40
7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perikanan Perikanan merupakan semua kegiatan yang berkaitan dengan ikan, termasuk memproduksi ikan, baik melalui penangkapan (perikanan tangkap) maupun budidaya (perikanan budidaya), atau mengolahnya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pangan sebagai sumber protein dan non pangan (pariwisata dan ikan hias). Ruang lingkup kegiatan usaha perikanan tidak hanya memproduksi ikan saja ( on farm), tetapi juga mencakup kegiatan off farm, seperti pengadaan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, pemasaran, pemodalan, riset dan pengembangan, perundang- undangan, serta faktor usaha pendukung lainnya. Jenis usaha perikanan dibagi menjadi tiga antara lain usaha melalui penangkapan, usaha melalui budidaya, dan usaha pengolahan ikan (Wiadnya, 2012). Berdasarkan ketentuan dalam Pasal (1) ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, perikanan dikatakan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan, mulai dari pra-produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Aktifitas perikanan sangat beragam dan berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Sebagai aktifitas primer, perikanan dibedakan ke dalam aktifitas penangkapan (capture fisheries) dan budidaya (culture fisheries atau aquaculture) (Wiadnya, 2012).

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perikanan 2.pdf · Perbedaan pada kondisi tutupan karang akan ... yaitu pemindahan sensible heat di atas proses ... udara dingin melewati pipa-pipa

Embed Size (px)

Citation preview

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Perikanan

Perikanan merupakan semua kegiatan yang berkaitan dengan ikan, termasuk

memproduksi ikan, baik melalui penangkapan (perikanan tangkap) maupun budidaya

(perikanan budidaya), atau mengolahnya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan

pangan sebagai sumber protein dan non pangan (pariwisata dan ikan hias). Ruang

lingkup kegiatan usaha perikanan tidak hanya memproduksi ikan saja (on farm),

tetapi juga mencakup kegiatan off farm, seperti pengadaan sarana dan prasarana

produksi, pengolahan, pemasaran, pemodalan, riset dan pengembangan, perundang-

undangan, serta faktor usaha pendukung lainnya. Jenis usaha perikanan dibagi

menjadi tiga antara lain usaha melalui penangkapan, usaha melalui budidaya, dan

usaha pengolahan ikan (Wiadnya, 2012).

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal (1) ayat (1) Undang-Undang No. 31

Tahun 2004, perikanan dikatakan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan

pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan, mulai dari

pra-produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan

dalam suatu sistem bisnis perikanan. Aktifitas perikanan sangat beragam dan berbeda

antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Sebagai aktifitas primer, perikanan

dibedakan ke dalam aktifitas penangkapan (capture fisheries) dan budidaya (culture

fisheries atau aquaculture) (Wiadnya, 2012).

8

2.2 Perikanan Budidaya

Perikanan budidaya adalah kegiatan untuk memproduksi biota (organisme)

akuatik di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapat keuntungan (profit).

Organisme akuatik yang diproduksi mencakup kelompok ikan, udang, hewan

bercangkang (moluska), ekinodermata, dan alga. Perikanan budidaya juga dapat

didefinisikan sebagai campur tangan (upaya-upaya) manusia untuk meningkatkan

produktivitas perairan melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya yang dimaksud

adalah kegiatan pemeliharaan untuk memperbanyak (produksi), menumbuhkan

(perbesaran), dan meningkatkan mutu biota akuatik sehingga diperoleh keuntungan

(Effendi, 2004 dalam Kesuma, 2006).

2.3 Perikanan Tangkap

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 menyebutkan definisi penangkapan

ikan ialah kegiatan memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan

dibudidayakan dengan alat atau dengan cara apapun, melainkan kegiatan yang

menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,

menangani, mengolah, dan mengawetkan. Perikanan tangkap merupakan kegiatan

ekonomi dalam penangkapan atau pengumpulan binatang dan tanaman air, baik di

laut maupun perairan umum secara bebas.

Klasifikasi perikanan tangkap di Indonesia dapat digolongkan menjadi empat

kategori sebagai berikut.

9

1. Berdasarkan spesies target : perikanan cakalang, perikanan udang, cumi-cumi,

dan perikanan kekerangan.

2. Berdasarkan tingkat teknologi : tradisional dan modern.

3. Berdasarkan skala usaha : komersial (industri dan artisanal) dan subsistem.

4. Berdasarkan habitatnya : perikanan demersal, perikanan karang, dan perikanan

pelagis (Sihombing, 2015).

2.3.1 Perikanan demersal

Ikan demersal adalah jenis ikan yang habitatnya berada di bagian dasar

perairan, dapat dikatakan juga bahwa ikan demersal adalah ikan yang tertangkap

dengan alat tangkap ikan dasar seperti trawl dasar (bottom trawl), jaring insang dasar

(bottom gillnet), rawai dasar (bottom long line), dan bubu (Wijayanti, 2013). Ciri

utama sumberdaya ikan demersal antara lain memiliki aktifitas rendah, gerak ruang

yang tidak terlalu jauh dan membentuk gerombolan tidak terlalu besar, sehingga

penyebarannya relatif merata dibandingkan dengan ikan pelagis.

Ikan demersal sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi seperti suhu,

salinitas, arus, dan bentuk dasar perairan. Jenis ikan ini pada umumnya menyenangi

dasar perairan bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir (Dwiponggo et al., 1989

dalam Wijayanti, 2013). Perikanan demersal Indonesia menghasilkan berbagai jenis

ikan (multi species) yang dieksploitasi dengan menggunakan berbagai alat tangkap

(multi gear). Hasil tangkapan ikan demersal pada umumnya terdiri atas berbagai jenis

yang jumlah masing-masing jenis tersebut tidak terlalu besar. Ikan tersebut antara lain

kakap merah atau bambangan (Lutjanus spp), peperek (Leiognatus spp), manyung

10

(Arius spp), kurisi (Nemipterus spp), kuniran (Upeneus spp), tiga waja (Epinephelus

spp), dan bawal (Pampus spp).

2.3.2 Perikanan karang

Ikan karang merupakan ikan yang terdapat hidup dari masa juvenil hingga

dewasa di terumbu karang (Sale,1991 dalam Ahmad, 2013). Keberadaan ikan karang

di terumbu memiliki keterkaitan yang erat dengan kondisi fisik terumbu karang

tersebut. Perbedaan pada kondisi tutupan karang akan mempengaruhi kelimpahan

ikan karang, terutama yang memiliki keterkaitan kuat dengan karang hidup

(Chabanet et al., 1997 dalam Ahmad, 2013).

Pengelompokan ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan adalah

ikan noktural (aktif ketika malam hari), ikan diurnal (aktif ketika siang hari), dan ikan

crepuscular (aktif di antara). Menurut Dartnall dan Jones, (1986 dalam Ahmad,

2013), ikan karang dapat juga dikelompokkan dalam 3 kelompok berdasarkan tujuan

pengelolaan, yaitu kelompok ikan target (ekonomis atau konsumsi), ikan indikator,

dan ikan mayor (berperan dalam rantai makanan).

2.3.3 Perikanan pelagis

Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan permukaan

hingga kolom air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu dalam beraktivitas selalu

membentuk gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk berbagai

kebutuhan hidupnya. Perbedaan ikan pelagis dengan ikan demersal adalah ikan-ikan

yang berada pada lapisan yang lebih dalam hingga dasar perairan, dimana umumnya

hidup secara soliter dalam lingkungan spesiesnya. Pada umumnya ikan pelagis

11

berenang mendekati permukaan perairan hingga kedalaman 200 m. Ikan pelagis

umumnya berenang berkelompok dalam jumlah yang sangat besar.

Ikan pelagis berdasarkan ukurannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu

ikan pelagis besar seperti kelompok Tuna (Thunidae), kelompok Marlin (Makaira

sp), dan Tenggiri (Scomberomorus spp). Jenis ikan pelagis kecil seperti Cakalang

(Katsuwonus pelamis), kelompok Tongkol (Euthynnus spp), Ikan Bandeng (Chanos

chanos), Ikan Teri (Thryssa setirostris), Ikan Kembung lelaki (Rastrelliger

kanagurta), Ikan Bawal hitam (Parastromateus niger), Ikan Ekor kuning (Caesio

cuning), Ikan Japuh (Dussumieria acuta), Ikan Kwee (Caranx melampygus), Ikan

Layang (Decapterus russelli), Ikan Lemuru (Sardinella lemuru), dan Ikan Selanget

(Anodontostoma chacunda). Penggolongan ini lebih dimaksudkan untuk

memudahkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan, karena karakter aktivitas yang

berbeda kedua kelompok jenis ikan tersebut (Nelwan, 2004).

2.4 Proses Pengolahan Ikan Pelagis Beku

Proses pengolahan ikan pelagis beku merupakan salah satu cara untuk

mengawetkan makanan karena dengan menurunkan suhu, semua reaksi kimia, dan

aktivitas enzim dapat dicegah serta pertumbuhan mikroorganisme terhambat, namun

cara ini tidak dapat mensterilkan makanan. Meskipun pembekuan efektif

menghambat kerusakan oleh mikrobial, kemunduran mutu seperti perubahan flavor,

tekstur, dan warna tetap terjadi saat penyimpanan beku. Proses pembekuan

menyebabkan perubahan jaringan daging, yaitu dengan formasi dan pembentukan

12

kristal es, dehidrasi, dan peningkatan padatan (pembekuan menghilangkan kadar air

ikan pelagis). Pembekuan dan thawing menyebabkan kerusakan sel jaringan, lepasnya

enzim dari mitokondria ke sarkoplasma. Daging thawing memiliki daya potong lebih

rendah dari daging yang tidak mengalami pembekuan. Kekerasan daging ikan pelagis

meningkat berhubungan dengan kerusakan protein myosin sama dengan penyatuan

protein myofibril. Penyatuan dan kerusakan jaringan protein ada hubungannya dengan

formasi ikatan disulfida (Strike et al., 2007 dalam Saulina, 2009).

Proses pengolahan ikan pelagis beku pada suhu -18°C merupakan standar

suhu yang ditetapkan dalam perusahaan. Penyimpanan beku berarti meletakkan

produk yang sudah beku di dalam ruangan dengan suhu yang dipertahankan sama dan

telah ditentukan sebelumnya (yaitu -25°C). Adapun tahap-tahap penurunan suhu

selama proses pembekuan sebagai berikut.

1. Suhu produk diturunkan sampai titik beku, yaitu pemindahan sensible heat di atas

proses pembekuan.

2. Kandungan air dalam produk berubah dari bentuk cair kebentuk padat, sedangkan

suhunya tetap.

3. Suhu produk diturunkan sampai titik beku, yang ideal adalah sampai

penyimpanan menjadi beku.

Metode pengolahan ikan pelagis beku yang digunakan pada umumnya adalah

sebagai berikut (Saulina, 2009).

13

(1) Air Blast Freezing (ABF)

Metode pembekuan ini dilakukan dengan cara menempatkan produk pada rak-rak

pembeku di dalam ruang pembekuan, kemudian udara bersuhu rendah

dihembuskan ke sekitar produk yang disimpan pada rak-rak pembekuan tersebut.

Prinsip dari teknik ini adalah pembekuan dilakukan dengan menghembuskan

udara dingin melewati pipa-pipa pendingin ke permukaan produk dengan

kecepatan yang tinggi. Keuntungan dari ABF adalah cara ini dapat membekukan

segala macam produk dan pengoperasiannya mudah. Kerugiaannya adalah

memerlukan jumlah udara dalam jumlah yang besar, waktu pembekuan relatif

lama, ruang lebih besar, tenaga besar, dan adanya beban panas tambahan.

(2) Brine Freezer (BF)

Prinsip teknik pembekuan ini adalah pembekuan dengan media air garam

merupakan suatu bak berisi air garam pekat yang didinginkan dengan pipa

evaporator, sehingga air garam suhunya jauh di bawah titik beku air murni dan

akibatnya produk yang berada didalamnya akan membeku. Kelebihan metode

Brine freezer yaitu bisa membekukan segala jenis, bentuk, dan ukuran produk.

Kekurangan metode ini yaitu adanya risiko tercemarnya produk oleh air garam

dan caranya kurang praktis karena air dalam bak harus diganti dan ditambah

secara teratur. Produk yang dibekukan dengan metode ini diantaranya ikan utuh

dan sejenisnya.

Tahapan proses pengolahan ikan pelagis beku menurut Standar Nasional

Indonesia (SNI) Nomor 01-4110.3 tahun 2006 yaitu sebagai berikut.

14

a. Penerimaan bahan baku

Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk

mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat,

cermat, dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5oC. Tujuan dari proses

ini adalah untuk mendapatkan bahan baku yang bebas bakteri, patogen, dan

memenuhi persyaratan mutu.

b. Sortasi

Pada tahap ini ikan dipisahkan berdasarkan mutu, jenis, dan ukuran. Sortasi mutu

dilakukan secara organoleptik, sortasi jenis dilakukan untuk memisahkan jenis

yang tidak dikehendaki dan sortasi ukuran dilakukan dengan cara penimbangan.

Sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat, dan saniter dengan

mempertahankan suhu pusat produk maksimal 5oC. Tujuan dari proses ini adalah

untuk mendapatkan mutu, jenis, dan ukuran yang sesuai, serta bebas dari

kontaminasi bakteri patogen.

c. Penyiangan atau tanpa penyiangan

Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara

membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat, dan

saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan

suhu pusat produk maksimal 5°C. Tujuannya yaitu mendapatkan ikan yang

bersih, tanpa kepala dan isi perut, serta mereduksi kontaminasi bakteri patogen.

15

d. Pencucian

Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara

cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat produk maksimal

5°C. Tujuan dari proses ini adalah menghilangkan sisa kotoran dan darah yang

menempel di tubuh ikan.

e. Penimbangan

Agar ikan berukuran besar ditimbang satu per satu, sedangkan untuk ikan

berukuran kecil ditimbang sesuai berat yang ditentukan, menggunakan timbangan

yang telah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat,

saniter, dan mempertahankan suhu pusat produk maksimal 5°C. Tujuan dari

proses ini adalah mendapatkan berat ikan yang sesuai dengan ukuran yang telah

ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.

f. Penyusunan

Agar ikan berukuran besar disusun secara individu, sedangkan untuk ikan

berukuran kecil disusun secara berlapis sesuai yang ditentukan. Penyusunan

dilakukan dengan hati-hati, cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan

suhu pusat produk maksimal 5°C. Tujuan dari proses ini adalah mendapatkan

bentuk susunan ikan yang sesuai dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.

g. Pembekuan

Ikan dibekukan dalam alat pembeku (freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai

maksimal -18°C dalam waktu maksimal 10 s.d. 12 jam. Tujuan dari proses ini

16

adalah membekukan produk hingga mencapai suhu pusat maksimal -18°C secara

cepat dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap produk.

h. Penggelasan atau tanpa penggelasan

Ikan yang telah dibekukan disemprot dengan air dingin. Proses penggelasan

dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat

ikan maksimal –18°C. Tujuan dari proses ini adalah melapisi ikan dengan air es

agar tidak mudah terjadi pengeringan pada saat penyimpanan.

i. Pengepakan

Ikan beku yang telah mengalami proses penggelasan segera dikemas dalam

plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat, dan saniter

dengan mempertahankan suhu pusat ikan maksimal –18°C. Tujuannya yaitu

melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan fisik selama penyimpanan

dan transportasi.

2.4.1 Pengemasan ikan pelagis beku

Pengemasan adalah suatu cara untuk melindungi dan mengawetkan produk

pangan maupun non pangan, pengemasan juga merupakan penunjang untuk

transportasi, distribusi, dan merupakan bagian penting dari usaha untuk mengatasi

persaingan dalam pemasaran (Hambali dan Nasution, 1990 dalam Saulina, 2009).

Kemasan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu sebagai berikut (Soekarto, 1990 dalam

Saulina, 2009).

1. Kemasan primer yaitu kemasan yang langsung membungkus bahan pangan.

2. Kemasan sekunder yaitu kemasan yang berfungsi melindungi kemasan primer.

17

3. Kemasan tersier yaitu kemasan setelah kemasan primer dan sekunder bila

diperlukan sebagai pelindung selama pengangkutan.

Dalam keadaan beku produk dapat mengalami perubahan, untuk mencegah

pengeringan, oksidasi, dan diskolorisasi maka produk harus dilindungi antara lain

dengan cara sebagai berikut.

(1) Penggelasan (glassing) dengan cara melapisi produk beku dengan es yang

menyelubungi produk.

(2) Mengepak produk dengan bahan-bahan kedap air (water proof), kedap oksigen

(oksigen proof), dan tidak menghimpun lemak atau mengepak vakum

(vacuum packaging).

Pengemasan bahan pangan harus memperlihatkan lima fungsi utama, yaitu

sebagai berikut (Buckle et al.,1985 dalam Saulina, 2009).

a. Mempertahankan produk agar tetap bersih dan memberikan perlindungan dari

kotoran dan pencemaran lainnya.

b. Memberikan perlindungan pada bahan pangan dari kerusakan fisik, air, oksigen,

dan sinar matahari.

c. Berfungsi secara benar, efisien, dan ekonomis dalam proses pengolahan.

d. Mudah untuk dibentuk menurut rancangan, memberikan kemudahan kepada

konsumen, misalnya dalam membuka kembali wadah tersebut. Selanjutnya,

memudahkan dalam pengelolaan di gudang dan selama distribusi terutama untuk

mempertimbangkan ukuran, bentuk, dan berat dari unit pengepakan.

18

2.5 Kerusakan sebagai Salah Satu Penyebab Penurunan Mutu Ikan

Ikan merupakan sumber pangan yang mudah rusak karena sangat cocok untuk

pertumbuhan mikroba baik patogen maupun non patogen. Kerusakan ikan terjadi

segera setelah ikan keluar dari air. Kerusakan dapat disebabkan oleh faktor internal

(isi perut) dan eksternal (lingkungan) maupun cara penanganan di atas kapal, di

tempat pendaratan atau di tempat pengolahan (Djaafar, 2007 dalam Milo, 2013).

Kerusakan ditandai dengan adanya lendir di permukaan ikan, insang memudar (tidak

merah), mata tidak bening, berbau busuk, dan sisik mudah terkelupas (Djaafar, 2007

dalam Milo, 2013). Segera setelah ikan mati, akan mengalami perubahan-perubahan

yang mengarah pada pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri, perubahan

kimiawi yang ditimbulkan oleh enzim-enzim, serta proses oksidasi lemak ikan oleh

udara (Ilyas, 1983 dalam Milo, 2013).

Kesegaran ikan dapat dicapai bila dilakukan penanganan yang baik terhadap

ikan tersebut. Ikan dapat dikatakan masih segar apabila perubahan-perubahan

biokimiawi, maupun fisika, dan semua yang terjadi belum menyebabkan kerusakan

berat pada ikan. Beberapa ciri yang menandakan telah terjadinya kerusakan pada ikan

dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut (Winarno, 1993 dalam Milo, 2013).

Tabel 2.1

Perbedaan Fisik Ikan Segar dan Ikan Busuk

Ikan Segar Ikan Busuk

Daging kenyal Daging keras

Tidak empuk Empuk

Badan kaku Badan tidak kaku

Sisik rapi dan rapat Sisik mudah lepas

Bau : segar, pada bagian luar insang Bau : busuk atau asam terutama pada bagian

insang

19

Lanjutan Tabel 2.1

Ikan Segar Ikan Busuk

Sedikit berlendir pada kulit Kulit berlendir

Insang berwarna merah Insang tidak lagi berwarna merah

Ikan tenggelam bila dimasukkan dalam air Ikan terapung jika sudah sangat busuk

Sumber : Winarno, (1993 dalam Milo, 2013)

2.5.1 Penurunan mutu secara fisik

Penurunan mutu secara fisik adalah kerusakan pada bagian luar tubuh ikan

yang terjadi akibat penanganan dan perlakuan yang tidak cepat dan tepat dapat

mempengaruhi mutu. Penanganan awal ikan saat ditangkap diberikan perlakuan suhu

dingin dengan ditambahkan es, sehingga memperpanjang masa simpan dan akan

sangat berpengaruh terhadap kualitas mutu yang dihasilkan.

Perubahan fisik ikan yang terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat

dari air dapat dijelaskan sebagai berikut (Kushardiyanto, 2010 dalam Putra, 2013).

1. Lendir yang berada dipermukaan ikan akan keluar secara berlebih pada saat

ketika ikan mati dan ikan akan menggelepar mengenai benda disekelilingnya.

Ikan yang terkena benturan benda yang keras, kemungkinan besar tubuh ikan

akan menjadi memar dan luka-luka.

2. Ikan mati akan mengalami kekakuan tubuh (rigormortis) yang diawali dari ujung

ekor menjalar ke arah bagian kepalanya. Lama kekakuan tergantung dari tingkat

kelelahan ikan pada saat kematiannya. Kerusakan ikan akan mulai terlihat yaitu

berupa perubahan-perubahan seperti berkurangnya kekenyalan perut dan daging

ikan, berubahnya warna insang, berubahnya kecembungan dan warna mata ikan,

sisik lebih mudah lepas dan kehilangan kecemerlangan warna ikan, serta

berubahnya bau dari segar menjadi asam.

20

3. Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya

tingkat penurunan mutu ikan, sehingga ikan menjadi tidak layak untuk

dikonsumsi atau busuk.

Kesegaran ikan dapat dinilai dengan mudah menggunakan metode inderawi

atau organoleptik dengan mengamati bagian tubuh ikan yang sensitif terhadap

perubahan mutu dagingnya. Perubahan mutu tersebut seperti warna, rasa, kekenyalan

dan kekompakan daging, kondisi mata, kondisi insang, dinding perut, dan bau.

2.5.2 Penurunan mutu secara kimia

Hadiwiyoto, (1993 dalam Putra, 2013) menyatakan penurunan mutu secara

kimia adalah penurunan mutu yang berhubungan dengan komposisi kimia dan

susunan tubuhnya. Penurunan mutu secara kimia terdiri atas penurunan mutu secara

autolisis dan oksidasi.

1. Penurunan mutu secara autolisis

Autolisis adalah proses perombakan sendiri yaitu proses perombakan jaringan

oleh enzim yang berasal dari produk perikanan. Menurut Ilyas, (1983 dalam

Putra, 2013) enzim yang berperan dalam autolisis yaitu enzim proteolisis (pengurai

protein) dan enzim liposis (pengurai lemak). Penurunan mutu ditandai dengan rasa,

warna, tekstur, dan kenampakan yang berubah. Penurunan mutu secara autolisis

berlangsung sebagai aksi kegiatan enzim yang merupakan proses penguraian pertama

setelah ikan mati. Penurunan secara autolisis bisa terlihat ikan yang memiliki tekstur

daging yang tidak elastis, sehingga apabila daging ikan ditekan dengan jari akan

membutuhkan waktu relatif lama untuk kembali keadaan semula. Kecepatan autolisis

21

tergantung pada suhu dan tidak dapat dihentikan pada suhu 00C, tetapi berlangsung

lebih lambat. Kegiatan enzim dapat direduksi dan dikontrol dengan cara pendinginan,

penggaraman, pengeringan, dan pengasaman, atau dapat dihentikan dengan cara

pemasakan ikan tersebut (Ilyas, 1983 dalam Putra, 2013).

2. Penurunan mutu secara oksidasi

Oksidasi adalah reaksi antara suatu zat dengan oksigen atau bisa diartikan

juga suatu pelepasan elektron oleh sebuah molekul, atom, atau ion. Ikan termasuk

salah satu produk perikanan yang mengandung asam lemak tidak jenuh. Selama

penyimpanan ikan, asam lemak tidak jenuh akan mengalami proses oksidasi reduksi

asam lemak yang menyebabkan bau tengik (rancid) pada tubuh ikan (Junizal, 1976

dalam Putra, 2013).

2.5.3 Penurunan mutu secara bakteriologis

Penurunan mutu secara bakteriologis yaitu suatu proses penurunan mutu yang

terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari selaput lendir dari permukaan

tubuh, insang, dan saluran pencernaan (Junianto, 2003 dalam Putra, 2013). Bakteri

yang terdapat pada bagian kulit (lendir), insang, dan pada makanan di dalam perutnya

ini tidak berpengaruh buruk terhadap ikan. Tetapi setelah ikan mati, ditunjang oleh

kenaikan suhu, bakteri mulai berkembang biak dengan sangat pesat dan menyerang

tubuh ikan. Hal ini disebabkan oleh karena ikan tidak lagi mempunyai daya tahan

terhadap bakteri. Bakteri menjadikan daging ikan sebagai makanan dan tempat

hidupnya. Sasaran utamanya adalah protein ataupun hasil-hasil penguraiannya dalam

proses autolisis, dan substansi-substansi non nitrogen. Penguraian yang dilakukan

22

oleh bakteri ini (disebut bacterial decomposition) menghasilkan pecahan-pecahan

protein yang sederhana dan berbau busuk, seperti CO2, H2S, amoniak, indol, skatol,

dan sebagainya (Murniyati dan Sunarman, 2000 dalam Putra, 2013).

2.5.4 Histamin

Histidin merupakan salah satu asam amino bebas yang terdapat pada daging

ikan merah segar, seperti tuna, cakalang, dan sardin. Secara umum, kandungan

histidin pada protein daging antara 3% dan 5%, tetapi ikan jenis horse mackerel,

Japanese pilchard, mackerel, dan Pacific saury mengandung antara 4% dan 6%

histidin. Ikan cakalang, yellowtail, madidihang, bluefin tuna mengandung histidin

antara 8% dan 9% (Alasalvar et al., 2011 dalam Putra, 2013). Kandungan histidin

bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan lainnya,

sehingga meningkatkan potensi peningkatan kadar histamin, khususnya jika

penyimpanan dan penanganan salah (Wahyuni, 2011 dalam Putra, 2013).

Hadiwiyoto, (1993 dalam Putra, 2013) menyatakan bahwa degradasi histidin menjadi

histamin dikatalis oleh enzim histidine dekarboksilase. Senyawa histamin mungkin

tidak berbau busuk, tetapi keberadaannya dalam daging ikan menjadi berbahaya,

karena senyawa histamin bersifat racun.

2.5.5 Faktor-faktor kerusakan yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan

Proses kemunduran mutu ikan akan terus berlangsung jika tidak dihambat.

Cepat lambatnya proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor

internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal

yang berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan manusia. Menurut Junianto, (2003

23

dalam Djafar, 2014) faktor internal yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan yaitu

sebagai berikut.

1. Jenis ikan. Jenis ikan pelagis cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu

dibanding ikan demersal, selain itu ikan air tawar cenderung lebih cepat mencapai

kemunduran mutu dibanding ikan air laut.

2. Umur dan ukuran ikan. Ikan dewasa dengan ukuran yang besar lebih lama

mengalami kemunduran mutu dari pada ikan kecil.

3. Kandungan lemak. Ikan yang mengandung lemak tinggi cenderung lebih cepat

mengalami kemunduran mutu dibanding ikan-ikan berlemak rendah.

4. Kondisi fisikal ikan. Kondisi fisik yang lemah sebelum ditangkap karena kurang

bergizi makanannya, baru menelurkan, dan sebagainya akan berpengaruh

terhadap waktu memasuki tahap rigor (kaku).

5. Karakteristik kulit dan bentuk tubuh. Ikan yang memiliki kulit yang tebal akan

cenderung lebih lama laju kemunduran mutunya dibanding ikan yang memiliki

kulit yang tipis, begitu juga dengan ikan yang bentuk tubuhnya bulat lebih lama

kemunduran mutunya dibanding ikan yang bentuknya pipih.

Faktor-faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap kemunduran mutu

ikan adalah sebagai berikut.

1. Penggunaan alat tangkap. Jenis dan teknik penangkapan akan berpengaruh pada

derajat keletihan ikan. Ikan yang berjuang keras lama menghadapi kematiannya

dalam jaring sebelum ditarik ke kapal akan kehabisan banyak cadangan tenaga

sehingga lebih cepat memasuki masa rigor. Alat tangkap yang baik adalah yang

24

dapat menekan tingkat stres pada ikan dan mengurangi gerakan ikan (meronta-

ronta) sebelum mati.

2. Penanganan pascapanen yang dilakukan oleh para nelayan. Memperoleh ikan

yang bermutu dan daya awet panjang, pokok utama dalam menangani ikan adalah

bekerja cepat, cermat, bersih, dan pada suhu rendah.

3. Musim. Daya simpan ikan pada musim panas yang hangat sering lebih pendek.

Daya awet ikan berfluktuasi secara musiman menurut suhu.

4. Wilayah penangkapan. Perbedaan dalam wilayah penangkapan dapat juga

berpengaruh terhadap daya awet.

5. Suhu air saat ikan ditangkap. Air yang bersuhu tinggi dan ikan agak lama tinggal

dalam air sebelum diangkat dapat mempercepat proses penurunan mutunya.

2.6 Pengertian Mutu

Mutu merupakan suatu produk atau jasa yang memenuhi syarat atau keinginan

pelanggan, dimana pelanggan dapat menggunakan atau menikmati produk atau jasa

tersebut dengan sangat puas dan mereka menjadi pelanggan tetap (Feigenbaum, 1991

dalam Saragih, 2013). Dalam perusahaan pabrik, istilah mutu diartikan sebagai

faktor-faktor yang terdapat dalam suatu barang atau hasil tersebut sesuai dengan

tujuan untuk apa barang atau hasil itu dimaksudkan atau dibutuhkan (Assuari, 1999

dalam Hutapea, 2010).

Mutu suatu produk adalah keadaan fisik, fungsi, dan sifat suatu produk

bersangkutan yang dapat memenuhi selera dan memuaskan kebutuhan konsumen

25

sesuai dengan nilai uang yang telah dikeluarkan (Prawirosentono, 2001 dalam

Hutapea, 2010). Dari pihak konsumen, mutu suatu barang ditentukan oleh harapan

konsumen atas biaya-biaya yang harus ditanggung oleh konsumen apabila dia

membeli barang tersebut di satu pihak dengan harga barang tersebut di lain pihak.

Dalam hal ini konsumen membandingkan antara harga barang dibeli, kebutuhan

diinginkan, serta biaya-biaya pemakaian barang tersebut.

Keseimbangan antara tiga hal tersebut menentukan pilihan konsumen atas

mutu barang yang dipilihnya untuk dibeli atau dimilikinya (Gitosudarmo, 1998 dalam

Hutapea, 2010). Oleh karena itu, produk yang dihasilkan oleh perusahaan hendaknya

memperhatikan persyaratan mutu, baik persyaratan nasional maupun luar negeri.

Mengetahui persyaratan mutu dan keamanan pangan pada hasil perikanan beku dapat

dilihat pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2

Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Ikan Beku

Parameter Satuan Persyaratan

1. Sensori - Min. 7 (Skor 1-9)

2. Kimiaa

- Histaminc

- TVB

mg/kg

mgN%

Maks. 100

Maks. 20

3. Fisika

- Suhu pusat

0C

Maks. -18

4. Cemaran mikroba

- ALT

- Escherichia coli

- Salmonella

- Vibrio choleraa

- Vibrio parahaemolythusa

- Listeria monocytogenesa,f

koloni/g

APM/g

per 25 g

per 25 g

APM/g

per 25 g

Maks. 5,0 x 105

<3

Negatif

Negatif

<3

Negatif

5. Cemaran logama

- Arsen (As)

- Kadmium (Cd)

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

Maks. 1,0

Maks. 0,1

Maks. 0,5b

Maks. 0,05d

26

Lanjutan Tabel 2.2

Parameter Satuan Persyaratan

- Merkuri (Hg)

- Timah (Sn)

- Timbal (Pb)

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

Maks. 0,5

Maks. 1,0b

Maks. 40,0

Maks. 0,3

Maks. 0,4b

Maks. 0,2d

6. Cemaran fisika

0

7. Racun hayatia

- Ciguatoksin

Negatif

Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2014 Catatan :

a bila diperlukan b untuk ikan predator

c untuk ikan scombroid, clupeidae, scombresocidae, pomatomidae, coryphaenedae

d untuk ikan yang dibudidayakan

e untuk ikan karang

f untuk ikan salmonidae

Performansi mutu dapat ditentukan dan diukur berdasarkan karakteristik mutu

yang terdiri atas beberapa sifat atau dimensi sebagai berikut (Gaspersz, 1998 dalam

Mentari, 2011).

1. Fisik : panjang, berat, dan diameter.

2. Sensory (berkaitan dengan panca indera) : rasa, penampilan, warna, bentuk, model,

dan lain-lainnya.

3. Orientasi waktu : keandalan, kemampuan pelayanan, kemudahan pemeliharaan,

dan ketepatan waktu penyerahan produk.

4. Orientasi biaya : berkaitan dengan dimensi biaya yang menggambarkan harga atau

ongkos dari suatu produk yang harus dibayarkan oleh konsumen.

27

2.7 Pengendalian Mutu

Ismiatun (2013) menyatakan bahwa pengendalian adalah apabila dalam

pengawasan ternyata ditemukan adanya penyimpangan atau hambatan maka segera

diambil tindakan koreksi. Perbedaan pengendalian dan pengawasan yaitu pengawasan

tidak disertai tindak lanjut, tetapi cukup melaporkan, sedangkan pengendalian disertai

tindak lanjut. Selanjutnya menurut Montgomery, (1996 dalam Saulina, 2009)

pengendalian mutu adalah suatu aktivitas keteknikan dan manajemen, sehingga ciri-

ciri kualitas (mutu) dapat diukur dan dibandingkan dengan spesifikasinya. Kemudian

dapat diambil tindakan perbaikan yang sesuai apabila terdapat perbedaan atau

penyimpangan antara penampilan yang sebenarnya dengan yang standar Tujuan

utama pengendalian mutu adalah menjaga kepuasan pelanggan. Tujuan pengendalian

mutu lainnya sebagai berikut (Ahyari, 2000 dalam Sutrisno, 2014).

1. Mengusahakan agar penggunaan biaya serendah mungkin.

2. Agar dapat memproduksi selesai tepat pada waktunya.

3. Meningkatkan kepuasan konsumen.

Langkah-langkah pengendalian mutu adalah sebagai berikut (Bounds, 1994 dalam

Sutrisno, 2014).

(1) Menilai kinerja kualitas aktual.

(2) Membandingkan kinerja dengan tujuan.

(3) Bertindak berdasarkan perbedaan antara kinerja dan tujuan.

Keuntungan dari pengendalian mutu sebagai berikut (Feingenbaum, 1989 dalam

Mentari, 2011).

28

a. Meningkatkan mutu, desain produk, dan aliran produksi.

b. Meningkatkan moral tenaga kerja dan kesadaran mengenai mutu.

c. Meningkatkan pelayanan produk dan memperluas pangsa pasar.

Dalam menjalankan aktivitas, pengendalian mutu merupakan salah satu teknik

yang perlu dilakukan mulai dari sebelum proses produksi berjalan, pada saat proses

produksi, hingga proses produksi berakhir dengan menghasilkan produk akhir.

Pengendalian mutu dilakukan agar dapat menghasilkan produk berupa barang atau

jasa yang sesuai dengan standar yang diinginkan dan direncanakan, serta

memperbaiki mutu produk yang belum sesuai dengan standar yang telah ditetapkan

dan sedapat mungkin mempertahankan mutu yang telah sesuai.

Pengendalian mutu tidak dapat dilepaskan dari pengendalian produksi, karena

pengendalian mutu merupakan bagian dari pengendalian produksi. Pengendalian

produksi baik secara kualitas maupun kuantitas merupakan kegiatan yang sangat

penting dalam suatu perusahaan. Hal ini disebabkan karena semua kegiatan produksi

yang dilaksanakan akan dikendalikan, supaya barang dan jasa yang dihasilkan sesuai

dengan rencana yang telah ditetapkan, dimana penyimpangan-penyimpangan yang

terjadi diusahakan serendah-rendahnya (Assauri, 1998 dalam Fakhri, 2010).

2.7.1 Faktor-faktor pengendalian mutu

Menurut Montgomery, (2001 dalam Fakhri, 2010) dan berdasarkan beberapa

literatur lain menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengendalian

mutu yang dilakukan perusahaan sebagai berikut.

29

1. Kemampuan proses

Batas-batas yang ingin dicapai haruslah disesuaikan dengan kemampuan proses

yang ada. Tidak ada gunanya mengendalikan suatu proses dalam batas-batas yang

melebihi kemampuan atau kesanggupan proses yang ada.

2. Spesifikasi yang berlaku

Spesifikasi hasil produksi yang ingin dicapai harus dapat berlaku, bila ditinjau

dari segi kemampuan proses dan keinginan atau kebutuhan konsumen yang ingin

dicapai dari hasil produksi tersebut. Dalam hal ini haruslah dapat dipastikan

dahulu apakah spesifikasi tersebut dapat berlaku dari kedua segi yang telah

disebutkan di atas sebelum pengendalian mutu pada proses dapat dimulai.

3. Tingkat ketidaksesuaian yang dapat diterima

Tujuan dilakukan pengendalian suatu proses adalah dapat mengurangi produk

yang berada di bawah standar seminimal mungkin. Tingkat pengendalian yang

diberlakukan tergantung pada banyaknya produk yang berada di bawah standar

yang dapat diterima.

2.7.2 Tahapan pengendalian mutu

Memperoleh hasil pengendalian mutu yang efektif, maka pengendalian

terhadap mutu suatu produk dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik-teknik

pengendalian mutu, karena tidak semua hasil produksi sesuai dengan standar yang

telah ditetapkan. Menurut Prawirosentono, (2007 dalam Fakhri, 2010), terdapat

beberapa standar mutu yang bisa ditentukan oleh perusahaan dalam upaya menjaga

output barang hasil produksi sebagai berikut.

30

1. Standar mutu bahan baku yang akan digunakan.

2. Standar mutu proses produksi (mesin dan tenaga kerja yang melaksanakannya).

3. Standar mutu barang setengah jadi.

4. Standar mutu barang jadi.

5. Standar administrasi, pengepakan, dan pengiriman produk akhir tersebut sampai

ke tangan konsumen.

Dikarenakan kegiatan pengendalian mutu sangatlah luas, untuk itu semua

pengaruh terhadap mutu harus dimasukkan dan diperhatikan. Secara umum menurut

Prawirosentono, (2007 dalam Fakhri, 2010) menyatakan bahwa pengendalian atau

pengawasan akan mutu di suatu perusahaan dilakukan secara bertahap yang meliputi

hal-hal sebagai berikut.

(1) Pemeriksaan dan pengawasan mutu bahan mentah (bahan baku atau bahan baku

penolong), mutu bahan dalam proses, dan mutu produk jadi. Demikian pula

standar jumlah dan komposisinya.

(2) Pemeriksaan atas produk sebagai hasil proses pembuatan. Hal ini berlaku untuk

barang setengah jadi maupun barang jadi. Pemeriksaan yang dilakukan tersebut

memberi gambaran apakah proses produksi berjalan seperti yang telah ditetapkan

atau tidak.

(3) Pemeriksaan cara pengepakan dan pengiriman barang ke konsumen. Melakukan

analisis fakta untuk mengetahui penyimpangan yang mungkin terjadi.

(4) Mesin, tenaga kerja, dan fasilitas lainnya yang dipakai dalam proses produksi

harus juga diawasi sesuai dengan standar kebutuhan. Apabila terjadi

31

penyimpangan, harus segera dilakukan koreksi agar produk yang dihasilkan

memenuhi standar yang direncanakan.

Tahapan pengendalian atau pengawasan mutu terdiri atas dua tingkatan

sebagai berikut (Assauri, 1998 dalam Fakhri, 2010).

a. Pengawasan selama pengolahan (proses)

Yaitu dengan mengambil contoh atau sampel produk pada jarak waktu yang

sama, dan dilanjutkan dengan pengecekan statistik untuk melihat apakah proses

dimulai dengan baik atau tidak. Apabila mulainya salah, maka keterangan

kesalahan ini dapat diteruskan kepada pelaksana semula untuk penyesuaian

kembali. Pengawasan yang dilakukan hanya terhadap sebagian dari proses,

mungkin tidak ada artinya bila tidak diikuti dengan pengawasan pada bagian lain.

Pengawasan terhadap proses ini termasuk pengawasan atas bahan-bahan yang

akan digunakan untuk proses.

b. Pengawasan atas barang hasil yang telah diselesaikan

Walaupun telah diadakan pengawasan mutu dalam tingkat-tingkat proses, tetapi

hal ini tidak dapat menjamin bahwa tidak ada hasil yang rusak atau kurang baik

ataupun tercampur dengan hasil yang baik. Dalam menjaga supaya hasil barang

yang cukup baik atau paling sedikit rusaknya, tidak keluar atau lolos dari pabrik

sampai ke konsumen atau pembeli, maka diperlukan adanya pengawasan atas

produk akhir.

32

2.8 Statistical Quality Control (SQC)

Statistik merupakan teknik pengambilan keputusan pada suatu analisis

informasi yang terkandung dalam suatu sampel dari populasi. Metode statistik

memegang peranan penting dalam jaminan mutu. Metode statistik memberikan cara-

cara pokok dalam pengambilan sampel produk, pengujian serta evaluasi, dan

informasi didalam data yang digunakan untuk mengendalikan dan meningkatkan

proses pembuatan.

Pengendalian mutu atau kualitas merupakan aktivitas teknik dan manajemen

dimana mengukur karakteristik mutu atau kualitas dari produk atau jasa, kemudian

membandingkan hasil pengukuran itu dengan spesifikasi produk yang diinginkan

serta mengambil tindakan peningkatan yang tepat apabila ditemukan perbedaan

kinerja aktual dan standar (Bakhtiar, Tahir, dan Hasni, 2013).

Statistic quality control (SQC) atau pengendalian kualitas statistik merupakan

teknik penyelesaian masalah yang digunakan untuk memonitor, mengendalikan,

menganalisis, mengelola, memperbaiki produk, dan proses menggunakan metode-

metode statistik. Pengendalian mutu atau kualitas statistik (statistic quality control

atau SQC) sering disebut sebagai pengendalian proses statistik (statistical process

control atau SPC). Pengendalian mutu atau kualitas statistik dan pengendalian proses

statistik memang merupakan dua istilah yang saling dipertukarkan, yang apabila

dilakukan bersama-sama maka pengguna akan melihat gambaran kinerja proses masa

kini dan masa mendatang (Cawuley dan Harrold, 1999 dalam Nadiah, 2013).

33

Statistical quality control (SQC) mempunyai tiga penggunaan umum yaitu (1)

untuk mengawasi pelaksanaan kerja sebagai operasi-operasi individual selama

pekerjaan sedang dilakukan, (2) untuk memutuskan apakah menerima atau menolak

sejumlah produk yang telah diproduksi (baik dibeli atau dibuat dalam perusahaan),

dan (3) untuk melengkapi manajemen dengan audit kualitas produk-produk

perusahaan (Handoko, 1984 dalam Nadiah, 2013). Pada suatu perusahaan, statistical

quality control (SQC) sangat bermanfaat sebagai alat pengendali mutu. Pengendalian

mutu juga meliputi pengawasan pemakaian bahan-bahan, berarti secara tidak

langsung statistical quality control (SQC) bermanfaat pula mengawasi tingkat

efisiensi. Dengan demikian, statistical quality control (SQC) dapat digunakan sebagai

alat untuk mencegah kerusakan dengan cara menolak (reject) dan menerima (accept)

berbagai produk yang dihasilkan, sekaligus upaya efisiensi dalam penggunaan biaya

pada pengendalian mutu produk (Prawirosentono, 2004 dalam Nadiah, 2013).

2.9 Metode Statistical Quality Control (SQC)

2.9.1 Peta kendali (control chart)

Reksohadiprojo, (1995 dalam Sutrisno, 2014) menyatakan bahwa peta kendali

(control chart) merupakan alat analisis untuk mengetahui rata-rata kerusakan

penyimpangan, batas atas, dan batas bawah pengendalian mutu suatu produk. Peta

kendali (control chart) adalah suatu alat yang secara grafis digunakan untuk

memonitor dan mengevaluasi apakah suatu aktivitas atau proses berada dalam

pengendalian mutu secara statistika atau tidak, sehingga dapat memecahkan masalah

34

dan menghasilkan perbaikan mutu. Peta kendali menunjukkan adanya perubahan data

dari waktu ke waktu, tetapi tidak menunjukkan penyebab penyimpangan meskipun

penyimpangan itu akan terlihat pada peta kendali. Manfaat dari peta kendali adalah

sebagai berikut.

1. Memberikan informasi apakah suatu proses produksi masih berada di dalam

batas-batas kendali mutu atau tidak terkendali.

2. Memantau proses produksi secara terus-menerus agar tetap stabil.

3. Menentukan kemampuan proses (capability process).

4. Mengevaluasi performance pelaksanaan dan kebijaksanaan pelaksanaan dalam

proses produksi.

5. Membantu menentukan kriteria batas penerimaan mutu produk sebelum produk

akan dipasarkan.

Peta kendali digunakan untuk membantu mendeteksi adanya penyimpangan

dengan cara menetapkan batas-batas kendali. Peta kendali yang sering digunakan

adalah peta kendali model Andrew Shewhart yang pada dasarnya memiliki ciri-ciri

sebagai berikut.

(1) Upper control limit atau batas kendali atas (UCL)

Merupakan garis batas atas untuk suatu penyimpangan yang masih diijinkan.

Dapat dinotasikan sebagai batas penyimpangan paling tinggi dari nilai baku.

35

(2) Central line atau garis pusat atau tengah (CL)

Merupakan garis yang melambangkan tidak adanya penyimpangan dari

karakteristik sampel. Nilai baku yang akan menjadi pangkalan perhitungan

terjadinya penyimpangan hasil pengamatan pada tiap sampel.

(3) Lower control limit atau batas kendali bawah (LCL)

Merupakan garis batas bawah untuk suatu penyimpangan dari karakteristik

sampel. Dapat dinotasikan sebagai batas penyimpangan terendah yang masih

berada dalam batas-batas pengendalian.

Pengendalian mutu akan berjalan baik jika kerusakan produk masih dalam

batas normal yaitu terletak antara batasan pengawasan atas (UCL) dan batasan

pengawasan bawah (LCL). Apabila kerusakan produk di atas garis UCL, maka

perusahaan akan mengalami kerugian yang dikarenakan jumlah kerusakan produk

tinggi dan jika jumlah kerusakan produk di bawah garis LCL, maka perusahaan akan

memperoleh keuntungan atau laba besar yang dikarenakan jumlah kerusakan

produknya sedikit. Bentuk grafik peta kendali berdasarkan model Andrew Shewhart

dapat ditunjukkan seperti Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1

Grafik Peta Kendali Model Andrew Shewhart

Periode (bulan)

Persentase kerusakan (%)

UCL

CL

LCL

36

Menurut Reksohadiprojo, (1995 dalam Sutrisno, 2014) metode control chart

merupakan analisis untuk mengetahui rata-rata kerusakan penyimpangan, batas atas,

dan batas bawah pengawasan mutu dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

a. Mencari rata-rata kerusakan

...................................................................... (1)

Keterangan:

P = persentase kerusakan produk (%/tahun)

X = jumlah produk rusak (kg/tahun)

n = jumlah produksi selama periode (kg/tahun)

b. Menentukan standar deviasi atau penyimpangan

√ -

....................................................................... (2)

Keterangan:

P = persentase kerusakan produk (%/tahun)

Sp = standar deviasi atau penyimpangan (kg/tahun)

n = rata-rata produksi selama periode (kg/tahun)

c. Menentukan batas pengawasan

(a) Batasan pengawasan atas (Upper Control Limit = UCL)

.................................................................... (3)

(b) Batas pengawasan bawah (Lower Control Limit = LCL)

- ..................................................................... (4)

Keterangan:

UCL = batas pengawasan atas (upper control line) (%/tahun)

LCL = batas pengawasan bawah (lower control line) (%/tahun)

Sp = standar deviasi atau penyimpangan (kg/tahun)

37

2.9.2 Biaya mutu (quality cost)

Gitosudarmo, (1993 dalam Sutrisno, 2014) menyatakan bahwa biaya mutu

(quality control) merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah

produk rusak yang optimal yaitu jumlah produk rusak dengan biaya mutu yang

efisien. Biaya-biaya yang diperhitungkan tersebut sebagai berikut.

1. Biaya pengawasan mutu (quality control cost)

Biaya pengawasan mutu (QCC) merupakan biaya yang dikeluarkan oleh

perusahaan dalam melakukan pengawasan mutu produknya. Adapun biaya-biaya

yang merupakan biaya pengawasan mutu (quality control cost) sebagai berikut.

(1) Biaya kerusakan ikan karena kurangnya pengawasan pada waktu penyimpanan

ikan di palkah pada saat di kapal atau di perusahaan dan kurang stabilnya mutu

ikan, sehingga waktu ikan akan diproses mutunya mengalami penyusutan, biaya

uji mutu ikan, dan biaya penyusutan peralatan untuk proses pengendalian mutu.

(2) Biaya tenaga kerja yang terlibat dalam pengawasan mutu. Biaya ini merupakan

biaya tambahan karena perusahaan sering mengadakan kerja lembur untuk

pemeriksaan mutu. Besarnya biaya pengawasan mutu dipengaruhi oleh ketat

tidaknya intensitas pengawasan mutu produk. Hal tersebut dapat diketahui dengan

menggunakan rumus sebagai berikut.

....................................................................... (5)

Keterangan:

QCC = total biaya pengawasan mutu (Rp/tahun)

R = jumlah produksi selama periode (kg/tahun)

o = biaya pengetesan (Rp/tahun)

q = jumlah ikan rusak selama periode (kg/tahun)

38

2. Biaya jaminan mutu (quality assurance cost)

Biaya jaminan mutu (QAC) dikeluarkan perusahaan diakibatkan karena

kerusakan produk selama perjalanan dari perusahaan ke distributor atau ke

konsumen bahkan masih di dalam perusahaan. Biaya jaminan mutu (quality

assurance cost) ini meliputi sebagai berikut.

(1) Biaya perbaikan atau reparasi produk yang rusak.

(2) Biaya penggantian produk rusak dan cacat.

(3) Biaya atas ditanggungnya risiko menyebabkan berkurangnya volume penjualan

karena biaya produk yang rusak atau cacat telah dibeli oleh konsumen. Besarnya

biaya jaminan mutu (QAC) dapat dicari menggunakan rumus sebagai berikut.

.............................................................. (6)

Keterangan:

QAC = total biaya jaminan mutu (Rp/tahun)

c = biaya jaminan mutu tiap kilogram (Rp/kg)

q = jumlah produk rusak selama periode (kg/tahun)

3. Total biaya atas mutu (total quality cost)

Total biaya atas mutu (TQC) merupakan biaya yang harus ditanggung oleh

perusahaan, dimana besarnya merupakan penjumlahan dari biaya pengawasan

mutu (QCC) dengan biaya jaminan mutu (QAC), secara matematis total biaya

atas mutu (TQC) dirumuskan sebagai berikut.

.............................................................. (7)

Keterangan:

TQC = total biaya atas mutu (Rp/tahun)

QCC = total biaya pengawasan mutu (Rp/tahun)

QAC = total biaya jaminan mutu (Rp/tahun)

39

4. Dari kedua biaya tersebut yaitu biaya pengawasan mutu (QCC) dan biaya jaminan

mutu (QAC), maka dapat dicari titik temu antara kedua biaya tersebut dan

menemukan jumlah ikan rusak yang menanggung total biaya mutu yang rendah.

Caranya adalah dengan menyamakan persamaan garis dari kedua biaya tersebut.

Titik temu itu dapat ditentukan dengan rumus berikut.

.................................................................. (8)

Keterangan:

q* = jumlah produk rusak optimum (kg/tahun)

R = jumlah produksi selama periode (kg/tahun)

o = biaya pengetesan (Rp/tahun)

c = biaya jaminan mutu tiap kilogram (Rp/kg)

a. q* untuk mengetahui jumlah produk rusak yang menanggung biaya terendah.

b. Intensitas pengawasan kualitas sudah berjalan baik jika ikan rusak yang benar-

benar terjadi (q) lebih kecil dari ikan rusak yang dikehendaki (q*).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan semakin besar biaya

pengawasan mutu (QCC) dikeluarkan, mencerminkan semakin ketat pengawasan

mutu yang dilaksanakan. Jumlah produk yang rusak semakin kecil, sehingga biaya

total atas mutu (TQC) akan semakin kecil juga dan demikian pula sebaliknya.

Semakin kecil biaya pengawasan mutu (QCC) yang dikeluarkan, mencerminkan

semakin tidak ketat pengawasan mutu yang dilaksanakan dan jumlah produk rusak

semakin besar, sehingga biaya total atas mutu (TQC) akan semakin besar. Bentuk

grafik total biaya mutu (quality cost) ini, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2

sebagai berikut.

40

Biaya (Rp) TQC (Total biaya atas mutu)

C1

C2

QAC

(Biaya jaminan mutu)

A QCC

(Biaya pengawasan mutu)

Jumlah produk

q1 q* q2 rusak (kg)

Gambar 2.2

Grafik Biaya Mutu (quality cost)

Sumber : Gitosudarmo, (1998 dalam Hutapea, 2010)

Keterangan:

TQC = total biaya atas mutu (Rp/tahun)

QCC = total biaya pengawasan mutu (Rp/tahun)

QAC = total biaya jaminan mutu (Rp/tahun)

q* = jumlah produk rusak optimum (kg/tahun)

C* = total biaya mutu kerusakan optimum (Rp/tahun)

Gambar 2.2 menjelaskan bahwa grafik total biaya mutu (TQC) memiliki titik

rendah yaitu pada saat jumlah kerusakan produk optimal sebesar q*, maka total biaya

mutunya terendah yaitu sebesar C*. Apabila intensitas pengawasan mutu dilakukan

semakin ketat, maka jumlah produk yang rusak akan semakin kecil menjadi sebesar

q1. Hal ini mengakibatkan semakin besar total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar

C1 dan biaya jaminan mutu akan semakin kecil. Sebaliknya apabila pengawasan mutu

dilakukan terlalu longgar, maka jumlah produk yang rusak semakin meningkat

C*min

41

sebesar q2, sehingga biaya jaminan mutu akan naik dan total biaya mutu juga akan

meningkat menjadi sebesar C2.

Titik terendah dari total biaya mutu akan mencapai pada saat perpotongan

garis-garis biaya pengawasan mutu dengan biaya jaminan mutu. Pada perpotongan

tersebut juga akan dilihat jumlah kerusakan produk optimum sebesar q*.

2.10 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pengendalian atau pengawasan mutu sebelumnya yang

sudah pernah dilakukan oleh beberapa penulis, dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Made Agus Prianggawan (2008) meneliti tentang pengawasan mutu produksi

indico red wine pada PT Prasida Lanturmaju. Berdasarkan hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa pelaksanaan pengawasan mutu yang dilaksanakan pada

periode Januari s.d. Desember 2007 sudah sesuai dengan standar perusahaan.

Dimana jumlah kerusakan yang terjadi yaitu sebesar 265 ltr dengan total biaya

pengawasan mutu yang dikeluarkan perusahaan sebesar Rp 103.816.037,74 dan

untuk kerusakan optimum sebesar 692,8 ltr dengan total biaya pengawasan mutu

yang dikeluarkan perusahaan sebesar Rp 69.281.032,3. Dengan demikian, biaya

yang dapat diefisienkan sebesar Rp 34.534.005,44. Metode analisis data yang

digunakan adalah peta kontrol (control chart), diagram sebab akibat, biaya

pengawasan, dan lembar check sheet.

2. Sri Yulianti Fitriani (2007) meneliti tentang pengawasan mutu produk kecap

produksi PT Korma Jaya Utama, Jakarta Selatan. Hasil penelitiannya

42

menunjukkan bahwa biaya pengawasan mutu yang dikeluarkan selama tahun

2006 periode Januari s.d. Juli dibagi menjadi biaya pengawasan mutu (QCC)

sebesar Rp 38.974.994,76 dan biaya jaminan mutu (QAC) sebesar

Rp 625.352.000, sehingga total biaya pengawasan mutu yang dikeluarkan selama

proses produksi sebesar Rp 664.326.994,8. Metode analisis data yang digunakan

adalah biaya intensitas pengawasan mutu.

3. Yuniar Astuti Hutapea (2010) meneliti tentang pengawasan mutu produk minyak

kelapa di CV Cahaya Bali, Denpasar. Hasil penelitiannya menunjukkan rata-rata

mutu yang terjadi di perusahaan masih ada yang belum sesuai dengan standar

mutu yang ditetapkan perusahaan, namun proses pengendalian yang diterapkan

masih dapat ditolerir karena persentase rusak atas total produksi berada pada batas

kontrol. Pengawasan mutu yang dilakukan oleh perusahaan belum efisien karena

biaya jaminan mutu riil yang dikeluarkan lebih besar jika dibandingkan dengan

biaya pengawasan mutu optimum. Besarnya kerusakan optimum yang terjadi

sebesar 774.960,38 kg atau 6,96% dari total produksi, dimana biaya pengawasan

mutu yang dikeluarkan perusahaan pada saat kondisi kerusakan optimum terjadi

adalah sebesar Rp 774.960.461,84, biaya jaminan mutu sebesar

Rp 774.960.300,00, dan total biaya optimum atas mutu sebesar

Rp 1.549.920.861,84. Metode analisis data yang digunakan adalah peta kontrol

dan biaya mutu.

Penelitian ini memiliki persamaan maupun perbedaan dengan penelitian

terdahulu. Dimana persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah

43

menggunakan metode penelitian atau alat analisis yang sama yaitu dengan

menggunakan peta kendali (control chart) dan biaya mutu (quality cost). Perbedaan

penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada objek yang diteliti,

lokasi penelitian, dan waktu penelitian. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada

Tabel 2.3 sebagai berikut.

Tabel 2.3

Persamaan dan Perbedaan Penelitian

Peneliti Judul Penelitian Persamaan Perbedaan

Made Agus

Prianggawan

(2008)

Pengawasan

Mutu Produksi

Indico Red

Wine pada PT

Prasida

Lanturmaju

a. Menggunakan

metode analisis

data peta kontrol

(control chart)

dan biaya

pengawasan

a. Lokasi penelitian

berada di PT Prasida

Lanturmaju

b. Objek yang diteliti

adalah indico red

wine

c. Waktu penelitian

berlangsung selama

bulan Januari s.d.

Desember 2007

d. Tidak menggunakan

metode analisis data

diagram sebab akibat

dan lembar check

sheet

Sri Yulianti

Fitriani

(2007)

Pengawasan

Mutu Produk

Kecap Produksi

PT Korma Jaya

Utama, Jakarta

Selatan

a. Menggunakan

metode analisis

data biaya

intensitas

pengawasan mutu

a. Lokasi penelitian

berada di PT Korma

Jaya Utama, Jakarta

Selatan

b. Objek yang diteliti

adalah kecap

c. Waktu penelitian

berlangsung selama

bulan Januari s.d. Juli

2006

Yuniar

Astuti

Hutapea

(2010)

Pengawasan

Mutu Produk

Minyak Kelapa

di CV Cahaya

Bali, Denpasar

a. Menggunakan

metode analisis

data peta

kontrol dan

biaya mutu

a. Lokasi penelitian

berada di CV Cahaya

Bali

b. Objek yang diteliti

adalah minyak kelapa

44

2.11 Kerangka Pemikiran

Pengendalian mutu secara statistik yaitu sebuah proses yang digunakan untuk

menjaga standar, mengukur, dan melakukan tindakan perbaikan terhadap produk atau

jasa yang diproduksi (Heizer dan Render, 2006 dalam Fakhri, 2010). Pengendalian

mutu secara statistik dapat digunakan untuk menerima atau menolak produk yang

telah diproduksi dan dapat dipergunakan untuk mengawasi proses sekaligus mutu

produk yang sedang dikerjakan.

Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui

bagaimana pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku yang

sudah mengikuti standar prosedur perusahaan atau tidak dan untuk menggambarkan

bagaimana sistem pengendalian mutu untuk meminimumkan kerusakan

menggunakan pendekatan statistical quality control (SQC) pada pengolahan ikan

pelagis beku apakah sudah berjalan dengan baik atau belum.

Dengan demikian, dapat bermanfaat dalam menganalisis tingkat kerusakan

produk yang dihasilkan oleh PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali

yang melebihi batas toleransi atau tidak menggunakan peta kendali (control chart)

dan menganalisis biaya mutu (quality cost) yang dikeluarkan oleh perusahaan terdiri

atas biaya pengawasan mutu (quality control cost), biaya jaminan mutu (quality

assurance cost), dan total biaya atas mutu (total quality cost) selama tahun 2014

untuk kemudian ditelusuri solusi penyelesaian masalah tersebut sehingga

menghasilkan usulan atau rekomendasi perbaikan mutu produksi dimasa mendatang.

45

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan,

maka dapat disusun kerangka pemikiran dalam penelitian ini seperti tersaji dalam

Gambar 2.3 sebagai berikut.

Gambar 2.3

Kerangka Pemikiran Analisis Pengendalian Mutu pada Pengolahan Ikan Pelagis Beku

di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali

PT Perikanan Nusantara

(Persero) cabang Benoa Bali

Hasil

produksi ikan pelagis

Produk rusak Produk baik

Statistical quality

control (SQC)

Analisis

peta kendali

(control chart)

Analisis

biaya mutu

(quality cost)

Simpulan

Rekomendasi

Pelaksanaan pengendalian mutu

pada pengolahan ikan pelagis beku

Pelaksanaan

pengendalian mutu pada

pengolahan ikan pelagis

beku di perusahaan

Proses

selanjutnya

Analisis deskriptif

46

2.12 Hipotesis

Hipotesis merupakan pernyataan ilmiah yang dilandasi oleh kajian teoritik

dan empirik yang merupakan jawaban sementara dari tujuan penelitian yang dapat

diuji kebenarannya secara empirik (Antara, 2014). Dengan demikian, hipotesis yang

dapat diambil penulis pada penelitian ini sebagai berikut.

1. Diduga pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku yang

dilakukan oleh PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali telah

mengikuti standar prosedur penetapan perusahaan.

2. Diduga sistem pengendalian mutu untuk meminimumkan kerusakan

menggunakan pendekatan statistical quality control (SQC) pada pengolahan ikan

pelagis beku sudah berjalan dengan baik.