Upload
mutiafadhilasy
View
4
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kulit
Citation preview
IMPETIGO
Abstrak: Impetigo adalah infeksi kulit yang umum yang sangat sering terjadi pada anak-
anak. Secara historis, impetigo disebabkan oleh salah satu streptococci β-hemolytic grup A
atau Staphylococcus aureus. Saat ini, patogen yang paling sering terisolasi adalah S. aureus.
Artikel ini membahas tentang faktor-faktor mikrobiologis dan virulensi streptococci β-
hemolytic gruo A dan Staphylococcus aureus, ciri khas klinis, komplikasi, serta pendekatan
untuk diagnosis dan manajemen impetigo. Agen topikal untuk terapi impetigo telah ditinjau.
Kata kunci: agen Anti-bakteri; Impetigo; Staphylococcus aureus; Streptococcus pyogenes
PENGANTAR
Kulit normal dikolonisasi oleh sejumlah besar bakteri yang hidup sebagai komensal
di permukaan atau di folikel rambut. Kadang-kadang, pertumbuhan yang berlebihan dari
bakteri tersebut menyebabkan penyakit kulit, dan dalam kesempatan lain, bakteri yang
biasanya ditemukan pada kulit dapat berkoloni dan menyebabkan penyakit. Mikroflora kulit
sebagian besar terdiri dari difteroid aerobik (Corynebacterium spp.), Difteroid anaerobik
(Propionibacterium acnes) dan stafilokokuskoagulase negatif (Staphylococcus epidermidis).
Penelitian genetik terbaru menunjukkan Pseudomonas spp. dan Janthinobacterium spp.
Dalam jumlah besar di kulit yang bebas penyakit. Bakteri tersebut membentuk biofilm pada
permukaan kulit. Biofilm merupakan agregat kompleks dan sessile yang terdiri dari satu atau
lebih spesies bakteri yang terkait dengan substansi polimer ekstraseluler. Bakteri dalam
biofilm berkisar 50 sampai 500 kali lebih tahan terhadap antibiotik dari bakteri dalam
plankton (organisme yang memiliki sedikit atau tidak ada kemampuan untuk bergerak).
Selain menginduksi toleransi antibiotik, biofilm dapat meningkatkan virulensi bakteri. Bayi
yang baru lahir biasanya aseptik dan kolonisasi dimulai dalam dua minggu pertama
kehidupan.
Faktor-faktor inang, seperti integritas barier kulit dengan pH asamnya, adanya sekresi
sebasea (asam lemak, terutama asam oleat), lisozim dan produksi defensin dan status gizi
yang memadai, memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi. Kehadiran
maserasi, kelembaban, lesi kulit sebelumnya, obesitas, pengobatan kortikosteroid atau
kemoterapi, dysglobulinemia, gangguan leukosit seperti leukemia dan penyakit
granulomatosa kronis, diabetes, malnutrisi, imunodefisiensi kongenital atau akuisata lainnya,
seperti AIDS, merupakanfaktor-faktor predisposisi. Sebagian besar bakteri tumbuh paling
baik dalam pH netral dan suhu 370C.
1
Tindakan mencuci tangan, dengan sabun antiseptik atau bahkan sabun biasa, terutama
di kalangan pengasuh anak-anak, sangat menurunkan kesempatan mereka dalam
mendapatkan infeksi seperti pneumonia, diare dan impetigo. Dalam sebuah studi terkontrol,
penulis mengamati 34% kejadian impetigo yang lebih rendah pada kelompok yang menjalani
program orientasi tentang tindakan mencuci tangan.
KARAKTERISTIK STREPTOKOKUS
Klasifikasi Lancefield tentang streptokokus adalah berdasarkan antigen karbohidrat C
dinding sel, yang tersebar dari A sampai T. Berbagai streptokokus dapat komensal pada kulit,
membran mukosa, dan saluran pencernaan. Isolasi streptokokus kelompok lain selain dari A
dapat berarti infeksi sekunder dari lesi-lesi atau kolonisasi di permukaan kulit sebelumnya.
Streptokokus grup A dapat dibagi lagi menjadi beberapa serotipe, berdasarkan antigenisitas
protein M-nya. Patogenisitas streptokokus grup A adalah jauh lebih tinggi dari grup lainnya.
Mereka adalah kuman dengan potensi invasif, yang dapat mencapai beberapa stuktur
jaringan, seperti epidermis (impetigo), dermis (ektima) atau jaringan subkutan yang lebih
dalam (selulit). Mereka dapat menyebabkan edema lokal, limfadenopati lokal dan demam.
Penemuan agen tersebut pada kulit anak yang sehat mendahului munculnya lesi di sekitar 10
hari dan mereka dapat diisolasi dari orofaring antara 14 dan 20 hari setelah muncul pada
kulit. Dengan demikian, alurnya berangkat dari kulit yang normal menuju kulit yang terluka
dan selanjutnya dapat mencapai orofaring.
Penelitian epidemiologi dalam beberapa dekade menunjukkan bahwa ada beberapa
strain streptokokus grup A yang menimbulkan infeksi orofaringeal, tetapi jarang
menyebabkan impetigo. Di sisi lain, terdapat grup yang berbeda dari strain yang
menyebabkan infeksi kulit tapi grup tersebut tidak mempengaruhi tenggorokan. diketahui,
berbagai komplikasi dapat menyertai infeksi yang disebabkan oleh streptokokus grup A,
seperti demam rematik, glomerulonefritis difus akut, dan eritema nodosum, tergantung pada
strain yang terlibat. Demam rematik dapat menjadi komplikasi dari faringitis streptokokus
atau tonsilitis, tetapi tidak terjadi setelah infeksi kulit. Sebaliknya, glomerulonefritis dapat
dihasilkan dari infeksi streptokokus di kulit atau saluran pernapasan bagian atas, tetapi kulit
adalah lokasi sebelumnya yang paling utama. Pengobatan impetigo tidak mengurangi risiko
glomerulonefritisnya, tetapi dapat mengurangi penyebaran strain nefritogenik dalam
populasinya. Periode latensi untuk glomerulonefritis adalah 7 sampai 21 hari setelah infeksi
saluran pernapasan atas dan mungkin lebih lama pada kasus impetigo. Streptokokus beta
hemolitik grup A tidak sering dijumpai sebelum usia dua tahun, tapi ada peningkatan yang
2
progresif pada anak-anak yang berusia lebih tua. Glomerulonefritis mengenai hingga 5% dari
seluruh pasien dengan impetigo.
Streptokokus dapat diambil dengan kultur dari material lesi orofaring atau kulit.
Pemberian dosis antistreptolisin O mungkin tidak berguna untuk infeksi kulit karena
perannya yang tidak meningkat secara memuaskan. Tes deteksi cepat untuk streptokokus
menggunakan lateks hanya digunakan untuk menunjukkan keberadaan agen ini di orofaring.
Untuk penyakit kulit, serologi tes anti-DNA-ase B, berguna untuk menunjukkan infeksi
streptokokus sebelumnya (streptokokus grup A), dapat dilakukan. Namun, selain memiliki tes
sensitivitas yang tinggi dan spesifisitas yang rendah,hanya ada sedikit laboratorium yang
telah menyetandarkannya dalam rutinitas mereka.
KARAKTERISTIK STAFILOKOKUS
Faktor penting tentang virulensi infeksi adalah kemampuan bakteri tersebut untuk
menghasilkan toksin yang bersirkulasi yang bertindak sebagai superantigen. Superantigen
dapat melewati langkah-langkah respon imun tertentu dan meningkatkan aktivasi limfosit T
secara masif dan juga produksi berbagai limfokin seperti interleukin 1 dan 6 dan faktor
alphanekrosis tumor. Respon ini dapat menyebabkan pembentukan erupsi eksfoliatif kulit,
muntah, hipotensi dan syok. Impetigo bulosa dan scalded skin syndrome, yang disebabkan
oleh toksin stafilokokus dan toxic shock syndrome, yang disebabkan oleh toksin stafilokokus
atau streptokokus adalah contoh penyakit yang dimediasi toksin.
Stafilokokus koagulase negatif adalah organisme yang paling umum pada flora kulit
normal, dengan sekitar 18 spesies yang berbeda, dan Staphylococcus epidermidismenjadi
yang paling umum sebagai stafilokokus penghuni. S. aureus (koagulase positif) sering
ditemukan di kulit, dalam sifat yang sementara, pada anak-anak yang sehat. Status karier
(pembawa) dapat terjadi pada lubang hidung di 35% dari populasi, pada perineum di 20%,
pada aksila dan daerah interdigital dalam 5 sampai 10%. Stafilokokus yang dibawa oleh
hidung ditemukan sampai dengan 62% dari pasien dengan impetigo. Pada pasien dengan
dermatitis atopik, dapat ditemukan pada sampai dengan 90% kasus (kulit kering dan
hiperkeratinisasi akan memfasilitasi faktor adheren untuk stafilokokus). Terutama pada
pembawa, lesi kulit dapat dijelaskan dengan inokulasi oleh dirisendiri secara sekunder
keekskoriasi kulit oleh pasien. Jalurnya akan mulai dari lubang hidung atau perineum menuju
kulit yang normal, dan kemudian menuju kulit yang terluka. Faktor inang tampaknya
menentukan timbulnya tidaknya penyakit. Imunosupresi dan kerusakan jaringan dianggap
penting dalam proses genesis patologis, karena kemampuan untuk menghasilkan koagulase,
3
leukosidin dan toksin tampaknya sama pada flora kariernormal dan bakteri yang terisolasi
dari lesi kulit.
Stafilokokus ditularkan terutama dengan tangan, khususnya di rumah sakit. Infeksi
stafilokokus hadir di semua kelompok umur.
IMPETIGO
IMPETIGO BULOSA
Impetigo bulosa hampir secara universal disebabkan oleh organisme tunggal, S.
aureus, terutama milik grup II (80%); tipe phage 71 (60% kasus). Jenis phage lain yang
terlibat adalah 3A, 3C dan 55. terdapat deskripsi, dalam literatur, impetigo bulosa yang
disebabkan oleh streptokokus grup A.
S. aureus menghasilkan toksin eksfoliatif, yang merupakan protease yang secara
selektif menghidrolisis salah satu molekul adhesi intraseluler, desmoglein-1, hadir dalam
desmosom-desmosom keratinosit yang terletak di lapisan granular dermis. Toksin adalah
faktor virulensi terbesar dari S. aureus, menyebabkan disosiasi sel epidermis dengan
pembentukan blister. Lepuhannya terlokalisasi dalam impetigo bulosa dan menyebar di
scalded skin syndrome. Setidaknya ada dua jenis toksin eksfoliatif, toksin eksfoliatif A
berhubungan dengan impetigo bulosa dan toksin B dengan scalded skin syndrome. Scalded
skin syndrome biasanya dimulai setelah infeksi lokal pada konjungtiva, hidung, pusar atau
regio perioral dan jarang setelah pneumonia, endokarditis dan arthritis. Strain S. aureusyang
memproduksi toksin eksfoliatif sering terisolasi dari pasien dengan impetigo.
Impetigo bulosa dimulai dengan vesikel kecil, yang menjadi lepuhan flasid, berukuran
sampai 2 cm, awalnya dengan isi yang jernih yang kemudian menjadi purulen (Gambar 1).
Atap lepuhan mudah pecah, memperlihatkan sebuah dasar yang eritematosa, mengkilap dan
basah. Sisa dari atap dapat terlihat sebagai kolaret di pinggiran dan pertemuan antar lesi
memperlihatkantampilangambaran polisiklik (Gambar 2 dan 3). Impetigo bulosa paling
sering terjadi di daerah intertriginosa seperti daerah diaper, aksila dan leher, meskipun area
kulit dapat juga terkena, termasuk telapak tangan dan kaki (Gambar 1 dan 2). Pembesaran
nodus limfatik regional biasanya tidak ada. Hal ini sangat penting dalam periode neonatal,
awal mula biasanya setelah minggu kedua kehidupan, meskipun dapat hadir pada saat lahir
dalam kasus membran pecah prematur. Impetigo bulosa adalah yang paling umum di antara
anak-anak usia 2-5 tahun.
4
GAMBAR 1: Impetigo bulosa di daerah genital - pustula intak (utuh) dan flasid, bekas
ulserasi dan sisik di kolaret.
GAMBAR 2:Impetigo bulosa - deskuamasi kolaret dan lepuhan flasid.
GAMBAR 3: Impetigo bulosa di daerah diaper.
IMPETIGO NON BULOSA (KRUSTOSA)
Impetigo nonbulosa mewakili lebih dari 70% dari semua kasus impetigo. Ini terjadi
pada orang dewasa dan anak-anak tapi jarang pada yang di bawah usia dua tahun. Agen
etiologi utama bervariasi dari waktu ke waktu. S. aureus adalah agen dominan pada tahun 40-
an dan 50-an, dengan peningkatan selanjutnya pada prevalensi streptokokus. Dalam studi
yang dilakukan selama tiga dekade terakhir, telah ada kebangkitan S. aureus sebagai agen
utama impetigo berkrusta. S. aureus, tunggal atau dalam kombinasi dengan streptokokus beta
5
hemolitik grup A, bertanggung jawab untuk sekitar 80% dari kasus, menjadi agen yang
paling sering ditemukan terisolasi. Meskipun kami belum menemukan studi yang dilakukan
orang Brasil dalam beberapa dekade terakhir mengenai epidemiologi impetigo, data tersebut
dikuatkan dalam studi yang dilakukan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Israel,
Thailand, Guyana, India, Chili, dan Jepang. Beberapa peneliti percaya pada kemungkinan
bahwa S.aureusis merupakan penginvasi sekunder dan bukan agen penyebab utama.
Impetigo berkrusta dapat terjadi pada kulit normal atau impetiginisasidapat muncul
selama dermatosis sebelumnya seperti dermatitis atopik, dermatitis kontak, gigitan serangga,
pedikulosis dan skabies. Malnutrisi dan higiens yang buruk merupakan faktor predisposisi.
Lesi inisialnya adalah vesikel, terletak di dasar yang eritematosa, yang mudah pecah. Ulserasi
superfisial yang dihasilkan diselimuti dengan dischargepurulen yang mengering sebagai
sebuah krusta yang lengket dan kekuningan (berwarna seperti madu). Setiap lesi berkisar 1-2
cm dan tumbuh secara sentrifugal (Gambar 4). Penemuan lesi satelit, yang disebabkan oleh
inokulasi leh sendirinya, sering terjadi. Terdapat dominasi lesi di daerah yang terkena,
terutama pada tungkai dan wajah (Gambar 5 dan 6). Limfadenopati regional umum terjadi
dan demam dapat terjadi pada kasus yang berat. Impetigo non bulosa dapat sembuh secara
spontan tanpa pengobatan dalam 2-3 minggu.
GAMBAR 4: Impetigo krustosa– vesikel-vesikel, berwarna seperti madu dan krusta hematik.
6
GAMBAR 5: Impetigo krustosa yang terletak di lengan
GAMBAR 6: Impetigo krustosa(non bulosa) pada wajah
PENGOBATAN
EVOLUSI RESISTENSI BAKTERI
S. aureus mudah mendapatkan resistensi antimikroba, membuat pengobatannya sulit.
Selama lebih dari 60 tahun, hampir semua strain S. aureus mampu memproduksi beta-
laktamase (penisilinase), menjadi resisten terhadap antibiotik sensitif beta-laktamase. Enzim
ini menghidrolisis cincin beta laktam, dan mereka, sampai sejauh ini, merupakan mekanisme
utama resistensi terhadap antibiotik Betalaktam.
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pertama kali terdeteksi pada
tahun 1961. Kasus infeksi yang disebabkan oleh MRSA di masyarakat dilaporkan pada tahun
80an, tapi kepentingan kelompok ini telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun
terakhir. Infeksi MRSA tidak lagi terbatas hanya di rumah sakit, namun tingkat community-
associated MRSA (CA-MRSA) bervariasi sangat jauh diantara studi-studi yang ada.
Kehadiran MRSA sebagai agen penyebab impetigo pada pasien nonrawat inap dianggap tidak
biasa dan dengan distribusi yang heterogen. Impetigo stafilokokal biasanya disebabkan oleh
strain S. aureus yang memiliki gen toksin eksfoliatif. Di sisi lain, community-associated
MRSA(CA-MRSA) tidak memiliki gen toksin eksfoliatif, tetapi memiliki gen Panton-
7
Valentine-Leucodin (PVL). Stafilokokus yang memiliki gen PVL menyebabkan infeksi kulit
supuratif seperti abses dan furunkel. Oleh karena itu, kekhawatiran tentang MRSA pada
infeksi yang di dapat di masyarakat, harus lebih besar denganadanya furunkel dan abses dan
lebih kecil dengan adanya impetigo.
PERAWATAN UMUM PASIEN DENGAN IMPETIGO
Pada pasien dengan impetigo, lesi harus tetap bersih, dicuci dengan sabun dan air
hangat dan sekresi dan krusta harus dihilangkan. Sabun biasa atau yang mengandung zat
antiseptik seperti triklosan, chlorhexidine dan povidone iodine, dapat digunakan. Dalam
tinjauan pengobatan impetigo yang dilakukan oleh Cochrane Database of Systematic
Reviews, penulis melaporkan relatif kurangnya data tentang kemanjuran antiseptik topikal. Di
sisi lain penggunaannya tidak mengecewakan, karena mereka tampaknya tidak meningkatkan
resistensi bakteri.
INDIKASI UNTUK PENGOBATAN DENGAN ANTIBIOTIK SISTEMIK
Antibiotik topikal adalah terapi pilihan untuk sebagian besar kasus impetigo. Agen
antimikroba sistemik diindikasikan bila ada keterlibatan struktur yang lebih dalam (jaringan
subkutan, fasia otot), demam, limfadenopati, faringitis, infeksidekat rongga mulut, infeksi
pada kulit kepala dan / atau banyak lesi (jumlah lebih dari lima) (Gambar 6).
TERAPI ANTIBIOTIK SISTEMIK
Spektrum antibiotik yang dipilih harus mencakup stafilokokus dan streptokokus, baik
untuk impetigo bulosa serta untuk impetigo krustosa. Dengan demikian, benzathine penisilin
atau mereka yang sensitif terhadap penicillinase tidak diindikasikan dalam pengobatan
impetigo. Penisilin yang resisten terhadap penisilinase (oksasilin, kloksasilin, dicloxacillin)
dapat digunakan, tetapi kesulitan terletak pada tidak adanya formulasi khusus untuk
penggunaan oral di Brasil. Sefalosporin generasi pertama, seperti sefaleksin dan cefadroxil,
dapat digunakan, karena tidak ada perbedaan di antara mereka yang ditemukan di sebuah
meta-analisis.
Eritromisin, yang lebih murah, bisa menjadi antibiotik pilihan untuk populasi yang
paling miskin. Harus mempertimbangkan kemungkinan resistensi terhadap S. aureus, yang
terjadi pada tingkat yang berbeda-beda, tergantung pada populasi yang diteliti. Makrolida
lainnya seperti klaritromisin, roxithromycin dan azitromisin memiliki keuntungan
menghadirkan efek samping yang lebih sedikit pada saluran pencernaan, serta cara
8
penggunaannya yang lebih nyaman, meskipun dengan biaya yang lebih tinggi. Strain
stafilokokal yang resisten terhadap eritromisin juga akan tahan terhadap klaritromisin,
roxithromycin dan azitromisin.
Amoksisilin yang diasosiasikan dengan asam klavulanat adalah kombinasi dari satu
penisilin dengan agen penghambat beta-laktamase (asam klavulanat), sehingga
memungkinkan cakupan yang memadai untuk streptokokus dan stafilokokus.
Klindamisin, sulfamethoxazole / trimetoprim, minocycline, tetracycline dan
fluoroquinolone adalah antibiotik pilihan untuk MRSA.
PENGOBATAN TOPIKAL
Terdapat bukti kuat tentang keunggulan, atau setidaknya kesetaraan, antibiotik topikal
dibandingkan dengan antibiotik oral dalam pengobatan impetigo lokal. Selain itu, antibiotik
oral memiliki efek samping yang lebih besar dari antibiotik topikal.
Mupirosin dan asam fusidat adalah obat pilihan pertama. Dalam publikasi meta-
analisis, tidak ada perbedaan yang ditunjukkan antara dua agen tersebut. Sampai saat ini,
hanya ada satu penelitian yang membandingkan retapamulin dan asam fusidat, menunjukkan
tidak adanya perbedaan statistik antara kedua produk tersebut. Kombinasi neomycin dan
basitrasin tidak menyebabkan eradikasi bakteri.
ANTIBIOTIK TOPIKAL - KARAKTERISTIK ASAM FUSIDAT
Asam fusidat sangat efektif terhadap S. aureus, dengan penetrasi yang baik ke
permukaan kulit dan konsentrasi yang tinggi di tempat infeksi. Ini juga efektif, pada tingkat
yang lebih rendah, terhadap Streptokokus dan Propionibacterium acne. Basil gram negatif
bersifat resisten terhadap asam fusidat.
Resistensi, in vitro dan in vivo, terhadap asam fusidat telah diverifikasi tetapi pada
tingkat yang rendah. Seperti pada grup fusidan, ia memiliki struktur kimia yang sangat
berbeda dari antibiotik kelas-kelas lainnya, seperti betalaktam, aminoglikosida dan
makrolida, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi silang.
Insiden reaksi alerginya rendah dan alergi silang belum terlihat. Antibiotik ini tidak
dipasarkan di Amerika Serikat. Tidak seperti di Eropa, di Brazil obat ini hanya dapat
ditemukan sebagai krim 2%, dengan demikian tidak tersedia untuk penggunaan oral.
9
MUPIROCIN
Mupirosin (asam pseudomonik A) adalah metabolit utama dari fermentasi
Pseudomonas fluorescens. Struktur kimianya tidak berhubungan dengan agen antibakteri dan
karena mekanisme yang unik dalam aksinyayang tidak memiliki resistansi silang dengan
antibiotik lainnya. Mupirosin bertindak dengan menghambat sintesis protein bakteri, dengan
mengikat bersama enzim isoleucyl-tRNA sintetase, sehingga mencegah penggabungan
isoleusin menjadi rantai protein. Hal ini sangat efektif terhadap Staphylococcus aureus,
Streptococcus pyogenes dan semua spesies streptokokus lain kecuali grup D. Obat ini kurang
efektif terhadap bakteri Gram-negatif, tapi secara in vitro menunjukkan aktivitas dalam
melawan Haemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae, Pasteurella multocida, Bordetella
pertussis, dan Moraxella catarrhalis. Obat ini tidak aktif terhadap bakteri dari flora kulit
normal dan karena itu tidak mengubah pertahanan alami kulit. Aktivitas bakterisida
mupirocin ini meningkat dengan keasaman pH pada kulit. Ini dapat membasmi S. aureus
pada kulit.
Tingkat resistensi bakterinya rendah, sekitar 0,3% untuk strain S. aureus. Resistensi
MRSA untuk mupirosin telah dijelaskan. Efek samping telah dilaporkan pada 3% pasien,
dengan gatal dan iritasi di lokasi penggunaan obatadalah yang yang paling umum. Sepertinya
bukan fotoreaksi, karena berbagai sinar ultraviolet yang diserap oleh produk tidak menembus
lapisan ozon. Penyerapan sistemik jumlahnya minimal dan hanya sedikit yang diserap
kemudian dengan cepat diubah menjadi metabolit tidak aktif, karena itulah alasan mengapa
tidak ada formulasi oral atau parenteral yang tersedia. Penggunaan di daerah yang luas atau
pada pasien dengan luka bakar tidak dianjurkan, karena risiko nefrotoksisitas dan penyerapan
vehikulum obat, polietilen glikol, terutama pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Di
Amerika Serikat sudah ada formulasi salep mupirosin tanpa polietilen glikol. Itu dianggap
aman dan efektif pada pasien berusia lebih dari dua bulan. Hal ini tercantum dalam kategori
B untuk digunakan pada wanita hamil dan menyusui.
Produk ini ditemukan di Brazil sebagai krim 2%.
ASOSIASI NEOMISIN DAN BASITRASIN
Aminoglikosida melakukan aktivitas antibakteri mereka dengan mengikat subunit
ribosom 30S dan mengganggu sintesis protein. Neomisin sulfat adalah antibiotik dari
kelompok aminoglikosida yang paling umum digunakan dalam bentuk topikal. Ini adalah
hasil fermentasi Streptomyces fradiae. Formulasi yang tersedia secara komersial adalah
campuran dari neomisin B dan C, sedangkan framisetin, yang digunakan di Kanada dan
10
beberapa negara Eropa, terdiri dari neomisin B murni. Neomisin sulfat bersifat aktif terutama
terhadap bakteri Gram-negatif aerobik (Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, Klebsiella
pneumoniae, Proteus vulgaris). Sebagian besar spesies Pseudomonas aeruginosabersifat
resisten terhadap itu. Tindakannyadalam melawan sebagian besar bakteri Gram-positif masih
terbatas. Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus pyogenes sangat tahan terhadap
neomisin, itulah mengapa obat ini biasanya diasosiasikan dengan basitrasin untuk mengobati
infeksi kulit. Meskipun S. aureus merupakan bakteri Gram positif yang dihambat oleh
neomisin, penggunaan obat secara topikal tidak mampu memberantas mereka dari kulit,
karena itulah efeknya lebih rendah dibandingkan dengan asam fusidat dan mupirosin.
Asosiasi ini tidak efektif terhadap MRSA. Obat ini tersedia di Brazil dalam bentuk salep,
tunggal atau dalam kombinasi dengan basitrasin. Penggunaannyabersama kortikosteroid
topikal dan / atau agen antijamur tidak dianjurkan.
Basitrasin adalah antibiotik topikal awalnya berasal dari bakteri Bacillus subtilis yang
pertama kali diisolasi dari pasien yang memiliki patah tulang terkontaminasi oleh tanah
("baci", bacillus + "tracina", berasal dari pasien bernama Tracy). Ini adalah polipeptida yang
dibentuk oleh beberapa komponen (A, B dan C). Basitrasin A adalah komponen utama dari
produk komersial dan umumnya diformulasikan sebagai garam zink. Ia bekerja dengan
mengganggu pembentukan dinding sel bakteri. Ia aktif terhadap kokus Gram-positif seperti
stafilokokus dan streptokokus. Kebanyakan mikroorganisme Gram-negatif dan yeast (ragi)
tahan terhadapnya.Efek sampingnya, dermatitis kontak dan yang lebih jarang, syok
anafilaksis telah dilaporkan.
Di Brasil obat ini tersedia sebagai salep dan dalam kombinasi dengan neomisin.
RETAPAMULIN
Retapamulin adalah agen semi-sintetik yang berasal dari jamur merang yang disebut
Clitopilusscyphoides. Aksi antibakterinya terjadi melalui penghambatan sintesis protein
dengan mengikat secara selektif pada ribosom bakteri. Ia efektif terhadap S. aureus dan S.
pyogenes.
Kesembuhan impetigo secara klinis dengan menggunakan retapamulin didefinisikan
dengan baik, jika dibandingkan dengan plasebo. Sebagai obat bakteriostatik, eradikasi bakteri
mungkin tidak terjadi, bahkan setelah kesembuhan impetigo secara klinis. Retapamulin tidak
diindikasikan untuk infeksi MRSA. Inikurang efektif pada lesi-lesi traumatik dan lesi-lesi
dengan pembentukan abses (biasanya disebabkan oleh bakteri anaerob dan MRSA).
Tersedia sebagai salep 1%, dapat digunakan pada anak-anak berusia lebih dari 9 bulan.
11