Ijtihad Muhammadiyah

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/19/2019 Ijtihad Muhammadiyah

    1/8

    51 Afifi Fauzi Abbas: Integrasi Pendekatan Bayânî 

    INTEGRASI PENDEKATAN BAYÂNÎ, BURHÂNÎ, 

    DAN ‘IRFÂNΠ DALAM IJTIHAD MUHAMMADIYAH

     Afifi Fauzi Abbas

    Majelis arjih dan ajdid PP Muhammadiyah Jl. Menteng Raya No. 62 Jakarta 10340

    E-mail: [email protected]

     Abstract: Integration Approach of Bayânî , Burhânî , and ‘ Irfânî in Muhammadiyah Ijtihâd. Al-Jabirî offers three

    approaches (bayânî, burhânî, and ‘irfânî ) to Islamic studies. Te Bayânî  approach is the philosophical study of knowledgedevelopment system that positions the text (revelation) as an absolute truth. Te Burhânî  approach is structured onthe reasoning of Burhânî starting from the ta’aqqulî  process of abstraction to reality. In the mean time, the approachof ‘irfânî  is an understanding based on spiritual experience and intuition (dzawq, qalb, wijdân, bashîrah). If each ispermitted to proceed on their own (parallel), the benefit achieved will be minimal. Tus, if the interrelationship witheach other is linear, one of them will arise as superior among the others. Muhammadiyah tries to interweave the threeof them, a complementary and functional relationship, so they will have the spiral circular relationship.

    Keywords: bayânî , ‘irfânî, burhânî , textual, contextual

     Abstrak: Integrasi Pendekatan Bayâni, Burhânî, dan ‘Irfânî dalam Ijtihad Muhammadiyah. Al-Jâbirî menawarkantiga pendekatan (bayânî, burhânî, dan ‘irfânî ) untuk studi keislaman. Pendekatan bayânî  merupakan studi filosofisterhadap sistem bangunan pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak. Pendekatan

    burhânî  berpola dari nalar burhânî , bermula dari proses abstraksi yang bersifat ta‘aqqulî terhadap realitas. Sedangkanpendekatan ‘irfânî   adalah pemahaman yang bertumpu pada pengalaman batin dan intuisi (dzawq, qalb, wijdân,bashîrah). Jika masing-masing dibiarkan berjalan sendiri-sendiri (paralel), nilai manfaat yang dapat diraih akan sangatminim. Demikian pula, jika dibiarkan hubungan antara yang satu dengan yang lainnya bersifat linear, maka hanyamemunculkan yang satu lebih unggul dari yang lainnya. Muhammadiyah mencoba ketiganya dijalin berkelindan,saling melengkapi, dan fungsional sehingga hubungannya bersifat spiral sirkular.

    Kata Kunci: bayânî, ‘irfânî, burhânî, tekstual, kontekstual

    Pendahuluan

    Memahami Islam secara menyeluruh (kâffah) adalahpenting meskipun tidak secara mendalam. Inilah cara

    paling minimal yang harus dilakukan untuk memahamiIslam secara baik. Banyak metode yang dapat digunakanuntuk memahami Islam, setidak-tidaknya ada dua aliranyang menonjol. Satu aliran menekankan bahwa carauntuk mendekati Islam itu semestinya sui generis dantidak bisa dihubungkan dengan metode-metode dalambidang ilmu pengetahuan lain. Aliran lain menyatakanbahwa bagaimana pun juga metode yang sah untukdigunakan adalah metode ilmiah. Istilah ilmiah disini digunakan dalam arti ganda. Pertama, dalam artisempit, yakni menunjukkan metode yang digunakanpada Ilmu Pengetahuan Alam (exacta ). Kedua, dalamarti luas, yakni menunjuk pada suatu prosedur yangbekerja dengan disiplin yang logis dan untuk premis-

    premis yang jelas.1

     Akan tetapi pada kedua pendekatan ini terdapatkekurangan, yang menurut Mukti Ali, antara keduan-

    ya dapat dimunculkan metode baru, yakni ”metodesintesis”. Banyak penulis teologi dan filsafat dari abad iniyang telah membuktikan tidak cukupnya pendekatanilmiah terhadap studi agama (Islam). Banyak pula sarja-na terkemuka mempertanyakan keabsahan penerapanmetode-metode dan teknik eksperimental kuantitatifdan penelitian kausal terhadap dunia rohani (agama).

    Majelis arjih dan ajdid Pimpinan Pusat Muham-madiyah mencoba merumuskan metode sintesis sepertiyang dimaksud oleh Mukti Ali tersebut, yakni denganmengintegrasikan pendekatan bayânî , burhânî   dan

    ‘irfânî  dalam ijtihadnya.

    1 A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia , (Bandung,Mizan, 1992), h. 74-75.

  • 8/19/2019 Ijtihad Muhammadiyah

    2/8

    Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 201252

    Urgensi Metode dalam Memahami Islam

    Kerangka dasar pemikiran keagamaan Muhamma-diyah adalah al-rujû’ ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnâhal-Maqbûlâh wa tajdîd al-dîn.2  Kerangka dasartersebut belumlah sepenuhnya dikembangkan dalam

    bentuk metodologi dan manhaj   yang konkret dalamperkembangan pemikiran keagamaan Muham-madiyah.

    Problematikanya muncul ketika upaya untukkembali kepada Alquran dan Sunah tersebutdiimplentasikan dalam kehidupan sehari-hari. Banyakcara, metode, dan pendekatan yang dapat dilakukanuntuk memahami dan memaknai Alquran dan Sunah.Di antaranya adalah dengan cara tekstual/longitudinal/ tahlîlî dan kontekstual/tematik . Coraknya juga beragam.Pertama, tafsir filologis, yakni menggunakan ilmu-ilmu linguistik, filologi, sintaksis, semiotik, stilistik,dan retorika sebagai perangkat pendukung untukmemaknai Alquran dan Sunah; Kedua, tafsir ahkâm,yakni tafsir eksoterik yang mengambil pengetahuan dariteks berupa kualifikasi-kualifikasi hukum; Ketiga, tafsirhistoris (tafsîr bi al-riwâyah/bi al-ma’tsûr ); Keempat,tafsir teologis, yakni dilakukan untuk memperkuatopini-opini doktrinal dari aliran-aliran teologi; Kelima,tafsir filosofis, yakni tafsir mistis dengan menggunakantakwil esoteris; Keenam, tafsir mistis (tafsir esoteris);

    Ketujuh, tafsir ’ilmî  (ilmiah); Kedelapan, tafsir estetik(metafor); dan sebagainya.Di samping itu ada juga beberapa pendekatan yang

    dapat dilakukan untuk memaknai teks-teks Alqurandan Sunah, yakni pendekatan bayânî , burhânî, dan’irfânî .3 

    Pemahaman Muhammadiyah yang berorientasipada kemajuan (tajdîd fi al-Islamî ), selalu menjadikanIslam yang bersumber pada Alquran dan Sunah sebagaititik tolak pergerakannya dan menjadikannya sebagaitolok ukur untuk melihat perjalanan dari hasil kerjanya.

    Namun dalam perjalanan sejarah, pola tersebut tidakmudah untuk direalisasikan, karena ada kecenderungannas-nas Alquran dan Sunah tersebut oleh masyarakathanya dipahami secara tekstual, sehingga tidak lagimemadai untuk merespons perkembangan peradaban

    2  Selengkapnya cermati tulisan Syamsul Hidayat,  MetodologiPemikiran Islam Muhammadiyah, Kajian atas Manhaj arjih dan PPIMunas tarjih XXV di Jakarta, yang disampaikan pada Kajian Manhajarjih Muhammadiyah yang diadakan PWM DKI Jakarta, 20 MARE2002.

    3 iga epistemologi (atau nalar atau pola pikir) hasil rekonstruksial-Jâbirî (yang secara beruntun; bayânî, ‘irfânî, dan burhânî ) adalahstruktur yang mendasari tradisi Arab Islam sepanjang sejarahnya.Hanya saja, menurut al-Jâbirî penyebutan berurutan ini menunjukkanranking atau dominasi. Lihat Muhammad ‘Abid al-Jâbirî,  Madkhal ilâFalsafah al-‘Ulûm al-‘Aqlaniyyah al-Mu‘âshirah wa Tathawwur al-Fikral-‘Ilmî, (Bayrût: Markaz Dirâsât al-Wihdah al-‘  Arabiyyah, 1994), cet.I, h. 18.

    manusia.Secara idealis manhaj /kaidah yang dirumuskan

    Majelis arjih dan ajdid PP Muhammadiyah sesung-guhnya amat berguna untuk menyamakan prinsipdan pandangan dalam soal pendekatan dan metode

    kajian. Keperluannya paling tidak ada dua. Pertama,untuk menyatukan pandangan tentang metode analisis(ijtihad), sehingga dapat dijadikan acuan bersamadalam proses kajian. Kedua, menyamakan prinsip danpandangan dalam soal pendekatan atau metode kajiansehingga jika terdapat perbedaan tidak lagi pada hal-hal yang mendasar, akan tetapi pada ketajaman dankeseksamaan dalam proses analisisnya. Kaidah tersebutsecara praktis digunakan sebagai acuan dalam proseskajian dan analisis.

    Pendekatan Bayânî Bayânî 4   (Arab) berarti penjelasan (explanation),

    menyingkap, dan menjelaskan sesuatu, yakni menjelas-kan maksud suatu pembicaraan dengan menggunakanlafzh yang paling baik (komunikatif). Ahli ushûl al-fiqh memberikan pengertian bahwa bayân adalah upayamenyingkap makna dari suatu pembicaraan (kalâm)serta menjelaskan secara terinci hal-hal yang tersembunyidari pembicaraan tersebut kepada para mukallaf  .

    Makna al-bayân di sini mengandung empat

    pengertian, yakni al-fashl wa al - infishâl dan al-zhuhurwa al -izhhâr, atau bila harus disusun secara hierarkisatas dasar pemilahan antara metode (manhaj) dan visi(ru’yah) dalam epistemologi bayânî , dapat disebutkanbahwa al-bayân sebagai metode berarti al-fashl waal -Infishâl , sementara al-bayân sebagai visi berarti al-zhuhur wa al -izhhâr,5 bahkan al-Syâfi‘î meletakkan al-ushûl al-bayânîyyah sebagai faktor penting dalam aturanpenafsiran wacana.6 

     Al-Syâfi‘î kemudian menjelaskan hierarki bayân,khususnya berkaitan dengan bayân terhadap Alquran

    dalam lima tingkatan Pertama, bayân yang tidakmemerlukan penjelasan; Kedua, bayân yang beberapabagiannya membutuhkan penjelasan Sunah; Ketiga,

    4 Al-Jâbirî memaknai al-bayân secara etimologis, dengan mengacukepada kamus Lisân al-‘Arab karya Ibn al-Manzhûr yang di dalamnyatersedia materi-materi bahasa Arab sejak permulaan masa tadwîn, yangmasih mempunyai makna asli yang belum tercampuri oleh pengertianlain, karena dari makna asli tersebut akan diketahui watak dan situasiyang mengitarinya. Makna al-Bayân di sini mengandung empatpengertian, yakni al-Fashl wa’l infishâl dan al-zhuhur wa al- izhhâr, ataubila harus disusun secara hierarkis atas dasar pemilah-an antara metode(manhaj) dan visi (ru’yah) dalam epistemologi bayânî , dapat disebutkanbahwa al-Bayân sebagai metode berarti al-Fashl wa’l Infishal , sementara

    al-Bayân sebagai visi berarti al-zhuhur wa’l idzhâr. Lihat  Muhammad’Abid al-Jâbirî, Bunya al-‘Aql al-‘Arabî, (Bayrût:  al-Markaz al-saqâfîal- ‘  Arabî, 1993), cet. VI, h.15-20.

    5 Muhammad ‘Abîd al-Jabirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî, (Bayrut: al-Markaz al-saqâfî al-‘  Arabî, 1993), cet. VI, h. 20.

    6 Muhammad ‘Abîd al-Jabirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî, h. 24.

  • 8/19/2019 Ijtihad Muhammadiyah

    3/8

    53 Afifi Fauzi Abbas: Integrasi Pendekatan Bayânî 

    bayân yang keseluruhannya bersifat umum danmembutuhkan penjelasan Sunah; Keempat, bayân yangtidak terdapat di dalam Alquran namun terdapat dalamSunah; dan kelima, bayân yang tidak terdapat baikdalam Alquran maupun Sunah, yang dari sini kemudian

    memunculkan qiyâs sebagai metode ijtihad.Dari lima derajat bayân tersebut al-Syâfi‘î kemudianmerumuskan empat dasar pokok agama yakni Alquran,Sunah, ijmak, dan qiyâs .7  Hanya saja, menurut al-

     Jâhidz, usaha al-Syâfi‘î baru sampai pada tingkatmemahami teks, belum berorientasi pada bagaimanacara membuat orang paham.  Al-bayân,  menurut dia,adalah sebuah usaha membuat orang jadi paham akan

     wacana atau bahkan sebagai usaha memenangkansebuah perdebatan.8  Dia melihat al-bayân dari sisipedagogik, sehingga unsur mukhâthab harus dilibatkan,

    bahkan sebagai tujuan.Dalam hal ini al-Jâhidz memberikan syarat yakni

    harus ada keharmonisan antara lafzh  dan makna.Bagi al-Jâhidz, untuk mendapatkan makna yang tepatperlu ditetapkan syarat-syarat dalam pengambilankesimpulan, yakni: (1) Makna; (2)Bayân dengan seleksihuruf dan lafzh; (3) Bayân dengan makna terbuka.Dalam hal ini makna bisa diungkap dengan salah satudari lima bentuk penjelas, yakni lafzh, isyarat, tulisan,keyakinan, dan keadaan/nisbah, dan (4) Bayân dengansyarat keindahan.9

    Perkembangan berikutnya adalah Ibn Wahhâb.Ia menambahkan pemahaman terhadap bayândengan merumuskan dari sisi tingkat kepastian ataupenunjukannya. Dalam hal ini, Ibn Wahhâb menye-butkan ada empat tingkat, yakni: (1) Penjelasan sesuatudengan menunjukkan bentuk materi pernyataannya(bayân bi al-i‘tibâr); ( 2) Penjelasan sesuatu denganpemahaman dalam batin (bayân bi al-qalb); (3) Pen-

     jelasan sesuatu dengan redaksi lisan (bayân bi al-‘Ibârah);(4) Penjelasan sesuatu dengan redaksi tulis (bayân bi al-kitâb).10 

    Sebagai sebuah pendekatan, bayânî  merupakan studifilosofis terhadap sistem bangunan pengetahuan yangmenempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaranmutlak. Adapun akal hanya menempati kedudukansekunder, yang bertugas menjelaskan dan membelateks yang ada. Kekuatan pendekatan ini terletak padabahasa, baik pada tataran gramatikal, struktur, maupunnilai sastranya.

    Metode analisis bayânî  bertumpu pada pemahamanmakna lafzh  sebagai bahan perumusan pesan-pesan

    yang dikemukakan suatu lafzh. Secara umum metode7 Muhammad ‘Abîd al-Jabirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî, h. 22-23.8 Muhammad ‘Abîd al-Jabirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî, h. 25.9 Muhammad ‘Abîd al-Jabirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî, h. 25.10 Muhammad ‘Abîd al-Jabirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî, h. 26-30.

    analisis bayânî  ada empat macam. Pertama, dilihat dariperspektif kedudukan lafzh (al-wadh’ ). Metode analisisini sesuai bentuk dan cakupan maknanya. Berkaitandengan ini penggunaan analisis lafzh amr dan nahy, ’âmdan khâsh, muthlaq dan muqayyad, serta  lafzh musytarak  

    adalah sesuatu yang penting.Kedua, dilihat dari perspektif penggunaan lafzh (al-isti’mâl ). Metode analisis ini sesuai dengan maksudpembicara dalam menyampaikan pembicaraannya.Berkaitan dengan ini penggunaan kaidah analisis haqîqîdan majâzî, sharîh, dan kinâyah harus diperhatikan.

    Ketiga , dilihat dari perspektif derajat kejelasan suatulafzh (darajah al-wudhûh), penggunaan analisis wâdhîhdan  mubham, muhkam dan  mutasyâbih, mujmal dan mufassar, zhâhir, dan khâfî menjadi skala prioritas.

    Keempat, dilihat dari perspektif dalâlah (kandungan

    makna) suatu lafzh  (tharîqah al-dalâlah), digunakananalisis dengan melihat konteks, sehingga dapatdibedakan menjadi: dilâlah al-’ibârah, dilâlah al-isyârah,dilâlah al-nash, dan dilâlah al-iqtidhâ’ .

    Bagi Muhammadiyah, pendekatan bayânî   tetapsangat diperlukan dalam rangka menjaga komitmenproses ijtihadnya yang juga selalu konsisten kepada teks,yakni Alquran dan Sunah, meskipun dalam praktiknyatidak harus berlebihan. Untuk ini diperlukan penguasaankaidah-kaidah ushûliyyah dan kaidah-kaidah fiqhiyyah.

    Pendekatan Burhânî 

    Burhân (Arab) berarti argumen (al-hujjah) yang jelas(al-bayyinah/clear) dan dapat membedakan (distinc/ al-fashl);  demonstration (Inggris), yang mempunyaiakar bahasa Latin: demonstratio (memberi isyarat,sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam perspektiflogika (al -mantiq), burhânî adalah aktivitas berpikiruntuk menetapkan kebenaran suatu premis melaluimetode pengambilan kesimpulan (al-istintâj), denganmenghubungkan premis tersebut dengan premis yang

    lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukakebenarannya. Sedangkan dalam pengertian umum,burhânî adalah “aktivitas nalar yang menetapkan kebe-naran suatu premis”. 

     Jika dibandingkan dengan bayânî dan ‘irfânî,di mana bayânî menjadikan teks (nas), ijmak, danijtihad sebagai otoritas dasar dan bertujuan untukmembangun konsepsi tentang alam untuk memperkuatakidah agama, yang dalam hal ini Islam. Sedangkan‘irfânî menjadikan al-kasyf sebagai satu-satunya jalandalam memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu

    burhânî lebih bersandar pada kekuatan natural manusiaberupa indera, pengalaman, dan akal dalam mencapaipengetahuan.

     Jadi, pendekatan burhânî berpola dari nalar burhânî,

  • 8/19/2019 Ijtihad Muhammadiyah

    4/8

    Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 201254

    dan nalar burhânî bermula dari proses abstraksi yangbersifat ‘ta’aqqulî   terhadap realitas sehingga munculkonsepsi, sedangkan konsepsi sendiri butuh aktualisasisebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti,sehingga di sinilah ditempatkan kata-kata. Atau dengan

    redaksi lain, kata-kata adalah sebagai alat komunikasidan sarana berpikir di samping sebagai simbol per-nyataan konsepsi.11

    Secara struktural, proses yang dimaksud terdiriatas tiga hal. Pertama , proses eksperimentasi, yaknipengamatan terhadap realitas. Kedua , proses abstraksi,yakni terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalampikiran. Ketiga , ekspresi yakni mengungkapkan realitasdengan kata-kata.12

    Berkaitan dengan cara ketiga untuk mendapatkanilmu burhânî di atas, pembahasan tentang silogisme

    demonstratif   atau qiyâs burhânî menjadi sangat sig-nifikan. Qiyâs ,  atau tepatnya qiyâs jamâ‘î, yaknimengumpulkan dua preposisi (qadhiyyah) yang disebutpremis, kemudian dirumuskan hubungannya denganbantuan terminus medius atau term tengah sehinggadiperoleh sebuah konklusi (natîjah) yang meyakinkan,13 menuju sesuatu yang sangat penting.

    Selain itu, pendekatan burhânî   atau pendekatanrasional argumentatif melalui dalil-dalil logika,menjadikan teks maupun konteks sebagai sumber kajian.Dalam konteks ini metode ta‘lîlî , yakni pola penafsiran

    yang bertumpu pada ‘illah  yang diyakini berada padakandungan Ayat atau Hadis yang menjadi tambatanditetapkannya suatu norma. Artinya, lafzh tidak cukuphanya dipahami berdasarkan arti kebahasaannya, tetapi

     juga dilihat dalam perspektif sosio-historisnya. Analisispada metode ini dapat dibedakan kepada penalaranqiyâsî , istihsânî, maupun istishlâhî .

    Pendekatan ‘Irfânî 

    ‘Irfânî 14   berasal dari kata ‘irfân (Arab) merupakan

    bentuk dasar (mashdar) dari kata ‘arafa , yang semaknadengan ma‘rifah.15  Dalam bahasa Arab, istilah al-‘irfânberbeda dengan kata al-‘ilm. Al-‘ilm menunjukkanpemerolehan obyek pengetahuan (al-ma‘lûmât) mela-lui transformasi (naql) ataupun rasionalitas (‘aql),sementara ’irfân atau ma‘rifah berhubungan denganpengalaman atau pengetahuan langsung dengan objekpengetahuan.

    Istilah tersebut digunakan untuk membedakan antarapengetahuan yang diperoleh melalui indera (sense/al-

    11 Cermati Muhammad ’Abîd al-Jâbirî, Taqwîn al-‘Aql al-‘Arabî,(Bayrût: al-Markaz al-saqâfî al- ‘  Arabî, 1991), cet. VIII, h. 420.

    12 Muhammad ’Abîd al-Jâbirî, Taqwîn al-‘Aql al-‘Arabî,, h. 420.13 Muhammad ’Abîd al-Jâbirî, Taqwîn al-‘Aql al-‘Arabî, h. 385.14 Muhammad ’Abîd al-Jâbirî, Taqwîn al-‘Aql al-‘Arabî, h. 251.15 Muhammad ’Abîd al-Jâbirî, Taqwîn al-‘Aql al-‘Arabî, h. 251

    hissî) dan akal atau keduanya, dengan pengetahuan yangdiperoleh melalui kasyf (ketersingkapan), ilham, ‘iyân, atau isyrâq . ‘Irfân dimengerti sebagai ketersingkapanlewat pengalaman intuitif akibat persatuan antara yangmengetahui dengan yang diketahui (ittihâd al -‘ârif wa

    al -ma‘rûf) yang telah dianggap sebagai pengetahuantertinggi.Bagi kalangan ‘irfânîyyûn, pengetahuan tentang

    uhan (hakikat uhan) tidak diketahui melalui bukti-bukti empiris rasional, tetapi harus melalui pengalamanlangsung (mubâsyarah). Untuk dapat berhubunganlangsung dengan uhan, seseorang harus mampumelepaskan dirinya dari segala ikatan dengan alam yangmenghalanginya.

    Menurut konsep ‘irfânî , uhan dipahami sebagairealitas yang berbeda dengan alam. Sedangkan akal,

    indera, dan segala yang ada di dunia ini merupakanbagian dari alam, sehingga tidak mungkin mengetahuiuhan dengan sarana-sarana tersebut. Satu-satunyasarana yang dapat digunakan untuk mengetahui hakikatuhan adalah melalui jiwa (nafs), sebab ia merupakanbagian dari uhan yang terpancar dari alam keabadiandan terpasung ke alam dunia. Ia akan kembali kepada-Nya, jika sudah bersih dan terbebas dari kungkunganalam dunia.

     Jika sumber pokok (origin) dari ilmu pengetahuandalam pendekatan bayânî adalah teks (wahyu), maka

    dalam pendekatan ‘irfânî , sumber pokoknya adalahexperience (pengalaman), yakni pengalaman hidup yangotentik, dan sesungguhnya, yang merupakan pelajarantak ternilai harganya.

    Pengalaman-pengalaman batin yang amat mendalam,otentik, fitri,  dan hampir-hampir tak terkatakan olehlogika dan tak terungkapkan oleh bahasa inilah yangdisebut direct experience , dan disebut ilmu hudhûrîdalam tradisi isyrâqiyyah. Semua pengalaman otentiktersebut dapat dirasakan secara langsung tanpa harusmengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan‘bahasa’ atau ‘logika’.16 

    Pendekatan ‘irfânî   adalah pendekatan pemahamanyang bertumpu pada pengalaman batin dan intuisi(dzawq, qalb, wijdân, bashîrah). Pendekatan penge-tahuan ini menekankan hubungan antara subjek danobjek berdasarkan pengalaman langsung dari seorangMuslim, tidak melalui medium bahasa atau logikarasional, sehingga obyek menyatu dalam diri subjek.Pengetahuan ‘irfânî  sesungguhnya adalah pengetahuanpencerahan (iluminasi).

    Dalam kaitan ini pengetahuan ‘irfânî  dapat diperolehmelalui tiga tingkatan. Pertama ,  tahap membersihkandiri dari ketergantungan pada hal-hal yang bersifat

    16  Mohammad Muslih, Filsafat Islam, Kajian atas Asumsi Dasar,Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, h. 220

  • 8/19/2019 Ijtihad Muhammadiyah

    5/8

    55 Afifi Fauzi Abbas: Integrasi Pendekatan Bayânî 

    duniawi (profan). Ini dapat dilakukan dengan tazkiyyahal-nafs (penyucian jiwa). Kedua , melalui pengalaman-pengalaman eksklusif dalam menghampiri danmerasakan pancaran nur Ilahi. Ketiga , ditandai denganpengetahuan yang seolah-olah tidak terbatas dan tidak

    terikat oleh ruang dan waktu.Meskipun metode ‘irfânî sangat subjektif dan batini,namun semua orang dapat merasakan kehadiran-Nya,artinya, setiap orang melakukan dengan tingkat dankadarnya sendiri-sendiri. Ketika pengalaman masing-masing tersebut diwacanakan maka ia akan menjadiintersubjektif. Sifat intersubjektif tersebut dapat difor-mulasikan dalam beberapa tahapan. Pertama, tahapanpersiapan diri (mujâhadah/riyâdhah/  wirid); Kedua,tahapan pencerahan (iluminasi); dan ketiga, tahapankonstruksi (pemaparan secara simbolik), sehingga

    memberi peluang bagi orang lain untuk mengaksesnya.Implikainya adalah akan lahir penga-laman keagamaanyang berbeda antara orang seorang dengan yang lain,berbeda ekspresinya, meskipun substansi dan esensinyatetap sama. Inilah yang memperkaya empati dan simpatiterhadap orang lain yang setara secara elegan.

    Integrasi Bayânî , Burhânî,  dan ‘Irfânî   dalamIjtihad

    Seyogianya ketiga pendekatan tersebut tidak

    dibiarkan berjalan sendiri-sendiri (paralel), karena nilaimanfaat yang dapat diraih akan sangat sedikit. Begitu juga tidak dibiarkan hubungan antara yang satu denganlainnya bersifat linier, karena hanya memunculkan yangsatu lebih unggul dari yang lainnya. Akan lebih baik

     jika ketiganya dijalin berkelindan, saling melengkapi,dan fungsional, ibarat “tali tiga sepilin” sehingga hu-bungannya bersifat spiral sirkular. Artinya, ketiganyadigunakan dengan penuh kesadaran bahwa masing-masing punya kelebihan dan kelemahan.

    Untuk memahami Islam secara benar dan integratif

    setidaknya dapat dilakukan melalui beberapa tahapan.Pertama, Islam harus dipelajari dari sumbernya yangasli yakni Alquran dan Sunah. Untuk ini, pendekatanbayânî  menjadi sangat signifikan. Kekeliruan memahamiIslam dapat terjadi karena orang hanya mengenal Islamdari sebagian ulama yang telah jauh dari bimbingan

     Alquran dan Sunah. Atau kekeliruan dapat juga terjadikarena orang amat terikat dengan kitab-kitab fikih ataupaham tasawuf yang lahir dari pendekatan ‘irfânî  yangsebagian telah tercampur dengan bid‘ah dan khurafat .Hal demikian dapat menimbulkan sinkritisme, ber-

    campur-aduknya ibadah dan kepercayaan umat denganhal-hal yang tidak jelas dasar dan sumbernya dalamIslam. Untuk menghindari hal tersebut maka Islamharus digali dari sumbernya yang asli, yakni Alquran

    dan Sunah yang sahih.Kedua, Islam harus dipelajari secara integral tidak

    secara parsial, tekstual, atau kontekstual, akan tetapidengan membangun pemahaman yang integratif daripendekatan bayânî , burhânî, dan ‘irfânî . Artinya Islam

    dipelajari secara menyeluruh sebagai suatu kesatuanyang bulat, tidak sepotong-sepotong atau sebagian-sebagian. Apabila Islam dipelajari secara parsial atausebagian-sebagian, apalagi bukan yang menjadi pokokajarannya, hal ini biasanya mengundang khilâfiyyah dan dapat menimbulkan perpecahan umat. Akibatlain dari pendekatan parsial dapat menimbulkansikap skeptis (ragu, bimbang) terhadap Islam. Untukmenghindari bahaya pendekatan seperti itu, maka Islamharus dipelajari secara menyeluruh, utuh, bulat, danintegratif, terutama yang pokok-pokok dan prinsip-

    prinsip dasarnya.Untuk dapat memahami Islam secara integratif

    diperlukan kelengkapan yang cukup, antara lain: (1)Sifatnya intelektual, artinya   untuk dapat memahamiagama atau fenomena agama secara menyeluruh,diperlukan informasi yang cukup; (2) Seseorang yangingin memahami Islam secara integral harus sudahmemiliki kondisi emosional yang cukup matang; (3)

     Yang bersangkutan memiliki kemauan yang konstruktif;(4) Berdasarkan pengalaman. Maksudnya, adanyakontak positif dengan pelbagai aspek-aspek kehidupan

    yang ada hubungannya dengan ajaran Islam .17

    Ketiga, wawasan studi Islam dapat dilakukanmelalui wacana intelektual Islam yang telah ditulisoleh ulama-ulama dan cendekiawan Islam,18  yangsalah satunya lahir dari pendekatan burhânî . Karenamanusia menangkap kenyataan dengan cara tertentu,ia juga membicarakannya dengan cara tertentu pula.Dalam bahasa asing disebut discourse , yang kadang

     juga diterjemahkan dengan diskursus, terutama wacana intelektual Islam abad klasik 19  dan modern,yang pendekatannya lahir dari perpaduan ilmu yangmendalam terhadap Alquran dan Sunah Rasul sertapraktik dan pengalaman keberagamaan yang sarattantangan.

    Pemahaman Islam melalui wacana intelektualIslam ini, karena ia lahir dari hasil pemikiran, terdapatkemungkinan adanya lebih dari satu pemahaman. Iniadalah sebuah keniscayaan bahwa pendekatan burhânî  dapat melahirkan pelbagai pandangan, dan hal inisangat tergantung dari konsep dan teori yang diusung.Coraknya ada yang normatif/dogmatis dan ada pula

    17 A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, h. 61-63.18 Wacana adalah cara manusia membicarakan suatu kenyataan.19  Studi Islam klasik mencakup setidak-tidaknya enam cabang

    ilmu, yakni ‘Ulûm al-Qur’ân, ‘Ulûm al-Hadîts , Ilmu Hukum (Fikih),Ilmu Kalam atau eologi, asawuf dan Falsafat. Lihat Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif  , (Yogyakarta, Rake Sarasin, 1990).

  • 8/19/2019 Ijtihad Muhammadiyah

    6/8

    Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 201256

    yang bercorak rasional ilmiah. Inilah yang melahirkanmazhab dan aliran pemikiran dalam Islam pada masalalu dan sekarang.

    Perbedaan pemahaman bisa terjadi karena beberapa

    faktor, seperti karena perbedaan wawasan, lingkungan,latar belakang sejarah, cara pandang terhadap nas, danlain-lain. Perbedaan itu hanya terjadi dalam rincian( furû’ ) dan bukan dalam perbedaan prinsipil (al-ashl ).Perbedaan tersebut menjadikan Islam menjadi luwesdan luas cakupannya.20 

    Prinsip keluwesan dan keluasan itu memungkinkanpula adanya perbedaan dan variasi dalam suatumasyarakat. Bila didasari oleh semangat obyektivitasdan kesadaran akan kelemahan manusia dalammemahami pesan Allah, maka prinsip ini akan

    berdampak positif bagi pemikiran Islam. Pandanganyang berbeda dan bervariasi ini akan memperkaya

     wacana intelektual Islam. Yang perlu dihindari adalahpandangan yang kontroversial dan mengundangkonflik.

    Pandangan kontroversial dan mengundang konflikbisa terjadi karena beberapa faktor. Pertama, karenapemahaman keagamaan yang bersifat individualuntuk kebutuhan praktis, menyangkut sikap/etikatentang bagaimana seseorang harus memperlakukandiri sendiri, keluarga, tetangga, masyarakat, dan

    peribadatannya kepada Allah. Ini merupakan fitrahmanusia, yang ia akan berubah sesuai denganlingkungan dan pengetahuan yang dimiliki olehseseorang. Semakin berkembang manusia baik secaraspiritual maupun intelektual, maka akan semakinmenyatu pemahamannya tentang Islam.

    Kedua, pemahaman resmi yang dianut olehmasyarakat atau negara melalui lembaga-lembagaresminya. Ia lebih bersifat idiologis yang menentukanperjalanan suatu masyarakat dan bangsa. Yang perludipahami adalah mana pemahaman resmi untukkebutuhan praktis dan mana pula pemahaman resmiuntuk status quo dalam masyarakat.

    Ketiga, adalah apa yang disebut sebagai ”Islam harakah”   yang selalu berusaha menggerakkanindividu dan masyarakat agar lebih berpegangkepada Islam. Islam  harakah  biasanya tidak pernahpuas dengan hasil yang telah dicapai, karenanyaia selalu berusaha menuju kesempurnaan. Namunyang patut disadari adalah bahwa biasanya Islam harakah  ini sering berhubungan dengan organisasi,

    20 Pembahasan keluwesan dan keluasan syariat Islam ini sebagaisesuatu yang nyata dan tidak mengada-ada dapat disimak dalamtulisan Yûsuf al-Qaradhâwî, Keluwesan dan Keluasan Syariat Islam. alih bahasa Rifyal Ka’bah, (Jakarta: Minaret, 1988).

     jaringan, pengkaderan, perombakan, bahkan revolusi,sehingga lebih bernuansa politis. Akan tetapi bila iatumbuh dalam masyarakat yang normal dan terbukamaka kesan politisnya akan berubah menjadi agen

    perubahan dan pembaruan menuju masyarakatsejahtera yang diridai Allah Swt.21 iga pendekatan (bayânî, burhânî,  dan ‘irfânî )

    di atas adalah warisan yang tidak ternilai harganyadalam pemikiran Islam. Dan ketiga pendekatanini hingga kini masih banyak digunakan parapengkaji di kalangan Muslim sendiri, dan sebagiannon-Muslim. Majelis arjih dan ajdid PimpinanPusat Muhammadiyah mengupayakan adanyaproses pemaduan pemahaman. Mereka melihat adapeluang dan kemungkinan-kemungkinan untuk

    menghubungkan ketiga pendekatan ini untukmemahami Islam. Kemungkinan-kemungkinan itubisa berupa saling memberi dan menerima antarpendekatan (al-akhdz wa al-‘ithâ‘ bayn al-manâhij ),kesinambungan (al-ittishâl), saling memengaruhi(al-ihtikâk ), dan bahkan saling bertabrakan ataukontradiksi (al-i’tidâm).

    Pembaruan dan pengembangan pemikiran Islamdalam Muhammadiyah meliputi persoalan sosialkeagamaan, sosial budaya, sosial politik, sosialekonomi, sains dan teknologi, lingkungan hidup, etika

    dan rekayasan genetika dan bioteknologi, serta isu-isuyang berkaitan dengan masalah keadilan dalam bidangHak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, hubunganpria dan wanita dalam Islam, civil society , agama dankekerasan sosial, spiritualitas keagamaan, penguatankesadaran moralitas publik, pemecahan KKN, dialogdan hubungan antar agama, integrasi dan disintegrasinasional, kepekaan pluralisme keagamaan dalambidang pendidikan dan pengajaran, dan lain-lain.

     Apabila peta wilayah pengembangan pemikirankeislaman kontemporer seperti di atas, lalu bagai-mana bentuk sesungguhnya hubungan antara ketigapendekatan, yakni antara bayânî , burhânî,  dan‘irfânî ?

    Setelah diperoleh pemahaman kerangka me-todologis di atas, langkah penting lain yang tidak kalahnilai strategisnya adalah penentuan bentuk hubunganantara ketiganya. Ketepatan dan kekeliruan penentuanpola hubungan antara ketiganya menentukan hasilyang akan dicapai.

     Ada tiga jenis hubungan antara ketiganya, yakni

    21  Rifyal Ka’bah, “Islam Indonesia dan Pusat Pusat Pemi-kiran Islam di imur engah”,  makalah Seminar Nasional StrategiKebudayaan Islam, Proyeksi Model Budaya Islam di Masa Mendaang,(Jakarta: PPIM IAIN Jakarta, 1995), h. 4-5.

  • 8/19/2019 Ijtihad Muhammadiyah

    7/8

    57 Afifi Fauzi Abbas: Integrasi Pendekatan Bayânî 

    paralel, linear, dan spiral. Jika bentuk hubunganantara ketiganya dipilih dalam bentuk paralel, dimana masing-masing ketiga pendekatan berjalansendiri-sendiri, tanpa ada hubungan antara satu

    pendekatan dengan pendekatan yang lain, makanilai manfaat praktis dan kegunaan pengembangankeilmuan yang akan diraih juga akan minim sekali.Bentuk hubungan paralel, mengasumsikan bahwadalam diri seorang Muslim terdapat tiga jenismetodologi keilmuan agama Islam sekaligus, tetapimasing-masing metodologi berdiri sendiri dan tidaksaling berdialog dan berkomunikasi. ergantung padasituasi dan kondisi. Jika ia berada pada wilayah bayânî ,ia gunakan pendekatan bayânî  sepenuhnya dan tidak“berani” memberi masukan dari hasil temuan dari

    pendekatan metodologi keilmuan keislaman yanglain. Meskipun begitu, setidak-tidaknya hasil yangdiperoleh dari model hubungan yang bersifat paralelini, masih jauh lebih baik daripada hanya hasil darisalah satu metodologi dan tidak mengenal jenismetodologi yang lain.

    Sedangkan hubungan linear, pada ujung-ujungnyaadalah “kebuntuan” karena tidak memberi ruang bagiyang lain. Pola pendekatan linear akan mengasumsikanbahwa salah satu dari ketiga metodologi tersebutakan menjadi primadona. Seorang Muslim akan

    menepikan masukan yang diberikan/disumbangkanoleh metodologi yang lain, karena ia telah terlanjurmenyukai salah satu dari ketiga pendekatan yangada. Pendekatan yang ia pilih dianggap sebagaisuatu pendekatan yang ideal dan final. Jenis pilihansemacam ini pada gilirannya, akan mengantarkanseorang pada “kebuntuan”. Dogma keilmuan di manatradisi berfikir bayânî  tidak mengenal tradisi berfikirburhânî  atau ‘irfânî  dan begitu sebaliknya.

    Keduanya—baik yang paralel maupun yanglinear—bukan merupakan pilihan yang baik yang

    dapat memberikan  guidance  (petunjuk) untuk umatIslam era kontemporer. Pendekatan paralel tidakdapat membuka wawasan dan gagasan-gagasan baru.Masing-masing pendekatan macet, terhenti, danbertahan pada posisinya sendiri-sendiri, dan itulahapa yang disebut “truth claim” (klaim kebenaran,atau monopoli kebenaran). Sedangkan pendekatanlinear—yang mengasumsikan adanya finalitas—akanmenjebak seseorang atau kelompok pada situasi-situasi eksklusif-polemis. Pendekatan pemikirankeislaman kontemporer, baru dapat mengantarkanseorang Muslim pada pemilihan antara salah satu darikedua pendekatan keilmuan di atas. Kedua pilihantersebut, masing-masing kurang kondusif untuk

    mengantarkan “kematangan religiusitas” seseorang,apalagi kelompok.

    Untuk itu perlu dilengkapi dengan pola hu-bungan antara ketiga metodologi yang lebih memberi

    kemungkinan dirumuskan angin segar, khususnya dilingkungan komunitas Muhammadiyah. Hubunganyang baik antara ketiganya adalah hubunganyang bersifat spiral. Dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakandalam pemikiran keislaman sadar dan memahamiketerbatasan, kekurangan, dan kelemahan yangmelekat pada diri masing-masing dan sekaligusbersedia memperbaiki kekurangan yang melekatpada dirinya. Dengan begitu, kekakuan, kekeli-ruan, ketidaktepatan, dan kesalahan, yang melekat

    pada masing-masing metodologi dapat dikurangidan diperbaiki, setelah memperoleh masukan dankritik dari jenis pendekatan dari luar dirinya, baik itumasukan dari pendekatan bayânî , burhânî, maupun‘irfânî . Corak hubungan yang bersifat spiral tidakmenunjukkan adanya finalitas dan eksklusivitas,lantaran finalitas—untuk kasus-kasus tertentu—hanya mengantarkan seseorang dan kelompokMuslim pada jalan buntu (dead lock ) yang cenderungmenyebabkan ketidakharmonisan hubungan antarsesama Muslim. Lebih-lebih lagi, finalitas tidak

    memberikan kesempatan munculnya new possibilities  (kemungkinan-kemungkinan baru) yang barangkalilebih kondusif untuk menjawab persoalan-persoalankeislaman kontemporer.

    Penutup

    Berdasarkan uraian di atas dapat dimengertibahwa ijtihad Muhammadiyah dapat dilakukanmelalui pelbagai pendekatan, yakni: bayânî , burhânî, dan ‘irfânî . Hubungan yang dibangun antara ketiga

    pendekatan tersebut adalah bercorak spiral, salingmelengkapi, saling menyempurnakan, lebih bercorakfungsional, atau dalam konteks pembahasan penulismenyebutnya bersifat integratif dan komprehensif.

     Manhaj  pengembangan pemikiran Islam Muham-madiyah ini bersifat toleran dan terbuka. oleranyang berarti Muhammadiyah tidak menganggappendapat yang berbeda dengan putusan pemikiranMuhammadiyah sebagai pendapat yang salah.erbuka, berarti Muhammadiyah menerima kritikkonstruktif terhadap hasil rumusan pengembangan

    pemikirannya asalkan argumentasinya didasarkanpada dalil yang lebih kuat dan argumentasi yang lebihakurat.[]

  • 8/19/2019 Ijtihad Muhammadiyah

    8/8

    Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 201258

    Pustaka Acuan

     Ali, A. Mukti, “Warga, Pengurus Ranting dan PimpinanCabang Muhammadiyah 1978 ke Depan”, naskahdisampaikan pada Muktamar Muhammadiyah ke40 di Surabaya, 23-30 Juni 1978.

     Ali, A. Mukti, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia ,Bandung: Mizan, 1992.

     Arkoun, Mohammed, Nalar Islami dan Nalar Modern:Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS,1994.

    Fachruddin, H. AR, “Garis-Garis Kemuhammadiyahan”,bahan yang disampaikan pada Loka Karya Al-Islamdan Kemuhammadiyahan PM, 28-29 Maret1981.

    Hidayat, Syamsul, “Metodologi Pemikiran IslamMuhammadiyah”, Kajian atas Manhaj arjih danPPI Munas tarjih XXV di Jakarta, yang disampaikanpada Kajian Manhaj arjih Muhammadiyah yangdiadakan PWM DKI Jakarta, 20 Maret 2002.

     Jâbiri, al-, Muhammad ‘Abid, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî,Bayrût: al-Markaz al-saqâfî al-‘  Arabî, 1993.

    ------------, Madkhal ilâ Falsafah al-‘Ulûm al-‘Aqlaniyyahal-Mu‘âshirah wa Tathawwur al-Fikr al-‘Ilm, Bayrût:

    Markaz Dirâsât al-Wihdah al-‘  Arabiyyah, 1994. Jâbirî, al-, Muhammad ‘Abid, Taqwinu’l ‘Aql al-‘Arabiy,

    Bayrût: al-Markaz al-saqâfî al- ‘  Arabî, Bayrût,1991.

    Ka’bah, Rifyal, Islam Indonesia dan Pusat Pusat Pemi-

    kiran Islam di Timur Tengah,  makalah SeminarNasional Strategi Kebudayaan Islam, ProyeksiModel Budaya Islam di Masa Mendaang, Jakarta:PPIM IAIN Jakarta, 1995.

    Meuleman, ”Islam di Indonesia dan Pusat-Pusat KajianIslam di Negara Barat”, Makalah Seminar Nasional“Strategi Kebudayaan Islam” Proyeksi Model BudayaIslam di Masa Mendatang, Jakarta: PPIM IAIN

     Jakarta, 1995.Muhadjir, Noeng,  Metode Penelitian Kualitatif  ,

     Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990.

    Muslih, Mohammad, Filsafat Islam, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori IlmuPengetahuan.

    Qaradhawi, Yusuf, Keluwesan dan Keluasan SyariatIslam.  alih bahasa Rifyal Ka’bah, Jakarta: Minaret,1988.