92
1 Kata pengantar Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya, penelitian dengan judul “Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di Resort Srumbung Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang” telah selesai. Diawali dari sebuah fenomena dalam masyarakat saat ini yaitu adanya fenomena penambangan pasir ilegal, penulis tertarik untuk semakin menggali tentang pengendalian penambang ilegal. Selain itu, rasa simpati atas semakin meningkatnya jumlah penambang liar dan mengingat betapa besarnya bahaya dari penambangan liar maka penulis menganggap perlu untuk melakukan sebuah penilitian tentang pengendalian penambang liar. Penelitian ini dilakukan dalam waktu yang cukup lama dan dengan segala jerih payah penulis atas segala aktivitas yang dilakukan. Semoga penelitian ini bisa menambah khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya serta memberikan pelajaran yang lebih bagi penulis. Ucapan terima kasih : 1. Prof . M. Hawin ,S.H.,LL.M.,Ph.D. selaku dekan fakultas hukum UGM yang senantiasa menyemangati

Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

  • Upload
    bintang

  • View
    24

  • Download
    1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di Resort Srumbung Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang.

Citation preview

Page 1: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

1

Kata pengantar

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT karena

dengan rahmat dan karunia-Nya, penelitian dengan judul “Implementasi Peraturan

Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang

Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian

Penambangan Liar Di Resort Srumbung Kecamatan Srumbung Kabupaten

Magelang” telah selesai. Diawali dari sebuah fenomena dalam masyarakat saat ini

yaitu adanya fenomena penambangan pasir ilegal, penulis tertarik untuk semakin

menggali tentang pengendalian penambang ilegal. Selain itu, rasa simpati atas

semakin meningkatnya jumlah penambang liar dan mengingat betapa besarnya

bahaya dari penambangan liar maka penulis menganggap perlu untuk melakukan

sebuah penilitian tentang pengendalian penambang liar.

Penelitian ini dilakukan dalam waktu yang cukup lama dan dengan segala

jerih payah penulis atas segala aktivitas yang dilakukan. Semoga penelitian ini

bisa menambah khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya serta memberikan

pelajaran yang lebih bagi penulis.

Ucapan terima kasih :

1. Prof. M. Hawin,S.H.,LL.M.,Ph.D. selaku dekan fakultas hukum UGM

yang senantiasa menyemangati para mahasiswa untuk terus belajar dan

membuahkan karya hasil pemikiran termasuk mengadakan penelitian.

2. Ibu Rimawati, S.H., M.Hum selaku dosen pembimbing penelitian yang

telah menyediakan waktunya untuk menerima konsultasi selama

penelitian.

3. Dr.Jur., M.Jur. Any Andjarwati, S.H selaku reviewer kami yang telah

banyak memberikan masukan-masukan cerdas.

4. Para Bapak dan Ibu dosen reviewer lainnya yang juga telah memberikan

banyak masukan kepada peneliti.

Page 2: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

2

5. Bapak Ir. Tri Prasetyo, selaku Kepala Balai Taman Nasional Gunung

Merapi, selaku narasumber, yang telah memberikan banyak masukan dan

informasi yang dibutuhkan peneliti untuk menggali pembahasan dalam

penelitin ini.

6. Bapak Nuryadi, S.Hut, MP, selaku Kepala Seksi Pengelolaan Taman

Nasional Wilayah I, Sleman & Magelang, yang telah meluangkan

waktunya untuk menemani peneliti ke lokasi penelitian yaitu di Resort

Desa Srumbung Magelang.

7. Bapak Suyatno, selaku koordinator para penambang desa sebagai

narasumber, yang telah bersedia membantu penulis dalam mencari data-

data yang diperlukan untuk penelitian.

8. Serta semua pihak yang telah membantu kami selama penelitian.

Peneliti I Peneliti II

Eka Nanda Ravizki Bintang Pratama

Page 3: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

3

Abstraksi

Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan

praktek, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisatadan

rekreasi alam (UU No. 5 Tahun 1990). Taman Nasional Gunung Merapi,

khususnya pada Resort Srumbung, merupakan salah satu lokasi penambangan

pasir yang sudah dilakukan masyarakat sejak tahun 1930 pada saat awal Merapi

mengalami erupsi. Kegiatan penambangan pasir yang dilakukan sudah sangat

intensif dan masif, hal ini didukung dengan sumber daya yang melimpah akibat

erupsi merapi yang terjadi secara periodik. Adanya aktivitas masyarakat yang

tinggal di dalam dan turut memanfaatkan kawasan berdampak dan berpengaruh

pada kondisi serta keberadaan kawasan konservasi. Salah satu kegiatan

masyarakat di sekitar kawasan yang menjadi kendala dalam usaha pengelolaan

adalah penambangan pasir yang terjadi secara intensif dan masif.

Aktivitas penambangan di lereng Gunung Merapi sudah dimulai sejak Gunung

ini mengeluarkan lava pada tahun 1930an. Lava yang turun dari puncak merapi

membawa jutaan meter kubik material pasir. Material pasir tersebut ikut mengalir

dan tertinggal di sungai – sungai yang menjadi jalur lava. Bagi masyarakat di

sekitar lokasi ini, kegiatan penambangan pasir merupakan pekerjaan turun-

temurun dan hasilnya sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup

keluarga mereka. Padahal sebenarnya kegiatan yang terjadi sejak dulu ini

berdampak negatif pada lingkungan hidup dan ekosistem di Kawasan Taman

Nasional Gunung Merapi. Pertambangan pasir di kawasan Gunung Merapi banyak

menimbulkan dampak lingkungan seperti munculnya kerusakan lingkungan,

kerusakan hutan, kerusakan daerah aliran sungai (DAS), kerusakan jalan,

jembatan, dan fasilitas pengendali banjir (sabo dam).

Proses penambangan di Merapi, beralih dari aktivitas penambangan sederhana

ke cara modern dengan menggunakan back hoe memberikan tekanan besar bagi

perubahan kondisi alam di kawasan ini. Berbeda dari aktivitas penambangan yang

Page 4: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

4

hanya mengandalkan tenaga manusia, yang relatif lambat, mengunakan peralatan

seadanya dan memanfaatkan sebagian besar material letusan Merapi, maka

penambangan dengan menggunakan back hoe lebih cepat mengeruk, menggali

dan mengubah bentang alam

Kata kunci : Penambang liar, implementasi peraturan presiden, pelestarian

lingkungan

Abstraction

The National Park is an area of nature conservation that has the original

ecosystem, managed by the zoning system used for the purpose of the practice,

science, education, support agriculture, recreation, nature pariwisatadan (Act 5 of

1990). Mount Merapi, particularly Resort Srumbung National Park is one of the

sand extraction sites has been published since 1930, when the initial eruption of

Merapi experienced. Mining of sand are carried out has been very intense and

massive, which is supported by abundant resources due to the eruption of Merapi

that occurs periodically. The activities of the people living in and co-utilizing the

impact and effect on the region as well as the conditions of conservation areas.

One community activities around the area that become obstacles in business is the

management of sand mining that produces intense and massively.

Mining activities on the slopes of Mount Merapi started in this mountain washes

published in the 1930s Lava flowing down from the peak of Merapi out millions

of cubic meters of sand material. The sand material and time required in the river

flows - which is the main river of lava. To the community around here, the sand

mining activities is the work of the hereditary and the result was very helpful to

meet the needs of their family life. When in fact, the events that have occurred

since this had a negative impact on the environment and ecosystems in the area of

Mount Merapi National Park. Sand mining in the area of Mount Merapi many

Page 5: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

5

environmental impacts such as increased environmental damage, deforestation,

destruction of watersheds (DAS), damage to roads, bridges and flood control

facilities (sabo dams) .

Mining process at Merapi, changing simple mining activities to the modern way

by using a backhoe gives a lot of pressure for changes in natural conditions in the

region. It is different from the mining activities that rely on human power, which

is relatively slow, the use of sophisticated tools and take advantage of most of the

eruption of Merapi material, then the mine using a hoe fastest lap dredge, excavate

and alter the landscap.

Keyword : Illegal miners , the implementation of the presidential decree , environmental sustainability

Page 6: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

6

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................1

INTISARI.................................................................................................................3

ABSTRAKSI............................................................................................................4

ABSTRACT...............................................................................................................5

DAFTAR ISI............................................................................................................7

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................9

A. Latar Belakang.............................................................................................9B. Rumusan Masalah......................................................................................12C. TujuanPenelitian........................................................................................13D. Keaslian Penelitian.....................................................................................13E. Manfaat Penelitian.....................................................................................15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................17

BAB IIIMETODE PENELITIAN.......................................................................................29

A. Jenis Penelitian...........................................................................................29B. Bahan penelitian.........................................................................................29 C. Lokasi Penelitian........................................................................................32D. Subjek Penelitian........................................................................................32E. Teknik Pengumpulan Data dan Alat Pengumpulan Data...........................33F. Analisis Data..............................................................................................33

BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBHASAN........................................................35

1. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penambangan liar di

Kabupaten Magelang?................................................................................35

2. Pengaturan mengenai penambangan liar di Kabupaten Magelang saat

ini?..............................................................................................................44

Page 7: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

7

3. Bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Magelang

berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014

Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi

untuk menekan jumlah penambang liar di Kabupaten

Magelang?..................................................................................................47

BAB V PENUTUP..............................................................................................................58

A. Kesimpulan................................................................................................58B. Saran...........................................................................................................59

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................60

Page 8: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan

praktek, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisatadan

rekreasi alam (UU No. 5 Tahun 1990). Taman Nasional Gunung Merapi

merupakan perwakilan ekosistem hutan yang spesifik Kawasan Taman

Nasional Gunung Merapi memiliki berbagai variasi ekosistem, mulai dari

ekosistem montana, tropical montain forest, hutan sekunder, hingga hutan

tanaman. Sehingga kawasan Taman Nasional Gunung Merapi mempunyai

keunikan dan kekhasan geosistem, biosistem dan sociosistem. Kawasan ini

mempunyai peranan yang sangat penting bagi wilayah Jawa Tengah dan

Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai sumber air bersih, sumber udara bersih

dan kenyamanan lingkungan.

Taman Nasional yang ada di Indonesia terdiri dari Taman Nasional Hutan

dan Taman Nasional Gunung. Salah satu Taman Nasional Gunung

(selanjutnya disebut dengan TNGM) yang ada di Indonesia adalah Taman

Nasional Gunung Merapi yang terletak di 2 Provinsi yaitu Jawa Tengah dan

D.I Yogyakarta dan juga secara administratif terletak pada 4 kabupaten yaitu

Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten.

Seperti halnya Taman Nasional lain di Indonesia, Taman Nasional Gunung

Merapi juga berdampingan dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya yang

sangat menggantungkan hidupnya baik secara langsung maupun tidak pada

kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.

Pada dasarnya sebelum terbentuknya balai pengelola taman nasional,

TNGM di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Adanya

Hutan-hutan di Gunung Merapi, telah ditetapkan sebagai kawasan

lindung sejak tahun 1931 untuk perlindungan sumber air, sungai dan

penyangga sistem kehidupan kabupaten/kota Sleman, Yogyakarta, Klaten,

Boyolali, dan Magelang. Sebelum ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung

Page 9: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

9

Merapi, kawasan hutan di wilayah yang termasuk propinsi DI Yogyakarta

terdiri dari fungsi-fungsi hutan lindung seluas 1.041,38 ha, cagar alam (CA)

Plawangan Turgo 146,16 ha; dan taman wisata alam (TWA) PlawanganTurgo

96,45 ha. Kawasan hutan di wilayah Jateng yang masuk dalam wilayah TN ini

merupakan hutan lindung seluas 5.126 ha.1

Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi berbasis resort dengan 2

Seksi Pengelolaan Taman Nasional (STPN) yaitu STPN Wilayah I Sleman

dan Magelang yang terdiri atas Resort Wilayah Cangkringan, Resort Wilayah

Turi Pakem, Resort Wilayah Dukun dan Resort Wilayah Srumbung,

sedangkan SPTN Wilayah II Boyolali dan Klaten terdiri atas Resort Wilayah

Kemalang, Resort Wilayah Selo, Resort Wilayah Musuk-Cepogo. Keberadaan

Taman Nasional Gunung Merapi berkaitan erat dengan keberadaan

masyarakat. Taman Nasional Gunung Merapi, khususnya pada Resort

Srumbung, merupakan salah satu lokasi penambangan pasir yang sudah

dilakukan masyarakat sejak tahun 1930 pada saat awal Merapi mengalami

erupsi. Kegiatan penambangan pasir yang dilakukan sudah sangat intensif dan

masif, hal ini didukung dengan sumber daya yang melimpah akibat erupsi

merapi yang terjadi secara periodik.2

Adanya aktivitas masyarakat yang tinggal di dalam dan turut

memanfaatkan kawasan berdampak dan berpengaruh pada kondisi serta

keberadaan kawasan konservasi. Salah satu kegiatan masyarakat di sekitar

kawasan yang menjadi kendala dalam usaha pengelolaan adalah penambangan

pasir yang terjadi secara intensif dan masif.

Manusia memegang peranan yang sangat penting dalam pelestarian

lingkungan baik perorangan, kelompok masyarakat ataupun dalam segala

upayanya yang dapat berhubungan langsung dengan alam. Untuk Kawasan

Taman Nasional Gunung Merapi terjadi kegiatan manusia yang sangat

1 Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Magelang., 2007, Status Lingkungan Hidup DaerahKabupaten Magelang 2007, Pemerintah Kabupaten Magelang, hlm 27.2 Ibid.

Page 10: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

10

mempengaruhi ekosistem hutan yaitu kegiatan penambangan pasir yang

terjadi secara intensif dan masif.

Aktivitas penambangan di lereng Gunung Merapi sudah dimulai sejak

Gunung ini mengeluarkan lava pada tahun 1930an. Lava yang turun dari

puncak merapi membawa jutaan meter kubik material pasir. Material pasir

tersebut ikut mengalir dan tertinggal di sungai – sungai yang menjadi jalur

lava. Bagi masyarakat di sekitar lokasi ini, kegiatan penambangan pasir

merupakan pekerjaan turun-temurun dan hasilnya sangat membantu dalam

memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Padahal sebenarnya kegiatan

yang terjadi sejak dulu ini berdampak negatif pada lingkungan hidup dan

ekosistem di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Pertambangan pasir

di kawasan Gunung Merapi banyak menimbulkan dampak lingkungan seperti

munculnya kerusakan lingkungan, kerusakan hutan, kerusakan daerah aliran

sungai (DAS), kerusakan jalan, jembatan, dan fasilitas pengendali banjir (sabo

dam).3

Menurut Dinas Pengairan, Pertambangan, dan Penanggulangan Bencana

Alam (P3BA), kerusakan yang terjadi akibat penambangan pasir meliputi

perubahan kondisi alam, hilangnya kesuburan tanah dan perubahan tata air.

Pasca penambangan, kondisi alam berubah dan meninggalkan kerusakan

dengan pemandangan yang buruk. Bersamaan dengan berubahnya kondisi

alam, permukaan tanah yang merupakan lapisan tanah paling subur yang

memiliki kandungan humus akan hilang disebabkan penggalian atau

pengerukan pasir. Akibatnya tanah disekitar lokasi penambangan pasir rata-

rata merupakan area perbukitan gundul dan tanah gersang.

Proses penambangan di Merapi, beralih dari aktivitas penambangan

sederhana ke cara modern dengan menggunakan back hoe memberikan

tekanan besar bagi perubahan kondisi alam di kawasan ini. Berbeda dari

aktivitas penambangan yang hanya mengandalkan tenaga manusia, yang

3 Ari Nurlitawati, 2011, “Penambangan Pasir Lereng Merapi : Antara Berkah Dan Musibah”, https://anurlita.wordpress.com/artikel-ku/penambangan-pasir-lereng-merapi/, diakses pada tanggal 29 April 2015 pukul 19.05

Page 11: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

11

relatif lambat, mengunakan peralatan seadanya dan memanfaatkan sebagian

besar material letusan Merapi, maka penambangan dengan menggunakan back

hoe lebih cepat mengeruk, menggali dan mengubah bentang alam. Apalagi

tingkat permintaan pembeli akan pasir Merapi terus meningkat (rata-rata 6-9

juta M 3 /tahun), tidak lagi sebanding dengan supply material dari letusan

Merapi rata-rata hanya mampu memberikan daya dukung kebutuhan pasir

sebesar 2,5 juta M 3 / tahun.4

Berdasarkan uraian di atas peneliti berpandangan perlu untuk membahas

lebih dalam lagi tentang bagaimana prospek dari upaya pengendalian

penambang liar ini ke depannya oleh Pemerintah sehingga bisa diketahui apa

saja hambatan-hambatan yang mungkin dialami dalam pelaksanaan upaya

tersebut. Sehingga pada akhirnya didapatkan solusi yang mampu memecahkan

masalah dari hambatan-hambatan yang ada demi mewujudkan perlindungan

kelestarian kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya

penambangan liar di Kabupaten Magelang?

2. Bagaimana pengaturan mengenai penambangan liar di Kabupaten

Magelang saat ini?

3. Bagaimana bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah

Kabupaten Magelang berdasarkan Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang

Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi untuk menekan jumlah

penambang liar di Kabupaten Magelang?

4 Ibid.

Page 12: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

12

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dapat dibagi

menjadi dua yaitu:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

penambangan liar di Kabupaten Magelang.

2. Untuk mengetahui pengaturan penambangan liar di Kabupaten

Magelang saat ini.

3. Untuk menggambarkan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah

Kabupaten Magelang untuk menekan jumlah penambang liar di

Kabupaten Magelang saat ini dan memberikan solusi ke depan agar

pengendalian terhadap penambang liar menjadi lebih baik.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai “Implementasi Presiden Republik Indonesia

Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman

Nasional Gunung Merapi Dalam Kaitannya Dengan Pengendalian

Penambangan Liar di Kabupaten Magelang“ ini belum pernah diangkat

sebelumnya menjadi sebuah penelitian baik itu berupa skripsi, tesis,

disertasi, jurnal hukum, ataupun penelitian-penelitian lainnya, mengingat

Peraturan Presiden ini baru diundangkan pada akhir tahun 2014.

Namun demikian sebelumnya telah ada beberapa penelitian yang

serupa dengan tema yang diangkat peneliti, yaitu :

1. Miftakhurochman, 2012, Analisis Implementasi Kebijakan

Pertambangan Terhadap Lingkungan Sosial Ekonomi Di

Kabupaten Magelang Tahun 2011 (Studi Kasus Di Wilayah

Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang), Tesis, Hukum

Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kesimpulan

dari penelitian ini adalah bahwa penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis dampak implementasi kebijakan bidang

pertambangan pasca erupsi Merapi 2010 di Kabupaten Magelang

terhadap pendapatan penambang manual dan penyerapan tenaga

Page 13: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

13

kerja pertambangan. Selain ini juga bertujuan mengetahui

kontribusi, tingkat efektif dan efisiensi pemungutan pajak bahan

mineral bukan logam dan batuan terhadap APDB Kabupaten

Magelang.

2. Yudhistira, 2011, Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat

Kegiatan Penambangan Pasir Di Desa Keningar Daerah Kawasan

Gunung Merapi, Penelitian, Ilmu Lingkungan, Universitas

Diponegoro, Semarang. Penelitian ini dilaksanakan di Desa

Keningar kecamatan Dukun Kabupaten Magelang. Metode

penelitian yang digunakan metode analisis kuantitatif. Untuk

penghitungan tingkat erosi dilakukan dengan rumus USLE

sedangkan aspek sosial melakukan wawancara dengan pertanyaan

terstruktur yang didukung kuesioner terhadap responden untuk

mengetahui pendapat tentang lingkungan sekitar. Hasil penelitian

menunjukkan tingkat erosi di lokasi penambangan pasir adalah

moderat dan ringan dan menimbulkan dampak fisik lingkungan

seperti tanah longsor, berkurangnya debit air permukaan (mata air),

tingginya lalu lintas kendaraan membuat mudah rusaknya jalan,

polusi udara, dan dampak sosial ekonomi. Dampak sosial ekonomi

penyerapan tenaga kerja karena sebagian masyarakat bekerja

menjadi tenaga kerja di penambangan pasir, adanya pemasukan

bagi pemilik tanah yang dijual atau disewakan untuk diambil

pasirnya dengan harga tinggi, banyaknya pendatang yang ikut

menambang sehingga dapat menimbulkan konflik, adanya

ketakutan sebagian masyarakat karena penambangan pasir yang

berpotensi longsor. Berdasarkan analisis SWOT maka langkah-

langkah yang perlu dilakukan untuk menghindari dampak

lingkungan adalah dengan memanfaatkan teknologi konservasi

lahan dan penegakan hukum melalui peraturan perundangan yang

jelas, transparan dan akuntabel serta pelibatan peran aktif

masyarakat.

Page 14: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

14

Berdasarkan judul maupun kesimpulan dari penelitian-penelitian

tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian-penelitian tersebut

berbeda dengan penelitian yang peneliti angkat. Penelitian-penelitian

tersebut fokus mendalami tentang kebijakan pertambangan pasca erupsi

merapi dan dampak kerusakan lingkungan dari penambangan sedangkan

penelitian yang peneliti angkat lebih fokus mendalami tentang

pengendalian penambang liar.

E. Manfaat Penelitian

A. Manfaat secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih

pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan

hukum, khususnya dalam pertambangan dan perlindungan kawasan

Taman Nasional, khususnya terkait perkembangan upaya-upaya

pemerintah dalam menekan jumlah penambang liar di Kabupaten

Magelang. Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan

gagasan yang progresif untuk dijadikan dasar peningkatan peran

Pemerintah Kabupaten Magelang agar dapat efektif dan optimal dalam

melakukan pengendalian penambangan liar.

B. Manfaat secara Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan Penelitian ini

diharapkan mampu menyelesaikan kesulitan-kesulitan penegakan

hukum dalam penanganan penambang liar. Dalam jangka panjang

penulisan ini diharapkan menjadi solusi bagi Pemerintah Kabupaten

Magelang dalam mewujudkan pelestarian lingkungan Taman Nasional

Gunung Merapi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat

membantu masyarakat dalam memahami dan mengakses informasi

Page 15: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

15

mengenai perlindungan terhadap kawasan Taman Nasional dan peran

Pemerintah dalam menekan jumlah penambang liar.

Page 16: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Mengenai Kawasan Hutan, Kawasan Konservasi dan Taman

Nasional

Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan Kawasan, hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau

ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan

tetap. Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok atas Hutan

konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.

Kawasan konservasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya adalah

kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan suaka alam yaitu

cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam yaitu taman

nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya, dan taman buru. Taman

Nasional menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56

/Menhut-Ii/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional adalah kawasan

pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem

asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan praktek,

ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan

rekreasi.

B. Tinjauan Umum Mengenai Pertambangan

1. Pengertian Hukum Pertambangan

Menurut Ensiklopedia Indonesia, Hukum pertambangan adalah :

“Hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan

bijih – bijih dan mineral – mineral dalam tanah”

Page 17: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

17

Salim HS mengatakan bahwa : 5

“hukum pertambangan adalah keseluruhan kaidah yang mengatur

kewenangan Negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang) dan

mengatur hubungan hukum antara dengan Negara dengan orang dan atau

badan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian (tambang)”.

Dari uraian di atas, ada tiga unsur yang tercantum dalam definisi

tersebut, yaitu adanya kaidah hukum, adanya kewenangan negara dalam

pengelolaan bahan galian, dan adanya hubungan hukum antara negara dengan

orang dan/atau badan hukum dalam pengusahaan bahan galian.

2. Asas-asas Hukum Pertambangan

Asas-asas yang berlaku dalam penambangan mineral dan batu bara telah

ditetapkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 ada 4 (empat) macam,

yaitu 6:

a. Manfaat, Keadilan, dan Kesinambungan

Yang dimaksud dengan asas manfaat dalam pertambangan

adalah asas yang menunjukkan bahwa dalam melakukan

penambangan harus mampu memberikan keuntungan dan manfaat

yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat.

b. Keberpihakan kepada Kepentingan Negara

Asas ini mengatakan bahwa di dalam melakukan kegiatan

penambangan berorientasi kepada kepentingan negara.

c. Partisipatif, Transparansi, dan Akuntabilitas

Asas partisipasif adalah asas yang menghendaki bahwa

dalam melakukan kegiatan pertambangan dibutuhkan peran serta

masyarakat untuk penyusunan kebijakan, pengelolaan,

pemantauan, dan pengawasan terhadap pelaksanaannya.

5 Salim HS, 2006, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 08.6 Gatot Supramono, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. hlm 07.

Page 18: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

18

d. Berkelanjutan dan Berwawasan lingkungan

Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan adalah asas yang secara terencana mengintegrasikan

dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam

keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batu bara untuk

mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang.

3. Pertambangan Pasir

Pemanfaatan lahan untuk penambangan pasir selalu dilakukan

pada tanah yang telah dilindungi oleh UUPA, sedangkan penggalian

itu sendiri sejak bergulirnya era otonomi daerah diatur dengan izin dari

pemerintah daerah melalui PERDA sesuai dengan asas disentralisasi.

Dengan Pasal 14 UUPA telah ditegaskan tentang rencana umum

kebijakan pemerintah dalam hal pengaturan pendayagunaan bumi, air,

dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya.

Adapun pengertian pertambangan dalam Pasal 1 angka 1

Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 adalah:

“Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka

penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batu bara yang

meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,

penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan

penjualan, serta kegiatan pasca tambang.”

Pengertian tersebut dalam arti luas karena meliputi berbagai

kegiatan penambangan yang ruang lingkupnya dapat dilakukan

sebelum penambangan, proses penambangan, dan sesudah proses

penambangan.

Penggolongan bahan galian diatur dalam Pasal 3 Undang-

Undang No. 11 Tahun 1967, Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 27

Page 19: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

19

Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan Galian. Bahan galian dapat

dibagi menjadi tiga golongan, yaitu7:

a. Bahan galian strategis

b. Bahan galian vital,

c. Bahan galian yang tidak termasuk bahan galian strategis dan vital.

Berdasarkan penggolongan bahan galian diatas, dapat diketahui

bahwa penambangan pasir termasuk bahan galian golongan C yakni

bahan galian yang tidak termasuk golongan A (strategis) atau B (vital).

Pasir adalah contoh bahan material butiran. Butiran pasir umumnya

berukuran antara 0,0625 sampai 2 milimeter. Materi pembentuk pasir

adalah silikon dioksida, tetapi di beberapa pantai tropis dan subtropis

umumnya dibentuk dari batu kapur. Pasir tidak dapat ditumbuhi oleh

tanaman, karena rongga-rongganya yang besar-besar.

4. Penambang Liar

Salah satu kriteria utama yang digunakan untuk mendefinisikan

penambangan liar adalah tidak dimilikinya hak atas tanah, lisensi

pertambangan, izin eksplorasi atau transportasi mineral atau dokumen

apapun yang sah untuk operasi pertambangan.

Pertambangan liar/ilegal dapat dioperasikan baik di permukaan atau

bawah tanah. Pertambangan tanpa izin adalah ilegal karena di sebagian

besar negara, sumber daya mineral bawah tanah adalah milik negara.

Sumber daya mineral hanya bisa ditambang oleh operator berlisensi

menurut hukum dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah.

7 Salim HS, Op.cit., hlm. 44.

Page 20: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

20

C. Tinjauan mengenai Zonasi dalam Taman Nasional

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006

Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Menteri Kehutanan, Zonasi taman

nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi

zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis

data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata

batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek

ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Kriteria penetapan zonasi

dilakukan berdasarkan derajat tingkat kepekaan ekologis (sensitivitas ekologi),

urutan spektrum sensitivitas ekologi dari yang paling peka sampai yang tidak peka

terhadap intervensi pemanfaatan, berturut-turut adalah zona: inti, perlindungan,

rimba, pemanfaatan, koleksi, dan lain-lain. Selain hal tersebut juga

mempertimbangkan faktor-faktor: keperwakilan (representation), keaslian

(originality) atau kealamian (naturalness), keunikan (uniqueness), kelangkaan

(raritiness), laju kepunahan (rate of exhaution), keutuhan satuan ekosistem

(ecosystem integrity), keutuhan sumberdaya/kawasan (intacness), luasan kawasan

(area/size), keindahan alam (natural beauty), kenyamanan (amenity), kemudahan

pencapaian (accessibility), nilai sejarah/arkeologi/ keagamaan (historical/

archeological/religeus value), dan ancaman manusia (threat of human

interference), sehingga memerlukan upaya perlindungan dan pelestarian secara

ketat atas populasi flora fauna serta habitat terpenting.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006

Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Menteri Kehutanan terdapat

beberapa zonasi yaitu:

1. Zona Inti

Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi

alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu

oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan

keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.

Page 21: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

21

Peruntukan Zona inti : untuk perlindungan ekosistem, pengawetan

flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan

perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar,

untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,

pendidikan, penunjang budidaya.

2. Zona Rimba

Peruntukkan Zona rimba adalah untuk kegiatan pengawetan dan

pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan

penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran

dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti.

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona rimba

meliputi:

1. Perlindungan dan pengamanan;

2. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan

ekosistemnya;

3. Pengembangan penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas,

pemanfaatan jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya;

4. Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka meningkatkan

keberadaan populasi hidupan liar;

5. Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan

penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas.

3. Zona Pemanfaatan

Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak,

kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk

kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.

Peruntukkan Zona pemanfaatan adalah untuk pengembangan

pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan

Page 22: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

22

pengembangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang

budidaya.

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatan

meliputi:

1. Perlindungan dan pengamanan;

2. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan

ekosistemnya;

3. Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang

budidaya;

4. Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam;

5. Pembinaan habitat dan populasi;

6. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa

lingkungan;

7. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian,

pendidikan, wisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan.

4. Zona Tradisional

Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan

untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena

kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.

Peruntukkan Zona tradisional adalah untuk pemanfaatan potensi

tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui

pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

5. Zona Rehabilitasi

Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena

mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan

komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.

Peruntukkan Zona rehabilitasi adalah untuk mengembalikan ekosistem

kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem

alamiahnya.

Page 23: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

23

6. Zona Religi

Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional

yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan

atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan

nilai-nilai budaya atau sejarah. Peruntukkan Zona religi, budaya dan

sejarah adalah untuk memperlihatkan dan melindungi nilai-nilai hasil

karya budaya,  sejarah, arkeologi maupun keagamaan, sebagai wahana

penelitian, pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius.

7. Zona Khusus

Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi

yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan

sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut

ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi,

fasilitas transportasi dan listrik.

Peruntukkan Zona khusus adalah untuk  kepentingan aktivitas

kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sebelum

ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang

kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana

telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.

D. Tinjauan Umum tentang Tata Ruang

Konsep dasar hukum penataan ruang tertuang di dalam pembukaan UUD

945 alinea ke-4 yang berbunyi :

“Melindungi segeap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia”

Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen keempat,

berbunyi :

Page 24: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

24

“Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.”

Ketentuan tersebut memberikan hak penguasaan kepada Negara atas

seluruh sumber daya alam Indonesia dan memberikan kewajiban kepada

Negara untuk menggunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kalimat

tersebut mengandung makna, Negara mempunyai kewenangan untuk

melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam

guna terlaksanaanya kesejhteraan yang dikehendaki.8

Ruang wilayah nasional sebagai wadah atau tempat bagi mansia dan

makhuk lainnya hidup dan melakuka kegiatannya merupakan karunia Tuhan

Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia yang perlu disyukri, dilindungi dan

dikelola. Ruang wajib dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara

optimal dan berkelanjutan dami kelangsungan hidup yang berkualias.9

Berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

diketahui bahwa ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara

beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Kegiatan manusia

dan makhluk hidup lainnya membutuhkan ruang sebagaimana lokasi berbagai

pemnfaatan ruang, atau sebaliknya, suatu ruang dapat mewadahi berbagai

kegiatan sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan.

Meskipun suatu ruang tidak dihuni manusia seperti ruang hampa udara,

lapisan dibawah kerak bumi, kawah gunung berapi, tetapi ruang tersebut

mempunyai pengaruh terhadap kehidupan dan dapat dimanfaatkan untuk

kegiatan dan kelangsungan hidup.

Dengan demikian, ruang wilayah nasional merupakan asset besar bangsa

Indonesia yang harus dimanfaatkan secara terkoordinasi, terpadu dan sefektif

8 Juniarso Ridwan, 2008, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung, hlm 28.9 Muchsin, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 44.

Page 25: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

25

mungkin dengan memperhatikan factor-faktor politik,eonomi, social, budaya,

pertahanan dan keamanan, serta kelestarian lingkungan untuk menopang

pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.

Dengan kata lain, wawasan penataan ruang wilayah nasional adalah Wawasan

Nusantara.

Untuk dapat mewujudkan tujuan Negara, khususnya meningkatkan

kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti Negara

harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya

tujuan tadi dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah. Apabila kita

cermati dengan seksama, kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh Negara

yang kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis, maka dalam

pemanfaatannya juga harus diatur dan dikembangkan dalam peta tata ruang

yng terkoordinasi sehingga tidak akan adanya perusakan terhadap lingkungan

hidup.

E. Tinjauan tentang Dampak Penambangan Liar

Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan

lingkungan, pengrusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan

perubahan langsung/ tidaklangsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya

yang mengakibatkan lingkungan hidup tidakdapat berfungsi lagi dalam

menunjang pembangunan berkelanjutan.Salah satu indikator kerusakan

lingkungan adalah erosi. Erosi adalah proses berpindahnya tanah atau batuan

dari satu tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah akibat

dorongan air, angin, atau gaya gravitasi. Proses tersebut melalui tiga tahapan,

yaitu pelepasan, pengangkutan atau pergerakan, dan pengendapan.

Penambangan Pasir tidak hanya memberikan keuntungan dan manfaat

tetapi juga menimbulkan permasalahan. Kegiatan penambangan pasir yang

menggunakan alat berat yang berfungsi untuk mengeruk material yang berada

di dataran maupun di dinding tebingmenimbulkan permasalahan ekologis dan

sosial bagi lingkungan sekitar. Dampak lingkunga ndari kegiatan

Page 26: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

26

penambangan pasir di bedakan menjadi dampak fisik dan dampak sosial

ekonomi.10

Dampak fisik lingkungan dengan adanya kegiatan penambangan pasir

adalah sebagai berikut:

1. Tingginya tingkat erosi di daerah penambangan pasir dan juga

didaerah sekitarnya.

2. Adanya tebing-tebing bukit yang rawan longsor karena penambangan

yang tidak memakai sistem berteras sehinggaa sudut lereng menjadi

terjal dan mudah longsor

3. Berkurangnya debit air permukaan/ mataair

4. Tingginya lalu lintas kendaraan di jalan desa membuat mudah

rusaknya jalan.

5. Terjadinya polusi udara.

Dampak sosial dengan adanya kegiatan penambangan pasir adalah sebagai

berikut :11

1. ekonomi yang terjadi dengan adanya kegiatan penambangan pasir

2. Pengurangan jumlah pengangguran karena sebagian masyarakat

bekerja menjadi

3. tenaga kerja di penambangan pasir, baik sebagai pengawas, buruh

tambang, penjual

4. makanan dan minuman .

5. Adanya pemasukan bagi pemilik tanah yang dijual atau disewakan

untuk diambil

6. pasirnya dengan harga tinggi. Tanah yang semula tidak

menghasilkan menjadi

10 Boniska Fitri Almaida, 2008, Kajian Dampak Lingkungan Kegiatan PenambanganBahan Galian Golongann C ( Studi Kasus daerah Sendangmulyo), Tesis Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro, Semarang.11 Ibid.

Page 27: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

27

F. Tinjauan tentang Peran Masyarakat dalam Pemeliharaan Lingkungan

Peran serta masyarakat merupakan factor terpenting sebagai bagian dari

instrument dalam hukum lingkungan, karena melalui masyarakat inilah

berbagai indikasi perusakan lingkungan dn pecemaran lingkungan dapat

diketahui. Di lain pihak, masyarakat juga sebagai factor utama terpelihara atau

rusaknya lingkungan karena masyarakat yang langsung berinteraksi dengan

lingungan tempat mereka menetap.12

Peran dan kontrol masyarakat dalam pemeliharaan fungsi lingkungan

hidup dalam tataban implementasi secara yuridis dapat diakomodasikan ke

dalam sebuah lembaga swadaya masyarakat sebagai representasi masyarakat

dalam mengupayakan perlndungan hukum akibat perusakan lingkungan

dengan wujud peran masyarakat yang diatur dalam undang-undang no. 23

tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang menyatakan lembaga

swadaya masyarakat berperan serta sebagai penunjng bagi pengelolaa

lingkungn hidup.13

12 Juniarso Ridwa, Op.Cit, hlm 7713 Ibid

Page 28: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian

Jenis Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum

yuridis-empiris. Yuridis yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dan

ketentuan hukum positif, serta penerapannya di masyarakat. Karena

dalam penelitian ini akan mencari tahu dan menganalisa apakah

peraturan perundang-undangan yang ada sudah mengatur

permasalahan yang akan diteliti secara komprehensif atau belum.

Empiris yaitu meneliti gejala-gejala dan juga fakta-fakta yang terjadi di

masyarakat. Penelitian ini bertujuan menganalisa fakta-fakta yang ada

dalam masyarakat setelah itu untuk dikomparasikan dengan

pengaturan yang ada. Sehingga pada akhirnya kami dapat menganalisa

apakah terjadi kesesuaian antara das sollen dengan das sein.

Sedangkan sifat penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum

deskriptif menurut Soerjono Soekanto, yaitu Penelitian yang 

dilakukan bersifat deskriptif yaitu menggambarkan gejala-gejala di

lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan

yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara

penelitian yang menghasilkan data deskriptif.

B. Bahan Penelitian

1. Penelitian Kepustakaan

Dalam penelitian kepustakaan maka data yang digunakan adalah

data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti

dari sumber yang sudah ada atau yang diperoleh dari bahan-bahan

pustaka lazimnya.

Page 29: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

29

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto,

studi dalam penelitian hukum pustaka (library research)14 dimana

penulisan ini dilakukan dengan mengkaji bahan-bahan kepustakaan

seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah,

artikel, jurnal, majalah, dan bahan-bahan hukum lainnya yang

terkait dengan obyek penelitian.

a. Bahan-bahan hukum primer, merupakan bahan hukum

yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum

seperti peraturan perundang–undangan, dan putusan hakim.

Bahan hukum primer yang penulis gunakan di dalam

penulisan ini yakni: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3209), antara lain bahan-bahan hukum yang

terkait dengan pengaturan mengenai Penambangan Liar :

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945;

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Dan Ekosistemnya, Lembaran Negara Republik

Indonesia tahun 1990 Nomor 49

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati

Dan Ekosistemnya, Lembaran Negara Republik

Indonesia tahun 1990 Nomor 49

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun

2007 Tentang Tata Ruang, Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2007 Nomor 68; Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4725

14 Soerjono Soekanto dan Sri Marmudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, hlm. 23.

Page 30: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

30

5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23

Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Pertambangan Mineral Dan Batubara, Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29;

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5111

6) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70

Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan

Taman Nasional Gunung Merapi, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 160

7) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:

P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman

Nasional Menteri Kehutanan, Zonasi taman nasional

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat

membantu menganalisa dan memahami bahan hukum

primer meliputi karya yang ada hubungannya dengan

pokok bahasan yang akan diteliti baik dalam bentuk baku,

skripsi, makalah, jurnal hukum, dan sebagainya.

Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum

yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan

hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau

pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang

tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke

mana peneliti akan mengarah. Yang dimaksud dengan

bahan sekunder disini oleh penulis adalah doktrin–doktrin

yang ada  di dalam buku, jurnal hukum dan internet.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi

petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

Page 31: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

31

hukum primer dan sekunder seperti Kamus dan

Ensiklopedia.

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan

memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum

lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis

adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum

1) Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum

yang digunakan untuk menginteprestasikan pasal-pasal

dalam ketentuan hukum positif.

2) Ensiklopdia digunakan dalam mengetahui pemahaman-

pemahaman mengenai hal-hal yang terkait bahaya

penambangan liar.

2. Penelitian Lapangan

Dalam penelitian lapangan maka peneliti menggunakan data

primer. Data primer adalah Data primer adalah data yang

diperoleh peneliti secara langsung (dari tangan pertama) atau

data yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data

primer (atau dasar).

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Resort Srumbung, Kecamatan

Srumbung, Kabupaten Magelang. Alasan peneliti memilih Resort

Srumbung, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang sebagai lokasi

penelitian karena di lokasi tersebut tercatat sebagai salah satu

kabupaten yang memiliki kasus penambangan liar cukup tinggi.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian pada penulisan ini terdiri dari

Page 32: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

32

1. Responden

Responden adalah orang atau pihak yang terkait secara langsung

atau memahami terhadap permasalahan yang akan diteliti.

Responden yang dimaksud dalam penelitian ini terdiri dari

penambang dan masyarakat sekitar daerah penambangan Resort

Srumbung Taman Nasional Gunung Merapi SPTN I Wilayah

Magelang. Peneliti memilih responden tersebut untuk mengetahui

secara langsung dan memastikan hal-hal terkait yang akan kami

teliti.

2. Narasumber

Narasumber adalah orang atau pihak yang tidak terkait secara

langsung dengan topik atau rumusan masalah yang akan diteliti.

Narasumber yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Kepala

Divisi Resort Srumbung Taman Nasional Gunung Merapi ketua

rt/rw/kecamatan/desa, Dinas Kehutanan, BAPEDA, Dinas

Perijinan, dan Dinas Kimpaswil Pemerintah Kabupaten Magelang

E. Teknik Pengumpulan Data dan Alat Pengumpul Data

a. Penelitian yuridis yang akan peneliti lakukan, yaitu menggunakan

teknik studi kepustakaan, yaitu menggunakan bahan-bahan

kepustakaan yang berupa buku, hasil penelitian, skripsi, jurnal,

majalah, dan internet.

b. Penelitian empiris yang peneliti lakukan, yaitu mengumpulkan

data penelitian lapangan yaitu teknik wawancara dengan

menggunakan alat berupa pedoman wawancara.

F. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah melalui pendekatan

kualitatif. Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan

jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya

Page 33: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

33

menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan

menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang

dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang

lain (Bogdan & Biklen, 1982). Penelitian kualitatif merupakan salah

satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

ucapan atau tulisan dan prilaku orang orang yang diamati. Penelitian

kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang

kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi

organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain.

Page 34: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

34

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penambangan liar di

Kabupaten Magelang.

Faktor-faktor diketahui dapat mengetahui apa saja faktor-faktor yang

mempengaruhi masyarakat di Kabupaten Magelang untuk melakukan

penambangan liar kami melakukan survey terhadap masyarakat sekitar lokasi

penambangan di Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang. Berikut adalah

hasil survey yang telah kami lakukan terhadap 98 penambang.

Grafik 1. Asal Penambang.

Sumber : Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator

Penambang Desa

10,2%

89,8%

Asal Penambang

luar Srumbungdalam Srumbung

Pada grafik 1 dijelaskan mengenai persentasi asal penambang yang berasal

dari dalam dan luar kecamatan Srumbung. Berdasarkan wawancara dengan

penambang secara langsung, sebagian penambang pasir berasal dari kecamatan

Srumbung (masyarakat lokal) itu sendiri yaitu 88 orang (89,8 %). Nilai 89,8 %

Page 35: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

35

tersebut mendeskripsikan bahwa masyarakat lokal sangat menggantungkan

ekonominya pada kawasan taman nasional, dan 10 orang (10,2 % penambang

yang berasal dari luar kecamatan Srumbung juga berasal dari daerah yang tidak

jauh dengan kecamatan Srumbung yaitu sepert kecamatan Dukun dan kecamatan

Tempel.

Grafik 2. Persentase Lama Menjadi Penambang.

Sumber: Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator

Penambang Desa.

48,98%

36,73%

12,24%1,01% 1,02%

Lama Menjadi Penambang

1 - 10 tahun11-20 tahun21-30 tahun31-40 tahun41-50 tahun

Gambar di atas menunjukkan bahwa sebagian besar penambang pasir

bekerja sebagai penambang selama 1-10 tahun yaitu dengan jumlah 48 orang

(48,98 %) dan 11-20 tahun dengan jumlah 36 orang (36,73%). Sementara itu yang

lainnya selama 21-30 tahun dengan jumlah (12,24%), sedangkan yang selama 31-

40 tahun dan 41-50 tahun hanya berjumlah masing-masing 1 orang (1,02%). Hal

tersebut berhubungan dengan umur produktif kerja sebagai kuli yaitu berkisar 20

– 40 tahun. Grafik tersebut juga menggambarakan kisaran umur para pekerja

penambang pasir yang ada.

Page 36: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

36

Grafik 3. Persentase Penghasilan dari Menambang.

Sumber : Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator

Penambang Desa.

41,84%

9,18%

32,65%

16,33%

Penghasilan Penambang/hari

30 ribu40 ribu50 ribu60 ribu up

Pada gambar 3. dijelaskan bahwa penghasilan dari menambang pasir

berkisar 30-60 ribu, dengan penghasilan 30 ribu/hari memiliki jumlah 41 orang

(41,84%), penghasilan 40 ribu/hari dengan jumlah 9 orang (9,18%), penghasilan

50 ribu/hari dengan jumlah 32 orang (32,65%) , sedangkan penghasilan lebih dari

60 ribu dengan jumlah 16 orang (16,33%). Sebagian besar penghasilan dengan

sistem upah kuli bongkar muat penambangan pasir yaitu 30 ribu/hari. Penghasilan

dengan sejumlah uang tersebut menjadi penhasilan utama setiap harinya.

Page 37: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

37

Grafik 4. Persentase Alasan Menambang.

Sumber : Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator

Penambang Desa.

58,16%32,65%

4,08%5,10%Alasan Menambang

kebutuhantidak ada pekerjaan lainpaling mudah dikerjakanpaling cepat dapat uang

Berdasarkan grafik tersebut dapat kita ketahui menambang pasir dengan

alasan kebutuhan memiliki jumlah 57 orang (58,16%), kemudian menambang

pasir dengan alasan tidak ada pekerjaan lain adalah berjumlah 32 orang (32,65%),

selanjutnya yang menambang pasir dengan alasan karena paling mudah dikerjakan

hanya berjumlah 4 orang (4,08%), dan yang menambang karena alasan bahwa

dengan menambang maka paling cepat dapat uang hanya dengan jumlah 5 orang

(5,10%).

Memilih suatu pekerjaan, seseorang tentu mempunyai alasan tertentu.

Akan tetapi dengan masyarakat yang memiliki ekonomi kelas bawah, memilih

pekerjaan tentu karena terdesak akan kebutuhan hidupnya. Begitu juga juga

dengan para penambang pasir, mereka lebih memilih jadi kuli bongkar muat pasir

karena memang kebutuhan menuntut mereka. Berdasarkan hasil survey dapat

diketahui bahwa menambang pasir manual menyebut alasan tidak ada pekerjaan

lain karena mereka merasa kesulitan mencari pekerjaan lain. Karena menurut

mereka, untuk bekerja selain menjadi penambang, petani atau peternak mereka

harus berpendidikan tinggi atau mempunyai modal besar untuk membangun

Page 38: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

38

usaha. Sehingga mereka memilih jadi penambang meskipun hanya jadi kuli

bongkar muat pasir.

Grafik 5. Persentase Pekerjaan Sampingan.

Sumber : Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator

Penambang Desa

30,61%

69,39%

Pekerjaan Sampingan

adatidak ada

Berdasarkan 98 orang penambang, yang memiliki pekerjaan sampingan

hanya 30 orang (30,61%) dan 68 orang (68,39%) tidak memiliki pekerjaan

sampingan. Pekerjaaan sampingan para penambang pasir sebagian besar adalah

petani dan peternak (sapi, kambing maupun ayam). Mereka menjadikan

menambang pasir sebagai pekerjaan utama karena hasil uang yang di dapat

dibayar secara langsung meskipun bergantung dengan permintaan pasir dari luar

kawasan, namun permintaan pasir dari luar kawasan cukup tinggi.

Page 39: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

39

Grafik 6. Persentase Pengetahuan Dampak dari Penambangan.

Sumber : Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator

Penambang Desa sil Wawancara Peneliti.

33,67%

66,33%

Pengetahuan Dampak dari Penambangan

tahutidak tahu

Pengetahuan para penambang pasir mengenai dampak penambangan

terhadap lingkungan masih cukup rendah, hanya ada 33 orang (33,67%) yang

mengetahui dampak penambangan terhadap lingkungan. Sementara yang tidak

mengetahui dampak penambangan terhadap lingkungan lebih dari 50% yaitu 65

orang (66,33%). Hal tersebut terjadi karena faktor pendididkan dari mereka yang

masih rendah atau karena memang mereka kurang perduli akan dampak

penambangan tersebut pada lingkungan sekitar.

Page 40: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

40

Grafik 7. Presentase Pengetahuan Masyarakat Sekitar Area Penambangan.

Sumber : Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator

Penambang Desa.

83,33%

16,67%

Pengetahuan Dampak dari Penambangan

tahu

tidak

Desa Kemiren merupakan desa yang dijadikan jalur akses para penambang

untuk melakukan aktivitas penambangan, meskipun desa Kemiren lokasinya jauh

dari kawasan akan tetapi berdekatan dengan aktivitas penambangan yang di luar

kawasan. Masyarakat sekitar penambangan pasir tentu merasakan dampak dari

aktivitas penambangan yang sudah beroperasi sejak dari dahulu , dalam hal ini

masyarakat dianggap memiliki peran penting dalam upaya mengendalikan

aktivitas penambangan pasir. Berdasarkan 30 responden yang berpartisipasi,

sebanyak 83,33% mengetahui dampak dan sebanyak 16,67% dari mereka tidak

mengetahui dari aktivitas penambangan pasir. Hal tersebut menggambarkan

bahwa masyarakat desa Kemiren memiliki pengetahuan dan keperdulian

lingkungan yang cukup tinggi jika dilihat dari sebagian besar mata pencaharian

masyarakat yang ada di desa Kemiren. Mata pencaharian masyarakat desa

kemiren sebagian besar adalah petani salak dan sangat sedikit yang bekerja

sebagai penambang pasir, meskipun menurut sejarahnya masyarakat desa

Page 41: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

41

Kemiren dahulunya sebagian besar adalah penambang pasir. Hal ini menjadi

contoh yang baik dan patut dijadikan contoh oleh masyarakat desa yang lainnya.

Grafik 8. Presentase Jenis Dampak yang Diketahui Masyarakat.

Sumber : Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator

Penambang Desa.

52,63%

7,89%

39,47%

Jenis Dampak yang Diketahui

kurang airlongsorhutan/ekosistem rusak

Jika suatu masyarakat sudah merasakan dampak yang diakbatkan oleh

aktivitas penambangan, tentu mereka juga akan mengetahui berbagai dampak

yang sudah terjadi maupun akan terjadi jika aktivitas penambangan tersebut terus

dilakukan. Jenis dampak yang mereka sebut adalah berkurangnya ketersediaan air

dengan nilai presentase 52,63%, sedangkan dampal lainnya yang mereka ketahui

yaitu hutan / ekosistem menjadi rusak dengan nilai presentase 39,47%, dan

berdampak longsor dengan nilai presentase 7,89%. Pengetahuan masyarakat desa

Kemiren mengenai jenis dampak sudah cukup baik, hal yang paling sering mereka

sebut adalah berkurangnya ketersediaan air yaitu 52,63%, menurut mereka dari

tahun ke tahun ketersediaan air semakin menurun dan sulit didapatkan.

Hasil survey dan uraian diatas kami memperoleh informasi mengenai

faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penambangan liar, yaitu faktor

kondisi sosial ekonomi, kurangnya pengetahuan mengenai dampak dari

penambangan liar, dan minimnya pengawasan dari Pemerintah.

Page 42: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

42

1. Faktor Kondisi Sosial Ekonomi

Data survey yang telah dijabarkan sebelumnya mendeskripsikan

secara tidak langsung bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat yang

bekerja sebagai penambang pasir. Dari data terlihat bahwa penambangan

telah dilakukan sejak lama, bahkan turun-menurun. Hal tersebut

ditunjukkan dari data lamanya menjadi penambang yang rata-rata

penambang sudah melakukan penambangan selama kurang-lebih sepuluh

tahun. Selain itu alasan penambang yang sebagian besar mengatakan

bahwa menambang adalah sebuah kebutuhan hidup dan tidak ada

pekerjaan lain membuat penambang terus terjebak untuk melakukan

penambangan liar

Kondisi ekonomi penambang pasir masih sangat menggantungkan

penghasilan dari penambangan pasir yang ada dalam kawasan, hal inilah

yang menjadikan alasan mereka untuk tetap melakukan penambangan

secara liar walaupun penambangan pasir dalam kawasan tersebut dilarang

oleh pemerintah.

2. Kurangnya pengetahuan mengenai dampak dari penambangan

Berdasarkan survey diketahui bahwa persepsi penambang terhadap

bahaya akibat melakukan penambangan liar adalah cukup minim. Dalam

melakukan pekerjaannya penambang hanya mementingkan kepentingan

ekonomi saja yaitu untuk memperoleh keuntungan. Penambang sering kali

tidak memperhatikan kondisi alam sekitar yang rusak. Penambang percaya

bahwa nanti ketika merapi meletus lagi maka pasir akan kembali penuh.

Persepsi inilah yang sangat mempengaruhi penambang untuk selalu

mengindahkan peringatan bahayanya melakukan penambangan liar.

Padahal penambangan pasir tidak hanya memberikan keuntungan

dan manfaat tetapi juga menimbulkan permasalahan. Kegiatan

penambangan pasir yang menggunakan alat berat yang berfungsi untuk

Page 43: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

43

mengeruk material yang berada di dataran maupun di dinding tebing

menimbulkan permasalahan ekologis dan sosial bagi lingkungan sekitar.

3. Minimnya upaya penegakan dari aparat terkait

Secara hukum, penambangan pasir dalam kawasan adalah ilegal,

namun pada kenyataannya dengan berbagai faktor, pihak pemerintah

mengizinkan dengan syarat kegiatan penambangan. Menurut penambang

syarat yang diberikan pemerintah adalah dengan hanya menambang di

sepanjang alur sungai dan apabila melanggar yaitu menambang di luar alur

sungai maka akan dikenai sanksi dan hukuman penjara. Mungkin syarat

terebut memang ditujukan agar pihak pemerintah dan pengelola dapat

untuk tetap mengendalikan aktivitas penambangan agar tidak meluas,

namun pengaturan resmi mengenai syarat ini masih belum dapat penulis

temukan.

B. Pengaturan mengenai penambangan liar di Kabupaten Magelang saat ini

Untuk dapat menentukan pengaturan apa saja yang digunakan untuk

menanggulangi penambangan liar di Kabupaten Magelang maka pertama kita

harus merujuk pada aturan yang dijadikan dasar dalam penelitian ini, yaitu

Peraturan Presiden nomor 70 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan

Taman Nasional Gunung Merapi. Perpres tersebut menyatakan bahwa kecamatan

Srumbung telah masuk dalam Taman Nasional Gunug Merapi, sesuai yang

dikatakan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a nomor 1, yang berbunyi :

“Taman Nasional Gunung Merapi, terdiri atas sebagian wilayah

Kecamatan Dukun dan sebagian wilayah Kecamatan Srumbung di

Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah”.

Tujuan dari Perpres tersebut selain untuk menetapkan kawasan Penataan

Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi adalah untuk mewujudkan Tata

Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang berkualitas dalam rangka

Page 44: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

44

menjamin kelestarian lingkungan dan kesejahteraan Masyarakat Kawasan Taman

Nasional Gunung Merapi yang berbasis Mitigasi Bencana. Sehingga secara tidak

langsung apabila terjadi penambangan liar di wilayah Taman Nasional Gunung

Merapi dapat mengganggu tujuan dari diterbitkannya Perpres ini karena

penambangan liar memiliki dampak yang dapat mengganggu kelestarian Kawasan

Taman.

Dalam Pasal 45 Perpres juga memberikan pengaturan mengenai arahan

dalam melakukan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Taman Nasional

Gunung Merapi yang salah satunya adalah mengenai pemberian sanksi. Sanksi

merupakan hal yang sangat penting untuk diatur karena sanksi merupakan wujud

penindakan secara langsung dan tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang

terjadi di Wilayah Taman Nasional. Sanksi merupakan acuan yang logis untuk

menilai upaya penegakan dalam pengendalian penambangan liar di Kawasan

Taman Nasional Gunung Merapi. Sanksi dalam Perpres diatur dalam Pasal 71

ayat (1) Perpres yang berbunyi :

“Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf d

diberikan dalam bentuk sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang Penataan

Ruang.”

Dengan demikian berarti Perpres tidak mengatur secara khusus mengenai sanksi.

Sanksi baik administrasi dan/atau pidana dikenakan sesuai dengan peraturan

perundangan di bidang Penataan Ruang. Peraturan yang dimaksud dalam Perpres

adalah Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Sanksi yang dimaksud dalam UU Penataan Ruang Tertera pada pasal 69

sampai Pasal 75. Sanksi tersebut berlau dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Tidak mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan

2. Memanfaatkan ruang tidak tidak sesuai dengan izin pemanfaatannya

3. Tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin

pemanfaatan ruang

Page 45: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

45

4. Tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan

perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum

5. Pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai

dengan rencana tata ruang

Penambangan liar dapat dimasukkan dalam kategori hal yang dilarang dalam UU

Penataan Ruang. Sehingga, penambangan liar seharusnya dapat ditanggulangi

dengan melakukan penegakkan terhadap sanksi yang telah diatur dalam UU

Penataan Ruang. Sanksi yang diberikan juga cukup tegas yaitu pidana penjara

hingga maksimal lima belas tahun dan denda maksimal hingga lima miliar rupiah.

Dalam UU Penataan Ruang dikatakan bahwa salah satu tujuan penataan

ruang adalah untuk mewujudkan perlindugan fungsi ruang dan pencegahan

dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaat ruang yang tidak

semestinya. Dengan demikian maka sebenarnya telah terjadi sinkronisasi tujuan

antara Perpres dengan UU Penataan Ruang. Keduanya menekankan bahwa

kawasan tertentu dalam hal ini kawasan Taman Nasional Gunung Merapi harus

dijaga dari kerusakan alam akibat salah penggunaan yang tidak semestinya

Walaupun sudah ada Perpres terbaru yang mengatur mengenai rencana tata

ruang di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi, namun Pemerintah Kabupaten

Magelang sendiri belum punya aturan lebih lanjut atau aturan pelaksana ynag

mengejawantahkan lebih rinci mengenai penataan dan pelestarian kawasan Taman

Nasional Gunung Merapi. Begitu pula mengenai penanggulangan penambangan

liar di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Pemerintah Kabupaten

Magelang dalam menanggulangi penambangan liar di kawasan Taman Nasional

Gunung Merapi masih berpegang pada aturan-aturan terdahulu, yang diterbitkan

sebelum Perpres nomor 70 tahun 2014 tentang Rancangan Tata Ruang Kawaasan

Taman Nasional Gunung Merapi.

Aturan yang dipakai Pemerintah Kabupaten Magelang sebagai acuan

adalah Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang

Usaha Pertambangan. Peraturan Daerah tersebut dapat dikatakan dapat

bersinggungan langsung dengan upaya pengendalian penambangan liar.

Alasannya adalah bahwa Perda ditujukan untuk mencegah dampak kerusakan dan

Page 46: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

46

pencemaran lingkungan akibat usaha pertambangan baik untuk usaha

pertambangan yang legal maupun yang ilegal. Wujud pengendaliannya adalah

melalui pemberian sanksi atas pelanggaran terhadap Perda. Dalam pasal 27 ayat

(1) Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 1 tahun 2008 dikatakan

bahwa :

“Setiap orang atau badan yang menyelenggarakan kegiatan di bidang

pertambangan tanpa izin dan melanggar ketentuanketentuan yang diatur

dalam Peraturan Daerah ini, diancam

dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling

banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).”

Selain menggunakan Peraturan Daerah tersebut, Pemerintah Kabupaten Magelang

sebelumnya juga telah menerbitkan Surat Keputusan Bupati yang berkaiatan

dengan pengendalian penambangan liar yaitu Surat Keputusan Bupati Nomor 19

Tahun 2004 tentang Pedoman dan Tata Cara Penataan dan Penertiban

Pertambangan Bahan Galian Golongan C.

C. Bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Magelang

berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun

2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung

Merapi untuk menekan jumlah penambang liar di Kabupaten Magelang

1. Kebijakan Yang Telah Dilakukan Pemerintah Kabupaten Magelang

Terhadap Kegiatan Penambangan Pasir Di Kawasan Gunung Merapi

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa Pemerintah

Kabupaten Magelang sebelum Perpres Nomor 70 Tahun 2014

diundangkan telah mengundangkan aturan yang memiliki tujuan untuk

menanggulangi penambangan pasir liar yaitu dengan menetapkan Perda

Nomor 1 Tahun 2008 tentang Usaha Pertambangan menggantikan Perda

Nomor 23 Tahun 2001 tentang Izin Usaha Pertambangan. Selain itu pada

tanggal 24 Agustus 2004 Pemerintah kabupaten Magelang mengeluarkan

Page 47: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

47

dua kebijakan yaitu Penataan dan Penertiban Kegiatan dan Pengaturan

Rute dan Tonase Angkutan Bahan Galian Golongan C di Kawasan Merapi

Kabupaten Magelang.

Kebijakan Penataan dan Penertiban Kegiatan Pertambangan

tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Bupati Nomor 19 Tahun 2004

tentang Pedoman dan Tata Cara Penataan dan Penertiban Pertambangan

Bahan Galian Golongan C. Disebutkan dalam salah satu pasal pada Surat

Keputusan tersebut bahwa kegiatan Penataan hanya mencakup dua

Wilayah Pertambangan yang berada di lereng Gunung Merapi yaitu

Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang,

karena kegiatan penambangan terkonsentrasi di dua kecamatan tersebut.

Kebijakan Penataan sebagaimana disebutkan dalam surat

Keputusan Bupati Nomor 19 Tahun 2004 tersebut antara lain adalah

sebagai berikut:

1. Penutupan beberapa lokasi untuk kegiatan Penambangan yaitu :

a) Alur alur sungai : Sungai Putih, Sungai Bebeng, Sungai

Blonkeng dan Sungai Batang

b) Di tanah milik penduduk /badan hukum yang meliputi wilayah

bekas desa Ngori dan bekas desa Gimbal. Kedua desa ini

dikosongkan karena terjadi letusan Gunung Merapi tahun 1960-an

dan seluruh warganya ditransmigrasikan ke Propinsi Lampung

c) Kawasan Hutan / Hutan Lindung

d) Penutupan lokasi penambangan disebabkan karena deposit

bahan tambang sudah habis, kerusakan lingkungan dan untuk

pengamanan dan pengendalian lahar Gunung Merapi. Lokasi ini

dapat dibuka kembali setelah dinyatakan secara resmi oleh Bupati

Magelang.

Page 48: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

48

2. Ketentuan- ketentuan teknis penataan lokasi pasca penambangan

seperti:

a) Daerah alur sungai, batuan sisa penambangan pasir ditempatkan

pada sisi tebing sungai dengan lebar dan ketinggian penempatan

ditentukan, menutup bekas penambangan di dasar sungai dengan

blantak sehingga permukaannya menjadi rata kembali, untuk

menutup bekas galian penambangan di hulu chekdam sejauh 50

meter dan ke hilir 100 meter dengan ketinggian 3 meter sampai

menutup dasar pondasi chekdam.

b) Lahan milik penduduk atau badan hukum , misal lahan bekas

penambangan yang berada ditebing agar dibuat terasiring disertai

tanaman penghijauan, pada bagian bawah tebing agar ditutup

dengan blantak/ tanah dan ditanami tanaman penghijauan yang

jenisnya disesuaikan dengan kondisi lingkungan.

c) Untuk penataan lokasi penambangan di kawasan hutan/hutan

lindung dilakukan rekonstruksi, rehabilitasi dan reboisasi di bawah

pembinaan dan pengawasan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa

Tengah dan Perum Perhutani KPH Kedu Utara.Pelaksanaan semua

kegiatan penataan lokasi bekas penambangan tersebut menjadi

kewajiban penambang dan pengusaha.

3. Dalam Surat Keputusan ini juga dinyatakan peninjauan kembali

terhadap pungutan liar yang ada di sepanjang jalur pengangkutan bahan

galian golongan C dari Gunung Merapi.

4. Penertiban kegiatan penambangan yaitu penindakan terhadap para

penambang/ pengusaha yang melakukan pelanggaran-pelanggaran

dilakukan secara bersama oleh Tim Penataan dan Penindakan Pelanggaran

Penambangan yang ditetapkan oleh Bupati Magelang berdasarkan SK

Bupati Nomor 47 Tahun 2005.

Page 49: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

49

2. Analisis Kebijakan Pertambangan Yang Telah Dilakukan Pemerintah

Kabupaten Magelang

Sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut sudah cukup

baik dan memadai sebagai landasan dalam upaya penanggulangan

penambang liar. Setiap kegiatan operasional penambangan pasir di

Kabupaten Magelang wajib mengacu kepada peraturan tersebut diatas,

akan tetapi dalam penerapannya sulit dilakukan karena terdapat berbagai

tantangan dalam upaya penegakkannya

Tantangan yang terjadi di lapangan terjadi karena 2 pokok sisi

permasalahan yaitu sisi internal pemerintah daerah itu sendiri serta sisi

eksternal pemerintah daerah. Permasalahan internal yang terjadi

diantaranya adalah antar kelembagaan pemerintah kurang koordinasi,

sehingga dalam melakukan penegakkan masih terjadi saling lempar

tanggung jawab mengenai instansi atau lembaga pemerintah mana yang

berkewajiban untuk menegakkan. Selain itu dari sisi aparatur pemerintah

kurang profesional, dimana di lapangan sering kali aparatur melakukan

pendiaman terhadap penambang liar dikarenakan alasan kekerabatan dan

faktor-faktor lainnya. Selain itu alasan anggaran operasional terbatas dan

sarana dan prasarana operasional yang terbatas juga membuat

terhambatnya penanggulangan penambang pasir liar.

Permasalahan eksternal berasal dari luar lingkup pemerintah

daerah, misalnya permasalahan yang berasal dari masyarakat, penambang,

serta organisasi atau lembaga swadaya masyarakat. Permasalahan

eksternal ini dapat menjadi tantangan bagi pemerintah dalam

penanggulangan penambangan pasir liar, diantaranya adalah kesadaran

masyarakat penambang yang kurang terhadap kelestarian alam dan

dampak akibat melakukan penambangan liar, kurangnya sosialisasi

terhadap masyarakat baik mengenai perundang-undangan maupun

sosialisasi mengenasi dampak penambangan liar dan kritikan dari lembaga

Page 50: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

50

swadaya masyarakat yang pada umumnya kurang peduli terhadap usaha

pertambangan pasir. Oleh karena itu pemerintah harus aktif mengawasi

terhadap setiap kegiatan penambangan pasir. Kegiatan sosialisasi

peraturan perundangundangan disertai pengawasan dan pengendalian

bersama antar berbagai pihak yang terkait diharapkan dapat terpadu dan

berkelanjutan.

Strategi pengaturan kebijakan pemerintah terhadap

penanggulangan penambangan pasir yang utama adalah penerapan

peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tegas dan

memberdayakan masyarakat. Pada prinsipnya pengaturan kebijakan

pemerintah dalam penambangan pasir adalah mengupayakan suatu sistem

pengelolaan penambangan yang berwawasan lingkungan dan menjaga

keseimbangan kelestarian ekosistem kawasan Taman Nasional Gunung

Merapi

3. Perencanaan Pengelolaan Lingkungan Kegiatan Penambangan Pasir

Menurut Friedman, perencanaan merupakan suatu strategi dalam

pengambilan keputusan sebelumnya sebagai suatu aktifitas tentang

keputusan dan implementasinya. Lebih lanjut, Boothroyd merumuskan

perencanaan melalui tujuh tahapan mulai dari perumusan masalah,

penetapan tujuan, analisis kondisi, identifikasi alternatif kebijakan, dan

keputusan.15

Strategi pengelolaan penambangan pasir diperlukan karena

munculnya permasalahan – permasalahan dalam kehidupan manusia yang

berkaitan dengan hajat hidup masyarakat luas permasalahan tersebut

apabila tidak segera ditangani akan berdampak rusaknya ekosistem

Gunung Merapi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, termasuk

didalamnya interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Ekosistem

Gunung Merapi merupakan kawasan konservasi yang memiliki cadangan

15 Hadi. S.P ., 2006, Resolusi Konflik Lingkungan, Badan penerbit Universitas Diponegoro,Semarang

Page 51: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

51

sumberdaya alam yang sangat potensial, baik tingkat keanekaragaman

hayati jenis flora dan fauna maupun sumberdaya pasir dan batu dari hasil

erupsi Gunung Merapi.

Pengelolaan potensi sumberdaya alam kawasan konservasi harus

dikelola dengan hati-hati dan bijaksana dengan mempergunakan strategi

yang terencana secara matang, ekonompis, terpadu dan berkelanjutan.

Keberpihakan kepada masyarakat dalam menerapkan strategi pengelolaan

pasir diperlukan agar tercipta kondisi iklim sosial masyarakat yang

tenteram merupakan kunci keberhasilan dan penerapan strategi

pengelolaan penambangan pasir yang berkelanjutan. Beberapa fenomena

yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan kawasan konservasi

adalah sebagai berikut:16

1. Ragam jenis ekositem sumberdaya alam di Indonesia sangat tinggi.

Setiap ekositem yang tebentuk mempunyai karakteristik yang spesifik,

sehingga diperlukan frame work konservasi yang komprehensif yang

berbeda dengan ekositem sumberdaya di tempat lain.

2. Untuk menjaga kepunahan jenis sebelum dikenali dan dimanfaatkan

perlu dilakukan pelestarian dan pengawetan keanekaragaman hayati.

3. Suatu ekositem sumberdaya alam adalah penyangga kehidupan umat

manusia yang perlu dipertahankan berproses ekologis sesuai dengan

kondisinya.

4. Upaya mengenali pemanfaatan sumberdaya alam yang seoptimal

mungkin perlu dilakukan terus menerus untuk kesejahteraan umat

manusia.

5. Pemanfaatan sumberdaya alam dalam bentuk apapun perlu dilakukan

dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat setempat yang bersifat

kerakyatan.

Strategi pengelolaan sumber daya alam di kawasan konservasi

diperlukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul sebagai 16 Ibid.

Page 52: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

52

akibat penambangan pasir . Permasalahan tersebut dikelompokkan menjadi 2

hal (Lahar Flood Control Project of Mt Merapi, 2001), yaitu:17

1. Masalah kritis, yaitu suatu masalah yang sangat mendesak untuk segera

ditangani karena mempunyai dampak secara langsung, memerlukan

penanganan secara jangka pendek, serta biasanya bersifat lokal.

2. Masalah mendasar yaitu permasalahan yang tidak mempunyai dampak

secara langsung, penanganannya memerlukan pola penanganan jangka

panjang dan makro, biasanya menyagkut area yang sangat luas.

Ada dua hal yang menyangkut permasalahan kritis masyarakat

penambang yang harus segera ditangani yaitu permasalahan penambangan

yang tidak memperhatikan aspek lingkungan serta tidak adanya pegangan

untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari. Persoalan ini selalu terjadi dan

menjadi dilema bagi pengambil kebijakan dalam mencarikan penyelesaian

permasalahan. Melarang penambangan sangat merugikan masyarakat kecil.

Sulitnya penambang mendapatkan uang tunai dari pekerjaan

sebelumnya membuat para penambang tetap bertahan melakukan

penambangan pasir. Dengan terlibat dalam kegiatan penambangan mereka

akan langsung merasakan jerih payah mereka seharian dibandingkan dengan

memelihara ternak atau bertani yang memerlukan waktu yang lebih lama. Hal

tersebut menjadikan pemikiran dalam strategi pengelolaan penambangan pasir

untuk para pengambil kebijakan atau pemerintah agar tidak asal melarang

penambangan tetapi perlu kajian dan arahan kepada masyarakat penambang

agar penambangan tetap terus dilaksanakan, tetapi tetap berprinsip menjaga

situasi dan kondisi lingkungan yang ada di sekitar penambangan.18

17 Lahar Flood Control Project of Mt Merapi., 2001, Study on Supported InfrastructureDevelopment for Sand Mining Management in Mt Merapi Directorate General of Water Resources. Ministry of Settlements and Regional Infrastructure. Republic Indonesia18 Yudhistira, 2011, Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir Di Desa Keningar Daerah Kawasan Gunung Merapi, dalam Penelitian Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro, Semarang.

Page 53: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

53

Pengelolaan penambangan pasir Merapi pada prinsipnya merupakan

suatu usaha menjadikan sistem penambangan pasir yang harus berwawasan

lingkungan. Selain itu peran masyarakat juga sangat penting dalam upaya

melakukan pengendalian penambang liar. Prinsip penting pegembangan

masyarakat dalam pengelolaan penambangan pasir (Lahar Flood Control

Project of Mt Merapi, 2001 )sebagai berikut :

1. Pengembangan masyarakat bersifat partisipatif dan koloboratif.

2. Transparansi dalam operasional pelaksanaan kebijakan dan peraturan

perundanundangan.

3. Akuntabilitas dalam peraturan penambangan bagi semua

stakeholders.Pengembangan masyarakat merupakan bagian dari

responsibilitas

Prinsip dasar tersebut merupakan landasan dasar terlaksananya

pemberdayaan masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan pada setiap

tahapan strategi pengelolaan pasir dan batu yang berwawasan lingkungan.

Pendekatan strategi pengelolaan penambangan pasir yang berwawasan

lingkungan secara garis besar dapat dibagi menjadi beberapa kegiatan yaitu

penentuan lokasi penambangan pasir, reklamasi/ rehabilitasi lahan pasca

penambangan, pengendalian erosi. Secara lebih terinci dapat dijelaskan

sebagai berikut :19

1. Penentuan Lokasi Penambangan pasir.

Untuk mengetahui lokasi mana yang prospek untuk penambangan

pasir diperlukan langkah identifikasi dan investarisasi cadangan pasir di

Daerah penelitian. Hal ini dapat dilaksanakan dengan melakukan pemetaan

cadangan bahan galian pasir di wilayah Desa Keningar. Hasil pemetaan

cadangan tersebut kemudian dinilai secara ekonomi dan lingkungannya, hal

ini penting dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat penambangan

pasir apabila diusahakan. Selain itu untuk mengetahui seberapa besar

19 Ibid.

Page 54: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

54

kemungkinan dampak lingkungan akibat penambangan pasir Menentukan

potensi bahan galian pasir di lahan yang prospek untuk dieksploitasi,

memerlukan perencanaan tata ruang yang benar-benar matang. Mengingat

lahan-lahan di lereng Merapi baik yang berupa tanah kering ( pekarangan,

perladangan, tegalan, perkebunan dan tempat rekreasi) tanah sawah dan hutan

sangat efektif sebagai zona resapan air hujan atau catchment area. Fungsi ini

harus tetap dipertahankan untuk menjaga ketersediaan air bawah tanah yang

sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia.

2. Reklamasi Lahan

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 1 Tahun

2008 Tentang Usaha Pertambangan Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan

untuk memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai

akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna

sesuai dengan peruntukannya.

3. Konservasi Secara Vegetatif

Konservasi tanah dan air secara vegetatif adalah penggunaan tanaman

atau tumbuhan dan sisa tanaman dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat

mengurangi laju erosi dengan cara mengurangi daya rusak hujan yang jatuh

dan jumlah daya rusak aliran permukaan20. Konservasi tanah dan air secara

vegetatif ini menjalankan fungsinya melalui :

a. Pengurangan daya perusak butiran hujan yang jatuh akibat

intersepsi butiran oleh dedaunan tanaman atau tajuk tanaman.

b. Pengurangan volume aliran permukaan akibat meningkatnya

kapasitas infiltrasi oleh aktifitas perakran tanaman dan

penambahan bahan organik.

c. Peningkatan kehilangan air tanah akibat meningkatnya

evatranspirasi sehingga tanah cepat lapar air.

20 Suripin, 2002, Pelestarian Sumber Daya Tanag dan Air, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 42.

Page 55: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

55

d. Memperlambat aliran permukaan akibat meningkatnya panjang

lintasan aliran air permukaan oleh keberadaan batang- batang

tanaman.

e. Pengurangan daya rusak aliran permukaan sebagai akibat

pengurangan volume aliran permukaan dan kecepatan aliran

permukaan akibat meningkatnya panjang lintasan dan kekasaran

permukaan.

Konservasi tanah dan air secara vegetatif dapat dilakukan dengan

berbagai cara yaitu:

a. Penanaman tanaman atau tumbuhan atau penutup tanah secara

terus menerus.

b. Penanaman dalam strip ( Cara bercocok tanam dengan beberapa

jenis tanaman ditanam berselang seling dalam strip-strip pada

sebidang tanah dan disusun memotong lereng atau garis kontur )

c. Penanaman berganda .

d. Pemanfaatan mulsa ( Penebaran sisa- sisa tanaman yang

ditebarkan/ ditanam di dalam tanah sebagai pupuk ).

e. Reboisasi ( Usaha untuk memulihkan dan menghutankan kembali

tanah yang mengalami kerusakan fisik, kimia maupun biologi baik

secara alami maupun oleh ulah manusia)

4. Konservasi Secara Mekanis

Prinsip dasar konservasi tanah adalah mengurangi banyaknya tanah

yang hilang akibat erosi, sedangkan prinsip konservasi air adalah

memanfaatkan air hujan yang jatuh ke tanah seefisien mungkin,

mengendalikan kelebihan air dimusim hujan dan menyediakan air yang

cukup di musim kemarau. Dalam hal ini konservasi secara mekanis

mempunyai fungsi :

a. Memperlambat aliran permukaan.

Page 56: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

56

b. Menampung dan mengalirkan aliran permukaan sehingga tidak

merusak.

c. Memperbesar kapasitas infiltrasi air kedalam tanah dan memperbaiki

aerasi tanah.

d. Menyediakan air bagi tanaman.

Adapun usaha konservasi tanah dan air yang termasuk dalam

metode mekanis antara lain meliputi :

a. Pengolahan tanah (Setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang

ditujukan untuk menciptakan kondisi tanah yang baik bagi

pertumbuhan tanaman ).

b. Pengolahan tanah menurut garis kontur ( Pengolahan tanah

menurut garis kontur dapat mengurangi laju erosi sampai 50 %

dibandingkan dengan pengolahan tanah menurut lereng).

c. Pembuatan terras ( Pembuatan timbunan tanah yang dibuat

melintang dan memotong kemiringan lahan yang berfungsi untuk

menangkap aliran permukaan, serta mengarahkannya ke outlet

yang mantap stabil dengan kecepatan yang tidak erosif, dengan

demikian memungkinkan terjadinya penyerapan air dan

berkurangnya laju erosi).

d. Pembuatan saluran air (Untuk mengarahkan dan menyalurkan

aliran permukaan dengan kecepatan yang tidak erosif ke lokasi

pembuangan air yang sesuai )

e. Pembuatan sumur resapan ( sumur resapan adalah suatu sistem

drainase dimana air hujan yang jatuh di atap atau lahan kedap air

ditampung dalam sumur kosong yang dibuat di halaman rumah).

f. Pembuatan dam pengendali

Page 57: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

57

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kondisi sosial ekonomi penambang pasir yang ada dalam kawasan yang

dapat di deskripsikan yaitu sebagian besar masyarakat yang bekerja

sebagai penambang pasir adalah masyarakat dalam kecamatan Srumbung,

mayoritas mereka lama menjadi penambang pasir adalah 1-20 tahun,

penghasilan penambang setiap harinya rata-rata 30-60 ribu, alasan mereka

menjadi penambang pasir sebagian besar adalah karena untuk kebutuhan

hidup dan tidak ada pekerjaan lain, sebagian besar dari mereka tidak

memiliki pekerjaan sampingan, dan sebagian besar dari mereka sudah

banyak mengetahui tentang dampak aktivitas penambangan pasir terhadap

lingkungan. Persepsi masyarakat sekitar penambangan mengenai dampak

dari aktivitas penambangan pasir yaitu sebagian besar masyarakat desa

Kemiren dan Ngargosoko sudah mengetahui dampak akibat penambangan

pasir tersebut, jenis dampak yang mereka ketahui adalah berkurangnya

ketersediaan air, rusaknya ekosistem/hutan, terjadi longsor, hutan menjadi

gersang/gundul dan udara menjadi panas. Selain itu faktor lemahnya

penegakan juga membuat masyarakat terdorong untuk melakukan

menambangan liar

2. Walaupun Perpres Nomor 70 Tahun 2014 telah ditetapkan namun hinggga

saat ini belum ada aturan lebih khusus ataupun aturan pelaksana dari

Perpres yang mengatur mengenai pengendalian penambangan liar. Dalam

melakukan penanggulangan penambangan liar, Pemerintah kabupaten

Magelang masih mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2008

Tentang Usaha Pertambangan. Dan jauh sebelumnya sebenarnya

Pemerintah kabupaten Magelang telah melakukan upaya penanggulangan

penambangan liar melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 19 Tahun 2004

Page 58: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

58

tentang Pedoman dan Tata Cara Penataan dan Penertiban Pertambangan

Bahan Galian Golongan C

3. Pengelolaan potensi sumberdaya alam kawasan konservasi harus dikelola

dengan hati-hati dan bijaksana dengan mempergunakan strategi yang

terencana secara matang, ekonompis, terpadu dan berkelanjutan.

Keberpihakan kepada masyarakat dalam menerapkan strategi pengelolaan

pasir diperlukan agar tercipta kondisi iklim sosial masyarakat yang

tenteram merupakan kunci keberhasilan dan penerapan strategi

pengelolaan penambangan pasir yang berkelanjutan. Alternatif pemecahan

masalah mengenai penambangan pasir yang statusnya ilegal ini tentu perlu

banyak strategi yang perlu diterapkan, kita tidak bisa mengusir para

penambang pasir secara langsung.

B. Saran

Membangun kerjasama dan komunikasi yang baik dengan pemerintah dalam

menangani aktvitas penambangan pasir dalam kawasan termasuk dalam kegiatan

operasional.

Membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar penambangan

dengan mengadakan beberapa penyuluhan mengenai pentingnya ekosistem dan

sumber air sebagai penyangga kehidupan masyarakat sekitar, menanamkan

kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan dengan mengupayakan secara

bersama membangun hutan kembali yang berperan sebagai penyangga

kehidupan.

Page 59: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

59

Daftar Pustaka

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Magelang, 2007, Status Lingkungan

Hidup Daerah Kabupaten Magelang 2007. Pemerintah Kabupaten

Magelang, Magelang.

HS, Salim, 2006, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Hadi. S.P ., 2006, Resolusi Konflik Lingkungan, Badan penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang.

Muchsin, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan

Penataan Ruang, Sinar Grafika, Jakarta.

Ridwan, Juniarso, 2008, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan

Otonomi Daerah. Nuansa, Bandung.

Supramono, Gatot, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara di

Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.

Suripin, 2002, Pelestarian Sumber Daya Tanag dan Air, Andi Yogyakarta,

Yogyakarta.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Lembaran

Negara Republik Indonesia tahun 1990 Nomor 49

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-

Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960

tahun 104; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 2043

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Tata

Ruang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68;

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang

Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara,

Page 60: Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di

60

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29;

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang

Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 160

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman

Zonasi Taman Nasional Menteri Kehutanan, Zonasi Taman Nasional

Situs Internet:

Nurlitawati, Ari. “Penambangan Pasir Lereng Merapi : Antara Berkah Dan

Musibah”, https://anurlita.wordpress.com/artikel-ku/penambangan-

pasir-lereng-merapi/, diakses pada tanggal 29 April 2015

Lain-lain

Fitri Almaida, Boniska., 2008 Kajian Dampak Lingkungan Kegiatan

Penambangan Bahan Galian Golongann C ( Studi Kasus daerah

Sendangmulyo) Tesis MIL UNDIP

Yudhistira, 2011, Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan

Penambangan Pasir Di Desa Keningar Daerah Kawasan Gunung Merapi,

dalam Penelitian Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro, Semarang.