7
IMPIAN SEORANG GADIS MISKIN Hari ini kita akan membahas tentang impian.” Ucap bu Tya, guru Bahasa Indonesiaku. “Tuliskan apa impian kalian serta beberapa alasan kenapa kalian ingin menjadi seperti itu pada satu lembar kertas. Mengerti?” Kami semua mengangguk. Satu hal yang muncul dalam pikiranku, menjadi seorang penulis. Menjadi seseorang yang akan dikenal banyak orang, yang akan dikenang banyak orang karena karya-karyanya. Pasti menyenangkan. Aku ingin menjadi penulis. Alasanku menjadi seorang penulis; Pertama, karena menurutku, menulis sangat menyenangkan. Kedua, aku bisa meluapkan perasaanku lewat rangkaian cerita, perasaan yang mungkin tidak bisa aku ungkapkan pada kebanyakan orang. Ketiga, aku ingin hasil karyaku dijadikan sebuah buku. Alangkah bahagianya jika aku bisa melihat hasil karyaku berjejer rapi di rak beberapa toko buku terkemuka. Intinya, menjadi seorang penulis adalah impian yang harus aku wujudkan! Tidak peduli bagaimana keadaanku sekarang, aku akan terus berjuang meraihnya. Cukup. Aku tersenyum puas dengan tulisan yang ada di selembaran kertas ini. Penulis … Suatu saat, semua itu akan terwujud. Setelah selesai, aku segera mengumpulkan kertas itu pada Bu Tya. Keesokan harinya, saat bu Tya kembali memasuki kelasku, beliau membagikan lembaran-lembaran yang berisi impian itu pada kami. “Aliya.” Ucap bu Tya. Dengan senyum yang lebar, aku berjalan menghampiri beliau, dan mengambil selembar kertas milikku. Tapi, alangkah terkejutnya aku saat melihat sebuah tulisan dengan tinta merah di bawahnya. “Impianmu terlalu tinggi. Ingat, kamu hanya anak seorang pemulung, mana mungkin bisa menjadi seorang penulis terkenal?” aku menelan ludah dengan susah payah. Aku pandangi wajah guru yang sebelum ini sangat aku hormati. Begitukah beliau? Pantaskah seorang guru merendahkan impian sang murid? Tidak pantaskah seorang anak pemulung sepertiku memiliki cita-cita sebagai seorang penulis?

Impian Seorang Gadis Miskin

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Bahasa Indonesia

Citation preview

IMPIAN SEORANG GADIS MISKIN

“Hari ini kita akan membahas tentang impian.” Ucap bu Tya, guru Bahasa Indonesiaku.

“Tuliskan apa impian kalian serta beberapa alasan kenapa kalian ingin menjadi seperti itu

pada satu lembar kertas. Mengerti?”

Kami semua mengangguk. Satu hal yang muncul dalam pikiranku, menjadi seorang

penulis. Menjadi seseorang yang akan dikenal banyak orang, yang akan dikenang banyak

orang karena karya-karyanya. Pasti menyenangkan.

Aku ingin menjadi penulis.

Alasanku menjadi seorang penulis; Pertama, karena menurutku, menulis sangat

menyenangkan. Kedua, aku bisa meluapkan perasaanku lewat rangkaian cerita, perasaan

yang mungkin tidak bisa aku ungkapkan pada kebanyakan orang. Ketiga, aku ingin hasil

karyaku dijadikan sebuah buku. Alangkah bahagianya jika aku bisa melihat hasil karyaku

berjejer rapi di rak beberapa toko buku terkemuka. Intinya, menjadi seorang penulis

adalah impian yang harus aku wujudkan! Tidak peduli bagaimana keadaanku sekarang,

aku akan terus berjuang meraihnya.

Cukup. Aku tersenyum puas dengan tulisan yang ada di selembaran kertas ini. Penulis …

Suatu saat, semua itu akan terwujud. Setelah selesai, aku segera mengumpulkan kertas

itu pada Bu Tya.

Keesokan harinya, saat bu Tya kembali memasuki kelasku, beliau membagikan lembaran-

lembaran yang berisi impian itu pada kami.

“Aliya.” Ucap bu Tya.

Dengan senyum yang lebar, aku berjalan menghampiri beliau, dan mengambil selembar

kertas milikku. Tapi, alangkah terkejutnya aku saat melihat sebuah tulisan dengan tinta

merah di bawahnya.

“Impianmu terlalu tinggi. Ingat, kamu hanya anak seorang pemulung, mana mungkin bisa

menjadi seorang penulis terkenal?” aku menelan ludah dengan susah payah. Aku

pandangi wajah guru yang sebelum ini sangat aku hormati. Begitukah beliau? Pantaskah

seorang guru merendahkan impian sang murid? Tidak pantaskah seorang anak pemulung

sepertiku memiliki cita-cita sebagai seorang penulis?

“Sebaiknya kamu ganti saja pola pikirmu. Kamu ada di antara orang-orang yang tidak

mampu. Sekolah saja tanpa biaya, mana bisa membayar mahal untuk menerbitkan

buku?” ucap Bu Tya, yang lagi-lagi merendahkanku.

Dengan penuh emosi, aku memukul meja di hadapanku keras, lalu berjalan ke luar dari

ruangan kelas. Aku tidak butuh guru seperti itu!

“Lihat saja, suatu saat nanti, aku akan membuktikan bahwa aku bisa menjadi seorang

penulis! Anak miskin sepertiku akan sukses menjadi penulis!”

Ya, aku memang terlahir di antara puluhan, bahkan ratusan manusia yang kurang

beruntung. Tinggal di pinggir sungai, tidak memiliki rumah mewah, tidak punya barang-

barang yang bagus, dan semua serba biasa. Sangat biasa. Beginilah hidup di Ibu Kota.

Tidak banyak orang yang peduli dengan orang-orang sepertiku. Mereka hanya melihatku

dengan sebelah mata. Alasannya karena mereka tidak pernah menjadi aku! Menjadi gadis

berumur enam belas tahun yang harus bekerja keras untuk sesuap nasi, tinggal di sebuah

gubuk di samping hotel berbintang, berteman dengan sampah dan aroma menyengatnya,

juga hidup dalam rasa was-was apabila sungai meluap, aku harus pergi untuk sementara

karena rumah kecilku tenggelam.

Hidup sebatang kara di Ibu Kota memang tidak mudah. Kalian pasti bertanya “di mana

orangtuamu?” jawabannya adalah; kedua orangtuaku pergi. Entah di mana mereka

sekarang, masih hidupkah, masih ingatkah padaku, kenapa mereka tega membuangku

saat aku bayi, dan … Terlalu banyak tanda tanya yang selama ini belum aku pecahkan

jawabannya.

Aku tidak pernah berniat untuk mencari kedua orangtuaku. Mungkin saat ini mereka

sudah bahagia, tanpaku tentunya. Kadang, aku merasa takdir tidak pernah adil. Kenapa

harus aku yang merasakan semua ini? Kenapa aku tidak bisa merasakan kasih sayang

orangtua? Kenapa aku hanya bisa merasakan susahnya berjuang di tengah hiruk-

pikuknya Ibu Kota? Sedangkan aku ingin seperti mereka. Hidup layak, makan tiga kali

sehari, bersekolah yang tinggi, memiliki banyak impian, memiliki rumah yang besar,

memiliki kedua orangtua yang amat menyayanginya, memiliki banyak barang mewah,

dan banyak hal lainnya.

Tapi aku selalu sadar. Perjalanan hidup semua orang tak pernah sama. Inilah perjalanan

hidup yang harus aku jalani. Aku hanya perlu berjuang lebih keras lagi, jika ingin cita-

citaku tercapai. Aku tidak bisa seperti mereka, yang dengan santainya meminta uang

pada kedua orangtua untuk membeli barang-barang yang tidak penting, pergi ke sana-

kemari dengan supir pribadi, malas bersekolah karena dia tahu, kedua orangtuanya kaya,

jadi dia tidak perlu bersusah payah, dan banyak hal lain yang biasa orang-orang kaya

lakukan. Dan soal perkataan bu Tya tadi, aku berjanji akan membayarnya lunas dengan

kerja kerasku yang akan menjadikan aku seorang penulis! Tidak ada yang boleh

mengejekku! Tidak ada yang boleh merendahkan impianku! Akan aku buat semua orang

yang meremehkanku menyesal telah melakukan itu padaku! Aku berjanji!

Sepulang dari menjual barang-barang rongsokan, aku segera pulang dan mulai

menghitung uang hasil penjualan hari ini.

“Seribu … Dua ribu … Ditambah dua puluh ribu, ditambah sepuluh ribu.” Aku menghela

napas puas.

“Alhamdulillah, tiga puluh tiga ribu.” Dengan cepat aku pergi menuju Bang Joko, penjual

majalah di dekat rumahku.

“Bang, beli majalah terbaru yang ada audisi lomba nulis cerpen.” Ucapku saat bertemu

Bang Joko di lapaknya.

“Waduh … Majalah apa ya, Al? Abang nggak pernah buka-buka majalah, sih.” Jawab Bang

Joko. “Tumben cari majalah yang begituan, Al?”

“Iya nih, bang. Aku pengen ikutan lomba cerpen gitu. Siapa tahu aja menang terus

beneran jadi penulis terkenal.”

“Wah .. Kalau udah jadi penulis yang terkenal jangan lupa ajak Bang Joko makan yang

enak-enak ya, Al?”

“Pasti bang! Doain aja deh semoga semuanya lancar.”

Bang Joko mengangguk dan mencari-cari majalah yang aku maksud.

“Kayaknya ini majalah yang kamu cari, Al.”

“Berapa harganya, bang?” tanyaku sembari meraih majalah itu.

“Buat calon penulis sih gratis aja. Toh kalau nanti kamu sukses kan Bang Joko ditraktir

juga.” Bang Joko nyengir lebar. “Semangat ya, Al!”

Aku mengangguk semangat. “Yang bener, bang? Beneran gratis, nih? Asyik …”

“Iya, buat Aliya mah nggak apa-apa deh gratis.”

“Makasih ya, bang!” teriakku senang. “Aku janji deh nggak bakal ngecewain abang. Aku

bakal usahain jadi juara, bang!”

Setelah kembali dari lapak Bang Joko berjualan, aku segera membuka-buka majalah itu.

Dan tepat di halaman delapan, terdapat pengumuman lomba menulis cerpen tentang

kehidupan. Aku membaca syarat-syarat itu dengan sungguh-sungguh. Setelah mengerti

bagaimana alur ceritanya, aku segera pergi ke tempat internet terdekat untuk membuat

cerpen itu. Maklum saja, aku tidak mempunyai laptop atau komputer yang bisa digunakan

untuk membuat cerpen.

Aku bersumpah, aku akan terus berjuang menjadi seorang penulis!

“Gimana, Al?” tanya Bang Joko.

Aku menghela napas dan menggeleng pelan. “Gagal, bang.”

“Nggak apa-apa.” Bang Joko mengusap punggungku. “Sukses itu nggak harus berjuang

satu kali, Al. Masih banyak kesempatan kok. Ini, ada majalah baru. Sekilas Abang baca,

ada lomba cerpen juga.”

“Nggak deh.” Aku menatap tanah sambil menggigit bibir. “Kalau kalah lagi, gimana?”

“Kok gitu? Nggak boleh patah semangat dong, Al. Katanya pengen jadi penulis yang

sukses?”

Aku menatap Bang Joko beberapa detik. Bang Joko memang baik. Dia sudah seperti Kakak

untukku. Selalu mendukung segala hal yang aku lakukan, selalu memberi semangat dan

tidak pernah meremehkanku.

“Semangat, Al!” teriak Bang Joko. “Ini majalah buat kamu gratis deh. Asalkan kamu mau

usaha lebih keras lagi.”

Aku mengangguk. Bang Joko kembali membuat semangatku terpacu. Bagaimana pun

juga, aku harus berhasil!

Lomba membuat cerpen pertama, aku gagal. Di lomba pembuatan cerpen kedua, aku

juga gagal. Tapi kali ini aku tidak patah semangat. Aku terus mencari informasi lomba.

Aku bahkan rela menahan lapar, karena uang hasil penjualan barang-barang rongsokan

itu aku buat untuk pergi ke internet. Tidak masalah, karena aku yakin, pengorbananku

akan membuahkan hasil maksimal. Lomba membuat cerpen ketiga, keempat dan kelima,

semuanya gagal. Semangatku mulai hilang, tapi Bang Joko selalu memberiku nasihat-

nasihat yang berhasil memacu semangatku. Di lomba membuat cerpen keenam, tentang

impian, aku menulis tiap kata demi kata dengan sungguh-sungguh. Tentang impianku

yang menggebu-gebu sebagai seorang penulis.

Satu bulan lamanya aku menunggu pengumuman lomba itu. Dan tidak sia-sia! Sepulang

dari menjual barang-barang bekas, aku mendapat kiriman surat. Aku berlari menuju lapak

Bang Joko dan membaca surat itu di sana.

“Selamat, kamu menjadi salah satu pemenang dari lomba menulis cerpen tentang

Impian. Tulisan kamu akan dibukukan. Setelah buku itu terbit, kamu akan mendapat

royalti dari setiap penjualan. Jika setuju, kami tunggu kehadirannya di kantor kami, jalan

Merpati nomer 23, Jakarta Selatan.” Aku membaca surat itu sembari tersenyum cerah.

“Bang!!” teriakku. “Aku menang! Impianku terwujud, bang!”

Bang Joko tersenyum lebar, dia maju selangkah dan memelukku erat.

“Selamat, ya, Al! Akhirnya aku bisa ditraktir sama penulis hebat kayak kamu.”

“Makasih banyak ya, bang. Ini semua juga berkat Abang.” Aku mencium surat itu berkali-

kali.

“Tuhan, terima kasih untuk hadiah terindah ini. Akhirnya aku berhasil membuktikan pada

semua orang, termasuk bu Tya, bahwa aku bisa menjadi seorang penulis. Perjuanganku

selama delapan bulan terakhir membuahkan kebahagiaan.” Batinku.

Aku membuka amplop berwarna putih yang siang tadi diberikan oleh beberapa orang dari

penerbit.

“Dua juta.” Desisku pelan. “Baru kali ini aku memegang uang sebanyak ini, Tuhan. Terima

kasih atas segalanya.”

“Akhirnya … Jadi, mau traktir di mana, nih?” tahu-tahu Bang Joko nongol di belakangku.

“Abis acara meet and greet, ya, bang.” Jawabku. “Ini bukan mimpi kan, bang? Aku …

Seneng banget.”

“Ini kenyataan yang selama ini kamu pengen, Al.”

Sejak tadi, tak habis-habisnya aku tersenyum. Hari ini, cerpen karyaku resmi dibukukan.

Dan aku harus menghadiri meet and greet di sebuah mall. Ini seperti sebuah mimpi yang

selama ini aku impi-impikan dan akhirnya terwujud. Berkat kerja kerasku, aku berhasil

mewujudkan mimpiku.

Setelah sampai di mall itu, aku segera berjalan menuju lantai tiga bersama Bang Joko,

menuju toko buku. Setelah sampai di depan toko buku, mendadak aku kaget. Tempat itu

mendadak seperti lautan manusia. Aku menelan ludah dan berjalan pelan menuju

beberapa orang yang aku kenal di atas panggung. Ternyata, puluhan orang itu adalah

pembaca yang menyukai karyaku. Betapa bangganya aku. Aku terus mengumbar

senyum. Sungguh, ini benar-benar menakjubkan.

“Impian saya menjadi seorang penulis sangatlah besar. Saya selalu berusaha keras

menjual barang-barang bekas agar bisa pergi ke warnet untuk mengetik. Maklum saja,

orang miskin seperti saya tidak memiliki barang mewah seperti laptop atau komputer.”

Mataku menyapu beberapa orang di sisi kiri. Bu Tya, beliau datang!

“Awalnya saya juga tidak yakin, apakah orang kecil seperti saya bisa menjadi seorang

penulis hebat atau tidak. Tapi …” aku menoleh ke arah Bang Joko.

“Bang Joko yang selalu memberi semangat saya. Dia selalu memberi saya majalah gratis

asal saya terus berusaha menjadi penulis. Itu dia, orang yang paling berharga untuk saya

…” lanjutku sambil menunjuk Bang Joko. Kini, semua mata memandangnya.

“Tapi, tidak semua orang mendukung saya.” Ucapku lagi. “Ada satu orang, yang sampai

saat ini ucapannya sangat saya ingat. Ya, beliau tidak yakin bahwa saya bisa menjadi

penulis yang hebat. Mungkin karena keadaan saya yang miskin.” Aku tersenyum ke arah

bu Tya, beliau menunduk.

“Awalnya saya memang marah, saya sakit hati. Tapi nyatanya saya salah. Semua kata-

kata itu justru yang membuat saya seperti ini.”

“Satu hal yang perlu kalian tahu.” Aku kembali tersenyum. “Jangan anggap kata-kata

yang menjatuhkanmu benar-benar akan menjatuhkanmu. Justru, kata-kata itu harus

kalian anggap sebagai motivasi. Anggap kata-kata itu sebagai penyemangat. Seperti yang

saya lakukan.” Aku berdehem pelan.

“Terimakasih, bu Tya. Berkat kata-kata Ibu saat itu, semangat saya bertambah. Saya

selalu bertekad untuk menjadi seorang penulis. Hingga akhirnya, saya berhasil. Ternyata,

impian tinggi seorang gadis berusia enam belas tahun itu benar-benar terwujud, bu.”

Semua bertepuk tangan. Ada juga beberapa orang yang menitikkan air mata. Aku

bangga. Aku bersyukur. Ternyata ada hikmah di balik takdir yang aku anggap sebagai

mala petaka ini.