IJMA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

agama

Citation preview

Kelompok 4

Mohammad Sulaiman Baihaqi

Nur Komala DewiBAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ijma merupakan kesepakatan para mujtahid dari umat Islam atas hukum syara (mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi wafat. Namun apakah Ijma termasuk ke dalam sumber hukum islam? Menurut A Hasan, sumber hukum Islam hanyalah Al-Quran dan Hadits atau As-Sunnah. Tentang Ijma , A Hasan tidak memasukkan sebagai sumber hukum.

Menurut pala ulama, terbagi menjadi 2 bagian, Ijma sahabat dan Jjma Ulama. Ijma sahabat berarti bersatunya semua atau sebagian sahabat Nabi saw. Dengan tidak mendapat teguramn dari sahabat yang lain, dalam mewajibkan mwajibkan atau melarang sesuatu perkara yang tidak ada hukumnya dalam Quran dan Hadits, baik dalam urusan ibadah maupun urusan dunia Ijma sahabat ini dipakai sebagai dasar karena mereka dalam menetapkan hukum itu tidak dengan kemauan mereka sendiri, tetapi dengan alasan yang mereka peroleh dari Nabi. Sedangkan Ijma ulama menrut A Hasan tidak mungkin terjadi.

Oleh karena itu pada kesempatan ini akan dibahas tentang Ijma sebagai sumber dan dalil hukum. Yang dimana membahas mulai dari pengertian hingga pembatan ijma itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalahnya diantarnya :

1. Apakah pengertian Ijma ?

2. Bagaimanakah landasan Ijma ?

3. Apakah macam-macam Ijma itu ?

4. Dan bagaimanakah pandangan Fuqaha terhadap Ijma sebagai landasan sumber dan dalil hukum?C. Tujuan

Dari rumusan masalah yang didapat diharapkan mahasiswa dapat lebih memahami pengertian Ijma dan penggunaanya sebagai landasan sumber dan hukum Islam. Dan dapat diaplikasikan dalam kehidupannya sehari hari.BAB II

PEMBAHASANA. Pengertian Ijma dan Syarat-syarat Terjadinya Ijma menurut Bahasa berasal dari Ijmaa yajmau-jamaan artinya mengumpul. Dipakai di bab afala-yujmiu-ijamaan oleh karena itu Ijma adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Islam atas hukum syara (mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi wafat.

Memperhatikan definisi Ijma di atas, dapatlah diketahui bahwa Ijma baru terjadi jika telah memenuhi syarat-syaratnya. Adapun syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:

1. Kata sepakat terhadap suatu pendapat telah dicapai oleh para mujtahid dari umat islam. Bila yang bersepakat itu bukan para mujtahid, misalnya para ahli ekonomi, maka kesepakatan mereka bukan Ijma.

2. Seluruh mujtahidin dari umat islam telah mencapai kata sepakat terhadap suatu pendapat. Maka apanila yang bersepakat itu hanya mujtahidin dari satu kelompok umat Islam, atau dari satu wilayah atau satu negara Islam saja, maka kesepakatan mereka bukan Ijma. Demikian pula, jika masih ada sebagian mujtahidin yang tidak sependapat, maka tidak terjadi pula Ijma. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Ijma terjadi dengan kesepakatan mayoritas mujtahidin, walaupun ada sebagian kecil yang menentangnya.

3. Yang disepakati para mujtahidin ialah hukum syara mengenai masalah ijtihadiyah seperti halal dan haramnya sesuatu, atau sah dan batalnya sesuatu. Maka jika yang mereka sepakati itu bukan hukum agama seperti hukum ekonomi, atau hukum agama tetapi bukan masalah ijtihadiyah, tetapi hukumnya ditetapkan berdasarkan dalil yang qathi, maka kesepakatan mereka dalam masalah-masalah tersebut di atas tidaklah disebut Ijma.4. Ijma hanya terjadi sesudah Nabi wafat, karena pada waktu Nabi masih hidup, jika nabi bisa menyetujui apa yang telah disepakati sahabat maka persetujuan nabi itu menjadi sunnah taqririyah. Dan jika nabi tidak bisa menyetujui mereka maka gugurlah apa yang mereka sepakati.

B. Pendapat Fuqaha tentang Kemungkinan Ada/Tidak Terjadi Ijma

Menurut An-Nadzdzam seorang tokoh Mutazilah (wafat th 331) dan Syiah, Ijma secara umum tidak mungkin terjadi karena Ijma itu pasti memerlukan kesepakatan seluruh mujtahidin dari umat Islam. Dan hal ini harus diketahui siapa-siapa di antara mereka yang termasuk mujtahidin, dan diketahui pula pendapat masing-masing mujtahid itu. Sudah tentu untuk mengetahui semua mujtahid dan pendapat mereka adalah sukar; sebagaimana kalau yang menjadi landasan Ijma itu dalil qathI, maka kita cukup berpegang dengan dalil qathI tanpa memerlukan Ijma. Sebaliknya kalau landasan Ijma itu berupa dalil dzanni maka tidaklah mungkin terjadi Ijma karena adanya perbedaan pemahaman dan penafsiran para mujtahid, dan juga perbedaan metode ijtihad/istimbat mereka.

Karena landasan itulah Imam Ahmad bin Hanbal ada berkata :

Barang siapa mengaku ada Ijma, maka orang itu dusta. (al-ihkam 1:284)

Ingat !

Jangan lupa! Bahwa yang dimaksud dengan Ijma pada sisi ulama fiqh dan ushul itu, ialah satu keputusan yang tidak bersandar kepada Quran atau Hadits, yang diputuskan oleh semua ulama di satu masa atau satu kejadian. Jadi shaum wajib, shalat fardhu, zina haram arak haram, itu semua bukan dengan Ijma tetapi dengan nash quran.

Menurut jumhur, Ijma bisa terjadi dalam praktek karena para mujtahid dari sahabat telah sepakat (Ijma) terhadap hukum-hukum syara mengenai berbagai masalah yang cukup banyak jumlahnya.

C. Macam IjmaIjma dipandang dari segi cara mencapainya ada 2 ( dua) macam, ialah:

1. Ijma Sharih ialah kesepakatan para mujtahidin dari suatu masa terhadap hukum suatu masalah. Kesepakatan para mujtahid itu bisa dicapai dengan pernyataan disebut Ijma qauli dan bisa dicapai dengan perbuatan disebut Ijma amali. Untuk mencapai Ijma sharih ini tidak disyaratkan seluruh mujtahidin berkumpul dalam satu majlis. Mereka bisa berkumpul dalam satu majlis, lalu mereka mencapai kata sepakat mengenai hukumnya. Dan bisa juga para mujtahid memberi fatwa hukum atau keputusan hukum terhadap suatu masalah yang diajukan kepadanya. Kemudian mujtahid lain juga memberi fatwa hukum atau keputusan hukum yang sama terhadap masalah yang sama, dan begitu seterusnya sehingga seluruh mujtahidin sepakat bulat mengenai ketetapan hukumnya.2. Ijma Sukuti ialah sebagian mujtahidin memberikan fatwa hukum atau keputusan hukum terhadap suatu masalah, kemudian para mujtahidin lainnya bersikap diam tidak memberikan tanggapan apa-apa atas fatwa hukum atau keputusan hukum tersebut.Ijma sharih itulah yang bisa dipakai sebagai dalil/pegangan hukum karena terjadinya Ijma yang sebenarnya. Berbeda dengan Ijma sujuti yang bukan Ijma yang sebenarnya karena sikap diam itu belum tentu menunjukkan setuju, sebab bisa jadi diamnya itu karena takut, segan, atau sinis terhadap fatwa/keputusan hukum tersebut. Karena itu Ijma yang bisa dipakai sebagai dalil pegangan hukum hanyalah Ijma sharih menurut mazhab jumhur. Tetapi menurut sebagian besar ullama Hanafiyah, Ijma sukuti itu pun bisa dipakai hujjah, apabila terdapat indikator bahwa diamnya para mujtahid itu tiada suatu hambatan/larangan menyatakan pendapat tidak setuju terhadap fatwa/keputusan hukum dari mujtahid yang bersangkutan, sehingga diam mereka bisa diartikan setuju.

Ijma dipandang dari segi dalalahnya (petunjuk) kepada hukum ada 2 (dua) macam ialah:a. QathI dalalahnya atas hukumnya. Artinya hukum ditunjuk itu sudah dapat dipastikan benarnya, sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi dan tidak perlu diijtihadkan.

b. Dzanni dalalahnya atas hukumnya. Artinya hukum yang ditunjuk itu masih diduga keras benarnya. Karena itu masalahnya masih terbuka untuk dipersoalkan lagi dan tidak tertutup untuk dikaji/ijtihadi lagi oleh para mujtahid lainnya.

D. Pendapat Fuqaha tentang Ijma sebagai Dalil/Sumber Hukum

Apabila telah dipenuhi syarat-syarat terjadinya Ijma seperti yang telah diuraikan di muka, maka sebagian besar ulama dan umat Islam dapat menerima Ijma (Ijma sharih) sebagai dalil hukum Islam. Dan bahwa hukum yang telah sampai kepada Ijma itu menjadi hukum positif bagi umat Islam. Karena itu umat Islam wajib mematuhinya dan tidak bisa lagi dikaji/diijtihadi hukumnya.

Dalil-dalil yang dipakai oleh jumhur tentang Ijma sebagai dalil/sumber hukum Islam, ialah:

1. Firman Allah Surat An-Nisa Ayar 115:Dan barang siapa yang menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mumin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.

2. Sabda Nabi:

Umatku tidak akan berkumpul (bersepakat) atas kesesatan.

3. Sabda Nabi:

Umatku tidak akan berkumpul/bersepakat atas kesesatan.

4. Sabda Nabi:

Apa saja yang dipandang baik oleh umat Islam, maka bagi Allah ia pun baik.

Ancaman Allah terhadap orang yang menempuh jalan yang bukan jalan orang mukmin dalam surat An-Nisa ayat 115 di atas menunjukkan adanya perintah yang wajib untuk mengikuti jalan orang mukmin. Sedangkan ketiga hadis tersebut di atas dipandang mutawatir manawi, statusnya sama dengan mutawatir lafdzi.

E. Landasan Ijma

Menurut jumhul Ijma itu tentu mempunyai landasan/dasar hukum bahi Ijmanya, karena ulama yang mencapai Ijma itu tidak menciptakan/membuat hukum sendiri tanpa dasar/landasan Ijmanya. Yang mempunyai wewenang membuat hukum sendiri itu hanyalah Allah dan rasul-Nya. Para sahabat Nabi sebelum mencapai Ijma mencari dahulu landasannya.

Sebagian fuqaha tidak mengharuskan Ijma mempunyai landasan hukumnya, karena kalau Ijma itu harus mempunyai landasan hukumnya, maka sebenarnya landasan hukum Ijma itulah yang menjadi pegangan hukum (hujjah/dalil), dan tidak memerlukan adanya Ijma. Mengenai dalil yang menjadi landasan Ijma. Para fuqaha telah sepakat bahwa Al-Quran dan Sunnah bisa menjadi landasan Ijma.

F. Pembatalan/Nasakh IjmaMenurut Jumhul Ijma tidak bisa dibatalkan hukumnya (dinasakh) dengan Ijma yang kedua. Sebab Ijma itu telah menjadi dalil qathI yang wajib dipatuhi oleh seluruh umat Islam dan dalil qathI itu hanya bisa dinasakh dengan nash yang qathI yakni ayat dan hadis mutawatir sedangkan sesudah rasul wafat tidak ada wahyu yang turun, sehingga tidak mungkin Ijma itu dinasakh dengan nash qathi.

Menurut sebagian fuqaha antara lain Fakhrul Islam Ali bin Muhammad al-Bazdawi al-Hanafi (wafat 483 H), sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hamam bahwa jika Ijma itu landasannya dalil qathI (nash yang mutawatir), maka memang tidak bisa dinasakh dengan Ijma yang kedua. Tetapi jika landasan Ijma itu dalil dzanni misalnya qiyas karena ada persamaan illatnya (motif hukum) atau landasan Ijma itu maslahah. Lalu bila dikemudian hari ternyata illat hukum yang menjadi dasar qiyat atau maslahah yang menjadi landasan Ijma itu berubah, maka bisa saja Ijma pertama dibatalkan hukumnya dengan Ijma kedua sesuai dengan ketentuan kaidah Fiqiyah yang berbunyi:

Hukum itu berputar bersama illatnya, ada dan tidaknya.

BAB IIPENUTUPA. Kesimpulan

Ijma adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Islam atas hukum syara (mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi wafat. Ijma dipandang dari segi cara mencapainya ada 2 macam yaitu Ijma Sharih dan Ijma Sukuti. Ijma Sharih ialah kesepakatan para mujtahidin dari suatu masa terhadap hukum suatu masalah. Dan Ijma Sukuti sebagian mujtahidin memberikan fatwa hukum atau keputusan hukum terhadap suatu masalah, kemudian para mujtahidin lainnya bersikap diam tidak memberikan tanggapan apa-apa atas fatwa hukum atau keputusan hukum tersebut.

Menurut jumhul Ijma itu tentu mempunyai landasan/dasar hukum bahi Ijmanya, karena ulama yang mencapai Ijma itu tidak menciptakan/membuat hukum sendiri tanpa dasar/landasan Ijmanya. Yang mempunyai wewenang membuat hukum sendiri itu hanyalah Allah dan rasul-Nya. Para sahabat Nabi sebelum mencapai Ijma mencari dahulu landasannya.maka sebagian besar ulama dan umat Islam dapat menerima Ijma (Ijma sharih) sebagai dalil hukum Islam. Dan bahwa hukum yang telah sampai kepada Ijma itu menjadi hukum positif bagi umat Islam. Karena itu umat Islam wajib mematuhinya dan tidak bisa lagi dikaji/diijtihadi hukumnya.

B. Daftar Pusaka

Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Hukum Syariah, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987).Hasan, A. Ijma Qiyas Madzhab Taqlid, (Jakarta:Lajnah Penerbitan Pesantren PERSIS)

Zahrah, A Muhammad, Ushul Fiqh,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2005)

A.Hasan.Ijma Qiyas Madzhab Taqlid.(Jakarta:Lajnah Penerbitan Pesantren PERSIS Bangil,1984), hal.3.

Masjfuk Zuhdi. Pengantar Hukum Syariah. (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987). hal, 65-66.

Masjfuk Zuhdi. Pengantar Hukum Syariah. (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987). Hal. 67.

A.Hasan.Ijma Qiyas Madzhab Taqlid.(Jakarta:Lajnah Penerbitan Pesantren PERSIS Bangil,1984), hal.8-9.

Ibid., hlm. 67-71.

Ibid., hlm. 74.

Ushul Fiqh | Ijma sebagai sumber dan dalil hukum1