Upload
buituyen
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Material Nanopartikel
Nanopartikel dapat terjadi secara alamiah ataupun melalui proses sintesis oleh
manusia. Nanopartikel didefinisikan sebagai partikulat yang terdispersi atau
partikel-partikel padatan dengan ukuran partikel berkisar 10 – 100 nm (Mohanraj
and Chen, 2006 ; Sietsma et al., 2007 ). Material nanopartikel menarik banyak
peneliti karena material nanopartikel menunjukkan sifat fisika dan kimia yang
sangat berbeda dari bulk materialnya, seperti kekuatan mekanik, elektronik,
magnetik, kestabilan termal, katalitik dan optik (Deraz et al., 2009).
Material nanopartikel menunjukkan potensi sebagai katalis karena material
nanopartikel memiliki luas permukaan yang besar dan rasio-rasio atom yang
tersebar secara merata pada permukaanya, sifat ini menguntungkan untuk transfer
massa di dalam pori-pori dan juga interaksi antar permukaan yang besar untuk
reaksi-reaksi adsorpsi dan katalitik (Widegren et al., 2003). Selain itu, material
nanopartikel telah banyak dimanfaatkan sebagai katalis untuk menghasilkan
bahan bakar dan zat kimia serta katalis untuk mengurangi pencemaran lingkungan
(Sietsma et al., 2007).
7
Banyak metode yang telah dikembangkan untuk preparasi material nanopartikel,
seperti metode metode sintesis koloid, prinsip kerja dari metode ini adalah
membuat suatu larutan koloid yang kemudian ditambahkan surfaktan, yang akan
mendeaktivasi pertumbuhan partikel koloid dan melindungi permukaan koloid
(Soderlind, 2008). Metode pembakaran, dalam metode ini logam nitrat
dicampurkan dengan suatu asam amino (glisin) dalam air, kemudian dipanaskan
sampai mendidih dan sampai terbentuk bubur kering yang produknya berupa
oksida logam (Giri et al., 2005). Metode kopresipitasi, prinsip kerja dari metode
ini adalah dengan mengubah suatu garam logam menjadi endapan dengan
menggunakan pengendap basa hidroksida atau karbonat, yang kemudian diubah
ke bentuk oksidanya dengan cara pemanasan (Pinna, 1998). Metode sol-gel adalah
proses pembentukan senyawa anorganik melalui reaksi kimia dalam larutan pada
suhu rendah, dimana dalam proses tersebut terjadi perubahan fasa dari suspensi
koloid (sol) membentuk fasa cair kontinyu (gel). Prinsip kerja dari metode ini
adalah hidrolisis garam logam menjadi sol, yang kemudian sol ini mengalami
kondensasi membentuk gel (Hankare et al., 2013).
B. Katalis
Katalis didefinisikan oleh Berzelius sebagai suatu senyawa yang dapat
meningkatkan laju suatu reaksi kimia, tapi tanpa terkonsumsi selama reaksi
(Stoltze, 2000). Katalis dapat membentuk ikatan dengan molekul-molekul yang
bereaksi, dan membiarkan mereka bereaksi untuk membentuk produk kemudian
terlepas dari katalis. Suatu reaksi terkatalisis digambarkan sebagai suatu siklus
8
peristiwa dimana katalis berpartisipasi dalam reaksi dan kembali ke bentuk
semula pada akhir siklus. Siklus tersebut digambarkan pada Gambar 1
(Chorkendroff and Niemantsverdriet, 2003). Siklus diawali dengan pengikatan
molekul-molekul A dan B (reaktan) pada katalis. Kemudian A dan B bereaksi
dalam bentuk kompleks ini membentuk produk P, yang juga terikat pada katalis.
Pada tahap akhir, P terpisah dari katalis sehingga siklus kembali ke bentuk
semula.
Gambar 1. Siklus reaksi katalisis (Chorkendroff and Niemantsverdriet, 2003)
Secara umum, katalis dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu katalis
homogen dan katalis heterogen. Untuk katalis homogen, katalis dan reaktan
berada dalam fase yang sama. Sedangkan untuk katalis heterogen, katalis dan
reaktan berada pada fase yang berbeda. Untuk tujuan praktis, penggunaan katalis
heterogen saat ini lebih disukai dibandingkan dengan katalis homogen karena
katalis ini memiliki keuntungan seperti ramah lingkungan, tidak bersifat korosif,
mudah dipisahkan dari produk dengan cara filtrasi, serta dapat digunakan
berulangkali dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, katalis heterogen dapat
meningkatkan kemurnian hasil karena reaksi samping dapat dieliminasi.
(Chorkendroff and Niemantsverdriet, 2003)
katalis
katalis
katalis
Pemisahan
Pengikatan
Reaksi
9
Saat ini, proses katalitik heterogen dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. Reaksi redoks meliputi reaksi dimana katalis mempengaruhi pemecahan
ikatan secara homolitik pada molekul-molekul reaktan menghasilkan
elektron tak berpasangan, dan kemudian membentuk ikatan secara
homolitik dengan katalis melibatkan elektron dari katalis.
2. Sedangkan reaksi-reaksi asam-basa meliputi reaksi-reaksi dimana reaktan
membentuk ikatan heterolitik dengan katalis melalui penggunaan
pasangan elektron bebas dari katalis atau reaktan (Li, 2005).
C. Spinel Ferit
Spinel merupakan salah satu jenis struktur kristal yang memiliki dua sub struktur,
yaitu struktur tetrahedral (bagian A) dan struktur oktahedral (bagian B). Pada
bagian tetrahedral, ion-ion logam berlokasi di pusat sebuah tetrahedron dengan
sudut-sudutnya ditempati oleh ion-ion oksigen; sedangkan pada bagian oktahedal,
ion-ion logam berlokasi di pusat oktahedron dengan sudut-sudutnya ditempati
oleh ion-ion oksigen. Pembentukan kedua sub struktur spinel tersebut secara
umum dipengaruhi oleh besarnya jari-jari, konfigurasi elektron ion-ion logam,
serta energi statik dari kisi kristal.
Spinel ferite adalah material magnetik yang sangat penting, karena sifat magnetik,
elektrik dan kestabilan termal dari material tersebut sangat menarik. Spinel ferite
ini secara teknologi penting dan telah banyak digunakan dalam berbagai aplikasi
seperti media perekam magnetik, pemindai magnetik resonansi (MRI), katalis,
10
sistem pembawa obat dan zat pewarna (Maensiri et al., 2007; Kasapoglu et al.,
2007). Spinel ferite memiliki rumus umum AB2O4 dimana A adalah kation-kation
bervalensi 2 seperti Fe, Ni, Co yang menempati posisi tetrahedral dalam struktur
kristalnya dan B adalah kation-kation bervalensi 3 seperti Fe, Mn, Cr yang
menempati posisi oktahedral dalam struktur kristalnya, serta terdistribusi pada kisi
fcc yang terbentuk oleh ion O2-
(Kasapoglu et al., 2007 ; Almeida et al., 2008 ;
Iftimie et al., 2006). Gambar 2 menunjukan struktur kristal spinel ferit.
Gambar 2. Struktur kristal spinel ferit (Manova et al.,2005)
Kation-kation yang terdistribusi dalam struktur spinel terdapat dalam tiga bentuk
yaitu normal, terbalik (inverse) dan diantara normal dan terbalik. Pada posisi
normal ion-ion logam bervalensi 2 terletak pada posisi tetrahedral (posisi A) atau
dapat dituliskan (M2+
)A[M23+
]BO4, pada posisi terbalik (inverse) ion-ion logam
bervalensi 2 terletak pada posisi oktahedral (posisi B) atau dapat dituliskan
11
(M3+
)A[M2+
M3+
]BO4 dan posisi diantara normal dan terbalik, setengah dari ion-
ion logam bervalensi 2 dan 3 menempati posisi tetrahedral dan oktahedral atau
dapat dituliskan (M2+
M3+
)A[M1-x2+
M2-λ3+
]BO4 (Manova et al.,2005).
Nikel ferit (NiFe2O4) merupakan salah satu material spinel ferite yang sangat
penting. Nikel ferit ini memiliki struktur spinel terbalik (inverse) dimana setengah
dari ion Fe mengisi pada posisi tetrahedral (posisi A) dan sisanya menempati
posisi pada oktahedral (posisi B) yang dapat dituliskan dengan rumus
(Fe3+
1.0)[Ni2+
1.0Fe3+
1.0]O2-
4 (Kasapoglu et al., 2007 ; Maensiri et al., 2007).
NiFe2O4 telah banyak digunkan sebagai katalis untuk benzoilasi toluen dengan
benzil klorida dan kemampuan sebagai sensor gas klorin pada konsentrasi rendah
(Iftimie et al., 2006) untuk reaksi hidrogenasi (CO2 + H2) menjadi senyawa
alkohol (Situmeang et al., 2010).
D. Metoda Sol-Gel
Proses sol gel dapat didefinisikan sebagai proses pembentukan senyawa anorganik
melalui reaksi kimia dalam larutan pada suhu rendah, dimana dalam proses
tersebut terjadi perubahan fasa dari suspensi koloid (sol) membentuk fasa cair
kontinyu (gel). Metoda sol gel sendiri meliputi hidrolisis, kondensasi,
pematangan, dan pengeringan. Tahapan dapat dilihat pada Gambar 3.
12
Gambar 3. Tahapan preparasi dengan metoda sol gel.
1. Hidrolisis
Pada tahap ini logam prekursor (alkoksida) dilarutkan dalam alkohol dan
terhidrolisis dengan penambahan air pada kondisi asam, netral atau basa
menghasilkan sol koloid. Hidrolisis menggantikan ligan (-OR) dengan gugus
hidroksil (-OH) dengan reaksi sebagai berikut:
M(OR)z + H2O M(OR)(z-1)(OH) + ROH
Faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses hidrolisis adalah rasio
air/prekursor dan jenis katalis hidrolisis yang digunakan. Peningkatan rasio
pelarut/prekursor akan meningkatkan reaksi hidrolisis yang mengakibatkan reaksi
berlangsung cepat sehingga waktu gelasi lebih cepat. Katalis yang digunakan
pada proses hidrolisis adalah jenis katalis asam atau katalis basa, namun proses
hidrolisis juga dapat berlangsung tanpa menggunakan katalis. Dengan adanya
katalis maka proses hidrolisis akan berlangsung lebih cepat dan konversi menjadi
lebih tinggi.
2. Kondensasi
Pada tahapan ini terjadi proses transisi dari sol menjadi gel. Reaksi kondensasi
melibatkan ligan hidroksil untuk menghasilkan polimer dengan ikatan M-O-M.
13
Pada berbagai kasus, reaksi ini juga menghasilkan produk samping berupa air atau
alkohol dengan persamaan reaksi secara umum adalah sebagai berikut:
M-OH + HO-M M-O-M + H2O (kondensasi air)
M-OR + HO-M M-O-M + R-OH (kondensasi alkohol)
3. Pematangan (Ageing)
Setelah reaksi hidrolisis dan kondensasi, dilanjutkan dengan proses pematangan
gel yang terbentuk. Proses ini lebih dikenal dengan proses ageing. Pada proses
pematangan ini, terjadi reaksi pembentukan jaringan gel yang lebih kaku, kuat,
dan menyusut didalam larutan.
4. Pengeringan
Tahapan terakhir adalah proses penguapan larutan dan cairan yang tidak
diinginkan untuk mendapatkan struktur sol gel yang memiliki luas permukaan
yang tinggi.
Kelebihan Proses Sol Gel
Kelebihan metode sol gel dibandingkan dengan metode konvensional adalah
Kehomogenan yang lebih baik, kemurnian yang tinggi, suhu relatif rendah, tidak
terjadi reaksi dengan senyawa sisa, kehilangan bahan akibat penguapan dapat
diperkecil, mengurangi pencemaran udara.
14
E. Pengeringan Beku (Freez Dryer)
Frees Driyer merupakan suatu alat pengeringan yang termasuk
kedalam Conduction Dryer/ Indirect Dryer karena proses perpindahan terjadi
secara tidak langsung yaitu antara bahan yang akan dikeringkan (bahan basah) dan
media pemanas terdapat dinding pembatas sehingga air dalam bahan basah /
lembab yang menguap tidak terbawa bersama media pemanas. Hal ini
menunjukkan bahwa perpindahan panas terjadi secara hantaran (konduksi),
sehingga disebut juga Conduction Dryer/ Indirect Dryer ( Liapis et al., 1994).
Pengeringan beku (freeze drying) adalah salah satu metode pengeringan yang
mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan,
khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas. Keunggulan
pengeringan beku, dibandingkan metoda lainnya, antara lain adalah:
a. dapat mempertahankan stabilitas produk (menghindari perubahan aroma,
warna, dan unsur organoleptik lain)
b. dapat mempertahankan stabilitas struktur bahan (pengkerutan dan
perubahan bentuk setelah pengeringan sangat kecil)
c. dapat meningkatkan daya rehidrasi (hasil pengeringan sangat berongga
dan lyophile sehingga daya rehidrasi sangat tinggi dan dapat kembali ke
sifat fisiologis, organoleptik dan bentuk fisik yang hampir sama dengan
sebelum pengeringan).
Keunggulan-keunggulan tersebut tentu saja dapat diperoleh jika prosedur dan
proses pengeringan beku yang diterapkan tepat dan sesuai dengan karakteristik
15
bahan yang dikeringkan. Kondisi operasional tertentu yang sesuai dengan suatu
jenis produk tidak menjamin akan sesuai dengan produk jenis lain.
Pada prinsipnya pengeringan beku terdiri atas dua urutan proses, yaitu pembekuan
yang dilanjutkan dengan pengeringan. Dalam hal ini, proses pengeringan
berlangsung pada saat bahan dalam keadaan beku, sehingga proses perubahan
fase yang terjadi adalah sublimasi. Sublimasi dapat terjadi jika suhu dan tekanan
ruang sangat rendah, yaitu dibawah titik tripel air.
Menurut Liapis et al (1994) mengatakan bahwa proses pengeringan beku terdiri
atas tiga tahap yaitu:
1. Tahap pembekuan, pada tahap ini bahan pangan atau larutan didinginkan
hingga suhu dimana seluruh bahan baku menjadi beku.
2. Tahap pengeringan utama, disini air dan pelarut dalam keadaan beku
dikeluarkan secara sublimasi. Dalam hal ini tekanan ruangan harus kurang
atau mendekati tekanan uap kesetimbangan air di bahan beku. Karena
bahan pangan atau larutan bukan air murni tapi merupakan campuran
bersama komponen-komponen lain, maka pembekuan harus dibawah 0 °C
dan biasanya dibawah -10 °C atau lebih rendah, untuk tekanan kira-kira 2
mm Hg atau lebih kecil. Tahap pengeringan ini berakhir bila semua air
telah tersublim.
3. Tahap pengeringan sekunder, tahap ini mencakup pengeluaran air hasil
sublimasi atau air terikat yang ada dilapisan kering. Tahap pengeringan
sekunder dimulai segera setelah tahap pengeringan utama berakhir
16
Kegunaan alat
Freeze Dryer (pengering beku) dapat digunakan untuk mengeringkan bahan-bahan
cair seperti ekstrak baik cair maupun kental, lebih ditekankan untuk pengeringan
ekstrak dengan penyari/solvent dari air. Pengeringan ekstrak relatif lama, sebagai
ilustrasi kerja alat tersebut sebagai berikut: untuk mengeringkan ekstrak cair
sebanyak 500 ml bisa membutukan waktu lebih dari 20 jam. Untuk itu lebih
disarankan ekstrak yang dikeringkan dalam Freeze Dryer sudah dalam ekstrak
kentalnya sehingga waktu pengeringan akan lebih cepat sehingga biaya akan lebih
murah. Kapasitas alat tersebut mampu mengeringkan ekstrak sampai 6 liter
sekaligus.
Proses pengeringan beku dengan alat freeze dryer berlangsung selama 18-24 jam,
karena proses yang panjang inilah membuat produk-produk bahan alam ini
menjadi lebih stabil dibandingkan dengan metode pengeringan yang lain seperti
pengeringan semprot atau yang dikenal dengan spray drying. Pengeringan beku
ini dapat menyisakan kadar air sampai 1%, sehingga produk bahan alam yang
dikeringkan menjadi stabil dan sangat memenuhi syarat untuk pembuatan bahan
farmasi dari bahan alam yang kadar airnya harus kurang dari 10%.
F. Pektin
Pektin merupakan segolongan polimer heterosakarida yang diperoleh dari dinding
sel tumbuhan darat. Pektin berwujud bubuk berwarna putih hingga coklat terang.
Pektin banyak dimanfaatkan pada industri pangan sebagai bahan perekat dan
stabilizer (dengan tujuan agar tidak terbentuk endapan pada suatu larutan).
17
Pektin pada sel tumbuhan merupakan penyusun lamela tengah, yaitu lapisan
penyusun awal dinding sel. Pada sel-sel tertentu seperti buah atau kulit buah,
cenderung mempunyai kandungan pektin yang sangat banyak. Pektinlah senyawa
yang mengakibatkan suasana ‘lengket’ apabila seseorang mengupas buah atau
kulit buah.
Penyusun utama pektin biasanya gugus polimer asam D-galakturonat, yang terikat
dengan α-1,4-glikosidik. Asam galakturonat memiliki gugus karboksil yang dapat
saling berikatan dengan ion Mg2+
atau Ca2+
sehingga berkas-berkas polimer
‘berlekatan’ satu sama lain. Inilah yang menyebabkan rasa lengket pada kulit.
Tanpa kehadiran kedua ion ini, pektin laru dalam air. Garam-garam Mg-pektin
atau Ca-pektin dapat membentuk gel, karena ikatan tersebut berstruktur
amorphous (tak berbentuk pasti) yang dapat mengembang jika molekul air
‘terjerat’ di antara ruang-ruang ikatan tersebut. Asam anhidrogalakturonat
adalah turunan dari galaktosa yang pada atom C6 yang telah terasamkan seperti
Gambar 4.
Gambar 4. Struktur atom α-D-Galakturonat
18
Senyawa pektin terdiri atas asam pektat, asam pektirat dan protopektin.
1. Asam pektat
Suatu senyawa asam galakturonat yang bersifat koloid dan bebas dari
kandungan metil ester. Struktur asam pektat ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur asam pektat (gugus R: Hidrogen).
2. Asam pektinat
Suatu asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan mengandung metil
ester. Metil ester dan derajat netralisasi asam pektinat pada pektin berbeda-
beda. Struktur asam pektinat ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur asam pektinat.
3. Protopektin
Suatu substansi pekat yang tidak larut dalam air, terdapat pada tanaman,
apabila dihidrolisis akan menghasilkan asam pektinat (Klavons et al., 1995).
Protopektin tidak larut dalam air karena berada pada bentuk garam-garam
kalsium-magnesium pektinat. Pertukaran ion kalsium dan magnesium oleh
ion hidrogen akan mengubah protopektin menjadi pektin. Struktur
protopektin ditunjukkan pada Gambar 7.
19
Gambar 7. Struktur protopektin.
Kandungan metoksi pada pektin mempengaruhi kelarutannya. Pektin dengan
kadar metoksi tinggi (7 - 9%) akan mudah larut di dalam air sedangkan pektin
dengan kadar metoksi rendah (3 - 6%) mudah larut di dalam alkali dan asam
oksalat. Pektin tidak larut di dalam alkohol dan aseton. Kadar metoksi
merupakan jumlah metanol di dalam 100 mol asam galakturonat. Kadar metoksi
berperan dalam menentukan sifat fungsional dan mempengaruhi struktur serta
tekstur dari gel pektin (http://www.scielo.br). Pembentukan gel pada pektin
terjadi melalui ikatan hidrogen antara gugus karbonil bebas dengan gugus
hidroksil. Pektin dengan kandungan metoksi tinggi membentuk gel dengan gula
dan asam pada konsentrasi gula 58 – 70% sedangkan pektin dengan metoksi
rendah tidak mampu membentuk gel dengan asam dan gula tetapi dapat
membentuk gel dengan adanya ion-ion kalsium.
Pektin banyak digunakan sebagai komponen fungsional pada industri makanan
karena kemampuannya dalam membentuk gel encer dan menstabilkan protein
Penambahan pektin pada makanan akan mempengaruhi proses metabolisme dan
pencernaan pada adsorpsi glukosa dan kolesterol. Pektin berfungsi sebagai
20
pemberi tekstur yang baik pada roti dan keju, bahan pengental dan stabilizer pada
minuman sari buah (http://www.pectin.org). Aplikasi pektin dalam bidang farmasi
yaitu sebagai emulsifier pada preparat cair dan sirup, obat diare pada bayi dan
anak-anak, bahan kombinasi untuk memperpanjang kerja hormon dan antibiotik,
bahan pelapis perban untuk menyerap kotoran dan jaringan yang rusak sehingga
luka tetap bersih dan cepat pulih serta sebagai bahan injeksi untuk mencegah
pendarahan. Sumber pektin komersil paling utama yaitu pada buah-buahan
seperti kulit jeruk (25 – 30%), kulit apel kering (15 – 18%), bunga matahari (15 –
25%) dan bit gula (10 – 25%) (Ridley et al., 2001).
G. Karbon Dioksida (CO2)
CO2 merupakan molekul linear yang simetris, dengan panjang ikatan C – O
sebesar 1,16 Å (Volpin and Kolomnikov, 1972). CO2 adalah molekul yang sangat
stabil, akibatnya sejumlah energi harus diberikan untuk mendorong reaksi ke arah
yang diinginkan (Creutz and Fujita, 2000). Namun, berdasarkan energi bebas
Gibbsnya, energi yang diberikan untuk melangsungkan reaksi akan lebih kecil
jika CO2 digunakan sebagai ko-reaktan bersama dengan reaktan lain yang
memiliki energi bebas Gibbs yang lebih besar seperti metana, karbon (grafit), atau
hidrogen (Song et al., 2002). Beberapa sifat fisika dan kimia dari CO2 dirangkum
dalam Tabel 2.
21
Tabel 2. Sifat-sifat fisika dan kimia CO2 (Song et al., 2002)
Sifat-sifat Nilai dan Satuan
Panas pembentukkan pada 25 oC −393,5 kJ/mol
Entropi pembentukkan pada 25 oC 213,6 J/K.mol
Energi bebas Gibbs pembentukkan pada 25 oC −457,2 kJ/mol
Titik sublimasi pada 1 atm −78,5 oC
Titik tripel pada 5,1 atm −56,5 oC
Temperatur kritis 31,04 oC
Tekanan kritis 72,85 atm
Densitas kritis 0,468 g/cm3
Densitas gas pada 0 oC dan 1 atm 1,976 g/L
Densitas cair pada 0 oC dan 1 atm 928 g/L
Densitas padat 1560 g/L
Panas terkandung dalam penguapan pada 0 oC 231,3 J/g
Kelarutan dalam air
Pada 0 oC dan 1 atm
Pada 25 oC dan 1 atm
0,3346 g CO2/100 g H2O
0,1449 g CO2/100 g H2O
Dari Tabel 2 di atas, panas pembentukkan ( 0H ) dan energi bebas Gibbs
pembentukkan ( 0G ) dari CO2 adalah dua sifat penting. Nilai-nilai tersebut
secara luas digunakan untuk memperkirakan panas pembentukkan dan energi
bebas Gibbs standar dari berbagai reaksi (Indala, 2004).
Karbon dioksida menunjukkan beberapa model koordinasi dengan senyawa logam
transisi, yang pertama melalui donasi pasangan elektron bebas dari oksigen ke
orbital kosong dari logam. Kedua melalui donasi elektron dari logam ke orbital
karbon dengan membentuk turunan asam logam. Dan ketiga melalui
pembentukkan kompleks-π melalui ikatan ganda C = O. Ketiga model koordinasi
tersebut ditunjukkan pada Gambar 8.
22
M O C O M
C
O
O
M
O
C O
I II III
Gambar 8. Model koordinasi antara CO2 dengan logam
(I) melalui donasi elektron bebas oksigen ke orbital kosong dari logam
(II) melalui donasi elektron dari logam ke orbital karbon
(III) melalui pembentukkan kompleks-π melalui ikatan ganda C = O
Dari ketiga model koordinasi di atas, model II dan III adalah model yang paling
disukai. Model pertama hanya akan terjadi jika senyawa logam merupakan asam
Lewis yang kuat (Volpin and Kolomnikov, 1972).
H. Hidrogenasi Katalitik CO2
Hidrogenasi katalitik CO2 merupakan gabungan dua tahap reaksi yaitu pergeseran
terbalik air dan gas (water-gas shift reaction atau yang disingkat RWGS) dan
reaksi sintesis Fischer-Tropsch (Joo dan Jung, 2003). Reaksi pergeseran terbalik
air dan gas adalah reaksi antara CO2 dengan H2 untuk menghasilkan CO dan H2O.
Konversi CO2 menjadi CO ini memainkan peran yang sangat penting dalam
hidrogenasi CO2, karena kestabilan CO2 tidak memungkinkan untuk melakukan
hidrogenasi secara langsung (Joo, 1999). Persamaan reaksi untuk RWGS adalah
OHCOHCO katalis
222 molGmolH kJ 29,kJ 41 00
CO yang dihasilkan dari RWGS kemudian mengalami reaksi hidrogenasi melalui
reaksi sintesis Fischer-Tropsch. Produk yang dihasilkan dapat berupa parafin-
parafin linear, α-olefin, ataupun hidrokarbon mengandung oksigen seperti alkohol
dan eter (Bakhtiari et al., 2008).
23
Mekanisme reaksi sintesis Fischer-Tropsch secara garis besar dikelompokkan
menjadi 3 yaitu, mekanisme karbida, mekanisme enol, dan mekanisme penyisipan
CO. Mekanisme karbida diajukan oleh Fischer dan Tropsch pada tahun 1926.
Dalam mekanisme ini, CO yang teradsorpsi dipisahkan menjadi C dan O, karbida
yang terbentuk kemudian terhidrogenasi menjadi CHx (monomer). Monomer
metilen terpolimerisasi spesies alkil permukaan kemudian mengalami terminasi
membentuk produk. Mekanisme ini digambarkan pada Gambar 9 (Fischer dan
Tropsch, 1926).
Gambar 9. Mekanisme karbida.
Mekanisme enol diajukan oleh Storch et al., (1951). Dalam mekanisme ini,
pertumbuhan rantai diinisiasi melalui kondensasi dua spesies hidroksikarbena
teradsorpsi (CHOHads) dengan mengeliminasi air. Mekanisme enol ini
ditunjukkan dalam Gambar 10.
24
Gambar 10. Mekanisme enol
Mekanisme yang terakhir, mekanisme penyisipan CO diajukan oleh Pichler and
Schulz (1970). Mekanisme ini melibatkan penyisipan CO yang teradsorpsi ke
dalam ikatan alkil metil. Karbon teroksigenasi kemudian mengalami hidrogenasi
untuk menghilangkan oksigen.
I. Karakterisasi Katalis
Karakterisasi adalah hal yang sangat penting dalam bidang katalisis. Beberapa
metode seperti difraksi, spektroskopi, dan mikroskopi memberikan kemudahan
dalam menyelidiki sifat-sifat suatu katalis, sehingga diharapkan kita dapat
mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang katalis agar kita dapat
meningkatkan atau mendesain suatu katalis yang memiliki aktivitas yang lebih
baik (Chorkendorf and Niemantsverdriet, 2003).
25
1. Analisis Struktur Kristal
Analisis struktur kristal katalis dilakukan menggunakan instrumentasi difraksi
sinar-X (X-ray Difraction atau disingkat XRD). XRD merupakan salah satu
metode karakterisasi material. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi suatu
material berdasarkan fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan
parameter kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel suatu material.
Sistem kerja difraktometer sinar-X didasarkan pada hukum Bragg yang
menjelaskan tentang pola, intensitas dan sudut difraksi (2θ) yang berbeda-beda
pada tiap bahan. Interferensi berupa puncak-puncak sebagai hasil difraksi dimana
terjadi interaksi antara sinar-X dengan atom-atom pada bidang kristal (Cullity,
1978). Jika seberkas sinar-X dengan panjang gelombang λ diarahkan pada
permukaan kristal dengan sudut θ, maka sinar tersebut akan dihamburkan oleh
bidang atom kristal dan akan menghasilkan puncak difraksi. Besar sudut
tergantung pada panjang gelombang λ berkas sinar-X dan jarak antar bidang
penghamburan (d). Skema difraksi sinar-X oleh atom-atom kristal dapat dilihat
seperti pada Gambar11.
Gambar 11. Proses pembentukkan puncak pada XRD
26
Pada radiasi monokromatik dinyatakan bahwa difraksi secara geometris mirip
seperti refleksi. Kemudian diturunkan hukum Bragg untuk difraksi, yang secara
matematis dapat dituliskan dengan:
λ = 2 d sin θ (1)
dimana panjang gelombang radiasi sinar-X, d = jarak antar bidang dalam
kristal dan sudut difraksi. Karena nilai sinθ maksimum adalah 1, maka
berdasarkan persamaan (2.1), akan diperoleh:
sin2
d
n<1 (2)
sehingga nilai n harus kurang dari d2 . Dengan demikian kondisi untuk difraksi
pada sudut 2 yang dapat teramati adalah:
< 2d (3)
Pada kebanyakan kristal, nilai d adalah dalam orde 3 Å atau kurang, sehingga
kristal tidak mungkin dapat mendifraksikan sinar ultraviolet dengan panjang
gelombang kira-kira 500 Å (Cullity, 1978).
Sinar-X terjadi jika suatu bahan ditembakkan dengan elektron dengan kecepatan
tinggi dalam suatu tabung vakum. Elektron-elektron dipercepat yang berasal dari
filamen (katoda) menumbuk target (Anoda) yang berada dalam tabung sinar-X
sehingga elektron-elektron tersebut mengalami perlambatan. Sebagian energi
kinetik elektron pada filamen diserahkan pada elektron target yang mengakibatkan
ketidakstabilan elektron. Keadaan tidak stabil ini akan kembali pada kondisi
normal dalam waktu 10-8
detik sambil melepaskan energi kinetik elektron dalam
bentuk gelombang elektromagnetik yang disebut sebagai sinar-X kontinius
27
dimana panjang gelombang (λ) nya tidak tunggal. Sinar-X berikutnya adalah
sinar-X yang muncul pada tegangan sekitar 30 kV dan disebut sinar-X
karakteristik. Dengan menggunakan filter khusus dapat diperoleh λ sinar-X yang
tunggal. Sinar-X seperti inilah yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan difraksi
sinar-X. Berkaitan dengan fenomena difraksi, λ sinar-X karakterisasi kebetulan
relatif sama dengan jarak antar atom dalam kristal sehingga dengan demikian
atom dapat mendifraksi sinar-X. Skema bagian-bagian dari difraksi sinar-X
ditunjukkan seperti pada Gambar 12.
Gambar 12. Skematik bagian-bagian dari difraksi sinar-X. Sumber (Hunter,
1997). Slit berguna sebagai pembatas agar sinar-X yang masuk
ke sampel dan detektor lebih terarah.
Lingkaran pengukur
Theta (θ)
2Theta (2θ)
Monokromator
kedua
Tabung
sinar-X
Target
Slit 1 Slit
4
Slit
5
Sinar 2
Slit
2
Slit
3 Sinar 1
Sampel
detektor
Detekto
r
28
Identifikasi struktur fasa yang ada pada sampel secara umum dilakukan dengan
menggunakan standar melalui pangkalan data Join Committee on Powder
Diffraction Standards, JCPDS (1996) International Centre for Powder Diffraction
Data, ICPDF (1978). Analisis kualitatif didasarkan pada intensitas dari sampel
dibandingkan atau dicocokkan dengan menggunakan standar internal maupun
standar eksternal. Gambar 13 adalah contoh difraktogram sinar-X NiFe2O4 yang
dipreparasi menggunakan metode EDTA-assited hydrothermally.
Gambar 13. Difraktogram nanokristal NiFe2O4 (Kasapoglu et al., 2007).
2. Analisis Kuantitatif Kristal
Seperti metode analisis XRD yang dapat digunakan untuk menganalisis fasa
kristalin meliputi tranformasi struktur fasa, ukuran partikel bahan seperti keramik,
komposit polimer dan lain-lain. Dalam menentukan struktur kristal setiap fasa
kristalin memiliki sifat pola difraksi sinar-X yang digunakan sebagai
jejak(fingerprint) untuk mengidentifikasinya. Secara umum, pola diffraksi
mengandung informasi tentang simetri susunan atom(space group), penentuan
29
struktur Kristal bahan (kristal/amorph), orientasi Kristal serta pengukuran
berbagai sifat strain, vibrasi termal dan cacat Kristal.
Dengan metode penghalusan (refinement) parameter-parameter mencakup: faktor
skala, pergeseran titik no1 (zero point), latar belakang, orientasi yang disukai,
bentuk puncak dan faktor suhu pada software rietveld kita dapat mencocokan
antara kurva teoritis dengan kurva eksperimen sampai terdapat kesesuaian antara
kedua kurva secara keseluruhan. Kurva eksperimen (observasi) adalah susunan
pola-pola difraksi antara sudut difraksi (2θ) dengan intenitasnya yang di dapatkan
dari alat XRD. Kurva teoritas (kalkulasi) adalah kurva yang didapatkan dari hasil
analisis Rietveld.
Metode penghalusan (refinement) dalam program Ritveld adalah mengusahakan
agar perubahan harga masukan (input) pada suatu parameter yang diperhalus akan
menyebabkan perubahan pada kurva teoritis dan pada akhirnya diharapkan
semakin mendekati kurva eksperimen, berarti harga masukan yang digunakan
semakin mendekati harga yang sebenamya. Jika harga masukan yang digunakan
semakin mendekati harga yang sebenarnya, maka tingkat keberhasilan program
Rietveld dengan Indikator Faktor Rbragg mendekati 0% (atau ≤1%) (Hunter,
1997).
3. Analisis Morfologi Permukaan Katalis
Interaksi antara gas dan permukaan material dan reaksi-reaksi pada permukaan
material memiliki peran yang sangat penting dalam bidang katalisis. Siklus awal
katalis diawali dengan adsorpsi molekul reaktan pada permukaan katalis. Oleh
30
karena itu kita perlu untuk mempelajari morfologi permukaan dari katalis
(Chorkendorff and Niemantsverdriet, 2003). Untuk mempelajari morfologi
permukaan katalis dapat menggunakan instrumentasi Transmission Electron
Microscopy (TEM).
TEM pertama kali ditemukan oleh Max Knoll dan Ernt Ruska pada tahun 1931.
Hasil temuan ilmuan ini memberikan sumbangsih yang sangat berarti dalam
perkembangan nanomaterial yang salah satunya pemanfaatanya untuk
karakterisasi material dalam skala nanometer.
Prinsip kerja instrumen TEM yaitu elektron dengan energi sangat tinggi
(dipercepat pada tegangan ratusan kV) menembak permukaan sampel yang sangat
tipis hingga mentransmisikan berkas elektron sekunder. Berkas elektron sekunder
yang ditransmisikan akan ditangkap oleh detektor sebagai signal yang
memberikan informasi tampilan partikel - partikel. Kemampuan elektron
berinteraksi dengan permukaan sampel memberikan hasil yang berbeda-beda,
bergantung pada permukaan sampel, jika elektron yang ditembakan mampu
menembus permukaan sampel dan tidak adanya energi yang berkurang, maka
interaksi elastik antara sampel dengan berkas elektron ini menyebabkan signal
yang ditransmisikan akan ditangkap oleh detektor sebagai bagian yang lunak.
Sedangkan pada bagian yang dianggap keras adalah jika interaksi sampel dengan
berkas elektron primer menghasilkan interaksi inelastik maka menyebabkan
absorbsi kompleks dan efek penyebaran yang mana dapat menghasilkan variasi
31
spasial pada intensitas yang ditransmisikan. komponen-komponen TEM
ditunjukan oleh Gambar 14.
Gambar 14. Gambar Instrumen TEM (Hornbogen 1993)
TEM memiliki kemampuan mengambil gambar dengan resolusi tinggi
dibandingkan dengan mikroskop cahaya. Instrumen TEM yang berfungsi untuk
analisis permukaan berdasarkan serapan elektron pada material yang bergantung
pada ketebalan dan komposisi dari material yang dianalisis (Wiliams, 1996).
4. Analisis Ukuran Partikel
Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk mengetahui ukuran suatu
partikel yaitu:
32
1. Metode ayakan (Sieve analyses)
2. Laser Diffraction (LAS)
3. Metode sedimentasi
4. Electronical Zone Sensing (EZS)
5. Analisa gambar (mikrografi)
6. Metode kromatografi
7. Ukuran aerosol submikron dan perhitungan
Sieve analyses (analisis ayakan) dalam dunia farmasi sering kali digunakan dalam
bidang mikromeritik. Yaitu ilmu yang mempelajari tentang ilmu dan teknologi
partikel kecil. Metode yang paling umum digunakan adalah analisa gambar
(mikrografi). Metode ini meliputi metode mikroskopi dan metode holografi. Alat
yang sering digunakan biasanya SEM, TEM dan AFM. Namun seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan yang lebih mengarah ke era nanoteknologi,
para peneliti mulai menggunakan Laser Diffraction (LAS). Metode ini dinilai
lebih akurat untuk bila dibandingkan dengan metode analisa gambar maupun
metode ayakan (sieve analyses), terutama untuk sample-sampel dalam orde
nanometer maupun submikron.
Contoh alat yang menggunakan metode LAS adalah particle size analyzer (PSA).
Metode LAS bisa dibagi dalam dua metode:
1. Metode basah: metode ini menggunakan media pendispersi untuk
mendispersikan material uji.
33
2. Metode kering: metode ini memanfaatkan udara atau aliran udara untuk
melarutkan partikel dan membawanya ke sensing zone. Metode ini baik
digunakan untuk ukuran yang kasar, dimana hubungan antarpartikel lemah
dan kemungkinan untuk beraglomerasi kecil.
Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA biasanya menggunakan metode
basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan metode kering
ataupun pengukuran partikel dengan metode ayakan dan analisa gambar.
Terutama untuk sampel-sampel dalam orde nanometer dan submicron yang
biasanya memliki kecenderungan aglomerasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan
partikel didispersikan ke dalam media sehingga partikel tidak saling
beraglomerasi (menggumpal). Dengan demikian ukuran partikel yang terukur
adalah ukuran dari single particle. Selain itu hasil pengukuran dalam bentuk
distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah menggambarkan
keseluruhan kondisi sampel (Rawle, 2010).
Keunggulan penggunaan Particle Size Analyzer (PSA) untuk mengetahui
ukuran partikel:
1. Lebih akurat. Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA lebih akurat
jika dibandingkan dengan pengukuran partikel dengan alat lain seperti
XRD ataupun SEM. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam
media sehingga ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single
particle.
34
2. Hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga dapat
menggambarkan keseluruhan kondisi sample.
3. Rentang pengukuran dari 0, 6 nanometer hingga 7 mikrometer.
J. Tes cepat alkohol Rapid Testing Strip
Penggunaan Tes Cepat Alkohol ini ditujukan sebagai metode cepat semi-
kuantitatif untuk mendeteksi kadar alkohol dalam sampel jika blood alcohol
concentration (BAC) melebihi kadar 0.02%. Prinsip Prosedur Tes Cepat Alkohol
ini didasarkan pada spesifisitas tinggi dari alcohol oxidase (ALOx)
Pada ethyl alkohol dalam kehadiran peroksidasi dan enzim substrasi seperti
tetramethylbenzidin (TMB) seperti reaksi berikut ini:
ALOx/Peroksidasi
EtOH + TMB CH3 CHO + TMB berwarna
Warna yang berbeda pada pad reaktif dapat diobservasi kurang dar 20 detik
setelah ujungnya strip mengalami kontak dengan sampel dengan konsentrasi
ethyl alkohol yang melebihi 0,02% dapat dilihat pada Gambar 15. Harus
diketahui bahwa jenis alkohol lain seperti: methyl, propanyl dan allyl akan
menghasilkan warna yang sama pada pad reaktif (Jones 1979).
0.0mg/100ml 20 mg/100ml 80mg/100ml 300mg/100ml
(0.02%) (0.08%) (0.3%)
Gambar 15. Gambar perubahan warna setelah pad strip mengalami kontak
dengan sampel.
35
Tes Cepat Alkohol adalah pengujian semi kuantitatif. Tes ini mengidentifikasi
alkohol dalam sampel pada konsentrasi 0.02% BAC (Savchuk et al., 2001).
Keakuratan Tes cepat alkohol Rapid Testing Strip telah di uji dengan
kromatrografi gas menggunakan 86 sampel dimana Konsentrasi alkohol antara
0.009-0.16g/dL batas pendeteksian paling sedikit pada 10mg/dL (0.01g/dL) dapat
dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. data Rapid Testing Strip 86 sampel yang dianalisis kromatografi gas.
Rapid Testing Strip GC(+) (>0.02%BAC)
Strip Test (+) 37
Strip Test (-) 1
98%
selektif
K. Kromatografi Gas
Kromatografi adalah metode pemisahan suatu campuran berdasarkan partisi
substansi antara dua fase, yaitu fase stasioner yang memiliki luas permukaan yang
besar dan fase bergerak yang mengalir sepanjang fase diam. Kromatografi gas
merupakan cabang kromatografi yang saat ini paling populer, dimana substansi
yang dianalisis terdapat dalam keadaan gas atau keadaan uap (Brewer, 1998).
Sistem kromatografi gas terdiri dari 6 komponen utama yaitu, gas pembawa dan
pengendali aliran, injektor, detektor, oven, kolom dan suatu sistem data. Susunan
komponen-komponen kromatografi gas ditunjukan oleh Gambar 15( Rood, 2007).
36
Gambar 16. Susunan komponen-komponen instrumentasi Kromatografi Gas
Dalam kromatografi gas, sampel diuapkan dan dibawa oleh fase bergerak berupa
gas pembawa (carrier gas) melalui kolom. Sampel terpartisi pada fase diam,
berdasarkan perbedaan kekuatan interaksinya dengan fase diam pada temperature
yang telah ditentukan. Komponen-komponen sampel (disebut solut atau analit)
terpisah satu sama lain berdasarkan tekanan uap relatif dan afinitasnya terhadap
fase stasioner. Proses pemisahan ini disebut elusi (McNair and Miller, 1997).
Komponen penting dalam kromatografi gas yaitu:
1. Tangki Pembawa gas yang dilengkapi dengan pengatur tekanan
2. Tempat injeksi sampel
3. Kolom
4. Detektor yang dilengkapi dengan thermostat
5. Penguat arus (amplifier)
6. Rekorder atau integrator