Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kemangi (Ocimum sanctum L)
2.1.1 Taksonomi
Ocimum sanctum L. atau yang sering dikenal dengan kemangi mempunyai
sistem klasifikasi kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida,
ordo Lamiales, famili Lamiaceae, genus Ocimum , spesies Ocimum tenuiflorum L,
dan sinonim Ocimum sanctum L. Kenampakan daun kemangi dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Kemangi (Ocimum sanctum L)
2.1.2 Nama Daerah
Tanaman kemangi dikenal memiliki nama yang berbeda-beda di setiap
daerah diantaranya Holy Basil sebagai nama asing, kecarum atau carum (Bali), tulsi
(India), balakama (Manado), klampes atau lampes (Sunda), kemangen (Jawa), ko-
roko (Madura), lufe-lufe (Ternate) serta kemangi utan (Melayu) (Kurniasih, 2014).
2.1.3 Morfologi
Tanaman kemangi merupakan herba tegak, tajuk membulat, memiliki
banyak cabang dan tinggi sekitar 0,3 – 1,5 m. Memiliki batang pokok yang tidak
7
jelas, berwarna hijau atau keunguan, daun tunggal serta tersusun dari bawah ke atas.
Panjang tungkai daun 0,25 – 3 cm berbentuk bulat sampai elips pada setiap helai
daun, memanjang dan ujung runcing atau tumpul. Bunga kemangi termasuk
kedalam jenis hemafrodit, berwarna putih dan berbau sedikit wangi. Kelopak bunga
berbentuk bibir, berwarna ungu atau hijau, mahkota bunga berwarna putih dengan
benang sari tersisip didasar mahkota dan kepala putik bercabang dua tidak sama
(Maryati dkk., 2007).
Beberapa jenis Ocimum spp. yang memiliki kemiripan dengan O. sanctum
L salah satunya adalah O. basilicum L. Terdapat enam kelompok O. basilicum L.
menurut morfologinya yakni kemangi berdaun kecil (kelompok 1), kemangi
berdaun mirip selada (kelompok 2), true basil (kelompok 3), kemangi ungu A yang
ditandai dengan batang dan bunga berwarna ungu tetapi daun berwarna hijau
(kelompok 4), kemangi ungu B yang ditandai dengan hampir seluruh tanaman
kemangi berwarna ungu (kelompok 5), dan kemangi ungu C yang ditandai dengan
kombinasi spesifik dari kecerahan daun kemangi (Stanko et al., 2011).
2.1.4 Kandungan Kimia
Bahan kimia yang terkandung dalam kemangi antara lain 3,7-dimetil-1,6-
oktadien-3-ol (linalool 3,94 mg/g), 1-metoksi-4-2-(2-propenil) benzen (estragol
2,03 mg/g), metil sinamat (1,28 mg/g), 4-alil-2-metoksifenol (eugenol 0,896 mg/g)
dan 1,8-sineol (0,288 mg/g) yang diidentifikasi melalui metode GC/MS (Larasati
& Apriliani, 2016). Selain itu, tanaman kemangi juga mengandung senyawa aktif
seperti minyak atsiri, alkaloid, saponin, flavonoid, triterpenoid, steroid, tannin, dan
fenol yang sebagiannya dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli,
8
Staphylococcus aureus, dan Klebsiella pneumonia (Hadipoentyanti & Wahyuni,
2008). Menurut Susanto dkk (2013), minyak atsiri eugenol yang terdapat pada O.
basilicum dapat menghambat formasi biofilm Streptococcus mutan dengan
aktivitas penghambatan sebanyak 50% dengan konsentrasi 0,168%.
Hasil uji fitokimia pada daun kemangi membuktikan adanya flavonoid,
glikosid, asam gallic dan esternya, asam kaffeic dan minyak atsiri yang
mengandung eugenol sebagai komponen utama yakni sebesar 70,5% (Dewi dkk,
2013). Menurut daftar komposisi bahan makanan Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan RI, pada daun kemangi setiap100 g terkandung 5.000 SI vitamin A,
mineral, kalsium 45 mg dan fosfor 75 mg.
Berdasarkan penelitian Dharmagadda dkk (2005), menyatakan bahwa
ekstrak minyak atsiri daun kemangi jenis O. sanctum L memiliki aktivitas antijamur
khususnya pada Aspergillus niger, Fusarium solani, Penicillium funicolusum,
Rhizomucor auricus, dan Trichoderma reesi.
1.1.5 Aktivitas Antimikroba Daun Kemangi
Antimikroba merupakan bahan atau obat yang dapat menurunkan atau
mematikan mikroba khususnya mikroba yang dapat merugikan manusia. Obat yang
digunakan sebagai antimikroba harus memiliki sifat toksisitas selektif yang tinggi
terhadap mikroba (Nuraina, 2015). Terdapat beberapa kandungan kimia yang ada
dalam daun kemangi, salah satunya adalah flavonoid yang memiliki aktivitas
sebagai antimikroba. Kombinasi kandungan flavonoid pada daun kemangi yaitu
orientin dan visenin dapat memberikan efek antibakteri yang saling menguatkan
9
dibandingkan dengan penggunaan salah satu senyawa flavonoid saja (Ali dan
Savita, 2012.)
Mekanisme kerja flavonoid dalam merusak sel bakteri adalah dengan
merusak bagian fosfolipid sel bakteri sehingga mengurangi permeabilitas bakteri
(Kim et al., 1995). Flavonoid juga dapat menghambat sintesis asam nukleat,
menghambat fungsi membran sitoplasma, dan menghambat metabolisme energi sel
(Cushnie and Lamb, 2005). Menurut Angelina dkk (2015), terdapat senyawa
flavonoid yang dapat efektif berperan sebagai antibakteri terhadap E. coli dan S.
aureus. Berdasarkan perhitungan menggunakan kurva standar, jumlah komponen
flavonoid per 100 g sampel kering adalah 20,49 mg luteolin, 18,28 mg quercetin,
7,12 mg apigenin, dan 23,89 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 69,78 mg
(Batari, 2007). Struktur kimia flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Kimia Flavonoid
(Akbar, 2010)
Senyawa linalool dalam minyak atsiri daun kemangi juga diduga kuat dapat
digunakan sebagai antijamur terhadap A. niger dan A. fumigatus. Senyawa tersebut
akan bereaksi dengan membran sel dan mengurangi jumlah ergosterol secara
signifikan (Kadian, Renu & Parle, 2012). Selain untuk jamur, linalool (56,7 % -
10
60,0%) dalam daun kemangi juga mampu melawan mikroba jenis bakteri seperti S.
aureus dan B. subtilis (Hussain et al., 2008). Aktivitas antibakteri dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah konsentrasi ekstraksi yang digunakan,
dimana semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka semakin banyak pula senyawa
metabolit seperti flavonoid dan linalool yang terkandung didalamnya (Angelina,
2015). Struktur kimia linalool dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Kimia Linalool
(Zarlaha et al., 2014)
1.1.6 Manfaat Daun Kemangi
Di Indonesia, tanaman kemangi dapat dimanfaatkan sebagai aneka sayur,
ramuan minuman penyegar dan obat. Pucuk daun kemangi dapat digunakan sebagai
penambah selera makan, daun kemangi dapat digunakan sebagai bumbu masak, bji
kemangi dapat digunakan untuk obat sembelit serta ramuan minuman penyegar
yang dapat menekan dahaga (Komariah, 2013).
Menurut Maylia (2014), manfaat yang terkandung dalam daun kemangi
antara lain melawan radikal bebas karena memiliki antioksidan berupa flavonoid
dan eugenol, membantu pertumbuhan tulang, melancarkan aliran darah,
11
meningkatkan kekebalan tubuh, menghilangkan bau mulut, mengobati sariawan
dan lain sebagainya.
Ekstrak etanol daun kemangi pada konsentrasi 50 μL, 100 μL, 150 μL, 200
μL, dan 250 μL juga dapat dimanfaatkan sebagai antibakteri khususnya terhadap E.
coli, Pseudomonas sp., Klebsiella pnuemoniae, Shigella sonnei, dan
Staphylococcus aureus (Rajalakshmi et al., 2013). Menurut penelitian Maylia
(2014), menyebutkan bahwa daun kemangi dapat dioptimasikan dalam pembuatan
handsanitizier sebagai zat antibakteri. Selain itu, daun kemangi juga dapat
dijadikan sebagai permen herbal untuk mencegah pertumbuhan Sterptococcus
viridans penyebab bau mulut.
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan pengambilan kandungan kimia suatu bahan padat atau
bahan cair dari suatu padatan. Menurut Sarker et al (2006), pemilihan metode
ekstraksi tergantung dari sifat dan senyawa bahan uji yang akan diisolasi dan harus
menentukan target dari ekstraksi terlebih dahulu, diantaranya senyawa bioaktif
yang tidak diketahui, senyawa yang diketahui pada suatu organisme, dan
sekelompok senyawa dalam organisme yang berhubungan secara struktural.
Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan dengan cara dingin dan
cara panas. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2000), metode
ekstraksi cara dingin terdiri dari maserasi dan perkolasi, sedangkan metode
ekstraksi cara panas terdiri dari refluks, soxhlet, digesti, infusa, dan dekok yang
dijelaskan sebagai berikut:
12
a. Perkolasi merupakan metode ekstraksi yang dilakukan dengan cara penetesan
cairan dalam perkolator berbentuk silinder atau kerucut yang memiliki jalan
masuk dan keluar sehingga bahan ekstraksi yang dimasukkan dapat secara
kontinyu melintasi simplisia yang umumnya berbentuk serbuk kasar (Pratiwi,
2008).
b. Maserasi merupakan serangkaian metode sederhana yang paling banyak
digunakan yakni proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut yang
dilakukan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar (Agoes,
2007).
c. Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut yang dilakukan pada suhu titik
didihnya, waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas. Keuntungan dari ekstraksi
jenis ini adalah dapat digunakan pada bahan yang memiliki tekstur kasar
(Atikah, 2013).
d. Soxhlet merupakan metode ekstraksi suatu bahan berbentuk padatan dengan
solven berupa cairan yang dialirkan secara kontinyu (Melwita dkk, 2014).
e. Digesti merupakan metode ekstraksi modifikasi dari maserasi dengan penyarian
menggunakan pemanasan lemah pada suhu 40oC – 50oC. Metode ini hanya
cocok digunakan untuk zat simplisia yang diinginkan memiliki ketahanan
terhadap pemanasan (Astina, 2010).
f. Infusa merupakan proses ekstraksi yang memiliki prinsip sama dengan
perebusan, serta dapat menyari simplisia dengan pelarut air dalam waktu yang
singkat (Depkes RI, 2000).
13
g. Dekok merupakan metode ekstraksi menggunakan pelarut non polar atau air
yang dilakukan pada suhu 90oC selama 30 menit (Depkes RI, 2000).
Pengocokan yang dilakukan pada proses metode ekstraksi maserasi dapat
menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi dalam cairan. Maserasi
merupakan metode ekstraksi dengan prinsip pencapaian konsentrasi pada
keseimbangan. Maserasi kinetik menunjukkan pengadukan yang dilakukan secara
kontinyu, sedangkan remaserasi menunjukkan penambahan pelarut yang diulang
setelah penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
Perlakuan pendahuluan yang harus diperhatikan dan dilakukan pada proses
ekstraksi menggunakan pelarut yakni pada proses pengeringan dan pengecilan
ukuran. Pengeringan bertujuan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme,
mencegah kerusakan metabolit, dan menghambat reaksi enzimatis. Pengecilan
ukuran bertujuan untuk mengurangi sifat kamba bahan dan membantu penetrasi
pelarut ke dalam sel tumbuhan untuk mempercepat pelarutan komponen bioaktif
dan meningkatkan rendemen. Partikel bahan setelah dikecilkan harus memiliki
ukuran yang seragam untuk mempermudah difusi pelarut ke dalam bahan
(Pangaribuan, 2014).
Menurut Awainah (2015), ekstrak merupakan suatu sediaan kental yang
dapat diperoleh dengan cara ekstraksi zat aktif simplisia menggunakan pelarut yang
sesuai dan dilakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan. Ekstrak dapat dikelompokkan berdasarkan sifatnya, yakni ekstrak
encer, ekstrak kental, ekstrak kering, dan ekstrak cair. Terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi sifat dari ekstrak diantaranya adalah spesies tumbuhan,
14
lokasi tumbuh, waktu pemanenan, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan
dan bagian yang digunakan. Selain itu, terdapat faktor kimia yang juga dapat
mempengaruhi sifat ekstrak meliputi faktor internal seperti komposisi kualitatif dan
kuantitatif senyawa aktif dan faktor eksternal seperti metode ekstraksi dan pelarut
yang digunakan dalam ekstraksi (Depkes RI, 2000).
2.3 Paramater dan Metode Uji Ekstrak
Ekstrak dari bahan uji yang telah dibuat kemudian dilanjutkan dengan
melakukan standarisasi yang meliputi proses untuk menjamin produk akhir dari
simplisia, ekstrak, produk atau produk herbal agar memiliki nilai parameter yang
konstan (Arifin dkk, 2006). Parameter pengujian ekstrak bahan yang akan
digunakan adalah parameter non spesifik atau umum dan parameter spesifik yang
mengacu pada Depkes RI (2000).
2.3.1 Parameter Non Spesifik
1) Kadar Air
Parameter non spesifik kadar air merupakan pengukuran kandungan air
yang berada dalam bahan yang akan diuji dengan tujuan untuk memberikan batas
minimal atau rentang besarnya kandungan air dalam bahan.
2) Kadar Abu
Parameter non spesifik kadar abu dilakukan dengan memanaskan bahan
pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan
menguap sehingga, tersisa unsur mineral dan anorganik yang menggambarkan
kandungan mineral internal dan eksternal proses awal hingga terbentuknya ekstrak.
15
2.3.2 Parameter Spesifik
1) Identitas
Parameter identitas ekstrak terbagi menjadi dua yakni deskripsi yang
meliputi nama ekstrak (generik, dagang, paten), nama latin tumbuhan (sistematika
tumbuhan), serta bagian tumbuhan yang digunakan, dan nama Indonesia tumbuhan.
Kemudian ekstrak memiliki senyawa identitas yang artinya senyawa tertentu
menjadi petunjuk spesifik. Tujuan parameter identitas adalah untuk memberikan
identitas objektif dari nama dan spesifik sampel yang digunakan.
2) Organoleptik
Parameter organoleptik ekstrak dilakukan menggunakan panca indera
dengan mendeskripsikan bentuk (padat, serbuk-kering, kental, cair), warna, bau,
dan rasa yang bertujuan sebagai pengenalan awal sederhana yang dilakukan
seobjektif mungkin.
2.4 Escherichia coli
Menurut Molita (2017), klasifikasi bakteri Escherichia coli terdiri dari
kingdom Prokaryota, divisi Gracilicutes, kelas Scotobacteria, ordo Eubacteriales,
familia Enterobacteriaceae, genus Escherichia, dan spesies E. coli. E. coli termasuk
bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek dengan panjang sekitar 2 µm,
diameter 0,7 µm, lebar 0,4 – 0,7 µm, bersifat anaerob fakultatif dan membentuk
koloni yang bundar, cembung serta halus dengan tepi yang nyata (Jawetz et al.,
2001 dikutip Molita, 2017).
16
E. coli ditemukan dalam saluran pencernaan hewan dan manusia.
Penyebaran E. coli dapat melalui kontak secara langsung seperti bersentuhan dan
berjabat tangan yang kemudian diteruskan melalui mulut. Penyebaran E. coli juga
dapat secara pasif yakni terjadi melalui makanan atau minuman (Melliawati, 2009).
Kenampakan sel E. coli dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Bentuk Sel E. coli
(Sumber : Goodsell, 2009)
2.5 Kapang
Fungi merupakan mikroorganisme eukariot dengan dinding sel sebagian
besar tersusun atas polisakarida kitin (Hanson, 2008: 1 ; Kavanagh, 2017). Kapang
termasuk organisme kemoheterotrof yang membutuhkan senyawa organik sebagai
sumber karbon dan energi. Bila sumber nutrisi yang didapat dari bahan organik
mati, maka kapang bersifat saprofit yang mendekomposisi sisa-sisa tumbuhan dan
hewan yang kompleks dan menguraikan menjadi zat yang lebih sederhana (Pratiwi,
2008).
Kapang juga merupakan fungi multiseluler yang memiliki filamen sebagai
ciri khas morfologi yang membedakannya dengan khamir. Pertumbuhan kapang
17
mula-mula berwarna putih, namun jika spora telah timbul akan membentuk
berbagai warna tergantung jenis kapang tersebut. Kapang membentuk miselium
yang merupakan kumpulan beberapa filamen yang membentuk hifa dengan struktur
bersepta dan tidak bersepta yang memiliki fungsi untuk memberi sekat pada sel
sehingga filamen terlihat sebagai rantai sel ( Lay, 1994).
Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba diantaranya air,
pH, RH, suhu, oksigen, dan mineral. Pada umumnya, kapang membutuhkan aw
yang lebih rendah dibanding bakteri dan khamir sehingga untuk mencegah
pertumbuhan kapang sebaiknya aw diturunkan mencapai kurang dari 0,62. Derajat
keasaman (pH) dapat menentukan jenis mikroba yang tumbuh dalam makanan.
Kapang dapat tumbuh pada pH rendah sekitar 4 - 5. Suhu optimum pertumbuhan
kapang berkisar 25oC – 30oC, namun Aspergillus sp. dapat tumbuh optimum pada
suhu 35oC – 37oC (Siagian, 2002).
2.6 Aspergillus niger
Klasifikasi A. niger adalah kingdom Fungi, divisi Eumycetes, kelas
Deuteromycetes, ordo Moniliales, famili Moniliaceae, genus Aspergillus, dan
spesies A. niger (Food and Drugs of US, 1998). A. niger memiliki ciri spesifik hifa
bersepta dan miselium bercabang, tidak berwarna, hifa vegetatif pada permukaan,
hifa fertil pada atas permukaan, berkoloni, konidiofora septa atau nonsepta, konidia
membentuk rantai berwarna hijau, coklat atau hitam (Sumanti et al., 2003:11 ; Irma,
2015). A. niger dapat diisolai dari tanah, sisa tumbuhan dan udara dalam ruangan.
Jamur ini dapat tumbuh optimum pada suhu 35 – 37o C dengan suhu minimum 6-
18
8o C dan suhu maksimum 45-47o C (Inggrid dan Suharto, 2012:10 ; Irma, 2015). A.
niger berwarna putih ketika muda dan berubah hitam ketika berbentuk kondiospora.
Kepala konidia berwarna hitam berbentuk bulat (Noverita, 2009).
Menurut Indrawati (2006), ciri umum A. niger antara lain:
a. Warna konidia hitam atau hitam kecoklatan berbentuk bulat.
b. Bersifat termofilik.
c. Mampu hidup dalam kelembaban nisbi 80.
d. Pertumbuhan dapat dihambat dengan natrium dan formalin.
e. Dapat merusak bahan pangan yang dikeringkan atau yang memiliki kadar
garam tinggi
Kenampakan A. niger dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Bentuk Mikroskopis A. niger
(Sumber : Eltem et al., 2004)
2.7 Metode Pengujian Aktivitas Antimikroba
Uji aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan beberapa metode
diantaranya difusi, dilusi, uji antifungi dan bioautografi. Pengujian ini mengukur
pertumbuhan mikroorganisme terhadap antimikroba yang bertujuan untuk
19
memperoleh suatu aktivitas yang efektif dan efisien. Beberapa metode uji
antimikroba adalah sebagai berikut:
1) Metode Difusi
a. Metode disc diffusion merupakan metode yang digunakan untuk menentukan
aktivitas agen antimikroba dengan cara piringan berisi agen antimikroba yang
diletakkan pada media agar yang telah ditumbuhi mikroorganisme yang akan
berdifusi pada media agar. Zona bening menandakan adanya hambatan
pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba.
b. Metode E-test merupakan metode yang digunakan untuk mengestimasi kadar
hambat minimum (KHM) dengan cara strip plastik yang mengandung agen
antimikroba dengan kadar terendah hingga tertinggi diletakkan di permukaan
agar yang telah ditumbuhi mikroorganisme. Zona bening yang ditimbulkan
menandakan kadar yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
c. Cup-plate technique merupakan metode yang dilakukan dengan membuat
sumur pada media agar yang telah ditumbuhi mikroorganisme dan diberi agen
antimikroba yang diuji (Pratiwi, 2008).
2) Metode dilusi
Prinsip metode dilusi adalah dengan melihat adanya pertumbuhan inokulum
mikroba uji dalam beberapa konsentrasi zat antimikroba ke dalam tabung berisi
medium yang berfungsi membantu pertumbuhan, kemudian dilakukan
pengamatan zona hambat pertumbuhan yang dihasilkan dari berbagai
konsentrasi zat yang diuji (Rosenblatt, 1980 ; Jawetz et al., 1996).
20
Efektivitas suatu senyawa antimikroba dapat dilihat dari luasnya diameter
zona bening atau hambat yang dihasilkan. Zona hambat berdiameter >12 mm
dikategorikan sebagai efektivitas antimikroba yang tinggi (sensitif), diameter 7 mm
– 12 mm dikategorikan sebagai efektivitas antimikroba sedang (intermediet), dan
diameter <6 mm dikategorikan sebagai efektivitas antimikroba rendah (resisten)
(Arora dan Bhardwaj, 1997).
2.8 Mi Basah
Mi basah merupakan mi yang mengalami proses perebusan setelah
pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar air mi basah mencapai 52% sehingga
pada suhu kamar mi basah hanya bertahan 10-12 jam. Apabila melebihi waktu
tersebut, akan menimbulkan bau asam dan berlendir. Bau yang dihasilkan dapat
menjadi indikator yang menyatakan mi sudah mengalami pembusukan dan ditolak
oleh panelis (Ghaffar et.al, 2009). Berdasarkan kadar air dan tahap pengolahannya,
mi basah terbagi menjadi lima golongan yaitu mi basah mentah yang dibuat
langsung dari proses pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35%, mi basah
matang yang telah mengalami perebusan dalam air mendidih dengan kadar air 52%,
mi kering yaitu mi basah yang telah mengalami proses pengeringan dengan kadar
air 10%, mi goreng yaitu mi basah yang telah mengalami proses penggorengan, dan
mi instan yaitu mi basah yang telah mengalami proses pengukusan dan pengeringan
(Koswara, 2009).
Proses pembuatan mi terdiri dari pencampuran, pembentukan lembaran
(roll press), pembentukan mi, pengukusan, penggorengan, pendinginan serta
21
pengemasan. Namun pada pembuatan mi basah tahapan berhenti sampai
pengukusan saja atau tidak mengalami penggorengan dan selanjutnya dapat diolah
kembali. Tahap pencampuran berfungsi agar hidrasi tepung dengan air merata dan
dapat menarik serat gluten, kemudian proses roll press bertujuan untuk
menghaluskan serat gluten menjadi adonan. Pada proses pengukusan terjadi
gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga terjadi dehidrasi air dari gluten dan
mi menjadi kenyal (Koswara, 2009). Syarat mutu mi basah tercantum dalam SNI
01-2987-2015, sebagai berikut:
Tabel 1. Syarat Mutu Mi Basah (SNI 01-2987-2015)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Mi Basah
Mentah
Mi Basah
Matang
1 Keadaan
Bau - Normal Normal
Rasa - Normal Normal
Warna - Normal Normal
2
Tekstur
Kadar Air
-
% b/b
Normal
20 - 35
Normal
20 - 35
3 Formalin - Tidak boleh ada Tidak boleh ada
4 Cemaran Mikroba
Escherichia coli APM/g Maks. 10 Maks. 10
Salmonella sp. Negatif/25 g Negatif/25 g
Staphylococcus aureus Koloni/g Maks 1x103 Maks 1x103
Bacillus cereus Koloni/g Maks 1x103 Maks 1x103
Kapang Koloni/g Maks 1x104 Maks 1x104
(Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2015)
Kerusakan pada mi umumnya disebabkan oleh bakteri dan jamur yang
disebabkan tingginya kadar air pada mi basah sehingga mikroorganisme mudah
untuk tumbuh (Sukowati, 2007). Menurut Chamdani (2005), jumlah kapang pada
mi basah mentah mencapai 3,8 x 104 koloni/ g setelah penyimpanan selama 48 jam.