Ijma Sebagai Hukum Islam3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ijma

Citation preview

IJMA SEBAGAI HUKUM ISLAM

A. PendahuluanIjma kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya rasulullah saw, terhadap Hukum syara yang bersifat praktis (amaly) para ulama telah bersepakat, bahwa Ijma dapat dijadikan argumentasi (hujjah) untuk menetapkan hukum syara tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan siapakah ulama mujtahiddin yang berhak menetapkan ijma. Dengan kecenderungan demikian, nampak bahwa ijma mempunyai kedudukan yang penting dalam menetapkan hukum Islam.

B. Pengertian IjmaSecara etimologi, Ijma berarti kesepakatan atau consensus pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf ayat 15. yang artinya : maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur.Pengertian etimologi kedua dari ijma adalah (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu) Perbedaan antara pengertian pertama dengan pengertian kedua terletak pada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati, pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tekad kelompok. Secara terminologi ada beberapa rumusan ijma yang dikemukakan para ulama ushul fiqh. Ibrahim ibnu Siyar al Nazzam, seorang tokoh mutazilah, merumuskan ijma dengan setiap pendapat yang didukung oleh hujjah sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang, akan tetapi rumusan al Nazzam ini tidak sejalan dengan pengertian etimologi diatas. Imam Ghazali merumuskan Ijma dengan kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama, rumusan ini memberikan batasan bahwa ijma, harus dilakukan oleh umat Muhammad SAW, yaitu umat Islam tetapi harus dilakukan oleh seluruh uamat Islam termasuk orang awam. Al Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa Ijma harus dilakukan setelah wafatnya Rosulullah SAW. Karen padamasa Rosulullah Ijma tidak diperlukan, sebab kaberadaan Rosulullah SAW. Sebagai syari (penentu atau pembuat hukum) tidak memerlukan Ijma. Rumusan ini menurut al Amidi, tokoh ushul fiqih syafiiyah mengikuti pandangan imam Syafii yang mengatakan bahwa Ijma harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat Islam. karena sutau pendapat yang dapat terhindar dari dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepakati oleh seluruh umat. Menurut jumhur ulama ushul fiqh, sebagaimana dikutip wahbah alzuhaili, merumuskan ijma dengan kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad saw. pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw terdapatsuatu hukum syara. Definisi ini menurut ketiga tokoh ushul fiqh itu menyatakan bahwa Ijma tersebut hanya dilakukan dan disepakati oleh para mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya rasulullah saw. Ijma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan argumentative setingkat dibawah dalil-dalil nash (Al-Quran dan sunnah), ia merupakan dalil pertama setelah al-quran dan hadis yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum suyara. Ijma adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw, terhadap hukum syara yang bersifat praktis (amaly)

C. Kedudukan Ijma Sebagai Sumber HukumJumhur ulama ushul Fiqh berpendapat, apabila rukun-rukun ijma telah terpenuhi, maka ijma tersebut menjadi hujjah yang qathI (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir, disamping itu permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma menurut para ahli ushul fiqh tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya. Karena hukum yang ditetapkan melalui ijma merupakan hukum syara yang qathI dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara setelah alquran dan sunnah. Akan tetapi, Ibrahim bin Siyar al Nazzam (tokoh Mutazilah) ulama Khawarij dan ulama Syiah, berpendapat bahwa ijma tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut al Nazzam, ijma yang digambarkan jumhur ulama tersebut tidak mungkin terjadi, karena tidak mungkin menghadirkan seluruh mujtahid pada satu masa, dan menyepakatinya bersama. Selain itu, masing-masing daerah mempunyai struktur soaial dan budaya yang berbeda. Adapun bagi kalangan Syiah, ijma tidak mereka terima sebagai hujjah, karena pembuatan hukum menurut keyakinan mereka adalah imam yang mereka anggap masum (terhindar dari dosa). Ulama Khawarij dapat menerima ijma sahabat sebelum terjadinya perpecahan politik di kalangan sahabat. Ijma seperti yang didefinisikan jumhur ulama Ushul Fiqh di atas tidak dapat mereka terima, karena sesuai dengan keyakinan bahwa ijma itu harus disepakati umat Islam, dan orang-orang yang tidak seiman dengan mereka, dipandang bukan mumin. Jumhur ulama Ushul Fiqh berpandapat bahwa ijma dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan dua dalil sebagai berikut :1. Hadis-hadis yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat terhadap kesesatan. Apa yang menurut kaum muslimin baik, maka menurut Allah juga baik. Oleh karena itu amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumantasi (hujjah), sebagaimana sabda Rasulullah SAW : Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah(HR. Al-Tirmizi).2. Firman Allah dalam surat an Nisa :Dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mumin kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannm itu seburuk-buruk tempat kembali (Q.S an Nisa:15)Nash di atas menjelaskan, bahwa mengikuti jalan yang bukan jalannya orang mukmin adalah haram, karena orang yang melakukan hal tersebut berarti menentang Allah dan Rasul-Nya. Dan diancam neraka jahanam. Jika mengikuti selain jalan orang mukmin diharamkan berarti mengikuti jalannya orang mukmin adalah wajib. Barang siapa menentang orang-orang mukmin atau menentang pendapat mereka, berarti ia tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin.Dalam konteks ini Imam SyafiI mengemukakan dalil, bahwa kesepakatan (ijma) para mujtahid terhadap suatu hukum yang bersandar pada nash-nash al-Quran dan hadits, itu menunjukkan bahwa semua mujtahid tersebut tidak mengetahui sumber hukum lain yang dijadikan referensi bagi hukum tersebut selain sumber hukum di atas. Karena jika sebuah hadis tidak diketahui oleh sebagian mujtahid, tentu tidak mungkin hadis tersebut tidak diketahui oleh semua mujtahid.

D. Syarat-syarat dan Rukun-rukun IjmaJumhur ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma itu ada lima:1. Yang terikat dalam pembahasan hukum syara melalui ijma tersebut adalah seluruh mujtahid, apabila ada di antara mujtahid ada yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma.2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.4. Hukum yang disepakati adalah hukum syara yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Quran.5. Sandaran hukum ijma tersebut haruslah al-Quran dan atau hadis Rasulullah SAW.Di samping kelima rukun di atas, jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan pula syarat-syarat ijma: 1. Yang melakukan ijma tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.2. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamnya).3.Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri ucapan atau perbuatan bidah.E. Kesimpulan / KomentarUlama sepakat Ijma adalah hasil kesepakatan ulama sebagai salah satu dasar hukum Islam, untuk itu kita harus menjalankan hukum dari hasil ijtihad yang telah ditetapkan. Mengingkarinya berarti kita sama dengan mengingkari hukum Islam yang lain seperti Al-Quran dan Hadits yang berarti kita kafir. Namun demikian untuk masa-masa seperti sekarang ini, sulit sekali kita menjumpai ulama Mujtahid atau yang ulama yang dapat ber-Ijtihad. Karena untuk menjadi seorang mujtahid harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan khususnya dalam bidang keilmuan agamanya yang benar-benar alim. Seolah-olah pintu Ijtihad telah tertutup. Namun tidak demikian sebenarnya, pintu ijtihad masih terbuka hanya saja kemungkinan besar untuk memasuki pintu tersebut yang masih sangat sulit. Yang perlu kita kritisi adalah bagaimana kita sebagai orang muslim dalam bertindak harus tahu dasar hukumnya, apakah itu benar atau salah artinya dilarangan atau tidak oleh agama. Jangan asal bertindak semau kita. Lihatlah para pejabat yang semaunya sendiri dalam melakukan KKN seolah-olah tidak tahu dosa. Padahal jelas mereka mengetahui bahwa hal itu dilarang oleh syara.

4