Upload
buithien
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Taman Nasional
Penetapan kawasan cagar alam, hutan lindung, taman nasional, dan taman
laut merupakan wujud dari upaya pelestarian sumberdaya alam hayati. Penentuan
cagar alam dapat bersifat botanis, faunis dan estetis yang menonjolkan keindahan
alam, tetapi pada kenyataannya tidak ada pemisahan tegas, dan biasanya dimana
fauna dilindungi maka habitatnya berupa berbagai flora dan alam sekitarnya juga
terlindungi dengan sendirinya. Pada saat ini terdapat lebih dari 2.6 ribu kawasan
lindung di dunia yang meliputi daerah hampir seluas 4 juta km2 pada 124 negara
(McKinnon et al., 1993). Selama tahun 1970an, jumlah kawasan lindung
meningkat 46% dengan total luas kawasan meningkat lebih 80% yang sebahagian
besar terdapat di negara-negara tropika (Harrison et al., 1984). Kawasan lindung
berdasarkan kategori IUCN (World Conservation Union) dapat diklasifikasikan
atas enam kategori yaitu:
1. Cagar Alam yaitu kawasan lindung yang dikelola khususnya untuk
kepentingan ilmu pengetahuan, dan Suaka Alam yaitu kawasan lindung yang
dikelola khusus untuk perlindungan alam,
2. Taman Nasional yaitu kawasan lindung yang dikelola khusus untuk
konservasi ekosistem dan rekreasi,
3. Monumen Alam yaitu kawasan lindung yang dikelola untuk kepentingan ciri-
ciri alami suatu kawasan,
13
4. Kawasan Pengelolaan Habitat/Species yaitu kawasan lindung yang dikelola
khususnya untuk konservasi melalui intervensi pengelolaan,
5. Kawasan Perlindungan Alam/Laut yaitu kawasan lindung yang dikelola
khusus untuk konservasi dan rekreasi laut/alam dan
6. Kawasan Perlindungan Pengelolaan Sumberdaya Alam yaitu yaitu kawasan
lindung yang dikelola untuk pemanfaatan ekosistem alam secara lestari.
Hutan konservasi adalah hutan yang dirancang untuk perlindungan
hidupan liar atau habitatnya, biasanya berada dalam taman-taman nasional dan
kawasan-kawasan lindung lainnya, sedangkan hutan lindung merupakan kawasan
hutan yang ditujukan untuk menjalankan fungsi-fungsi lingkungan, khususnya
untuk memelihara tutupan vegetasi dan stabilitas tanah pada lereng-lereng curam
dan melindungi daerah aliran sungai (FWI/GWF, 2001). Taman nasional berarti
gabungan sistem pengelolaan suaka alam, taman wisata, taman laut, sampai
kepada pengelolaan hutan produksi dengan manajemen terpadu, dan berdasarkan
UU No. 5 tahun 1990 bersama dengan taman hutan raya dan taman wisata alam
ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam. Kawasan-kawasan ini berfungsi
sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman satwa dan
tumbuhan serta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari satwa dan tumbuhan
serta ekosistemnya. Kriteria dan batasan serta pengertian sebuah taman nasional
menurut Dirjen PHPA (2002) adalah sebagai berikut:
• Suatu taman nasional harus cukup luas dan mempunyai sumberdaya alam
yang khas dan unik baik flora, fauna, ekositem, maupun gejala alam yang
masih murni, utuh dan asli.
14
• Tidak terjadi perubahan, baik yang disebabkan kegiatan eksploitasi, maupun
pemukiman penduduk, dengan pengelolaan dibawah kebijakan dan sistem
suatu departemen berkompeten dan bertanggungjawab.
• Memberikan kesempatan bagi pengembangan objek wisata alam, sehingga
terbuka untuk umum dengan persyaratan khusus, seperti untuk tujuan
pendidikan, ilmu pengetahuan, budaya, bina cinta alam, dan rekreasi.
• Wisata alam adalah bentuk kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya
alam dan tata lingkungan, serta memiliki potensi dan daya tarik bagi
wisatawan dan untuk upaya pembinaan cinta alam, baik dalam keadaan alami
maupun setelah budidaya. Pola kegiatan yang diijinkan dalam kawasan ini
adalah pariwisata, pendidikan, penelitian, kebudayaan dan cinta alam.
• Konservasi adalah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati
secara bijaksana, berdasarkan prinsip kelestarian dan jaminan kesinambungan
persediaan, serta dipelihara untuk peningkatan kualitas dan keragamannya.
• Sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati dalam alam bersama-sama
dengan unsur non-hayati yang secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Ekosistem adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik
hayati maupun non-hayati yang saling tergantung dan saling mempengaruhi.
• Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik darat
maupun perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan, serta satwa dan
pelestarian pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistem.
15
• Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik darat
maupun perairan dengan fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistem.
• Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang memiliki ciri khas tumbuhan,
satwa, dan ekosistem serta perkembangannya diserahkan kepada alam.
• Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang memiliki ciri khas berupa
keragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang kelangsungan hidupnya dapat
dilakukan melalui pembinaan habitatnya.
• Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem
zonasi yang terdiri atas zona inti dan zona lain yang dimanfaatkan untuk
tujuan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekreasi, dan pendidikan.
• Hutan wisata adalah kawasan hutan yang disebabkan keadaan dan sifat
wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan tujuan untuk
pengembangan pendidikan/penyuluhan, rekreasi, dan olah raga.
Taman Nasional memiliki peran sebagai wahana pendidikan, ilmu
pengetahuan/teknologi, penelitian, budaya, penunjang budidaya, rekreasi dan
pariwisata alam, dan menurut (Mc Kinnon et al, 1993) dibagi atas beberapa
bagian dengan tujuan pemanfaatan berbeda, yaitu;
• Daerah inti adalah kawasan yang memiliki kemurnian flora dan fauna
alamiah, sehingga tidak boleh diganggu kecuali untuk kegiatan penelitian.
• Daerah rimba adalah kawasan hutan yang berfungsi sebagai pelindung daerah
inti dari kerusakan, dan berfungsi hanya sebagai kawasan lindung.
16
• Daerah pemanfaatan merupakan daerah yang dipersiapkan sebagai daerah
wisata.
• Daerah penyangga adalah kawasan hutan bagian luar taman nasional yang
dapat dimanfaatkan untuk pertanian, perkebunan, atau hutan produksi.
Luas total taman nasional di Indonesia sampai Agustus 2002 mencapai
15.03 juta Ha dan penyebarannya berdasarkan kawasan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penyebaran Luas Taman Nasional Pada Masing-masing
Kawasan di Indonesia
No Kawasan Jumlah (unit) Luas
Ha %
1 Sumatera 9 3 711 517.87 24.70
2 Sulawesi 6 2 631 139.00 17.51
3 Kalimatan 7 3 177 259.00 21.14
4 Maluku dan Irian 4 4 561 910.00 30.36
5 Jawa, Bali dan Nusteng 15 946 578.18 6.30
Total (Indonesia) 41 15 028 404.05 100.00
Sumber: Hasil olahan data Departemen Kehutanan RI. 2003.
Hal-hal administratif yang berkaitan dengan kawasan yang dilindungi
menurut McKinnon et al, (1993) mencakup organisasi administrasi dengan tipe
organisasi yang bervariasi sesuai dengan luas, kebutuhan dan tujuan pelestarian,
posisi otoritas pengelola kawasan yang dilindungi dalam pemerintahan, struktur
administrasi otorita pengelola kawasan, dan prosedur organisasi. Perluasan
peranserta dan kerjasama dalam pengelolaan kawasan lindung memerlukan
kerjasama antar lembaga, perluasan peranserta kelompok dari luar, kerjasama
17
dengan otorita setempat dan memperkuat hubungan dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) serta keterlibatan masyarakat setempat. Proses pengambilan
keputusan dalam upaya pelestarian alam disajikan pada Gambar 1.
Secara geografis kawasan TNKS terletak pada posisi 1005’ - 3027’
Lintang Selatan, dan 100035’-102045’ Bujur Timur dan secara administratif
terletak pada 4 provinsi dan 9 kabupaten. Luas TNKS mencapai 1.48 juta Ha
berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/1982, ternyata
PEMERINTAH MENTERI
KEPUTUSAN DIREKTORAT
Konvensi Internasional Opini Masyarakat Badan Pemerintah Lain
Keterbatasan Ekonomi Urutan Keputusan Utama (Strategis)
Keterbatasan Kebijakan Politik
REGIONAL
PENJAGA PAKAR
PERMASALAHAN
Urutan Keputusan Kedua (Koordinasi)
Urutan Keputusan Ketiga (Proteksi)
Kawasan yang dilindungi
Sumber: Bell (1983) dalam MacKinnon et al. (1993)
Gambar 1. Bagan Alir Hipotesis Pengambilan Keputusan dalam LembagaPelestarian Alam
Keterangan: → = Keputusan + Arahan → = Tindakan + Penerapan
= Pertukaran Informasi = Rekomendasi
18
sangat berbeda dengan hasil intepretasi citra landsat 2003. Perbandingan luas dan
proporsi untuk masing-masing provinsi/region antara SP Mentan 1982 dan
intepretasi citra landsat 2002, seperti disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Sebaran Luas TNKS untuk Masing-masing Region Berdasarkan
Surat Pernyataan Mentan No. 736 Tahun 1982 dan Intepretasi Citra 2002
No. REGION SP Mentan 1982 Interpretasi Citra 2002
Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%)
1 Jambi 588 460 39.64 417 603 30.89
2 Sumatera Barat 375 930 25.32 346 356 25.62
3 Sumatera Selatan 310 580 14.12 246 079 18.20
4 Bengkulu 209 680 20.92 342 004 25.30
JUMLAH 1 484 650 100.00 1 352 042 100.00
Sumber: Balai TNKS (2005).
Perubahan strutur dalam organisasi pada Balai Taman Nasional Kerinci
Seblat berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni
2002 dibagi atas empat region masing-masing dipimpin oleh kepala areal
konservasi, yaitu areal konservasi I untuk Provinsi Jambi di Bangko (Merangin),
areal konservasi II untuk Bengkulu di Curup (Rejang Lebong), areal konservasi
III untuk Provinsi Sumatera Barat di Painan (Pesisir Selatan) dan areal konservasi
IV untuk Provinsi Sumatera Selatan di Lubuk Linggau (ICDP, 2002). Masing-
masing areal konservasi ini terbagi dalam rayon yang membawahi beberapa
kabupaten dan pimpinan setiap rayon ditunjuk oleh Kepala Balai Taman Nasional
seperti disajikan pada Gambar 2.
19
2.2. Perubahan Penggunaan Lahan dan Tutupan Hutan
Menurut FAO (1996) lahan (land) didefinisikan sebagai suatu areal
permukaan bumi yang secara komprehensif dan terintegrasi mengacu pada suatu
kesatuan yang luas dari sumberdaya alam, yaitu berupa suatu profil atmosfir di
atas permukaan sampai beberapa meter di bawah permukaan daratan. Atribut
utama sumberdaya alam terdiri dari iklim, jenis lahan, tanah, air, vegetasi dan
fauna (Wolman, 1987). Definisi yang lebih terinci dan holistik yang sering
digunakan berasal dari dokumen Convention to Combat Desertification, yang
menyatakan bahwa lahan adalah seluruh areal yang berada di atas dan bawah
permukaan teresterial bumi termasuk permukaan tanah, air (danau, sungai, dan
rawa), lapisan sedimentasi, dan terkait dengan cadangan sumber air tanah,
MANAJEMEN TAMAN
KOORDINATOR PERSONIL
KEPALA ADMINISTRASI
KOORDINATOR FINANSIAL
KOORDINATOR FASILITAS DAN
PERLENGKAPAN
KOORDINATOR HUKUM
KOORDINATOR EKOTURISME
KOORDINATOR PROTEKSI
KOORDINATOR PERENCANAAN &
MANAJEMEN DATA
KOORDINATOR PENDIDIKAN KONSERVASI
DAN INFORMASI
Regional I Seksi Konservasi
Provinsi Jambi
Regional II Seksi Konservasi Provinsi Bengkulu
Regional III Seksi Konservasi Provinsi Sumsel
Regional IV Seksi Konservasi Provinsi Sumbar
STAF FUNGSIONAL
Sumber: ICDP (2002)
Gambar 2. Struktur Organisasi Pengelola Taman Nasional Kerinci Seblat
20
populasi hewan dan tumbuhan, perkampungan manusia dan hasil pengolahan fisik
dan aktivitas manusia masa lalu dan sekarang (terasering, cadangan atau struktur
drainase air jalan dan bangunan) (FAO 1995).
Hoover and Giarratani (1984) menyatakan bahwa lahan merupakan suatu
ruang dengan kualitas lahan mencakup berbagai atribut topografi, struktur,
pertanian, dan kekayaan mineral yang ada di dalamnya, kemampuan menyediakan
udara dan air bersih, serta sejumlah karakteristik iklim seperti kesejukan,
penampilan estetika dan lain-lain. Agenda 21 Bab 10 menyatakan bahwa definisi
lahan yang biasa digunakan adalah suatu entitas fisik yang terkait dengan
topografi dan ruang alami yang sering berhubungan dengan nilai ekonomi dan
diekspresikan dalam harga yang terbentuk pada suatu transfer kepemilikan (FAO
1995). Lahan sebagai sumberdaya merupakan faktor input yang dapat
dikombinasikan dengan faktor lain guna memproduksi barang atau jasa (Hartwick
dan Olewiler, 1986).
Isu penting dalam pengelolaan sumberdaya lahan di Indonesia adalah
hampir seluruh lahan yang cocok untuk pertanian telah dimanfaatkan untuk
aktivitas usaha tani, dan areal hutan tersisa hanya pada dataran tinggi dan daerah
yang ditujukan untuk konservasi. Konversi lahan hutan dan lahan sekitar aliran
sungai untuk dijadikan areal budidaya pertanian terutama oleh petani yang tidak
memiliki lahan (World Bank, 1994). Sumberdaya lahan di Indonesia dengan luas
sekitar 202 juta Ha pada tahun 1985, terdiri dari 56.4% (114 juta Ha) merupakan
21
hutan dan sisanya 43.6% (88 juta Ha) merupakan lahan pertanian, padang rumput,
rawa dan lainnya (Badan Litbang Pertanian, 1985 dalam Puslittan, 1993).
Studi perubahan penggunaan lahan tidak selalu berkaitan dengan definisi
kondisi lahan, perubahan penggunaan dan tutupan lahan, tetapi lebih bervariasi
sesuai dengan aplikasi dan konteks yang digunakan (Briassoulis, 2004).
Penggunaan lahan (land use) dan tutupan lahan (land cover) bukan dua hal yang
sama (synonymous) dan berdasarkan berbagai literatur perbedaan definisi ini
tergantung pada kebutuhan studi tentang perubahan penggunaan dan tutupan lahan
(Briassoulis, 2004). Tutupan lahan merupakan suatu status biofisik permukaan
bumi dan menjadi sub-bagian permukaan lahan (Turner et al. 1995), atau dengan
kata lain dideskripsikan sebagai status fisik permukaan lahan seperti lahan
pertanian, pegunungan dan hutan (Meyer, 1995 dan Moser, 1996). Selanjutnya
Meyer and Turner (1994) menyatakan bahwa permukaan lahan mencakup jumlah
dan jenis permukaan vegetasi, air, dan material bumi. Istilah pertama tidak hanya
menunjukkan jenis vegetasi yang terdapat pada permukaan lahan, tetapi juga
mencakup hal lebih luas berupa perubahan struktural oleh aktivitas manusia,
seperti gedung atau bangunan, dan aspek lain yang menyangkut lingkungan fisik,
seperti tanah, keragaman hayati, permukaan dan sumber air tanah (Moser 1996).
Penggunaan lahan merupakan cara yang ditempuh oleh manusia untuk
mencapai tujuan dengan memanfaatkan lahan dan sumberdaya (Meyer, 1995
dalam Moser, 1996). Secara ringkas penggunaan lahan menunjukkan tempat
manusia bekerja (Turner dan Meyer 1994). Pengertian lahan yang lebih luas
22
menurut Skole (1994) adalah areal bekerja manusia pada suatu jenis permukaan
lahan, yang berarti areal aktivitas manusia yang menghasilkan produksi primer
dan selanjutnya menjadi faktor penentu sosial ekonomi yang kompleks.
Penggunaan lahan berhubungan dengan fungsi atau tujuan dimana lahan tersebut
digunakan oleh manusia sekitar, dan dapat didefinisikan sebagai aktivitas manusia
yang secara langsung berkaitan dengan lahan, menggunakan sumberdaya tersebut
dan memiliki dampak terhadap kehidupan manusia (FAO 1995).
Menurut Briassoulis (2004) dalam analisis perubahan penggunaan dan
tutupan lahan, maka yang pertama dibutuhkan secara konseptual adalah
pengertian dari perubahan tersebut untuk melihat situasi pada dunia nyata. Pada
tingkat sangat dasar, maka perubahan penggunaan dan tutupan lahan berarti
perubahan secara kuantitatif bentuk penggunaan dan tutupan lahan pada suatu
kawasan (meningkat atau menurun), dan perhitungan perubahan tergantung pada
skala spasial dengan pengertian dan konsep perubahan sangat luas. Pada kasus
perubahan tutupan lahan terdapat dua bentuk perubahan yang relevan, yaitu
konversi dan modifikasi (Turner et al, 1995). Konversi tutupan lahan merupakan
perubahan dari suatu bentuk permukaan menjadi permukaan lain, sedangkan
modifikasi tutupan lahan merupakan alterasi struktur dan fungsi tanpa ada
perubahan dari suatu bentuk ke bentuk lainnya seperti perubahan produktivitas,
biomassa atau phenologis (Skole, 1994).
Perubahan tutupan lahan dapat terjadi akibat proses alamiah seperti variasi
iklim, letusan gunung berapi, perubahan aliran sungai atau permukaan laut, tetapi
23
pada masa sekarang lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia seperti
penggunaan lahan untuk pertanian dan tempat tinggal (Turner et al, 1995). Secara
spesifik Meyer dan Turner (1996), menyatakan bahwa penggunaan lahan (sengaja
atau tidak) merupakan perubahan tutupan lahan yang dapat dilakukan melalui tiga
cara yaitu konversi (conversion) permukaan lahan atau perubahan secara kualitas
(qualitaty), modifikasi (modifying) atau perubahan secara kuantitatif tanpa adanya
konversi penuh, dan memelihara (maintaining) suatu kondisi dalam menghadapi
perilaku perubahan alamiah.
Perubahan penggunaan lahan merupakan suatu fenomena mendasar dalam
sistem bumi yang dinamis, dimana pada negara sedang berkembang ekspansi
pertanian, logging kehutanan, pengembangan industri pada waktu bersamaan
berlangsung sangat intensif (World Bank, 1997). Perubahan penggunaan lahan
mencakup konversi dari suatu bentuk penggunaan ke penggunaan lain, seperti
perubahan pola penggunaan suatu areal lahan, modifikasi bentuk penggunaan
lahan tertentu seperti perubahan dalam intensitas penggunaan sehingga mengubah
karakteristik lahan termasuk perubahan dari pemukiman masyarakat
berpendapatan rendah menjadi pemukiman masyarakat berpendapatan tinggi,
perubahan dari hutan negara menjadi hutan kota untuk sarana rekreasi (Brissoulis,
2004). Pada kasus penggunaan lahan pertanian bentuk-bentuk perubahan
penggunaan lahan secara kualitatif mencakup intensifikasi, ekstensifikasi,
marginalisasi dan pembebasan lahan (Jones dan Clark, 1997).
24
Menurut Berger (2003) faktor pendorong perubahan penggunaan lahan
sebagai predeposisi bagi proses deforestasi dapat dikelompokkan atas faktor
pendorong sosial dan faktor pendorong biofisik. Hubungan antara pelaku, proses
dan faktor pendorong perubahan penggunaan lahan disajikan pada Gambar 3.
Faktor pendorong sosial internal (the on-site social drivers) perubahan
penggunaan lahan mencakup nilai lahan (land values), struktur dan ukuran rumah
tangga (structure and size of families), pembagian tenaga kerja (division of
labour), kemampuan dan keahlian tenaga kerja (availability and skill of labour),
derajat pemberdayaan (degree of empowerment), dan tingkat upah (wage rates).
Faktor pendorong internal ini berinteraksi dengan faktor sosial ekonomi eksternal
(external socio-economic factors) dan faktor biofisik (on-site biophysical) seperti
PELAKU DAN PROSES
REGION Jaringan Pasar, Jasa dan Proses Daerah
Kota dan Desa Infrastruktur, Intensifikasi dan Ekstensifikasi,
Pengurasan Air Tanah
LANDSCAPE Budaya Ekologis Pedesaan dan Batas
Perairan Lokasi, Parit irigasi dan Erosi
UNIT PRODUKSI Rumah Tangga dan Perusahaan Agribisnis Pembersihan lahan dengan pembakaran, upaya peningkatan kesuburan lahan, dan
pengurasan lahan
Harga Komoditas Pembangunan
Infrastruktur Pertumbuhan
Penduduk dan Migrasi
Komersialisasi Pembangunan Organisasi
Masyarakat Regim Property Teknologi
Nilai Lahan Struktur Keluarga Divisi Kerja Tingkat Upah
Curah Hujan Suhu Tahunan Variasi Iklim Land Form
Ketinggian Topografi Pola Drainase Tipe Tanah
Iklim Mikro Kelembaban Tanah Pola Musim Proses Geomorphis
Faktor Pendorong Sosial
Faktor Pendorong Biofisik
Sumber: Berger (2003)
Gambar 3. Faktor Pendorong Perubahan Penggunaan Lahan
25
iklim mikro (micro-climate), kegemburan dan kesuburan tanah (soil moisture and
fertility). Pada beberapa kasus peningkatan pertumbuhan populasi menyebabkan
semakin cepatnya perubahan penggunaan lahan dan sumberdaya air, seperti di
Senegal dimana migran dari daerah tetangga mempengaruhi lingkungan lokal
yang berkaitan dengan keputusan penggunaan lahan (Stephene, 2000).
Perubahan penggunaan dan tutupan lahan saling terkait karena dampak
perubahan penggunaan lahan dan kontribusinya dalam perubahan lingkungan
global melalui perubahan tutupan lahan. Analisis keterkaitan antara keduanya,
membutuhkan suatu pengujian dimana penggunaan lahan terkait dengan
perubahan tutupan lahan pada berbagai level spasial dan temporal yang lebih
terinci. Menurut Brissoullis (2004) spesifikasi level spasial dan temporal yang
terinci merupakan syarat penting yang krusial untuk analisis kedua perubahan
tersebut seperti petunjuk untuk memilih bentuk penggunaan dan permukaan lahan
yang akan dianalisis, menentukan penggerak dan proses perubahan yang dapat
dideteksi, dan identifikasi pengaruh dan menjelaskan keterkaitan antara
penggunaan dan tutupan lahan dengan suatu kerangka spasial-temporal tertentu.
Perubahan penggunaan lahan pada level lokal mungkin tidak menunjukkan
hubungan yang signifikan dengan perubahan tutupan lahan dan lingkungan lokal
seperti konversi lahan pertanian di perkotaan yang diakibatkan adanya keputusan
individual pemilik lahan. Perubahan penggunaan lahan lebih bersifat kualitatif
dibanding kuantitatif dan pada level lebih rendah bersifat spasial dan temporal
sehingga tidak mempengaruhi tutupan lahan dan lingkungan (Brissoulis, 2001).
26
2.3. Faktor Penggerak Deforestasi
Perubahan tutupan lahan terjadi akibat proses alamiah seperti variasi iklim,
letusan gunung berapi, perubahan aliran sungai atau permukaan laut, tetapi pada
masa sekarang lebih sering disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penggunaan
lahan untuk pertanian dan tempat tinggal (Turner et al., 1995). Deforestasi
merupakan penebangan pohon dari suatu areal hutan dan mengkonversinya secara
permanen untuk penggunaan lain terutama untuk penggunaan lahan budidaya
pertanian (van Kooten, 2000 dalam Brissoullis, 2004). Menurut FWI/GFW (2001)
deforestasi adalah penebangan hutan dan konversi lahan secara permanen untuk
berbagai manfaat lainnya. Berdasarkan definisi tataguna lahan dari FAO yang
diadopsi oleh pemerintah Indonesia, lahan hutan yang telah ditebang bahkan yang
telah ditebang habis tidak dianggap sebagai kawasan yang dibalak karena pada
prinsipnya pohon-pohon mungkin akan kembali tumbuh atau ditanami kembali.
Pada sisi lain degradasi hutan didefinisikan sebagai suatu penurunan kerapatan
pohon dan/atau meningkatnya kerusakan terhadap hutan yang menyebabkan
hilangnya hasil hutan dan berbagai jasa ekologi hutan.
Deforestasi umumnya terjadi di negara tropis yaitu dengan menyusutnya
secara cepat areal hutan (Myer, 1994). Deforestasi hutan tropis merupakan isu
global karena nilai dari hutan tropis dalam konservasi biodiversity dan mengatasi
efek rumah kaca (Angelsen et al., 1999). Menurut Pearce dan Brown (1994) dua
faktor utama yang diidentifikasi mempengaruhi deforestasi yaitu adanya
kompetisi antara manusia dan spesies lain untuk memanfaatkan celah ekologi
27
pada lahan hutan, yang secara substansial terlihat melalui konversi lahan hutan
untuk penggunaan lain seperti pertanian, infrastruktur, pembangunan perkotaan
dan industri, dan gagalnya kerja suatu sistem ekonomi untuk merefleksikan nilai
sebenarnya dari lingkungan seperti beberapa fungsi hutan tropis yang non-
marketed dan diabaikan dalam menyusun suatu insentif kebijakan.
Kegagalan suatu sistem ekonomi menurut Panayotou dan Parasuk (1990)
dapat diklasifikasikan atas tiga, yaitu:
1. Kegagalan pasar (market failure), yaitu kegagalan yang terjadi karena tidak
adanya regulasi pada ekonomi pasar sehingga harga pasar yang terbentuk
tidak merefleksikan biaya dan benefit sosial dari penggunaan sumberdaya,
serta timbulnya kesalahan informasi tentang kelangkaan sumberdaya.
2. Kegagalan kebijakan atau distorsi pasar (policy failure or market distortion),
yaitu kegagalan yang terjadi akibat dari suatu kebijakan atau intervensi
pemerintah yang menyebabkan keberadaan sumberdaya menjadi lebih buruk
(worse off), dan
3. Kegagalan penyesuaian global (global appropriation failure), yaitu kegagalan
yang terjadi pada alokasi pasar sumberdaya seperti kurangnya kesadaran akan
keuntungan dari upaya perlindungan biodiversiti hutan tropis untuk
pengembangan obat-obatan dan pengendalian hama penyakit.
Pelaku deforestasi dapat berupa individu, korporasi, agen pemerintah atau
proyek pemerintah yang menyebabkan pembalakan hutan sebagai kekuatan untuk
28
memotivasi pelaku deforestasi. Kerangka konseptual faktor penyebab deforestasi
menurut Scriecu (2001) disajikan pada Gambar 4.
Interaksi diantara pelaku deforestasi sering mempersulit untuk melakukan
identifikasi faktor pendorong deforestasi sehingga Angelsen et al. (1999)
membagi tiga kelompok faktor pendorong deforestasi, yaitu sumber deforestasi,
penyebab deforestasi atau kerusakan hutan level lokal, dan faktor pendorong pada
level makro. Sumber deforestasi adalah pelaku deforestasi seperti petani skala
kecil, pengumpul hasil hutan terutama kayu, pemilik ternak dan mereka yang
berkepentingan dengan perambahan hutan. Penyebab deforestasi level lokal
berkaitan dengan parameter keputusan dan karakteristik pelaku dan pada level
makro berupa variabel kebijakan dan faktor trend atau struktural. Pelaku
deforestasi dan kaitannya dengan deforestasi serta faktor pendorong deforetasi
menurut Angelsen dan Kaimowitz (1999) disajikan pada Tabel 5 dan 6.
Kekuatan Dasar
DEFORESTASI Faktor Spesifik
Parameter keputusan pelaku
deforestasi
Kegagalan Sistem Ekonomi
Kompetisi Manusia-Spesies Lain
Sumber: Scriecu (2001)
Gambar 4. Kekuatan Penggerak Deforestasi
29
Tabel 5. Pelaku Penting Deforestasi dan Kaitannya dengan Deforestasi
No Pelaku Kaitan dengan Deforestasi
1 Peladang berpindah Perambahan hutan untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan tanaman keras
2 Petani komersial Perambahan hutan tanaman komersial, kadang-kadang mendorong peladang berpindah untuk bergerak ke hutan
3 Ranch peternakan sapi
Perambahan hutan untuk pengembalaan, kadang-kadang mendorong peladang berpindah untuk bergeser ke hutan
4 Pengembala ternak Intensifikasi aktivitas pengembalaan yang menyebabkan deforestasai
5 Pembalak kayu Pengambilan kayu komersial yang membuka akses untuk perubahan penggunaan lahan lainnya.
6 Penanaman kayu komersial
Perambahan hutan untuk mendirikan perkebunan guna memenuhi supplai industri pulp and paper
7 Pengumpul kayu bakar
Intensifikasi pengumpulan kayu bakar yang mendorong terjadinya deforestasi
8 Pertambangan dan industri perminyakan
Pembukaan jalan yang membuka akses bagi penggunaan lahan lainnya serta deforestasi lokasi operasional.
9 Perencanaan izin lahan
Relokasi masyarakat ke areal hutan seperti proyek penempatan kembali masyarakat lokal ke kawasan hutan
10 Pembangunan infrastruktur
Akses baru bagi penggunaan lain seperti pembangunan jalan raya dan bendungan dalam kawasan hutan
Sumber: CFAN (1999)
Tabel 6. Pengaruh Peningkatan Variabel Eksogen Terhadap Laju Deforestasi
Variabel Pengaruh peningkatan variabel
berdasarkan bentuk model Keterangan Analisis Simulasi dan empirs
Populasi Meningkat Meningkat Korelasi positif deforestasi dan kepadatan penduduk
Tingkat pendapatan Indeterminan Meningkat Peningkatan pendapatan mendorong per-
mintaan produk pertanian dan hutan tropis Pertumbuhan ekonomi Indeterminan Meningkat/ menurun Peningkatan pendapatan mendorong per-
mintaan produk pertanian dan hutan tropis
Kemajuan teknologi Menurun Fakta terbatas Menurunkan tekanan terhadap harga
pertanian dan meningkatkan tingkat upah
Hutang luar negeri Indeterminan Meningkat/ menurun Secara teoritis dan empiris fakta lemah dan
kontradiksi
Perdagangan bebas Indeterminan Meningkat Harga produk pertanian dan kayu tinggi
meningkatkan pembalakan. Sumber: Angelsen and Kaimowitz (1999)
30
Penyebab tidak langsung dan langsung proses deforestasi serta pelakunya
di Indonesia disajikan pada Gambar 5.
Sumber: FWI/GWF (2001)
Gambar 5. Proses Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia
LEGENDA: Penyebab Tak
Langsung
Penyebab Langsung
Pelaku
KORUPSI
Kebijakan Yang Lebih Menguntungkan Kehutanan
Komersial Skala Besar
Insentif & Kebijakan Dalam Penetapan Harga Kayu
Tidak Ada Pengakuan Hak Atas Lahan Hutan
Tradisonal & Sumberdaya
Kekurangan Data Akurat Tentang Type Hutan, Kondisi Dan Lokasi
Status Resmi Lahan Hutan Tidak Jelas
Kapasitas Pengolahan Kayu Terlalu Tinggi
Kemiskinan dan Petani Tanpa Lahan di
Pedesaan
Pembalak Illegal
Pelaku Pembakaran Hutan
Pengembangan Perkebunan
Perambahan Flora dan Fauna
Pengembangan Pertambangan, &
Infrastruktur
Akuntabilitas Legal & Politis Yang Lemah
Tataguna Lahan &Keputusan Alokasi
Tidak Tepat
Penegakan UU Kehutanan Yang Lemah Dan Tidak
Konsisten
Petani Skala Kecil
Konflik Atas Lahan Hutan & Sumberdaya
Praktek Pembalakan Ilegal Oleh HPH
TRANSMIGRASI
Kebutuhan Pendapatan Pemerintah Daerah
31
Gambar 5 menunjukkan bahwa penyebab langsung dan tak langsung
deforestasi di Indonesia lebih banyak disebabkan lemahnya kelembagaan dan
penegakan berbagai peraturan. Pada sisi lain faktor ekonomi berupa rendahnya
tingkat kesejahteraan masyarakat dan adanya upaya untuk memanfaatkan
sumberdaya hutan seperti kayu sebagai sumber pendapatan daerah. Kondisi sosial,
politik dan ekonomi seperti ini sering mendorong konversi hutan dan pembalakan
liar yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari pemerintah, perkebunan
skala besar dan petani skala kecil.
2.4. Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan
Perluasan ruang lingkup analisis ekonomi pembangunan yang dipelopori
oleh Lewis tahun 1957 dalam buku “The Theory of Economics Growth”
merupakan upaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor ekonomi maupun non-
ekonomi penting yang harus ada untuk mempercepat pembangunan suatu negara
berkembang. Pembangunan ekonomi menurut Sukirno (1985), didefinisikan
sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita suatu masyarakat
meningkat dalam jangka panjang. Menurut Pearce dan Warford (1993),
pembangunan ekonomi mengindikasian suatu perubahan yang mengarah pada
perbaikan atau kemajuan yang lebih bersifat normatif, sehingga pembangunan
ekonomi didefinisikan sebagai suatu keberhasilan untuk mencapai tujuan sosial
dan karena mengalami perubahan sepanjang waktu maka pembangunan ekonomi
menunjukkan suatu proses. Berdasarkan pada definisi tersebut pembangunan
ekonomi mengandung tiga unsur penting yaitu suatu proses perubahan secara
32
terus menerus, usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita, dan dilakukan
dalam jangka panjang (Soekirno, 1985).
Pembangunan ekonomi memiliki konsep lebih luas dari pertumbuhan
ekonomi, sehingga terdapat perbedaan antara pembangunan ekonomi
berkelanjutan (sustainable economic development) dan pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan (sustainable economic growth). Pertumbuhan ekonomi
didefinisikan sebagai peningkatan dari waktu ke waktu level GDP perkapita atau
peningkatan level konsumsi riil perkapita (Pearce dan Warford, 1993). Perbedaan
standar hidup yang besar berimplikasi terhadap kesejahteraan manusia, dimana
perbedaan pendapatan riil menyebabkan terjadinya variasi besar dalam hal
kesejahteraan manusia seperti tingkat kematian dan harapan hidup (Romer, 1996).
Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan harus memenuhi
persyaratan yaitu memiliki tiga tujuan yang proporsinya harus disepakati melalui
public decision making, yaitu economic objective, social objective, dan ecological
objective dan sesuai dengan perkembangan ekonomi masyarakat. Secara harfiah,
pembangunan berkelanjutan mengacu pada upaya memelihara kegiatan
pembangunan secara terus menerus. Pembangunan dapat dikatakan sebagai vektor
dari tujuan sosial suatu masyarakat dan merupakan atribut dari apa yang ingin
dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat (Sanim, 2001). Pada negara
berkembang seperti Indonesia, pembangunan yang berorientasi untuk
mempercepat laju pertumbuhan ekonomi (growth oriented) sering berdampak
negatif pada lingkungan. Hubungan antara kondisi lingkungan dengan
perekonomian makro nasional secara ringkas disajikan pada Gambar 6.
33
Masalah pembangunan pertanian dalam konteks pandangan histroris tidak
lebih dari suatu transformasi sektor pertanian statik menjadi sektor modern yang
dinamik, dan merupakan suatu akselerasi pertumbuhan output dan produktivitas
(Hayami dan Rutton, 1985). Pada negara berkembang pembangunan pertanian
merupakan hal penting terutama berkaitan dengan output, tenaga kerja dan
pertumbuhan ekonomi. Pada kurun waktu tahun 1950an dan 1990an, terjadi
industrialisasi guna mempercepat pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara dan hal
ini menjadi awal diskriminasi terhadap pembangunan pertanian (Than, 1998
dalam Berger, 2003). Pandangan pramodern, bahwa bagi masyarakat praindustri
pertumbuhan output 1% pertahun masih layak, tetapi akibat kemajuan teknologi
maka potensial untuk meningkatkan pertumbuhan menjadi 1.5-2.5% pertahun.
Pandangan ini berubah pada pertengahan abad 20an bahwa potensi pertumbuhan
SISTEM EKONOMI
Deplesi Kongesti
NATURAL RESOURCES
AMENITY AND LIFE SUPPORTING SYSTEM PRODUKSI KONSUMSI
KAPASITAS TAMPUNG
LINGKUNGAN
KERUSAKAN
LAHAN (LOKASI
MAKANAN)
Degradasi Degradasi
Ambient Polusi Ambient Polusi
Sumber: Shin (1994) dalam Sanim (2001)
Gambar 6. Hubungan Antara Perekonomian dan Kondisi Lingkungan
34
output pertanian 4% dapat dipertahankan pada beberapa negara berkembang
seperti Mexico, Brazil, Taiwan dan Israel (Hayami dan Ruttan, 1985).
Interaksi antara aktivitas ekonomi dan dampak ekologi menurut Wong dan
Janaki (2003) dikembangkan dalam suatu kerangka model sumberdaya pertanian
masa depan (the Future Agricultural Resources Model/FARM). Kerangka FARM
secara ringkas disajikan pada Gambar 7.
IKLIM Temperatur dan Curah Hujan
Panjang Musim Aliran (Run-off)
Distribusi Lahan Supply Air
Kemungkinan Produksi
Tenaga Kerja Skill dan Non-Skill,
Kapital dan SDA
Teknologi
Kepemilikan Faktor Domestik Sumber Pendapatan Rumah
Tangga
Tabungan Publik
Populasi Penduduk
Respon Supply
Perdagangan/Investasi Dunia
- Daerah 1 - ………… - Daerah n
Harga dan
Kuantitas Keseimbangan
Permintaan Konsumen
Investasi
Preferensi Konsumen
Sumber: Darwin et al. (1996) dalam Wong dan Janaki (2003)
Gambar 7. Kerangka the Future Agricultural Resources Model
KERANGKA LINGKUNGAN
KERANGKA EKONOMI
35
2.5. Penduduk dan Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara yang
dapat memproduksi barang dan jasa, sebagai implikasi adanya permintaan
terhadap tenaga mereka dan mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut
(Kusumosuwidho, 1981). Tenaga kerja merupakan setiap pengorbanan pikiran
dan fisik, yang sebahagian atau seluruhnya ditujukan untuk menghasilkan barang
dan jasa (Sumodiningrat dan Lanang, 1987). Tenaga kerja adalah penduduk
berusia 15 - 64 tahun, tetapi kebiasaan yang dipakai di Indonesia adalah seluruh
penduduk berusia 10 tahun ke atas (Kusumosuwidho, 1981). Kriteria penduduk di
USA yang termasuk tenaga kerja potensial (age-eligible population) adalah
seluruh penduduk setelah dikurangi dengan penduduk muda (<16 tahun), dan
orang-orang yang tidak mampu bekerja baik karena faktor fisik maupun mental,
mengurus rumah tangga, dan tidak bersedia terlibat dalam aktivitas pasar tenaga
kerja (McConnel dan Brue, 1995). Tenaga kerja atau manpower terdiri dari
angkatan kerja dan bukan angkatan kerja (Simanjuntak, 1985).
Skema tentang keadaan penduduk suatu negara dengan segala potensinya
untuk menghasilkan disajikan pada Gambar 8. Angkatan kerja adalah bagian dari
tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat dalam
kegiatan produktif yaitu memproduksi barang dan jasa (Kusumosuwidho, 1981).
Angkatan kerja atau labor force merupakan penduduk dalam usia kerja yang
sudah dan sedang mencari pekerjaan yang terdiri dari golongan yang bekerja, dan
golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan.
36
Termasuk dalam bukan angkatan kerja adalah bagian dari tenaga kerja
(manpower) yang tidak bekerja ataupun mencari pekerjaan. Angkatan kerja aktual
terbagai dalam bekerja (employent) dan menganggur (unemployment) (McConnel
dan Brue, 1995). Penduduk yang bekerja (employment) terdiri dari kelompok
bekerja penuh, yaitu penduduk yang bekerja 35 jam per minggu atau lebih, dan
kelompok setengah menganggur, yaitu kelompok penduduk yang bekerja kurang
dari 35 jam per minggu (Kusumosuwidho, 1981). Selanjutnya dikatakan bahwa
PENDUDUK
PENDUDUK USIA KERJA
PENDUDUK LUAR USIA KERJA
ANGKATAN KERJA
NON-ANGKATAN KERJA
Sekolah
IBU RT
Lainnya: Cacat Bekerja
(Employment) Menganggur
(Unemployment)
Bekerja Penuh (> 35 Jam/Minggu)
Setengah Menganggur (< 35 Jam/Minggu)
Setengah Pengganggur Kentara
Setengah Penganggur Tak Kentara
Sumber: Kusumosuwidho (1981)
Gambar 8. Skema Keadaan Penduduk Suatu Negara dengan Segala Potensinya untuk Menghasilkan
37
kelompok setengah menganggur terdiri dari kelompok Setengah Pengangguran
Kentara (bekerja kurang dari 14 jam/minggu), dan Kelompok Setengah
Pengangguran Tak Kentara (bekerja 14 sampai 35 jam/minggu). Kelompok
bukan angkatan kerja terdiri dari golongan bersekolah, mengurus rumah tangga,
atau penerima pendapatan yang sewaktu-waktu dapat menawarkan jasanya untuk
bekerja.
Kesempatan kerja dalam teori ekonomi menggambarkan besarnya
kesediaan rumah tangga perusahaan dalam mempekerjakan tenaga kerja yang
dibutuhkan dalam proses produksi dan untuk mengukur kesediaan tersebut dapat
dipakai jumlah orang, jumlah jam atau intensitas pekerjaan (Soedarsono, 1983).
Penawaran angkatan kerja biasanya diwakili oleh jumlah angkatan kerja (labour
force) yang secara ekonomis berbeda dengan tenaga kerja (man power). Angkatan
kerja diartikan sebagai bagian tenaga kerja yang bersedia menerima tawaran
pekerjaan pada tingkat upah/gaji tertentu sesuai dengan keinginan mereka. Secara
demografis besarnya angkatan kerja tergantung pada tingkat partisipasi angkatan
kerja (labour force participation rate), yaitu persentase dari tenaga kerja yang
menjadi angkatan kerja (McConnel dan Brue, 1995).
Lapangan kerja akan bertambah sedikitnya 200 ribu untuk setiap persen
pertumbuhan ekonomi dan berdasarkan Survei Tenaga Kerja Nasional BPS sejak
tahun 1996 sampai 2003 angka pengangguran terbuka meningkat sekitar 5.5%
ditengah peningkatan angkatan kerja baru per tahun yang mencapai rata-rata
sebesar 1.9 juta orang (Guntur, 2005 dalam Kompas, 2005). Hal ini terjadi karena
38
pertumbuhan ekonomi tidak menghasilkan pertambahan lapangan kerja yang
signifikan sebagai akibat pertumbuhan yang lebih didorong oleh sektor konsumsi
dan peningkatan investasi bukan merupakan jenis yang mampu banyak menyerap
tenaga kerja. Selanjutnya dinyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan investasi
tidak cukup untuk mengatasi masalah pertambahan jumlah penganggur dan
angkatan kerja baru tetapi harus didukung peraturan dan perhatian yang lebih
besar pada aspek global termasuk perbaikan iklim investasi dan upah buruh.
Persoalan tenaga kerja di Indonesia tidak hanya menyangkut tingginya
pengangguran terbuka tetapi juga menyangkut persoalan inti yang lebih kompleks.
Hasil studi Bank Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan bahwa terdapat 10
persoalan ketenagakerjaan di Indonesia yaitu rendahnya kualitas tenaga kerja
secara keseluruhan, tingginya serta terus bertambahnya pengangguran terbuka,
karakteristik penganggur yang tidak menjadi pilihan pengusaha, meluasnya tenaga
kerja yang bekerja di luar kemampuannya, ekspansi sektor informal, pertumbuhan
angkatan kerja perkotaan yang sangat cepat, rendahnya kesejahteraan pekerja
secara keseluruhan, pertambahan upah sektor formal diluar pertumbuhan
produktivitas, dan semakin tinggi atau besarnya disparitas upah antara sektor
formal dan informal, antar gender dan antar kawasan, serta persoalan struktural
tenaga kerja lainnya (Cua, 2005 dalam Kompas, 2005)
Pada sektor pertanian besarnya kesempatan kerja dipengaruhi oleh luas
lahan pertanian, produktivitas tanah, intensitas tanam, dan teknologi yang
diterapkan, sedangkan pada sektor non-pertanian kesempatan kerja antara lain
39
dipengaruhi oleh volume produksi, teknologi, dan tingkat harga komoditas
(Kasryno, 1984). Off-farm migrasi tenaga kerja ditentukan secara signifikan oleh
perbedaan income rata-rata antara sektor pertanian dan sektor lain, tingkat
pendidikan, umur angkatan kerja (Larson, 1997). Selanjutnya dinyatakan bahwa
secara hisroris migrasi akibat dorongan income cenderung sama pada negara
berkembang tetapi pada beberapa negara migrasi marginal lebih besar dari migrasi
alami seiring meningkatnya angkatan kerja sektor pertanian. Hasil penelitian di
Nigeria kohesi sosial yang tetap kuat seperti kecenderungan sejumlah unit
keluarga untuk migrasi dan mempengaruhi komunitas organisasi untuk
mempertahankan jaringan kerja komunitas (Stephene, 2000).
2.6. Studi Empiris Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan merupakan suatu fenomena mendasar dalam
suatu sistem bumi yang dinamis, dimana pada negara sedang berkembang
ekspansi pertanian, logging kehutanan, pengembangan industri pada waktu
bersamaan berlangsung sangat intensif (World Bank, 1997). Pada beberapa kasus
perubahan penggunaan lahan dan tutupan hutan menunjukkan suatu respon fungsi
yang komplek dan secara spasial sangat kontektual (Djuweng, 1997). Masalah
kerusakan sumberdaya lahan merupakan masalah yang kompleks dimana
kerusakan itu terkait dengan pertumbuhan penduduk, urbanisasi, transmigrasi,
faktor ekonomi dan lainnya (Warsi, 2003). Degradasi lahan merupakan akibat dari
hubungan yang saling terkait antara faktor yaitu alam, manusia dan kelembagaan
serta kebijakan pemerintah (Dixon et al., 1989). Faktor alam yang mendorong
degradasi lahan seperti iklim, topographi lahan dan vegetasi, sedangkan faktor
40
manusia termasuk keputusan sistem produksi dan eksploitasi penggunaan
sumberdaya alam secara berlebihan tanpa adanya rehabilitasi (Sanim, 2001).
Perubahan penggunaan lahan tidak hanya didorong oleh pengaruh faktor
ekologi dan sosial ekonomi sebagai penentu keputusan penggunaan lahan pada
skala unit produksi, tetapi yang sering menjadi lebih penting adalah faktor
pendorong eksternal (off-site factors driven) seperti proses industrialisasi,
urbanisasi, pembangunan infrastruktur jalan, pertumbuhan populasi dan migrasi
serta globalisasi pasar dan ekonomi (Smith et al., 1996 dalam Berger, 2003).
Perubahan pola konsumsi masyarakat urban merupakan faktor penting dalam
memperluas pengaruh lingkungan masyarakat dataran tinggi dan menciptakan
permintaan untuk produk pertanian baru dan meningkatkan ekstraksi sumberdaya
lahan dengan lebih cepat (Arifin, 2000). Analisis pada level pedesaan di Indonesia
menunjukkan bahwa tingginya nilai tanaman pohon-pohonan, produksi makanan
yang mengarah pada non-subsisten memainkan peranan utama dalam konversi
hutan menjadi lahan pertanian (Chomitz dan Gray, 1997).
Penelitian di Belize, Brazil, Mexico dan Afrika Tengah menunjukkan efek
infrastruktur terhadap karakteristik dan pasar lahan mengindikasikan bahwa
perencanaan regional yang baik dapat meningkatkan pembangunan pedesaan dan
perlindungan lingkungan (Chomitz dan Gray, 1996). Peraturan agraria dalam
bentuk kerangka kerja resmi oleh otoritas pengambil keputusan tingkat lokal dapat
mengatasi dan menyelesaikan sejumlah isu yang berkaitan dengan kepemilikan
(property right) dan konflik penggunaan lahan (Appendini, 2002). Degradasi
41
lahan juga didorong oleh faktor kebijakan pemerintah dan kelembagaan yang
dapat dilihat pada sudut pandang perencanaan, pelayanan, pelaksanaan dan
kontrol terhadap suatu progam (Mundita, 1999). Adopsi kebijakan pemerintah
untuk meningkatkan pembangunan ekonomi menyebabkan terjadinya degradasi
lahan seperti kredit bersubsidi untuk ekspansi pertanian, penurunan pajak
penghasilan dan korporasi untuk penggunaan lahan kompetitif, pemberlakuan “tax
holiday” untuk peralatan baru yang memiliki dampak negatif bagi kawasan hutan,
pemberlakukan tarif impor tinggi untuk bahan bakar sehingga kayu bakar menjadi
pilihan alternatif, pengembangan proyek infrastruktur dan energi yang tidak
memperhitungkan kehilangan nilai sumberdaya hutan, dan skema kolonialisasi
yang disponsori oleh pemerintah (Roper dan Robert 1999).
2.7. Studi Empiris Deforestasi
Faktor penyebab atau pendorong deforestasi dapat dibedakan atas dua
kelompok yaitu penyebab langsung (direct causes) dan penyebab tak langsung
(indirect causes). Penyebab langsung seperti perladangan berpindah (slash and
burning farming), komersialisasi pertanian (commercial agriculture), ranch dan
penggembalaan ternak, eksploitasi pertambangan dan minyak, dan pembangunan
infrastruktur (Roper dan Robert, 1999). Penyebab tak langsung seperti kebijakan
fiskal dan pembangunan (fiscal and development policies), aksesibilitas dan
perizinan lahan (land access and land tenure), tekanan pasar (market pressures),
penetapam nilai hutan alam yang lebih rendah dari nilai sebenarnya
(undervaluation of natural forests), lemahnya kelembagaan pemerintah (weak
42
government institutions), dan faktor sosial (social factors) seperti keputusan
politik (CFAN, 1999). Kehilangan hutan merupakan hasil interaksi antara faktor
geografi, karakteristik masyarakat dan harga seperti peningkatan harga komoditas
pertanian jagung dan kayu menjadi insentif perambahan hutan di Mexico (Alix,
2001). Faktor penyebab kehilangan hutan menurut Berger (2003) dapat
dikelompokkan atas faktor sosial dan biofisik dengan pelaku (agent) perubahan
penggunaan dan tutupan lahan mulai dari skala unit produksi sampai skala
regional.
Menurut Chomitz et al. (1996) deforestasi atau konversi hutan didorong
oleh kegiatan pemukiman kembali yang menjadi fasilitator terjadinya perambahan
kayu intensif, perluasan pertanian komersial, dan pergeseran secara berkelanjutan
pertanaman pada kawasan hutan, konversi hutan untuk pertanian, penanaman
hutan untuk pertanian seperti kelapa sawit dan karet. Perubahan tutupan hutan
antara tahun 1980 dan 1990 di Afrika menurut (Drigo, 1997 dalam Skole, 1994)
lebih dominan disebabkan “land clearing” pertanian rakyat dan penggembalaan
permanen serta pengambilan kayu bakar yang didorong oleh tekanan populasi
penduduk pedesaan, tetapi sebaliknya di Amerika Latin pergeseran permanen
akibat pertanian dan penggembalaan sering terjadi bersamaan dengan proyek
pemukiman baru dan pembangunan infrastruktur. Pada jangka panjang kawasan
hutan yang dikonversi terkait dengan tingkat keuntungan pertanian dan biaya
pembukaan lahan, besarnya populasi sektor pertanian, panjang jaringan jalan raya
(Cropper et al, 1996). Laju deforestasi pada daerah dengan penduduk miskin
berlangsung lebih cepat dibanding daerah kaya dan dampak kemiskinan terhadap
43
perambahan hutan sangat terkait dengan rendahnya profitabilitas dari lahan-lahan
marjinal, jauhnya jarak pasar utama dari pusat produksi, dan status kepemilikan
lahan (Kerr dan Pfaff, 2003).
Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi terjadinya degradasi kawasan
hutan adalah kesenjangan pendapatan, share output pertanian, Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) Perkapita dan unemployment (Sanim, 2001). Deforestasi
meningkat pada kemiskinan (poverty) lahan komunal di Mexico, dan sebaliknya
di Indonesia kebijakan liberalisasi harga pertanian mampu menurunkan
deforestasi sehingga kebijakan kehutanan pada level makro menjadi sangat
sensitif terutama berkaian dengan perdagangan. Pada kawasan lain seperti Afrika
infrastruktur memainkan peranan penting dalam mendorong deforestasi hutan
tropis, di Pakistan ada keterkaitan antara kelahiran (fertility) dan degradasi
lingkungan diantara beberapa kawasan, sedangkan di Nepal degradasi lingkungan
memberikan efek merugikan bagi pendidikan (Jimenez, 1997). Faktor pendorong
lain terjadinya deforestasi adalah terjadinya kebakaran hutan seperti yang terjadi
di Indonesia. Berdasarkan data Departemen Kehutanan RI pada tahun 1997
kebakaran hutan di Indonesia menghanguskan lebih dari 515 ribu Ha kawasan
hutan. Kebakaran diduga akibat pembakaran lahan oleh 117 perusahaan
perkebunan, 27 HTI, dan 19 lokasi transmigrasi di Sumatera dan Kalimantan.
Total lahan yang terbakar menurut Bappenas dan ADB dalam Erianto (2003)
mencapai luas 9.75 juta Ha dan terbesar di Pulau Kalimantan.
44
2.8. Studi Empiris Degradasi Taman Nasional dan Kawasan Lindung
Hasil penelitian Sernell (1996) menunjukkan bahwa perubahan tutupan
hutan di kawasan lindung Serengeti Mara Ecosystem (SME) Tanzania terkait
dengan terbentuknya pemukiman permanen dan pertanian subsisten akibat tidak
praktisnya pertanian mekanis skala besar. Areal SME ini selama 20 tahun terakhir
telah kehilangan 75% atau sekitar 30 ribu hewan liar, dan hal ini berkaitan dengan
kehilangan areal penggembalaan musim basah, sedangkan di Loita Plains akibat
pembangunan pertanian hanya berpengaruh pada areal penggembalaan musim
kering. Pada kawasan lindung Dzangha-Sangha Afrika Tengah masalah
konservasi yang dihadapi antara lain peningkatan populasi (population increase),
pertambangan berlian (diamond mining), pembalakan kayu yang non-sustainable
(unsustainable logging) dan perburuan hewan liar (poaching) serta aktivitas
pembiayan proyek yang tidak berkelanjutan (unsustaniable financing of project
activities) (Sernell, 1996).
Kerusakan taman nasional di Indonesia yang kaya akan berbagai plasma
nuftah spesifik diakibatkan oleh kurangnya koordinasi antara berbagai instansi
atau lembaga terkait, penegakan hukum (law enforcement) yang lemah serta
rendahnya kesadaran masyarakat (WFC ,1997). Krisis ekonomi yang terjadi pada
tahun 1997 memperparah keberadaan Taman Nasional dan kawasan hutan lindung
lainnya berupa timbulnya konflik pemanfaatan hutan antara masyarakat dan
pengelola Taman Nasional. Beberapa contoh konflik yang terjadi pada tahun 1998
berdasarkan Newman et al. (1999) dalam FWI/GWF (2001) seperti pada Taman
45
Nasional Lore Lidu di Sulawesi Tengah dan Taman Nasional Kutai di Kalimantan
Timur dimana penduduk lokal telah mengambil alih ribuan hektar untuk menanam
tanaman keras dan menebang kayu, pembalakan illegal yang terorganisir di
Taman Nasional Gunung Leuser Aceh dan Taman Nasional Tanjung Puting
Kalimantan Tengah dan pada berbagai kawasan lain.
Hampir separuh taman nasional yang terdapat di tanah air saat ini
kondisinya mengalami kerusakan antara lain akibat kegiatan perambahan hutan,
penggalian tambang C, dan pertambangan emas rakyat dan bahkan dua taman
nasional di Kalimantan yakni Taman Nasional Kutai dan Tanjung Puting
mengalami kerusakan parah (Sunaryo, 2003 dalam EIA, 2000). Hasil identifikasi
ICDP (2002) kerusakan Taman Nasional Kerinci Seblat antara lain disebabkan
oleh pembukaan hutan dan perambahan, penebangan hutan secara ilegal,
pengumpulan hasil hutan, dan perkebunan, pembangunan jalan, keterbatasan
sumberdaya untuk pengelolaan dan ketidakjelasan tapal batas dan pertambangan
serta rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat. Pembukaan pertambangan
emas merupakan ancaman terbesar terhadap Taman Nasional Meru Betiri yang
merupakan kawasan konservasi yang memiliki fungsi besar dalam menyumbang
aset ekologi guna keseimbangan paru-paru dunia (FWI/GFW, 2001). Suatu
eksplorasi dan eksploitasi suatu pertambangan khususnya tambang emas, tidak
hanya sekedar dilihat dari segi ekonomi, akan tetapi harus dilihat secara global
(multi diplisiner science) baik dari manfaat jangka pendek maupun panjang.
46
Menurut ICDP (2002), lebih dari 80% penduduk yang tinggal di sekitar
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan petani tradisional terutama
yang mengusahakan lahan tanaman tua seperti kopi, kulit manis, kelapa sawit,
cengkeh dan karet. Aktifitas pertanian ini menjadi faktor penyebab utama
terjadinya konversi kawasan hutan dalam TNKS menjadi kawasan non-hutan.
Perubahan tutupan hutan yang berlangsung terus menerus merupakan akibat
adanya aktifitas seperti perambahan liar, pertambangan rakyat, dan “land
clearing”. Data Balai TNKS menunjukkan selama kurun waktu 1994 – 2002 luas
tutupan hutan dalam TNKS berkurang dari 1.27 juta Ha menjadi 1.25 juta Ha atau
mengalami degradasi seluas 26.043 ribu Ha (2.04%). Tata batas taman nasional
yang tidak jelas, dan adanya aktivitas berbagai perambahan baik yang dilakukan
masyarakat maupun pemegang HPH, serta proses land-clearing yang dilakukan
melalui pembakaran hutan juga menjadi faktor pendorong terjadinya degradasi
hutan (ICDP, 2002). Harga input yang tinggi dan daya beli masyarakat yang
menurun mendorong terjadinya pembakaran hutan sebagai alternatif pembukaan
lahan yang lebih murah. Hal ini tidak hanya dilakukan masyarakat tetapi juga oleh
perusahaan perkebunan dan adanya sanksi yang tidak jelas menyebabkan proses
ini tetap berlangsung sampai sekarang.
Pada tahun 2001 Menteri Kehutanan meminta kepada Menteri
Pertambangan dan Energi agar dilakukan pembatalan terhadap kontrak ataupun
ijin yang telah dikeluarkan atas 24 perusahaan pertambangan yang arealnya
tumpang tindih dengan areal TNKS seperti CV. Mineral Perd, PT Newcrest, PT
Newmont dan PT. Sariagrindo Andalas. Perusahaan yang disebut terakhir
47
merupakan perusahaan pertambangan yang berlokasi di Kabupaten Pesisir Selatan
Propinsi Sumatera Barat dan pada kenyataannya mempunyai tumpang tindih
dengan TNKS seluas 137 Ha (ICDP, 2002). Selanjutnya tahun 2002 Menteri
Kehutanan juga meminta kepada Gubernur Sumbar dan Jambi untuk
menghentikan sementara aktivitas penebangan berjarak 3 km dari batas kawasan
TNKS pada 4 areal hutan konsesi (HPH), yaitu PT. Duta Maju Timber, PT.
Serestra II, PT. Nusalease Timber dan PT. Rimba Karya Indah.