Upload
ngodiep
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sampah dan Jenis Sampah
Sejumlah literatur mendefinisikan sampah sebagai semua jenis limbah
berbentuk padat yang berasal dari kegiatan manusia dan hewan, dan dibuang
karena tidak bermanfaat atau tidak diinginkan lagi kehadirannya (Tchobanoglous,
et al., 1993 dalam Kementerian Pekerjaan Umum, 2011). Dalam PP No. 18/1999
dan PP No. 85/1999 tentang pengelolaan limbah berbahaya dan beracun, secara
umum limbah didefinisikan sebagai bahan sisa pada suatu kegiatan dan/atau
proses produksi (Kementerian Pekerjaan Umum, 2011). Menurut Pusat Penelitian
Pengembangan Permukiman (Puskim) (2001), sampah merupakan suatu bahan
buangan yang bersifat padat, cair, maupun gas yang sudah tidak memenuhi
persyaratan, tidak dikehendaki, dan merupakan hasil sampingan dari kehidupan
sehari-hari. Definisi sampah terlihat lebih sederhana seperti yang tertuang dalam
UU Nomor 18 tahun 2008 yang menyatakan bahwa sampah adalah sisa kegiatan
sehari-hari manusia dan/atau proses yang berbentuk padat.
Selanjutnya, Hadiwiyoto (1983) mengungkapkan ciri-ciri dari sampah
adalah: (1) merupakan bahan sisa, baik bahan-bahan yang sudah tidak digunakan
lagi (barang bekas) maupun bahan yang sudah tidak diambil bagian utamanya; (2)
merupakan bahan yang sudah tidak ada harganya; (3) bahan buangan yang tidak
berguna dan banyak menimbulkan masalah pencemaran dan gangguan pada
kelestarian lingkungan.
Sampah dapat digolongkan kedalam beberapa kategori, menurut jenis
sampah dibagi menjadi: sampah organik seperti daun dan lain-lain, sampah
plastik, sampah kertas dan kelompok logam serta kayu (Soekarman, 1983).
Sedangkan, menurut Syahrul dan Ollich (1985) sampah dapat digolongkan
kedalam beberapa kategori, diantaranya berdasarkan sumbernya, yaitu : (1)
sampah hasil aktifitas rumah tangga termasuk dari asrama, rumah sakit, hotel-
hotel dan kantor; (2) sampah hasil kegiatan industri dan pabrik; (3) sampah hasil
kegiatan pertanian meliputi perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan
yang sering juga disebut sebagai limbah pertanian; (4) sampah hasil kegiatan
6
perdagangan, misalnya pasar dan pertokoan; (5) sampah dari hasil kegiatan
pembangunan; dan (6) sampah dari sekitar jalan raya.
Selanjutnya kategorisasi lain yang ditetapkan oleh WHO membagi sampah
berdasarkan sumber penghasilan, yaitu : (1) sampah rumah tangga (domestic
wastes); (2) sampah pasar (commercial wastes); (3) sampah binatang dan
pertanian (agricultural and animal wastes); dan (4) sampah pertambangan
(mining wastes) (WHO, 1971 dalam Syahrul dan Ollich, 1985).
2.2 Dampak Sampah Terhadap Manusia dan Lingkungan
Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah dapat menimbulkan gangguan
keseimbangan lingkungan dan kesehatan. Gangguan itu yaitu: (1) pencemaran
udara dan bau yang tidak sedap; (2) sampah bertumpuk-tumpuk dapat
menimbulkan kondisi physicochemis yang dapat mengakibatkan kenaikan suhu
dan perubahan pH; (3) kekurangan oksigen pada daerah pembuangan sampah; (4)
gas-gas yang dihasilkan selama dekomposisi sampah dapat membahayakan
kesehatan dan kadang-kadang beracun dan dapat mematikan, (5) penularan
penyakit yang ditimbulkan oleh sampah; dan (6) secara estetika pemandangan
yang tidak nyaman untuk dinikmati.
Sampah secara umum dapat menimbulkan pencemaran baik udara, air,
maupun tanah. Pencemaran pada tanah terutama adalah pencemaran terhadap air
permukaan dan air dalam tanah yang sangat membahayakan bagi kesehatan
manusia. Disamping itu, pencemaran bahan kimia dapat menimbulkan kerusakan
tanah sehingga mempengaruhi kegunaan sumberdaya tersebut (Miner et al.,
2000).
Menurut Sirodjuddin (2008), efek sampah terhadap manusia dan
lingkungan adalah:
1. Dampak terhadap kesehatan
Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah: (a) penyakit
diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah
dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum, penyakit demam
berdarah (haemorhagic fever) dapat juga meningkat dengan cepat di daerah yang
pengelolaan sampahnya kurang memadai; (b) penyakit jamur dapat juga menyebar
7
(misalnya jamur kulit); (c) penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan,
salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita
(taenia), cacing ini sebelumnya masuk ke dalam pencernaan binatang ternak
melalui makanannya yang berupa sisa makanan atau sampah; (d) sampah beracun,
seperti yang terjadi di Jepang kira-kira 40.000 orang meninggal akibat
mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa (Hg). Raksa ini berasal
dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang memproduksi baterai dan
akumulator.
2. Dampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi
Potensi bahaya sampah terhadap keadaan sosial dan ekonomi yang dapat
ditimbulkan adalah: (a) membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi
masyarakat, bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah
bertebaran dimana-mana; (b) memberikan dampak negatif terhadap
kepariwisataan; (c) menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Hal
penting di sini adalah meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk
mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja,
rendahnya produktivitas); (d) pembuangan sampah padat ke badan air dapat
menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum
seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain; (e) infrastruktur lain dapat juga
dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak memadai, seperti tingginya
biaya yang diperlukan untuk pengolahan air.
3. Dampak terhadap kualitas udara dan air
Macam pencemaran udara yang ditimbulkannya misalnya mengeluarkan
bau yang tidak sedap, debu gas-gas beracun. Pembakaran sampah dapat
meningkatkan karbonmonoksida (CO), karbondioksida (CO2) nitrogen-monoksida
(NO), gas belerang, amoniak dan asap di udara. Macam pencemaran perairan
yang ditimbulkan oleh sampah misalnya terjadinya perubahan warna dan bau pada
air sungai, penyebaran bahan kimia dan mikroorganisme yang terbawa air hujan
dan meresapnya bahan-bahan berbahaya sehingga mencemari sumur dan sumber
air. Bahan-bahan pencemar yang masuk kedalam air tanah dapat muncul ke
permukaan tanah melalui air sumur penduduk dan mata air. Jika bahan pencemar
itu berupa B3 (bahan berbahaya dan beracun) misalnya air raksa (merkuri),
8
chrom, timbale, cadmium, maka akan berbahaya bagi manusia, karena dapat
menyebabkan gangguan pada syaraf, cacat pada bayi, kerusakan sel-sel hati atau
ginjal.
2.3 Teknologi dan Pengelolaan Sampah
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2011), pengelolaan sampah
adalah semua kegiatan yang bersangkut paut dengan pengendalian timbulnya
sampah, pengumpulan, transfer dan transportasi, pengolahan dan pemrosesan
akhir/pembuangan sampah, dengan mempertimbangkan faktor kesehatan
lingkungan, ekonomi, teknologi, konservasi, estetika, dan faktor-faktor
lingkungan lainnya yang erat kaitannya dengan respon masyarakat.
Menurut UU No 18 Tahun 2008, pengelolaan sampah didefinisikan
sebagai kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang
meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Kegiatan pengurangan meliputi :
(a) pembatasan timbulan sampah; (b) pendauran ulang sampah; dan/atau (c)
pemanfaatan kembali sampah. Kegiatan penanganan meliputi: (a) pemilahan
dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah,
dan/atau sifat sampah; (b) pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan
pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara
(TPS) atau tempat pengolahan sampah 3R skala kawasan (TPS 3R), atau tempat
pengolahan sampah terpadu; (c) pengangkutan dalam bentuk membawa sampah
dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari
tempat pengolahan sampah 3R terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir (TPA)
atau tempat pengolahan sampah terpadu (TPST); (d) pengolahan dalam bentuk
mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah; dan/atau (e) pemrosesan
akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil
pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman (Kementerian
Pekerjaan Umum, 2011). Faktor - faktor dalam pengelolaan sampah disajikan
pada Gambar 1, sedangkan pola operasional penanganan TPA disajikan pada
Gambar 2.
9
Gambar 1. Faktor-Faktor dalam Pengelolaan Sampah (Tchobanoglous et al., 1993 dalam Kementerian Pekerjaan Umum, 2011)
Gambar 2. Pola Operasional Penanganan TPA
(Kementerian Pekerjaan Umum, 2011)
Menurut Darmasetiawan (2004), pembuangan sampah di Indonesia
mengalami beberapa tahapan perkembangan metode dalam pelaksanaannya yaitu:
(1). Open dumping
Cara ini dilakukan di hampir seluruh perkotaan di Indonesia sampai akhir
tahun 70-an. Penerapan cara ini umumnya dikarenakan alasan keterbatasan
sumber daya baik kemampuan teknis manusia maupun kemampuan pendanaan.
Cara pembuangan secara open dumping banyak menimbulkan masalah
Penanganan: pemisahan, penyimpanan, dan prosesing
di tempat
Pengumpulan
Pemisahan, prosesing, dan transformasi
Transfer dan transpor
Pemrosesan Akhir
Penimbulan
10
pencemaran dan gangguan lingkungan seperti: perkembangan vektor penyakit
berupa lalat dan tikus, polusi udara oleh debu, bau dan gas yang dihasilkan, polusi
air akibat banyaknya lindi (cairan sampah) yang timbul dan meresap kedalam
tanah, estetika lingkungan yang buruk karena pemandangan yang kotor. Skema
TPA dengan sistem open dumping disajikan pada Gambar 3.
(2). Controlled landfill
Pada awal tahun 80-an dikenal metode controlled landfill. Metode ini
merupakan peningkatan dari open dumping dimana secara periodik sampah yang
telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk mengurangi potensi gangguan
lingkungan yang ditimbulkan. Skema TPA dengan sistem controlled landfill
disajikan pada Gambar 4.
Gambar 3. Perspektif TPA Secara Open Dumping (Darmasetiawan, 2004)
Gambar 4. Perspektif TPA Secara Controlled Landfill (Darmasetiawan, 2004)
Berdasarkan SNI T-11-1991-03 dalam Basyarat (2006), ada beberapa
metode pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Jenis
pengolahan sampah di TPA perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi lokasi,
pembiayaan, teknologi, dan keamanannya. Berbagai cara pengelolaan sampah di
TPA, yaitu open dumping, controlled landfill dan sanitary landfill.
11
1. Lahan urug terbuka atau open dumping (tidak dianjurkan), dalam hal
pengelolaan ini sampah hanya dibuang atau ditimbun disuatu tempat tanpa
dilakukan penutupan dengan tanah sehingga dapat menimbulkan gangguan
terhadap lingkungan seperti perkembangan vektor penyakit, bau, pencemaran
air permukaan dan air tanah serta rentan terhadap bahaya kebakaran dan
longsor. Open dumping menggunakan pola menghamparkan sampah di lahan
terbuka tanpa dilakukan penutupan lagi dengan tanah. Metoda open dumping
dapat menimbulkan keresahan terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya,
selain juga telah mengganggu keindahan kota.
2. Penimbunan terkendali (controlled landfill), merupakan teknologi peralihan
antara open dumping dengan sanitary landfill. Pada metode controlled landfill
dilakukan penutupan sampah dengan lapisan tanah secara berkala.
3. Lahan urug saniter (sanitary landfill), pada metode ini sampah di TPA ditutup
dengan lapisan tanah setiap hari sehingga pengaruh sampah terhadap
lingkungan akan sangat kecil. Sanitary landfill Ini merupakan salah satu
metoda pengolahan sampah terkontrol dengan sistem sanitasi yang baik.
Sampah dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Kemudian sampah
dipadatkan dengan traktor dan selanjutnya di tutup tanah. Cara ini akan
menghilangkan polusi udara. Pada bagian dasar tempat tersebut dilengkapi
sistem saluran leachate yang berfungsi sebagai saluran limbah cair sampah
yang harus diolah terlebih dulu sebelum dibuang ke sungai atau ke
lingkungan. Di sanitary landfill tersebut juga dipasang pipa gas untuk
mengalirkan gas hasil aktivitas penguraian sampah. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam sanitary landfill, yaitu:
• Semua landfill adalah warisan bagi generasi mendatang
• Memerlukan lahan yang luas
• Penyediaan dan pemilihan lokasi pembuangan harus memperhatikan
dampak lingkungan
• Aspek sosial harus mendapat perhatian
• Harus dipersiapkan instalasi drainase dan sistem pengumpulan gas
• Kebocoran ke dalam sumber air tidak dapat ditolerir (kontaminasi dengan
zat-zat beracun)
12
• Memerlukan pemantauan yang terus menerus
4. Lahan urug saniter yang dikembangkan (improved sanitary landfill). Salah
satu pengembangan dari motode sanitary landfill adalah model Reusable
Sanitary Landfill (RSL). RSL merupakan teknologi penyempurna sistem
pembuangan sampah yang berkesinambungan dengan menggunakan metode
supply ruang penampungan sampah padat. RSL diyakini dapat mengontrol
emisi liquid, atau air rembesan sampai dengan tidak mencemari air tanah. Cara
kerjanya, sampah ditumpuk dalam satu lahan. Lahan tempat sampah
dipadatkan, lahan tersebut dikatakan sebagai ground liner. Ground liner
dilapisi dengan geomembran, lapisan ini yang akan menahan meresapnya air
lindi ke dalam tanah dan mencemari air tanah. Bagian atas lapisan
geomembran dilapisi lagi dengan geo-textile yang gunanaya menahan kotoran
sehingga tidak bercampur dengan air lindi. Secara berkala air lindi
dikeringkan. Untuk menyerap panas dan membantu pembusukan, sampah
yang telah dipadatkan ditutup menggunakan lapisan geo-membran untuk
mencegah menyebarnya gas metan.
Krisnandar (2007) mengemukakan bahwa yang diperlukan dalam
penyelesaian masalah yang dilakukan secara sistematis dan terintegrasi dalam
menangani sampah di Indonesia yakni dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan, dalam hal ini tidak hanya berpangku pada pemerintahnya. Beberapa
langkah yang bisa diambil adalah: (1) mengurangi timbunan sampah dengan
konsep 3R (reduce/mengurangi jumlah sampah, reuse/menggunakan kembali
sampah yang masih bisa digunakan, recycle/mendaur ulang sampah agar bisa
dimanfaatkan kembali); (2) peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha;
(3) peningkatan pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah seperti
regionalisasi pengelolaan sampah khususnya kota-kota besar; (4) pengembangan
teknologi baru dan tepat guna yang masih terjangkau oleh masyarakat dan dunia
usaha; (5) perbaikan sturktur kelembagaan dan peningkatan profesionalisme
pengelola sampah; (6) peningkatan kampanye hidup bersih dan sehat.
Beberapa pendekatan teknologi pengelolaan sampah, dikemukakan oleh
Tusy (1999) dalam Basyarat (2006), yaitu:
13
1. Penanganan sampah terintegrasi (integrated solid waste management),
dilakukan melalui hirarki pengelolaan sebagai berikut:
a. Pengurangan sampah pada sumbernya (source reduction). Tahap ini
meliputi pengurangan jumlah atau toksisitas sampah, hal ini sangat efektif
dalam mengurangi kuantitas sampah, biaya penanganan, serta dampak
terhadap lingkungan yang dilakukan melalui perancangan dan fabrikasi
bahan pengemas produk dengan kandungan toksisitas yang rendah,
volume bahan yang minimum serta tahan lama.
b. Daur ulang sampah melalui pemisahan dan pengelompokan sampah;
persiapan sampah untuk diguna ulang, diproses ulang, dan difabrikasi
ulang; penggunaan, pemrosesan dan fabrikasi sampah.
c. Transformasi limbah dalam upaya merubah bentuk sampah melalui proses
fisika, kimia maupun biologi. Keuntungan tahap ini antara lain
meningkatnya efisiensi sistem dan operasi pengelolaan sampah;
diperolehnya bahan yang dapat diguna ulang (re-use) dan di daur ulang
(recycling); dan diperolehnya produk hasil konversi (seperti kompos) dan
energi dalam bentuk panas dan biogas.
d. Landfilling, cara ini merupakan alternatif terakhir dan dilakukan terhadap
sampah yang tidak dapat didaur ulang dan tidak dapat dimanfaatkan lagi.
2. Teknologi proses dan pemisahan sampah, teknologi ini digunakan untuk
pemisahan pemrosesan bahan sampah.
3. Teknologi konversi secara thermal, teknologi ini digunakan untuk
mengurangi volume sampah sekaligus untuk mendapatkan energi yang dapat
dikelompokan menjadi proses pembakaran (combustion), gasifikasi
(gasification) dan pirolisa (pyrolisis).
4. Teknologi konversi secara biologis, teknologi ini digunakan untuk
memanfaatkan sampah melalui proses biologis yang dapat menghasilkan
kompos, energi (gas methan) atau gabungan keduanya.
5. Teknologi konversi secara kimiawi, cara ini digunakan untuk memproses
sampah dengan menghasilkan produk kimia seperti glukosa, furtural, minyak,
gas sintetis, selulosa asetat.
14
6. Landfilling, merupakan usaha terakhir setelah dilakukan proses-proses
sebelumnya.
2.4 Pemilihan Lokasi untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Menurut Darmasetiawan (2004), TPA merupakan tempat dimana sampah
mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber,
pengumpulan, pemindahan/pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. TPA
merupakan tempat yang digunakan untuk menyimpan dan memusnahkan sampah
dengan cara tertentu sehingga dampak negatif yang ditimbulkan kepada
lingkungan dapat dihilangkan atau dikurangi (Basyarat, 2006).
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 03-3241-1994 dalam
Wikantika (2008), persyaratan didirikannya suatu TPA ialah bahwa pemilihan
lokasi TPA sampah harus mengikuti persyaratan hukum, ketentuan perundang-
undangan mengenai pengelolaan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak
lingkungan, ketertiban umum, kebersihan kota/lingkungan, peraturan daerah
tentang pengelolaan sampah dan perencanaan dan tata ruang kota serta peraturan-
peraturan pelaksanaannya.
Adapun ketentuan-ketentuan atau tata cara yang harus dipenuhi untuk
menentukan lokasi TPA (SNI nomor 03-3241-1994), yaitu:
Pemilihan lokasi TPA sampah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan laut.
2. Penentuan lokasi TPA disusun berdasarkan 3 tahap yaitu:
• Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang
berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi
beberapa zona kelayakan
• Tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau
dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona
kelayakan pada tahap regional
• Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh
instansi yang berwenang.
15
3. Jika dalam suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan
lokasi TPA sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA
sampah.
Menurut SK SNI T-11-1991-03 dalam Basyarat (2006), persyaratan umum
lokasi TPA adalah sebagai berikut: 1) sudah tercakup dalam perencanaan tata
ruang kota dan daerah; 2) jenis tanah kedap air; 3) daerah yang tidak produktif
untuk pertanian; 4) dapat dipakai minimal untuk 5-10 tahun; 5) tidak
membahayakan/mencemarkan sumber air; 6) jarak dari daerah pusat pelayanan
maksimal 10 km; 7) daerah yang bebas banjir.
Menurut SK SNI T-11-1991-03 dalam Basyarat (2006), kriteria pemilihan
lokasi untuk TPA ditentukan berdasarkan 3 bagian:
1. Kriteria Regional yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak
atau zona tidak layak sebagai berikut:
a. Kondisi geologi: tidak berlokasi di zona holocene fault dan tidak boleh di zona
bahaya geologi
b. Kondisi hidrogeologi:
- tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter
- tidak boleh kelulusan tanah lebih dari 10-6 cm/det
- jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter
- dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas,
maka harus diadakan masukan teknologi
c. Kemiringan zona harus kurang dari 20 %
d. Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk
penerbangan turbo jet dan lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain
e. Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan periode
ulang 25 tahunan
2. Kriteria penyisih yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik,
diantaranya yaitu:
a. Iklim:
- Hujan, intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik
- Angin, arah angin dominan tidak menuju ke permukiman dinilai makin
baik
16
b. Utilitas: tersedia lebih lengkap dinilai makin baik
c. Lingkungan Biologis:
- Habitat: kurang bervariasi, dinilai makin baik
- Daya dukung: kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin
baik
d. Kondisi tanah:
- Produktifitas tanah: makin tidak produktif dinilai makin baik
- Kapasitas dan umur: dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih lama
dinilai lebih baik
- Ketersediaan tanah penutup: mempunyai tanah penutup yang cukup,dinilai
lebih baik
- Status tanah: kepemilikan tanah makin bervariasi dinilai tidak baik
e. Demografi : kepadatan penduduk lebih rendah, dinilai makin baik
f. Batas administrasi: dalam batas administrasi dinilai semakin baik
g. Kebisingan: semakin banyak zona penyangga dinilai semakinbaik
h. Bau: semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik
i. Estetika: semakin tidak terlihat dari luar dinilai semakin baik
j. Ekonomi: semakin rendah biaya satuan pengelolaan sampah (Rp/m3 atau
Rp/ton) dinilai semakin baik
3. Kriteria penetapan, yaitu kriteria yang digunakan oleh instansi yang
berwenang untuk menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai dengan
kebijaksanaan instansi yang berwenang setempat dan ketentuan yang berlaku
Anonim (2008) mengemukakan tentang pemilihan lokasi layak TPA
sampah tahapan regional yang dilakukan dengan meninjau aspek-aspek sebagai
berikut:
1. Aspek Tata Guna Lahan
Peninjauan pemilihan lokasi layak TPA sampah berdasarkan tata guna
lahan ialah menetapkan lokasi-lokasi yang tidak boleh digunakan sebagai lokasi
TPA sampah karena alasan tata guna lahan. Peninjauan ini dilakukan untuk
menghindari pemilihan lokasi-lokasi layak TPA sampah pada lahan yang telah
ditetapkan penggunaannya atau lahan yang mempunyai kegunaan khusus atau
yang penting. Daerah-daerah yang tidak boleh digunakan sebagai lokasi TPA
17
yaitu: 1) Daerah danau, sungai dan laut; 2) Daerah perkotaan dan permukiman; 3)
Daerah pertanian potensial; 4) Daerah industri, konservasi lingkungan; 5) Daerah
khusus yang dilestarikan; dan 6) Daerah yang jauh dari lapangan terbang.
2. Aspek Geologi
Pemilihan lokasi layak berdasarkan kondisi geologi adalah untuk
menempatkan lokasi tersebut pada formasi geologi yang aman terhadap
pencemaran lingkungan. Formasi yang diinginkan adalah lapisan geologi dimana
pada lapisan itu terdapat kondisi yang dapat menahan dan mengurangai kadar
pencemaran. Kondisi tersebut hanya ada pada lapisan yang mempunyai
permeabilitas kecil, mempunyai cukup ketebalan dan mampu mengurangi kadar
pencemaran. Sifat-sifat tersebut merupakan sifat dari batuan lempung (sedimen
clay). Pemilihan yang dilakukan juga menghindari faktor struktur geologi seperti
patahan, retakan, longsoran dan lain-lain.
3. Aspek Kemiringan Lereng
Pemilihan lokasi layak berdasarkan kemiringan lereng dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya longsoran, baik terhadap timbunan sampah tersebut
maupun longsoran yang tidak stabil. Untuk itu kriteria yang dianjurkan dalam hal
kemiringan ini adalah 20%. Kemiringan lereng di sekitar lokasi berkisar antara 0-
15%. Namun pada daerah-daerah tertentu kemiringannya dapat mencapai lebih
dari 45%. Pada umumnya kemiringan lokasi TPA berkisar antara 0-10%, dan pada
beberapa lokasi kemiringan mencapai 10-15%.
4. Aspek Hidrogeologi
Pemilihan lokasi layak berdasarkan aspek hidrogeologi ialah
menempatkan lokasi tersebut pada daerah yang bukan akuifer penting dan sedapat
mungkin tidak didaerah discharge. Pemilihan tersebut juga memperhitungkan
arah aliran air tanah.
5. Aspek Bahaya Lingkungan
Pemilihan lokasi layak berdasarkan aspek bahaya lingkungan ialah
menempatkan lokasi tersebut pada daerah yang tidak berpotensi terhadap bahaya
lingkungan, sehingga tidak membahayakan kelangsungan dan keutuhan TPA
sampah tersebut. Bahaya lingkungan yang harus diperhatikan adalah gerakan
tanah, kegempasan, kegunungapian, pengikisan banjir dan genangan air. Dengan
18
pertimbangan aspek bahaya lingkungan, maka lokasi layak untuk TPA sampah
adalah daerah-daerah di luar bahaya tersebut.
2.5 Evaluasi Sumberdaya Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief,
hidrologi, dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi
penggunaannya (FAO, 1976 dalam Sitorus, 1985). Menurut Sitorus (1985),
evaluasi sumberdaya lahan pada hakekatnya merupakan proses untuk menduga
potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya. Adapun kerangka dasar
dari evaluasi sumberdaya lahan adalah membandingkan persyaratan yang
diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumberdaya yang
ada pada lahan tersebut. Beek (1978) mengemukakan bahwa evaluasi lahan adalah
pendugaan potensi lahan untuk satu atau beberapa alternatif penggunaan.
Sedangkan proses evaluasi lahan meliputi interpretasi survei melalui penelaahan
terhadap bentuk lahan, tanah, vegetasi, iklim, dan aspek-aspek lahan lainnya.
Menurut Vink (1975), manfaat yang mendasar dari evaluasi lahan adalah
untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta prediksi
berbagai konsekuensi dari penggunaan lahan. Hal ini penting terutama apabila
perubahan penggunaan lahan tersebut diharapkan akan menyebabkan perubahan
besar terhadap keadaan lingkungan. Hasil evaluasi lahan dapat memberikan
batasan dan kategori yang relevan untuk pengelolaan dan perbaikan tanah.
Informasi tentang sumberdaya lahan merupakan data dasar untuk evaluasi
lahan secara tidak langsung. Informasi ini sering merupakan ciri lahan yang dapat
langsung diamati atau dinilai. Kualitas lahan lebih bermanfaat dalam
pengevaluasian, tetapi lebih sulit dalam pengukurannya. Menurut Sitorus (1985),
dikenal banyak sifat dan ciri sumberdaya lahan yang dievaluasi. Untuk keperluan
pertanian, sumberdaya lahan yang paling penting dapat dikelompokkan kedalam
lima kelompok yaitu: (1) tanah; (2) iklim; (3) topografi dan formasi geologi; (4)
vegetasi); dan (5) sosial ekonomi.
19
2.6 Strategi dan Prosedur Evaluasi Lahan
Evaluasi lahan dapat dilakukan menurut dua strategi (FAO, 1976 dalam
Sitorus, 1985) :
1. Pendekatan dua tahapan (Two stage approach). Tahapan pertama terutama
bekenaan dengan evaluasi lahan yang bersifat kualitatif, yang kemudian
diikuti dengan tahapan kedua yang terdiri dari analisis ekonomi dan sosial
2. Pendekatan sejajar (Parallel approach). Analisis hubungan antara lahan
dan penggunaan lahan berjalan secara bersama-sama dengan analisis
ekonomi dan sosial
Menurut FAO (1976) dalam Sitorus (1985), kegiatan utama dalam
evaluasi lahan adalah sebagai berikut :
1. Konsultasi pendahuluan meliputi pekerjaan-pekerjaan persiapan antara
lain penetapan yang jelas tujuan evaluasi, jenis data yang akan digunakan,
asumsi yang digunakan dalam evaluasi, daerah penelitian, serta intensitas
dan skala survei
2. Penjabaran (deskripsi) dari jenis penggunaan lahan yang sedang
dipertimbangkan dan persyaratan-persyaratan yang diperlukan;
3. Deskripsi satuan peta lahan (land mapping units) dan kemudian kualitas
lahan (land qualities) berdasarkan pengetahuan tentang persyaratan yang
diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dan pembatas-
pembatasnya
4. Membandingkan jenis penggunaan lahan dengan tipe-tipe lahan yang ada.
Ini merupakan proses penting dalam evaluasi lahan, dimana data lahan,
penggunaan lahan dan informasi-informasi ekonomi dan sosial
digabungkan dan dianalisis secara bersama-sama
5. Hasil dari butir 4 adalah klasifikasi kesesuaian lahan
6. Penyajian dari hasil-hasil evaluasi.
Strategi evaluasi lahan disajikan pada Gambar 5 (FAO, 1976 dalam
Sitorus, 1985). Sedangkan keenam kegiatan utama dalam evaluasi lahan disajikan
pada Gambar 6 ( FAO, 1976 dalam Sitorus 1985).
20
Gambar 5. Pendekatan Dua Tahapan dan Pendekatan Sejajar untuk Evaluasi Lahan (FAO, 1976 dalam Sitorus 1985)
Gambar 6. Skema Proses Kegiatan dalam Evaluasi Lahan (FAO, 1976 dalam
Sitorus, 1985)
Konsultasi Awal
Survei dasar Survei Dasar
Klasifikasi Lahan Kualitatif
Analisis Ekonomi dan Sosial
Klasifikasi Kualitatif dan
Kuantitatif
Analisis Sosial dan Ekonomi
Klasifikasi Lahan Kuantitatif
Keputusan-Keputusan
Perencanaan
Tahap Pertama
Tahap Kedua
Konsultasi Pendahuluan ‐ Tujuan ‐ Data dan Asumsi ‐ Rencana Evaluasi
Jenis-Jenis Utama Penggunaan Lahan
Satuan Pemetaan Lahan
Membandingkan Penggunaan Lahan dengan Keadaan Lahan
‐ Pembandingan ‐ Analisis Sosial dan
Ekonomi ‐ Dampak Terhadap
Lingkungan
Persyaratan dan Pembatas Penggunaan Lahan
Penyajian Hasil
Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Kualitas Lahan
21
2.7 Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Menurut Rayes (2007), kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan
untuk penggunaan tertentu, sebagai contoh lahan untuk irigasi, tambak, pertanian
tanaman tahunan, atau pertanian tanaman semusim. Lebih spesifik lagi kesesuaian
lahan tersebut ditinjau dari sifat fisik lahan dan lingkungannya, yang terdiri atas
iklim, topografi, hidrologi, dan atau drainase yang sesuai untuk usaha tani atau
komoditas tertentu yang produktif.
Menurut FAO (1976) dalam Hardjowigeno (1985), metode FAO dapat
dipakai untuk klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif tergantung dari data yang
tersedia. Kerangka dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan ini mengenal 4 (empat)
kategori, yaitu: (1) order, menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak
sesuai untuk penggunaan tertentu; (2) kelas, menunjukkan tingkat kesesuaian
suatu lahan; (3) sub-kelas, menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan
yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas; (4) unit, menunjukkan
perbedaan-perbedaan kecil yang berpengauh dalam pengelolaan suatu subkelas.
2.8 Kesesuaian Lahan utuk Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) mengungkapkan bahwa penentuan
suatu tanah untuk tempat penimbunan sampah dipengaruhi oleh tata air tanah
(drainase tanah, kedalaman muka air tanah, dan permeabilitas tanah), lereng,
tekstur, kedalaman hamparan batuan, dan jumlah batu dipermukaan (USDA,
1971;1983). Kemungkinan terjadinya pencemaran terhadap air tanah oleh tempat
penimbunan sampah dapat ditunjukkan oleh kedalaman muka air tanah dan
permeabilitas tanah.
Air tanah akan tercemar apabila dekat dengan dasar galian penimbunan
sampah dan apabila tanah permeabel. Untuk mencegah pencemaran terhadap air
tanah pada tanah yang permeabel, dasar dan dinding galian perlu dipadatkan.
22
2.8.1 Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan Sampah Secara
Terbuka
Pada cara ini sampah dibuang diatas permukaan tanah dipadatkan, dan
setiap hari ditutup dengan lapisan tanah yang tipis. Tanah yang digunakan untuk
menutup tempat sampah, yang dilakukan setiap hari dan setelah penuh
didatangkan dari tempat lain. Tanah penutup sampah setelah penuh tebalnya
paling sedikit 60 cm. Faktor ketahanan tanah untuk dilewati kendaraan (truk
sampah) dan kemungkinan terjadinya polusi merupakan faktor utama yang perlu
diperhatikan. Bila permeabilitas tanah terlalu cepat, maka kemungkinan
pencemaran lingkungan menjadi tinggi (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan secara terbuka disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan Sampah Secara Terbuka (USDA, 1983 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007)
No Sifat Tanah Kesesuaian Lahan
Baik Sedang Buruk 1 Ancaman Banjir Tanpa Jarang Sering 2 Kedalaman sampai hamparan batuan (cm) >150 100-150 <100 3 Kedalaman sampai padas keras (cm) >150 100-150 <100 4 Permeabilitas*) ─ ─ >5 5 Muka air tanah
- Apparent (cm) >150 100-150 <100 - Perched (cm) >90 45-90 <45
6 Lereng (%) <8 8-15 >15 7 Longsor ─ ─ Ada
*) Makin permeabel, makin besar pengaruhnya sebagai sumber polusi Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
2.9 Studi Empiris Terdahulu
Studi atau penelitian tentang sampah dengan studi kasus TPA Galuga telah
banyak dilakukan dengan fokus kajian pengelolaan sampah, analisis keragaman
ekonomi dan kelembagaan pengelola sampah, pencemaran yang diakibatkan
sampah, dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan Aida (1996) yang meneliti
tentang usaha pemanfaatan barang bekas dari sampah dan pengaruhnya terhadap
pengelolaan sampah di Kota Bogor. Penelitian tersebut mengarah kepada kajian
23
aktifitas perangkas dan pengaruhnya terhadap kuantitas dan kualitas sampah di
TPA Galuga. Penelitian lain dilakukan oleh Priambodho (2005) yang meneliti
tentang kualitas air lindi di TPA Galuga, Kabupaten Bogor. Secara umum,
kualitas perairan saluran buangan lindi dan perairan umum sekitarnya termasuk
kriteria sedang sampai buruk. Disamping itu, Hifdziyah (2011) meneliti tentang
analisis penurunan kualitas lingkungan di sekitar TPA Galuga, dengan fokus
kajian pada analisis ekonomi kepadatan penduduk sekitar.
Penelitian lain dilakukan oleh Kurniawan (2006) yang menganalisis
tentang kualitas air sumur sekitar wilayah TPA Galuga meliputi sumur penduduk
di sekitar TPA. Penelitian ini menyatakan bahwa secara umum kualitas air sumur
wilayah sekitar TPA tergolong buruk dan tidak layak dikonsumsi untuk air
minum, namun masih bisa digunakan untuk keperluan perikanan dan pertanian.
Santiabudi (2010) meneliti tentang kuantifikasi emisi metana dari TPA Galuga,
dimana berdasarkan penelitian tersebut diperoleh emisi metana (CH4) di
permukaan TPA Galuga sebesar 368,9 Mg/tahun. Perbedaan karakteristik pada
permukaan TPA sangat mempengaruhi emisi gas yang dilepaskan ke atmosfer.
Penelitian lain (Muthmainnah, 2008) mengenai pengelolaan sampah kota
berbasis partispasi masyarakat menuju zero waste di TPA Galuga, Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil penelitian dinyatakan bahwa
keberhasilan pengelolaan sampah kota dengan konsep zero waste di TPA Galuga
memerlukan komitemen dan tanggung jawab moral pembangunan terutama dari
pihak pemerintah dalam bentuk kebijakan, sehingga pengelolaan sampah kota di
TPA Galuga dapat dilakukan secara efektif, efisien, terintegrasi, dan sinkron
dengan sistem kelembagaan dan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing
pihak yang terlibat. Keterlibatan seluruh stakeholders dapat mengurangi dampak
pencemaran lingkungan dan dampak sosial lainnya.
Desmawati (2010) meneliti tentang pengaruh TPA terhadap kualitas air
sumur, kesehatan, dan sosial ekonomi masyarakat di sekitar TPA Galuga. Dari
penelitian tersebut menyatakan bahwa kualitas air sumur di sekitar TPA Galuga
pada beberapa parameter tidak memenuhi standar baku mutu air dari sisi bau dan
rasa. Penyakit yang sering diderita oleh penduduk sekitar adalah batuk, diare,
influenza, penyakit kulit, dan ISPA. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
24
KLH Kota Bogor (2010) dalam Desmawati (2010) mengenai kualitas air tanah
sekitar TPA Galuga menunjukkan bahwa beberapa parameter yang diukur pada
umumnya masih berada di bawah baku mutu lingkungan. Namun, air di Kampung
Lalamping dan Cimangir telah melampaui baku mutu. Hal ini diduga air lindi
merembes ke dalam air tanah sedangkan pencemaran koliform pada beberapa
lokasi disebabkan oleh sistem sanitasi penduduk yang kurang baik. Keberadaan
TPA Galuga telah mencemari air tanah yang berada disekitarnya, khususnya
sebelah utara (bagian hilir) dari areal penumpukan sampah, sehingga air sumur
bukan untuk dikonsumsi melainkan untuk kegitan pertanian dan MCK.