Upload
vokhanh
View
243
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
ii
IMPLEMENTASI CRITICAL PEDAGOGY DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH KONTROVERSIAL
DI SMA NEGERI KOTA SEMARANG
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh
Tsabit Azinar Ahmad S860209113
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
iii
IMPLEMENTASI CRITICAL PEDAGOGY DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH KONTROVERSIAL
DI SMA NEGERI KOTA SEMARANG
Disusun oleh
Tsabit Azinar Ahmad
S860209113
Telah disetujui oleh tim pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Dr. Warto, M.Hum ___________ _______
NIP 196109251986031001
Pembimbing II Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. ___________ _______
NIP 195907081986012001
Mengetahui, Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Dr. Warto, M.Hum. NIP 196109251986031001
iv
IMPLEMENTASI CRITICAL PEDAGOGY DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH KONTROVERSIAL
DI SMA NEGERI KOTA SEMARANG
Disusun oleh
Tsabit Azinar Ahmad
S860209113
Telah disetujui oleh tim penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Dr. Suyatno Kartodirdjo ___________ _______ Sekretaris Prof. Dr. Siswandari, M.Stat. ___________ _______ Anggota Penguji 1. Dr. Warto, M.Hum. ___________ _______ 2. Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. ___________ _______
Mengetahui Ketua Prodi. Dr. Warto, M.Hum. ___________ _______ Pendidikan Sejarah NIP 196109251986031001 Direktur Program Prof. Dr. Suranto, M.Sc. Ph.D. ___________ _______ Pascasarjana NIP 195708201985031004
v
PERNYATAAN
Nama : Tsabit Azinar Ahmad
NIM : S860209113
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul “Implementasi Critical
Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di SMA Negeri Kota
Semarang” adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya
dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya
peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, 29 Juli 2010
Yang membuat pernyataan
Tsabit Azinar Ahmad
vi
MOTTO
Belajar, Bergerak, Berkarya
Man jadda wajada (yang bersungguh-sungguh akan sukses)
vii
PERSEMBAHAN
Untuk kedua orang tuaku, adik-adikku (Diaz
Cagar Biru Langit & Kembang Gunung Rinjani),
serta saudara-saudaraku atas segala limpahan
cintanya
Untuk Robiatul Adawiyyah, atas inspirasi yang
tak habis-habisnya
Untuk guru-guruku yang telah memberi teladan
ilmu dan teladan laku
Untuk sahabat-sahabatku yang bersama-sama
belajar “berilmu” dan “ber-laku”
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah, Tuhan yang Maha Kuasa, yang dengan
rahmat-Nya tesis dengan judul “Implementasi Critical Pedagogy dalam
Pembelajaran Sejarah Kontroversial di SMA Negeri Kota Semarang” telah
diselesaikan. Disadari bahwa dalam penyusunan tesis ini, keberhasilan bukan
semata-mata diraih oleh penulis, melainkan diraih berkat dorongan dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, penulis bermaksud
menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam
penyusunan penelitian ini. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan
terima kasih kepada
1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. selaku Direktur PPs UNS yang telah
memberikan izin kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian.
2. Dr. Warto, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah PPs
UNS Surakarta sekaligus pembimbing I tesis yang dengan kesabaran
senantiasa memberikan pengarahan, motivasi, dan masukan-masukan yang
berharga dalam penelitian.
2. Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Pendidikan
Sejarah PPs Surakarta, sekaligus pembimbing II tesis, atas masukan-masukan
yang sangat berharga, koreksi-koreksi yang kritis, dan bimbingan dengan
penuh kesabaran.
3. Prof. H.B. Sutopo, M.Sc., M.Sc., Ph.D. (alm.) atas masukan-masukan yang
berharga dan catatan-catatan kritis pada awal penelitian tesis.
ix
4. Dosen-dosen pada Program Studi Pendidikan Sejarah PPs UNS atas
keteladanan untuk tetap mengutamakan kesederhanaan.
5. Prof. Dr. Abu Su’ud atas kebaikan dan kebijaksanaannya pada penulis.
6. Guru-Guru sejarah di SMA N 1 Semarang, SMA N 5 Semarang, dan SMA N
12 Semarang atas partisipasinya dalam penelitian ini.
7. Teman-teman pada Program Studi Pendidikan Sejarah PPs UNS, terutama
angkatan 2009 dan 2010 (Atno and the gang) atas kekompakan dan nasihat-
nasihatnya pada penulis.
8. Teman-teman di komunitas Taman Baca Ngudi Kawruh (Syaiful Amin,
Ahmad Fauzan Mubarok), PMII Komisariat Al Ghozali Semarang, Patemon
Syndicate (Taofiq, Saif, Vicki, Fatkhan), Kos Al Ikhlas Kentingan (Bambang,
Anjar, Agung, Ncep, Topan), teman-teman dan saudara di Solo (mba Cicun,
Ivan, Ari) atas segala keceriaan dan kebersamaannya. Terima kasih juga pada
sahabat Edi Subkhan atas referensi-referensi mutakhir tentang critical
pedagogy, untuk Astria Ratna Wardhani atas koreksi Bahasa Inggrisnya.
9. Kedua orang tua (Abdul Aziz Baihaqi dan Diyah Lindiarti), adik-adik, Pak
Dhe/Bu Dhe, Pak Lik/Bu Lik, dan semua saudara atas segenap limpahan
cintanya. Spesial untuk Robiatul Adawiyyah (Dhay), terima kasih atas
inspirasi-inspirasinya. Tesis ini spesial untuk kado ultahmu.
Pada penyusunannya, tesis ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu
kritik dan saran sangat dibutuhkan sebagai upaya perbaikan.
Surakarta, 29 Juli 2010
Penulis
x
DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR ………………………………………………………….
SAMPUL DALAM ……………………………………………………….
PENGESAHAN PEMBIMBING …………………………………………
PENGESAHAN PENGUJI TESIS ……………………………………….
PERNYATAAN …………………………………………………………..
MOTO …………………………………………………………………….
PERSEMBAHAN ………………………………………………………...
KATA PENGANTAR …………………………………………………….
DAFTAR ISI ……………………………………………………………..
DAFTAR TABEL ………………………………………………………...
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………...
ABSTRAK ………………………………………………………………...
ABSTRACT ………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………….
B. Rumusan Masalah …………………………………………………
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………….
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………...
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Teori ……………………………………………………….
1. Critical Pedagogy ………………………………………………….
2. Sejarah Kontroversial …………………………………………
3. Pembelajaran Sejarah Kontroversial …………………………
B. Penelitian yang Relevan …………………………………………..
C. Kerangka Pikir …………………………………………………….
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
x
xi
xiii
xiv
xv
xvi
1
10
10
11
12
12
31
40
53
65
xi
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………..
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ……………………………………
C. Sumber Data ………………………………………………………
D. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………….
E. Teknik Cuplikan …………………………………………………..
F. Validitas Data ……………………………………………………..
G. Teknik Analisis ……………………………………………………
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ……………………………………………………
1. Deskripsi Latar ………………………………………………..
2. Sajian Data …………………………………………………….
B. Pokok-Pokok Temuan
1. Pemahaman Guru terhadap Critical Pedagogy sebagai
Pendekatan Pembelajaran Sejarah Kontroversial …………….
2. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah
Kontroversial ………………………………………………….
3. Kendala Guru dalam Implementasi Critical Pedagogy dalam
Pmbelajaran Sejarah Kontroversial …………………………..
4. Apresiasi Peserta Didik terhadap Implementasi Critical
pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial ………
C. Pembahasan ……………………………………………………….
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan …………………………………………………………..
B. Implikasi …………………………………………………………..
C. Saran ………………………………………………………………
68
70
71
73
75
76
78
81
81
108
183
183
185
186
187
272
275
277
xii
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
LAMPIRAN ………………………………………………………………
278
286
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel: Hlm.
1. Beberapa Aspek Perbedaan dalam Sejarah Kontroversial
Nonkontemporer dan Kontemporer ……………………………..
2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ……………………………………
3. Beberapa media dan sumber belajar tentang peristiwa Gerakan 30
September tahun 1965 …………………………………………….
4. Analisis Kendala-Kendala dalam Perencanaan Pembelajaran
Sejarah yang Bersifat Kontroversial ………………………………
5. Analisis Kendala-Kendala dalam Pelaksanaan Pembelajaran
Sejarah yang Bersifat Kontroversial ………………………………
38
69
237
241
243
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar: Hlm.
1. Kerangka Pikir Penelitian …………………………………………
2. Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif…………..
3. Kemunculan Sejarah kontroversial dan macam pertentangan yang
terjadi di dalamnya ………………………………………………..
4. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Pemahaman
Guru dalam Implementasi Critical Pedagogy pada Pembelajaran
Sejarah Kontroversial ……………………………………………..
5. Fungsi Media Pembelajaran dalam Pembelajaran Sejarah
Kontroversial ……………………………………………………..
6. Identifikasi Penyebab Permasalahan Pembelajaran Sejarah
Kontroversial ……………………………………………………...
7. Keterkaitan antara Pembelajaran, Historiografi, dan Masyarakat
dalam Pendidikan Sejarah dalam Perspektif Critical Pedagogy ….
8. Upaya Pemecahan Permasalahan Pembelajaran Sejarah
Kontroversial dalam Perspektif Critical Pedagogy ……….……...
9. Pola Hubungan Sinergis Enam Komponen Penopang Pendidikan
Sejarah ……………...........………………………………………..
66
80
220
225
236
247
251
264
270
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran: Hlm.
1. Pedoman Wawancara, Observasi, dan Analisis Dokumen
2. Daftar Informan
3. Contoh Silabus, RPP, dan Materi Ajar
4. Dokumentasi Penelitian
5. Surat Izin Penelitian
287
291
293
306
308
xvi
ABSTRAK
Tsabit Azinar Ahmad, S860209113. 2010. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di SMA Negeri Kota Semarang. Tesis: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang (1) Pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial; (2) Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial; (3) Kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial; (4) Pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus terpancang (embedded research). Penelitian dilakukan di beberapa SMA Negeri se-Kota Semarang, yaitu di SMA N 1 Semarang, SMA N 5 Semarang, dan SMA N 12 Semarang. Sumber data terdiri atas informan (guru-guru sejarah dan peserta didik), dokumen (silabus, RPP), serta tempat dan peristiwa (kelas dan kegiatan pembelajaran). Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi, dan content analysis. Validitas data menggunakan trianggulasi data dan trianggulasi metode. Analisis data menggunakan analisis interaktif dengan tiga tahapan analisis, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan yang berinteraksi dengan pengumpulan data secara siklus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Dalam praksis pendidikan di Indonesia, critical pedagogy hanya dipahami oleh kalangan terbatas dan belum diperkenalkan formal dan teknis karena rendahnya kemauan dan kemampuan guru serta adanya masalah historiografi, ideologi penguasa, dan kebijakan yang belum mendukung pelaksanaan critical pedagogy; (2) Pelaksanaan critical pedagogy masih berjalan setengah hati karena konsep yang dipegang oleh guru masih berada dalam tahap refleksi dan lemah dalam tahap aktualisasi, sehingga pembelajaran menjadi out of context; (3) Implementasi critical pedagogy masih mengalami kendala dalam pembelajaran sejarah kontroversial dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan faktor penunjang pembelajaran; (4) Pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy memiliki potensi untuk dapat menarik minat peserta didik dan melibatkan mereka aktif dalam menanggapi berbagai permasalahan.
Kata kunci : critical pedagogy, pembelajaran sejarah, sejarah kontroversial,
SMA.
xvii
ABSTRACT Tsabit Azinar Ahmad, S860209113. 2010. Critical Pedagogy Implementation in Controversial History Learning at Public High School in Semarang City. Thesis: Graduate Program of Sebelas Maret University.
This research is aimed to describe (1) History teachers’ understanding
about critical pedagogy as an approach to study controversial history; (2) the implementation of critical pedagogy in controversial history learning; (3) obstacles found when implementing critical pedagogy in controversial history learning; (4) students’ opinions and perceptions toward critical pedagogy implementation in controversial history learning.
This research used qualitative method with embedded research. This research was conducted in several public high schools in Semarang city namely: SMAN 1 Semarang, SMAN 5 Semarang, and SMAN 12 Semarang. The data source consists of informant (history teachers and the students), document (syllabus, RPP), place and event (classroom and learning activity). The data were collected through depth interview, observation, and content analysis. The data validity was achieved through data and method triangulation. This research uses interactive analysis to analyze the data. This analysis method consist of three steps; data reducing; data presenting; and conclusion drawing interacted with data collecting in a cyclic framework.
The research results show that: (1) in Indonesian educational praxis, critical pedagogy is only being understood by limited number of people and not being formally and technically introduced yet for some reason; less willingness and capability of the teachers; historiography; political reason (government); and unsupportive policy in implementing critical pedagogy: (2) the implementation of critical pedagogy can be considered stuck in halfway since the concepts held by the teachers are still in the stage of reflection and weak in the actualization stage so that the learning activity becomes out of context: (3) there are still some obstacles in implementing critical pedagogy in controversial history learning, especially in its plan, implementation, and supportive learning factor: (4) in the perspective of critical pedagogy, learning controversial history can potentially attract students’ interest in the class activity and involve them actively in responding varied issues.
Keyword: critical pedagogy, history learning, controversial history, high school.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan sejarah tidak pernah lepas dari unsur kepentingan politik. Di
dalam praksisnya, minimal ada dua jenis kepentingan dalam pendidikan sejarah.
Pertama, pendidikan sejarah dipandang sebagai alat untuk menumbuhkan
nasionalisme dan kesadaran kolektif tentang identitas kebangsaan. Kedua,
pendidikan sejarah dilihat sebagai alat legitimasi kekuasaan. Makna politis
pertama dikategorikan sebagai kepentingan yang bersifat afirmatif. Sementara itu,
makna kedua bersifat kompulsif dan manipulatif. Sifat kompulsif dan manipulatif
itu disebabkan adanya pemanfaatan sejarah untuk kepentingan salah satu pihak
dengan menonjolkan keunggulan-keunggulan penguasa dan mereduksi sejarah
yang tidak sesuai dengan “sejarah resmi”. Realisasi dalam pembelajaran sejarah di
sekolah kecenderungan kedua ini lebih menonjol daripada kecenderungan yang
pertama.
Pemanfaatan pendidikan sejarah sebagai alat kepentingan kekuasaan
pernah terjadi pada pemerintahan Orde Baru. Dwight Y King (dalam Arif
Rohman, 2009: 177) menjelaskan bahwa kekuasaan politik Orde Baru memiliki
karakter bureaucratic authoritarian yang ditandai dengan adanya dominasi peran
negara di segala bidang dan adanya penekanan terhadap kekuatan politik lain.
Dominasi itu terlihat dari pemberlakuan kurikulum nasional untuk seluruh
1
2
sekolah. Arif Rohman (2009: 13) menjelaskan bahwa “pemberlakukan kurikulum
nasional memiliki hidden goals berupa terwujudnya penyeragaman yang
memungkinkan negara mengatur materi dan isi kurikulum, serta adanya
marginalisasi dan kooptasi otonomi guru”.
Pada pemerintahan Orde Baru, pendidikan digunakan sebagai alat
kepentingan kekuasaan negara. Darmaningtyas dalam Media Indonesia (2005: 22)
menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, pendidikan merupakan
ajang indoktrinasi ideologi militeristik dan pemenangan partai tertentu dalam
pemilihan umum, sehingga menyebabkan terhambatnya kualitas pendidikan
nasional. Selanjutnya, Winarno Surakhmad dalam Suara Pembaruan (2008: 13)
menyatakan bahwa intervensi politis dalam bidang pendidikan menyebabkan
dunia pendidikan tergantung oleh proses politik penguasa dan hal ini merupakan
kesalahan terbesar pemerintah dalam hal pengembangan pendidikan.
Permasalahan-permasalahan di atas terjadi dalam pendidikan nasional secara
umum, termasuk dalam pendidikan sejarah. Materi-materi sejarah telah diatur
sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan tujuan penguasa. Pengaturan itu tampak
dengan adanya tulisan sejarah yang bersifat manipulatif. Oleh karena itu,
pendidikan nasional terutama pendidikan sejarah telah mengalami proses
eksploitasi menjadi instrumen untuk menanamkan watak loyal dan kepatuhan bagi
warga negara terhadap kekuasaan negara (Arif Rohman, 2009: 11).
Pada masa Orde Baru, pemerintah sedemikian rupa melakukan upaya
pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) yang seragam dan
sesuai dengan versi pemerintah. Upaya pembentukan pengetahuan sejarah telah
3
menyebabkan tidak adanya apresiasi terhadap tulisan dan pemikiran sejarah yang
bersifat alternatif, serta memunculkan kecenderungan rekayasa sejarah untuk
kepentingan pihak-pihak tertentu. Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto,
dan Ratna Saptari (2008: 3) menyatakan “para sejarawan kritis telah menunjukkan
bahwa sejarah versi Orde Baru telah membungkam suara dari pihak-pihak yang
dianggap mengganggu dan mengancam pemerintahan militer yang berkuasa”.
Senada dengan hal di atas, Bambang Purwanto (2001a: 111) menjelaskan bahwa
“Indonesian history is considered primarily as a product of social and
political engineering of the New Order rather than an appropriate scholarly
apparatus”. Sejarah Indonesia ditetapkan sebagai hasil dari mesin sosial dan
politik dari Orde Baru daripada (hasil dari) pihak akademisi.
Dominasi penguasa terhadap pendidikan sejarah pada pemerintahan Orde
Baru memunculkan dampak yang negatif. Slamet Soetrisno (2006: 55)
menyebutnya sebagai “teror sejarah” yang ditandai dengan pergeseran sejarah ke
arah mitos dan penggunaan sejarah untuk kepentingan-kepentingan individual.
Pada masa pemerintahan Orde Baru kisah kepemimpinan Soeharto digeser ke arah
mitos sebagai godfather, penyelamat bangsa, pengaman Pancasila, sampai
kemudian mendapatkan gelar “Bapak Pembangunan” (Slamet Soetrisno, 2007:
55-56). Kecenderungan tersebut tampak pada penempatan sosok Soeharto sebagai
tokoh sentral sejarah Indonesia, terutama semenjak Serangan Umum 1 Maret
sampai memuncak pada peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 dan
keluarnya Surat Perintah 11 Maret tahun 1966. Selain itu, tema sentral yang sering
dimunculkan adalah tentang keberhasilan-keberhasilan yang dicapai oleh Orde
4
Baru. Peristiwa-peristiwa inilah yang senantiasa ditampilkan secara berlebihan
dan tidak seimbang dalam pendidikan sejarah.
Kecenderungan mitologisasi dalam pendidikan sejarah memunculkan
dikotomi yang oleh Paulo Freire (2008: 12-24) disebut dengan kaum penindas dan
kaum tertindas. Penguasa Orde Baru bertindak sebagai kaum penindas. Sementara
itu, guru, murid, dan masyarakat termasuk dalam kelompok tertindas. Penindas
melakukan proses “penjinakan” melalui proses “pemolaan” dengan pemaksaan
pilihan dan mengembangkan kesadaran palsu (Freire, 2008: 16). Kenyataan ini
berkembang dalam proses pendidikan sejarah pada pemerintahan Orde Baru.
Pemanfaatan sejarah sebagai alat semakin terlihat dengan ditetapkannya
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) pada kurikulum 1984 dan 1986.
Pelaksanaan PSPB didasarkan pada Ketetapan MPR No. II/MPR/1982 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara. Di dalam PSPB terdapat tujuan instruksional
yang sangat bermakna politis untuk menonjolkan peran Orde Baru sebagai upaya
untuk mendapatkan legitimasi. Tujuan instruksional tersebut berbunyi “peserta
didik meyakini bahwa Orde Baru mengutamakan kepentingan negara dan
masyarakat” (Asvi Warman Adam, 2005: 96).
Kecenderungan pendidikan sejarah digunakan sebagai alat penguasa mulai
terkikis setelah reformasi. Kecenderungan tersebut tampak dari munculnya
tahapan baru dalam penulisan sejarah. Penulisan sejarah merupakan bagian yang
tidak dapat dilepaskan dari pendidikan sejarah karena menunjang pelaksanaan
pembelajaran sejarah. Kuntowijoyo seperti dikutip Asvi Warman Adam (2007a:
8-9) menyebut tahapan baru penulisan sejarah Indonesia dengan istilah
5
“gelombang ketiga historiografi Indonesia”. Gelombang ketiga dalam
historiografi Indonesia ditandai dengan adanya upaya pelurusan terhadap hal-hal
yang kontroversial dalam sejarah yang ditulis semasa Orde Baru.
Berkembangnya nuansa kebebasan dalam masyarakat dan munculnya
tahapan baru historiografi Indonesia telah memberikan pandangan baru bagi
masyarakat tentang pemikiran-pemikiran alternatif. Pada saat ini telah banyak
beredar buku-buku tentang peristiwa-peristiwa yang semasa Orde Baru dianggap
terlarang, seperti penulisan beberapa versi baru tentang Gerakan 30 September.
Selain itu, ada pula penerbitan-penerbitan sejarah akademis kritis berupa karya-
karya ilmiah yang berasal dari penelitian-penelitian baik disertasi, tesis, skripsi,
atau penelitian lainnya. Kemudian setelah reformasi muncul pula penerbitan
biografi tokoh-tokoh terbuang, seperti A.M. Hanafi, Sulami, Aidit dan
keluarganya, serta Tan Malaka. Beberapa hal tersebut menurut Asvi Warman
Adam (2007a: 9-14) menjadi ciri dalam tahapan ketiga historiografi Indonesia
yang di satu sisi memunculkan konsekuensi bahwa kontroversi sejarah tidak lagi
dianggap tabu dalam perbincangan umum. Namun demikian, di sisi lain dinamika
penulisan sejarah tidak sejalan dengan pelaksanaan pembelajaran sejarah di
sekolah.
Keterbukaan dalam pendidikan sejarah setelah reformasi yang ditandai
dengan dinamika penulisan sejarah, ternyata belum memberikan perubahan dalam
pembelajaran sejarah di sekolah. Praksis pembelajaran sejarah ternyata tidak
sejalan dengan perkembangan yang pesat dalam historiografi setelah reformasi.
Pembelajaran sejarah sekolah masih berada dalam situasi yang stagnant. Stagnasi
6
dalam pembelajaran senada dengan pendapat bahwa pendidikan merupakan salah
satu kegiatan yang paling konservatif di dalam era refomasi dewasa ini (Tilaar,
2002: 101). Stagnasi dalam pembelajaran sejarah terlihat pada upaya penguasa
yang masih tetap melakukan campur tangan secara berlebihan dalam pendidikan
sejarah. Walaupun terjadi perubahan dalam kurikulum, mulai dari adanya
suplemen tahun 1999, Kurikulum 2004, sampai Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan, masih ada seperangkat kebijakan pemerintah yang masih belum
membuka peluang maksimal untuk pengembangan proses berpikir kritis peserta
didik.
Kecenderungan sikap pemerintah yang represif terutama tampak pada
pembelajaran sejarah kontroversial di sekolah. Pelaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial masih belum maksimal. Materi-materi yang diajarkan masih sebatas
pada materi-materi yang tidak memberikan pengaruh dan bersinggungan langsung
dengan masyarakat, seperti materi-materi dari sejarah yang peristiwanya jauh dari
masa sekarang. Sementara itu, materi-materi sejarah kontemporer yang bersifat
sensitif dan politis seperti Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan
Umum 1 Maret 1949 belum sesuai dengan perkembangan historiografi setelah
reformasi. Hal ini tampak dari adanya intervensi yang berlebih dari pemerintah
dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019/A/JA/03/2007
pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak
membahas pemberontakan (PKI) tahun 1948 dan 1965 (Asvi Warman Adam,
2007a: xiv). Munculnya kenyataan seperti ini merupakan salah satu hal yang
menghilangkan kaidah sejarah sebagai ilmu, sekaligus menjadikan sejarah sebagai
7
alat indoktrinasi untuk menghasilkan pengikut yang penurut (Bambang Purwanto,
2006: 270).
Keadaan tersebut bertentangan dengan tahapan pengajaran sejarah yang
diungkapkan oleh Kuntowijoyo. Kuntowijoyo (1995: 3-4) menyatakan bahwa
pendekatan pengajaran sejarah pada jenjang pendidikan SMA, mestinya diajarkan
secara kritis. Melalui pendekatan itu diharapkan peserta didik “mampu berpikir
mengapa sesuatu terjadi, apa yang sebenarnya terjadi, serta ke mana arah
kejadian-kejadian itu”, sebab pada jenjang tersebut daya nalar peserta didik sudah
bisa diajak untuk berpikir secara kritis (Kuntowijoyo, 1995: 4).
Kenyataan itu membutuhkan satu pendekatan khusus dalam pelaksanaan
pendidikan sejarah, agar pembelajaran sejarah dapat sesuai dengan perkembangan
pemikiran anak yang telah mampu berpikir secara kritis. Di negara-negara maju
pada saat ini telah berkembang satu ideologi pendidikan yang berupaya
memberikan suatu kesadaran kritis bagi peserta didik, yakni dengan menerapkan
critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan dan
pembelajaran.
Critical pedagogy merupakan sebuah pendekatan pendidikan yang
memandang bahwa terdapat muatan-muatan politis dalam pendidikan. Critical
pedagogy bertujuan memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi
ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan (Agus
Nuryatno, 2008: 1-2). Pendidikan kritis memandang bahwa terdapat relasi antara
pengetahuan, kekuasaan, dan ideologi. Di dalam pendidikan kritis, dikenal adanya
critical thinking/consciousness yakni sebuah konsep pemikiran yang mampu
8
menyingkap fenomena-fenomena tersembunyi atau melampaui asumsi-asumsi
yang hanya berdasarkan common sense (akal sehat). Oleh karena itu, pendidikan
kritis atau critical pedagogy sangat relevan sebagai pendekatan dalam pendidikan
sejarah. Terlebih lagi dalam pendidikan kritis landasan yang digunakan adalah
keadilan dan kesetaraan. Penerapan critical pedagogy dalam pendidikan sejarah
diharapkan mampu menjadikan pendidikan sebagai medium bagi kritik sosial
sekaligus mampu menawarkan kemungkinan-kemungkinan dikembangkannya
democratic public spheres melalui proses self empowerment (pemberdayaan diri)
dan self reflection (refleksi diri) sebagai titik tolak mewujudkan transformasi
sosial (Agus Nuryatno, 2008: 5).
Relevansi critical pedagogy dalam pendidikan sejarah, khususnya
pembelajaran sejarah disebabkan pula oleh adanya kesamaan-kesamaan
pandangan di antara keduanya. Persamaan pertama, keduanya memandang bahwa
ada keterkaitan antara pendidikan dengan politik, bahwa ada dalam pendidikan
terdapat kepentingan-kepentingan politik, begitu pula sebaliknya bahwa dalam
aktivitas politik terdapat muatan-muatan edukatif. Persamaan kedua adalah
keduanya tidak dapat melepaskan diri dari konteks yang melingkupinya.
Pendidikan sejarah maupun critical pedagogy memandang bahwa kondisi sekitar,
baik kondisi politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap
pendidikan. Pendidikan senantiasa mengaitkan antara realitas dengan konsep-
konsep. Persamaan ketiga ditinjau dari tujuan yang dicapai, yakni terbangunnya
kesadaran kritis dari peserta didik atau masyarakat dalam melihat realitas yang
menjadikannya sebagai landasan dalam bertindak. Persamaan keempat adalah
9
keduanya memiliki landasan yang sama, yakni keadilan dan kesetaraan. Keadilan
dan kesetaraan menjadi kata kunci yang penting dalam proses pemberdayaan
masyarakat dan refleksi diri guna mencapai transformasi sosial.
Dari pemikiran di atas, penelitian ini mencoba untuk menganalisis
pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial ditinjau dari perspektif critical
pedagogy, serta bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap
implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Secara
lebih spesifik, penelitian ini dilakukan di Kota Semarang karena berdasarkan data
awal yang diperoleh dari penelitian Abu Su’ud (2008a) terhadap guru-guru
sejarah di 16 Sekolah Menengah Atas Negeri ternyata kepedulian para pengajar
sejarah terhadap isu kontroversial yang berkembang cukup tinggi. Hal ini menjadi
modal awal dalam penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial, sehingga sangat menarik untuk meneliti tentang pelaksanaan
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial yang dilakukan oleh
guru-guru sejarah di Kota Semarang. Selain itu, Semarang termasuk kota yang
dinamis karena banyak terdapat informasi-informasi terbaru yang dapat diakses
dengan mudah.
Penelitian ini akan menganalisis pemahaman guru-guru terhadap
pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial,
bagaimana penerapannya, serta apa kendala-kendala yang ditemui. Selain itu,
diamati pula bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik dengan
implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan satu kajian tentang
10
pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial,
sehingga dapat menghasilkan masukan-masukan baru dalam pendidikan sejarah
yang bertujuan untuk menumbuhkan pola pikir dan kesadaran kritis peserta didik.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam
penelitian ini adalah
1. Bagaimana pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai
pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial?
2. Bagaimana implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial?
3. Apa kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical pedagogy pada
pembelajaran sejarah kontroversial?
4. Bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut,
1. Mengetahui pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai
pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
11
2. Mendeskripsikan implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial.
3. Mendeskripsikan kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical
pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial.
4. Mengetahui pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini memberikan satu kajian ilmiah tentang
pembelajaran sejarah kontroversial ditinjau dari perspektif critical pedagogy.
Kajian tentang pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical
pedagogy di Indonesia masih sangat jarang, sehingga penelitian ini dapat
digunakan sebagai perbandingan dan acuan dalam penelitian selanjutnya
tentang penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan bagi guru tentang pendekatan dalam pembelajaran
sejarah kontroversial dengan penerapan critical pedagogy.
b. Bagi pihak sekolah dan pemerintah dapat digunakan sebagai salah satu
pertimbangan dalam menentukan kebijakan dalam pembelajaran sejarah,
terutama sejarah yang bersifat kontroversial.
12
12
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Teori
1. Critical Pedagogy
a. Konsep-Konsep Dasar Critical Pedagogy
Critical pedagogy merupakan pendekatan dalam pendidikan yang
menempatkan peserta didik untuk mampu menghadapi dominasi. Critical
pedagogy dalam diskursus pendidikan disebut juga “aliran kiri” karena
orientasi politiknya berlawanan dengan ideologi konservatif dan liberal
(Agus Nuryatno, 2008: 1). Jika dalam pandangan konservatif pendidikan
bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk
perubahan moderat dan cenderung bersifat mekanis, maka paradigma kritis
menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik
ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada (Mansour Fakih, 2001:
xvi). Paulo Freire yang dikutip Monchinski (2008: 2) menjelaskan bahwa
“… make oppression and its causes objects of reflection by the opressed
with the hope that from that reflection will come liberation”. Pandangan
Paulo Freire melihat bahwa critical pedagogy pada dasarnya adalah
sebuah refleksi terhadap ketertidasan dan berbagai alasan yang
menyebabkannya, sehingga dengan refleksi itu diharapkan akan menuju
pada kebebasan.
12
13
Ira Shor (http://en.wikipedia.org/wiki/Critical_pedagogy, 25 Mei
2009), seorang tokoh dalam pendidikan kritis, mendefinisikan critical
pedagogy sebagai
… habits of thought, reading, writing, and speaking … to understand the deep meaning, root causes, social context, ideology, and personal consequences of any action, event, object, process, organization, experience, text, subject matter, policy, mass media, or discourse.
Critical pedagogy merupakan kebiasaan berpikir, membaca,
menulis, dan mengungkapkan sesuatu untuk memahami makna yang
terdalam, memahami akar permasalahan berdasarkan konteks sosial,
ideologi, dan pemahaman personal atas segala macam kegiatan, peristiwa,
objek, proses, organisasi, pengalaman, teks, pokok bahasan, kebijakan,
media massa, maupun wacana.
Henry Giroux yang dikutip Monchinski (2008: 2) menyatakan
bahwa critical pedagogy sama dengan political pedagogy, artinya adalah
critical pedagogy menyatakan bahwa proses pendidikan pada dasarnya
bersifat politik, yang bertujuan untuk mewujudkan sebuah keterhubungan,
kesepahaman, dan keterpautan secara kritis dengan berbagai isu-isu sosial
dan bagaimana memaknainya. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya
melakukan sebuah sikap yang kritis tetapi juga cukup tanggap untuk
“bertarung” dengan kondisi politik dan ekonomi sehingga mampu
mewujudkan sebuah demokratisasi.
Critical pedagogy merupakan pandangan yang bersifat
transdisiplin dan banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikiran seperti
14
Marxisme, teori kritis Mazhab Frankfurt, feminisme, pascakolonialisme,
pascastrukturalisme, media studies, cultural studies, anti-racis studies, dan
pascamodernisme. Critical pedagogy dipengaruhi pula oleh pemikiran
Antonio Gramsci tentang pengetahuan dan hegemoni, serta Paulo Freire
tentang pendidikan kaum tertindas (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:
9; Agus Nuryatno, 2008: 4). Sebagai pendekatan dalam pendidikan,
critical pedagogy telah mulai muncul pada tahun 1960-an dan berkembang
secara luas di Amerika Serikat sekitar 30 tahun yang lalu sebagai
pendekatan pembelajaran yang menyediakan inovasi pembelajaran untuk
pemberdayaan peserta didik. Pendekatan ini mulai dikenalkan oleh Paulo
Freire dan beberapa teoretisi pendidikan lain yang berpengaruh terhadap
pembelajaran dan aktivitas di akar rumput, dan banyak mengawali
transformasi pendidikan yang bertujuan untuk menghubungkan antara
teori dan praktik sebagai upaya pemberdayaan masyarakat (Ochoa &
Lassalle, 2008: 2).
Di dalam pemikirannya, critical pedagogy merupakan
pengembangan dari pemikiran-pemikiran Paulo Freire. H.A.R. Tilaar
(2002: 236) menjelaskan bahwa secara singkat filsafat pendidikan Paulo
Freire menekankan pada tiga hal, yaitu
(1) masalah penindasan, (2) ketergantungan pada bekas penjajah (atau sumber-sumber pengetahuan eksternal dalam pengambilan keputusan politik, ekonomi, dan juga pendidikan, (3) orang-orang yang tersisih atau termarginalisasi yang membentuk “budaya bisu”.
15
Oleh karena itu, konsep-konsep yang dikembangkan dan tujuan
yang hendak dicapai dalam critical pedagogy pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan pemikiran Freire tersebut.
Peter Mc Laren (dalam Agus Nuryatno (2008: 1-2) menyatakan
walau pemikiran ini tidak merepresentasikan satu gagasan yang tunggal
dan homogen, terdapat satu tujuan yang sama dalam critical pedagogy.
Tujuan tersebut adalah memberdayakan kaum tertindas dan
mentransformasi ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui
media pendidikan. Transformasi tersebut dilakukan dengan melakukan
pemahaman terlebih dahulu terhadap konteks sosiopolitik dan melakukan
demokratisasi dalam konteks yang lebih luas (Fischman & Mc Laren,
2005: 425). Dengan demikian, tidak ada lagi ketimpangan, karena cita-cita
yang diinginkan adalah adanya kesetaraan dan keadilan.
Critical pedagogy memberikan titik kajian pada hubungan antara
pendidikan dan politik, relasi antara kehidupan sosial-politik dan praksis
pendidikan, antara reproduksi atas struktur hierarkis yang saling berkaitan,
antara kekuasaan dan keistimewaan dalam ranah yang terjadi dalam
kehidupan sosial keseharian dan dalam ruang kelas, serta institusi-institusi
pendidikan (Fischman & Mc Laren, 2005: 425). Pemikiran ini dilandasi
sebuah anggapan bahwa pendidikan tidaklah berada pada ruang hampa
yang menyebabkan pendidikan tidak dapat dipahami dalam bingkai
analisis ekonomi dan keadaan politik yang lebih luas (Listyana, Lavandez,
& Nelson, 2004: 3).
16
Atas dasar pandangannya yang bersifat menyeluruh, maka tidak
ada satu gagasan yang berifat tunggal dan homogen dalam critical
pedagogy. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pelaksanaan critical
pedagogy berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Oleh karena itu,
pendidikan tidak hanya berkutat pada masalah sekolah, kurikulum, dan
kebijakan pendidikan, tetapi juga tentang keadilan sosial dan kesetaraan
(Agus Nuryatno, 2008: 3).
Ditinjau dari aspek kajiannya, critical pedagogy merupakan bagian
dari ideologi kritis dalam pendidikan. Pada ideologi kritis, urusan
pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant
ideology ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah
menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur
ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem
sosial yang lebih adil. Mansour Fakih (2001: xvii) menjelaskan bahwa
tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang
mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Pendekatan kritis berorientasi pada terwujudnya kesadaran kritis dari
peserta didik agar mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem
dan struktur yang ada, kemampuan manganalisis bagaimana struktur dan
sistem itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya dalam
kehidupan bermasyarakat.
Hal penting yang dibangun dalam critical pedagogy adalah
kesadaran kritis peserta didik agar mereka mampu mendemistifikasi
17
kepentingan ideologis yang menyelimuti realitas (Agus Nuryatno, 2008:
2). Kesadaran kritis menurut Marthen Manggeng (2005: 43) ditandai
dengan “kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam
berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog.
Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab
akibat”. Seseorang dengan kesadaran kritis diharapkan mampu
menyingkap fenomena-fenomena tesembunyi yang melampaui asumsi-
asumsi yang hanya berdasarkan common sense (Agus Nuryatno, 2008: 2-
3).
Paulo Freire (dalam Au, 2007: 3) menyatakan bahwa kesadaran itu
penting terhadap manusia karena manusia “are not only in the world, but
with the world and have the capacity to adapt… to reality plus the critical
capacity to make choices and transform that reality”. Artinya adalah
bahwa manusia tidak hanya di dunia, tetapi di dalam dunia dan memiliki
kapasitas untuk menyesuaikan diri terhadap realitas dan memiliki
kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubah realitas.
Untuk mencapai kesadaran dibutuhkan adanya proses yang disebut
penyadaran atau conscientization. Penyadaran diartikan sebagai belajar
memahami kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi, serta mengambil
tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut
(Freire, 2008: 1). Senada dengan itu, Pepi Leistyana (2004: 17)
menjelaskan bahwa penyadaran adalah “ability to analize, problematize
(pose questions), and affect the sociopolitical, economic, and cultural
18
realities that shape our lives”, yaitu kemampuan untuk menguraikan,
mempermasalahkan (menyikapi pertanyaan-pertanyaan), dan memberikan
suatu sentuhan perasaan terhadap keadaan sosiopolitik, ekonomi, dan
realitas kebudayaan yang melingkupi hidup kita. Proses penyadaran ini
menurut Paulo Freire (2008: 2-3) memungkinkan seseorang untuk
memasuki proses sejarah sebagai subjek-subjek yang bertanggung jawab,
dan mengantarkan mereka masuk ke dalam pencapaian afirmasi diri
sendiri sehingga menghindarkan fanatisme. Agus Nuryatno (2008: 9)
menjelaskan bahwa proses penyadaran menjadikan seseorang memiliki
critical awareness, sehingga mampu melihat secara kritis kontradiksi-
kontradiksi sosial yang ada di sekelilingnya dan mengubahnya.
Dalam critical pedagogy, satu kata kunci yang melingkupi
keseluruhan landasan, pelaksanaan, dan upaya pencapaian tujuannya
adalah adanya “kritik”. Kritik dalam konteks critical pedagogy berarti
“usaha-usaha untuk mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi
yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat,
sehingga mampu menyingkap kenyataan sejarah sekaligus hendak
membebaskan masyarakat (Agus Nuryatno, 2008: 28)”.
b. Critical Pedagogy dalam Konteks Indonesia
Critical pedagogy merupakan sebuah padangan yang lahir dan
berkembang di luar negeri, maka untuk penerapannya di Indonesia perlu
ada penyesuaian-penyesuaian terhadap konteks Indonesia. Penyesuaian
19
terhadap konteks Indonesia dibutuhkan karena pada dasarnya critical
pedagogy tidak dapat lepas dari konteks di mana ia diterapkan. Ini karena
critical pedagogy mencoba melakukan pemaknaan terhadap berbagai isu
sosial yang terjadi di masyarakat (Monchinski, 2008: 2).
Penyesuaian terhadap konteks lokalitas tertentu di mana critical
pedagogy tersebut diterapkan sesuai dengan padangan dari Giroux yang
dikutip Tilaar (2002: 249-253) bahwa ada beberapa prinsip yang mendasar
dalam critical pedagogy, yakni (1) Pendidikan bukan hanya terbatas
kepada menghasilkan ilmu pengetahuan, melainkan juga melahirkan
subjek politik, yakni masyarakat yang mempunyai dan mampu
memanfaatkan hak-hak politiknya; (2) Etika merupakan masalah sentral di
dalam masyarakat demokratis karena masyarakat tanpa etika tidak
mungkin melahirkan suatu masyarakat demoktastis secara substansial; (3)
Perlu lahir mekanisme pertukaran ide secara terbuka melalui proses yang
komunikatif dan dialogis; (4) Kebudayaan bukanlah suatu yang telah
ditetapkan melainkan suatu diskursus mengenai kekuasaan dan
ketidakadilan; (5) Mengedepankan isu mengenai ke-bhineka-an dalam
masyarakat yang menekankan pada pentingnya toleransi dengan win-win
solution; (6) Kebenaran yang berlaku di dalam suatu masyarakat
mempunyai akar di dalam sejarah dan merupakan konstruksi sosial; (7)
Mengembangkan sikap kritis yang ditindaklanjuti dengan mengungkapkan
adanya kemungkinan-kemungkinan yang tersedia; (8) Guru berperan
bukan hanya sebagai sarana produksi dari ideologi dan praktik sosial yang
20
ada, melainkan juga membantu membuka cakrawala melalui pemikiran-
pemikiran kritis terhadap kehidupan ideologi dan sosial yang hidup di
masyarakat.
Dari prinsip-prinsip di atas, tampak bahwa konteks di mana critical
pedagogy diterapkan banyak memberikan pengaruh terhadap praksisnya
dalam pendidikan dan pembelajaran. Etika menjadi satu faktor yang
berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Berkait
dengan hal itu Antonio Gramsci yang dikutip Tilaar (2002: 254)
menyatakan bahwa “… etika merupakan jiwa dari pedagogik yang
membebaskan. Tanpa etika, pedagogik akan menjadi tumpul dan tidak
peka terhadap ketimpangan-ketimpangan yang ada di masyarakat.”
Dalam konteks Indonesia aspek yang diperhatikan dalam
penerapan critical pedagogy adalah bahwa dalam masyarakat berkembang
konsep pemikiran yang diidealkan, yakni nilai-nilai Pancasila. Tilaar
(2002: 199) menyebutkan ada beberapa nilai yang disandang oleh manusia
Indonesia berdasarkan Pancasila yakni (1) Manusia yang memiliki
landasan moral dan etika; (2) Mengapresiasi hak asasi manusia, toleransi
dan kerjasama global untuk kemakmuran dan perdamaian; (3) Saling
menghargai perbedaan, menjunjung persatuan, menghormati simbol-
simbol negara persatuan, serta bangga sebagai orang Indonesia; (4)
menjunjung nilai-nilai demokrasi, populis, serta penerapan teknologi
untuk kemakmuran rakyat, serta; (5) memiliki rasa solidaritas sosial
sebagai bangsa dan gotong royong menanggulangi permasalahan nasional.
21
Oleh karena itu, penerapan critical pedagogy tidak boleh lepas dari
kerangka pemikiran bahwa manusia yang dididik adalah manusia
Indonesia yang telah berada pada satu konteks pemikiran sosiokultural
yang membingkai kehidupan dan keseharian masyarakat menuju manusia
Indonesia baru.
H.A.R. Tilaar (2002: 79) menyebutkan ada beberapa aspek yang
menjadi ciri dari manusia Indonesia baru. Konsep manusia Indonesia baru
ini merupakan sebuah gambaran ideal tentang konsep manusia yang
diharapkan dalam kondisi sosial yang senantiasa mengalami perubahan
melalui pendidikan dan pembelajaran. Dengan demikian, jika critical
pedagogy diterapkan di Indonesia maka diharapkan tidak terlepas dari
konteks manusia Indonesia baru tersebut, yakni
(1) Lahirnya masyarakat demoktaris dan terbuka serta toleran; (2) Manusia dan masyarakat yang cerdas; (3) Partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial; (4) Revitalisasi budaya lokal; (5) Lahirnya nasionalisme yang “genuine” dalam perkembangan kapital sosial; (6) Ekonomi berdasarkan ilmu pengetahuan dan sumber lokal; (7) Lahirnya masyarakat telematika; (8) Pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam daerah; (9) Sumber daya manusia berkualitas dan mampu bersaing dalam dunia regional dan global; (10) Anggota masyarakt global yang berbudaya. (Tilaar, 2002: 79)
Selain itu, penerapan critical pedagogy pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan nasional
seperti tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional, yakni manusia yang “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
22
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
c. Critical Pedagogy dan Praksis Pembelajaran Sejarah
Di dalam pendidikan sejarah, critical pedagogy memiliki fungsi
untuk mengubah ketidaksetaraan hubungan yang muncul akibat kekuasaan
di dalam kelas maupun dalam masyarakat. Dengan demikian, critical
pedagogy mencoba melakukan pendekatan yang lebih lentur untuk
mendekonstruksi struktur hierarkis yang melemahkan demokratisasi dalam
kelas, melakukan redefinisi atas pengetahuan, memahami bagaimana
pengetahuan itu dibuat, serta mengubah ketidakadilan (Ochoa & Lassale,
2008: 1).
Pada pendidikan sejarah, secara lebih operasional Kuntowijoyo
(1995: 2) menyatakan bahwa pendidikan sejarah yang diberikan secara
kritis pada dasarnya menyangkut tiga hal, yakni aspek (1) mengapa
sesuatu terjadi, (2) apa yang sebenarnya terjadi, serta (3) ke mana arah
kejadian-kejadian itu. Dari pemikiran tersebut, Tsabit Azinar Ahmad dkk.
(2008: 12) menyatakan bahwa kandungan yang harus terdapat dalam
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah meliputi aspek (1)
kausalitas, (2) kronologis, (3) komprehensif, serta (4) kesinambungan.
Aspek kausalitas menggambarkan kondisi masyarakat dalam berbagai
aspek yang turut melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa. Aspek
kronologis adalah urutan terjadinya suatu peristiwa. Aspek komprehensif
23
yang dimaksud adalah bahwa dalam pembelajaran sejarah kontroversial,
berbagai pendapat yang menyatakan tentang peristiwa tersebut harus
disampaikan, sehingga pemikiran peserta didik terbuka terhadap suatu
peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial. Aspek keempat adalah aspek
kesinambungan atau keberlanjutan dan keterkaitan peristiwa tersebut
dengan peristiwa lainnya. Hal ini disebabkan peristiwa sejarah memiliki
keterkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi sebelum dan
setelahnya.
Critical pedagogy di dalam praksisnya menekankan pembelajaran
sebagai proses bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi, dan
menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas dan
mengubahnya. Metode yang dipakai adalah kodifikasi dan dekodifikasi.
Kodifikasi merupakan proses merepresentasikan fakta yang diambil dari
kehidupan peserta didik dan kemudian mempermasalahkannya
(problematizing) dan dekodifikasi adalah proses pembacaan atas fakta-
fakta melalui dua metode, yakni deskriptif dan analitis (Agus Nuryatno,
2008: 6). Metode deskriptif mencoba untuk memahami surface sctucture,
sedangkan analitis digunakan untuk memahami deep structure, sebagai
upaya memahami relasi antarkategori dalam membentuk realitas (Agus
Nuryatno, 2008: 6).
Proses yang ditekankan dalam critical pedagogy adalah self
reflection dan self actualization (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004: 10).
Tahap refleksi mempertanyakan “mengapa sesuatu itu bisa terjadi”
24
sementara tahap aktualisasi yang merupakan proses kontekstualisasi
menekankan pada pertanyaan “bagaimana keterkaitan dengan kehidupan
di sekitar saya?”, “bagaimana harus menyikapi permasalahan tersebut?”.
Oleh karena penekanannya pada aspek pengembangan peserta
didik, pembelajaran berada pada pertanyaan how to think bukan what to
think. Aspek what to think lebih menekankan pada aspek materi.
Sementara itu, how to think lebih menekankan pada proses atau
metodologi pada aktivitas pembelajaran daripada aspek materi. Dengan
demikian, proses berpikir, berdebat, berargumentasi, mengapresiasi
pendapat, menjadi lebih penting daripada materi pelajaran itu sendiri. Hal
ini disebabkan dalam proses tersebut akan terjadi kritisisme, sharing ideas,
saling menghargai dan assesment terhadap pengetahuan (Agus Nuryatno,
2008: 8).
Guru dalam critical pedagogy tidak dianggap sebagai pusat
segalanya. Ia bukan satu-satunya sumber pemilih otoritas kebenaran dan
pengetahuan dan penguasa tunggal atas kelas. Guru dan murid sama-sama
learner, subjek yang belajar bersama. Isi atau materi pelajaran dalam
critical pedagogy tidak semata-mata hak prerogatif guru, kepala sekolah,
atau para ahli tanpa melibatkan peserta didik. Pendekatan bottom up lebih
dipilih dalam mengkonstruksi isi pembelajaran. Hal ini bertujuan agar
pendidikan lebih bermakna dan agar peserta didik paham dengan realitas
hidup yang sebenarnya (Agus Nuryatno, 2008: 7).
25
Posisi guru dalam critical pedagogy harus mampu mengarahkan
peserta didik untuk memahami keterkaitan antara teori dan praktik atau
antara refleksi dan aksi. Konsep ini dalam critical pedagogy dikenal
dengan istilah “praxis” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004: 7). Program
yang dirancang oleh guru harus mampu mengembangkan critical
languages untuk menjelaskan dunia yang melingkupi kehidupan
keseharian masyarakat, tentang mengapa dan bagaimana sesuatu hal
terjadi dalam kehidupan masyarakat. Di dalam pelaksanaannya, ada
pertanyaan yang harus dipahami oleh guru, seperti “apa kacamata
ideologis yang digunakan untuk melihat realitas sosial yang terjadi?”,
“bagaimana cara kita merasakan aspek sosial, politik, ekonomi, dan
institusional yang melingkupi kehidupan kita?”, bagaimana kita dapat
mengenali dan melihat hubungan dan penyalahgunaan power dan berapa
besar tingkat signifikansinya dalam dunia pendidikan dan dalam
kehidupan masyarakat?” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004: 8).
Sejarah dalam perspektif critical pedagogy tidak bersifat
unidimensional (Carr, 2008: 86). Guru dan peserta didik harus memahami
bahwa sejarah adalah multidimensional, sehingga dibutuhkan padangan
yang multiperspektif bahwa sejarah adalah dilingkupi, didefinisikan,
ditampilkan, dan dihubungkan dengan konteks pada saat ini. Artinya
terdapat aspek kesinambungan dalam sejarah dan adanya sifat sejarah yang
multiinterpretasi. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembelajarannya,
26
guru harus memiliki perhatian terhadap konstruksi dan interpretasi yang
beragam dari sejarah (Carr, 2008: 86).
Penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dilakukan
dengan mengutamakan proses dialogis dan bersifat kontekstual. Konsep
pedagogis yang digunakan terutama mengacu pada konsep yang
dikembangakan oleh Paulo Freire. Paulo Freire (2008: 51) mengecam
adanya konsep pendidikan “gaya bank” yang menganggap peserta didik
sebagai tempat penyimpanan pengetahuan belaka. Pendidikan “gaya bank”
merupakan proses belajar mengajar ketika guru tidak memberikan
pengertian kepada peserta didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau
rumusan kepada peserta didik untuk disimpan yang kemudian akan
dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Peserta didik adalah
pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya
mereka itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Oleh
karena itu, pendidikan “gaya bank” menguntungkan kaum penindas dalam
melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia (Marthen
Manggeng, 2005: 42). Model pendidikan “gaya bank” kemudian
melahirkan kebudayaan bisu sebagai dampak dari berhentinya proses
berpikir kritis akibat pendidikan yang satu arah dan tidak dialogis. Hal ini
bertentangan pula dengan konsep masyarakat ideal model J. Habermas
yang menghendaki terwujudnya masyarakat yang rasional.
Proses pendidikan yang dilakukan dalam pembelajaran sejarah
dengan pendekatan critical pedagogy mengacu pada kosep pendidikan
27
“hadap masalah” seperti yang diterapkan oleh Paulo Freire (2008: 64).
Pendidikan yang membebaskan dengan konsep “hadap masalah” bukan
berisi pengalihan-pengalihan informasi (transfers of knowledge),
melainkan berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition). Konsep
berpikir tersebut sesuai dengan konsep pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong
peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih
bermakna bagi peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan sejarah
senantiasa diajarkan dengan model kontekstual.
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang
ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia
sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-
masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan
realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas
dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada naradidik supaya ada
kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan
pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi
dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya,
ekonomi, dan politik (Marthen Manggeng, 2005: 42).
28
Utomo Dananjaya (2005: 57) menjelaskan bahwa pendidikan
“gaya bank” adalah metode pendidikan yang tidak dialektis atau searah.
Paulo Freire (2008: 63) menawarkan metode pendidikan dengan
mengembangkan kesadaran ke arah keterbukaan, yaitu proses pendidikan
terdiri atas guru yang murid, dan murid yang guru serta realitas dunia.
Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang harus menjadi kekuatan
penyadaran dengan pembebasan, yaitu pendidikan “hadap masalah”.
Pendidikan “hadap masalah” adalah proses kodifikasi dan dokumentasi,
diskusi kultural, dan aksi kultural. Dengan pendekatan semacam itu, guru
dan murid dibawa kepada dedikasi yang sesungguhnya, yaitu kemampuan
untuk mengerti secara kritis mengenai dirinya sendiri dan dunianya
(Utomo Dananjaya, 2005: 58).
d. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah
Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dapat
ditinjau dari beberapa aspek. Aspek tersebut dilihat dari unsur-unsur dalam
pembelajaran meliputi (1) tujuan, (2) subjek belajar, (3) materi pelajaran,
(4) strategi pembelajaran, (5) media pembelajaran, (6) evaluasi, dan (7)
penunjang (Ahmad Sugandi dkk., 2004: 28-30). Ditinjau dari aspek tujuan,
implementasi dilakukan dengan menyusun tujuan pembelajaran yang
sesuai dengan critical pedagogy, yakni dengan menerapkan aspek
kesetaraan dan keadilan. Tujuan-tujuan yang disusun dalam pembelajaran
sejarah sedapat mungkin mengakomodasi aspek-aspek keadilan dan
29
kesetaraan. Artinya tujuan pembelajaran sejarah dengan pendekatan
critical pedagogy diarahkan pada terbentuknya kesadaran kritis peserta
didik dan demokratisasi. Oleh karena itu, prinsip keterbukaan, keterkaitan
dengan realitas yang terjadi di lingkungan sekitar, dan berbagai
permasalahan masyarakat menjadi hal yang diangkat dalam tujuan
pembelajaran sejarah.
Aspek selanjutnya dalam implementasi critical pedagogy dalam
pembelajaran sejarah dilihat dari aspek subjek belajar, yakni guru dan
peserta didik. Dalam perspektif critical pedagogy posisi antara guru dan
peserta didik sama-sama sebagai learner, artinya tidak ada dominasi peran
antara guru dan peserta didik. Dalam membangun komunikasi di antara
keduanya, harus terjadi proses yang dialogis, sehingga terjadi proses yang
saling mengisi. Guru tidak lagi berperan sebagai satu-satunya sumber
dalam pembelajaran.
Ditinjau dari aspek materi, terutama pada pembelajaran sejarah
kontroversal, S.K. Kochhar (2008: 454-455) memberikan beberapa
batasan pemilihan, yakni (1) topik yang diangkat berada dalam batas
kompetensi kelompok, artinya disesuaikan dengan kemampuan guru dan
peserta didik, (2) topik yang diminati dan penting bagi kelas, (3) isu yang
tidak terlalu “panas” pada saat ini, karena ada kekhawatiran munculnya
pretensi, dan justifikasi, (4) isu yang pembahasannya tidak memakan
banyak waktu, serta (5) isu dengan materi yang memadai.
30
Strategi yang diterapkan dalam pembelajaran sejarah dengan
pendekatan critical pedagogy pada dasarnya bersifat fleksibel. Namun
demikian, ada dua hal yang diperhatikan, yakni model pembelajaran harus
bersifat dialogis dan kontekstual (Freire, 2008: 51). Pada pelaksanaan
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah, konstruktivisme dapat
dijadikan salah satu landasan dalam pelaksanaan pembelajaran. Agar
pembelajaran menjadi bermakna, pembelajaran harus berpusat pada
peserta didik (student centered) artinya adalah guru memberikan peluang
dari siswa untuk berapresiasi, bisa dalam bentuk kegiatan diskusi, debat,
tugas mandiri, dan sebagainya. Kemudian, penggunaan variasi model dan
media juga menjadi hal yang diperhatikan dalam pembelajaran agar
peserta didik mudah dalam melakukan visualisasi, interpretasi, dan
generalisasi (Tsabit Azinar Ahmad dkk., 2008: 25).
Implementasi critical pedagogy dalam aspek evaluasi pada
prinsipnya menekankan bahwa evaluasi tidak hanya diberikan pada akhir
pembelajaran, tetapi juga pada saat pembelajaran (evaluasi proses), berupa
menilai keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran seperti keaktifan
dalam bertanya, menanggapi pertanyaan, menanggapi pernyataan,
mengerjakan tugas, serta keaktifan dalam diskusi (Tsabit Azinar Ahmad
dkk., 2008: 29). Penyusunan alat evaluasi tidak hanya sebatas soal ujian,
tetapi juga bisa berupa penugasan-penugasan yang bertujuan untuk
mengembangkan kreasi dari peserta didik melalui pendekatan inquiry,
seperti siswa ditugaskan untuk mencari berita tentang peristiwa Gerakan
31
30 September kemudian siswa ditugaskan untuk mengulas isi dan
memberikan pendapatnya tentang berita tersebut. Artinya peserta didik
diberikan peluang untuk melakukan suatu proses penemuan terhadap
berbagai data dan fakta tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Penugasan diberikan bisa dalam bentuk karya tulis sederhana tentang
berbagai pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 (Tsabit
Azinar Ahmad, 2008: 29).
Aspek penunjang dalam pembelajaran meliputi fasilitas-fasilitas
pembelajaran. Implementasi critical pedagogy pada aspek penunjang
dapat dilakukan dengan adanya pemanfaatan fasilitas-fasilitas secara
maskimal oleh guru. Selain itu, guru juga harus mampu memanfaatkan
lingkungan sekitar sebagai salah satu sumber belajar.
2. Sejarah Kontroversial
Sejarah didefinisikan sebagai rekonstruksi masa lalu (Kuntowijoyo,
1995: 17). Sejarah yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup pengertian
sejarah sebagai kisah, yakni catatan dari kejadian yang dilakukan oleh
manusia pada masa lampau. Sementara itu, yang dimaksud dengan
kontroversial adalah “perbedaan pendapat; pertentangan karena berbeda
pendapat atau penilaian” (Badudu dan Sutan Muhammad Zein, 2001: 715).
Dengan demikian, sejarah kontroversial dapat diartikan sebagai sejarah yang
dalam penulisannya terdapat beberapa pendapat yang berbeda, yang pada
akhirnya memunculkan beberapa versi bahkan pertentangan antarversi. Pada
32
sejarah kontroversial, antara pendapat satu dengan pedapat lain masing-
masing memiliki landasan yang menurut penulisnya adalah kuat. Sebuah isu
dapat menjadi kontroversial karena memberi dampak politik, sosial, maupun
personal serta membangkitkan perasaan karena berkaitan dengan hal yang
mempertanyakan kepercayaan dan nilai yang dianut (Global Citizenship
Guides, 2006: 2). Permasalahan tresebut dapat menjadi lebih rumit apabila
sulit untuk dijelaskan dan disebabkan adanya perbedaan yang kuat dalam cara
pandang terhadap perbedaan karena masalah pengalaman, minat, dan nilai-
nilai tertentu.
Wellington yang dikutip Cavet (2007: 2) menyatakan bahwa “a
controversial issue must: involve value judgements, so that the issues cannot
be settled by facts, evidence or experiment alone; be considered important by
an appreciable number of people” (masalah kontroversial harus: melibatkan
penilaian, sehingga masalah tidak dapat diselesaikan oleh fakta, bukti atau
percobaan sendiri; dianggap penting oleh jumlah orang yang cukup banyak).
Cavet (2007: 2) mengutip The report Teaching controversial issues: A
European perspective from the Children's Identity & Citizenship in Europe
programme menyatakan bahwa “a controversial issue is one in which: there
are competing values and interests; there is political sensitivity; emotions
become strongly aroused; the subject/area is complex; the subject/area is of
topical interest”. (masalah kontroversial adalah satu di mana: ada bersaing
nilai-nilai dan kepentingan, ada sensitivitas politik; emosi menjadi sangat
33
terangsang; subjek/area adalah kompleks; subjek/kawasan adalah kepentingan
topikal )
Sifat kontroversial hampir selalu ada dalam sejarah. Hal ini karena
sejarah senantiasa berproses dan bukan sebagai suatu hal yang sudah selesai,
sehingga ada kecenderungan munculnya fakta-fakta dan interpretasi-
interpretasi baru terhadap suatu peristiwa sejarah (Kochhar, 2008: 453).
Dengan demikian, terdapat beberapa pendapat yang berbeda tentang suatu
peristiwa sejarah, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi. Sejarah
kontroversial senantiasa muncul akibat perbedaan pandangan tentang suatu
peristiwa di kalangan sejarawan atau masyarakat yang dilandasi perbedaan
perolehan sumber sampai dengan masalah interpretasi yang berbeda.
Ada beberapa sejarah kontroversial yang disampaikan dalam kelas.
Jika ditinjau dari pengaruhnya terhadap masyarakat pada masa sekarang, ada
dua jenis sejarah kontroversial. Kategori pertama sejarah kontroversial adalah
kontroversi terhadap sejarah yang terjadinya pada kurun waktu yang lama dari
sekarang atau disebut juga sejarah nonkontemporer. Kategori kedua adalah
sejarah kontroversial yang terjadinya pada masa kontemporer (Tsabit Azinar
Ahmad, 2008: 119).
Sejarah kontroversial kategori pertama menjadi bersifat kontroversial
karena adanya perbedaan pendapat, teori, atau pendekatan yang dilakukan
sejarawan dalam melakukan penulisan sejarah. Secara umum, adanya
perbedaan pandangan itu menurut tipologi Asvi Warman Adam (2007 b: 4)
hanya disebabkan adanya ketidaktepatan dan ketidaklengkapan fakta dan
34
interpretasi yang dilakukan, dan biasanya ketidaktepatan itu muncul setelah
ada beberpa sejarawan yang mengungkapkan ketidaktepatan itu menurut versi
sejarawan itu. Artinya sifat kontroversial ini sangat tergantung dari sejarawan.
Hal ini karena pada kategori ini tidak terdapat sumber primer berupa pelaku
atau saksi sejarah, sehingga sejarawan memainkan peranan penuh dalam
menuliskan suatu peristiwa sejarah.
Beberapa sejarah kontroversial untuk kategori pertama antara lain
perbedaan pendapat tentang masuknya pengaruh Hindu Budha di Nusantara,
perdebatan antara Poerbatjaraka dan F.D.K. Bosch tentang dinasti yang
terdapat di kerajaan Mataram lama, pendapat tentang masuknya Islam di
Nusantara, sampai pada mitos tentang penjajahan nusantara selama 350 tahun.
Kategori pertama ini tidak terlalu menyebabkan adanya perdebatan dalam
masyarakat.
Sejarah kontroversial kategori kedua adalah sejarah yang biasanya
dimasukkan ke dalam kategori sejarah kontemporer. Sejarah kontemporer
merupakan satu istilah untuk menyebutkan satu pembabakan dalam sejarah
yang rentang waktu terjadinya tidak terlalu lama dengan masa sekarang, atau
masa ketika sejarah itu menjadi satu kajian dalam ilmu sejarah (Nugroho
Notosusanto, 1978). Batasan kontemporer ini belum jelas, akan tetapi bila
ditinjau dari saat ini peristiwa sejarah kontemporer adalah mulai tahun 1940-
an.
Sejarah kontemporer cenderung bersifat kontroversial karena kadar
subjektivitas yang terkandung dalam sejarah kontemporer lebih besar daripada
35
masa-masa sebelumnya. Hal ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada
dan masih memiliki satu implikasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat
pada masa ini (Tsabit Azinar Ahmad, 2007: 3).
Hal lain yang menyebabkan kontroversial adalah bahwa peristiwa
sejarah kotemporer masih belum selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa
berproses. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa masih banyak terjadi perbedaan
pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah, dan
ada pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta-fakta baru dengan
pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini. Merujuk tipologi Asvi
Warman Adam (2007 b: 4), sejarah kontroversial yang termasuk ke dalam
sejarah kontemporer disebabkan oleh tiga faktor sekaligus, yakni adanya
ketidaktepatan, ketidaklengkapan, dan ketidakjelasan dari fakta dan
interpretasi yang dilakukan dalam penyusunan suatu tulisan sejarah.
Ditinjau dari aspek pengaruhnya terhadap masyarakat, sejarah
kontroversial kategori kedua memberikan dampak yang lebih dirasakan oleh
masyarakat. Hal ini karena peristiwa yang terjadi pada kurun sejarah
kontemporer secara teoretis menjadi kajian yang lebih membuka peluang bagi
masyarakat luas untuk mengulas dan memperoleh sumber-sumber berkaitan
dengan masa tersebut secara lebih mudah. Ketersediaan sumber primer berupa
pelaku atau saksi sejarah juga masih ada. Selain itu memori kolektif
masyarakat tentang satu peristwa tersebut juga masih sangat kuat.
Permasalahan lainnya adalah adanya kemungkinan terbentuknya satu
konstruk pemikiran yang kuat dalam masyarakat tentang satu pemahaman
36
sejarah, walaupun belum tentu pemahaman yang selama ini diyakini adalah
benar adanya (Tsabit Azinar Ahmad, 2007: 5). Adanya hal ini telah
menyebabkan adanya satu hal yang memacu terjadinya pertentangan terhadap
satu peristiwa sejarah ketika pada satu saat ditemukan fakta baru yang bertolak
belakang dari pemahaman masyarakat selama ini diyakini.
Selain permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan
metodologis, satu hal yang menyebabkan sejarah kontemporer itu cenderung
bersifat kontroversial adalah adanya unsur kepentingan lain yang bermain di
dalam sejarah. Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat
dalam satu peristiwa sejarah atau dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan
satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu (Tsabit Azinar Ahmad,
2007: 6). Kepentingan yang datang dari pihak pelaku sejarah ataupun
keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya
penulisan sejarah dari pihak tertentu.
Beberapa peristiwa sejarah yang dapat diklasifikasikan masih bersifat
kontroversial antara lain Gerakan 30 September, peristiwa seputar Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Serangan Umum 1 Maret 1949, lahirnya
Pancasila, lahirnya Orde Baru, dan Integrasi Timor-Timur. Berkaitan dengan
sejarah yang bersifat kontroversial, Bambang Purwanto (2001a: 112)
menjelaskan bahwa
... in fact many controversies in Indonesia history during the last fifty years. Four of them, Serangan Umum Satu Maret (1 March Attack) of 1949, Gerakan 30 September (30 September Movement) of 1965, Surat Perintah Sebelas Maret (11 March Instruction) of 1966, and social-political role of Indonesian armed forces…
37
Dari tulisan Purwanto (2005), yang menarik adalah tentang kontroversi
keempat, yakni social-political role of Indonesia armed forces (peran sosial-
politik kepemimpinan Angkatan Darat di Indonesia). Kontroversi tersebut
terletak pada tindakan militer pada saat revolusi dan penumpasan pergerakan
lokal, konflik ideologi internal pada tahun 1950-an, keterlibatan pemimpin
tentara dalam kegiatan ekonomi dan politik pada masa demokrasi terpimpin,
serta kepemimpinan militer yang dominan pada pemerintahan Orde Baru
(Purwanto, 2001:116).
Beberapa peristiwa sejarah kontemporer yang termasuk dalam sejarah
kontroversial yang dapat dijadikan materi pembelajaran di kelas sejarah antara
lain kontroversi tentang penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan
Nasional, peristiwa Madiun 1948, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di
Yogyakarta, peristiwa 17 Oktober 1952, Gerakan 30 September, perdebatan
seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), peristiwa Malari 1974,
permasalahan Timor-Timur, sampai dengan peristiwa seputar reformasi dan
jatuhnya Soeharto pada 1998. Akan tetapi, yang paling banyak diperdebatkan
di masyarakat adalah Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan
Umum 1 Maret 1949 (Asvi Warman Adam, 2007 b: 14).
38
Tabel 1 Beberapa Aspek Perbedaan dalam Sejarah Kontroversial Nonkontemporer dan Kontemporer
Aspek Perbedaan Kategorisasi Sejarah Kontroversial
Sejarah Kontroversial Nonkontemporer
Sejarah Kontroversial Kontemporer
Aspek temporal Rentang waktu terjadinya lama dari masa sekarang / pada saat dilakukan kajian
Terjadi pada kurun waktu yang tidak terlalu lama dari sekarang
Ketersediaan sumber primer
Sumber primer hanya berupa peninggalan atau bukti berupa benda
Masih terdapat pelaku dan saksi sejarah
Alasan kontroversial
o adanya perbedaan pendapat, teori, atau pendekatan yang dilakukan sejarawan dalam melakukan penulisan sejarah
o subjektivitas yang lebih besar
o ada perbedaan padangan dari pelaku sejarah
o adanya unsur kepentingan lain di dalam sejarah
Penyebab o ketidaktepatan dan ketidaklengkapan fakta dan interpretasi yang dilakukan
o adanya ketidaktepatan, ketidaklengkapan, dan ketidakjelasan dari fakta dan interpretasi yang dilakukan
Sifat Sejarawan memegang peranan penting
Terbuka bagi masyarakat untuk mencari data
Akses masyarakat untuk pencarian data
Masyarakat sulit untuk mengakses/mencari data fakta tentang peristiwa sejarah
Masyarakat mudah mengakses informasi tentang peristiwa sejarah kontemporer
Pengaruh di masyarakat
tidak terlalu menyebabkan adanya perdebatan dalam masyarakat
memberikan dampak yang lebih dirasakan oleh masyarakat
Contoh perbedaan pendapat tentang masuknya pengaruh Hindu Budha di Nusantara, pendapat tentang masuknya Islam di Nusantara
peristiwa Madiun 1948, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, Gerakan 30 September, perdebatan seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
Sumber: Tsabit Azinar Ahmad (2008: 119)
39
Kategorisasi sejarah kontroversial seperti yang dijelaskan di atas,
tidaklah bersifat tertutup. Artinya ada kecenderungan munculnya peristiwa-
peristiwa sejarah nonkontemporer yang memiliki sifat seperti sejarah
kontemporer, seperti adanya peristiwa yang terjadi jauh dari masa sekarang
yang memberi pengaruh terhadap masyarakat pada masa kini. Sejarah
kontroversial nonkontemporer juga masih dapat memunculkan perdebatan
dalam masyarakat ketika ada versi sejarah yang bertentangan dengan
pemahaman sejarah masyarakat selama ini. Hal ini disebabkan proses sejarah
telah menjadi konsensus di kalangan masyarakat. Contoh kasus seperti ini
adalah tentang peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh raja Mataram yang
membunuh tokoh agama pada abad XVII.
Selain kategorisasi yang dilakukan oleh Tsabit Azinar Ahmad (2008),
ada kategorisasi sejarah kontroversial dari S. K. Kochhar (2008: 453) yang
menjelaskan bahwa ada dua jenis isu kontroversial dalam sejarah, yakni (1)
kontroversial mengenai fakta-fakta, dan (2) kontroversial mengenai
signifikansi, relevansi, dan interpretasi sekumpulan fakta. Isu kontroversial
jenis pertama, yakni kontroversi mengenai fakta-fakta terjadi karena
kurangnya data atau tidak masuk akalnya suatu penemuan. Di dalam isu
kontroversial jenis ini pertanyaan berkaitan dengan “apa”, “siapa”, “kapan”,
dan “di mana”. Di dalam sejarah Indonesia, permasalahan kontroversial yang
termasuk dalam kategori ini misalnya tentang siapa yang pertama kali
membawa pengaruh India ke Nusantara, kapan Islam pertama masuk di
Nusantara.
40
Jenis isu kontroversial interpretasi karena pendekatan yang dilakukan
oleh sejarawan tidak ilmiah, bias, dan dipengaruhi prasangka. Kontroversi
yang disebabkan oleh interpretasi berada pada pertanyaan tentang “mengapa”
dan “bagaimana” peristiwa tersebut terjadi. Terkadang peristiwa atau
fenomena dipelajari secara tertutup, sehingga interpretasi sejarawan terhadap
suatu peristiwa bisa salah dan mengakibatkan kontroversi (Kochhar, 2008:
453-454). Permasalahan kontroversi karena perbedaan interpretasi sejarawan
terjadi seperti ketika sejarawan-sejarawan mengeluarkan versi yang berbeda
tentang peristiwa Gerakan 30 September. Ada sebagian sejarawan yang
menyatakan bahwa permasalahan tersebut terjadi karena konflik internal di
tubuh Angkatan Darat, ada pula yang menyatakan bahwa Suharto yang
menjadi dalang. Sementara itu muncul pula teori tentang keterlibatan Sukarno
atau CIA sebagai faktor yang utama. Kemudian yang tidak kalah penting
adalah tentang berkembangnya “versi resmi” bahwa yang menjadi penggerak
adalah Parai Komunis Indonesia.
3. Pembelajaran Sejarah Kontroversial
a. Komponen Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran adalah seperangkat peristiwa (events) yang
mempengaruhi si belajar sedemikian rupa sehingga si belajar memperoleh
kemudahan (Haryanto, 2003: 2-3). Kata pembelajaran sengaja dipakai
sebagai padan dari kata instruction yang berasal dari bahasa Inggris. Kata
instruction memiliki pengertian yang lebih luas daripada pengajaran. Jika
41
pengajaran ada dalam konteks guru-murid di kelas (ruang) formal, maka
pembelajaran mencakup pula kegiatan belajar mengajar yang tidak
dihadiri guru secara fisik. Oleh karena dalam instruction yang ditekankan
proses belajar, maka usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi
sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri peserta didik
disebut pembelajaran. Pembelajaran juga dapat berarti proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar.
Kosasih Djahiri A. (dalam Isjoni, 2007: 78) menyatakan bahwa
pembelajaran merupakan proses keterlibatan totalitas diri peserta didik dan
kehidupannya atau lingkungannya secara terarah, terkendali ke arah
penyempurnaan, pembudayaan, pemberdayaan totalitas diri dan
kehidupannya melalui proses learning to know, learning to belief, learning
to do dan to be serta learning to life together.
Menurut Darsono (2000: 26), pembelajaran merupakan kegiatan
yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk membantu peserta didik
agar memperoleh pengalaman dan dengan pengalaman itu tingkah laku
peserta didik bertambah baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Tingkah
laku tersebut meliputi pengetahuan, keterampilan dan nilai atau norma
yang berfungsi sebagai pengendali sikap dan perilaku peserta didik.
Atas dasar pemikiran di atas, pemerintah RI telah merumuskan
pengertian dari pembelajaran yang tercantum dalam Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional, yakni
42
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dengan demikian,
pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memberikan kegiatan
interaksi yang aktif dari peserta didik dan guru atau pendidik.
Berkaitan dengan sejarah, I Gde Widja (1989: 23) menyatakan
bahwa pembelajaran sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar dan
mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau
yang erat kaitannya dengan masa kini. Selanjutnya Isjoni (2007:13)
menyatakan bahwa,
Pembelajaran sejarah memiliki peran fundamental dalam kaitannya dengan guna atau tujuan dari belajar sejarah, melalui pembelajaran sejarah dapat juga dilakukan penilaian moral saat ini sebagai ukuran menilai masa lampau.
Sebagai sebuah sistem, pembelajaran merupakan suatu rangkaian
yang merupakan suatu kesatuan. Pembelajaran sebagai sistem merupakan
interaksi fungsional antarsubsistem (Ahmad Sugandi dkk., 2004: 20). Pada
hakikatnya pembelajaran sebagai sistem merupakan suatu kesatuan
berbagai unsur/elemen yang memiliki hubungan fungsional dan
berinteraksi secara dinamis untuk mencapai tujuan/fungsi sistem tersebut.
Di dalam proses pembelajaran terdapat komponen-komponen yang
menyusun suatu pembelajaran yaitu (1) tujuan, (2) subjek belajar, (3)
materi pelajaran, (4) strategi pembelajaran, (5) media pembelajaran, (6)
evaluasi, dan (7) penunjang (Ahmad Sugandi dkk., 2004: 28-30). Tujuan
yang hendak dicapai dalam pembelajaran adalah membantu peserta didik
43
agar memperoleh berbagai pengalaman dan dengan pengalaman itu,
tingkah laku peserta didik bertambah. Tujuan pembelajaran ini mengacu
para ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik. Sementara itu subjek
belajar mencakup pribadi yang ada dalam proses pembelajaran, yakni
peserta didik dan guru. Materi merupakan hal/informasi yang diberikan
dalam proses pembelajaran. Materi ini telah disesuaikan dengan
kurikulum. Strategi pembelajaran merupakan pola umum dalam
mewujudkan proses pembelajaran yang diyakini efektivitasnya untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Media pembelajaran merupakan alat yang
digunakan dalam proses pembelajaran untuk membantu menyampaikan
informasi atau pesan pembelajaran. Evaluasi merupakan kegiatan
pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu pendidikan terhadap
berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur jenjang dan jenis
pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan
pendidikan. Komponen penunjang dalam pembelajaran antara lain
fasilitas-fasilitas yang berfungsi untuk melancarkan dan mempermudah
proses pembelajaran.
Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran guru perlu
mengembangkan perencanaan pembelajaran. Dalam kegiatan
pembelajaran, pembuatan perencanaan atau desain pembelajaran berfungsi
untuk memudahkan serta memberikan efektivitas dalam pembelajaran agar
tujuan yang hendak dicapai bisa dengan mudah terlaksana.
44
Desain pembelajaran atau desain instruksional merupakan
keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta
pengembangan teknik mengajar dan materi pengajarannya untuk
memenuhi kebutuhan tersebut (Ahmad Sugandi dkk., 2004: 46). Dalam
kegiatan pembelajaran agar terwujud efektivitas pembelajaran dan agar
tujuan bisa dengan mudah terwujud harus ada perencanaan pembelajaran
dalam bentuk desain pembelajaran. Desain pembelajaran ini bermanfaat
bagi guru karena dapat memberikan gambaran awal tentang rencana
pengajaran dalam kelas.
Di dalam prosesnya, desain pembelajaran ini melakukan
pendekatan secara sistematis dalam perencanaan dan pengembangan
sarana serta alat untuk mencapai kebutuhan dan tujuan pembelajaran.
Tujuan penyusunan atau pendesainan desain pembelajaran ini adalah pada
dasarnya untuk mempermudah dalam pelaksanaan proses pembelajaran
karena terjadi pembelajaran yang terencana dan efektif, sehingga tujuan
dari pembelajaran yaitu peserta didik yang cerdas (ranah kognitif), kreatif
(ranah psikomotorik) dan memahami norma (afektif) bisa terwujud.
Penyusunan desain pembelajaran pada awalnya harus
memperhatikan komponen-komponen dalam pembelajaran meliputi (1)
tujuan, (2) subjek belajar, (3) materi pelajaran, (4) strategi pembelajaran,
(5) media pembelajaran, (6) evaluasi, serta (7) sarana penunjang seperti
fasilitas belajar, buku sumber, pemanfaatan ligkungan dan sebagainya
(Ahmad Sugandi dkk., 2004: 28-30).
45
Desain atau perencanaan pembelajaran dikembangkan oleh para
pengembang yaitu guru di sekolah, pengarang, pendidik dan psikolog serta
para profesional dalam bidang pendidikan. Tugas para pengembang dan
pendesain model pembelajaran adalah menentukan hasil belajar (prestasi
peserta didik) yang dapat diamati dan diukur, mengidentifikasi peserta
didik yang akan belajar, menulis dan menyelenggarakan kegiatan
pembelajaran bagi peserta didik, menentukan media, menentukan situasi
dan kondisi (pengenalan kelas), menentukan kriteria seberapa prestasi
peserta didik telah dianggap cukup, memilih metode yang tepat,
menentukan model tes/evaluasi, mengadakan perbaikan (remidi untuk
yang tertinggal) (Haryanto, 2003: 53).
Di dalam pembelajaran dikenal adanya beberapa model
pengembangan sistem dan desain instruksional. Model pengembangan
sistem dan desain instruksional adalah seperangkat prosedur yang
berurutan untuk melaksanakan pengembangan sistem dan desain
instruksional. Dalam pelaksanaannya ada beberapa macam model desain
pembelajaran yaitu model PPSI, model Gerlach dan Ely, model Bela H.
Banathy, model Jerold E. Kemp serta model IDI (Ahmad Sugandi dkk.,
2004: 48).
Pada kurikulum tingkat satuan pendidikan, perencanaan
pembelajaran meliputi pengembangan silabus dan rencana pembelajaran.
Beberapa aspek yang terkadung dalam silabus meliputi pengembangan
kompetensi dasar dalam materi dan indikator-indikator, pengembangan
46
model pembelajaran, penyusunan alat evaluasi, penentuan media, dan
sumber belajar. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 20 yang berbunyi,
Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. (PP No. 19 tahun 2005)
Dalam penelitian ini komponen-komponen dalam perencanaan atau
desain pembelajaran sejarah akan dijadikan acuan untuk melakukan
analisis terhadap pelaksanaan pembelajaran.
b. Tujuan Pembelajaran Sejarah Kontroversial
Pembelajaran sejarah yang tertuang dalam mata pelajaran sejarah
memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa
yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang
memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Hal ini karena pengetahuan
masa lampau tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat
digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan
kepribadian peserta didik (Permendiknas No. 22 tahun 2006).
Tujuan dari pelaksanaan pendidikan sejarah dalam kurikulum 2006
seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 adalah agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut,
(1) membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau,
47
masa kini, dan masa depan, (2) melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan, (3) menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau, (4) menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang, (5) menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional.
Secara lebih spesifik, pelaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial dengan memberikan argumentasi yang kuat dan logis tentang
pendapat-pendapat yang berbeda itu memiliki beberapa tujuan. Abu Su’ud
(1993: 20-21) menyatakan bahwa pengembangan pola isu kontroversial
dalam kelas sejarah bertujuan untuk mencapai (1) peningkatan daya
penalaran, (2) peningkatan daya kritik sosial, (3) peningkatan kepekaan
sosial, (4) peningkatan toleransi dalam perbedaan pendapat, (5)
peningkatan keberanian pengungkapan pendapat secara demokratis, serta
(6) peningkatan kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung
jawab.
Wiriaatmadja yang dikutip didin Sarpdin (2009:3), menyatakan
bahwa keuntungan menggunakan model pembelajarn isu kontroversial
adalah: (1) Mengajarkan kepada peserta didik keterampilan akademis
untuk membuat hipotesis, mengumpulkan evidensi, menganalisis data, dan
menyajikan hasil inkuiri; (2) Melatih peserta didik untuk menganalisis,
mensisntesis, dan menilai suatu peristiwa secara ilmiah; dan (3) Melatih
siswa untuk menghadapi kehidupan sosial yang kompleks dengan
48
keterampilan berkomunikasi, menanamkan rasa empati, mempengaruhi
orang lain, toleran, bekerja sama, dan lain-lain.
Selain pendapat dari pakar dalam negeri ada pula beberapa
pendapat dari luar negeri. Barton dan Mc Cully (2007: 13) menyarakan
bahwa ada beberapa keuntungan apabila menggunakan pendekatan isu
kontroversial dalam pembelajaran. Keuntungan tersebut dapat memberikan
bekal bagi peserta didik di masa depan, yakni (1) berani berpendapat
dalam berbagai aktivitas, (2) mendukung nilai-nilai demokrasi, (3) dapat
mengambil bagian dalam diskusi politik, (4) dapat mengikuti
perkembangan politik di media, (5) memiliki ketertarikan terhadap proses
politik, dan (6) memiliki kepercayaan diri dengan kemampuannya untuk
mempengaruhi kebijakan publik. Pendapat Barton dan Mc Cully (2007)
terkait dengan masalah politik karena menurutnya permasalahan
kontroversi erat dengan masalah perdebatan dalam ranah kebijakan dan
politik.
Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan seperti tercantum
dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tentang Standar
Isi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, mata pelajaran Sejarah untuk
Sekolah Menengah Atas meliputi aspek-aspek sebagai berikut, (1) prinsip
dasar ilmu sejarah, (2) peradaban awal masyarakat dunia dan Indonesia,
(3) perkembangan negara-negara tradisional di Indonesia, (4) Indonesia
pada masa penjajahan, (5) pergerakan kebangsaan, (6) proklamasi dan
perkembangan negara kebangsaan Indonesia. Dari berbagai aspek tersebut,
49
terdapat beberapa peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial yang dapat
diajarkan dalam kelas, sehingga kontroversi melekat dalam pembelajaran
sejarah.
Di dalam pelaksanaannya, tidak semua peristiwa sejarah yang
bersifat kontroversial dapat disajikan dalam materi ajar untuk
pembelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas. Hal ini karena adanya
skala prioritas untuk mengajarkan sejarah yang memiliki potensi dalam
mengembangkan aspek-aspek yang dimiliki oleh peserta didik, khususnya
aspek menyangkut cinta tanah air, nasionalisme, dan sebagainya. Selain
itu, peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial belum dapat
diajarkan secara keseluruhan karena pada jenjang Sekolah Menengah Atas,
peserta didik belum dianggap perlu untuk mempelajari secara mendetail
tentang berbagai peristiwa sejarah. Hal ini karena materi-materi yang
diajarkan di Sekolah Menengah Atas, pada dasarnya sudah disusun garis
besar penyampaiannya dalam standar kompetensi dan kompentensi dasar.
Peristiwa-peristiwa sejarah yang dijadikan materi ajar dalam pembelajaran
sejarah yang bersifat kontroversial hanya peristiwa-peristiwa yang
dianggap signifikan dan mendukung dalam proses pemahaman peserta
didik terhadap suatu rangkaian peristiwa dan konsep tentang masa lalu.
Berkaitan dengan pemilihan topik S.K. Kochhar (2008: 454-455)
memberikan beberapa batasan pemilihan, yakni (1) topik yang diangkat
berada dalam batas kompetensi kelompok, artinya disesuaikan dengan
kemampuan guru dan peserta didik, (2) topik yang diminati dan penting
50
bagi kelas, (3) isu yang tidak terlalu “panas” pada saat ini, karena ada
kekhawatiran munculnya pretensi, dan justifikasi, (4) isu yang
pembahasannya tidak memakan banyak waktu, serta (5) isu dengan materi
yang memadai.
Peristiwa-peristiwa yang diajarkan yang termasuk dalam sejarah
kontroversial antara lain tentang teori-teori masuknya Hindu-Budha dan
masuknya Islam, atau peristiwa-peristiwa sejarah kontemporer yang
bersifat kontroversial seperti Serangan Umum 1 Maret 1949, peristiwa
seputar Gerakan 30 September, Supersemar, serta peristiwa seputar
reformasi.
c. Tahapan Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Kontroversial
Pembelajaan sejarah kontroversial membutuhkan satu kehati-hatian
dalam pelaksanaannya. Hal ini karena kecerobohan dalam memberikan
interpretasi dan justifikasi mengakibatkan terjadinya kekeliruan dalam
pemaknaan terhadap peristiwa kontroversial yang tersebut. Oleh karena
itu, diperlukan adanya prinsip-prinsip dalam pelaksanaan pembelajaran
sejarah kontroversial, seperti tidak boleh memberikan kutipan tanpa fakta,
berbicara dengan sopan, dan sebagainya. Berkaitan dengan pelaksanaan
pembelajarannya, S.K. Kochhar (2008: 456-458) memberikan beberapa
tahapan dalam pembelajaran sejarah kontroversial, yakni (1) sesi
perkenalan, (2) menyampaikan permasalahan, (3) diskusi dan aktivitas
kelompok, (4) penarikan simpulan.
51
Sesi perkenalan merupakan tahapan awal yang sangat bermanfaat
untuk memberikan pemahaman mendasar bagi peserta didik tentang suatu
peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial. Pada sesi awal peserta didik
diberi kesempatan secara luas untuk mengemukakan pendapatnya sebelum
dilakukan pembahasan. Menurut S.K. Kochhar (2008: 456) cara ini sangat
bermanfaat bagi guru untuk mengenali pemikiran peserta didik dan
bagaimana sebaiknya pembelajaran dilanjutkan. Pada tahap ini guru perlu
memberi stimulus-stimulus awal untuk membangkitkan motivasi belajar
selanjutnya.
Sesi berikutnya adalah penyampaian permasalahan. Pada sesi ini
guru harus membantu peserta didik dalam menentukan permasalahannya
dan membatasinya, membantu peserta didik dalam memperoleh data atau
sumber, serta mengarahkan peserta didik untuk mengeksplorasi data dan
membandingkan semua data yang tersedia. Hal ini bertujuan untuk
membantu para peserta didik dalam mengembangkan sikap ilmiah dan
pandangan mereka agar bersikap lebih objektif (Kochhar, 2008: 457).
Setelah sesi penyampaian permasalahan, aktivitas pembelajaran
dilanjutkan dengan diskusi dan akivitas kelompok. Cara ini digunakan
untuk lebih membantu pemahaman peserta didik terhadap peristiwa
sejarah kontroversial. Kegiatan diskusi dapat dilanjutkan dengan
presentasi masing-masing kelompok tentang hal yang telah didiskusikan
dalam kelas.
52
Langkah keempat dalam pengajaran sejarah kontroversial adalah
menarik simpulan. Bagian ini adalah tahap terakhir dari proses. Guru
dalam hal ini dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
untuk membantu peserta didik menganalisis data yang telah terkumpul,
menyaringnya, dan kemudian menarik simpulan mereka sendiri (Kochhar,
2008: 458).
Selain pernyataa di atas, ada pula penapat dari Didin Saripudin
(2009: 4) tentang pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial. Isu
Kontroversial yang dipilih dapat diambil dari suatu sumber yang resmi dan
beredar secara umum. Tetapi guru dapat pula mengembangkan suatu
bahan yang memuat isu kontroversial berdasarkan apa yang sudah ada di
masyarakat. Langkah pertama, guru menyajikan materi yang mengandung
isu kontroversial. Penyajian ini dapat dilakukan melalui penjelasan guru,
atau siswa membaca dan mendengar isu kontroversial yang telah disiapkan
guru. Langkah kedua, guru mengundang berbagai pendapat disertai
argumentasi dari siswa mengenai isu tersebut. Pendapat-pendapat yang
berbeda diidentifikasi sebagai isu kontroversial. Langkah ketiga, isu
kontroversial yang sudah dapat diidentifikasi dijadikan bahan diskusi.
Setiap orang dapat menjadi pembela atau penyerang suatu pendapat.
Diskusi yang dilakukan ini untuk melihat kekuatan dan kelemahan
pendapat masing-masing. Kegiatan kelas tidak perlu diarahkan untuk
mendapatkan kesepakatan-kesepakatan. Dalam menarik kesimpulan guru
dan siswa melihat kelemahan dan keunggulan masing-masing pendapat.
53
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang sejarah kontroversial dan critical pedagogy sampai saat
ini masih belum banyak dilakukan di Indonesia. Hal ini karena iklim kebebasan
dalam melakukan kajian dengan pandangan yang bersifat radikal seperti critical
pedagogy baru terjadi setelah reformasi. Begitu pula kajian tentang sejarah
kontroversial. Beberapa kajian tentang sejarah kontroversial adalah seperti yang
dilakukan oleh Abu Su’ud (2008a), Tsabit Azinar Ahmad (2008), dan Inayatul
Laili (2008). Selain itu ada pula penelitian yang dilakukan di luar negeri oleh The
Historical Association (2008) tentang pengajaran sejarah yang emotif dan
kontrovesial. Satu kajian yang mengulas tentang critial pedagogy dalam
pembelajaran sejarah diambil dari penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat
oleh Jesse Hingson (2008).
Penelitian tentang sejarah kontroversial yang dilakukan oleh Abu Su’ud
dengan judul “Penggunaan Isu Kontroversial dalam Kelas Sejarah di Era
Reformasi” dilakukan pada tahun 2008. Penelitian ini dilakukan terhadap guru-
guru di Sekolah Menengah Atas negeri di Kota Semarang, sejumlah 16 sekolah
dan dua universitas, yakni Universitas Negeri Semarang dan Universitas
Diponegoro. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui bagaimana kepedulian
para pengajar sejarah terhadap isu kontroversial, (2) mengetahui kecenderungan
para pengajar sejarah dalam penggunaan isu kontroversial di kelas sejarah, dan (3)
risiko penggunaan isu kontroversial dalam kelas sejarah.
54
Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar pengajar sejarah telah
menaruh perhatian dan mengikuti isu-isu kontroversial. Mengenai kecenderungan
menggunakan isu kontroversial dalam kelas dilakukan karena topiknya aktual,
menarik, relevan, dan karena sudah terbiasa. Tentang manfaat penggunaan isu
kontroversial dalam kelas dikemukakan karena pembelajaran menjadi lebih
kontekstual, berpotensi meningkatkan partisipasi peserta didik, pembahasan
berpotensi lebih menarik, tidak jenuh, berpotensi mengembangkan semangat
toleransi dan saling pengertian, dan berpotensi mengembangkan dialog. Mengenai
kelemahannya dikatakan bahwa karena bahan ajar tidak selesai dibahas,
membutuhkan pengajar yang gemar mengikuti dialog terbuka, tidak semua warga
kelas tertarik, serta memerlukan kesabaran dan kearifan pengajar. Oleh karena itu,
dalam penelitian tersebut disarankan diperlukan proses penyadaran akan fungsi
media massa bagi pengajar sejarah untuk kepentingan pengembangan proses
pembelajaran, peningkatan semangat keterbukaan bagi pelajar, perlu diterapkan
pembelajaran dengan penggunaan isu kontroversial untuk menyiapkan peserta
didik menjadi warga negara yang baik dan meningkatkan wawasan demokrasi dan
toleransi.
Penelitian kedua dilakukan oleh Tsabit Azinar Ahmad pada tahun 2008.
Penelitian ini berjudul “Pembelajaran Sejarah Kontroversial di Sekolah Menengah
Atas (Studi Kasus di SMA Negeri 1 Banjarnegara)”. Tujuan dari penelitian ini
adalah, (1) menjelaskan pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial di SMA
N 1 Banjarnegara, (2) mengidentifikasi kendala-kendala yang ditemui oleh guru
sejarah dalam mengajarkan sejarah yang bersifat kontroversial di SMA N 1
55
Banjarnegara, (3) menganalisis upaya yang dilakukan guru sejarah untuk
mengatasi kendala-kendala dalam pengajaran sejarah yang bersifat kontroversial,
serta (4) merumuskan alternatif pembelajaran yang dilaksanakan untuk
mengajarkan materi sejarah yang bersifat kontroversial.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil
penelitian di SMA Negeri 1 Banjarnegara. Analisis yang dilakukan menggunakan
model analisis model interaktif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
pembelajaran untuk peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial telah diterapkan
di Sekolah Menengah Atas. Ada tiga hal yang mendorong pelaksanaan
pembelajaran sejarah kontroversial, yakni dari aspek sekolah, kemandirian guru,
dan kemampuan peserta didik yang baik. Ada dua jenis sejarah kontroversial yang
diajarkan di SMA, yakni sejarah kontroversial nonkontemporer dan sejarah
kontroversial kontemporer. Salah satu materi yang kontroversial yang telah
diajarkan adalah materi yang membahas peristiwa Gerakan 30 September dan
Supersemar. Materi tersebut diajarkan pada program IPS di kelas XII semester I
dan di program IPA di kelas XI semester II.
Ada beberapa kendala yang ditemui guru sejarah dalam pembelajaran
sejarah kontroversial. Kendala-kendala tersebut dapat dipilah menjadi tiga, yakni
kendala dalam aspek perencanaan pembelajaran, kendala dalam pelaksanaan
pembelajaran, dan kendala dalam aspek atau komponen pendukung lainya.
Kendala-kendala yang ditemui dalam kelas sejarah secara umum dapat disebabkan
oleh dua faktor, yakni (1) faktor intern dan (2) faktor ekstern. Faktor intern adalah
faktor yang berasal dari dalam ilmu sejarah, yakni adanya perubahan dalam corak
56
historiografi Indonesia posreformasi. Faktor kedua adalah faktor ekstern yakni
faktor-faktor luar yang berasal dari luar sejarah yang memengaruhi sejarah dan
pendidikan sejarah.
Upaya untuk mengatasi kendala-kendala dalam aspek perencanaan adalah
guru mencoba untuk mengembangkan silabus yang telah disusun oleh pusat
kurikulum dalam perencanaan, upaya pencarian sumber-sumber baru,
pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar, mencoba untuk tidak
terpengaruh terhadap kebijakan pemerintah yang menimbulkan banyak
kebingungan, selain itu guru juga mengembangkan pembelajaran dengan
memanfaatkan lingkungan sekitar dengan memaksimalkan potensi yang telah
dimiliki dan pembelajaran berbasis ICT untuk memudahkan pencarian sumber dan
peningkatan motivasi.
Salah satu alternatif yang dilakukan guru untuk mewujudkan kesadaran
kritis peserta didik tentang suatu peristiwa sejarah adalah dengan melakukan
perubahan dalam pendekatan dari pendekatan konvensional menjadi pendekatan
kritis. Pendekatan kritis dalam pembelajaran sejarah adalah suatu pendekatan
yang bersifat menyeluruh dalam mengulas suatu peristiwa sejarah. Pendekatan ini
menekankan pada empat aspek, yakni kausalitas, kronologi, komprehensif, dan
kontinuitas. Pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial harus dilakukan
dengan menggunakan prinsip keseimbangan, di mana versi-versi yang muncul
harus ditampilkan beserta argumentasinya, tanpa ada pretensi dan subjektivitas.
Melalui pendekatan ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kritis peserta
didik.
57
Kemudian untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan adanya
upaya dari semua komponen penopang pendidikan sejarah, yakni pemerintah,
LPTK/Perguruan Tinggi, organisasi profesi/keilmuan, praktisi pendidikan,media
massa, dan masyarakat melalui strategi top down dan bottom up. Oleh karena itu,
perlu adanya upaya yang dilakukan oleh semua pihak secara serempak menuju
transformasi pendidikan sejarah menuju pendidikan sejarah yang memberikan
satu pendewasaan masyarakat yang dilandasi kejujuran, bebas dari kepentingan
pribadi, dan semangat membangun kesadaran kritis masyarakat, tentang informasi
kesejarahan terbaru kepada masyarakat dan praktisi pendidikan.
Selain itu ada pula skripsi yang disusun oleh Inayatul Laili pada tahun
2008 dari Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang dengan judul “Penggunaan
Strategi Pembelajaran Isu-isu Kontroversial dalam Sejarah untuk
Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta didik (Studi Deskriptif
Analitik pada SMAN 1 Kalianget)”. Berdasarkan hasil observasi dan diskusi
dengan guru sejarah SMA Negeri 1 Kalianget Kabupaten Sumenep, teridentifikasi
beberapa masalah diantaranya peserta didik kurang mampu mengemukakan
pendapat secara sistematis baik lisan maupun tulisan. Peserta didik juga tidak
terbiasa untuk berbeda pendapat, berdebat, dan mengambil keputusan yang
terbaik. Selain itu, dari beberapa sekolah menengah atas yang ada di Kabupaten
Sumenep, SMA Negeri 1 Kalianget merupakan sekolah yang tak jarang tertimpa
kasus, misalnya yang terjadi awal tahun 2008 yaitu tawuran antarpeserta didik
yang dimotori oleh peserta didik kelas X-1.
58
Akar penyebab masalah di atas bermuara pada kurangnya kecakapan
peserta didik dalam menanggapi perbedaan yang ada di sekitar mereka. Jika
dikaitkan dengan pembelajaran di kelas, sepertinya makna dan tujuan
pembelajaran PIPS kurang menyentuh aspek keterampilan berpikir kritis mereka.
Oleh sebab itu mereka masih saja menanggapi perbedaan secara emosional, tanpa
mengkritisi bagaimana seharusnya mereka menanggapi perbedaan yang ada.
Salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah dengan
mengorganisasikan pembelajaran yang lebih bermakna dan menyentuh
kemampuan berpikir kritis peserta didik, yaitu, membelajarkan materi-materi yang
mengandung isu-isu kontroversial. Mengapa isu-isu kontroversial merupakan
salah satu materi yang perlu diangkat dalam pembelajaran sejarah?
Pertimbangannya; pertama, dalam pembelajaran mengandung banyak materi yang
masih bersifat kontroversi. Kedua, pembelajaran isu-isu kontroversial dapat
digunakan guru untuk mengembangkan dan melatih kemampuan berpikir peserta
didik, sebab dengan isu yang diangkat peserta didik mungkin memiliki perbedaan
pemahaman dan pandangan. Ketiga, perbedaan pandangan diantara peserta didik
akan memberikan wawasan dan menanamkan kesadaran akan perbedaan dalam
kehidupannya, sehingga peserta didik akhirnya akan memiliki sikap demokratis
dalam setiap aspek kehidupannya. Hal tersebut sesuai dengan realita kehidupan
yang majemuk. Dengan demikian, iklim kelas harus diciptakan menjadi kelas
yang demokratis oleh guru. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengetahui
penggunaan desain model pembelajaran isu-isu kontroversial dalam sejarah, (2)
mengetahui dampak penggunaan model pembelajaran isu-isu kontroversial
59
terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik, (3) mengetahui kendala-kendala
yang dihadapi dalam pembelajaran isu-isu kontroversial.
Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode penelitian kualitatif,
dengan desain dan metode penelitian menggunakan pola penelitian tindakan kelas
yang mengembangkan model pembelajaran isu-isu kontroversial. Langkah-
langkah penelitian tindakan kelas ini meliputi: tahap penjajagan/persiapan,
diagnostik, perencanaan tindakan kelas untuk memecahkan masalah, dan
teurapeutik. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam 5 siklus dengan
prosedur penelitian pada tiap siklusnya, antara lain: (1) perencanaan, (2)
pelaksanaan tindakan kelas, (3) observasi, (4) dan refleksi dalam setiap siklus.
Penelitian dilaksanakan di SMAN 1 Kalianget Kabupaten Sumenep.
Subjek penelitian adalah peserta didik kelas X-1 dan guru mata pelajaran sejarah.
Materi yang dikembangkan mengacu pada kurikulum 2004 kelas X semester
genap dengan pokok bahasan “Peradaban Manusia Purba dan Peradaban Kuno di
Asia Afrika”.
Beberapa hasil temuan dalam penelitian ini yang dapat diungkapkan antara
lain; pertama, peserta didik lebih termotivasi untuk belajar mengkaji dan
menganalisis isu-isu yang dikembangkan sehingga terjadi proses inquiry. Kedua,
peserta didik memiliki keberanian untuk berpendapat sesuai dengan pemahaman
dan pandangannya terhadap isu atau permasalahan. Ketiga, peserta didik
memperoleh pemahaman tentang perbedaan pendapat dan sikap demokratis.
Keempat, peserta didik mampu mengembangkan kemampuan berpikirnya tanpa
pemaksaan dari guru ataupun peserta didik lainnya. Kelima, melalui diskusi
60
kelompok dan tugas kelompok peserta didik memiliki pemahaman tentang
pentingnya kerjasama dalam kelompok.
Temuan terhadap aktivitas guru antara lain: pertama, guru memahami
pentingnya materi-materi isu-isu kontroversial itu diangkat dalam pembelajaran
untuk melatih kemampuan berpikir kritis peserta didiknya. Kedua, guru mampu
memahami iklim kelas yang demokratis. Ketiga, guru menyadari bahwa peserta
didik bukan sebagai objek belajar, melainkan sebagai subjek belajar. Sementara
itu, kendala yang masih dirasakan oleh guru adalah sumber dan media
pembelajaran serta alokasi waktu KBM untuk mata pelajaran sejarah yang masih
sangat terbatas. Hal tersebut sangat berpengaruh pada pencapaian kegiatan
pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan. Kendala-kendala tersebut juga
dijadikan sebagai bahan rekomendasi.
Di Inggris sebuah organisasi profesi kesejarahan bernama The Historical
Association (2008) pada tahun 2006-2007 mengadakan penelitian tentang
pengajaran isu sensitif dan kontroversial. Penelitian dilakukan tehadap peserta
didik dengan rentang usia 3-19 tahun. Proyek penelitan yang dibiayai oleh
Departement for Education and Skill ini dinamakan proyek TEACH (Teaching
Emotive and Controversial History). Penelitian ini memiliki premis bahwa guru
sering menghindari isu kontroversial dalam pembelajaran sejarah.
Penalitian ini menyepakati bahwa aspek emosi, sensitivitas, dan
kontroversi dapat dipengaruhi oleh aspek waktu, geografi, dan perhatian dari
masyarakat terhadap perkembangan isu yang sensitif dan kontroversial. Sebuah
isu dapat menjadi emotif dan kontroversial karena keberlanjutannya memiliki
61
pengaruh terhadap kondisi umum yang terjadi pada saat ini dan kondisi personal
masyarakat.
Pada penelitian HA, dirumuskan sebuah konsep yang penting tekait
dengan pengajaran isu kontroversial bahwa
The study of history can be emotive and controversial where there is actual or perceived unfairness to people by another individual or group in the past. This may also be the case where there are disparities between what is taught in school history, family/community histories and other histories. Such issues and disparities create a strong resonance with students in particular educational settings. (The Historical Association, 2008: 3) (Studi sejarah dapat menjadi emotif dan kontroversial di mana terdapat permasalahan ketidakadilan yang dipandang oleh seseorang terhadap individu atau kelompok yang lain pada masa lampau. Ini juga dapat menjadi kasus di mana muncul perbedaan apa diajarkan di kelas, sejarah keluarga/komunitas dan komunitas lainnya. Masalah dan perbedaan itu membuat pengaruh yang kuat terhadap peserta didik, khususnya dalam ranah pendidikan.)
Pada penelitian HA tersebut disebutkan bahwa ada beberapa peluang yang
dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah kontroversial dan hambatan
yang ditemui. Beberapa kesempatan yang tersedia dalam pembelajaran sejarah
kontroversial adalah adanya kesempatan yang lebih besar pada siswa di bawah 14
tahun karena rasa keingintahuan mereka. Selain itu peluang terbaik ada apabila
guru mengenali alasan di balik Kurikulum Nasional dengan keseimbangan
pengetahuan, keterampilan dan pemahaman, dan melibatkan siswa secara aktif
dalam proses sejarah daripada sebagai penerima pasif. Menurut penelitian ini,
kunci kesuksesan adalah perencanaan sistematis, khususnya dengan menekankan
pendekatan inkuiri di mana para siswa harus bekerja secara independen dan di
mana mereka punya waktu untuk mempertimbangkan dan mengatasi masalah
62
secara mendalam. Pengajaran sejarah kontroversial tidak mungkin berhasil apabila
perhatian sangat sedikit terhadap isu tersebut. Pembelajaran akan berjalan dengan
baik jika tujuan pembelajaran pembelajaran memberkan akomodasi terhadap ide-
ide yang terkait dengan kesamaan dan perbedaan, perubahan dan kontinuitas,
sebab dan akibat, serta interpretasi dan penggunaan bukti. Keterlibatan emosional
adalah suatu fitur dari pengajaran efektif dari masalah kontroversial. Para siswa
harus mau peduli tentang isu-isu, sehingga untuk membangkitkan rasa ingin tahu
dan kesediaan mereka untuk terlibat penuh perlu dirancang pertanyaan-pertanyaan
yang mungkin memerlukan berpikir keras dan pemecahan masalah. Keterlibatan
pribadi menjadi mungkin bila siswa itu sendiri didorong melalui pengajaran
sejarah dengan menekankan rasa identitas pribadi mereka sendiri dan tempat
mereka di dunia. Pengajaran sejarah emotif dan kontroversial yang paling baik
dilakukan ketika siswa mempertimbangkan kesetiaan mereka sendiri, beberapa
kepentingan mereka dan identitas, dan mengakui kenyataan bahwa setiap orang
baik orang dalam atau luar untuk sesuatu dan bahwa nilai-nilai mereka dapat
saling bertentangan dan bisa berubah. Selain itu pembelajaran kontroversal
mungkin jika tedapat sumber yang menarik dan merangsang.
Namun demikian, ada beberapa kendala terkait dengan pelaksanaan
pengajaran sejarah emotif dan kontroersial, yakni tekanan waktu dan status
subyek; guru cenderung untuk bermain aman dengan pilihan materi dan metode
pengajaran. Adanya kekhawatiran guru terhadap risiko yang diambil jika
mengajarkan sejarah kontroversial. Kendala lain adalah akses terbatas bgi gur
trehadap sumber yang berkualitas dan minimnya pelatihan-pelatihan bagi guru,
63
yang menyebabkan lemahnya guru dalam melakukan perencanaan. Kurangnya
pengetahuan guru terhadap materi, terutama untuk mendapatkan sumber-sumber
primer. Guru cenderung memberikan materi secara dangkal dalam pembelajaran
dengan berbagai alasan. Adanya anggapan bahwa isu-isu tertentu tidak sesuai
untuk kelompok usia tertentu, tidak memiliki kematangan untuk memahami
sebuah peristiwa, tidak adanya materi dalam struktur kurikulum. Cara guru
menangani masalah emosional dan kontroversial dapat memiliki dampak negatif
terhadap siswa sehingga mereka merasa terasing dan terputus; yang dapat
mengakibatkan orang-orang di masa lalu dilihat sebagai bodoh dan inferior.
Penelitian tersebut memberikan saran (1) agar perlu ada perhatian lebih
pada pengajaran aspek emotif dan kontroversial dalam pendidikan guru awal dan
berkelanjutan melalui pengembangan profesional; (2) Memastikan bahwa
pengajaran masalah emosi dan kontroversial adalah masalah seluruh sekolah; (3)
Tema perencanaan dan pendekatan untuk menjamin koherensi; (4) Memberikan
guru dorongan dan bimbingan, lebih cenderung untuk memberikan dorongan
daripada menghukum guru; (5) Meningkatkan akses informasi dan kualitas
sumber daya yang tersedia untuk memungkinkan sekolah dalam menggunakan
metode yang berrvariasi (6) merumuskan cara berkomunikasi yang lebih baik
untuk mewujudkan komunikasi yang efektif dalam pembelajaran; serta (7)
meningkatkan penelitian yang berkaitan dengan pengajaran sejarah emotif dan
kontroversial.
Penelitian tentang critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah adalah
seperti penelitian yang dilakukan oleh Jesse Hingson pada tahun 2008 dengan
64
judul “Open Veins, Public Transcripts: The National Security Archive as a Tool
for Critical pedagogy in the College Classroom”. Penelitian ini dilakukan sejak
tahun 2004. Ia menerapkan pembelajaran menggunakan dokumen-dokumen yang
berasal dari National Security Archive (NSA) untuk mengajarkan kepada para
peserta didik tentang Sejarah Amerika Latin Modern di Georgia College and State
University, di negara bagian Georgia, Amerika Serikat. NSA merupakan lembaga
nonpemerintah terbesar yang memiliki koleksi arsip secara online tentang
dokumen-dokumen pemerintahan Amerika dan negara-negara yang ada di dunia.
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran sejarah dengan menggunakan dokumen
NSA melalui beberapa tahap, yakni tahap perkenalan, kontekstualisasi, analisis,
dan pemilihan terhadap ribuan data untuk diklasifikasi. Di dalamnya termasuk
memo interagensi, komunikasi kedutaan besar, serta dokumen-dokumen rahasia
yang telah dipublikasikan.
Penggunaan dokumen NSA sebagai upaya untuk mengajarkan tentang
intervensi dan imperialisme yang dilakukan oleh Amerika Serikat meliputi
berbagai upaya dalam hal penekanan-penindasan, strategi militer, penyalahgunaan
hak azasi, dan berbagai pelatihan di Amerika Latin dari awal Perang Dingin
hingga hari ini. Dalam penelitian ini Jesse Hingson (2008) memberikan satu
keterangan dari tugas yang akan dipergunakan. Penggunaan arsip sebagai tugas
untuk peserta didik bertujuan untuk menajamkan analisis terhadap dokumen
penelitian, serta membagi peserta didik dalam beberapa topik yang berbeda untuk
dieksplorasi. Kemudian setelah peserta didik mengerjakan tugasnya, adalah
mempresentasikan hasil analisis dokumen. Hal ini ternyata memberikan
65
pemahaman baru bagi peserta didik serta lebih meningkatkan keseriusan peserta
didik dalam melakukan kajian. Dengan demikian, pembelajaran dengan
menggunakan arsip dapat dijadikan metode ampuh bagi pembelajaran sejarah
yang berperspektif critical pedagogy.
Dari kelima penelitian di atas, titik tekan penelitian ini terletak pada aspek
bagaimana guru di Indonesa menerapkan prinsip-prinsip dalam critical pedagogy
dalam pembelajaran sejarah kontroversial di Sekolah Menengah Atas. Perbedaan
fokus penelitian ini dengan tiga penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Abu
Su’ud (2008), Tsabit Azinar Ahmad (2008), dan Inayatul Laili (2008) adalah
ditinjau dari perspektif dan pisau analisis yang digunakan. Penelitian ini
melakukan analisis dengan pendekatan critical pedagogy. Kemudian perbedaan
penelitian ini dengan penelitian Jesse Hingson (2008) adalah ditinjau dari jenis
penelitian yang digunakan. Penelitian yang dilakukan Jesse Hingson (2008) lebih
menekankan pada penelitian tindakan, sementara penelitian ini masih bersifat
penelitian dasar untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman guru terhadap
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial dan bagaimana
penerapannya dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Hal inilah yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir dalam penelitian ini bertujuan sebagai arahan dalam
pelaksanaan penelitian, terutama untuk memahami alur pemikiran, sehingga
66
analisis yang dilakukan lebih sistematis dan sesuai dengan tujuan penelitian.
Kerangka pikir juga bertujuan untuk memberikan keterpaduan dan keterkaitan
antara variabel-variabel yang diteliti, sehingga menghasilkan satu pemahaman
yang utuh dan bersinambung. Namun, kerangka pikir ini tetap bersifat lentur dan
terbuka, sesuai dengan konteks yang terjadi di lapangan. Secara sederhana,
kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan dalam skema sebagai berikut,
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian tentang implementasi critical pedagogy
dalam pembelajaran sejarah kontroversial
Dari kerangka pikir di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pembelajaran
sejarah kontroversial, guru dapat menerapkan critical pedagogy sebagai landasan
dalam pelaksanaan pendidikan. Critical pedagogy merupakan satu pendekatan
pendidikan yang bertujuan untuk mewujudkan kesadaran kritis peserta didik
terhadap peristiwa pada masa lampau melalui proses pemaknaan secara
komprehensif. Penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial dapat dilihat dari aspek perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
atau kegiatan pembelajaran dalam kelas. Namun demikian, implementasi critical
pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial tentu terdapat bebagai
kendala yang mempengaruhi pencapaian tujuan. Selain itu, implementasi critical
67
pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontrovesial juga memberikan dampak
terhadap pandangan dan apresiasi peserta didik yang berpengaruh terhadap
pencapaian tujuan pembelajaran sejarah kontroversial dengan pendekatan critical
pedagogy.
1
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA N Kota Semarang. SMA yang dipilih
adalah SMA N 1 Semarang, SMA N 5 Semarang, dan SMA N 12 Semarang.
SMA dijadikan lokasi penelitian karena pada jenjang ini, peserta didik sudah
dapat berpikir secara kritis. Pada usia SMA, Piaget (dalam Baharuddin dan
Esa Nur Wahyuni, 2008: 123-124) menyatakan bahwa anak telah sampai pada
tahap formal operational. Pada tahap ini anak telah mampu berpikir hipotesis-
deduktif, mengembangkan kemungkinan-kemungkinan, mengembangkan
proposisi, menarik generalisasi, berpikir dengan cara yang lebih abstrak, logis,
dan idealistik (Pusat Kurikulum, 2007: 12; Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni,
2008: 123-124). Kuntowijoyo (1995: 2) menyatakan bahwa di SMA
pendidikan sejarah sudah diberikan secara kritis. Oleh karena itu, secara
psikologis dan didaktis penerapan critical pedagogy dan pembelajaran sejarah
kontroversial relevan bagi peserta didik di SMA.
SMA Negeri dipilih sebagai lokasi penelitian karena SMA Negeri
memiliki standar kurikulum yang telah baku daripada SMA swasta. Pemilihan
Kota Semarang disebabkan alasan bahwa Semarang adalah kota besar,
sehingga akses terhadap informasi-informasi terbaru dengan mudah dapat
dilakukan oleh guru, murid, dan masyarakat. Keberadaan perguruan tinggi
68
2
yang mengelola jurusan sejarah juga menjadi alasan penelitian dilakukan.
Selain itu, pemilihan Kota Semarang sebagai lokasi penelitian karena
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abu Su’ud (2008) guru-guru di
Semarang sebagian besar sudah menerapkan pembelajaran sejarah
kontroversial, sehingga penelitian tentang implementasi critical pedagogy
dalam pembelajaran sejarah kontroversial dapat dilakukan. Oleh karena itu,
kajian tentang bagaimana penerapan critical pedagogy di dalam lingkungan
heterogen dengan beragamnya sarana penunjang pendidikan sejarah menjadi
hal yang menarik untuk diulas.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 10 bulan sejak Oktober 2009 sampai
Juli 2010. Penelitian dilakukan mulai penyusunan proposal penelitian,
pengumpulan data, analisis data, dan penyusunan laporan. Pada tahap
pengumpulan data termasuk observasi awal dan pengurusan perizinan.
Tabel 2. Waktu Penelitian
Tahap Penelitian
Waktu Okt. Nov. Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun Jul
Penyusunan proposal
Pengumpulan data
Analisis data Penyusunan laporan
3
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat, penelitian ini
mendeskripsikan secara rinci dan mendalam tentang implementasi critical
pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Untuk memahami hal itu,
perlu diteliti secara mendalam mengenai sejarah kontroversial, bagaimana
pemahaman guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai pendekatan
pembelajaran sejarah kontroversial, penerapannya dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial, kendala-kendala yang ditemui
dalam implementasinya, serta pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap
implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
Dengan demikian, penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif.
Jenis penelitian ini mampu mengangkat berbagai informasi kualitatif
secara lengkap dan mendalam untuk menjelaskan mengenai proses mengapa dan
bagaimana sesuatu terjadi (Sutopo, 2006: 139). Penelitian ini merupakan
penelitian dasar karena bertujuan untuk memahami mengenai suatu masalah yang
mengarah pada manfaat teoretik, tidak pada manfaat praktis (Sutopo, 2006: 135-
136).
Penelitian ini menggunakan studi kasus terpancang (embedded research),
yakni meneliti tentang pemahaman dan implementasi critical pedagogy guru
dalam pembelajaran sejarah kontroversial, serta melakukan pengamatan terhadap
pembelajaran sejarah kontroversial di SMA Negeri. Studi kasus yang digunakan
dalam penelitian ini adalah studi kasus ganda, karena meneliti beberapa sekolah
4
dengan karakteristik yang berbeda, yakni sekolah negeri tetapi dengan
karakteristik yang berbeda, yakni Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI),
Sekolah Kategori Mandiri (SKM), dan Rintisan Sekolah Kategori Mandiri
(RSKM).
C. Sumber Data
1. Informan
Informan merupakan seseorang yang diwawancarai untuk didapatkan
keterangan dan data untuk keperluan informasi (Koentjaraningrat, 1997: 130).
Informan dalam penelitian ini adalah guru sejarah di SMA Negeri di Kota
Semarang, serta beberapa peserta didik yang mendapatkan materi sejarah
kontroversial terutama peserta didik kelas XII IPS untuk mengetahui
pandangan mereka tentang implementasi critical pedagogy dalam
pembelajaran sejarah kontroversial. Guru dipilih untuk mengetahui data
tentang aktivitas pembelajaran, pemahanan terhadap critical pedagogy, serta
kendala-kendala yang dihadapi. Informan dalam penelitian ini adalah Dra.
Susilowati, Dra. Zainab Inawati, Drs. Sugeng H., Dra. Ningrum S., Dra.
Mindarwati Z.R.D, Dra. Sri Lestari, Drs. Suratno, Heri Rohayuningsih, S.Pd.,
dan Sugiyarto S.Pd.
Informan dari peserta didik dipilih untuk mengetahui aktivitas
pembelajaran sejarah kontroversial serta apresiasinya terhadap pembelajaran
sejarah kontroversial. Dari data yang didapatkan dari guru dan peserta didik
5
dibandingkan untuk mengetahui tingkat kepercayaan (validitas) data yang
diperoleh.
2. Aktivitas Pembelajaran
Aktivitas pembelajaran merupakan sumber data yang digunakan untuk
mendapatkan informasi tentang implementasi critical pedagogy dalam
pembelajaran sejarah kontroversial. Aktivitas pembelajaran digunakan untuk
mengetahui bagaimana penerapan critical pedagogy dilihat dari aspek strategi
pembelajaran, media yang digunakan, sistem evaluasi, interaksi guru dan
peserta didik, dan apresiasi peserta didik pada saat pembelajaran. Aktivitas
pembelajaran yang diamati adalah aktivitas pembelajaran yang telah masuk
pada periodisasi sejarah kontemporer. Pada struktur kurikulum kelas yang
telah diajarkan materi sejarah kontemporer adalah kelas XII, terutama
program IPS. Secara khusus aktivitas pembelajaran yang diteliti adalah
aktivitas pembelajaran dalam kelas, sesuai dengan jadwal dan alokasi waktu
yang ditetapkan oleh sekolah.
3. Dokumen
Dokumen menjadi sumber data untuk mengetahui implementasi
critical pedagogy dalam perencanaan pembelajaran yang dirancang oleh guru.
Dokumen yang digunakan meliputi perangkat pembelajaran guru, seperti
program tahunan, program semester, silabus, dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), tugas portofolio yang disusun oleh peserta didik, serta
6
daftar nilai guru. Dokumen digunakan untuk mengetahui implementasi critical
pedagogy pada aspek perencanaan, penyusunan tujuan, pelaksanaan
pembelajaran, serta sistem evaluasi.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara Mendalam
Wawancara bukan hanya sekadar percakapan seseorang dengan orang
lain, melainkan juga upaya untuk pengumpulan data yang dibutuhkan dalam
sebuah observasi atau penelitian. Wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan wawancara mendalam (in depth interview). Patton
(dalam Sutopo, 2006: 228) menjelaskan bahwa wawancara ini bersifat lentur
dan terbuka, tidak berstruktur ketat, tidak berada pada suasana formal, dan
bisa dilakukan berulang pada informan yang sama. Wawancara mendalam
dilakukan untuk mengetahui pendapat dan pemahaman guru terhadap critical
pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Selain itu, wawancara
juga dilakukan terhadap peserta didik yang telah mengikuti pembelajaran
sejarah kontroversial untuk mengetahui apresiasi mereka terhadap
pembelajaran sejarah kontroverial dengan pendekatan critical pedagogy.
Wawancara dilakukan di SMA masing-masing guru pada saat waktu sekolah.
2. Observasi Langsung
Observasi merupakan metode pengumpulan data yang meliputi
kegiatan pemusatan perhatian secara langsung terhadap sesuatu objek dengan
7
menggunakan seluruh alat indra (Suharsimi Arikunto, 2002: 133). Pada
penelitian ini, digunakan observasi langsung untuk mengetahui aktivitas
pembelajaran yang dilakukan oleh guru serta implementasi critical pedagogy
dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Observasi yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah observasi secara langsung dan termasuk dalam observasi
berperan pasif. Peneliti mengamati secara langsung aktivitas pembelajaran
yang dilakukan oleh guru di dalam kelas untuk mengetahui implementasi
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Hal-hal yang
menjadi objek pengamatan antara lain; tindakan yang dilakukan guru, kata-
kata yang diucapkan, materi pembelajaran, metode yang digunakan, serta
aktivitas peserta didik pada saat pembelajaran, meliputi tingkah laku peserta
didik, cara peserta didik dalam mengungkapkan pendapat, keaktifan dalam
diskusi, dan sebagainya. Observasi langsung dilakukan mulai bulan
November-Mei 2009.
3. Kajian Dokumen
Kajian dokumen digunakan peneliti untuk mengumpulkan dan
menyelidiki data-data tertulis dalam pembelajaran, seperti perangkat
perencanaan pembelajaran, catatan-catatan insidental pada saat pembelajaran,
jurnal mengajar guru, serta data tentang penilaian pembelajaran. Pada
penelitian ini, peneliti melakukan content analysis terhadap perangkat
perencanaan dan pelaksanaan yang digunakan guru dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran. Teknik ini digunakan untuk mengetahui
8
implementasi critical pedagogy dalam perencanaan yang telah dibuat oleh
guru berkaitan dengan pembelajaran sejarah kontroversial. Teknik ini
digunakan pula sebagai data pembanding untuk data yang telah diperoleh dari
observasi dan wawancara terhadap guru dan peserta didik tentang
implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
E. Teknik Cuplikan
Pada penelitian ini, teknik cuplikan menggunakan purposive sampling.
Artinya, sumber data dipilih melalui seleksi berdasarkan pertimbangan dan tujuan
tertentu. H.B Sutopo (2006) menjelaskan bahwa dalam purposive sampling,
peneliti memilih informannya berdasarkan posisi dengan akses tertentu yang
dianggap memiliki informasi berdasarkan permasalahan secara mendalam.
Sekolah dan guru yang dijadikan sasaran penelitian terlebih dahulu dipilih
berdasarkan karakteristiknya sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti
dalam perolehan data.
Dari 16 sekolah di SMA N Kota Semarang terdapat tiga kategori sekolah,
yakni RSBI, SKM, dan RSKM. Masing-masing sekolah dipilih salah satu, yakni
SMA N 1 Semarang untuk kategori RSBI, SMA N 5 Semarang untuk kategori
SKM, dan SMA N 12 Semarang untuk kategori RSKM. Pemilihan lokasi juga
bedasarkan posisi geografis di pusat dan kawasan pinggiran kota. SMA N 1 dan 5
Semarang termasuk di pusat kota dan SMA N 12 Semarang merupakan SMA
yang terletak di kawasan pinggiran Kota Semarang.
9
Penelitian ini digunakan pula cuplikan waktu (time sampling) untuk
melihat aktivitas pembelajaran sejarah kontroversial. Hal ini karena tidak semua
aktivitas pembelajaran termasuk dalam sejarah kontroversial, sehingga dipilih
waktu-waktu tertentu berdasarkan kompetensi dasar mata pelajaran Sejarah untuk
melakukan pengamatan tentang aktivitas pembelajaran sejarah kontroversial.
F. Validitas Data
Validitas data sangat penting dalam proses pemaparan hasil penelitian,
pembahasan, dan penarikan simpulan. Dengan adanya validitas data, maka
analisis dan penarikan simpulan telah dilandasi oleh kebenaran, karena berasal
dari data yang telah teruji kebenarannya.
Pengujian validitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
trianggulasi. Lexy J. Moleong (2000) menjelaskan bahwa teknik trianggulasi
adalah teknik pemeriksaan validitas data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di
luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data
itu. Dengan demikian, trianggulasi merupakan sebuah pandangan yang bersifat
multiperspektif. Patton (dalam Sutopo, 2006:92) menyatakan ada empat macam
teknik trianggulasi, yakni (1) trianggulasi data, (2) trianggulasi peneliti, (3)
trianggulasi metodologis, dan (4) trianggulasi teoretis.
Trianggulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi data.
Melalui trianggulasi data, peneliti menggunakan beberapa sumber data yang
berbeda untuk mengetahui kebenaran suatu permasalahan. Dalam pengumpulan
10
data, peneliti menggunakan beragam sumber data yang berbeda-beda (Sutopo,
2006:93). Data diambil dari beberapa sumber, seperti guru, peserta didik, dan
perangkat perencanaan (silabus dan RPP). Peneliti menggunakan sumber dari
guru, peserta didik, aktivitas pembelajaran, dan perangkat pengajaran untuk
mengetahui implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial.
Selain menggunakan trianggulasi data, digunakan pula trianggulasi
metode. Di dalam trianggulasi metode, peneliti mengumpulkan data sejenis tetapi
dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda
(Sutopo, 2006:95). Artinya untuk mengamati satu sumber data digunakan
beberapa metode, seperti untuk mengetahui pemahaman guru terhadap konsep
critical pedagogy, digunakan metode wawancara, observasi, dan studi dokumen.
Wawancara digunakan untuk mengetahui pemahaman guru secara pribadi,
observasi untuk mengamati pemahaman guru dalam praksis pembelajaran.
Perbedaan trianggulasi metode dengan trianggulasi data adalah tentang bagaimana
cara data itu didapatkan. Melalui trianggulasi metode dari satu sumber, peneliti
mencoba untuk mengambil data dengan berbagai macam metode.
Di dalam proses trianggulasi, informasi-informasi yang diperoleh dari data
dan metode yang berbeda dibandingkan satu sama lain sebagai upaya konfirmasi.
Data yang diperoleh dinyatakan valid atau terpercaya ketika hasil konfirmasi dari
data yang berbeda dan melalui metode yang beragam menunjukkan keterangan
yang sama.
11
G. Teknik Analisis
Pada penelitian kualitatif, analisis data bersifat induktif, artinya penarikan
simpulan yang bersifat umum dibangun dari data-data yang diperoleh di lapangan.
H.B. Sutopo (2006) menjelaskan bahwa dalam prosesnya, analisis penelitian
kualitatif dilakukan dalam tiga macam kegiatan, yakni (1) analisis dilakukan
bersamaan dengan proses pengumpulan data, (2) analisis dilakukan dalam bentuk
interaktif, sehingga perlu adanya perbandingan dari berbagai sumber data untuk
memahami persamaan dan perbedaannya, dan (3) analisis bersifat siklus, artinya
proses penelitian dapat dilakukan secara berulang sampai dibangun suatu
simpulan yang dianggap mantap. Dengan demikian, analisis data dalam penelitian
kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang, dan terus-menerus (Miles
dan Huberman, 1992:20).
Analisis yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan analisis model
interaktif. Analisis interaktif terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi
(Miles dan Huberman, 1992:16).
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 16) menjelaskan
bahwa reduksi data diartikan sebagai “proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan”. Setelah data dikumpulkan dengan teknik
wawancara, observasi, dan analisis dokumen, dilakukanlah reduksi data. Reduksi
data dalam penelitian ini terdiri atas beberapa langkah, yaitu (1) menajamkan
12
analisis, (2) menggolongkan atau pengkategorisasian, (3) mengarahkan, (4)
membuang yang tidak perlu dan (5) mengorganisasikan data sehingga simpulan-
simpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Miles dan Huberman, 1992:16-
17). Data yang dikumpulkan dipilih dan dipilah berdasarkan rumusan masalahnya,
kemudian dilakukan seleksi untuk dapat mendeskripsikan rumusan masalah.
Setelah reduksi data, langkah berikutnya dalam analisis interaktif adalah
penyajian data. Penyajian data yang paling sering digunakan dalam penelitian
kualitatif adalah dalam bentuk teks naratif, yang merupakan rangkaian kalimat
yang disusun secara logis dan sistematis, sehingga mampu menyajikan
permasalahan dengan fleksibel, tidak “kering”, dan kaya data. Namun demikian,
pada penelitian ini data tidak hanya disajikan secara naratif, tetapi juga melalui
berbagai matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Penyajian data dalam penelitian
kualitatif dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu
bentuk yang padu dan mudah diraih, sehingga peneliti dapat melihat apa yang
sedang terjadi. Dengan demikian, peneliti lebih mudah dalam menarik simpulan
(Miles dan Huberman, 1992:18).
Kegiatan analisis yang ketiga adalah menarik simpulan dan verifikasi.
Langkah awal dalam penarikan simpulan dan verifikasi dimulai dari penarikan
simpulan sementara. Penarikan simpulan hasil penelitian diartikan sebagai
penguraian hasil penelitian melalui teori yang dikembangkan. Dari hasil temuan
ini kemudian dilakukan penarikan simpulan teoretik (Miles dan Huberman,
1992:131). Kemudian simpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan tinjauan ulang pada
13
catatan di lapangan atau simpulan dapat ditinjau sebagai makna yang muncul dari
data yang harus diuji kebenarannya, kekokohan, dan kecocokannya. Namun
demikian, jika simpulan masih belum mantap, maka peneliti dapat melakukan
proses pengambilan data dan verifikasi, sebagai landasan penarikan simpulan
akhir. Ketiga alur dalam analisis data kualitatif apabila digambarkan adalah
sebagai berikut,
Gambar 2. Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif (Miles dan Huberman, 1992:20)
81
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Latar
a. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kota Semarang sebagai pusat politik dan aktivitas masyarakat di
Jawa Tengah memiliki sarana-sarana yang menunjang pelaksanaan
pendidikan mulai dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Di Kota
Semarang saat ini terdapat 16 SMA negeri dan 62 SMA swasta. Ditinjau
dari perkembangan wacana kesejarahan dan pendidikan sejarah, di Kota
Semarang terdapat tiga perguruan tinggi yang mengelola jurusan sejarah,
yakni Universitas Diponegoro, Universitas Negeri Semarang, dan IKIP
Veteran Semarang. Universitas Negeri Semarang dan IKIP Veteran
Semarang merupakan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
yang memiliki program pendidikan bagi calon tenaga kependidikan
sejarah. Selain itu, di Kota Semarang terdapat museum yang dapat
digunakan sebagai sarana penunjang pembelajaran sejarah, yakni Museum
Jawa Tengah Ronggowarsito, Museum Mandala Bhakti, serta Museum
Masjid Agung. Selain itu ada pula museum yang didirikan oleh pihak
swasta seperti Museum Rekor Indonesia dan Museum Jamu Nyonya
Meneer.
81
82
Selain terdapat museum-museum, di Kota Semarang terdapat
lokasi yang erat kaitannya dengan pendidikan sejarah. Banyak lokasi
bersejarah yang terdapat di Kota Semarang, misalnya kampung-kampung
lama seperti Pecinan, Kauman, dan Pekojan. Kawasan Kota Lama yang
terletak di bagian utara Kota Semarang dan perumahan di daerah Candi di
“Semarang Atas” merupakan peninggalan sebagai bukti kehidupan
masyarakat masa kolonial dan wujud fisik dari kebudayaan Indis. Di pusat
Kota Semarang terdapat Tugu Muda, monumen yang dibangun untuk
memperingati peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang pada 15-19
Oktober 1945. Bangunan kuno keagamaan juga terdapat di Kota
Semarang, seperti Kelenteng Sam Po Kong dan kelenteng-kelenteng yang
ada di kawasan Pecinan. Kelenteng kuno yang terdapat di Semarang
menjadi pertanda pluralisme yang ada di masyarakat Semarang. Di
Semarang bagian Selatan terdapat tempat-tempat yang berhubungan
dengan sejarah pembangunan Masjid Demak, seperti Goa Kreo dan
Jatingaleh. Dengan demikian, diasumsikan perkembangan wacana
kesejarahan dan pengembangan pendidikan sejarah di Kota Semarang
cukup dinamis karena banyaknya peninggalan sejarah yang dapat
dmanfaatkan sebagai sumber belajar, terutama sejarah lokal.
Berkaitan dengan sejarah kontroversial, berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Abu Su’ud (2008a) terhadap guru-guru sejarah di
Kota Semarang dihasilkan simpulan bahwa terdapat kecenderungan
adanya ketertarikan di kalangan guru terhadap sejarah kontroversial. Ini
83
menjadi modal awal tentang apakah guru juga memiliki kecenderungan
untuk mengajarkan sejarah kontroversial dalam pembelajaran sejarah.
Di kota Semarang pada saat ini telah disusun LKS yang berisi
rangkuman materi standar oleh MGMP. LKS ini dengan demikian disusun
berdasarkan musyawarah guru-guru sejarah yang ada di Kota Semarang.
LKS tersebut menjadi pegangan bagi guru dan peserta didik untuk
membantu pelaksanaan pembelajaran sejarah, namun sebaran LKS
tersebut belum merata di seluruh Kota Semarang, karena tidak semua guru
sejarah tergabung dalam MGMP Sejarah Kota Semarang. Akan tetapi,
walaupun belum terdistribusi secara menyeluruh di SMA Kota Semarang,
keberadaan LKS yang disusun oleh MGMP menjadi salah satu indikator
bahwa ada upaya yang dilakukan oleh guru-guru sejarah di SMA Kota
Semarang untuk menyusun materi standar.
Pada penelitian ini, diambil 3 sekolah yang dijadikan sebagai lokasi
penelitian, yakni SMA N 1 Semarang, SMA N 5 Semarang, dan SMA N
12 Semarang. Pemilihan sekolah tersebut berdasarkan kategori dari
Kementerian Pendidikan Nasional adalah tiga kategori, yakni SMA N 1
Semarang sebagai RSBI, SMA N 5 Semarang sebagai SKM, dan SMA N
12 Semarang sebagai RSKM.
1) SMA N 1 Semarang
SMA N 1 Semarang merupakan salah satu sekolah tertua di
Kota Semarang. Gedung SMA ini merupakan salah satu bangunan
kuno bersejarah di Kota Semarang yang berlokasi di Jalan Menteri
84
Supeno. Bangunan ini di bangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1936 - 1938 dan diresmikan pada tahun 1939. Bangunan ini
merupakan pengembangan dari HBS V (Hogere Bunger School) yang
telah didirikan sebelumnya di Jalan Pemuda (sekarang SMA Negeri 3
Semarang). Diresmikan oleh Gubernur Hindia Belanda Tjarda van
Starkenborg Stahoudi, dengan pesta kembang api yang meriah pada
tahun 1939 (http://members. tripod.com/alumni_smansa/sekilas/
sejarah.htm.
SMA N 1 Semarang sampai sekarang berkembang menjadi
salah satu sekolah yang telah memiliki posisi tersendiri di masyarakat
Kota Semarang. SMA N 1 Semarang terletak di pusat Kota Semarang,
berada di kompleks simpang lima dan kantor gubernur Jawa Tengah
dan DPRD yakni di Jln. Menteri Supeno No 1 Semarang.
, diunduh 12 Januari 2010).
Pengalaman SMA N 1 Semarang dalam mengelola pendidikan
di Kota Semarang telah mendapatkan penilaian dari masyarakat
sebagai sekolah papan atas dan favorit. Selain atribusi yang diberikan
oleh masyarakat sebagai sekolah papan atas, ditinjau dari aspek
formal, SMA ini juga telah termasuk dalam Rintisan Sekolah
Berstandar Internasional (RSBI). Sebagai RSBI, SMA N 1 Semarang
saat ini tengah berupaya untuk meraih pencapaian-pencapaian tertentu
untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi peserta didik.
Pada saat ini, SMA N 1 Semarang memiliki visi “Prima dalam
Prestasi, Santun dalam Perilaku”, dan misinya adalah: (1)
85
Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif , sehingga
setiap siswa berkembang secara optimal , sesuai dengan potensi yang
dimiliki; (2) Menumbuhkan semangat keunggulan secara intensif
kepada seluruh warga sekolah; (3) Menumbuhkan semangat
keunggulan secara intensif kepada seluruh warga sekolah; (4)
Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut dan
juga etika moral sehingga menjadi sumber kearifan dan kesantunan
dalam bertindak; (5) Menerapkan manajemen partisipatif dengan
melibatkan seluruh warga sekolah dan stake holder sekolah.
Sebagai RSBI, SMA N 1 Semarang telah menerapkan secara
penuh KTSP, selain itu terdapat pula beberapa tambahan dalam
kurikulum yang dilaksanakan untuk menuju pada SBI, sehingga
memiliki standar yang lebih tinggi daripada SSN ataupun SKM dalam
hal standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar
sarana dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan,
standar manajemen, standar pembiayaan, standar penilaian.
. fasilitas penunjang pembelajaran tidak menjadi hal yang
bermasalah. SMA N 1 telah menerapkan sistem moving class. Artinya
pembelajaran tidak terpaku dalam satu kelas saja, tetapi dibagi dalam
kelas-kelas yang masing-masing kelas disediakan untuk satu mata
pelajaran. Terdapat dua kelas yang digunakan dalam pembelajaran
sejarah dan pada tiap kelas telah terpasang LCD sebagai media
pembelajaran yang diproyeksikan. Fasilitas lain yang terdapat di sini
86
adalah ruang multimedia yang memiliki perangkat software dan
hardware yang memadai, perpustakaan, laboratorium untuk pelajaran
dalam rumpun IPA dan laboratorium bahasa telah tersedia, tetapi
belum memiliki laboratorium untuk sejarah. Fasilitas penunjang seperti
lapangan olah raga, musholla, kantin, lapangan upacara, dan ruang
kegiatan ekstrakurikuler tersedia dalam kapasitas yang memadai.
Pada tahun 2009/2010, SMA N 1 Semarang terdiri atas 37
kelas. Kelas X terdiri atas 13 kelas, kelas XI dan XII terbagi menjadi
masing-masing 12 kelas. Kelas XI terbagi menjadi 8 kelas IPA dan 4
kelas IPS. Kemudian pada kelas XII, terbagi menjadi sembilan kelas
IPA dan tiga kelas IPS.
Peserta didik telah dipilih melalui seleksi yang ketat, karena
tuntutan standarisasi dan kualitas. Sebagian berasal dari masyarakat
perkotaan dan kalangan menengah ke atas. Di kalangan masyarakat
Semarang, SMA ini dikenal sebagai sekolah “pejabat” karena banyak
peserta didik memiliki orang tua pejabat.
Terdapat 4 guru sejarah di SMA ini, yakni Dra. Susilowati,
Dra. Zainab Inawati, Dra. Ningrum S., dan Drs. Sugeng H. Semua
guru lulusan IKIP Negeri Semarang (sekarang Universitas Negeri
Semarang), berpengalaman lebih dari 20 tahun, dan telah tersertifikasi.
Saat ini ada satu guru yang tengah melakukan studi lanjut, yakni
Susilowati di Universitas Semarang.
87
2) SMA N 5 Semarang
SMA N 5 Semarang sangat strategis, karena berada di pusat
Kota Semarang, yakni di Jalan Pemuda 143. Akses untuk menjangkau
juga cukup mudah, karena hampir setiap kendaraan umum melintas di
Jalan Pemuda.
SMA N 5 Semarang lahir pada tanggal 1 Agustus 1964. Tahun
pertama bertempat di AKPOL (Candi Semarang). Tahun 1965 pindah
ke SPG Negeri (sekarang SMU Kartini). Sejak bulan Januari 1966
pindah ke bekas sekolah thionghoa I Whan (Wha Ing). Tahun 1971
dijadikan PPSP unit I Jateng. Tahun 1985 SMA PPSP merger dengan
SMA Laboratorium IKIP menjadi SMA 5 Semarang
(http://www.sman5smg.com
SMA N 5 Semarang telah termasuk dalam SKM (Sekolah
Kategoru Mandiri). Berdasarkan penjelasan PP No. 19 Tahun 2005
Pasal 11 ayat (2) bahwa ciri Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah
Standar Nasional adalah terpenuhinya standar nasional pendidikan dan
mampu menjalankan sistem kredit semester. Sebagai SKM, SMA N 5
Semarang telah termasuk dalam Sekolah Standar Nasional (SSN). SSN
merupakan sekolah yang sudah hampir memenuhi delapan SNP yaitu:
standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar sarana
dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
manajemen, standar pembiayaan, standar penilaian.
(
, 11 Januari 2010).
http://www.depdiknas.go.id/content.php?content=file_edupedia).
88
Kriteria yang dimiliki oleh SMA N 5 Semarang adalah kinerja
Sekolah indikator terakreditasi A, rerata nilai UN tiga tahun terakhir
minimum 7,00 dengan persentase 90 %. Selain itu telah melaksanakan
manajemen berbasis sekolah. Rata-rata untuk satu kelas berjumlah 32
orang. Guru-guru di SMA N 5 Semarang telah memenuhi kualifikasi
akademik S1 dan telah sesuai dengan latar belakang pendidikan.
Fasilitas di sekolah selain terdapat ruang adminstrasi dan ruang belajar,
terdapat pula sarana penunjang seperti ruang Unit Kesehatan, tempat
Olah Raga, tempat ibadah, lapangan bermain, komputer untuk
administrasi, laboratorium: Bahasa, Teknologi informasi/komputer,
Fisika, Kimia, Biologi, Multimedia, IPS, dan perpustakaan yang
memiliki koleksi buku setiap mata pelajaran. Di SMA ini internet telah
dapat diakses dengan baik. Pelaksanaan pembelajaran sejarah telah
menggunakan sistem moving class, tetapi masih belum optimal karena
ruang sejarah belum digunakan secara maksimal.
Kurikulum yang diterapkan sepenuhnya telah menggunakan
KTSP. Pada tahun 2009/2010 SMA N 5 Semarang memiliki 29 kelas.
Terdiri atas 9 kelas X, 10 kelas XI, dan juga 10 kelas XII. Kelas XI
terbagi atas beberapa kelas, yakni 8 kelas IPA dan 2 kelas IPS, kelas
XII terbagi menajadi 8 kelas IPA dan 2 kelas IPS. Peserta didik berasal
dari berbagai kalangan, namun yang terbanyak adalah dari perkotaan.
Guru sejarah di SMA ini ada tiga guru, yakni Dra. Mindarwati
ZRD, Drs. Suratno, dan Dra. Sri Lestari. Seluruh guru sejarah telah
89
tersertifikasi sebagai guru. Sri Lestari merupakan guru sejarah paling
senior, lulusan Jurusan Sejarah dari IKIP Negeri Semarang dan telah
berpengalaman mengajar selama 30 tahun. Mindarwati dan Suratno
sama-sama berpengalaman mengajar selama 24 tahun. Mindarwati
adalah sarjana pendidikan sejarah lulusan IKIP Negeri Surabaya,
sedangkan Suratno adalah lulusan Jurusan Sejarah IKIP Negeri
Semarang.
3) SMA N 12 Semarang
SMA N 12 Semarang merupakan sekolah negeri yang terdapat
di ujung selatan Kota Semarang dan di tepi Kota Semarang. Sekolah
ini terletak di Jalan raya Ungaran-Gunungpati. Berdasarkan
pengelompokan dari Departemen Pendidikan Nasional, SMA N 12
termasuk dalam kategori sekolah standar nasional (SSN) dan saat ini
SMA N 12 Semarang termasuk dalam Rintisan Sekolah Kategori
Mandiri (RSKM). SSN adalah sekolah yang sudah hampir memenuhi
delapan SNP (http://www.depdiknas.go.id/content.php?content
=file_edupedia).
Berdasarkan PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, delapan komponen standar nasional pendidikan meliputi
standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar sarana
dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
manajemen, standar pembiayaan, standar penilaian.
90
SMA ini memiliki 21 kelas. Masing-masing kelas terdiri atas 7
kelas. Kelas XI terdiri atas 3 kelas IPA dan 4 kelas IPS, kelas XII
terdiri atas 3 kelas IPA dan 4 kelas IPS.
SMA N 12 memiliki visi “Berprestasi dan Berakhlak Mulia”.
Misi dari SMA N 12 adalah “mengelola sekolah sebagai pusat
wawasan wiyata mandala secara sungguh-sungguh, efektif, efisien, dan
profesional demi terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas”.
Kurikulum yang diterapkan adalah KTSP, sehingga pelakasanaan
pembelajarannya telah disesuaikan dengan standar isi yang belaku
dalam KTSP.
Peserta didik berasal dari masyarakat sekitar SMA dan
sebagian besar dari keluarga yang berprofesi sebagai petani, pegawai,
dan pedagang (Wawancara dengan Heri Rohayuningsih, 13 Januari
2010). Dengan demikian, peserta didik rata-rata berasal dari lapisan
sosial menengah.
Guru sejarah ada 2 orang, yaitu Hari Rohayuningsih, S.Pd. dan
Sugiyarto S.Pd. Hari Rohayuningsih merupakan lulusan dari Jurusan
Sejarah IKIP Negeri Semarang tahun 1999. Dengan demikian ia telah
berpengalaman mengajar selama 10 tahun dan telah tersertifikasi.
Sugiyarto adalah lulusan dari Jurusan Sejarah IKIP Negeri Semarang
tahun 1995. Ia telah berpengalaman mengajar selama 15 tahun, dan
telah tersertifikasi.
91
Fasilitas belajar secara umum yang tesedia cukup memadai,
walaupun sarana penunjang pembelajaran sejarah belum maksimal.
LCD masih terbatas dan belum tersedia di setiap ruang. Film-film
sejarah juga masih minim. Laboratorium IPS sebagai tempat belajar
sejarah juga belum ada.
b. Sejarah Kontroversial dalam KTSP
Penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa sifat kontroversial tidak
dapat dilepaskan dari sejarah (Kochhar, 2008: 450). Oleh karena itu,
pembelajaran sejarah juga senantiasa lekat dalam permasalahan
kontroversi. Sifat kontroversial tersebut muncul dalam materi-materi
yang diajarkan dalam pembelajran sejarah. Di dalam KTSP,
kecenderungan munculnya materi sejarah kontroversial pada dasarnya
lebih leluasa, karena guru-guru memiliki kesempatan untuk
mengembangkan materi ajar sesuai dengan kebutuhan dan konteks
lingkungan belajar siswa.
Beberapa aspek kontroversial yang termasuk dalam materi
pembelajaran sejarah terdapat hampir di semua kelas dan program/jurusan.
Materi-materi tersebut sesuai dengan pembagian kelas dapat diuraikan
sebagai berikut
1) Kelas X
Pada kelas X, Standar Kompetensi (SK) yang dijadikan
landasan umum pelaksanaan pembelajaran sejarah adalah (1)
92
memahami prinsip dasar ilmu sejarah, dan (2) menganalisis peradaban
Indonesia dan dunia. Secara umum, materi yang diajarkan pada kelas
X terbagi dalam dua kelompok besar, pertama materi-materi yang
terkait dengan prinsip-prinsip dasar ilmu sejarah. Materi kedua terkait
dengan peradaban masyarakat awal di dunia dan Indonesia.
Di kelas X, kontroversi yang muncul berkaitan dengan cakupan
materi yang termasuk dalam masa prasejarah atau praaksara.
Kontroversi yang muncul terkait dengan asal usul kehidupan,
khususnya tentang perkembangan manusia purba. Kontroversi tentang
manusia purba dan kehidupan manusia pada masa prasejarah menjadi
topik yang muncul dalam kompetensi dasar “menganalisis asal-usul
dan persebaran manusia di kepulauan Indonesia”.
Kontroversi tentang permasalahan asal-usul manusia menjadi
semakin rumit ketika proses kemunculan manusia dibenturkan dengan
pendapat munculnya manusia ditinjau dari versi agama. Dalam agama
Islam dan Kristen, penganutnya mempercayai bahwa manusia yang
pertama diciptakan adalah Adam. Sementara itu ditinjau dari aspek
ilmiah, ada berbagai macam hipotesis tentang munculnya manusia
purba dan persebarannya.
Dalam konteks Indonesia ada banyak pendapat yang
dikemukakan tentang perkembangan manusia Indonesia. Ada yang
mengemukakan bahwa bangsa Indonesia berawal dari satu daerah dan
menggunakan bahasa Campa, seperti pendapat dari H. Kern dan
93
Heine-Gildern. Sementara itu ada ahli yang berpendapat bahwa asal-
usul manusia Indonesia berasal dari Yunan, seperti pendapat dari Moh.
Ali dan Hogen. Sedangkan J.L.A. Brandes berpendapat bahwa suku-
suku di Indonesia memiliki persamaan bahasa dengan bangsa-bangsa
yang bermukim di utara Pulau Formosa, sebelah barat Pulau
Madagaskar; sebelah selatan, yaitu Jawa dan Bali; sebelah timur
hingga tepi pantai barat Amerika.
Mohammad Yamin menyangkal bahwa orang Indonesia berasal
dari luar kepulauan Indonesia. Menurut pandangannya, orang
Indonesia adalah asli berasal dari wilayah Indonesia sendiri
(Hendrayana, 2009: 128-131). Ulasan tentang berbagai manusia purba
yang hidup di Indonesia akan bertambah kontroversal jika dikaitkan
dengan teori evolusi dari Darwin yang masih memunculkan
perdebatan.
Oleh para pendukungnya, konsep evolusi Darwin ini kemudian
berkembang dan mengerucut pada sebuah pernyataan bahwa manusia
memiliki kesamaan fisiologis dan biologis dengan spesies kera.
Kontroversi tentang asal-usul manusia berdasarkan pandangan Darwin
ini mendapatkan berbagai pertentangan, terutama dari kalangan
agamawan.
Kontroversi lain yang kerap muncul adalah ketika guru
membahas kompetensi dasar “mendeskripsikan tradisi sejarah dalam
masyarakat Indonesia masa pra-aksara dan masa aksara”. Dalam KD
94
ini, sering dijumpai perbedaan-perbedaan antara cerita rakyat yang
beredar di masyarakat dengan penalaran ilmiah. KD yang membahas
tentang berbagai tradisi lisan masyarakat sering kali memberikan kisah
yang irasional, sehingga kontroversi akan muncul ketika guru dan
siswa mencoba membandingkan dengan kajian-kajian melalui
penelitian ilmiah. Kisah-kisah berupa dongeng, mite, dan legenda
merupakan kajian yang tidak lepas dari sejarah. Apabila konsep
tentang hal tersebut tercampur aduk, maka kontroversi akan muncul.
Kontroversi tersebut berhubungan dengan kebenaran cerita-cerita yang
termasuk dalam folklore jika dibandingkan dengan data yang rasional.
Contoh dari cerita yang bersifat kontroversial jika dikaitkan
dengan aspek ilmiah adalah tentang mitos. Contohnya adalah mitos
tentang kesaktian raja-raja Jawa atau para pemuka agama yang
menurut folklore memiliki kesaktian. Kesaktian-kesaktian tersebut bila
dilihat dari perpektif kekinian bersifat kontroversial. Dalam sebuah
kisah di dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan ketika hendak
menentukan kiblat, satu tangan sunan Kalijaga berada di Masjid
Demak, dan satu tangan berada di Masjidil Haram. Hal tersebut akan
bersifat kontroversial jika dibandingkan dengan pemikiran yang
bersifat logis pada saat ini. Tidak mungkin bagi seseorang untuk
berada di dua tempat sekaligus.
95
2) Kelas XI IPS
Kelas XI IPS mengulas materi dalam tiga kelompok besar,
yakni (1) Perkembangan negara-negara tradisional di Indonesia; (2)
Indonesia pada masa penjajahan; dan (3) Pergerakan kebangsaan.
Materi-materi tersebut terangkum dalam standar kompetensi (1)
Menganalisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa negara-negara
tradisional; (2) Menganalisis perkembangan bangsa Indonesia sejak
masuknya pengaruh Barat sampai dengan pendudukan Jepang; (3)
Menganalisis sejarah dunia yang mempengaruhi sejarah Bangsa
Indonesia dari abad ke-18 sampai dengan abad ke-20. Kompetensi
dasar pertama disampaikan pada semester pertama dan standar
kompetensi dua dan tiga disampaikan pada semester kedua.
Materi yang diberikan pada peserta didik pada kelas XI IPS
cukup beragam, karena mengulas sejarah sejak munculnya kerajaan
tradisional bercorak Hindu-Budha, perkembangan kerajaan Islam,
masuknya VOC dan praktik penjajahan Belanda, dinamika pergerakan
kebangsaan, pendudukan Jepang di Indonesia, serta perkembangan
sejarah dunia yang meliputi Revolusi Industri, Revolusi Amerika, dan
Revolusi Perancis. Materi-materi yang memiliki rentang waktu
panjang tersebut memberikan kecenderungan berkembangnya materi-
materi sejarah kontroversial yang beragam.
Pada materi tentang kerajaan-kerajaan Hindu Budha di
Indonesia, kontroversi pertama yang muncul adalah tentang masuknya
96
pengaruh India ke kawasan Nusantara. Kontroversi ini terdapat dalam
KD “Menganalisis pengaruh perkembangan agama dan kebudayaan
Hindu-Buddha terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia”.
Terkait dengan hal tersebut, banyak teori yang muncul, seperti
hipotesis brahmana, hipotesis ksatria, hipotesis waisya, teori arus balik,
dan teori kolonisasi. Permasalahan kontroversi tersebut telah diajarkan
dengan cukup jelas pada pembelajaran sejarah.
Pada kompetensi dasar tentang “Menganalisis perkembangan
kehidupan negara-negara kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia” ada
beberapa peristiwa sejarah yang masih menjadi kontroversi.
Kontroversi tersebut misalnya terdapat pada bahasan tentang peristiwa
asal usul Ken Arok dan pembunuhan yang dilakuan sebagai upaya
Kudeta. Kemudian ada pula kontroversi aakah pada masa Mataram
lama terdiri atas satu dinasti atau dua dinasti, yakni Sanjaya dan
Syailendra.
Pada kompetensi dasar tentang “Menganalisis pengaruh
perkembangan agama dan kebudayaan Islam terhadap masyarakat di
berbagai daerah di Indonesia” terdapat pula kontroversi tentang
masuknya Islam di Nusantara. Ada beberapa pendapat mengenai
tempat asal para pembawa Islam ke Indonesia. Snouck Hurgronje
berpendapat bahwa para penyebar Islam di Gujarat pada abad ke-13
telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia
daripada dengan orang Arab. Kemudian ada tokoh bernama Fattini
97
yang berpendapat bahwa gaya batu nisan Malik al-Saleh memiliki
corak yang berbeda dengan batu nisan di Gujarat. Sementara itu
Morrison dan Arnold mengatakan bahwa Islam di Indonesia dibawa
oleh orang-orang Coromandel dan Malabar. Pendapat lain mengatakan
bahwa Islam berasal langsung dari Mekkah, Arab, sebagaimana
dikemukakan oleh Crawford. Pendapat Crawford didukung oleh
sejarawan Indonesia, seperti Hamka yang berpendapat bahwa Islam
yang masuk ke Indonesia itu langsung dari Arab, tetapi Husein
Djajadiningrat lebih berpendapat bahwa Islam di Indonesia berasal dari
Parsi atau Persia. Ia lebih menitikberatkan pada kesamaan kebudayaan
dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Persia dan Indonesia,
seperti tradisi perayaan 10 Muharam dan pengaruh bahasa yang
banyak dipakai di Indonesia (Tarunasena, 2009: 82-83).
Pada kompetensi dasar tentang “menganalisis perkembangan
pengaruh Barat dan perubahan ekonomi, demografi, dan kehidupan
sosial budaya masyarakat di Indonesia pada masa kolonial” terdapat
materi-materi yang dapat dikategorikan kontroversial, seperti tentang
bagaimana peran VOC terhadap keruntuhan kerajaan-kerajaan lokal,
kerja sama antara VOC dan kerajan-kerajaan lokal. Selain itu ada pula
kontroversi tentang dampak positif dan negatif dari penjajahan
Belanda di Indonesia, seperti dampak positif dan negatif dari tanam
paksa ataupun politik pintu terbuka bagi masyarakat.
98
Kemudian pada KD “menganalisis hubungan antara
perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan
kesadaran dan pergerakan kebangsaan” terdapat beberapa materi yang
dapat dikategorkan sebagai sejarah kontroversial, yakni tentang
munculnya Budi Utomo sebagai organisasi pergerakan nasional.
Permasalahan yang muncul adalah apakah BU telah menjari organisasi
yang benar-benar dianggap sebagai organisasi pergerakan nasional?
Selain itu ada pula kontroversi tentang posisi dan peran Kartini dalam
pergerakan nasional. Ada pandangan dari Harsya W. Bachtiar yang
mempertanyakan peran Kartini sebagai tokoh pergerakan nasional.
Terkait dengan organisasi pergerakan terdapat kontroversi antara
gerakan yang kooperatif dan nonkooperatif.
3) Kelas XI IPA
Pada kelas ini terdapat KD (1) Menganalisis perkembangan
negara tradisional (Hindu-Buddha dan Islam) di Indonesia; (2)
Membandingkan perkembangan masyarakat Indonesia di bawah
penjajahan: dari masa VOC, Pemerintahan Hindia Belanda, Inggris,
sampai Pemerintahan Pendudukan Jepang; (3) Menganalisis proses
kelahiran dan perkembangan nasionalisme Indonesia; (4) Menganalisis
terbentuknya negara Kebangsaan Indonesia; (5) Merekonstruksi
perkembangan masyarakat Indonesia sejak proklamasi hingga
Demokrasi Terpimpin; (6) Menganalisis pergantian pemerintahan dari
99
Demokrasi Terpimpin sampai lahirnya Orde Baru. Dengan demikian,
ditinjau dari materinya, aspek kontroversial yang terkandung dalam
KD di kelas XI IPA tidak berbeda dengan sejarah kontroversial pada
kelas XI IPS dan XII IPS semester 1, tetapi karena keterbatasan alokasi
waktu yang hanya satu jam menyebabkan pembelajaran sejarah
kontroversial berjalan tidak maksimal.
4) Kelas XI Bahasa
Di kelas XI Bahasa terdapat KD (1) Menganalisis
perkembangan kehidupan negara-negara kerajaan (Hindu-Buddha dan
Islam) di Indonesia; (2) Menganalisis perkembangan kebudayaan
Hindu-Buddha dan Islam di Nusantara terutama dalam bidang bahasa
dan karya sastra; (3) Menganalisis perkembangan masyarakat
Indonesia di bawah penjajahan: dari masa VOC, Pemerintahan Hindia
Belanda, Inggris, sampai Pemerintahan Pendudukan Jepang; (4)
Menganalisis perkembangan kebudayaan masyarakat Nusantara di
bawah penjajahan asing terutama dalam bidang bahasa dan karya
sastra; (5) Menganalisis proses kelahiran dan perkembangan
nasionalisme Indonesia.
Dilihat dari KD-nya materi kontroversial yang ada di kelas XI
Bahasa tidak terlalu berbeda dengan materi sejarah kontroversial di
kelas XI IPS, tetapi karena adanya perbedaan pada aspek waktu dan
100
penekanan, maka tidak secara keseluruhan materi kontroversial
diajarkan.
5) Kelas XII IPS
Pada kelas XII IPS semester pertama terdapat KD
“menganalisis peristiwa sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 dan
pembentukan pemerintahan Indonesia”. Pada materi tersebut terdapat
kontroversi tentang permasalahan apakah kemerdekaan Indonesia
adalah pemberian Jepang ataukah hasil dari perjuangan bangsa
Indonesia. Selain itu, ada pula permasalahan terkait apakah benar
Sukarno menjadi penggali Pancasila. Kontroversi juga masih
menyelimuti peristiwa pada detik-detik proklamasi, khususnya terkait
dengan masalah penyusunan teks proklamasi.
Pada KD tentang “menganalisis perjuangan bangsa Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaan dari ancaman disintegrasi
bangsa terutama dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan (antara
lain: PKI Madiun 1948, DI/TII, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-
30-S/PKI)” tedapat dua peristiwa yang sangat kontroversial. Peristiwa
tersebut adalah peristiwa Serangn Umum 1 Maret dan Gerakan 30
September. Peristiwa Serangan Umum 1 Maret sampai saat ini masih
menyisakan pertanyaan tentang siapa sebenarnya penggagas serangan
tersebut.
101
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 boleh dikatakan sebagai
persitiwa sejarah yang paling banyak menimbulkan kontroversi sampai
sekarang. Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari para petinggi
Angkatan Darat diculik dan beberapa objek vital seperti Radio
Republik Indonesia dan Telkom diduduki oleh pasukan militer
(Batalion 454 Diponegoro, Batalion 530 Brawidjaja, pasukan
Kehormatan Pengawal Presiden Cakrabirawa) yang dipimpin oleh
Untung, Latif, Sujono, Pono, dan Sjam (Beise, 2004:17).
Berkaitan dengan Gerakan 30 September, banyak teori yang
diungkapkan oleh para ahli berkaitan dengan peristiwa kudeta.
Pemahaman yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan
peristiwa seputar Gerakan 30 September selama ini adalah bahwa yang
menjadi dalang peristiwa tersebut adalah PKI. Hal ini terutama
didukung dengan adanya buku tentang peristiwa Gerakan 30
September yang diterbitkan oleh Kesekretariatan Negara atau yang
sering disebut dengan “Buku Putih” (Sekretariat Negara, 1994).
Dengan adanya pendapat-pendapat baru berkaitan dengan masalah G
30 S telah menjadikan peristiwa ini menjadi peristiwa sejarah yang
sangat kontroversial, bahkan paling kontroversial dalam periode
sejarah Indonesia modern.
Paling tidak ada enam teori berkaitan dengan peristiwa G 30 S
ini. Beise (2004: 5) menjelaskan secara gamblang teori-teori tentang G
30 S, yakni, (1) teori keterlibatan PKI, (2) teori perwira-perwira
102
progresif, (3) teori keterlibatan Angkatan Darat dan Soeharto, (4) teori
keterlibatan CIA, (5) teori keterlibatan Sukarno, serta (6) teori chaos.
Teori pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa dalang
G 30 S adalah PKI. Pendapat ini dipakai oleh pemerintah pada masa
orde baru, sebagai upaya legitmasi kekuasaan. Pendapat ini
dilatarbelakangi motif pengabilalihan kekuasaan untuk mendirikan
sebuah negara komunis.
Teori kedua adalah teori yang menyatakan bahwa dalang G 30
S adalah klik angkatan darat. Pendapat ini diusung oleh Ben Anderson
dan Ruth Mc Vey melalui Cornell Paper-nya (Judul aslinya adalah A
Preliminary Analysis of The Oktober 1, 1965 Coup In Indonesia, terbit
pada tahun 1971 oleh Modern Indonesia Project, South East Asia
Program, Cornell University). Motif dari alasan ini adalah
sekelompok perwira ‘progresif’ yang berasal dari Divisi Diponegoro
merasa tidak puas dengan cara kehidupan mewah pimpinan Angkatan
Darat di Jakarta yang dianggapnya tidak sesuai dengan semangat
revolusi serta mangabaikan kesejahteraan anak buahnya. Pimpinan
Angkatan Darat tersebut ingin ‘dibersihkan’ supaya politik Sukarno
dapat dilanjutkan. Di samping itu mungkin ada tujuan lain, yaitu
mencegah kudeta oleh pihak Dewan Jenderal.
Teori ketiga adalah teori yang menyatakan bahwa dalang G 30
S adalah Angkatan Darat dan Soeharto, dimana pendapat ini
diungkapkan oleh sosiolog dan sejarawan Belanda W.F. Wertheim,
103
motif yang melatarbelakangi pendapat ini adalah bahwa tujuan
Soeharto adalah untuk menghancurkan PKI, menjatuhkan Sukarno dan
menyingkirkan kubu-kubu lain dalam AD, serta menjadi pahlawan dan
Presiden. Pendapat ini diusung juga oleh M. R. Siregar, Coen
Holtzappel, serta Wimandjaja K. Litohoe, (Beise, 2004:28).
Teori keempat adalah yang menyatakan bahwa dalang G 30 S
adalah unsur asing (dalam hal ini adalah Amerika melalui CIA-nya).
Pendapat ini diusung oleh Peter Dale Scott dan Teri Cavanagh (Beise,
2004). Alasan kuat teori ini adalah karena situasi internasional yang
terjadi pada masa itu, yaitu adanya perang dingin dan adanya
kepentingan Amerika atas Indonesia yang sangat potensial.
Teori kelima adalah pendapat yang menyatakan bahwa dalang
G 30 S adalah Sukarno. Pendapat ini diusung oleh Anthony C.A.
Dake, Hughes, dan Soerojo (Beise, 2004:35). Pendapat ini dilandasi
adanya motif yang menggambarkan Sukarno sebagai orang yang
egoistis dan haus kekuasaan, sehingga ia ingin menghapuskan oposisi
militer. Sedangkan Soerojo seperti dikutip Beise (2004) berpendapat
bahwa Sukarno adalah seorang marxis yang ingin membangun
komunisme di Indonesia.
Pendapat lainnya adalah tentang teori chaos yang menyatakan
bahwa pelaku dari peristiwa kudeta tersebut tidak hanya satu. Sukarno
dalam Pengumuman Pelengkap Nawaksara di Istana Merdeka pada 10
Januari 1967, menyebutkan bahwa paling tidak ada tiga unsur yang
104
menyebabkan kudeta, yaitu (1) keblingeran pimpinan PKI (Partai
komunis Indonesia), (2) kelihaian subversi Nekolim (neo-kolonialisme
dan imperialisme), (3) memang adanya oknum-oknum yang “tidak
benar” (Sukarno, 1967: 257). Landasan teori chaos ini adalah bahwa
situasi yang terjadi pada masa itu sangat rumit, dan petunjuk dari
masing-masing teori memiliki posisi dan argumentasi yang kuat,
sehingga ada keterkaitan antara satu faktor dan faktor lain.
Pada KD tentang “menganalisis perkembangan politik dan
ekonomi serta perubahan masyarakat di Indonesia dalam upaya
mengisi kemerdekaan”, kontroversi terkait dengan permasalahan
pemerintahan Sukarno, seperti pertentangan antarpartai politik,
permasalahan dekrit presiden, permasalahan pengangkatan presiden
seumur hidup, konsep demokrasi terpimpin, keluarnya Indonesia dari
PBB, konfrontasi dengan Malaysia, kosep tentang Nasakom, dan
sebagainya. Pada kompetensi dasar tersebut dibahas pula tentang
peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto.
Pada proses peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto,
terdapat sebuah dokumen yang penting dan menjadi kunci peristiwa
tersebut, yakni Supersemar. Surat Perintah Sebelas Maret atau yang
lebih dikenal dengan Supersemar, merupakan satu hal lagi yang
sampai sekarang masih menjadi kontroversi dalam sejarah Indonesia.
Hal itu disebabkan dokumen yang menjadi landasan kelahiran Orde
105
Baru telah hilang secara misterius. Adapun isi dari Supersemar adalah
diberikannya wewenang dari Presiden Sukarno kepada Soeharto untuk
(1) mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannya Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/ mandataris M.P.R.S, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi, (2) mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima angkatan-angkatan lain dengan sebaik-baiknja, (3) supaja melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung djawab seperti tersebut di atas. (Sumber: Baskara T. Wardaya, 2007: 301)
Isi dalam Supersemar itu adalah memerintahkan kepada
Soeharto untuk mengamankan Pancasila, mengamankan UUD 1945,
menjaga stabilitas nasional dan menjaga keamanan Bung Karno. Akan
tetapi dalam perkembangannya terjadi berbagai macam kontroversi
tentang naskah asli Supersemar.
Sampai sekarang ada tiga naskah Supersemar yang beredar, dua
versi seperti yang terdapat dalam 30 Tahun Indonesia Merdeka
(Sekretariat Negara, 1985), di mana Supersemar hanya terdiri dari satu
halaman, dan versi ketiga adalah seperti yang terdapat dalam biografi
Jendral M. Yusuf, di mana naskah itu terdiri dari dua halaman
(Atmadji Sumarkidjo, 2006). Pada dasarnya isi dari ketiga naskah
tersebut sama, hanya ada perbedaan dalam hal penulisan. Adanya tiga
naskah Supersemar sangat membingungkan masyarakat. Pertanyaan
106
mendasar yang muncul adalah “manakah di antara ketiga naskah
tersebut yang benar-benar asli?”
Kontroversi lain yang berkembang seputar Supersemar selain
otentisitas naskah adalah tentang proses keluarnya Supersemar dan
dampak dari keluarnya Supersemar. Tentang proses keluarnya
Supersemar, kontroversi yang bererdar adalah tentang pertanyaan-
pertanyaan “apakah Sukarno mengeluarkan Supersemar dengan tanpa
tekanan?”, “siapa pengetik Supersemar?” (Baskara T. Wardaya, 2007:
20).
Kemudian berkaitan dengan dampak sesudah Supersemar,
beberapa kontroversi yang muncul adalah “bagaimana sebenarnya sifat
dari Supersemar, apakah teknis atau politis?”, “apakah Supersemar
bersifat sebagai transfer authority?” (Baskara T. Wardaya, 2007:112).
Kemudian pada SK “menganalisis perjuangan sejak Orde Baru
sampai dengan masa reformasi” terdapat beberapa permasalahan
kontroversial, seperti kebijakan pemerintah dalam merampingkan
partai politik, peristiwa malari, otoritarianisme Soeharto, permasalahan
korupsi, dan sebagainya. Kemudian terkait dengan peristiwa
Reformasi ada permasalahan terkait dengan hubungan Habibie-
Wiranto-Prabowo, dan sebagainya.
Pada KD tentang “menganalisis perkembangan politik dan
ekonomi serta perubahan masyarakat di Indonesia pada masa
reformasi” dapat diulas materi tentang pemerintahan Abdurrahman
107
Wahid yang kontroversial dengan kebijakan-kebijakannya yang sering
tak terduga.
6) Kelas XII IPA
Pada kelas XII IPA, terdapat KD (1) Merekonstruksi
perkembangan masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru; (2)
Merekonstruksi perkembangan masyarakat Indonesia pada masa
Reformasi; (3) Menganalisis perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan hubungannya dengan Perang Dunia II dan Perang
Dingin; (4) Menganalisis perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di Indonesia. Pada kelas XII IPA materinya seperti kelas XII
IPS semester 1. Dengan demikian materi tentang kontroversi pada
masa Orde Baru menjadi hal yang dapat diulas. Akan tetapi karena
keterbatasan masalah waktu pembelajaran sejarah controversial
menjadi terkendala. Kemudian pada KD tentang “Menganalisis
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan hubungannya
dengan Perang Dunia II dan Perang Dingin” terdapat kontroversi
tentang manfaat nuklir bagi masyarakat.
7) Kelas XII Bahasa
Pada kelas XII Bahasa terdapat KD (1) Merekonstruksi
perkembangan masyarakat Indonesia sejak proklamasi hingga
Demokrasi Terpimpin; (2) Menganalisis pemerintahan dari Demokrasi
108
Terpimpin sampai lahirnya Orde Baru; (3) Menganalisis
perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia sejak proklamasi
hingga Demokrasi Terpimpin terutama dalam bidang bahasa dan karya
sastra; (4) Merekonstruksi perkembangan masyarakat Indonesia sejak
pemerintahan Orde Baru sampai dengan masa Reformasi; (5)
Menganalisis perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia sejak
Orde Baru sampai dengan masa Reformasi terutama dalam bidang
bahasa dan karya sastra.
Dengan demikian secara umum materi kontroversial tidak
berbeda dengan materi di kelas XII IPS, tetapi materi kontroversial
tersebut terkendala masalah alokasi waktu. Kemudian pada kelas XII
Bahasa terdapat pula materi kontroversial seperti dilarangnya karya
sastra karangan seniman Lekra, seperti novel-novel karya Pramoedya
Ananta Toer.
2. Sajian Data
a. Pemahaman Guru terhadap Critical Pedagogy sebagai Pendekatan
Pembelajaran Sejarah Kontroversial
Critical pedagogy sebagai sebuah konsep yang dijalankan secara
sistematis dan prosedural belum dikenal secara luas dalam praksis
pendidikan dan pembelajararan di jalur formal di Indonesia. Selama ini
perkembangan critical pedagogy baru pada jalur pendidikan nonformal
dengan adanya pelatihan-pelatihan oleh LSM atau lembaga pendidikan
109
lain bagi masyarakat. Oleh karena perkembangan critical pedagogy masih
sangat terbatas di kalangan guru di sekolah, terjadi perbedaan pemahaman
dalam melakukan penafsiran dan pemaknaan terhadap critical pedagogy
dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran sejarah. Walaupun
terkendala masalah keterbatasan pemahaman, bukan berarti critical
pedagogy tidak bisa diterapkan sama sekali dalam pembelajaran,
khususnya pembelajaran sejarah kontroversial.
Upaya untuk memahami critical pedagogy sebagai pendekatan
dalam pembelajaran sejarah, khususnya sejarah kontroversial di kalangan
guru sejarah dapat dilihat dari berbagai aspek yang terkandung dalam
critical pedagogy. Pemahaman guru sejarah terhadap implementasi critical
pedagogy dalam pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran sejarah
dapat diamati dalam beberapa aspek. Aspek pertama ditinjau dari
pandangan umum guru sejarah terhadap tujuan mata pelajaran sejarah.
Aspek kedua dilihat dari keterkaitan antara tujuan pendidikan sejarah di
sekolah terkait dengan pengembangan kesadaran dan sikap kritis peserta
didik. Aspek ketiga ditinjau dari tanggapan guru terhadap kontroversi
sejarah. Aspek keempat ditinjau dari tanggapan guru terhadap pelaksanaan
pembelajaran, terutama terkait dengan metode, sumber belajar, dan media
pendidikan yang digunakan. Aspek kelima ditinjau dari tanggapan guru
terhadap pemanfaatan lingkungan dan situasi kekinian terhadap
pembelajaran sejarah. Aspek keenam ditinjau dari peran pemerintah dalam
pendidikan sejarah. Melalui pengamatan terhadap aspek tersebut dapat
110
diamati bagaimana pemahaman guru sejarah terhadap tujuan pendidikan
sejarah, terutama pengajaran sejarah kontroversial, dan bagaimana
pandangan dan pemahaman mereka terhadap critical pedagogy dalam
konteks pembelajaran secara praksis.
Pemahaman guru-guru sejarah terhadap implementasi critical
pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial cukup beraneka
ragam. Guru-guru belum mengetahui critical pedagogy sebagai
pendekatan dalam pembelajaran sejarah, pemahaman mereka sangat
tergantung dari bagimana guru-guru memaknai pembelajaran sejarah
beserta komponen-komponen yang ada di dalamnya.
Di SMA N 1 Semarang, pemahaman guru terhadap pembelajaran
sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy dapat dilihat dari
beberapa aspek. Aspek pertama yang diteliti terkait dengan pemahaman
guru terhadap critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pembelajaran
sejarah adalah tentang bagaimana guru memandang tujuan dari pendidikan
sejarah tersebut. Sulisowati (wawancara 11 Januari 2010), guru sejarah
dari SMA N 1 Semarang yang mengajar kelas XII IPS dan kelas X,
menyatakan bahwa pendidikan sejarah secara umum, khususnya
pembelajaran sejarah memiliki tujuan untuk membangun karakter dan
mentalitas. Lebih lanjut lagi ia menjelaskan bahwa karakter dan mentalitas
menjadi faktor yang berpengaruh terhadap nasionalisme peserta didik. Ia
berpandangan bahwa melalui pendidikan sejarah, peserta didik dapat
memahami karakter dan mentalitas, karena pendidikan sejarah memiliki
111
potensi sebagai sebuah sarana yang mengenalkan identitas serta asal-usul
bangsa Indonesia. Dengan demikian, sejarah menanamkan pada peserta
didik apa sebenarnya jati diri bangsa Indonesia.
Pendapat dari Susilowati didukung pula oleh Zainab Inawati
(wawancara 19 Januari 2010), guru sejarah yang mengajar kelas XI dan
XII IPS. Menurutnya, pendidikan sejarah memiliki tujuan untuk
menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan peserta didik. Upaya
menumbuhkan nasionalisme di kalangan peserta didik ini dilakukan
melalui pemberian materi yang menekankan rasa kebanggaan peserta didik
terhadap jati diri bangsanya. Materi-materi tentang kejayaan Majapahit
dan kerajaan lainnya dapat menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa cinta
peserta didik terhadap bangsanya.
Lebih lanjut lagi terkait dengan tujuan pendidikan sejarah
dijelaskan bahwa materi tentang perjuangan bangsa pada zaman
pergerakan nasional, peristiwa seputar proklamasi kemerdekaan, dan
perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan pada
masa revolusi. Materi-materi tersebut menurut Zainab menjadi salah satu
materi yang dapat menumbuhkan rasa patriotisme. Rasa cinta tanah air dan
patriotisme menjadi landasan untuk mewujudkan nasionalisme di kalangan
peserta didik.
Materi tersebut tercantum dalam KD (1) Menganalisis hubungan
antara perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan
kesadaran dan pergerakan kebangsaan pada kelas XI IPS; (2) Menganalisis
112
peristiwa sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 dan pembentukan
pemerintahan Indonesia; dan (3) Menganalisis perjuangan bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari ancaman disintegrasi
bangsa terutama dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan (antara lain:
PKI Madiun 1948, DI/TII, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-
S/PKI).
Terkait dengan kesadaran kritis dan pendidikan sejarah, guru-guru
telah berpandangan bahwa pada dasarnya pendidikan sejarah sejalan
dengan upaya menumbuhkembangkan kesadaran, pola pikir, dan sikap
kritis peserta didik. Guru di SMA N 1 Semarang memandang bahwa
sejarah dapat menumbuhkan sikap kritis peserta didik karena dalam
sejarah terdapat materi yang menumbuhkan kepekaan peserta didik dan
kemampuan menganalisis peristiwa dengan kemampuan nalar.
Susilowati (wawancara 19 Januari 2010) berpendapat bahwa semua
materi yang terkandung dalam SK dan KD memiliki peluang untuk
menumbuhkembangkan kemampuan peserta didik untuk menjadi kritis.
Contohnya adalah materi tentang penelitian sejarah pada KD
“menggunakan prinsip-prinsip dasar penelitian sejarah”. Materi tersebut
melatih peserta didik untuk dapat memanfaatkan sumber-sumber sejarah
dan melakukan analisis terhadap sebuah peristiwa di masa lalu.
Pada kelas XI IPS, menurut Zainab Inawati (wawancara 19 Januari
2010) pada materi tentang keruntuhan kerajaan Hindu-Budha pada KD
“menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara kerajaan Hindu-
113
Buddha di Indonesia” mengarahkan peserta didik untuk menganalisis
faktor-faktor yang menyababkan keruntuhan sebuah kerajaan besar. Selain
itu pada materi tentang runtuhnya VOC, materi tersebut dapat dikaitkan
dengan masalah mengapa korupsi dapat menghancurkan sebuah lembaga
besar seperti VOC.
Pada aspek materi-materi sejarah kontroversial, guru sejarah di
SMA N 1 Semarang berpandangan bahwa sejarah kontroversial menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam pembelajaran sejarah. Susilowati
(wawancara 20 Januari 2010) berpandangan bahwa sejarah yang
kontroversial menjadi sarana untuk menumbuhkan kesadaran kritis peserta
didik. Sejarah kontroversial seperti peristiwa G 30 S dapat melatih peserta
didik untuk memahami bahwa sebuah sejarah senantiasa berkembang, dan
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Lebih lanjut lagi ia menjelaskan
bahwa
… sikap kontroversi terbentuk karena kita memahami konsep, dan kontroversi lebih didasarkan pada kemampuan akal, sehingga kontroversi lahir dari kemampuan berpikir, jadi kontroversi relevan terhadap kemampuan berpikir siswa. (Wawancara 20 Januari 2010)
Susilowati (wawancara 20 Januari 2010) mengakui bahwa ia selalu
menghadirkan kontroversi dalam pembelajaran sejarah. Pentingnya sejarah
kontroversial diajarkan dalam pembelajaran sejarah karena “sejarah
kontoversial akan memberikan sebuah kesempatan pada siswa untuk lebih
peka dan kritis dalam menanggapi sesuatu” (wawancara 20 Januari 2010).
114
Pendapat dari Susilowati senada pula dengan pandangan dari
Zainab Inawati (wawancara 19 Januari 2010) yang menyatakan bahwa
sejarah kontroversial adalah materi yang menarik dalam mata pelajaran
sejarah. Menarik karena guru dan peserta didik dapat melihat sesuatu
peristiwa tidak hanya dari satu versi, tetapi dari multiversi.
Terkait dengan pelaksanaan sejarah kontroversial, di SMA N 1
Semarang, guru telah berinisiatif untuk mengajarkan sejarah kontroversial
dalam kelas. Hal ini diakui oleh Susilowati sebagai guru kelas XII IPS
(wawancara 20 Januari 2010). Dalam pelaksanaannya, ia lebih cenderung
untuk menekankan pembelajaran dengan cara bercerita kepada peserta
didik. Melalui bercerita ia mengakui bahwa peserta didik memiliki
perhatian yang lebih untuk memperhatikan materi yang diajarkan. Alasan
yang diutarakan dari Susilowati bahwa ia lebih menekankan pada metode
bercerita karena ia menganggap metode inilah yang dianggapnya sesuai
dengan karakteristik peserta didik di SMA N 1 Semarang. Ia menjelaskan
bahwa
Murid-murid di sini sebagian besar berasal dari orang-orang kota. Orang tuanya juga rata-rata sibuk, jadi mereka tidak mendapatkan cerita-cerita sejarah dari orang tua mereka. Jadi di sini saya memposisikan diri untuk menggantikan orang tua bercerita tentang sejarah. Alasan itulah yang menyebabkan Susilowati (wawancara 20
Januari 2010) lebih menekankan aspek bercerita dalam pembelajaran
sejarah. Hal ini berlaku pula pada pembelajaran sejarah kontroversial,
tetapi dilakuan pula upaya untuk mengaitkan antara materi sejarah dengan
115
peristiwa aktual yang terjadi pada saat ini di sekitar peserta didik. Seperti
halnya ketika ia mengulas materi reformasi pada KD “menganalisis proses
berakhirnya pemerintah Orde Baru dan terjadinya reformasi” dan
“menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta perubahan
masyarakat di Indonesia pada masa reformasi” yang dikaitkan dengan
kehidupan politik pada saat ini.
Contohnya adalah ketika dijelaskan gambaran politik yang terjadi
pada saat ini memiliki kesamaan dengan peristiwa pada awal reformasi,
yakni ada dinamika dalam kondisi politik. Kasus Bank Century
menurutnya menjadi peristiwa kontekstual untuk dikaitkan dengan materi
tentang kondisi politik pascareformasi. Dijelaskan bahwa kondisi saat ini
dengan adanya kasus Bank Century dapat menjadi pemantik terjadinya
perubahan dalam aspek politik, sama halnya dengan peristiwa sebelum
reformasi.
Susilowati (wawancara 20 Januari 2010) menjelaskan bahwa
metode bercerita yang ia terapkan menuntut banyak persiapan dari guru. Ia
menyatakan bahwa
Guru harus memiliki bacaan yang banyak. Jadi tidak hanya membacakan buku teks. kalau kita membacakan buku teks, siswa akan acuh dengan kita. Karena toh siswa akan beranggapan bahwa jika materi sudah ada di buku teks mengapa harus memperhatikan guru. Jadi guru harus kreatif dalam menggali sumber-sumber baru.
Berbeda dengan Susilowati, Zainab Inawati (wawancara 20 Januari
2010) memiliki pandangan tentang pengajaran sejarah kontroversial yang
tidak menekankan pada aspek cerita saja. Pembelajaran sejarah selain
116
menekankan pada aspek cerita ia lebih memandang bahwa pembelajaran
sejarah kontroversial dengan pemanfaatan sumber-sumber mutakhir yang
terdapat di internet. Ia mengakui bahwa dalam pembelajaran, peserta didik
diberikan keleluasaan untuk lebih memanfaatkan internet. Pemanfaatan
perangkat multimedia yang telah tersedia secara lengkap di SMA N 1
Semarang memberi peluang lebih besar terhadap pembelajaran yang lebih
atraktif.
Terkait dengan aspek pemanfaatan situasi kekinian sebagai sumber
belajar, di SMA N 1 Semarang guru-guru berpandangan bahwa mereka
mengaitkan pembelajaran antara materi yang diajarkan dengan kondisi
kekinian, terutama dalam hal politik. Susilowati menyatakan bahwa ketika
memberikan materi tentang jatuhnya Soeharto dan peristiwa reformasi,
dikaitkan dengan situasi pada saat krisis dan merajalelanya korupsi.
Zainab Inawati (wawancara 19 Januari 2010) mengaitkan antara materi
dengan situasi kekinian. Contohnya adalah materi tentang perkembangan
VOC pada KD “Menganalisis perkembangan pengaruh Barat dan
perubahan ekonomi, demografi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat
di Indonesia pada masa kolonial”. Pada materi tersebut guru mengaitkan
antara runtuhnya VOC akibat korupsi dengan runtuhnya kekuasaan
Soeharto yang juga disebabkan oleh korupsi. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa materi tersebut dapat dimanfaatkan untuk memberikan gambaran
pada peserta didik bahaya korupsi yang dapat meruntuhkan sebuah
pemerintahan.
117
Sebuhungan dengan aspek pemanfaatan lingkungan sekitar sebagai
sumber belajar, Susilowati menyatakan bahwa memang lingkungan sekitar
masih belum dimanfaatkan dengan optimal. Disadari bahwa untuk
memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar tidak mudah
karena harus disesuaikan dengan SK dan KD yang berlaku. Dengan
demikian, lingkungan sekitar tidak dapat dimanfaatkan secara penuh. Hal
ini diakui pula oleh peserta didik ketika dikonfirmasi. Mereka juga masih
belum merasakan pemanfaatan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar,
terutama terkait dengan pembelajaran sejarah kontroversial.
Berkaitan dengan masalah pembelajaran yang dialogis, guru-guru
di SMA N 1 juga sepakat bahwa pembelajaran yang dialogis memberikan
kesempatan bagi peserta didik untuk lebih mengeksplorasi pendapat dan
pemikiran mereka. Susilowati menyatakan bahwa walaupun ia
menggunakan metode bercerita tidak berarti peserta didik tidak dilibatkan
dalam pembelajaran dan tidak dapat berperan pasif. Peserta didik masih
dapat berperan aktif dengan cara presentasi penugasan. Susilowati sering
memberikan tugas yang pada akhirnya dipresentasikan oleh peserta didik.
Contoh tugas yang diberikan adalah eksplorasi internet tentang G 30 S dan
materi-materi lainnya, seperti kehidupan politik pada tahun 1950-an,
proses reformasi, dan kehidupan politik pascareformasi.
Critical pedagogy mengulas hubungan antara kekuasaan dan
pendidikan. Tekait hal tersebut, ternyata ada beberapa pemahaman guru
yang tidak sama. Di SMA N 1 Semarang, guru mengakui bahwa tujuan
118
pendidikan sejarah memang terkait dengan upaya yang senada dengan
tujuan negara, yakni untuk mewujudkan warga negara yang baik. Dengan
demikian, memang ada keterkaitan antara tujuan pendidikan sejarah
dengan harapan yang diinginkan oleh pemerintah. Susilowati menyatakan
bahwa pemberlakuan KTSP merupakan salah satu bentuk konformitas
antara pembelajaran yang dilakukan dengan harapan yang diinginkan oleh
pemerintah. Dirinya berpandangan bahwa memang pemerintah memiliki
kekuasaan untuk menentukan materi yang akan diajarkan, yang tampak
dalam penyusunan SK dan KD untuk pelajaran sejarah. Namun demikian,
ia belum secara tegas memberikan gambaran tentang kepentingan dari
pihak pemerintah terkait dengan penyusunan materi yang diajarkan dalam
pembelajaran. ketika dikonfirmasi tentang penarikan buku ajar pada tahun
2007, ia mengakui hal itu bukan wewenang dari pihak sekolahan, sehingga
dirinya mengaku hanya mematuhi aturan yang berlaku (wawancara 7 April
2010). Namun demikian secara pribadi, diakui ada perasaan tidak sepakat
dengan penarikan dan pembakaran buku teks sejarah pada tahun 2007.
Menurutnya ini tindakan yang tidak patut untuk dilakukan oleh
pemerintah.
Pemahaman guru-guru sejrah di SMA N 5 Semarang terkait
dengan implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial telah cukup baik, walau ada beberapa bagian yang belum
optimal. Pemahaman tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek.
119
Ditinjau dari aspek pandangan guru terhadap tujuan pendidikan
sejarah, Suratno (wawancara 13 Januari 2010), guru sejarah kelas X,
berpandangan bahwa tujuan pendidikan sejarah adalah “agar peserta didik
dapat memaknai masa lalu”. Lebih lanjut lagi menurut Suratno
pembelajaran sejarah memiliki tujuan “agar siswa mengetahu dan
mengambil hikmah peristiwa yang terjadi”. Upaya pemaknaan terhadap
masa lampau bermanfaat agar siswa dapat mengambil pelajaran tentang
berbagai dampak yang terjadi dari sebuah peristiwa dan agar tidak
mengulangi peristiwa buruk yang pernah terjadi di masa lampau.
Selanjutnya, ia menambahkan bahwa
Berbagai konflik dan peperangan yang terjadi di masa lalu dapat jadi pelajaran yang bermakna bagi kita saat ini. Kita seharusnya dapat belajar dan memaknai peristiwa tersebut. Seperti peristiwa perebutan kekuasaan di masa kerajaan Hindu-Budha dapat dimaknai untuk kehidupan pada saat sekarang. (Wawancara 13 Januari 2010)
Pendapat Suratno tentang tujuan sejarah juga senada dengan Sri
Lestari, guru sejarah dari SMA N 5 Semarang, yang menyatakan bahwa
“sebenanya tujuan pendidikan sejarah adalah agar manusia menjadi
bijaksana” (wawancara 18 Januari 2010). Sejarah menurutnya adalah
sebuah pelajaran yang dapat memberikan nilai-nilai luhur bagi peserta
didik melalui kisah-kisah dan peristiwa pada masa lalu. Contohnya adalah
dalam SK “menganalisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa negara-
negara tradisional” terutama dalam KD “menganalisis perkembangan
kehidupan negara-negara kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia”. Pada KD
120
tersebut terdapat materi tentang pertikaian dan konflik yang terjadi pada
masa kerajaan. Konflik-konflik pada masa kerajaan antara Majapahit dan
Pajajaran menyebabkan hubungan diplomatik kedua kerajaan menjadi
terganggu. Sri Lestari (wawancara 18 Januari 2010)menjelaskan bahwa
“seharusnya kita dapat belajar dari masa lalu agar hal-hal buruk tidak
terulangi lagi”.
Mindarwati, guru sejarah dari SMA N 5 Semarang, yang
menyatakan bahwa “tujuan pendidikan sejarah adalah
menumbuhkembangkan rasa nasionalisme dan mengetahui peristiwa masa
lampau untuk panduan masa kini dan yang akan datang” (wawancara 13
Januari 2010). Menurutnya, nasionalisme menjadi hal yang sangat
ditekankan dalam pendidikan sejarah.
Terkait aspek tujuan pendidikan sejarah dan pengembangan
kesadaran dan sikap kritis, bagi guru di SMA N 5 Semarang, sejarah erat
kaitannya dengan kesadaran kritis. Mindarwati (wawancara 18 Januari
2010) menjelaskan bahwa sejarah erat kaitannya dengan kesadaran kritis
“karena dengan pola pikir dan sikap yang kritis, manusia akan mampu
menyelesaikan persoalan pribadi maupun bangsa dengan cepat dan tepat”.
Kemudian, Sri Lestari (wawancara 18 Januari 2010) menjelaskan bahwa
“ketika peserta didik memiliki kesadaran kritis, ia akan mampu melihat
secara lebih menyeluruh, dan dapat menilai mana yang benar dan mana
yang salah” (wawancara18 Januari 2010). Lebih lanjut lagi ia berpendapat
121
bahwa “dengan adanya pola pikir dan sikap kritis, siswa dapat berinteraksi
dan berdiskusi dengan baik”.
Pada materi tentang peristiwa politik tahun 1950, pada KD
“menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta perubahan
masyarakat di Indonesia dalam upaya mengisi kemerdekaan” peserta didik
mengungkapkan gagasan dan pendapatnya tentnag gejolak politik pada
saat itu.
Mindarwati (wawancara 21 Januari 2010) memberikan penjelasan
bahwa sikap kritis yang dibangun melalui pendidikan sejarah dapat diraih
dengan mengajarkan fakta-fakta sejarah tanpa kebohongan. Ia melihat
bahwa adanya fakta-fakta yang masih belum jelas justru akan membangun
sikap kritis dari peserta didik. secara gambalang disebutkan bahwa “kalau
ada peristiwa dengan beberapa versi, siswa jadi berpikir mengapa muncul
versi-versi itu. Siswa diajak untuk berpikir tentang sebuah kebenaran”.
Menurutnya, sikap kritis peserta didik tersebut tampak dari antusiasme
pada saat pembelajaran, baik melalui aktivitas diskusi ataupun tanya
jawab.
Materi-materi sejarah menurut Mindarwati (wawancara 21 Januari
2010) memiliki potensi untuk melatih peserta didik menjadi kritis. Hal ini
tampak pada materi tentang perkembangan politik Indonesia pada masa
demokrasi terpimpin pada KD “Menganalisis perkembangan politik dan
ekonomi serta perubahan masyarakat di Indonesia dalam upaya mengisi
kemerdekaan” di kelas XII IPS. Pada materi tersebut, peserta didik dilatih
122
untuk dapat menanggapi berbagai macam perubahan yang terjadi secara
cepat, terutama perubahan kabinet dan dinamika politik.
Ditinjau dari tanggapan guru terhadap kontroversi sejarah,
Mindarwati (wawancara 21 Januari 2010) menjelaskan bahwa alasannya
mengemukakan pandangan bahwa materi sejarah kontroversial memiliki
peran terhadap sikap kritis peserta didik adalah karena
Melalui sejarah kontroversial, kita jadi paham tentang sesuatu secara lebih menyeluruh. Kita juga jadi tahu bahwa ada berbagai macam versi yang melihat sebuah peristiwa. Sehingga, kita jadi belajar melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.
Mindarwati mengakui memiliki inisiatif untuk mengajarkan sejarah
kontroversial kepada peserta didik. Materi-materi kontroversial terutama
yang termasuk materi kontemporer. Selain itu, Sri Lestari (wawancara 21
Januari 2010) berpendapat bahwa materi sejarah kontroversial memiliki
relevansi terhadap pengembangan skap kitis peserta didik karena “mereka
mendapat pelajaran untuk melangkah ke depan lebih siap tantangan”.
Selanjutnya terkait dengan pengajarannya di dalam kelas Sri Lestari
(wawancara 24 Februari 2010) berpandangan bahwa upaya mengajarkan
materi G 30 S tetap diajarkan karena merupakan bagian dari perjalanan
sejarah bangsa Indonesia. Oleh karena itu, agar peserta didik memahami
sejarah Indonesia secara menyeluruh ia berpendapat bahwa sejarah
kontroversial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pembelajaran
sejarah di sekolah.
123
Mindarwati (wawancara 24 Februari 2010) memiliki inisiatif untuk
mengajarkan materi-materi kontroversial seperti Gerakan 30 September.
Saat mengajarkan materi ini Mindarwati menjelaskan versi selain PKI
sebagai pelaku utamanya, yakni Soeharto dan Sukarno. Dalam wawancara
ia juga memberikan penjelasan bahwa di kelas XI ia juga mengajarkan
kontroversi tentang asal usul Gajah Mada, kontroversi tentang keberadaan
Kraton Demak, serta kontroversi tentang tokoh penyebar Islam di Jawa,
yakni tentang Syeh Siti Jenar.
Kontroversi tentang Gajah Mada terdapat dalam KD “menganalisis
perkembangan kehidupan negara-negara kerajaan Hindu-Buddha di
Indonesia”. Dijelaskan bahwa Gajah Mada bukan orang Jawa asli,
melainkan dari daerah Sumatera Utara. Hal ini dapat dilihat dari
rekonstruksi Gajah mada yan tidak menunjukkan tampilan orang Jawa.
kontroversi keberadaan Kraton Demak dan Syeh Siti Jenar terdapat dalam
KD “menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara, kerajaan-
kerajaan Islam di Indonesia”. Kontroversi keberadaan Kraton Demak
dijelaskan Mindarwati dengan menanyakan pada peserta didik di mana
sebenarnya posisi Kraton Demak yang sampai kini masih belum
ditemukan.
Secara tegas Mindarwati (wawancara 24 Februari 2010)
berpendapat bahwa materi kontroversial memiliki potensi untuk
membangun pola pikir dan sikap kritis peserta didik. Melalui pengajaran
sejarah kontroversial, ia beranggapan bahwa peserta didik berlatih untuk
124
melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Kemudian untuk
mewujudkan pembelajaran sejarah kontroversial yang mampu
memberikan kesadaran kritis peserta didik, ia berpendapat bahwa
pembelajaran yang dua arah akan lebih mewujudkan efektivitas
pencapaian tujuan. Suasana yang dialogis dalam kelas menurutnya
menjadi sebuah prasyarat untuk mewujudkan sikap kritis peserta didik.
Suasana yang dialogis dalam kelas tampak ketik peserta didik
secara aktif memberikan tanggapan-tanggapan tehadap permasalahan
kontroversial. Melalui kegiatan tanyajawab proses dialogis terwujud dalam
pendidikan sejarah. Diskusi dilakukan pula untk mewujudkan kondisi
yang dialogis. Diskusi dilakukan dengan memberi peserta didik penugasan
untuk dipresentasikan. Pada materi Gerakan 30 September tahun 1965
kelas dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mencari sumber dari
internet tentang versi-versi peristiwa tersebut.
Di SMA N 5 Semarang guru memandang bahwa dalam
pembelajaran upaya mengaitkan antara materi dengan kejadian-kejadian
aktual adalah sesuatu yang penting. Ini bertujuan agar pembelajaran
menjadi lebih bermakna. Mindarwati (wawancara 24 Februari 2010)
menjelaskan bahwa dirinya sering memanfaatkan metode diskusi dan
tanya jawab dalam pembelajaran, terutama dalam pembelajaran sejarah
kontroversial. Pada materi tentang G 30 S, guru secara aktif bertanya pada
peserta didik sebagai umpan balik agar proses belajar dalam kelas terjadi
secara dua arah. Baginya tidak masalah apabila keadaan kelas menjadi
125
ramai, karena yang diharapkan dengan kondisi yang semarak kondisi kelas
menjadi hidup.
Senada dengan itu, Sri Lestari (wawancara 24 Februari 2010)
menyatakan bahwa pembelajaran sejarah kontroversial dilakukan melalui
diskusi. Sebelum diskusi peserta didik ditugaskan untuk membuat makalah
tentang materi tertentu, misalnya adalah tentang G 30 S. Pada materi
tersebut setelah peserta didik membuat tugas, peserta didik dipersilakan
untuk presentasi dari tugas yang telah dibuat.
Terkait masalah kontekstualisasi materi dengan kondisi kekinian,
guru sejarah di SMA N 5 Semarang memandang bahwa harus ada
keterkaitan antara materi yang diajarkan dengan kondisi aktual pada saat
ini. Sri Lestari (wawancara 24 Februari 2010) menyatakan bahwa dalam
pembelajaran, ada materi-materi yang dapat dikaitkan dengan kehidupan
pada saat ini. Pada kelas XII IPA, berbagai permasalahan lingkungan
terkait dengan revolusi hijau pada KD “menganalisis perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di Indonesia” dapat dikaitkan dengan isu
tentang global warming dan berbagai akibat yang ditimbulkannya. Pada
kelas XII IPS, Mindarwati (wawancara 24 Februari 2010) menyataan
bahwa di kelas tersebut banyak materi yang dapat dikaitkan dengan
kehidupan pada masa kini, karena banyak peristiwa yang menurutnya
sangat relevan dengan kondisi pada saat ini.
Contoh yang dapat dikaitkan adalah tentang pemilihan umum 1955
pada KD “Menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta
126
perubahan masyarakat di Indonesia dalam upaya mengisi kemerdekaan”
dikaitkan dengan pemilihan umum 2009, selain itu terdapat pula materi
tentang perubahan politik dari Sukarno ke Soeharto dapat dikaitkan
dengan upaya perebutan kekuasaan melalui berbagai cara. Kemudian pada
peristiwa runtuhya Soeharto dan Reformasi pada KD “menganalisis proses
berakhirnya pemerintah Orde Baru dan terjadinya reformasi” dapat
dikaitkan dengan peristiwa krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2009,
selain itu dapat dikaitkan pula dengan korupsi yang terjadi pada saat ini.
Terkait dengan pemanfaatan lingkungan sekitar, guru masih
mengalami kendala. Kendala yang ditemui adalah tidak semua materi
dapat dikaitkan dengan lingkungan sekitar. Terkait dengan masalah
sejarah lokal Mindarwati (wawancara 24 Februari 2010) menyatakan
bahwa upaya mengaitkan antara lingkungan sekitar peserta didik dengan
materi hanya pada pokok bahasan tertentu seperti tentang pertempuran
lima hari, di mana tedapat monumen peringatan yang terdapat di sekitar
sekolah, yakni Tugu Muda. Materi tentang pertempuran lima hari di
Semarang tercantum dalam KD “Menganalisis perjuangan bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari ancaman disintegrasi
bangsa terutama dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan (antara lain:
PKI Madiun 1948, DI/TII, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-
S/PKI)”. Selain itu pada materi tentang masa kolonialisme, terutama pada
KD “Menganalisis perkembangan pengaruh Barat dan perubahan
ekonomi, demografi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat di
127
Indonesia pada masa kolonial” dapat dikatkan dengan kawasan kota lama
Semarang, termasuk gedung Lawang Sewu yang teletak tidak jauh dari
SMA N 5 Semarang.
Ditinjau dari aspek peran pemerintah dalam pendidikan sejarah,
Mindarwati (wawancara 6 April 2010) menyatakan bahwa memang ada
kecenderungan pemerintah dalam melakukan upaya membuat sejarah yang
belum apa adanya. Dirinya menjelaskan bahwa pernah mengikuti acara
pelatihan guru-guru di Jakarta, dan di sana ia melontarkan kritik tentang
upaya perumusan materi yang belum menyeluruh, termasuk dalam materi
sejarah kontroversial yang masih belum diakomodasi secara penuh.
Mindarwati memang dikenal sebagai guru yang kritis, sehingga dirinya
juga cukup kritis dalam memandang upaya reproduksi pengetahuan yang
dilakukan oleh pemerintah, terutama pada kasus penarikan buku ajar yang
menurutnya sangat berbau politis (wawancara 6 April 2010). Dengan
pembakaran buku-buku ajar tahun 2007, ia melihat ada hal yang berusaha
untuk ditutupi oleh pemerintah, khususnya tentang peristiwa Gerakan 30
September. Untuk itu, dalam praksis telah disesuaikan materinya oleh
pemerintah, walaupun masih tetap berani disampaikan versi-versi yang
beraneka ragam, seperti versi Soeharto sebagai aktor yang ada di belakang
Gerakan 30 September.
Di SMA N 12 Semarang, pemahaman guru tentang impelmentasi
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial dapat ditinjau
dari beberapa aspek. Dilihat dari aspek tujuan pendidikan sejarah, Heri
128
Rohayuningsih (Wawancara 12 januari 2010), guru sejarah kelas XII IPS
dan kelas X menyatakan pendapat tentang tujuan pendidikan sejarah
bahwa
Tujuan pelajaran sejarah menurut saya adalah mengenalkan kepada siswa fakta-fakta setiap peristiwa sejarah yang pernah terjadi, meningkatkan kesadaran sejarah para siswa, serta meningkatkan nasionalisme siswa.
Menurutnya, pelajaran sejarah juga memiliki peran penting dalam
membangun karakter bangsa. Hal ini karena dengan sejarah, siswa diajak
untuk memaknai kehidupan pada masa lampau serta melihat apa makna di
balik peristiwa tersebut. Fakta tentang kejayaan dan perjuangan bangsa
Indonesia pada masa lalu merupakan materi yang sangat relevan terhadap
upaya menumbuhkan rasa kebanggaan dan cinta terhadap tanah air. Materi
tentang kejayaan kerajaan masa lalu tercantum dalam KD “menganalisis
perkembangan kehidupan negara-negara kerajaan Hindu-Buddha di
Indonesia” dan “menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara,
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia”.
Heri Rohayuningsih (wawancara 18 Januari 2010) menyatakan
bahwa “pola pikir dan sikap kritis membuat KBM (kegiatan belajar
mengajar) berjalan tidak hanya satu arah, sehingga KBM hidup dan
menarik, siswa juga mudah untuk memahami materi”. Kemampuan
peserta didik menjadi kritis tampak dari adanya peserta didik yang antusias
dan menanggapi permasalahan sejarah, khususnya sejarah kontemporer.
Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa peristiwa sejarah kontemporer seperti
129
sejarah tentang reformasi dapat melatih peserta didik untuk berpikir secara
kritis. Pada materi tentang reformasi yang tercantum dalam KD
“menganalisis proses berakhirnya pemerintah Orde Baru dan terjadinya
reformasi” dan “menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta
perubahan masyarakat di Indonesia pada masa reformasi” peserta didik
memiliki rasa ingin tahu tentang faktor yang menyebabkan peristiwa
reformasi. Rasa ingin tahu inilah yang menurut Heri Rohayuningsih
menjadi aspek yang melatih peserta didik untuk memiliki kesadaran kritis.
Terkait dengan hal sejarah kontroversial dan upaya pengembangan
kesadaran kritis, Heri Rohayuningsih (wawancara 23 Januari 2010)
berpandangan bahwa sejarah kontroversial memiliki potensi dalam
membangun pola pikir kritis peserta didik. Akan tetapi, dalam
pembelajaran ia hanya kadang-kadang saja dalam mengajarkan sejarah
kontroversial, seperti materi tentang G 30 S atau Supersemar “kadang,
tergantung dari situasi dan kondisi”.
Heri Rohayuningsih (wawancara 23 Januari 2010) menambahkan
bahwa munculnya sikap kritis di kalangan peserta didik jika dikaitkan
dengan pembelajaran sejarah kontroversial disebabkan “dalam diri siswa
muncul keingintahuan yang besar”. Keingintahuan yang besar di kalangan
peserta didik adalah faktor yang mendorong tumbuhnya sikap untuk
mencari jawaban-jawaban terhadap sebuah permasalahan. Ini pulalah yang
menjadi optimisme guru bahwa pada usia-usia SMA (antara 16-18 tahun)
130
peserta didik telah memiliki kemampuan yang cukup untuk mencerna
materi-materi secara kritis.
Ditinjau dari aspek penerapan metode pembelajaran, guru sejarah
mengakui bahwa dirinya sering manerapkan metode diskusi, bahkan kuis
pada peserta didik. Kuis yang diterapkan oleh Heri Rohayuningsih
(wawancara 24 Februari 2010) berupa pertanyaan-pertanyaan sederhana
yang dilontarkan pada peserta didik yang berisi fakta-fakta sejarah, seperti
“apa saja 4 besar partai pemenang pemilu 1955?”. Melalui metode kuis
diakui bahwa peserta didik berani untuk berbicara di kelas. Dengan
demikian, kuis dapat berfungsi sebagai umpan balik guru sekaligus
stimulus bagi peserta didik. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa proses ini
telah berjalan secara dialogis. Selain itu khusus pada materi kontroversial
guru juga menerapkan metode diskusi, tetapi hanya bersifat kadang-
kadang.
Dalam memberikan tambahan agar materi tentang sejarah
kontroversial agar dapat dipahami secara mendalam oleh peserta didik,
Heri Rohayuningsih (wawancara 24 Februari 2010) menjelaskan bahwa
dirinya menerapkan metode penilaian proyek, yakni dengan memberikan
penugasan, biasanya dalam bentuk makalah yang kemudian makalah
tersebut dipresentasikan oleh peserta didik. Namun demikian, ia belum
menerapkan metode debat sebagai metode untuk pembelajaran sejarah
kontroversial. Debat yang terjadi menurutnya hanya sebatas pada adu
argumentasi pada saat peserta didik berdiskusi.
131
Ditinjau dari aspek pemanfaatan lingkungan sekitar dalam
pembelajaan, Heri Rohayuningsih (wawancara 24 Februari 2010)
menyatakan bahwa hanya pada materi-materi tertentu saja lingkungan
sekitar dimanfaatkan, seperti ketika ia mengulas tentang folklore pada KD
“mendeskripsikan tradisi sejarah dalam masyarakat Indonesia masa pra-
aksara dan masa aksara”. Pada materi tersebut ia memberikan gambaran
folklore tentang Goa Kreo.
Pada materi kontroversial, belum dimanfaatkan lingkungan sebagai
sumber belajar karena ketidaksesuaian antara materi dengan lingkungan.
Namun, ada beberapa materi yang diangkat antara kebijakan-kebijakan
Sukarno tentang konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1960-an pada
KD “menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta perubahan
masyarakat di Indonesia dalam upaya mengisi kemerdekaan” dengan
peristiwa klaim yang dilakukan oleh Malaysia terhadap beberapa hasil
kebudayaan Indonesia dan pelanggaran batas negara.
Berhubungan dengan masalah peran pemerintah, Heri
Rohayuningsih (wawancara 7 April 2010) memandang bahwa pemerintah
memiliki kewenangan dalam membuat kurikulum dan menentukan materi
apa yang diajarkan, sehingga digunakan buku dan sumber yang sesuai
dengan apa yang telah dianggap “resmi” oleh pemerintah. Dalam
pembelajaran, dimanfaatkan sumber LKS yang isinya menyalahkan PKI
sebagai sumber dan penggerak tunggal peristiwa Gerakan 30 September.
Terkait dengan penarikan buku ajar yang dilakukan pemerintah, ia
132
memandang bahwa hal tersebut adalah wewenang pemerintah, walaupun
secara pribadi ada ketidaksepakatan karena hal itu memberikan kesan yang
negatif.
Dari gambaran yang telah disajikan di atas, tampak bahwa guru-
guru secara pribadi telah menerima critical pedagogy sebagai pendekatan
pembelajaran sejarah kontroversial, walau dalam pelaksanaannya tidak
dapat dilaksanakan secara penuh. Namun demikian, apabila ditinjau dari
produk yang dihasilkan oleh guru-guru sejarah dalam mengulas peristiwa
sejarah kontroversial, terutama tentang materi Gerakan 30 September
tampak adanya kesan guru sejarah memihak dan memberikan justifikasi
kebenaran terhadap satu versi saja.
Pada Lembar Kerja Siswa (LKS) yang disusun oleh MGMP
Sejarah Kota Semarang terdapat indikator yang menytakan tentang
peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965. Indikator yang dijadikan
landasan tujuan pembelajaran pada LKS tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Mengidentifikasi strategi politik PKI masa demokrasi liberal dan terpimpin; (2) Mengidentifikasi aksi-aksi sepihak PKI sebelum G 30 S/PKI 1965; (3) menunjukkan kaitan antara Gerakan 30 September dengan Dewan Revolusi; (4) Menjelaskan Gerakan 30 September PKI telah melakukan perebutan kekuasaan yang sah; (5) Mengidentifikasi nama-nama dalang di balik Gerakan 30 September PKI; (6) Menganalisa kebenaran isu adanya dokumen Gilchrist; (7) Menerangkan proses pengangkatan jenazah korban kebiadaban PKI di Lubang Buaya; (8) Menyebutkan upaya-upaya penumpasan G 30 S/PKI 1965; (9) Mengakibatkan akibat sosial politik G 30 S/PKI 1965; (10) Mengidentifikasi adanya bahasa laten komunis. (Tim Penyusun MGMP Sejarah Kota Semarang, 2008: 22)
133
LKS tersebut disusun secara mandiri oleh MGMP Sejarah Kota
Semarang dan didistribusikan di SMA-SMA di Kota Semarang. Di SMA
N 1 Semarang LKS tersebut tidak dimanfaatkan karena guru
menggunakan buku yang lain, selain itu juga menurut Susilowati SMA N
1 tahun ini tidak mendapatkan jatah (wawancara 7 April 2010).
b. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah
Kontroversial
Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial dapat dilihat dari beberapa aspek, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, dan faktor-faktor pendukung pembelajaran.
Mengingat beragamnya materi sejarah kontroversial yang berkembang dan
dapat menjadi materi ajar dalam pembelajaran, penelitian ini terbatas pada
pembelajaran materi Gerakan 30 September pada kelas XII IPS yang
termasuk dalam standar kompetensi “menganalisis perjuangan bangsa
Indonesia sejak proklamasi hingga lahirnya Orde Baru” dan pada
kompetensi dasar “menganalisis perjuangan bangsa Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan dari ancaman disintegrasi bangsa terutama
dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan (antara lain: PKI Madiun
1948, DI/TII, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI)”.
Pelaksanaan pembelajaran untuk KD ini adalah pada semester gasal.
Perencanaan pembelajaran mulai dari penyusunan program
tahunan, program semester, silabus, dan RPP khususnya indikator disusun
134
berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar sebagaimana
tercantum dalam lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Di SMA N 1 Semarang, guru menyusun perangkat pembelajaran
secara mandiri, tetapi tidak terlepas dari contoh yang telah dikembangkan
sebelumnya. Hal tersebut tampak dari adanya indikator yang mirip dengan
contoh silabus yang dibuat secara top down dari pemerintah. Dengan
demikian, ada kecenderungan guru hanya melakukan copy paste dalam hal
indikator pembelajaran yang dikembangkan, sedangkan untuk RPP telah
disusun sendiri.
Di SMA ini, pembelajaran materi G 30 S dilakukan oleh
Susilowati. Di dalam silabus dan RPP, materi ini dirancang untuk 4 kali
tatap muka dengan alokasi keseluruhan 6 X 45 menit. Pertemuan pertama
dirancang untuk 2 X 45 menit dengan indikator “mendeskripsikan
terjadinya peristiwa G-30-S-1965/ PKI” pertemuan kedua dengan lokasi 1
X 45 menit untuk indikator “menganalisis beberapa pendapat tentang
peristiwa G-30-S-1965/ PKI”. Pertemuan ketiga dengan alokasi 2 X 45
menit untuk indikator “mendeskripsikan dampak sosial-politik dari
peristiwa G-30-S-1965/ PKI di dalam masyarakat”, dan pertemuan
keempat dirancang untuk 1 X 45 menit dengan indikator
“Mendeskripsikan proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G-
30-S-1965/ PKI”.
135
Sebelum memasuki materi Gerakan 30 September, ada beberapa
tujuan dari pelaksanaan pembelajaran yang terkait dengan peristiwa
sebelum terjadinya Gerakan 30 September, yaitu: (1) Siswa mampu
mendeskripsikan gejolak sosial di berbagai daerah pada awal
kemerdekaan; (2) Siswa dapat mendeksripsikan hubungan disintegrasi
bangsa dengan terjadinya pergolakan dan pemberontakan (dalam RPP
tahun 2009). Dua tujuan inilah yang menjadi landasan awal bagi guru
untuk kemudian melanjutkan materinya dengan pokok bahasan tentang
peristiwa tahun 1965 (wawancara dengan Susilowati, 20 Januari 2010).
Tatap muka pertama dirancang dengan metode ceramah. Kegiatan
ceramah mengulas tentang konstruksi terjadinya peristiwa Gerakan 30
September. Guru menjelaskan kronologi tejadinya peristiwa diawali
dengan latar belakang kondisi, tahapan terjadinya penculikan, dan
tindakan yang dilakukan oleh militr untuk menumpasnya. Pada pertemuan
kedua, kelas dibagi dalam beberapa kelompok kecil dan mendiskusikan
dua pendapat tentangtejadinyaperistiwa Gerakan 30 September. Pendapat
pertama adalah pendapa bahwa PKI menjadi penggerak, sedangan
pendapat kedua pendapat yang menyatakan bahwa ada keterlibatan unsur
di dalam tubuh militer itu sendiri. Tatap muka ketiga dan keempat
mengulas tentang dampak sosial-politik dari peristiwa Gerakan 30
September dan perubahan politik yang terjadi sesudahnya. Pertemuan
dirancang dengan metode ceramah bervariasi.
136
Guru pada praksis pembelajarannya menggunakan beberapa
metode pembelajaran, yakni ceramah bervariasi, diskusi, serta
memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar secara mandiri. Dari
pengamatan yang dilakukan di kelas XII IPS, pada awal pembelajaran
guru telah melakukan apersepsi dengan mengaitkan materi lalu dengan
materi saat ini, menerangkan tujuan pembelajaran, serta memaparkan
sumber-sumber yang dapat dijadikan referensi. Di dalam pembelajaran.
guru lebih menekankan pada aspek bercerita. Guru menceritakan
kronologi peristiwa Gerakan 30 September 1965 mulai dari latar belakang,
proses sampai proses penculikan. Pada pembelajaran bercerita, guru
memberikan umpan balik pada peserta didik dengan mengajukan
pertanyaan “bagaimana tanggapan kalian”. Sebelum akhir pertemuan ada
session khusus bagi peserta didik untuk bertanya.
Sebagian pertemuan digunakan guru untuk menjelaskan materi
dengan ceramah, diskusi di dalam kelas, dan mengerjakan latihan.
Pelaksanaan diskusi dilakukan pada saat materi pembelajaran mengulas
tentang pendapat-pendapat berkaitan dengan peristiwa tahun 1965. Diskusi
dilakukan dengan memberikan kesempatan pada peserta didik untuk
mengemukakan pendapatnya tentang sebuah versi, kemudian ditanggapi
oleh peserta didik lain dan guru. Versi yang didiskusikan adalah versi
bahwa pelaku adalah PKI dan versi tetang Angkatan Darat. Bentuk latihan
yang diberikan oleh guru berupa soal yang terdapat dalam buku teks dan
LKS.
137
Ditinjau dari aspek peserta didik, kualifikasi dan standar akademik
yang dimiliki SMA ini lebih tinggi daripada sekolah lain. Susilowati
(wawancara19 Januari 2010) menyatakan bahwa
Siswa di sini saya rasa secara akademis telah lebih baik daripada kelas yang lain … saya pernah pula mengajar di SMA yang lain, dan keadaannya (peserta didiknya) jauh dari SMA 1. Kalau di sini siswanya sudah melalui penyaringan yang ketat, jadi in put siswa cukup matang untuk menerima materi kontroversial.
Peserta didik (wawancara 20 Januari 2010) telah mengetahui
bahwa bahwa peristiwa Gerakan 30 September adalah peristiwa yang
kontroversial karena ada beberapa pendapat berkaitan dengan peristiwa
Gerakan 30 September, namun masih belum dipahami secara keseluruhan
pendapat yang berbeda tersebut.
Sumber-sumber belajar yang digunakan untuk pembelajaran terdiri
atas buku teks yang ditulis I Wayan Badrika (2009) terbitan Erlangga serta
beberapa buku referensi seperti buku Abu Bakar Lubis (1995) berjudul
Kilas balik Revolusi: Kenangan, Pelaku, dan Saksi terbitan Penerbit
Universitas Indonesia. Selain itu buku referensi yang digunakan adalah
buku tulisan Ricklefs (1999) terbitan Universitas Gadjah Mada berjudul
Sejarah Indonesia Modern.
Sarana pendukung lain yang digunakan guru dalam proses
pembelajaran sejarah kontroversial adalah dengan memanfaatkan sumber-
sumber berkaitan dengan peristiwa Gerakan 30 September dari media
massa, seperti surat kabar dan internet. Hal ini terlihat dengan adanya
penugasan yang diberikan oleh guru kepada peserta didik untuk mencari
138
kliping di media massa, baik surat kabar atau di internet. Dengan demikian
peserta didik diharapkan mampu untuk menggali informasi secara mandiri
dari hal-hal yang ada di sekitarnya.
Dalam evaluasi guru tidak hanya berpatokan pada ujian tes saja,
tetapi juga dengan penugasan-penugasan serta sikap pada saat
pembelajaran berlangsung. Salah satu tugas yang diberikan adalah dengan
menugasi peserta didik menyusun kliping dari surat kabar dan internet
tentang peristiwa Gerakan 30 September.
Di SMA N 5 Semarang, pembelajaran sejarah untuk materi terkait
peristiwa G 30 S dilaksanakan sebanyak 4 kali pertemuan. Indikator di
SMA ini sama dengan SMA N 1 Semarang. Masing-masing pertemuan
terbagi dalam alokasi waktu yang berbeda. Pertemuan minggu pertama
mengulas indikator (1) menganalisis satu hipotesis terjadinya peristiwa G
30 S 1965/PKI yang diajarkan selama 1 X 45 menit, dan (2)
membandingkan dua pendapat tentang terjadinya peristiwa G 30 S
1965/PKI, yang diajarkan selama 2 X 45 menit. Minggu kedua mengulas
indikator “(1) mendeksripsikan dampak sosial politik dari peristiwa G 30 S
1965/PKI dalam masyarakat, dan (2) mendeskripsikan proses kekuasaan
politik setelah peristiwa G 30 S 1965/PKI” (RPP tahun 2009).
Penyusunan perencanaan secara mandiri karena SMA N 5
Semarang termasuk dalam Sekolah Kategori Mandiri (SKM) yang
menuntut penyusunan perangkat secara mandiri. Akan tetapi dari
perangkat yang disusun oleh guru tampak adanya kesamaan-kesamaan
139
dalam merumuskan tujuan pembelajaran dengan tujuan yang hendak
dicapai di SMA N 1 Semarang. Dengan demikian, tampak adanya kesan
bahwa penyusunan indikator belum mandiri, karena diambil dari contoh
yang telah disusun oleh pusat. Namun demikian dalam penyusunan silabus
dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), guru telah membuatnya
secara mandiri, dengan format berbeda dengan contoh yang disusun oleh
pusat.
Sebelum memasuki materi G 30 S, materi yang diajarkan adalah
(1) gejolak sosial di berbagai daerah pada awal kemerdekaan, serta (2)
hubungan disintegrasi bangsa dengan terjadinya pergolakan dan
pemberontakan. Materi tersebut menjadi dasar bagi guru untuk memulai
materi tentang G 30 S.
Pelaksanaan pembelajaran pada pertemuan pertama dan kedua
dirancang dengan perpaduan antara ceramah dan diskusi. Ceramah
dilakukan guru untuk menjelaskan kondisi politik Indonesia tahun 1960-an
dan kronologi peristiwa Gerakan 30 September. Ceramah dilakukan
selama satu pertemuan dengan alokasi waktu 1 X 45 menit. Pertemuan
kedua menekankan pada aspek diskusi dengan mengulas dua versi tentang
peristiwa Gerakan 30 September, yakni versi dari pemerintah yang
menyatakan pelaku adalah PKI dan versi yang menyatakan tokoh sentral
adalah Soeharto. Alokasi waktu pada pertemuan kedua selama 2 X 45
menit. Pertemuan ketiga dan keempat tentang dampak sosial politik
140
peristiwa Gerakan 30 September ditekakan metode ceramah dengan total
alokasi waktu 3 X 45 menit.
Guru pada praksis pembelajarannya menggunakan beberapa
metode pembelajaran, yakni ceramah bervariasi dan diskusi. Pada awal
pembelajaran guru telah melakukan apersepsi dengan mengulas secara
singkat materi minggu lalu. Sebagian pertemuan digunakan guru untuk
menjelaskan materi dengan ceramah dan dilanjutkan diskusi di dalam
kelas. Pelaksanaan diskusi dilakukan pada saat materi pembelajaran
mengulas tentang pendapat-pendapat berkaitan dengan peristiwa tahun
1965. Diskusi dilakukan dengan memberikan kesempatan pada peserta
didik untuk mengemukakan pendapatnya tentang sebuah versi, kemudian
ditanggapi oleh peserta didik lain dan guru.
Pada saat ceramah dijelaskan beberapa peristiwa yang
melatarbelakangi terjadinya Gerakan 30 September 1965, seperti dinamika
politik, masalah ekonomi, dan pandangan politik Sukarno tentang konsep
Nasakom. Dalam pembelajaran guru memberikan kesempatan pada
peserta didik untuk mengungkapkan pendapatnya. Guru memberikan
uman balik berupa pertanyaan yang memancing tanggapan dari peserta
didik, seperti “bagaimana menurut kalian pandangan politik Nasakom-nya
Sukarno”. Melalui pertanyaan itu peserta didik diajak untuk memikirkan
dan menanggapi latar belakang pemikiran Sukarno yang menjadi
background peristiwa Gerakan 30 September 1965.
141
Dikaiikan dengan kondisi psikologis peserta didik, Mindarwati
menyatakan bahwa peserta didik telah memiliki bekal untuk menerima
materi-materi kontroversial. Namun ia juga berpendapat bahwa daya
pengangkapan dan pengolahan informasi bagi peserta didik di kelas IPS
tidak sebaik di kelas IPA.
Di SMA N 5 Semarang ketika dilakukan wawancara dengan
beberapa peserta didik, mereka telah mengetahui sisi kontroversial
peristiwa Gerakan 30 September tetapi masih belum memahami secara
keseluruhan pendapat-pendapat yang berbeda itu.
Sumber-sumber belajar yang digunakan dalam pembelajaran terdiri
atas buku teks yang disusun oleh Pemerintah Kota Semarang, buku teks
ditulis oleh I Wayan Badrika (2009) terbitan Erlangga. Sarana pendukung
lain yang digunakan guru dalam proses pembelajaran sejarah kontroversial
adalah dengan memanfaatkan internet untuk mendapatkan sumber-sumber
mutakhir terkait peristiwa G 30 S.
Pada materi ini ada beberapa penugasan yang diberikan, yakni
dengan membuat materi presentasi tentang peristiwa G 30 S, mengerjakan
LKS tentang peristiwa G 30 S, membuat resume tentang dampak sosial
politik dari peristiwa G 30 S di dalam masyarakat. Dalam hal evaluasi
guru tidak hanya berpatokan pada ujian tes saja, tetapi juga dengan
penugasan-penugasan serta sikap pada saat pembelajaran berlangsung.
Salah satu penugasan yang diberikan oleh guru adalah dengan menugasi
peserta didik menyusun makalah tentang peristiwa G 30 S.
142
Di SMA N 12 Semarang, pembelajaran materi G 30 S diajarkan
oleh Heri Rohayuningsih. Penyusunan perencanaan dilakukan secara
mandiri oleh guru berdasar pada kebutuhan peserta didik. dalam
penyusunannya, guru melibatkan dari MGMP untuk menyusun perangkat
tersebut. Dalam penyusunannya, tampak adanya kesan bahwa penyusunan
indikator belum mandiri, karena diambil dari contoh yang telah disusun
oleh pusat, termasuk dalam penyusunan silabus dan RPP.
Di dalam RPP, materi G 30 S dirancang untuk 3 kali tatap muka
dengan alokasi keseluruhan 5 X 45 menit. Pertemuan pertama dirancang
untuk 2 X 45 menit untuk materi peristiwa Gerakan 30 September 1965
dan peralihan kekuasaan politik, dengan indikator (1) Mendeskripsikan
berbagai peristiwa yang mendorong terjadinya Gerakan 30 September
1965; (2) mendeskripsikan kronologis peristiwa Gerakan 30 September
1965; (3) menganalisis sikap dan tindakan pemerintah dalam
menyelesaikan gerakan 30 September 1965. Pertemuan kedua dan ketiga
dengan alokasi waktu 3 X 45 menit dengan indikator (1) mendeskripsikan
dampak peristiwa G 30 S/PKI/1965 bagi pemerintah dan masyarakat, (2)
mendeskripsikan peristiwa peralihan kekuasaan politik pasca G 30 S/PKI.
Pada pertemuan pertama di tahap awal guru memberikan
pertanyaan tetang peristiwa G 30 S. Selanjutnya guru menerangkan
tentang berbagai peristiwa yang mendorong terjadinya peristiwa,
kronologis terjadinya peristiwa dan sikap serta tindakan pemerintah dalam
menyelesaikan gerakan tersebut. Pada pertemuan ini guru memberikan
143
penugasan pada peserta didik untuk meresume tentang “peristiwa G 30 S
PKI”.
Pada pertemuan kedua, pada awalnya guru memberikan pertanyaan
tentang dampak peristiwa G 30 S, kemudian menjelaskan materi tentang
peristiwa yang terjadi setelah G 30 S, seperti pembubaran PKI melalui
Supersemar dan digantikannya Soekarno oleh Soeharto. Pertemuan kedua
berlangsung secara singkat selama 1X45 menit. Pada pertemuan ketiga,
materi yang diulas masih meruapakan kelanjutan dari materi pertama.
Pada pertemuan ini guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok unuk
berdiskusi tentang keadaan kenegaraan pasca G 30 S. selanjutnya di ahir
pertemuan, guru memberikan tugas bagi peserta didik untuk membuat
makalah tentang “dampak peristiwa G 30 S PKI dan peralihan kekuasaan
pasca G 30 S PKI”.
Sumber-sumber belajar yang digunakan adalah buku teks yang
disusun oleh Pemerintah Kota Semarang, buku teks ditulis oleh I Wayan
Badrika (2009) terbitan Erlangga. Sarana pendukung lain yang digunakan
guru dalam proses pembelajaran sejarah kontroversial adalah dengan
memanfaatkan internet untuk mendapatkan sumber-sumber mutakhir
terkait peristiwa G 30 S.
Dikaitkan dengan kondisi psikologis peserta didik, Heri
Rohayuningsih menyatakan bahwa peserta didik telah memiliki bekal yang
cukup untuk menerima materi-materi kontroversial. Ia berpendapat bahwa
144
daya pengangkapan dan pengolahan informasi bagi peserta didik di kelas
IPS tidak sebaik di kelas IPA.
Dari pembelajaran peserta didik menanggapi bahwa ada beberapa
pendapat berkaitan dengan peristiwa tersebut, tetapi masih belum
memahami secara keseluruhan pendapat-pendapat yang berbeda tersebut,
karena guru tidak menjelaskan secara menyeluruh tentang berbagai versi
tentang G 30 S.
c. Kendala Guru dalam Implementasi Critical pedagogy dalam
Pembelajaran Sejarah Kontroversial
Kendala-kendala dalam implementasi critical pedagogy dalam
pembelajaran sejarah kontroversial menjadi bagian yang tidak terlepaskan.
Munculnya kendala dalam pembelajaan menjadi aspek yang masih banyak
ditemui dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Di SMA N 1
Semarang, terkait dengan pembelajaran sejarah, Susilowati (wawancara 5
April 2010) menyatakan bahwa
Jika membahas tentang pembelajaran sejarah, sebenarnya semuanya kembali pada kita (guru sejarah). Bagaimana untuk meningkatkan motivasi semua kembali dari bagaimana guru memosisikan diri. Hal itu juga sama ketika kita ingin menyampaikan materi. Kita (guru sejarah) harus memiliki banyak bacaan agar siap dalam menyampaikan materi pada siswa.
Pada penyusunan silabus dan RPP untuk materi yang mengulas
peristiwa tentang Gerakan 30 September pada kelas XII IPS di SMA N 1
Semarang, Susilowati menyatakan bahwa dirinya tidak menemukan
145
kendala yang berarti. Ia masing menggunakan silabus yang disusun oleh
pusat kurikulum.
Aspek yang menurutnya masih membutuhkan perhatian adalah
faktor alokasi waktu yang terbatas. Hal ini disebabkan banyak kompetensi
dasar dalam mata pelajaran Sejarah yang memerlukan waktu tidak sedikit
dan terbagi ke dalam materi yang cukup banyak.
Selain itu, pada materi G 30 S/PKI sumber-sumber yang tersedia
di SMA N 1 Semarang belum mencukupi. Dengan demikian,
pemanfaatan internet menjadi salah satu faktor penting untuk
mendapatkan informasi terbaru tentang G 30 S. Kendala terakhir dari
aspek perencanaan adalah adanya kebijakan pemerintah yang kurang
mendukung dalam pembelajaran untuk materi G 30 S/PKI.
Pada aspek tujuan, menurut guru di SMA N 1 Semarang tidak ada
permasalahan berarti yang menjadi kendala. Ditinjau dari aspek peserta
didik, kendala yang ditemui menurut Susilowati (wawancara 20 Januari
2010) adalah “di sini pelajaran sejarah dianggap sebagai intermezo, jadi
siswanya lebih fokus ke pelajaran lain daripada pelajaran sejarah. Apalagi
sejarah tidak masuk dalam ujian nasional”.
Dari aspek peserta didik ada kecederungan kurang antusias dalam
pembelajaran, namun secara keseluran karena materi-materi pada kelas
XII IPS adalah materi tentang sejarah kontemporer, maka peserta didik
cenderung untuk antusias. Hal ini karena peristiwa sejarah kontemporer
tidak terlalu jauh waktu terjadinya dari masa sekarang, sehingga peserta
146
didik mampu untuk belajar secara mandiri serta mengumpulkan materi
dari berbagai sumber yang banyak tersedia.
Dalam hal penerapan metode pembelajaran, pada dasarnya tidak
terlalu ditemui kendala karena pada dasarnya guru telah menerapkan
beberapa metode dalam mengajarkan materi yang mengulas peristiwa
Gerakan 30 September, walaupun masih menekankan pada aspek
bercerita. Guru menjelaskan bahwa selepas dirinya mengikuti PLPG
(Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) di Unnes dia mendapatkan banyak
pengalaman yang berharga tentang penerapan berbagai metode dalam
mengajar.
Media-media yang digunakan dalam pembelajaran sejarah
kontroversial pada materi G 30 S/PKI seperti diungkapkan Susilowati
(wawancara 20 Januari 2010) memang tidak tersedia dalam jumlah yang
bervariasi. Media-media yang belum tersedia secara mencukupi antara
lain film dokumenter serta dokumen-dokumen, namun ditinjau dari aspek
fasilitas tidak ada permasalahan karena di SMA N 1 Semarang fasilitas
belajar telah tersedia secara lengkap seperti komputer dan LCD pada tiap
ruang kelas. Ketersediaan LCD telah dilengkapi dengan software yang
menunjang pelaksanaan pembelajaran, seperti Windows Media Player
untuk memutar video, aplikasi Microsoft Office Power Point dan Flash
Player untuk media presentasi.
Ditinjau dari aspek sumber belajar, di SMA N 1 Semarang belum
terdapat buku-buku yang menunjang pembelajaran sejarah kontroversial.
147
Buku-buku yang terdapat di sana masih bersifat standar seperti Sejarah
Nasional Indonesia. Sementara itu guru lebih cenderung untuk
menggunakan internet dan buku teks dalam pembelajaran. Kendala yang
ditemui dari aspek evaluasi menurut Susilowati tidak terlalu bermasalah,
hanya saja untuk tes kadang kala pembuat soal dari MGMP tidak
mengakomodasi permasalahan sejarah kontroversial.
Kendala yang ditemui dalam aspek pendukung lain, yakni
tanggapan masyarakat menurut Susilowati (wawancara 20 Januari 2010)
tidak ada yang memunculkan permasalahan. Hal ini disebabkan
masyarakat Semarang bukan masyarakat yang fanatik dan bukan sebagai
lokasi yang mendapatkan dampak langsung dari peristiwa Gerakan 30
September. Hal ini turut mempermudah pengajaran materi sejarah
kontroversial tersebut.
Faktor-faktor pendukung lain dalam pembelajaran yang
dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi segenap hal yang
kehadirannya turut mempengaruhi pelaksanaan pembelajaran. Pada
penelitian ini faktor pendukung tersebut adalah peran organisasi profesi
dan keilmuan, peran perguruan tinggi, faktor masyarakat, media massa,
serta kebijakan pemerintah.
Organisasi profesi yang menaungi guru sejarah di Kota Semarang
adalah Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Berkaitan dengan hal
tersebut, Susilowati menyatakan bahwa dirinya tidak aktif dalam MGMP,
sehingga baginya tidak ada peran yang signifikan dari MGMP dalam
148
menunjang pembelajaran sejarah kontroversial. Selain itu, untuk
orgnanisasi keilmuan seperti Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) atau
organisasi kesejarahan lainnya menurut Susilowati (wawancara 20 Januari
2010) belum ada peran yang signifikan.
Berkaitan dengan peran serta perguruan tinggi khususnya
perguruan tinggi sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK) Susilowati juga menyatakan peran LPTK dalam pembelajaran
sejarah kontroversial masih minim, peran LPTK yang selama ini
dirasakan hanya dalam pelatihan-pelarihan untuk meningkatkan
keterampilan guru dalam pengembangan metode pembelajaran.
Di SMA N 5 Semarang, pembelajaran sejarah juga mengalami
kendala-kendala mulai dari penyusunan perangkat dan pelaksanaan
pembelajaran. Pada aspek perencanaan pembelajaran guru telah
menyusunnya secara mandiri, tetapi belum secara penuh. Guru masih
menggunakan tujuan atau indikator pembelajaran yang disusun oleh pusat
kurikulum. Hal ini tampak dari tujuan pembelajaran yang digunakan oleh
guru pada pembelajaran untuk materi tentang G 30 S. Pada perangkat
pembelajaran, indikator masih menggunakan rumusan yang disusun oleh
puskur.
Terkait dengan perencanan pembelajaran, aspek alokasi waktu
untuk pengajaran sejarah menurutnya juga masih kurang, terutama dalam
mengajarkan sejarah kontroversial dalam pembelajaran. ia memberikan
149
penjelasan bahwa materi-materi pada saat ini cukup padat, sehingga
upaya untuk menjelaskan secara mendalam mengalami kendala.
Pada materi G 30 S/PKI sumber-sumber yang tersedia di SMA N
5 Semarang belum mencukupi. Buku-buku yang mengulas tentang
kontroversi sejarah masih belum dijumpai di perpustakaan sekolah. Hal
ini menyebabkan adanya kendala bagi guru terutama bagi peserta didik
untuk lebih memperdalam materi sejarah kontroversial. Kemudian
Mindarwati (wawancara 24 Februari 2010) menyatakan bahwa kebijakan
pemerintah yang kurang mendukung dalam pembelajaran untuk materi G
30 S turut berpengaruh dalam pembelajaran, seperti ketika terjadi
penarikan dan pembakaran buku ajar sejarah.
Pada aspek tujuan, menurut guru di SMA N 5 Semarang tidak ada
permasalahan berarti yang menjadi kendala. Mindarwati (wawancara 24
Februari 2010) menjelaskan bahwa memang dalam pembelajaran ia
senantiasa menekankan pentingnya bepikir kritis dan mengajarkan sejara
kontroversial dengan inisaiatifnya sendiri. Ditinjau dari aspek peserta
didik, ia menyatakan bahwa peserta didik dirasakan telah cukup siap
untuk menerima materi-materi sejarah kontroversial. Akan tetapi tingkat
penerimaan dan kemampuan berpikir dari anak-anak IPS masih kurang
dibandingkan dengan anak-anak IPA.
Dari aspek peserta didik, Mindarwati (wawancara 24 Februari
2010) menyatakan bahwa sering kali ketika kelas mengadakan diskusi ada
sebagian peserta didik yang justru tidak memperhatikan temannya yang
150
tengah presentasi. Selain itu dijelaskan bahwa dari aspek peserta didik,
kendala yang ditemui adalah “pembelajaran akan menjadi susah untuk
anak yang kurang suka membaca”. Adanya peserta didik yang kurang
membaca disebabkan minimnya referensi menarik yang mengulas tentang
sejarah, terutama sejarah kontroversial.
Pada aspek guru, Mindarwati (wawancara 6 April 2010)
menjelaskan bahwa “kunci untuk mengajarkan sejarah adalah dengan
menguasai materi, dan untuk menguasai materi kita (guru sejarah) harus
banyak membaca buku”. Apabila guru telah menguasai materi maka
pembelajaran tidak menjadi terkendala.
Dalam hal penerapan metode pembelajaran, guru juga tidak
mengalami kendala yang berarti walau ada permasalahan yang masih
ditemui. Mindarwati menambahkan bahwa memang sampai saat ini
belum ada format baku tentang bagaimana mengajarkan sejarah
kontroversial, karena banya sekali jenis sejarah kontroversial. Ia
mengajarkan sejarah sesuai dengan kemampuannya, yakni dengan
diskusi. Pada saat diskusi situasi kelas cukup dinamis, tetapi hanya pada
peserta didik tertentu, dan selebihnya mereka melakukan aktivitas yang
lain.
Media-media yang digunakan dalam pembelajaran sejarah
kontroversial pada materi G 30 S/PKI seperti diungkapkan Mindarwati
(wawancara 6 April 2010) juga tidak tersedia dalam jumlah yang
bervariasi, seperti film dokumenter serta dokumen-dokumen. Namun
151
ditinjau dari aspek fasilitas tidak ada permasalahan karena di SMA N 5
Semarang fasilitas belajar telah tersedia secara lengkap seperti komputer
dan LCD pada tiap ruang kelas. Namun demikian, sampai saat ini di sana
masih belum terdapat laboratorium sejarah yang menyediakan media-
media pembelajaran khusus untuk sejarah.
Pada aspek evaluasi, dijelaskan Mindarwati (wawancara 6 April
2010) bahwa dalam pembuatan alat evaluasi untuk sejarah kontroversial,
ia menggunakan penilaian proyek, yakni dengan penugasan untuk
pembuatan makalah. Dinyatakan bahwa tidak semua materi kontroversial
bisa dibuatkan evaluasi karena terbatasnya alokasi waktu dan tidak
adanya materi-materi tertentu dalam SK dan KD.
Ditinjau dari aspek sumber belajar, di SMA N 5 Semarang belum
terdapat buku-buku yang menunjang pembelajaran sejarah kontroversial.
Buku yang tersedia di sana masih sebatas buku teks dan buku-buku
referensi lama, seperti SNI dan 30 Tahun Indonesia Merdeka. Kemudian
Mindarwati menambahkan bahwa belum ada panduan yang disusun oleh
pemerintah yang memberikan penjelasan tentang sejarah kontroversial.
Kendala yang ditemui dalam aspek tanggapan masyarakat menurut
guru tidak ada. Hal ini disebabkan masyarakat Semarang bukan
masyarakat yang fanatik dan bukan sebagai lokasi yang mendapatkan
dampak langsung dari peristiwa Gerakan 30 September.
152
Berkaitan dengan peran MGMP dalam pembelajaran sejarah
kontroversial, Mindarwati (wawancara 6 April 2010) menyatakan bahwa
peran MGMP belum optimal. Ia menyatakan
Peran MGMP kurang, kadang-kadang ada pertemuan tetapi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pembelajaran sejarah … MGMP seharusnya lebih bisa memberikan motivasi agar pembelajaran sejarah lebih baik. Kemudian, masih terkait dengan MGMP, dijelaskan pula bahwa
selama ini MGMP hanya berperan dalam pembuatan perangkat dan soal-
soal dan belum menyentuh aspek kontroversi sejarah. Lebih lanjut lagi
diharapkan MGMP mampu untuk melakukan penyempurnaan media
pembelajaran, pembuatan alat peraga, serta melakukan studi banding.
Selain itu, untuk orgnanisasi keilmuan seperti Masyarakat Sejarah
Indonesia (MSI) atau organisasi kesejarahan lainnya menurut Mindarwati
belum ada peran yang signifikan. Ia juga tidak terlibat dalam aktivitas
yang diselenggarakan oleh MGMP. Berkaitan dengan peran serta
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Mindarwati
(wawancara 6 April 2010) menyatakan peran LPTK dalam pembelajaran
sejarah kontroversial kurang. Peran LPTK masih sebatas dalam PPL
(Praktik Pengalaman Lapangan) dan pelatihan yang bersifat umum. Ia
beharap agar LPTK dapat mengadakan sebuah acara secara berkelanjutan
bagi guru-guru sejarah, terutama terkait pembelajaran sejarah
kontroversial.
Di SMA N 12 Semarang, Heri Rohayuningsih (wawancara 23
Januari 2010) menjelaskan bahwa secara umum kendala yang ditemui
153
terkait dengan pembelajaran sejarah kontroversial adalah alokasi waktu
dan sumber belajar. Ia menjelaskan bahwa permasalahan waktu menjadi
sangan penting karena selama ini waktu yang tersedia sangat minim
dalam mengajarkan sejarah kontroversial, sehingga tidak banyak materi
kontroversial yang diajarkan.
Secara khusus, kendala guru dapat dilihat pada aspek perencanaan
dan pelaksanaan pembelajaran. Perencanaan pembelajaran yang
digunakan dalam KTSP bagaimana upaya guru dalam menyusun silabus
dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Pada penyusunan silabus
dan rencana pelaksanaan pembelajaran untuk materi yang mengulas
peristiwa tentang Gerakan 30 September pada kelas XII IPS di SMA N 12
Semarang, Heri Rohayuningsih (wawancara 23 Januari 2010) menyatakan
bahwa dirinya tidak menemukan kendala yang berarti, karena ia
melibatkan MGMP Kota dalam penyusunan perangkat pembelajaran.
Aspek yang menurutnya masih membutuhkan perhatian adalah faktor
alokasi waktu yang terbatas. Hal ini disebabkan banyak sejarah
kontroversial yang masih belum dapat dikembangkan karena pembahasan
yang memakan waktu tidak sedikit. Ia juga menambakan bahwa dalam
kurikulm masih sedikit materi yang dapat dikembangkan untuk menjadi
materi kontroversial
Pada materi G 30 S/PKI sumber-sumber yang tersedia di SMA N
12 Semarang belum mencukupi. Guru mengakui bahwa tidak memiliki
sumber yang baku tentang peristiwa kontroversial, sehingga dirinya
154
lebihcenderung memanfaatkan materi yang sudah termuat dalam buku
teks. Dari aspek perencanaan ia menambahkan bahwa adalah adanya
kebijakan pemerintah yang kurang mendukung dalam pembelajaran untuk
materi G 30 S/PKI menjadi kendala tersendiri dalam pembelajaran
sejarah, sehingga ia memilih untuk berada pada posisi yang aman.
Pada aspek tujuan, menurut guru di SMA N 12 Semarang tidak
ada permasalahan berarti yang menjadi kendala. Heri Rohayunignsih
(wawancara 23 Januari 2010) menyatakan bahwa dirinya bekerja sama
dengan MGMP dalam penyusunan perangkat, sehingga tidak mengalami
kendala yang berarti. Hanya saja karena ada beberapa materi
kontroversial yang masih belum tercantum dalam kurikulum dirinya tidak
dapat membuat rumusan yang pasti tentang tujuan pembelajaran sejarah
kontroversial.
Ditinjau dari aspek peserta didik, Heri Rohayuningsih (wawancara
7 April 2010) menyatakan bahwa di SMA N 12 Semarang, kebanyakan
peserta didik tidak berasal dari kawasan perkotaan, sehingga peserta didik
terkendala untuk masalah pencarian informasi terbaru. Kemudian peserta
didik berasal dari kalangan kelas menengah, sehingga kepemilikan buku
teks terbatas pada kalangan-kalangan tertentu. Kemudian, ia
menambahkan bahwa ada beberapa peserta didik yang memiliki daya
tangkap yang kurang, sehingga menyulitkan sebagian peserta didik untuk
memahami materi secara efektif.
155
Dalam hal penerapan metode pembelajaran, kendala yang ditemui
adalah pada aspek belum adanya metode yang baku untuk mengajarkan
sejarah kontroversial. Selama ini guru hanya menekankan pada metode
ceramah bervariasi dan sesekali diskusi tentang peristiwa sejarah
kontroversial.
Media-media yang digunakan dalam pembelajaran sejarah
kontroversial pada materi G 30 S seperti diungkapkan Heri
Rohayuningsih tidak tersedia dalam jumlah yang bervariasi. Media-media
yang belum tersedia secara mencukupi antara lain film dokumenter serta
dokumen-dokumen. Di SMA N 12 Semarang belum tersedia fasilitas
belajar seperti LCD dalam kuantitas yang memadai. Laboratorium sejarah
sebagai tempat khusus untuk belajar sejarah secara maksimal masih
belum tersedia.
Ditinjau dari aspek sumber belajar, di SMA N 12 Semarang belum
terdapat buku-buku yang menunjang pembelajaran sejarah kontroversial.
Buku-buku yang terdapat di sana, seperti sekolah yang lain, masih bersifat
standar seperti SNI. Kemudian, ditinjau dari aspek evaluasi, karena
alokasi yang minim dan belum banyaknya materi yang tercantum dalam
kurikulum, maka masih sedikit evaluasi yang dibuat untuk materi
kontroversial.
Ditinjau dari aspek organisasi profesi yang menaungi guru sejarah
di Kota Semarang, yakni Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP),
Heri Rohayuningsih (wawancara 7 April 2010) menyatakan bahwa
156
MGMP telah berperan dalam pembelajaran. namun demikian ia
menambahkan bahwa peran MGMP hanya sebatas pada pertemuan-
pertemuan dan pembuatan soal, dan belum mengulas permasalahn sejarah
kontroversial. Selain itu, untuk organisasi keilmuan seperti Masyarakat
Sejarah Indonesia (MSI) atau organisasi kesejarahan lainnya menurut
Heri Rohayuningsih juga belum ada peran yang signifikan.
Berkaitan dengan peran serta sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK) Heri Rohayuningsih menyatakan peran LPTK
dalam pembelajaran sejarah kontroversial masih minim, peran LPTK
yang selama ini belum menyentuh aspek sejarah kontroversial.
Pada aspek masyarakat, secara umum tidak terdapat kendala. Hal
ini disebabkan masyarakat di Kota Semarang cenderung terbuka. Kota
Semarang juga bukan sebagai wilayah yang memiliki akses langsung
terhadap dampak dari peristiwa Gerakan 30 September. Dengan demikian
masyarakat yang ada di Semarang tidak berhubungan secara langsung
dengan peristiwa seputar Gerakan 30 September.
Salah satu aspek pendukung lain dalam pembelajaran adalah
media massa. Media massa yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi
media massa cetak serta media massa elektronik. Media massa dapat
dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Hal ini disebabkan media
memberikan kepada masyarakat pada umumnya, serta guru sejarah pada
khususnya tentang berbagai informasi kesejarahan terbaru. Informasi dari
meda massa menjadi sangat berharga ketika akses informasi dari jalur
157
formal oleh perintah sangat sulit. Pada aspek media massa, pada dasarnya
kendala utama yang ditemui adalah keterbatasan untuk melakukan akses
informasi secara mudah dan murah.
Pada pembelajaran sejarah kontroversial, terjadi ketidaksesuaian
antara semangat reformasi yang menunjung tinggi semangat keterbukaan
dan kebebasan mengemukakan pendapat dengan kenyataan pendidikan
sejarah pada saat ini, yakni adanya seperangkat kebijakan pemerintah
yang masih belum membuka peluang yang maksimal untuk
pengembangan proses berpikir kritis. Hal ini nampak dari dikeluarkannya
Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019/A/JA/03/2007 pada tanggal 5
Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak
membahas pemberontakan (PKI) tahun 1948 dan 1965. Akibatnya, terjadi
penarikan buku ajar besar-besaran disertai dengan pemusnaham buku
tersebut secara massal.
Permasalahan kebijakan menjadi salah satu kendala yang
menyebabkan kebingungan di kalangan guru sejarah. Kebingungan itu
adalah kebingungan dalam hal pemanfaatan sumber sebagai referensi
dalam mengajar dan sebagai pegangan bagi peserta didik. Berikut adalah
tabel kendala pada aspek pendukung pelaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial.
158
d. Apresiasi Peserta Didik terhadap Implementasi Critical pedagogy
dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial
Pembelajaran sejarah kontroversial dengan pendekatan critical
pedagogy walau dalam implementasinya masih belum berjalan secara
maksimal ternyata memunculkan apresiasi di kalangan peserta didik.
Apresiasi tersebut merupakan reaksi yang berkembang dari persepsi yang
muncul di kalangan peserta didik. Akan tetapi, apresiasi dari peserta didik
terhadap pembelajaran sejarah kontroversial tidak serta merta
digeneralisasikan dalam sebuah narasi tunggal. Ada berbagai macam
pemikiran dan tanggapan dari peserta didik tentang pembelajaran sejarah
yang diimplementasikan di sekolahnya masing-masing.
Di SMA N 1 Semarang, berdasarkan wawancara yang dilakukan,
ada berbagai pandangan dan apresiasi dari peserta didik tentang
pembelajaran sejarah pada umumnya, dan sejarah kotroversial pada
khususnya. Apresiasi peserta didik tentang pembelajaran sejarah
kontroversial dapat dibagi dalam beberapa hal, yakni apresiasi terhadap
pelajaran sejarah secara umum, apresiasi terhadap materi, apresiasi
terhadap metode pengajaran yang diterapkan oleh guru, apresiasi terhadap
sumber dan media pembelajaran yang dimanfaatkan, serta apresiasi
terhadap penugasan dan proses belajar sejarah secara mandiri oleh peserta
didik.
Sebelum membahas tentang apresiasi peserta didik pembelajaran
sejarah kontroversial dalam perspektif critial pedagogy, terhadap beberapa
159
peserta didik diberikan pertanyaan tentang pandangan peserta didik
tentang pembelajaran itu sendiri. Secara umum sebagian siswa
menyenangi pelajaran sejarah, tetapi tidak jarang pula ada yang
menganggap pelajaran sejarah sebagai pelajaran yang kurang menarik.
Salah seorang siswa bernama Kinanti Widiari (Wawancara 1 Maret 2010)
berpendapat bahwa “saya menyukai pelajaran sejarah, karena membuat
imajinasi dan sangat menyenangkan membaca cerita-cerita dari masa
lalu”. Hal tersebut didukung pula oleh pendapat dari Reza Wijaya
(wawancara 1 Maret 2010) “lumayan seru, apalagi kalau gurunya mantap,
plus kalau (membahas) tentang politik”. Selain menyenangi pelajaran
sejarah karena kandungan materi dan cerita-ceritanya, ada pula yang
menganggap pelajaran sejarah adalah pelajaran yang menyenangkan
karena pelajaran sejarah dianggap sebagai pelajaran intermezo di sela-sela
padatnya pelajaran ilmu pasti pada jurusan IPA. Hal ini diungkapkan oleh
Dedi Permana (wawancara 8 Maret 2010), peserta didik Jurusan IPA yang
menyatakan bahwa “saya menikmati pelajaran sejarah dengan baik karena
salah satu pelajaran IPS dalam bidang IPA”.
Di samping itu, ada pula pendapat yang berbeda dari Sinta
Anindita (wawancara 1 Maret 2010) yang menyatakan “pelajaran sejarah
(sebenarnya) menarik, karena mengulas peristiwa zaman dahulu, tetapi
karena pelajaran sejarah berisi tentang teori-teori, saya jadi kurang tertarik
dengan pelajaran sejarah”. Hal yang hampir sama diungkapkan pula oleh
Yulia Meutia (wawancara 1 Maret 2010) bahwa “sejarah menarik bila
160
materi pelajaran yang diajarkan ada bukti nyatanya, contohnya
peninggalan sejarah … sejarah membosankan jika materi yang diajarkan
menyangkut teori”.
Ada beberapa alasan yang diungkapkan berkaitan dengan
kekurangtertarikan peserta didik terhadap pelajaran sejarah.
Kekurangtertarikan tersebut disebabkan pelajaran sejarah tidak
memberikan bukti-bukti dan cenderung pada hal-hal yang bersifat abstrak.
“Banyak teori dan tanggal, juga momen penting yang harus dihapalkan”
kata Sinta Anindita ketika diwawancarai pada 1 Maret 2010. Selain itu ada
juga pendapat dari Kinanti Widiari (wawancara 1 Maret 2010) bahwa
“terkadang saya menemukan guru yang kurang mendukung imajinasi
saya”. Terkait dengan masalah penjurusan keilmuan ada pendapat dari
Ahmad Firdaus (wawancara 1 Februari 2010) yang menyatakan bahwa
kekurang tertarikan itu karena “lebih fokus terhadap pelajaran-pelajaran
IPA, jadi sejarah menjadi kurang tertarik”.
Terkait pandangan peserta dik dengan guru sejarah, Yulia Meutia
S. (wawancara 1 Februari 2009) menyatakan bahwa “guru sejarah modern,
karena mengajar tidak hanya monoton pada buku paket, tetapi juga
memberi tugas untuk presentasi”. Selain itu Shinta Anindita (wawancara 1
Februari 2009) menyatakan bahwa “guru sejarah saya menarik karena
menerangkan suatu peristiwa jaman dahulu dengan mencontohkan
peristiwa sehari-hari”. Selain itu ada ada pula yang menganggap bahwa
161
pandangan mereka terhadap guru sejarah biasa-biasa saja, seperti yang
dituturkan oleh Yuliana Dwi A (wawancara 1 Februari 2010).
Ditinjau dari aspek ketertarikan materi, ada mteri-materi yang
mendapat perhatian di kalangan peserta didik. Berdasarkan hasil
wawancara materi-materi tersebut adalah (1) Materi prasejarah; (2) Materi
tentang kerajaan-kerajaan tradisional; (3) Materi tentang kebudayaan,
seperti kebudayaan Hindu-Budha dan Islam, serta peninggalan-
peninggalannya; (4) Materi tentang proklamasi kemerdekaan; (5) Materi-
materi kontroversial, seperti G 30 S dan Supersemar; (6) Materi tentang
sejarah kontemporer, seperti materi tentang perubahan kepemimpinan dari
Sukarno ke Soeharto, serta materi tentang reformasi 1998.
Dari pandangan umum tentang pelajaran sejarah, ada peserta didik
di SMA N 1 Semarang yang sebenarnya menganggap bahwa pelajaran
sejarah menarik, tetapi ada pula yang menganggap pelajaran sejarah tidak
menarik. Apresiasi secara umum tentang pelajaran sejarah dapat dikatakan
cukup beragam, tetapi lebih banyak ke arah yang positif walau masih
banyak ditemukan kekurangtertarikan. Dari hasil wawancara ditemukan
bahwa ada siswa yang berpandangan bahwa materi yang bersifat
kontroversial sudah cukup menarik. Kinanti Widiari (wawancara 1
Februari 2009) menyatakan “materi yang menarik G 30 S, Supersemar,
reformasi ’98 karena kontroversi dan belum terungkap jelas”. Dari
pendapat tersebut dapat diketahui bahwa siswa telah mengetahui tentang
permasalahan sejarah kontroversial.
162
Apresiasi peserta didik terhadap pembelajaran sejarah dapat
ditinjau dari beberapa aspek. Ditinjau dari aspek materinya, seperti yang
telah diungkapkan di atas bahwa sebagian peserta didik telah memiliki
ketertarikan terhadap materi-materi yang bersifat kontroversial. Ketika
para peserta didik diwawancarai ulang tentang peristiwa kontroversial,
seperti G 30 S, ada rasa ingin tahu pada peserta didik yang diwujudkan
dengan mengajukan pertanyaan saat wawancara. Namun demikian yang
disayangkan adalah bahwa ternyata ada peserta didik yang justru tidak
mendapatkan infromasi dari guru pada saat pembelajaran, tetapi dari
media yang lain. Hal tersebut diungkapkan oleh salah seorang peserta
didik dari kelas IPS, Dhini Pramesti (Wawancara 1 Februari 2010) yang
menyatakan bahwa “saya tahu sedikit tentang peristiwa G 30 S PKI, kalau
peristiwa itu banyak versinya, tapi saya dapat itu dari bimbel (bimbingan
belajar)”. Tapi tidak sedikit pula peserta didik yang masih belum
memahami secara jelas peristiwa G 30 S. Kebanyakan peserta didik yang
tidak terlalu memahami adalah peserta didik pada kelas IPA.
Dari wawancara yang dilakukan, peserta didik di SMA N 1
Semarang, ada beberapa penyikapan dari peserta didik tentang sejarah
kontroversial. Ada yang berpandangan bahwa kontroversi adalah hal yang
wajar, karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda. Lebih lanjut
lagi Kinanti Widiari (wawancara 1 Februari 2010) menyatakan bahwa
Dalam sejarah Indonesia kontroversi sejarah belum terungkap secara jelas. Kita masih takut melihat masa lalu dan terus menutup-nutupinya dengan membohongi rakyat Indonesia di buku-buku teks
163
sejarah. Banyak terjadi hal-hal yang ditambah atau dikurangi oleh penulis.
Ada pula beberapa peserta didik yang memang tidak memahami
kontroversi sejarah. Ketika ditanya mereka tidak terlalu memahami konsep
tentang kontrovers sejarah. Dengan demikian, terdapat apresiasi yang
berbeda yang menumbuhkan sikap peserta didik terhadap sejarah
kontroversial.
Berkaitan dengan permasalahan metode pembelajaran yang
dilakukan oleh guru sejarah, terutama pada materi sejarah kontroversial,
apresiasi peserta didik cukup baik. Dari wawancara yang dilakukan,
peserta didik mengaku tertarik dengan materi yang disampaikan. Pada
kompetensi dasar “Menganalisis perjuangan bangsa Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan dari ancaman disintegrasi bangsa terutama
dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan (antara lain: PKI Madiun
1948, DI/TII, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI)” terdapat
materi tentang G 30 S yang banyak mendapat perhatian dari peserta didik.
Di SMA N 1 Semarang, pembelajaran yang menekankan pada aspek
bercerita dan tanya jawab hanya memeberikan ruang yang sempit untuk
pembahasan tentang kontroversi sejarah seputar G 30 S.
Para peserta didik mengakui bahwa metode pembelajaran yang
digunakan guru ketika menyampaikan materi tentang sejarah kontroversial
telah dialogis. Artinya peserta didik telah merasa untuk diajak berpikir
tentang peristiwa yang bersifat kontroversial. Namun demikian, dari
164
wawancara dengan peserta didik, ternyata proses dialogis tersebut hanya
muncul pada metode tanya jawab. Dhini Pramesti (wawancara 1 Februari
2010) menyatakan bahwa “guru masih jarang menggunakan debat atau
diskusi… lebih banyak tanya jawab”. Hal tersebut memang diakui oleh
Susilowati (wawancara 1 Februari 2010), guru sejarah SMA N 1
Semarang bahwa ia lebih menekankan pembelajaran pada aspek bercerita
dan pemberian makna. Pada saat observasi di lapangan, pada kompetensi
dasar tentang “Menganalisis perjuangan bangsa Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan dari ancaman disintegrasi bangsa terutama
dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan (antara lain: PKI Madiun
1948, DI/TII, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI)” guru lebih
cenderung mendominasi pembelajaran. namun demikian, guru
memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk bertanya dan
memberikan argumen.
Belum adanya metode khusus dalam mengajarkan sejarah
kontroversial memberikan pemahaman ynag sulit di kalangan peserta
didik. Bagi peserta didik dari kelas IPA, Dedi Permana (wawancara 1
Februari 2010), menyatakan bahwa “kadang gurunya terlalu serius, galak,
jadi kita tidak santai dalam menerima pelajaran”. Ketika dikonfirmasi
dengan guru yang bersangkutan, alasan tentang minimnya alokasi waktu
dalam pembelajaran ditambah dengan banyaknya materi yang
disampaikan membuat penerapan metode pembelajaran yang lebih variatif
cenderung mengalami kendala.
165
Berdasarkan pengakuan dari Erlinda Pramudya (wawancara 1
Februari 2010), pada saat pembelajaran sejarah “suasana kelas sering
ramai karena oknum tertentu”. Selain itu Donny Yudhistira (wawacara
Februari 2010) menyatakan bahwa “ suasana kadang ramai, tapi kadang
juga serius”. Namun demikian ada pula yang menyatakan bahwa suasana
pembelajaran sejarah “seru” (wawancara Reza W, 1 Januari 2010).
Suasana pembelajaran yang tertib didukung pula oleh pandangan dari
Ahmad Jama’ah, Sinta Anindita, dan Yulina Dwi. Dengan demikian, ada
berbagai tanggapan yang dilontarkan oleh para peserta didik terkait
dengan suasana kelas pada saat pembelajaran. Kemudian berdasarkan
observasi yang dilakukan, secara umum kondisi kelas berjalan dengan
cukup kondusif, walaupun ada beberapa peserta didik yang tidak fokus.
Berkaitan dengan pemanfaatan media pembelajaran, peserta didik
menanggapi bahwa pemilihan media pembelajaran yang variatif akan
sangat membantu dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Pemanfaatan
internet di kalangan peserta didik dalam memahami sejarah kontroversial
sangat membantu dalam pemahaman mereka tehadap berbagai macam
konsep yang berbeda.
Ketertarikan peserta didik terhadap materi-materi kontroversial
membuat mereka juga memanfaatkan sumber lain di luar pembelajaran di
sekolah. Yuliana Dwi (wawancara 1 maret 2010), peserta didik dari kelas
IPS menyatakan bahwa dirinya menggunakan internet untuk mencari
sumber-sumber yang tidak ada di dalam buku teks. Bagi Yuliana,
166
pemanfaatan internet tidak ada kendala, sebab ia telah terbiasa
memanfaatkan teknologi informasi tersebut dalam kehidupan keseharian.
Dari internet ia mendapatkan banyakhal baru yang tidak terdapat dalam
buku teks. Kinanti Widiari menyatakan bahwa “ saya membaca buku-buku
terjemahan tentang sejarah dunia, cerita fiktif yang dipadukan dengan
sejarah nyata. Karena dengan begitu saya dap memahami sejarah dari
sudut pandang yang berbeda”.
Selain Yuliana, ada pula peserta didik yang memanfaatkan
informasi di luar sekolah untuk memperdalam materi sejarah. Contohnya
adalah upaya yang dilakukan oleh Donny Yudhistira (wawancara 1 maret
2010). Ia mengikuti kegiatan bimbingan belajar sebagai sarana untuk
belajar di luar kelas. Bahkan dari bimbingan belajarnya ia justru
mendapatkan informasi yang baru tentang sejarah kontroversial, yakni
versi-versi tentang G 30 S.
Pemanfaatan sumber belajar lain dan aktivitas belajar di luar kelas
yang dilakukan oleh beberapa peserta didik dari SMA N 1 Semarang
memberikan kemudahan-kemudahan dalam penyelesaian tugas yang
diberikan oleh guru. Tugas yang diberikan oleh guru terkait dengan
sejarah kontroversial adalah peserta didik dipersilakan untuk mencari
informasi dari internet tentang peristiwa G 30 S.
Menurut pengakuan Donny Yudhistira (wawancara 1 maret 2010)
terkait dengan masalah penugasan dan evaluasi tentang sejarah
kontroversial belum ada sesuatu yang baru. Soal untuk ujian masih banyak
167
diambil dari buku teks. Selain itu untuk sejarah kontroversial dikatakan
bahwa biasanya guru tidak memberikan penugasan secara khusus. Rasa
ingin tahu peserta didiklah yang menjadi faktor pendorong kuat untuk
melakukan sebuah pencarian terhadap berbagai versi yang baru.
Ditinjau dari perspektif guru, Susilowati (wawancara 20 Januari
2010) menyatakan bahwa apresiasi peserta didik terhadap pembelajaran
sejarah pada dasarnya telah baik. Namun demikian, ia menjelaskan bahwa
pada saat ini di SMA N 1 Semarang ternyata terjadi perubahan orientasi
peserta didik. pada saat ini peserta didik lebih terfokus pada pelajaran-
pelajaran yang bersifat eksak. Dijelaskan pula bahwa pelajaran sejarah
lebih bersifat sebagai pelajaran refreshing atau intermezo. Namun
demikian, ditambahkan bahwa bukan berarti pelajaran sejarah tidak
memiliki arti penting. Pelajaran sejarah tetap memiliki arti penting, tetapi
sebagian besar peserta didik lebih memandang bahwa pelajaran sejarah
sebagai pelajaran yang berfungsi sebagai pelajaran untuk refreshing di
sela-sela mata pelajaran lain yang menntut banyak perhatian dan
keseriusan (wawancara 1 Februari 2010).
Susilowati (wawancara 1 Februari 2010 menjelaskan bahwa ada
perbedaan antara peserta didik pada tahun 1990-an dengan peserta didik
pada masa sekarang. Menurutnya antusiasme peserta didik pada saat ini
tidak seperti pada masa tahun 1990-an. Dijelaskan bahwa fenomena ini
dimungkinkan karena “… ada kejenuhan di kalangan peserta didik dalam
menanggapi berbagai fenomena masyarakat pada saat ini”. Hal inilah
168
yang menurut Susilowati (wawancara 1 Februari 2010 menjadi alasan
mengapa banyak di antara peserta didik yang terkesan acuh terhadap
pelajaran sejarah. Oleh karena itu, dalam pembelajaran ia lebih
menekankan pada aspek bercerita sehingga diharapkan dapat
menumbuhkan empati di kalangan peserta didik terhadap masa kini
melalui refleksi historis yang berlandaskan peristiwa-peristiwa masa lalu.
Apresiasi peserta didik terhadap pembelajaran sejarah kontroversial
di SMA N 5 Semarang juga cukup beragam. Secara umum, peserta didik
memandang bahwa pada dasarnya pelajaran sejarah menarik. Maharani
(wawancara 17 Februari 2010), dari kelas IPS menyatakan bahwa “sejarah
merupakan pelajaran yang mengasyikkan karena sejarah apabila dipelajari
secara mendetail kita akan tahu apa yang terjadi di jaman dulu”. Senada
dengan hal itu, Amanda Rizki (wawancara 17 Februari 2010)
menambahkan bahwa “ada hikmah-hikmah yang terkandung dalam
pelajaran sejarah yang dapat diambil”.
Walau ada ketertarikan dalam pelajaran sejarah, Dani Nugroho
(wawancara 23 Februari 2010) menyatakan bahwa pelajaran sejarah akan
menarik apabila didukung oleh adanya media dan fasilitas yang
menunjang. Fasilitas menjadi satu hal yang mendukung terwujudnya
pemahaman peserta didik secara lebih konkret tentang konsep-konsep
yang dikenalkan dalam sejarah. Dengan demikian, secara umum peserta
didik cenderung untuk tertarik dalam pelajaran sejarah.
169
Walaupun peserta didik secara umum menyatakan tertarik dengan
mata pelajaran sejarah, ada beberapa hal yang menyebabkan peserta didik
merasa terkendala dalam belajar sejarah. Erlinda Pramudya W (wawancara
23 Februari 2010) menyatakan bahwa kendala utama dalam belajar sejarah
adalah dirinya merasa malas dalam membaca buku-buku. Keterbatasan
sumber-sumber juga menjadi faktor yang menghambat (Wawancara
dengan Probo Firman dan Maharani, 17 Februari 2010).
Ditinjau dari sifat mata pelajarannya, ada kecenderungan dari
kalangan peserta didik untuk enggan dalam menghafal deretan tanggal dan
nama tokoh (wawancara Yunita Tri, Cosmos Tri N, Donny Yudhistira,
tanggal 17 Februari 2010). Ditinjau dari aspek guru, ada peserta didik
yang menganggap bahwa cara penyampaian guru kurang menarik,
sehingga pembelajaran terkesan membosankan (wawancara Dani
Nugroho, 17 Februari 2010). Adanya hal tersebut menurut penuturan
Ahmad Rizky (wawancara 17 Februari 2010) menyebabkan “banyaknya
teman-teman sekelas yang tidak antusias dan ribut sendiri”.
Ketertarikan peserta didik dalam pelajaran sejarah disebabkan cara
mengajar guru sejarah di SMA N 5 Semarang. Amanda Rizky (wawancara
17 Februari 2010) menyatakan bahwa
Sejarah menarik karena guru kami mengajar disertai humor-humor serta perkembangan politik Indonesia untuk direnungkan dan diperbaiki ke depan … saya suka guru sejarah yang sering menghubungkan masalah-masalah terkini dan apa penyebabnya di masa lalu.
170
Senada dengan hal tersebut, Maharani (wawancara 17 Februari
2010) menyatakan bahwa “guru sejarah yang mengajar di kelasnya sangat
komunikatif, bisa mengontrol kelas dan menciptakan kelas yang kondusif
sehingga dalam pembelajaran mudah untuk menerimanya”.
Materi-materi yang disenangi oleh peserta didik pada SMA N 5
Semarang cukup beragam. Materi tersebut antara lain perkembangan
kehidupan prasejarah, macam-macam kerajaan bercorak Hindu-Budha dan
Islam, revolusi dunia, perkembangan pemikiran-pemikiran dunia, materi
tentang pergerakan nasional dan peristiwa seputar proklamasi.
Secara lebih spesifik, terkait dengan materi sejarah kontroversial,
materi-materi yang paling sering disinggung adalah materi tentang sejarah
kontemporer tentang peristiwa Gerakan 30 September dan Supersemar.
Kedua materi ini menurut para peserta didik menjadi materi yang sangat
kontroversial yang diajarkan di dalam kelas. Materi-materi kontroversial
seperti G 30 S dan Supersemar dianggap siswa sangat menarik.
Terkait dengan materi kontroversial, seperti G 30 S dan
Supersemar, berdasarkan pengambilan data dari peserta didik, mereka
menyatakan bahwa guru memiliki peran besar dalam memberikan
informasi tentang adanya kontroversi sejarah. Erlinda Pramudya W.
(wawancara 17 Februari 2010) memahami bahwa “… permasalahan
kontroversi sejarah di Indonesia sifatnya sangat sensitif, karena pihak-
pihak yang terkait merupakan oknum yang (memiliki) dominasi di
Indonesia yang sangat besar”. Bahkan Dwi Prabowo (wawancara 23
171
Februari 2010) memiliki pandangan bahwa “mengapa Indonesia bisa
seperti itu (munculnya kontroversi) apakah ada campur tangan pihak
luar?”. Akan tetapi walau sudah ada pandangan peserta didik yang
moderat dalam menanggapi permasalahan kontroversi, ada pula
pandangan-pandangan yang masih memihak, seperti pandangan dari
Cosmos Tri N (wawancara 17 Februari 2010) yang menyatakan bahwa
“komunis harus diberantas”.
Beberapa peserta didik telah memahami bahwa diperlukan adanya
upaya yang lebih terbuka dan menghormati pendapat orang lain dalam
menyikapi kontroversi. Donny Yudhistira (wawancara 17 Februari 2010)
bahkan memberikan sumbang saran tentang permasalahan sejarah
kontroversial, yakni agar sebaiknya ditelusuri lebih lanjut (penulisan
sejarahnya) agar jelas sejarahnya.
Apresiasi peserta didik tentang pembelajaran sejarah kontroversial
terkait dengan metode mengajar guru telah cukup baik. Para peserta didik
mengakui bahwa guru membawakan materi kontroversial dengan metode
yang menarik. Erlinda Pramudya W. (wawancara 17 Februari 2010)
menyatakan bahwa dia senang dengan cara mengajar guru karena tidak
hanya terpaku pada buku teks. Selain itu guru juga pernah menggunakan
metode diskusi dalam pembelajaran, seperti ketika materi tentang paham-
paham dunia yang tercantum dalam KD “menganalisis hubungan antara
perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan
kesadaran dan pergerakan kebangsaan”.
172
Namun tidak semua peserta didik terlibat dalam kegiatan diskusi,
seperti yang dituturkan oleh Cosmos Tri Nugroho yang menyatakan
bahwa jarang mengikuti kegiatan diskusi atau debat. Diskusi hanya
dilakukan pada materi tertentu saat ada tugas kelompok.
Terkair dengan apresiasi peserta didik pada saat pembelajaran,
Probo Firman (wawancara 17 Februari 2010) menyatakan bahwa kondisi
kelas cukup kondusif. Secara lebih rinci, Prabowo menjelaskan bahwa
“kondisi kelas tenang kalau lagi pendalaman materi, tapi kalau
menerangkan secara dialogis ramai”. Hal senada disampaikan oleh R Indra
S (wawancara 17 Februari 2010) yang menyatakan menyatakan
Kalau Bu Mindar sedang menyampaikan materi yang berat, siswa menjadi bosan. Tetapi ketika Bu Mindar mulai mengaitkan peristiwasejarah dengan peristiwa masa kini, siswa menjadi penasaran.
Dari wawancara tersebut tampak bahwa peserta didik cukup
memiliki perhatian dalam sejarah, khususnya sejarah kontroversial. Hal ini
menjadi indikator bahwa pembelajaran sejarah kontroversial menjadi hal
yang menarik di kalangan peserta didik. Namun demikian, keadaan yang
ramai di dalam kelas ditanggapi oleh Mindarwati (wawancara 18 Februari
2010) sebagai kondisi yang wajar. Ia berpandangan ramai di kelas itu
adalah ramai dalam arti memahas materi dan merupakan kegiatan yang
dialogis, sehingga guru tidak menjadi sumber utama dalam pembelajaran.
Berdasarkan wawancara peserta didik menyatakan bahwa guru
telah menjalankan pembelajaran yang dialogis. Proses yang dialogis ini
173
tampak dengan adanya pendapat dari peserta didik yang menyatakan
bahwa guru sering melakukan diskusi dengan peserta didik. Maharani
(wawancara 17 Februari 2010) menyatakan bahwa
Dalam pembelajaran sering dibentuk kelompok yang tugasnya mendiskusikan suatu pokok pelajaran, kemudian dipresentasikan dan dilakukan tanya jawab. Dari sesi tanya jawab itulah tejadi debat antara audiens dengan moderator dengan sendirinya.
Terkait dengan pembelajaran kontekstual, apresiasi peserta didik
terhadap pembelajaran sejarah telah baik, karena menurut para peserta
didik, guru telah mencoba mengaitkan antara materi dengan peristiwa-
peristiwa aktual, seperti mengaitkan antara otoriatarianisme zaman
kerajaan dengan masa Soeharto, perkembangan kasus Century diltinjau
dari aspek sejarah. Selain itu kasus korupsi juga sering dikaitkan dalam
pembelajaran (wawancara dengan Dwi Prabowo, 17 Februari 2010).
Cosmos Tri N (wawancara 17 Februari 2010) menyatakan bahwa guru
sering mengaitkan antara peristiwa aktual dengan materi pelajaran
… sering sekali, misalnya kekuasaan absolut raja Louis yang dihancurkan oleh rakyat, ini dikaitkan dengan kekuasaan presiden Soeharto yang memimpin 32 tahun dihancurkan oleh rakyatnya sendiri.
Dari gambaran tersebut upaya guru dalam mengaitkan antara
materi dengan peristiwa yang terjadi dalam konteks yang lebih dekat
dengan peserta didik telah dilakukan. Apresiasi peserta didik dengan
upaya kontekstualisasi yang dilakukan oleh guru telah baik, karena peserta
didik merasa tertarik dengan materi yang disampaikan.
174
Dalam pembelajaran, guru telah menggunakan media-media
mutakhir dalam pembelajaran seperti LCD. Pemanfaatan media
pembelajaran ini memunculkan tanggapan yang positif di kalangan peserta
didik. Pemanfaatan media LCD menurut Dani Nugroho (wawancara 17
Februari 2010) telah membantu dirinya untuk presentasi di depan kelas.
Terkait dengan penugasan, peserta didik mengakui bahwa mereka
telah memanfaatkan sumber-sumber selain buku teks sebagai referensi.
Pada materi tentang Gerakan 30 September, peserta didik telah ditugaskan
untuk mencari sumber-sumber dari internet sebagai referensi makalah.
Peserta didik merasa cukup tertantang dengan tugas yang diberikan.
Terkati dengan masalah kontroversial, menrutut peserta didik dengan
mempelajari sejarah kontroversial dirinya menjadi lebih memahami
tentang menyikapi perbedaan pendapat dengan terbuka serta menghormati
pendapat orang lain (Wawancara dengan YunitaTri Anggraheni, 17
Februari 2010). Kemudian, peserta didik juga menjadi antusias dalam
memperhatikan liputan-liputan sejarah di televisi seperti Metro Files
karena di dalamnya terjadi pengungkapan tabir sejarah yang dipaparkan
dengan menyertakan kesaksian dari pelaku dan sejarawan (wawancara
dengan Erlinda Pramudya W., 23 Februari 2010).
Apresiasi peserta didik tampak pula dengan dimanfaatkannya
sumber belajar selain buku teks berupa internet sebagai referensi untuk
memahami sejarah kontroversial. Amanda Rizky (wawancara 17 Februari
2010) menyatakan bahwa ia menggunakan internet karena datanya yang
175
lengkap dan mudah untuk dicari. Pendapat Amanda didukung oleh teman-
temannya yang menyatakan bahwa melalui internet mereka mendapatkan
informasi-informasi tambahan, seperti gambar-gambar, foto, serta
pendapat-pendpat dari para ahli tentang sejarah yang kontroversial.
Pemanfaatan surat kabar atau koran juga dilakukan untuk menambah
referensi terbaru bagi peserta didik (wawancara R. Indra S, 17 Februari
2010).
Ditinjau dari perspektif guru, apresiasi peserta didik juga beraneka
ragam. Secara umum Mindarwati (wawancara 24 Februari 2010)
menyatakan bahwa peserta didik cukup antusias dalam pembelajaran,
terutama pada materi-materi kontroversial. Banyak pertanyaan yang
muncul di kalangan peserta didik tentang versi-versi yang berkembang
seputar Gerakan 30 September. Akan tetapi apresiasi yang tinggi di
kalangan peserta didik ini lebih cenderung pada kalangan tertentu. Tidak
semua peserta didik antusias terhadap materi kontroversial. Lanjut lagi
dinyatakan bahwa justru di kalangan peserta didik dari kelas IPA lah yang
memiliki antusias yang tinggi. Antusiasme yang tinggi di kalangan peserta
didik IPA menurutnya adalah disebabkan tingkat pemahaman anak IPA
yang lebih bisa menalar daripada anak IPS.
Mindarwati (wawancara 24 Februari 2010) menambahkan bahwa
apresiasi yang cukup baik di kalangan peserta didik tersebut juga tampak
dari tugas-tugas yang dikumpulkan. Pada materi tentang peristiwa
Gerakan 30 September, ia memberikan penugasan berupa pembuatan
176
makalah. Dari makalah tersebut ternyata peserta didik telah mampu
mengeksplorasi sumber-sumber lain selain buku teks, seperti internet
sebagai bahan referensi. Ia menyatakan bahwa tugas yang dibuat oleh
peserta didik telah cukup baik untuk kalangan mereka.
Kemudian di SMA N 12 Semarang berdasarkan hasil wawancara
ditemukan adanya pendangan dan apreiasi peserta didik terhadap
pembelajaran sejarah kontrovesial. Apresiasi peserta didik dapat dilihat
dalam beberapa pokok, yakni apresiasi terhadap pelajaran sejarah secara
umum, apresiasi terhadap materi, apresiasi terhadap metode pengajaran
yang diterapkan oleh guru, apresiasi terhadap sumber dan media
pembelajaran yang dimanfaatkan, serta apresiasi terhadap penugasan dan
proses belajar sejarah secara mandiri oleh peserta didik.
Secara keselurahan peserta didik menyatakan bahwa sebenarnya
pelajaran sejarah menyenangkan. Dian Perwita Sari (wawancara 25
Januari 2010) menyatakan bahwa “pelajaran sejarah menyenangkan karena
dapat mengetahui sejarah dan peistiwa di masa lampau”. Akan tetapi ada
pula yang menganggap bahwa walaupun pada dasarnya pelajaran sejarah
menyenangkan, Umu Nur Imamah (wawancara 23 Januari 2010)
menyatakan bahwa “pelajaran sejarah kadang membosankan karena materi
begitu banyak”. Kemudian ada pula pendapat dari Kandu Risma
(wawancara 23 Januari 2010) yang menyatakan bahwa “pelajaran sejarah
menyenangkan, tetapi seharusnya diadakan observasi agar mengenal lebih
dalam tentang sejarah”.
177
Terkait dengan apresiasi peserta didik terhadap guru sejarah, Umu
Nur Imamah (wawancara 23 Januari 2010) menyatakan bahwa “beliau
cara mengajarnya nyaman dan mudah untuk menerima materi”. Selain itu
Dian Perwita (wawancara 23 Januari 2010) menambahkan bahwa guru
sejarah “asyik, menyenangkan karena cara pembelajarannya tidak
monoton”. Selain itu ada pula padangan dari Iana Turroshidah (wawancara
23 Januari 2010) bahwa ia menganggap guru sejarah “tegas dalam
mendidik”. Eko Wahyu P (wawancara 23 Januari 2010) menyatakan
bahwa “ibu guru menyenagkan, tapi kadang menjengkelkan”. Dari
pendapat para peserta didik tampak bahwa ada kalangan yang menganggap
guru menyenangkan, tetapi ada pula yang menganggap menjengkelkan.
Apresiasi yang berbeda-beda ini menurut Heri Rohayuningsih
(wawancara 23 Januari 2010) selaku guru sejarah adalah hal yang wajar.
Peserta didik menanggapi berbeda dengan cara mengajar guru dan materi
yang disampaikan.
Pada pembelajaran sejarah, peserta didik tertarik terhadap materi-
materi tertentu. Materi-materi yang dianggap menarik oleh peserta didik
adalah (1) materi zaman prasejarah, (2) materi tentang kerajaan-kerajaan,
(3) revolusi Industri, (4) zaman pergerakan nasional, (5) peristiwa sekitar
proklamasi kemerdekaan, serta peristiwa Gerakan 30 September.
Dea Agnes (wawancara 25 Januari 2010) menyatakan bahwa
dirinya tertarik dengan materi prasejarah karena “dapat mengetahui
kehidupan zaman dahulu kala dengan alat batu, dan asal-usul (manusia)
178
zaman dahulu”. Sementara itu, Iana Turrhosidah (wawancara 25 januari
2010) lebih menyukai materi tentang proklamasi kemerdekaan “karena
dapat mengetahui betapa bersejarahnya saat Indonesia menuju
kemerdekaan”.
Secara umum pandangan peserta didik cukup positif dengan
pelajaran sejarah. Akan tetapi, walaupun peserta didik berpandangan
positif, mereka mengakui bahwa terdapat hambatan dalam belajar sejarah.
Rizky Montrya, Kandu Risma, Eka Wahyu Purnama, Dian Sadewo
(wawancara 25 januari 2010) menyatakan bahwa hal yang paling menjadi
hambatan adalah pada aspek menghapalkan peristiwa sejarah.
Iana Turroshidah (wawancara 23 Januari 2010) menyatakan bahwa
“hambatan yang ditemui dalam belajar sejarah adalah malas menghapal
peristiwa yang lampau, seperti mengingat tanggal-tanggal bersejarah”.
Selain aspek kesulitan dalam menghafal, ada pula pendapat dari Umu Nur
Imamah (wawancara 23 Januari 2010) yang menyatakan bahwa “hambatan
yang ditemui karena terlalu banyak teori dan membuat malas untuk
mempelajari”.
Banyaknya materi yang diberikan menyebabkan Siti Isnaeni
mengalami kesulitan dalam membaca ulang dan kebingungan dalam
meringkas. Selain itu ada pula pandangan dari Dea Agnes (wawancara 23
Januari 2010) yang menyatakan bahwa hambatan yang ditemui dalam
belajar sejarah adalah “tidak bisa melihat langsung dalam
mempelajarinya”. Permasalahan ini merupakan gambaran masih
179
abstraknya konsep yang dipahami oleh peserta didik sehingga mempersulit
pemahaman secara utuh terhadap suatu pokok bahasan. Pendapat ini
dikuatkan oleh pandangan dari Dian Perwita Sari (wawancara 23 Januari
2010) yang menyataka bahwa “sejarah sulit dicerna kalau tidak ada
gambar … hanya teks saja”.
Secara lebih spesifik, terkait dengan permasalahan sejarah
kontroversial, peserta didik di SMAN 12 Semarang mengakui bahwa
mereka tertarik dengan materi tentang Gerakan 30 September. Hal in
seperti diungkapkan oleh Dian Perwita Sari (wawancara 23 Januari 2010)
“materi yang menarik G 30 S/PKI karena berisikan peristiwa penting di
mana beberapa jenderal dibunuh secara tragis”. Ketertarikan peserta didik
terhadap peristiwa tahun 1965 tersebut diperoleh dari penjelasan yang
dilakukan oleh guru. Selain itu Kandu Risma (wawancara 23 Januari
2010) menyatakan bahwa selain dari guru ia mendapatkan informasi dari
internet. Informasi dari internet ini menjadi sumber yang banyak memuat
informasi terbaru. Namun demikian, sebagian peserta didik yang
diwawancarai lebih berpendapat bahwa mereka mengetahui informasi
tentang kontroversi sejarah dari buku paket dan LKS (Lembar Kerja
Siswa).
Dari wawancara yang dilakukan, Dian Perwita (wawancara 23
Januari 2010) menyatakan bahwa materi kontroversial menjadi materi
yang menarik, karena ada hal-hal baru yang masih belum terungkap dan
menjadi misteri. Dian Perwita pada materi tentang Gerakan 30 September
180
telah memahami bahwa ada beberapa versi terkait dengan masalah
tersebut. Ia mengetahui ada versi Soeharto ada pula versi PKI, selain itu
ada pula versi tentang keterlibatan pihak asing. Pada saat wawancara pada
23 Januari 2010 Dian Perwita bahkan menanyakan ulang kepada peneliti
tentang versi-versi dalam peristiwa Gerakan 30 September. Selain itu
secara umum Siti Isnaeni (wawancara 23 Januari 2010) menanggapi
bahwa adanya kontroversi sejarah menunjukkan “kepalsuan-kepalsuan”.
Pendapat yang berbeda dilontarkan oleh Iana Turrosidah (wawancara 24
Januari 2010) yang menyatakan bahwa kontroversi dalam sejarah
Indonesia “pertama-tama menggemparkan, tapi lama-lama dibiarkan”.
Ketika peneliti mengajukan pertanyaan tentang apakah peserta
didik mengalami kebingungan, ternyata memang ada semacam
kebingungan di kalangan peserta didik dalam melihat peristiwa
kontroversial, seperti G 30 S yang memiliki banyak versi. Hal ini diakui
oleh Dian Permana (wawancara 23 Januari 2010) yang menyatakan bahwa
“saya kadang-kadang bingung dengan adanya versi-versi, ini buat kita
penasaran”. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik memiliki
ketertarikan terhadap materi kontroversial, terutama tentang G 30 S.
Terkait dengan aspek penerapan metode pengajaran oleh guru,
peserta didik mengakui bahwa pembelajaran yang dilakukan telah
dialogis. Guru telah melakukan kegiatan diskusi walaupun dalam
intensitas yang tidak terlalu sering. Tetapi walaupuun masih tidak terlalu
sering, peserta didik menanggapinya sebagai berikut “menarik karena
181
pelajaran tidak hanya ceramah saja” (wawancara Dian Perwita S., 23
Januari 2010). Pengajaran dengan metode diskusi diakui oleh para peserta
didik turut menjadi umpan balik dalam pelontaran isu kontroversial.
Walaupun diskusi telah diterapkan dalam pembelajaran, guru
mengakui bahwa belum ada format yang baku dalam mengajaarkan materi
kontroversial. Hal ini ditanggapi oleh peserta didik dengan cukup
beragam. Ada peserta didik yang menanggap bahwa guru perlu
menerapkan metode observasi lapangan (wawancara Siti Isnaenni, 23
Januari 2010).
Terkait dengan sumber dan media yang digunakan dalam
pembelajaran sejarah Kandu Risma (wawancara 23 Januari 2010)
menyatakan bahwa “guru tidak berpanduan pada buku teks saja, tapi guru
mengajarkan kita dengan panduan sejarah yang lain”. Hal ini diakui pula
oleh Umu Nur Imamah (wawacara 24 Januari 2010) yang menyatakan
bahwa “guru kadang memberikan catatan kecil yang belum ada di LKS”.
Menurut pengakuan dari Dea Agnes (wawacara 24 Januari 2010), guru
juga memanfaatkan sumber internet sebagai sumber dan media. Namun
demikian sebagian peserta didik mengakui bahwa pemanfaatan LKS lebih
menonjol dalam pembelajaran. Kemudian ketika guru memanfaatkan LCD
sebagai media pembelajaran, hal ini ditanggapi baik oleh peserta didik.
Bekaitan dengan penugasan untuk materi-materi sejarah
kontroversial, peserta didik mengakui bahwa mereka telah memanfaatkan
internet untuk mencari sumber-sumber lain selain di buku teks. Hal ini
182
diungkapkan oleh Kandu Risma (wawancara 23 Januari 2010) yang
menyatakan mendapatkan informasi tentang G 30 S dari internet. Selain
itu penugasan yang diberikan adalah pencarian artikel tentang sejarah
sebagai tambahan materi yang belum ada dalam buku/LKS, seperti pada
materi tentang G 30 S PKI (wawancara Dian Perwita, 23 Januari 2010).
Berdasarkan pengakuan dari Heri Rohayuningsih (wawancara 20
Januari 2010) pada saat pembelajaran peserta didik memang ada yang
memperhatikan, tetapi ada pula yang mengabaikan. Lebih lanjut lagi
dinyatakan bahwa ada hambatan-hambatan bagi peserta didik untuk
belajar secara mandiri di rumah. Ia menjelaskan bahwa buku pegangan
yang miliki oleh peserta didik hanya LKS, sementara buku teks tidak
dimiliki oleh seluruh peserta didik. Selain itu, lokasi yang berada di
kawasan selatan Semarang yang berbatasan dengan kaki Gunung Ungaran
menyebabkan akses internet menjadi tidak mudah untuk dijangkau oleh
peserta didik. permasalahan inilah yang menjadi penghambat apresiasi
yang tinggi di kalangan peserta didik.
Ketika dikonfirmasi tentang ketersediaan fasilitas, Heri
Rohayuningsing (wawancara 20 Januari 2010) menyatakan bahwa belum
adanya media dalam kuantitas yang mencukupi menyebabkan
pembelajaran minim dalam memanfaatkan media. Hal ini menurutnya
menjadi hal yang mengkhawatirkan karena peserta didik bisa merasa
bosan jika pembelajaran tidak disertai dengan pemanfaatan media
pembelajaran yang variatif secara bersinambung.
183
B. Pokok-Pokok Temuan
1. Pemahaman Guru terhadap Critical Pedagogy sebagai Pendekatan
Pembelajaran Sejarah Kontroversial
Critical pedagogy merupakan pendekatan yang baru dalam konteks
pembelajaran dalam kelas formal di Indonesia. Dengan demikian, konsep
critical pedagogy secara formal dan teknis belum diketahui secara luas di
kalangan guru-guru, termasuk guru sejarah. Secara substansial dan konseptual,
critical pedagogy merupakan sebuah pemikiran yang dapat dipahami secara
universal. Guru memahami critical pedagogy dalam aspek-aspek yang
terdapat di dalamnya. Pada pembelajaran sejarah kontroversial, guru-guru
sudah memahami bahwa sejarah kontroversial memiliki fungsi yang penting,
terutama untuk menumbuhkan kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis peserta
didik. Ketika konsep critical pedagogy dan pembelajaran sejarah kontroversial
dipadupadankan, guru-guru memahami bahwa terdapat relevansi dan
interdependensi dalam keduanya. Akan tetapi dalam ranah praksis, guru masih
kurang berani untuk secara tegas mengimplementasikan critical pedagogy
dalam pembelajaran sejarah kontroversial karena minimnya akses bagi guru.
2. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah
Kontroversial
Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial dapat ditinjau dari aspek-aspek yang terkandung dalam critical
184
pedagogy dan di dalam pembelajaran. Ada permasalahan berupa
kecenderungan sikap guru untuk menghindari sejarah kontroversial, terutama
sejarah kontroversial yang kontemporer dan politis karena belum optimalnya
pengetahuan yang dimiliki. Kecenderungan itu menyebabkan critical
pedagogy diimplementasikan setengah hati. Ditinjau dari aspek-aspek critical
pedagogy, proses dialogis dan kontekstual dalam pembelajaran sejarah
kontroversial pada dasarnya telah dicoba untuk dilaksanakan, tetapi belum
secara menyeluruh. Proses dialogis dan kontekstual hanya dijalankan pada
bagian-bagian tertentu dan tidak diterapkan secara berkesinambungan.
Kemudian terkait dengan kaidah 4K, yakni kausalitas, kronologis,
komprehensivitas, dan kesinambungan, dalam pelaksanaannya guru cenderung
lemah dalam aspek komprehensivitas. Ditinjau dari aspek pembelajaran, pada
perencanaan, guru-guru lemah dalam penyusunan perencanaan secara mandiri.
Di aspek pelaksanaan pembelajaran, ada beberapa kelemahan terutama dalam
aspek pemanfaatan sumber-sumber belajar. Dalam aspek metode, guru
cenderung menghindari permasalahan kontroversial dan memilih
pembelajaran yang konformis, namun sesekali menerapkan diskusi dan
penugasan mandiri. Sementara itu, pada aspek subjek belajar, evaluasi,
fasilitas tidak terlalu terdapat permasalahan. Pada aspek pendukung belum
tampak peran yang signifikan dari MGMP, MSI, LPTK, maupun kebijakan
pemerintah yang mendukung pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial
dengan pendekatan critical pedagogy. Di dalam penelitian ini, ada hal yang
menjadi catatan bahwa status sekolah, baik RSBI, SKM, atau SSN tidak
185
memberikan kontribusi terhadap implementasi critical pedagogy dalam
pembelajaran sejarah kontroversial.
3. Kendala Guru dalam Implementasi Critical Pedagogy dalam Pmbelajaran
Sejarah Kontroversial
Pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy
diimplementasikan tidak tanpa kendala. Permasalahan tersebut tampak dalam
beberapa aspek, yakni aspek umum pembelajaran sejarah, aspek sejarah
kontroversial, dan aspek critical pedagogy. Pada aspek sejarah kontroversial
dan critical pedagogy terkendala dengan belum adanya ancangan baku dan
kebijakan yang digunakan oleh guru sebagai pegangan dalam pembelajaran
sejarah kontroversial. Kecederungan guru untuk mengembangkan konformitas
dalam pembelajaran menjadi konsekuesi ketika tidak adanya policial will yang
mengapresiasi dan mengakomodasi perkembangan pembelajaran sejarah
kontroversial. Di dalam praksis pembelajaran sejarah kontroversial dalam
perspektif critical pedagogy, aspek yang menjadi kendala dapat terbagi dalam
beberapa hal, yakni pada aspek perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, dan
aspek pendukung lainnya. Dalam aspek teknis, kendala keterbatasan alokasi
waktu menjadi alasan utama guru-guru dalam implementasi critical pedagogy
dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Dintinjau dari aspek peserta didik
ada kecenderungan untuk mengacuhkan materi sejarah karena alasan
pragmatis. Kemudian kendala yang menjadi permasalahan adalah keterbatasan
akses terhadap sumber dan media pembelajaran yang menunjang dalam
186
pembelajaran sejarah kontroversial. Belum adanya metode yang baku dalam
implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial
menyebabkan adanya perbedaan metode yang digunakan serta kegamangan
dalam pelaksanaan pembelajaran. Ditinjau dari aspek penunjang, ada
permasalahan berupa belum optimalnya peran dari MGMP, MSI, LPTK dalam
pembelajaran sejarah kontroversial.
4. Apresiasi Peserta Didik terhadap Implementasi Critical pedagogy dalam
Pembelajaran Sejarah Kontroversial
Pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy
memberikan peserta didik pengalaman-pengalaman dan wawasan yang baru,
sekaligus berpotensi melatih kemampuan berpikir analitis mereka. Dari hasil
penelitian, peserta didik memiliki ketertarikan terhadap materi-materi sejarah
kontroversial. Sejarah kontroversial secara psikologis telah mendorong rasa
ingin tahu (curiousity) di kalangan peserta didik yang berfungsi sebagai
stimulus agar mereka lebih dalam untuk mencari tahu dan memecahkan
masalah mengapa peristiwa-peristiwa kontroversial tersebut terjadi. Namun
demikian, alasan pragmatisme ternyata telah menjadi permasalahan yang
menyebabkan apresiasi peserta didik yang tinggi tetapi hanya sebatas di dalam
kelas. Pragmatisme itu tampak dari kecenderungan pandangan peserta didik
yang menganggap sejarah tidak sesuai dengan bidang ilmu yang dicita-
citakannya, sehingga pembelajaran sejarah tidak dianggap penting.
187
C. Pembahasan
Pemahaman guru-guru dalam implementasi critical pedagogy secara
formal dan teknis dalam pembelajaran sejarah belum terwujud secara maksimal
karena ada beberapa konsep yang masih asing untuk diimplementasikan dalam
pembelajaran. Kecenderungan masih asingnya guru terhadap konsep critical
pedagogy disebabkan tradisi pendidikan di Indonesia selama ini yang masih
belum memperkenalkan critical pedagogy di kalangan guru ataupun pendidikan
calon guru di perguruan tinggi. Pada dasarnya apabila guru-guru berani untuk
mengeksplorasi referensi-referensi terkait pembelajaran dan isu pendidikan
mutakhir pascareformasi pemahaman yang kurang menyeluruh tersebut dapat
diatasi. Hal ini terbukti bahwa ada pula sebagian kecil guru yang memiliki
pemahaman yang cukup baik terkait implementasi critical pedagogy dalam
pembelajaran, walaupun masih secara substansial dan konseptual.
Pemahaman guru terhadap implementasi critical pedagogy dalam
pembelajaran sejarah kontroversial tampak bahwa secara konseptual guru telah
memahami urgensi pembelajaran sejarah kontroversial dalam upaya memberikan
peluang bagi peserta didik untuk menumbuhkan kesadaran kritis. Dalam konteks
pembelajaran sejarah, kesadaran kritis meliputi pula kesadaran sejarah. Kesadaran
sejarah merupakan bagian dari kesadaran kritis karena kesadaran sejarah
mengubah hubungan manusia dengan realitas, mengubah serta memperluas
wilayah interaksi manusia dengan dunia, dan memperbesar kemungkinan
keberhasilannya untuk mengendalikan nasib manusia (Soedjatmoko, 1995: 368).
188
Kesadaran sejarah memperlihatkan kebebasan manusia dari keniscayaan sejarah
yang tidak dapat dihindari dan dari tekanan-tekanan kondisi, serta menunjukkan
kebebasan manusia untuk menentukan sikapnya dan hubungannya dengan situasi
tertentu (Soedjatmoko, 1995: 369). Dalam kenyataan dan pelaksanaannya, terjadi
hal yang bertentangan yakni guru masih cenderung untuk menghindari isu
kontroversial walaupun secara pemahaman mereka telah mengetahui arti penting
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
Dalam penelitian yang dilakukan, ternyata guru-guru yang diwawancarai
sebagian telah cukup terbuka dan memahami bagaimana implementasi critical
pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Akan tetapi, keterbukaan
tersebut masih belum menjadi jaminan ketika dalam praktik pelaksanaannya guru
ternyata belum memiliki keberanian untuk mengungkapkan peristiwa sejarah
kontroversial dengan inisiatif mereka secara mandiri. Pemahaman guru yang
mendukung implementasi critical pedagogy walaupun masih belum secara
menyeluruh terhadap pembelajaran sejarah kontroversial telah menunjukkan
bahwa guru telah memasuki tingkat refleksi. Karena masih rendahnya kemauan
dan kemampuan disertai adanya konteks yang belum mendukung secara penuh
menyebabkan aspek aksi atau aktualisasi masih belum tampak dalam
pembelajaran. Pembelajaran sejarah kontroversial yang dilakukan oleh guru masih
sebatas pada jalur yang ditetapkan. Kalaupun ada perbedaan, tidak terlalu
melenceng jauh dari aturan yang telah ditetapkan.
Kecenderungan dari guru untuk mempertahankan status quo,
mengutamakan konformitas, dan menghindari isu kontroversial merupakan faktor
189
internal dari guru yang berpengaruh terhadap pemahaman mereka terhadap
implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Faktor
internal dari guru menyebabkan keengganan guru dalam mengeksplorasi sumber-
sumber baru untuk menunjang pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial.
Faktor internal dari guru ini senada dengan pendapat dari Bambang Purwanto
(2005: 11) tentang faktor internal dalam diri sejarawan terkait dengan
permasalahan historiografi nasional. Ia menyatakan bahwa “bukan orang lain
(faktor luar) yang seharusnya dipersalahkan terlebih dahulu, tapi mugnkin diri kita
sendiri sebenarnya yang mengandung banyak kelemahan” (Bambang Purwanto,
2005: 11). Dengan demikian, sikap dan pendirian guru secara pribadi berpengaruh
terhadap pemahaman mereka terhadap implementasi critical pedagogy dalam
pembelajaran sejarah kontroversial.
Faktor internal dalam diri guru merupakan sebuah prasyarat yang menjadi
landasan dalam pemahaman terhadap tujuan pelaksanaan pendidikan, termasuk
dalam pendidikan sejarah dan pembelajaran sejarah kontroversial. Pembenahan
terhadap kondisi internal guru menjadi prasyarat utama dalam mewujudkan
pemahaman terhadap konsep critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial. Faktor kemauan guru untuk senantiasa menambah informasi
merupakan bagian dari faktor internal yang berpengaruh terhadap pemahamannya.
Faktor internal yang membentuk pemahaman guru terhadap implementasi
critical pedagogy disebabkan oleh adanya faktor-faktor psikologis, seperti
intelegensi, motivasi, minat, sikap, dan bakat. Sementara itu faktor lingkungan
juga sangat berpengaruh terhadap pemahaman guru. Dalam perkembangannya,
190
faktor lingkungan inilah yang memerikan pengaruh besar terhadap pemahaman
guru sejarah. Faktor lingkungan yang berpengaruh ini termasuk dalam faktor
ekstenal.
Selain faktor internal dari guru ada pula faktor eksternal yang berpengaruh
kuat terhadap guru. Faktor eksternal tersebut telah membetuk pemahaman
sebagian besar guru tentang sejarah kontroversial. Faktor eksternal tersebut adalah
sebuah konteks di mana praksis pendidikan dijalankan. Konteks tersebut terkait
dengan beberapa aspek. Pertama, aspek ideologi pemerintah dalam pendidikan.
Kedua, aspek permasalahan dalam sejarah kontroversial. Ketiga adalah
konvergensi aspek pertama dan kedua berhubungan dengan politik pemerintah,
yakni masalah kebijakan dalam pendidikan sejarah, terutama pembelajaran sejarah
kontroversial. Aspek-aspek di atas, termasuk dalam faktor eksternal yang sangat
mempengaruhi pemahaman guru terhadap implementasi critical pedagogy dalam
pembelajaran sejarah kontroversial.
Tradisi pendidikan yang dipraktikkan di Indonesia terutama sebelum
reformasi memberikan pengaruh yang kuat bagi cara pandang guru terhadap
critical pedagogy. Hal ini disebabkan selama ini pendidikan yang dipraktikkan di
Indonesia cenderung berada dalam tekanan pemerintah, terutama pada masa
pemerintahan Soeharto. Praktik pendidikan pada masa Soeharto sampai saat ini
ternyata tidak mengalami perubahan yang berarti. Merujuk pada pemikiran
Aronowitz dan Giroux (2003), saat ini di Indonesia kecenderungan yang tampak
adalah ideologi konservatif dan ideologi liberal dalam pendidikan. Bahkan dalam
191
konteks Indonesia pascareformasi Edi Subkhan (2009: 1) menyebut bahwa
ideologi tersebut telah berkembang ke arah neokonservatif dan neoliberal.
Mansour Fakih (2001: xiii-xvi) menjelaskan bahwa kaum konservatf
melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik dan
kontradiksi dalam bingkai dominasi budaya dan represi politik dalam masyarakat.
Sementara itu, paradigma liberal yang bersifat positivistik mencoba menempatkan
pendidikan sebagai sesuatu apolitis yang justru menjauhkan pendidikan dari
realitas yang dipengaruhi oleh faktor-faktor politis dan lekat dengan masyarakat.
Pendidikan dengan paradigma liberal lebih melihat adanya perubahan moderat
dan cenderung bersifat mekanis (Mansour Fakih, 2001: xvi). Sebenarnya, tidaklah
salah ketika kebijakan pendidikan ke arah ke dua ideologi tersebut, tetapi yang
menjadi masalah adalah bahwa penerapan ideologi tersebut tidak dalam kapasitas
yang berimbang dengan ideologi yang lain, yakni ideologi kritis. Selama ini,
perkembangan ke arah ideologi kritis atau neomarxis masih belum mendapatkan
apresiasi dalam praksis pendidikan.
Ideologi pendidikan yang berkembang selama ini sejak pemerntahan
Soeharto tampak pada ideologi yang dipegang pada pemerintahan Orde Baru.
Pemerintahan Orde Baru dijalankan oleh tiga kekuatan elite yakni elite militer,
elite birokrasi, dan para teknokrat (Arif Rohman, 2009: 176). Fenomena tersebut
dilihat oleh Dwight Y. King yang dikutip Arif Rohman (2009: 177-179) sebagai
pemerintahan denga karakteristik bureaucratic authoritarian dengan ciri (1)
kewenangan tertinggi di tangan militer, (2) adanya mentalitas teknokratik yang
merata, (3) adanya proses untuk menciptakan massa mengambang, menciptkan
192
konsensus dan konformitas, (4) upaya untuk mencapai tujuan melalui represi.
Dengan demikian, tampak bahwa peran negara sangat dominan dalam sendi-sendi
kehidupan masyarakat yang diwujudkan dengan adanya pembatasan-pembatasan
dalam masyarakat dalam kerangka ideologis yang danut oleh negara. Kemunculan
pemikiran-pemikiran alternatif di beberapa aspek vital, seperti masalah politik,
sosial, ekonomi, dan pendidikan dalam kondisi seperti itu dapat dipastikan tidak
mampu untuk berkembang.
Pendapat Dwight Y. King dikuatkan oleh Rabasa dan Haseman (2002: 36)
yang menyatakan bahwa
In the early years of the New Order, the army played a much more overt role in politics than had previously been the case … Military officers held the key positions in the cabinet and in the higher levels of the bureaucracy and were allocated 20 percent of the seats in the legislature.
Pada awal Orde Baru, militer memainkan lebih banyak peran dalam aspek
politik dibandingkan dengan masa sebelumnya. Dalam perkembangannya militer
memegang posisi penting dalam kabinet, elite birokrasi dan memiliki alokasi 20%
yang duduk sebagai anggota legislatif.
Lekatnya militer dalam pemerintahan Orde Baru disebabkan adanya
konsep Dwi Fungsi yang ada di dalam militer Indonesia. Militer tidak hanya
berperan dalam masalah ketahanan negara, tetapi juga dalam masalah sosial dan
politik masyarakat (Cribb dan Kahin, 2004: 122-124). Selain itu, militer menjadi
penopang utama kekuasaan Orde Baru, seperti mulai 1980 ada program ABRI
Masuk Desa, serta adanya pengaruh yang kuat dari militer dari tingkat provinsi
193
(Kodam [Komando Daerah Militer]) sampai tingkat desa (Babinsa [Bintara
Pembina Desa]).
Selanjutnya, Orde Baru menekankan sendi penopang pada para teknokrat.
Teknokrat terdiri atas para cendekiawan yang bekerja untuk pemerintah dan
menekankan pentingnya pembangunan, khususnya dalam bidang ekonomi. Pada
masa pemerintahan Orde Baru terdapat sekumpulan teknokrat populer yang
disebut “Mafia Berkeley”. Mereka adalah para sarjana lulusan Universitas
California di Berkeley, seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim,
Mohamad Sadli, dan Barli Halim yang sangat terpengaruh oleh International
Monetary Fund (Cribb dan Kahin, 2004: 37). Kuatnya pengaruh teknokrat sebagai
penopang Orde Baru telah membentuk karakteristik pemerintahan Soeharto ke
arah developmentalisme.
Hal yang dilakukan oleh Orde Baru identik dengan pemikiran Althusser
yang dikutip Edi Subkhan (2009: 3) bahwa dalam negara terdapat Repressive
State Apparatus (RSA) yang terdiri atas pemerintah, birokras, militer, pengadilan,
dan penjara. Kemudian ada pula Ideological State Apparatus (ISA) yang terdiri
atas agama, pendidikan, keluarga, hukum, politik, dan perdagangan. Keduanya
berpengaruh terhadap corak ideologi dalam pendidikan dan bertujuan untuk
mengekalkan kapitalisme. RSA dan ISA dalam konteks pendidikan sangat
berpengaruh terhadap kecenderungan ideologi pendidikan yang menjadi landasan
dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial.
Ketika RSA dan ISA tidak memberikan peluang terhadap perkembangan
194
pembelajaran sejarah kontroversial, maka permasalahan tersebut sangat
berpengaruh terhadap model dan metode pembelajaran sejarah yang dilakukan.
Dua kekuatan besar yang berkembang dalam Orde Baru turut berpengaruh
terhadap aspek pendidikan nasional di Indonesia. Kecenderungan paradigma
pendidikan yang muncul pada pemerintahan Soeharto terpengaruh oleh
kapitalisme yang berkembang pada saat itu. Ini karena developmentalisme yang
ditekankan oleh Soeharto membutuhkan manusia-manusia siap pakai untuk
dipekerjakan. Dengan demikian, kurikulum yang disusun adalah untuk memenuhi
kebutuhan akan tenaga kerja. Permasalahan tersebut menurut Giroux yang dikutip
Agus Nuryatno (2008: 57) memunculkan budaya positivisme. Budaya positivisme
memunculkan adanya rasionalitas teknokratik yang memiliki ciri uniformitas dan
kontormitas, serta memunculkan adanya one dimentional man and society,
manusia dan masyarakat satu dimensi (Agus Nuryatno, 2008: 57-58). Budaya
positivisme menjadi satu faktor yang juga bepengaruh kuat dalam pemilihan
model dan metode pembelajaran yang diterapan oleh guru. Secara praksis,
positivisme juga berpengaruh terhadap kencederungan kebijakan yang tercermin
dalam muatan kurikulum dan tujaun pendidikan.
Permasalahan yang sampai saat ini berkembang adalah walaupun secara
legal formal pemerintahan Soeharto telah digantikan melalui proses reformasi, ada
kecenderungan bahwa rasionalitas teknokratik yang dipupuk pada masa lalu
masih memiliki pengaruh dan tampak jelas dalam praktik kehidupan pada saat ini,
termasuk dalam pendidikan sejarah di sekolah. Dengan demikian, pendidikan
diarahkan pada nilai-nilai budaya yang ada baik penekanan pada suatu nilai
195
tertentu ataupun secara keseluruhan, ataupun menjadikan pendidikan sebagai alat
untuk memperoleh pekerjaan (Tilaar, 2009: 56).
Realitas di atas merupakan sebuah fenomena yang menunjukkan adanya
hubungan yang erat antara pendidikan dan kekuasaan. Kaitan antara pendidikan
dan kekuasaan tersebut pada akhirnya akan membawa pada masalah ideologi.
Dari kasus Orde Baru, Tilaar (2009: 131) menyatakan bahwa ideologi telah
dijadikan sumber indoktrinasi yang telah mematikan kreativitas peserta didik dan
berubah menjadi alat penekan dari penguasa dalam mengendalikan sistem dan isi
pendidikan nasional. Dengan demikian, telah terjadi sebuah hegemoni dalam
proses pendidikan. Hal ini tampak dengan adanya kebijakan seperti pelarangan
buku-buku aliran kiri serta pembentukan sejarah resmi dari pemerintah yang tidak
mengakomodasi sejarah alternatif.
Hegemoni menjadi bagian yang tidak lepas dari sebuah sistem pendidikan.
Croce yang dikutip Tilaar (2009: 136) menyebut hegemoni sebagai sistem
kekuasaan yang didasarkan pada konsensus yang dilaksanakan oleh negara.
Sementara itu Antonio Gramsci yang dikutip Agus Nuryatno (2009: 33)
menyatakan bahwa hegemoni adalah kondisi sosial ketika segala aspek termasuk
ralitas sosial didominasi dengan dukungan kelas tunggal (single class) atau
kelompok dominan.
Pada penulisan dan pendidikan sejarah, proses hegemoni tampak dari
adanya accepted history atau sejarah resmi dari pemerintah yang menjadi materi
ajar untuk ditransmisikan dalam pembelajaran, terutama di sekolah-sekolah.
Dengan demikian, sekolah berfungsi sebagai institusi perekat hegemoni dalam
196
masyarakat dan tidak lepas dari kepentingan kelompok sosial yang berkuasa. Hal
ini bertujuan agar penguasa mendapatkan legitimasi melalui serangkaian proses
dalam pendidikan. Oleh karena itu, hubungan antara faktor-faktor tersebut
menurut Michel Foucault yang dikutip Tilaar (2009: 140) dapat disimpulkan
bahwa kekuasaan menciptakan pengetahuan dan pengetahuan serta kekuasaan
saling mempengaruhi secara langsung satu dengan yang lain.
Kekuasaan sangat memberikan pengaruh terhadap perkembangan dunia
pendidikan. Oleh karena itu, sudah menjadi hal yang jamak ketika kekuasaan
menyusup dalam aktivitas pendidikan, baik secara objektif dan terang terangan,
ataupun secara subkejtif dan tidak disadari. Dalam hal ini dikenal adanya muatan-
muatan kepentingan dalam praksis pendidikan yang disebut dengan hidden
curriculum.
Michael W. Apple (2004: 78-79) menjelaskan bahwa hidden curriculum
merupakan nilai dan norma yang memiliki sifat implisit, tetapi diajarkan dalam
kelas. Sebagai seuatu yang implisit, keberadaannya tidak tampak dalam aturan
formal dan tujuan pembelajaran. Di dalam hidden curriculum tampak jelas bahwa
betapa suatu kelompok dalam masyarakat berkeinginan memasukkan nilai-nilai
atau ideologinya melalui proses pendidikan, walau hal itu bertentangan dengan
hak azasi manusia, sehingga menjadikan pendidikan tidak demokratis, tidak
memberdayakan, dan bahkan memperdayakan (Apple, 2004). Contoh yang terjadi
adalah adanya doktrin bahwa segala sesuatu yang benar adalah menurut versi
pemerintah, sehingga penanaman nilai dilakukan berdasarkan ideologi yang
dipegang oleh pemerintah.
197
Giroux yang dikutip Agus Nuryatno (2008: 59) menyatakan bahwa hidden
curriculum di sekolah merujuk pada norma-norma, nilai-nilai, dan sikap bawah
sadar yang sering kali ditransmisikan secara halus lewat relasi-relasi sosial di
sekolah dan kelas. Hidden curriculum menekankan pada aturan konformitas,
pasivitas, dan ketertundukan. Dengan demikian, hidden curriculum menjadi
sebuah media sosialisasi yang kuat untuk memproduksi tipe-tipe individu yang
menerima hubungan sosial dan struktur kekuasaan di mana mereka bekerja
(Giroux dalam Agus Nuryatno, 2008: 59). Pada masa Soeharto, perkembangan
hidden currciculum lebih cenderung untuk mengarah pada arah mitos tentang
keunggulan Soeharto, sehingga lebih banyak menguntungkan pihak-pihak tertentu
(Slamet Sutrisno, 2006: 51-60).
Adanya praksis pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan kekuasaan
menurut Tilaar (2009: 146) memunculkan empat masalah, yakni (1) domestifikasi
dan stupidifikasi pendidikan, (2) indoktronasi, (3) demokrasi dalam pendidikan,
dan (4) integrasi sosial. Proses domestifikasi atau penjinakan memiliki dampak
adanya upaya untuk membunuh kreativitas dan menjadikan peserta didik sebagai
objek yang hanya menerima secara pasif transmisi nilai-nilai kebudayaan yang
ada. Proses ini menurut Tilaar (2009: 146) sebagai bentuk imperialisme
pendidikan dan kekuasaan, sehingga menimbulkan stupidifikasi (pembodohan).
Indoktrinasi dalam pendidikan merupakan hal yang saling terkait. Apple
(2004: 25-40) menyatakan bahwa kurikulum yang berlaku sebenarnya merupakan
sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. Indoktrinasi merupakan proses
pengekalan struktur kekuasaan yang tampak secara teknis dalam kurikulum
198
nasional. Nilai-nilai yang dijadikan aspek yang ingin ditanamkan biasanya adalah
aspek konformitas, ketundukan, antikonflik, dan sikap-sikap yang mendukung
pada upaya harmonisasi. Secara kasat mata sebenarnya indoktrinasi untuk
mengarahkan pada keselarasan dan harmoni tampak tidak bermasalah. Akan
tetapi, ketika keselarasan dan harmoni yang dibangun atas dasar mengokohkan
sebuah pemikiran tunggal akan mengarah pada sikap otoritarianisme yang
antikritik. Inilah yang kemudian menjadi masalah ketika terjadi indoktrinasi
dalam pendidikan.
Permasalahan yang muncul apabila pendidikan dilaksanakan berdasarkan
kekuasaan adalah permasalahan demokrasi dalam pendidikan. Demokrasi
pendidikan akan muncul apabila kekuasaan bersifat transformatif, tetapi akan
mengalami kegagalan apabila kekuasaan bersifat transmisif. Apabila kekuasaan
dalam pendidikan yang terbentuk adalah kekuasaan transformatif, maka orientasi
yang berkembang adalah orientasi yang advokatif. Dengan demikian ia
mendorong tumbuhnya pendekatan multikulturalisme dalam pendidikan.
Akan tetapi jika kekuasaan lebih cenderung bersifat transmitif maka yang
terjadi adalah proses transmisi antara pemegang kekuasaan terhadap subjek yang
terkena kekuasaan, sehingga orientasinya bersifat legitimatif (Tilaar, 2009: 144-
145). Di dalam praktiknya, kekuasaan yang bersifat transmitif dengan orientasi
legitimatif inilah yang lebih banyak berkembang, sehingga makin menguatkan
proses domestifikasi dan stupidifikasi dalam pendidikan. Dengan demikian,
proses demokrasi tidak berkembang dalam pendidikan.
199
Permasalahan keempat terkait hubungan antara kekuasaan dan pendidikan
adalah masalah integrasi sosial. Abu Suud (2008b: 23) menjelaskan bahwa
integrasi sosial merupakan proses yang datang dari dalam (immanent) pada setiap
masyarakat, agar tetap survive, agar tidak terjadi centang perentang dalam tatanan
masyarakat, atau agar tidak terjadi desintegrasi. Kosep ini menekankan adanya
keseimbangan (equilibrium). Ini berarti masih dibenarkan adanya
keanekaragaman, meski dalam suatu harmoni (serasi, selaras, dan seimbang).
Dengan demikian, dimungkinkan munculnya pembaharuan-pembaharuan. Akan
tetapi, kecenderungan yang tampak adalah bahwa yang dilakukan adalah sebuah
sistem pendidikan yang uniform dan otoriter, sehingga mematikan kemampuan
untuk mengembangkan budaya lokal (Tilaar, 2009: 154).
Dampak yang dirasakan dengan adanya fenomena seperti dijelaskan di
atas pada tingkatan praksis adalah ada kecenderungan masih berkembangnya
rasionalitas teknokratik. Pada rasionalitas ini, terjadi proses untuk pendangkalan
penalaran kritis reflektif yang dibutuhkan manusia untuk mewujudkan
transformasi sosial. Akibatnya, guru masih tetap untuk mempertahankan status
quo dalam pembelajaran, sehingga mereka lebih memilih untuk menghindari isu
kontroversial di dalam praksis pembelajaran. Pendidikan dengan model seperti ini
akan menghilangkan peran utama pendidikan sebagai sarana empowering
(pemberdayaan) yakni sebuah proses yang membebaskan seseorang dari berbagai
kungkungan, serta melakukan penyadaran akan kemampuan dan identitas
seseorang atau kelompok (Tilaar, 2009: 125). Dari gambaran tersebut dapat dilihat
200
bahwa pada masa Soeharto pemerintah menekankan pada konservatisme
pendidikan dengan menekankan pada aspek ideologisasi.
Pada kondisi seperti itu, ada dua kemungkinan terhadap perkembangan
critical pedagogy. Kemungkinan pertama adalah ketika kerangka pikir pendidikan
tidak mengarah pada upaya untuk memberdayakan dan justru digunakan sebagai
ajang indoktrinasi, political will tidak mendukung perkembangan critical
pedagogy. Ini disebabkan telah adanya standar baku yang menjadi pegangan dan
acuan dalam pendidikan. Pendidikan lebih bersifat sentralistik dan terpusat,
sehingga memudahkan untuk memproduksi sistem pendidikan yang mendukung
sebuah sistem yang tengah berkuasa. Tilaar (2009: 125) menjelaskan bahwa
pendidikan dapat bebentuk sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang jika
pendidikan dijadikan alat oleh sistem penguasa yang ada untuk mengungkung
kebebasan individu. Akibatnya critical pedagogy hanya akan menjadi gerakan
bawah tanah yang hanya dikenal pada kalangan terbatas, sehingga tidak populis.
Kemungkinan kedua adalah bahwa pada kondisi pendidikan penuh nuansa
represif, critical pedagogy memiliki ruang untuk dapat memfungsikan perannya
secara maksimal sebagai sarana untuk memberdayakan masyarakat. Kondisi
masyarakat yang penuh ketimpangan dalam berbagai sistem kehidupan
merupakan materi yang menjadi kajian utama critical pedagogy. Dengan
demikian, ia memiliki potensi yang besar untuk berkembang karena ada sebuah
sistem yang nyata untuk dianalisis dan ditransformasikan. Namun demikian,
dalam konteks Indonesia kemungkinan kedua baru menemukan titik balik pada
saat reformasi dan sampai saat ini masih belum berkembang secara luas.
201
Pada saat ini ternyata masih terus berkembang ideologi pendidikan yang
dipegang pada masa Orde Baru, tetapi dengan konsep yang berbeda.
Konservatisme menurut Edi Subkhan (2009: 1) telah berkembang ke arah
neokonservatisme dalam pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya dua basis
konservatisme, yakni konservatisme berbasis agama dan konservatisme berbasis
negara. Pada konservatisme berbasis agama, saat ini muncul dan berkembang
pendidikan agama dalam bingkai yang dinamakan “garis keras” atau “ekstrem
kanan”. Sementara itu, konservatisme berbasis negara ditandai dengan adanya
kecenderungan yang mengarah pada status quo. Namun demikian, status quo
yang ditekankan pada ideologi neokonservatisme dalam pendidikan bukan hanya
pada status quo pada aspek kekuasaan politik negara, melainkan juga pada aspek
pasar bebas yang telah demikian menghegemoni (Edi Subkhan, 2009: 5).
Pada sisi yang lain, kondisi politik yang dari dulu berkembang dan masih
belum mengalami perubahan secara fundamental inilah yang memunculkan
kecenderungan guru untuk menghindari isu kontroversial dan mempertahankan
status quo-nya. Hal ini memiliki dampak terhadap keengganan guru untuk
mengeksplorasi sumber-sumber terbaru untuk menambah wawasannya. Namun
demikian, ada pula sebagian guru yang tidak terbawa oleh arus besar budaya
positivisme. Guru-guru yang memiliki kemauan untuk menggali sumber-sumber
selain sumber standar dan mencari referensi-referensi tambahan menjadi guru-
guru yang memiliki pemahaman yang baik terhadap tujuan pembelajaran. Guru-
guru dengan semangat untuk menambah informasi dan terbuka inilah kemudian
menjadi guru yang terbuka terhadap konsep-konsep dalam critical pedagogy.
202
Aspek kedua yang berpengaruh terhadap pemahaman guru terhadap
implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial
berhubungan dengan permasalahan sejarah kontroversial itu sendiri. Permasalahan
sejarah kontroversial ditinjau dari aspek keilmuan merupakan permasalahan yang
sampai saat ini senantiasa berkembang dan menjadi hal yang jamak dalam
pergulatan keilmuan, terutama dalam proses tersusunnya historiografi. Menurut
E.H. Carr (1987) sejarah merupakan proses berkesinambngan dari interaksi antara
sejarawan dan fakta-fakta yang dimilikinya, suatu dialog yang tidak berkesudahan
antara masa sekarang dengan masa lampau, sehingga tidak ada tulisan yang
bersifat benar-benar final. Dengan demikian, kemungkinan munculnya fakta dan
interpretasi baru senantiasa berkembang.
Permasalahan kontroversi tidak pernah lepas dari penulisan sejarah, karena
dalam penulisan sejarah kemunculan kontroversi disebabkan adanya perbedaan
pendekatan yang dilakukan oleh sejarawan dalam merekonstruksi data dan fakta
sejarah. Dengan demikian, penelusuran terhadap munculnya kontroversi dalam
penulisan sejarah tidak lepas dari permasalahan subjektivitas dalam historiografi.
Permasalahan subjektivitas dalam historiografi diulas dalam sebuah buku
karangan Poespoprodjo (1987) berjudul Subjektivitas dalam Historiografi, Suatu
Analisis Kritis Validitas Metode Subjektivo-Objektif dalam Ilmu Sejarah. Sejarah
dalam pengertian histoire recité (kisah tentang peristiwa) merupakan hasil
historiografi yang dipandang serba subjektif karena sudah dipakai interpretasi dan
seleksi sejarah yang melibatkan pendirian pribadi sejarawan, tidak seperti histoire
réalité (kejadian sebenarnya sebagai peristiwa) yang bersifat objektif
203
(Poespoprodjo, 1987: 1-2; Soedjatmoko, 1995: 360). Terkait hal tersebut, E.H.
Carr (dalam Poespoprodjo: 1985: 2) menyatakan bahwa “fakta sejarah tidak dapat
murni objektif karena menjadi fakta sejarah hanya karena arti yang diberikan oleh
sejarawan”. Kemudian, Bambang Purwanto (2008: xxii) menyatakan bahwa
dalam historiografi nasional terdapat pesan normatif dan pesan ideologis sebagai
hasil dari subjektivitas personal dan generasi, maupun subjektivitas rezim.
Permasalahan subjektivitas pada dasarnya wajar dalam sejarah, jika
subjektivitas masih ditempatkan pada kerangka pemikiran bahwa fokus ilmu
sejarah adalah apa yang sesungguhnya terjadi (wie es eigenlich gewesen) dan
didukung oleh sumber-sumber primer yang memiliki eksistensi di luar pemikiran
manusia (Poespoprodjo, 1987: 18-19). Permasalahan subjektivitas yang
terkandung dalam historiografi menjadi pemicu munculnya kontroversi sejarah
adalah ketika subjektivitas tersebut berubah menjadi subjektivisme. Subektivisme
merupakan kewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dan
menyusun periodisasi, dan sebagainya, yang terjadi karena tidak bertumpu pada
dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Permasalahan-permasalahan di atas
merupakan alasan metodologis yang menyebabkan munculnya sejarah
kontroversial.
Permasalahan tentang subjektivitas makin memberikan kerumitan apabila
terdapat kepentingan pada tataran sumber. Permasalahan terjadi terutama dalam
sejarah kontemporer. Ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada dan masih
memiliki satu implikasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat pada masa ini.
Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu peristiwa
204
sejarah ataupun dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu peristiwa sejarah
untuk tujuan-tujuan tertentu. Kepentingan yang datang dari pihak pelaku sejarah
ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya
penulisan sejarah dari pihak tertentu. Selain itu hal yang menyebabkan
kontroversial adalah bahwa peristiwa sejarah, terutama sejarah kotemporer masih
belum selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa berproses. Sampai saat ini masih
banyak terjadi perbedaan pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu
peristiwa sejarah, dan ada pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta-
fakta baru dengan pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini.
Selain ditinjau dari aspek filosofis dan metodologis, ada faktor lain yang
menyebabkan munculnya sejarah kontroversial. Permasalahan tersebut dapat
dilihat dari aspek kepentingan yang lekat dalam setiap penulisan sejarah. Sejarah
senantiasa digunakan sebagai sarana untuk melegitimasi kepentingan, baik oleh
kalangan mayoritas dan minoritas (Bambang Purwanto, 2005: 14). Dengan
demikian, ada kecenderungan masing-masing kelompok untuk menulis sejarah
yang disesuaikan dengan tujuan dan kepentingan masing-masing. Kecenderungan
yang tampak di Indonesia adalah bahwa masing-masing kelompok berupaya
untuk mengunggulkan dan membenarkan tindakan-tindakannya melalui sejarah.
Tidak jarang pembelaan-pembelaan baik individu atau institusional terjadi, seperti
pembelaan yang dilakukan di kalangan Angkatan Udara dengan penulisan buku
“Menyingkap Kabut Halim”, selain itu ada pula pembelaan dari keluarga dari
D.N. Aidit tentang kiprah Aidit di dalam PKI. Pembelaan-pembelaan yang
merujuk pada pertentangan pendapat muncul pula pada kasus reformasi, seperti
205
terjadinya pertentangan pendapat antara Habibie-Prabowo-Wiranto. Masing-
masing saling membenarkan dirinya dalam perang wacana antara ketiganya yang
sempat merebak pada tahun 2007.
Apabila kecenderungan untuk berbeda pendapat dalam historiografi
dianggap wajar, pertanyaannya adalah mengapa hanya sejarah versi pemerintah
yang berkembang? Permasalahan tersebut terjawab dengan alasan bahwa
pemerintahlah yang memiliki akses untuk melakukan distribusi secara formal dan
masif terhadap masyarakat. Dengan demikian, akses masyarakat terhadap sejarah-
sejarah alternatif yang ditulis dengan perspektif berbeda sangat terbatas.
Sementara itu para sejarawan terjebak dalam menara gading keilmuannya.
Dengan demikian, kepentingan pemerintahlah yang akan dimenangkan dalam
perang wacana pada konteks seperti itu.
Aspek kepentingan yang beperan dalam menciptakan sejarah kontroversial
tampak dalam perkembangan historiografi Indonesia. Tradisi historiografi
merupakan suatu hal yang masih baru, sehingga sampai saat ini belum berada
pada tempat yang mapan, dan masih mencari formatnya untuk terus berkembang
(Mc Gregor, 2008: 72). Sejak adanya Seminar Sejarah Nasional I pada tahun
1957, penulisan sejarah Indonesia mengalami perubahan orientasi menuju arah
Indonesiasentris. Akan tetapi seminar tersebut juga membawa kontroversi, antara
pandangan dari Moh. Yamin dengan Soedjatmoko (Nordholt, 2004: 4). Yamin
melihat bahwa penelitian keilmuan seyogyanya mengarahkan pada penafsiran
tentang nasionalisme dan digunakan untuk menguatkan kesadaran nasional.
Namun, Soedjatmoko berbeda pandangan dan lebih banyak melakukan kritik
206
terhadap “utopia masa lalu” beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dia
lebih mendukung adanya tanggung jawab individu dan menyatakan bahwa
nasionalisme bukan termasuk dalam sebuah penelitian ilmiah. Namun demikian
pemkiran Soedjatmoko tersebut tidak sesuai dengan konteks Indonesia pada tahun
1950-an ketika masyarakat tengah mencari identitas jati dirinya (Nordholt, 2004:
5).
Pertentangan kepentingan yang ada dalam penulisan sejarah seperti
dijelaskan oleh Mohammad Ali (1995: 3) yang menyatakan bahwa ada dilema
terhadap sejarah. Permasalahan tersebut yang pertama adalah demi kepentingan
nasional, terdapat permasalan politls untuk menentukan dan mengembangkan
kepribadian bangsa. Selain itu juga terdapat permasalahan ilmiah yang muncul
dari tuntutan-tuntutan studi sejarah, yang mungkin bertentangan dengan
kepentingan politis. Namun demikian, dalam perkembangannya kecenderungan
historiografi yang muncul dan disepakati adalah tentang bagaimana
menumbuhkan rasa cinta dan semangat nasionalisme melalui penulisan sejarah
dalam perspektif Indonesia.
Perkembangan historiografi dengan demikian masih belum mapan,
sehingga senantiasa mencari format idealnya. Harapan untuk menumbuhkan
kesadaran kolektif melalui historiografi justru berlawanan dengan kenendak
politik pada masa demokrasi terpimpin, di mana sejarah Indonesia menjadi alat
ideologis untuk memobilisasi massa (Nordholt, 2004: 4). Pada perkembangannya,
historiografi Indonesiasentris ternyata cenderung menjauh dari sejarah objektif
karena berkembangnya prinsip dekolonisasi historiografis yang bersifat
207
ultranasionalis dan lebih mementingkan retorika. Mc Gregor (2008: 73)
menyatakan bahwa pada masa demokrasi terpimpin sejarah digunakan untuk
memajukan keseragaman ideologi dan persamaan misi tetang masa lalu masional
yang digunakan untuk pembinaan bangsa. Hal itu terutama tercermin di dalam
karya generasi-generasi sejarawan awal pascakolonial seperti M. Yamin, Sukanto,
dan Sanusi Pane (Bambang Purwanto, 2001b: 32).
Kritik yang muncul dalam tradisi historiografi Indonesiasentris adalah
bahwa historiografi itu dalam kenyataannya lebih mementingkan ideologisasi
terhadap masa lalu daripada merekonstruksi kebenaran sejarah. Akibatnya,
keberadaan validitas normatif dalam kebenaran naratif tidak didukung oleh
validitas empirik (Bambag Purwanto, 2001b: 33). Faktor inilah yang dalam
perkembangannya memunculkan kontroversi ketika tradisi keilmuan dan
metodologi sejarah telah berkembang.
Kemudian dalam perkembangannya muncul anggapan bahwa
Indonesiasentrisme yang menjadi dasar penulisan sejarah nasional ternyata tidak
relevan bagi praktik penulisan sejarah nasional. Sejarah struktural atau penulisan
sejarah dengan pendekatan multidimensional menjadi ciri penting perkembangan
historiografi Indonesia selanjutnya (Bambang Purwanto, 2001b: 35). Pendekatan
ini secara akdemis menguntungkan karena meningkatkan kualitas penulisan
sejarah. Akan tetapi perkembangan sejarah dalam perspektif ini mendapatkan
kritik karena hanya berada di menara gading. Sejarah menjadi bersikap netral
terhadap penguasa, bahkan jauh dari posisi sebagai kritik sosial (Asci Warman
Adam, 2007: 9). Permasalahan yang muncul ketika sejarawan sibuk dengan
208
permasalahan internalnya, hal yang terjadi adalah upaya pembentukan sejarah
yang dilakukan oleh penguasa. Di satu sisi ketika pnulisan sejarah mulai diambil
alih oleh penguasa, sejarawan cenderung untuk memilih sikap berhati-hati dalam
melakukan penelitian.
Pada masa itu pemerintahan di bawah Soeharto melakukan upaya
mengendalikan dan mengkoordinasi alur-alur kebenaran tertentu (Nordholt, Ratna
Saprati, dan Bambang Purwanto, 2009: 3). Pada era Orde Baru di bawah Presiden
Soeharto (1966-1998) diperkenalkan sebuah pendekatan pembangunan otoriter
yang bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat serempak dengan
stabilitas politik. Negara dilihat sebagai satu-satunya pelaksana yang sah dari
proses terkendali yang akan membawa Indonesia pada sebuah era baru ke arah
kemajuan dan kemakmuran. Secara ekstrem Nordholt (2004: 5) menyatakan
bahwa mimpi dari Orde Baru adalah mencapai “akhir sejarah” dengan
mendirikan sebuah orde yang bercirikan bebas dari kejadian-kejadian yang
mengganggu. Pendekatan sentralistis ini diiringi dengan historiografi yang juga
sentralistis dan eskatologis (Nordholt, 2004: 5).
Ciri historiografi nasional yang dibentuk selama Orde Baru adalah
sentralitas negara yang di-ejawantah-kan oleh militer. Sejarah nasional menurut
Nordholt (2008: xviii) disamakan dengan sejarah militer dan produksi sejarah
dikenalikan oleh negara dan militer. Contohnya adalah menurut pandangan
sejarah ini, sepanjang tahun 1950-an militerlah yang menyelamatkan bangsa dari
disintegrasi dengan mengabaikan fakta bahwa militer memainkan peran penting
dalam pemberontakan di daerah-daerah. Akibatnya muncul historiografi yang
209
seragam sebagai produk dari interpretasi tunggal atas masa lalu, sehingga menuju
pada arah mempertahankan dominasi penguasa dan cenderung merugikan rakyat
dan bangsa secara umum (Bambang Purwanto, 2008: xx).
Asvi Warman Adam (1999: 567-576) menjelaskan bahwa fenomena
tersebut merupakan pengendalian sejarah. Pengendalian sejarah tersebut
dilakukan melalui dua cara, yakni dengan penambahan unsur tertentu dalam
sejarah dan menciptakan kebisuan sejarah (le silence de l’histoire). Kebisuan
sejarah menyangkut beberapa hal, yakni aspek legitimasi, kondisi masyarakat, dan
hal-hal yang memalukan di masa lampau (Ferro dalam Asvi Warman Adam,
1999: 568-569). Pada masa Soeharto, pengendalian sejarah tampak dengan upaya
untuk mereduksi peran Sukarno dan membesar-besarkan peran Soeharto. Hal ini
tampak dari adanya penulisan buku ajar yang mengangkat peran Soeharto dalam
berbagai peristiwa, seperti Serangan Umum 1 Maret dan Gerakan 30 September.
Selain itu ada pula pembuatan film-film seperti Serangan Fajar yang
menonjolkan peran Soeharto.
Pengendalian sejarah yang dilakuan oleh Orde Bau dijalankan melalui
instansi militer. Mc Gregor (2009: 303) menjelaskan bahwa sejak Orde Baru
militer memperkuat pengendaliannya atas sejarah resmi. Pada saat itu, sejarah
menjadi alat legitimasi bagi penguasa sekaligus alat represi terhadap kelompok
yang berseberangan (Asvi Warman Adam, 2007: 9). Sejarah digunakan sebagai
sebuah sarana untuk legitimasi atas dalih persatuan (Wood, 2005: 209). Lebih
lanjut lagi Wood (2005: 9) menyatakan bahwa ada beberapa peristiwa yang
dimanfaatkan Orde Baru dalam menjaga integritas dan harmoni, seperti
210
menangkat keunggulan Majapahit, Kesultanan Islam, kejayaan masa revolusi,
serta peristiwa Gerakan 30 September yang secara terus menerus
dikomunikasikan melalui media, seperti monumen-monumen, buku teks, film,
televisi, surat kabar, novel, dan berbagai karya sastra.
Salah satu peristiwa yang mendapat perhatian cukup banyak pada saat ini
adalah tentang historiografi peristiwa Gerakan 30 September 1965. Historiografi
tentang peristiwa tersebut sangat beragam bahkan mengarah kepada
kecarutmarutan. Bambang Purwanto (2006: 230) menjelaskan bahwa carut marut
tersebut terjadi salah satunya karena politik historiografi. Politik historiografi
tersebut kemudian ditransmisikan dalam praksis pendidikan melalui pembelajaran
sejarah di kelas-kelas lewat materi-materi yang telah memiliki muatan hidden
curriculum.
Dari pelbagai penjelasan tentang faktor yang menyebabkan munculnya
sejarah kontroversial dapat disimpulkan bahwa sejarah kontroversial muncul
karena dua hal, yakni sejarah kontroversial karena permasalahan metodologis dan
sejarah kontroversial karena permasalahan politis. Permasalahan metodologis
menyangkut ketidakmampuan secara historiografis dan metodologis untuk
melakukan konstruksi dan rekonstruksi atas masa lalu dengan muatan
subjektivitas yang rendah yang tercipta karena keterbatasan wawasan, penguasaan
ilmu, dan keterampulan para sejarawan yang membangun tradisi historiografi,
para penulis buku ajar sejarah, dan para guru sejarah. Kemudian, permasalahan
kontroversial politis menyangkut tiga hal, yaitu peristiwa politis itu sendiri, akibat
politis yang ditimbulkan oleh peristiwa sejarah, dan kepentingan politis yang
211
mengikuti interpretasi dan penjelasan dalam menyusn kurikulum dan
menghadirkan peristiwa sejarah sebagai materi ajar. Bambang Purwano (2009: 2)
menambahkan bahwa secara teoretis, sejarah dan pembelajarannya menjadi
kontroversial ketika penulisan sejarah, penyusunan kurikulum sejarah, dan proses
pembelajaran sejarah menjadi bagian yang integral dari politik kekuasaan sebuah
rezim. Kontroversi biasanya diproduksi dan direproduksi dari sebuah subjektivitas
esktrem politik kekinian negara atau rezim yang mendikte tradisi keilmuan
sejarah, penyusunan kurikulum, materi ajar, dan proses pembelajarannya
(Bambang Purwano, 2009: 2).
Aspek metodologis dan politis yang menyebabkan munculnya sejarah
kontroversial menjadi penyebab adanya permasalahan dalam pembelajaran
sejarah. Permasalahan tersebut tampak dari adanya lemahnya penguasaan guru
terhadap materi-materi sejarha kontroversial. Selain itu faktor politis yang
melahirkan kebijakan dalam pembelajaran sejarah menyebabkan adanya
keengganan di kalangan guru untuk melakukan upaya mendekonstruksi
pemahamannya tentang sejarah kontroversial, terutama dalam perspektif critical
pedagogy.
Dengan demikian, sejarah kontroversial dapat dipahami ulang sebagai
pertentangan antara pengetahuan sejarah (historical knowledge) yang
dimiliki/dibentuk dengan fakta-fakta sejarah baru/berbeda yang tidak sevisi
dengan pengetahuan sejarah yang dimiliki masyarakat. Oleh karena sejarah
kontroversial erat kaitannya dengan masalah pertentangan, peneliti memberikan
titik tekan kepada beberapa pertentangan yang muncul. Pertentangan tersebut
212
menyangkut (1) pertentangan antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi,
(2) pertentangan antara sesuatu yang empiris dan normatif, (3) pertentangan antara
fakta dan mitos atau sesuatu yang direkayasa, (4) pertentangan antara sejarah
resmi/accepted history/grand naration dengan sejarah alternatif, dan (5)
pertentangan antara yang berjasa dan yang berdosa. Pertentangan pertama dan
keempat terkait dengan masalah peristiwa, sedangkan pertentangan terakhir terkait
dengan posisi dan peran tokoh sejarah dalam peristiwa.
Pertentangan pertama adalah pertentangan antara sejarah yang tampak dan
sejarah yang tersembunyi. Pertentangan ini disebabkan oleh adanya
pengungkapan beberapa fakta sejarah yang baru dalam penulisan sejarah.
Pertentangan antara faktor tampak dan tersembunyi terjadi ketika di satu sisi
masyarakat belum memiliki pemahaman terhadap sebuah peristiwa yang pada
awalnya tidak diketahuinya. Kecenderungan kontroversial yang muncul adalah
ketika dalam masyarakat terjadi cultural shock dengan adanya sesuatu yang baru.
masyarakat menjadi tahu apa yang semula tidak diketahuinya. Pertentangan dalam
aspek ini dapat bersifat metodologis ketika sebuah peristiwa sejarah memang
berangkat dari sumber-sumber yang baru. Akan tetapi, pertentangan ini dapat pula
bersifat politis jika fakta yang baru diketahui oleh masyarakat adalah fakta yang
keberadaannya sengaja untuk tidak diberitahukan untuk alasan-alasan tertentu.
Dengan demikian, proses untuk menyembunyikan sebuah peristiwa telah
termasuk dalam menciptakan kebisuan sejarah. Permasalahan dalam kategori ini
adalah bahwa adanya keterbatasan di kalangan masyarakat luas untuk
mendapatkan informasi tentang sebuah peristiwa sejarah. Akibatnya, sejarah
213
hanya diketahui oleh kalangan terbatas, sehingga peran sejarah sebagai sarana
untuk membangkitkan kesadaran menjadi terkendala.
Salah satu contoh peristiwa yang termasuk dalam kategori pertentangan
ini adalah tentang pertentangan tentang penemuan fakta-fakta baru terkait dengan
manusia purba di daerah flores yang disebut homo fleresiensis. Permasalahan
kontroversial yang juga termasuk dalam kategori ini adalah tentang mitos
penjajahan 350 tahun. Pemahaman tentang mitos penjajahan 350 tahun masih
terbatas pada mereka yang mempelajari sejarah, sementara pemahaman di
kalangan masyarakat masih terbatas. Kemudian kasus yang belum lama ini marak
adalah tentang munculnya pengakuan orang di daerah Semarang bernama
Andaryoko Wisnuprabu yang mengaku sebagai Supriyadi, seorang tokoh
pemberontakan peta. Andaryoko mengaku sebagai Supriyadi dan hadir pada
peristiwa-peristiwa besar, seperti sidang BPUPKI tanggal 29 Mei-1 Juni 1945,
menjadi pengibar bendera bersama Latif Hendraningrat pada saat proklamasi 17
Agustus 1945, dan yang tidak kalah menghebohkan adalah ia juga hadir di Istana
Bogor saat tiga jenderal, yakni Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amir Machmud
mendatangi Sukarno untuk keperluan pembuatan Surat Perintah Sebelas Maret
(Baskara T. Wardaya, 2008: 76-122). Munculnya Andaryoko yang mengaku
sebagai Supriyadi secara tiba-tiba memunculkan kontroversi dalam masyarakat
tentang kebenaran pengakuannya tersebut.
Contoh yang menandakan sesuatu yang belum ditampakkan adalah tentang
historiografi etnis Tionghoa. Selama lebih dari empat dekade lalu, penulisan
sejarah tentang etnis Tionghoa dalam konteks sejarah nasional mengalami
214
kendala. Secara politis permasalahan langkanya tulisan sejarah tentang Tionghoa
karena adanya upaya yang represif terhadap etnis Tionghoa oleh penguasa.
Setelah reformasi muncul tulisan-tulisan tentang peran etnis Tionghoa dalam
sejarah Indonesia yang bermuara pada munculnya kontroversi, seperti ketika
muncul tulisan Slamatmulyana yang sempat ditarik pada tahun 1960-an tentang
peran Tionghoa sebagai penyebar agama Islam. Fakta sejarah tentang peran etnis
Tionghoa selama ini telah disembunyikan, sehingga ketika fakta tersebut muncul
ke permukaan banyak melahirkan pertentangan.
Pertentangan kedua menyangkut pertentangan antara sesuatu yang empiris
dan yang normatif. Sesuatu yang normatif biasanya merupakan peristiwa yang
ditujuan untuk pendidikan nilai yang bekerja melalui sistem kepercayaan. Sesuatu
yang normatif ini bisa berupa nilai budaya dan nilai keagamaan. Pesan-pesan
moral atau ajaran tertentu menjadi titik tekan dari peristiwa yang bersifat
normatif. Permasalahan normativisme menjadi permasalahan ketika disatu sisi
dipertentangkan dengan sesuatu yang berangkat dari empirisme. Ada
kecenderungan pertentangan ketika sebuah peristiwa semata-mata hanya
digunakan untuk memberikan penanaman nilai bagi masyarakat tanpa
memeprhatikan fakor empirisme dari peristiwa tersebut. Ketika normativisme
terkait dengan nilai budaya tertentu, ada kecenderungan muncul kontroversi
ketika dalam masyarakat ternyata penulisan sejarah dengan kaidah ilmiah masih
merupakan sesuatu yang ahistoris, sehingga apabila muncul penulisan sejarah
yang bertentangan dengan nilai yang diyakini oleh masyarakat maka kontroversi
dalam sejarah tidak dapat dielakkan. Contoh dari kasus ini adalah ketika muncul
215
gugatan terhadap mitos-mitos yang selama ini dipercayai oleh masyarakat, seperti
upaya untuk mempertanykan kembali apakah benar kemampuan atau kesaktian
yang dimiliki oleh para pemimpin kerajaan tradisional, apakah benar Jaka Tingkir
menaiki perahu yang ditarik oleh buaya.
Pertentangan antara hal yang normatif dengan yang empiris terjadi pula
ketika ada upaya untuk membandingkan antara nilai-nilai yang ada dalam agama
dengan kenyataan empiris. Contohnya adalah ketika muncul pertanyaan tentang
apakah benar Adam sebagai manusia pertama, bagaimana Adam dilihat dari
perspektif sejarah dan teori evolusi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak akan
terjawab secara tuntas karena memperbadingkan antara sesuatu yang normatif,
yang keberadaannya diperkuat melalui kepercayaan, dengan sesuatu yang empiris,
di mana keberadaannya diperoleh melalui penelusuran peninggalan-peninggalan
masa lampau. Upaya mempertentangkan antara sesuatu yang normatif dan yang
empiris merupakan permasalahan dalam filsafat ilmu, karena mempertentangkan
antara kebenaran agama dan kebenaran ilmiah. Oleh karena itu, ketika terjadi
pertentangan maka kontroversi sejarahlah yang akan muncul.
Pertentangan ketiga adalah pertentangan antara realitas dan mitos. Mitos
yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tentang segala sesuatu yang
keberadaannya sengaja untuk diciptakan dan tanpa adanya dukungan yang kuat
dari sumber-sumber primer. Dalam tulisannya, Bambang Purwanto (2001a)
memberikan gambaran tentang permasalahan mitos dan realitas yang terjadi
dalam sejarah Indonesia. Permasalahan ini kemudian mengerucut pada
permasalahan kontroversi sejarah, sehingga memunculkan sejarah kontroversial.
216
Sejarah yang lebih menempatkan landasan pada aspek ideologi menjadi sarana
untuk menciptakan mitos-mitos (Bambang Purwanto, 2001a: 116). Mitos yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah mitos yang bersifat politis dan sengaja
untuk diciptakan sebagai sarana legitimasi, dan berbeda dengan mitos yang
dipercayai oleh masyarakat melalui sarana folklore. Akibatnya historiografi
terjebak pada penciptaan mitos baru atau reinterpretasi atas mitos lama yang
menguatkan mitos tersebut. Dibandingkan dengan aspek normatif dan empiris,
aspek mitos dan realitas lebih cenderung politis daripada metodologis. Contoh
mitos yang menjadi satu hal yang sengaja untuk diciptakan adalah seperti
penulisan sejarah pada masa Orde Baru lebih menekankan peran sentral Soeharto
dalam revolusi dan pengendalian keamanan, sehingga muncullah mitos bahwa
“Soeharto sebagai pahlawan”. Selain itu dalam perkembangannya banyak
pendapat yang mengunggulkan Soeharto dalam aspek ekonomi, sehingga
terciptalah mitos “Bapak Pembangunan”.
Pertentangan keempat terkait dengan permasalahan antara kemunculan
sejarah resmi dengan sejarah alternatif. Pertentangan antara keduanya menjadi
permasalahan yang menyebabakan munculnya sejarah kontroversial karena ketika
sejarah yang dipahami oleh masyarakat adalah sejarah yang termasuk dalam
sejarah resmi mendapatkan tentangan dari sejarah dengan versi yang lain, maka
muncul pertanyaan besar di kalangan masyarakat tentang “apa yang sebenarnya
terjadi” serta “mana yang benar dari sejarah itu”. Permasalahan ini sangat
mungkin muncul karena dalam sekian waktu masyarakat hanya disodori oleh
versi-versi resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa. Kemudian
217
karena sejarah resmi dikeluarkan oleh pihak yang berkuasa, maka mereka
melakukan upaya secara masif untuk melakukan sosialisasi dan indoktrinasi
melalui sejarah versi resmi tersebut. Hal ini mengakibatkan pembentukan
pengetahuan sejarah sesuai dengan harapan penguasa dan adanya pembatasan
terhadap munculnya sejarah dalam versi yang berbeda. Sejarah dalam arti
alternatif ini dapat berasal dari penulisan sejarah dengan perspektif yang berbeda
melalui penelusuran data dari sumber-sumber yang berbeda pula. Contoh dari
sejarah alternatif yang banyak bekembang pada setelah reformasi adalah
munculnya tulisan-tulisan dari perspektif korban.
Contoh sejarah resmi yang berkembang di Indonesia adalah tentang
peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pemerintah mengeluarkan versi resmi dari
perstiwa tersebut dalam sebuah buku putih yang terbit pada tahun 1994.
Sementara itu di satu sisi muncul upaya untuk membatasi peredaran historiografi
alternatif. Contohnya adalah ketika terjadi pelarangan buku-buku yang memiliki
kaitan dengan ideologi “kiri”, seperti tulisan Pramoedya Ananta Toer. Tulisan-
tulisan alternatif yang telah berkembang dengan pesatnya pada dasarnya menjadi
hal yang justru menyemarakkan penulisan sejarah di Indonesia dan memberi
dampak positif sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran multikultural pada
masyarakat Indonesia yang plural.
Ditinjau dari aspek konteks, adanya pertentangan-pertentangan dalam
sejarah kontroversial disebabkan kondisi pada masa peralihan dari rezim otoriter
menuju demokrasi yang ditunjang dengan adanya kemberdekaan pers. Pada
218
kondisi seperti itu muncul kritik terhadap monopoli kebenaran sejarah yang
dimiliki penguasa (Asvi Warman Adam, 2009: 1).
Pertentangan kelima tentang persamsalahan posisi dan peran tokoh dalam
sebuah peristiwa. Pertentangan tersebut adalah pertentangan antara yang berjasa
dan yang berdosa. tidak jarang dalam diri satu tokoh ada beberapa pandangan
sekaligus, dianggap sebagai pahlawan atau penjahat. Tokoh-tokoh sejarah sangat
sering memunculkan kontroversi. Dalam historiografi tradisional peran tokoh
menjadi penggerak utama dalam jalannya sejarah, sehingga keberadaannya
menjadi kunci sifat kontroversial dalam sebuah peristiwa. Mulai dari zaman klasik
posisi tokoh sejarah sering berada di dua sisi, seperti kontroversi tentang Ken
Arok atau Ken Angrok. Di satu sisi ia disebut sebagai penjahat karena
menggulingkan kekuasaan yang sah, tetapi di sisi lain dianggap sebagai pahlawan
yang mendirikan kerajaan Singhasari.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, ada beberapa tokoh yang kontroversial.
Dalam kisah suksesi Demak, ada tokoh bernama Arya Penangsang. Keberadaan
Arya Penangsang dianggap oleh masyarakat Demak dan Jepara sebagai penjahat
karena melakukan pembunuhan terhadap Hadlirin dan saudaranya. Akan tetapi di
kawasan Rembang ia dianggap sebagai tokoh yang berjasa.
Pada sejarah kontemporer, posisi tokoh sejarah tidak luput dari
permasalahan kontroversi, salah satunya tentang peran Soeharto dalam sejarah
Indonesia. Pada masa pemerintahannya, penulisan sejarah diarahkan untuk
menampilkan Soeharto sebagai tokoh sentral dalam sejarah Indonesia.
219
Dalam konteks pembelajaran, tidak semua peristiwa sejarah yang bersifat
kontroversial dapat disajikan dalam materi ajar untuk pembelajaran sejarah di
SMA. Hal ini karena adanya skala prioritas untuk mengajarkan sejarah yang
memiliki potensi dalam mengembangkan aspek-aspek yang dimiliki oleh peserta
didik, khususnya aspek menyangkut cinta tanah air, nasionalisme, dan sebagainya.
Selain itu, peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial belum dapat
diajarkan secara keseluruhan karena pada jenjang SMA, peserta didik belum
dianggap perlu untuk mempelajari secara mendetail tentang berbagai peristiwa
sejarah. Hal ini karena materi-materi yang diajarkan di SMA, pada dasarnya sudah
disusun garis besar penyampaiannya dalam standar kompetensi dan kompetensi
dasar. Peristiwa-peristiwa sejarah yang dijadikan materi ajar dalam pembelajaran
sejarah yang bersifat kontroversial hanya peristiwa-peristiwa yang dianggap
signifikan dan mendukung dalam proses pemahaman peserta didik terhadap suatu
rangkaian peristiwa dan konsep tentang masa lalu.
Dari penjelasan tentang permasalahan sejarah kontroversial di atas, dapat
disimpulkan bahwa sejarah kontroversial yang menjadi permasalahan dalam
pemahaman guru terhadap impelementasi critical pedagogy pada pembelajaran
sejarah kontroversial adalah disebabkan oleh permasalahan metodologis dan
politis. Pada aspek metodologis muncul karena adanya subjektivisme dalam
penulisan sejarah melalui kesewenangan dalam pengambilan data, reduksi data,
sampai pada penulisan sejarah. Kemudian ada pula kontroversi yang bersifat
politis karena adanya politik historiografi. Antara aspek metodologis dan politis
saling interdependen, bahkan kecenderungan kuat yang tampak adalah bahwa
220
faktor politis mempengaruhi faktor metodologis. Kemudian dalam sejarah
kontroversial muncul beberapa pertentangan, yakni (1) pertentangan antara yang
tersembunyi dengan yang tampak, (2) pertentangan antara aspek normatif dan
empiris, (3) pertentangan antara mitos dan realitas, (4) pertentangan antara sejarah
resmi dan alternatif, dan (5) pertentangan antara yang berdosa dan yang berjasa.
Peliknya permasalahan dalam sejarah kontroversial yang menyebabkan
pemahaman guru terhadap sejarah kontroversial lemah apabila guru-guru tidak
membekali diri dengan sumber-sumber yang dapat diandalkan. Secara sederhana
penjelasan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah
Gambar 3. Kemunculan Sejarah Kontroversial dan Macam Pertentangan yang Terjadi di Dalamnya (sumber: diolah dari hasil penelitian)
Ada permasalahan lain dari luar faktor ideologi penguasa dan historiografi
sejarah kontroversial terhadap pemahaman guru. Satu faktor yang berpengaruh
terhadap pemahaman guru pada implementasi critical pedagogy pada
pembelajaran sejarah kontroversial adalah aspek kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Kebijakan pemerintah pada saat ini tertuang dalam standar isi seperti
221
tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 22
tahun 2006. Dalam KTSP sebenarnya pembelajaran sejarah memiliki peluang
untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan tingkat satuan pendidikan tertentu,
baik pada tingkat kabupaten/kota maupun pada level sekolah.
Kebijakan dalam hal kurikulum yang lebih terbuka daripada sebelumnya
sebenarnya memberikan peluang bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran
sesuai dengan kemajuan zaman. Akan tetapi, pada tingkat praksis, kurikulum
hanya menjadi dokumen yang menumpuk di atas meja, sehingga pemahman guru
hanya sebatas memahami tanpa adanya upaya untuk melakukan perubahan.
Perubahan kurikulum sejarah yang seiring dengan proses reformasi
ternyata tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh pemerintah. Secara
teoretis, kurikulum baru telah memberikan titik terang tentang pelaksanaan
sejarah kontroversial, karena pemerintah hanya menyusun sampai tingkat
kompetensi dasar (KD). Akan tetapi, ada kebijakan-kebijakan yang kurang
mendukung pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial, seperti adanya Surat
Keputusan Jaksa Agung Nomor 019/A/JA/03/2007 pada tanggal 5 Maret 2007
yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan
(PKI) tahun 1948 dan 1965. Akibatnya, terjadi penarikan buku ajar besar-besaran
disertai dengan pemusnaham buku tersebut secara massal. Selain itu, pemerintah
juga belum mengeluarkan kebijakan yang secara khusus memberikan pemahaman
terhadap sejarah-sejarah kontroversial. Hal ini berakibat adanya sikap guru yang
mengabaikan sejarah kontroversial karena secara legal keberadaan materi
kontroversial tidak difasilitasi secara penuh oleh pemerintah.
222
Permasalahan kebijakan yang kurang mendukung pelaksanaan
pembelajaran sejarah kontroversial sangat berbeda ketika dibandingkan dengan
pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial di luar negeri, seperti di Inggris
dan di Amerika Serikat. Di Inggris terdapat asosiasi yang terdiri atas para
pemerhati sejarah, guru sejarah, dan sejarawan yang tergabung dalam The
Historical Association. Organisasi tersebut dengan didukung oleh kementerian
pendidikan di Inggris tengah menaruh perhatian terhadap pembelajaran sejarah
kontroversial (The Historical Association, 2008). Menurut panduan yang
diterbitkan oleh Oxfam, sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan
di Inggris, dalam Global Citizenship Guides (2006) yang berjudul Teaching
Controversial Issues alasan utama mengapa pengajaran isu kontroversial
dilakukan adalah karena di dalam struktur kurikulumnya tesedia alokasi untuk
membahas peristiwa dan isu kontroversial. Hal yang serupa terjadi di Amerika
Serikat bahwa untuk mengajarkan isu-isu kontroversial, NCSS (National Council
of Social Studies) membat panduan bagi guru-guru. Di dalam dokumen tersebut
terdapat penjelasan tentang relevansi pembelajaran isu kontroversial serta
panduan tentang bagaimana mengajarkan isu kontroversial (Faulconer dan
Freeman, 2005: 324).
Permasalahan yang terdapat dalam kebijakan terkait dengan pembelajaran
sejarah kontroversial adalah adanya keberlanjutan tradisi yang dipegang pada
masa Orde Baru dalam dunia pendidikan dengan tetap berkembangnya ideologi
pendidikan konservatif dan liberal yang telah berubah menjadi ideologi
pendidikan neokonservatif dan neoliberal. Secara praksis guru-guru yang
223
mengajar adalah produk dari pendidikan masa Orde Baru yang telah terbiasa
dengan konsep yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru. Apalagi jika guru-
guru tersebut telah berpengalaman lebih dari 20 tahun, ada kecenderungan yang
kuat pengaruh pendidikan dan ideologi Orde Baru yang mengutamakan
konformitas dengan menekankan pada ideologisasi dalam pembelajarannya.
Permasalahan kebijakan menjadi salah satu hal yang menjadi alasan guru
untuk mengajarkan atau tidak peristiwa sejarah kontroversial. Kebijakan tersebut
tekait dengan permasalahan pemilihan materi ajar, pembagian alokasi waktu,
ketersediaan sumber dan media belajar, serta dukungan pemerintah dalam
menyediakan referensi dan pendampingan terhadap guru untuk memahami
permasalahan pembelajaran sejarah mutakhir.
Permasalahan kebijakan berpengaruh pula terhadap pemahaman guru
terhadap critical pedagogy. Critical pedagogy pada saat ini belum berkembang
salah satunya adalah karena belum adanya upaya untuk mengenalkan konsep
tersebut secara formal dan teknis bagi guru-guru. Tanpa menafikkan faktor
internal berupa keengganan guru untuk mengetahui perkembangan mutakhir,
ternyata guru lebih sepakat apabila segala sesuatu yang dijadikan ladasan
pelaksanaan pembelajaran telah memiliki aturan yang jelas. Guru-guru masih
belum terbiasa untuk melakukan sesuatu secara mandiri, termasuk dalam
pengembangan pembelajaran sejarah, terutama pembelajaran sejarah
kontroversial.
Permasalahan tentang kebijakan yang dikeluarkan tidak lepas dari konsep
kuasa dalam pendidikan seperti dijelaskan di atas. Dari konsep hegemoni
224
ditemukan benang merah bahwa pendidikan dapat dijadikan sebagai sarana
indoktrinasi penguasa dalam menciptakan konformitas. Di satu sisi pendidikan
digunakan pula sebgai sebuah sarana legitimasi. Secara teknis upaya dalam
pemanfaatan pendidikan untuk kepentingan penguasa adalah melalui perumusan
kebijakan dalam pendidikan, termasuk dalam pendidikan sejarah pada jalur
formal. Kecenderungan yang politis dalam pendidikan sejarah seperti
diungkapkan oleh Bambang Purwanto pada seminar nasional di Pascasarjana
UNS tanggal 29 Mei 2009. Pada kesempatan itu ia menyatakan bahwa proses
penyusunan SK dan KD untuk sejarah sangat politis, karena di satu sisi selain
faktor keilmuan ada pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam perumusan
kompetensi dasar untuk sejarah.
Dalam hal pendidikan sejarah, Bambang Purwanto (2006: 268-269)
menyatakan bahwa
Pada dasarnya pendidikan sejarah di sekolah tidak lepas dari pengaruh nilai yang paling dominan, termasuk politik. Pendidikan sejarah selalu menjadi ladang yang diperebutkan oleh kepentingan politik untuk menunjukkan kekuasaannya.
Sampai saat ini permasalahan kebijakan pelajaran sejarah menurut
Bambang Purwanto (2005: 5) belum ada perubahan penting dalam kurikulum,
materi yang diajarkan, dan metode pada pedidikan sejarah. Hal ini myenyebabkan
permasalahan yang menjadi hambatan untuk mengimplementasikan critical
pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
Tiga aspek yang telah dijelaskan di atas merupakan faktor yang termasuk
dalam faktor eksternal yang mempengaruhi pemahaman guru terhadap
225
implementasi critical pedagogy. Secara sederhana ketiga aspek yang telah
dijelaskan di atas dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut
Gambar 4. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Pemahaman Guru dalam Implementasi Critical Pedagogy pada Pembelajaran Sejarah Kontroversial (sumber: diolah dari hasil penelitian)
Pada aspek pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial guru-guru
ternyata belum maksimal dalam implementasi critical pedagogy. Tidak ada
perbedaan yang mendasar dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial
dalam perspektif critical pedagogy pada setiap sekolah dengan karakteristik yang
berbeda. Tidak ada jaminan bahwa SMA negeri yang memiliki status tertentu
menjadi lebih baik dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversialnya.
Aspek yang membedakan hanya pada aspek penunjang secara fisik, seperti
ketersediaan referensi, media pembelajaran, dan fasilitas lain. Hal ini disebabkan
pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial lebih disebabkan oleh
karakteristik masing-masing guru dalam mengajar dan menyampaikan materi.
Kecenderungan yang brebeda pada tiap karakteristik sekolah hanya pada ada atau
tidaknya inisiatif dalam mengajarkan sejarah kontroversial. Di SMA negeri yang
226
berada di perkotaan ada kecenderungan guru untuk secara pribadi mengajarkan
sejarah kontroversial, walaupun itu hanya bersifat kasuistik. Artinya, hal itu
disebabkan oleh karakter guru yang dikenal memiliki sikap kritis. Akan tetapi ada
pula guru yang masih pasif dalam menanggapi permasalahan kontroversi, yakni
guru menjelaskan aspek kontroversial apabila muncul pertanyaan dari peserta
didik.
Pada pembelajaran sejarah kontroversial ada kecenderungan guru-guru
untuk menghindari isu kontroversial dalam pembelajaran. Hal tersebut merupakan
kecenderungan umum yang terjadi, walaupun ada sebagian kecil guru yang berani
untuk menyatakan pendapat dan memiliki inisiatif dalam mengajarkan sejarah
kontroversial. Kecenderungan guru untuk menghindari isu kontroversial dalam
pembelajaran menjadi hal yang kontradiktif dengan pemahaman yang mereka
miliki. Dalam aspek pemahaman, guru telah menyadari bahwa pendidikan sejarah,
terutama pembelajaran sejarah kontroversial memiliki kontribusi dalam
mengembangkan kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis peserta didik. Akan tetapi
implementasi di dalam pembelajarannya sering kali tidak seperti yang
diungkapkan. Pada perspektif critical pedagogy, guru masih berada pada tahapan
refleksi dan belum pada tahap aksi/aktualisasi.
Pada tahap refleksi ada beberapa pertanyaan yang sebenarnya telah
mampu untuk dijawab oleh guru, yakni “apa yang penting dari pembelajaran
sejarah kontroversial melalui perpsketif critical pedagogy?”, “mengapa pesan
tersebut dianggap penting?”, “apa manfaat yang bida diambil?”, “apa dampak jika
saya tidak melaksanakannya tersebut?”. Pada tahap refleksi guru telah memahami
227
dan mampu melihat konteks mengapa pembelajaran sejarah kontroversial ada dan
mengapa penting untuk disampaikan. Namun demikian, guru masih belum
optimal dalam tahap aksi/aktualisasi, yakni ketika kesadaran yang dimiliki oleh
guru di-ejawantah-kan dalam ranah laku. Dengan demikian, guru masih lemah
dalam hal praksis.
Untuk menganalisis lebih lanjut pelaksanaan pembelajaran sejarah yang
bersifat kontroversial, penelitian ini akan memilah deskripsi tentang pembelajaran
sejarah menjadi dua, yakni (1) pada saat perencanaan pembelajaran, (2) dan pada
saat pelaksanaan.
Perencanaan pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan pasal 20 meliputi silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar,
metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Dalam hal ini,
guru telah menyusun perencanaan pembelajaran dalam bentuk penyusunan
rencana minggu efektif, program tahunan, program semester, silabus, rencana
pelaksanaan pembelajaran yang di dalamnya meliputi tujuan pembelajaran, materi
ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.
Pada penyusunan silabus, guru mendasarkan pada penyusunan silabus
yang telah disusun pada kurikulum tahun 2004, hanya saja dengan melakukan
perubahan dan penyesuaian dengan kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan. Dalam pelaksanaannya ada sekolah yang menyusun secara
mandiri tetapi ada pula sekolah yang menyusun silabus bersama MGMP.
228
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun oleh guru
menggunakan model penyusunan rencana pelakasnaan tiap satu kompetensi dasar.
Artinya adalah perencanaan disusun untuk satu kompetensi dasar dan di dalamnya
diuraikan beberapa pertemuan, sesuai dengan indikator yang disusun. Akan tetapi
dalam penyusunan RPP masih terdapat kelemahan, yakni kalimat yang digunakan
masih belum bersifat operasional dan menggunakan kalimat yang bersifat umum.
Idealnya pembuatan RPP adalah dengan menggnakan kalimat yang operasional, di
mana pelaksanaan pembelajaran seusai dengan apa yang telah direncanakan.
Adanya hal ini menyebabkan kecederungan bahwa pelakasnaan pembelajaran
hanya memiliki satu garis besar perencanaan untuk tiap pertemuan, bukan
perencanaan untuk tiap-tiap tahapan pada satu pertemuan. Namun demikian,
walaupun guru masih memiliki kelemahan dalam bidang perencanaan,
pelaksanaan pembelajaran telah sesuai dengan apa yang direncanakan.
Ditinjau dari aspek pelaksanaan pembelajaran terkait dengan tujuan, pada
dasarnya tujuan yang disusun oleh guru belum sepenuhnya sesuai dengan critical
pedagogy. Tujuan ideal dari pembelajaran yang bermuara pada bagaimana
meningkatkan pemahaman peserta didik secara komprehensif terhadap suatu
peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial masih belum trakomodasi dan
diapresiasi secara optimal. Kemudian, karena ada beberapa materi yang tidak
disampaiakan secara maksimal, tujuan-tujuan yang disusun belum terlaksana
secara optimal.
Aspek berikutnya dalam pembelajaran adalah aspek subjek belajar. Dalam
hal ini aspek guru dan peserta didik sangat berpengaruh dalam pelaksanaan
229
pembelajaran sejarah yang mengangkat materi ajar tentang sejarah yang bersifat
kontroversial. Pemahama guru menjadi satu hal yang sangat berperan dalam
menentukan suksesnya pelaksanaan pembelajarah sejarah kontroversial. Ditinjau
dari aspek peserta didik, SMA Negeri 1 dan 5 Semarang dapat dikatakan sebagai
sekolah yang unggulan, sehingga masukan (in put) dari aspek peserta didik tentu
saja sangat mendukung dalam pelaksanaan pembelajaran materi sejarah yang
bersifat kontroversial. Rata-rata kemampuan peserta didik dalam menerima
pelajaran adalah baik. Hal ini disebabkan pada dasarnya peserta didik memang
telah memiliki bekal yang cukup untuk diajak guru dalam berdiskusi dan
berinterkasi dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Kemampuan peserta didik
yang baik ini mejnadi bekal yang sangat bermanfaat untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Dengan demikian, peran guru mengalami menjadi tidak sebagai
satu-satunya informasi dan hanya membangun komunikasi satu atah, tetapi guru
menjadi berperan sebagai sarana yang mengantarkan pesrta didik untuk mencapai
kompetensi secara mandiri. Adanya kemampuan peserta didik yang baik, maka
komunikasi dua arah antara guru dan peserta didik dimungkinkan untuk terjadi
secara efektif. Dengan demikian, pada pembelajaran sejarah kontroversial, faktor
peserta didik menjadi hal yang mendorong dan mempermudah terwujdunya tujuan
pembelajaran. Akan tetapi dalam beberapa kasus ditemukan adanya pandangan
dari kalangan peserta didik yang kurang antusias terhadap pembelajaran, bahkan
cenderung mengacuhkan pelajaran sejarah.
Metode pembelajaran yang digunakan dalam mengajarkan materi yang
bersifat kontroversial adalah adanya kecenderungan guru untuk menerapkan
230
perpaduan metode. Ada kesamaan tahapan yang dilakukan, yakni pada pertemuan
awal guru bercerita tentang latar belakang terjadinya peristiwa sejarah. Setelah itu
tedapat ulasan tentang aspek kronologis. Kemudian peserta didik juga disarankan
untuk belajar secara mandiri untuk memperdalam kajian.
Pada pelaksanaan pembelajarannya, ada beberapa hal yang masih lemah
dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial.
Ditinjau dari aspek 4K dalam pembelajaran sejarah, guru cenderung lemah
terutama dalam aspek komprehensivitas. Pada aspek ini disajikan keberagaman
versi dan perspektif dalam melihat sebuah peristiwa sejarah. Pada peristiwa
Gerakan 30 September 1965 keberagaman versi tersebut memunculkan untuk
disampaikan dalam kelas.
Selain aspek komprehensivitas dalam menyajikan versi-versi dari sebuah
peristiwa sejarah kontroversial, permasalahan lain adalah ditinjau dari metode
yang digunakan dalam critical pedagogy. Pada critical pedagogy terdapat dua
metode yakni kodifikasi dan dekodifikasi (Agus Nuryatno, 2008: 6). Kodifikasi
mengacu pada proses merepresentasikan fakta yang diambil dari kehidupan
peserta didik kemudian mempermasalahkannya. Sementara itu dekodifikasi
mencakup metode deskriptif untuk memahami surface structure dan metode
analitis untuk memahami deep structure. Pada aspek kodifikasi, guru lemah dalam
memberikan inisiatif pembelajaran sejarah kontroversial. Pada aspek dekodifikasi,
pelaksanaan pembelajaran masih belum tuntas pada metode analitis. Belum ada
upaya yang dilakukan secara menyeluruh tentang versi-versi yang ada dalam
pembelajaran sejarah peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965.
231
Ditinjau dari tahapan yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran
kritis, ternyata ada tahapan yang masih belum tuntas dalam pengimplementasian
critical pedagogy. Tahapan tersebut adalah: (1) Naming, tahapan
mempertanyakan sesuatu permasalahan dengan pertanyaan “apa masalahnya”; (2)
Reflecting, tahapan dengan mengajukan pertanyaan “mengapa peristiwa tersebut
terjadi” yang bertujuan agar peserta didik dibiasakan untuk berpikir kritis dan
reflektif; (3) Acting, tahapan berupa proses pencarian alternatif untuk
memecahkan masalah (Taylor dalam Agus Nuryatno, 2008: 10). Tahapan yang
masih lemah di kalangan pelaksanaan oleh guru adalah tahapan acting. Lemahnya
guru dalam tahapan acting terjadi pada pemahaman dan pelaksanaan
pembelajaran sejarah kontroversial.
Ditinjau dari proses pelaksanaan critical pedagogy berupa pembelajaran
dialogis dan kontekstual, guru-guru telah mengimplementasikan dengan baik.
Proses dialogis dalam mengulas permasalahan tercermin dari kegiatan
pembelajaran yang tidak hanya berpusat pada guru. Dalam hal ini peserta didik
diberikan keleluasaan untuk memecahkan masalah dengan menggali informasi
secara mandiri. Dalam pembelajaran ada upaya untuk mengakomodasi gagasan
peserta didik melalui diskusi, walaupun intensitasnya belum terlalu sering. Pada
aspek kontekstual, pembelajaran sejarah telah dilakukan yakni dengan mengaitkan
antara materi dengan kondisi kekinian. Akan tetapi di kalangan guru terdapat
kesulitan dalam menerapkan aspek pembelajaran kontekstual terkait dengan
peristiwa sejarah kontroversial.
232
Ditinjau dari aspek sumber belajar, sumber-sumber yang dimanfaatkan
guru dalam pembelajaran sejarah pada dasarnya sudah cukup beragam, karena
guru tidak hanya menggunakan buku teks, tetapi juga menggunakan beberapa
referensi sebagai pelengkap. Akan tetapi ada beberapa kelemahan dalam aspek
pemanfaatan sumber. Pada buku teks yang disusun oleh I Wayan Badrika (2008)
pada materi tentang peristiwa Gerakan 30 September ditinjau dari kaca mata
critical pedagogy pada dasarnya telah memenuhi setiap aspek yang terkandung,
yakni ada kandungan latar belakang, penjelasan kronologis terjadinya suatu
peristiwa, beberapa pendapat yang menyatakan peristiwa tersebut, serta
bagaimana dampak atau pengaruh dari peristiwa sejarah tersebut bagi peristiwa-
peristiwa sedudahnya. Akan tetapi, dalam buku tersebut, kelemahannya adalah
masih lemah dalam aspek komprehesif. Di sini penulis buku belum memaparkan
secara menyeluruh teori-teori terjadinya peristiwa tahun 1965 tersebut. Hanya ada
beberapa teori saja yang dituliskan dalam buku tersebut.
Selain menggunakan buku teks, guru juga memanfaatkan modul dan
lembar kerja peserta didik (LKS) yang mamdahkan peserta didik dalam
memahami suatu materi karena di dalam modul tersebut terdapat rangkuman
materi sekaligus soal latihan dan penugasan yang dapat dikerjakan oleh peserta
didik. Setelah ditinjau dari perspektif pendekatan kritis, modul dan LKS sudah
cukup layak untuk dijadikan buku pendamping dan latihan untu peserta didik.
LKS yang digunakan oleh guru yang disusun oleh MGMP ternyata belum
menunjang pelaksanaan sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy.
233
Hal ini tampak dari adanya indikator yang dirumuskan untuk materi
tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965, yakni: (1) Mengidentifikasi
strategi politik PKI masa demokrasi liberal dan terpimpin; (2) Mengidentifikasi
aksi-aksi sepihak PKI sebelum G 30 S/PKI 1965; (3) Menunjukkan kaitan antara
gerakan 30 September dengan dewan revolusi; (4) Menjelaskan gerakan 30
September PKI telah melakukan perebutan kekuasaan yang sah; (5)
Mengientifikasi nama-nama dalang di balik gerakan 30 September PKI; (6)
Menganalisa kebenaran isu adanya dokumen Gilchrist; (7) Menerangkan prosesi
pengangkatan jenazah korban kebiadaban PKI di Lubang Buaya; (8)
Menyebutkan upaya-upaya penumpasan G 30 S/PKI 1965; (9) Menjelaskan akibat
sosial politik G 30 S/PKI 1965, (10) Mengidentifikasi adanya bahaya laten
komunis. Dimanfaatkannya LKS dengan indikator yang bersifat politis seperti di
atas menjadi salah satu hal yang menyebabkan pembelajaran sejarah kontroversial
dalam perspektif critical pedagogy tidak berjalan dengan baik karena tidak
dudukung oleh sarana belajar yang tidak mendukung critical pedagogy.
Kaitannya dengan pemanfaatan sumber berupa buku, diakui bahwa guru
belum dapat menafaatkan sumber yang secara spesifik menyatakan suatu
peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial, seperti tentang peristiwa Gerakan 30
September. Hal ini dapat dipahami karena sumber-sumber tersebut tidak dapat
secara mudah diakses oleh guru-guru sejarah.
Sumber lain yang dimanfaatkan guru dalam pembelajaran sejarah adalah
sumber dari internet. Internet sebagai sumber belajar memiliki keunggulan adanya
data-data yang cukup banyak dan memilii nilai keterbaruan yang tinggi. Hal ini
234
karena dengan pemafaatan internet sebagai sumber belajar, berbagai infromasi
dari belahan dunia dapat diakses secara mudah dan cepat. Akan tetapi sebagai
sumber belajar, interet juga memiliki kelemahan. Walaupun memiliki nilai
keterbaruan yang tinggi, internet memiliki nilai keakuratan (accuracy) dan
kepercayaan (validity) yang rendah. Tingat keakuratan dan kepercayaan data di
internet lemah. Hal ini karena tidak semua tulisan yang ada di internet dapat
dimanfaatkan sebagai sumber. Hal ini disebabkan sifat dari internet yang terbuaka
bagi siapa saja untuk memanfaatkannya. Oleh karena banyak orang yang dapat
mengakses, maka kadar kepercayaan data adalah lemah. Hal ini karena bisa saja
orang menulis sejarah semaunya, padahal yang dituliskannya belum tentu benar.
Oleh karena itu, untuk memanfaatkan internet sebagai sebagai sumber belajar
perlu diterapkan beberapa upaya untuk menyeleksi sumber yang akan
dimanfaatkan. Bekaitan dengan pemanfaatan internet terlebih dahulu patut
dipertanyakan tentang sumber dari tulisan, apakah berasal dari sumber yang
terpercaya. Apakah tulisan tersebut memang didasarkan pada referensi-referensi
tertentu. Selain itu guru harus memahami bahwa sumber di internet bukan sebagai
satu-satunya sumber dan sumber yang paling utama.
Pada pelaksanaan pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial, guru
memanfaatkan beberapa media pembelajaran. Media dalam pembelajaran sejarah
memegang peranan dan posisi yang penting. Hal ini karena media membantu
dalam menggambarkan dan memberikan informasi tentang peristiwa yang terjadi
pada masa lampau. Peranan media yang lain adalah sebagai pengembang konsep
generalisasi serta membantu dalam memberikan pengalaman dari bahan yang
235
abstrak seperti buku teks menjadi bahan yang jelas dan nyata. Dengan demikian
untuk mewujudkan efektivitas pembelajaran sejarah harus dilakukan optimalisasi
penggunaan media pembelajaran.
Pada pendidikan tingkat dasar dan menengah, peran media sangat
diperlukan dalam pengajaran sejarah. Hal ini selain mempermudah guru dalam
penyampaian materi, media berfungsi untuk mengembangkan kemampuan indera
anak didik. Di dalam pembelajaran sejarah, media berperan dalam mewujudkan
tiga hal, yakni (1) visualisasi, (2) interpretasi, dan (3) generalisasi. Media
pembelajaran membantu menyampaikan pesan dari guru kepada peserta didik agar
dalam diri peserta didik terbangun pemahaman yang menyeluruh tentang
peristiwa sejarah kontroversial. melalui media peserta didik mampu
mengonkretkan konsep-konsep atau peristiwa yang masih berisfat abstrak. Inilah
fungsi media dalam aspek visualisasi. Selain itu media pembelajaran membantu
peserta didik melakukan penafsiran terhadap peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan
adanya kemampuan peserta didik untuk mengetahui dan menghayati peristiwa
sejarah maka inilah fungsi media dalam mengembangkan kemampuan peserta
didik melakukan interpretasi. Media pembelajaran selain itu juga mampu
memberikan kemudahan bagi peserta didik dalam menarik simpulan dan
menemukan konseo-konsep umum serta benang merah dari suatu peristiwa.
Berbagai media yang dimanfaatkan guru dalam pembelajaran sejarah
kontroversial antara lain (1) media pandang yang yang tidak diproyeksikan
(seperti gambar diam, gambar kronologi, peta) dan (2) media pandang yang
diproyeksikan, seperti media slide dengan aplikasi microsoft power point.
236
Gambar 5. Fungsi Media Pembelajaran dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial (sumber: diolah dari hasil penelitian)
Pada pelaksanaan pembelajaran, pemanfaatan media oleh guru terdapat
beberapa kelemahan dalam hal (1) persiapan, (2) ketersediaan, (3) keterjangkauan,
dan juga (4) pemanfaatan. Ditinjau dari aspek persiapan, pemanfaatan media yang
komplet membutuhkan waktu yang lama. Selain itu ketersediaan media berupa
note book dan LCD ataupun OHP tidak dalam jumlah yang cukup, karena
pemakaiannya bergantian dengan pelajaran lain. Hal ini terjadi pada SMA yang
terletak di kawasan pinggiran kota. Pemanfaatan media berupa film masih belum
dapat digunakan karena tidak dimilikinya film-film terkait dengan pembelajaran
sejarah kontroversial. Dari aspek keterjangkauan, ada beberapa media yang belum
dapat dimanfaatkan secara optimal karena tidak tersedia dan keterbatasan dalam
hal pemanfaatan. Pemanfaatan media-media pembelajaran alternative belum
dimanfaatkan pula oleh guru. Media-media yang masih belum dimanfaatkan
antara lain
Fungsi media pada pembelajaran sejarah
Mewujudkan visualisasi
Membantu dalam interpretasi fakta
Mengembangkan konsep generalisasi
Tujuan pembelajaran sejarah kontroversial
237
Tabel 3. Beberapa Media dan Sumber Belajar Tentang Peristiwa Gerakan 30 September Tahun 1965
Jenis Contoh
Film Pemberontakan G 30 S/PKI (produksi Perusahaan Film Negara) dan Gie (produksi Miles Production)
Novel/Cerpen Para Priyayi I & II (karya Umar Kayam), Sri Sumarah (kumpulan novelet dan cerpen Umar kayam)
Media Massa Surat kabar, majalah, internet Buku Adam, Asvi Warman. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah.
Yogyakarta: Ombak. Sekretariat Negara RI. 1994. G30S/PKI: Latar Belakang, Aksi
dan Penumpasannya. Jakarta: Setneg RI. Sulistyo Hermawan. 2001. Palu Arit Di Ladang Tebu. 2001.
Jakarta: KPG Syamdani (ed). 2001. Kontroversi Sejarah di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Sumber: Tsabit Azinar Ahmad (2008: 25)
Pada aspek evaluasi, guru telah menerapkan variasi model penilaian yang
digunakan untuk mengetahui tingkat pencapaian belajar peserta didik dan
kemajuan mereka dalam pembelajaran. Ada beberapa model penilaian yang
dilakukan guru dalam pembelajaran materi sejarah yang bersifat kontroversial.
Penilaian yang digunakan guru dalam pembelajaran ini adalah (1) penilaian unjuk
kerja, (2) penilaian tertulis, (3) penilaian sikap, (4) penilaian proyek, serta (5)
penilaian portofolio.
Penilaian unjuk kerja merupakan penilaian yang dilakukan dengan
mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu, dalam hal ini adalah
penilaian terhadap presentasi yang dilakukan oleh peserta didik pada saat kegiatan
diskusi. Penilaian secara tertulis dilakukan dengan tes tertulis. Tes Tertulis
merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada peserta didik
dalam bentuk tulisan. Di SMA N Kota Semarang ada dua bentuk soal tes tertulis,
yaitu (1) memilih jawaban seperti pilihan ganda, dua pilihan (benar-salah, ya-
238
tidak), serta (2) menyupali jawaban, yakni dalam bentuk isian atau melengkapi,
jawaban singkat atau pendek, dan soal uraian. Tes tulis dilakukan tidak hanya
pada tiap akhir pemhasana suatu kompetensi dasar tetapi juga pada saat
pembelajaran berlangsund seperti pemberian quiz.
Penilaian sikap digunakan sebagai upaya untuk menilai perilaku peserta
didik pada saat pembelajaran berlangsung. Penelitian ini dilakukan denga
pengisian isian tentang perilaku peserta didik pada saat pembelajaran.
Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang
harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu
investigasi sejak dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian,
pengolahan dan penyajian produk. Bentuk penilaian ini adalah penugasan dalam
pembuatan artikel.
Penilaian portofolio merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan
pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta
didik dalam satu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta
didik (hasil pekerjaan) dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh
peserta didiknya, lembar jawaban tes yang menunjukkan soal yang mampu dan
tidak mampu dijawab (bukan nilai), atau bentuk informasi lain yang terkait
dengan kompetensi tertentu dalam satu mata pelajaran. Penilaian portofolio pada
dasarnya menilai karya-karya peserta didik secara individu pada satu periode
untuk suatu mata pelajaran. Akhir suatu priode hasil karya tersebut dikumpulkan
dan dinilai oleh guru dan peserta didik. Berdasarkan informasi perkembangan
239
tersebut, guru dan peserta didik sendiri dapat menilai perkembangan kemampuan
peserta didik dan terus melakukan perbaikan.
Sarana penunjang lain dalam pembelajaran sejarah di Kota Semarang
cukup baik. Hal ini terlihat dari adanya akses internet yang sudah dapat dengan
mudah dijangkau, tersedianya fasilitas sekolah seperti ruang auido visual yang
dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah, adanya referensi dan sumber-
sumber di perpustakaan yang dapat dimanfaatkan. Namun demikian, ada
kelemahan dalam hal sarana penunjang ini, yakni belum ada suatu sarana yang
secara khusus dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah. Di SMA Kota Semarang
masih belum terdapat ruang sejarah atau laboratorium sejarah. Ruangan ini
meruapakan ruangan yang ditata sedemikian rupa, yang di dalamnya terdapat
berbagai media, seperti gambar, peta, sampai multimedia, sehingga memudahkan
peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran sejarah.
Bahasan tentang implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran
sejarah kontroversial mengarah pada kendala-kendala pelaksanaan pembelajaran.
sebelum mengulas tentang permasalahan kendala secara tekni ada permasalahan
yang muncul dalam konteks pembelajaran sejarah. Permasalahan itu adalah
permasalahan tentang subjektivitas dalam historiografi ditambah dengan adanya
faktor eksternal berupa campur tangan dari pihak lain telah menyebabkan
penulisan sejarah memiliki perbedaan sudut pandang, bahkan tidak jarang
bertentangan. Namun selama ketaksamaan visi dan pendekatan yang
memunculkan perbedaan dan pertentangan sebuah tulisan sejarah didukung oleh
fakta-fakta pada dasarnya dari sudut pandang keilmuan hal tersebut masih wajar.
240
Namun demikian yang menjadi permasalahan adalah ketika ternyata pertentangan
itu masuk dalam ranah pendidikan. Penulisan sejarah dalam ranah pendidikan
tidak lagi semata-mata ditujukan untuk ilmu pengetahuan, tetapi juga digunakan
sebagai sarana untuk memberikan pemahaman-pemahaman tehadap sebuah
fenomena. Selain itu dalam ranah pendidikan ada pula tujuan-tujuan yang menjadi
sekat pembatas dan jalur penuntun bagaimana penerapan penulisan sejarah untuk
mencapai sasaran tertentu. Oleh karena itu permasalahan kontroversi sejarah akan
menjadi lebih rumit ketika telah masuk dalam ranah pendidikan.
Adanya permasalahan yang cukup rumit ini menjadi alasan munculnya
kendala-kendala pembelajaran dalam aspek teknis pembelajaran. Dalam
pelaksanaannya, critical pedagogy belum dapat dilaksanakan secara optimal. Ada
beberapa permasahan terkait masalah belum optimalnya implementasi critical
pedagogy di kalangan guru, yakni (1) masih belum dikenalnya konsep critical
pedagogy secara teknis dan formal di kalangan guru-guru baik karena keengganan
untuk mencari pengetahuan baru maupun karena minimnya akses untuk
mendapatkan informasi, (2) perkembangan critical pedagogy kalah saing dengan
perkembangan pendekatan pembelajaran yang lain, (3) belum adanya
pengembangan critical pedagogy dalam pendidikan calon guru, (4) minimnya
pelatihan dan pendampingan bagi guru untuk mengimplementasikan critical
pedagogy, (5) kebijakan pemerintah belum memberikan ruang terhadap
perkembangan critical pedagogy.
Pada aspek perencanaan, apabila kendala-kendala tersebut dianalisis,
ternyata kendala-kendala itu masih memiliki keterkaitan satu sama lain.
241
Tabel 4. Analisis Kendala-Kendala dalam Perencanaan Pembelajaran Sejarah yang Bersifat Kontroversial
No Kendala Disebabkan oleh Menyebabkan 1 Minimnya
contoh-contoh rencana pembelajaran
• Sosialisasi yang tidak merata dan kurang
• Komunikasi yang kurang antarguru sejarah
Lemahnya kemampuan guru dalam hal perencanaan pembelajaran
2 Sumber-sumber masih terbatas
• Minimnya akses untuk memperoleh sumber
• Belum ada sumber yang secara “resmi” disusun oleh pemerintah
Kesulitan guru dalam memahami peristiwa-peristisa sejarah kontroversial
3 Akses untuk mendapatkan informasi yang sulit
• Ketersediaan sumber terbatas
Sulitnya mendapatkan sumber yang baik
4 Alokasi waktu yang terbatas dalam pembelajaran
• Struktur kurikulum yang tidak memungkinkan dimasukannya materi tertentu
• Banyaknya materi lain yang juga harus diberikan
Sulit dalam melakukan variasi model pembelajaran
5 Kebijakan pemerintah yang membingungkan
• Faktor kepentingan • Desakan salah satu
golongan
Munculnya masalah dalam hal pelaksanaan pembelajaran sejarah
6 Ada materi yang tidak memiliki alokasi waktu khusus dalam pembelajaran
Materi menjadi bagian dari materi lain yang lebih bersifat umum
Kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran
Sumber: Diolah dari hasil penelitian
242
Kemunculan kendala-kendala tersebut pada akhirnya akan menyebabkan
lemahnya kemampuan guru dalam perenacnaan pembelajaran. Lemahnya aspek
perencanaan mengakibatkan pembelajaran yang dilakukan tidak terstruktur,
sehingga pencapaian tujuan pembelajaran tidak dapat terwujud secara efektif.
Pada aspek pembelajaran kendala-kendala hampir ditemui pada setiap
aspek dalam pembelajaran meliputi (1) tujuan, (2) subjek belajar, (3) materi, (4)
metode pembelajaran, (5) media pembelajaran, (6) evaluasi, serta (7) aspek-aspek
penunjang.
Kendala-kendala yang ditemui dalam aspek pembelajaran masih berpusat
pada keterbatasan keterampilan guru dalam penerapan variasi pembelajaran,
minimnya antusias peserta didik, materi yang memunculkan serangkaian kesulitan
dalam pemahamannya, masalah dalam media pembelajaran, penerapan sistem
evaluasi, serta keterbatasan fasilitas dan sumber. Kendala-kendala ini
menyebabkan kegiatan pembelajaran tidak berjalan dengan optimal dan
berlangsung secara tidak efektif.
Kendala-kendala dalam pembelajaran sejarah merupakan permasalahan
yang menyebabkan belum tercapaian pelaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial dalam perspektif critical pedagogy. Munculnya kendala-kendala ini
disebabkan oleh beberapa hal seperti yang digambarkan dalam uraian pada tabel
di bawah ini
243
Tabel 5. Analisis Kendala-Kendala dalam Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah yang Bersifat Kontroversial
No Aspek Permasalahan Utama Penyebab 1 Tujuan Banyaknya materi
menyebabkan kekhawatiran tidak tercapainya tujuan
Banyaknya materi dan keterbatasan alokasi waktu
2 Subjek belajar • Pengetahuan guru terbatas
• Peserta didik kurang antusias
• Akses yang sulit • Kebijakan yang
membingungkan. • Bagi aspek peserta
didik karena kurang adanya variasi pembelajaran
3 Materi Materi bersifat sensitif dan terdiri atas banyak versi
Perubahan corak historiografi dan adanya faktor kepentingan
4 Metode pembelajaran
Minim pemanfaatan variasi metode dan keterbatasan alokasi waktu
Keterbatasan waktu dan pengetahuan atas variasi metode
5 Media pembelajaran
Kendala dalam persiapan, ketersediaan, keterjangkauan, dan juga pemanfaatan
Minimnya jumlah media, belum dioptimalkannya media yang tersedia
6 Evaluasi Kesulitan dalam aspek penyusunan soal yang “netral”
Sifat materi yang sarat akan nilai dan kepentingan
7 Penunjang Keterbatasan fasilitas dan ketidakoptimalan pemanfaatan fasilitas tersebut
Minimnya sumber belajar
Sumber: diolah dari hasil penelitian
244
Dalam hal faktor pendukung, kendala-kendala yang ditemui dalam aspek
organisasi profesi dan keilmuan, perguruan tinggi, media massa, serta kebijakan
pemerintah adalah ketidakoptimalan peran dari komponen-komponen pendukung
serta belum optimalnya pemanfaatan media massa sebagai sumber belajar.
Dari penjelasan tentang berbagai hal tentang pembelajaran mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, dan peran komponen penunjang, ternyata ada beberapa
faktor yang menyebabkan munculnya kendala dalam pembelajaran. Kendala-
kendala yang ditemui dalam kelas sejarah secara umum dapat disebabkan oleh
dua faktor, yakni (1) faktor intern dan (2) faktor ekstern. Faktor intern yang
memunculkan permasalahan dalam pembelajaran sejarah kontroversial adalah
faktor yang berasal dari dalam ilmu sejarah, yakni adanya perubahan dalam corak
historiografi Indonesia pascareformasi.
Faktor kedua adalah faktor ekstern yakni faktor-faktor luar yang berasal
dari luar sejarah yang memengaruhi sejarah dan pendidikan sejarah. Antara faktor
intern dan ekstern tersebut tidak berdiri sendiri (independent), tetapi menjadi satu
rangkaian yang memunculkan hubungan kausalitas dan hubungan kebergantungan
(interdependent), di mana faktor intern sangat mempengaruhi faktor ekstern.
Faktor intern yang menyebabkan permasalahan dalam pendidikan sejarah
adalah terjadinya perubahan corak historiografi Indonesia yang memunculkan
pendapat-pendapat yang beraneka ragam tentang satu peristiwa sejarah, seperti
berkembangnya beberapa versi dari Gerakan 30 September tahun 1965. Akan
tetapi, ketika di satu sisi terjadi perubahan corak historiografi Indonesia setelah
jatuhnya Soeharto, hal ini tidak diimbangi dengan kesiapan untuk menerima
245
perubahan tersebut. Hal ini karena pengaruh tradisi historiografi Indonesia dalam
memahami, merekonstruksi, dan memaknai masa lalu masih sangat kuat, sehingga
bagi masyarakat awam, hal ini justru memberikan kebingungan.
Berkaitan dengan perubahan corak historiografi Indonesia, adanya
perbedaan versi dalam penulisan sejarah ini diakibatkan banyak hal, yakni
subjektivitas, pemahaman masyarakat yang keliru, dan faktor kepentingan. Faktor
subjektivitas bisa berasal dari pelaku sejarah atau sejarawan. Selain itu ada pula
kemungkinan terbentuknya satu konstruk pemikiran yang kuat dalam masyarakat
tentang satu pemahaman sejarah, walaupun belum tentu pemahaman yang selama
ini diyakini adalah benar adanya. Hal ini karena masyarakat terpengaruh oleh
wacana tertetu selama terus-menerus, seperti ketika pada pemerintahan Orde Baru
masyarakat selalu diberikan wacana bahwa dalam G 30 S, PKI-lah yang menjadi
dalang.
Teori-teori yang berkembang tentang peristiwa 1965 juga tidak diberitakan
secara seimbang pada masa itu. Padahal permasalahan tentang pelaku G 30 S
sampai sekarang masih simpang siur, dan ada beberapa teori lain selain PKI
sebagai dalang yang muncul. Namun demikian, aspek yang paling berpengaruh
dalam faktor intern dari penyebab munculnya permasalahan dalam pembelajaran
sejarah adalah adanya kepentingan-kepentingan yang ada di dalam sejarah.
Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu
peristiwa sejarah ataupun dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu
peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu. Kepentingan yang datang dari
246
pihak pelaku sejarah ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa
dirugikan dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu.
Faktor ekstern yang menyebabkan munculnya permasalahan dalam
pembelajaran sejarah yang kontroversial masih berada di seputar (1) lemahnya
desain pembelajaran sejarah, (2) kebijakan tentang pendidikan sejarah yang
kurang mendukung pelaksanaan pendidikan sejarah secara ideal, (3) minimnya
informasi kesejarahan yang up to date bagi praktisi pendidikan, (4) tidak
optimalnya peran komponen penunjang, serta (5) faktor kepentingan terhadap
pendidikan sejarah.
Faktor kepentingan yang dimaksud adalah adanya campur tangan yang
terlalu banyak dari pemerintah terhadap pendidikan sejarah, seperti ketika
dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019/A/JA/03/2007 pada
tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak
membahas pemberontakan (PKI) tahun 1948 dan 1965. Walaupun pada dasarnya
pendidikan sejarah merupakan alat dari pemerintah untuk menumbuhkan rasa
cinta tanah air dan nasionalisme, akan tetapi ketika pemerintah terlalu banyak
campur tangan, hal ini dapat menimbulkan satu anggapan bahwa pendidikan
sejarah justru menjadi satu alat legitimasi. Berikut adalah gambar tentang
identifikasi terhadap sebab munculnya kendala dalam pembelajaran sejarah
kontroversial
247
Gambar 6. Identifikasi Penyebab Permasalahan Pembelajaran Sejarah Kontroversial (sumber: diolah dari hasil penelitian)
Kendala-kendala pembelajaran sejarah akhirnya bermuara pada belum
optimalnya encapaian tujuan pendidikan sejarah. Hal ini menjadi sesuatu yang
harus segera diantisipasi karena pembelajaran sejarah kontroversial memiliki
posisi yang penting. Ditinjau dari perspektif peserta didik, pembelajaran sejarah
kontroversial mampu memunculkan rasa keingintahuan peserta didik. Dengan
demikian pada dasarnya adapotensi yang dimiliki oleh pembelajaran sejarah
kontroversial untuk memunculkan kreativitas peserta didik, terutama dalam
memecahkan masalah.
Dari hasil penelitian ditemukan hasil bahwa peserta didik cenderung
tertarik dan ingin tahu peristiwa-peristiwa sejarah kontroversial. Pembelajaran
248
sejarah kontroversial dapat menarik peserta didika karena ada kecenderungan
secara psikologis peserta didik telah mampu secara psikologis untuk memahami
aspek kontroversi. Selain itu, pembelajaran sejarah kontroversial memiliki
peluang yang besar dalam meningkatkan partisipasi peserta didik dalam
pembelajaran.
Lamont (2005: x) menyatakan bahwa pembelajaran sejarah kontroversial
dapat berfungsi untuk mengomunikasikan pada peserta didik agar mereka dapat
berpikiran trebuka terhadap perdebatan dalam sejarah, di mana segala pendapat
dapat berubah sewaktu-waktu (challengeable) dan simpulan penutup belum
bersifat final. Pembelajaran sejarah kontroversial juga memiliki potensi untuk
menjadikan pelajaran sejarah lebih bermakna karena adanya upaya untuk
menghadirkan konteks dan realitas sosial masyarakat di dalam kelas (Lamont,
2005: x). Selanjutnya Bambang Purwanto (2006: 269) menguatkan bahwa
pembelajaran sejarah memiliki fungsi untuk menjelaskan perubahan dan
keberlanjutan dalam konteks waktu.
Terkait dengan apresiasi peserta didik, pembelajaran sejarah kontroversial
memang memiliki potensi untuk membantu peserta didik mengembangkan
beberapa kemampuan, seperti kemampuan dalam memecahkan masalah, berpikir
kritis dan kemampuan analisis. Selain itu dengan penerapan pembelajaran sejarah
kontroversial melalui implementasi critical pedagogy dapat membantu peserta
didik belajar untuk dapat mengemukakan pendapat secara logis, menghargai
pendapat orang lain, membangun pemahaman tentang keberagaman, dan
berpartisipasi aktif dalam berargumen dan berdebat, serta yang tidak kalah penting
249
adalah dapat menjadi sarana resolusi konflik (Global Citizenship Guides, 2006:
3). Secara lebih spesifik, kemampuan yang dapat dikembangkan melalui
pemanfaatan pembelajaran sejarah kontroversial adalah kemampuan dalam
mengolah informasi, memberikan argumen secara logis, memecahkan masalah,
bepikir kreatif, serta kemampuan dalam melakukan evaluasi.
Kendala-kendala dalam pembelajaran sejarah kontroversial melalui
perspektif critical pedagogy menjadi permasalahan yang menandakan adanya
ketakterikatan antara perkembangan dan dinamika yang ada di kalangan
masyarakat dengan praksis pembelajaran. Hal ini menyebabkan pembelajaran
sejarah kontroversial saat ini memiliki kecenderungan ke arah out of context.
Padahal banyak hal yang dapat dimanfaatkan melalui pembelajaran sejarah
kontroversial. Dalam kasus ini, ada tiga hal yang tidak saling menguatkan, yakni
hubungan antara pembelajaran masyarakat, dan historiografi. Dari penjelasan-
penjelasan di atas tampak jelas bahwa pembelajaran sejarah tidak memberikan
akomodasi terhadap perkembangan historiografi yang sangat beragam
pascareformasi. Idealnya, pembelajaran sejarah mengakomodasi adanya
perkembangan keilmuan sejarah agar pendidikan sejarah tidak tertinggal jauh.
Pada pendidikan sejarah, ideologi yang telah dirumuskan pada tahun 1957
dalam seminar sejarah nasional I masih tetap dilestarikan dengan meninggalkan
kaidah-kaidah dan kenyataan bahwa saat ini terdapat ragam historiografi dengan
sudut padang yang kaya dan bervariasi. Keberagaman historiografi masih belum
masuk dalam ruang-ruang kelas disebabkan keterbatasan akses untuk memperoleh
tulisan sejarah mutakhir dan masalah kebijakan yang besifat membatasi kreasi.
250
Di dalam pendidikan sejarah, ilmu pengetahuan yang banyak berkembang
di masyarakat secara luas telah mengalami proses domestifikasi atau penjinakan
ketika masuk dalam ranah pendidikan. Adanya beragam sejarah kontroversial baik
dari sifat maupun peristiwanya menyebabkan bermacam peristiwa tersebut tidak
diakomodasi karena alasan kurangnya kapabilitas, ketidaksesuaian dengan
karakteristik peserta didik, keterbatasan alokasi waktu, dan kebijakan yang tidak
mendukung secara penuh pelaksanaannya. Akibatnya, terjadi ketakterkaitan antara
satu unsur dengan unsur lainnya, seperti ketakterkaitan antara perkembangan di
masyarakat dengan kondisi di dalam kelas.
Ketidaksesuaian antara pembelajaran sejarah dengan beragamnya
historiografi pascareformasi menandakan bahwa pembelajaran jauh dari realitas
yang terjadi di masyarakat. Ini berarti pembelajaran sejarah tidak bersifat
kontekstual, padahal salah satu inti dari proses pembelajaran dengan pendekatan
critical pedagogy adalah kontekstualisasi pembelajaran.
Ketidakterkaitan antara ketiga aspek dalam pembelajaran kontroversial
terakit pula dengan masalah keterkaitan antara kebijakan, media massa, dan jiwa
zaman (zeitgeist). Hal ini disebabkan karena pembelajaran dipengaruhi oleh
kebijakan, sementara itu di masyarakat dipengaruhi oleh media massa, dan
historiografi dipengaruhi oleh jiwa zaman.
Pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy
yang ideal adalah pembelajaran yang mengakomodasi dan memberi keterkaitan
antara pembelajaran-masyarakat-historiografi. Melalui pemanfaatan pembelajaran
sejarah kontroversial dapat bermanfaat sebagai penghubung antara sekolah dan
251
masyarakat, sekaligus menjadi motivasi peserta didik untuk meningkatkan
kemampuan menuju transformasi sosial (Cavet, 2007 dalam
http://www.inrp.fr/vst/LettreVST/english/27-may-2007_en.php?onglet=integrale).
Pembelajaran harus mampu mengakomodasi keberagaman historiografi dan
perkembangan masyarakat. Hubungan tersebut dapat digambarkan dalam gambar
di bawah
Gambar 7. Keterkaitan antara Pembelajaran, Historiografi, dan Masyarakat dalam Pendidikan Sejarah dalam Perspektif Critical Pedagogy (sumber: diolah dari hasil penelitian)
Pembelajaran sejarah yang tidak memperhatikan aspek keterkaitan dari
beberapa komponen di atas dikhawatirkan akan menjadikan pembelajaran tidak
mampu menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena
itu, perlu adanya penguatan untuk mewujudkan pembelajaran sejarah
kontroversial, sehingga dapat mewujudkan kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis
peserta didik melalui implementasi critical pedagogy. Penguatan terhadap
pembelajaran sejarah kontroversial dapat dilakukan apabila prasyarat utama dari
252
guru, yakni adanya kemauan dan komitmen dalam mendidik melalui pengajaran
sejarah kontroversial sudah dimiliki oleh guru.
Penguatan pertama adalah dengan mencari relevansi antara pembelajaran
sejarah kontroversial dan critical pedagogy dalam struktur kurikulum. Pada saat
ini pada dasarnya ada peluang yang besar bagi guru-guru untuk dapat
mengembangkan pembelajaran secara mandiri. Hal ini disebabkan pada saat ini
kuriulum yang diterapkan hanya membahas sampai tingkat KD saja. Sehingga
guru dapat melakukan pengembangan materi sesuai dengan KD dan alokasi waktu
yang tersedia. Dengan demikian, pada dasarnya KTSP merupakan sebuah
kurikulum yang fleksibel. Fleksibilitas kurikulum sebenarnya menjadi peluang
yang besar dalam pelakanaan pembelajaran sejarah kontroversial dengan
pendekatan critical pedagogy karena menurut Barton dan Mc Cully (2007) ini
menjadi pendukung utama suksesnya pelaksanaan pembelajaran sejarah
kotroversial.
Penguatan berikutnya adalah adanya relevansi pembelajaran sejarah
kontroversial dengan tahapan psikologis peserta didik. Abu Su’ud menyatakan
bahwa pembelajaran sejarah kontroversial relevan dalam pembelajaran sejarah di
SMA, karena pembelajaran sejarah di SMA telah memiliki tujuan genesis, yakni
memberikan dasar-dasar keilmuan sejarah (Wawancara 2 Februari 2010).
Pembelajaran sejarah kontroversial memberikan peluang untuk dapat memahami
dasar-dasar keilmuan sejarah. Hal ini disebabkan peserta didik pada usia SMA
telah memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis dan memiliki kemampuan
untuk memecahkan permasalahan. Piaget (dalam Baharuddin dan Esa Nur
253
Wahyuni, 2008: 123-124) menyatakan bahwa anak telah sampai pada tahap
formal operational. Pada tahap ini anak telah mampu berpikir hipotesis-deduktif,
mengembangkan kemungkinan-kemungkinan, mengembangkan proposisi,
menarik generalisasi, berpikir dengan cara yang lebih abstrak, logis, dan idealistik
Selanjutnya perlu ada penguatan dalam hal fungsi dan peran pembelajaran
sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy. Pembelajaran sejarah
kontroversial dapat menjadi sarana yang efektif untuk melihat realitas yang terjadi
di masyarakat, melihat pola hubungan antara pendidikan dan kuasa, dapat menjadi
model dalam pengembangan kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis peserta didik.
Critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah adalah suatu pendekatan yang
bersifat menyeluruh dalam mengulas suatu peristiwa sejarah. Dengan adanya
pendekatan tersebut, diharapkan siswa akan mampu memahami suatu peristiwa
sejarah secara menyeluruh serta mampu berpikir secara kritis tentang peristiwa
sejarah kontroversial.
Dalam konteks Indonesia, penerapan critical pedagogy dalam
pembelajaran sejarah kontroversial merupakan sebuah upaya yang menunjang
demokratisasi dalam masyarakat yang plural. Dengan demikian, pembelajaran
sejarah kontroversial pada dasarnya menjadi salah satu sarana penting untuk
mewujudkan pemahaman tentang realitas keberagaman dalam masyarakat. Peran
pembelajaran sejarah kontroversial dengan demikian tidak lepas dari proses
pendidikan multikultural.
Terkait dengan permasalahan relevansi, ada pertanyan yang muncul
“apakah critical pedagogy masih relevan dalam masyarakat ketika dalam kondisi
254
mereka yang telah mapan?”. Permasalahan tersebut dapat terjawab dengan
memberikan pemahaman bahwa ada dua pandangan yang mungkin muncul
tentang tujuan pendidikan dan implementasi critical pedagogy dalam praksis.
Pandangan pertama melihat bahwa tujuan adalah sebuah hal yang bersifat ideal.
Artinya ketercapaian tujuan tersebut tidak akan pernah ada secara mutlak, karena
tujuan dapat senantiasa berubah sesuai dengan konteks dan kebutuhan. Boleh jadi
tujuan itu kemudian berkembang menjadi tujuan yang baru ketika tujuan yang
lama telah tercapai, sehingga hakikat ketercapaian tujuan adalah sesuatu yang
bersifat kontekstual. Tidak akan pernah tercapai sebuah tujuan karena tujuan
pendidikan adalah harapan yang senantiasa akan berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Tercapainya tujuan tertentu dalam suatu hal hanyalah
sebagai sarana pencapaian tujuan lainnya. Jadi, critical pedagogy akan senantiasa
relevan ketika dijadikan sebagai landasan dalam upaya pencapaian suatu tujuan.
Pandangan pertama ini melihat bahwa tujuan menjadi faktor yang bersifat nisbi
atau relatif, tetapi tetap tidak memandang bahwa tujuan adalah harapan palsu,
karena critical pedagogy merupakan pandangan yang bersifat optimis, sehingga
melihat adanya kemungkinan-kemungkinan harapan.
Pandangan yang kedua melihat bahwa critical pedagogy juga akan
senantiasa relevan walaupun pada kondisi yang tidak ada lagi suasana
ketertindasan. Hal ini karena critical pedagogy mengalami pergeseran fungsi “
untuk” menjadi fungsi “tetap”. Artinya critical pedagogy menjadi sebuah alat
untuk mempertahankan suasana kritis, antiketertindasan, kepastian terjaminnya
hak-hak menanusiaan dan sebagainya. Dengan demikian, critical pedagogy
255
memiliki sifat yang lentur dan terbuka. Hal ini karena kelemahan masyarakat
adalah ketika suatu tujuan telah tercapai, maka tidak ada lagi sarana yang menjaga
agar tujuan tersebut tetap terjaga. Pada masyarakat kita saat ini mudah untuk
terjangkit sindrom “lupa” dan sindrom “lena”, sehingga ada kemungkinan
lunturnya kembali kesadaran yang telah didapatkan oleh masyarakat. Hal ini
didukung pula oleh teori psikologi yang menganggap perlu adanya reinforcement
dalam pendidikan. Critical pedagogy dalam masyarakat yang telah mapan akan
senantiasa berperan dan relevan karena memiliki fungsi sebagai reinforcement.
Permasalahan lain adalah brehubungan dengan kekhawatiran munculnya
kecenderungan baru bahwa pembelajaran tersebut akan memunculkan kebenaran
yang bersifat tunggal, pembelajaran sejarah kontroversial sama sekali tidak
mencoba untuk memunculkan satu versi yang dianggap memiliki kebenaran
mutlak. Munculnya permasalahan itu hanyalah disebabkan oleh faktor yang
memandang bahwa sejarah adalah sesuatu yang bersifat seperti ilmu eksak, yakni
hanya ada satu kebenaran yang bersifat tunggal. Walaupun berasal dari satu fakta
yang sama, interpretasi dari penulis sejarah berbeda-beda. Inilah yang
menyababkan munculnya kontroversi sejarah. Akan tetapi, tujuan pembelajaan
sejarah kontroversial tidaklah mengusung satu gagasan yang mutlak, tetapi
mencoba untuk menampilkan interpretasi-interpretasi lain yang muncul untuk
memaknai sebuah fakta sejarah. Hal ini dilandasi semangat keterbukaan bahwa
siapa saja boleh untuk melakukan interpretasi yang berbeda sepanjang
interpretasinya didukung oleh fakta-fakta. Sikap pembelajar, baik guru maupun
peserta didik adalah menampilkan secara menyeluruh interpretasi-interpretasi
256
yang ada, kemudian melakukan tahap identifikasi tentang bebagai versi yang
muncul. Pembelajaran seperti ini akan melatih peserta didik menjadi insan yang
memiliki pola pikir kritis, sekaligus terbuka dan menghargai terhadap pendapat-
pendapat yang muncul tentang satu peristiwa sejarah.
Penguatan keempat terkait dengan reposisi peran guru dalam
pembelajaran. Pada critical pedagogy, guru dan peserta didik sama-sama
bertindak sebagai learner. Hal ini berarti dalam pembelajaran penekanan para
proses dialogis menjadi ynag utama. Terkait dengan hal ini Asvi Warman Adam
(2009: 10) menyatakan bahwa guru sejarah adalah penyampai kebenaran,
sehingga ada tugas mulai yang disandang bagi guru sejarah sebagai agen untuk
mencerdaskan bangsa. Terkait dengan hal tersebut guru seyogyanya jangan lagi
menjadi agen indoktrinasi politis atas kebenaran tunggal atas masa lalu denagn
menyingkirkan nilai sosial kultural dan kemanusiaan (Bambang Purwanto, 2009:
4).
Berkaitan dengan pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran
sejarah kontroversial, praktisi pendidikan atau guru memiliki peran penting dalam
pelakasnaan proses pendidikan sejarah. Hal ini disebabkan praktisi pendidikan
atau guru sejarah adalah pihak yang berhubungan langsung dengan
masyarakat/peserta didik. Pada pembelajaran sejarah kontroversial, guru berperan
dalam memberikan informasi kepada peserta didik tentang sejarah yang
kontroversial. Peran guru menjadi sangat penting dalam proses pendidikan sejarah
karena dalam kurikulum 2006, guru memiliki wewenang yang luas untuk
mengembangkan materi ajarnya.
257
Ditinjau dari aspek perencanaan, guru dalam membuat silabus senantiasa
berpegangan bahwa ada beberapa aspek yang menjadi ciri khas dalam
pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dengan pendekaran kritis. Aspek
yang harus diperharikan adalah aspek latar belakang dari tejadinya suatu
peristiwa, aspek kronologis dari jalannya peristiwa tersebut, aspek komprehensif
dalam melakukan pemahasan tentang teori-teoeri yang ada, serta aspek
kesinambungan yang mengulas tentang bagaimana pengaruh dari peristiwa
tersebut serta peristiwa-peristiwa lain yang memiliki keterkaitan dengan peristiwa
sejarah tersebut.
Pada hal perencanaan, langkah awal yang dilakukan dalam penerapan
critical pedagogy pada pembelajaran sejarah adalah perumusan tujuan
pembelajaran dalam rangka pengembangan silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran. Tujuan pembelajaran berorientasi pada analisis kebutuhan dari
peserta didik. Dalam konteks critical pedagogy, peserta didik diharapkan mampu
untuk memahami suatu peristiwa sejarah secara menyeluruh serta mampu
mengidentifikasi ketidakadilan yang terjadi. Namun sebelum memulai menyusun
perencanaan dan melakukan pemelajaran guru harus memiliki modal berupa
keberanian untuk mengajarkan materi yang bersifat kontroversial yang ditunjang
dengan penguasaan materi dan pemanfaatan variasi metode pembelajaran.
Untuk menunjang pencapaian tujuan pembelajaran, diperlukan analisis
terhadap kebutuhan yang digunakan dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
Analisis kebutuhan tersebut mencakup persiapan-persiapan dalam pelaksanaan
258
pembelajaran, meliputi (1) analisis ketersediaan dan kebutuhan media, (2) analisis
kemampuan guru, (3) analisis kemampuan peserta didik, (4) analisis lingkungan.
Pada aspek materi, untuk mengatasi kendala spek alokasi waktu dan upaya
pemahaman secara menyeluruh, guru hendaknya memperhatikan aspek
kesinambungan materi. Hal ini disebabkan kelemahan dalam guru masih terletak
pada belum mampunya mengaitkan satu materi dengan materi lainnya. Padahal
satu materi dengan materi lainnya memiliki keterkaitan. Seperti ketika
mengajarkan materi Supersemar, materi tersebut memiliki keterkaitan dengan
materi sebelum dan sesudahnya. Guru harus mampu mengaitkan materi yang
tengah diajarkannya, dengan materi yang sebelumnya.
Penguatan dalam aspek metode pembelajaran juga menjadi hal yang
bermanfaat dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Pada pelaksanaan critical
pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial, konstruktivisme dapat
dijadikan salah satu landasan dalam pelaksanaan pembelajaran. Agar
pembelajaran menjadi bemakna, maka pembelajaran harus berpusat pada peserta
didik (student centered) artinya adalah guru memberikan peluang dari siswa untuk
berapresiasi, bisa dalam bentuk kegiatan diskusi, debat, tugas mandiri, dan
sebagainya. Kemudian, penggunaan variasi model dan media juga menjadi hal
yang diperhatikan dalam pembelajaran agar peserta didik mudah dalam
melakukan visualisasi, interpretasi, dan generalisasi. Dengan demikian, kesan
bahwa kesan bahwa pelajaran Sejarah adalah membosankan bisa teratasi.
Pada aspek strategi pembelajaran, konsep belajar konstruktivisme dapat
diterapkan. Konsep belajar konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan
259
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong (Baharudin dan Esa Nur
Wahyuni, 2007:116). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau
kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Siswa harus mengonstruksikan
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dengan menggunakan pendekatan konstuktivistik, pembelajaran dilakukan
bersama-sama oleh guru dengan peserta didik dengan produk kegiatan adalah
membangun persepsi dan cara pandang siswa mengenai materi yang dipelajari,
mengembangkan masalah baru, dan membangun konsep-konsep baru dengan
menggunakan evaluasi yang dilakukan pada saat kegiatan pembelajaran
berlangsung. Dalam pembelajaran akan terjadi suatu proses dialog antara guru dan
peserta didik dengan mengembangkan pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa
dalam pembelajaran (Boyi Anggara, 2007).
Strategi belajar konstruktivisme yang digunakan dalam pembelajaran
sejarah kontroversial menggunakan strategi yang diungkapkan Slavin seperti
dikutip Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007 (127-129) yakni (1) top down
processing, di mana pembelajaran dimulai dari permasalahan yang kompleks
untuk dipecahkan, kemudian menghasilkan keterampilan yang dibutuhkan, (2)
cooperative learning, yang menekankan pada lingkungan sosial belajar dan
menjadikan kelompok belajar sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan,
mengeksplorasi pengetahuan, dan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh
individu (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007:128), (3) generative learning,
yang menekankan pada kemampuan untuk generalisasi dari apa yang diajarkan
260
dengan skemata, baik melalui pembuatan pertanyaan, kesimpulan, atau analogi-
analogi terhadap apa yang sedang dipelajari.
Berkaitan dengan pelaksanaan pembelajarannya, guru memberikan
berbagai teori yang berkembang secara berimbang, tanpa ada subjektivitas dan
pretensi. Hal yang patut diperhatikan adalah kearifan guru dalam mengajarkan
sejarah kontroversial. Dengan demikian, proses indoktrinasi tidak terjadi dalam
pendidikan sejarah. Dalam pembelajarannya, guru tidak hanya berfungsi sebagai
sumber informasi, tetapi juga sebagai mediator dan motivator bagi peserta didik
agar peserta didik secara aktif melakukan proses pembelajaran secara mandiri.
Akan tetapi dari sekian hal yang telah dijelaskan, satu hal yang harus diperhatikan
adalah bahwa menjadi guru sejarah merupakan suatu panggilan nurani yang
senantiasa bertujuan agar peserta didik memperoleh satu kesadaran kritis. Pada
pembelajaran sejarah kontroversial guru menekankan pada aspek bahwa di peserta
didik diharapkan mampu untuk melihat sesuatu secara berimbang atau dari sudut
pandang yang berlawanan, sehingga aspek keseimbangan dan aspek melihat dari
sisi yang berlawanan menjadi sebuah titik tekan agar peserta didik tidak hanya
berpendapat dari satu sisi sudut pandang saja (Global Citizenship Guides, 2006:
6).
Prasyarat yang harus dimiliki oleh guru adalah bahwa di dalam pribadi
guru harus ada komitmen yang kuat untuk mengajarkan sejarah kontroversial
denga tanpa memasukkan pandangan pribadinya. Selain itu sikap objektif dan
akademis menjadi mutlak agar dalam pembelajaran tidak ada upaya untuk
memberikan justifikasi terlebih dahulu. Ada kalanya guru bertindak provokatif
261
dan bersikap oposisional dengan alasan umum yang ada. Selain itu guru juga
harus memberikan segala kemungkinan sudut pandang dalam pembelajaran. Pada
pelaksaannya, guru selayaknya pada posisi yang setara dengan peserta didik untuk
bersama-sama memecahkan sebuah masalah. Kemudian pada tahap akhir guru
boleh memberikan pandangan berdasarkan sudut pandangnya untuk kemudian
ditanggapi oleh peserta didik.
Berkaitan dengan permasalahan kontekstualisasi, kebanyakan guru masih
mengalami kesulitan. Oleh karena itu perlu adanya upaya dalam memudahkan
guru melakukan pembelajaran secara kontekstual. Pada tahap kontekstualisasi
terdapat pertanyaan yang harus di jawab yakni “bagaimana keterkaitan
permasalahan sejarah dengan kehidupan di sekitar saya?”, “bagaimana harus
menyikapi permasalahan tersebut?”, “adakah yang dapat saya ambil dari media
tersebut untuk memahami permasalahan pada masa kini?”. Pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan dalam tahap kontekstualisasi mencoba untuk mengaitkan pesan-
pesan universal yang terkandung dalam sebuah peristiwa dengan realitas yang
terjadi.
Pada aspek kontekstualisasi, peneliti membedakan ada dua jenis
kontekstualisasi, yakni (1) temporal sinkronis dan (2) spasial diakronis.
Kontekstualisasi temporal sinkronis adalah upaya untuk mengaitkan sebuah
peristiwa sejarah dengan peristiwa pada masa sekarang dalam berbagai aspek.
Contohnya adalah ketika membahas tentang permasalahan dinamika politik pada
masa Demokrasi Terpimpin dapat dikaitkan dengan keadaan masyarakat pada saat
262
ini di berbagai aspek, sehingga pembelajaran menjadi lebih dekat dengan peserta
didik karena diambilkan contoh dari peristiwa-peristiwa aktual.
Kemudian pada kontekstualisasi spasial diakronis, guru mencoba
mengaitkan sebuah peristiwa sejarah dengan konteks lokalitas tertentu dalam
urutan waktu. Contoh kontekstualisasi spasial diakronis adalah dengan
mengaitkan antara peristiwa sejarah nasional dengan sejarah lokal di lingkungan
peserta didik. Upaya pengaitan antara peristiwa nasional dengan peristiwa lokal
juga memberi kemudahan bagi peserta didik dalam melihat sebuah peristiwa
dengan contoh-contoh yang ada di sekitarnya.
Pemanfaatan media sangat membantu peaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial, tetapi sering dijumpai minimnya media yang tersedia. Dalam hal
pemanfaatan media yang minimal, strategi yang dapat diterapkan adalah guru
harus memanfaatkan lingkungan sekitar dalam pembelajaran. Pada aspek ini guru
berupaya memanfaatkan secara maksimal fasilitas-fasilitas yang telah tersedia.
Untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran, diperlukan adanya upaya
untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam proses pembelajaran melalui
evaluasi. Alat evaluasi yang diusun ini bertujuan untuk mengendalikan,
menjamin, dan menetapkan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen
pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk
pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Dalam pelaksanaannya,
evaluasi tidak hanya diberikan pada akhir pembelajaran, tetapi juga pada saat
pembelajaran (evaluasi proses), berupa menilai keaktifan siswa dalam mengikuti
pembelajaran seperti keaktifan dalam bertanya, menanggapi pertanyaan,
263
menanggapi pernyataan, mengerjakan tugas, keaktifan dalam diskusi, dan
sebagainya.
Penyusunan alat evaluasi tidak hanya sebatas soal ujian, tetapi juga bisa
berupa penugasan-penugasan yang bertujuan untuk mengembangkan kreasi dari
peserta didik melalui pendekatan inquiry, seperti siswa ditugaskan untuk mencari
berita tentang peristiwa Gerakan 30 September kemudian siswa ditugaskan untuk
mengulas isi dan memberikan pendapatnya tentang berita tersebut. Artinya peserta
didik diberikan peluang untuk melakukan suatu proses penemuan terhadap
berbagai data dan fakta tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Penugasan
diberikan bisa dalam bentuk karya tulis sederhana tentang berbagai pendapat
tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Penekanan pembelajaran dengan critical pedagogy yang membedakan
dengan pembelajaran konvensional terutama terletak pada materi yang
disampaikan, pembelajaran, dan sistem evaluasi. Di dalam critical pedagogy
materi baru yang diajarkan adalah materi teori-teori tentang peristiwa Gerakan 30
September tahun 1965. Selain itu, pembelajaran dilakukan dengan melibatkan
siswa secara aktif untuk berpendapat. Kemudian dalam evaluasi, guru
memberikan penilaian tidak hanya dengan pemberian soal, tetapi juga dengan
pemberian tugas mandiri. Dengan demikian melalui critical pedagogy, diharapkan
kesadaran sejarah peserta didik akan terwujud, sehingga tidak ada lagi
kekhawatiran adanya “dosa sejarah” berupa vonis bersalah terhadap suatu
kelompok masyarakat dan “dendam sejarah” berupa kebencian terhadap dari suatu
kelompok masyarakat kepada kelompok lain akibat suatu peristiwa sejarah.
264
Secara sederhana, penguatan-penguatan terhadap upaya pemecahan
masalah sejarah kontroversial dapat digambarkan dalam skema di bawah
Gambar 8. Upaya Pemecahan Permasalahan Pembelajaran Sejarah Kontroversial
dalam Perspektif Critical Pedagogy (sumber: diolah dari hasil penelitian)
Secara sederhana dari gambar di atas tampak bahwa upaya pemecahan
permasalahan pembelajaran sejarah kontroversial dapat dilakukan apabila ada
komitmen yang kuat dari guru untuk melakukan transformasi pendidikan.
Kemudian apabila sudah ada komitmen yang kuat tersebut maka perlu adanya
penguatan dalam beberapa aspek. Penguatan relevansi sejarah kontroversial dan
critical pedagogy dalam kurikulum bertujuan agar pelaksanaan pembelajaran
sejarah kontroversial memiliki landasan yuridis dan legitimasi kurikulum.
Penguatan terhadap relevansi sejarah kontroversial terhadap perkembangan
psikologis peserta didik bertujuan agar pelaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial telah sesuai dengan karakteristik peserta didik, sehingga upaya
untuk mencapai kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis dapat terwujud. Penguatan
265
berikutnya adalah penguatan terhadap fungsi dan peran pembelajaran sejarah
kontroversial dalam perspektif critical pedagogy bertujuan menunjukkan urgensi
pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dan manfaat pelaksanaannya bagi
perkembangan pendidikan di Indonesia. Penguatan keempat terkait dengan
reposisi peran guru dalam pembelajaran sejarah kontroversial yang bertujuan agar
guru memiliki pemahaman bahwa ada tugas penting dalam mengemukakan
kebenaran bagi peserta didik. penguatan kelima terkait dengan masalah metode,
media, dan sumber belajar yang bertujuan agar pembelajaran sejarah kontroversial
dalam perspektif critical pedagogy dapat berjalan dengan baik.
Untuk mendukung terwujudnya pembelajran yang optimal dan pencapaian
tujuan pembelajaran secara efektif diperlukan adanya upaya lain selain dari guru.
Hal ini disebabkan upaya untuk menyelesaikan permasalahan dalam pendidikan
sejarah tidak hanya oleh satu faktor saja, tetapi juga oleh berbagai faktor. Dalam
rangka mewujudkan pembelajaran yang optimal perlu peran serta secara aktif dari
komponen-komponen penopang dalam pendidikan sejarah, yakni (1) pemerintah
sebagai penentu kebijakan, (2) Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK)/Perguruan tinggi sebagai pusat informasi pendidikan dan kesejarahan, (3)
organisasi profesi sebagai sarana bertukar pikiran, bertukar informasi,
pengembangan profesi (dalam hal ini adalah MGMP [Musyawarah Guru Mata
Pelajaran] untuk guru, serta MSI [Masyarakat Sejarawan Indonesia] atau
organisasi profesi kesejarahan lainnya), (4) praktisi pendidikan atau guru sebagai
pelaksana proses pendidikan, (5) media massa sebagai media informasi, sekaligus
memiliki fungsi kritik bagi pemerintah, serta (6) masyarakat, yang memiliki
266
fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah, menjadi subjek dan objek
pengembangan dan transformasi pendidikan sejarah.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan pendidikan sejarah yang mewujudkan
kesadaran sejarah peserta didik harus ada peran optimal dari segenap komponen
yang ada. Upaya yang dilakukan oleh keenam komponen di atas harus berjalan
secara serempak dan sinambung, di mana terjadi upaya sadar dari semua
komponen, baik oleh pemerintah melalui strategi top down, ataupun strategi
bottom up oleh komponen lain nonpemerintah. Strategi top down yang dilakukan
pemerintah dengan cara mengeluarkan kebijakan yang mendukung pelaksanaan
pembelajaran sejarah kontroversial, seperti tidak melakukan intervensi yang
terlalu jauh dalam pendidikan sejarah. Selain itu pemerintah harus mengeluarkan
satu bahan ajar standar yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan sejarah
kontroversial. Hal ini disebabkan selama ini belum ada bahan ajar standar yang
dijadikan pegangan oleh guru dalam mengajarkan materi sejarah kontroversial.
Pemerintah perlu melakukan kategorisasi materi-materi sejarah yang dianggap
kontroversial, kemudian melakukan suatu ulasan yang menyeluruh tentang
peristiwa tersebut.
Strategi top down yang juga dilakukan oleh pemerintah adalah dengan
menjaring aspirasi dari masyarakat serta komponen lainnya secara aktif. Dalam
pendidikan sejarah, intervensi pemerintah hendaknya tidak terlalu dalam dan
memberikan peluang bagi peserta didik untuk berpikir secara kritis. Dalam materi
tentang G 30 S misalnya, kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada dasarnya
justru menutup kesepatan bagi siswa untuk berpikir secara kritis. Hal ini
267
disebabkan sejarah yang diajarkan di sekolah adalah sejarah versi pemerintah, di
mana di sana ditetapkan bahwa PKI menjadi tersangka utama. Hal ini tentu saja
belawanan dengan kaidah keilmuan yang dalam perkembangannya muncul
beberapa versi tentang siapa yang ada di belakang peristiwa kelam tahun 1965
tersebut. Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah tentang dituliskannya PKI di
belakang G 30 S menjadi G 30 S/PKI pada kurikulum 2006 ini, dilandasi adanya
upaya dari pemerintah untuk menjaga stabilitas. Akan tetapi yang menjadi
permasalahan adalah bahwa dalam pengajarannya, peserta didik tidak diberikan
teori lain selain teori bahwa yang menjadi dalang adalah PKI. Hal ini
mengakibatkan pendidikan sejarah berkaitan dengan peristiwa tahun 1965 ---dan
mungkin beberapa peristiwa sejarah yang kontroversial lainnya--- menjadi tidak
berimbang.
Strategi bottom up yang dilakukan oleh komponen nonpemerintah adalah
dari pihak LPTK/Perguruan tinggi dengan melakukan upaya pemberian informasi
tentang pendidikan dan kesejarahan mutakhir kepada semua pihak, baik secara
langsung ataupun melalui media massa. Hal ini disebabkan LPTK memiliki peran
dalam membangun dan mengembangkan kemampuan guru untuk memungsikan
dirinya selaku agen penginternalisasi pesan-pesan kesejarahan universal kepada
peserta didik.
Pihak organisasi profesi juga memiliki peran sebagai pengembang profesi,
sarana pertukaran informasi dan gagasan. Taufik Abdullah (1997) meyatakan
bahwa ada beberapa peran MSI (atau organisasi keilmuan lainnya) yakni (1)
organisasi keilmuan dan profesi mengembangkan kepada kita suasana alternatif
268
yang relatif terbebas dari ikatan struktural dan ikatan formal masing-masing (2)
forum kesejawatan dan forum teman sejawat. Dalam forum dialog inilah anggota-
anggota yang ada di dalamnya berkesempatan mengajukan hasil penelitian baru
dan memberikan ide-ide tentang ilmu dan pengetahuan kita, (3) organisasi
keilmuan meurpakan saluran komunikasi tentang berbagai peristiwa keilmuan,
baik yang terjadi di dalam maupun di luar bidang kelmuan itu sendir, (4) menjadi
forum sebagai penjaga the standard excelence dari penerjaan keilmuan, (5)
menjaga intelectual integrity, (6) ‘mempersiapkan sejarawan memberikan
sumbangannya kepada masyarakat” (Tafik Abdullah, 1997). Melalui organisasi
profesi dapat dilakukan pengembangan desain pembelajaran sejarah, memberikan
masukan kepada pemerintah, serta menyebarluaskan informasi kepada masyarakat
melalui media massa.
Selain organisasi profesi kesejarahan ada pula organisasi profesi guru.
Berkaitan dengan ini, Tilaar (2002) menyatakan bahwa “kewibawaan profesional
guru bukan hanya di dalam hal urusan organisasi pekerja, tetapi juga menjadi
kekuatan moral untuk meningkatkan tugas pelayanan, melaksanakan dan
mengontrol pelaksanan kode etik, dan meningkatan peran profesional guru dalam
dewan pendidikan (sekolah)”.
Komponen nonpemerintah lain yang memiliki peran dalam mewujudkan
transformasi pendidikan sejarah menuju pendidikan sejarah yang mewujudkan
kesadaran kritis peserta didik adalah media massa. Media massa merupakan satu
sarana yang digunakan oleh semua komponen untuk menyebarluaskan informasi
agar diterima khalayak. Media massa menjadi jembatan dari semua komponen,
269
baik berupa aspirasi dari masyarakat kepada pemerintah, sarana komunikasi
antarmasyarakat atau antarkomponen, serta sosialisasi kebijakan dari pemerintah
kepada masyarakat.
Komponen lain dari keenam komponen yang memiliki peran penting
adalah masyarakat. Hal ini disebabkan masyarakat inilah yang menjadi sasaran
dalam proses transformasi pendidikan sejarah. Masyarakat juga menjadi objek
yang melakukan transformasi, di mana masyarakat menjadi bagian dari komponen
yang lain, baik itu LPTK, praktisi, organisasi profesi ataupun pihak media massa.
Masyarakat memiliki peran strategis bagi terwujudnya transformasi pendidikan
sejarah. Hal ini disebabkan tanpa adanya dukungan dari masyarakat yang
memiliki fungsi kontrol terhadap pemerintah, upaya mewujudkan transformasi
tersebut tidak akan berhasil. Oleh karena itu, tugas yang utama dan pertama yang
dilakukan oleh semua komponen terhadap masyarakat agar terwujud transformasi
pendidikan sejarah adalah dengan menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat
tentang realitas yang terjadi.
Komponen yang terakhir yang melaksanakan strategi bottom up dalam
rangka transformasi pendidikan sejarah menuju pendidikan sejarah yang
mewujudkan kesadaran sejarah peserta didik adalah praktisi pendidikan atau guru.
Praktisi pendidikan merupakan ujung tombak dalam pelakasnaan proses
pendidikan sejarah. Hal ini disebabkan praktisi pendidikan atau guru sejarah
adalah pihak yang berhubungan langsung dengan masyarakat/peserta didik.
Dikaitkan dengan upaya pengajaran sejarah yang bersifat kontroversial dalam
kelas sejarah, peran guru menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan gurulah yang
270
memberikan informasi kepada peserta didik tentang sejarah yang kontroversial.
Peran guru menjadi sangat penting dalam proses pendidikan sejarah disebabkan
dalam kurikulum 2006, guru memiliki wewenang yang luas untuk
mengembangkan materi ajarnya. Oleh karena itu, hal yang dilakukan adalah
dengan melakukan perbaikan desain pembelajaran, mulai dari merumuskan tujuan
pembelajaran, menyusun alat evaluasi, menentukan kegiatan belajar mengajar,
mengembangkan program kegiatan belajar mengajar, dan melaksanakan program
belajar mengajar. Upaya dari aspek guru dalam pembelajaran sejarah akan diulas
dalam pembahasan selanjutnya. Berikut adalah pola hubungan yang sinergis dari
keenam komponen penopang pendidikan sejarah.
Gambar 9. Pola hubungan Sinergis Enam Komponen Penopang Pendidikan Sejarah (sumber: diolah dari hasil penelitian)
Upaya yang dilakukan dari dua arah ini (top down and bottom up) akan
mempercepat terwujudnya transformasi pendidikan sejarah. Namun demikian,
ORGANISASI PROFESI/KEILMUAN
LPTK/PERGURUAN TINGGI
PRAKTISI PENDIDIKAN
MEDIA MASSA
MASYARAKAT
PEMERINTAH
271
prasayarat utama yang harus dipenuhi adalah setiap komponen harus terhindar
dari segala bentuk kepentingan pribadi. Antarkomponen penopang memiliki
keterkaitan, kerja sama, dan hubungan yang timbal balik. Apabila hubungan
timbal balik dari tiap komponen itu tidak terjadi maka proses pendidikan sejarah
tidak akan berjalan seperti yang diharapkan. Semua komponen harus menjalankan
tugasnya sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Hal ini bertujuan agar proses
transformasi pendidikan sejarah menuju ke arah yang ideal bisa secara mudah
diwujudkan.
272
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Sejarah kontroversial lekat dalam pembelajaran sejarah, tetapi mengingat
beberapa keistimewaan di dalamnya diperlukan upaya khusus sebagai pendekatan
dalam pembelajaran. Salah satu di antara pendekatan yang sesuai adalah critical
pedagogy yang menekankan pada aspek kesadaran kritis. Dalam praksis
pendidikan di Indonesia, critical pedagogy hanya dipahami oleh kalangan terbatas
dan belum diperkenalkan dengan luas dalam pembelajaran secara formal dan
teknis. Hal ini berpengaruh pula pada implementasinya dalam pembelajaran
sejarah kontroversial. Pemahaman guru terhadap critical pedagogy hanya pada
aspek-aspek universal. Artinya pemahaman lebih banyak ke arah konseptual dan
substansial saja. Pemahaman guru dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni faktor
internal dari dalam guru, berupa adanya kemauan dan kemampuan. Faktor
eketernal berupa permasalahan historiografi sejarah kontroversial, terutama
ideologi penguasa yang mempengaruhi corak ideologi pendidikan dan
karakteristik guru, serta permasalahan kebijakan terkait dengan pembelajaran
yang mendukung secara penuh penggunaan critical pedagogy dalam pembelajaran
sejarah kontroversial.
Pemahaman guru terhadap implementasi critical pedagogy dalam
pembelajaran sejarah kontroversial ternyata tidak memberikan pengaruh yang
272
273
signifikan terhadap pelaksanaan pembelajarannya. Pelaksanaan critical pedagogy
masih berjalan setengah hati karena konsep yang dipegang oleh guru masih
berada dalam tahap refleksi. Sementara itu masih ada beberapa kelemahan dalam
tahap aktualisasi. Hal ini tampak dengan adanya kecenderungan guru untuk
menghindari isu kontroversial dalam pelaksanaan pembelajaran. Ada beberapa
apek yang masih lemah dalam pelaksanaannya, seperti lemahnya aspek
komprehensivitas dalam penyampaian materi, belum optimalnya metode
dekodifikasi, dan tahapan pembelajaran masih berada pada tahap refleksi. Pada
pembelajaran critical pedagogy tampak kecenderungan yang kuat adanya
ketakterkaitan antara pembelajaran, masyarakat, dan perkembangan historiografi.
Hal ini membawa konsekuensi adanya ketakterkaitan pula dalam hal kebijakan,
keterbukaan media massa, dan jiwa zaman (zeitgeist), sehingga menyebabkan
pembelajaran menjadi out of context, yang dapat memunculkan kekhawatiran
bahwa pendidikan sejarah tidak mampu mengembangkan kemampuan peserta
didik untuk menjawab berbagai persoalan yang ada di masyarakat.
Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial
yang belum optimal disebabkan adanya kendala-kendala dalam pembelajarannya.
Kendala itu tampak dari beberapa aspek mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
faktor penunjang. Kendala-kendala yang ditemui dalam kelas sejarah secara
umum dapat disebabkan oleh dua faktor, yakni (1) faktor intern dan (2) faktor
ekstern. Faktor intern yakni adanya perubahan dalam corak historiografi Indonesia
pascareformasi. Faktor ekstern berasal dari luar sejarah yang memengaruhi
sejarah dan pendidikan sejarah. Antara faktor intern dan ekstern tersebut tidak
274
berdiri sendiri (independent), tetapi menjadi satu rangkaian yang memunculkan
hubungan kausalitas dan hubungan kebergantungan (interdependent), di mana
faktor intern sangat mempengaruhi faktor ekstern.
Pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy
memiliki potensi untuk dapat menarik minat peserta didik dan melibatkan mereka
aktif dalam menanggapi berbagai permasalahan. Adanya potensi yang dimiliki
dalam pembelajaran sejarah kontroversial mendorong apresiasi yang baik di
kalangan peserta didik. Apresiasi tersebut tampak dari rasa ingin tahu yang besar
terhadap peristiwa sejarah kontroversial. Peserta didik pada dasarnya tertarik
ketika diberikan fakta-fakta yang berbeda dengan fakta sejarah yang selama ini
diketahuinya. Akan tetapi apresiasi peserta didik masih sebatas apresiasi di dalam
kelas. Ada sebagian kalangan peserta didik yang hanya menganggap sejarah
sebagai pelajaran pelengkap, sehingga posisinya dinomorduakan.
B. Implikasi
Critical pedagogy sebagai sebuah pendekatan pendidikan yang
memberikan kesadaran kritis bagi peserta didik sangat relevan untuk diterapkan
dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Critical pedagogy dalam pembelajaran
sejarah memberikan sebuah tawaran dalam melihat realitas yang terjadi di
masyarakat, yakni bahwa segala sesuatu tidak lepas dari jeratan kekuasaan dan
politik dalam sebuah proses hegemoni. Akan tetapi karena keberadaannya masih
terbatas, menyebabkan pembelajaran sejarah kontroversial belum belum berjalan
275
secara optimal. Dengan demikian, ada kekhawatiran pembelajaran sejarah
kontroversial tidak mengalami perkembangan yang baik dan tidak dapat berfungsi
sebagai sebuah sarana untuk memberdayakan peserta didik dan sebagai media
transformasi sosial. Selama ini pemahaman guru hanya sebatas pada konsep
universal yang terdapat dalam critical pedagogy, sehingga pelaksanaannya masih
setengah hati. Dengan demikian, muncul kesulitan bagi guru-guru untuk
memasuki tahapan aktualisasi dalam pembelajaran.
Pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran masih setengah hati,
sehingga menyebabkan belum tercapainya kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis
di kalangan peserta didik. Pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran
yang belum optimal merupakan sebuah faktor yang berpengaruh menghambat
pencapaian tujuan pembelajaran sejarah kontroversial. Belum optimalnya
implementasi critical pedagogy menyebabkan pendidikan ke arah demokratisasi
dan pemahaman multikultural mengalami kendala. Tidak tercapainya tujuan
pembelajaran menyebabkan kekhawatiran masih munculnya “dosa sejarah”
berupa vonis bersalah terhadap suatu kelompok masyarakat akibat peristiwa di
masa lampau dan “dendam sejarah” berupa kebencian terhadap suatu kelompok
masyarakat kepada kelompok lain akibat suatu peristiwa sejarah. Dengan
demikian, permasalahan implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran
sejarah kontroversial merupakan permasalahan yang mendesak dan sesegera
mungkin harus diatasi.
Kendala dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah
kontroversial merupakan faktor-faktor yang menghambat pencapaian tujuan
276
pendidikan sejarah. Dengan demikian, permasalahan untuk mengatasi kendala
dalam pembelajaran sejarah kontroversial menjadi satu faktor yang mendesak.
Permasalahan terbatasanya alokasi waktu, kurangnya sumber, media, dan
lemahnya metode menjadi satu permasalahan yang mendesak dan harus segera
diselesaikan jika tidak ingin adanya kegagalan pencapaian tujuan pembelajaran
sejarah kontroversial. Upaya tersebut membutuhkan peran secara aktif dari semua
pihak agar kendala-kendala tersebut secara efektif dapat dituntaskan. Di satu sisi
pemerintah sebagai pihak yang memegang kendali kebijakan memiliki tanggung
jawab untuk memberikan apresiasi terhadap perkembangan dan dinamika
masyarakat dalam pendidikan. Selain itu dari faktor LPTK, MGMP, MSI dan
organisasi profesi kesejarahan harus memiliki kepedulian terhadap pelaksanaan
pembelajaran sejarah kontroversial. Kemudian guru sejarah harus pula memiliki
komitmen yang kuat dan memiliki keberanian agar kendala pembelajaran dapat
teratasi.
Adanya apresiasi peserta didik yang cukup positif terhadap pembelajaran
sejarah dengan menggunakan critical pedagogy membuktikan bahwa pendekatan
ini menjadi sebuah strategi yang menarik dalam pembelajaran. Hal ini menjadi
strategi untuk meningkatkan partisipasi peserta didik di dalam pembelajaran.
Adanya apresiasi yang hanya sebatas dalam ruang kelas memberikan konsekuensi
bahwa harus ada upaya yang dilakukan untuk memberikan pemahaman dan
kesadaran kritis peserta didik melalui impelementasi critical pedagogy secara
sistematis. Tujuannya agar terdapat pencapaian tujuan pelaksanaan sejarah
kontroversial dapat tercapai dengan efektif.
277
C. Saran
1. Perlu adanya sosialisasi dan workshop tentang critical pedagogy dalam
pembelajaran sejarah kontroversial pada guru-guru sejarah agar mereka
memahami critical pedagogy sampai pada tahap teknis.
2. Perlu adanya kebijakan yang mendukung pelaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial sebagai landasan yuridis dalam pendidikan.
3. Perlu adanya kurikulum khusus bagi pendidikan calon guru sejarah yang
mengulas tentang critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah.
4. Perlu adanya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi
profesi/keilmuan, dan media massa tentang perkembangan penulisan sejarah
mutakhir, terutama terkait dengan sejarah kontroversial yang disusun dengan
prinsip komprehensivitas.
5. Perlu adanya komitmen yang kuat, keberanian, dan peningkatan kreativitas
bagi guru untuk menunjang pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial
6. Guru perlu memperbaiki penyusunan perencanaan pembelajaran, meng-up
date informasi kesejarahan terbaru, memanfaatkan media dan fasilitas yang
telah tersedia dengan optimal, serta penerapan ICT dan metode pembelajaran
yang variatif, serta pengembangan evaluasi pembelajaran sejarah
kontroversial.
7. Perlu adanya strategi bagi guru untuk mengatasi kendala waktu dalam
pembelajaran sejarah, yakni dengan penekanan belajar mandiri di kalangan
peserta didik, serta saling mengaitkan antar satu KD dengan KD lainnya.
278
8. Bagi MGMP, perlu pengembangan materi, perangkat evaluasi tentang sejarah
kontroversial di kalangan guru dengan menggunakan prinsip
komprehensivitas.
9. Bagi MSI perlu melakukan pendekatan terhadap guru sejarah dalam
pengembangan materi ajar, terutama tentang sejarah kontroversial, sekaligus
memberikan informasi tentang wacana kesejarahan mutakhir.
10. Bagi LPTK perlu adanya sosialisasi tentang metode-metode mutakhir, sistem
penilaian dan evaluasi dalam pembelajaran sejarah, terutama tentang sejarah
kontroversial.
11. LPTK perlu menjalin komunikasi dan pendampingan bagi guru-guru sejarah
dalam aspek keilmuan ataupun didaktis.
12. Perlu adanya penguatan yang dilakukan oleh LPTK, MSI, MGMP sejarah
terhadap guru tentang relevansi antara pembelajaran sejarah kontroversial
dengan struktur kurikulum dan tingkat psikologi peserta didik.
13. Bagi media massa perlu adanya sosialisasi dan pengembangan wacana
kesejarahan dengan memperhatikan aspek komprehensivitas, toleransi, dan
independens, serta berdasarkan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
14. Perlu keterbukaan pandangan di kalangan masyarakat dalam melihat
fenomena sejarah kontroversial, sehingga terbebas dari pandangan yang
apriori.
287
Lampiran 1
PEDOMAN WAWANCARA, OBSERVASI, DAN PENCATATAN DOKUMEN
A. Wawancara Guru
1. Pemahaman Guru terhadap Implementasi Critical Pedagogy dalam
Pembelajaran Sejarah Kontroversial a. Tanggapan tentang tujuan dari pembelajaran sejarah b. Tanggapan tentang relevansi sejarah dan upaya menumbuhkan pola pikir
dan sikap kritis siswa c. Arti penting kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis peserta didik d. Materi-materi untuk menumbuhkan kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis
peserta didik e. Tanggapan terhadap kontroversi sejarah f. Tanggapan terhadap relevansi sejarah kontroversial dan upaya
pengembangan kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis peserta didik g. Tanggapan terhadap pelaksanaan pembelajaran, terutama tentang
1) Pendekatan, model, dan metode 2) Sumber belajar, dan media pendidikan
h. Tanggapan tentang aspek 4K dalam pembelajaran sejarah 1) Kausalitas 2) Kronologis 3) Komprehensivitas 4) Kesinambungan
i. Tanggapan terhadap pemanfaatan lingkungan dalam pembelajaran sejarah j. Tanggapan terhadap situasi kekinian dalam pembelajaran sejarah k. Tanggapan tentang kesiapan peserta didik terhadap pembelajaran sejarah
kontroversial dalam perspektif critical pedagogy l. Tanggapan tentang peran pemerintah dalam pendidikan sejarah
2. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial
a. Proses penyusunan perangkat pembelajaran b. Peran MGMP dalam peyusunan silabus dan RPP tentang sejarah
kontroversial c. Pelaksanaan analisis terhadap kemampuan peserta didik d. Inisiatif dalam mengajarkan sejarah kontroversial e. Sumber-sumber yang digunakan f. Alokasi waktu yang direncanakan g. Metode pembelajaran yang digunakan
1) Metode yang sering digunakan 2) Metode yang sering gunakan dalam pembelajaran sejarah untuk
menumbuhkan pola pikir dan sikap kritis siswa 3) Metode yang gunakan dalam mengajarkan sejarah kontroversial
h. Media-media yang digunakan
288
i. Ketersediaan media j. Pemanfaatan media-media di lingkugan peserta didik k. Bentuk-bentuk penilaian l. Prestasi belajar peserta didik m. Bentuk-bentuk penugasan n. Upaya mendapatkan informasi-informasi kesejaahan terbaru o. Peran MGMP dalam pembelajaran sejarah kontroversial p. Peran LPTK/perguruan tinggi dalam menunjang pelaksanaan
pembelajaran sejarah q. Peran masyarakat dalam menunjang pelaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial r. Peran pemerintah dalam menunjang pelaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial s. Peran media massa dalam menunjang pelaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial t. Harapan dari guru terhadap pelaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial ke depan 3. Kendala dalam Implementasi Critical Pedagogy pada Pembelajaran Sejarah
Kontroversial a. Kendala utama dalam pembelajaran b. Kendala dalam penyusunan perangkat pembelajaran c. Kendala dari dalam aspek guru d. Kendala dari dalam aspek peserta didik e. Kendala dalam penerapan metode f. Kendala dalam perolehan sumber belajar g. Kendala dalam pemanfaatan media pembelajaran h. Kendala dalam penyusunan evaluasi i. Kendala dalam aspek fasilitas disekolah j. Kendala dalam aspek penunjang lainnya
1) MGMP 2) MSI 3) LPTK/Perguruan tinggi 4) Masyarakat 5) Media massa 6) Kebijakan
B. Wawancara Peserta Didik
1. Kesan terhadap pelajaran sejarah 2. Materi yang menurut peserta didik menarik dalam pelajaran sejarah 3. Hambatan yang peserta didik temui dalam belajar sejarah 4. Kesan peserta didik terhadap guru sejarah 5. Cara mengajar dan pengaruhnya terhadap sikap peserta didik terhadap sejarah 6. Tanggapan tentang apakah guru sejarah peserta didik mengajarkan sejarah
secara dialogis
289
7. Tanggapan apakah guru sejarah peserta didik hanya mengajarkan seperti yang ada di buku teks
8. Intensitas melakukan kegiatan diskusi atau debat 9. Tanggapan terhadap apakah guru peserta didik pernah mengaitkan peristiwa-
peristiwa aktual saat ini dengan materi pelajaran 10. Media-media yang digunakan oleh guru saat mengajarkan sejarah 11. Keadaan kelas ketika guru sejarah mengajarkan materi 12. Penugasan yang biasanya digunakan oleh guru bagi peserta didik 13. Peserta didik pernah ditugaskan untuk mencari data-data dari koran atau
internet contohnya 14. Tanggapan apakah peserta didik membaca buku-buku sejarah selain buku teks
untuk menambah pengetahuan peserta didik 15. Sumber yang digunakan selain buku teks untuk belajar sejarah 16. Intensitas diskusi kelompok untuk mengerjakan tugas dari guru sejarah 17. Pengetahuan tentang kontroversi sejarah 18. Pengetahuan tentang peristiwa kontroversi sejarah 19. Tanggapan terhadap beberapa peristiwa sejarah kontroversial 20. Tanggapan apakah guru peserta didik pernah menjelaskan tentang kontroversi
sejarah dalam kelas 21. Tanggapan terhadap cara penyampaian guru sejarah dalam pembelajaran
kontroversi sejarah 22. Tanggapan peserta didik tentang kontroversi sejarah di Indonesia 23. Model pembelajaran seperti apa yang diharapkan dalam pelaksanaan
pembelajaran sejarah
C. Pedoman Observasi
A. Pelaksanaan Pembelajaran 1. Performa guru
a. Saat membuka materi b. Menyampaikan apersepsi c. Menerapkan metode d. Pemberian umpan balik e. Memberi tanggapan peserta didik
2. Metode yang diterapkan 3. Media-media yang digunakan 4. Pemanfaatan media-media 5. Substansi materi yang diberikan
B. Apresiasi Peserta didik
1. Peserta didik saat awal pembelajaran 2. Peserta didik saat pembelajaran 3. Peserta didik saat kegiatan diskusi 4. Peserta didik saat memberikan tanggapan 5. Peserta didik saat bertanya
290
D. Panduan Pencatatan Dokumen
1. Perangkat Pembelajaran, meliputi a. Program tahunan b. Program semester c. Silabus d. RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran)
2. Sumber belajar tertulis yang dimanfaatkan 3. Alat evaluasi yang digunakan
291
Lampiran 2
DAFTAR INFORMAN
No Nama Jabatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Dra. Susilowati Dra. Zainab Inawati Dra. Ningrum S. Drs. Sugeng H. Dra. Mindarwati ZRD Drs. Suratno Dra. Sri Lestari. Hari Rohayuningsih, S.Pd. Sugiyarto S.Pd. Prof. Dr. Abu Su’ud Kinanti Widiari Reza Wijaya Dedi Permana Sinta Anindita Yulia Meutia Ahmad Firdaus Yuliana Dwi A Dhini Pramesti Erlinda Pramudya Donny Yudhistira Ahmad Jama’ah Maharani Amanda Rizki Dani Nugroho Erlinda Pramudya W Probo Firman Yunita Tri Cosmos Tri N Dani Nugroho Donny Yudhistira Ahmad Rizky Dwi Prabowo R Indra S Dani Nugroho YunitaTri Anggraheni Dian Perwita Sari Umu Nur Imamah Kandu Risma Iana Turroshidah Eko Wahyu P Rizky Montrya
Guru Sejarah SMA N 1 Semarang Guru Sejarah SMA N 1 Semarang Guru Sejarah SMA N 1 Semarang Guru Sejarah SMA N 1 Semarang Guru Sejarah SMA N 5 Semarang Guru Sejarah SMA N 5 Semarang Guru Sejarah SMA N 5 Semarang Guru Sejarah SMA N 12 Semarang Guru Sejarah SMA N 12 Semarang Guru Besar Jurusan Sejarah Unnes Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang
292
No Nama Jabatan 42 43 44
Dian Sadewo Siti Isnaeni Dea Agnes
Peserta didik SMA N 12 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang
Lampiran 4
DOKUMENTASI PENELITIAN
Peneliti Wawancara dengan Salah Satu Guru Sejarah (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Peneliti Wawancara dengan Peserta Didik (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Suasana Pembelajaran di SMA N 1 Semarang dengan Penerapan Moving Class (Sumber: Dokumentasi Pribadi)