100

ijurnal.stikesmuhla.ac.id/wp-content/uploads/2018/04/ACLS.pdf~ ii ~ KATA PENGANTAR Tim Pelatihan RS Muhammadiyah dibentuk pada awal tahun 2016 sebagai salah satu upaya tindak lanjut

Embed Size (px)

Citation preview

~ i ~

~ ii ~

KATA PENGANTAR

Tim Pelatihan RS Muhammadiyah dibentuk pada awal tahun 2016 sebagai

salah satu upaya tindak lanjut kerjasama antara Pimpinan Wilayah Muhammadiyah

(PWM) Jawa Timur dan Temasek Foundation Singapore dalam meningkatkan

kapasitas dokter umum yang bekerja di rumah sakit Muhammadiyah/ Aisyiah Jawa

Timur.

Sebuah buku saku didefinisikan sebagai panduan lengkap atau buku referensi

yang menyediakan informasi spesifik atau instruksi mengenai subyek atau tempat.

Kami tidak menerbitkan buku teks Advanced Cardiac Life Support (ACLS) lengkap

karena buku yang demikian sudah tersedia dari American Heart Association (AHA)

dan organisasi serupa. Sebaliknya, kami merasa bahwa keberadaan suatu buku

saku menjadi lebih ideal karena mudah dibawa, mudah dibaca, dan mengandung

semua informasi yang merupakan inti dari ACLS dan ditulis dalam bentuk yang lebih

relevan secara lokal.

Langkah pertama pembuatan modul pelatihan ini adalah menerjemahkan dari

buku saku ACLS yang dikeluarkan oleh Tan Tock Seng Hospital, Singapore.

Langkah berikutnya adalah mengedit dan menyesuaikan konten dengan panduan

AHA 2010, masukan dari para peserta pelatihan Training of Trainer (ToT) ACLS,

dan mesin yang dipakai yaitu Zoll R Series. Pembuatan modul pelatihan ini

merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga. Dukungan dari teman – teman

sejawat dan para ahli juga sangat berharga bagi kami.

Modul pelatihan ini dibagikan kepada seluruh peserta sebelum pelatihan agar

peserta memiliki waktu yang cukup untuk membaca materi. Seluruh peserta

diharapkan membaca modul pelatihan ini sebelum menghadiri pelatihan ACLS.

Modul pelatihan ini tidak menggantikan buku teks ACLS yang diterbitkan oleh

American Heart Association, ILCOR 2011 atau organisasi sejenis dan kami

mendorong seluruh peserta untuk membaca keseluruhan buku teks untuk detail dan

pemahaman lebih lanjut.

Tim Pelatihan RS Muhammadiyah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

~ iii ~

MODUL PELATIHAN

ADVANCED CARDIAC LIFE SUPPORT 2016

©2016 Tim Pelatihan Rumah Sakit Muhammadiyah Jawa Timur

Cetakan Pertama, Dzulhijjah 1437/ September 2016

Tim Penyusun:

Life Support Training Program Tan Tock Seng Hospital

Tim Editor :

dr. Corona Rintawan

dr. Zuhdiyah Nihayati

Farida Juanita, Ns., M.Kep.

Desain Cover dan Layout :

Hendrix Irawan, SE., MM.

~ iv ~

Kerjasama antara:

Temasek Foundation Singapore dan

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

Disponsori oleh:

MAJELIS PEMBINA KESEHATAN UMUM

PWM JAWA TIMUR

~ v ~

Lampiran Surat Keputusan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

Nomor : 224/KEP/II.0/D/2016 Tanggal : 18 Rajab 1437 H / 25 April 2016 M Tentang : Susunan Personalia Tim Pelatihan Rumah Sakit Muhammadiyah Jawa Timur

SUSUNAN PERSONALIA

TIM PELATIHAN RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH JAWA TIMUR

PERIODE 2015-2018

Ketua : : Drs. Edy Yusuf, M. Kes.

Wakil Ketua : dr. Corona Rintawan

Sekretaris : Mundakir, Ns., M.Kep.

Bendahara : Hendrix Irawan, SE., MM.

Tim Teknis : dr. Tomy Oeky Prasiska

dr. Zuhdiyah Nihayati

Munadi, S.Kep., Ns.

M. Taufik Aini, S.Kep., Ns.

Nanang Abdul Salam, S.Kep., Ns.

Farida Juanita, S.Kep., Ns., M.Kep.

Tim Administrasi : Rudi Utomo, S.KM

Rahmad PG, S.KM., M.Kes.

~ vi ~

Ucapan Terima Kasih

Pedoman dan pelatihan eACLS ini tidak akan dapat terlaksana tanpa dedikasi dan

kerja keras dari rekan – rekan sejawatberikut :

1. Tim Tan Tock Seng Hospital, Singapore

Tim E-learning

Mr Benedict Chia

Mr Nurhazman AA

Instruktur ACLS

Dr Chan Kim Chai, Emergency Medicine

Dr Kenneth Heng, Emergency Medicine

Dr Kwek Tong Kiat, Anestesiologi

Dr Jimmy Lim, Cardiologi

Dr Alan Ng, Respiratory Medicine

Dr Tan Hui Ling, Anestesiologi

Anggota komite life support training

Ms Yeo Ngo Tong, Life Support Training Program Coordinator

Ms Fiona Leong, Life Support Training Program Coordinator

Ms Cecilia James, Human Resource Development Executive

Narator untuk e-Lecture

Dr Gene Chan

Dr Chan Wui Ling

Dr Charmaine Manauis

Dr Don pek

Dr Thian Yee Liang

Dokter dan perawat instalasi gawat darurat, TTSH karena telah melakukan review dan

memberikan masukan berharga, terutama :

Dr Roger Orcino Aguilar

Dr Thomas Catabas

Dr Chew Kuok Ming

Dr Leyland Chuang

Dr Liew Li Lian

Dr Michele Lim

~ vii ~

Dr Lim Wei Kian

Dr Lin Chun Rong

Dr Charmaine Manauis

Dr Tan Chee Seng

Dr Tan Jit Seng

2. Tim Pelatihan RS Muhammadiyah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

dr. Corona Rintawan

dr. Zuhdiyah Nihayati

Farida Juanita, Ns., M.Kep.

Mundakir, Ns., M.Kep.

Munadi, S.Kep., Ns.

~ viii ~

DAFTAR ISI

Bab 1. Ringkasan dan Algoritma Universal ............................................................... 1

Bab 2. Manajemen Jalan Nafas ................................................................................. 12

Bab 3. Ventrikel Fibrilasi, Ventrikel Takikardi Tanpa Nadi, Defibrilasi .................... 25

Bab 4. Pulseless Electrical Activity (PEA) dan Asistol .............................................. 37

Bab 5. Sindrom Koroner Akut (SKA) .......................................................................... 42

Bab 6. Hipotensi, Syok, dan Edema Paru Akut ......................................................... 50

Bab 7. Obat – obatan................................................. ................................................... 58

Bab 8. Bradikardia dan Pacing Transkutan ............................................................... 71

Bab 9. Takikardia dan Kardioversi .............................................................................. 75

~ ix ~

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Rantai Penyelamatan ............................................................................... 2

Gambar 1.2. Tentukan Respon ..................................................................................... 3

Gambar 1.3. Teriak Untuk Mencari Bantuan ................................................................. 3

Gambar 1.4. Rasakan Denyut Nadi Karotis .................................................................. 3

Gambar 1.5. Kompresi Dada ........................................................................................ 3

Gambar 1.6 Head Tilt (ekstensi kepala), chin lift (angkat dagu) ................................... 4

Gambar 1.7 Jaw thrust untuk pasien dengan kecurigaan cedera servikal .................... 4

Gambar 1.8 Lihat, dengar dan rasakan gerakan udara ................................................ 4

Gambar 1.9 Defibrilator bifasik menunjukkan VF ......................................................... 5

Gambar 1.10 Defibrilasi dalam 3 – 5 menit onset VF/ VT tanpa nadi ............................. 5

Gambar 1.11 Oropharyngeal airway .............................................................................. 6

Gambar 1.12 Nasopharyngeal airway ............................................................................ 6

Gambar 1.13 Peralatan kateter dan suction ................................................................... 7

Gambar 1.14 Jenis-jenis alat bantu airway .................................................................... 7

Gambar 1.15 Algoritme ACLS internasional /universal ................................................... 11

Gambar 2.1 Penyebab obstruksi jalan nafas atas ........................................................ 12

Gambar 2.2 Kesejajaran (alignment) 3 aksis................................................................ 13

Gambar 2.3 Ekstensi kepala. letakkan satu tangan di dahi dan bukan di mata, lalu

ekstensikan kepala ke belakang ............................................................... 13

Gambar 2.4 Angkat dagu (chin lift) letakkan jari – jari tangan pada tulang dagu dan

bukan pada jaringan lunak pada tulang rahang, lalu angkat dagu ........... 13

Gambar 2.5 Modifikasi jaw thrust ................................................................................. 14

Gambar 2.6 Jari telunjuk, jari tengah, jari manis dan jari kelingking diletakkan di

belakang tulang rahang, kemudian digerakkan mengangkat rahang ke

atas searah .............................................................................................. 14

Gambar 2.7 Mengukur jarak antara sudut mulut hingga tragus telinga ........................ 14

Gambar 2.8 Mengukur jarak antara mid incisivus hingga sudut rahang ....................... 14

~ x ~

Gambar 2.9 teknik pemasangan .................................................................................. 15

Gambar 2.10 Pin dipasang melewati ujung atas NPA untuk mencegah NPA tergelincir

ke dalam .................................................................................................. 15

Gambar 2.11 Ventilasi BVM : teknik satu tangan ........................................................... 15

Gambar 2.12 Ventilasi BVM : teknik dua tangan ............................................................ 16

Gambar 2.13 Peralatan intubasi .................................................................................... 17

Gambar 2.14 Preoksigenasi dengan BVM sebelum intubasi dilakukan .......................... 18

Gambar 2.15 Berhati-hatilah jika melakukan penekanan krikoid .................................... 18

Gambar 2.16 Insersi laringoskop ................................................................................... 18

Gambar 2.17 Berhati – hatilah jika melakukan penekanan krikoid ................................. 18

Gambar 2.18 Dasar lidah ............................................................................................... 19

Gambar 2.19 Dorong ujung bilah ke valeculla ................................................................ 19

Gambar 2.20 Visualisasi plica vocalis. Jangan lakukan gerakan dorong ke belakang.

Jangan gunakan gigi atas sebagai tumpuan (fulcrum) .............................. 19

Gambar 2.21 a, b ETT ................................................................................................... 20

Gambar 2.22 Keluarkan stylet ........................................................................................ 20

Gambar 2.23 Sambungkan ETT ke kantong resusitator ................................................. 21

Gambar 2.24 Auskultasi lima titik untuk konfirmasi posisi ETT ....................................... 21

Gambar 2.25 Lekatkan ETT pada tanda yang telah ditentukan ...................................... 21

Gambar 2.26 ETT diikat dengan tali ............................................................................... 21

Gambar 2.27 Nasal kanul .............................................................................................. 23

Gambar 2.28 Simpel masker ......................................................................................... 23

Gambar 2.29 Masker non rebreathing ........................................................................... 23

Gambar 2.30 Masker venturi .......................................................................................... 23

Gambar 3.1 VF ............................................................................................................ 25

Gambar 3.2 VT ............................................................................................................ 26

Gambar 3.3 Polimorfik VT (Torsade de Pointe) ............................................................ 26

Gambar 3.4 Algoritma Ventrikel Fibrilasi/Ventrikel Takikardia tanpa Nadi .................... 27

~ xi ~

Gambar 3.5 Algoritma VF/VT tanpa nadi refrakter ....................................................... 29

Gambar 3.6 Defibrilator bifasik ..................................................................................... 30

Gambar 3.7 Pilihan lead II ............................................................................................ 31

Gambar 3.8 VF ........................................................................................................... 31

Gambar 3.9 VT ............................................................................................................ 31

Gambar 3.10 Tombol metal pada manekin menunjukkan posisi paddle sternum dan

apeks ....................................................................................................... 32

Gambar 3.11 Paddle sternum dan apeks diletakkan di dinding dada ............................. 32

Gambar 3.12 Defibrilator bifasik: pilih energi standar (150 J) ......................................... 32

Gambar 3.13 Tekan tombol charge (pengisian daya) ..................................................... 33

Gambar 3.14 Defibrilator bifasik telah diisi daya pada level energi 150 J (tanda panah

merah) ...................................................................................................... 33

Gambar 3.15 Tekan tombol charge (pengisian daya) ..................................................... 33

Gambar 3.16 Jaga jarak antara paddle yang terisi daya .............................................. 33

Gambar 3.17 Jari telunjuk bersiap untuk menekan tombol discharge sementara ibu jari

dan jari lainnya berada di bawah pegangan ............................................. 34

Gambar 3.18 Pastikan paddle terhubung dengan tombol metal pada manekin, jika

tidak maka akan timbul percikan api ......................................................... 34

Gambar 3.19 Lihat sekeliling, ke belakang dan teriakkan “stand clear” .......................... 34

Gambar 3.20 Pastikan tidak ada satu orangpun, termasuk anda, yang memiliki kontak

dengan tubuh pasien atau bed/troli .......................................................... 34

Gambar 3.21 Tekan tombol oranye secara bersama – sama ......................................... 35

Gambar 3.22 Lakukan defibrilasi dengan aman ............................................................. 35

Gambar 3.23 Pengisian daya (charge) harus dilakukan pada saat paddle masih

terpasang di defibrilator ............................................................................ 35

Gambar 3.24 Garis lurus di bagian kiri layar menunjukkan pelepasan energi ................ 35

Gambar 4.1 Algoritme asistol/ PEA ............................................................................. 39

Gambar 5.1 Gambar ilustrasi plak ................................................................................ 42

Gambar 5.2 ST elevasi pada lead V2 – V6 .................................................................. 45

Gambar 5.3 ST elevasi pada II,III, dan aVF ................................................................. 46

~ xii ~

Gambar 5.4 Algoritma ACS .......................................................................................... 49

Gambar 6.1 Algoritma hipotensi dan syok .................................................................... 51

Gambar 6.2 Algoritma edema pulmonum akut ............................................................. 52

Gambar 6.3 AV Block 2o tipe I ...................................................................................... 54

Gambar 6.4 ST depresi ................................................................................................ 56

Gambar 6.5 Rontgen dada ........................................................................................... 56

Gambar 7.1 Pasien henti jantung ................................................................................. 59

Gambar 7.2 Optimalisasi obat – obatan ....................................................................... 60

Gambar 7.3 Takikardia ventrikel klasik yang merupakan takikardia kompleks lebar

dengan irama regular dan tidak adanya gelombang P .............................. 63

Gambar 7.4 SVT klasik yang merupakan takikardia kompleks sempit dengan interval

RR regular dan tidak adanya gelombang P .............................................. 64

Gambar 7.6 IMA ventrikel kanan, inferior dan AV block 2o (tipe I) ................................ 66

Gambar 7.7 Optimalisasi kasus NN ............................................................................. 67

Gambar 7.8 Edema pulmoner akut .............................................................................. 68

Gambar 7.9 Optimalisasi kasus FEW........................................................................... 68

Gambar 7.10 Pelebaran mediastinum ............................................................................ 69

Gambar 7.11 EKG normal.............................................................................................. 69

Gambar 7.12 Optimalisasi kasus LSW ........................................................................... 69

Gambar 8.1 AV Block .................................................................................................. 71

Gambar 8.2 AV block derajat 3 dengan junctional escape ........................................... 71

Gambar 8.3 AV Block derajat tiga dengan ventricular escape ...................................... 71

Gambar 8.4 Algoritme bradikardia ............................................................................... 72

Gambar 9.1. Algoritme takikardi .................................................................................... 75

Gambar 9.2 SVT pada lead II ...................................................................................... 77

Gambar 9.3 Tombol SYNC .......................................................................................... 78

Gambar 9.4 Lihat sekeliling dan belakang ................................................................... 78

Gambar 9.5 Tekan tombol dengan gambar petir pada layar atau pada paddle jika syn

“ready” ...................................................................................................... 78

~ xiii ~

Gambar 9.6 Algoritma Takikardia Kompleks Sempit .................................................... 79

Gambar 9.7 atrial flutter : gelombang saw-tooth (gergaji) yang menggantikan

gelombang P pada atrial flutter ................................................................. 81

Gambar 9.8 Atrial Fibrilasi : RR interval yang sangat ireguler. ..................................... 81

Gambar 9.9 SVT : takikardia kompleks sempit, dengan RR interval yang reguler dan

tidak adanya gelombang P ....................................................................... 82

Gambar 9.10 Algoritma Takikardia Kompleks Lebar ...................................................... 83

Gambar 9.11 SVT dengan RBBB : irama reguler, dengan gelombang R bertakik

“rabbit ear” terlihat pada lead V1 – V3, tanpa gelombang P ..................... 84

Gambar 9.12 VT : irama reguler, dengan takikardia kompleks lebar tanpa gelombang

P .............................................................................................................. 85

Gambar 9.13 Torsades de Pointes. Irama dengan bagian yang terpelintir, paling baik

dilihat pada lead II .................................................................................... 85

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 1

BAB I

RANGKUMAN DAN ALGORITME UNIVERSAL

Tujuan

Bab pertama merupakan rangkuman dari Advance Cardiac Life Support (ACLS) dan

algoritma universal

Tujuan bab ini adalah :

Daftar cakupan ACLS

Mendeskripsikan A-B-C-D pada survei primer dan sekunder

Menyatakan algoritma universal untuk orang dewasa

Cakupan ACLS

Basic cardiac life support (bantuan hidup dasar) adalah permulaan ACLS yang akan dinilai

secara singkat. Pelatihan ini mencakup :

Penggunaan peralatan dan teknik untuk mempertahankan patensi jalan nafas dan

ventilasi

Monitoring, interpretasi dan pengenalan aritmia pada EKG

Pemasangan dan mempertahankan akses vena

Management henti jantung dan pasca henti jantung

Management penyakit jantung koroner

Pendahuluan

Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian terbanyak kedua di Indonesia,

sehingga penyakit tersebut penting untuk dipahami oleh tenaga kesehatan. Banyak

penderita serangan jantung koroner mengalami henti jantung dan beberapa diantaranya

dapat selamat dengan resusitasi jantung paru yang segera dan efektif.

ACLS adalah bagian resusitasi jantung paru yang paling sulit dan komprehensif.

Panduan terkini kami berdasarkan rekomendasi American Heart Association (AHA) 2010.

Panduan tersebut diperbarui setiap 5 tahun. Dengan setiap perbaikan, ada perubahan

menuju penyederhanaan dan standarisasi sehingga lebih mudah diingat oleh tenaga

kesehatan dan orang awam.

Rantai Kelangsungan Hidup (Chain of survival)

Ada 4 rantai penyelamatan untuk pasien henti jantung. Agar mencapai hasil yang baik,

semua rantai penyelamatan harus dikerjakan sesuai urutan (timely manner) :

Akses SPGDT pada awal kejadian

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 2

RJP sejak dini (early CPR)

Defibrilasi secepatmungkin

Perawatan lanjutan ( termasuk perawatan pasca henti jantung)

Akses awal CPR awal Defibrilasi awal ACLS awal

Gambar 1.1 Rantai penyelamatan

Survei Primer

Survei primer pada ACLS berfokus pada resusitasi jantung paru (RJP) dasar dan

defibrilasi, dimulai dengan menilai ada tidaknya respon pasien dan memulai CABD pada

survei primer.

Berikut adalah rangkuman langkah – langkah :

Berfokus pada kualitas CPR dasar yang baik dengan interupsi minimal dan defibrilasi

Dapat menetapkan tidak adanya respon

C-A-B-D pertama

Circulation : cek nadi dan mulai kompresi dada

Airway : membuka jalan nafas

Breathing : jika tidak ada nafas atau nafas agonal abnormal

Defibrilasi : “shock” fibrilasi ventrikel (Ventricular Fibrilation, VF) atau takikardi

ventrikel (ventricular tachycardia, VT) tanpa nadi

Survei Primer – Menetapkan Ada Tidaknya Respon

Saat anda dipanggil untuk melihat pasien yang tidak sadar, tepuk pundaknya dan

tanyakan, “halo, halo apakah anda baik-baik saja?”

Jika tidak ada respon, teriak minta tolong dan aktifkan tombol kode biru (code blue).

Anda harus berada bersama pasien sementara asisten anda mengambil troli resusitasi dan

defibrilator. Segera cek nadi, jika tidak ada nadi mulai lakukan RJP.

Saat defibrilator datang, tempelkan lead untuk ritme EKG. RJPhanya bisa diinterupsi

sejenak untuk analisis ritme EKG. Jika didapatkan ritme „shock‟, segera lakukan defibrilasi.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 3

Gambar 1.2 tentukan respon Gambar 1.3 teriak untuk mencari bantuan

Survei Primer – Konfirmasi Tidak Adanya Nadi

Rasakan denyut karotis – jangan habiskan lebih dari 10 detik untuk melakukan

penilaian tersebut. Jika tidak ada nadi, mulai kompresi dada, dengan rasio 30 kompresi dan

2 ventilasi.

Posisi tangan adalah dua jari di atas xipho-chondral junction, dengan kedua tangan

saling mengunci. Ventilasi dapat dilakukan dengan menggunakan Bag Valve Mask melalui

mulut jika belum terintubasi. Penolong harus selalu ingat prinsip RJP kualitas tinggi.

Gambar 1.4 rasakan denyut nadi karotis Gambar 1.5 kompresi dada

Survei Primer – Buka Jalan Nafas

Buka jalan nafas dengan head tilt (ekstensikan kepala) dan chin lift (tarik dagu). Pada

pasien dengan kecurigaan cedera servikal, gunakan modified jaw thrust.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 4

Gambar 1.6head tilt (ekstensi kepala), chin lift (angkat dagu)

Gambar 1.7Jaw thrust untuk pasien dengan kecurigaan cedera servikal

Survei Primer – Penilaian Nafas

Sekali anda telah membuka jalan nafas, lihat, dengar dan rasakan gerakan udara. Jika tidak

ada nafas, atau ditemukan nafas agonal abnormal, segera nilai sirkulasi.

Gambar 1.8 lihat, dengar dan rasakan gerakan udara

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 5

Survei Primer – Defibrilasi

Pada saat defibrilator datang, tempelkan lead pada dada pasien. Biasakan diri anda

dengan lead EKG di bangsal dan klinik tempat anda bekerja sehingga anda tidak bingung

dengan lead EKG pada keadaan gawat darurat. Lead II adalah lead yang sesuai untuk

monitoring irama. Kompresi dada dilanjutkan segera setelah lead dipasang. Kompresi dada

hanya berhenti sejenak untuk menganalisa ritme.

Jika VF atau VT terlihat pada monitor, lakukan defibrilasi segera. Harap diingat

dengan setiap menit terlewat pada pasien dengan VF, kemungkinan bertahan hidup

berkurang 10%, sehingga waktu adalah hal yang sangat penting.

Tujuan utamanya ada defibrilasi dalam 3 – 5 menit dari onset VF atau VT tanpa nadi.

Gambar 1.9 defibrilator bifasik menunjukkan VF

Gambar 1.10 Defibrilasi dalam 3 – 5 menit onset VF/ VT tanpa nadi

Survei Sekunder ABCD

Pada survei sekunder, amankan jalan nafas dengan teknik lanjut, lakukan intubasi

jika diperlukan. Kompresi dada merupakan prioritas utama, prosedur intubasi tidak boleh

menghentikan kompresi dada. Jika didapatkan kesulitan pada saat percobaan intubasi,

maka lakukan ventilasi dengan bag-valve mask hingga tenaga kesehatan yang ahli sampai

di tempat. Usaha intubasi berulang yang gagal mengakibatkan interupsi kompresi dada yang

tidak perlu dan dapat mengakibatkan cedera pada orofaring.

Setelah intubasi berhasil, lakukan ventilasi dengan ventilasi tekanan positif.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 6

Sirkulasi terjaga dengan akses vena, RJP, dan penggunaan obat-obatan yang

sesuai. Jika didapatkan nadi, lakukan monitoring EKG, denyut nadi, tekanan darah, dan

oksimetri.

Diagnosis banding pada survei sekunder merujuk pada identifikasi dan terapi

penyebab reversibel dari henti jantung.

Jalan Nafas (airway)

Jika jalan nafas tidak terbuka atau anda tidak dapat melakukan ventilasi, kemungkinan besar

resusitasi akan gagal. Dengan demikian sangat penting untuk membuka dan

mempertahankan patensi jalan nafas untuk memastikan ventilasi yang adekuat.

Survei Sekunder – Airway (Jalan Nafas)

Pada manajemen airway pada survei sekunder, kuncinya adalah untuk menjaga

patensi jalan nafas dengan dukungan manual, dengan memberikan oksigenasi dan

mengamankan jalan nafas melalui intubasi atau pembedahan seperti krikothirotomi atau

trakeostomi.

Pada pasien dengan kemungkinan cedera servikal, tulang servikal perlu dilindungi selama

manuver jalan nafas dan ventilasi.

Survei Sekunder – Alat Bantu Jalan Nafas

Alat bantu jalan nafas seperti oropharyngeal(OPA) dan nasopharyngeal airway (NPA)dapat

digunakan untuk mempertahankan patensi jalan nafas. Pembersihan sekresi dan benda

asing dengan kanul suction dapat membantu mempertahankan patensi jalan nafas.

Gambar 1.11 oropharyngeal airway Gambar 1.12 nasopharyngeal airway

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 7

Gambar 1.13 peralatan kateter dan suction

Survei Sekunder – Bantuan Ventilasi

Pada pasien apnea dengan hipoventilasi atau hipoksia atau pasienkelelahan akibat

usaha nafas yang besar,bantuan ventilasi harus dilakukan segera, menggunakan bag valve

mask, laryngeal mask airway (LMA) atau intubasi. Intubasi endoktrakeal dianggap sebagai

airway definitif.

Kita akan mendiskusikan airway definitif dan teknik ventilasi lebih detail pada bab

manajemen jalan nafas.

Gambar 1.14 Jenis-jenis alat bantu airway

Survei Sekunder – Pernafasan

Untuk memeriksa kecukupan pernapasan, lihat pergerakan dinding dada pasien. Jika

intubasi telah dilakukan, periksa kesamaan suara napas di bagian atas apex dan lateral

dinding dada kanan dan kiri. sangat penting untuk mendengarkan di bagian epigastrium

untuk memastikan tidak adanya suara gurgling.

AHA dan ILCOR 2010 merekomndasikan penggunaan end tidal CO2 untuk

mengkonfirmasi penempatan endotracheal tube (ETT). pemeriksaan chest x-ray paska

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 8

intubasi sangatlah berguna. Jika ada keragu-raguan mengenai posisi ETT, tarik kembali dan

lakukan ventilasi dengan menggunakan BVM sebelum dilakukan intubasi berikutnya.

Survei sekunder – sirkulasi

Sirkulasi pada survei sekunder artinya memastikan kompresi dada pada pasien tanpa

nadi, memasang akses vena, dan menggunakan cairan dan obat-obatan untuk mendukung

sirkulasi.

Normal salin adalah cairan resusitasi yang sesuai. Setiap pemberian obat resusitasi

lakukan flushing cairan 20 cc disertai elevasi lengan.

Saat pasien kolaps, akses vena menjadi sukar. Dengan demikian, jika anda dipanggil

untuk melakukan penilaian terhadap pasien sakit dalam kondisi pre henti jantung, mintalah

seorang penolong untuk membantu pemasangan akses vena sesegera mungkin.

Ada beberapa pilihan yang tersedia jika akses vena sukar :

1. Kanulasi vena jugular eksterna (vena superfisial ini menjadi lebih nampak dengan

menempatkan kepala pasien lebih rendah dengan posisi Trendelenburg)

2. Kanulasi vena jugularis interna atau vena subklavia dengan menggunakan set kanulasi

vena sentral

3. Akses intra-osseus. Pada orang dewasa dan anak – anak, aspek antero-medial tibia

proksimal dapat digunakan karena letaknya di bawah kulit dan mudah dikenali dan

dipalpasi. Aspek anterior femur, krista iliaka superior dan caput humeri adalah lokasi lain

yang dapat digunakan untuk akses intraoseus.

*obat lewat rute ETT tidak lagi direkomendasikan.

Survei Sekunder – Diagnosis Banding

Sebagai pemimpin tim, anda harus menanyakan ”apa yang menyebabkan henti jantung

pada pasien?” Kuncinya adalah menilai riwayat penyakit, dan kejadian sebelum henti

jantung, serta pemeriksaan fisik, EKG, dan kadang hasil laboratorium. Terkadang, irama

sebelum henti jantung atau EKG dapat memberikan informasi yang berharga

ROSC (Return Of Spontaneous Circulation) – Kembalinya Sirkulasi Spontan

Sekali ditemukan ROSC, lakukan identifikasi dan koreksi penyebab yang reversibel.

Penilaian kembali ABCD, monitoring tekanan darah, denyut nadi, EKG dan saturasi oksigen.

Lakukan pemeriksaan EKG 12 lead dan foto thoraks serta lakukan pemeriksaan ureum

darah, elektrolit, enzim jantung, analisa gas darah, darah lengkap dan pemeriksaan darah

lain yang relevan. Pasang kateter urin dan NGT.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 9

Perawatan Pasca Henti Jantung

1. Hipotermia terapeutik. Hipotermia terkontrol dapat memperbaiki kondisi neurologis dan

kemungkinan bertahan hidup pasca henti jantung. Jika fasilitas dan ahli memadai,pasien

didinginkan pada temperatur 32 – 34 °C selama 24 jam setelah ROSC

2. Hindari hiperventilasi yang berlebihan dan hiperoksia. Pada pasien terintubasi, ventilasi

berlebihan dapat mengakibatkan cedera pada paru. Hiperoksia mengakibatkan

terbentuknya radikal bebas, sindrom reperfusi dan disfungsi multiorgan. Saturasi

oksigen (SaO2) 100% berkorelasi denga PaO2 80 – 500 mmHg. Dengan demikian

lakukan titrasi fraksi oksigen terinspirasi (FiO2 untuk mempertahankan SaO2 antara 94

– 99%).

3. Identifikasi dan terapi sindrom koroner akut. Pasien dengan kecurigaan ACS sebagai

penyebab henti jantung harus dirujuk untuk angiografi koroner segera dan terapi

reperfusi jika perlu

Hubungi ruang rawat intensif yang sesuai untuk rencana transfer. Yang terutama, berikan

informasi kepada keluarga bahwa pasien dalam keadaan kritis dan berikan informasi terbaru

mengenai kondisi pasien.

Henti Jantung Pada Orang Dewasa

Algoritma berikut meringkas pendekatan terhadap henti jantung orang dewasa.

Mulai dengan ABCD survei primer :

1. Lakukan pemeriksaan respon pasien. Jika tidak ada respon, aktifkan code blue dan

telpon bantuan untuk defibrilator dan troli emergensi.

2. Cek nadi karotis. Jika tidak ada nadi, mulai resusitasi jantung paru (RJP).

3. Bila teraba nadi maka buka jalan napas dan cek pernapasan. Jika pasien tidak

bernapas lakukan rescue breathing sebanyak 10x/menit. Jika ditemui kemungkinan

adanya sumbatan jalan napas maka lakukan manajemen sumbatan jalan napas.

4. Saat defibrilator tiba, hubungkan lead EKG dan nilai irama. Jika monitor menunjukkan

VF atau VT tanpa nadi, lakukan defibrilasi, diikuti dengan RJP 1 menit jika tidak

ditemukan irama perfusi sebelum penilaian ulang ritme. Jika monitor menunjukkan

tidak menunjukkan irama yang dapat dilakukan shock (shockable) lanjutkan RJP

selama 2 menit kemudian nilai ulang irama.

5. Survei sekunder mengacu pada penggunaan peralatan dan teknik lanjut untuk

mempertahankan ABC.

6. Alat bantu jalan napas digunakan untuk mempertahankan patensi jalan napas dan

menjaga jalan napas dengan intubasi jika diperlukan.

7. Pernapasan didukung dengan pemberian ventilasi tekanan positif. Jika pasien telah

terintubasi, selalu lakukan pengecekan apakah ETT telah terpasang dengan benar.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 10

8. Kompresi dada membantu mempertahankan komponen sirkulasi. Jika pasien dalam

keadaan tanpa nadi, pasang akses vena dan berikan cairan dan obat-obatan yang

sesuai untuk kondisi klinis dan irama jantungnya.

9. Untuk menegakkan diagnosis yang akurat, mulailah menilai diagnosis yang mungkin,

dan koreksi penyebab yang reversibel. Hal tersebut terangkum dalam 5 H dan 5 T

10. Hipovolemia, Hipoksia, kelebihan ion Hidrogen (seperti pada asidosis), hiperkalemia

dan hipokalemia, serta hipotermia.

11. Tablet (seperti overdosis obat), Tamponade, Tension pneumothoraks, Trombosis

pada arteri koroner (ACS), tromboemboli pembuluh darah pulmonal seperti pada

emboli paru.

Rangkuman

Secara ringkas, prinsip CABD digunakan baik pada Basic Cardiac Life Support (BCLS)

dan ACLS untuk menilai pasien henti jantung. Prioritas utama adalah untuk mencegah

keterlambatan untuk memulai kompresi dada dan untuk mempertahankan kompresi

dengan interupsi seminimal mungkin.

Algoritma universal dimulai dengan Basic Life Support (bantuan hidup dasar) dilanjutkan

dengan bantuan hidup lanjut, hal tersebut menunjukkan tahapan dalam resusitasi yang

mungkin terjadi secara simultan, dan memungkinkan penolong bekerja sebagai tim.

Resusitasi menjadi lebih efektif jika seluruh tim familier dengan prinsip CABD.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 11

Gambar 1 : algoritme ACLS internasional /universal

Survei ABCD primer : Fokus : RJP tanpa interupsi dan defibrilasi

Cek respon

Aktivasi sistem respon emergensi

Telepon minta defibrilator C : circulation : cek nadi (< 10 detik), mulai kompresi dada A : airway : buka jalan nafas B : breathing : lihat, dengar dan rasakan nafas D : defibrilasi : pasang monitor EKG/defibrilator

Survei ABCD sekunder Fokus : penilaian dan terapi lanjutan CPR tanpa interupsi masih menjadi

prioritas A Airway

Segera pasang alat bantu jalan nafas B breathing

Lakukan konfirmasi pemasangan ETT (contoh dengan end tidal CO2)

Amankan ETT

Lakukan ventilasi dan oksigenasi efektif C circulation

Pasang akses vena atau intraoseus atau kanulasi vena sentral

Berikan obat – obatan yang tepat untuk kondisi dan irama jantung

D diagnosis banding

Cari dan terapi penyebab yang reversibel

Henti Jantung Pada Dewasa

VF/ VT Non-VF/VT

Defibrilasi

150J bifasik RJP 1–2 menit

RJP 1 menit

Nilai ritme jantung

Pertimbangkan penyebab yang berpotensi reversible

Hypovolemia “Tablets” (drug OD, accidents) Hypoksia Tamponade, kardiak Hidrogen ion - asidosis Tension pneumothoraks

Hiper-/hipokalemia, metabolik lain Thrombosis, koroner (ACS) Hipotermia Thrombosis, pulmonal (embolism)

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 12

BAB II

MANAJEMEN JALAN NAPAS

Tujuan

Tujuan bab ini adalah

Memahami penyebab obstruksi jalan nafas atas

Menjelaskan teknik dasar untuk membuka jalan nafas dan penggunaan alat bantu jalan

nafas

Menjelaskan langkah – langkah dalam intubasi endotrakeal

Menjelaskan pemberian oksigen suplemental menggunakan alat yang berbeda – beda

Penyebab Obstruksi Jalan Nafas Atas

Penyebab paling sering obstruksi jalan nafas adalah lidah yang bergeser ke posterior

pada pasien yang semi sadar atau tidak sadar. Sekret, muntahan, darah dan gigi palsu juga

dapat menyumbat jalan nafas. Obstruksi jalan nafas juga dapat disebabkan oleh edema

struktur jalan nafas atas seperti pada epiglotitis akut dan edema laring.

Gambar 2.1 Penyebab obstruksi jalan nafas atas

Manuver Untuk Membuka Jalan Nafas

Manuver untuk membuka jalan nafas mengikuti prinsip kesejajaran 3 aksis. Saat

aksis laring, faring dan mulut dalam satu garis lurus, aliran oksigen tidak mengalami

hambatan.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 13

Gambar 2.2 kesejajaran (alignment) 3 aksis

Ekstensi kepala (head tilt) dan angkat dagu (chin lift) adalah manuver yang paling

sering digunakan untuk membuka jalan nafas. Ingatlah selalu untuk menghindari penekanan

jaringan lunak di bawah dagu (gambar 2.3-2.4)

Modifikasi jaw thrust dapat digunakan pada pasien dengan kecurigaan cedera

servikal. Letakkan kedua ibu jari pada pipi, sementara jari telunjuk, jari tengah, jari manis

dan kelingking berada di belakang tulang rahang dan mendorong rahang ke atas secara

searah (gambar 2.5-2.6)

Gambar 2.3 ekstensi kepala. letakkan satu tangan di dahi dan bukan di mata, lalu ekstensikan kepala ke belakang

Gambar 2.4 angkat dagu (chin lift) letakkan jari – jari tangan pada tulang dagu dan bukan pada jaringan lunak pada tulang rahang, lalu angkat dagu

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 14

Alat Bantu Nafas Orofaringeal (Oropharyngeal Airway) (gambar 2.7-2.8)

Oropharyngeal airway (OPA) adalah alat bantu nafas untuk mempertahankan patensi

jalan nafas. OPA memiliki ukuran yang disesuaikan dengan jarak antara sudut mulut dengan

tragus telinga, atau dari mid incisivus hingga sudut rahang. Secara umum, OPA ukuran 2

cocok untuk wanita asia sementara ukuran 3 (oranye) sesuai untuk pria Asia. OPA dapat

dimasukkan dengan kurva menghadap ke atas, dan dirotasikan ke bawah tepat sebelum

batas palatum durum (langit – langit keras) dan palatum mole (lunak).

Cara yang lain, tekan lidah dengan spatel dan langsung masukkan sesuai

bentuknya. Jika pasien semi sadar, OPA dapat mengakibatkan gag refleks dengan demikian

meningkatkan resiko aspirasi.

NPA (Nasopharyngeal Airway)

Nasopharyngeal airway lebih sesuai untuk pasien yang semi sadar namun harus

dihindari pada pasien dengan fraktur basis crani. Ukuran yang tepat adalah ukuran yang

sesuai dengan lubang hidung pasien. Sebagai panduan umum, ukuran kecil yang

Gambar 2.5 modifikasi jaw thrust Gambar 2.6 jari telunjuk, jari tengah, jari manis dan jari kelingking diletakkan di belakang tulang rahang, kemudian digerakkan mengangkat rahang ke atas searah

Gambar 2.7 mengukur jarak antara sudut mulut hingga tragus telinga

Gambar 2.8 mengukur jarak antara mid incisivus hingga sudut rahang

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 15

direkomendasikan untuk orang dewasa adalah 6–7, sedangkan ukuran medium mungkin

memerlukan ukuran 7–8.

Setelah melumasi NPA dengan lubrikan yang larut air, miringkan hidung ke belakang

dan masukkan tegak lurus bed. Pertahankan NPA dekat dengan garis tengah dengan bevel

menghadap ke medial. Jika didapatkan tahanan, sedikit rotasikan NPA, jika perlu ganti ke

lubang hidung lainnya.

Trauma dan perdarahan intranasal adalah komplikasi pemasangan NPA yang paling

sering.

Bag-valve Mask (BVM) Ventilation – Teknik Satu Tangan

Ventilasi dengan BVM memberikan ventilasi tekanan positif non invasif. Salah satu

kunci ventilasi BVM yang efektif adalah memilih ukuran sungkup yang sesuai. Sungkup

harus dapat menutup pangkal hidung hingga dagu dengan apeks sungkup terletak pada

pangkal hidung.

Tahan sungkup ke bawah, melawan wajah, dengan ibu jari dan jari telunjuk. Pada

saat yang sama, buka dan renggangkan jari tengah, jari manis, dan kelingking sepanjang

tulang rahang seperti skup sehingga dapat terkunci dengan baik. Jari kelingking berada di

belakang sudut rahang, tepat di bawah telinga. Tekan kantong resusitator dengan tangan

lainnya.

Gambar 2.9 teknik pemasangan Gambar 2.10 pin dipasang melewati ujung atas NPA untuk mencegah NPA tergelincir ke dalam

Gambar 2.11 ventilasi BVM : teknik satu tangan

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 16

Ventilasi BVM : Teknik Dua Tangan

Posisi ibu jari dan jari lain serupa dengan teknik satu tangan saat menggunakan

BVM dengan teknik dua tangan. Seorang asisten membantu melakukan kompresi kantong

resusitator. Teknik dua tangan sangat berguna terutama apabila mengunci rapat sungkup

sangat sulit, misalnya pada pasien dengan jenggot atau kumis lebat, atau pada wajah

pasien yang basah karena darah atau sekret.

Ingat untuk selalu memasang reservoir oksigen ke kantong resusitator dan

menghubungkan selang ke tabung oksigen. Pada saat resusitasi, aliran oksigen setidaknya

mencapai 15 liter. Aliran oksigen hanya bisa dikurangi jika pasien sudah stabil, untuk

menghindari penurunan hypoxic drive.

Gambar 2.12 ventilasi BVM : teknik dua tangan

Intubasi Endotrakeal

Pada henti jantung, manajemen jalan nafas lanjut hanya dapat dikerjakan setidaknya

saat dua penolong telah tiba. Intubasi endotrakeal memastikan patensi jalan nafas sehingga

ventilasi dan oksigenasi terkontrol; aspirasi terproteksi; fasilitasi toilet pulmoner.

Kunci intubasi trakeal yang baik adalah penempatan posisi kepala dan leher yang tepat,

kecuali pada pasien dengan kecurigaan cedera servikal. Minimalisir interupsi kompresi dada

selama percobaan intubasi endotrakeal. Dengan demikian, indikasi intubasi endotrakeal

adalah untuk

Melakukan ventilasi pada pasien henti nafas

Memberikan oksigen konsentrasi tinggi

Isolasi dan proteksi jalan nafas terutama pada pasien yang tidak sadar

Memberikan volume tidal yang sesuai dengan kebutuhan pasien

Mempermudah suction jalan nafas bawah

Pemberian obat melalui rute endotrakeal tidak lagi direkomendasikan.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 17

Persiapan Alat

Pengetahuan mengenai alat dan persiapan yang memadai adalah cara yang tepat

untuk memulai.

Laringoskop terdiri atas handle (pegangan) dan blade (bilah) dan digunakan untuk

melakukan visualisasi pita suara (plica vocalis) dan glottis. Pada sebagian besar intubasi

dewasa, sangat tepat untuk memulai dengan blade curved E mac ukuran 3. Blade (bilah)

dengan berbagai ukuran dan handle yang terpisah harus tersedia. Baterai untuk handle

harus tersedia setiap saat.

Pipa endotrakeal dengan berbagai ukuran juga harus tersedia. Untuk pasien pria

dewasa, ukuran ETT yang sesuai adalah 8 – 8.5. untuk pasien wanita dewasa, ukuran ETT

yang sesuai adalah 7–7.5.

Kembangkan cuff dengan 5cc udara untuk mengecek patensi cuff, kemudian lumasi

ujung distal ETT untuk membantu mencegak resiko luka di jaringan sekitar serta

mempermudah prosedur intubasi.

Stylet Elastik dapat dimasukkan ke dalam ETT untuk membentuk ETT. Stilet yang

terlubrikasi dimasukkan ke dalam ETT dan pastikan ujungnya tersembunyi setengah inci di

dalam ETT.

Unit suction harus diperiksa untuk memastikan apakah bekerja dengan baik.

Peralatan lain termasuk spuit 10 cc, lubrikan larut air, BVM untuk melakukan preoksigenasi

dan perekat untuk mengamankan posisi ETT.

Seluruh alat harus diperiksa terlebih dahulu sebelum memulai pemasangan.

Gambar 2.13 peralatan intubasi

Preoksigenasi

Jika monitor tanda vital tersedia, letakkan pasien untuk monitoring EKG, nadi dan

oksimetri. Sebelum melakukan intubasi, pastikan seluruh alat yang dibutuhkan dapat

digunakan dengan baik. Anda perlu membuka jalan nafas dan memulai ventilasi dengan

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 18

BVM sementara asisten yang terlatih menyiapkan peralatan intubasi. Jika memungkinkan,

capailah target SaO2 > 95% dengan ventilasi BVM sebelum laringoskopi dimulai.

Setiap percobaan intubasi sebaiknya tidak melebihi 30 detik. Jika intubasi tidak dapat

dilakukan dalam 30 detik, maka lakukan ventilasi dengan BVM sebelum percobaan intubasi

selanjutnya.

Laringoskopi

dengan jari tangan kanan buka mulut, kemudian tahan laringoskop dengan tangan

kiri, masukkan bilah dari sisi kanan mulut dan geser lidah ke sebelah kiri. Penekanan

krikoid rutin untuk mencegah aspirasi tidak lagi direkomendasikan.

- Hal tersebut dapat menghambat ventilasi dan mengganggu intubasi

- Jika penekanan krikoid dilakukan, berikan penekanan yang relaks atau lepaskan

jika intubasi atau ventilasi terganggu

Gambar 2.14 preoksigenasi dengan BVM sebelum intubasi dilakukan

Gambar 2.15 berhati-hatilah jika melakukan penekanan krikoid

Gambar 2.16 insersi laringoskop Gambar 2.17 berhati – hatilah jika

melakukan penekanan krikoid

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 19

Visualisasi Pita Suara (Plica Vocalis)

Blade digerakkan menuju garis tengah dan didorong ke dasar lidah. Ujung bilah

harus berada di valeculla..

Dengan menggunakan gerakan “up and away” (gerakan ke atas dan menjauh) untuk

menggerakkan handle,manuver tersebut mengangkat epiglottis sehingga plica vocalis dan

glottis nampak. Jika diperlukan, bersihkan sekret dengan suction kateter agar visualisasii

lebih baik.

Anda mungkin perlu memakai tangan kanan anda untuk menstabilkan laring atau

menyesuaikan penekanan krikoid untuk memperbaiki visualisasi glottis.

Jangan lakukan gerakan dorong ke belakang dengan handle dan jangan gunakan gigi atas

sebagai tumpuan (fulcrum).

Gambar 2.18 dasar lidah Gambar 2.19 dorong ujung bilah ke

valeculla

Gambar 2.20 visualisasi plica vocalis. Jangan lakukan gerakan dorong ke belakang. Jangan gunakan gigi atas sebagai tumpuan (fulcrum)

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 20

Insersi Pipa Endotrakeal (ETT) (gambar 2.21)

Saat anda dapat memvisualisasi plica vocalis, masukkan ETT dari sudut mulut

sebelah kanan pasien hingga melewati celah di antara plica vocalis. Ujung ETT diletakkan 2

– 2.5 cm setelah plica vocalis, dan memberikan ukuran kedalaman 21 – 23 cm pada

incisivus.

Keluarkan Stylet, Kembangkan Pengunci (cuff)

Asisten anda harus menarik stilet keluar dari ETT. Pada saat yang sama, tahan ETT

pada sudut mulut sementara anda mengeluarkan laringoskop. Asisten anda akan

mengembangkan pengunci dengan 8 cc udara.

Pastikan Posisi ETT sudah benar dan Sambungkan ETT ke kantong resusitator

Mulailah ventilasi dengan menghubungkan kantong resusitator dengan ETT. Namun

demikian, sebelum melakukan hal tersebut, anda harus memastikan ETT terpasang dengan

benar, dengan menggunakan auskultasi lima titik, yaitu pada apeks paru bilateral, bagian

lateral dada pada garis mid aksilar bilateral, dan pada regio epigastrik.

Gambar 2.21 a, b ETT

Gambar 2.22 keluarkan stylet

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 21

Jika anda tidak yakin, gunakan detektor end-tidal CO2 (seperti Easy CapTM) atau

monitoring end-tidal CO2 kontinyu.

Jika penekanan krikoid digunakan lepaskan tekanan hanya setelah posisi ETT telah

terkonfirmasi dengan benar.

Amankan Posisi ETT

Pipa diisolasi dengan perekat pada tanda yang sudah ditentukan, yang biasanya 21

– 23 cm pada incisivus. Jika wajah pasien basah, didapatkan darah atau pasien memiliki

kumis atau jenggot, maka ETT harus dipertahankan dengan kain yang diikat melingkar

belakang kepala.

Perawatan Pasca Intubasi

Ada beberapa hal yang anda perlu ketahui setelah intubasi dan stabilisasi :

Tekan kantong resusitator hingga tampak pengembangan dada, dengan target pulsasii

oksimetri di atas 95%

Ventilasi dengan volume tidal 7 – 10 ml/kg

Gambar 2.23 sambungkan ETT ke kantong resusitator Gambar 2.24 auskultasi lima titik

untuk konfirmasi posisi ETT

Gambar 2.25 lekatkan ETT pada tanda yang telah ditentukan

Gambar 2.26 ETT diikat dengan tali

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 22

Atur kecepatan ventilasi menjadi 10 – 12 kali per menit

Masukkan OPA setelah mengisolasi ETT

Masukkan pipa nasogastrik untuk deflasi dan mengosongkan lambung

Lakukan rontgen dada untuk konfirmasi posisi ujung ETT dan mengksklusi komplikasi.

Ujung ETT harus berada 2 cm di atas karina

Solusi Pada Desaturasi Pasca Intubasi

Jika pasien mengalami desaturasi pada saat dilakukan ventilasi mekanik, lakukan

hall sebagai berikut :

1. Periksa monitor saturasi oksigen pada jari dan pastikan pulsasinya telah benar, dan jika

SaO2 masih rendah, maka

2. Lepas ETT dari sirkuit ventilator, kemudian sambungken ke BVM dan lakukan ventilasi

manual. Jika saturasi O2 membaik, makan problem ada pada sirkuit ventilator. Lakukan

pemeriksaan atau ubah pengaturan. Jika saturasi oksigen tetap tidak membaik, maka

permasalahan yang terjadi dapat berasal dari ETT atau daerah lebih distal.

3. Periksa posisi ETT karena ETT dapat mengalami malposisi hingga mencapai cabang

bronkus kanan atau esofagus. Lakukan auskultasi untuk memastikan ventilasi yang

seimbang. Periksa end-tidal CO2. Lakukan pemeriksaan rontgen dada jika diperlukan

4. Lakukan suction pada ETT dan bersihkan sektret

5. Jika didapatkan hipotensi, deviasi trachea dan penurunan ventilasi pada salah satu sisii

paru, hipersonor pada perkusi, mungkin telah terjadi tension pneumothorax. Lakukan

dekompresi jarum segera pada celah interkosta kedua sejajar mid klavikula. Jika

didapatkan aliran udara, lanjutkan prosedur dengan diikuti pemasangan chest tube

pada regio ipsilateral. Tension pneumothorax adalah diagnosis klinis dan tidak ada

waktu untuk melakukan rontgen dada terlebih dahulu.

6. Nilai apakah pasien telah bangun dan menggigit ETT atau melawan sirkuit ventilator.

Berikan sedasi dan paralisis pada pasien tersebut

Bagaimana jika anda tidak dapat memasang ETT?

Setelah 2 kali percobaan intubasi yang gagal, anda harus BERHENTI dan MINTA

BANTUAN!

Rencana cadangan termasuk :

Ventilasi dengan BVM karena jika hal tersebut dilakukan dengan benar, maka dapat

memberikan ventilasi adekuat

Biarkan dokter senior mengambil alih

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 23

Tergantung dari di mana anda bekerja : hubungi team airway. TTSH memiliki team airway

yang terdiri dari dokter anestesi dan terapis respiratorik.

Alat bantu jalan nafas seperti LMA dapat dipakai sebagai pilihan

Pemberian Oksigen

Untuk pasien yang dapat bernafas sendiri, beberapa di antara mereka mungkin

memerlukan oksigen tambahan untuk meningkatkan oksigenasi. Ada beberapa alat yang

menggunakan oksigen aliran rendah maupun tinggi, yang dapat digunakan untuk

memberikan oksigen tambahan untuk pasien yang tidak memerlukan bantuan ventilasi.

Alat dengan aliran oksigen rendah termasuk nasal kanul dan simple face mask

(simpel masker). Kecepatan aliran oksigen untuk nasal kanul 1 – 4 liter memberikan 24 –

44% oksigen sementara masker sederhana 8 – 10 liter memberikan 40 – 60% oksigen.

Alat dengan oksigen aliran tinggi seperti masker non-rebreathing dengan reservoir

oksigen dan masker venturi. Kecepatan oksigen untuk masker non-rebreathing adalah 12 –

15 liter. Masker venturi memberikan konsentrasi oksigen tetap berkisar antara 24% - 80%

dan sesuai untuk pasien COLD (chronic Obstructive Lung Disease).

Gambar 2.27 nasal kanul Gambar 2.28 simpel masker

Gambar 2.29 masker non

rebreathing

Gambar 2.30 masker venturi

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 24

Ringkasan

Secara ringkas, dokter harus mengetahui bagaimana cara membuka jalan nafas

dengan menggunakan alat bantu sederhana, cara intubasi, komplikasi yang

berkaitan dengan intubasi dan rencana cadangan yang dibutuhkan jika terjadi

kegagalan intubasi.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 25

BAB 3

VENTRIKEL FIBRILASI, VENTRIKEL TAKIKARDIA TANPA NADI DAN

DEFIBRILASI

Tujuan

Tujuan dari bab ini adalah :

menjelaskan algoritma terapi pada ventrikel fibrilasi (VF) dan VT tanpa nadi

menjelaskan algoritma terapi pada VF refrakter dan VT tanpa nadi

menjelaskan langkah – langkah defibrilasi yang aman

Pendahuluan

Henti jantung merupakan keadaan non sirkulatorik yang pada orang dewasa dapat

disebabkan oleh salah satu aritmia sebagai berikut :

1. VF, merupakan penyebab paling umum

2. VT tanpa nadi

3. PEA

4. Asistole

Sangat penting untuk dapat mengenali penyebab spesifiknya, karena untuk VF dan

VT tanpa nadi, defibrilasi adalah satu – satunya terapi definitif, dan defibrilasi awal memiliki

tingkat keberhasilan resusitasi yang lebih tinggi.

EKG Strip : VF dan VT

Dibawah ini adalah gambaran singkat mengenai penampakan VF dan VT pada

monitor defibrilator. Gambaran VF memiliki gelombang EKG yang kacau tanpa ada pola

yang dapat dikenali. VT adalah takikardia dengan kompleks QRS lebar dengan beberapa

irama regular. Pada VT polimorfik, terdapat kompleks QRS yang terpuntir (twist) di sekitar

garis isoelektrik. Selalu ingat bahwa pasien apapun dengan sindrom koroner akut baik

unstable angina atau ST elevation myocardial infarction (STEMI) memiliki resiko yang sama

untuk menjadi VF dan VT.

Gambar 3.1 VF

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 26

Gambar 3.2 VT

Gambar 3.2 polimorfik VT (Torsade de Pointe)

Ventrikel Fibrilasi/ algoritme ventrikel takikardi tanpa nadi

Gambar 3.3 menunjukkan algoritma yang harus diingat setiap peserta ACLS

Dari atas, memulai bantuan hidup dasar dengan menilai respon, mengaktivasi kode,

meminta defibrilator, membuka jalan napas, mengecek nadi dan melakukan kompresi dada.

Pemberian 2 napas sekarang telah dihilangkan dari algoritma untuk mengurangi

keterlambatan memulai kompresi dada.

Pada saat defibrilator datang, tempelkan lead. Hentikan kompresi dada sementara

untuk menilai irama jantung. Jika monitor menunjukkan VF atau VT, lakukan defibrilasi

sekali dengan 150 joule untuk defibrilator bifasik atau 360 joule pada defibrilator monofasik.

Setelah kejut listrik pertama, apapun irama pasien, lanjutkan kompresi dada selama

1 menit. hal ini dikarenakan, segera setelah kardioversi berhasil, kontraksi jantung menjadi

lemah, sehingga pemberian kompresi dada akan memperbaiki curah jantung (cardiac

output) hingga jantung kembali ke kontraksi normal. Setelah 1 menit, atau lebih cepat jika

pasien menunjukkan perbaikan perfusi (seperti mengeluarkan suara atau menggerakkan

anggota badan) hentikan kompresi dada, dan cek irama jantung serta nadi. Jika sirkulasi

spontan telah kembali, nilai tanda – tanda vital pasien, berikan bantuan napas, gunakan

obat – obatan yang sesuai dengan irama dan kondisi pasien, serta lakukan perekaman EKG

12 lead, rontgen dada, dan pemeriksaan lanjutan yang diperlukan. Mulai berikan infus

amiodarone 1 mg/ menit selama 6 jam dilanjutkan 0.5 mg/ menit selama 18 jam (atau infus

lignocaine 1 – 2 mg / menit selama 24 jam). Mulailah perawatan pasca henti jantung jika

fasilitas dan spesialis tersedia (dijelaskan pada rangkuman) dan rencanakan transfer ke

ruang perawatan intensif.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 27

Jika didapatkan PEA atau asistol, mulai resusitasi jantung paru dan lakukan

manajemen segera. Kita akan mendiskusikan keadaan ini pada bab yang berbeda. Ingat :

jangan lakukan defibrilasi jika irama bukan VF atau VT.

Gambar 3.3 Algoritma Ventrikel Fibrilasi/Ventrikel Takikardia tanpa Nadi

Algoritme VF/ VT tanpa nadi refrakter

Gambar 3.4 adalah algoritma untuk manajemen VF/ VT tanpa nadi refrakter. Berikut adalah

prioritas dalam manajemen VF/ VT tanpa nadi refrakter:

Henti jantung pada dewasa

RJP Manajemen jalan napas:

Buka jalan napas,

intubasi dan berikan

ventilasi VF/VT tanpa nadi

Saat defibrilator sudah

tersedia, tempelkan lead

dan segera analisa irama

Defibrilasi 1x (150 J bifasik

atau 360 monofasik)

RJP selama 1 menit

Ritme jantung setelah kejut

listrik pertama?

VF/VT rekuren atau persisten Kembalinya sirkulasi spontan

(ROSC)

PEA

(lihat kuliah tentang PEA)

Ke gambar 3.4 Nilai tanda vital

Berikan bantuan jalan

napas dan pernapasan

Berikan obat – obatan

yang sesuai untuk

tekanan darah, denyut

jantung dan irama

Kirim ke CCU/ICU

Catatan :

RJP harus tetap

diteruskan sepanjang

waktu

Hentikan RJP singkat

hanya untuk menilai

irama

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 28

1. Siklus shock – RJP

Setelah kejut listrik (shock) pertama lanjutkan kompresi dada selama 1 menit

sebelum menilai ritme jantung. Jika pasient tetap VF atau VT, lakukan shock lagi dan

lanjutkan kompresi dada selama 1 menit. Hal ini seharusnya diulang dalam pola

siklus shock – RJP, shock – RJP hingga sirkulasi spontan kembali atau irama

berubah menjadi PEA atau asistol. Energi untuk kejut listrik tidak perlu ditingkatkan

pada pengulangan selanjutnya dan dapat tetap diberikan pada level 150 joule untuk

defibrilator bifasik dan 360 joule untuk defibrilator monofasik. Kompresi dada harus

dilakukan berkesinambungan dan hanya dihentikan secara singkat untuk menilai

irama dan memberikan kejut listrik.

2. Akses vena dan obat – obatan

Secara bersamaan anggota tim memasang akses vena dan memulai infus NS. Obat

– obatan dapat diberikan segera setelah akses vena terpasang dan tidak perlu

menunggu kejut listrik. Setelah obat – obatan diberikan, kompresi dada harus

dilakukan agar obat tersebut dapat bersirkulasi. Adrenalin diberikan 1 mg (1:10.000)

IV bolus cepat setiap 3 – 5 menit. amiodarone diberikan pada waktu yang sama

dengan dosis adrenalin pertama dan diberikan 300 mg IV bolus cepat. Amiodarone

dapat diulang sekali setelah 3 – 5 menit jika VF atau VT tanpa nadi berulang dan

diberikan dengan dosis 150 mg IV bolus cepat. Lignocaine dapat diberikan sebagai

alternatif amiodarone dengan dosis 50 – 100 mg IV bolus cepat diulang sekali

dengan dosis yang sama setelah 3 – 5 menit jika VF/VT tanpa nadi berulang.

Dengan demikian hanya adrenalin yang diberikan berulang kali. Natrium bikarbonat

dan buffer lainnya tidak lagi direkomendasikan.

Setelah kembalinya sirkulasi spontan, anti aritmia harus dilanjutkan sebagai infus.

Amiodarone IV 1 mg/menit selama 6 jam dilanjutkan 0.5 mg/menit selama 18 jam

ATAU Lignocaine infus IV 1 – 2 mg/menit selama 24 jam.

3. Penatalaksanaan jalan napas definitif

Anggota tim resusitasi yang lain mengamankan jalan napas dan pernapasan dengan

intubasi. Jika tidak dapat melakukan intubasi, lakukan bantuan napas dengan BVM.

Percobaan intubasi sebaiknya tidak menghentikan kompresi dada atau defibrilasi.

Polimorfik VT (Torsade de Pointes) diterapi dengan Magnesium sulfat 1 – 2 mg IV,

dengan terapi elektrik atau overdrive pacing sesuai kebutuhan. Karena Torsade

bersifat polimorfik, kardioversi tersinkronisasi (synchronised cardioversion) mungkin

tidak dapat dilakukan sehingga pasien diberikan kejut listrik nonsinkronisasi

(unsynchronised shock).

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 29

Gambar 3.4 Algoritma VF/VT tanpa nadi refrakter

Terapi obat

Saat IV/IO/akses vena sentral terpasang,

Adrenalin 1 mg bolus setiap 3 – 5 menit

VT/VF refrakter

Amiodarone 300 mg bolus ulangi

amiodarone 150 mg bolus Sekali setelah 3 – 5 menit

Pertimbangkan intubasi

Manajemen Penyebab Reversibel

5H dan 5T

Henti jantung pada dewasa

Survei ABCD Primer Cek respon Telepon defibrilator C : Circulation : Cek nadi, mulai 30 kompresi dada dan 2 ventilasi A : Airway, buka jalan napas B : Breathing : cek pernapasan. Lihat, Dengar, dan Rasakan D : Defibrilasi : tempelkan monitor EKG/ Defibrilator

Cek Irama

RJP kontinyu

Monitor

Kualitas RJP

RJP kontinyu

Catatan :

Urutan tindakan : shock – RJP, shock – RJP

Obat-obatan harus diberikan saat akses sentral/IO/IV terpasang dan tidak harus berurutan

dengan shock

Pemberian obat-obatan harus diikuti RJP untuk memastikan obat dapat bersirkulasi

Energi defibrilasi tidak perlu ditingkatkan (bifasik 150 J atau monofasik 360 J)

*alternatif lignocaine 50 – 100 mg IV bolus, diulangi sekali setelah 3 – 5 menit

Perawatan pascca henti hantung termasuk : hipotermia terapeutik, hindari hiperoksia, infus

amiodaron 1 mg/menit selama 6 jam, dilanjutkan 0.5 mg/menit selama 18 jam

Jika VT/VF

Shock 150J ROSC

perawatan

pasca henti

jantung

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 30

DEFIBRILASI

Kita berlanjut pada langkah – langkah untuk melakukan defibrilasi yang aman. Saat ini,

sebagian besar defibrilator berjenis bifasik. Defibrilator dapat berfungsi dengan baterai

sehingga tidak memerlukan arus listrik hingga 1 – 2 jam.

Pada pelatihan ini digunakan defibrilator bifasik dimana saat kita menghidupkan maka

secara otomatis akan terpasang pada mode AED (gambar 3.5). Operator harus merubah

sistem ke manual dengan cara menekan tombol “manual mode” kemudian menekan tombol

“confirm”.

Gambar 3.5 defibrilator bifasik

Petunjuk Mengoperasikan Defibrilator

Beberapa defibrilator memiliki paddle yang juga berfungsi sebagai lead monitor. Namun

kami menyarankan anda untuk menempelkan 3 lead EKG dan pilih lead II untuk monitor

irama jantung.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 31

Gambar 3.6 Pilihan lead II

Mengenali irama “Shockable”

Segera setelah lead ditempelkan, lihat monitor. Ada 2 irama jantung yang dapat di”shock”

yang harus dikenali segera yaitu, VF dan VT.

Gambar 3.7 VF Gambar 3.8 VT

Posisi Paddle

Saat irama “shockable” teridentifikasi, bersiaplah untuk prosedur defibrilasi dengan

menempelkan paddle ke dada pasien. Paddle defibrilator didesain dengan label sternum dan

apex.

Paddle sternum diletakkan pada regio infra klavikular, tepat di sebelah sternum dan tepat di

bawah klavikula. Paddle apex diletakkan pada apeks jantung, pada area lateral inferior dari

puting.

Pada manekin, posisi ini ditunjukkan dengan tombol metal (lihat gambar 3.10-11).

Catatan:

Pada alat defibrilator biasanya terdapat pads jelly dalam kemasan satu set. Pads jelly

ini ditempelkan di tubuh pasien dengan posisi yang sama dengan paddle. Tetapi

dalam pelatihan ini tidak dilakukan karena merupakan bahan sekali pakai dan dapat

merusak manikin.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 32

Algoritme ACLS VF dan VT tanpa nadi

Untuk memulai defibrilasi, naikkan energi ke 150 joule bifasik dengan menekan

tombol “energy select”. Pada pengaturan standar, tombol SYNC tidak menyala (OFF).

Gambar 3.12 defibrilator bifasik: pilih energi standar (150 J)

Mengisi daya defibrilator (charge)

Untuk mengisi daya defibrilator, tekan tombol kuning bertulisan “charge” atau pada

tombol no 2 pada paddle. Jika pengisian daya sudah selesai, tingkat energi akan tampak di

monitor dan alarm akan berbunyi.

Gambar 3.10 tombol metal pada

manekin menunjukkan posisi

paddle sternum dan apeks

Gambar 3.11 Paddle sternum dan

apeks diletakkan di dinding dada

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 33

Cara memegang paddle yang aman

Paddle pada dada pasien

Setelah mengidentifikasi posisi, letakkan dan tahan paddle sternum dan apeks pada

dinding dada dengan kuat. Kami sangat menyarankan anda menggunakan kedua jari

telunjuk untuk menekan tombol discharge (melepas daya) dan tempatkan ibu jari dan jari

lainnya di bawah pegangan paddle.

Posisikan jari anda namun JANGAN lakukan defibrilasi terlebih dahulu. Selama

latihan dengan manekin, pastikan bahwa paddle berhubungan dengan tombol metal pada

manekin, jika tidak maka akan terjadi percikan api.

Gambar 3.13 tekan tombol charge

(pengisian daya)

Gambar 3.14 defibrilator bifasik

telah diisi daya pada level energi

150 J (tanda panah merah)

Gambar 3.15 tekan tombol charge

(pengisian daya)

Gambar 3.16 jaga jarak antara

paddle yang terisi daya

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 34

Keselamatan diri dan anggota tim

Untuk memastikan keamanan anda dan anggota tim, lakukan pencegahan sebagai berikut :

Lihat sekeliling dan ke belakang dan teriakkan “Stand clear”

Pastikan tidak ada satu orang pun, termasuk anda sendiri, yang kontak dengan

pasien atau bed.

Lihat kembali pada monitor untuk mengkonfirmasi bahwa VF dan VT masih ada.

Ingat bahwa kadang – kadang irama tersebut dapat berubah, dan anda tidak perlu

melakukan shock pada pasien yang tidak lagi memiliki irama VF atau VT.

Gambar 3.17 jari telunjuk bersiap

untuk menekan tombol discharge

sementara ibu jari dan jari lainnya

berada di bawah pegangan

paddle

Gambar 3.18 pastikan paddle

terhubung dengan tombol metal

pada manekin, jika tidak maka

akan timbul percikan api

Gambar 3. 19 lihat sekeliling, ke

belakang dan teriakkan stand clear

Gambar 3. 20 pastikan tidak ada satu

orangpun, termasuk anda, yang

memiliki kontak dengan tubuh pasien

atau bed/troli

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 35

Defibrilasi

Dengan mata tertuju pada monitor, lakukan defibrilasi dengan menekan tombol

discharge berwarna oranye secara bersama – sama.

Setelah shock pertama, lakukan kompresi dada selama satu menit sebelum menilai irama

atau nadi.

Saran terakhir mengenai keamanan

Di setiap saat, melakukan pengisian daya (charge) dan defibrilasi harus dilakukan

dengan paddle terpasang di defibrilator atau pada dada pasien. JANGAN menekan

tombol charge atau discharge dengan paddle di udara (tidak menempel).

JANGAN memegang kedua paddle dengan satu tangan.

Berbagai tindakan defibrilasi yang anda lihat di serial televisi dikerjakan dengan tidak aman

dan tidak sesuai prosedur, sebagai contoh, menggosok sisi metal permukaan paddle

bersama untuk membagi jel konduksi, atau memberikan kejut listrik pada pasien asistol.

Jangan tiru tindakan tidak aman tersebut pada pelatihan ACLS anda atau pada saat

resusitasi.

Gambar 3.21 tekan tombol oranye

secara bersama - sama

Gambar 3.21 lakukan defibrilasi

dengan aman

Gambar 3.23 Pengisian daya (charge)

harus dilakukan pada saat paddle

masih terpasang di defibrilator

Gambar 3.24 garis lurus di bagian kiri

layar menunjukkan pelepasan energi

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 36

Catatan:

Setiap kali irama monitor berubah, cek nadi karotis. Irama monitor yang tampak

seperti irama sinus belum tentu didapatkan nadi. Hal ini disebabkan karena jantung

dapat memiliki aktifitas kelistrikan namun tidak menghasilkan nadi, kondisi ini disebut

PEA (pulseless electrical activity).

Rangkuman

Secara ringkas, VF adalah aritmia yang paling sering mengakibatkan henti jantung.

Defibrilasi adalah satu – satunya terapi definitif untuk VF dan VT tanpa nadi. Semakin

cepat defibrilasi dilakukan, semakin tinggi kemungkinan keberhasilan dan kembalinya

sirkulasi spontan.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 37

Bab 4

Pulseless Electrical Activity (PEA) dan Asistol

Tujuan

Tujuan dari bab ini adalah :

Menjabarkan algoritme untuk PEA dan asistol

Mengidentifikasi penyebab PEA

Pendahuluan

PEA merupakan irama jantung yang bukan ventrikel fibrilasi (VF), bukan ventrikel

takikardi dan bukan asistol pada pasien tanpa nadi. Bentuk irama PEA dapat berkisar antara

irama sinus, berbagai bentuk takikardi atau bradikardi, hingga irama idioventrikuler pada

pasien tanpa nadi. Adanya aktifitas listrik di jantung namun tidak ada kontraksi jantung atau

curah jantung yang mana hal tesebut dapat menjelaskan mengapa pasien tersebut dalam

kondisi tanpa nadi. Jika PEA tidak ditangani akan mengakibatkan terjadinya asistol.

Kunci manajemen PEA adalah mengkoreksi penyebab reversibel yang harus anda

ketahui. Tanpa adanya penyebab reversibel, PEA, seperti halnya asistol akan memiliki

prognosis yang buruk.

Algoritme Asistol / PEA

Gambar 4.1 pada halaman berikut menunjukkan algoritme pasien asistol/ PEA. Dari

atas dijelaskan, algoritme dimulai dengan bantuan hidup dasar dengan menilai respon,

mengaktifasi tim code blue, meminta defibrilator, membuka jalan nafas, menilai nadi dan

melakukan kompresi dada. Untuk menghindari keterlambatan mulai kompresi dada, 2 kali

nafas bantuan awal dihilangkan dari algoritma.

Pada saat defibrilator telah tersedia, tempelkan lead dan nilai irama dengan segera.

Jika monitor menunjukkan asistol, lakukan konfirmasi dengan mengganti monitor irama ke

lead lainnya dan hindari sentuhan ke tubuh pasien untuk mencegah terjadinya gerakan

artifak. Jika monitor menunjukkan irama yang bukan VT atau VF, dan nadi pasien masih

tidak teraba, maka irama yang menyebabkan pasien kolaps adalah PEA. Lanjutkan kompresi

dada selama 1 – 2 menit.

Akses intravena harus terpasang dan berikan infus NS. Adrenalin 1 mg IV harus

diberikan setelah kompresi dada untuk memastikan obat dapat bersirkulasi. Adrenalin

diulang tiap 3 – 5 menit. Atropine dan natrium bikarbonat IV tidak lagi direkomendasikan

untuk asistol atau PEA.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 38

Amankan jalan nafas dan respirasi pasien dengan intubasi jika diperlukan, dan

berikan dukungan ventilasi tekanan positif. Percobaan intubasi seharusnya tidak

mengganggu kompresi dada.

Setelah RJP selama 1 – 2 menit, nilai kembali irama. Jika masih asistol atau PEA,

ulangi tindakan di atas. Jika terdapat perubahan pada irama, cek nadi dan segera berikan

respon.

Keputusan penghentian resusitasi tergantung pada protokol rumah sakit lokal.

Catatan:

- Defibrilasi TIDAK diindikasikan pada manajemen PEA atau asistol.

- Pemimpin tim mencari penyebab reversibel PEA (5H dan 5T). 5 H adalah

hipovolemia, hipoksia, asidosis, hiper dan hipokalemia, dan hipotermia. 5T

adalah : tablets, tamponade, tension pneumothorax, sindrome koroner akut,

dan emboli pulmonal.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 39

Gambar 4.1 algoritme asistol/ PEA

Algoritma ACLS untuk Asistol/PEA

Terapi obat

Saat IV/IO/akses vena sentral terpasang,

Adrenalin 1 mg bolus setiap 3 – 5 menit

Pertimbangkan intubasi

Manajemen Penyebab Reversibel

5H dan 5T

Tabel 4.1 Pertimbangkan penyebab yang reversibel (4H 5T)

Hipovolemia Hidrogen ion – asidosis Hiper-/hipokalemia Hipotermia

Tablets (obat – obatan, OD, kecelakaan) Tamponade, cardiac Tension pneumothorax Thrombosis, koroner (ACS) Thrombosis, (Emboli pulmonal)

Henti jantung pada dewasa

Survei ABCD Primer

Cek respon

Minta defibrilator

C : Circulation : Cek nadi, mulai 30 kompresi dada:2ventilasi

A : Airway : buka jalan nafas

B : Breathing : cek pernafasan. Lihat, Dengar, dan Rasakan

D : Defibrilasi : tempelkan monitor EKG/Defibrilator

Cek Irama

RJP kontinyu

Monitor

Kualitas RJP

RJP kontinyu

Asistol

/PEA

ROSC

perawatan

pasca henti

jantung

Protokol penghentian

jika tetap asistol

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 40

Terapi spesifik

Kunci terapi spesifik pada kasus ini adalah riwayat penyakit, anamnesis kejadian

yang mengarah ke henti jantung, pemeriksaan fisik, EKG dan kadang hasil laboratorium.

Sebagai contoh, apakah pasien yang pucat mengalami perdarahan dari saluran

cerna atau akibat robekan pada aorta atau luka intra abdominal yang mengakibatkan

hipovolemia dan henti jantung? Resusitasi cairan diperlukan pada keadaan tersebut. Apakah

pasien tersebut mengalami distres pernapasan berat dan hipoksia yang memerlukan

ventilasi penyelamatan atau intubasi? Apakah pasien KAD atau gagal ginjal asidotik

memerlukan natrium bikarbonat? Jika didapatkan hipokalemia atau hiperkalemia, lakukan

koreksi secara agresif. Hipotermia kadang terlihat pada pasien tenggelam. Resusitasi dan

penghangatan kembali harus dilanjutkan hingga suhu basal tubuh lebih dari 35 derajat

celsius sebelum resusitasi dihentikan.

Di Singapura, overdosis obat yang paling sering mengakibatkan PEA adalah

antidepresan trisiklik dan zat golongan organofosfat. Selain RJP, berikan antidot yang sesuai

jika tersedia. Di Indonesia belum ada data khusus terkait hal ini.

Tamponade jantung dapat dijumpai pada pasien dengan luka tusuk pada dada kiri

dan juga pasien dengan efusi perikardial yang maligna. Perikardiosentesis dapat

menyelamatkan nyawa pasien.

Tension pneumothorax dapat dijumpai pada pasien trauma dan non trauma. Pada

pasien trauma, cedera dada bagian luar, fraktur costa, dan flail chest adalah kelainan

penyerta pada tension pneumothorax. Pada pasien non trauma, skenario klasiknya adalah

desaturasi, hipotensi, dan kesulitan bagging pada pasien PPOK atau asma yang terintubasi.

Ingat: setelah intubasi pasien, adanya desaturasi yang tidak dapat dijelaskan dan adanya

hipotensi, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya pneumothorax. Needle thoracotomy pada

intercostal space (ICS) 2 dapat membantu meringankan tension pneumothorax. Jika

kecurigaan klinik tension pneumothorax sangat kuat dan needle decompression tidak dapat

memberikan perbaikan, pasang chest tube segera karena mungkin jarum tersebut tidak

dapat mencapai pneumothorax.

Jika PEA disebabkan oleh emboli pulmonal akut, selain RJP, peran trombolitik masih

tidak jelas dan penelitian lebih lanjut mungkin dapat mengubah manajemen terapi. Jika

sirkulasi spontan kembali setelah PEA yang diakibatkan sindrom koroner akut, terapi

revaskularisasi harus segera dikerjakan dengan modalitas PCI (percutaneous coronary

intervention).

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 41

Hal yang harus diingat

Pada panduan AHA dan ILCOR tahun 2010, obat – obatan berikut ini tidak lagi

direkomendasikan sebagai terapi PEA/ Asistol:

Atropin

Natrium bikarbonat (untuk resusitasi yang panjang)

Ringkasan

Sebagai ringkasan, kunci manajemen PEA dan asistol adalah mencari dan

mengkoreksi penyebab yang reversibel. Kompresi dada yang berkualitas sangatlah

penting, keterlambatan dan interupsi pada kompresi dada oleh karena intervensi

lainnya harus diminimalkan.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 42

BAB 5

SINDROM KORONER AKUT

Tujuan

Tujuan bab ini adalah :

Menjabarkan patofisiologi sindrom koroner akut

Mengenali perubahan yang terjadi pada EKG

Mengenali perlunya intervensi awal

Pendahuluan

Acute coronary syndrome (ACS) atau sindroma koroner akut (SKA) mencakup seluruh

nyeri dada iskemik, dari unstable angina, non ST elevation acute myocardial infarction (Non

STEMI) hingga Q-wave Acute Myocardial Infarction (AMI) klasik yang disebut STEMI.

Serangkaian kejadian yang terjadi dalam lumen arteri koroner, mengakibatkan

terjadinya sindrom koroner akut. Pembentukan plak aterosklerotik memerlukan waktu

bertahun – tahun dan pasien dapat hidup dengan arteri koroner yang menyempit tanpa

keluhan dalam waktu yang lama. Agar ACS terjadi dan menimbulkan gejala, plak dalam

arteri koroner harus mengalami erosi atau ruptur mendadak. Platelet segera tertarik dan

menumpuk pada permukaan plak yang terekspos. Hal ini diikuti deposisi fibrin dan

pembentukan bekuan darah. Dalam beberapa menit hingga beberapa jam, seluruh lumen

arteri koroner dapat mendadak tersumbat oleh trombus. Jika agregasi platelet atau deposisi

fibrin lisis spontan atau pembentukan bekuan darah hanya bersifat parsial atau intermiten,

presentasi klinis dapat berupa unstable angina atau Non STEMI. Jika sumbatan bersifat

total, pasien mengalami STEMI.

Gambar 5.1 Gambar ilustrasi plak

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 43

Definisi Infark Miokard Akut

IMA didefinisikan sebagai kematian sebagian jaringan jantung dikarenakan

menurunnya suplai oksigen dan darah secara tiba-tiba (akut).

Diagnosis awal sangat penting karena kita dapat mengurangi mortalitas dengan

menyelamatkan jaringan miokard dan mencegah komplikasi, terapi paling efektif diberikan

pada fase awal.

Panduan AHA 2010

Sejak tahun 2000, American Heart Association telah menyarankan protokol – protokol ini.

Untuk mengurangi jumlah miokard yang nekrosis pada pasien dengan IMA, sehingga dapat

mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan mencegah terjadinya gagal jantung, diperlukan

perawatan terintegrasi yang melibatkan perawatan pra-rumah sakit, instalasi gawat darurat,

dan fasilitas percutaneous coronary intervention (PCI).

Protokol STEMI telah bergeser dari trombolitik menjadi PCI primer. Jika pasien

dibawa ke rumah sakit oleh paramedik, EKG 12 lead dikirim melalui fax ke IGD dan pada

saat yang sama IGD diaktivasi. Jika pasien datang sendiri ke IGD dengan keluhan nyeri

dada, dilakukan EKG di triase. Jika terdiagnosis STEMI, maka pasien segera dipindahkan ke

ruang resusitasi dan tim PCI diaktifkan. PCI harus mulai dikerjakan dalam 90 menit sejak

pasien datang. Hal ini disebut dengan door to balloon time. Parameter ini salah satu yang

penting untuk indikator performa. Pada rumah sakit yang belum mempunyai fasilitas PCI

maka pasien dapat dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas tersebut atau jika tidak

memungkinkan, maka dilakukan terapi trombolitik sebagai prioritas alternatif kedua.

Presentasi klinis

Presentasi klinis sering berupa nyeri dada klasik, namun harus kita ketahui bahwa

nyeri dada tersebut tidak selalu merupakan sindrom koroner akut.

Nyeri dada klasik adalah nyeri dada seperti ditekan dan diremas – remas pada

daerah prekordial kiri atau substernal, yang menjalar hingga ke leher, rahang, pundak dan

terus ke lengan. Kadang, nyeri dada bersifat gradual, hingga mencapai maksimum. Pada

pasien dengan penyakit arteri koroner yang mengalami sindrom koroner akut, nyeri dada

menjadi semakin sering dan terjadi pada saat istirahat dan tidak berkurang dengan GTN.

Ingat bahwa beratnya nyeri dan gejala tidak berbanding lurus dengan beratnya sindrom

koroner akut yang diderita.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 44

Pasien dengan toleransi nyeri yang tinggi dapat menyebutkan skala nyeri 5 dari 10 bahkan

pada kondisi infark miokard akut anterior masif. Pasien lain yang memiliki toleransi nyeri

rendah akan berteriak karena nyeri yang dirasakan bahkan jika nyerinya merupakan nyeri

muskuloskeletal setelah evaluasi yang menyeluruh.

Presentasi klinis lainnya dapat berupa nyeri epigastrik, sesak nafas, keringat dingin dan nyeri

pada rahang atau gigi. Orang tua dan pasien dengan diabetes melitus cenderung

memperlihatkan gejala atipikal dengan disertai disorientasi, perubahan kesadaran, atau

bahkan kejang. Ingat bahwa pasien sindrom koroner akut dengan kejang dapat diakibatkan

oleh takidisritmia atau bradidisritmia.

Sebagian besar pasien sindrom koroner akut memiliki pemeriksaan fisik yang normal,

kecuali mereka mengalami komplikasi seperti gagal jantung, edema pulmonum atau syok

kardiogenik.

Evaluasi

Kriteria WHO untuk diagnosis IMA ditetapkan pada tahun 1979. Dua dari tiga kriteria

di bawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis IMA :

Riwayat klinis nyeri dada iskemik

Perubahan EKG

Perubahan enzim jantung

Bagaimanapun juga, enzim jantung, baik CKMB maupun troponin mungkin tidak

meningkat pada 4 – 6 jam pertama. Dengan demikian diagnosis awal dalam beberapa jam

pertama berdasar pada anamnesis, riwayat pasien dan perubahan EKG.

Pada tahun 2000, European Society of Cardiology dan American College of Cardiology

menyatakan pendekatan yang sedikit berbeda untuk mendiagnosis sindrom koroner akut.

Mereka menekankan pada fluktuasi enzim jantung dan satu dari poin berikut ini:

Riwayat gejala jantung iskemik atau perubahan EKG seperti ST elevasi atau depresi, Q

wave, dan bundle branch block onset baru, T wave yang tinggi runcing (hiperakut T) atau

Penemuan yang didapatkan pada saat intervensi arteri koroner

Diagnosis EKG

Diagnosis STEMI pada EKG berdasarkan adanya ST elevasi, T inversi atau Q patologis.

Dengan adanya edukasi publik, pasien nyeri dada biasanya datang pada fase awal dan

rekaman EKG 12 lead dapat normal atau hanya menunjukkan hiperakut T. Ingat untuk

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 45

mengulang EKG 5 – 10 menit kemudian terutama pada pasien dengan nyeri dada atau

gejala yang terus menerus.

Perubahan ST segment pada IMA

Lead yang menunjukkan ST elevasi mengindikasikan lokasi infark

IMA anterior masif (ekstensif) ST elevasi pada lead V2 – V6

IMA anteroseptal ST elevasi pada V2 – V4. IMA Anterolateral, ST elevasi di lead V5,V6,

I dan aVL.

IMA inferior, ST elevasi pada II,III, aVF

Untuk IMA ventrikel kanan, lead kanan harus diperiksa, dan menunjukkan ST elevasi

pada V4R hingga V6R

Oklusi arteri koroner kiri cabang utama dapat menunjukkan ST elevasi pada aVR yang

dibandingkan dengan lead V1

IMA Anterior

EKG dibawah menunjukkan IMA anterior dengan ST elevasi pada V2 – V6

Gambar 5.2 ST elevasi pada lead V2 – V6

IMA inferior

EKG pada gambar 5.3 menunjukkan IMA inferior dengan ST elevasi pada II, III, aVF. Pada

lead V2, gelombang R tampak tinggi dan ST segmen mengalami depresi, yang merupakan

bukti tidak langsung adanya IMA posterior. Selalu periksa lead ventrikel kanan karena pada

85% populasi arteri koroner kanan memberi suplai pada dinding inferior dan posterior

ventrikel kiri serta ventrikel kanan.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 46

Gambar 5.3 ST elevasi pada II,III, dan aVF

Manajemen awal

Tindakan segera saat anda mempunyai pasien dengan nyeri dada iskemik adalah

melakukan pemeriksaan EKG, tekanan darah dan monitor denyut jantung.

Akses vena harus dapat terpasang. Pemberian MONA (Morfin, Oksigen, Nitrat, dan

Aspirin) yang banyak tersedia di sarana kesehatan, harus segera dilakukan. Saat STEMI

sudah terdiagnosis, persiapkan rencana reperfusi dengan PCI primer.

Monitoring EKG mempermudah deteksi awal aritmia, karena aritmia yang mematikan

biasanya terjadi pada 4 jam pertama.

Akses vena diperlukan untuk pemberian cairan dan obat – obatan untuk resusitasi.

Kanulasi vena perifer menjadi pilihan pertama untuk hal tersebut.

Oksigen mencegah hipoksia yang dapat memperberat kerusakan miokard dan

meningkatkan resiko komplikasi. Pada pasien dengan pernafasan normal, pemberian

oksigen tambahan dengan nasal kanul sudah cukup untuk mencapai SaO2 ≥ 94%.

Bagaimanapun, pasien dengan gagal jantung akut atau syok kardiogenik, penatalaksanaan

jalan nafas lanjut dan dukungan ventilasi mungkin diperlukan.

Penghilang nyeri dengan morfin IV dan GTN, diberikan dalam sediaan sublingual,

topikal, atau IV. Sangat penting agar pasien terbebas dari nyeri, karena nyeri meningkatkan

sekresi katekolamin endogen yang dapat mengakibatkan aritmia dan dengan demikian,

analgesia yang adekuat sangatlah penting.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 47

Injeksi intramuskular harus dihindari karena didapatkan potensi terjadi hipotensi

akibat efek depot intramuskular, dan resiko hematom serta perdarahan jika kemudian pasien

diberikan terapi antikoagulan atau trombolitik. GTN harus dihindari pada pasien dengan

infark ventrikel kanan karena efek venodilatasi dapat menurunkan pengisian ventrikel kanan,

dan memperburuk curah jantung.

Terapi reperfusi dan terapi lainnya

Yang dimaksud terapi revaskularisasi adalah trombolitik IV atau percutaneous

coronary intervention (PCI).

Kadang – kadang CABG (Coronary artery bypass grafting) emergensi diperlukan saat

terjadi kegagalan terapi trombolitik atau PCI.

Sementara terapi revaskularisasi dipersiapkan, berikan terapi antiplatelet. Untuk

sebagian besar pasien tanpa kontraindikasi, aspirin cukup sesuai namun merupakan agen

antiplatelet yang non spesifik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa clopidogrel seperti

Plavix, merupakan agen antiplatelet spesifik yang mengurangi mortalitas pada pasien

sindrom koroner akut. Peran glikoprotein IIb – IIIa masih kontroversial karena resiko tinggi

terjadi perdarahan. Heparin IV sering diberikan pasca terapi trombolitik sementara LMWH

(low molecular weight heparin) sangat berguna pada NSTEMI dan onset lama (late

presenters)

Terapi tambahan lainnya dapat berupa beta-bloker, GTN, dan ACE inhibitor.

Terapi trombolitik mungkin masih digunakan di beberapa institusi tanpa fasilitas PCI

24 jam. Terapi trombolitik hanya diindikasikan untuk IMA dengan ST elevasi yang datang

dalam 4 – 6 jam setelah onset gejala.

Trombolisis dikontraindikasikan untuk unstable angina dan non-STEMI. Sementara PCI

dapat digunakan untuk semua jenis sindrom koroner akut. Intinya, trombolitik intravena

hanya melisiskan bekuan darah namun tidak menghilangkan plak aterosklerotik. PCI dapat

menghilangkan semua bekuan darah dan plak, sehingga sesuai terutama untuk pasien yang

lebih muda.

Catatan:

- manajemen awal untuk ACS adalah pemberian MONA (morfin, oksigen, nitrat

dan Aspirin)

- jika terbukti STEMI maka segera rujuk ke rumah sakit dengan fasilitas lebih

lengkap untuk dilakukan revaskularisasi

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 48

Algoritma sindrom koroner akut

Algoritma sindrom koroner akut diringkas dalam gambar 5.4. Penjelasan dari atas,

edukasi publik mengajarkan orang awam untuk mengaktifasi pelayanan pra-rumah sakit

(SPGDT) pada saat mereka mengalami nyeri dada. Di ambulans, paramedis memasang

akses vena, memberikan oksigen dan GTN sublingual, kemudian menginformasikan IGD

untuk melakukan persiapan dan mengirimkan faks EKG 12 leadnya.

Pada saat tiba di IGD, penilaian klinis segera termasuk monitoring tanda vital, EKG

12 lead, akses vena, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang fokus. Rontgen dada dan

pemeriksaan darah harus dikerjakan sesegera mungkin.

Jika didapatkan IMA dengan ST elevasi, unstable angina, atau non STEMI pada saat

evaluasi, maka putuskan apakah pasien layak menjalani prosedur PCI. Pada pasien STEMI,

masih dapat dilakukan terapi trombolitik. Ingat bahwa waktu door to ballon (waktu dari

datang hingga PCI 90 – 120 menit) sementara door to needle adalah dalam waktu 30 menit.

Saat merencanakan terapi reperfusi, berikan MONA dan terapi tambahan yang sesuai.

Komplikasi ACS

Komplikasi sindrom koroner akut antara lain aritmia, syok kardiogenik, ruptur

miokard, edema pulmonum akut, regurgitasi mitral, sekaligus ruptur septal intraventrikel.

Aritmia akan didiskusikan pada bab terpisah. Jika dinding bebas miokard ruptur,

pasien biasanya hilang kesadaran dan tidak berespon terhadap resusitasi. Pasien dengan

ruptur dinding septal atau regurgitasi mitral datang dengan syok kardiogenik dan murmur

jantung onset baru.

Syok kardiogenik dan edema pulmonum akut akan didiskusikan pada bab terpisah.

Infark ventrikel kanan

Infark ventrikel kanan lebih sering terjadi pada IMA inferior. Pada infark ventrikel

kanan yang berat, didapatkan kegagalan pompa jantung kanan yang mengakibatkan

berkurangnya aliran darah ke sirkulasi pulmoner.

Berkurangnya aliran darah tersebut mengakibatkan turunnya curah jantung kiri, dan

bermanifestasi sebagai hipotensi, distensi vena leher dan auskultasi paru yang bersih. Harus

dicurigai IMA ventrikel kanan pada pasien dengan presentasi klasik di atas.

Manajemen Infark Ventrikel kanan

Pasien dengan infark ventrikel kanan memerlukan challenge cairan untuk

meningkatkan tekanan darah. Hal tersebut berkebalikan dengan infark ventrikel kirid. Pada

pasien yang lebih tua, mulailah dengan 200 – 300 cc NS dan lakukanlah evaluasi respon.

Pada pasien lebih muda 500 cc NS lebih sesuai.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 49

Jika tekanan darah tidak berespon adekuat terhadap pemberian cairan,

pertimbangkan pemberian inotropik seperti Dopamin. Anda harus menghindari pemberian

diuretik dan GTN untuk mencegah penurunan tekanan darah lebih hebat.

Gambar 5.4 algoritma ACS

Ringkasan

Secara ringkas, sindrom koroner akut merupakan hasil dari ruptur plak aterosklerosis.

Diagnosis awal sangat penting karena akan berpengaruh terhadap mortalitas. Terapi

yang dimulai awal dapat menyelamatkan lebih banyak miokard dan mencegah

komplikasi.

Orang Awam

EMS

IGD

Orang dewasa dengan nyeri dada, hubungi 119

Akses vena, oksigen, GTN, kontak IGD, kirim

faks EKG

Triase singkat

Segera :

Tanda tanda vital, EKG 12 lead, IV line

Pemeriksaan fisik dan anamnesis singkat dan

terfokus

Segera : rontgen

dada, pemeriksaan

darah, konsultasi

IMA dengan ST elevasi Unstable angina, NSTEMI

Putuskan apakah

pasien layak

dilakukan terapi

reperfusi :

Trombolitik vs PCI

Pilihan terapi :

O2, GTN, aspirin, morfin

Heparin, GP IIa/IIIb

Putuskan apakah

pasien layak untuk PCI

Door-to-needle

≤30 menit

Door-to-balloon

90 menit

IGD, CVM

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 50

BAB 6

HIPOTENSI, SYOK DAN EDEMA PULMONUM

Tujuan

Tujuan bab ini adalah

Untuk menjabarkan algoritme terapi untuk hipotensi, syok dan edema pulmonum.

Definisi istilah

Definisi hipotensi tidak sama dengan syok meskipun keduanya sering dihubungkan

satu sama lain. Secara sederhana, hipotensi adalah penurunan tekanan darah dan syok

adalah manifestasi klinis dari perfusi jaringan yang tidak adekuat yang muncul sebagai

gangguan kesadaran, dingin, perifer yang basah dan berkeringat, sensasi rasa haus,

berkurangnya produksi urin dan sebagainya.

Syok dapat terjadi meskipun tidak didapatkan hipotensi. Sebagai contoh, pada tahap

awal syok hipovolemik atau septikemik, pasien dapat mengalami disorientasi atau menjadi

gelisah disertai berkurangnya produksi urin namun tekanan darah masih normal sampai

akhirnya terjadi kegagalan mekanisme kompensasi. Secara umum, syok diklasifikasikan

menjadi lima tipe : hipovolemik, septikemik, kardiogenik, neurogenik, dan anafilaktik.

Syok kardiogenik berarti terjadinya penurunan fungsi pompa ventrikel kiri lebih dari

40%, dan tingkat kematiannya 50 - 70 % bahkan di rumah sakit dengan tingkat perawatan

yang canggih.

Di Singapura, penyebab tersering syok kardiogenik adalah sindrom koroner akut dan

miokarditis. Secara klinis, syok kardiogenik dapat muncul pada pasien hipotensi dengan

edema pulmonum.

Edema pulmonum akut sendiri sering dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah yang

hebat, sering disebut sebagai gagal jantung dekompensasi akut/ acutely decompensated

heart failure (ADHF).

Algoritma hipotensi, syok, dan edema pulmonum

Gambar 6.1 menunjukkan algoritma hipotensi, syok, dan edema pulmonum. Dari

atas, pasien sadar dilakukan survei primer dan sekunder. Berdasarkan penemuan survei

primer dan sekunder, kita memutuskan apakah pasien memiliki permasalahan fungsi pompa

jantung atau denyut jantung, atau kombinasi keduanya.

Pada sisi kiri, jika didapatkan problem volume, berikan cairan intravena, tranfusikan

darah jika perlu dan pada saat yang sama identifikasi dan terapi penyebab dasarnya.

Kehilangan darah adalah penyebab paling sering, sebagai contoh dari saluran cerna. Jika

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 51

tekanan darah tidak memberikan respon meskipun telah diberikan cairan dan darah,

pertimbangkan penggunaan vasopressor.

Gambar 6.1 algoritma hipotensi dan syok

SBP < 70 mmHg

Tanda dan gejala

syok

SBP 70 - 100 mmHg

Tanda dan gejala

syok

SBP 70 – 100 mmHg

Tidak ada tanda dan

gejala syok

SBP > 100 mmHg

Pertimbangkan :

Norepinefrin

ATAU

Dopamin

Dopamin

(tambahkan

Norepinefrin jika

Dopamin mencapai

dosis maksimum

Dobutamin

GTN IV 10 – 20

ug/menit, jika

tetap nyeri, TD

meningkat, titrasi

ATAU berikan

Nitroprusid

Jika pada edema

pulmonum,

pertimbangkan langkah

selanjutnya pada

algoritme selanjutnya

Pasien sadar

Survei ABCD primer dan sekunder

Volume

Termasuk

problem

resistensi

vaskuler

Apakah sumber permasalahannya?

Pompa Denyut

Jantung

Berikan cairan, darah

Terapi penyebab dasar

Pertimbangkan

penggunaan vasopresor

Tekanan darah? Bradikardia ATAU

Takikardia

Lihat bab selanjutnya

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 52

Jika didapatkan permasalahan fungsi pompa, lihat tekanan darah. Jika tekanan darah

kurang dari 70 mmHg dengan tanda klinis syok, pertimbangkan penggunaan norepinephrine

atau dopamine. Jika tekanan darah antara 70 - 100 mmHg, dengan tanda klinis syok,

gunakan dopamin dan tambahkan norepinephrine jika perlu. Jika tekanan darah antara 70 -

100 mmHg, tanpa tanda syok, gunakan dobutamin. Ingat bahwa inotropik mungkin tidak

memberikan efek yang diharapkan pada pasien tertentu.

Secara umum sebagian besar dokter dan perawat cukup familier dengan dopamin.

Bagaimanapun, norepinephrine dianggap memiliki efek vasopresor yang lebih poten, dan

dianggap sebagai agen pilihan pada pasien syok septik. Dobutamin memiliki efek inotropik

yang lebih besar.

Di sisi lain, jika tekanan darah meningkat dan perlu dilakukan pengontrokan, gunakan

GTN atau nitroprusside. Secara umum, sebagian besar klinisi lebih familier dengan GTN.

Untuk pasien dengan permasalahan denyut jantung, kita akan mendiskusikan

manajemennya pada bab yang berbeda.

Gambar 6.2 algoritma edema pulmonum akut

Intervensi segera

- Terapi oksigen

- Rontgen dada, EKG, Pulse

oksimetri, akses vena

Gangguan pernafasan (respiratory

distress)

Ya

TIdak

Apakah dukungan jalan nafas

diperlukan?

- Gangguan jalan nafas

- Penurunan kesadaran

- Gangguan hemodinamik/syok

- IMA atau iskemia hebat

Intubasi endotrakeal

(Class I)

Ventilasi non invasif

- CPAP/BIPAP (Class I)

Manajemen

- Vasodilator/Nitrat (class I)

- Diuretik (class II)

- Morfin (class III)

TIdak Ya

Sistem overload Disfungsi diastolik

Output rendah

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 53

Algoritma edema pulmonum akut

Gambar 6.2 menunjukkan algoritma edema pulmonum. Gagal jantung dekompensasi

akut yang mengakibatkan edema pulmonum kardiogenik akut adalah bahasan yang

kompleks. Tidak semua kasus edema pulmonum kardiogenik akut disebabkan oleh

redistribusi cairan pada pasien euvolemik atau hipovolemik. Beberapa kasus disebabkan

disfungsi diastolik atau keadaan output yang rendah. Aktivasi neurohormon, sistem renin

angiotensin mengakibatkan peningkatan tonus vaskuler dan afterload yang mengakibatkan

edema pulmonum. Terapi bertujuan untuk menurunkan afterload dengan vasodilator (seperti

infus GTN). Pemberian furosemid diindikasikan jika didapatkan overload cairan.

Bagaimanapun juga, furosemid dapat memperburuk fungsi renal pada pasien euvolemik dan

hipovolemik. Morfin memiliki efek vasodilator ringan dan ansiolitik, namun harus digunakan

dengan hati - hati karena penggunaannya dikaitkan dengan peningkatan kebutuhan ventilasi

mekanik sebagai akibat depresi respiratorik.

Oksigen tambahan penting untuk diberikan jika ada indikasi. Non invasive

ventilation (NIV) dengan continuous positive airway pressure (CPAP) atau biphasic positive

airway pressure (BIPAP) memperbaiki mekanik paru dengan cara mengurangi alveoli yang

mengalami atelektasis, memperbaiki komplians paru, dan mengurangi kerja nafas dan dapat

mencegah dilakukannya intubasi.

Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan jika NIV tidak

tersedia, gagal, atau tidak sesuai untuk pasien tersebut. Sangat penting untuk mengintubasi

pasien pada saat yang tepat. Ingat bahkan pasien dengan PPOK, oksigen 100% tetap harus

diberikan sampai edema pulmonum akut membaik sehingga konsentrasi oksigen dapat

diturunkan.

Berhati - hati saat memberikan sedatif pada persiapan intubasi. Agen sedatif seperti

midazolam dan propofol dapat menurunkan tekanan darah. Etomidate merupakan agen

induksi yang stabil untuk jantung karena tidak memiliki efek menurunkan tekanan darah.

Dosis etomidate 0.3 mg/kg.

Saat tekanan darah meningkat, gunakan GTN IV atau nitroprusside. Meskipun dobutamin

hanya digunakan pada pasien dengan tekanan darah lebih dari 100, namun harus diberikan

dengan hati - hati karena dapat meningkatkan tekanan darah lebih lanjut. Dopamin berguna

saat tekanan darah rendah dan didapatkan tanda - tanda syok, pada saat anda menghadapi

syok kardiogenik. Rujukan ke kardiologi diperlukan segera untuk intervensi lanjutan seperti

pemasangan intra aortic balloon pump (IABP) atau revaskularisasi dengan PCI.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 54

Skenario

Kita akan menggunakan dua skenario untuk menggambarkan strategi terapi untuk hipotensi

dan syok.

Skenario 1

Skenario pertama adalah laki - laki 40 tahun dengan keluhan nyeri dada dengan durasi 45

menit. Pasien berkeringat dan kesakitan, dengan tekanan darah 65/35 dan denyut jantung

40. Terdengar denyut jantung ganda dan paru - paru bersih. EKG menunjukkan IMA

ventrikel kanan dan inferior dengan total AV blok. Bagaimana pendekatan strategi

penatalaksanaan pasien tersebut?

Gambar 6.3 AV Block 2

o tipe I

Kita dapat mulai bertanya apakah pasien memiliki masalah volume? Tidak, pasien

tidak memiliki masalah volume.

Apakah pasien memiliki masalah dengan denyut jantungnya? Ya, pasien memiliki

denyut jantung 45 x/ menit. Bradikardia karena total AV blok mungkin berperan

mengakibatkan hipotensi pada pasien ini. Dengan demikian, atropin dan pacing merupakan

terapi yang sesuai.

Apakah pasien mengalami problem pompa jantung? Ya, pasien ini mengalami IMA

ventrikel kanan, ia mungkin mengalami kegagalan pompa jantung kanan, yang berperan

mengakibatkan hipotensi. Penggantian cairan intravena dapat memperbaiki fungsi pompa

jantung kanan. Revaskularisasi untuk IMA ventrikel kanan dan inferior juga akan

membalikkan hemodinamik yang terganggu.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 55

Pertanyaan terakhir apakah pasien dalam keadaan syok kardiogenik? Dengan jelas

jawabannya adalah Tidak, karena syok kardiogenik adalah hilangnya lebih dari 40% miokard

ventrikel kiri yang mengakibatkan kegagalan ventrikel kiri. Kegagalan ventrikel kanan dengan

hipotensi tidak diklasifikasikan sebagai syok kardiogenik.

Skenario 2

Kasus kedua adalah seorang wanita 75 tahun yang tidak menjalani hemodialisis

selama 1 minggu. Pasien mengalami sesak berat pada pukul 2 pagi. Pada saat datang,

pasien sesak, dan berkeringat dingin dengan tekanan darah 221/135, nadi 120, RR

36x/menit, pulsasi oksimetri 90% pada udara ruangan. Didapatkan krepitasi kasar di kedua

lapang paru. EKG menunjukkan sinus takikardia dengan ST depresi pada lead anterior.

Rontgen dada menunjukkan pembesaran jantung dengan kongesti pulmonal sesuai dengan

edema pulmonum akut. Apakah pendekatan yang anda gunakan untuk pasien tersebut?

Gambar 6.4 ST depresi

Gambar 6.5 rontgen dada

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 56

Kita mulai dengan pertanyaan apakah pasien mengalami problem volume? Ya,

pasien ini memiliki masalah kelebihan cairan (fluid overload).

Apakah pasien mengalami problem denyut jantung? Tidak

Apakah pasien mengalami problem fungsi pompa? Ya, pasien dengan gagal ginjal

kronik cenderung memiliki penyakit jantung iskemik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang

buruk. Tekanan darah meningkat, menunjukkan adanya peningkatan tahanan vaskuler, dan

memperparah problem pompa. Terapinya mencakup vasodilator seperti GTN IV, morfin, dan

oksigen tambahan, serta diuretik seperti furosemid.

Selain oksigen 100%, pasien diberikan morfin 3 mg IV, infus GTN IV pada kecepatan

15 mcg per menit selama 30 menit dan furosemid 120 mg IV. meskipun telah diberikan obat

- obatan tersebut, pulsasi oksimetri tidak membaik dan tetap 91%. Pasien juga tampak

kelelahan. Bagaimana anda melakukan manajemen pada pasien tersebut?

Ya, anda perlu melakukan intubasi. Midazolam 5 mg IV diberikan untuk sedasi pasien

dan suksinilkolin 100 mg IV untuk memparalisis. ETT dapat dipasang pada percobaan

pertama. Meskipun demikian, tekanan darahnya turun menjadi 70/56. Mengapa tekanan

darahnya turun?

Mengapa tekanan darahnya turun?

Beberapa alasan menjelaskan mengapa tekanan darah rendah. Pertama, kita perlu

menyingkirkan kemungkinan adanya tension pneumothorax setelah intubasi. Selanjutnya

kita harus mengulangi EKG untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit jantung

koroner onset baru atau perburukan.

Untuk obat - obatan yang diberikan pada pasien ini, midazolam menurunkan tekanan

darah dan juga memblok sekresi katekolamin endogen. Suksinilkolin mengakibatkan

paralisis otot, mengakibatkan hilangnya tonus otot dan turunnya venous return. Sebelum

dilakukan intubasi, pasien diberikan furosemid IV, morfin dan GTN, yang kesemuanya

menurunkan tekanan darah.

Jika didapatkan asma kardiale dengan bronkospasme, akibat dari tekanan intra

torakal yang tinggi dan peningkatan tekanan puncak inspirasi juga mengakibatkan

penurunan venous return. Dengan demikian, sekali keputusan telah diambil untuk

mengintubasi pasien dengan edema pulmonum akut, sangat penting untuk menghentikan

infus GTN, tahan dosis furosemid dan morfin dan gunakan midazolam dosis rendah, misal 2

– 3 mg, untuk meminimalkan hipotensi pasca intubasi.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 57

Ringkasan

Secara singkat, saat kita melakukan manajemen pada pasien dengan syok atau

edema pulmonum, penting untuk membedakan apakah pasien memiliki permasalahan

volume, pompa, atau denyut jantung atau kombinasi keduanya atau lebih.

Setiap permasalahan tersebut memiliki pendekatan manajemen yang berbeda.

Pemahaman mengenai cara kerja dan peran vasodilator dan vasopresor sangat

penting untuk membantu anda memilih agen yan tepat untuk memperbaiki status

hemodinamik pasien.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 58

BAB 7

OBAT-OBATAN

Tujuan

Bab ini mendiskusikan beberapa obat yang sering digunakan pada saat resusitasi dan

kegawatdaruratan jantung. Tujuannya adalah:

Menjabarkan peran obat – obatan pada ACLS

Menjabarkan penggunaan obat untuk mengoptimalkan fungsi jantung

Dua Pertanyaan Kunci

Ada dua pertanyaan kunci yang harus dijawab jika kita hendak memahami bagaimana

penggunaan obat secara rasional pada kasus kegawatdaruratan:

Pertama, apa saja satu atau dua proses penyakit primer yang harus diidentifikasi

atau diterapi pada pasien tersebut?

Kedua, obat apakah, jika ada, yang berguna untuk mengobati proses penyakit primer

tersebut?

Sangat penting untuk diingat bahwa tanpa mengobati proses penyakit primernya, mencoba

untuk mengobati efek sekundernya dapat berbahaya dan tidak berguna untuk pasien.

Prinsip Pemberian Obat

Saat memberikan obat – obatan, ada beberapa prinsip yang harus diingat. Beberapa

pengobatan yang memiliki efek besar terhadap tekanan darah dan denyut jantung harus

diberikan berupa bolus secara perlahan atau infus kecuali pasien mengalami henti jantung.

Jika pengobatan tersebut diberikan dalam infus dengan dosis tinggi, harus diikuti dengan

penurunan dosis secara bertahap, pemantauan EKG, dan tekanan darah sebelum dihentikan

sepenuhnya. Penghentian tiba – tiba obat – obatan tersebut dapat mengakibatkan fenomena

rebound. Dosis paling rendah yang dapat mencapai efek yang diinginkan adalah dosis

optimal untuk pasien.

Pada saat akses vena sulit, akses vena subklavia atau vena sentral jugular interna

atau rute intraoseus merupakan beberapa alternatif. Pemberian obat melalui pipa

endotrakeal tidak lagi direkomendasikan.

Dua skenario

Secara umum, obat – obatan dibutuhkan dalam dua jenis skenario. Pada skenario

henti jantung, obat digunakan untuk membantu kontraksi jantung dan mempertahankan

sirkulasi serebral dan koroner. Bagaimanapun, seperti pernyataan American Heart

Association, penting untuk diketahui bahwa pada pasien henti jantung, pemberian obat –

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 59

obatan merupakan manajemen sekunder setelah intervensi lain. Sebagai contoh, pada

pasien henti jantung dengan ventrikel fibrilasi, defibrilasi dan kompresi dada adalah

manajemen lini pertama sementara adrenalin merupakan terapi sekunder.

Skenario kedua adalah pasien dengan nadi dan tekanan darah, dimana obat –

obatan digunakan untuk optimalisasi :

1. Curah jantung

2. Sirkulasi koroner

3. Situasi yang mendukung fungsi jantung

Untuk mengoptimalkan curah jantung membutuhkan normalisasi dan optimalisasi volume,

kemampuan memompa, dan denyut jantung.

Obat – obatan henti jantung

Pada semua henti jantung, Adrenalin diberikan setiap 3 – 5 menit. setelah itu, perhatikan

irama jantung yang muncul.

Pada VF dan VT tanpa nadi, sebagai tambahan, berikan Amiodaron atau Lignocaine.

Magnesium diindikasikan pada VT polimorfik.

Pada PEA, selain Adrenalin, obat – obatan lain seperti Kalium diperlukan pada kondisi

hipokalemia, Kalsium diindikasikan pada hiperkalemia, serta pemberian antidot pada

kasus overdosis.

Pada asistol, hanya Adrenalin yang diindikasikan.

Gambar 7.1 Pasien henti jantung

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 60

Optimalisasi obat – obatan

Gambar 7.2 optimalisasi obat - obatan

Pada pasien dengan nadi dan tekanan darah, obat – obatan digunakan untuk

mengoptimalkan fungsi jantung (gambar 7.2).

Dari ujung kiri bawah gambar 7.2 volume perlu dioptimalkan untuk curah jantung

optimal. Jika pasien pada keadaan overload cairan, diuretik akan membantu mengeluarkan

kelebihan cairan. Jika pasien dalam keadaan hipovolemik, seperti perdarahan saluran cerna

atau trauma besar, penggantian cairan intravena dan transfusi darah diperlukan.

Kedua, fungsi pompa jantung perlu dioptimalkan untuk curah jantung optimal. Jika

pompa jantung bekerja terlalu keras dan tekanan darah meningkat, vasodilator diperlukan.

Jika pompa tidak bekerja dengan baik dan tekanan darah rendah, vasopresor perlu

digunakan.

Ketiga, denyut jantung perlu dioptimalkan. Obat – obatan dapat digunakan untuk

menaikkan denyut jantung pada bradikardia atau untuk memperlambat denyut jantung pada

takikardia.

Keempat, sirkulasi koroner perlu dioptimalkan dengan penggunaan vasodilator, agen

reperfusi, anti-platelet, dan antikoagulan.

Dan terakhir, kondisi jantung perlu dioptimalkan. Dengan demikian, oksigen,

penghilang nyeri, dan keseimbangan asam – basa, fungsi endokrin dan metabolik yang

utama harus dinilai dan dikoreksi. Jika pasien mengalami overdosisi atau keracunan, hal

tersebut juga harus diatasi.

Obat – obatan Optimalisasi Pompa Jantung : Vasodilator/ Antihipertensi

Di bawah ini adalah vasodilator yang umum digunakan untuk mengoptimalisasi

pompa jantung saat jantung bekerja terlalu keras dan tekanan darah meningkat.

3. Rate

Terlalu cepat

Terlalu lambat

4. sirkulasi koroner

Vasodilator

Reperfusi

Antiplatelet, anticoagulation

2. Pompa

TD terlalu tinggi

- Vasodilator/anti

hipertensi

TD terlalu rendah

- Vasopressor

5. lingkungan

Oksigenasi

Analgesia

Asam – basa

Metabolik – endokrin

Toksin, obat - obatan

1. Volume

Hipervolume

- diuretik

hipovolemia

- cairan

- transfusi darah

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 61

GTN adalah venodilator dan arteriodilator namun lebih kuat bekerja sebagai

venodilator dengan demikian menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel kiri. GTN

yang diberikan sebagai infus merupakan obat pilihan untuk gagal jantung akut atau edema

paru akut dengan adanya iskemik jantung atau sindrom koroner akut. Sebelum penggunaan

GTN IV pada pasien pria, sangat penting untuk menanyakan apakah pasien telah

menggunakan Sildenafil (Viagra) atau obat – obatan serupa pada beberapa jam

sebelumnya. Interaksi antara Nitrat dan Sildenafil dapat mengakibatkan hipotensi hebat dan

mengakibatkan kematian.

Sodium Nitroprusside bekerja lebih kuat sebagai arteriodilator dibanding venodilator.

Meskipun merupakan obat pilihan pada hipertensi emergensi, Sodium Nitroprusside memiliki

potensi untuk mengakibatkan iskemik jantung. Sebagai tambahan, bahan ini harus terlindung

dari cahaya untuk mencegah degradasi nitroprusid menjadi sianida yang beracun.

Beta bloker dapat juga digunakan karena dapat menurunkan denyut jantung dan mengurangi

kontraktilitas miokard. Untuk pasien asma dan PPOK, beta bloker harus digunakan dengan

hati – hati. Generasi beta bloker terdahulu dikontraindikasikan pada gagal jantung namun

generasi yang baru seperti Bisoprolol dan Metoprolol berguna dalam manajemen gagal

jantung.

Obat – obatan optimalisasi pompa jantung : Vasopresor

Sekarang, perhatikan beberapa vasopresor yang umum digunakan untuk

mengoptimalkan fungsi pompa jantung saat jantung tidak bekerja dengan baik dan tekanan

darah menjadi rendah. Sebagian besar dari agen tersebut adalah katekolamin dengan

kemampuan untuk meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan kontraktilitas miokard.

Karena kemampuan meningkatkan denyut jantung, maka obat – obatan ini memiliki resiko

menyebabkan disritmia, terutama VT dan VF yang mengancam nyawa. Peningkatan

kontraktilitas miokard dapat mengakibatkan perburukan iskemia yang sudah terjadi. Sebelum

memulai vasopresor, sangat penting untuk mengeksklusi atau mengoreksi hipovolemia.

Adrenalin adalah katekolamin yang paling umum dikenal dan pada percobaan

binatang, adrenalin dapat memperbaiki perfusi serebral dan koroner. Pada henti jantung,

adrenalin diberikan berupa bolus cepat. Pada situasi lain, seperti bradikardia simptomatik,

harus diberikan melalui infus.

Untuk pasien dengan syok neurogenik dan septik, noradrenalin adalah vasopresor

pilihan.

Jika adrenalin adalah katekolamin yang paling umum dikenal, maka mungkin

dopamin adalah katekolamin yang paling sering digunakan. Dopamin yang diberikan dalam

infus dosis rendah, berfungsi mendilatasi pembuluh darah mesenterika, renal, dan serebral,

meningkatkan sirkulasi pada ketiga sistem tersebut tanpa mengubah tekanan darah atau

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 62

denyut jantung. Pada dosis medium, dopamin mulai meningkatkan tekanan darah dan

denyut jantung. Pada dosis tinggi, didapatkan vasokonstriksi vena dan arteri perifer,

mesenterik, dan renal bersamaan dengan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.

Dopamin merupakan vasopresor yang disarankan untuk hipotensi yang terkait bradikardia

dan hipotensi setelah kembalinya sirkulasi spontan.

Dobutamin juga diberikan sebagai infus dosis rendah, medium dan tinggi. Secara

umum, dobutamin dapat meningkatkan tekanan darah tanpa menginduksi takikardia yang

terlalu hebat seperti pada Dopamin dan Noradrenalin. Dobutamin direkomendasikan untuk

hipotensi yang terkait kongesti pulmonal dan disfungsi ventrikel kiri.

Satu hal penting yang perlu diingat tentang penggunaan vasopresor: Adrenalin

adalah satu – satunya vasopresor yang diberikan pada saat henti jantung. Sementara agen

vasopressor lainnya hanya diindikasikan pada pasien dengan nadi.

Obat – obat optimalisasi denyut jantung pada takikardia dengan QRS lebar

Sekarang, mari perhatikan obat – obat yang memperlambat takikardia dengan QRS

lebar untuk mengoptimalkan denyut jantung. Efek yang sering didapatkan dari obat – obatan

ini adalah penurunan denyut jantung dengan potensi terjadinya bradikardia dan asistol, serta

penurunan tekanan darah.

Amiodaron atau Lignocaine digunakan untuk VF, VT dan takikardia dengan QRS

lebar dengan penyebab yang tidak diketahui. Lignocaine memiliki rentang terapeutik yang

sempit, rasa tebal sekitar mulut dan jari – jari merupakan tanda awal toksisitas.

Sebagai tambahan untuk VF dan VT, amiodarone juga digunakan untuk SVT, atrial

flutter, dan atrial fibrilasi. Karena penurunan klirens, pasien dengan pengobatan Warfarin

yang mendapatkan Amiodaron harus diawasi dengan ketat, terutama profil pembekuan

darah, sementara pasien dengan pengobatan digoksin harus dilakukan monitor EKG yang

ketat.

Magnesium intravena merupakan obat pilihan untuk VT polimorfik (torsades de

pointes).

Ketiga obat – obatan ini dapat diberikan berupa bolus cepat pada henti jantung dengan VF

dan VT, namun harus diberikan berupa bolus pelan atau infus saat digunakan untuk

takikardia dengan nadi.

Takikardia dengan QRS lebar : Lignocaine dan Amiodaron

Baik Amiodaron dan Lignocain cocok digunakan pada pasien VT yang stabil. Jika

anda memilih menggunakan salah satu, tetap gunakan agen yang sama dan jangan berubah

ke agen yang lain untuk mencegah bradikardia dan hipotensi yang hebat.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 63

Gambar 7.3 Takikardia ventrikel klasik yang merupakan takikardia kompleks lebar dengan irama

regular dan tidak adanya gelombang P

Obat – obatan optimalisasi denyut jantung pada Takikardia dengan QRS sempit

Sekarang, perhatikan beberapa obat yang memperlambat denyut jantung pada

takikardia dengan QRS sempit. Adenosin menjadi populer karena tingkat keamanan yang

tinggi. Waktu paruhnya enam detik dan seluruh efek sampingnya seperti bronkospasme,

nyeri dada, flushing, dan hipotensi hanya bersifat sementara.

Berikut di bawah ini adalah tips dalam pemberian adenosin:

Komunikasikan dengan jelas kepada pasien bahwa ia akan merasakan

ketidaknyamanan di dada pada saat Adenosin mencapai jantung

Pilihlah vena perifer yang paling dekat dengan jantung, hubungkan dengan threeway

ke kanul intravena, hubungkan Adenosin pada satu lubang dan 20 cc NS ke lubang

yang lain.

Setelah memasukkan Adenosin dengan cepat, lakukan flush (bolus cepat) NS segera

untuk mempercepat adenosin mencapai jantung.

Ingat untuk merekam perubahan EKG pada defibrilator.

Verapamil dan Diltiazem merupakan CCB (calcium channel blocker) yang dapat

memperlambat takikardia QRS sempit, selain mendilatasi arteri koroner. Jangan gunakan

obat ini pada pasien dengan sindrom WPW (Wolf-Parkinson-White) karena beresiko terjadi

VT refrakter. Sebisa mungkin, obat – obatan ini harus dihindari pada pasien dengan terapi

beta bloker.

Beta bloker yang telah didiskusikan pada slide sebelumnya, dapat juga digunakan untuk

memperlambat takikardia kompleks sempit.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 64

Takikardia dengan QRS sempit : Adenosin, Verapamil, Diltiazem

Gambar 7.4 SVT klasik yang merupakan takikardia kompleks sempit dengan interval RR regular dan

tidak adanya gelombang P

Obat – obatan optimalisasi denyut jantung pada bradikardia

Sekarang, perhatikan obat – obatan yang meningkatkan denyut jantung pada

bradikardia. Obat pilihan pada bradikardia simptomatik adalah atropin.

Atropin diketahui merupakan agen vagolitik karena obat tersebut bekerja pada nervus

vagus, dengan demikian menghambat aktivitas parasimpatik. Jika digunakan sebagai antidot

pada keracunan organofosfat atau kolinergik yang akut, Atropin diberikan dengan dosis

besar hingga tanda atropinisasi klasik muncul.

Selain mengakibatkan kejang dan gagal nafas pada dosis yang sangat besar, efek

samping lainnya hampir serupa adrenalin, yaitu meningkatkan tekanan darah dan denyut

nadi. Baik infus adrenalin maupun dopamin dapat digunakan untuk terapi bradikardia

simptomatik.

Catatan: Atropin tidak lagi direkomendasikan pada henti jantung dengan asistol dan

PEA

Obat – obatan optimalisasi sirkulasi koroner

Obat – obatan untuk mengoptimalkan sirkulasi koroner dibagi menjadi vasodilator,

agen reperfusi, anti-platelet dan antikoagulan.

GTN merupakan vasodilator koroner kerja cepat dan tersedia dalam bentuk tablet

sublingual dan oral, spray mulut, patch kulit, dan intravena.

Agen reperfusi dalam berbagai generasi seperti Urokinase dan Streptokinase datang

dan pergi sejak trombolitik pertama kali diperkenalkan. Sementara agen reperfusi masih

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 65

memiliki peran, PCI menjadi populer sebagai pilihan terapi revaskularisasi dalam berbagai

situasi.

Agen anti-platelet dibagi menjadi tipe spesifik dan non-spesifik. Aspirin merupakan

agen non spesifik yang cukup baik dan murah.

Clopidogrel, juga disebut Plavix, meskipun lebih mahal dibanding aspirin, menjadi

popular sebagai agen anti-platelet karena beberapa penelitian menunjukkan perbaikan hasil

saat diberikan pada pasien IMA. Inhibitor glikoprotein IIa/IIIb sebagai agen antiplatelet

memiliki resiko hemoragik yang tinggi sehingga menjadi tidak populer.

Obat – obatan optimalisasi kondisi jantung

Terakhir, kita melihat pada obat – obatan yang digunakan untuk mengoptimalkan

kondisi agar jantung dapat bekerja.

Oksigen penting untuk mengoreksi atau mencegah hipoksia. Morfin merupakan agen

penghilang nyeri yang berguna.

Saat pasien mengalami hiperkalemia, overdosis trisiklik atau asidosis metabolik,

Natrium Bikarbonat merupakan obat yang dapat digunakan. Akan tetapi natrium bikarbonat

tidak dapat diberikan dalam bentuk infus bersama dengan obat – obatan lainnya. Kalsium

diindikasikan pada hiperkalemia untuk stabilisasi miokard, pada hipokalsemia dan pada

overdosis CCB. Diantara semua elektrolit, hiperkalemia merupakan kasus kegawatan yang

paling sering terjadi. Manajemen hiperkalemia termasuk penggunaan insulin dengan

dekstrosa, kalsium, natrium bikarbonat, salbutamol dan resonium, dan lain – lain.

Natrium bikarbonat dan buffer lainnya tidak lagi diindikasikan pada henti jantung.

Kasus NN

Sekarang kita akan melihat tiga kasus kegawatan kardiovaskular untuk memahami

peran obat – obatan tersebut pada manajemennya.

Kasus pertama adalah seorang laki – laki 53 tahun datang ke IGD dengan nyeri dada

1 jam sebelum masuk rumah sakit. Tekanan darahnya 75/47 mmHg, denyut jantung

45x/menit, sementara tanda – tanda vital lainnya stabil. EKG (gambar 7.6) 12 lead kiri dan

kanan menunjukkan IMA kanan, inferior dan total AV block. Dengan demikian kita

mengetahui proses penyakit primernya adalah IMA dengan total AV block yang

mengakibatkan tekanan darah yang rendah. Obat – obatan apa yang penting pada

manajemennya?

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 66

Gambar 7.6 IMA ventrikel kanan, inferior dan AV block 2o (tipe I)

Dari gambar 7.7 untuk IMA, kita perlu mengoptimalkan sirkulasi koroner. Karena

pasien tersebut mengalami IMA ventrikel kanan, GTN harus digunakan dengan hati – hati

karena dapat mengakibatkan venodilatasi, dan memperburuk tekanan darahnya yang

rendah. Jika tidak didapatkan kontraindikasi, pasien tersebut dapat dilakukan

revaskularisasi, baik dengan PCI atau trombolitik. Aspirin dan atau klopidogrel harus

diberikan sebagai antiplatelet. Antikoagulan diberikan setelah terapi revaskularisasi. Dan

pastinya, pasien tersebut memerlukan oksigenasi dan penghilang nyeri.

Pada ujung kiri atas, problem selanjutnya adalah manajemen kegagalan pompa

kanan sebagai akibat IMA. Dopamin menjadi pilihan vasopresor yang rasional untuk

memperbaiki pompa jantung

Pada kiri bawah, sangat penting untuk mengenali bahwa pasien ini memiliki problem

volume yang relatif. Sebagai akibat kegagalan pompa ventrikel kanan, venous return menuju

sirkulasi pulmoner menjadi tidak adekuat, sehingga mengakibatkan penurunan curah jantung

kiri dan dengan demikian menurunkan tekanan darah. Penggantian cairan memiliki peran

pada keadaan ini, namun harus diberikan dengan pertimbangan yang matang, terutama

pada pasien usia tua diamana pemberian 200 – 300 cc NS sudah mencukupi.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 67

Gambar 7.7 Optimalisasi kasus NN

Pada kanan atas, denyut jantung yang lambat diakibatkan oleh total AV block dapat

diterapi dengan infus atropin atau dopamin atau adrenalin. Sementara itu, persiapan untuk

pacing harus segera dilakukan.

Kasus FEW

Kasus kedua adalah wanita usia 19 tahun, datang ke IGD dengan sesak nafas

setelah 3 hari nyeri perut, diare dan muntah – muntah. Sebelumnya pasien diterapi oleh

dokter umum sebagai diare akut.

GCS 3 dengan tekanan darah 68/41 mmHg, dan denyut jantung 100x/menit, dengan

saturasi oksigen 95%, EKG 12 lead menunjukkan sinus takikardia, dan gula darah

meningkat pada 19.8 mmol/L. BGA menunjukkan asidosis metabolik berat.

Foto rontgen dada menunjukkan edema paru akut. Dengan demikian, kita tahu

bahwa proses penyakit primernya adalah syok kardiogenik kemungkinan oleh miokarditis

viral dan ketoasidosis diabetik.

B. Pompa

IMA ventrikel kanan : gagal

pompa ventrikel kanan –

tekanan darah terlalu rendah

- Dopamin

C. Volume

Gagal pompa ventrikel

kanan : volume venous

return ke sistem

pulmoner tidak

mencukupi –

hipovolemia

- pemberian cairan hati -

hati

D. Denyut jantung

IMA ventrikel kanan : gagal

pompa ventrikel kanan –

tekanan darah terlalu rendah

- Dopamin

A. Dilatasi koroner

Vasodilator : GTN –

HATI – HATI!

Reperfusi : PCI, SK, rTPA

Anti-platelet : aspirin, Plavix

Antikoagulasi : heparin

Perbaikan kondisi umum

Oksigenasi

Analgesia : morfin

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 68

Obat – obatan apa yang sesuai untuk manajemennya?

Gambar 7.8 Edema pulmoner akut

Gambar 7.9 Optimalisasi kasus FEW

Pada kiri atas gambar 7.9, problem utama adalah kegagalan pompa ventrikel kiri

yang mengakibatkan syok kardiogenik. Dopamin merupakan vasopresor rasional untuk

terapi awal.

Pada kiri bawah, pasien mengalami hipovolemia akibat muntah, diare dan KAD. Hal

ini membuat manajemen penyakitnya menantang terutama karena hipovolemia sistemiknya

disertai dengan edema paru akut. Monitoring tekanan vena sentral sangat penting untuk

menyeimbangkan penggunaan cairan intravena untuk mengkoreksi hipovolemia dan tidak

memperberat edema paru.

Dengan GCS rendah dan saturasi oksigen yang suboptimal, pasien ini membutuhkan

intubasi. Natrium bikarbonat berguna untuk koreksi asidosis metabolik berat. Insulin

diperlukan segera untuk mengontrol kadar gula darah.

A. Pompa

Gagal jantung kiri – syok

kardiogenik

- dopamin

B. Volume

Dehidrasi akibat GE dan DKA

- Pemberian cairan hati –

hati

- Monitoring CVP

C. Kondisi umum

Oksigenasi : intubasi

Asam – basa : natrium

bikarbonat

Metabolik – endokrin :

insulin

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 69

Kasus LSW

Kasus terakhir adalah seorang laki – laki 72 tahun dengan keluhan nyeri dada kiri

yang tidak menjalar dengan durasi 45 menit saat pasien bermain mahjong. Pasien mengidap

hipertensi dan seorang perokok.

Di IGD, GCS 15 dengan SBP 42 mmHg, denyut jantung 60 dan saturasi oksigen

96%. Pemeriksaan jantung paru dalam batas normal. Satu – satunya kelainan yang

ditemukan adalah pulsasi karotis dan radial kanan lebih lemah dibanding kiri. Pasien tetap

tenang di dalam ruang resusitasi.

EKG 12 lead telah diulang 3 kali dan tetap normal. Rontgen dada menunjukkan

pelebaran mediastinum. Dengan demikian kita mengetahui proses primer penyakitnya

mungkin merupakan diseksi aorta thorasik. Obat apa yang dapat berguna pada manajemen

pasien tersebut?

Gambar 7.10 pelebaran mediastinum Gambar 7.11 EKG normal

Gambar 7.12 optimalisasi kasus LSW

Pertama, diseksi aorta mengakibatkan hipovolemia relatif dan dengan demikian

diperlukan pertimbangan dalam pemberian cairan. Untuk mencegah perburukan diseksi

aorta, sangat penting untuk mempertahankan kontraktilitas miokard serendah mungkin,

dengan demikian mempertahankan tekanan darah sistoliknya antara 90 – 110 mmHg.

B. pompa

Pertahankan kontraktilitas

miokard serendah mungkin

- Pertahankan tekanan

darah sistolik 90 – 110

A. volume

Diseksi aorta –

hipovolemia relatif

- Pemberian cairan

dengan hati - hati

C. kondisi umum

Oksigenasi

Analgesia : morfin

Sirkulasi koroner

Vasodilator : GTN, hati –

hati!

Reperfusi : SK, rTPA

Antiplatelet : aspirin

Antikoagulan : heparin

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 70

Oksigen tambahan penting untuk mencegah hipoksia, dan morfin intravena dalam

dosis kecil merupakan analgesia yang sesuai.

Terapi definitif untuk pasien tersebut adalah operasi. Obat – obatan hanya berperan

sebagai tambahan dalam kasus ini. Meskipun pasien ini mengalami nyeri dada kiri, hal

tersebut tidak disebabkan oleh penyakit jantung koroner. Faktanya, vasodilator, reperfusi,

antiplatelet dan antikoagulan dikontraindikasi pada pasien dengan diseksi aorta.

Ringkasan

Sebagai ringkasan, untuk pasien henti jantung, pemberian obat – obatan merupakan

lini kedua setelah intervensi penyelamatan yang lain.

Saat pasien terdeteksi nadi, obat – obatan digunakan untuk optimalisasi curah jantung,

sirkulasi koroner dan kondisi umum agar jantung dapat bekerja. Untuk mengoptimalkan

curah jantung, volume, fungsi pompa dan denyut jantung harus dioptimalkan juga.

Kunci pada manajemen kasus adalah identifikasi proses penyakit primer dan

menggunakan obat – obatan yang sesuai untuk mengoptimalkan fungsi yang

terganggu.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 71

BAB 8

BRADIKARDIA DAN PACING TRANSKUTAN

Tujuan

Bab ini mendiskusikan bradikardia dan pacing transkutan. Tujuannya adalah sebagai berikut

:

Menjabarkan algoritma bradikardia

Menjelaskan tahapan dalam melakukan pacing transkutan

Revisi EKG : AV block derajat tinggi

AV block derajat tinggi merupakan penyebab paling sering terjadinya bradikardia

dengan gangguan hemodinamik. Berikut ini adalah gambaran singkat AV block derajat tinggi

pada monitor defibrilator.

Gambar 8.1 AV Block

Gambar 8.2 AV block derajat 3 dengan junctional escape

AV block derajat 3 berarti didapatkan disosiasi antara aktivitas atrial dan ventrikular.

Dengan demikian tidak didapatkan hubungan antara gelombang P dan kompleks QRS. Jika

AV junction memberikan mekanisme escape pada AV block derajat 3, maka akan

didapatkan QRS sempit di antara gelombang P, seperti yang didapatkan pada gambar 8.2

Gambar 8.3 AV Block derajat tiga dengan ventricular escape

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 72

Jika salah satu ventrikel memiliki escape mechanism pada total AV block, seperti

gambar 8.3, maka kita dapat melihat gambaran QRS lebar di antara gelombang P.

Gambar 8.4 Algoritme bradikardia

Pada algoritma di atas, kita memiliki pasien yang sadar yang akan dilakukan survei

primer. Penilaian tersebut menemukan adanya bradikardia, yang didefinisikan sebagai

Pasien sadar

Survei ABCD primer

Nilai irama

Bradikardia

Lambat (bradikardia absolut, dengan

rate < 60 x/menit)

ATAU

Cukup lambat (denyut jantung lebih

rendah dibanding diharapkan relatif

terhadap kondisi yang mendasari atau

penyebab tertentu)

Survei ABCD sekunder

Tanda atau gejala serius?

Akibat dari bradikardia?

AV block derajat 2 tipe II atau AV

block derajat 3?

Nyeri dada, dispneu, penurunan

kesadaran, penurunan tekanan darah,

syok, kongesti pulmonum, dll

Urutan intervensi

Atropine IV, 0,6 mg, diulang 3 –

5 menit

TCP jika tersedia

Dopamin 5 – 20 mcg/kg/menit

Adrenalin 2 – 10 mg/menit infus

observasi Persiapkan pacing transkutan

Jika muncul gejala, gunakan

TCP hingga pacing transvena

dipasang

YA

TIDAK YA

TIDAK

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 73

denyut jantung kurang dari 60x/menit atau denyut jantung yang relatif rendah yang berkaitan

dengan kondisi pasien tertentu. Selama survei sekunder, sangat penting untuk melihat

adanya tanda dan gejala serius seperti nyeri dada, perubahan kesadaran, hipotensi, syok,

dan lain – lain, yang mungkin disebabkan oleh bradikardia.

Pada sisi kanan algoritma, jika tanda dan gejala serius ini muncul dan disebabkan

oleh bradikardia, segera lakukan intervensi. Mulai dengan atropine 0.6 mg, diulang setiap 3 –

5 menit jika diperlukan. Pacing transkutan harus juga dipersiapkan jika tersedia. Dopamin

intravena atau infus adrenalin juga dapat dimulai dan dititrasi menurut respon denyut

jantung.

Pada sisi kiri algoritma, jika tidak didapatkan tanda dan gejala serius yang

disebabkan oleh bradikardia, lanjutkan dengan menilai apakah pasien mengalami AV block

derajat 2 tipe II atau AV block derajat III. Jika ada salah satu di antara keduanya, maka anda

harus mempersiapkan pacing transvena dan kontak dokter kardiologi segera. AV block

derajat tinggi merupakan kondisi yang tidak stabil dan dapat terjadi komplikasi seperti henti

jantung, asistol, atau VF. Pacing transkutan mungkin diperlukan selama persiapan pacing

transvena.

Akhirnya, jika bradikardia stabil dan tidak disebabkan oleh AV block derajat tinggi,

lakukan observasi pasien hingga periode waktu tertentu untuk memastikan tidak ada

perburukan lebih lanjut.

Catatan:

Hal penting yang perlu diingat adalah Atropin IV dapat diulang setiap 3 – 5 menit

hingga maksimal 0.04 mg/kg yaitu sekitar 2.4 pada orang dewasa. Meskipun bukan

kontraindikasi absolut, sebagian besar ahli memperingatkan bahwa penggunaan

Atropin pada AV Block tipe II dan AV block derajat 3 dengan kompleks QRS lebar

harus dilakukan dengan hati – hati.

Apa yang anda lakukan saat pasien dengan transplantasi jantung mengalami

bradikardia dengan ketidakstabilan hemodinamik? Selama transplantasi jantung, saraf

nervus vagus dipotong dan dengan demikian Atropin tidak dapat bekerja. Pada pasien

tersebut, pertimbangkan penggunaan Dopamin IV atau infus Adrenalin. Pada bradikardia

yang refrakter, dapat dipertimbangkan penggunaan Isoprenaline, namun hati – hati dengan

efek iskemik terhadap miokard.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 74

Ringkasan

Sebagai ringkasan, pada pasien sadar dengan bradikardia, mulailah menentukan

apakah didapatkan tanda dan gejala serius yang disebabkan oleh bradikardia.

Jika tanda dan gejala serius muncul dan disebabkan oleh bradikardia, mulailah

intervensi. Pada waktu yang sama, periksalah EKG 12 lead dan mungkin lead II

panjang diperlukan untuk mendiagnosis adanya aritmia. Intervensi bradikardia

termasuk TVP, TCP, Atropin IV, infus Dopamin, dan infus Adrenalin. TCP sangat

mudah dilakukan namun kegagalan capture dapat menjadi masalah.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 75

Bab 9

TAKIKARDIA DAN KARDIOVERSI

Tujuan

Bab ini mendiskusikan takikardi dan synchronized kardioversi. Tujuannya adalah sebagai

berikut:

Menjabarkan algoritma terapi pada takikardia dengan QRS lebar dan sempit

Mendeskripsikan langkah – langkah dalam melakukan synchronized kardioversi

Gambar 9.1. Algoritme takikardi

Pasien sadar

Survei primer ABCD

Nilai irama

Takikardia

Cepat, kecepatan > 100x/menit

Survei ABCD sekunder

Tanda dan gejala serius?

Akibat takikardia?

Penurunan kesadaran,

Penurunan tekanan

darah,

Syok,

Kongesti pulmonal,

Gagal jantung, dll

Berikan sedasi +/-

analgesik

VT, takikardia lain : mulai

dengan 100 joule

SVT, atrial flutter : mulai

dengan 50 joule

VT polimorfik : mulai

dengan 200 joule

Segera lakukan synchronized

kardioversi

Takikardia

kompleks sempit

Takikardia

kompleks lebar

VT Polimorfik

Koreksi abnormalitas elektrolit

Terapi iskemia

Magnesium sulfat IV

Pertimbangkan pacing overdrive

Tidak Ya

Lihat gambar 9.10 Lihat gambar 9.6

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 76

Dari atas, kita memiliki pasien yang sadar yang akan dilakukan survei primer. Saat

penilaian didapatkan irama non-sinus dengan denyut jantung lebih dari 100x/menit,

diagnosisnya adalah takikardia. Selama survei sekunder, sangat penting untuk mencari

tanda dan gejala serius seperti nyeri dada, perubahan kesadaran, hipotensi, syok dan lain-

lain, yang dapat diakibatkan oleh takikardia.

Pada bagian kanan bagan, jika tanda dan gejala serius ini muncul dan diakibatkan

oleh takikardia, segera lakukan synchronized kardioversi jika diperlukan. Sebelum

kardioversi, berikan sedatif dosis kecil seperti midazolam 2 mg IV dengan atau tanpa

analgesik. Mulailah dengan 100 joule pada VT, 50 joule pada SVT dan atrial flutter, dan 200

joule pada VT polimorfik. Tidak seperti defibrilasi, tidak didapatkan perbedaan pilihan tingkat

energi antara monofasik dan bifasik untuk kardioversi pada panduan resusitasi saat ini.

Pada bagian kiri bagan, jika tidak didapatkan tanda dan gejala yang serius yang

dikaitkan dengan takikardia, lanjutkan penilaian apakah pasien memiliki QRS lebar atau

sempit atau VT polimorfik. VT polimorfik jarang didapatkan dan biasanya disebabkan oleh

pemanjangan QT interval, iskemia jantung, atau abnormalitas elektrolit seperti

hipomagnesemia. Pemberian magnesium IV berguna untuk VT polimorfik. Sementara pada

saat yang sama, sangat penting untuk mencari penyebab dan mengoreksi penyebab yang

mendasari. Jika VT polimorfik bersifat refrakter, anda mungkin perlu menghubungi kardiolog

untuk memulai pacing overdrive.

Indikasi Synchronized kardioversi

Synchronized kardioversi diindikasikan pada pasien dengan nadi namun dengan

ketidakstabilan hemodinamik yang disebabkan oleh takikardia berikut ini :

VT

SVT

Paling jarang atrial flutter (AF) dengan rapid ventricular response (RVR)

Kecuali anda yakin bahwa (1) onset pasien dengan AF terjadi dalam 48 jam dan (2)

ketidakstabilan hemodinamik disebabkan oleh AF, sebagian besar ahli tidak

merekomendasikan kardioversi pada AF karena beresiko tinggi terjadi fenomena

tromboembolik karena bekuan intraventrikular.

Synchronized berarti defibrilator akan memberikan shock (kejut listrik) dekat dengan

puncak gelombak R, yang dianggap sebagai periode resiko rendah terjadinya VF. Tanpa

synchronized, kejut listrik yang diberikan dapat mengenai gelombang T, yang merupakan

periode dengan resiko tinggi mengakibatkan VF. Sehingga dengan demikian sangat penting

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 77

untuk memilih mode SYNC saat persiapan prosedur kardioversi untuk takikardia dengan

nadi.

Persiapan

Berikut ini adalah langkah – langkah untuk melakukan kardioversi

Persiapkan pasien dengan menjelaskan prosedur

Berikan oksigen 100%

Pastikan monitor EKG, oksimetri, dan denyut jantung terpasang.

Periksa monitor dan pilih lead dengan gelombang R mencolok

Pada sebagian besar pasien, lead II merupakan lead dengan gelombang R paling

mencolok (gambar 9.2)

Berikan sedatif intravena dengan dosis kecil dengan atau tanpa analgesik

Gambar 9.2 SVT pada lead II

Synchronized

Aktifkan tombol synchronized

Pada layar monitor terdapat tulisan “Sync On/Off” pada bagian kanan bawah. Tekan

tombol dibawah tulisan tersebut.

Pilih tingkat energi yang sesuai

- 100 joule untuk VT

- 50 joule untuk SVT dan atrial flutter

- 200 joule untuk VT polimorfik

- 100 joule untuk takikardia lainnya

Jika shock pertama tidak menghilangkan takikardia yang terjadi dan pasien masih

memiliki nadi, tingkatkan level energi 50 joule untuk shock berikutnya.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 78

Gambar 9.3 tombol SYNC

Kardioversi

Pada layar, sebuah titik muncul di dekat puncak gelombang R, mengindikasikan bahwa

tombol synchronized menyala

Tekan tombol charge untuk pengisian daya pada defibrilator

Lihat sekeliling dan belakang lalu teriakkan “stand clear”

Lihat kembali pada monitor untuk memastikan bahwa takikardia tersebut masih ada.

Lakukan kardioversi dengan menekan kedua tombol oranye secara bersama – sama

dan tahan tombol hingga shock dilepaskan

Tempatkan paddle kembali pada tempatnya

Nilai keadaan pasien dan EKG

Gambar 9.4 Tekan tombol dengan gambar petir

pada layar atau pada paddle jika syn “ready”

Gambar 9.5 lihat sekeliling dan

belakang

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 79

Komplikasi

Komplikasi paling penting pada kardioversi adalah VF setelah pemberian

shock. Saat VF terjadi, matikan sinkroniser, dan pilih tingkat energi 360 joule

pada mesin monofasik atau 150joule pada bifasik, dan lakukan defibrilasi

segera. Jangan tunda defibrilasi dengan melakukan kompresi dada atau

ventilasi atau pemberian obat – obatan. Komplikasi lain biasanya memerlukan

terapi simptomatik seperti nyeri, iritasi kulit dan luka bakar pada area paddle

Gambar 9.6 Algoritma Takikardia Kompleks Sempit

Takikardia Kompleks Sempit

Atrial fibrilasi

Atrial flutter

Obat untuk kontrol

rate :

Amiodaron

Diltiazem

Verapamil

Digoxin

Pertimbangkan

antikoagulan/aspirin

Paroksismal SVT

Manuver vagal

~ 25% mengalami

konversi

Periksa dan

pastikan tidak ada

bruit pada karotis

sebelum prosedur

tersebut

Adenosin 6 mg

IV bolus cepat

Adenosin 12 mg

IV bolus cepat

Verapamil 1 mg/min

IV bolus pelan, maks

20 mg

Semua obat tersebut

dapat digunakan,

tergantung pada

pengalaman klinisi dan

ketersediaan obat.

Jika status

hemodinamik

menurun, lakukan Synchronized kardioversi

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 80

Pada sisi kanan algoritma jika pasien mengalami SVT, manuver vagal dapat

dilakukan. Pada pasien dengan usia lebih tua, anda harus melakukan auskultasi untuk

menyingkirkan bruit carotis sebelum melakukan pijat vagal. Letakkan jari telunjuk dan jari

tengah pada nadi carotis dan pijat kuat dengan gerakan sirkuler selama 2 menit sementara

anda melakukan monitoring EKG dan denyut jantung. Manuver vagal berhasil menghentikan

SVT pada 20 -25% pasien. Jika vagal manuver gagal, maka satu atau dua agen

farmakologis dapat digunakan.

Salah satunya adalah adenosin dan verapamil. Sangat disarankan untuk

menggunakan kanul vena yang besar dekat jantung seperti vena pada fossa antecubiti saat

memberikan adenosin. Karena waktu paruhnya yang begitu pendek, pemberian adenosin IV

harus diberikan berupa bolus cepat diikuti bolus NS 20 cc. Mulailah dengan adenosin 6 mg

IV dan diulangi satu kali dengan 12 mg jika diperlukan. Jika adenosin 12 mg gagal, gunakan

verapamil.

Tidak seperti adenosin, verapamil harus diberikan berupa bolus pelan untuk

mencegah penurunan tekanan darah yang drastis. Cara yang aman adalah dengan

mengencerkannya dengan salin untuk mencapai konsentrasi 1 mg per ml. Berikan 1 mg per

menit dengan monitoring EKG, tekanan darah dan denyut jantung. Dosis maksimum

verapamil adalah 20 mg.

Pada sisi kiri algoritma, untuk atrial flutter dan atrial fibrilasi, rekomendasinya adalah

kontrol kecepatan denyut jantung dibanding konversi irama. Berbagai agen seperti

amiodaron, diltiazem, verapamil, digoxin, dll dapat digunakan untuk melakukan kontrol

denyut jantung. Karena resiko fenomena tromboembolik, antikoagulan mungkin perlu

diberikan sebelum intervensi mengontrol kecepatan denyut jantung.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 81

Atrial Flutter

Gambar 9.7 atrial flutter : gelombang saw-tooth (gergaji) yang menggantikan gelombang P pada atrial

flutter

Bagaimana membedakan antara atrial flutter – atrial fibrilasi dan SVT? Anda perlu

melihat EKG 12 lead dan mungkin lead II panjang untuk mengetahui perbedaannya.

Petunjuk pertama adalah lihat RR interval pada lead II pada bagian bawah EKG untuk

menilai apakah irama tersebut regular atau iregular. Jika RR interval iregular, mungkin irama

tersebut merupakan atrial flutter–fibrilasi. Gambaran EKG ini menunjukkan interval RR yang

sedikit ireguler namun memiliki bentuk gelombang gergaji klasik untuk atrial flutter di antara

gelombang R.

Atrial Fibrilasi

Gambar 9.8 Atrial Fibrilasi : RR interval yang sangat ireguler.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 82

Pada EKG ini, tidak didapatkan gelombang gergaji, tidak ada gelombang P namun

tampak dasar yang bergelombang di antara gelombang R. Ini merupakan tipikal atrial

fibrilasi.

SVT

Gambar 9.9 SVT : takikardia kompleks sempit, dengan RR interval yang reguler dan tidak adanya

gelombang P

Deskripsi klasik SVT adalah takikardia komplreks sempit dengan RR interval regular

dan tidak adanya gelombang P, seperti ditunjukkan pada gambaran EKG ini. Bagaimana

anda membedakan antara SVT dan sinus takikardia? Jawabannya terletak pada gelombang

P pada rekaman EKG. Gelombang P dengan defleksi positif di salah satu lead inferior,

lateral atau anterior menunjukkan bahwa irama EKG tersebut adalah sinus takikardia. Pada

SVT anda tidak akan dapat melihat gelombang P dengan defleksi positif pada lead tersebut.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 83

Gambar 9.10 Algoritma Takikardia Kompleks Lebar

Ini merupakan algoritma pada pasien stabil dengan takikardia kompleks lebar.

Penting untuk diingat bahwa saat dalam keraguan, terapi semua takikardia kompleks lebar

sebagai VT hingga terbukti sebaliknya.

Pada sisi kanan algoritma, jika dicurigai suatu VT, 2 obat yang dapat digunakan

adalah amiodaron dan lignokain. Amiodaron 150 mg IV yang diberikan dalam 10 – 15 menit,

diulang sekali jika perlu. Jika digunakan lignokain, maka lignokain diberikan 50 – 100 mg

dalam 10 menit bolus pelan, juga diulangi sekali jika perlu. Jika pasien tetap dalam keadaan

VT setelah 2 dosis di antara kedua agen tersebut, lakukan synchronized kardioversi.

Ada tiga hal penting yang harus dicatat:

Pertama, pengobatan apapun yang anda berikan, tetap gunakan obat tersebut. Sebagai

contoh, jika anda telah memulai dengan amiodaron, ulangi dengan amiodaron dan jika

perlu, gunakan infus amiodaron untuk dosis pemeliharaan. Jangan berpindah antara

amiodaron dan lignokain karena beresiko mengakibatkan hipotensi dan bradikardia.

Takikardia kompleks lebar

Jika dicurigai SVT dengan

aberansi

Jika VT menetap, lakukan Synchronized

kardioversi.

Jika status hemodinamik memburuk,

lakukan Synchronized kardioversi

Adenosin 6 mg IV

bolus cepat

Adenosin 12 mg IV

bolus cepat

Amiodaron 150 mg IV

selama 10 menit

Amiodaron 150 mg IV

selama 10 menit

Lignokain 50 – 100

mg IV bolus pelan

Lignokain 50 – 100

mg IV bolus pelan

Kecurigaan VT

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 84

Kedua, jika status hemodinamik pasien menurun selama pemberian obat – obatan

tersebut, hentikan obat tersebut dan lakukan synchronized kardioversi segera.

Ketiga, amiodaron dan lignokain dapat mengakibatkan hipotensi hebat jika diberikan

berupa bolus cepat. Dengan demikian, kecuali pasien dalam keadaan henti jantung,

amiodaron dan lignokain harus diberikan berupa bolus pelan atau infus.

Setelah kardioversi pada kasus VT berhasil, pasien harus diberikan infus anti-aritmia

yang kontinyu untuk mencegah rekurensi. Semua gangguan elektrolit harus dikoreksi

- Amiodaron IV 1 mg/menit selama 6 jam diteruskan 0.5 mg/menit selama 18 jam

ATAU

- Lignokain IV 1 – 2 mg/menit selama 24 jam

Pada sisi kiri algoritma, jika terjadi SVT dengan aberansi yang artinya dicurigai

adanya Bundle Branch Block, berikan adenosin. Jika pasien tidak memberikan respon, maka

ganti dengan salah satu di antara kedua agen ini, amiodaron atau lignokain. Penting diingat

saat menghadapi takikardia kompleks lebar, jangan gunakan verapamil karena verapamil

akan mengakibatkan VF.

SVT dengan aberansi

Gambar 9.11 SVT dengan RBBB : irama reguler, dengan gelombang R bertakik “rabbit ear” terlihat pada lead V1 – V3, tanpa gelombang P

EKG menunjukkan SVT dengan RBBB (right bundle branch block), dengan

gelombang R bertakik yang terlihat di V1 hingga V3. RBBB memiliki QRS lebar, yang

mengakibatkan takikardia kompleks lebar dengan irama reguler dan tidak adanya

gelombang P.

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 85

VT

Gambar 9.12 VT : irama reguler, dengan takikardia kompleks lebar tanpa gelombang P

Gambaran EKG ini menunjukkan VT klasik yang merupakan takikardia kompleks

lebar dengan irama reguler dan tidak adanya gelombang P. Pada EKG ini, tidak didapatkan

gelombang R bertakik pada semua lead.

Torsades de Pointes

Gambar 9.13 Torsades de Pointes. Irama dengan bagian yang terpelintir, paling baik dilihat pada lead

II

Gambaran EKG ini menunjukkan torsades de pointes, yang artinya titik yang

terpelintir. Irama ini adalah suatu bentuk VT polimorfik. Irama ini paling baik dilihat pada lead

Modul Pelatihan ACLS

Tim Pelatihan RSM/A Jatim 86

II. Pasien tersebut mengalami hipomagnesemia dan juga iskemia jantung yang masih

berlanjut.

Catatan:

Ada dua hal yang perlu diingat.

Pertama, tidak seperti VF yang mengakibatkan pasien tidak sadar dalam

hitungan detik, VT dapat ditemukan pada pasien yang stabil atau pada pasien

tanpa nadi dan nafas.

Kedua, sebagian besar pasien SVT memiliki klinis yang baik kecuali didapatkan

penyakit penyerta

Ringkasan

Sebagai ringkasan, pada pasien sadar dengan takikardia, penilaian harus dimulai

dengan menentukan apakah didapatkan tanda dan gejala serius yang disebabkan oleh

takikardia.

Jika didapatkan tanda dan gejala serius yang disebabkan oleh takikardia, lakukan

synchronized kardioversi segera, lebih baik jika pasien sudah diberikan sedasi terlebih

dahulu.

Jika tidak didapatkan tanda dan gejala serius, periksa EKG 12 lead dan mungkin lead

II panjang untuk mendiagnosa aritmia.

Baik takikardia kompleks sempit maupun lebar, obat – obatan dapat digunakan

sebagai lini pertama pada pasien stabil, sementara synchronized kardioversi harus dilakukan

segera pada pasien tidak stabil. Jika pasien menjadi tidak stabil pada saat intervensi

farmakologis, hentikan obat tersebut dan lakukan kardioversi.

Ingat : takikardia dengan QRS kompleks lebar harus dianggap sebagai VT hingga

terbukti bukan.