18
IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' Sumber Hukum Islam Kata-kata “Sumber Hukum Islam‟ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al -Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti „sumber hukum Islam‟, mereka menggunakan al- adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar‟iyyah. Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara‟ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum‟. Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur‟an, Hadits, Ijma‟ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil -dalil tersebut di atas (Al Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas). Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, „„uruf, madzhab as-Shahâbi, syar‟u man qablana. Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara‟i. Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad. Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman. ِ ثّ انّ َ ، أٍ مَ ثَ ج تِ ارَ عُ يَْ عُ َ نَ الَ ، قِ َ َ ْ ان َ نِ إُ َ ثَ عَ ا تّ َ نَ ىّ هَ سَ ِْ َ هَ عُ ّ ّ هَ صّ :” ؟ٌ اءَ ضَ قَ كَ نَ ضَ شَ عْ ِ إِ ضْ قَ تَ فَْ كَ الَ ، ق: ِ ابَ تِ كِ تِ ضْ قَ أَ الَ ، قِ ّ :”؟ِ ّ ِ ابَ تِ كِ فْ ُ كَ ْ ىَ نْ ِ ئَ فَ الَ ق: ُ ّ ّ هَ صِ ّ ِ لُ سَ سِ حّ ُ سِ ثَ فَ الَ ، قَ ىّ هَ سَ ِْ َ هَ ع:” ِ ْ َ هَ عُ ّ ّ هَ صِ ّ ِ لُ سَ سِ حّ ُ سِ فْ ُ كَ ْ ىَ نْ ِ ئَ ف ؟َ ىّ هَ سَ َ الَ ق: َ الَ ، ق ُ آن َ ِ ْ أَ سُ ذِ َ تْ جَ أ: َ الَ قَ ، ُ َ سْ ذَ صَ ىّ هَ سَ ِْ َ هَ عُ ّ ّ هَ صِ ّ ُ لُ سَ سَ بَ شَ ضَ ف:” ِ زّ انِ ّ ِ ُ ذْ َ حْ انِ ّ ِ لُ سَ سَ لُ سَ سَ قّ فَ َ ىّ هَ سَ ِْ َ هَ عُ ّ ّ هَ صِ ّ َ لُ سَ سِ ضْ شُ اَ ِ نَ ىّ هَ سَ ِْ َ هَ عُ ّ ّ هَ ص“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”. Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan

IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA'

Sumber Hukum Islam

Kata-kata “Sumber Hukum Islam‟ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm.

Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama

fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti „sumber hukum Islam‟, mereka menggunakan al-

adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang

dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar‟iyyah.

Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara‟ yang diambil (diistimbathkan)

daripadanya untuk menemukan hukum‟.

Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih

dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al

Qur‟an, Hadits, Ijma‟ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas

(Al Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas).

Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber

hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, „„uruf, madzhab as-Shahâbi,

syar‟u man qablana.

Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang

disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh

sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh

adalah ad-dzara‟i.

Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai

dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.

Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan

Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal

ketika diutus ke Yaman.

انث يعار ت جثم، أ ، قال ن ع ا تعث إن ان سهى ن عه صه للا عشض نك قضاء؟”: ف تقض إ أقض تكتاب :، قال ”ك

، قال ؟”:للا ف كتاب للا نى ك :قال ”فئ صه للا سهى، قال فثسح سسل للا عه :” عه صه للا ف سح سسل للا نى ك فئ

سهى؟ ال آن، قال :قال ” ذ سأ قال :أجت سهى صذس، عه صه للا ”:فضشب سسل للا انز ذ لل انح فق سسل سسل للا

سهى عه صه للا ا شض سسل للا سهى ن عه ”صه للا

“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya:

“Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab

Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan

sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata:

“Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz

dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang

diridhai Rasulullah Saw”.

Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya

perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum

padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia

pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan

Page 2: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia

berhukum memutus permasalahan.

A. IJTIHAD

PENGERTIAN IJTIHAD (اجتاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau

mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk

berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh., yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh

siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak

dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan

pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad

sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.

Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari`at

dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at.

Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-sungguh dari seorang

mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari`at”.

Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas.

TUJUAN IJTIHAD adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup

dalamberibadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

JENIS-JENIS IJTIHAD

ijma'

Ijma' artinya sepakat yakni sepakat para ulama dalam menetapkan suatu hukum

hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.

Adalah sepakat bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian

dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para

ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

Ijma‟ dalam istilah ahli ushul

Ijma‟ dalam istilah ahli ushul adalah sepakat semua para mujtahid dari kaum

muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara'

Adapun rukun ijma‟ dalam definisi di atas adalah adanya sepakat para mujtahid kaum

muslimin dalam suatu masa atas hukum syara‟ .

„Kesepakatan‟ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:

1. Tidak cukup ijma‟ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang

(mujtahid) saja di suatu masa. Karena „kesepakatan‟ dilakukan lebih dari satu orang,

pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.

2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara‟ dalam suatu masalah,

dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara‟

hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah,

Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara‟ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma‟. Karena

ijma‟ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam

dalam suatu masa.

3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan

pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.

Page 3: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar

mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang „banyak‟ secara ijma‟ sekalipun

jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan

kesepakatan yang banyak itu hujjah syar‟i yang pasti dan mengikat.

Kehujjahan Ijma‟

Apabila rukun ijma‟ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung

seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin

walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya.

Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik

dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.

Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu

disepakati menjadi aturan syar‟i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya.

Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah

disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma‟ dengan hukum

syar‟i yang qath‟i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).

Qiyâs

Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum

suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan

dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga

dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal

yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya

Beberapa definisi qiyâs (analogi)

1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik

persamaan di antara keduanya.

2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di

antaranya.

3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau

[Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam

Al Qur‟an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan

hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan

sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena

adanya persamaan illat hukum.

Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang

serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.

Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham

dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang

tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur‟an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.

2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas.

Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran

Page 4: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian

hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash

semata.

3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena

persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas

sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur‟an dan hadits.

Kehujjahan Qiyas

Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar‟i dan

termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat

hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma‟ dan yang kemudian ditetapkan

hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan

selanjutnya menjadi hukum syar‟i.

Diantara ayat Al Qur‟an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung

mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan

keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka

dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak

mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka

memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang

mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang

mempunyai wawasan. (Qs.59:2)

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri

di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka

kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar

beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih

baik akibatnya. (Qs.4:59)

Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan „kembali

kepada Allah dan Rasul‟ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya

menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan

Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.

Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn

Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah

Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah

satu macam ijtihad.

Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma‟. Bahwasanya para shahabat

Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata „qiyas‟. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang

shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma‟

menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan.

Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang „kalâlah‟ kemudian ia

berkata: “Saya katakan (pengertian) „kalâlah‟ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya)

benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan „kalâlah‟ adalah

tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti

Page 5: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan

anak.

Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt

mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan

tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur‟an

maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak

terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber

hukum syara‟. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara‟ yang tetap berjalan dengan

munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap

hukum syara‟ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.

Rukun Qiyas

Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:

1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis

alaihi.

2. Fara‟ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.

3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar‟i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya.

Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara‟.

4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.

Istihsan

Beberapa definisi Istihsân

1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu

adalah benar.

2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya

3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.

4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.

5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada

sebelumnya.

Maslahah murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan

kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari

kemudharatan.

Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi

kepentinagn umat.

Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa

mengubahnya.

Urf

Page 6: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat

setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam

Alquran dan

MUJTAHID DAN SYARAT-SYARATNYA

Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Membicarakan syarat-syarat mujtahid berarti

juga membicarakan syarat-syarat ijtihad.

Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat :

- Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang

syara dan mendahulukan yang wajib.

- Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah).

Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua

sifat :

- Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh.

- Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan

syari`at tersebut.

Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili mujtahid mempunyai dua syarat yaitu Mengetahui apa yang

ada pada Tuhan dan mengetahui/percaya adanya Rasul & apa yang dibawanya juga mukjizat-

mukjizat ayat-ayat-Nya.

Al-Syatibi berpendapat bahwa mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:

Syarat pertama, memiliki pengetahuan stentang Al Qur‟an, tentang Sunnah, tentang masalah

Ijma‟ sebelumnya.

Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.

Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.

Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki

pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid

dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat

mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu

memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan

menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-

Syariah.

TINGKATAN MUJTAHID

1. Mujtahid mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya

dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Contohnya Maliki, Hambali, Syafi`i, Hanafi,

Ibnu Hazhim dan lain-lain.

2. Mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat untuk berijtihad, tetapi ia

menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh

imam madzhab tersebut.

Page 7: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

MACAM-MACAM IJTIHAD

Dr. ad Dualibi, sebagaimana dikatakan Dr. Wahbah (h. 594), membagi ijtihad kepada tiga

macam;

Al Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah dari nash-nash syar`i.

Al Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah untuk

kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan

menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.

Al Ijtihadul Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa

yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar-ra`yu yang

disandarkan atas isthishlah.

B. TAQLID

Secara bahasa taqlid berasal dari kata د ذا – (yuqollidu)قهذ – (qallada) قم .(taqlîdan)تقه

Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti. Ulama

ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak

mengetahui dari mana asal kata itu”.

Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang

dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam

tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum

itu.

Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang tidak ada

hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan(pendapat) itu. ketika

seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam

hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang

tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah

yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita

sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta

dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan

argumen sama sekali. Allah swt berfirman:

إرا قم نى اتثعا يا أزل للا تذ ال ا ي آتاهى ال عقه كا ن آتاءا أ ا عه قانا تم تث يا أني

“Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah

swt ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah swt turunkan”. Mereka

menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek

moyang kami”. Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak

juga mendapat hidayah ( dari Allah swt )” (QS. Al-Baqarah[2]: 170).

Hukum Taqlid

Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum: Pertama,

Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga, Taqlid yang dibolehkan.

Taqlid yang diharamkan.

Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :

Page 8: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang

dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.

b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.

c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui

bahwa perkataan atau pendapat itu salah.

Taqlid yang dibolehkan

Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba‟ kepada apa

yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut

sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah

terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya

sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan

dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada

ulama.

Ulama muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat

kedalam dua golongan:

a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat

dari keempat madzhab.

b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid

kepada ulama-ulama.

Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar

pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).

Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah

dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah

dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan

pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau

karena tidak nampak dalil baginya”

Taqlid yang diwajibkan

Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu

perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Juga apa yang dikatakan oleh lbnul Qayyim:

Sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-

Dzikr adalah al-Qur‟an dan al-Hadis yang Allah swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya

selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:

نطيا خثشا كا للا ح إ انحك آاخ للا ي ف تتك يا ته اركش

“ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah swt dan hikmah (Sunnah

Nabimu)”(QS. al-Ahzab[33]:34)

lnilah Adz-Dzikr yang Allah swt perintahkan agar kita selalu ittiba‟(mengikuti) kepadanya,

dan Allah swt perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya.

Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang

Allah swt turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau

dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba‟

kepadanya.

Taqlid yang Berkembang

Page 9: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku,

bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin

Anas, As Syafi`i, dan Hambali).

Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu

tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai

pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.

Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil

menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini

tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.

Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid

a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)

Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika

orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.

b. Imam Malik bin Anas (93-179 H)

Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang

terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada

kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.

c. Imam asy Syafi`i (150-204 H)

Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan

pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan

hadits Nabi SAW.

d. Imam Hambali (164-241 H)

Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti

semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in

dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana

yang salah ditinggalkan.

Allah swt telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya diantaranya,

ى آثاس إا عه ح أي جذا آتاءا عه زش إال قال يتشفا إا تم قانا إا قثهك ف قشح ي نك يا أسسها ي كز تذ ي

جذت ا ي ذ تكى تأ ج ن قال أ ى يقتذ آثاس إا عه ح أي جذا آتاءا عه آتا ى عه كافش ا أسسهتى ت ءكى قانا إا ت

Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami

menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk

dengan (mengikuti) jejak mereka". Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu

seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup

mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut

suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu)

berkata: „Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama)

yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu

menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu

diutus untuk menyampaikannya” (QS. az-Zukhruf[43] : 22-24)

Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba’

Page 10: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

Terdapat perbedaan antara taqlid dan ittiba‟ diantara hal yang menunjukkan

perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba‟ adalah larangan para imam kepada para

pengikutnya untuk taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba‟:

Pertama, Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan

kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau

berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku”

Kedua, Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan

keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan

setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah”

Ketiga, Al-Imam Asy-Syafi‟i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah saw,

ittiba‟lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun”

Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadis shahih yang

menyelisihinya, maka hadis Nabi lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid

kepadaku”.

Keempat, Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah engkau taqlid dalam agamamu kepada

seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau

juga berkata, “Ittiba‟ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi saw dan

para sahabatnya”

Mengikuti Manhaj Para Ulama Bukan Berarti Taqlid Kepada Mereka

lbnul Qayyim berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa

para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di atas petunjuk, maka orang-orang

yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para

imam tersebut.

Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap

taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba‟ kepada hujjah dan melarang

umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya

Allah swt . Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam

ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini tidak

berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.

Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada

dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagai timbangan

terhadap Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah saw.

C. ITTIBA`

Menurut bahasa Ittiba‟ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari

kata ittaba‟a ( اتث)yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya

diantaranya iqtifa‟ (اقتياء)(menelusuri jejak), qudwah(قذج) (bersuri teladan) dan uswah(أسج)

(berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan

mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani

dan mencontoh.

Sedangkan menurut istilah ittiba‟ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau

yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu

Page 11: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil

padanya, maka engkau adalah muttabi‟(orang yang mengikuti).

Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang

diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah

melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad

SAW.

Definisi lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang

menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan

hujjah atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid.

2. Macam-Macam Ittiba`

a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya

b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya

Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan.

Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah,

Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.

Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan

sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).

3. Tujuan Ittiba`

Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang

awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa

diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh

keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan

merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.

Ittiba‟

Kepada siapa kita wajib ittiba’?

Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba‟

kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas, dalam hal ini

Rasulullah saw adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu sebagaimana Allah swt

berfirman,

: قال للا تعان ركش للا خش و ا ان شج للا كا ج حسح ن أس نكى ف سسل للا كثشا ﴿ نقذ كا

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu) bagi orang

yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut

Allah." (QS. Al-Ahzab[33]:21).

Dalam ayat lain Allah swt berfirman:

تا : قال للا تعان فا يا اكى ع سل فخز يا آتاكى انش ﴿

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya

bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr[59]: 7).

Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan: Ittiba‟ adalah seseorang mengikuti apa yang datang

dari Rasulullah saw dan para shahabatnya.

Page 12: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

Ittiba‟ kepada Nabi saw dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang

diyakini oleh Nabi saw sesuai dengan bagaimana beliau meyakininya – apakah merupakan

kewajiban, kebid‟ahan ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya

atau yang merusak kesempurnaannya dst – dengan alasan karena beliau saw meyakininya.

Ittiba‟ kepada Nabi saw dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan

kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan

nashnya saja. Sebagai contoh sabda beliau saw:

..... : قال سسل للا صه للا عه سهى أصه ت ا سأ ا ك (سا انثخاس)... صه

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”.(HR. Bukhori).

Ittiba‟ kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.

Sedangkan ittiba‟ kepada Nabi saw di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan

adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu perkara-perkara

yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan tatacara dan ketentuan Nabi saw di dalam

meninggalkannya, dengan alasan karena beliau saw meninggalkannya. Dan ini adalah batasan

yang sama dengan batasan ittiba‟ di dalam perbuatan.

Hukum Ittiba‟

Seorang muslim wajib ittiba‟ kepada Rasulullah saw dengan menempuh jalan yang

beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat al-Qur‟an yang

memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba‟ kepada Rasulullah saw di antaranya firman

Allah swt.

: قال للا تعان ال حة انكافش للا ا فئ ن ت سل فئ انش ﴿ قم أطعا للا

“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya

Allah swt tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali lmran[3]: 32).

Dalam ayat lain Allah swt berfirman:

: قال للا تعان س للا إ اتقا للا سسن للا ذ يا ت آيا ال تقذ زا ان عهى ﴿ ا أ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah swt dan Rasul-Nya dan

bertaqwalah kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah swt Maha Mendengar lagi Maha

Mengetahui” (QS. al-Hujurat[49]:1).

Demikian juga Allah swt memerintahkan setiap muslim agar ittiba‟ kepada sabilil

mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah saw dan mengancam dengan hukuman yang

berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:

ي : قال للا تعان ن ؤي ش سثم ان تث غ ن انذ تعذ يا تث سل ي شاقق انش ي ن ﴿ جى ا ت صه

ساءخ يصشا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti

jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan

yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu

seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa‟[4]: 115).

Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam

Page 13: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

Ittiba' kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam,

bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan

beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:

Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat diterima amal. Sebagaimana

para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua:

1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata.

2. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara: taqwa

kepada Allah swt, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)."

Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah swt semata

dan serupa dengan sunnah Rasulullah saw, niscaya amal itu akan diterima oleh Allah swt.

Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan tertolak dan

tidak diterima oleh Allah swt. Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang.

Mereka hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh

karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya

baik, maka amalnya baik."

Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt dan Rasul-Nya.

Allah swt berfirman:

تى ت : قال للا تعان ك غيس سحى ﴿ قم إ للا غيش نكى رتكى فاتثع حثثكى للا للا حث

"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah

mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang." (QS. Ali Imran[3]: 31).

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi

setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah swt, akan tetapi tidak mengikuti sunnah

Muhammad saw. Karena orang yang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya

kepada Allah swt sampai dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad saw dalam segala

ucapan dan tindak tanduknya."

Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah swt

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara

waliyullah dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Allah swt dengan

ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Allah swt kecuali orang yang beriman kepada

Rasulullah saw dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun batin.

Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah swt dan mengaku sebagai wali Allah swt, tetapi dia

tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, berarti dia berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya,

dia termasuk musuh Allah swt dan sebagai wali syaitan."

Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi berkata: "Pada hakikatnya yang dinamakan karamah

itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena Allah swt tidak

memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar dari taufiq-Nya yang

diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa menyerupai apa yang dicintai dan diridhai-Nya

yaitu istiqamah di dalam mentaati Allah swt dan Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali

Allah swt serta bara' dari musuh-musuh-Nya." Mereka itulah wali-wali Allah swt

sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

Page 14: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

: قال للا تعان ال ى حز ى ف عه ال خ ناء للا أ ﴿ أال إ

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah swt itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka

dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus[10]: 62).

Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam dan masih

banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba' kepada Rasulullah

saw merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan. Mudah-

mudahan Allah swt menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya

dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu Allah swt dengan membawa

husnul khatimah. Amien, ya Rabbal Alamin.

D. TALFIQ

Talfiq berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”.

Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau

kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan

saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa

wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.

Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu

semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum

dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya.

Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti

pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam

ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.

Pendapat-Pendapat tentang Talfiq

Pendapat pertama, orang awam harus mengikuti madzhab tertentu, tidak boleh memilih

suatu pendapat yang ringan karena tidak mempunyai kemampuan untuk memilih. Karena itu

mereka belum boleh melakukan talfiq.

Pendapat kedua, membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat yang

bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqan itu.

Pendapat ketiga, membolehkan talfiq tanpa syarat dengan maksud mencari yang ringan-

ringan sesuai dengan kehendak dirinya.

Ruang Lingkup Talfiq

Talfiq sama seperti taqlid dalam hal ruang lingkupnya, yaitu hanya pada perkara-

perkara ijtihad yang bersifat zhanniyah(perkara yang belum diketahui secara pasti dalam

agama). Adapun hal-hal yang diketahui dari agama secara pasti (ma‟luumun minaddiini

bidhdharuurah), dan perkara-perkara yang telah menjadi ijma‟, yang mana mengingkarinya

adalah kufr, maka di situ tidak boleh ada taqlid, apalagi talfiq.

Hukum Talfîq

Ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfîq. Satu kelompok mengharamkan,

dan satu kelompok lagi membolehkan.

Page 15: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

Ulama Hanafiyah mengklaim ijma' kaum muslimin atas keharaman talfiq. Sedangkan di

kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah ketetapan.

Ibnu Hajar mengatakan: ”Pendapat yang membolehkan talfiq adalah menyalahi ijma'.

Dalil Kelompok yang Mengharamkan Talfiq

Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma' atas

ketidakbolehan menciptakan pendapat ketiga apabila para ulama terbagi kepada dua

kelompok tentang hukum suatu perkara. Karena menurut mayoritas ulama, tidak boleh

menciptakan pendapat ketiga yang meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang telah disepakati.

Misalnya 'iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia, terdapat dua pendapat,

pertama: hingga melahirkan, kedua: yang paling jauh (lama) dari dua tempo 'iddah(„iddah

melahirkan dan „iddah yang ditiggal oleh suaminya karena kematian). Maka tidak boleh

menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan beberapa bulan saja.

Akan tetapi jika ditinjau lebih dalam, terlihat bahwa alasan ini tidak bisa dibenarkan

sepenuhnya, karena meng-qiyaskan talfiq atas ihdaatsu qaul tsaalits (menciptakan pendapat

ketiga) adalah merupakan qiyas antara dua hal yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari dua

sisi:

1. Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila permasalahannya hanya satu, sedangkan talfiq

terjadi dalam beberapa permasalahan. Misalnya, kefardhuan menyapu kepala adalah sebuah

permasalahan, sementara permasalahan batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita

adalah permasalahan lain. Jadi, talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan, maka tidak

terjadi pendapat ketiga.

2. Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq tidak terdapat

suatu sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya, persoalan menyapu kepala merupakan

khilaf di kalagan ulama, apakah wajib seluruhnya ataukah sebagian saja. Demikian pula

batalnya wudhu' dengan menyentuh perempuan merupakan permasalahan yang menjadi

khilaf, apakah ia memang membatalkan wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq,

tidak ada sisi yang disepakati (ijma').

Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan talfiq telah dilandaskan pada dasar

yang salah yaitu qiyas ma'al faariq.

Apabila ulama Hanafiyah mengklaim ijma' atas keharaman talfiq, akan tetapi realita

yang ada sangat bertentangan. Ulama-ulama terpercaya seperti Al Fahâmah Al Amîr dan Al

Fâdhil Al Baijuri telah menukilkan apa yang menyalahi dakwaan ulama Hanafiyah tersebut.

Maka klaim adanya ijma' adalah bathil.

Berkata Al Syafsyawani tentang penggabungan dua mazhab atau lebih dalam sebuah

masalah: ”Para ahli ushul berbeda pendapat tentang hal ini. Yang benar berdasarkan sudut

pandang adalah kebolehannya (talfiq).”

Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili berkata: ”Adapun klaim ulama Hanafiyah bahwa

keharaman talfiq merupakan ijma', maka hal itu adakala dengna i'tibar ahli mazhab (ijma'

mazhab Hanafi), atau dengan i'tibar kebanyakan. Dan adakala juga berdasarkan pendengaran

ataupun persangkaan belaka. Sebab, jika sebuah permasalahan telah menjadi ijma', pastilah

ulama mazhab yang lain telah menetapkannya (mengatakannya) juga....”

Dalil Kelompok yang Membolehkan

Page 16: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

Para ulama yang membolehkan talfiq, mereka berdalil dengan beberapa alasan:

Alasan Pertama Tidak adanya nash di dalam al-Quran atau pun as-Sunnah yang melarang talfiq ini.

Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli

ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad

untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain.

Di kalangan para shahabat nabi saw terdapat para shahabat yang ilmunya lebih tinggi

dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai

rujukan dalam masalah hukum. Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin

Al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas''ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya.

Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama.

Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan

peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya tidak

boleh bertanya kepada orang lain.

Dan para iman mazhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun dari mereka

yang melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain

dirinya.

Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam Quran, sunnah,

perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri? Alasan Kedua

Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana pendapat

Syafi''i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang berpendapat apa,

kecuali mereka yang secara khusus belajar di fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab.

Dan betapa sedikitnya jumlah mereka hari ini dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara

keseluruhan. Maka secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan talfiq, dengan

disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini

berdosa. Dan ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada.

Alasan Ketiga

Nabi saw melalui Aisyah disebutkan:

“Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah,

selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah

orang yang paling menjauhi hal tersebut “.

Adanya dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil

syar'i yang benar. Namun salah satunya lebih ringan untuk dikerjakan. Maka nabi saw selalu

cenderung untuk mengerjakan yang lebih ringan.

Itu nabi Muhammad saw sendiri, seorang nabi utusan Allah swt. Lalu mengapa harus

ada orang yang main larang untuk melakukan apa yang telah nabi lakukan?

Dan ini merupakan salah satu dasar tegaknya syariat Islam yaitu member kemudahan,

tidak menyusahkan dan mengangkat kesempitan, hal ini sesuai pula dengan sabda Nabi

Muhammad saw:

“Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk

menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”.

Diantara para ulama yang mendukung talfiq adalah:

„Al-Izz Ibnu Abdissalam menyebutkan bahwa dibolehkan bagi orang awam

mengambil rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu

Page 17: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah swt itu mudah (dinu al-allahi yusrun)

serta firman Allah swt dalam surat al-Hajj ayat 78:

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu

kesempitan. Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia

tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat

imam madzhab yang diikutinya.

Demikian juga dengan para ulama kontemporer zaman sekarang, semacam Dr.

Wahbah Az-Zuhaili, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan dlarurat, asal

tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja

yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar„iyat.

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal

dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada

perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap

saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam

melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu

masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu

sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka

persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al

Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas

atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam

memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang

mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaku Ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.

2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar‟i, yaitu hukum Islam yang berhubungan

dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i‟tiqadi atau hukum

khuluqi,

3. Status hukum syar‟i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.

Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa

ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini

komentator Jam‟u „l-Jawami‟ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad

adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu‟. (Jam‟u „l-

Jawami‟, Juz II, hal. 379). Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang

mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz

ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu‟tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga

berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu

disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap

Page 18: IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ... hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,

aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur „ulama‟ telah bersepakat bahwa ijtihad

hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.Wallohu

A'lam

Terima kasih kami haturkan pada segenap mahasiswa dan dosen ushul kami serta segala

pihak yang telah menunjang terselesaikannya makalah ushul fiqih ini. Mohon maaf atas

segala khilaf dan salah. dalam isi makalah ini yan tidak lain adalah copy paste dari beberapa

website yang kami jadikan referensi. Terimakasih