inilah terdapat Pariangan Padangpanjang yang merupakan
nagari tertua bagi orang Minangkabau. Elisabeth E. Graves (2007:6)
menyebutkan Tanah Datar, yang secara geografis dan kosmologis terletak di
pumpunan tempat asal sejarah dan kebudayaan Minangkabau, serta pusat
kekuasaan politik Kerajaan Pagaruyung dengan bukti-bukti peninggalan
kebesaran sejarah Kerajaan Minangkabau masih dapat dilihat bekas-bekasnya3.
Penulis berpendapat bahwa letak Institut Seni Indonesia Padangpanjang
sekarang ini yang berada di kota Padangpanjang jika dikaitkan secara historis
telah menyiratkan sebuah ikhtiar untuk meneruskan, melestarikan, dan
mengembangkan kebudayaan Minangkabau yang dahulunya memang bermula
dari daerah ini.
2 Mahdi Bahar, 2004. Fenomena Globalisasi dan Kebudayaan Melayu dalam Konteks Pendidikan Kesenian Tradisional. Bunga Rampai: Seni Tradisi Menantang Perubahan. STSI Padangpanjang Press. 3 Elizabeth E. Graves, 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX.
97
3.1. Minangkabau (Sebuah Nama)
Banyak sekali sumber yang menerangkan tentang istilah Minangkabau
sehingga sulit bagi kita untuk menentukan sumber mana yang layak diyakini.
Beberapa sumber tersebut adalah tambo Minangkabau, sejarah, dan pendapat
para ahli.
Amir MS (1997:138) menuliskan, bahwa dalam tambo Minangkabau kata
Minangkabau berasal dari karena menang mengadu kerbau dengan orang yang
datang dari Jawa4. Cerita ini telah diterima secara turun-temurun oleh orang
Minangkabau. Keyakinan mereka diperkuat dengan perasaan etno-sentris tanpa
mempedulikan kritik sejarah. Selanjutnya Amir MS menuliskan, untuk masa
sekarang barangkali lebih sesuai jika cerita tambo tersebut dianggap sebagai hasil
seni sastra kuno Minangkabau yang diterima sebagai pencerminan watak orang
Minangkabau yang lebih menyukai penyelesaian persengketaan secara diplomasi
dari pada secara fisik5.
Asmaniar Idris dalam makalahnya untuk seminar nasional Sejarah dan
Kebudayaan Minangkabau pada tahun 1970 memaparkan beberapa pendapat
tentang asal kata Minangkabau yang bersumber dari legenda maupun dari teori-
teori6:
“Menurut legenda misalnya, Minangkabau berarti tanduk kerbau diberi minang, yaitu sejenis timah yang runcing, yang diletakkan di ujung tanduk kerbau. Ini dilakukan sewaktu kerbau sedang diadu dahulunya (demikian menurut cerita). Menurut Buya Hamka, kata Minangkabau berasal dari mainang kabau, yakni mengasuh atau menggembalakan kerbau. Orang Minangkabau memang suka
4Amir MS, 1997. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Hal.138 5Ibid. hal. 138. 6Asmaniar Idris, 1970 makalah berjudul Kerajaan Pagaruyung dalam buku kumpulan makalah berjudul Menelusuri Sejarah Minangkabau. 2002. halaman 50-51.
98
memelihara kerbau, bahkan kekayaan seseorang dilihat dari kerbau peliharaan mereka. Sedangkan menurut Prof. Purbacaraka, Minangkabau berasal dari Minangawamwan. Wamwan sama dengan tamwan dalam bahasa Jawa Kuno atau tamwan dalam bahasa jawa Kuno muda, atau temon dalam bahasa Jawa baru. Maksudnya adalah “pertemuan dua buah sungai yang sama besarnya”, yaitu Kamparkanan dan Kamparkiri. Pertemuan kedua sungai ini dinamakan Minangakamwan, atau Minanga Kembar. Inilah yang diucapkan oleh orang Sumatera Barat dengan Minangakamwan yang lama-kelamaan menjadi Minangkabau. Sedangkan Van der Tuuk berpendapat bahwa perkataan itu berasal dari Pinang Khuboe yang berarti tanah asal. Ada juga yang menyebut asal Minangkabau dari dan nan ingka bahu. Demikian banyaknya asal kata Minangkabau sehingga susah bagi kita memilih mana yang paling benar dan layak dipercaya”.
Ilmu sejarah beserta analisisnya dianggap lebih rinci, lugas, rasional, dan
logis dalam menjelaskan perihal kesejarahan yang berhubungan dengan waktu,
tempat, tokoh, dan sebagainya dibanding dengan tambo yang bersifat mitos
sehingga data sejarah relatif lebih mudah dicerna. Menurut mestika Zed (2002)
pandangan ini setidak-tidaknya dianut oleh masyarakat ‘modern’: ditandai oleh
spirit rasionalitas; hampir tidak ada wilayah kehidupan sosial yang tak tersentuh
oleh teknologi, analisis, perencanaan, dan kontrol.....kebanyakan masyarakat
‘modern’ melihat mitos tak lebih dari suatu kepercayaan yang keliru7.
Tiap masyarakat atau kebudayaan menciptakan mitosnya sendiri. Bukan
karena ia tidak sanggup membedakan mana yang benar dan mana yang salah,
melainkan karena berfungsi untuk memelihara dan mempertahankan kebudayaan
dari gangguan dan kerusakan. Greggor Sebba dalam Mestika Zed mengatakan,
bahwa mitos berperan memelihara kesinambungan agar anggota masyarakat dapat
7 Dr. Mestika Zed, M.A. 2002. Kata pengantar dalam buku Menelusuri Sejarah Minangkabau. Hal. xxvii.
99
bertahan melawan kekalahan, frustrasi, ketidakpastian dan mitos pada gilirannya
berfungsi melindungi institusi sosial dan proses-proses institusional8.
Menyangkut hal tentang asal-usul keturunan, orang Minangkabau
mempunyai mitos bahwa mereka adalah keturunan Iskandar Zulkarnain. Hal ini
dituliskan oleh Asmaniar Idris (1970), bahwa menurut cerita turun-temurun, raja-
raja Minangkabau berasal dari Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great) yang
mempunyai tiga orang putra. Dari ketiga putra ini, Maharajo Alif menjadi Raja di
Turki, Maharajo Japang menjadi Raja di Cina dan Maharajo Dirajo menjadi raja
di Minangkabau. Beliau inilah yangg bernama Datuak Sri Maharajo Dirajo9.
Mengikut cara pandang tentang fungsi mitos, Mestika Zed menuliskan sebagai
berikut:
........mitos genealogis orang Minangkabau, misalnya, yang mengatakan nenek moyang mereka berasal dari Iskandar Zulkarnaen dan turun dari puncak Gunung Merapi selagi (gunung tersebut, pen.) sebesar “telur itik”, tidak bisa serta merta dicap sebagai salah atau tidak benar. Mitos tidak untuk diukur dan dijelaskan dengan ukuran-ukuran kebenaran rasional manusia modern, melainkan untuk dimengerti dan dihayati maknanya. Pertanyaannya bukan tentang apakah cerita tentang asal-usul nenek moyang Minangkabau itu benar secara faktual atau sebaliknya tidak masuk akal, melainkan mengapa nenek moyang mereka menciptakan mitos demikian.
Penulis berkesimpulan bahwa mitos yang ada dalam tambo Minangkabau
ataupun dalam pikiran orang Minangkabau bukan untuk dituntut kebenaran
faktualnya tetapi lebih kepada bagaimana pemikiran orang Minangkabau tersebut
bisa dihayati, dimengerti, dan dimaknai seturut dengan fungsi mitos yang
dikemukakan Sebba dalam Mestika Zed. Dengan demikian, pemaparan tentang
8 Ibid. hal. xxviii 9 Op.cit.hal. 56
100
asal-usul kata Minangkabau juga harus kita pahami secara maknawi bukan secara
faktual. Selanjutnya penulis akan meninjau pendapat berdasarkan kesejarahan
tentang asal-usul nama Minangkabau.
Amir MS (1997:138) menegaskan, menurut sejarah, kedatangan orang
Jawa pertama kali ke Sumatra ialah sekitar tahun 988, yaitu penyerangan dari
Dharmawangsa. Tetapi, jauh sebelum kejadian itu, kira-kira tiga ratus tahun, nama
Minang sudah diperkenalkan oleh sejarah dalam prasasti Kedukan Bukit yang
berangka tahun 68310.
Amir MS (1997) mencoba merekonstruksi kejadian kata pinang dan khabu
yang menurut Van der Tuuk kedua kata ini adalah asal dari kata Minangkabau.
Berikut adalah petikan rekonstruksi yang ditawarkan oleh Amir MS11:
a) pada waktu kedatangan pedagang-pedagang India dalam permulaan tarik Masehi untuk mencari emas antara lain ke daerah pedalaman sungai Kampar yang alirannya berasal dari pegunungan Emas, mereka menemui penduduk asli (orang Khabu atau Kubu) telah mendulang emas. Dalam persentuhan kebudayaan antara kedua bangsa, putra-putri India itu datang kepada kepala suku Kubu dengan membawa semacam candydate (bejana kencan) yang berisi pinang, sirih, dan lain-lain sebagai tanda bahwa mereka menginginkan puteri Kubu sebagai istri. b) Cara mereka menyampaikan keinginan dengan membawa pinang itu lambat laun disebut me-minang dan candydate itu disebut oleh penduduk asli carano artinya caranya meminang. c) orang-orang Kubu yang kini disebut suku terasing adalah sisa-sisa dari penduduk asli Minangkabau, mereka kini ditemui hidup di hutan-hutan Sumatera Barat bagian Tenggara, bermasyarakat menurut keibuan (matrilineal system) dan memanggil orang Minangkabau sebagai sanak artinya saudara sepersukuan.
10 Op. cit . hal. 138. 11 Ibid. hal. 139
101
3.2. Daerah Minangkabau
Daerah Minangkabau adalah daerah yang secara administratif masuk ke
dalam wilayah Propinsi Sumatera Barat Republik Indonesia. Tidak semua daerah
yang ada dalam Propinsi Sumatera Barat disebut sebagai daerah Minangkabau
contohnya, Mentawai dan Pagai yang memiliki kebudayaan yang khusus sekali
dan ciri yang berbeda dengan ciri umum kebudayaan Minangkabau (Martamin
dan Rizaldi, 1984: 18)12.
Wilayah Minangkabau Lama jauh lebih luas dari daerah Propinsi Sumatera
Barat yang sekarang. Dahulu wilayah Minangkabau meliputi wilayah Riau
daratan, Sumatera Barat sekarang, dan daerah perbatasan antara Sumatera Barat
dan Jambi. Ketiga daerah tersebut dulunya merupakan satu kesatuan wilayah.
Terdapat beberapa kesamaan karawitan di antara tiga wilayah tersebut (Martamin
dan Rizaldi, 1984: 18)13.
Kamardi Rais (1970)14 menuliskan, bahwa penduduk asli Minangkabau
berasal dari bangsa Wedda yang datang di Minangkabau setidak-tidaknya 2500
tahun Sebelum Masehi (SM), sebagai lanjutan pengembaraan suatu bangsa yang
datang dari Asia Tenggara yang sekitar 600 tahun SM sampai di India Belakang.
Selanjutnya dikatakan bahwa kedatangan rombongan dari India Muka dipimpin
oleh Maharajo Dirajo (Zuriyat Iskandar Zulkarnain) yang berlayar dari daerah
Indus (Tanah Basa), sezaman dengan Maharajo Alih dan Maharajo Dipang yang
12 Martamin dan Rizaldi. 1983, Harmoni dalam Karawitan Minangkabau. Hal. 18. 13 Ibid.hal. 13. 14 Kamardi Rais Dt. Simulie dan M Rasyid Manggis Dt. Rajo Panghulu (1970) dalam makalah berjudul Ikhtisar Sejarah Minangkabau. Makalah ini ditulis atas nama LKAAM Sumatera Barat dan diterbitkan bersama makalah lainnya dalam buku Menelusuri Sejarah Minangkabau (2002).
102
diperkirakan beberapa abad sebelum Masehi. Disebutkan bahwa daerah yang
mula-mula ditempati oleh rombongan Maharajo Dirajo ialah Labuan di Tambago,
kemudian menurun ke Guguakampang, selanjutnya tempat itu masyhur dengan
nama Guguakaceh.
Sehubungan dengan nagari pertama di Minangkabau Kamardi Rais (1970)
dalam tulisan yang sama menjelaskan, bahwa karena rakyat semakin berkembang
maka dibuatlah Nagari Pariangan kemudian disusul dengan Nagari
Padangpanjang. Kedua nagari ini disebut senyawa sebagai Pariangan
Padangpanjang. Inilah nagari pertama yang lazim disebut oleh orang
Minangkabau sebagai nagari tuo.
Berdasarkan adat, daerah Minangkabau terdiri dari dua bahagian besar,
yaitu daerah Luhak Nan Tigo dan Rantau. Kedua daerah ini merupakan daerah inti
Minangkabau yang kerap disebut Alam Minangkabau. Luhak Nan Tigo terdiri
dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota (Martamin
dan Rizaldi, 1984: 19)15. Pendapat diatas diperkuat oleh Asmaniar Idris (1970),
bahwa ketiga Luhak ini merupakan daerah asli atau daerah asal yang disebut
pangkal tanah atau darek.
Selain di daerah dataran tinggi terdapat pula nagari-nagari Minangkabau
yang berada di daeah pantai. Menurut Elizabeth E. Graves (2007:8) Secara
geografis nagari-nagari di daerah pantai ini termasuk ke dalam Alam
Minangkabau, akan tetapi kebudayaannya tidak sepenuhnya bercorak
Minangkabau “asli” dengan komposisi penduduk bercampur baur. Sebagai daerah
15 Op. cit . Hal. 19.
103
pelabuhan, nagari-nagari di pantai ini tidak hanya mendapat pengaruh dari
pedalaman Minangkabau tetapi juga dari India.
Orang Minangkabau sangat mengangungkan asal-usul mereka dari dataran
tinggi pedalaman Darek. Kawasan Minangkabau yang berupa pantai dan
pelabuhan di pantai barat meliputi daerah Padang, Painan, dan Pariaman.
Elizabeth E. Graves (2007:9) menuliskan, penduduk ketiga daerah ini jarang
menganggap diri mereka penduduk asli setempat. Mereka selalu mengaitkan asal-
usul mereka dengan salah satu daerah-daerah di dataran tinggi pedalaman Darek.
Daerah-daerah di sekeliling Darek disebut rantau. Rantau muncul sebagai
akibat bertambahnya jumlah penduduk di Darek ditambah lagi dengan pola
kehidupan merantau sudah menjadi tradisi adat Minangkabau. Orang-rang dari
darek mendirikan perkampungan baru di daerah rantau. Orang-orang rantau tetap
patuh pada aturan adat yang berlaku di negeri asal mereka, Darek. Adat yang
berlaku di Darek atau Luhak berlaku pula di daerah rantau.
Asmaniar Idris (1970) mengemukakan, menurut tambo, daerah rantau itu
jumlahnya tak kurang dari 9 buah16, yaitu:
1. Kuantan (Indragiri);
2. Siak Sri Indrapura;
3. Rao (Mandahiling);
4. Natal (Aiebangih);
5. Tiku (Agam);
6. Ranah Sungai Pagu (Alahanpanjang);
16 Asamaniar Idris, 1970. Makalah berjudul Kerajaan Pagaruyuang. Dimuat dalam buku Menelususri Sejarah Minangkabau, 2002. Halaman 52-53.
104
7. Tapan (Indrapura), dan;
8. Jambi Sembilan Lurah.
Pendapat lain yang juga berasal dari Asmaniar Idris (1970) mengatakan,
bahwa yang dimaksud dengan Minangkabau ialah suatu daerah di tengah-tengah
pulau Perca meliputi Keresidenan Sumatera Barat, Kuantan, Kamparkiri menurut
batas-batas tertentu yakni sampai “ka Sikalang Aie Bangih, Taratak Aie Hitam, ka
Sialang Balantak Basi”, sampai ke “Sipisak Pisau Anyuik, Durian Ditakuak Rajo,
ka Gunuang Patah Sambilan jo ka Lauik nan Sadidiah”
Selanjutnya Asmaniar Idris memaparkan batas-batas wilayah
Minangkabau yang didasarkan atas Tambo Alam Minangkabau sebagai berikut:
.....”ke selatan batasnya sampai ke riak nan berdebur (negeri Bandar Sepuluh, atau di selatan Kerinci sekarang), ke timur sampai ke durian ditakuak rajo (batas Indragiri dengan Sumatera Barat sekarang) sampai ke muaro tangkuang mudiak (Alahan Panjang) sekeliling gunung Merapi, selingkung Gunung Singgalang, seedaran Gunung Pasaman sampai ke taratak aie hitam”. Dalam hal ini saya lebih condong kepada batas-batas seperti yang dikemukakan oleh P.E. de Jasseling bahwa Minangkabau adalah suatu daerah yang berbatas dengan daerah Lubuak sikapiang dan Rao di sebelah utara, sepanjang pantai timur dan utara, ke selatan berbatas dengan daerah-daerah sungai Rokan, Tapuang, Siak, Kampar, Kuantan atau Indragiri dan Batanghari dan serta Kerinci di sebelah selatan”.
Menurut pendapat P.E. de Jaslin dan Joustra dalam Asmaniar Idris (1970)
bahwa Minangkabau itu terdiri dari dua daerah. Pertama, Minangkabau asli
(Minangkabau Praper atau de Pandangsche Bovenlanden) yang oleh orang
Minangkabau sendiri menyebutnya sebagai darek. Kedua, Rantau. Daerah
Minangkabau asli dan rantau inilah yang disebut sebagai Alam Minangkabau.
105
Sekarang umumnya orang menganggap Minangkabau identik dengan
Sumatera Barat dan daerah itu pulalah yang dimaksud dengan istilah Alam
Minangkabau.
3.3. Adat Minangkabau
Bagi orang Minangkabau adat adalah peraturan hidup sehari-hari. Jika
hidup tanpa aturan bagi orang Minangkabau namanya “tak beradat”. Jadi aturan
adalah adat. Adat itulah yang menjadi pakaian sehari-hari (Amir MS, 1997:14).17
Bagi orang Minang, duduk dan tegak beradat. Berbicara beradat. Berjalan
beradat. Makan minum beradat. Bertamu baradat. Bahkan menguap dan batukpun
bagi orang Minang beradat. Adat yang semacam ini disebut dengan adat sopan
santun. Masih banyak aturan-atuan lain yang terdapat dalam adat Minangkabau
yang mengatur hal-hal yang mendasar.18
Amir MS mengemukakan sebuah contoh sikap beradat, misalnya;
Batanyo lapeh orak,
Barundiang sudah makan
(bertanya lepas lelah,
Berunding sesudah makan)
Artinya: kalau ingin bertanya kepada seseorang yang baru datang ke tempat kita,
apa maksud kedatangannya, maka adat mengajarkan supaya kita harus bersabar,
sampai yang bersangkutan hilang lelahnya selama perjalanan. Kalau yang datang
17 Amir MS, 1997. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Hal. 14. 18 Amir MS. Ibid. hal.14
106
sudah tenang, barulah kita mengajukan pertanyaan, untuk memuaskan rasa ingin
tahun kita.19
Menurut Filsuf Adat Minangkabau DATUK PANDUKO ALAM – Koto
nan Ampek – Payakumbuh dalam Amir MS (1997:20), yang disebut dengan adat
nan ampek adalah:
I. NAGARI NAN AMPEK: 1. Pertama Banjar
2. Kedua Taratak
3. Ketiga Koto
4. Keempat Nagari
II. ADAT NAN AMPEK: 1. Adat nan sabana Adat
2. Adat nan diadatkan
3. Adat nan teradat
4. adat Istiadat
III. HUKUM NAN AMPEK: 1. Hukum Bajinah
2. Hukum Qarinah
3. Hukum Ijtihad
4. Hukum Ilimu
IV. UNADANG NAN AMPEK: 1. Undang-Undang Luhak Rantau
2. Undang-Undang Pembentukan
Nagari
3. Undang-Undang dalam Nagari
4. Undang-Undang Nan 20
19 Amir MS. Ibid. hal.14
107
3.3.1. Bunyi-Bunyian dalam Konteks Adat Minangkabau
Setiap buni-bunian dalam konteks adat Minangkabau mendapat
perlindungan dari Undang-undang. Undang-undang tersebut bernama Undang-
Undang Nan 9 Pucuak. Berdasarkan wawancara dengan bapak Hajizar, menurut
beliau, terdapat penjelasan tentang konsep dan konteks buni-bunian dalam adat
Minangkabau.
Konsep buni-bunian (bunyi-bunyian) dalam Undang-undang Nan
Sambilan Pucuak adalah semua bentuk bunyi yang musikal, baik bunyi itu
fungsional sebagai media legitimasi peresmian, seperti aguang (gong), maupun
bunyi itu fungsional sebagai media pemberitahuan, seperti canang, tongtong, dan
pupuik tanduak, ataupun bunyi yang bersifat ensambel yang tersaji dalam bentuk
komposisi musik adalah fungsional sebagai penyemarak alek20 yang bernilai
hiburan untuk semua konteks upacara adat atau agama sesuai dengan situasi-
kondisi nagari masing-masing.
Bunyi aguang (gong) pada konteks upacara Batagak Pangulu menjadi
sesuatu bunyi yang sakral yang fungsional sebagai media legitimasi peresmian
seorang penghulu; artinya sempurnalah kebesaran gelar yang disandang seseorang
sebagai penghulu dalam suatu nagari setelah berkumandang paluan bunyi aguang
di tengah pesta perayaan adat pengangkatan penghulu tersebut.
Bunyi canang yang dipukul hilir-mudik dalam kampung oleh seseorang
adalah fungsional sebagai media pemberitahuan untuk bergotong royong jalan
pada saat akan masuk bulan ramadhan, atau bergotong-royong tali bandar air ke
20 Kenduri; pesta.
108
sawah pada saat akan masuk musim ke sawah setelah melakukan permainan
baalang-alang21 di musim kemarau.
Bunyi tong-tong di surau adalah fungsional sebagai media pemberitahuan
untuk telah masuknya waktu shalat, atau sebagai media pemberitahuan untuk
acara wirid pengajian di surau tersebut. Sedangkan bunyi tong-tong di pondok
atau dangau ladang pada lereng-lereng bukit adalah fungsional sebagai media
pemberitahuan untuk masuknya waktu makan tengah hari (siang), atau masuknya
waktu minum kopi (minum kawa) di sore hari pada konteks kerja pertanian di
ladang tersebut.
Bunyi Pupuik Tanduak di surau adalah fungsional sebagai media
pemberitahuan untuk masuknya waktu sahur pada bulan ramadhan. Bunyi
‘komposisi musik tradisional’ yang bersifat ensambel, seperti talempong pacik,
talempong unggan, gandang tambua, saluang-dendang, Sijobang, rabab dan
sebagainya adalah fungsional sebagai penyemarak alek untuk semua konteks
upacara adat atau agama sesuai dengan keadaan nagari masing-masing. Semuanya
ini mendapat perlindungan dari para pimpinan adat.
Melalui Undang-Undang Nan Sambilan Pucuak para penguasa adat
Minangkabau meletakkan posisi musik tradisional pada tempat yang pantas, dan
mengandung peringatan kepada masyarakat untuk tidak meremehkan kehadiran
musik itu dalam konteks upacara atau acara yang sedang disemangati
kegembiraannya oleh penyajian musik tersebut.
21 Layang-layang
109
Semuanya ini bukan didasarkan atas konvensi kesepakatan masyarakat,
karena sudah berlaku umum sebagai bagian adat istiadat di seluruh Minangkabau.
Dalam konteks ini, pengertian ‘bunyi’ bukanlah sekedar pelengkap penderita
mengisi kehidupan, tetapi kehidupan – baik individual atau kelompok sosial –
membutuhkan penetrasi psikologis mereka yang dikandung oleh bunyi-bunyian
yang musikal itu. Dalam hal ini, penguasa adat mempunyai kepentingan untuk
menjaga eksistensi bunyi-bunyian tersebut, yaitu dengan memberi payung hukum
berupa Undang-undang Nan Sambilan Pucuak. Menurut saya (Hajizar), bahwa
realita upacara dan kesenian ini yang tidak bisa terbantahkan oleh institusi agama
‘alim-ulama’ di tengah kehidupan sosial masyarakat Minangkabau, sehingga
pelaku-pelaku seni --laki-laki dan perempuan-- dan pewarisannya tetap berlanjut
hingga sekarang.
Menurut Hajizar, bahwa kehadiran Undang-Undang Nan Sambilan
Pucuak itu sebagai sebuah pembuktian bahwa spirit kebesaran suatu upacara atau
acara-acara sosial masyarakat di nagari mestilah mendapat pengayoman langsung
dari institusi adat yang dijalankan oleh para penghulu di nagari masing-masing.
Dengan demikian, semua item kebesaran adat dan semua item material, serta
audio-visual pendukungnya semestinyalah berada pada posisi yang kuat, sehingga
psikologis masa yang liar dalam suatu keramaian helat akan langsung terkoordinir
melalui gaung karisma Undang-Undang Nan Sambilan Pucuak.
Menurut pengalaman saya (Hajizar) di kampung, mayoritas masyarakat
memiliki rasa kekaguman terhadap seniman pelaku seni di nagari mereka masing.
Malahan umumnya kebanggaan-kebanggaan suatu nagari adalah diemban atau
110
terpikul pada pundak para seniman pelaku di nagari masing-masing itu. Menurut
pandangan orang tua-tua, bahwa suatu nagari yang tidak memiliki kesenian adalah
dianggap ‘indak barono’ atau hambar saja kehidupan sosial masyarakatnya; tetapi
suatu nagari yang memiliki banyak jenis kesenian adalah dikatakan ‘nagari tu
mudo’ atau dinamika komunikasi yang ceria terjadi sepanjang hari yang telah
menjadi sikap kegembiraan di dalam diri individu masing-masing, dan puncak
komunikasi mereka bertemu pada saat berlangsungnya suatu upacara adat atau
resepsi acara tradisional lainnya.
Hajizar memberikan kutipan butir-butir Undang-Undang Nan Sambilan
Pucuak sebagai berikut: Adat Minangkabau: Nan Salingka Hiduik oleh H.
Suarman, SH, dkk (tt) Solok: Dinas Pariwisata & Budaya.
Undang-undang Nan Sambilan Pucuak, sapucuak limo ratuih anaknyo
antara lain:
1. Undang-undang takluk kapado Rajo 2. Undang-undang takluk kapado Pangulu 3. Undang-undang takluk kapado Alam 4. Undang-undang takluk kapado Pakaian 5. Undang-undang takluk kapado Permainan 6. Undang-undang takluk kapado Bunyi-bunyian 7. Undang-undang takluk kapado Ramian-ramian 8. Undang-undang takluk kapado Kebesaran Alam 9. dan seterusnya …
…....Takluk kepada permainan, bunyi-bunyian, rami-ramian22 adalah
termasuk takluk kepada permainan Anak Nagari; artinya permainan anak nagari
22 Keramaian.
111
itu harus dikembangkan, dibina, dipelihara karena menyangkut kesukaan anak
muda-muda, sehingga para pelakunya disebut Anak Mudo (Suarman, tt: 225-226).
3.3.2. Karawitan Minangkabau
Dalam pepatah adat Minangkabau ada dikatakan: duduek baparintang,
tagak bapamenan (artinya: jika duduk mempunyai sesuatu sebagai perintang
waktu dan berdiri mempunyai permainan). Berdasarkan pepatah ini kelihatannya
orang Minangkabau sangat efisien mempergunakan waktunya. Jika berdiri tidak
hanya berpangku tangan melainkan harus ada sesuatu yang dikerjakan. Permainan
dan perintang waktu inilah yang berkembang menjadi kesenian seperti saluang,
sarunai, dendang, dan lain-lain yang pada mulanya hanya berfungsi sebagai
pengisi waktu saja23 (Martamin dan Rizaldi, 1983: 25).
Berdasarkan pepatah tersebut, Martamin berpendapat bahwa kegiatan
berkesenian sudah menyatu dalam kehidupan orang Minangkabau. Kesenian ini
tidak hanya muncul pada waktu ada upacara-upacara adat seperti yang terlihat
sekarang, tetapi juga di waktu berada seorang diri seperti waktu mengembala
ternak dan sebagainya.
3.4. Jenis Karawitan Minangkabau
Martamin (1983:27) menuliskan bahwa jenis karawitan yang populer di
Sumatera Barat adalah dari jenis salueng, rabab, talempong, dendang, sarunai,
23 Ibid.hal. 25.
112
bansi, dan pupuik batang padi. Orang Minangkabau akan segera mengenal apabila
melihat dan mendengar alat-alat musik tersebut24.
Sudah banyak orang yang tidak mampu memainkan karawitan
Minangkabau, tetapi masih banyak orang Minangkabau yang mampu untuk
mengenal dan menikmatinya. Agar dapat dikanal, Martamin menjelaskan lebih
lengkap tentang karawitan Minangkabau sebagai berikut:
3.4.1. Salueng25
Salueng pada mulanya hanya terdapat di daerah inti Minangkabau saja,
yaitu Luhak Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota. Kemudian berkembang
ke daerah lain, terutama ke daerah rantau, tempat di mana orang Minangkabau
berusaha menambah mata pencahariannya. Martamin berkesimpulan, bahwa
salueng yang berkembang di daerah Sumatera Barat sekarang ini berkemungkinan
besar berasal dari Luhak Nan Tigo itu.
Martamin mengatakan, tidak dapat dinyatakan dengan tegas, bahwa
salueng merupakan alat kesenian asli Minangkabau, mengingat alat semacam
salueng juga terdapat di Hindia Belakang dan di India sekarang. Dahulu, berabad-
abad yang lalu pengaruh kedua daerah tersebut sangat besar sekali terhadap
Indonesia, sehingga mungkin saja di waktu itulah alat kesenian salueng ini di
bawa, diterima, dan berkembang di daerah Minangkabau26.
Martamin menuliskan, bahwa sebaliknya di Indonesia sendiri jenis alat
musik seperti salueng ini tidak ada, tetapi yang banyak ditemukan adalah 24 Ibid. Hal. 27 25 Ada juga yang menulis saluang. 26 Ibid. Hal. 28
113
semacam suling memakai lidah untuk memudahkan meniupnya. Jenis seperti
salueng itu sendiri tidak ditemukan sehingga Martamin menyimpulkan bahwa alat
salueng merupakan milik budaya Minangkabau, yang berarti hanya suku bangsa
Minangkabaulah satu-satunya yang memiliki alat karawitan itu, sedangkan pada
suku bangsa lain di Indonesia tidak memiliki jenis karawitan seperti itu.
Usaha pemeliharaan dan pengkajian terhadap salueng ini harus dilakukan
oleh orang Minangkabau itu sendiri. Martamin berpendapat bahwa tidak akan ada
orang lain yang mau datang dengan senang hati atau suka rela untuk memelihara
dan mengembangkannya karena mereka sendiri juga akan sibuk dengan seni
budayanya sendiri.
Secara umum bentuk fisik salueng seperti tabung terbuat dari bambu tipis
(talang) dan berlobang di ujung dan pangkalnya. Terdapat beberapa buah lobang
(biasanya 4 buah) untuk melodi.
Berdasarkan hasil survei yang pernah dilakukan, baik oleh tenaga
akademik maupun mahasiswa ASKI Padangpanjang, maka Martamin
mengkategorikan secara garis besar empat jenis salueng, yaitu:
3.4.1.1. Salueng Darek
Salueng Darek mulanya hanya didapati dan berkembang di daerah inti
Minangkabau saja27. Salueng Darek berkembang ke daerah lain di Minangkabau
bahkan sampai jauh ke luar daerah Minangkabau. Orang Minangkabau dari daerah
27 Ibid. Hal. 29
114
inti membawanya serta ketika mereka pergi merantau sehingga kesenian salueng
ini juga ada di luar daerah Minangkabau.
Salueng Darek terbuat dari seruas talang atau sebangsa bambu tipis.
Lobang di ujung dan pangkal talang dibiarkan saja terbuka tanpa sumbat atau
lidah. Tempat meniup di pangkal salueng ditajamkan atau diraut sedikit agar
udara masuk ke rongga salueng lebih lancar.
Lobang nada (melodi) hanya empat buah. Nada yang dapat dihasilkan
sebanyak lima buah (pentatonis), yaitu mendekati bunyi nada diatonis do-re-mi-
fa-sol. “Mendekati” di sini berarti bahwa nada yang dihasilkan oleh salueng itu
tidak persis sama dengan nada diatonis28, tetapi bagaimana persisnya nada salueng
itu belum dapat dikatakan, karena memang belum di ukur sama sekali.
3.4.1.2. Salueng Sirompak
Salueng Sirompak masih termasuk jenis Saluang Darek. Daerah
perkembangannya hanya terdapat di daerah Kecamatan Payakumbuh saja,
khususnya di daerah Taeh, Simalanggang29.
Saluang Sirompak juga terbuat dari talang, tetapi di samping lobang yang
empat, seperti umumnya Salueng Darek, masih terdapat sebuah lobang lagi di
sebelah bawah lobang keempat dari ujung. Lobang di sebelah bawah ini berfungsi
sebagai pengubah bunyi menjadi oktaf yang lebih rendah. Dengan adanya lobang
tambahan tersebut, nada yang dihasilkan menjadi 10 buah yaitu: fi-la-do-re-mi
(tinggi) dan fi-la-do-re-mi (rendah). Nada-nada yang tinggi dihasilkan dengan
28 Ibid. Hal. 30 29 Ibid. Hal. 30
115
tiupan yang agak keras sedangkan nada-nada rendah ditiup dihasilkan dengan
tiupan yang agak lunak30.
Pengukuran metrik yang digunakan dalam pembuatan salueng tidak
dengan sistem metrik konvensional, seperti centi meter (cm) dan sebagainya.
Masyarakat tradisional cenderung menggunakan anggota tubuh sebagai alat ukur,
misalnya jari-jari tangan, jengkal, ibu jari kaki, kepalan tangan, dan sebagainya.
Tidak terdapat ukuran yang pasti atau standard untuk Salueng Sirompak.
Selera si pembuat salueng adalah patokan utama untuk ukuran maupun bunyi nada
yang dihasilkan.
Ukuran besar talang kira-kira sebesar ibu jari kaki, tetapi ukuran itu tidak
mutlak, karena sering juga tergantung kepada keinginan si pembuat sampai
mengeluarkan bunyi yang cocok dengan selera. Tetapi, ukuran yang biasa adalah
sebesar ibu jari kaki si pembuatnya31.
Jelaslah bahwa ketidak standardan ukuran ini tidak mungkin didapatkan
jika yang dijadikan patokan adalah ukuran ibu jari kaki si pembuat salueng.
Ukuran ibu jari kaki seseorang tentu tidak sama dengan orang lain.
Martamin menuliskan, bahwa ukuran panjang Salueng Sirompak kira-kira
tiga jengkal empat jari. Ukuran ini pun tidak mutlak, karena ukuran jari setiap
orang juga tidak sama. Tetapi, jika diukur dengan ukuran meter, maka panjang
Salueng Sirompak kira-kira 70-75 cm32.
Jarak antara lobang pertama dengan ujung salueng adalah kira-kira dua
kali lingkaran ujung salueng, yaitu kira-kira 17 cm. Jarak antara lobang pertama 30 Ibid. Hal. 30 31 Ibid. Hal. 31 32 Ibid. Hal. 31
116
dan kedua dan antara labang kedua dan ketiga dan antara lobang ketiga dan
keempat setengah lingkaran ujung salueng, yaitu kira-kira 4 cm33.
Jarak lobang keempat dengan pangkal salueng adalah sepanjang dua
jengkal, yaitu kira-kira 41 cm. lobang tambahan kelima persis terletak di bawah
lobang ke empat34.
Dari penjelasan di atas Martamin berkesimpulan, bahwa ukuran Salueng
Sirompak dan salueng lainnya di Minangkabau tidak mempunyai ukuran mutlak
atau standar. Hal itu disebabkan karena sangat tergantung pada ukuran lingkaran
ujung salueng, sedangkanbesar lingkaran ujung salueng ditentukan pula oleh besar
kecilnya ukuran ibu jari kaki si pembuatnya dan ukuran ibu jari kaki itu jelas tidak
sama untuk setiap orang. Di samping itu ukuran jengkal setiap orang pun tidak
sama pula, sedangkan ukuran jengkal ini akan menentukan pula ukuran leher
Salueng Sirompak. Jadi, ukuran semua Salueng Sirompak sangat relatif sekali.
Penulis berkesimpulan bahwa orang Minang sangat bersahaja dalam
menciptakan alat musik tradisionalnya. Sistem pengukuran yang mereka gunakan
adalah yang ada pada diri mereka sendiri, seperti jari-jari tangan, ibu jari tangan,
jengkal, kepalan tangan, ibu jari kaki, dan sebagainya. Alam Minangkabau telah
menyediakan bahan-bahan baku untuk keperluan alat musik mereka dari sejenis
bambu atau talang. Garis tengah bambu juga digunakan sebagai dasar pengukuran
untuk jarak antar lobang salueng. Tergambarlah di sini kesatuan antara manusia
dan alam lingkungannya. Manusia memanfaatkan alam, menyatu, dan belajar
33 Ibid. Hal. 31 34 Ibid. Hal. 31
117
mengenal dan mengambil manfaat dari alam seperti pepatah Minangkabau Alam
takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru).
3.4.1.3. Salueng Sungai Pagu
Sungai Pagu terdapat di Muara Labuh Kabupaten Solok. Salueng Sungai
Pagu dinamakan juga Salueng Panjang karena ukurannya lebih panjang dari
salueng Darek dan salueng lainnya yang ada di Sumatera Barat.
Keistimewaan Salueng Sungai Pagu ini adalah lobang melodinya hanya
tiga buah saja. Martamin menuliskan, diduga Salueng Sungai Pagu ini berasal dari
daerah Tanah Datar tetapi di daerah asalnya itu, saluang berlobang tiga ini, sudah
tidak ditemukan lagi karena sudah mengalami perkembangan baru menjadi
saluang berlobang empat35. Salueng berlobang tiga ini masih berkembang di
Sungai Pagu hingga saat ini. Bahan baku Salueng Sungai Pagu terdiri dari talang,
tetapi ada juga yang di buat dari buluh kasok (sebangsa talang yang lebih kecil).
Sistem pengukuran yang digunakan untuk menentukan ukuran Salueng
Sungai Pagu sama halnya dengan salueng lainnya, adalah anggota tubuh, seperti
kepalan tangan, jari-jari tangan, dan sebagainya. Diungkapkan oleh Martamin,
bahwa ukuran dasar yang digunakan adalah “lebar kepalan tangan” yang
dinamakan pacik. Ukuran Salueng Sungai Pagu sepanjang delapan pacik. Satu
pacik kepalan orang dewasa sepanjang kira-kira 9-10 cm. Dengan demikian,
ukuran panjang Salueng Sungai Pagu seluruhnya kira-kira antara 72-80 cm36.
35 Ibid. Hal.32 36 Ibid. Hal. 32
118
Pengukuran diameter talang dilakukan secara tradisional menggunakan ibu
jari tangan. Ibu jari tangan menjadi ukuran penentu diameter talang, tidak boleh
terlalu sempit dan juga tidak boleh terlalu longgar. Martamin menuliskan, bahwa
besar lobang talang kira-kira sebesar ukuran ibu jari tangan. Cara mengukurnya
adalah: jika ibu jari tangan tidak masuk ke dalam lobang talang, maka talangnya
dianggap tidak memenuhi syarat; terlampau besar juga tidak memenuhi syarat.
Ukuran lobang talang dianggap memenuhi syarat apabila ibu jari tangan pas
masuknya ke dalam lobang talang tersebut37.
Tempat meniup terletak di pangkal talang yang sekaligus menjadi pangkal
salueng. Untuk menghasilkan bunyi dibuatlah sebuah lobang di pangkal salueng.
Penulis mencermati data yang dituliskan oleh Martamin tentang nada-nada
yang dihasilkan dari Saluang Sungai Pagu berjumlah satu oktaf. Kuat-lemah
(keras lembut) tiupan mempengaruhi ketinggian nada. Tiupan lemah
menghasilkan empat nada pertama, sedangkan tiupan keras menghasilkan empat
nada kedua.
Lobang Salueng Sungai Pagu yang tiga buah tersebut, dua terletak di atas
sejajar dengan lobang di pangkal dan lobang itu dinamakan lobang pertama dan
lobang kedua. Sedangkan, lobang ketiga terdapat di bawah bertentangan dengan
lobang di pangkal salueng. Ketiga lobang itu menimbulkan bunyi yang bernada:
(1) do-re-mi-fa dengan tiupan lembut dan (2) so-la-si-do dengan tiupan keras38.
37 Ibid. Hal. 33 38 Ibid. Hal. 33
119
3.4.1.4. Salueng Paueh
Paueh merupakan nama sebuah nagari di Kota Padang. Nama Paueh
dipakai untuk menamai alat musik atau sebuah kesenian salueng.
Salueng Paueh tumbuh dan berkembang di Nagari Paueh, Kecamatan
Lubuk Begalug, Kota Padang. Dari Nagari Paueh itu Salueng Paueh berkembang
ke daerah sekitarnya seperti Kecamatan Lubuk Bagalung dan Kecamatan Koto
Tangah, Kota padang.
Martamin mencatat, bahwa perbedaan dua salueng terakhir (Salueng
Sungai Pagu dan Salueng Paueh) dengan kedua salueng sebelumnya (Salueng
Darek dan Salueng Sirompak ) terletak pada teknik pembuatan, bunyi yang
dihasilkan, wilayah perkembangan, dan lagu-lagu yang dimainkannya.
Penulis menyimpulkan bahwa Salueng Darek berasal dari dan berkembang
di daerah inti Minangkabau yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak
Lima Puluh Kota. Sedangkan, Salueng Sirompak juga berasal dari Darek tetapi
khusus tumbuh dan berkembang di daerah Taeh-Simalanggang yang termasuk ke
dalam Luhak Lima Puluh Kota.
Martamin menyimpulkan persamaan dan perbedaan keempat salueng yang
ada di Minangkabau. Persamaan terletak pada bahan pembuatan dan bentuknya,
sedangkan perbedaan terletak pada ukuran, tangga nada, bunyi yang dihasilkan,
teknik memainkan dan barangkali juga fungsinya di tengah-tengah masyarakat39.
Selanjutnya mengenai alat penghasil bunyi, ukuran panjang dan diameter
salueng disimpulkan oleh Martamin sebagai berikut: Salueng termasuk jenis alat
39 Ibid. Hal. 33
120
musik tiup yang tidak memakai lidah. Pada umumnya ukuran panjang salueng
berkisar antara 50-75 cm. garis tengah lobang di ujung-pangkal salueng berkisar
antara 2-3 cm. Makin besar rongga talang yang dijadikan salueng semakin sulit
pula untuk membunyikannya40.
Berdasarkan fungsi salueng dalam masyarakat Minangkabau, Martamin
menuliskan bahwa salueng berfungsi sebagai pengiring dendang biasa maupun
dendang kaba41. Dendang biasa lebih kerap diringi oleh salueng. namun salueng
juga dapat ditampilkan sendirian tanpa dendang.
3.4.2. Rabab
Rabab merupakan alat musik gesek. Martamin (1983) menuliskan, bahwa
rabab di Minangkabau terdiri dari tiga jenis, yaitu Rabab Darek, Rabab Pariaman,
dan Rabab Pesisir.
Alat musik rabab, berdasarkan sumber bunyinya, diklasifikasikan sebagai
alat musik chordophone42 (chordo berarti dawai atau tali, sedangkan phone berarti
bunyi). Berdasarkan sumber bunyi tersebut Erizal (2000:29) mengatakan dalam
tulisannya, bahwa alat musik chordophone Minangkabau terdiri dari Rabab
Pariaman, Rabab Pesisir, Rabab Darek, Rabab Tanjung Beringin, Kecapi, dan
Talempong Sambilu yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota43.
40 Ibid. Hal. 34 41 Sejenis cerita rakyat yang disampaikan melalui dendang (nyanyian) 42 Chordophone – Kordofon. Alat musik berdawai (bersenar). Menilik cara membunyikannya, kordofon terbagi atas dawai gesek (senar gesek: biola); dawai petik (senar petik: gitar); dawai pukul (senar pukul: piano). Pono Banoe, 2003. Kamus Musik. 43 Erizal, 2000. Instrumen Musik Chordophone Minangkabau. Hal. 29.
121
Beberapa alat musik kordofon Minangkabau yang dikemukakan Erizal
dapat kita bagi lagi berdasarkan tipe dasarnya. Menurut Ruth Migley, alat musik
kordofon mempunyai lima tipe dasar yaitu: (1) bow, (2) Lyre, (3) Harp, (4) Lute,
dan (5) Zithers44. Dari lime tipe dasar alat musik kordofon di atas, menurut Erizal,
maka dapat diklasifikasikan alat musik rabab Minangkabau yang termasuk
kelompok bowed lute45 adalah Rabab Pesisir, dan yang termasuk jenis folk fiddle46
adalah Rabab Periaman, Rabab Darek, dan Rabab Tanjung Beringin47.
3.4.2.1. Rabab Darek
Rabab Darek, pada mulanya, tumbuh dan berkembang di daerah inti
Minangkabau. Itulah sebabnya diberikan nama Rabab Darek, karena daerah inti
orang Minangkabau juga disebut sebagai daerah Darek, terutama oleh orang dari
pesisir Sumatera Barat.
Badan (rongga resonansi) Rabab Darek terbuat dari kayu yang dilobangi
seperti bentuk tempurung kelapa. Kayu yang digunakan biasanya kayu nangka
yang bersifat keras tetapi mudah dibentuk. Garis tengah rongga rabab berukuran
kira-kira 24 cm. Kulit kayu yang menganga sesudah dilobangi dengan pahat,
ditutup dengan kulit perut kerbau yang diperkuat dengan perekat kulit. Tempelan
44 Rugh Migley, Musical Instrument of the World. Hal. 164 45 Lute – alat musik petik yang banyak dipergunakan antara abad ke-15-18, berbadan cembung dengan leher berpapan nada mirip gitar (frets) berdawai 5 ganda dan 1 tunggal. Termasuk keluarga lute antara lain: gambus, mandolin. Istilah lain luth, luit, alud, laute, laud. Sumber: Pono Banoe, 2003. Kamus Musik. 46 Folk fiddle bentuk dasarnya ada dua macam yaitu: a) spike fiddle long neck (rebab bulir dengan leher panjang), b) short neck fiddle (rebab bulir dengan leher pendek). Rebab bulir biasa ditemui di Timur Tengah, Asia, dan Afrika Utara, dan jarang ditemui di tempat lain. Rebab rakyat dengan leher panjang paling banyak ditemui di Eropah. (Ruth Migley, tth: 202) 47 Erizal opcit. Hal.9
122
kulit perut kerbau itu diperkuat lagi dengan paku payung yang sekali gus
berfungsi sebagai hiasan atau ukiran rabab.
Leher rabab terbuat dari talang. Antara leher dan badan rabab dihubungkan
dengan tangkai yang terbuat dari kayu. Kepala rabab yang berukir diletakkan di
ujung leher. Alat pemutar tali, sebanyak dua buah sesuai dengan jumlah tali,
terdapat di kepala rabab.
Ukuran Rabab Darek juga tidak mutlak atau absolut. Garis tengah badan
rabab pada umumnya sepanjang 24 cm, tetapi tentu ada yang kurang atau lebih.
Ukuran tangkai dan leher kira-kira sepanjang satu setengah garis tengah
badan rabab, yaitu kira-kira 36 cm. Panjang tangkai 12 cm dan leher 24 cm.
Tali Rabab Darek hanya dua buah, berukuran besar dan kecil. Tali terbuat
dari tali atau benang bola kadang-kadang terbuat dari tali rami. Tali yang kecil
terdiri dari 4 lembar benang yang dipintal jadi satu sedangkan tali yang besar
terdiri dari lima lembar benang yang juga dipintal menjadi satu.
Tangkai penggesek terbuat dari kayu yang dibengkokkan dan tali
penggeseknya terbuat dari ekor kuda atau, sekarang, dipakai juga benang nilon
halus. Untuk memperhalus dan menyaringkan bunyi dipakai minyak tanah denga
cara mengoleskannya pada tali penggesek. Jika bunyi yang dihasilkan masih
lembab maka kulit kerbau diolesi dengan sedikit air.
Nada-nada yang dihasilkan dari Rabab Darek hampir sama dengan nada-
nada Salueng Darek, yaitu do-re-mi-fa-sol.
123
3.4.2.2. Rabab Pariaman
Orang Pariaman sendiri menyebut nama rababnya dengan sebutan Rabab
Piaman. Kata piaman adalah sebutan pengganti untuk kata Pariaman.
Bentuk Rabab Pariaman, secara keseluruhan, hampir sama dengan bentuk
Rabab Darek. Walau pun bentuknya hampir sama, tetapi terdapat pula perbedaan
yang sangat prinsipal.
Badan Rabab Pariaman terbuat dari tempurung kalapa yang sesuai
besarnya, dalam arti tidak terlalu kecil atau terlalu besar. Asalkan rongga
tempurung sudah dapat menghasilkan bunyi yang diharapkan oleh sipembuat
maka itu sudah dianggap cukup.
Tangkai, leher, dan kepala Rabab Pariaman sama dengan Rabab Darek,
perbedaan hanya terletak pada ukuran saja. Rabab Pariaman umumnya berukuran
lebih kecil dari pada Rabab Darek.
Tali Rabab Pariaman berjumlah tiga buah, yaitu yang dinamakan tali satu,
tali dua, dan tali tiga atau juga disebut dengan nama tali kecil, tali menengah, dan
tali besar.
Jika badan rabab menghadap kita, tali kecil terletak di sebelah kanan,
tetapi waktu memainkannya, badan rabab menghadap ke sebelah luar
(membelakangi pemainnya) dan pada waktu itu tali kecil terletak di sebelah kiri,
tali besar di kanan, dan tali menengah di tengah.
Tali terbuat dari benang cap rantai nomor 8. Tali kecil terbuat dari tiga
helai benang, tali menengah terbuat dari empat helai benang, dan tali besar terbuat
dari lima helai benang yang dipintal menjadi satu dengan tidak terlalu kuat.
124
Karena talinya berjumlah tiga buah, maka alat pemutar tali yang juga berfungsi
sebagai penstem nada berjumlah tiga buah pula. Alat penstem terletak di kepala
rabab, sama seperti Rabab Darek.
Tangkai penggesek rabab terbuat dari kayu yang dibengkokkan ujungnya
atau dari bambu yang mudah dibengkokkan ujungnnya. Tali penggesek terbuat
dari ekor kuda atau benang nilon halus. Agar bunyi nada lebih nyaring, maka tali
penggesek diolesi dengan minyak tanah.
Rongga badan Rabab Pariaman yang terbuka ditutupi dengan selaput tipis.
Selaput tipis tersebut biasanya berasal dari kulit jantung kerbau yang sudah
dikeringkan.
Ukuran Rabab Pariaman sangat ditentukan oleh besar tempurung
kelapanya, karena ukuran panjang tangkai dan lehernya adalah sepanjang dua kali
ukuran garis tengah permukaan rongga tempurung. Sedangkan ukuran badan
dibuat sepadan dengan ukuran badan + tangkai + leher digabung menjadi satu.
Umumnya kepala rabab sama panjang ukurannya dengan garis tengah badan
rabab. Pada sisi bagian belakang tempurung, persis di tengah-tengah, dibuatkan
sebuah lobang sebesar jari kelingking yang berfungsi sebagai rongga resonansi.
Bunyi yang dihasilkan dari Rabab Pariaman lebih kaya dibandingkan
dengan Rabab Darek. Dengan jumlah tali sebanyak tiga buah, maka Rabab
Pariaman memiliki nada dan warna nada yang relatif lebih banyak dibandingkan
dengan Rabab Darek.
125
3.4.2.3. Rabab Pesisir
Rabab Pesisir tumbuh dan berkembang di daerah Pesisir Selatan Sumatera
Barat. Berbeda dengan Rabab Darek dan Rabab Pariaman yang bodinya mirip
bola, Rabab Pesisir mirip dengan violin atau biola dengan empat tali yang terbuat
dari dawai (kawat halus).
Violin atau biola konvensional kerap dijadikan sebagai Rabab Pesisir. Ada
juga Rabab Pesisir yang dibuat secara tradisional dan sekarang lazim digunakan.
Rabab tersebut berbahan dasar kayu nangka. Bentuk dasar violin tetap
dipertahankan.
Senar Rabab Pesisir yang terbuat dari dawai menghasilkan bunyi yang
jauh lebih kaya dibanding Rabab Darek dan Rabab Pariaman. Jenis lagu yang
dapat dimainkan dengan Rabab Pesisir lebih bervariasi dan dapat menjangkau
nada-nada sampai beberapa oktaf.
3.4.3. Talempong
Berdasarkan bahan dasar pembuatannya talempong dapat di bagi atas tiga
jenis, yaitu: (1) Talempong Kayu, (2) Talempong Bambu, dan (3) Talempong
Tembaga atau Perunggu. Talempong Kayu dan Talempong Bambu sudah tinggal
nama saja, karena tidak terlihat lagi pada daerah yang disurvei, kecuali pada
beberapa daerah yang kelihatannya sudah dibuat dalam masa sekarang ini,
misalnya di Kecamatan harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Sekarang telempong
yang paling umum digunakan adalah Talempong Tembaga/Perunggu. Dapat
126
dikatakan, bahwa Talempong Tembaga/Perunggu inilah yang berkembang di
daerah Sumatera Barat bahkan berkembang jauh ke luar Sumatera Barat.
Penamaan jenis talempong tersebut hanya semata-mata karena bahan
pembuatannya saja. Talempong Kayu terbuat dari kayu, Talempong Bambu
terbuat dari bambu, dan Talempong Tembaga terbuat dari tembaga atau perunggu.
Bahan pembuatan Talempong Perunggu tidak hanya semata-mata dari
tembaga, tetapi campuran antara tembaga dengan timah putih. Makin murni
tembaga dan timah putih yang dicampurkan semakin baik kualitas talempongnya.
Ada juga orang yang meancampurkan tembaga dengan besi atau seng, tetapi mutu
talempongnya kurang baik. Kurang baik dalam arti tidak dapat menyimpan nada
dalam waktu yang lama atau mudah berubah nadanya. Talempong yang
berkualitas baik mampu menyimpan nada yang sudah distem labih dari satu tahun.
Talempong yang berkualitas rendah hanya mampu menyimpan nada antara 15 –
30 hari saja.
Berdasarkan cara memainkannya, talempong dapat pula dibagi menjadi
dua jenis, yaitu: (1) Talampong Duduek, dan (2) Talempong Pacik. Dinamakan
Talempong Duduek, karena waktu memainkannya posisi si pemain dalam
keadaan duduek (duduk). Talempong yang dimainkan diletakkkan pada sebuah
tempat khusus yang dinamakan sanggaran. Sanggaran talempong ini bermacam-
macam bentuk dan ukurannya. Sanggaran berfungsi sebagai tempat meletakkan
talempong waktu dimainkan. Sanggaran dibuat sedemikian rupa sehingga kualitas
bunyi talempong tidak terpengaruh oleh sentuhan sanggaran tersebut. Talempong
127
yang dimainkan berjumlah lima atau enam buah dan dimainkan oleh satu atau dua
orang.
Dinamakan Talempong Pacik karena waktu memainkannya talempong itu
dipegang dengan tangan kiri dan dipukul dengan tangan kanan sambil berdiri atau
berjalan atau pun sambil duduk. Pacik adalah istilah daerah yang artinya pegang
(memegang).
Talempong Pacik terdiri dari lima atau enam buah dan dimainkan oleh tiga
atau empat orang. Jika dimainkan oleh tiga orang, maka masing-masing
memegang dua buah talempong dan kalau dimainkan oleh empat orang, yang dua
orang masing-masing memegang dua buah sedangkan yang dua orang lainnya
masing-masing memegang sebuah talempong.
Talempong dapat pula dinamakan berdasarkan daerah tempat tumbuh dan
berkembangnya. Misalnya, Talempong Unggan tumbuh dan berkembang di
daerah Ungggan, kabupaten Sawah Lunto Sijunjung. Selanjutnya Talempong
Unggan berkembang ke daerah sekitarnya. Demikian juga, Talempong Padang
Magek, Talempong Koto Anau, Talempong Bukik, Talempong Barueh,
Talempong Talang Maur, Talempong Agam, Talempong Mungka, dan
sebagainya. Nama di belakang kata talempong itu menunjukkan nama daerah dari
mana talempong itu berasal. Berdasarkan keadaan demikian, maka di
Minangkabau banyak sekali terdapat macam (varian) talempong itu. Setiap
perbedaan nama, berarti sekaligus menunjukkan perbedaan nada yang
dimilikinya.
128
Nada-nada yang dihasilkan talempong, sama halnya dengan Karawitan
Minangkabau lainnya seperti salueng, rabab, dan lain-lain, tidak mempunyai
ukuran yang mutlak (standard) seperti ukuran nada-nada musik modern. Oleh
karena itu, nada talempong sudah pasti tidak mungkin diukur dengan ukuran nada
musik modern seperti do-re-mi-fa-so-la-si-do’, karena ukuran frekuensi nada
tersebut sudah jelas. Walaupun nada talempong itu kedengarannya sama dengan
salah satu nada diatonis itu, tetapi frekuensinya pasti tidak sama.
Ukuran nada talempong yang khusus memang belum ada, oleh karena itu
orang lebih cenderung mengukurnya dengan sistem solmisasi itu. Sistem nada
diatonis itu sudah diketahui dengan baik. Celakanya, cara pengukurannya hanya
dengan telinga telanjang saja, sehingga nada non-diatonis itu akhirnya sama saja
dengan nada diatonis.
Jika hal yang demikian dilakukan secara terus menerus, berarti kita dengan
sengaja ikut memusnahkan nada talempong yang sesungguhnya, walaupun kita
tidak menyadari kegiatan yang kita lakukan itu akan ikut memusnahkannya secara
berangsur-angsur.
Cara melaras (menstem) talempong seperti yang dilakukan oleh pemain
talempong di desa-desa dengan cara mendengarkan bunyi pukulan talempong
berulang-ulang sampai dianggap sudah cocok atau tidak lagi sumbang dalam
pendengarannya. Dengan demikian hampir semua nada yang dihasilkan
talempong di desa-desa tidak ada yang sama. Kalaupun terdapat kesamaan itu pun
secara kebetulan saja atau orang yang melarasnya berasal dari rumpun perguruan
yang sama.
129
Namun, karena belum adanya sistem pengukuran nada talempong itu atau
sekurang-kurangnya belum dilakukan pengukurannya, maka terpaksa juga
meminjam sistem solmisasi (diatonis) untuk menentukan nada yang dihasilkan
talempong itu, yaitu nada yang dianggap paling mendekatinya.
Berdasarkan cara yang demikian dapat dikatakan bahwa pada umumnya
tangga nada yang dihasilkan talempong terdiri dari tiga macam yang mendekati
nada:
1. Sol-la-do-re-mi
2. Do-re-mi-fa-sol
3. Do-re-mi-fa-sol-la
Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa nada yang tiga macam itu hanya
mendekati saja dari yang disebutkan, tetapi sebenarnya tidak persis sama seperti
itu, karena frekuensi dan jaarak nadanya pasti tidak sama.
Berdasarkan bunyi nada seperti itu terdapat beberapa variasi susunan
nadanya waktu dimainkan oleh masing-masing daerah seperti berikut:
Variasi pada Talempong Duduek:
1. La-re-do-So-mi
2. La-re-mi-do-So-so
3. Re-fa-mi-do-so
4. Re-fa-so-mi-do-la
Variasi pada Talempong Pacik:
1. La-re; So-so; do-mi
2. La-re; do-mi; So; so
130
3. Re-fa; do-mi; so
4. Re-fe; mi-so; do-la
5. Re-fa; do-mi; so-la
6. Re-fa; mi-so; do-la
7. Re-fa; do-mi; so; la
Banyak lagi susunan nada itu sesuai dengan lagu yang dimainkan dan
kebiasaan setempat. Dengan demikian banyak sekali terdapat susunan nada yang
dimainkan pada talempong tersebut, karena tidak ada standard tertentu. Hal yang
demikian seyogyanya dipelihara dan dikembangkan, karena di sanalah terletak
salah satu kekayaan seni Minangkabau itu. Nada talempong, seperti halnya
dengan nada karawitan lainnya, tidak memerlukan standardisasi nada, karena
usaha ini akan mematikan sebahagian besar nada talempong yang sudah ada.
Susunan nada seperti yang dituliskan di atas itu jika dibunyikan dan
didengarkan oleh orang dari daerah asal talempong itu pasti akan dikatakannya
sumbang, karena tidak cocok lagi dengan pendengaran mereka.
Talempong termasuk jenis alat musik pukul. Sewaktu memainkannya
selalu diikuti oleh bunyi pukulan gendang, kadang-kadang diikuti oleh bunyi
tiupan sarunai atau puput batang padi yang dibesarkan diujungnya dengan lilitan
batang padi.
Sekarang ada pula nada talempong yang diatur sedemikian rupa, sehingga
seluruhnya memakai nada diatonis seperti Susunan eksperimen ASKI
Padangpanjang dan Susunan talempong sanggar Syofiani.
131
3.5. Konsep Penggarapan Komposisi Musik (Peran Pekan Komponis dan
Festival IKI)
Aktifitas kesenian sebuah kelompok masyarakat sangat berkaitan erat
dengan aktifitas atau hal-hal lain yang sudah tumbuh dan melekat dari waktu ke
waktu dalam masyarakat tersebut. Pembahasan seni pertunjukan tidak dapat
terbatas pada permasalahan disekitar gaya dan teknik keseniannya saja, melainkan
juga harus menyentuh masalah-masalah yang terkait dengan nilai-nilai dan
konsepsi-konsepsi budaya yang melingkupinnya (PaEni, 2009:1). Selanjutnya
PaEni mengemukakan bahwa musik, cabang kesenian yang menggunakan media
suara merupakan bentuk ungkapan perasaan dan nilai kejiwaan manusia yang
dianggap paling tua dan telah ada bersamaan dengan lahirnya (peradaban)
manusia di bumi (2009:4). Dengan demikian, memahami musik dari sebuah
masyarakat berarti memahami nilai-nilai kehidupan yang telah ada dalam
masyarakat tesebut sejak (peradaban) masyarakat itu ada.
Salah satu unsur dasar ekspresi dalam musik karawitan adalah kevariatifan
mikro yang berakar pada interaksi semua pemain sambil bermain (Mack,
2004:506)48. Interaksi seperti ini telah dimulai sejak awal pembuatan (making)
musik di mana seorang komposer yang telah memiliki ide dasar untuk komposisi
musiknya dapat saja meminta pendapat atau sumbangan saran kepada pemain
musik agar komposisi musik tersebut berkembang baik dari segi teknis maupun
struktur.
48 Dieter Mack, 2004. Sejarah Musik. Jilid 4.
132
Hajizar (2014), dalam wawancara dengan penulis, mengungkapkan, bahwa
idealnya membuat sebuah komposisi musik itu harus dikerjakan oleh satu orang,
namun yang umum terjadi di jurusan Karawitan adalah terlibatnya pemain musik
dalam pembuatan dan pengembangan sebuah komposisi musik di bawah
pengawasan (kendali) dari komposer yang bersangkutan. Berikut petikan
wawancara dengan Hajizar:
Pada masa-masa awal ASKI (program sarjana muda) belum ada mata
kuliah khusus komposisi musik. Kegiatan praktik musik masih berkutat di seputar
musik iringan tari-tari karya Huriah Adam. Ketika ASKI beralih ke program D-3,
mulailah dipelajari musik tari Benten dari Pesisir Selatan,musik tari Rantak Kudo
dari Pesisir Selatan, musik Tari Piring dari Saning Bakar, dan musik tari Bujang
Sambilan. Hajizar menjelaskan bahwa mempelajari musik-musik tari tersebut
merupakan modal awal bagi mahasiswa untuk membuat karya musik baru.
Ketika ASKI dengan program D3-nya dikembangkan menjadi program S-
1 muncullah mata kuliah komposisi karawitan sebagai hasil dari konsorsium
ASKI se-Indonesia. Menurut Hajizar, munculnya mata kuliah komposisi
karawitan tersebut seiring dengan perkembangan even bertaraf nasional yang
bernama Pekan Komponis Muda sejak 1979. Selain pertunjukan karya musik,
topik pembicaraan dalam even Pekan Komponis tersebut didominasi oleh
persoalan komposisi musik. Walaupun, menurut Hajizar, pemahaman tentang
konsep komposisi musik berbeda dan kadang-kadang berbeda sama sekali dengan
pemahaman konsep komposisi musik dalam musik Barat, tetapi dianggap inilah
konsep komposisi versi Indonesia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
133
semangat dari even Pekan Komponis Muda telah memberi pengaruh terhadap
insan-insan dalam Konsorsium Seni sehingga muncullah mata kuliah komposisi
musik pada program S-1 sebagai salah satu hasil dari konsorsium tersebut.
Dalam Konsorsium Seni ditetapkan mata kuliah-mata kuliah wajib
(nasional) dan mata kuliah-mata kuliah lokal untuk setiap jurusan seni. Jadi,
pemunculan sebuah mata kuliah dalam sebuah jurusan tidak bisa sekehendak
perguruan tinggi yang bersangkutan tetapi harus melalui konsorsium nasional.
Istilah komposisi karawitan hadir di seluruh ASKI sebagai mata kuliah
dalam program D-4. Tetapi, ASKI Padangpanjang, saat itu, hanya memiliki
program D-3 karena belum memenuhi syarat untuk membuka program D-4. Oleh
karena itu, dosen-dosen ASKI Padangpanjang, pada waktu itu, harus
meningkatkan level pendidikannya ke level D-4 antara lain dengan belajar di
ASKI Solo, Bali, dan Yogyakarta. Gelar kesarjanaan untuk program D-4 adalah
Seniman Karawitan (S.Kar). mereka inilah yang diprogram untuk menjadi
komposer di bidang karawitan. Di antara tamatan D-4 tersebut49 bahkan ada yang
langsung melanjutkan ke program S-2 (Mahdi Bahar, misalnya. Setelah
memperoleh S.Kar ia melanjutkan ke Program S-2 UGM). Sekembalinya dosen-
dosen tersebut maka terpenuhilah syarat untuk membuka program D-4 ASKI
Padangpanjang yang merupakan filial dari ASKI Solo.50 Dengan demikian, saat
itu, ASKI Padangpanjang sudah memiliki beberapa orang tenaga pengajar
komposisi karawitan yang merupakan perintis bagi berkembangnya minat
pencipta musik (seniman, komposer). 49 Tamatan D-4 dari ASKI Bali di antaranya adalah Elizar Koto dan Yunaidi. 50 Salah seorang tamatan ASKI program D-4 adalah Hafif HR yang bergelar S.Kar, sekarang sebagai dosen di jurusan karwitan ISI Padangpanjang.
134
Seiring dengan Pekan Komponis Muda, Kementrian Pendidikan
memunculkan proyek Institut Kesenian Indonesia (IKI) sejak 1980. Proyek IKI
mengadakan festival tahunan untuk Akademi Seni se-Indonesia. Salah satu materi
festival adalah komposisi karawitan. Festifal IKI II tahun 1981 diselenggarakan di
Bandung. ASKI Padangpanjang mendapat giliran sebagai tempat penyelenggaraan
dan dianggap mampu untuk mengadakan festival IKI pada tahun 1989 dengan
nama proyek BKS PTSI (Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Seni se-Indonesia).
Komposisi pertama Karawitan Minangkabau dari ASKI Padangpanjang
ditampilkan di festival IKI Bandung pada tahun 1981. Judul komposisi tersebut
adalah Batanyo Kabau Ka Padati karya bersama Hajizar dan Hanefi. Instrumen
yang digunakan dalam komposisi tersebut adalah saluang pauah, saluang darek,
bansi, sarunai,ganto dan lain-lain. Hajizar menyebut penggunaan alat musik pada
waktu itu dengan istilah campua-campua sajo (campur-campur saja). Komposisi
disajikan dalam posisi duduk. Ide komposisi berasal dari alat transportasi
tradisional Minangkabau yaitu padati kabau yang kerap terlihat oleh Hajizar kala
ia berjalan ke arah selatan Padangpanjang. Kerbau itu dikalungi sejenis lonceng
yang disebut ganto.
Kala itu, pengelolaan paket seni ASKI Padangpanjang diserahkan kepada
ibu Yet (Gusmiati Suid) oleh pak Boestanoel Arifin Adam. Maka, untuk
mendukung paket tersebut, ibu Yet menciptakan karya tari pertemuan dua warna.
Musiknya, atas permintaan ibu Yet, dikerjakan oleh Hajizar dan Hanefi. Itulah
Batanyo Kabau Ka Padati, sebuah komposisi musik Minangkabau yang pertama
kali dari ASKI Padangajang. Jadi, komposisi musik karawitan yang pertama kali
135
tersebut adalah sebuah musik untuk mengiringi tari. Berarti dapat disimpulkan,
bahwa keberadaan koreografi pada waktu itu memberi peluang kepada orang-
orang dari jurusan karawitan ASKI untuk berkarya membuat komposisi.
Istilah komposisi populer di ASKI se-Indonesia sejak adanya even Pekan
Komponis Muda (1979) dan festival Institut Kesenian Indonesia (1981). Mata
kuliah komposisi itu sendiri belum ada dalam program D-3 ASKI. Penulis
menyimpulkan, bahwa praktik membuat komposisi musik di ASKI pada program
D-3 lebih dulu dilakukan atau didapatkan (terutama oleh Hajizar dan Hanefi) dari
pada mata kuliah teori komposisi itu sendiri karena pada program D-3 ASKI,
waktu itu, belum ada mata kuliah komposisi karawitan. Hal ini merupakan imbas
positif dari kedua even festival di atas.
Menurut Hajizar, kemampuan membuat komposisi oleh orang-orang ASKI
Padangpanjang didapatkan setelah kuliah di Solo dan Bali. Kiblat komposisi
ketika itu adalah ASKI Solo. Hajizar mengungkapkan, Bahwa ketika festival
Pekan Komponis Muda dan festival IKI, ASKI Solo merupakan perguruan yang
memiliki grade yang tinggi. Di ASKI Solo ada figur-figur komponis/seniman
yang memiliki totalitas tinggi seperti Rahayu Supanggah, Waridi, Sri Hastanto,
dan lain-lain.
Menurut Hajizar, eksistensi Pekan Komponis betul-betul kuat hingga
1988. Elizar Koto, adik dari Hajizar, adalah salah satu komponis peserta waktu
itu. Setelah 1988 eksistensi Pekan Komponis meredup karena even-even tingkat
dunia muali eksis di Indonesia. Terakhir, tahun 2005, Otto Sidharta (ketua DKJ)
mengadakan pekan Komponis di Solo. Otto ingin merubah bentuk Pekan
136
Komponis dengan melibatkan sponsor-sponsor besar sehingga bersifat komersial.
Hajizar mengusulkan, jika bentuk festival Pekan Komponis ini dirubah berarti
DKJ harus merubah terlebih dahulu visi dan misinya tentang Pekan Komponis.
Hajizar memberikan cerita kilas balik terhadap peran Pekan Komponis,
sebenarnya Pekan Komponis dengan visi yang lama, seluruh daerah yang pernah
diikutsertakan oleh DKJ, orang-orangnya menjadi tokoh-tokoh pemabaharu di
daerah masing-masing. Daerah-daerah sangat berhutang budi terhadap DKJ dalam
melahirkan komponis-komponis baru. Setelah tahun 2005 dan dengan banyaknya
even-even musik tingkat dunia, maka gaung Pekan Komponis sudah melemah dan
akhirnya tidak terdengar lagi.
Setelah 1988 berbagai even musik banyak bermunculan di Indonesia. Di
kampus ASKI pun mulai ada program S-1 lengkap dengan mata kuliah komposisi
karawitan. Rekan-rekan dosen, yang grade komposisinya tinggi, mengajar
komposisi diantaranya Hajizar, Hanefi, Elizar Koto, Nedy Winuza, dan lain-lain.
Sejak S-1 ASKI dibuka hingga berubah menjadi STSI, dan kemudian ISI mata
kuliah komposisi tetap diadakan.
Beberapa matakuliah ketika ASKI Jurusan Minangkabau filial ASKI Solo
adalah Teori Musik dan Ilmu Bentuk dan Analisa (IBA). IBA diajarkan oleh
bapak Dirwan Wakidi. Dengan mata kuliah IBA ini, sebenarnya sudah cukup kuat
dan bisa dipakai untuk memahami komposisi secara kaidah musik Barat. Sebab,
di Barat ada komposisi dan ada aransemen karena dalam IBA ada aplikasi tentang
hal ini. Generasi awal ini cukup punya kesadaran untuk membedakan komposisi
dan aransemen.
137
Setelah Jurusan Minangkabau berubah menjadi Jurusan Karawitan dan
Tari, mata kuliah IBA dihapuskan, namun teori musik tetap ada. Tetapi, tingkat
keseriusan untuk teori musik mulai memudar. Setelah berubah menjadi program
D-3 pemahaman akan teori musik semakin kurang. Walaupun sudah diberikan
pemahaman akan pentingnya teori musik. Mata kuliah teori musik tetap diajarkan
sejak dari jurusan ASKI filial, ASKI, STSI hingga ISI Padangpanjang. Jumlah
sks-nya bervariasi tergantung hasil konsorsium seni. Mata kuliah IBA sama sekali
tidak muncul dan sudah tidak dipelajari lagi.
Ketika mulai S-1, muncullah mata kuliah Transkripsi Analisis. Ini
sebenarnya sebuah semangat etno musikologi. Menurut prinsip ilmu
etnomusikologi, tanpa bisa mentrasnskripsi dan menganalisis musik tidak ada
artinya sebagai seorang sarjana musik. Seiring dengan adanya mata kuliah
Transkripsi Analisis muncul pula mata kuliah komposisi karawitan.
Sebenarnya, ketika semangat Pekan Komponis dan IKI muncul, persoalan
komposisi sudah mulai tidak merujuk kepada pemahaman dan pengertian menurut
konvensi Barat. Sebab waktu itu, yang penting sudah membuat sebuah garapan
musik baru maka itu sudah dianggap komposisi. Bahkan tidak disebutkan, ini
komposisi karawitan dan itu komposisi Barat. Sebab komposer ada yang
menggabungkan musik tradisi dan Barat. Yoesbar Djaelani mengikuti Pekan
Komponis I tahun 1979 dengan judul karya Tanya Tak Terjawab. Franky Raden
dengan Dilarang Bertepuk Tangan Dalam Toilet. Waktu itu, materi musik, teknik
komposisi, dan sumber-sumber komposisi tidaklah menjadi kategori yang penting.
138
Dalam musik Barat ada istilah musik murni yang tidak mementingkan
skenario tertentu. Contoh dalam Rombok Sijobang, idenya dari Sijobang Hajizar
tidak membuat suatu alur tertentu tetapi hanya merimbunkan (rombok) sehingga
tampilannya menjadi baru. Ada juga yang punya gagasan atau sumber ide yang
kemudian dieksplorasi dengan menggunakan instrumen yang ada sehingga ide-ide
tersebut terdukung.
Dulu, istilah kontemporer belum muncul. Karya eksploratif yang ekstrim
banyak muncul dari ASKI Solo. Misalnya, gong diseret sehingga memunculkan
bunyi tertentu maka itulah yang diolah menjadi bentuk baru. Biasanya mereka
keluar dari konvensi yang ada. Cukup banyak komposer yang berkarya dengan
cara eksplorasi seperti ini yang dipelopori oleh seniman Solo.
Tetapi, banyak garapan komposer waktu itu hanya merangkai materi-
materi (lagu) yang sudah ada dari sumber yang bermacam-macam menjadi satu
kesatuan dan dianggap sebagai karya komposisi musik. Rangkaian itu didukung
dengan eksplorasi dari musik tradisional. Prinsipnya adalah menyambungkan dua
atau lebih materi dengan prinsip “yang penting bisa ‘ masuk’/nyambung”. Hasil
dari sambungan-sambungan itu dianggap sebuah komposisi musik. Di sinilah
mulai timbul kontradiksi pemahaman tentang komposisi dan aransemen. Selama
proses berkarya dan dalam kuliah komposisi, persoalan ini tidak pernah
dihubungkan dengan aransemen. Jadi seolah-olah di jurusan karawitan tidak
mengenal aransemen.
Hajizar sendiri sangat ingin mendudukkan persoalan pemahaman
komposisi dan aransemen. Hajizar menuturkan, “Walupun ini kita angkat sebagai
139
topik pembicaraan di karawitan, mereka cuek saja. Masuk telinga kanan keluar
telinga kiri, demikian Hajizar mengungkapkan kekecewaannya”.
Praktek berkarya seperti di atas berlaku secara Nusantara. “Pekan
komponis seperti itu; festival IKI juga seperti itu. Kecuali ada peserta dari orang
musik Barat, kalau tidak, ya, akan tetap begitu-begitu saja”, demikian ungkap
Hajizar.
Suatu waktu Elizar Koto pernah menampilkan karyanya di Jerman. Setelah
penampilan karya tersebut, penonton dimintai pendapat tentang karya musik yang
sudah disimaknya. Satu orang menjawab, bahwa dirinya tidak menemukan bentuk
dari karya tersebut. Karya itu mengalir begitu saja, saling bersambungan dengan
banyak ide-ide musikal yang bermacam-macam sehingga sulit ditemukan mana
tema utamanya, dan...tiba-tiba selesai. Demikian tanggapan penonton. Akhirnya,
menurut penuturan Hajizar, Elizar mendapatkan sebuah pelajaran yang berharga
tentang mana yang komposisi, mana yang aransemen, dan mana yang medley.
Suka Hardjana dan Franky Raden mengkategorikan musik-musik seperti
yang ada dalam Pekan Komponis dan IKI ini sebagai musik kontemporer versi
Indonesia. Dieter Mack menyebut musik tersebut sebagai musik baru. Penulis
berpendapat, dari persoalan konsep berkarya yang ada dalam Pekan Komponis
dan IKI tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa bagi komponis-komponis
tersebut rasa lebih penting dari pada bentuk.
140
3.6. Institut Seni Indonesia Padangpanjang
Sebuah kesadaran tentang pentingnya melestarikan dan mengembangkan
kebudayaan daerah—yang juga merupakan kebudayaan Nasional—dalam usaha
untuk memperkuat jati diri kultural telah tumbuh di kalangan orang Minangkabau
di Sumatera Barat. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 32 dan mengingat potensi yang
ada di Sumatera Barat, maka timbullah gagasan dari pemuka masyarakat dan para
seniman Sumatera Barat untuk menghidupkan serta mengembangkan kebudayaan
khususnya masalah kesenian dengan mendirikan KOKAR A dan KOKAR B51.
KOKAR B kemudian menjadi Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI)
Padangpanjang berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 84
tahun 1965 Tanggal 22 Desember 1965. ASKI Padangpanjang pada awalnya
hanya mempunyai dua Program Studi, yaitu Karawitan dan Tari, kemudian
dilengkapi dengan Program Studi Musik.
Pada tanggal 15 Juni 1999 ASKI Padangpanjang resmi berubah status
menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang berdasarkan
Keputusan Presidan Nomor 56 Tahun 1999. STSI Padangpanjang diresmikan oleh
Dirjen Dikti Depdiknas Prof. Dr. Satrio Brojonegoro pada tanggal 4 Desember
1999. Seiring dengan perubahan dari Akademi menjadi Sekolah Tinggi juga
terjadi perubahan Pola Ilmiah Pokok (PIP) dari Kesenian Minangkabau menjadi
Seni Rumpun Melayu dengan tugas utama Menggali, Membina, dan
Mengembangkan seni budaya rumpun Melayu. Pada 1997 terjadi penambahan dua
program studi di STSI Padangpanjang yakni Program Studi Seni Kriya dan Seni
51 Buku Panduan akademik mahasiswa 2012/2013. Hal. 1
141
Teater. Pada tahun Akademik 2001/2002 STSI Padangpanjang resmi membuka
Program Studi Seni Musik berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti Nomor:
06/Dikti/Kep/2001 Tanggal 09 Januari 2001. Program Studi Seni Kriya dan Seni
Teater izin penyelenggaraannya dimulai pada tahun akademik 3002/2004
berdasarkan Surat Dirjen Dikti Nomor: 2271/D/T/2003 Tanggal 05 September
2003. Sedangkan Program Studi Seni Karawitan dan Seni Tari telah terlebih
dahulu mendapatkan izin dari Dirjen Dikti dengan Nomor: 384/DIKTI/Kep/1998.
Sejak Tahun Akademik 2006/2007 STSI Padangpanjang telah membuka Program
Studi Televisi berdasarkan Surat Dirjen Dikti Nomor: 3715/D/T/2006 tanggal 20
September dan Program Studi Seni Murni berdasarkan Surat Dirjen Dikti Nomor:
161/D/T/2007 tanggal 29 Januari 2007.
Berdasarkan peraturan presiden RI No. 60 tahun 2009 tertanggal 31
Desember 2009, bahwa pada tanggal 1 Januari 2010 STSI Padangpanjang telah
berubah menjadi Institut Seni Indonesia. Pada tanggal 17 Juli 2010 ISI
Padangpanjang diresmikan oleh Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Bapak Prof.
Dr. Fasli Djalal, Ph.D sekaligus mengangkat Bapak Prof. Dr. Daryusti, M.Hum
sebagai Pj. Rektor, Plt. Pembantu Rektor I Andar Indra Sastra, S.Sn., M.Hum, Plt.
Pembantu Rektor II Lazuardi, S.Kar., M.Hum, dan Plt Pembantu Rektor III
Martarosa, S.Sn., M.Hum.
Pada bulan Maret 2011 diadakan pemilihan rektor. Hasilnya, Rektor
dijabat oleh Prof. Dr. Mahdi Bahar, S.Kar., M.Hum. Pada tanggal 13 April 2011
diadakan pemilihan Pembantu rektor, Dekan, dan Pembantu Dekan. Hasilnya,
Pembantu Rektor I dijabat oleh Drs. Zulhelman, M.Hum, Pembantu Rektor II
142
dijabat oleh Drs. Gitrif Yunus, M.Si, Pembantu Rektor III dijabat oleh Martarosa,
S.Sn, M.Hum., Dekan Fakultas Seni Pertunjukan Drs. Hanefi, M.Pd., Pembantu
Dekan (PD) I Yusril, S.S., M.Sn., PD II Hendri JB, S.Sn., M.Hum., PD III Ferry
Herdianto, S.Sn., M.Sn., Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain Drs. Erizal, M.M.,
PD I Purwo Prihatin, S.Sn., M.Hum., PD II Riswel Zam, S.Sn., M.Sn., PD III
Yandri S.Sn., M.Sn.
Sejak pelantikan Rektor, pembantu Rektor, Dekan , dan Pembantu Dekan
ISI Padangpanjang resmi secara sah menjadi Institut karena telah mempunyai
Fakultas yakni Fakultas Seni Pertunjukan dengan Program Studi Seni Karawitan,
Seni Tari, Seni Musik, dan Seni Teater. Fakultas Seni Rupa dan Desain dengan
Program Studi Seni Kriya, Seni Murni, Televisi dan Film, dan Desain Komunikasi
Visual.
3.6.1. Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran ISI Padangpanjang
Visi ISI Padangpanjang adalah mewujudkan:
“Seniman dan Ilmuan Seni Budaya Rumpun Melayu Berjaya”.
Misi ISI Padangpanjang adalah:
1. Menyelenggarakan pendidikan seni dengan menjunjung tinggi nilai-nilai dasar
budaya Melayu.
2. Menciptakan pusat kajian dan kreatifitas seni berazaskan keilmuan dan
profesionalisme, serta peka dan responsif terhadap perubahan dengan
menjunjung tinggi moralitas bangsa.
143
3. Menciptakan dan mengembangkan pusat informasi seni budaya bangsa yang
bertanggung jawab.
4. Memberdayakan potensi lembaga untuk kejayaan diri, bangsa, dan negara
Tujuan ISI Padangpanjang:
1. Mampu melaksanakan pendidikan vokasi, akademik, dan atau profesional di
bidang seni secara kreatif.
2. Mampu mengkaji dan menganalisis fenomena seni budaya serta
mengekspresikan dalam bentuk karya ilmiah.
3. Mampu mencipta dan mengekspresikan gagasan ke dalam berbagai bentuk
karya seni.
4. Mampu menggelar dan mempublikasikan potensi lembaga melalui media
secara profesional dan bertanggung jawab untuk kejayaan.
Sasaran ISI Padangpanjang:
1. Terlaksananya proses pendidikan vokasi, akademik, dan atau profesional
secara benar dan berkualitas sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Menghasilkan tenaga vokasi, akademik, dan atau profesional bidang seni, serta
mampu menerapkannya untuk kejayaan diri, lembaga, bangsa, dan negara.
3. Mengghasilkan berbagai ilmu pengetahuan seni, dan atau karya seni dengan
mengutamakan seni budaya Melayu.
4. Terlaksananya informasi potensi lembaga ke tengah masyarakat secara
bertanggung jawab melalui berbagai media.
144
5. Terselenggaranya penerapan potensi lembaga ke tengah masyarakat secara
bertanggung jawab untuk kejayaan.
3.6.2. Visi, misi, dan Tujuan Program Studi Seni Karawitan
Visi Program Studi Seni Karawitan:
“Mewujudkan seniman dan ilmuan yang unggul dalam menyelenggarakan
pendidikan di bidang pengkajian dan penciptaan seni rumpun Melayu yang
memiliki jaringan kerja sama akademik secara nasional dengan memperhatikan
kebutuhan pasar yang berkelanjutan”
Misi Program Studi Seni Karawitan:
1. Melaksanakan pendidikan secara profesional dan atau akademik dalam bidang
seni rumpun Melayu.
2. Melaksanakan pengkajian, penciptaan, dan penyajian seni rumpun Melayu.
3. Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat dengan menjalin hubungan yang
harmonis dengan stake holdres.
Tujuan Program Studi Seni Karawitan:
1. Menghasilkan ciptaan dan mengekspresikan keberagaman gagasan dalam
bentuk karya seni karawitan rumpun Melayu.
2. Menghasilkan karya tulis ilmiah dalam beragam fenomena seni karawitan
rumpun Melayu sebagai komponen seni dan budaya.
3. Menyajikan karya seni karawitan rumpun Melayu secara kreatif, inovatif, dan
profesional.
145
4. Para lulusan dapat menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
akademik dan profrsional dalam bidang seni karawitan rumpun Melayu,
sehingga mampu menjawab tantangan masa depan dan mampu bersaing
merebut pasar kerja di bidang karawitan secara internasional, nasional, dan
regional.
3.7. Musik dalam Masyarakat Melayu Minangkabau
Mahdi Bahar (2007:14) mengemukakan bahwa secara sosiologis dan
budaya, orang Minangkabau memandang dua kategori seni musik yaitu ‘musik
Minangkabau’ dan ‘bukan musik Minangkabau’52. Mereka menyebut kategori
yang pertama sebagai musik awak (musik kita atau in-group) dan ketegori kedua
disebut indak musik awak (bukan musik kita atau out-group). Musik awak
mencakup, yaitu musik tradisional Minangkabau; musik ‘Minangkabau populer’;
musik Minangkabau talempong ‘kreasi baru’; dan musik Minangkabau
‘akademis’. Adapun kategori out-group adalah musik apa saja yang ada di
Minangkabau (Sumatera Barat) selain dari pada musik yang termasuk kategori
pertama.
Pertama, musik tradisional Minangkabau; musik tradisional Minangkabau
dapat dipilah menjadi dua bagian. Pertama, musik tradisional yang terkait dengan
prosesi adat atau menjadi bagian dari adat; kedua, musik tradisonal yang semata-
mata sebagai musik tradisi saja dikarenakan musik itu telah mentradisi dalam
52 Mahdi Bahar, 2007. Islam Landasan Ideal Budaya Musik Melayu Minangkabau. Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah Musik Nusantara Pada Jurusan Karawitan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang. Di ucapkan di muka rapat senat terbuka STSI Padangpanjang, 11 Desember 2007 di Padangpanjang.
146
masyarakatnya. Kelompok musik yang pertama bersifat mengikat, disukai atau
tidak disukai harus diterima karena adat membutuhkannya. Ini berarti musik ini
sudah menjadi kelengkapan adat atau sudah menjadi bagian dari sistem adat itu
sendiri. Apabila musik tersebut tidak ada maka adat menjadi tidak sempurna atau
‘rusak’. Musik adat ini hampir tidak banyak mengalami perubahan sepanjang
penyajiannya masih dalam konteks adat. Di luar konteks adat, musik tradisional
Minangkabau ini bisa saja mengalami perubahan.
Musik talempong merupakan kategori musik adat. Keberadaannya dapat
disaksikan misalnya dalam penyelenggaraan adat upacara pengangkatan
penghulu53. Musik talempong atau sekurang-kurangnya sebuah gong yang
dibunyikan dengan pola ritme tertentu biasany dihadirkan sebagai bagian dari
keperluan adat itu. Dalam konteks ini (upacara adat) musik talempong atau gong
tersebut tidak bisa ditukar dengan musik atau alat lain yang meskipun dari segi
musikal lebih meriah dari pada musik talempong.
Fenomena serupa dapat kita jumpai pada upacara tabut di Pariaman.
Upacara ini diiringi dengan musik gandang tambua. Musik ini sejenis musik
ritmis yang ansambelnya terdiri dari sejumlah gandang bermuka dua (double-
headed drum) yang lazim disebut dol atau tambua dan tasa. Gandang tambua
juga digunakan dalam penyambutan tamu dalm konteks adat baik dalam sesi
mengiringi prosesi atau mengiringi (tari) galombang. Dalam konteks yang begini,
maka keberadaan gandang tambua tidak bisa ditukar dengan musik yang lain.
53 Pemimpin suku: diangkat oleh kaum; melindunggi anggota kaum; sebagai hakim; tumpuan harapan kaum. Periksa Amir MS (1997:67-68) dalam buku Adat Minangkabau: Pola dan tujuan Hidup Orang Minang.
147
Adapun musik tradisional Minangkabau yang semata-mata hanya sebagai
tradisi saja hakikatnya tergantung pada selera masyarakat atau selera pasar.
Kehidupan musik semacam ini amat tergantung pada kemampuannya untuk
memenuhi kebutuhan atau memberi arti langsung pada masyarakat berdasarkan
‘sesuatu’ yang diberikan oleh musik tersebut. Oleh karena itu, kelangsungan
hidup musik itu dapat bertahan dalam masyarakat tersebut, sehingga ia menjadi
tradisional di lingkungan mereka (Mahdi Bahar, 2007:16)54.
Musik tradisi ini bertahan dalam masyarakat Minangkabau dimungkinkan
karena hanya musik seperti itulah yang ada pada zamannya. Sekarang musik yang
demikian itu diklaim oleh masyarakat setempat sebagai musik tradisional mereka.
Selanjutnya Mahdi Bahar (2007:16) memaparkan, musik yang tergolong kategori
tradisi adalah seperti misalnya: rabab, salawat talam (dulang), gamat, saluang,
dikia rabano, sampelong, bansi, sijobang, dan sirompak55. Musik-musik tersebut
menjadi tradisi daerah- daerah tertentu di Minangkabau seperti misalnya, musik
gamat dalam kelompok masyarakat di Kota Padang, musik sijobang di
Payakumbuh, musik rabab (biola) dalam masyarakat Pesisir Selatan, dan musik
saluang (darek) terutama dalam masyarakat tiga luhak Minangkabau.
Beberapa musik tradisi Minangkabau ada yang betul-betul berorientasi
pasar dan bersifat komersial. Mahdi Bahar memasukkan Genre musik tersebut ke
dalam kategori musik tradisonal populer Minangkabau. Genre musik yang
terutama masuk pad kategori ini adalah pertunjukan musik salueng darek, di
samping musik salawat talam. Kedua Genre musik ini sering dipertunjukkan
54 Mahdi Bahar. Op. cit. hal.16 55 Mahdi Bahar. Ibid. hal.16
148
dalam rangka hiburan rakyat di samping ada kalanya bertujuan untuk mencari
dana sosial oleh masyarakat setempat.
Kedua, musik Minangkabau populer; Mahdi Bahar memaksudkan kategori
ini sebagai musik dengan prinsip komposisi berazaskan pada ‘ilmu harmoni’ dan
beraspek waktu (duration) linear, serta teks nyanyian berbahasa Minangkabau
sebagai bagian utamanya. Tujuan pokoknya adalah memenuhi selera pasar dan
disebarluaskan melali media rekam. Pencipta lagu-lagu ini umumnya beridentitas
jelas (bukan anonim), memiliki hak cipta pribadi. Durasi satu buah lagu biasanya
berkisar antara 4-7 menit.
Masyarakat Minangkabau merasakan musik Minangkabau populer sebagai
bagian dari in-group-nya. Namun dalam hal ini, musik tersebut tidak terkait
dengan tradisi mereka. Musik atau lagu itu akan bertahan selagi disukai oleh
penggemarnya. Kalau lagu itu idak digemari lagi, bisa saja ia hilang dari
peredaran. Bahkan, masyarakat Minangkabau tidak merasa bertanggung jawab
untuk melanjutkannya sebagaimana halnya musik tradisi mereka; Mahdi Bahar
menggambarkan hal tersebut sebagai seseorang membeli barang, biasanya sangat
tergantung pada suka atau tidak suka. Kenyataan musik seperti ini disimpulkan
oleh Mahdi Bahar sebagai produk industri, yaitu industri yang amat bergantung
pada permintaan dan selera pasar.
Ketiga, musik ‘talempong kreasi baru’; Menurut Mahdi Bahar (2007:17)
musik ini dimainkan dengan ‘ansambel talempong’ menggunakan sistem nada
diatonis dan komposisi musik diolah berdasarkan pada sistem ilmu harmoni. Alat
musik pada ansambel ini adalah talempong, canang, di samping gendang dan alat
149
musik tiup, yaitu saluang, bansi, sarunai, serta ada yang ditambah dengan alat
musik elektronik dan drum set. Ansambel ini dinamai ‘talempong kreasi baru’.
Menurut Mahdi Bahar, nama atau julukan ‘talempong kreasi baru’ adalah
sebagai pembeda dari pada ansambel talempong yang telah mentradisi
sebelumnya, apakah berbentuk ansambel gandang oguang maupun berbentuk
ansambel talempong pacik. Selanjutnya Mahdi Bahar mengatakan bahwa:
“Musik ‘talempong kreasi baru’ merupakan ujung perkembangan evolusioner dari tradisi musik talempong Minangkabau sebelumnya. Munculnya musik ini ialah pada bulan Agustus tahun 1968 dalam kaitannya dengan aktivitas Konservatori Karawitan (Kokar A dan B) jurusan Minangkabau di Padangpanjang, yang berdiri tahun 1965. Sekarang lembaga ini (Kokar B) menjadi Institut Seni Indonesia Padangpanjang”.
Penulis hampir menemukan benang merah dari usaha orang Minangkabau
dalam melestarikan dan mengembangkan budaya musikalnya dengan mendirikan
sebuah institusi pendidikan yang awalnya bernama Konservatori Karawitan
(Kokar). Menurut Kaplan dalam konsep adaptasi, bahwa suatu institusi atau
kegiatan budaya dikatakan fungsional manakala memberikan andil bagi adaptasi
atau penyesuaian sistem tertentu, dan disfungsional apabila melemahkan adaptasi.
Teori Wallace tentang adaptasi menyatakan bahwa adaptasi merupakan proses
penyesuaian diri yang berlangsung turun temurun dan secara prinsip merupakan
sebuah evolusi. Dengan demikian, sebuah adaptasi yang diakomodir oleh sebuah
istitusi akan memunculkan sebuah keunggulan.
Masuknya sistem nada diatonis ke dalam institusi Kokar lambat laun
mempengaruhi musik Minangkabau. Kita mengetahui bahwa sistem nada diatonis
merupakan sitem musikal yang sudah mendunia dan dikenal di berbagai belahan
dunia. Salah satu bukti nyata atas mendunianya pengaruh musik diatonis adalah
150
lagu kebangsaan Indonesia Raya56 yang ditulis oleh WR Soepratman. Penggunaan
sistem nada ini tentunya juga berlanjut pada penggunaan berbagai ragam alat
musik konvensional yang notabene sudah dirancang dan ditala sesuai kebutuhan
sistem nada diatonis. Mau tidak mau, suka atau tidak suka orang Minangkabau
sebagai bagian dari masyarakat global harus mengambil sikap dan memposisikan
dirinya sejajar dengan bangsa lain di dunia ini. Ada beberapa sikap yang mungkin
dimunculkan dalam menghadapi ‘globalisasi diatonis’. Pertama, menolaknya
karena sistem diatonis merupakan produk Barat dan tidak cocok dengan musik
Minangkabau. Kedua, menerimanya dengan tindakan memainkan musik diatonis
saja serta meninggalkan musik Minangkabau. Ketiga, beradaptasi dan mengambil
keuntungan dari sistem nada diatonis demi menggali, membina, dan
mengembangkan kebudayaan Minangkabau.
Mahdi Bahar (2007:18) memapaparkan komposisi alat dalam ansambel
‘talempong kreasi baru’ yang tumbuh di lingkungan ISI Padangpanjang pada
awalnya terdiri dari: talempong melodi, talempong pengiring rendah, talempong
pengiring tinggi, canang pengiring rendah, canang pengiring tinggi, gendang, alat
musik tiup (saluang, bansi, dan sarunai)57. Masing-masing unit talempong
tersusun atas beberapa buah talempong dengan nada-nada sebagai berikut:
1. Talempong Melodi: B-c-d-e-f-g-a-b-c’
2. Talempong Pengiring:
1) Rendah : c-d-e-f
2) Tinggi : g-a-b-c’ 56 Lihat Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. 57 Ibid. hal. 18.
151
3. Canang:
1) Rendah : C-D-E-F
2) Tinggi : G-A-B-c
Sementara itu Mahdi Bahar (2007:18) juga menerangkan bahwa selaian
yang dikembangkan di ISI Padangpanjang masih ada ansambel ‘talempong kreasi
baru’ yang dikembangkan oleh Yusaf Rahman pimpinan Sanggar Tari Syofyani,
komposisinya terdiri dari: gareteh, tingkah, saua, gendang, alat musik tiup
(saluang, bansi, dan sarunai)58. Masing-masing unit talempong tersusun atas
beberapa buah talempong dengan nada-nada sebagai berikut:
1. Talempong gareteh:
E-F-G-A-Bb-B-c-d-e-f-g-a-b-c’
2. Talempong tingkah:
E-F-G-A-Bb-B-C-D
3. Talempong saua:
E-F-G-A-Bb-B-C-D
Menurut Mahhdi Bahar, kedua talempong kreasi baru tersebut cukup
berkembang di kalangan masyarakat Minangkabau, baik yang ada di Sumatera
Barat maupun yang di rantau. Umumnya ansambel talempong ini dimiliki oleh
sanggar-sanggar tari Minangkabau dan digunakan untuk pengiring tari maupun
lagu-lagu Minangkabau Populer. Masyarakat luas sudah terlanjur memandang
ansambel talempong kreasi baru ini sebagai suatu identitas ansambel musik yang
berasal dari Minangkabau.
58 Ibid. hal. 18.
152
Keempat, ‘musik baru’ Minangkabau; bila musik ‘talempong kreasi baru’
merupakan ujung perkembangan evolusioner tradisi musik talempong yang lahir
tahun 1968, maka pada tahun 1981 muncul lagi ‘musik baru’59 (meminjam istilah
Dieter Mack) sebagai perkembangan musik Minangkabau, selanjutnya. Mahdi
Bahar menuliskan sebagai berikut:
“Musik ini adalah garapan bersama Hanefi, Hajizar, Mahdi Bahar, dan beberapa saran dari Muslam Muram yang pada waktu itu mereka adalah mahasiswa ASKI Padangpanjang. Musik ini berupa iringan tari “Pertemuan dua Warna” karya Gusmiati Suid dan sebuah komposisi musik “Batanyo Kabau ka Padati”. Kedua karya tersebut dipertunjukkan pertama kalinya pada Forum Institut Kesenian Indonesia (IKI) di Bandung pada tahun 1981. Penggarapan musik yang bersifat atonal (tidak dalam kunci manapun) ini mengambil materi dan mengolah dari berbagai tradisi musik Minangkabau sebelumnya, meskipun ada tambahan unsur (garap) lain” 60
Penulis menyimpulkan bahwa nama-nama kreator seperti Hanefi, Hajizar,
Mahdi Bahar, dan Gusmiati Suid adalah tokoh-tokoh pertama dari Minangkabau
yang membuat pembaruan dalam penciptaan musik dan tari. Dapat ditandai di sini
bahwa konsep penggarapan musik secara komunal sebagai ciri khas
ketradisionalan masih dipertahankan oleh mereka meskipun garapan musik
mereka sudah memasuki area atonal yang pada budaya asalnya (Eropa, Amerika)
merupakan kreasi yang sangat individual seperti tokoh-tokoh komposer berikut
yang tidak lagi berkarya dengan aturan kunci atau aturan nada, mereka adalah 59 Istilah yang dimunculkan oleh Dieter Mack untuk mengganti istilah ‘musik kontemporer’ di Indonesia yang secara kesejarahan ‘tidak berhubungan’dengan makna kontemporer yang berkembang di Eropa dan Amerika. Baca Sejarah Musik Jilid 4. Hal. 505. 60 Komposisi musik “Batanyo Kabau ka Padati” merupakan karya yang pertama, dan karya kedua adalah “Garak Sirompak” yang dipertunjukkan di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki pada tanggal 20 Maret 1983. Dua karya ini di bawah penanggung jawab Gusmiati Suid sedangkan kreatornya adalah Hanefi, Hajizar, dan Mahdi Bahar; selanjutnya periksa Suka Hardjana, ed., Enam Tahun Pekam Komponis Muda, 1975-1985 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1986), 265-273.
153
Claude Achille Debussy, Arnold Schönbergh, Alban Berg, Anton Webern, dan
Igor Fyodorovitch Stravinsky61. Hal ini menjadi sangat menarik karena sifat
komunal dalam membuat komposisi musik Minangkabau tersebut agaknya masih
dipertahankan hingga saat ini oleh generasi (komposer) setelah mereka dalam
proses penciptaan komposisi musik.
3.8. Mata Kuliah Komposisi Musik di Jurusan Karawitan ISI
Padangpanjang
Elizar Koto memaparkan melalui wawancara, bahwa sejak tahun 2004
terjadi perubahan kurikulum di Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang. Mata
kuliah Komposisi diberikan selama enam semester, yaitu Komposisi I, II, III, IV,
V, dan VI. Hal ini didasarkan atas tingkat kemampuan dan pengalaman yang
pernah dilalui oleh para penyusun kurikulum termasuk Elizar Koto sendiri.
Pertimbangan lain adalah, kesesuaian dengan fasilitas yang ada karena
pembelajaran sangat berhubungan dengan media. Sejak tahun 2004 Jurusan
Karawitan banyak mendapat bantuan fasilitas penunjang perkuliahan dari program
bantuan DUE-LIKE terutama yang berhubungan dengan teknologi komputer dan
alat-alat combo band. Pengadaan media ini sangat mempengaruhi kreatifitas
mahasiswa. Harapan dari jurusan adalah agar mahasiswa tidak hanya berkutat
dalam musik tradisional saja tetapi juga berani mengembangkan ide-ide selain
dari musik tradisional antara lain penguasaan teknologi musik dan combo band
untuk menyikapi perkembangan musik-musik populer.
61 Periksa Sejarah Musik jilid 3, karangan Dieter Mack. Hal. 97-138.
154
Terpenuhinya pengadaan peralatan-peralatan penunjang perkuliahan
bersinergi pula dengan kepulangan beberapa orang dosen Karawitan yang
menamatkan S2 Penciptaan Musik dari ISI Solo (dulu STSI Solo). Mereka adalah
Elizar Koto, Yunaedi, Rafiloza, dan (alm.) Nedy Winuza. Akumulasi ilmu yang
sudah dimiliki, pengalaman-pengalaman akademik selama di Solo, serta tuntutan
musik komersil masa kini disesuaikan dengan lingkungan akademiki di ISI
Padangpanjang hingga muncul kurikulum baru, terutama untuk mata kuliah
komposisi.
Keberadaan komputer dan software musik memberi peluang bagi dosen
dan mahasiswa untuk mengeksplorasi bunyi secara elektro akustik untuk
kebutuhan komposisi musik. Bunyi-bunyi yang tidak mungkin diproduksi secara
manual ternyata bisa dihasilkan dengan perangkat komputer musik. Hal ini sangat
membantu mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman baru dari peralatan non
tradisional tersebut.
Ketersedian pengajar, media, dan fasilitas yang ada di Jurusan Karawitan
misalnya, studio latihan band, laboratorium musik elektro akustik, studio rekam,
dll. sangat memungkinkan berlangsungnya pembelajaran yang memadai hingga
dimunculkannya enam tingkatan perkuliahan komposisi. Elizar memaparkan:
Tingkat pertama berisi tentang dasar-dasar pengetahuan tentang komposisi.
Tingkat Kedua, pendekatan komposisi tradisi Minang karena basis adalah musik
Minang. Tingkat Ketiga, pendekatan musik nusantara terutama musik Melayu
Nusantara. Tingkat Keempat, pendekatan reinterpretasi musik tradisi. Pada tingkat
ini ada kebebasan dalam pengolahan musik dalam arti keluar dari “kungkungan”
155
musik tradisi. Tingkat Kelima, pendekatan musik populer ditandai penggunaan
combo band, world music, dan garapan-garapan populer. Tingkat Keenam,
pendekatan musik techno. Pendekatan ini lebih kepada pemanfaatan perangkat
komputer dan software musik. lebih sering disebut sebagai musik elektro akustik.
Termasuk dalam Tingkat Keenam ini musik-musik eksperimental.
Dampak menarik dari pendekatan-pendekatan musik yang didapat dari
perkuliahan tersebut adalah munculnya garapan musik lintas kultural dari para
komposer. Misalnya, Ecep Taryana seorang Sunda yang berkuliah di ISI
Padangpanjang menggarap musik Sunda tetapi tetap ada nuansa musik tradisional
Minang. Ada juga mahasiswa yang mahir dalam combo band yang kemudian
benar-benar diarahkan pada penciptaan komposisi dengan medium peralatan
combo band (gitar, keyboard, bas, dan dram) contohnya, dua bersaudara Richy
Hendrik dan Betmon Oktivi Paulin mahasiswa yang sangat menyukai permainan
gitar elektrik dan bas elektrik. Mahasiswa yang sangat gemar dengan perangkat
komputer juga diarahkan dan difasilitasi untuk menggarap musik elektro akustik
contohnya, Indra Jaya yang menggarap musik Minang dan mengeksplorasi bunyi-
bunyian tradisional dengan peralatan komputer musik.
Sejak tahun 2010, masa kepemimpinan Mahdi Bahar sebagai Rektor,
terjadi perubahan kurikulum komposisi musik di Jurusan Karawitan menjadi
empat pendekatan, yaitu pendekatan teknik, pendekatan tradisi, pendekatan
reinterpretasi tradisi, dan pendekatan kontemporer/ekperimental (musik
otonom)/musik tari, teater dan film. Hal ini merupakan dampak dari kebijakan
rektor baru tersebut yang “membatasi” pemanfaatan fasilitas kampus. Elizar
156
menyebutkan dalam waktu dekat kurikulum Karawitan akan dikembalikan
kepada sistem enam-tingkat pendekatan yang telah dirancangnya secara bersusah
payah dengan para koleganya sejak tahun 2004.
3.9. Mata Kuliah Musik Barat di Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang
Hafif HR, dalam sebuah wawancara dengan penulis, mengatakan bahwa
mata kuliah yang berhubungan dengan musik Barat yang (pernah) diberikan di
Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang adalah Teori Musik, Solfegio, Harmoni,
Piano, dan Transkripsi Analisis. Latar belakang pendidikan Hafif adalah musik
Barat. Ia seorang pemain horn. Hafif mengajar di Jurusan Karawitan ISI
Padangpanjang sejak tahun 2005.
Sejak tahun 2010 mata kuliah Teori Musik diberikan selama tiga semester.
Teori Musik I berhubungan dengan dasar-dasar pengetahuan musik dan sistem
notasi. Teori Musik II berhubungan dengan tangga nada dan triad. Agak sedikit
unik, ternyata Teori Musik III yang berhubungan dengan harmoni hanya
diperuntukkan bagi mahasiswa bidang Pengkajian sedangkan mahasiswa bidang
komposisi mendapatkan Teori Musik I dan II. Hal ini sangat disayangkan oleh
Hafif. Ia berharap Teori musik I sampai III diajarkan kepada mahasiswa bidang
penciptaan musik. Lebih disayangkan lagi, sekarang Teori Musik hanya dipelajari
selama satu semester saja.
Menurut Hafif, pengetahuan dasar musik yang didapatkan dari perkuliahan
Teori Musik sangat membantu mahasiswa Karawitan ketika mereka menggarap
karya musik. Bahkan terlihat kecenderungan yang makin meningkat di kalangan
157
mahasiswa Karawitan dalam menggarap musik dengan menggunakan sistem
harmoni serta instrumentasi Barat konvensional.
158
BAB IV
IDIOM MUSIKAL MINANGKABAU DALAM KOMPOSISI
KARAWITAN INSTITUT SENI INDONESIA PADANGPANJANG
Penulis membahas dua karya musik dari dua orang komposer. Karya
pertama berjudul Galodo Saluang Panjang yang merupakan karya dari Siswandi
(2004) dan karya kedua berjudul Bagaluik Di Nan Batingkah karya dari Betmon
Oktivi Paulin (2011). Komposisi Galodo Saluang Panjang dianilisis lebih
mendalam untuk menemukan dan membuktikan adanya adaptasi terhadap musik
Barat. Analisis terhadap komposisi Bagaluik Di Nan Batingkah dilakukan sebagai
pembanding untuk membuktikan, bahwa setelah Siswandi ada mahasiswa lain
yang berkarya dengan konsep yang relatif sama bahkan fenomena ini memiliki
kecenderungan yang terus meningkat hingga saat ini.
Analisis terhadap kedua karya ini lebih ditujukan untuk mengetahui hal-
hal apa saja dari elemen, struktur, dan instrumen musik Barat yang digunakan
dalam komposisi musik yang berangkat dari idiom musikal Minangkabau. Hal ini
penting dilakukan dalam penelitian ini agar dapat diketahui secara lebih detail
tentang konsep komposisi musik yang meliputi terminologi komposisi, komposer,
arrangement, dan arranger serta penggunaan elemen, instrumen, dan struktur dari
musik Barat sehingga dapat dipahami sebagai sebuah adaptasi musikal.
Komposisi Galodo Saluang Panjang ini merupakan karya Tugas Akhir
yang cukup fenomenal di masanya, tahun 2004. Siswandi mesti berhadapan
dengan tudingan-tudingan miring sebagai kebarat-baratan karena komposisinya
menggunakan alat-alat musik Barat. Berikut ini kutipan tulisan dari sebuah surat
159
kabar Sumatera Barat yang menggambarkan situasi dan kondisi ketika karya
Siswandi menjadi bahan perbincangan, khususnya di kampus STSI
Padangpanjang:
........Baik Siswandi maupun Yunaidi, S.Sn, M.Sn, tidak mengalami kendala dalam mentransformasikan ide-idenya kepada para musisi yang berlatar belakang musik Barat. Dengan atau tanpa notasi Barat karya ini berhasil dipergelarkan dengan baik. Digunakan atau tidak, notasi musik Barat jangan dijadikan penghalang untuk mentransformasikan ide-ide dari/oleh komposer yang berlatar belakang musik tradisional ke musisi yang berlatar belakang musik Barat. Apalagi membuat dikotomi antara musik Barat dan Tradisional (Timur) hanya dengan alasan digunakan atau tidaknya notasi musik (Barat).
Notasi merupakan catatan di mana ide-ide seorang komposer tertuang. Selain sebagai sebuah dokumen juga untuk lebih memudahkan mengingat elemen-elemen karyanya. Bagi pemain, notasi merupakan panduan belaka, yang jika sudah hafal boleh tidak digunakan. Notasi musik sebagai sarana, tidak pernah punya peranan menentukan arah musik. Dia tidak lebih dari tulisan steno, sejak zaman “neume” di abad ke-8, sampai notasi grafik yang seperti lukisan abstrak. Maka terlalu berlebihan kalau tulis menulis musik dianggap unsur penting dari Barat.
Beberapa mahasiswa yang berlatar belakang musik Tradisional (Karawitan) mengeluh lesu ketika karya musiknya dinilai sebagai sebuah karya musik “Barat” karena komposer menggunakan notasi musik Barat, instrumen Barat, orkestra(?), dan harmoni Barat(?). Timbul sebuah problem. Ada apa dengan musik Barat dan konsep musik Barat? Apakah mengolah komposisi musik dengan menggunakan instrumen musik Barat harus serta merta menggunakan sistem harmoni Barat?......1
........Sebenarnya kita sudah cukup banyak “membaratkan” instrumen-instrumen tradisional kita (Minangkabau), seperti penalaan talempong dengan sistem diatonis dan penalaan saluang atau bansi dengan bantuan chromatic tuner, dan penggunaan sistem harmoni akor dalam permainan Talempong (-Goyang). Kita tidak lagi mengandalkan (percaya diri) kemampuan alamiah indera pendengaran dalam penalaan talempong, saluang, bansi, dsb. lalu kenapa mesti “alergi” dengan semua yang berbau musik Barat? Jati diri budaya kita tidak akan hilang hanya karena lagu kebangsaan kita Indonesia Raya dibuat menurut estetika musik Barat. Bahkan sebaliknya lagu tersebut dapat mempersatukan kita dalam semangat nasionalisme yang kuat. Alasan apa lagi untuk “alergi” dengan musik Barat?......2
1 Erizon Koto, 2005. “Tarik Ulur Musik Tradisi dan Barat: Konsep Berkarya Lintas Disiplin Ilmu Musik di STSI Padangpanjang ”, bagian ke-1 dari 2 bagian. Padang Ekspres, Edisi Minggu, 09 Januari. Hal. 22. 2 Ibid. bagian ke-2 dari 2 bagian. Edisi Minggu, 16 Januari 2005.
160
Sehubungan dengan tulisan di atas, Siswandi pun pernah mengutarakan
keluh kesahnya kepada penulis, karena karya musik untuk Tugas Akhir-nya ini
dipermasalahkan oleh dosen pembimbingnya sebagai karya musik yang tidak
Minangkabau lagi. Bahkan hampir saja ia mengganti karya itu dengan komposisi
lain agar bisa cepat menyelesaikan kuliah. Beberapa teman memberi dukungan
moril dan membantu Siswandi agar ia tetap bersemangat mempertahankan Tugas
Akhir-nya ini.
Sebuah tantangan bagi penulis, bahwa dokumentasi dari karya Siswandi
sulit didapatkan. Penulis tidak menyangka akan terkendala dalam memperoleh
laporan karya komposisi Galodo Saluang Panjang ini, karena penulis menyangka
Siswandi masih menyimpannya. Ternyata, ketika penulis menghubungi Siswandi
via telepon untuk meminjam laporan karyanya yang berisi notasi musik Galodo
Saluang Panjang, Siswandi dengan sangat menyesal mengatakan bahwa dirnya
tidak lagi menyimpan laporan karya itu bahkan juga beserta rekaman audio
visualnya. Benda-benda itu sudah tidak ada sejak setelah Siswandi pulang ke
kampung (Padang Aro, Solok Selatan) setelah menyelesaikan studi di STSI
Padangpanjang. Penulis sedikit kecewa, bagaimana mungkin seorang pemilik
karya musik tidak lagi menyimpan notasi karya musiknya sendiri? Penulis
berharap masih bisa mendapatkan laporan tersebut dari perpustakaan ISI
Padangpanjang. Penulis meminta bantuan seorang teman untuk mencarikan
laporan karya tersebut. Untuk kedua kalinya penulis merasa sangat gusar, karena
di perpustakaan ISI Padangpanjang dan perpustakaan Jurusan Karawitan juga
tidak lagi ditemukan laporan tersebut. Penulis sudah menunggu-nunggu hampir
161
satu bulan untuk bisa mendapatkannya. Akhirnya, penulis mohon kepada salah
seorang dosen Karawitan untuk membantu mencarikan lagi laporan karya
Siswandi tersebut. Dia mencarinya sejak pagi di gudang arsip Jurusan Karawitan.
Menjelang salat Jumat (kebetulan hari Jumat) penulis, di Medan, mendapat
panggilan telepon dari dosen tersebut, bahwa ia telah menemukan laporan karya
yang dimaksud. Penulis merasa lega. Tinggal menunggu laporan itu dikirmkan via
pos kepada penulis di Medan. Namun, rekaman audio visualnya sampai sekarang
belum bisa ditemukan.
Penulis bersyukur, masih bisa mendapatkan notasi musik dari komposisi
Galodo Saluang Panjang. Penulis merasa beruntung karena notasi yang
digunakan oleh Siswandi untuk mendokumentasikan karyanya tersebut adalah
notasi musik konvensional sehingga sangat membantu penulis dalam menganalisis
karya musik tersebut. Notasi tersebut ditulis dengan komputer menggunakan
perangkat lunak encore. Perangkat lunak encore ini lazim digunakan oleh
mahasiswa jurusan musik dan karawitan di STSI Padangpanjang pada masa itu.
Ide musikal Galodo Saluang Panjang ini berangkat dari kesenian saluang
panjang dan dendang yang berasal dari Muara Labuh Kabupaten Solok Selatan
Sumatera Barat. Siswandi menggunakan sebuah dendang (lagu) yang berjudul
Duo-Duo sebagai ide utama materi komposisinya3. Selanjutnya, Siswandi
menyatakan keinginannya untuk menggarap kembali kesenian saluang panjang
menjadi sebuah komposisi baru.
3 Siswandi, 2004. “Galodo Saluang Panjang”: Laporan Karya Seni. Hal. 6.
162
Keinginan Siswandi untuk melakukan sebuah usaha kreatif dan inovatif
dalam karyanya adalah dalam rangka usaha pelestarian dan pengembangan
kesenian saluang panjang. Demikianlah yang dapat disimpulkan dari laporan
karyanya. Siswandi menggunakan pendapat dari Johanes Mardimin sebagai dasar
pemikirannya dalam mengangkat kesenian tradsional berupa lagu yang berjudul
Duo-Duo menjadi sebuah komposisi musik baru. Pendapat Johanes Mardimin
dalam tulisan Triyono Bramantyo “Revitalisasi Musik Tradisi dan Masa
Depannya”, sebagai berikut:
“seni tradisi bukanlah benda mati. Seni tradisi secara kronologis selalu berubah untuk mencapai tahap mantap menurut tata nilai hidup pada zamannya. Dengan demikian seniman dituntut untuk selalu pandai menyesuaikan diri. Pelestarian kesenian tradisi tidak mempunyai keharusan mempertahankan seperti semula. Perubahan sebagai arahan tidak berarti merombak, melainkan membenahi salah satu atau beberapa yang dirasa tidak memenuhi selera masa kini”.
Analisis yang dilakukan terhadap komposisi Galodo Saluang Panjang
meliputi motif, melodi, instrumentasi, harmoni, dan tekstur. Deskripsi analisis ini
menggunakan notasi musik, angka-angka, grafik-grafik, dan keterangan-
keterangan agar lebih mudah dipahami.
4.1. Lagu Duo-Duo dalam Komposisi Galodo Saluang Panjang
Lagu Duo-Duo merupakan ide dasar dari komposisi Galodo Saluang
Panjang. Lagu tersebut disajikan secara utuh dalam Galodo Saluang Panjang.
Selanjutnya, dari lagu Duo-Duo dianalisis unsur-unsur sebagai berikut: 1) tangga
nada, 2) modus, 3) nada dasar, 4) wilayah nada, 5) interval, 6) pola kadens, 7)
163
formula melodi, 8) bentuk, 9) tema, 10) teks dan musik, 11) kontur, dan 12)
meter.
Berikut notasi melodi lagu Duo-Duo yang penulis peroleh dari karya
Galodo Saluang Panjang dalam laporan karya Siswandi:
Gambar 23. Notasi Vokal Lagu Duo Duo.
4.1.1. Analisis tangga nada
Nada-nada yang dipakai dalam lagu Duo-Duo berdasarkan urutan nada-
nada yang muncul dalam lagu adalah: F—C—E—D—G. Dengan demikian
tangga nada ini disebut Pentatonic karena tersusun atas lima buah nada. Tangga
nada pentatonik terdiri dari lima nada, tetapi tidak semua tangga nada yang
berjumlah lima nada bisa dikatakan pentatonik. Susunan interval dalam sebuah
164
tangga nada sangat menentukan penggolongan tangga nada tersebut ke dalam
diatonis atau non diatonis.
Jika lima buah nada tersebut disusun berdasarkan nada terendah ke nada
yang lebih tinggi maka akan didapatkan deretan nada sebagai berikut: G—C—
D—E—F. Jika diamati berdasarkan konsep tetrachord, maka tangga nada yang
digunakan dalam lagu Duo-Duo adalah sebagai berikut:
Gambar 24. Notasi Tetrakord Lagu Duo Duo.
Jika nada-nada disusun berdasarkan urutan tangga nada (scalic) yang
berpusat pada nada C maka didapatkan susunan sebagai berikut:
Gambar 25. Dua Tetrakord Berhimpitan.
Jika tangga nada di atas penulis bandingkan dengan tetrachord diatonis,
maka dapat disimpulkan bahwa tangga nada yang digunakan dalam lagu Duo-Duo
adalah mengandung unsur tetrachord diatonis. Empat buah nada (C-D-E-F)
memenuhi kriteria diatonis, yaitu kombinasi dari dua interval tonos dan satu semi
tonos. Interval C-D = tonos, D-E = tonos, dan E-F = semi tonos.
165
4.1.2. Analisis modus
Kekerapan munculnya nada-nada tertentu dalam sebuah lagu disebut
sebagai modus. Modus yang terdapat dalam lagu Duo-Duo adalah G=4, C=31,
D=2, E=18, F=10. Modus lagu Duo-Duo disusun berdasarkan kekerapan nada
yang paling tinggi hingga terendah yang disimbolkan dengan lambang waktu
relatif (notasi waktu). Not penuh digunakan sebagai simbol untuk menegaskan
nada yang memiliki kekerapan yang paling tinggi disusul dengan not setengah,
seperempat, seperdelapan, dan seperenambelas yang menegaskan nada dengan
kekerapan yang semakin rendah. Kekerapan nada yang muncul dalam lagu Duo-
Duo dapat diamati dari notasi berikut:
Gambar 26. Notasi Analisis Modus.
166
4.1.3. Analisis nada dasar
Tabel 1.
Kuantitas Nada Lagu Duo-Duo
Frase
Nada-nada yang dipakai
Jlh
% G g' C c' D d' E e' F f'
A 2 0 16 0 1 0 9 0 5 0 33 45,5
A' 2 0 15 0 1 0 9 0 5 0 32 54,5
Jlh 4 0 31 0 2 0 18 0 10 0 65 100
Berdasarkan tujuh metode Nettl dalam menentukan nada dasar, maka nada
dasar untuk lagu Duo-Duo adalah:
1. Nada yang paling sering dipakai
Frase A:
Gambar 27. Notasi Nada Yang Sering Dipakai Pada Frase A.
167
Frase A':
Gambar 28. Notasi Nada Yang Sering Dipakai Pada Frase A'.
Nada yang paling sering dipakai adalah nada C yaitu 31kali. Nada C enam
belas kali muncul dalam baris sampiran pantun. Lima belas kali dalam baris isi
pantun. Berikut ini notasi musik lagu Duo-Duo frase A (sampiran pantun) dan
frase A' (isi pantun) dengan nada-nada C (dalam kotak) yang ditandai urutan
kemunculannya dengan angka.
2. Nada yang nilai durasinya paling besar adalah nada C dengan nilai waktu
relatif 3/4:
Gambar 29. Notasi Nada Berdurasi Paling Besar.
168
3. Nada akhir, tengah, atau awal komposisi yaitu nada C-E-G:
Gambar 30. Notasi nada awal, tengah, dan akhir.
4. Nada paling rendah atau tepat di tengah yaitu nada G-C:
Gambar 31. Notasi Nada Paling Rendah dan Tepat di Tangah
5. Nada yang berada pada posisi oktaf yaitu nihil
6. Nada dengan tekanan ritmis paling kuat yaitu nada F-E-C
169
Gambar 32. Notasi Nada dengan Ritme Paling Kuat
7. Nada yang memberikan kesan bahwa lagu telah berakhir
Gambar 33. Notasi Nada Akhir
170
Lagu Duo-Duo berakhir dengan nada C sehingga memberi kesan kuat
bahwa kalimat lagu ini telah selesai disajikan atau berada pada posisi
terminalnya. Akhir dari kalimat lagu ini terdapat pada suku kata terakhir dari isi
pantun yaitu kan. Dengan pertimbangan tersebut maka nada dasar lagu Duo-Duo
adalah C.
4.1.4. Analisis wilayah nada
Berdasarkan teori Ellis satu laras (satu tone) setara dengan 200 cent atau
setengah laras (semitone) setara dengan 100 cent. Berdasarkan perhitungan Ellis
tersebut maka wilayah atau ambitus dari lagu Duo-duo adalah sebagai berikut:
G—C—D—E—F dengan susunan interval
= 2½--1-- 1-- ½
= (500+200+200+100) cent
= 1000 cent.
Jadi ambitus lagu Duo-Duo adalah 1000 cent.
Tabel 2.
Wilayah Nada Lagu Duo-Duo
Nada
paling rendah
Nada
paling tinggi
cent
Laras (tone)
G
F
1000
5
171
Tabel 3.
Ambitus lagu Duo-Duo dalam notasi balok
Nada paling rendah dan paling tinggi
cent
Laras (tone)
1000
5
4.1.5. Analisis interval
Interval ialah jarak antara satu nada ke nada berikutnya, baik dengan arah
gerak naik maupun turun. Berdasarkan hukum interval maka interval-interval
yang ada dalam lagu Duo-Duo dapat dilihat pada notasi dan tabel di bawah ini.
172
Gambar 34. Notasi Interval Lagu Duo Duo
Tabel 4.
Interval Lagu Duo-Duo
Frase
Prim
Sekonde kecil
Sekonde Besar
Ters kecil
Ters besar
Kuart Murni
Total
%
A 19 0 2 0 6 5 32 50,8
A' 18 0 2 0 6 5 31 49,2
Jumlah 37 0 4 0 12 10 63 100
173
Dari notasi dan Tabel di atas dapat diamati bahwa pergerakan nada dari
melodi lagu Duo-Duo didominasi oleh interval yang sempit yaitu prim murni
(perfect first). Lompatan nada yang paling lebar adalah interval kuart murni
(perfetc fourth) yang muncul sebanyak lima kali sepanjang melodi lagu Duo-Duo.
4.1.6. Analisis pola kadens
Sebuah kadens adalah satu kerangka atau formula yang terdiri dari
elemen-elemen harmonis, ritmis, dan melodis yang menghasilkan efek
kelengkapan yang bersifat sementara (kadens tak sempurna, kadens gantung) dan
yang permanen (kadens lengkap, sempurna).
Kadens yang berakhir pada nada tonal disebut kadens sempurna (lengkap),
sedangkan yang berakhir pada nada lain (seperti nada dominan atau sub-dominan)
disebut kadens gantung (tak sempurna). Analoginya dengan kalimat bahasa,
kadens sempurna itu merupakan titik; kadens gantung merupakan tanda tanya atau
titik-koma. Sebuah frase yang berakhir pada kadens gantung (tak sempurna)
disebut frase anteseden dan biasanya kadens seperti ini akan segera pula diikuti
oleh sebuah frase konsekuen yang berakhir dengan sebuah kadens sempurna
(lengkap).
Kasus dalam lagu Duo-Duo adalah sebuah frase melodi A (baris sampiran
pantun) digunakan kembali tetapi sebagai frase A’ (baris isi pantun). Dengan
demikian, kadens dari kedua frase tersebut adalah sama.
174
Gambar 35. Notasi Frase Lagu Duo Duo
Tabel 5.
Posisi Pola-Pola Kadens Lagu Duo-Duo
KADENS FRASE Jumlah
A A’
Anteseden 1 0 1 Konsekuen 0 1 1
TOTAL 2
175
Tabel 6.
Contoh Bentuk Kadens Dari Anteseden dan Konsekuen Lagu Duo-Duo
KADENS FRASE
A
(anteseden)
A'
(konsekuen)
Terdapat kesamaan nada pada kedua kadens dari frase A dan A'. Hal ini
tentunya tidak sejalan dengan ide tentang kadens sempurna dan kadens tidak
sempurna menurut teori musik konvensional. Oleh karena melodi lagu Duo-Duo
tidak dikonstruksi berdasarkan sistem harmoni tonal tujuh nada seperti layaknya
musik diatonis maka sangat sulit untuk menganalisis melodi ini berdasarkan
sistem tersebut. Namun, peran teks atau lirik lagu cukup membantu penulis untuk
menentukan “koma” dan “titik” dari kalimat melodi Lagu Duo-Duo karena teks
lagu memiliki struktur pantun a-b-a-b. Berikut ini petikan pantun lagu Duo-Duo
dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia:
Pado mananam, pado mananam si lobak lambau
(dari pada menanam si lobak lambau)
Elok si sawi to tugakan, elok si sawi to tugakan
(lebih baik sawi kita tugalkan)
Pado manahan hati risau
176
(dari pada menahan hati yang risau)
Elok nagari to tinggakan
(lebih baik negeri kita tinggalkan)
Baris (1) dan (2) di atas merupakan teks untuk anteseden sedangakan baris
(3) dan (4) merupakan teks untuk konsekuen. Jadi, teks lagu dalam satu bait
pantun dapat kita jadikan pedoman untuk menentukan satu bagian utuh kalimat
musik yang terdiri dari anteseden dan konsekuen karena baris keempat dari
sebuah pantun merupakan bagian final.
4.1.7. Analisis formula melodi
Perjalanan melodi lagu Duo-Duo terdidiri dari dua bentuk yaitu bentuk A dan A'.
Perjalanan melodi bentuk A:
Gambar 36. Frase A Lagu Duo Duo
177
Perjalanan melodi bentuk A':
Gambar 37. Frase A' Lagu Duo Duo
Kedua frase memiliki perbedaan dan persamaan. Perbedaan terletak pada
syair lagu sedangkan persamaan terletak pada melodi dari masing-masing Frase.
Perbedaan dan persamaan di antara dua frase ini sangat seimbang sehingga kita
perlu pertimbangan lain untuk menetapkan atau menandai bahwa kedua frase ini
adalah berbeda. Pertimbangan tersebut dapat kita ambil dari perbedaan yang
kontras antara syair lagu pada Frase A dan Frase A'.
Formula Melodi Lagu Duo-Duo:
Tabel 7.
Identifikasi Bentuk (formula melodi) Lagu Duo-Duo
No.Urut BENTUK FRASE
1 A Ke-1 (Frase A)
2 A’ Ke-2 (Frase A')
178
Bentuk A dan A' dianggap sebagai tema yang utuh berdasarkan
kehadirannya dalam komposisi. Melodi dari tema yang utuh ini dapat dinyanyikan
secara berulang-ulang dengan teks (pantun) yang berbeda-beda sehingga lagu
Duo-Duo ini menjadi lebih panjang durasinya karena variasi dari teks.
Dengan adanya persamaan melodi pada birama kedua dari Frase A dan
Frase A' sedangkan teks dapat selalu berkembang (pantun baru) maka formula
melodi lagu Duo-Duo dapat dikategorikan ke dalam bentuk strofik (strophic).
4.1.8. Analisis bentuk lagu Duo-Duo
Lagu Duo-Duo merupakan lagu satu bagian yang terdiri dari dua Frase
yaitu Frase A dan Frase A'. Frase A terdiri dari dua subfrase yaitu Subrase A-a
dan Subfrase A-b. Frase A' terdiri dari dua subfrase yaitu Subfrase A'-a' dan
Subfrase A'-b'.
179
Gambar 38. Notasi Subfrase Lagu Duo Do
1. Frase A (Subfrase A-a dan A-b) :
Subfrase A-a:
Gambar 39. Notasi Subfrase A-a Lagu Duo Do
Subfrase A-a dimulai dengan nada F bergerak empat kali dengan interval
prim murni (perfect first), kemudian bergerak turun ke nada C dengan interval
kuart murni (perfect fourth), nada C bergerak dengan interval prim murni,
180
bergerak naik ke nada E dengan interval ters besar (major third), bergerak ke
nada E dengan interval prim murni, ke nada E lagi dengan interval prim murni,
kemudian bergerak turun ke nada C dengan interval ters besar, kemudian nada C
bergerak dengan interval prim, lalu bergerak naik ke nada D dengan interval
sekonde besar (major second), kemudian bergerak turun ke nada C dengan
interval ters besar, dan terakhir bergerak ke nada C dengan interval prim. Lirik
dari subfrase A-a adalah: pado mananam, pado mananam si lobak lambau.
Subfrase A-b:
Gambar 40. Notasi Subfrase A-b
Subfrase A-b dimulai dengan nada G bergerak naik ke nada C dengan
interval kuart murni, kemudian nada C bergerak naik ke nada E dengan interval
ters besar, nada E bergerak dua kali dengan interval prim murni, lalu turun ke
nada C dengan interval ters besar, lalu nada C bergerak tiga kali dengan interval
prim murni, kemudian nada C bergerak turun ke nada G dengan interval kuart
murni, lalu naik lagi ke nada C dengan interval kuint murni, kemudian nada C
bergerak naik ke nada E, lalu nada E bergerak dua kali dengan interval prim
murni, lalu turun ke nada C dengan interval ters besar, dan nada C bergerak tiga
kali dengan interval prim murni. Lirik dari subfrase A-b adalah: elok si sawi to
tingggakan, elok si sawi to tinggakan.
2. Frase A' (Subfrase A'-a' dan A'-b')
181
Subfrase A'-a':
Gambar 39. Notasi Subfrase A’-a’ Lagu Duo Do
Subfrase A'-a' dimulai dengan nada F bergerak empat kali dengan interval
prim murni (perfect first), kemudian bergerak turun ke nada C dengan interval
kuart murni (perfect fourth), nada C bergerak dengan interval prim murni,
bergerak naik ke nada E dengan interval ters besar (major third), bergerak ke
nada E dengan interval prim murni, ke nada E lagi dengan interval prim murni,
kemudian bergerak turun ke nada C dengan interval ters besar, kemudian nada C
bergerak dengan interval prim, lalu bergerak naik ke nada D dengan interval
sekonde besar (major second), kemudian bergerak turun ke nada C dengan
interval ters besar, dan terakhir bergerak ke nada C dengan interval prim. Lirik
dari subfrase A-a adalah: pada manahan, pado manahan hati risau.
Subfrase A'-b':
Gambar 40. Notasi Subfrase Lagu Duo Do
Subfrase A'-b' dimulai dengan nada G bergerak naik ke nada C dengan
interval kuart murni, kemudian nada C bergerak naik ke nada E dengan interval
182
ters besar, nada E bergerak dua kali dengan interval prim murni, lalu turun ke
nada C dengan interval ters besar, lalu nada C bergerak tiga kali dengan interval
prim murni, kemudian nada C bergerak turun ke nada G dengan interval kuart
murni, lalu naik lagi ke nada C dengan interval kuint murni, kemudian nada C
bergerak naik ke nada E, lalu nada E bergerak dua kali dengan interval prim
murni, lalu turun ke nada C dengan interval ters besar, dan nada C bergerak tiga
kali dengan interval prim murni. Lirik dari subfrase A-b’ adalah: elok nagari to
tinggakan, elok nagari to tinggakan.
4.1.9. Identifikasi Tema (Thematic material) Lagu Duo-Duo
Identifikasi tema (thematic material) ialah unsur-unsur musik yang
dijadikan dasar dari suatu komposisi. Dasar komposisi tersebut disebut motif
yaitu the smallest melodic germ, made of a few tones and rhythms, kesatuan
melodi terkecil yang terdiri dari beberapa nada atau ritme, atau unsur lagu yang
terdiri dari sejumlah nada yang dipersatukan dengan suatu gagasan atau ide. Motif
biasanya selalu diulang-ulang dan dikembangkan dalam suatu komposisi.
Berdasarkan pengertian motif di atas, maka keberadaan syair lagu Duo-
Duo tidak termasuk ke dalam unsur yang menentukan motif. Sebab, motif hanya
ditentukan oleh pitch dan duration (nada dan selang waktu). Dengan demikian,
satu buah frase dari lagu Duo-Duo (frase A saja) sudah bisa mewakili motif-motif
yang terdapat dalam frase A'. Namun, penulis mencermati, bahwa ternyata dengan
berubahnya kata (jumlah suku kata) dari pantun, maka berubah pula motif ritme.
Contoh ini dapat diamati pada motif b1 (bagian lirik sampiran dari pantun) dan
motif b3 (bagian lirik isi dari pantun).
183
Gambar 41. Notasi Motif Lagu Duo Duo
1. Motif a dari frase A dan A':
Gambar 42. Notasi Motif a
Motif a diawali dengan nada F yang bergerak empat kali dengan interval
prim murni.
2. Motif b dari frase A dan A':
184
Gambar 43. Notasi Motif b
Motif b diawali dengan nada C, bergerak satu kali dengan interval prim
murni, kemudian nada C bergerak naik ke nada E dengan interval ters besar, lalu
nada E bergerak dengan interval prim murni.
3. Motif b1 dari frase A dan A':
Gambar 37. Notasi Subfrase Lagu Duo Do
Motif b1 di awali dengan nada C yang bergerak ritmis dengan interval
prim murni, kemudian nada C bergerak naik ke nada D dengan interval sekonde
mayor lalu turun kembali ke nada C dengan interval sekonde mayor, dan bergerak
ritmis dengan interval prim murni.
4. Motif b2 dari frase A dan A':
Gambar 44. Notasi Motif b2
185
Motif b2 diawali dengan nada G, lalu bergerak naik ke nada C dengan
interval kuart murni, kemudian bergerak naik ke nada E dengan interval ters
besar, lalu bergerak ritmis dua kali dengan interval prim murni.
5. Motif c dari frase A dan A':
Gambar 45. Notasi Motif c
Motif c diawali dengan nada C yang bergerak ritmis sebanyak tiga kali
dengan interval prim murni.
6. Motif c1 dari frase A dan A':
Gambar 46. Notasi motif c1
Motif c1 diawali dengan nada C yang bergerak ritmis sebanyak tiga kali
dengan interval prim murni. Nada terakhir mendapat nilai waktu yang lebih
panjang.
7. Motif c2 dari frase A dan A':
Gambar 47. Notasi c2
186
Motif c2 diawali dengan nada C yang bergerak naik dengan interval
sekonde besar, lalu turun lagi ke nada C dan bergerak ritmis dengan interval prim
murni.
4.1.10. Analisis hubungan teks dan musik
Dalam musik vokal terdapat hubungan yang erat antara teks dan musik
(melodi). Ada dua macam bentuk hubungan teks dan musik yaitu silabis (syllabic)
dan melismatis (melismatic). Teknik silabis ditandai dengan satu nada untuk satu
suku kata sedangkan teknik melismatis ditandai dengan dua atau lebih nada untuk
satu suku kata. Contoh berikut menjelaskan hubungan teks dan musik dengan
teknik silabis dan melismatis. Teknik silabis yang dicontohkan adalah cuplikan
dari lagu Maju Tak Gentar karya Cornel Simanjuntak sedangkan teknik
melismatis yang dicontohkan adalah cuplikan dari lagu Satu Nusa Satu Bangsa
karya Liberty Manik. Suku kata Nu mendapat dua nada yaitu A dan G. Kedua
nada tersebut dihubungkan oleh sebuah garis lengkung (legato atau slur).
Contoh teknik silabis:
Gambar 48. Notasi Teknik Silabis
Contoh teknik melismatis:
Gambar 48. Notasi Teknik Melismatis
187
Berdasarkan hubungan antara teks (syair) dan musik yang digunakan
dalam lagu Duo-Duo yang terdapat dalam komposisi Galodo Saluang Panjang
maka dapat dipahami teknik hubungan teks dan musik yang digunakan adalah
silabis. Setiap nada dari melodi lagu Duo-Duo mendapat satu suku kata dari teks
syair. Tidak ditemukan teknik melismatis dalam lagu Duo-Duo yang digunakan
dalam komposisi Galodo Saluang Panjang. Dapat dicermati dari notasi lagu Duo-
Duo berikut bahwa setiap satu nada melodi tepat berpasangan dengan satu suku
kata dari syair lagu.
Gambar 49. Notasi Silabis
4.1.11. Analisis kontur melodi
188
Kontur (contour) adalah garis melodi yang terdapat pada sebuah kompo-
sisi musik yang dapat diidentifikasi berdasarkan pergerakan melodinya dan
diperlihatkan melalui grafik garis. Pada komposisi musik yang relatif panjang,
identifikasi kontur didasarkan pada bentuk melodi musiknya. Berikut ini jenis-
jenis kontur berdasarkan gerak melodi:
a. Gerak melodi naik disebut ascending;
b. Gerak melodi turun disebut descending;
c. Gerak melodi lengkung bergelombang disebut pendulous;
d. Gerak melodi berjenjang disebut terraced;
e. Gerakan-gerakan interval sangat terbatas disebut static.
Kontur lagu Duo-Duo Frase A (Subfrase A-a dan A-b)
Grafik 6. Grafik Kontur Frsae A-a
Grafik 7 . Grafik Kontur Frsae A-b
189
Dengan mengacu pada identifikasi dan gambar kantur di atas, maka kontur
lagu Duo-Duo dapat ditentukan seperti yang tertera dalam tabel berikut.
Tabel 8.
Kontur Melodi lagu Tak Tong Tong
Bentuk Kontur melodi lagu Duo-Duo
Subfrase A-a
Pendulous
Subfrase A-b
Pendulous
4.1.12. Analisis meter
Dalam menganilisis meter dari sebuah lagu atau musik perlu dipahami
beberapa terminologi yang berhubungan dengan “waktu” atau sistem pengukuran
dalam musik. Terminologi tersebut adalah beat, tempo, tempo indications,
measure, time signature, dan meter.4
Beat : A beat is the smalest basic unit of measurement in musical time.
Tempo : tempo is the rate of speed at whiich the beat moves.
Tempo indications : Tempo indications are always provided in a piece of music so
that the performer knows how fast or slow the piece should be performed. Usually
these tempo indications take the form of descriptive Italian terms, but tempo may
also be designated using the more accurate system of metronomic indications.
Measure : beats are arranged into small grouping of accented and unaccented
beats. These grouping, consisting of an accented beat followed by one or more
unaccented beats, are called measure.
4 Ronald Pen, 1992. Introduction to Music. McGraw-Hill, Inc.
190
Time signature : A fractional number representing the meter of a work, which is
indicated at the beginning and subsequently at any meter change. A time
signature consist of two numbers, one above the other. The top number indicates
how many beats are contained in the measure and the bottom number are tells us
which note value recieves each beat.
Meter : A series of measure organized in a repeated pattern.
Dengan mengacu kepada definisi dari terminologi di atas tentang beat,
tempo, tempo indications, measure, time signature, dan meter maka dapat
dihitung meter dari lagu Duo-Duo dalam satuan waktu tertentu (misal, menit).
Dari indikator tempo yang tertera pada lagu Duo-Duo didapatkan
informasi bahwa lagu ini dimainkan dalam tempo Allegro (cepat) dengan asumsi
akurasi kira-kira 110 beat per menit. Time signature 3/4 artinya terdapat tiga beat
dalam setiap measure di mana nilai satu beat diwakili oleh satu buah not ¼.
Jumlah bar adalah 16. Dengan demikian kita dapat mengukur meter atau durasi
(waktu) dalam satu periode dari lagu Duo-Duo dengan lebih akurat.
Diketahui angka Tempo = 110 (=110 beat/menit )
Time signature = 3/4
Jika satu not ¼ sama dengan satu beat dan dalam satu measure terdapat 3
beat maka Time signature adalah ¾.
Jika Measure = 16, maka jumlah beat dalam satu periode lagu Duo-Duo
adalah 16 measures x 3 beat/measure = 48 beat
191
Jika d adalah durasi, maka d berbanding lurus dengan jumlah beat (b) dan
berbanding terbalik dengan tempo (t). Perbandingan tersebut dapat
dipresentasikan dalam sebuah persamaan sebagai berikut:
d = b/t
Jika diketahui tempo t = 110 beat/menit dan beat b = 48 beat, maka
durasi d dapat ditemukan dengan menggunakan persamaan d = b/t.
d = 48 beat : 110 beat/menit
= 48/110 menit
= 0,44 menit
= 0,44 menit x 60 detik/menit
= 26,18 detik.
Jadi durasi satu perioda lagu Duo-Duo adalah 26,18 detik.
4.2. Komposisi Galodo Saluang Panjang
Komposisi Galodo Saluang Panjang, berdasarkan laporan karya seni yang
ditulis oleh Siswandi, terdiri dari tiga bagian. Namun, Siswandi hanya menuliskan
bagian pertama dari karyanya dalam bentuk notasi konvensional di dalam
laporannya tersebut. Secara khusus, bagian pertama inilah yang memuat
instrumentasi dan sistem harmoni musik Barat yang akan dianalisis.
Siswandi beralasan bahwa ia sengaja menuliskan bagian pertama dari
Galodo Saluang Panjang, khususnya untuk instrumen-instrumen musik Barat
agar detail ritme, melodi, harmoni, dan tekstur musik sesuai dengan yang
diinginkannya. Penulis berpendapat, bahwa dengan menganalisis bagian pertama
192
dari karya ini akan cukup didapatkan gambaran bagaimana idiom musikal
Minangkabau yang diolah sedemikian rupa dapat dipahami sebagai sebuah
penyesuaian atau adaptasi musikal dengan merujuk kepada konsep dan teori
adaptasi.
Bagian pertama dari Galodo Saluang Panjang terdiri dari tiga sub bagian.
Penulis menandai masing-masing sub bagian ini dengan abjad A,B, dan C.
Berikut ini skema bagian pertama komposisi Galodo Saluang Panjang.
GALODO SALUANG PANJANG
Siswandi
Gambar 52. Bagan komposisi Galodo Saluang Panjang
4.2.1. Instrumentasi Galodo Saluang Panjang
Berikut ini cuplikan notasi sebagai gambaran untuk melihat jenis-jenis
instrumen serta susunannya yang digunakan oleh Siswandi dalam komposisi
Galodo Saluang Panjang serta susunannya dalam sistem penulisan notasi Barat.
Instrumen musik yang digunakan adalah vokal, saluang panjang, saluang darek,
flute, saksofon alto, saksofon tenor, trumpet, trombon, tuba, talempong, canang,
dan perkusi (gandang tambua, simbal).
193
Gambar 53. Notasi Instrumentasi dalam Galodo Saluang Panjang
4.2.2. Analisis Sub bagian A
Sub bagian A terdiri dari 13 belas birama. Isinya adalah permainan
dendang Duo Duo dengan saluang panjang yang disahuti secara koral oleh flute,
saksofon alto, saksofon tenor, terompet, trombon dan tuba.
194
Berikut ini adalah notasi birama ke-1 s.d. 13 Galodo Saluang Panjang
dalam bentuk skor penuh (full score).
Gambar 55. Full Score birama ke-1 s.d. 13
195
Gambar 56. birama ke-1 s.d. 13
Awal dari komposisi Galodo Saluang Panjang dibuka dengan permainan
saluang panjang tradisional. Permainan saluang panjang pada bagian awal ini
dilakukan sebanyak tiga kali. Setiap bagian akhir dari permainan ini ditutup
dengan:
Gambar 57. Notasi Penutup Ad Libitum Saluang
Penulis membandingkan motif penutup permainan saluang panjang
dengan motif yang terdapat dalam birama kedua dari lagu Duo-Duo berikut:
196
Gambar 58. Motif Dasar Penutup Solo Saluang
Gerakan nada F turun ke nada C di atas, dikembangkan oleh komposer
dengan teknik gerakan descending (menurun) diatonik:
Setiap bagian penutup dari permainan saluang ini direspon oleh flute,
saksofon alto, saksofon tenor, terompet, trombon, dan tuba dengan melodi sebagai
berikut:
Gambar 59. Notasi Respon terhadap Solo Saluang Panjang
197
Motif dari respon di atas adalah pengembangan dari motif lagu Duo-Duo
yang ada pada birama ke-4 s.d. 5. Perhatikan notasi berikut (dalam kotak):
Gambar 60. Motif Dasar Respon
Notasi berikut merupakan condenced score5 Galodo Saluang Panjang
birama ke-1 s.d. 13. Dengan mengecilkan skor maka dengan mudah dapat diamati
garis melodi, harmoni, orkestrasi, dan tekstur.
5 Skor musik yang diperkecil
198
Gambar 61. Condenced Score Birama ke-1 s.d. 13
Garis melodi yang dimainkan oleh saksofon alto merupakan garis melodi
utama yang diharmonisasi dengan instrumen lainnya. Sebagai sampel diambil
notasi garis melodi utama yang terdapat pada birama ke-2 s.d. 4:
Gambar 62. Notasi Garis Melodi Birama ke-2 s.d. 4
Konstruksi harmoni akor I dan V yang terdapat pada birama ke-2 s.d. 4
adalah sebagai berikut:
Gambar 63. Notasi Konstruksi Harmoni Birama ke-2 s.d. 4
Berdasarkan posisi nada-nada penyusun akor, maka susunan harmoni di
atas merupakan open position. Susunan nada dengan interval vertikal yang cukup
199
luas seperti ini memberikan kesan ruang yang relatif luas. Kesan ruang ini akan
bertambah luas lagi dengan teknik orkestrasi paralel oktaf.
Berikut ini cuplikan notasi Galodo Saluang Panjang diambil dari birama
ke-2 s.d. 4 yang secara keseluruhan juga menggambarkan teknik orkestrasi sampai
dengan birama ke-12.
Gambar 64. Notasi Orkestrasi dalam Bentuk Full Score Birama ke-2 s.d. 4
Notasi di atas menggambarkan bahwa saksofon alto dan terompet
memainkan melodi unisono (doubling unison) sedangkan flute memainkan melodi
secara paralel oktaf (octave doubling). Flute, sebagai suara terluar bagian atas,
dengan register nada yang tinggi memberikan kesan bunyi yang cemerlang pada
keseluruhan orkestrasi. Saksofon tenor memainkan harmoni secara paralel ters.
Trombon dan tuba memainkan bas secara octave doubling. Teknik orkestrasi
octave doubling pada trombon dan tuba menghasilkan karakter bunyi yang relatif
tebal dan kokoh.
200
Jalur suara dari cuplikan skor diatas dapat digambarkan dengan skor piano
sebagai berikut:
Gambar 65. Notasi Jalur Suara Birama ke-2 s.d. 4
Terdapat tiga jalur suara dari skor piano di atas. Dari skor piano inilah
orkestrasi dibuat sedemikian rupa oleh komposer sehingga susunan atau scoring
instrumentasinya menjadi seperti notasi berikut ini:
Gambar 66. Notasi Skoring Orkestrasi Birama ke-2 s.d. 4
Flute memainkan jalur suara utama dalam posisi satu oktaf lebih tinggi
terhadap saksofon alto dan terompet secara octave doubling6. Saksofon alto dan
terompet memainkan jalur suara utama dalam posisi asli secara unison doubling7.
Saksofon tenor memainkan jalur suara kedua dalam posisi asli dengan peran
6 Menggandakan melodi dengan interval oktaf. Baca buku Orchestration. Karangan Walter Piston, 1955. Bab XXVI tentang Orchestration of Melody. Hal. 415 7 Menggandakan melodi dengan interval prim. Ibid
201
sebagai suara harmoni. Sedangkan trombone dan tuba memainkan jalur bas dalam
posisi asli secara unisono (unison doubling).
Walter Piston (1955:421-422) menyebutkan bahwa dua instrumen yang
bermain secara unisono bersifat saling menguatkan, meniadakan intensitas tone,
menambah dinamik, dan menghasilkan timbre baru. Octave Doubling dari dua
instrumen sejenis bersifat tidak seimbang karena registernya tidak sama, namun
octave doubling untuk instrumen yang tidak sejenis akan menghasilkan level
dinamik yang lebih kuat dan seimbang serta timbre baru yang lebih jelas.
Orkestrasi di atas dibuat dengan teknis penggandaan garis melodi. Skema
orkestrasi melodinya dapat digambarkan sebagai berikut:
Flute
Alto Sax./Trumpet (unison doubling)
Tenor Sax
Trombone/Tuba (octave duobling)
Gambar 67. Skema Orkestrasi Birama ke-2 s.d. 4
Berikut ini grafik tekstur yang memberikan gambaran lebih jelas tentang
susunan garis melodi, tinggi-rendah nada, dan durasi. Tekstur jenis ini
digolongkan sebagai homofoni atau choir style8 dimana secara ritmis semua jalur
suara bergerak secara bersamaan.
8 Jer.: Chorale, Ing.: Choir merupakan himpunan (jemaat) yang membawakan lagu-lagu jenis himne.
202
Grafik 8. Grafik Tekstur Birama ke-2 s.d. 4
4.2.3. Analisis sub bagian B
Sub bagian B dari Galodo Saluang Panjang dimulai dari birama ke-12 s.d.
54. Dalam sub bagian B ini terdapat permainan vokal yang pola-pola melodinya
merupakan pengembangan dari lagu tradisional dendang Duo Duo. Instrumen
flute, saksofon alto, saksofon tenor, trombon, tuba dan perkusi lainnya
memainkan melodi semacam respon dari permainan vokal.
203
Terdapat permainan solo talempong dengan motif melodi yang dimainkan
berulang-ulang pada birama ke-12 s.d. 17. Motif melodi talempong yang diulang-
ulang adalah sebagai berikut:
Gambar 69. Notasi Talempong Birama ke-12 s.d. 17
Motif di atas merupakan pengembangan dari motif yang ada pada birama
ke-1 s.d. 3 dari lagu Duo-Duo. Motif ritmenya persis sama dengan motif di bawah
ini tetapi nada-nadanya sudah dikembangkan oleh komposer. Perhatikan notasi
dalam kotak dari lagu Duo-Duo berikut ini:
Gambar 70. Sumber Bentuk Dasar Motif Talempong
Jika dibandingkan motif melodi talempong di atas dengan notasi di dalam
kotak dari dendang Duo Duo di atas maka dapat diketahui bahwa nada E dari
dendang Duo Duo sudah dikembangkan menjadi nada F.
Gambar 71. Notasi Pengembangan Motif Talempong
204
Motif repetitif dari talempong ini (mulai dari birama ke-18 s.d. 26)
menjadi latar dari melodi yang dibawakan oleh flute. Saksofon alto dan tenor,
serta terompet secara unisono menirukan melodi flute. Trombon dan tuba melatari
secara harmoni dengan sebuah nada panjang sebagai bas pada setiap barnya.
Susunan instrumen pada birama ke-18 s.d. 26 adalah flute, saksofon alto,
saksofon tenor, terompet, trombon, tuba, dan talempong. Berikut ini adalah
cuplikan notasi Galodo Saluang Panjang birama ke-18 s.d. 26:
Gambar 72. Birama ke-18 s.d. 26
205
Gambar 73. Susunan Instrumen pada Birama ke-18 s.d. 26
Berikut ini adalah condenced score dari birama ke-18 s.d. 26 di atas. Dari
Condenced score ini dapat dipahami skoring orkestrasi yang digunakan untuk
sebuah garis melodi adalah unisono. Dengan jelas dapat kita perhatikan bahwa
206
saksofon alto, saksofon tenor, dan terompet memainkan garis melodi yang sama
dan setingkat.
Gambar 74. Condenced Score dari Birama ke-18 s.d. 26
Skema orkestrasi untuk saksofon alto, saksofon tenor, terompet, trombon,
dan tuba di atas adalah sebagai berikut:
Flute
Saks. Alto/Tenor/Terompet (unison doubling)
Trombon/Tuba (octave doubling)
Gambar 75. Skema Orkestrasi Birama ke-18 s.d. 26
207
Berikut ini adalah grafik tekstur birama ke-22 s.d. 26:
Grafik 9. Grafik Tekstur Birama ke-22 s.d. 26
Berikut ini adalah lanjutan dari bagian B. Melodi pokok pada bagian ini
adalah:
Gambar 77. Notasi Motif Birama ke-26
208
Motif di atas merupakan pengembangan dari motif yang ada pada lagu
Duo Duo. Motif ini diulang-ulang hingga empat kali dan ditutup dengan sebuah
sekuensi yang telah dimodifikasi secara kromatik. Nada terakhir dari motif ini
kembali ke tonik (nada C). Berikut ini motif sekuensi yang dimaksud yang
merupakan sekuensi turun ke tingkat kelima (nada F turun ke Bes):
Gambar 78. Notasi Sekuensi Turun Berasal Motif Birama ke-26
Berikut ini adalah notasi birama ke-26 s.d. 54. Penulis membuat
penggalan-penggalan pada bagian ini untuk memudahkan analisis. Penggalan
pertama adalah birama ke 26 s.d. 33. Melodi yang repetitif ini merupakan
pengembangan dari sub frase pertama lagu Duo Duo. Perhatikan notasi yang
terdapat dalam kotak dan bandingkan dengan potongan melodi yang terdapat pada
birama ke-26. Pengembangan melodi dilakukan dengan penambahan nada E, D,
dan C secara diatonis turun (diatonic descending).
Gambar 79. Notasi Sumber Dari Pengembangan Motif Birama ke-26
209
Gambar 80. Notasi Birama ke-26 s.d. 33
Melodi vokal dengan iringan talempong dari birama ke-26 s.d. 33, seperti
di atas, membentuk tekstur polifoni sederhana. Tekstur ini juga sama dengan
melodi yang terdapat pada birama ke-41 s.d. 46. Grafik tekstur dapat digambarkan
sebagai berikut.
Grafik 10. Tekstur Birama ke-26 s.d. 33
Berikut ini akan dianalisis susunan harmoni dan tekstur dari birama ke-34
s.d. 41. Penulis sengaja membuat penggalan birama ke-34 s.d. 37 secara terpisah
karena adanya perbedaan instrumentasi dengan birama ke-26 s.d. 33 dengan
tujuan untuk memudahkan analisis harmoni dan tekstur.
210
Gambar 82. Notasi Full Score Birama ke-34 s.d. 37
Susunan harmoni birama ke-34 s.d. 37 dapat digambarkan dengan notasi
skor piano berikut:
Gambar 83. Notasi Susunan Harmoni Birama ke-34 s.d. 37
Susunan orkestrasi birama ke-34 s.d. 37 dapat digambarkan dengan notasi
condenced score berikut. Beberapa nama instrumen yang digunakan dalam
orkestrasi birama ke-34 s.d. 37 berupa singkatan, yaitu Fl. (Flute), A. Sax. (Alto
Saxophone), T. Sax. (Tenor Saxophone), Tp. (Trumpet), dan Tlpg. (Talempong).
211
Gambar 84. Notasi Condenced Score Susunan Orkestrasi Birama ke-34 s.d. 37
Skema orkestrasi birama ke-34 s.d. 37 dapat digambarkan sbagai berikut
Flute Alto Sax./Vokal Tenor Sax. Trumpet Talempong Trombone Tuba
Gambar 85. Skema Orkestrasi Birama ke-34 s.d. 37
212
Tekstur birama ke-34 s.d 37 dapat digambarkan dengan grafik berikut:
Grafik 11. Tekstur Birama ke-34 s.d. 37
213
Gambar 87. Notasi Birama ke-38 s.d. 41
Susunan harmoni birama ke-37 s.d. 41 dapat digambarkan dengan notasi
skor piano berikut:
Gambar 88. Notasi Harmoni Birama ke-37 s.d. 41
Analisis rancangan susunan orkestrasi birama ke-37 s.d. 41 dapat
digambarkan dengan notasi piano skor berikut ini:
Gambar 89. Susunan Orkestrasi dalam Bentuk Skor Piano
214
Analisis tekstur birama ke-37 s.d. 41 dapat digambarkan dengan grafik
berikut:
Grafik 12. Grafik Tekstur Birama ke-37 s.d. 41
Birama ke-41 s.d. 54 berikut ini memiliki kesamaan notasi dengan birama
ke-34 s.d. 41, hanya saja berbeda pada teks nyanyian yang digunakan. Dengan
demikian, analaisis melodi, harmoni, orkestrasi, dan teksturnya juga sama.
215
Gambar 91. Birama ke-41 s.d. 46
Analisis tekstur birama ke 41 s.d. 46 di atas sudah terwakili oleh analisis
tekstur birama ke-26 s.d. 29.
Gambar 92. Birama ke-47 s.d. 50
Analisis susunan harmoni birama ke-47 s. d. 50 di atas telah terwakili oleh
Analisis harmoni birama ke-34 s.d. 37. Analisis orkestrasi birama ke-47 s.d. 50
telah terwakili oleh analisis orkestrasi birama ke-34 s.d. 37. Sedangkan analisis
216
tekstur birama ke-47 s.d. 50 telah terwakili oleh Analisis tekstur birama ke-34 s.d.
37.
Berikut ini adalah bagian akhir dari Bagian B komposisi Galodo Saluang
Panjang. Dimulai dari birama ke-50 (birama gantung) s.d. 54.
Gambar 91. Birama ke-51 s.d. 54
Analisis susunan harmoni birama ke-50 s.d. 54 telah terwakili oleh analisis
susunan harmoni birama ke-37 s.d. 41. Analisis susunan orkestrasi birama ke-50
s.d. 54 telah terwakili oleh analisis susunan harmoni birama ke-37 s.d. 41.
Sedangkan analisis tekstur birama ke-50 s.d. 54 telah terwakili oleh analisis
birama ke-37 s.d. 41.
4.2.4. Sub bagian C
Sub bagian C dimulai dari birame ke-54 s.d. 89. Bagian ini ditandai
dengan perubahan tempo dari andante menjadi allegro. Solo ad libitum saluang
217
panjang mengawali bagian ini dengan iringan dari seksi perkusi. Kemudian
masuk vokal yang memainkan potongan frase lagu Duo Duo. Setiap akhir frase
disahuti oleh flute, saksofon alto, saksofon tenor, terompet, trombon, dan tuba
secara koral serta diiringi oleh perkusi.
Sub bagian C diawali dengan solo ad libitum saluang panjang dan perkusi.
Bagian ini dimainkan relatif lebih lama dari pada notasi yang tertulis.
Gambar 92. Notasi Solo Ad Libitum Salauang Panjang
Gambar 93. Notasi Full Score Birama ke-57 s.d. 60
218
Gambar 94. Notasi Full Score Birama ke-61s.d. 64
Gambar 95. Notasi Full Score Birama ke-65 s.d. 68
219
Melodi yang terdapat pada birama ke-57 s.d. 60 merupakan subfrase A-a
dari lagu Duo Duo. Melodi ini merupakan pengembangan dari melodi aslinya
yang dinyanyikan secara terpisah dari setengah subfrase lainnya.
Gambar 96. Notasi Subfrase A-a
Melodi di atas direspon oleh melodi berikut ini yang dimainkan oleh
instrumen tiup secara harmoni.
Gamabar 97. Notasi Respon Birama ke-57 s.d. 60
Secara melodis, melodi di atas merupakan pengembangan dari subfrase
A-b dari lagu Duo Duo. Pengembangan melodi di atas merupakan sekuensi yang
dimodifikasi dari melodi subfrase A-b berikut ini.
Gambar 98. Notasi Subfrase A-b
Berikut ini adalah notasi rancangan susunan orkestrasi dalam bentuk skor
piano dari birama ke-59 s.d. 62. Bagian ini merupakan respon terhadap melodi
220
vokal. Rancangan susunan orkestrasi seperti ini juga berlaku untuk birama ke-65
s.d. 68.
Gambar 99. Notasi Scoring Orkestrasi Birama ke-59 s.d. 62
Skema Orkestrasi dari birama ke-59 s.d. 62 adalah sebagai berikut:
Flute 8 va./Alto Sax.
Tenor Sax./Trumpet
Trombone/Tuba 8 va. Bassa
Gambar 100. Skema orkestrasi
Susunan harmoni dari birama ke-59 s.d. 62 dan birama ke-65 s.d. 68
adalah sebagai berikut:
Gambar 101. Notasi Susunan Harmoni Birama ke-59 s.d. 62
221
Gambar 102. Notasi Susunan Harmoni Birama ke-65 s.d. 68
Tekstur melodi dari birama ke-59 s.d. 62, dapat mewakili tekstur dari
birama ke 65 s.d. 68, adalah sebagai berikut:
Grafik 13 . Tekstur Birama ke-59 s.d. 62
222
Melodi yang terdapat pada birama ke-63 s.d. 66 sama dengan yang
terdapat pada birama ke-57 s.d. 60 hanya saja teksnya berbeda. Dengan demikian
melodi yang terdapat pada birama ke-63 s.d. 66 juga merupakan subfrase A-a.
Respon melodi yang terdapat pada birama ke-65 s.d. 68 secara ritme dan
harmoni relatif sama dengan respon yang terdapat pada birama ke-59 s.d. 62
Notasi birama ke-69 s.d. 76 berikut ini menunjukkan melodi yang
dibawakan oleh vokal.
Gambar 104. Notasi vokal dan Insrtrumen birama ke-69 s.d. 72
Gambar104 . Notasi vokal dan Insrtrumen birama ke-73 s.d. 76
223
Berikut ini adalah notasi vokal birama ke-69 s.d. 76 yang disajikan tanpa
teks lagu. Melodi dua jalur vokal ini merupakan kanon dengan interval oktaf.
Gambar 105. Notasi Vokal Kanon Birama ke-69 s.d. 76
Kanon dari dua vokal ini membentuk tekstur polifoni. Grafik tekstur
kanon dari dua jalur vokal yang terdapat pada birama ke-69 s.d. 76 dapat dilihat
sebagai berikut:
Grafik 14. Vokal Kanon Birama ke-69 s.d. 76
224
Notasi dari birama ke-77 s.d 79 merupakan permainan saluang darek yang
menjadi penghubung antara dendang baris sampiran dan isi dari pantun lagu Duo
Duo.
Gambar 107. Notasi Ad Libitum Salauang Birama ke-77 s.d. 80
Notasi berikut adalah bagian penutup dari komposisi Galodo Saluang
Panjang bagian I. Komposer hanya menuliskan notasi Galodo Saluang Panjang
hingga bagian ini dalam laporan karyanya. Sedangkan dua bagian lain (II dan III)
tidak dituliskan notasi musiknya, yang ada hanya deskripsi komposisi.
Melodi yang terdapat pada birama ke-80 s.d. 89 juga merupakan
pengembangan dari subfrase A-b dari lagu Duo Duo.
225
Gambar 108 . Notasi Tutti Birama ke-80 s.d. 83
Gambar 109 . Notasi Tutti Birama ke-84 s.d. 89
226
Susunan harmoni birama ke-80 s.d. 89 adalah sebagai berikut:
Gambar 110. Notasi Susunan Harmoni Birama ke-80 s.d. 89
Susunan orkestrasi dalam bentuk skor piano dari birama ke-80 s.d. 89
dilanjutkan s.d. birama ke-89 adalah sebagai berikut:
Gambar 111. Scoring Orkestrasi Birama ke-80 s.d. 89
Tekstur birama ke-80 s.d. 89 adalah sama oleh karena itu grafik tekstur
dapat dipresentasikan dari birama ke-84 s.d. 89 saja.
227
Grafik 15. Tekstur Birama ke-84 s.d. 89
4.3. Gua Cak Din Din Dalam Komposisi Bagaluik Di Nan Batingkah
Cak Din Din merupakan nama pola ritme dalam permainan talempong
pacik. Prinsip permainan dari kesenian talempong pacik adalah dengan cara
228
interlocking yaitu, prinsip permainan yang saling isi mengisi antara tiga orang
pemain talempong yang mana dalam permainannya, setiap pemain memakai pola
atau motif nada yang berbeda. Talempong I disebut talempong anak, talempong II
disebut talempong paningkah, dan talempong III disebut talempong dasar.
Pada umumnya instrumen talempong pacik terdiri dari:
1. Instrumen talempong yang membawakan “ritme dasar” atau disebut juga
dengan talempong dasar atau talempong jantan. Talempong jantan terdiri
dari dua buah talempong dan kadangkala ada yang menggunakan satu
talempong. Motif talempong jantan bersifat konstan dan sangat berpengaruh
dalam membentuk karakter gua (lagu).
2. Instrumen talempong yang berfungsi sebagai paningkah. Talempong
paningkah ini biasa disebut dengan talempong batino. Talempong batino
merupakan intrumen yang mengisi bahagian motif yang kosong dari, motif
talempong jantan yang dimainkan dengan cara interlocking atau dengan cara
saling isi mengisi. perpaduan dari kedua motif akan memberikan kesan
sinkopasi yaitu kesan motif yang mana jatuh ketukannya dibagian atas atau up
beat, walau pun talempong paningkah tersebut di kembangkan secara spontan.
3. Instrumen talempong pangawin. Talempong pangawin dalam permainannya
berfungsi sebagai penjalin antara permainan motif talempong jantan dan
motif talempong batino.
Talempong pacik gua cak din-din merupakan ide garapan dalam
komposisi Betmon. Fokus garapannya lebih ditekankan pada pola pangawin yang
terdapat pada permainan gua cak din-din yang ditafsirkannya ke gaya musik
229
funky. Elemen-elem Pola pangawin yang terdapat pada gua cak din-din digarap
oleh Betmon melalui gaya musik fuky dengan menggunakan alat-alat musik
combo band dan alat musik tradisional Minang. Betmon melakukannya dalam
bentuk pengembangan ritme, nada-nada, dan juga pengolahan tempo, dinamik,
unisono, heterofoni, call and respon dengan mengolah pola pangawin gua cak
din-din ke dalam gaya musik funky. Alat combo band yang ia gunakan adalah
keyboard, gitar elektrik, gitar bas, dan dram.
Gambar 113. Notasi Pola Ritme Gua Cak Din Din
Betmon menulis dalam laporan karyanya, bahwa konsep musikal dari
Gua Cak Din Din yang terdapat di Nagari Pitalah Bungo Tanjuang mempunyai
konsep yang sama dengan konsep musikal musik populer gaya funky, yaitu
aksentuasi ritmis yang jatuh pada up beat. Funky merupakan sebuah gaya (style)
dalam bermain musik. pola melodi dan ritme yang dimainkan gitar bas dan dram
selalu up beat. Konsep ini merupakan sebuah karakter dalam permainan gitar
bass, karakter tersebut terdapat pada teknik slap pada gitar bass.
230
Gambar 114. Pola Ritme Bas Meniru Talempong Paningkah Dalam penggarapan komposisi “Bagaluik Di Nan Batingkah”ini Betmon
mengaku menggunakan pendekatan world musik yakni format dari musik tradisi
yang pengembanganya menjadi satu kesatuan ke dalam musik funky, idiom dan
medium tradisi juga menyatu ke dalam teknik tersebut.
Instrumen yang digunakan dalam komposisi ini berupa alat musik combo
seperti gitar elektrik, gitar bas elektrik, dram, keyboard, biola, cello, talempong,
alat musik tiup dan beberapa intrumen musik lain.
4.3.1. Bentuk musik Bagaluik Di Nan Batingkah
Karya ini secara struktur terbagi atas tiga bagian dan dideskripsikan
sebagai berikut:
A. Bagian awal
Bagian awal penyusunan karya komposisi ini difokuskan pada permainan
talempong pacik gua cak din-din dan pupui gadang secara tradisi kemudian satu
persatu intrumen seperti bass, dram, keyboard, biola, dan konga masuk ke dalam
permain talempong pacik tersebut sampai di beri kode oleh jimbe dan semua
intrumen bermain unisono yang di sambut pemain bas memainkan pola
pengembangan dari gua cak din-din yang di alas dengan unisono oleh instrumen
yang di sela pola bass. Setelah itu semua instrumen bemain bersama pola
pengembangan gua cak din-din tersebut di bagian ujung dari unisono bersama
231
memakai metrik tujuh untuk memberi nuansa-nuansa yang berbeda pada setaip
peralih-peralihan ke bagian kedua.
B. Bagian tengah
Bagian ini di mulai setelah unisono bersama semua instrumen di sambut
gitar bas bermain gaya funky memakai metrik 7, intrumen melodis yang lain
yang beri alas nuansa-nuansa gua cak din-din pada saat gitar bass memainkan
pola funky, kemudian pola pangawin gua cak din-din dimain kan gitar melodi
untuk menambah suasana dalam permainan bersama, pada bagian ini instrumen
perkusi bermain heteroponi dengan intrume melodis untuk jembatan ke bagian
tiga yang langsung di sambut permainan unisono semua instrumen.
C. Bagian akhir
Bagian akhir karya permainan gitar melodi mengeksplorasi gua cak din-
din denga memain kan satu strutur melodi yang sudah di kembangkan di alas
dengan intrumen lain pada bagian ini prrkusi bermain solo dengan pola-pola
konga untuk jembatan ke permainan heterofoni yang memain kan pola-pola
penggalan dari gua cak din-din untuk menampakan kesamaan pola yang terdapat
pada musik gaya funky, yang di akhiri pola unisono semua instrumen dan selesai.
Betmon memiliki tujuan umum dan khusus dalam komposisi Bagaluik Di Nan Batingkah.
Tujuan umum:
1. mewujudkan bentuk komposisi “Bagaluik Di Nan Batingkah” hasil dari
garapan dua unsur musik yang berbeda yakni, unsur musik tradisi dengan
unsur musik bergaya funky.
232
2. mewujudkan bentuk dari hasil pengolahan pola pangawin dalam gua cak din
din dengan memakai teknik musik bergaya funky.
3. Untuk mewujudkan sebuah karya yang bersumber dari gua cak din din
dengan teknik funky sesuai dengan tuntutan seni pertunjukan.
Tujuan khusus:
1. Untuk menambah wawasan pengkarya dalam mewujudkan sebuah konsep
pemikiran melalui garapan komposisi terutama, komposisi karawitan
Minangkabau.
2. Untuk lebih memahami berbagai fenomena yang memberi peluang untuk
dikembangkan ke dalam berbagai bentuk komposisi karya seni.
3. Untuk menambah referensi pengkarya dalam berolah seni terutama kesenian
tradisional Minangkabau.
4. Sebagai persyaratan untuk mencapai gelar S1 di Institut Seni Indonesia
Padangpanjang.
Dari uraian di atas, gua cak din din menjadi inspirasi bagi Betmon dalam
komposisinya yang berjudul “Bagaluik Di Nan Batingkah”. Dalam konteks
berkesenian kata “Bagaluik” mengandung makna perpaduan antara dua musikal
yang berbeda maupun sama yang kemudian kedua musikal tersebut disatukan
dalam satu jalinan melodi dan ritme, dua musikal yang dimaksud adalah
talempong pacik dan musik funky. Sedangkan kata “Batingkah” yang dimaksud
adalah bentuk dari jalinan ritme yang dihasilkan oleh teknik permainan
interlocking atau teknik permainan yang saling isi mengisi.
233
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Idiom musikal Minangkabau telah menjadi dasar bagi pengembangan ide-
ide musikal para mahasiswa Karawitan ISI Padangpanjang. Dalam menuangkan
ide-ide tersebut mereka menggunakan pendekatan-pendekatan yang berasal dari
musik Barat atau musik-musik populer yang juga berasal dari Barat. Mereka
mengadaptasi sistem tangga nada, sistem harmoni, teknik orkestrasi, tekstur,
instrumentasi, dsb. dalam upaya mengembangkan garapan musik dan sekaligus
memperkaya perbendaharaan dan keragaman musik Minangkabau.
Kenyataan secara umum telah menunjukkan bahwa orang Indonesia telah
sangat familiar dengan musik diatonis sebagai konsekuensi dari politik pendidikan
nasional dan pergaulan internasional Indonesia yang telah mereka alami sejak
indera pendengaran musikalnya mulai berfungsi. Sifat familiar terhadap musik
diatonis ini mempengaruhi karya musik para komposer dan arranger khususnya
mahasiswa Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang.
Dua karya yang penulis analisis yaitu Galodo Saluang Panjang dan
Bagaluik Di Nan Batingkah menunjukkan kecenderungan ke arah pengadaptasian
musik Barat. Karya Siswandi Galodo Saluang Panjang lebih cenderung
memanfaatkan teknik-teknik harmonisasi, orkestrasi, tekstrur, dan instrumentasi
gaya musik Barat. Sedangkan, karya Betmon Oktivi Paulin Bagaluik Di Nan
Batingkah lebih cenderung memanfaatkan teknik-teknik permainan instrumen
234
combo band dalam bentuk-bentuk improvisasi bebas tetapi masih dalam konteks
pengembangan idiom musikal Minangkabau.
Berpedoman dari hasil analisis maka dapat disimpulkan bahwa
pemahaman tentang batasan terminologi kata komposisi dan aransemen masih
belum dipahami dengan cara seksama oleh para komposer maupun para penggiat
karawitan lainnya di ISI Padangpanjang. Dua karya musik yang penulis analisis
masih menunjukkan kerancuan terhadap pemahaman antara kata komposisi dan
aransemen. Mereka cenderung beranggapan bahwa setiap karya musik adalah
karya komposisi. Penulis berpendapat sangat perlu penegasan batasan tentang
terminologi komposisi dan aransemen agar jelas pula perbedaan antara orang yang
meng-kompos musik dengan orang yang meng-aransemen musik, demi tegaknya
keilmiahan dalam sebuah lembaga akademik maka.
Penulis mendapati dari kedua buah karya, dalam Galodo Saluang Panjang
dan Bagaluik Di Nan Batingkah penggunaan karya musik (bentuk) yang sudah
pernah ada. Dalam karya Galodo Saluang Panjang masih didapati adanya lagu
Duo Duo yang merupakan lagu tradisional dari Muara Labuh. Dalam karya
Bagaluik Di Nan Batingkah juga terdapat permainan talempong cak din din yang
merupakan permainan talempong tradisional Minangkabau. Hal ini tentulah
bertentangan dengan konsep komposisi yang mengafiliasikan bentuk.
Penulis menemukan dari hasil analisis bahwa adanya pengembangan
musikal dengan menggunakan elemen musik Barat dalam bentuk skala nada
diatonis dan tone color (timbre, warna bunyi) dalam wujud instrumen musik
235
Barat. Selain itu juga terdapat penggunaan struktur musik Barat dalam bentuk
harmoni dan tekstur.
Berdasarkan hasil analisis penulis mendapati dalam karya Galodo Saluang
Panjang bagian-bagian melodi yang diharmonisasi dan dimainkan dengan
instrumen musik Barat, seperti flute, saksofon alto, saksofon tenor, terompet,
trombon, dan tuba. Demikian juga dalam karya Bagaluik Di Nan Batingkah
terdapat penggunaan gitar elektrik, bas elektrik, dan keyboard.
Kesimpulan penting dari penelitian ini adalah:
1. Adanya persepsi yang kurang tepat terhadap pengertian istilah komposisi.
Pengertian komposisi yang berkembang di Jurusan Karawitan ISI
Padangpanjang menjadi rancu jika dibandingkan dengan pengertian istilah
aransemen. Kecenderungan yang muncul adalah bahwa setiap karya musik
karawitan yang dibuat oleh seseorang selalu disebut dengan istilah komposisi.
Hal ini terjadi pada dua buah karya musik yang penulis analisis. Sebagai
contoh, karya Galodo Saluang Panjang nyata-nyata masih menggunakan
struktur melodi yang sudah pernah ada yaitu lagu Duo-Duo dan pada lembar
pertama full score-nya tertulis kata “Notasi Komposisi”. Demikian juga halnya
dalam karya Bagaluik Di Nan Batingkah yang nyata-nyata masih
menggunakan pola ritme permainan talempong tradisional Cak Din Din yang
dikembangkan dengan permainan combo band.
Dalam hal proses penggarapan karya musik ada kecenderungan
menggarap secara kolektif. Sebuah ide musikal musik akan dikerjakan (diolah)
beramai-ramai oleh para pemusik di bawah kendali si “komposer”. Cara
236
penggarapan seperti ini memiliki kecenderungan masuknya pemikiran-
pemikiran orang lain sehingga hasil garapan musik tersebut tidak sepenuhnya
murni dari hasil kreatifitas si pemilik (penggarap) karya tersebut. Padahal nama
yang muncul sebagai pemilik karya musik adalah atas nama seseorang saja,
misalnya “Galodo Saluang Panjang, komposer: Siswandi”.
2. Terdapat penggunaan elemen dan instrumentasi musik Barat dalam karya
musik karawitan berupa harmonisasi berdasarkan akor triad dalam bentuk
tekstur homofoni dan polifoni serta penggunaan instrumen flute, saksofon alto,
saksofon tenor, terompet, trombon, tuba, gitar, gitar bas, keyboard dan drum
set.
Penggunaan harmonisasi dan instrumentasi musik Barat ini tentunya
membuat suatu karya musik karawitan terdengar tidak lagi seperti aslinya
karena sudah mendapat tambahan perlakuan diluar dari yang biasa ada secara
tradisional. Namun hal ini secara sadar dilakukan oleh si pembuat karya musik
dan telah diakui secara akademis oleh ISI Padangpanjang.
3. Musik Minangkabau beradaptasi dengan musik Barat. Musik Barat sebagai
musik dari luar budaya Minangkabau merupakan musik yang berasal dari
kebudayaan Eropa dan Amerika yang paling luas pengaruhnya di dunia.
Domonasi ini membuat musik Minangkabau harus menentukan pilihan
beradaptasi atau tidak.
Dalam konteks akademis di ISI Padangpanjang telah terjadi adaptasi
karawitan Minangkabau terhadap musik Barat dalam bentuk karya musik.
Bentuk adaptasi itu dapat terlihat dari penggunaan harmoni, tekstur, dan
237
instrumentasi. Adaptasi harmoni berupa penggunaan kombinasi nada-nada
yang berbasis pada akor triad. Adaptasi tekstur berupa kombinasi (anyaman)
garis-garis melodi yang membentuk tekstur homofoni dan polifoni .
Hasil menarik lainnya yang muncul dari penelitian ini adalah fenomena
akademik sehubungan dengan tidak adanya mata kuliah khusus yang bisa
menjembatani, menunjang, dan memperkaya kreatifitas mahasiswa karawitan
dalam berkarya dalam konteks pengembangan idiom musikal Minangkabau
dengan pemanfaatan ilmu musik Barat. Mata kuliah penunjang itu dapat berupa
teori harmoni, orkestrasi dan instrumentasi, dan kontrapung. Meskipun dengan
ketiadaan mata kuliah khusus tentang teori harmoni, orkestrasi dan instrumentasi,
dan kontrapung, namun terlihat adanya gairah dari mahasiswa Jurusan Karawitan
untuk berkembang dan mempelajari keilmuan selain dari bidang khusus yang
mereka kuasai secara akademik.
5.2. Saran
Musik diatonis atau musik Barat telah mendominasi musik dunia. Musik
Barat merupakan musik yang paling berpengaruh dan sangat dominan Bahasa
musikal yang kita gunakan saat ini berkembang dari dunia Barat, dan musik Barat
memiliki tingkat eksplorasi atas kemungkinan-kemungkinan musikal yang
ekstensif, agresif, dan kritis. Oleh karena itu sangat perlu untuk:
238
1. Selaraskan konsepsi secara global dengan musik Barat terutama masalah-
masalah tentang terminologi komposisi . Kesamaan pemahaman tentang
sebuah konsepsi akan memudahkan komunikasi dengan pihak lain.
2. Masukkan beberapa mata kuliah khusus dari musik Barat ke dalam kurikulum
Karawitan ISI Padangpanjang. Beberapa mata kuliah tersebut adalah Teori
Harmoni, Orkestrasi dan Instrumentasi, dan Kontrapung.
3. Tetap menggali dan mengembangkan idiom musikal Minangkabau dan
beradaptasi dengan musik Barat karena secara musikal sistem pertangganadaan
Karawitan Minangkabau lebih dekat ke konsep tetrahord diatonis musik Barat
ketimbang musik lainnya yang ada di dunia.
Sebagai penutup dari kesimpulan dan saran ini ada beberapa hal menarik
yang juga perlu diungkap di masa mendatang adalah: Pertama, sejauh mana
peran Hatta sang proklamator secara politis dalam penyebaran musik diatonis
khususnya di Minangkabau. Kedua, bagaimana hubungan skala nada diatonis
yang ada di minangkabau dengan mitos orang Minangkabau yang menganggap
bahwa mereka adalah keturunan Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great) dari
Banuruhum (Romawi).
239
DAFTAR PUSTAKA
AY, Suroso, dkk. Ensklopedi Sains dan Kehidupan. Jakarta: Tarity Samudra Berlian, 2003.
Blatter, Alfred. Instrumentation/Orchestration. New York : Schirmer Books, 1980.
Benjamin, Thomas. Music for Analysis. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1992.
Butterworth, Anna. Harmony in Practice. The Associated Board of the Royal of Music (Publishing) Limited, 2002.
Ching Ching, Lee. Guidelines on Instrumen of the Orchestra. Penang: Rhythm Publising Co. SDN. BHD, 1996.
Dale, Benyamin, at all. Harmony, Counterpoint, and Improvisation. Novello, 1940.
Delamont, Gordon. Modern Arranging Technique. New York: Kendor Music. Inc. delevan, 1965.
Djaelani, Yoesbar. Langkisau dan Simarantang, Laporan pergelaran seni. Akademi Seni Karawitan Padangpanjang, 1991.
Fontaine, Paul. Basic Formal Structure in Music. New York: Appleton-Century-Crofts.
Forsyth, Cecil. Orchestration. New York: Dover Publication, Inc., 1982.
Hindemith, Paul. A Concentrated Course in Tradisional Harmony. New York: Schot Music Corporation, 1944.
Hardjana, Suka. Antara Kritik dan Apresiasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004
Hardjana, Suka. Esai dan Kritik Musik. Yogyakarta: Galang Press, 2004.
Hardjana, Suka. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta: MSPI, 2003.
Irwansyah. World Music dan Kreatifitas Penciptaan Musik. Medan: dinas Kebudayaan dan Pariwisata UPT Taman Budaya, 2013.
240
Kaplan, David. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Kawakami, Genichi. Arranging Popular Music: a Practical Guide. Japan: Yamaha Music Foundation.
Kennan, Kent Wheeler. The Technique of Orchestration. New Jersey: Englewood Cliff, Prentice-Hall, Inc. 1970.
Kerman, Joseph. Listen. New York: Worth Publishers, Inc., 1987.
Khan, Hazrat Inayat. Dimansi Mistik Musik dan Bunyi. Yogyakarta: pustaka Sufi, 2002.
Kitson, C.H. The Art of Counterpoint. Oxford: The Clarendon Press, 1950.
Kostka, Stevan dan Payne Dorothy. Tonal Harmony. New York: McGraw-Hill, 1995.
Manurung, Andi K. “Musik Dalam Ibadah Kontemporer Di GBI Medan Plaza”. Tesis Magister Jurusan Penciptaan dan Pengkajian Seni FIB USU, 2011.
Mender, Mona. Music Manuscript Preparation a Concise Guide. London: The Scarecrow, 1991.
Meriam, Alan P. Anthropology of Music. Blomington: Indiana University Press, 1964.
Ngurah, Budi. Orkestrasi. ISI Yogyakarta.
Ottman, Rober W. Advanced Harmony Theory and Practice. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Englewood Cliff, N.J., 1961.
Ottman, Rober W. Elementary Harmony. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Englewood Cliff, N.J., 1961.
PaEni, Mukhlis. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni Pertunjukan Dan Seni Media. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Pen, Ronald. Introduction to Music. New York: McGraw-Hill, Inc., 1992.
Persichetti, Vincent. Twentieth Century Harmony. London: Faber and Faber Limited 3 Square.
Piston, Walter. Harmony. New York: McGraw-Hill, Inc., 1978.
Piston, Walter. Orchestration. New York: W.W. Norton & Company, 1955.
241
Reed, Owen H. Basic Contrapuntal Technique. New York: Mills Music, Inc., 1964.
Sugiharto, Bambang. Untuk Apa Seni? Bandung: Penerbit Matahari, 2013.
Susantina, Sukatmi. Nada-Nada Radikal: Perbincangan Para Filsuf Tentang Musik. Jogjakarta: Panta Rhei Books, 2004.
Sylado, Remy. Menuju Apresiasi Musik. Bandung: Penerbit Angkasa, 1983.
Yong, H.S. Guidelines on Technical Terms and Musical Devices used in Musical Composition. Penang: Rhythm Publishing Co. Sdn. Bhd., 1994.
Rabab Pesisir
Bansi
Bansi
Ruang Penyimpanan Alat
Ruang Penyimpanan Peralatan Karawitan
Ruang Penyimpanan Talempong
Sarunai
Gandang Tambua
Rabab Darek
Rabab Darek
Ruang Penyimpanan Alat Musik
Studio Band
Peralatan Drum Set
Gedung Program Studi Seni Karawitan
Praktek Talempong
Praktek Gendang
Ruang Kuliah Teori
Ruang Seminar Mahasiswa Karawitan
Halaman Depan Jurusan Karawitan
Gedung Praktek Musik
Beberapa foto dokumentasi pertunjukan Bagaluik Di Nan Batingkahkarya Betmon
Betmon dkk.
Talempong Funky
Alat-alat tradisional dan combo band