Upload
lemien
View
219
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Padi
Tanaman padi (Oryza sativa L) termasuk golongan tumbuhan Gramineae,
yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Tanaman padi
bersifat merumpun, artinya tanamannya anak beranak. Bibit yang hanya sebatang
saja jika ditanamkan dalam waktu yang sangat dekat akan terdapat 20-30 atau
lebih anakan/ tunas baru (Siregar, 1981). Menurut Grist (1986), klasifikasi botani
tanaman padi adalah sebagai berikut: Kerajaan Plantae, Divisio Spermatophyta,
Sub divisio Angiospermae, Kelas Monotyledonae, Ordo Poales, Keluarga
Gramineae (Poaceae), Genus Oryza Linn, dan Spesies Oryza sativa L. Tanaman
padi diperkirakan berasal dari negara Asia bagian timur dan India bagian utara.
Tanaman padi dapat tumbuh baik pada daerah antara 53oLU sampai 35-40oLS,
mulai daerah pantai sampai ketinggian 2400 meter diatas permukaan laut
(Suparyono dan Agus, 1994 dikutip Darwindra, 2013). Gambar tanaman padi
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Padi (Oryza sativa L)
(FAO, 2002)
6
Tanaman padi dapat hidup baik di daerah yang berhawa panas dan banyak
mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih
dengan distribusi selama 4 bulan, selain itu curah hujan yang dikehendaki per
tahun sekitar 1500-2000 mm. Suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi
adalah 23oC. Tinggi tempat yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0-
1500 meter dpl (Grist, 1986).
Padi yang ditanam di Asia dibagi menjadi tiga subspesies yaitu Javanica,
Japonica, dan Indica. India dan negara-negara Asia tropis banyak menanam
spesies Indica. Jenis Indica mempunyai butir padi berbentuk lonjong panjang,
ramping, mudah rontok, dan dengan rasa nasi pera. Jenis Japonica umumnya
tumbuh pada daerah subtropis yang dingin, butirnya pendek bulat, serta dengan
rasa nasi pulen dan lengket. Jenis Javanica mempunyai ukuran biji panjang, ujung
gabah seperti bulu yang panjang, dan tidak mudah rontok. Jenis Indica lebih
pendek masa tanamnya, tahan kekurangan air, dipanen sekaligus karena butir padi
mudah terlepas dari malainya sehingga mudah tercecer, sedangkan Japonica lebih
lama masa tanamnya, tanaman lebih tinggi, dipanen satu per satu karena butir padi
melekat kuat pada malainya (Damardjati, 1988). Bulir padi dari tiga subspesies
dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Bulir Padi Japonica (A), Indica (B), dan Javanica (C)
(International Rice Research Institute, 2007)
7
2.1.1 Padi Varietas Ciherang
Secara umum padi dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu padi varietas
unggul, varietas hibrida, dan varietas lokal. Varietas unggul merupakan galur hasil
pemuliaan yang mempunyai satu atau lebih keunggulan khusus, seperti potensi
hasil tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, toleran terhadap ancaman
lingkungan, mutu produk tinggi, dan/ atau sifat-sifat unggul lainnya, serta telah
dilepas pemerintah. Varietas hibrida dapat disebut pula varietas padi sekali tanam,
artinya hasilnya akan maksimal bila sekali ditanam. Namun, bila keturunannya/
benih ditanam kembali maka hasilnya akan berkurang jauh. Varietas lokal
merupakan varietas yang telah ada dan dibudidayakan secara turun-temurun oleh
petani serta menjadi milik masyarakat dan dikuasai negara.
Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2014), padi varietas
Ciherang yang dilepas pada tahun 2000 merupakan hasil rakitan dari Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Varietas Ciherang tahan terhadap penyakit hawar daun
bakteri, produktivitas tinggi, serta mutu dan rasa nasi setara dengan varietas IR64
yang juga disukai petani.
Berdasarkan berat kering, kandungan protein beras varietas Ciherang
10,3%, lemak 0,72%, dan karbohidrat 87,6%. Tiap 100 g beras Ciherang
mengandung energi 401,9 kalori, vitamin B1 0,30 mg, vitamin B2 0,13 mg,
vitamin B3 0,56 mg, vitamin B6 0,12 mg, asam folat 29,9 mikrogram, besi 4,6
ppm, dan seng 23 ppm (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2014). Deskripsi
tanaman padi varietas Ciherang disajikan pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Deskripsi Padi Varietas Ciherang
Deskripsi Padi Varietas Ciherang
Nama Varietas Ciherang
Kelompok Padi Sawah
Nomor Seleksi S3383-1d-Pn-41-3-1
Asal Persilangan IR18349-53-1-3-1-3/IR19661-131-31//IR19661131-
31///IR64////IR64
Golongan Cere
Umur Tanaman 116-125 hari
Bentuk Tanaman Tegak
Tinggi Tanaman 107-115 cm
Anakan Produktif 14-17 batang
Warna Kaki Hijau
Warna Batang Hijau
Warna Daun Telinga Putih
Warna Daun Hijau
Posisi Daun Tegak
Daun Bendera Tegak
Bentuk Gabah Panjang ramping
Warna Gabah Kuning bersih
Kerontokan Sedang
Kerebahan Sedang
Tekstur Nasi Pulen
Kadar Amilosa 23%
Bobot 1000 Butir 27-28 g
Rata-Rata Produksi 6 t/ha
Potensi Hasil 8,5 t/ha
Ketahanan Terhadap
Hama
Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3
Ketahanan Terhadap
Penyakit
Tahan terhadap bakteri hawar daun (HDB) strain III dan
IV
Anjuran
Cocok ditanam pada musim hujan dan kemarau dengan
ketinggian di bawah 500 meter dpl
Pemulia Tarjat T, Z. A. Simanullang, E. Sumadi, dan Aan A.
Daradjat
Dilepas Tahun 2000
Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2014)
9
2.1.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Padi
Menurut International Rice Research Institute (2009), fase pertumbuhan
padi dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
1. Vegetatif (Awal Pertumbuhan Sampai Pembentukan Malai)
Fase vegetatif merupakan pertumbuhan organ-organ vegetatif, seperti
pertambahan jumlah anakan, tinggi tanaman, jumlah, bobot, dan luas daun. Lama
fase ini beragam sehingga dapat menyebabkan perbedaan umur tanaman (De
Datta dan Yoshida, 1981 dikutip Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2014).
Perbedaan masa pertumbuhan hanya ditentukan oleh lamanya masa
vegetatif. Di daerah tropis, fase reproduktif padi sekitar 35 hari dan fase
pematangan sekitar 30 hari. Perbedaan masa pertumbuhan ditentukan oleh
perubahan panjang waktu fase vegetatif. Sebagai contoh, IR64 yang matang
dalam 110 hari mempunyai fase vegetatif 45 hari, sedangkan IR8 yang matang
dalam 130 hari fase vegetatifnya 65 hari. Berikut ditunjukkan pada Gambar 3
adalah periode pertumbuhan padi varietas IR64 dan IR8.
Gambar 3. Perbandingan Fase Pertumbuhan IR64 dan IR68
(Rice Knowledge Bank, 2009)
10
Secara detail, pertumbuhan vegetatif tanaman padi dapat dilihat pada tahap
0-3:
a. Tahap 0 - Berkecambah Sampai Muncul Pembentukan Malai
Benih biasanya dikecambahkan melalui perendaman 24 jam dan
diinkubasi juga selama 24 jam. Setelah berkecambah, bakal akar dan tunas akan
timbul keluar menembus kulit gabah. Pada hari ke-2 atau ke-3 setelah benih
disebar dipersemaian, daun pertama menembus keluar melalui koleoptil. Akhir
tahap 0 memperlihatkan daun pertama yang muncul masih melengkung dan bakal
akar mulai memanjang. Tahap perkecambahan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Tahap Perkecambahan Benih (Germination)
(Rice Knowledge Bank, 2009)
b. Tahap 1 - Pertunasan (Seedling)
Tahap pertunasan dimulai dari benih berkecambah sampai dengan sebelum
anakan pertama muncul. Selama tahap ini, akar seminal dan lima daun terbentuk,
sementara tunas terus tumbuh, dua daun lagi terbentuk. Daun terus berkembang
pada kecepatan satu daun setiap 3-4 hari selama tahap awal pertumbuhan.
Kemunculan akar sekunder membentuk sistem perakaran serabut permanen
dengan cepat menggantikan radicula dan akar seminal sementara. Bibit umur 18
hari siap untuk ditanam pindah. Bibit memiliki 5 daun dan sistem perakaran yang
11
berkembang dengan cepat. Tahap pertunasan tanaman padi dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5. Tahap Pertunasan (Seedling)
(Rice Knowledge Bank, 2009)
c. Tahap 2 - Pembentukan Anakan (Tillering)
Tahap ini berlangsung sejak munculnya anakan pertama sampai
pembentukan anakan maksimum tercapai. Anakan muncul dari tunas aksial pada
buku batang dan menggantikan tempat daun. Setelah tumbuh, anakan pertama
memunculkan anakan sekunder, ini terjadi pada 30 hari setelah pindah tanam.
Setelah itu, anakan tertier tumbuh dari anakan sekunder seiring pertumbuhan
tanaman yang bertambah panjang dan besar. Anakan terus bertambah sampai pada
titik dimana sukar dipisahkan dari batang utama dan berkembang sampai tanaman
memasuki tahap pertumbuhan berikutnya yaitu pemanjangan batang. Tahap
pembentukan anakan tanaman padi dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Tahap Pembentukan Anakan (Tillering)
(Rice Knowledge Bank, 2009)
12
d. Tahap 3 - Pemanjangan Batang
Tahapan ini terjadi sebelum pembentukan malai atau terjadi pada tahap
akhir pembentukan anakan. Oleh karenanya bisa terjadi tumpang tindih dari tahap
2 dan 3. Periode waktu pertumbuhan berkaitan nyata dengan memanjangnya
batang. Batang lebih panjang pada varietas yang jangka waktu pertumbuhannya
lebih panjang. Anakan maksimum, memanjangnya batang, dan pembentukan
malai terjadi nyaris simultan pada varietas umur genjah (105-120 hari). Pada
varietas umur dalam (150 hari), terdapat yang disebut lagi periode vegetatif
dimana anakan maksimum terjadi. Hal ini diikuti oleh memanjangnya batang
(internode), dan akhirnya sampai ke tahap pembentukan malai.
2. Reproduktif (Pembentukan Malai Sampai Pembungaan)
Fase reproduktif ditandai berbagai tanda, antara lain memanjangnya
beberapa ruas teratas batang tanaman, berkurangnya jumlah anakan (matinya
anakan tidak produktif), munculnya daun bendera, bunting, dan pembungaan.
Inisiasi primodia malai biasanya dimulai 30 hari sebelum heading dan waktunya
hampir bersamaan dengan memanjangnya ruas-ruas batang, yang terus berlanjut
hingga berbunga. Oleh sebab itu, primodia reproduktif disebut juga pemanjangan
ruas. Di daerah tropis, untuk kebanyakan varietas padi, lamanya fase reproduktif
selama 35 hari dan fase pematangan umumnya 30 hari.
Secara detail pertumbuhan tanaman padi fase reproduktif dapat dilihat
pada tahap 4-6:
a. Tahap 4 - Pembentukan Malai Sampai Bunting
Inisiasi primordia malai pada ujung tunas tumbuh menandai dimulainya
fase reproduksi. Primordia malai menjadi kasat mata pada sekitar 10 hari setelah
13
inisiasi. Pada tahap ini, tiga daun masih akan muncul sebelum malai pada
akhirnya timbul ke permukaan. Pada varietas genjah, malai terlihat berupa kerucut
berbulu putih panjang 1,0-1,5 mm muncul pada ruas buku utama dan kemudian
pada anakan dengan pola tidak teratur. Hal ini dapat terlihat dengan membelah
batang. Saat malai terus berkembang bulir terlihat dan dapat dibedakan. Malai
muda meningkat dalam ukuran dan berkembang ke atas di dalam pelepah daun
bendera menyebabkan pelepah daun menggembung. Penggembungan daun
bendera disebut bunting. Bunting terjadi pertama kali pada ruas batang utama.
Pada tahap bunting, ujung daun layu (menjadi tua dan mati) dan anakan non
produktif terlihat pada bagian dasar tanaman. Tahap booting tanaman padi dapat
dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Tahap Bunting (Booting Stage)
(Rice Knowledge Bank, 2009)
b. Tahap 5 - Keluarnya Malai (Heading)
Tahap keluar malai ditandai dengan kemunculan ujung malai dari pelepah
daun bendera. Malai terus berkembang sampai keluar seutuhnya dari pelepah
daun. Akhir fase ini adalah tahap pembungaan yang dimulai ketika serbuk sari
menonjol keluar dari bulir dan terjadi proses pembuahan. Tahap heading stage
dapat dilihat pada Gambar 8.
14
Gambar 8. Tahap Keluarnya Malai (Heading Stage)
(Rice Knowledge Bank, 2009)
c. Tahap 6 - Pembungaan (Flowering)
Tahap pembungaan dimulai ketika serbuk sari menonjol keluar dari bulir
dan terjadi proses pembuahan. Proses pembungaan berlanjut sampai hampir
semua spikelet pada malai mekar. Pembungaan terjadi sehari setelah keluarnya
malai. Pada pembungaan, 3 sampai 5 daun masih aktif. Anakan pada tanaman
padi ini telah dipisahkan pada saat dimulainya pembungaan dan dikelompokkan
ke dalam anakan produktif dan non produktif. Fase reproduktif yang diawali dari
inisiasi bunga sampai pembungaan (setelah putik dibuahi oleh serbuk sari)
berlangsung sekitar 35 hari. Ketersediaan air pada fase ini sangat diperlukan,
terutama pada tahap terakhir diharapkan bisa tergenang 5-7 cm. Tahap
pembungaan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Tahap Pembungaan (Flowering Stage)
(Rice Knowledge Bank, 2009)
15
3. Pematangan (Pembungaan Sampai Gabah Matang)
a. Tahap 7 - Gabah Matang Susu (Milk Grain)
Pada tahap ini, gabah mulai terisi dengan bahan serupa susu. Gabah mulai
terisi dengan larutan putih susu, dapat dikeluarkan dengan menekan/ menjepit
gabah di antara dua jari. Malai hijau dan mulai merunduk. Pelayuan (senescense)
pada dasar anakan berlanjut. Daun bendera dan dua daun di bawahnya tetap hijau.
Tahap ini paling disukai oleh walang sangit. Pada saat pengisian, ketersediaan air
juga sangat diperlukan. Seperti halnya pada fase sebelumnya, pada fase ini
diharapkan kondisi pertanaman tergenang 5-7 cm. Tahap milk stage pada tanaman
padi dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Tahap Gabah Matang Susu (Milk Grain Stage)
(Rice Knowledge Bank, 2009)
b. Tahap 8 - Gabah Setengah Matang (Dough Grain)
Pada tahap ini, isi gabah yang menyerupai susu berubah menjadi
gumpalan lunak dan akhirnya mengeras. Gabah pada malai mulai menguning.
Pelayuan (senescense) dari anakan dan daun di bagian dasar tanaman nampak
semakin jelas. Tahap dough grain stage pada tanaman padi dapat dilihat pada
Gambar 11.
16
Gambar 11. Tahap Gabah Setengah Matang (Dough Grain Stage)
(Rice Knowledge Bank, 2009)
Pada tahap ini fase padi dapat lebih spesifik lagi. Tahap gabah setengah
matang terbagi menjadi 3 fase yaitu soft dough stage, medium dough stage, dan
hard dough stage.
Soft dough stage adalah fase di mana pati yang ada di dalam gabah mulai
mengeras tetapi masih lembut. Isi gabahnya masih berupa gumpalan seperti susu
yang berwarna putih (Permata, 2013). Kulit gabah pada fase ini masih berwarna
hijau dan agak basah (kadar air tinggi). Bulir padi soft dough stage merupakan
saat tanaman padi berusia 84-89 hari. Pada fase ini, tanaman padi masih memiliki
karakteristik fisik yang lunak dengan kadar air tinggi yaitu 44,35% (Marsetio,
dkk., 2011).
Medium dough stage adalah fase dimana pati yang ada di dalam gabah
mulai penuh dan mengeras tetapi masih rapuh. Pada tahap ini isi gabah yang
berupa gumpalan lunak berwarna putih susu berubah menjadi lebih berisi, agak
bening, dan mengeras. Warna gabah pada malai tanaman padi medium dough
stage mulai menguning. Selain itu kulit ari yang melapisi endosperma masih
berwarna hijau. Medium dough stage ini berusia sekiranya 90-97 hari setelah
tanam. Berdasarkan penelitian Yunianti (2013) komposisi kimia pada bulir padi
17
medium dough stage yaitu kadar air 48,79%, karbohidrat 44,79%, dan protein
9,51%.
Padi hard dough stage, yaitu saat tanaman padi masih berusia sekiranya
90-100 hari setelah tanam. Pada tahap ini gabah sudah terisi penuh. Hal ini terjadi
kurang lebih 1 minggu setelah medium dough stage. Warna gabah masih
cenderung berwarna kehijauan, bila gabah ditekan sudah terasa keras, namun
masih mudah untuk dipatahkan (Rahmadi, 2013).
c. Tahap 9 - Gabah Matang Penuh (Mature Grain)
Setiap gabah matang, berkembang penuh, keras, dan berwarna kuning.
Tanaman padi pada tahap matang 90-100% dari gabah isi berubah menjadi kuning
dan keras. Daun bagian atas mengering dengan cepat (daun dari sebagian varietas
ada yang tetap hijau). Sejumlah daun yang mati terakumulasi pada bagian dasar
tanaman. Berbeda dengan tahap awal pemasakan, pada tahap ini air tidak
diperlukan lagi, tanah dibiarkan pada kondisi kering. Tahap mature grain dapat
dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Tahap Gabah Matang Penuh (Mature Grain Stage)
(Rice Knowledge Bank, 2009)
Periode pematangan, dari tahap masak susu hingga gabah matang penuh
atau masak fisiologis berlangsung selama sekitar 30 hari ditandai dengan penuaan
18
daun. Suhu sangat mempengaruhi periode pemasakan gabah (Yoshida, 1981
dikutip Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2014).
2.1.3 Penanganan Pasca Panen dan Pengolahan Padi Medium Dough Stage
Penanganan pasca panen adalah upaya strategis dalam rangka mendukung
peningkatan produksi padi. Kegiatan panen dan pasca panen bertujuan
mempertahankan mutu produk agar tetap prima sampai ke tangan konsumen,
menekan losses atau kehilangan nilai ekonomis padi. Perbedaan kegiatan
penanganan pasca panen dan pengolahan terutama terletak pada sifat hasil
operasi/ kegiatan masing-masing. Keluaran dari kegiatan penanganan pasca panen
sedikit banyak relatif masih memiliki bentuk atau karakter bahan (komoditas
pertanian) semula, dengan kata lain hanya mengalami perubahan sifat yang tidak
drastis, sedangkan kegiatan pengolahan memberikan keluaran atau produk yang
memiliki sifat jauh berbeda dengan bahan semula. Bentuk atau karakter bahan
awal berubah secara drastis atau signifikan.
Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2014), kegiatan dari panen
padi sampai menjadi gabah kering dan bersih tergolong kegiatan penanganan,
sedangkan kegiatan menggiling gabah menjadi beras putih tergolong pengolahan.
Namun ada pula yang menganggap kegiatan dari panen padi (basah) sampai
menjadi beras bersih tergolong kegiatan penanganan, kemudian jika beras tersebut
dijadikan tepung beras, atau produk serealia lain yang berbentuk/ sifat jauh
berbeda dengan bentuk/ sifat semula tergolong pengolahan. Proses penanganan
pasca panen dan pengolahan tanaman padi dapat dilihat pada Gambar 13.
19
Tanaman padi fase matang (108 HST)
Pemanenan
Pengumpulan
Perontokan dan pembersihan
Pengeringan
T= 30-48oC, t= 1 hari sampai Ka= 12-14%
Gabah kering giling
Penggilingan
Beras pecah kulit
Penyosohan
Beras sosoh
Penyimpanan
Gambar 13. Diagram Proses Penanganan Pasca Panen dan Pengolahan Padi
(Sutarman, 2015)
Tahap penanganan pasca panen padi menurut Sutarman (2015) adalah
sebagai berikut:
1. Pemanenan
Menurut Herwanto (2003) padi dipanen pada kadar air berkisar 20-24%.
Kadar air dapat dipakai sebagai petunjuk saat panen optimum, pada kira-kira 20%
bb. Saat pemanenan merupakan saat yang perlu diperhatikan, karena akan
mempengaruhi proses lebih lanjut yaitu penggilingan. Pemanenan lambat akan
mengakibatkan didapatnya butir muda dan hasil penggilingan rendah dengan
dihasilkan banyak butir berkapur (chalky grains). Akibat lain dari panen lambat
yaitu banyaknya butir pecah (broken rice), karena dianggap pemanenan lambat
menyebabkan padi terlalu lama terkena sinar matahari sehingga butir menjadi
keras dan mudah retak.
20
Menurut Purwasasmita dan Sutaryat (2014), pemanenan padi dapat
menggunakan beberapa alat sederhana diantaranya ani-ani, sabit, dan sabit
bergerigi. Di samping itu bila areal terlalu luas bisa dilakukan dengan
menggunakan mesin modern seperti reaper, stripper, atau combine harvester.
Penggunaan alat pemanenan biasanya disesuaikan dengan jenis atau varietas
tanaman padi. Misalnya ani-ani biasa digunakan untuk padi lokal berpostur tinggi,
sedangkan sabit dan sabit bergerigi biasanya untuk padi varietas unggul baru yang
berpostur pendek.
2. Pengumpulan
Pengumpulan merupakan tahap penanganan padi setelah dipanen.
Ketidaksesuaian dalam pengumpulan padi dapat menyebabkan kehilangan padi
yang cukup tinggi. Untuk menghindari atau mengurangi terjadinya kehilangan ini,
saat pengumpulan sebaiknya menggunakan alas terpal atau wadah karung. Dengan
tindakan antisipasi tersebut dapat menekan kehilangan hasil 1-2,5%.
3. Perontokan dan Pembersihan
Perontokan merupakan perlakuan pemisahan butir padi berupa gabah dari
jerami. Perontokan biasanya diiringi dengan pembersihan untuk memisahkan
tanaman padi dari bagian-bagian yang tidak terpakai yaitu butiran hampa, debu,
serangga, daun, batang, dan akar, butiran tanah, dan sebagainya (Tjahjadi, dkk.,
2008). Perontokan dapat dilakukan secara sederhana dengan memukulkan bagian
tangkai yang berbutir pada suatu landasan penginjakan (ilesan) dan penumbukan
dengan alat atau mesin perontok. Peralatan atau mesin tersebut memiliki berbagai
macam tipe dan kapasitas sesuai kemampuan perontokannya. Pada tahap ini
kehilangan hasil akibat perontokan yang tidak tepat dapat mencapai lebih dari 5%.
21
4. Pengeringan
Gabah sebenarnya adalah biji yang masih hidup, hal ini dapat terlihat
misalnya apabila keadaan sekitar tempat penyimpanannya cukup lembab maka
gabah akan berkecambah. Gabah terus melakukan pernapasan yaitu terjadi
penggunaan O2 dari lingkungan dan pelepasan O2 serta panas ke sekitarnya.
Kecepatan pernapasan gabah dapat ditekan dengan mengatur kadar airnya. Pada
kadar air 13-14% tingkat pernapasannya sangat rendah sehingga dapat disimpan
lama (6 bulan atau lebih). Pengeringan gabah juga perlu diadakan dengan maksud
agar gabah tidak cepat mengalami pembusukan dan tidak ditumbuhi jamur.
Perlakuan pengeringan menjadikan gabah tidak cepat rusak, menghentikan
kegiatan mikroorganisme, dan memudahkan pengolahan lebih lanjut. Meski
demikian pengeringan sebaiknya tidak dilakukan lebih dari 13% karena susut
bobot akan lebih besar sehingga pendapatan petani menjadi lebih rendah
(Tjahjadi, dkk., 2008).
Pengeringan dapat dilakukan dengan cara pengeringan di bawah sinar
matahari (penjemuran), penjemuran dipandang suatu cara yang murah. Bila sinar
matahari cukup cerah, penjemuran selama 2-3 hari, gabah diperkirakan telah
cukup kering. Namun jika intensitas matahari kurang, penjemuran memerlukan
waktu 7-10 hari. Dalam skala luas kiranya pemanasan buatan dengan peralatan
atau mesin pengeringan perlu dipertimbangkan. Penjemuran gabah dapat
dilakukan di lantai jemur dengan mengatur ketebalan penumpukkan 5-7 cm pada
musim kemarau dan 1-5 cm pada musim hujan. Saat penjemuran dilakukan
pembalikan setiap 1-2 jam atau 4-5 kali/hari.
22
5. Penyimpanan
Penyimpanan merupakan perlakuan setelah pengeringan yang bersifat
sementara sebelum diadakan penggilingan. Gabah disimpan menggunakan karung
plastik atau silo. Dalam skala kecil gabah dapat disimpan dalam lumbung, jika
dalam skala luas maka diperlukan suatu tempat atau ruang beserta perlengkapan
yang memadai. Penyimpanan harus dalam bentuk gabah kering dengan kandungan
air 13-15%. Penyimpanan gabah yang tidak sesuai akan menyebabkan kerusakan
gabah.
Menurut Sutarman (2015), pengolahan gabah menjadi beras melalui tahap
penggilingan hingga penyosohan. Tahap-tahap pengolahan gabah menjadi beras
adalah sebagai berikut:
1. Penggilingan
Penggilingan merupakan proses pelepasan sekam dan lapisan luar dari
kulit padi sehingga dihasilkan beras pecah kulit. Dari berbagai mesin pengupas
sekam dikenal empat tipe yaitu tipe silinder besi (engelberg), tipe banting (flash),
gilingan monyet (stone disk husker), dan tipe rol karet (rubber roll). Alat-alat
penggiling terkadang dilengkapi dengan alat aspirator untuk menghilangkan
sekam dan kotoran lain. Fungsi mesin pengupas dan pemisah sekam adalah untuk
melepaskan sekam dan butir padi dengan kerusakan lapisan kulit padi minimum
dan diharapkan tidak akan merusak beras coklat.
2. Penyosohan
Penyosohan pada prinsipnya adalah pembersihan beras pecah kulit yang
masih berbekatul menjadi beras putih. Penyosohan dapat dilakukan satu kali
(single pass) atau dua kali (multiple passes). Beras pecah kulit terdiri dari barn
23
(dedak dan bekatul), endosperma, dan embrio (lembaga). Endosperma terdiri dari
kulit ari (lapisan aleuron) dan bagian berpati. Dedak merupakan hasil sampingan
dari penyosohan yang terdiri dari lapisan sebelah luar butiran beras dan sejumlah
lembaga beras. Bekatul merupakan lapisan sebelah dalam butiran beras (lapisan
ari/ aleuron) dan sebagian kecil endosperma berpati. Penyosohan pertama
biasanya menghasilkan dedak dan proses penyosohan kedua menghasilkan
bekatul. Biasanya dilanjutkan dengan pengkilatan yang akan menghilangkan
dedak yang masih tertinggal. Alat penyosoh yang seringkali dipakai adalah
engelberg huller dan mesin slip (Herwanto, 2003).
Setiap fase pertumbuhan tanaman padi memiliki penanganan pasca panen
yang berbeda-beda, termasuk tanaman padi yang dipanen pada medium dough
stage. Tahap pasca panen padi medium dough stage menurut Yunianti (2013)
meliputi pemanenan, pengumpulan, sortasi, perontokan dan pembersihan,
pengeringan, dan penyimpanan dalam bentuk gabah kering. Sementara untuk
pengolahan meliputi penggilingan dan penyosohan. Penanganan pasca panen dan
pengolahan padi medium dough stage dapat dilihat pada Gambar 14.
24
Tanaman padi medium dough stage (90-97 HST)
Sortasi
Pemanenan
Pengumpulan
Perontokan dan pembersihan
Pengeringan
T= 30-48oC, t= 1 hari sampai Ka= 12-14%
Gabah kering giling
Penggilingan
Beras pecah kulit
Penyosohan
Penyimpanan
Beras sosoh Gambar 14. Diagram Proses Penanganan Pasca Panen dan Pengolahan Padi
Medium Dough Stage
(Yunianti, 2013)
Penanganan pasca panen tanaman padi pada medium dough stage ini
berbeda dengan terdapatnya tahap sortasi. Sortasi tanaman padi sebelum
dirontokan diperlukan untuk memisahkan padi medium dough stage dengan padi
yang masih dalam soft dough stage atau sudah memasuki hard dough stage.
Pertumbuhan padi tidak selalu merata sehingga dalam satu malai biasanya
terdapat perbedaan fase tanaman padi.
Tanaman padi pada medium dough stage masih memiliki kadar air cukup
tinggi jika dibandingkan dengan padi usia panen normal (>27%), untuk mencegah
kerusakan selama distribusi dan penyimpanan, pengeringan perlu dilakukan
hingga kadar air 13-14%. Berdasarkan karakteristik fisik, bulir tanaman padi
25
medium dough stage berukuran lebih kecil daripada usia siap panen (120 hari),
berwarna bening, dan bertekstur rapuh sehingga bila digiling dalam keadaan segar
rendemen akan sedikit dan kualitas beras yang dihasilkan kurang baik
dibandingkan padi di usia siap panen.
Pada proses penggilingan gabah medium dough stage juga perlu
penyesuaian alat yang tepat. Mesin pengupas sekam biasanya memiliki 2 silinder
karet berputar yang memberikan gaya gesek pada permukaan biji dan akan
menghasilkan terbukanya dan rusaknya sekam. Namun jarak antara silinder
dipertahankan lebih kecil dari ketebalan butir padi. Ketebalan gabah medium
dough stage lebih kecil daripada gabah matang penuh, sehingga perlu
penyesuaian jarak 2 karet silinder sehingga gabah dapat terlepas kulit sekamnya.
Beras pecah kulit medium dough stage dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Beras Pecah Kulit Medium Dough Stage (A) dan Soft Dough
Stage (B)
2.2 Bekatul
Bekatul adalah lapisan luar dari beras yang terlepas saat proses
penggilingan dan penyosohan padi menjadi beras. Menurut Houston (1972),
bekatul adalah hasil samping dari penggilingan padi yang sebenarnya merupakan
selaput inti biji padi. Bekatul terdiri atas lapisan pericarp, seed coat, nucellus, dan
aleurone. Proses penggilingan padi menjadi beras akan menghasilkan beras
26
sebanyak 60-65% sementara bekatul yang diperoleh dari penggilingan padi adalah
8-10% (Widowati, 2001). Penampang membujur biji gabah dapat dilihat pada
Gambar 16.
Gambar 16. Penampang Membujur Biji Gabah
(Encyclopedia Britannica, 2014)
Menurut David (2008), penyosohan pertama akan menghasilkan dedak
dan penyosohan kedua akan menghasilkan bekatul. Penyosohan merupakan
proses penghilangan dedak dan bekatul dari bagian endosperma beras. Tujuan
penyosohan adalah untuk menghasilkan beras yang lebih putih dan bersih.
Semakin tinggi derajat sosoh, maka semakin putih dan bersih penampakan beras,
tapi semakin miskin zat gizi. Dalam penggilingan dan penyosohan beras,
persentase produk yang dihasilkan adalah beras utuh sekitar 50%, beras pecah
17%, bekatul 10%, tepung 3%, dan sekam 20% (Grist, 1986). Rendemen bekatul
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain derajat penyosohan, derajat masak
padi atau gabah, kadar air gabah, jenis alat penyosoh, dan lubang alat pemisah
(Soemardi, 1975). Diagram proses terbentuknya bekatul dapat dilihat pada
Gambar 17.
27
Gabah
Pengupasan kulit/ sekam
Beras pecah kulit
Sekam
Penyosohan Dedak
Penyosohan
Beras sosoh
Bekatul
Gambar 17. Diagram Proses Penggilingan Gabah Menjadi Beras Sosoh
(David, 2008)
Bekatul padi medium dough stage berwarna agak kehijauan bila
dibandingkan dengan bekatul padi normal, hal ini menyebabkan diduga terdapat
kandungan klorofil di dalam bekatul padi medium dough stage (Sutarman, 2015).
Berikut merupakan Gambar 18 yaitu bekatul padi normal dan bekatul padi
medium dough stage.
Gambar 18. Bekatul Padi Normal/ Mature Stage (A) dan Bekatul Padi
Medium Dough Stage (B)
Komposisi kimia bekatul beragam tergantung pada varietas, proses
penggilingan, kondisi lingkungan, penyebaran kandungan kimia dalam butir padi,
ketebalan lapisan luar, ukuran dan bentuk butiran padi, ketahanan butir terhadap
kerusakan, dan metode analisa zat gizi yang digunakan. Jenis padi dan lokasi
berpengaruh signifikan terhadap komposisi zat gizi bekatul (Houston, 1972).
28
Kisaran kandungan zat gizi serta komponen kimia lainnya pada bekatul disajikan
dalam Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Bekatul Menurut Beberapa Penelitian dan SNI
Komponen Juliano (1985) Luh, dkk. (1991) SNI 01-4439-1998
Protein (%) 11,3-14,9 12,0-15,6 Minimum 8
Lemak (%) 15,0-19,7 15,0-19,7 Minimum 3
Serat kasar (%) 7,0-11,4 7,0-11,4 Minimum 10
Karbohidrat (%) 34,1-52,3 34,1-52,3 -
Abu (%) 6,6-9,9 6,6-9,9 Maksimum 10
Air (%) - - Maksimum 12
Kalsium (mg/g) - 0,3-1,2 -
Magnesium (mg/g) - 5,0-13,0 -
Fosfor (mg/g) - 11,0-25,0 -
Silika (mg/g) - 5,0-11,0 -
Seng (𝜇g/g) - 43,0-258,0 -
Thiamin (𝜇g/g) - 12,0-24,0 -
Riboflavin (𝜇g/g) - 1,8-4,0 -
Tokoferol (𝜇g/g) - 149-154 -
Sumber: Juliano (1985), Luh, dkk. (1991), dan Badan Standarisasi Nasional
(1998)
Kandungan protein dalam bekatul dapat mencapai 15,4% (Houston, 1972).
Protein dedak padi mempunyai asam amino esensial yang lengkap sehingga
mempunyai nilai gizi yang tinggi. Nilai gizi protein dedak ternyata tidak berbeda
jauh dengan nilai gizi protein pada kacang kedelai (Ciptadi dan Nasution, 1979).
Bekatul mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi mencapai 20,9%.
Kandungan serat pangan pada bekatul dapat mencapai empat kali lipat serat
kasarnya. Serat pangan sebagian besar terdiri atas karbohidrat antara lain selulosa,
hemiselulosa, pektin, dan lignin. Serat ini tidak dapat dihidrolisa oleh enzim
pencernaan. Bahan yang mengandung banyak serat akan mempercepat transit
time sisa makanan di dalam usus sehingga menjadi lebih pendek. Selain itu serat
pangan juga dapat menurunkan kolesterol dalam darah. Bahan pangan yang
mempunyai serat yang tinggi juga cenderung mempunyai indeks glikemik yang
29
rendah. Indeks glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap
peningkatan kada gula darah. Pangan dengan indeks glikemik yang tinggi cepat
menaikkan kadar gula darah (Rimbawan dan Siagian, 2004). Serat dalam bentuk
utuh bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan sehingga indeks
glikemik cenderung rendah. Serat dapat memperlambat laju makanan pada saluran
pencernaan dan menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan
menjadi lambat. Dengan demikian respon glukosa darah juga lambat.
Karbohidrat yang terdapat pada bekatul berupa selulosa, hemiselulosa, dan
pati. Kandungan pati yang terdapat pada bekatul diperoleh dari bagian
endosperma yang terbawa pada proses penyosohan (Hargrove, 1994). Damayanthi
(2007) menambahkan, kandungan pati tersebut akan meningkat dengan semakin
banyaknya tahap penyosohan yang dilakukan.
Bekatul mengandung komponen antioksidan lebih dari 100 jenis, di
antaranya gamma oryzanol (2200-3000 ppm), tokoferol dan tokotrienol (220-320
ppm), fitosterol (2230-4400 ppm), karotenoid (0,9-1,6 ppm), dan vitamin B
(tiamin 22-31 ppm) (Helal, 2005). Tokoferol (vitamin E) berperan sebagai
antioksidan dengan mencegah kerusakan dinding sel sehingga mampu mencegah
hemolisis (kerapuhan) sel darah merah.
Bekatul juga mengandung zat anti gizi dan enzim yang sangat merugikan.
Zat anti gizi dapat menghambat metabolisme tubuh, sedangkan keberadaan enzim
menyebabkan ketengikan bekatul. Zat anti gizi di dalam bekatul meliputi fitin,
tripsin inhibitor, dan hemaglutinin. Zat anti gizi tersebut mempunyai aktivitas
yang rendah dan dapat diinaktifkan melalui pemanasan. Fitin yang terdapat pada
lapisan aleuron merupakan garam fitin-fosfor sebanyak 2,3-2,6%, sedangkan
30
fitinnya sebesar 1,8%. Tripsin inhibitor berupa protein albumin yang larut dalam
air, tetapi tidak menghambat kimotripsin, pepsin, dan papain. Hemaglutinin
adalah zat yang mampu mengaglutinisasi sel-sel darah merah tipe A, B, AB, dan
O (Juliano, 1985).
Kandungan lemak dalam bekatul cukup tinggi. Minyak bekatul
mengandung asam-asam lemak tidak jenuh mencapai 80% (Ciptadi dan Nasution,
1979). Kandungan lemak yang tinggi menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan
dalam beberapa jam setelah penggilingan. Ketengikan ini disebabkan karena
hidrolisis oleh enzim lipase pada lapisan biji serta ketengikan oksidatif. Enzim
lipase dapat menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Jika enzim
lipase tidak diinaktifkan maka asam lemak bebas akan meningkat satu persen
setiap jam pada suhu kamar (Luh, dkk., 1991). Enzim lipoksigenase mengoksidasi
asam lemak bebas menjadi peroksida kemudian menjadi keton dan aldehid.
Ketengikan akan mempengaruhi penerimaan bekatul sebagai bahan makanan.
Pada biji padi, lipase tidak aktif (dormant) karena tidak kontak dengan
bahan (minyak). Lipase berada di bagian testa dan minyak berada di lapisan
aleuron dan embrio. Proses penggilingan menyebabkan terjadinya pencampuran
di permukaan sehingga minyak bercampur lipase dan terjadi proses hidrolisis
trigliserida menjadi asam lemak bebas. Lipase yang dihasilkan oleh jamur dan
bakteri juga akan bereaksi dengan minyak bekatul setelah penggilingan dan
selanjutnya terjadi hidrolisis (Champagne, 1994). Mekanisme hidrolisis
trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol ditunjukkan melalui reaksi
kimia pada Gambar 19.
31
Gambar 19. Reaksi Hidrolisis dengan Katalis Lipase
(Hamilton, 1983)
Aktivitas lipase sangat bergantung pada suhu penyimpanan dan
kelembaban (Orthoefer, 2001). Suhu optimal aktifitas lipase adalah 35-40ºC.
Penyimpanan dalam keadaan panas dan kelembaban yang tinggi dapat
meningkatkan asam lemak bebas sebesar 5-10 % perhari dan 70% dalam satu
bulan. Aktivitas lipase menurun pada suhu rendah dan berhenti saat disimpan
dibawah suhu beku (Champagne, 1994). Bekatul juga mengandung lipoksigenase
dan peroksigenase, keduanya mempunyai pengaruh negatif saat terjadi oksidasi
bekatul. Aktivitas kedua enzim tersebut mendegradasi minyak dalam bekatul,
menghasilkan peningkatan nilai peroksida, penurunan kadar iodin, dan
peningkatan kadar asam barbiturat. Lipoksigenase dan peroksidase menjadi
inaktif seiring ketidakaktifan lipase, sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk
mengukur aktivitas lipase.
2.3 Klorofil
Klorofil adalah pigmen pemberi warna hijau pada tumbuhan, alga, dan
bakteri fotosintetik. Pigmen ini berperan dalam proses fotosintesis tumbuhan
dengan menyerap dan mengubah energi cahaya menjadi energi kimia. Klorofil
mempunyai rantai fitil (C20H39O) yang akan berubah menjadi fitol (C20H39OH)
jika terkena air dengan katalisator klorofilase. Fitol adalah alkohol primer jenuh
32
yang mempunyai daya afinitas yang kuat terhadap O2 dalam proses reduksi
klorofil (Muthalib, 2009).
Klorofil merupakan faktor utama yang mempengaruhi fotosintesis.
Fotosintesis merupakan proses perubahan senyawa anorganik (CO2 dan H2O)
menjadi senyawa organik (karbohidrat) dan O2 dengan bantuan cahaya matahari.
Tiga fungsi utama klorofil dalam proses fotosintesis adalah memanfaatkan energi
matahari, memicu fiksasi CO2 untuk menghasilkan karbohidrat, dan menyediakan
energi bagi ekosistem secara keseluruhan. Karbohidrat yang dihasilkan dalam
fotosintesis diubah menjadi protein, lemak, asam nukleat, dan molekul organik
lainnya. Klorofil menyerap cahaya yang berupa radiasi elektromagnetik pada
spektrum kasat mata (visible). Cahaya matahari mengandung semua warna
spektrum kasat mata dari merah sampai violet, tetapi tidak semua panjang
gelombang diserap dengan baik oleh klorofil. Klorofil dapat menampung cahaya
yang diserap oleh pigmen lainnya melalui fotosintesis, sehingga klorofil disebut
sebagai pigmen pusat reaksi fotosintesis (Bahri, 2010). Menurut Dwidjoseputro
(1980) pada tanaman tinggi ada 2 macam klorofil, yaitu:
a. Klorofil a (C55H72O5N4Mg) berwarna hijau tua
Klorofil a berperan sebagai penyusun pusat reaksi yang akan menerima
energi cahaya matahari yang diserap oleh pigmen antena. Klorofil a bertindak
dalam pengkonversian energi radiasi menjadi energi kimia.
b. Klorofil b (C55H70O6N4Mg) berwarna hijau muda
Klorofil b berperan dalam memperluas kisaran cahaya yang dipergunakan
oleh tumbuhan. Klorofil b meneruskan energi cahaya yang diserap ke klorofil dan
33
kemudian menyiapkan energi untuk kegiatan reaksi terang. Berikut merupakan
Gambar 20 mengenai struktur klorofil a dan klorofil b.
Gambar 20. Klorofil a dan Klorofil b
(Anonim, 2015)
Sifat fisik klorofil adalah menerima dan atau memantulkan cahaya dengan
gelombang yang berlainan (berpendar/ berfluoresensi). Klorofil banyak menyerap
sinar dengan panjang gelombang antara 400-700 nm, terutama sinar merah dan
biru. Untuk memisahkan klorofil a dan b beserta pigmen lain seperti karotin atau
xantofil digunakan teknik kromatografi. Sifat kimia klorofil, antara lain:
1. Tidak larut dalam air, melainkan larut dalam pelarut organik yang lebih
polar, seperti etanol dan kloroform.
2. Inti Mg akan tergeser oleh 2 atom H bila dalam suasana asam, sehingga
membentuk suatu persenyawaan yang disebut feofitin yang berwarna
coklat (Dwidjoseputro, 1980).
Klorofil bersifat labil terhadap pengaruh cahaya, suhu, dan oksigen
sehingga mudah terdegradasi menjadi molekul-molekul turunannya. Langkah
awal degradasi klorofil adalah hilangnya magnesium dari molekul pusat atau
34
hilangnya rantai ekor fitol. Skema proses degradasi klorofil ditunjukkan pada
Gambar 21.
Chlorophyll
Chlorophyllide
Phaeophytin
Phaeophorbide
Loss of Phytol “Tail”
Loss of Mg
Gambar 21. Alur Proses Degradasi Klorofil
(Carlson dan Simpson, 1996)
Ketika molekul klorofil mengalami degradasi, sejumlah molekul turunan
akan terbentuk seperti phaeophytins, chlorophyllides, dan phaeophorbides yang
tergantung pada molekul induknya. Molekul hasil degradasi atom Mg dari klorofil
adalah feofitin dan molekul hasil degradasi rantai ekor fitol klorofil adalah
klorofilida, sedangkan feoforbida terjadi ketika klorofil telah terdegradasi atom
Mg serta rantai ekor fitolnya. Atau dengan kata lain, produk degradasi dari
feofitin atau klorofilida akan menghasilkan molekul feoforbida.
Pemanfaatan klorofil sendiri telah berkembang dengan luas di dalam dunia
pengobatan. Beberapa manfaat klorofil menurut Kirk dan Othmer, 1993 antara
lain adalah sebagai berikut:
1. Zat warna alami
Klorofil dapat digunakan untuk pewarna serat, resin, atau tinta tertentu.
Selain itu karena sifatnya yang aman dalam mewarnai lemak dan minyak, klorofil
sangat baik dan aman sebagai pewarna makanan yang mengandung lemak atau
minyak. Karena kelarutannya dalam lemak dan minyak, serta sifatnya yang tidak
mengiritasi, klorofil dipandang sebagai pewarna yang baik untuk kosmetik,
parfum, dan lotion.
35
2. Antioksidan/ penghancur radikal bebas, zat anti kanker, dan zat antiseptik
Penelitian membuktikan kerusakan DNA akibat aflatoksin (senyawa
karsinogen) berkurang 50% dengan konsumsi klorofil sebanyak 300 mg/hari.
3. Zat yang berperan dalam regenerasi sel dan jaringan
Klorofil akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dimana klorofil akan
dengan segera mengganti keberadaan sel rusak sehingga virus tidak dapat
menyerang kesehatan manusia.
4. Agen detoks dan penyerap kolesterol dalam tubuh manusia
Bagian ekor klorofil bersifat lipofilik (suka lemak) yang mampu
menembus sel tubuh dengan sangat cepat tanpa halangan (barrier) sehingga dapat
mengikat dan menarik keluar semua senyawa hidrokarbon berbahaya seperti obat-
obatan yang tertimbun dalam tubuh, pengawet dan perasa makanan, nikotin,
narkotika, logam berat dari air minum, serta asap polusi udara.
5. Penyeimbang (regulator) asam, tekanan, dan gula darah
Keberadaan asam dalam makanan yang dikonsumsi dapat menyebabkan
berbagai penyakit seperti asam urat, maag, lemahnya kardiovaskular, gangguan
ginjal, dan keropos tulang. Klorofil menetralisir keberadaan asam karena bersifat
basa kuat.
6. Menguatkan sistem peredaran darah, reproduksi, pencernaan, dan
pernapasan
Klorofil secara efisien melepaskan Mg dan membantu darah membawa O2
yang dibutuhkan ke semua sel di jaringan tubuh. Distribusi O2 yang baik dalam
tubuh akan menunjang reproduksi, pencernaan, dan pernapasan.
36
2.4 Stabilisasi Bekatul
Menurut Ketaren (1986) ketengikan adalah kerusakan atau perubahan bau
atau cita rasa dalam minyak atau bahan pangan berlemak tinggi ataupun rendah.
Pada bekatul, ketengikan terjadi akibat lipase yang menghidrolisis lemak menjadi
asam lemak dan gliserol. Asam lemak bebas dioksidasi oleh enzim lipoksigenase
menjadi bentuk peroksida, keton, dan aldehid, sehingga bekatul menjadi tengik.
Menurut Champagne (1994), kandungan lemak bekatul yang tinggi (15-19,7%)
menjadi subyek kerusakan hidrolitik dan oksidatif.
Stabilisasi bekatul dilakukan dengan prinsip meniadakan aktivitas lipase
dengan cara merubah susunan molekul enzim sehingga tidak dapat berfungsi
sebagai mana mestinya (Orthoefer, 2001). Proses inaktivasi lipase harus
menyeluruh, tidak bersifat balik (reversible) dan disaat bersamaan kandungan
komponen berharga harus dijaga. Menurut Dewi, dkk. (2012), metode stabilisasi
bekatul dapat dilakukan dengan cara pemanasan, pengukusan, dan metode oven.
1. Pemanasan
Suhu stabilisasi bervariasi dari 100-140oC. Bekatul dipanaskan selama 3-5
menit untuk meyakinkan inaktivasi lipase. Lipase diinaktifkan selama 3 menit
pada suhu 100oC. Peralatan yang dapat digunakan adalah steam cooker, blancer,
autoklaf, dan screw extruder yang diinjeksikan dengan uap dan air. Penilaian
organoleptik terhadap produk yang dihasilkan adalah coklat tua, kering, dan
berbau harum.
37
2. Pengukusan
Stabilisasi bekatul dapat dilakukan dengan metode pengeringan basah
yaitu pengukusan dan diperoleh kondisi optimum yaitu pada suhu 100oC selama
10 menit.
3. Metode Oven
Oven digunakan dalam menstabilisasikan bekatul karena panas oven dapat
menginaktifkan enzim lipase dan menurunkan kadar air dari bekatul. Stabilisasi
bekatul dengan metode pengovenan telah dilakukan oleh Tengah, dkk. (2011)
yang melaporkan bahwa suhu dan waktu terbaik dalam menstabilkan bekatul
beras merah yang diperoleh dari kabupaten Tabanan adalah 100oC selama 15
menit.
Adapun menurut Damayanthi dan Listyorini (2006), stabilisasi bekatul
dapat dilakukan dengan menggunakan autoklaf dan dilanjutkan dengan
pengeringan menggunakan oven. Berikut merupakan Gambar 22 mengenai
diagram proses pembuatan bekatul terstabilisasi.
Pengayakan
Bekatul segar
Pengayakan
Sterilisasi
Pengeringan
Penggilingan/ penghalusan
Bekatul terstabilisasi
Gambar 22. Diagram Proses Pembuatan Bekatul Terstabilisasi
(Damayanthi dan Listyorini, 2006)
38
Proses pembuatan bekatul terstabilisasi menurut Damayanthi dan
Listyorini (2006) dimulai dari mengayak bekatul segar kemudian memasukkan
bekatul ke dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 3 menit. Mengeringkan
bekatul dengan menggunakan oven pada suhu 100-105oC selama 1 jam.
Selanjutnya, bekatul digiling, dihaluskan, dan diayak sehingga didapatkan bekatul
yang memiliki ukuran yang seragam. Metode ini menghasilkan bekatul dengan
kadar asam lemak bebas rendah yaitu 0,89% dengan nilai TBA (thiobarbituric
acid) sebesar 0,15 mg malonaldehid/Kg sampel dan kerusakan tokoferol yang
minimal dengan jumlah yang tidak berbeda nyata dengan kontrol (Damayanthi,
2002).