15

Click here to load reader

ILMU JARH WA TA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jahr Wa Ta'dil

Citation preview

Page 1: ILMU JARH WA TA

ILMU JARH WA TA’DIL

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANGPara ahli hadis sepakat bahwa untuk menilai kualitas hadis, terlebih

dahulu harus dilihat dari segi matan dan sanatnya. Dalam hubungannya dengan sanat, yang harus diteliti adalah rangkaian atau persambungan sanad dan keadaan pribadi periwayatnya (rawi) hadis yang menyangkut dua hal: pertama, ke-‘adil-an yang hubungannya dengan kualitas pribadi periwayat dan kedua, ke-dhabith-an yang hubungannya dengan kapasitas intelektualnya. Apabila kedua hal tersebut ada pada periwayat hadis maka periwayat itu dinyatakan tsiqah dan hadis yang diriwayatkannya dapat diterima sebagai hujjah.

Karena kedudukan hadis sangat penting, maka pengetahuan serta pemahaman tentang ilmu jarh wat ta’dil tidak bisa dianggap remeh. Ilmu ini juga berperan penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis.

B. RUMUSAN MASALAH1. Apa yang dimaksud dengan ilmu jarh wa ta’dil ?2. Apa yang menjadi objek kajian ilmu jarh wa ta’dil ?3. Bagaimanakah lafadz-lafadz ilmu jarh wa ta’dil ?4. Apa manfaat ilmu jarh wa ta’dil dalam hadis?

C. Tujuan1. Memahami ilmu jarh wa ta’dil2. Mengerti kegunaan ilmu jarh wa ta’dil dalam hadist3. Mengerti objek yang dikaji dalam ilmu jarh wa ta’dil4. Mengerti lafafz – lafadz dari jarh wa ta’dil

1

Page 2: ILMU JARH WA TA

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN JARH WA TA’DILSecara etimologi, kata al - jarh merupakan mashdar dari kata jaraha-

yajrahu yang berarti melukai atau mencacat. Sedangkan menurut terminologi ilmu hadis, kata jarh berarti upaya mengungkapkan sifat – sifat tercela dari periwayat hadis yang menyebabkan lemah atau tertolaknya riwayat yang disampaikan.

Adapun kata ta’ dil adalah bentuk masdar dari kata ‘addala-yu’addilu yang berarti mengemukakan sifat – sifat adil yang dimiliki seseorang. Dalam terminologi ilmu hadis, kata ta’dil berarti upaya mengungkapkan sifat – sifat bersih dari seseorang periwayat hadis, sehingga nampak keadilan (‘adalah)-nya yang menyebabkan diterimanya sebuah riwayat yang disampaikannya.

Denagn demikian, yang dimaksud ilmu jarh wa ta’dil ialah pengetahuan yang membahas tentang keadaan periwayat – periwayat hadis, baik mengenai catatannya ataupun kebersihannya dengan menggunakan lafal – lafal tertentu, sehingga diterima atau sebaliknya, yaitu ditolak riwayatnya.

B. OBJEK KAJIAN1. Pen-tajrih-an Rawi

Tajrih rawi berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:a. Bid’ah, yakni mempunyai i’tikad berlawanan dengan dasar syariat.b. Mukhalafah, yakni perlawanan sifat ‘adil dan dhabit seorang rawi

yang lain yang lebih kuat yang tidak dapat dijama’kan atau dikompromikan.

c. Ghalath, yakni kesalahan, seperti lemah hafalan atau salah sangka, baik sedikit maupun banyak kesalahan yang dilakukan.

d. Jahalah al-Hal, yakni tidak diketahui identitasnya.e. Da’wa al-Inqitha’, yakni mendakwa terputusnya sanad.

2. Penetapan Kecacatan dan Keadilan Seorang Rawia. Penetapan tentang kecacatan seorang rawi dapat ditempuh melalui dua

jalan:1. Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam

keaibannya.Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.

2. Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat.

2

Page 3: ILMU JARH WA TA

b. Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh:1. Seorang rawi yang adil.

Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadits). Oleh karena itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk men-ta’dil-kan seorang rawi.

2. Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya.Baik laki-laki maupun perempuan dan orang yang merdeka

maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.

3. Syarat Ulama al-Jarh wa al-Ta’dilSeorang ulama al-jarh wa al-ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria

yang menjadikannya objektif dalam upaya menguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya ialah:

a. Berilmu, bertakwa, wara’, dan jujurJika seoarang ulama tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh wa al-ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya.

b. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-jarh-kanAl Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dalam Syarhal-Nukhbah, bahwa tazkiyah (pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan dari orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apayang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.

c. Mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa ArabDengan pengetahuan terhadap penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab maka suatu lafadz yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau men-jarh dengan lafadz yang tidak sesuai untuk men-jarh.

4. Beberapa Hal yang Tidak Disyaratkan Bagi Ulama al-Jarh wa al-Ta’dila. Tidak disyaratkan bagi ulama al-jarh wa al-ta’dil harus laki-laki dan

merdeka.Dalam melakukan tazkiyah dan jarh, yang terpenting orang tersebut hendaklah orang yang adil, baik laki-laki maupun perempuan, dan orang merdeka atau hamba.

b. Suatu pendepat menyatakan bahwa tidak dapat diterima al-jarh wa al-ta’dil kecuali dengan pernyataan dua orang, seperti dalam kasus kesaksian lainnya.Kebanyakan ulama menganggap cukup penilaian seorang ulama dalam al-jarh wa al-ta’dil apabila ia memenuhi syarat sebagai ulama al-jarh wa al-ta’dil, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Amidi dan Ibnu al-Hajib serta yang lainnya.

3

Page 4: ILMU JARH WA TA

5. Sebab-sebab Timbulnya JarhBeberapa hal yang menyebabkan seseorang men-jarh seorang rawi di antaranya:a. Karena hawa nafsu atau suatu maksud tertentu.b. Karena berlainan kepercayaanc. Karena berselisih antara ahli tashawuf dan ahli zhahird. Karena pembicaraan yang muncul tanpa didasari ilmue. Samar-samar serta tidak ada wara’.

C. LAFADZ – LAFADZ ILMU JARH WA TA’DIL1. Tingkatan Lafadz Ilmu Jarh wa Ta’dil

Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-jarh-kan dan men-ta’dil-kan rawi memiliki tingkatan-tingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu’s Shalah dan Imam Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al Hafidh Ad- Dzahaby dan Al ‘Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu:

a. Jarh Menunjuk kepada keterlakuan si rawi tentang cacatnya

dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’a-lut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya:1. Awdla’unnâsi (orang yang paling dusta)2. Akdzabunnâsi (orang yang paling bohong)

Menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk shighat muballagah. Misalnya:1. Kadzâbun (orang yang pembohong)2. Wa dlâ’un (orang yang pendusta)3. Dajjâlun (orang yang penipu)

Menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong, atau lainnya. Misalnya:1. Fulânun muttahamun bilkadzibi (orang yang dituduh

bohong)2. Awmuttahimun bilwadl’i (orang yang dituduh dusta)3. Fulânun fîhinnadhru (orang yang perlu diteliti)

Menunjuk kepada bersangatan lemahnya. Misalnya:1. Muthrahulhadîtsi (orang yang dilempar haditsnya)2. Fulânun dla’îfun (orang yang lemah)3. Fulânun mardǔdulhadîtsi (orang yang ditolak

haditsnya)

4

Page 5: ILMU JARH WA TA

Menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:1. Fulânun lâ yuhtajjubihi (orang yang tidak dapat dibuat

hujjah haditsnya)2. Fulânun majhǔlun (orang yan gtidak dikenai

identitasnya)3. Fulânun wâ hin (orang yang banyak menduga-duga)

Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan adil. Misalnya:1. Dlu’ifa hadîtsuhu (orang yang didla’ifkan haditsnya)2. Fulânun maqâlun fîhi (orang yang diperbincangkan)3. Fulânun layyinun (orang yang lunak)4. Fulânun laysa bilhujjati (orang yang tidak dapat

digunakan hujjah haditsnya)

b. Ta’dil Segala hal yang mengandung kelebihan rawi dalam

keadilan dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya:1. Awtsaqunnâsi (orang yang paling tsiqah)2. Atsbatunnâsi hifdzan wa’adâ latan (orang yang paling

mantap hafalan dan keadilannya)3. Ilayhil muntaha fî tsabti (orang yang paling mantap

keteguhan hati dan lidahnya) Memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat

dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadz (dengan mengulangnya) maupun semakna. Misalnya:1. Tsabtun tsabtun (orang yang teguh [lagi] teguh)2. Tsiqatun tsiqatun (orang yang tsiqah [lagi] tsiqah)3. Tsabtun tsiqatun (orang yang teguh [lagi] tsiqah)4. Dlâbitun mutqinun (orang yang kuat ingatan [lagi]

meyakinkan ilmunya) Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung

arti kuat ingatan. Misalnya:1. Tsabtun (orang yang teguh [hati dan lidahnya])2. Mutqinun (orang yang meyakinkan [ilmunya])3. Tsiqatun (orang yang tsiqah4. Hâfidzun (orang yang hafidz [kuat hafalannya])

5

Page 6: ILMU JARH WA TA

Menunjuk keadilan dan kedlabitannya, tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:1. Shadǔqun (orang yang sangat jujur)2. Ma’mǔnun (orang yang dapat memegang amanat)3. Lâ ba’sabihi (orang yang tidak cacat)

Menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak dipahami adanya kedlabitan. Misalnya:1. Mahalluhush shiduqu (orang yang berstatus jujur)2. Jayyidul hadîtsi (orang yang baik haditsnya)3. Hasanul hadîtsi (orang yang bagus haditsnya)

Menunjuk arti mendekati cacat. Misalnya:1. Shadǔqun insyâ Allah (orang yang jujur, insya Allah)2. Fulânun arjǔ bian lâba’sabihi (orang yang diharapkan

tsiqah)3. Fulânun shuwaylihun (orang yang sedikit

keshalehannya)2. Penjelasan Beberapa Lafadz Jarh wa Ta’dil

a. La Ba’sa bih atau Laisa Bihi Ba’sunIbnu Ma’in berkata, “Bila aku mengatakan Laisa bihi ba’sun, maka yang bersangkutan adalah tsiqat.”

b. Ila ash-Shidqi Ma HuwaRawi yang bersangkutan dekat kepada kejujuran dan tidak jauh.

c. Muqarab al-Hadits atau Muqarib al-HaditsMuqarab al-Hadits berarti bahwa hadits rawi yang lain mendekati haditsnya; dan Muqarib al-Hadits bermakna bahwa haditsnya mendekati hadits rawi lain. Yakni bahwa haditsnya tidak syadz dan tidak munkar.

d. Ta’rif wa Tunkir atau Yu’raf wa YunkarArtinya adalah bahwa rawi ini kadang kala meriwayatkan hadits-hadits yang ma’ruf (diakui) dan pada kesempatan lain ia meriwayatkan hadtis-hadits yang munkar. Jadi, hadits riwayatnya perlu diperbandingkan dengan hadits riwayat para rawi tsiqat yang telah diakui.

e. Munkar al-Hadits/ Yarwi al-Manakir dan Hadits MunkarMakna ungkapan Munkar al-Hadits atau Yarwi al-Manakir adalah bahwa hadits riwayatnya seringkali sendirian, tanpa dukungan hadits lain. Sementara ungkapan hadits munkar adalah istilah yang dipakai oleh ulama muta’akhirin dengan maksud bahwa rawi munkar adalah rawi yang haditsnya dha’if dan menyalahi hadits-hadits rawi yang tsiqat. Akan tetapi, ulama mutaqaddimin banyak sekali menyebut munkar terhadap suatu hadits semata-mata karena hadits itu tak ada dukungan, meskipun rawinya adalah tsiqat.

6

Page 7: ILMU JARH WA TA

f. Yasriqu al-HaditsArtinya mencuri hadits. Maksudnya adalah seorang muhaddits meriwayatkan suatu hadits secara sendiri, lalu datang rawi lain yang mencurinya dengan mengaku-aku bahwa ia juga mendengar hadits tersebut dari guru yang sama; atau suatu hadits telah dikenal sebagai riwayat seorang rawi, lalu ada rawi lain mencurinya dengan menyandarkannya kepada rawi yang satu tsabaqah (tingkat) dengan rawi yang sebenarnya itu. Huwa ‘ala Yaday ‘AdlinAl Hafizh al-Iraqi berkata bahwa lafadz ini termasuk ungkapan pentsiqatan. Akan tetapi menurut penelitian al-Hafizh Ibnu Hajar lafadz yang terakhir ini termasuk lafadz yang amat berat, sebagai kinayah (kiasan) dari sesuatu yang binasa.

D. MANFAAT ILMU JARH WA TA’DIL dalam HADISIlmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkam apakah

periwayatan seoramg rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Kalaulah ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak ,akan muncul penilain bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal perjalanan hadis semenjak Nabi Muhammad SAW, sampai dibukukan mengakami perjalanan yang begitu panjang dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Jika tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat kita akan mencampuradukan antara hadis yang benar-benar dari rosullullah dan hadis yang palsu (maudhu’). Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bias menyeleksi mana hadis sahih, hasan ataupun hadis dhoif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.

7

Page 8: ILMU JARH WA TA

BAB IIIPENUTUP1. KESIMPILAN

Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.Ta’dil ialah menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi. Rawi yang dikatakan adil yaitu orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agamanya.Ilmu Jarh Wa Ta’dil ialah ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafal tertentu.

Penetapan tentang kecacatan seorang rawi dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya, dan berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat.

Sedangkan penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh seorang rawi yang adil atau setiap orang yang dapat diterima periwayatannya.

Syarat ulama al-jarh wa al-ta’dil di antaranya:a. Berilmu, bertakwa, wara’, dan jujurb. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan

men-jarh-kanc. Mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa ArabSebab-sebab timbulnya jarh dapat disebabkan oleh:a. hawa nafsu atau suatu maksud tertentu,b. kepercayaan yang berlainan,c. perselisihan antara ahli tashawuf dan ahli zhahir,d. pembicaraan yang muncul tanpa didasari ilmu, dane. kesamar-samaran serta tidak adanya wara’.

Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-jarh-kan dan men-ta’dil-kan rawi memiliki tingkatan-tingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu’s Shalah dan Imam Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al Hafidh Ad- Dzahaby dan Al ‘Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan.

8

Page 9: ILMU JARH WA TA

2. SARANApabila kita temui sebagian ahli jarh wa ta’dil menjarhkan

seorang rawi, maka kita tidak boleh segera menerima pentajrihan tersebut, tetapi hendaklah diselediki lebih dulu jika pentajrihan itu membawa kegoncangan yang hebat, kendatipun mentajrihkan hadits yang masyhur sekalipun tidak boleh kita terus menerima pentajrihannya sebelum kita adakan penelitian yang dapat dipakai untuk menolaknya.

Tidaklah boleh kita terlalu cepat menghukum kemajruhan seorang perawi lantaran ada yang menjarhkannya. Tetapi kita harus meneliti lebih jauh, karena mencela seseorang bukanlah soal yang mudah. Kerap kali pencelaan yang dihadapkan oleh seseorang, kita ketemukan sebab-sebab yang menolak celaannya itu.

Terkadang para pencela adalah orang yang dirinya cacat. Maka karenanya kita tidak boleh menerima perkataannya selama belum ada yang menyetujuinya.

9

Page 10: ILMU JARH WA TA

DAFTAR PUSTAKA

‘Itr, Nuruddin. Dr. 1995. ‘Ulum Al-Hadits 1. Bandung: Rosdakarya.

Abdurrahman, Asjmuni. 1996. Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits. Yogyakarta: LPPI.

Hasby, Ash-Shiddieq dan Teungku Muhammad. 1999. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.

Hassan, A. Qadir. 1996. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: CV. Diponegoro.

Ihahan, Mahmud. Dr. 2005. Ilmu Hadits Praktis. Penerbit: Thariqul Izzah.

Mudasir. Drs. H. 2005. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia.

Rahman, Fatchur. Drs. 1974. Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits. Cetakan Pertama. Bandung: PT Al-Ma’arif.

10