Upload
faza-fauzan-syarif
View
263
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
Implementasi Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Padi
Ditujukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengendalian Hama Penyakit Terpadu
Disusun oleh :
Faza Fauzan Syarif 150510110036
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
OKTOBER
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam pengembangan produksi pangan khususnya padi, petani dihadapkan kepada
beberapa kendala baik yang bersifat fisik, sosio-ekonomi maupun kendala yang bersifat
biologi (biological constraint). Salah satu kendala biologi adalah gangguan spesies organisme
yang menyebabkan penurunan baik kuantitas maupun kualitas produk bahkan sampai
menggagalkan panen. Sebelum swasembada pangan, kebijaksanaan pemerintah dalam
pengendalian hama sangat mengandalkan pada penggunaan pestisida. Waktu itu,
penyemprotan pestisida pada tanaman dilakukan secara terjadwal (scheduled) baik ada
maupun tidak ada serangan hama. Penggunaan pestisida terjadwal dimasukan sebagai salah
satu paket teknologi produksi padi dan petani bebas menggunakan berbagai jenis pestisida
termasuk pestisida presisten (undegradable).
Setelah swasembada pangan tercapai tahun 1984, metoda pengendalian hama
mengalami perubahan mendasar karena diketahui bahwa penggunaan pestisida yang tidak
bijaksana adalah sangat keliru. Subiyakto (1992) menyatakan bahwa, sejak pestisida
digunakan secara besar-besaran, masalah hama bukan semakin ringan tetapi semakin rumit,
beberapa spesies hama kurang penting berubah status menjadi sangat penting dan yang lebih
menghawatirkan adalah kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan oleh residu
pestisida yang mengancam kehidupan termasuk manusia.
Mengingat dampak negatif dari penggunaan pestisida yang tidak terkendali,
pemerintah mengintroduksikan suatu paket teknologi pengendalian hama yang lebih ramah
lingkungan disebut teknologi Pengendalian Hama Terpadu (integreted pest management).
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada dasarnya terdiri atas dua kegiatan pengendalian
yaitu usaha-usaha pencegahan (preventive controls) dan penggunaan pestisida (pesticide
controls). Penggunaan pestisida boleh dilakukan apabila cara pertama sudah digunakan tetapi
belum memberikan hasil optimal.
Introduksi teknologi PHT bertujuan agar petani menjadi tahu dan mampu merubah
perilaku dalam pengendalian hama tanaman dari cara lama (sistem kalender) ke cara baru
(konsep PHT). Disamping itu, jenis pesisida yang boleh digunakan untuk tanaman padi juga
dibatasi, hanya boleh menggunakan jenis pestisida yang mudah terurai (degradable) dan
berspektrum sempit (narrow spectrum). Dalam pelaksananya, ditetapkan melalui Inpres No.3
tahun 1986 mengenai berbagai jenis pestisida yang dilarang penggunaanya untuk tanaman
padi (Dirjentan, 1987).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian PHT
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, PHT tidak lagi
dipandang sebagai teknologi, tetapi telah menjadi suatu konsep dalam penyelesaian masalah
lapangan (Kenmore 1996). Waage (1996) menggolongkan konsep PHT ke dalam dua
kelompok, yaitu konsep PHT teknologi dan PHT ekologi. Konsep PHT teknologi merupakan
pengembangan lebih lanjut dari konsep awal yang dicetuskan oleh Stern et al. (1959), yang
kemudian dikembangkan oleh para ahli melalui agenda Earth Summit ke-21 di Rio de Janeiro
pada tahun 1992 dan FAO. Tujuan dari PHT teknologi adalah untuk membatasi penggunaan
insektisida sintetis dengan memperkenalkan konsep ambang ekonomi sebagai dasar
penetapan pengendalian hama. Pendekatan ini mendorong penggantian pestisida kimia
dengan teknologi pengendalian alternatif, yang lebih banyak memanfaatkan bahan dan
metode hayati, termasuk musuh alami, pestisida hayati, dan feromon. Dengan cara ini,
dampak negatif penggunaan pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan dapat dikurangi
(Untung 2000). Konsep PHT ekologi berangkat dari perkembangan dan penerapan PHT
dalam sistem pertanian di tempat tertentu. Dalam hal ini, pengendalian hama didasarkan pada
pengetahuan dan informasi tentang dinamika populasi hama dan musuh alami serta
keseimbangan ekosistem. Berbeda dengan konsep PHT teknologi yang masih menerima
teknik pengendalian hama secara kimiawi berdasarkan ambang ekonomi, konsep PHT
ekologi cenderung menolak pengendalian hama dengan cara kimiawi. Dalam menyikapi dua
konsep PHT ini, kita harus pandai memadukannya karena masing-masing konsep mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Hal ini disebabkan bila dua konsep tersebut diterapkan tidak dapat
berlaku umum.
2.2 PHT dalam Konteks Produksi Padi
Luas panen padi pada tahun 2003 tercatat 11,48 juta hektar dan produksi padi pada
tahun tersebut mencapai 52,08 juta ton, meningkat 1,14% dibanding tahun 2002 (51,49 juta
ton). Kenaikan produksi merupakan dampak dari peningkatan produktivitas padi, dari 4,47
t/ha pada tahun 2002 menjadi 4,52 t/ha pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa
penerapan teknologi, termasuk pengendalian hama dan penyakit, memegang peranan penting.
Dengan asumsi tidak ada terobosan teknologi maka produksi padi pada tahun 2020
diproyeksikan 57,4 juta ton. Sementara itu jumlah penduduk Indonesia pada tahun yang sama
diperkirakan 262 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,27%/ tahun. Apabila
konsumsi beras per kapita masih tetap 134 kg/tahun maka kebutuhan beras pada tahun 2020
mencapai 35,1 juta ton atau setara dengan 65,9 juta ton gabah kering giling (GKG). Kalau
produksi padi tidak meningkat berarti pada tahun 2020 terjadi kekurangan beras 4,5 juta ton
atau setara dengan 8,5 juta ton GKG (Budianto 2002). Untuk mengatasi kekurangan pangan
perlu adanya terobosan peningkatan produksi padi. Pengalaman di lapangan menunjukkan
bahwa produktivitas padi masih dapat ditingkatkan melalui implementasi program PHT.
Dalam praktek PHT, hasil padi petani di Karawang pada MK 1995 masih meningkat hingga
37% dengan penanaman varietas tahan hama wereng dan meningkat 46,3% untuk varietas
tidak tahan (Baehaki et al. 1996).
2.3 PHT Mendukung Pertanian Praktek Pertanian yang Baik
Aspek keselamatan, kesehatan, dan lingkungan pada keseluruhan proses produksi
sampai pemasaran dinilai dengan International Standardization Organization (ISO) yang
dikenal dengan pendekatan sistem mutu dan keamanan pangan, termasuk di dalamnya Sistem
Manajemen ISO 9000 tentang Manajemen Mutu, ISO 14000 tentang Manajemen
Lingkungan, dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) tentang Sistem
Manajemen Keamanan Pangan. Produk yang berkualitas harus memiliki empat kriteria yaitu:
(1) Memenuhi sifat keindraan (sensory properties) yang meliputi rasa, penampilan,
bau, dan warna;
(2) Memenuhi nilai nutrisi (nutritional value) yang menyangkut isi nutrisi, vitamin,
dan tidak terdapat hal yang tidak diinginkan seperti zat yang menimbulkan alergi;
(3) Menenuhi kualitas kesehatan (hygienic quality) yang menyangkut kebersihan,
kesegaran, tidak ada serangga, tidak menjijikkan; dan
(4) Memenuhi aspek keamanan pangan (food safety) yang menyangkut tidak adanya
mikroorganisme penyebab penyakit, tidak berisi zat toksik seperti pestisida, logam
berat, mikotoksin, dan tidak ada tipuan (Frost 2001).
GAP (Good Agricultural Practices) dapat diaplikasikan dalam rentang waktu dan
daerah yang luas terhadap sistem pertanian dengan skala yang berbeda. GAP digunakan
dalam sistem pertanian berkelanjutan yang mencakup PHT, pengelolaan hara terpadu,
pengelolaan gulma terpadu, pengelolaan irigasi terpadu, dan pemeliharaan (conservation)
lahan pertanian. Penerapan PHT diperlukan dalam sistem produksi pertanian berkelanjutan.
Oleh karena itu, GAP harus memiliki empat prinsip utama:
1. Penghematan dan ketepatan produksi untuk ketahanan pangan (food security),
keamanan pangan (food safety), dan pangan bergizi (food quality).
2. Berkelanjutan dan bersifat menambah (enhance) sumber daya alam.
3. Pemeliharaan kelangsungan usaha pertanian (farming enterprise) dan mendukung
kehidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihoods).
4. Kelayakan dengan budaya dan kebutuhan suatu masyarakat (social demands).
Aspek yang akan disentuh oleh elemen GAP di bidang “perhamaan” adalah proteksi
tanaman. Hal ini membutuhkan strategi pengelolaan risiko, yang mencakup penggunaan
tanaman tahan hama dan penyakit, rotasi tanaman pangan dengan pakan ternak, ledakan
penyakit pada tanaman peka, dan penggunaan bahan kimia seminimal mungkin untuk
mengendalikan gulma, hama, dan penyakit dengan mengikuti konsep PHT. GAP akan
menjangkau beberapa aktivitas yang berkaitan dengan pengendalian hama sebagai berikut:
1. Penggunaan varietas tahan dalam proses pelepasan beruntun (sequencetial),
asosiasi, dan kultur teknis untuk mencegah perkembangan hama dan penyakit.
2. Pemeliharaan keseimbangan biologi antara hama dan penyakit dengan musuh
alami.
3. Adopsi praktek pengendalian menggunakan bahan organik bila memungkinkan.
4. Penggunaan teknik pendugaan hama dan penyakit bila telah tersedia.
5. Pengkajian semua metode yang memungkinkan, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, terhadap sistem produksi dan implikasinya terhadap lingkungan guna
meminimalkan pemakaian bahan kimia pertanian, khususnya dalam meningkatkan
adopsi teknologi PHT.
6. Penyimpanan dan penggunaan bahan kimia yang sesuai dan teregistrasi untuk
individu tanaman serta waktu, dan interval penggunaan sebelum panen.
7. Pengamanan penyimpanan bahan kimia dan hanya digunakan oleh personel yang
sudah terlatih dan memiliki pengetahuan (knowledgeable persons).
8. Pengamanan peralatan yang digunakan untuk mengatasi bahan kimia dengan
meningkatkan keamanan dan pemeliharaan standar.
9. Pemeliharaan catatan secara akurat terhadap insektisida yang dipakai.
2.4 Alternatif Kebijakan Implementasi PHT dalam Praktek Pertanian yang Baik Menuju
Pertanian Berkelanjutan.
1. Pemilihan Varietas Tahan dan Hemat Energi
Keberlanjutan pertanian antara lain ditentukan oleh penggunaan varietas tahan hama
penyakit dan hemat energi. Usaha untuk menghasilkan varietas yang hemat energi di
antaranya adalah dengan mengubah tipe tanaman C3 menjadi C4, atau mengubah arsitektur
tanaman menjadi lebih produktif, misalnya padi tipe baru dengan anakan sedikit dan bentuk
daun yang memiliki kemampuan lebih tinggi untuk berfotosintesis sehingga dapat
berproduksi lebih tinggi (Cantrell 2004).
Dalam memilih varietas yang akan ditanam, nilai tambah produksi dan pemasaran
juga perlu diperhitungkan. Hal ini penting artinya karena setiap varietas mempunyai karakter
yang berbeda; ada yang cocok untuk dibuat bihun, beras kristal, nasi goreng, dan sebagainya.
Dalam praktek pertanian yang baik, petani perlu dibimbing dalam memilih varietas yang
tidak rakus hara, hemat air, tahan hama dan penyakit, dan berproduksi normal di mana pun
ditanam. Ini penting artinya agar mereka tidak menggunakan input secara berlebihan, baik
pupuk, air maupun pestisida, sebagaimana yang dikehendaki oleh kaidah praktek pertanian
yang baik menuju keberlanjutan sistem produksi.
Dalam kesempatan ini dianjurkan kepada para pemulia tanaman untuk menyusun
program perakitan varietas padi yang hemat energi, tahan hama dan penyakit, dan
berproduksi normal di mana pun ditanam. Paradigma baru pemuliaan tanaman ini seyogianya
dapat dijabarkan ke dalam rencana strategis penelitian padi nasional. Pembentukan varietas
padi tahan hama penyakit dan hemat energi sesuai dengan dinamika paradigma pembentukan
varietas unggul baru dari zaman ke zaman.
2. Teknologi Pengendalian Hama secara Hayati
Pengendalian hayati secara inundasi adalah memasukkan musuh alami dari luar
dengan sengaja ke pertanaman untuk mengendalikan hama. Inundasi yang dapat dilakukan
adalah penggunaan cendawan Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae sebagai agens
hayati. Efektivitas biakan B. bassiana terhadap wereng coklat mencapai 40% (Baehaki et al.
2001). Cendawan ini selain dapat mengendalikan wereng coklat, juga dapat digunakan untuk
mengendalikan walang sangit (Tohidin et al. 1993), Darna catenata (Daud dan Saranga
1993), dan lembing batu (Caraycaray 2003). Formulasi cendawan M. anisopliae dapat
menurunkan populasi hama sampai 90%.
3. Pergiliran Varietas antarmusim
Hama tanaman padi tidak akan meledak sepanjang musim dan peningkatan
populasinya hanya terjadi pada musim hujan. Pada musim kemarau, populasi hama, misalnya
wereng, cenderung rendah, kecuali pada musim kemarau yang banyak hujan atau di daerah
cekungan. Pergiliran varietas berdasarkan gen ketahanan yang terkandung pada tanaman padi
untuk menghadapi tingkat biotipe wereng coklat. Pada daerah wereng coklat biotipe 1,
pertanaman padi diatur dengan menanam varietas yang mempunyai gen tahan Bph1, bph2
dan Bph3 pada musim hujan. Pada musim kemarau dapat ditanam varietas padi yang tidak
mempunyai gen tahan.
Pergiliran varietas pada daerah wereng coklat biotipe 2 dilakukan dengan menanam
varietas yang mempunyai gen tahan bph2 dan Bph3 pada musim hujan. Pada musim kemarau
ditanam varietas yang mempunyai gen Bph1. Pergiliran varietas pada daerah wereng coklat
biotipe 3 dilakukan dengan menanam varietas yang mempunyai gen tahan Bph1+ dan Bph3
pada musim hujan. Pada musim kemarau ditanam varietas dengan gen tahan Bph1 dan bph2.
Pengaturan pertanaman di dalam musim juga diperlukan untuk menangkal serangan wereng
coklat dan penggerek batang padi, yaitu pada awal musim hujan menanam varietas tahan
yang berumur pendek dan pada pertengahan musim sampai akhir musim hujan menanam
varietas yang tidak tahan ataupun tahan wereng coklat dan berumur panjang.
4. Teknologi Pengendalian Hama Padi dengan Sistem Integrasi Palawija pada
Pertanaman Padi
Para ahli agroekologi sedang mengenalkan intercropping, agroforestry, dan metode
diversifikasi lainnya yang menyerupai proses ekologi alami (Alteri 2002). Hal ini penting
artinya bagi keberlanjutan kompleks agroekosistem. Pengelolaan agroekologi harus berada di
garis depan untuk mengoptimalkan daur ulang nutrisi dan pengembalian bahan organik, alir
energi tertutup, konservasi air dan tanah, serta keseimbangan populasi hama dan musuh
alami. Hama dan penyakit tanaman padi juga dapat dikendalikan berdasarkan agroekologi,
antara lain dengan sistem integrasi palawija pada pertanaman padi (SIPALAPA).
Sistem ini berupa pertanaman polikultur, yaitu menanam palawija di pematang pada
saat ada tanaman padi. SIPALAPA dapat menekan perkembangan populasi hama wereng
coklat dan wereng punggung putih. Hal ini disebabkan adanya predator Lycosa
pseudoannulata, laba-laba lain, Paederus fuscifes, Coccinella, Ophionea nigrofasciata, dan
Cyrtorhinus lividipennis yang mengendalikan wereng coklat dan wereng punggung putih.
Demikian juga parasitasi telur wereng oleh parasitoid Oligosita dan Anagrus pada
pertanaman SIPALAPA lebih tinggi daripada pertanaman padi monokultur. Penerapan
teknologi SIPALAPA dapat meningkatkan keanekaragaman sumber daya hayati fauna dan
flora (biodiversitas). Penanaman kedelai atau jagung pada pematang sawah terbukti dapat
memperkaya musuh alami, mempertinggi dinamika dan dialektika musuh alami secara dua
arah antara tanaman palawija dan padi. Dalam praktek pertanian yang baik, pada pasal 13.b
disebutkan bahwa keberhasilan usaha tani terkait dengan upaya peningkatan keanekaragaman
hayati melalui konservasi lahan (EUREP 2001). Hal ini dapat diaktualisasikan melalui
aktivitas kelompok tani dengan menghindari kerusakan dan deteriorasi habitat, memperbaiki
habitat, dan meningkatkan keanekaragaman hayati pada lahan usaha tani.
5. Pengendalian berdasarkan Manipulasi Musuh Alami
Pengendalian hama berdasarkan manipulasi musuh alami dimaksudkan untuk
memberikan peranan yang lebih besar kepada musuh alami, sebelum memakai insektisida.
Pada prinsipnya musuh alami akan selalu berkembang mengikuti perkembangan hama.
Selama musuh alami dapat menekan hama maka pengendalian dengan bahan kimia tidak
diperlukan karena keseimbangan biologi sudah tercapai. Namun bila perkembangan musuh
alami sudah tidak mampu mengikuti perkembangan hama, artinya keseimbangan biologi
tidak tercapai, maka diperlukan taktik pengendalian yang lain, termasuk penggunaan bahan
kimia. Teknologi pengendalian wereng coklat menggunakan ambang kendali berdasarkan
manipulasi musuh alami dapat mengurangi pemakaian insektisida dan meningkatkan
pendapatan (Baehaki et al. 1996). Teknologi ini diawali dengan pemantauan pada pertanaman
untuk menentukan ambang ekonomi wereng terkoreksi musuh alami dengan menggunakan
formula Baehaki (1996). Insektisida yang direkomendasikan dapat digunakan untuk
pengendalian hama jika ambang ekonomi terkoreksi yang ditentukan telah terlampaui.
Pengendalian hama berdasarkan manipulasi musuh alami menghemat penggunaan
insektisida 33-75%, meskipun pada musim hujan dengan kelimpahan hama wereng cukup
tinggi. Dengan cara ini, hasil padi di tingkat petani meningkat 36% dengan peningkatan
keuntungan 53,7%. Ambang ekonomi bukan harga yang tetap, tetapi berfluktuasi bergantung
pada harga gabah dan pestisida. Bila harga gabah meningkat maka ambang ekonomi akan
turun dan sebaliknya, tetapi bila harga insektisida naik maka amba
6. Teknologi Pengendalian Hama berdasarkan Ambang Ekonomi
Tidak semua hama dapat diformulasikan teknologi pengendaliannya berdasarkan
musuh alami karena terbatasnya pengetahuan tentang korelasi perkembangan musuh alami
dengan perkembangan suatu hama. Bagi hama yang belum ada teknologi pengendaliannya
berdasarkan perkembangan Musuh alami, dapat digunakan teknologi berdasarkan ambang
ekonomi tunggal atau ambang ekonomi ganda. Di lapangan, adakalanya pertanaman padi
diserang oleh lebih dari satu macam hama sehingga diperlukan teknologi yang mampu
mengendalikan lebih dari satu jenis hama. Untuk itu, pengendalian dapat berpatokan pada
ambang ekonomi hama ganda. Formula pengendalian hama berdasarkan ambang ekonomi
ganda pada fase vegetatif untuk wereng coklat-wereng punggung putih mengikuti pola 9-0-
14, sedangkan pada fase reproduktif mengikuti pola 18-0-21. Ambang ekonomi ganda
sundep-ulat grayak pada fase reproduktif mengikuti pola 9-0-15, sundep-hydrellia pada fase
vegetatif mengikuti pola 6-0-19, dan sundep-pelipat daun pada fase vegetatif mengikuti pola
9-0-13 (Baehaki dan Baskoro 2000). Pengendalian dengan insektisida dilakukan setelah
populasi hama atau kerusakan tanaman mencapai ambang ekonomi ganda yang telah
ditentukan.
7. Minimalisasi Residu Pestisida
Penggunaan insektisida merupakan taktik dinamis yang dilaksanakan dalam kurun
waktu pertumbuhan tanaman bila teknik budi daya dan pengendalian hayati gagal menekan
populasi hama di bawah ambang ekonomi. Penentuan ambang ekonomi sangat penting
sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian. Bhat (2004) menyebutkan bahwa
ambang ekonomi merupakan komponen yang sangat penting dalam PHT. Pengendalian hama
berdasarkan ambang ekonomi juga bertujuan untuk mengatasi penggunaan bahan kimia
secara berlebihan yang berdampak terhadap tingginya residu pestisida pada produk pertanian
dan pencemaran lingkungan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
PHT merupakan pengelolaan hama secara ekologis, teknologis, dan multidisiplin
dengan memanfaatkan berbagai taktik pengendalian yang kompatibel dalam satu kesatuan
koordinasi sistem pengelolaan pertanian berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Implementasi PHT memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk petani, peneliti,
pemerhati lingkungan, penentu kebijakan, dan bahkan politisi. Implementasi PHT dapat
mendukung keberlanjutan pengembangan pedesaan dengan mengamankan suplai air dan
menyediakan makanan sehat melalui praktek pertanian yang baik. PHT mengakomodasikan
teknologi ramah lingkungan dengan pendekatan hayati, tanaman inang tahan, hemat energi,
budi daya, dan aplikasi pestisida berdasarkan ambang ekonomi. Bahan kimia yang digunakan
harus sesuai dengan persyaratan pengelolaan yang diatur dengan undangundang. PHT harus
mengembangkan diversitas agroekosistem yang menguntungkan dari pengaruh integrasi
antartanaman sehingga terjadi interaksi dan sinergisme, serta optimalisasi fungsi dan proses
ekosistem, seperti pengaturan biotik yang merusak tanaman, daur ulang nutrisi, produksi dan
akumulasi biomassa. Hasil akhir dari pola agroekologi adalah meningkatnya ekonomi dan
keberlanjutan agroekologi dari suatu agroekosistem. Pendekatan pertanian berkelanjutan
untuk pengelolaan hama, yang meliputi kombinasi pengendalian hayati, kultur teknis, dan
pemakaian bahan kimia secara bijaksana, merupakan alat dalam merintis pertanian ekonomis,
pelestarian lingkungan, dan menekan risiko kesehatan. PHT, GAP, dan pertanian
berkelanjutan mengarah kepada keselarasan lingkungan, secara ekonomi memungkinkan
dipraktekkan, serta memperhatikan keadilan masyarakat (socially equitable).
DAFTAR PUSTAKA
Alteri, M.A. 2002. Agroecology: Principles and strategies for designing sustainable farming
system. Sustainable Agriculture Network. Sustainable Agriculture Research and
Education (SARE) Program. Sustainable Agriculture Publications, 210 UVM, Hill
Building, Burlington, VT 05405-0082. 7pp.
Anonymous. 2002a. Integrated pests management, entomology, plant pathology, and soil
science. Host plant resistance.
Anonymous. 2002b. Integrated pests management, entomology, plant pathology, and soil
science. Legal control (regulatory methods).
Anonymous. 2002c. Integrated pests management, entomology, plant pathology, and soil
science. Biological control.
Anonymous. 2002d. Integrated pests management, entomology, plant pathology, and soil
science. Chemicals pesticides, the good, the bad, and the ugly.
Baehaki S.E. 1986. Dinamika populasi wereng coklat Nilaparvata lugens Stal. Edisi Khusus
No1. Wereng Coklat. Baehaki S.E. 1992. Teknik pengendalian wereng coklat terpadu.
hlm. 39-49.
Baehaki S.E dan A. Hasanuddin. 1995. Situasi wereng coklat dan tungro di beberapa daerah
Jawa pada 10 tahun terakhir. Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi.
30 hlm.
Baehaki S.E. 1996. Formula pengendalian wereng coklat menggunakan ambang ekonomi
berdasar musuh alami. Suatu sintesis data mendasari rasionalisasi pengendalian hama
secara kuantitatif pada tanaman padi. Unpublished. 5 hlm.
Baehaki S.E., P. Sasmita, D. Kertoseputro, dan A. Rifki. 1996. Pengendalian hama berdasar
ambang ekonomi dengan memperhitungkan musuh alami serta analisis usaha tani
dalam PHT. Temu Teknologi dan Persiapan Pemasyarakatan Pengendalian Hama
Terpadu. Lembang. 81 hlm.
Baehaki S.E. 1999. Strategi pengendalian wereng coklat. hlm. 54-63. Prosiding Hasil
Penelitian Teknologi Tepat Guna Mendukung Gema Palagung. Balai Penelitian
Tanaman Padi, Sukamandi.
Baehaki S.E dan Baskoro. 2000. Penetapan ambang ekonomi ganda hama dan penyakit pada
varietas padi berbeda umur masak di pertanaman. Seminar Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Baehaki S.E., Kartohardjono, dan Nurhayati. 2001. Teknik perbanyakan Beauveria bassiana
pada media padat dan efektivitas umur biakan terhadap wereng coklat. hlm. 146-153.
Prosiding Simposium Pengendalian Hayati Serangga. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Fak. Pertanian Universitas Padjadjaran, DiStrategi
rektorat Perlindungan Tanaman Pangan, dan PRI-Cabang Bandung.
Baehaki S.E. 2002. Perbaikan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Berdasar Pemahaman
Biodiversitas Arthropoda pada Berbagai Pola Pertanaman Padi. Seminar
Proyek/Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 1991. Luas dan intensitas serangan jasad pengganggu padi dan palawija
di pulau Jawa tahun 1991. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Budianto, J. 2002. Tantangan dan peluang penelitian dan pengembangan padidalam
perspektif agribisnis. hlm. 1-19. Dalam Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi
Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Caraycaray, M.D.B. 2003. More farmers use innovative chemical-free methods to control
pest in rice. Phil. Rice Newsletter 16(4).
Daud, I.D. dan A.P. Saranga. 1993. Efektivitas lima konsentrasi suspensi spora Beauveria
bassiana Vuill. Terhadap mortalitas tiga instar larva Darna catenata Snellen
(Lepidoptera: Limacodidae). hlm. 125-134. Prosiding Symposium Patology. Serangga
I. PEI Cabang Yogyakarta-Fak. Pertanian UGM, dan Program Nasional
PHT/Bappenas. Departemen Pertanian. 2003. Kebijakan dan Strategi Nasional
Perlindungan Tanaman dan Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian, Jakarta. 140
hlm.
Earles, R. 2002. Sustainable agriculture: An introduction. ATTRA-National Sustainable
Agriculture Information service.
EUREP. 2001. EUREPGAP Protocol for Fresh Fruit and Vegetables. English version.
Copyright: EUREPGAP c/o FoodPlus Gmbh, Cologne. Germany. 15 p.
Frost, M. 2001. Quality Criteria and Standards. Berlinickestr, Berlin, Germany. p. 113-121.
Matthias.Frost@bvl. bund.de
Kenmore, P.E. 1996. Integrated pest management in rice. p. 76-97. In G.J. Persley (Ed.).
Biotechnology and Integrated Pest Management. CAB International, Cambridge.
Untung, K. 2000. Pelembagaan konsep pengendalian hama terpadu Indonesia. Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia 6(1): 1-8.
Waage, J. 1996. Integrated pest management and biochemistry: An analysis of their potential.
p. 36-47. In G.J.
Persley (Ed.). Biotechnology and Integrated Pest Management. CAB International,
Cambridge.