Upload
hoangcong
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Kerangka Teori dan Literatur
II.1.1. Perbedaan Prinsip antara Standar Akuntansi dengan Perpajakan
Tata cara dan aturan pembukuan mengikuti ketentuan yang berlaku sesuai
dengan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima umum sepanjang aturan perpajakan
tidak menyatakan lain. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam penjelasan pasal 28
ayat (7) UU KUP No. 28 tahun 2007 yang berbunyi sebagai berikut :
“ Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang
lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan,
kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain.”
Beberapa perbedaan prinsip antara Undang-Undang Perpajakan dengan SAK
umum berbasis IFRS yaitu:
II.1.1.1. Mata Uang Pelaporan Utama
Standar Akuntansi :
Berdasarkan PSAK No. 10 (revisi 2010) paragraf 36, “Entitas dapat menyajikan
laporan keuangannya dalam mata uang (atau beberapa mata uang) apapun”.
Transaksi mata uang asing dicatat dengan menggunakan mata uang fungsional. Mata
uang fungsional adalah mata uang pada lingkungan ekonomi utama di mana suatu
entitas beroperasi. Indikator untuk menentukan mata uang fungsional adalah
8
1. a) mata uang :
• yang mempengaruhi harga jual
• dari suatu negara yang kekuatan persaingan dan Undang-Undang
menentukan harga jual
b) mata uang yang paling mempengaruhi biaya tenaga kerja, material, dan
biaya lain pengadaan barang/ jasa
2. a) mata uang yang mana dana dari aktivitas pendanaan dihasilkan
b) mata uang dalam mana penerimaan dari aktivitas operasi pada umumnya
ditahan
Perpajakan :
Berdasarkan UU KUP No. 28 tahun 2007 Pasal 28 ayat (4), ”Pembukuan harus
diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan
mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang
diizinkan oleh Menteri Keuangan”. Namun, dalam Pasal 28 ayat (8) menyatakan
bahwa ”Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah
dapat diselenggarakan Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan”. Wajib
Pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang
selain Rupiah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.011/2012
adalah
a. Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing
b. Wajib pajak dalam rangka Kontrak Karya untuk pertambangan selain minyak dan
gas bumi
9
c. Wajib pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama untuk pertambangan minyak dan
gas bumi
d. Bentuk Usaha Tetap
e. Wajib pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun
seluruhnya di bursa efek luar negeri
f. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksadana dalam denominasi
satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat
Pemberitahunan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Bapepam-Lembaga
Keuangan
g. Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri
h. Wajib pajak yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang fungsional
menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sesuai Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia
II.1.1.2. Nilai Realisasi dan Nilai Estimasi
Standar Akuntansi :
Standar Akuntansi mengakui biaya estimasi. Sebagai contoh, menurut PSAK
No. 16 (revisi 2011) paragraf 16 salah satu komponen biaya perolehan adalah
estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi lokasi
aset. Selain itu berdasarkan PSAK No. 48 (revisi 2010), entitas dapat melakukan
pembentukan cadangan atas penurunan nilai aset berdasarkan estimasi. Penurunan
nilai dari aset merupakan suatu kondisi di mana nilai tercatat dari aset (carrying
amount) melebihi jumlah terpulihkan (recoverable amount). Pada setiap akhir
10
periode pelaporan, suatu entitas harus menilai apakah terdapat indikasi suatu aset
mengalami penurunan nilai. Jika terdapat indikasi tersebut, entitas harus
mengestimasi jumlah terpulihkan aset tersebut. Dalam menilai ada tidaknya indikasi
bahwa aset mungkin mengalami penurunan nilai, entitas harus mempertimbangkan
hal-hal berikut ini :
a. Informasi dari sumber-sumber eksternal seperti adanya perubahan signifikan dari
nilai pasar, teknologi, pasar, ekonomi, lingkup hukum, suku bunga, serta jumlah
tercatat aset neto entitas melebihi kapitalisasi pasarnya.
b. Informasi dari sumber-sumber internal seperti bukti keusangan atau kerusakan
fisik aset, perubahan signifikan atas penggunaan, penghentian, dan masa
manfaat aset, serta bukti internal mengindikasikan bahwa kinerja ekonomi
aset lebih buruk dari yang diharapkan.
Perpajakan :
Peraturan perpajakan hanya mengakui realisasi bukan nilai estimasi.
Sebagaimana dinyatakan dalam UU PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 10 ayat (1) bahwa
aset harus dinilai berdasarkan nilai realisasi yaitu jumlah yang sesungguhnya
dikeluarkan atau diterima. Sedangkan revaluasi aset tetap yang berarti menyesuaikan
nilai sisa buku fiskal aset tetap dengan harga pasar sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 hanya menaikkan nilai aset
dan dikenakan pajak penghasilan, kecuali atas izin Menteri Keuangan.
11
II.1.1.3. Nilai Perolehan dan Nilai Wajar
Standar Akuntansi :
Nilai wajar (fair value) adalah jumlah yang dipakai untuk mempertukarkan
suatu aset antara pihak-pihak yang berkeinginan dan memiliki pengetahuan memadai
dalam suatu transaksi dengan wajar (arm’s length transaction). Standar akuntansi
yang menggunakan penerapan nilai wajar (fair value) dalam pengukuran dan
penilaian elemen laporan keuangan yaitu PSAK No. 13 properti investasi, PSAK No.
16 aset tetap, PSAK No. 19 aset tak berwujud, serta PSAK No. 50 & 55 instrumen
keuangan. Penyajian laporan keuangan berbasis nilai wajar dianggap dapat
memberikan informasi yang relevan dan andal bagi investor.
Perpajakan :
Peraturan perpajakan belum mengadopsi konsep nilai wajar. Di dalam UU PPh
No. 36 Tahun 2008 Pasal 10 menjelaskan tentang cara penilaian aset yang diperoleh
dari transaksi sebagai berikut ini :
Ayat (1)
Dalam transaksi jual beli aset, harga perolehan aset bagi pihak pembeli adalah harga
yang sesungguhnya dibayarkan dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga
yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan
biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh aset tersebut, seperti bea masuk,
biaya pengangkutan, dan biaya pemasangan.
12
Ayat (2)
Aset yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar menukar dengan aset lain, maka
nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan
atau diterima berdasarkan harga pasar.
Ayat (3)
Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar,
kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Dalam hal penyerahan aset karena
- hibah yang diterima oleh keluarga sedarah garis keturunan lurus satu derajat,
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
- bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh lembaga amil zakat
yang disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang
berhak atau sumbangan keagamaan yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak.
Maka nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku harta
dari pihak yang melakukan penyerahan. Sedangkan penyerahan harta karena hibah,
bantuan, sumbangan selain yang disebutkan di atas, maka nilai perolehan bagi pihak
yang menerima harta adalah harga pasar.
13
Ayat (5)
Penilaian aset yang diserahkan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal yaitu
berdasarkan nilai pasar dari harta yang dialihkan tersebut.
Ayat (6)
Penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan. Sedangkan
penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya boleh
dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang
didapat pertama (first-in first-out).
II.1.1.4. Form Over Substance dan Substance Over Form pada Leasing
Standar Akuntansi :
Akuntansi untuk sewa guna usaha dengan hak opsi berlandaskan pada konsep
makna ekonomi (substance over form). Berdasarkan PSAK No. 30 (revisi 2011)
paragraf 8, “Suatu kegiatan sewa guna usaha diklasifikasikan sebagai sewa guna
usaha dengan hak opsi (finance lease) jika sewa guna usaha tersebut mengalihkan
secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset”.
Aset leasing langsung dibukukan sebagai aset tetap leasing dan disusutkan sesuai
masa manfaat oleh lessee.
Perpajakan :
Dalam kasus sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease), yang diatur
dalam KMK No. 1169/ KMK.01/1991 lebih mementingkan bentuk formal atau status
legal dibandingkan dengan substansi ekonominya (form over substance). Dalam
transaksi leasing selama masa leasing, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas
14
barang modal sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli karena status
legal barang modal belum beralih. Setelah lessee menggunakan hak opsi, lessee
melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value)
barang modal yang bersangkutan.
II.1.1.5. Umur Manfaat Aset Tidak Berwujud
Standar Akuntansi :
Berdasarkan PSAK No.19 (revisi 2010) paragraf 88, masa manfaat aset tidak
berwujud dikelompokkan menjadi masa manfaat terbatas dan tidak terbatas. Suatu
aset tidak berwujud dinilai masa manfaatnya terbatas, jika jangka waktu atau jumlah
produksi atau jumlah unit serupa yang dihasilkan selama masa manfaat. Sedangkan
dinilai tidak terbatas jika berdasarkan analisis dari seluruh faktor relevan, tidak ada
batas yang terlihat pada saat ini atas periode yang mana aset diharapkan
menghasilkan arus kas neto bagi perusahaan. Suatu aset tidak berwujud dengan masa
manfaat terbatas diamortisasi dan aset tidak berwujud dengan masa manfaat tak
terbatas tidak diamortisasi.
Perpajakan :
Sesuai dengan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 11A, aset tidak berwujud
dibagi menjadi 4 kelompok dengan masa manfaat 4, 8, 16, dan 20 tahun. Sehingga
umur manfaat aset tidak berwujud maksimal 20 tahun.
15
Tabel II.1
Kelompok Aset tidak Berwujud
Sumber : UU PPh No. 36 Tahun 2008
II.1.1.6. Revaluasi Aset Tetap
Standar Akuntansi :
Berdasarkan PSAK No.16 (Revisi 2011) paragraf 31, revaluasi harus dilakukan
secara reguler untuk memastikan jumlah tercatat tidak berbeda secara material
dengan nilai wajar pada tanggal neraca. Jika suatu aset tetap direvaluasi, maka
seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi. Revaluator boleh
dari perusahaan. Dasar revaluasi adalah nilai sisa buku komersial. Jika akibat
revaluasi jumlah tercatat aset meningkat, maka kenaikan tersebut langsung
dikreditkan ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi dan diakui dalam laba rugi
sejumlah penurunan akibat revaluasi terdahulu (jika ada). Sedangkan jika jumlah
tercatat aset menurun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba
rugi dan di debit ke ekuitas sejumlah saldo kredit surplus revaluasi (jika ada).
Perpajakan :
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/ PMK.03/ 2008, revaluasi
hanya dapat dilakukan jika mendapat izin dari Menteri Keuangan. Revaluasi harus
dilakukan atas seluruh aset tetap berwujud yang terletak atau berada di Indonesia.
16
Revaluator ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai yang
memperoleh izin dari pemerintah. Dasar revaluasi adalah nilai sisa buku fiskal. Atas
selisih lebih penilaian kembali aset tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal
semula dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10%. Revaluasi
hanya dapat dilakukan lagi setelah lewat 5 tahun sejak revaluasi terakhir. Dalam
ketentuan perpajakan tidak mengatur rugi penurunan nilai pada saat revaluasi aset.
Estimasi rugi penurunan nilai tidak diakui dalam peraturan perpajakan.
II.1.1.7. Klasifikasi Aset Tetap
Standar Akuntansi :
Adanya klasifikasi aset yang baru yang diatur dalam PSAK 13 (revisi 2011)
yaitu properti investasi. Properti investasi adalah tanah atau bangunan atau bagian
dari bangunan atau keduanya yang dikuasai (oleh pemilik atau lessee melalui sewa
pembiayaan) untuk menghasilkan rental atau kenaikan nilai, atau kedua-duanya, dan
tidak untuk :
- Digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa atau untuk tujuan
administratif
- Dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari
Pengakuan setelah pengakuan awal atas aset yang diklasifikasikan sebagai
properti investasi dapat dilakukan dengan model nilai wajar (fair value) atau model
biaya. Untuk model nilai wajar, tidak ada penyusutan atas nilai properti. Laba rugi
yang timbul dari perubahan nilai wajar diakui dalam laporan laba rugi pada periode
terjadinya.
17
Perpajakan :
Berdasarkan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 11, penyusutan aset
berdasarkan kelompok aset. Semua aset (kecuali tanah) yang memiliki masa manfaat
lebih dari satu tahun disusutkan sesuai dengan kelompoknya.
Tabel II.2
Kelompok Aset Berwujud
Sumber : UU PPh No. 36 Tahun 2008
II.1.1.8. Principle Based dan Rule Based
Standar Akuntansi :
Di sisi lain penerapan PSAK sesuai IFRS menganut principle based. Dalam
principle based tidak dijelaskan secara detail aturan-aturannya sehingga sangat
membutuhkan kemampuan analisis dan pertimbangan terhadap setiap transaksi. Jika
timbul keragu–raguan mengenai sebuah aturan, pembaca diarahkan kembali ke
landasan prinsip tersebut.
18
Perpajakan :
Rule based menjelaskan dengan detail aturan yang harus diikuti dalam
menyiapkan pelaporan keuangan. Dengan memiki aturan yang jelas, dapat
meningkatkan akurasi dan mengurangi keragu-raguan/ ketidakpastian. Aturan
perpajakan di Indonesia menganut rule based.
Contoh :
1. Aset tetap
Dalam akuntansi penentuan umur manfaat aset tetap membutuhkan pertimbangan
berdasarkan pengalaman entitas terhadap aset yang serupa. Sedangkan metode
penyusutan ditentukan sesuai dengan ekspektasi pola konsumsi manfaat
ekonomik masa depan dari aset. Dalam perpajakan, umur manfaat dan metode
penyusutan diatur dengan detail dalam UU PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 11 dan
diatur lebih lanjut mengenai kelompok aset tetap dengan Peraturan Menteri
Keuangan 96/PMK.03/2009.
2. Aset tidak berwujud
Dalam mengestimasi masa manfaat aset tidak berwujud diperlukan pertimbangan
untuk menentukan apakah masa manfaat aset tersebut terbatas atau tidak terbatas
yang diatur dalam PSAK No.19 (revisi 2010). Penentuan metode amortisasi aset
tidak berwujud dengan masa manfaat terbatas berdasarkan pola konsumsi
manfaat ekonomi masa depan yang diharapkan yang digunakan. Dalam
perpajakan, masa manfaat dan metode amortisasi diatur dalam UU PPh No. 36
Tahun 2008 Pasal 11A secara detail sesuai dengan kelompoknya.
19
3. Hubungan istimewa
Berdasarkan PSAK No.7 (revisi 2010) paragraf 9, pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa adalah
- Orang atau anggota keluarga terdekat. Mereka dapat termasuk pasangan
hidup dan anak dari individu, anak dari pasangan hidup individu, tanggungan
dari individu atau pasangan hidup individu
- Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama
Sedangkan berdasarkan UU PPh No. 36 Tahun 2008 pasal 18 ayat (4), hubungan
istimewa dianggap ada apabila :
- Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat;
- Kepemilikan penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
25%;
- Menguasai Wajib Pajak lainnya seperti penguasaan melalui manajemen atau
penguasaan teknologi.
II.1.1.9. Prinsip Materialitas
Standar Akuntansi :
Dalam PSAK No. 1 (revisi 2009) paragraf 5 dijelaskan bahwa “Kelalaian
dalam mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat pos-pos laporan keuangan
adalah material jika, dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna laporan
keuangan”. Konsep materialitas menganjurkan untuk memberikan perhatian pada
20
peristiwa-peristiwa penting dan mengabaikan hal-hal yang tidak signifikan. Usaha
lebih yang diperlukan adalah mengolah hal-hal yang tidak signifikan merupakan
usaha yang tidak efektif. Contohnya dalam proses audit yang dilakukan oleh akuntan
publik juga dilakukan dengan teknik sampel dengan prinsip materialitas. Sehingga
auditor tidak memberikan jaminan (guarantee) bagi klien atau pemakai laporan
keuangannya yang lain, bahwa laporan keuangan yang sudah diaudit adalah akurat
dikarenakan auditor tidak memeriksa setiap transaksi yang terjadi dalam tahun yang
diaudit dan tidak dapat menentukan apakah semua transaksi yang terjadi telah dicatat,
diringkas, digolongkan, dan dikompilasi secara semestinya ke dalam laporan
keuangan.
Perpajakan :
Pajak tidak mengenal prinsip materialitas sebagaimana yang dikenal oleh
akuntansi. Dalam perpajakan tidak ada istilah yang dapat mengabaikan data hanya
karena jumlahnya relatif kecil. Bagi pajak jumlah berapapun adalah material.
Sebagai contoh misalnya dalam pemeriksaan pajak sekecil apapun kesalahan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak terkait dengan transaksi keuangannya akan tetap
diperhitungkan karena pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan terhadap
peraturan perpajakan.
II.1.2. PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan
II.1.2.1. Tujuan PSAK No. 46
PSAK No.46 bertujuan untuk mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak
penghasilan. Masalah utama dalam perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan
21
adalah bagaimana menghitung konsekuensi pajak periode berjalan dan periode
mendatang untuk hal-hal berikut ini :
a. Pemulihan nilai tercatat aset yang diakui pada neraca perusahaan atau pelunasan
nilai tercatat kewajiban yang diakui pada neraca perusahaan; dan
b. Transaksi-transaksi dan kejadian-kejadian lain pada periode berjalan yang diakui
pada laporan keuangan entitas.
Pengakuan aset atau kewajiban pada laporan keuangan, secara tersirat, berarti
bahwa perusahaan pelapor akan dapat memulihkan atau melunasi nilai tercatat aset
atau kewajiban tersebut. Pemulihan nilai tercatat aset akan mengakibatkan
perusahaan pelapor membayar pajak lebih kecil di periode mendatang dan pelunasan
nilai tercatat kewajiban akan mengakibatkan perusahaan pelapor membayar pajak
lebih besar di periode mendatang.
I.1.2.2. Istilah- Istilah dalam PSAK No. 46
Pada paragraf 07 dijelaskan definisi istilah-istilah berikut ini yaitu :
1. Pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan
dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan.
2. Laba akuntansi adalah laba atau rugi bersih selama satu periode sebelum
dikurangi beban pajak.
3. Penghasilan kena pajak atau laba fiskal atau rugi pajak adalah laba atau rugi
selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan menjadi
dasar penghitungan pajak penghasilan.
22
4. Nilai buku akuntansi adalah nilai tercatat aset atau nilai tercatat kewajiban
menurut pembukuan atau akuntansi.
5. Dasar pengenaan pajak (DPP) aset atau kewajiban adalah nilai aset atau
kewajiban yang diakui oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam penghitungan laba
fiskal.
6. Perbedaan temporer adalah perbedaan antara jumlah tercatat aset atau kewajiban
dengan DPP-nya.
7. Perbedaan temporer kena pajak adalah perbedaan temporer yang menimbulkan
suatu jumlah kena pajak dalam penghitungan laba fiskal periode masa depan
pada saat nilai tercatat aset dipulihkan atau nilai tercatat kewajiban dilunasi.
8. Perbedaan temporer dapat dikurangkan adalah perbedaan temporer yang
menimbulkan suatu jumlah yang boleh dikurangkan dalam penghitungan laba
fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aset dipulihkan atau nilai
tercatat kewajiban tersebut dilunasi.
9. Pajak kini adalah jumlah pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan
kena pajak pada satu periode.
10. Beban pajak (penghasilan pajak) adalah jumlah agregat pajak kini dan pajak
tangguhan yang diperhitungkan dalam penghitungan laba atau rugi pada satu
periode.
11. Kewajiban pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan terutang untuk
periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak.
23
12. Aset pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan yang terpulihkan
pada periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh
dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian.
II.1.2.3. Dasar Pengenaan Pajak
Berdasarkan PSAK No.46 paragraf 09, dasar pengenaan pajak aset adalah
jumlah yang dapat dikurangkan, untuk tujuan fiskal, terhadap setiap manfaat
ekonomi (penghasilan) kena pajak yang akan diterima perusahaan pada saat
memulihkan nilai tercatat aset tersebut. Contoh :
• Biaya perolehan mesin 100. Untuk tujuan pajak, penyusutan mesin dikurangkan
sebesar 30. Dasar pengenaan pajak mesin adalah 70.
• Piutang bunga memiliki jumlah tercatat 100. Penerimaan piutang bunga terkait
akan dikenakan pajak dengan dasar kas. Dasar pengenaan pajak piutang bunga
adalah nihil.
• Piutang usaha memiliki jumlah tercatat 100. Pendapatan usaha terkait sudah
termasuk dalam laba kena pajak (rugi pajak). Dasar pengenaan pajak piutang
usaha adalah 100.
Sedangkan paragraf 10 menjelaskan bahwa dasar pengenaan pajak kewajiban
adalah nilai tercatat kewajiban dikurangi dengan setiap jumlah yang dapat
dikurangkan pada masa depan. Contoh :
• Jumlah tercatat kewajiban jangka pendek termasuk beban yang masih harus
dibayar sebesar 100. Beban terkait akan dikurangkan untuk tujuan pajak dengan
dasar kas. Dasar pengenaan pajak beban yang masih harus dibayar adalah nihil.
24
• Jumlah tercatat kewajiban jangka pendek termasuk beban yang masih harus
dibayar sebesar 100. Beban tersebut telah dikurangkan untuk tujuan pajak. Dasar
pengenaan pajak atas beban yang masih harus dibayar adalah 100.
• Jumlah tercatat utang pinjaman sebesar 100. Pelunasan pinjaman tersebut tidak
mempunyai konsekuensi pajak. Dasar pengenaan pajak atas pinjaman adalah 100.
II.1.2.4. Metode Penangguhan dalam Pajak Penghasilan
Menurut Zain (2008: 190), metode alokasi pajak interperiode dapat dilakukan
dengan 3 (tiga) cara yaitu :
a. Deferred Method (Metode Pajak Tangguhan)
Metode ini menggunakan pendekatan laba rugi (Income Statement Approach)
yang memandang perbedaan perlakuan antara akuntansi dan perpajakan dari sudut
pandang laporan laba rugi, yaitu kapan suatu transaksi diakui dalam laporan laba rugi
baik dari segi komersial maupun fiskal. Pendekatan ini mengenal istilah perbedaan
waktu dan perbedaan permanen. Selisih jumlah Pajak Penghasilan Terhutang
(berdasar SPT) dengan Biaya Pajak Penghasilan (berdasar laba akuntansi) dalam
suatu periode harus dicatat dan disajikan dalam Laporan Keuangan sebagai Pajak
yang Ditangguhkan. Jumlah Pajak yang Ditangguhkan ditentukan berdasar tarif
pajak yang berlaku pada saat terjadinya transaksi atau item yang menyebabkan
terjadinya perbedaan atau selisih antara laba kena pajak dan laba akuntansinya.
Metode ini lebih menekankan matching principle pada periode terjadinya perbedaan
tersebut.
b. Asset-Liability Method (Metode Aset dan Kewajiban)
Metode ini menggunakan pendekatan neraca (Balance Sheet Approach) yang
menekankan pada kegunaan laporan keuangan dalam mengevaluasi posisi keuangan
25
dan memprediksikan aliran kas pada masa yang akan datang. Pendekatan neraca
memandang perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan dari sudut pandang
neraca, yaitu perbedaan antara saldo buku menurut komersial dan dasar pengenaan
pajaknya. Pendekatan ini mengenal istilah perbedaan temporer dan perbedaan non
temporer.
c. Net-of-Tax Method (Metode Bersih dari Pajak)
Metode ini tidak ada pajak tangguhan yang diakui. Konsekuensi pajak atas
perbedaan temporer tidak dilaporkan secara terpisah, sebaliknya diperlakukan
sebagai penyesuaian atas nilai aset atau kewajiban tertentu dan penghasilan atau
beban yang terkait. Dalam metode ini, beban pajak yang disajikan dalam laporan
laba rugi sama dengan jumlah pajak penghasilan yang terhutang menurut SPT
tahunan.
Lam dan Law (2009: 423) menyatakan bahwa :
Historically, the accounting for the deferred tax used the income statement liability method, which focused on timing differences. The balance sheet liability method instead, focuses on temporary differences. Timing differences are differences between taxable profit and accounting profit that originate in one period and reverse in one or more subsequent periods. In contrast to the timing differences derived from the income statement, temporary differences focus on the balance sheet and represent the differences between the carrying amount of an asset or liability and its tax base on the balance sheet.
Zain (2008: 193) menyatakan bahwa :
Dengan berlakunya PSAK No.46, timbul kewajiban bagi perusahaan untuk
menghitung dan mengakui pajak tangguhan (deferred taxes) atas future tax effects
dengan menggunakan pendekatan the asset and liability method, yang berbeda
dengan pendekatan “income statement liability method” yang sebelumnya lazim
digunakan oleh perusahaan dalam menghitung pajak tangguhan.
26
II.1.2.5. Pengakuan Pajak Tangguhan
Menurut PSAK No. 46 paragraf 14, semua perbedaan temporer kena pajak
diakui sebagai kewajiban pajak tangguhan, kecuali jika timbul perbedaan temporer
kena pajak yang berasal dari :
a. Goodwill yang amortisasinya tidak dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal; atau
b. Pada saat pengakuan awal aset atau kewajiban dari suatu transaksi yang :
(i) Bukan transaksi kombinasi bisnis; dan
(ii) Pada saat transaksi, tidak mempengaruhi laba akuntansi dan laba fiskal
Menurut Gunadi (2009: 303), pencatatan DTL (Deferred Tax Liability) sebagai
berikut :
Dr: DTE (Deferred Tax Expense) XXX
Cr: DTL (Deferred Tax Liability) XXX
Menurut Kieso (2011: 1015), jurnal untuk mencatat pengakuan kewajiban pajak
tangguhan dan pajak penghasilan terutang adalah
Dr: Income Tax Expense XXX
Cr: Income Tax Payable XXX
Cr: Deferred Tax Liability XXX
27
Menurut PSAK No.46 paragraf 21, aset pajak tangguhan diakui untuk seluruh
perbedaan temporer dapat dikurangkan, sepanjang kemungkinan besar perbedaan
temporer yang boleh dikurangkan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengurangi
laba fiskal pada masa depan, kecuali aset pajak tangguhan yang timbul dari :
a. Goodwill negatif yang diakui sebagai pendapatan tangguhan sesuai dengan
PSAK No. 22 tentang Akuntansi Penggabungan Usaha; atau
b. Pada saat pengakuan awal aset atau kewajiban dari suatu transaksi yang :
(i) Bukan transaksi kombinasi bisnis; dan
(ii) Pada saat transaksi, tidak mempengaruhi laba akuntansi dan laba fiskal
Menurut Gunadi (2009: 303), pencatatan DTA (Deferred Tax Asset) sebagai berikut :
Dr: DTA (Deferred Tax Asset) XXX
Cr: DTI (Deferred Tax Income) XXX
Menurut Kieso (2009: 1018), jurnal untuk mencatat pengakuan aset pajak tangguhan
dan pajak penghasilan terutang adalah
Dr: Income Tax Expense XXX
Dr: Deferred Tax Asset XXX
Cr: Income Tax Payable XXX
28
Menurut Gunadi (2009: 302), DTA terjadi apabila beda waktu menyebabkan
koreksi positif sehingga beban pajak akuntansi lebih kecil dari beban pajak fiskal,
sementara itu DTL timbul apabila beda waktu mendatangkan koreksi negatif
sehingga beban pajak akuntansi lebih besar dari beban pajak fiskal.
Di samping itu, pada paragraf 26 PSAK No.46 menjelaskan bahwa saldo rugi
fiskal yang dapat dikompensasi diakui sebagai aset pajak tangguhan apabila besar
kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa depan memadai untuk dikompensasi.
Pada paragraf 50 PSAK No.46 dijelaskan bahwa “Apabila nilai tercatat aset
atau kewajiban yang berhubungan dengan pajak penghasilan final berbeda dari DPP-
nya, maka perbedaan tersebut tidak diakui sebagai aset atau kewajiban pajak
tangguhan”. Dan berdasarkan paragraf 53, selisih antara jumlah PPh final terutang
dengan jumlah yang dibebankan sebagai pajak kini pada perhitungan laba rugi diakui
sebagai Pajak Dibayar Dimuka dan Pajak yang Masih Harus Dibayar.
II.1.2.6. Peninjauan Kembali Aset Pajak Tangguhan
PSAK No.46 paragraf 35 menyatakan bahwa sebagai berikut :
Nilai tercatat aset pajak tangguhan harus ditinjau kembali (pada tanggal neraca). Perusahaan harus menurunkan nilai tercatat tersebut, apabila laba fiskal tidak mungkin memadai, untuk mengompensasi sebagian atau semua aset pajak tangguhan. Penurunan tersebut harus disesuaikan kembali apabila besar kemungkinan laba fiskal memadai.
Selama laba kena pajak di masa mendatang diperkirakan memadai, aset pajak
tangguhan tetap dicatat pada nilai yang saat ini diakui. Jika laba kena pajak di masa
mendatang diperkirakan akan bersifat tidak memadai. Nilai aset pajak tangguhan
mengalami penurunan, proporsional terhadap penurunan laba kena pajak.
29
II.1.2.7. Pengukuran Pajak Tangguhan
Apabila jumlah perbedaan temporer pada tanggal neraca telah diketahui dengan
membandingkan antara saldo menurut pembukuan dan saldo menurut fiskal (per
SPT), maka pada tanggal neraca dapat dihitung jumlah aset pajak tangguhan
(deferred tax asset) dan kewajiban pajak tangguhan (deferred tax liability) sebagai
akibat perbedaan temporer tersebut.
Gambar II.1
Hubungan Dasar Pengenaan Pajak dan Perbedaan Temporer
Sumber : Nelson Lam dan Peter Law (2009: 431)
Menurut Zain (2008: 214), apabila taxable temporary differences dikalikan tarif
PPh (pasal 17), maka akan terdapat future tax liability yang sama dengan deferred
tax liability sedangkan apabila deductible temporary differences dikalikan tarif PPh
(pasal 17) maka terdapat future tax refundable. Jumlah future tax refundable dengan
30
hasil dari kompensasi kerugian yang dikalikan dengan tarif PPh (pasal 17)
merupakan jumlah deferred tax asset.
Apabila saldo akhir aset pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan yang
berasal dari perbedaan temporer per tanggal neraca telah diketahui, maka dengan
membandingkannya dengan saldo awal, dapat diketahui perubahan aset pajak
tanguhan dan kewajiban pajak tangguhan. Menurut Kieso (2011:1015), jika terjadi
kenaikan kewajiban pajak tangguhan diakui sebagai beban pajak tangguhan dan
sebaliknya sedangkan jika terjadi kenaikan aset pajak tangguhan diakui sebagai
penghasilan pajak tangguhan. Beban pajak tangguhan atau penghasilan pajak
tangguhan yang harus diperhitungkan dalam laporan laba rugi periode berjalan.
Dalam mengakui aset dan kewajiban pajak tangguhan, perusahaan diharuskan
untuk menggunakan tarif pajak yang sesuai untuk mengukur jumlah aset dan
kewajiban pajak tangguhan, serta mempertimbangkan isu-isu tentang diskonto.
1. Tarif Pajak
Berdasarkan PSAK No.46 paragraf 29, aset atau kewajiban pajak kini diakui
sebesar jumlah pajak terutang, yang dihitung dengan menggunakan tarif pajak yang
berlaku. Dan pada paragraf 30 menyatakan bahwa aset atau kewajiban pajak
tangguhan diukur menggunakan tarif pajak yang berlaku pada saat aset dipulihkan
atau kewajiban dilunasi. Perubahan tarif pajak penghasilan maupun perubahan
ketentuan perpajakan dapat mempengaruhi realisasi atau penyelesaian aset pajak
tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan. Oleh karena itu, dalam paragraf 39
dinyatakan bahwa apabila terdapat perubahan tarif pajak penghasilan atau perubahan
31
ketentuan perpajakan yang secara substansial telah berlaku maka jumlah aset pajak
tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan harus merefleksikan perubahan tersebut.
2. Diskonto
Berdasarkan PSAK No.46, aset dan kewajiban pajak tangguhan tidak boleh
didiskontokan. Lam et al (2009: 450) menyatakan bahwa “since it is impracticable
or highly complex to have such detailed scheduling of the timing of the reversal of
each temporary difference, it is inappropriate to require discounting of deferred tax
asets and liabilities”. Penentuan yang andal untuk aset dan kewajiban pajak
tangguhan atas basis terdiskonto membutuhkan perincian jadwal waktu pemulihan
setiap perbedaan temporer. Namun penjadwalan seperti itu tidak dapat diterapkan
atau sangat kompleks.
Gambar II.2
Perhitungan Pajak Tangguhan dengan Pendekatan Neraca atau (Balance Sheet
Liability Method)
32
Sumber : Seminar PSAK No.46 Memahami dengan Mudah Konsep dan
Penghitungan Pajak Tangguhan oleh Suluh Prima Target
Gambar II.3
Perhitungan Pajak Tangguhan dengan Pendekatan Laba Rugi ( Income
Statement Liability Method)
Sumber : Seminar PSAK No.46 Memahami dengan Mudah Konsep dan
Penghitungan Pajak Tangguhan oleh Suluh Prima Target
II.1.2.8. Direct Charge atau Credit to Equity
Berdasarkan PSAK No.46 paragraf 41, pembebanan atau pengkreditannya tidak
dilakukan ke laporan laba rugi tetapi langsung ke ekuitas untuk transaksi tertentu.
Contohnya yaitu perubahan nilai tercatat akun aset tetap yang berasal dari revaluasi
atau penilaian kembali, penyesuaian pada saldo awal dari saldo laba yang dihasilkan
dari perubahan akuntansi yang diterapkan secara retrospektif atau perbaikan
kesalahan, dan selisih kurs karena penjabaran laporan keuangan suatu entitas asing.
Karena langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas, maka apabila ada pajak
kini dan pajak tangguhan yang terkait harus dikreditkan atau dibebankan ke ekuitas.
33
II.1.2.9. Penyajian Pajak Tangguhan
1. Aset Pajak dan Kewajiban Pajak
PSAK No.46 paragraf 45 menyatakan bahwa, “Aset pajak dan kewajiban pajak
harus disajikan terpisah dari aset dan kewajiban lainnya dalam neraca. Aset pajak
tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan harus dibedakan dari aset pajak kini dan
kewajiban pajak kini”. Dan pada paragraf 46 disebutkan bahwa “apabila dalam
laporan keuangan suatu perusahaan, aset dan kewajiban lancar disajikan terpisah dari
aset dan kewajiban tidak lancar, maka aset (kewajiban) pajak tangguhan tidak boleh
disajikan sebagai aset (kewajiban) lancar.”
2. Saling Hapus
Berdasarkan PSAK No.46 paragraf 47, aset pajak kini harus dikompensasi
(offset) dengan kewajiban pajak kini dan jumlah netonya harus disajikan pada neraca.
3. Beban Pajak
Berdasarkan PSAK No.46 paragraf 08, beban pajak (penghasilan pajak) terdiri
atas beban pajak kini (penghasilan pajak kini) dan beban pajak tangguhan
(penghasilan pajak tangguhan). Dan pada paragraf 48 disebutkan bahwa beban
(penghasilan) pajak yang berhubungan dengan laba atau rugi dari aktivitas normal
harus disajikan tersendiri pada laporan laba rugi.
4. Selisih Kurs dari Penjabaran Aset atau Kewajiban Pajak Tangguhan yang
Berasal dari Luar Negeri
Berdasarkan PSAK No. 46 paragraf 49, selisih kurs dari penjabaran aset atau
kewajiban pajak tangguhan yang berasal dari penjabaran laporan keuangan entitas
34
asing boleh dikelompokkan ke beban (penghasilan) pajak tangguhan, jika penyajian
seperti itu dianggap paling bermanfaat untuk pengguna laporan keuangan.
II.1.2.10. Pengungkapan
Berdasarkan PSAK No.46 paragraf 57, unsur-unsur beban (penghasilan) pajak
meliputi :
a. Beban (penghasilan) pajak kini;
b. Penyesuaian yang diakui pada periode berjalan atas pajak kini yang berasal dari
periode sebelumnya;
c. Beban (penghasilan) pajak tangguhan akibat perbedaan temporer;
d. Beban (penghasilan) pajak tangguhan akibat perubahan tarif atau penerapan
ketentuan perpajakan yang baru;
e. Manfaat akibat rugi fiskal atau perbedaan temporer periode sebelumnya yang
belum diakui, yang digunakan sebagai pengurang beban pajak kini;
f. Manfaat akibat rugi fiskal atau perbedaan temporer periode sebelumnya yang
belum diakui, yang digunakan sebagai pengurang beban pajak tangguhan;
g. Beban pajak tangguhan akibat dari penurunan (write down), atau penyesuaian
kembali penurunan periode sebelumnya dari aset pajak tangguhan;
Menurut PSAK No.46 paragraf 56 menyatakan bahwa, hal-hal yang harus
diungkapkan adalah :
a. Unsur-unsur utama beban (penghasilan) pajak;
35
b. Jumlah pajak kini dan pajak tangguhan berkaitan dengan transaksi-transaksi yang
langsung dibebankan atau dikreditkan langsung ke ekuitas;
c. Beban (penghasilan) pajak yang berasal dari pos-pos luar biasa yang diakui pada
periode berjalan;
d. Penjelasan hubungan antara beban (penghasilan) pajak dengan laba akuntansi
- Rekonsiliasi angka antara beban (penghasilan) pajak dengan hasil perkalian
laba akuntansi dan tarif pajak yang berlaku; atau
- Rekonsiliasi angka antara tarif pajak efektif rata-rata dan tarif pajak yang
berlaku, dengan mengungkapkan dasar perhitungan tarif pajak yang berlaku,
dengan mengungkapkan dasar penghitungan tarif pajak yang berlaku;
e. Penjelasan mengenai perubahan tarif pajak yang berlaku dan perbandingan
dengan tarif pajak yang berlaku pada periode akuntansi sebelumnya;
f. Jumlah (dan batas waktu penggunaan, jika ada) perbedaan temporer yang boleh
dikurangkan, sisa rugi yang dapat dikompensasi ke tahun berikut, yang tidak
diakui sebagai aset pajak tangguhan pada neraca;
g. Untuk setiap kelompok perbedaan temporer, dan untuk setiap kelompok rugi
pajak yang dapat dikompensasi ke tahun berikut :
- Jumlah aset dan kewajiban pajak tangguhan yang diakui pada neraca selama
periode penyajian;
- Jumlah beban (penghasilan) pajak tangguhan yang diakui pada laba rugi,
apabila jumlah tersebut tidak terlihat dari perubahan jumlah aset atau
kewajiban pajak tangguhan yang diakui neraca; dan
36
h. Berkenaan dengan operasi yang dihentikan, beban pajak terkait pada :
- Keuntungan atau kerugian atas penghentian operasi; dan
- Laba atau rugi dari aktivitas normal atas operasi yang dihentikan untuk periode
pelaporan, bersamaan dengan jumlah periode akuntansi sebelumnya yang
disajikan pada laporan keuangan;
37
Gambar II.4
Skema Keterkaitan antara Perbedaan Temporer dan Aset (Kewajiban) Pajak
tangguhan
Sumber : Agoes, Sukrisno dan Estralita Trisnawati (2007: 200)
38
II.1.3. Perbedaan Temporer
Menurut Zain (2008: 213), perbedaan temporer terjadi karena berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan merupakan penghasilan atau
biaya yang boleh dikurangkan pada periode akuntansi terdahulu atau periode
akuntansi berikutnya dari periode akuntansi sekarang. Sementara itu, komersial
mengakuinya sebagai penghasilan atau biaya pada periode yang bersangkutan.
Berikut adalah contoh akun yang menimbulkan perbedaan temporer :
II.1.3.1. Aset Tetap dan Penyusutannya
Aspek Akuntansi :
Semua aset tetap yang dimiliki oleh entitas harus disusutkan secara sistematis
selama umur manfaatnya. Penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk
digunakan. Biaya perbaikan yang dikapitalisir disusutkan sesuai masa manfaat yang
ditinjau ulang. Estimasi umur manfaat suatu aset merupakan hal yang membutuhkan
pertimbangan berdasarkan pengalaman entitas terhadap aset yang serupa. Nilai
residu dan umur manfaat setiap aset tetap di review minimum setiap akhir tahun
buku dan apabila ternyata hasil review berbeda dengan estimasi sebelumnya maka
perbedaan tersebut diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai PSAK
No. 25 (revisi 2009).
Metode penyusutan yang digunakan antara lain metode garis lurus (straight line
method), metode saldo menurun (diminishing balance method) dan metode jumlah
unit (sum of the unit method). Metode penyusutan yang digunakan harus
mencerminkan ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomis masa depan atas aset
oleh entitas dan harus direview minimum setiap akhir tahun buku. Jika besaran nilai
39
perolehan suatu aset tidak material, maka tidak termasuk dapat dikelompokkan
sebagai aset tetap. Biaya perolehan aset tersebut tidak dapat dikapitalisasikan tetapi
sekaligus dikurangkan sebagai biaya. Setiap periode entitas mengakui beban
penyusutan dalam laporan laba rugi.
Aspek Perpajakan :
Aset tetap yang diakui penyusutan menurut pajak hanyalah aset tetap yang
dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
Penyusutan aset tetap dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran. Masa manfaat
serta metode penyusutan yang digunakan telah ditetapkan dalam UU PPh No. 36
Tahun 2008 pasal 11. Dalam perpajakan tidak mengenal prinsip materialitas untuk
besaran nilai perolehan aset tetap. Untuk biaya perbaikan yang dikapitalisir harus
disusutkan tersendiri terpisah dari aset lamanya.
Di samping itu berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002
mengatur bahwa khusus kendaraan dan handphone yang dimiliki dan digunakan oleh
perusahaan tetapi diberikan kepada karyawan tertentu karena pekerjaan atau
jabatannya, penyusutannya hanya boleh dibebankan sebagai biaya fiskal sebesar 50%.
Artinya sebesar 50% lainnya merupakan non-deductible expense karena dianggap
sebagai pemberian fasilitas atau kenikmatan untuk karyawan.
Perbedaan Temporer :
Dampak beban penyusutan terhadap pajak tangguhan dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Seluruh beban penyusutan yang timbul akan mempengaruhi pajak tangguhan
karena 100% merupakan perbedaan temporer. Misalnya beban penyusutan dari
mesin-mesin yang dipergunakan dalam kegiatan produksi.
40
2. Hanya 50% beban penyusutan yang berpengaruh pada pajak tangguhan karena
50% lainnya merupakan perbedaan permanen. Perbedaan temporer yang timbul
hanya sebesar 50% biaya penyusutan. Aset tersebut adalah berupa kendaraan dan
handphone yang dimiliki dan digunakan oleh perusahaan untuk karyawan karena
pekerjaan atau jabatannya.
3. Semua beban penyusutan yang timbul tidak berpengaruh pada pajak tangguhan
karena beban penyusutan tersebut dianggap sebagai perbedaan permanen. Aset
tersebut adalah aset tetap yang tidak boleh disusutkan atau beban penyusutannya
tidak diakui secara fiskal. Misalnya villa perusahaan.
II.1.3.2. Cadangan Piutang Tak Tertagih
Aspek Akuntansi :
Berdasarkan PSAK No. 55 (Revisi 2011) paragraf 45, aset keuangan
diklasifikasikan ke dalam empat kategori untuk tujuan pengukuran nilai aset
keuangan setelah pengakuan awal yaitu
- Aset keuangan yang ditetapkan untuk diukur pada nilai wajar melalui laporan
laba rugi;
- Investasi dimiliki hingga jatuh tempo;
- Pinjaman yang diberikan atau piutang; dan
- Aset keuangan tersedia untuk dijual
Kriteria aset keuangan dikelompokkan sebagai pinjaman yang diberikan atau piutang
adalah
41
- Merupakan aset keuangan non derivatif
- Pembayaran tetap/ telah ditentukan
- Tidak mempunyai kuotasi di pasar aktif
- Jatuh tempo telah ditetapkan
- Entitas mempunyai maksud dan kemampuan untuk memiliki hingga jatuh tempo
Pada saat pengakuan awal, pinjaman yang diberikan dan piutang diakui pada
nilai wajarnya ditambah biaya transaksi dan selanjutnya diukur pada biaya perolehan
diamortisasi dengan menggunakan metode suku bunga efektif. Jika terdapat bukti
objektif bahwa kerugian penurunan nilai telah terjadi atas pinjaman yang diberikan
dan piutang, maka jumlah kerugian tersebut diukur sebagai selisih antara nilai
tercatat aset dengan nilai kini estimasi arus kas masa depan (tidak termasuk kerugian
kredit di masa depan yang belum terjadi) yang didiskonto menggunakan suku bunga
efektif awal dari aset tersebut (yaitu suku bunga efektif yang dihitung pada saat
pengakuan awal). Nilai tercatat aset tersebut dikurangi, baik secara langsung maupun
menggunakan pos cadangan. Jumlah kerugian yang terjadi diakui pada laba rugi.
Jika pada periode berikutnya, jumlah kerugian penurunan nilai berkurang dan
pengurangan tersebut dapat dikaitkan secara objektif pada peristiwa yang terjadi
setelah penurunan nilai diakui (seperti meningkatnya peringkat kredit debitur), maka
kerugian penurunan nilai yang sebelumnya diakui harus dipulihkan, baik secara
langsung, atau dengan menyesuaikan pos cadangan. Pemulihan tersebut tidak boleh
mengakibatkan nilai tercatat aset keuangan melebihi biaya perolehan diamortisasi
sebelum adanya pengakuan penurunan nilai pada tanggal pemulihan dilakukan.
Jumlah pemulihan aset keuangan diakui pada laporan laba rugi.
42
Aspek Perpajakan :
Di dalam ketentuan akuntansi, pembentukan cadangan piutang tak tertagih
tersebut diperkenankan sebagai beban. Namun menurut UU PPh No. 36 Tahun 2008,
pembentukan cadangan beban hanya diperkenankan untuk bidang usaha tertentu saja.
Hal ini sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) huruf c UU PPh yaitu :
“untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
a. ………..dst;
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak
tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk
usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang
ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 81/PMK.03/2009.”
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 , piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan bruto sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba/ rugi komersial;
b. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak;
c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut Telah diserahkan perkara
penagihan kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani
piutang Negara atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan
43
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-
nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
Perbedaan Temporer :
Pada prinsip akuntansi maupun pajak mengakui adanya beban atau kerugian
penghapusan piutang tak tertagih. Tetapi sudut pandang Pajak Penghasilan, semua
piutang masih bersifat potensial untuk ditagih, sampai nyata-nyata tidak tertagih dan
benar-benar dihapuskan dari pembukuan wajib pajak. Sepanjang piutang tersebut
hanya sebatas dicadangkan untuk tidak tertagih, maka beban piutang tak tertagih
tersebut hanya merupakan cadangan dan merupakan beda waktu yang mempengaruhi
besarnya pajak tahun berjalan dan pajak tangguhan.
II.1.3.3. Imbalan Kerja
Aspek Akuntansi :
Berdasarkan PSAK No. 24 (Revisi 2010), imbalan kerja mencakup :
a. Imbalan kerja jangka pendek, seperti upah, gaji, iuran jaminan sosial, cuti
tahunan, cuti sakit, bagi laba dan bonus, dan imbalan non-moneter (seperti
imbalan kesehatan, rumah, mobil, dan barang atau jasa yang diberikan secara
cuma-cuma atau melebihi subsidi) untuk pekerja.
b. Imbalan pasca kerja, seperti pensiun, imbalan pensiun lainnya, asuransi jiwa
pasca kerja dan imbalan kesehatan pasca kerja;
44
Program imbalan pasca kerja dapt diklasifikasikan sebagai :
- Program iuran pasti
Untuk program iuran pasti tidak diperlukan asumsi aktuarial untuk mengukur
kewajiban atau beban dan tidak ada kemungkinan keuntungan atau kerugian
aktuarial.
- Program imbalan pasti
Akuntansi untuk program imbalan pasti sangat kompleks karena disyaratkan
adanya asumsi aktuarial untuk mengukur kewajiban dan beban dan
menimbulkan kemungkinan adanya keuntungan dan kerugian aktuarial.
c. Imbalan kerja jangka panjang lainnya, termasuk cuti besar, cuti hari raya,
penghargaan masa kerja atau imbalan jasa jangka panjang lainnya, imbalan cacat
permanen, dan jika terutang seluruhnya dalam waktu 12 bulan setelah akhir
periode pelaporan, bagi laba, bonus, dan kompensasi yang ditangguhkan; dan
d. Pesangon pemutusan kontrak kerja (PKK)
Setiap tahun perusahaan membentuk biaya cadangan untuk mengakui
kewajiban imbalan pasca kerja untuk pekerja yang telah memberikan jasanya dan
berhak memperoleh imbalan kerja yang akan dibayarkan di masa depan. Perhitungan
nilai imbalan pasca kerja menyangkut judgement aktuarial yang cukup rumit
sehingga dibutuhkan aktuaris agar lebih praktis. Aktuaris adalah seseorang yang
terlatih untuk memperkirakan kejadian-kejadian di masa yang akan datang dan
pengaruh-pengaruh keuangannya. Perhitungan kewajiban tersebut menggunakan
asumsi-asumsi aktuarial dan metode penilaian aktuarial. Asumsi aktuarial
45
berhubungan dengan tingkat diskonto, tingkat mortalitas, tingkat perputaran pekerja,
tingkat gaji, dan lain-lain. Sedangkan metode penilaian aktuarial menggunakan
projected unit credit.
Aspek Perpajakan :
Berdasarkan UU PPh pasal 9, pembentukan dana cadangan tidak boleh
dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak kecuali untuk
usaha bidang tertentu. Biaya dapat diakui sebagai pengurang dalam menentukan
Penghasilan Kena Pajak jika sudah terealisasi.
Perbedaan Temporer :
Biaya imbalan pasca kerja yang dibebankan menurut akuntansi masih berupa
estimasi. Sedangkan menurut pajak, biaya yang dapat dikurangkan hanya sejumlah
yang benar-benar telah terealisasi. Sehingga timbul beda temporer karena pajak juga
memperbolehkan biaya tersebut sebagai pengurang dalam menentukan Penghasilan
Kena Pajak tetapi hanya masalah waktu dalam membebankannya saja yang berbeda.
II.1.3.4. Beban yang Masih Harus Dibayar (Accrued Expense)
Aspek Akuntansi :
Akuntansi menganut basis akrual yaitu transaksi akan dicatat jika secara
ekonomi telah terjadi, tanpa harus menunggu kas diterima atau dibayarkan.
Weygandt, Kimmel, dan Kieso (2011:100) mendefinisikan beban yang masih harus
dibayar sebagai berikut:
“expenses incurred but not yet paid in cash or recorded”.
46
Beban yang masih harus dibayar (Accrued Expense) telah diakui sebagai beban
karena perusahaan telah menikmati jasa yang diterima walaupun tetapi pembayaran
belum dilaksanakan.
Aspek Perpajakan:
Menurut Suandi (2011:131), akuntansi dasar pembukuan yang diakui oleh
Direktorat Jenderal Pajak adalah basis kas yang dimodifikasi (modified cash basis).
Basis kas yang dimodifikasi dalam rangka menghitung PPh Badan sebagai berikut :
1. Penghitungan jumlah penjualan dalam rangka suatu peride harus meliputi
seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang nontunai;
2. Biaya-biaya yang boleh dibebankan adalah biaya-biaya yang telah dibayarkan;
3. Dalam perolehan harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat
diamortisasi, biaya yang boleh dibebankan hanya dapat dilakukan melalui
penyusutan dan amortisasi.
Perbedaan Temporer :
Perbedaan basis yang digunakan antara akuntansi dan fiskal mengakibatkan
munculnya perbedaan temporer pada akun beban yang masih harus dibayar. Hal ini
disebabkan karena akuntansi sudah mencatat transaksi tersebut sebagai beban,
namun pajak belum mengakuinya karena belum dibayarkan. Nilai biaya yang masih
harus dibayar akan menghasilkan jumlah yang dapat dikurangkan dalam tahun-tahun
mendatang ketika kewajiban itu diselesaikan. Dalam rekonsiliasi fiskal harus
dilakukan koreksi positif atas beban yang masih harus dibayar.
47
II.1.3.5 Pendapatan Diterima Dimuka (Unearned Revenue)
Aspek Akuntansi :
Weygandt et al. menyatakan definisi pendapatan diterima dimuka sebagai
berikut:
“cash received and recorded as liabilities before revenue is earned”.
Suatu kewajiban diakui atas pembayaran di muka untuk barang atau jasa yang belum
diberikan dan penerimaan tersebut baru akan diakui sebagai pendapatan setelah
barang atau jasa tersebut sudah diberikan.
Aspek Perpajakan:
Untuk tujuan pajak, pembayaran di muka ini dimasukkan dalam laba kena pajak pada
saat diterimanya kas.
Perbedaan Temporer :
Akun pendapatan diterima dimuka menimbulkan beda temporer karena
menggunakan basis yang tidak sama antara akuntansi dan fiskal. Akuntansi
menganut basis akrual sedangkan fiskal menganut basis kas yang dimodifikasi.
Dalam melakukan rekonsiliasi fiskal harus dikoreksi positif atas pendapatan diterima
dimuka.
48
II.2. Kerangka Pemikiran
Gambar II.5
Kerangka Pemikiran