Upload
lephuc
View
239
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
TESIS
IMPLEMENTASI TUGAS DAN WEWENANG PENYIDIK TERHADAP PERLINDUNGAN PENYU HIJAU
(STUDI KASUS DI DIREKTORAT KEPOLISIAN PERAIRAN DAERAH BALI)
BUDI PRASETYO
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
TESIS
IMPLEMENTASI TUGAS DAN WEWENANG PENYIDIK TERHADAP PERLINDUNGAN PENYU HIJAU
(STUDI KASUS DI DIREKTORAT KEPOLISIAN PERAIRAN DAERAH BALI)
BUDI PRASETYO NIM : 1190561018
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
TESIS
IMPLEMENTASI TUGAS DAN WEWENANG PENYIDIK TERHADAP PERLINDUNGAN PENYU HIJAU
(STUDI KASUS DI DIREKTORAT KEPOLISIAN PERAIRAN DAERAH BALI)
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
BUDI PRASETYO NIM : 1190561018
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
Lembar Persetujuan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 4 JUNI 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH., MH NIP. 195309141979031002 NIP. 195707091986101001
Mengetahui
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana
Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MHum., LL.M Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 196111011986012001 NIP.19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal 2 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor : 2002/UN 14.4/HK/2014
Tanggal 1 Juli 2014
Ketua : Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS.
Sekretaris : Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH., MH.
Anggota : 1. Dr. I Gede Artha, SH., MH.
2. Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, SH., MH.
3. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, SH., MH.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Budi Prasetyo
Program studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Implementasi Tugas dan Wewenang Penyidik Terhadap
Perlindungan Penyu Hijau (Studi Kasus di Direktorat
Kepolisian Perairan Polda Bali).
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima
sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 30 Juni 2014
Yang menyatakan
Budi Prasetyo
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamualaikum Wr. Wb,
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas nikmat dan
karunia-Nya Tesis dengan judul “IMPLEMENTASI TUGAS DAN TANGGUNG
JAWAB PENYIDIK TERHADAP PERLINDUNGAN PENYU HIJAU (S TUDI
KASUS DI DIREKTORAT KEPOLISIAN PERAIRAN DAERAH BALI )” ini
dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi dalam
menyusun tesis ini, penulisan tesis ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya
dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS., selaku Dosen Pembimbing I, yang telah
bersedia membimbing, memberikan masukan, arahan serta waktu yang sangat tidak
terbatas dalam penyusunan Tesis ini.
2. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH., MH., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
membimbing dan membantu menemukan ide-ide baru dalam penyusunan Tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD., KEMD., yang merupakan Rektor
Universitas Udayana.
4. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)., yang merupakan Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
5. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., yang merupakan Dekan
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M.Hum., LL.M., yang merupakan
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
7. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum., yang merupakan Sekretaris
Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
8. Bapak Dr. I Gede Artha, SH.,MH, Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,
MH, Bapak Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, SH., MH. Selaku tim penguji yang
telah memberikan banyak masukan terhadap Tesis ini
9. Bapak Kombes Pol Drs. Tubuh Musyareh, MH., selaku Direktur Kepolisian
Perairan Polda Bali, atas izin untuk melakukan penelitian di Direktorat Kepolisian
Perairan Polda Bali.
10. Bapak AKBP Handoyo Supeno, SH., MH., selaku Kasubdit Gakkum, Kompol I
Ketut Rai Suandi beserta rekan-rekan Penyidik Unit Tindak dan Unit Lidik
Direktorat Kepolisian Perairan Polda Bali, yang telah bersedia menjadi informan
serta membantu, membuka wawasan, berbagi ilmu yang sangat bermanfaat bagi
penelitian Tesis ini.
11. Bapak I Wayan Geria beserta seluru staf TCEC yang telah bersedia membantu
menyediakan data-data bagi penelitian Tesis ini.
12. Seluruh Pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang
telah memberikan pelayanan administrasi selama penulis menempuh kuliah di
Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
13. Kedua orang tua, dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan, doa serta
kepercayaan dalam menyelesaikan Tesis ini.
14. Pendamping setiaku Drh. Dwi Suprapti, Skh., Msi, yang selalu memberikan
dukungan dan semangatnya dalam menyelesaikan Tesis ini.
15. Teman-teman dekat penulis yaitu Kadek Krisna Sintia Dewi, Joe, Sugama, Ajeng,
Ni Made Dwi Kristiani, Arya Prma Dewi, dan teman-teman di Magister Ilmu
Hukum yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih atas semangat,
dukungan, kebersamaan dan pengalaman yang telah diberikan selama ini
Meskipun Tesis ini telah selesai, namun didalamnya masih jauh dari sempurna,
hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan yang penulis miliki.
Maka dari itu diharapkan adanya kritik, saran, bimbingan dan petunjuk dari semua
pihak sehingga dapat melengkapi dan menyempurnakan Tesis ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak dan semoga Tesis ini dapat diterima serta bermanfaat bagi
setiap orang yang membacanya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Denpasar, 30 Juni 2014
Penulis
ABSTRAK
Penelitian mengenai implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau (studi kasus di Direktorat Kepolisian Perairan Polda Bali) bertujuan untuk mendeskripsikan serta menganalisis tugas dan wewenang penyidik berdasarkan KUHAP maupun Undang-undang Konservasi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau serta mengkaji langkah-langkah yang sudah diambil oleh Direktorat Kepolisian Perairan Polda Bali. Kebutuhan terhadap penyu hijau di Bali, sampai saat ini masih cukup tinggi. Meskipun sudah banyak pelaku tindak pidana perdagangan penyu hijau yang ditangkap oleh penyidik Direktorat Kepolisian Perairan Polda Bali. Kebiasaan mengkonsumsi daging penyu hijau serta kedok upacara agama sering digunakan sebagai alasan untuk memperdagangkan satwa yang dilindungi ini. Berdasarkan hal tersebut muncul pertanyaan bagaimanakan implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau dan apasaja faktor-faktor pendukung dan penghambatnya. Metode yang digunakan dalamm penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis empiris dengan sifat penelitian deskriptif yang menggunakan sumber data primer dan sekunder dengan teknik studi dokumen dan wawancara serta sumber bacaan yang berkaitan dengan masalah yang ada. Penelitian ini menggunakan teknik non probability sampling yaitu purpose sampling dalam menentukan sample penelitian. Adapun keseluruhan data yang telah didapat, dianalisis secara kualitatif atau lebih dikenal dengan istilah analisis deskriptif kualitatif. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau berdasarkan KUHAP dan Undang-undang konservasi sudah berjalan dengan baik, terhadap hak-hak tersangka pelaku perdagangan penyu hijau sudah diberikan oleh Penyidik. Faktor yang menjadi pendukung implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap penyu hijau adalah faktor undang-undang, penegak hukum, sarana dan fasilitas, serta faktor kebudayaan. Faktor masyarakat menjadi faktor utama yang menghambat implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau. Walaupun tidak seluruhnya masyarakat di Bali menjadi faktor penghambatnya, namun kesadaran masyarakat terhadap konsumsi makanan berbahan penyu hijau serta kebutuhan penyu hijau dengan kedok upacara agama. Kata Kunci: implementasi, tugas dan wewenang penyidik, perlindungan penyu hijau
ABSTRACT
The research of officer task and authority implementation towards green turtle
conservation (study case of Marine Police Directorate Regional Bali) aims to describing and analizing officer task and authority implementation in deep based on both KUHAP or Conservation Law. Besides, this research also aims to figure out the enabling and inhibiting factors in implementing officer task and authority towards green turtle conservation, also researching the steps taken by of Marine Police Directorate Regional Bali. The need for green turtle in Bali is rising up to this time. Although many criminal offensers got caught by of Marine Police Directorate Regional Bali officers but it is still going on. Based on this situation, a question arises how is the implementation of officer task and authority towards green turtle conservation and what are the enabling and inhibiting factors. The method used in this research is empirical legal research with descriptive research using prime and secondary data resouces with interview and also related available documents. This research uses non probability sampling technique which is purpose sampling with quota sampling that is a process of sample withdrawing by observing the easiest sample to take and the sample has special features that attracts the researcher. With all collected data, managed using kualitative analysis and the data presented descriptively and sistematically. Based on the research done before, it is noticed that the implementation of officer task and authority towards green turtle conservation based on KUHAP and Conservation Law has been going well. Granting rights for the suspects of green turtle trading during the investigation has been done by the officers based on KUHAP. The factors which becomes the enabling task for officer task and authority towards green turtle is the law factor, law enforcement, equipment and facilities, and culture. Meanwhile the society factor is the main inhibiting factor for implementing officer task and authority towards green turtle conservation. The habit of consuming turtle meat and guise of religious ceremony are mostly used as the reasons in trading this protected animal. Key words : implementation, officer task and authority , green turtle conservation
RINGKASAN
Tesis ini membahas tentang implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap
perlindungan penyu hijau serta membahas faktor-faktor pendukung dan penghambat
implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau. Tesis
ini terdiri dari 5 (lima) bab yaitu bab I adalah pendahuluan, bab II tinjauan umum, bab
III dan IV adalah pembahasan, serta bab V adalah penutup.
Bab I menguraikan latar belakang mengenai penyebab munculnya permasalahan
dalam penelitian ini. Jenis-jenis penyu laut yang ada di perairan Indonesia yang
merupakan satwa dilindungi dan terancam punah. Bali menjadi sorotan dunia akibat
aktivitas pembantaian penyu laut khususnya penyu hijau yang dikonsumsi serta kedok
kebutuhan upacara agama. Direktorat Kepolisian Perairan Daerah Bali yang
mengemban tugas penegakan hukum diwilayah perairan memberikan respon yang tegas
dengan melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan penyu
hijau di Bali.
Bab II menguraikan tinjauan umum mengenai tugas dan wewenang penyidik
berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan seb bab kedua
menerangkan tentang perlindungan penyu hijau berdasarkan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Bab III menguraikan tentang Direktorat Kepolisian Perairan Daerah Bali dan
tugas pokoknya selaku penegak hukum diwilayah perairan. Sub bab kedua pembahasan
dari permasalahan yang pertama dalam penelitian ini yang terdiri dari 2 bagian yaitu
pertama adalah penyelidikan terhadap perdagangan penyu hijau, dan bagian kedua
tentang proses penyidikan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan penyu hijau.
Bab IV menguraikan mengenai pembahasan dari permasalahan yang kedua dalam
penelitian ini yang terdiri dari 2 bagian yaitu pertama adalah faktor pendukung tugas
dan wewenang penyidik Direktorat Kepolisian Perairan Daerah Bali terhadap
perlindungan penyu hijau. Kedua adalah faktor penghambat tugas dan wewenang
penyidik Direktorat Kepolisian Perairan Daerah Bali terhadap perlindungan penyu
hijau.
Bab V merupakan bab penutup yang menguraikan kesimpulan dari hasil pembahasan yaitu tugas dan wewenang penyidik Direktorat Kepolisian Perairan Daerah Bali terhadap perlindungan penyu hijau belum berjalan secara optimal. Sedangkan kesimpulan dari permasalahan kedua, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, dan faktor masyarakat menjadi kendala terhadap tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau. Sedangkan sebagai saran terhadap permasalahan pertama, Dit Pol Air Polda Bali dalam menunjang tugas dan wewenangnya terhadap perlindungan penyu hijau dan penegakan hukum di wilayah perairan, perlu adanya penambahan jumlah personil dan memperbanyak kapal patrol polisi. Koordinasi penyidik Dit Pol Air dengan penyidik dari instansi samping harus berjalan harmonis agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Terhadap permasalahan kedua, hendaknya penyidik dapat menginventarisasi faktor-faktor pendukung tugas dan wewenangnya serta mencari solusi pemecahan masalah terhadap faktor-faktor penghambatnya. Perlunya dibentuk peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum terhadap pemanfaatan penyu hijau sebagai sarana upacara adat di Bali (Perda), serta perlu ditingkatkannya peran Dit Pol Air Polda Bali dalam memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang bertujuan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……… .................................................................................. i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ................ ....................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN TELAH DIUJI .................... ................................ iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ..................................................... v
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ....................... .................................... vi
HALAMAN ABSTRAK ........................................................................................ ix
HALAMAN ABSTRACT ..................................................................................... x
RINGKASAN ......................................................................................................... xi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 11
1.3 Ruang Lingkup Masalah ...................................................................... 11
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................. 12
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................ 12
1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................... 12
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................... 13
1.5.1 Manfaat Teoritis ........................................................................ 13
1.5.2 Manfaat Praktis .......................................................................... 13
1.6 Orisinalitas Penelitan .......................................................................... 14
1.7 Landasan Teoritis, dan Kerangka Berfikir .......................................... 20
1.7.1 Landasan Teoritis ...................................................................... 20
1.7.2 Kerangka Berfikir ..................................................................... 38
1.8 Metode Penelitian ................................................................................ 39
1.8.1 Jenis Penelitian ........................................................................... 39
1.8.2 Sifat Penelitian ........................................................................... 39
1.8.3 Lokasi Penelitian ........................................................................ 39
1.8.4 Data dan Sumber Data ............................................................... 40
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 42
1.8.6 Teknik Penentuan Sampel Penelitian ........................................ 43
1.8.7 Pengolahan dan Analisis Data ................................................... 44
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TUGAS DAN WEWENANG
PENYIDIK DAN PERLINDUNGAN PENYU HIJAU .................. 45
2.1. Tugas dan wewenang penyidik .......................................................... 45
2.1.1. Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ..................... 45
2.1.2. Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 ..................... 50
2.2 Perlindungan penyu hijau ................................................................... 59
BAB III PROSES PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG
PENYIDIK DIREKTORAT KEPOLISIAN PERAIRAN
DAERAH BALI ................................................................................ 73
3.1 Direktorat Kepolisian Perairan Polda Bali .......................................... 73
3.1.1. Struktur organisasi Direktorat Kepolisian Perairan
Daerah Bali …..……………………………………………… 73
3.1.2. Direktorat Kepolisian Perairan Daerah Bali selaku penegak
Hukum ...................................................................................... 78
3.2. Implementasi tugas dan wewenang penyidik Dit Pol Air Daerah
Bali terhadap perlindungan penyu hijau ............................................. 85
3.2.1. Tahap Penyelidikan ................................................................. 86
3.2.2. Tahap Penyidikan .................................................................... 95
BAB IV FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT
IMPLEMENTASI TUGAS DAN WEWENANG PENYIDIK
TERHADAP PERLINDUNGAN PENYU HIJAU ......................... 112
4.1. Faktor Pendukung ............................................................................... 112
4.1.1. Faktor Undang-undang ............................................................. 114
4.1.2. Faktor Kebudayaan ................................................................... 118
4.2. Faktor Penghambat .............................................................................. 124
4.2.1. Faktor Penegak Hukum ............................................................. 124
4.1.2 Faktor Sarana atau fasilitas ........................................................ 128
4.1.3. Faktor Masyarakat . ................................................................... 130
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 135
5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 135
5.2. Saran .................................................................................................... 136
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. DAFTAR INFORMAN
2. Bhisama Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Nomor
05/Bhisama/Sabha Pandhita PHDIP/VIII/2005, tentang Tata Penggunaan
Sumber Daya Hayati Langka dan/atau Yang Terancam Punah Dalam Upacara
Keagamaan Hindu
3. Rekomendasi Penggunaan Satwa Terancam Punah (Khususnya Penyu Laut)
Dalam Kegiatan Kultur –Religi dari Paruman Sulinggih Bali-Lombok
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Data kasus perdagangan penyu hijau selama tahun
2011-2013
10
2. Jumlah personil Direktorat Kepolisian Perairan Daerah
Bali
78
3. Jumlah kebutuhan penyu tahun 2013 123
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah Negara hukum. Pengertian negara hukum secara
sederhana adalah negara yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahannya
berdasarkan hukum. Dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal3 ayat (1) disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara
hukum”. Dalam penjelasan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tersebut dijelaskan bahwa “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat)
tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). Oleh karena itu Negara tidak boleh
melaksanakan aktivitasnya atas dasar kekuasaan belaka, tetapi harus berdasarkan pada
hukum.1
Negara hukum menurut F.R.Bothlink adalah “De staat waarin de wilsvrijheid van
gezagsdrager is beperkt door grenzen van recht” (negara, dimana kebebasan kehendak
memegang kekuasaan dibatasi oleh ketentuan hukum).2 Negara yang memiliki
kekuasaan penuh dalam penyelenggaraan tugas-tugas negara tidak serta merta dapat
menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang, sebab dalam penyelenggaraan
pemerintahan, negara juga dibatasi oleh ketentuan hukum.
Terhadap penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan dalam suatu
negara hukum terdapat aturan-aturan yang tertulis dalam konstitusi atau peraturan-
1Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil, 2002, Hukum dan Tata Negara Republik Indonesia,
Cetakan Ketiga, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 90. 2Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal.18
(selanjutnya disebut Ridwan HR I)
peraturan yang terhimpun dalam hukum tata negara.3 Aturan-aturan tertulis atau dengan
kata lain hukum tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu hukum publik dan hukum
perdata. Hukum publik terbagi menjadi tiga golongan hokum yaitu pertama hukum tata
negara; kedua hukum tata usaha negara; dan ketiga hukum pidana, sehingga dengan
hukum perdata ada empat golongan hukum.4 Dari keempat golongan hukum tersebut,
hukum pidana memiliki peran yang penting untuk mengatur hubungan antar warga
negara dengan negara dan menitik beratkan kepada kepentingan umum atau
kepentingan publik.5
Hukum pidana di Indonesia bentuknya tertulis dan dikodifikasi dalam sebuah
kitab undang-undang sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuannya di Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisan dari pemerintahan
penjajah Belanda. Di dalam KUHP, terdapat beberapa asas yang sangat penting, salah
satu dari asas yang penting tersebut dan boleh dikatakan sebagai tiang penyangga
hukum pidana yaitu asas legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege
poenali). Asas itu termuat di dalam Pasal1 KUHP yang dirumuskan demikian :
a. Tiada suatu tindakan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
b. Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.6
Rumusan dari asas di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam menentukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan
yang harus dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan.
3 Ibid, hal 20 4Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia Edisi Ketiga, Refika Aditama,
Bandung, hal . 3 5Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 1 6 Ibid, hal 37
Hukum pidana di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu hukum pidana umum dan
hukum pidana khusus. Hukum pidana umum sebagaimana tercantum dalam KUHP,
sedangkan hukum pidana khusus bisa dimaknai sebagai perundang-undangan di bidang
tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau tindak-tindak pidana yang diatur dalam
perundang-undangan khusus, di luar KUHP. 7
Bentuk tindak pidana khusus antara lain : Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana
Pencucian Uang, Tindak Pidana Perpajakan, Tindak Pidana Perbankan, Tindak Pidana
Terorisme, Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup, dan lain-lain. Salah satu tindak
pidana khusus yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah Tindak Pidana di bidang
Lingkungan Hidup, yang lebih dikhususkan lagi perlindungan terhadap jenis satwa-
satwa maupun tumbuhan yang terancam punah.
Salah satu dari satwa yang dilindungi dari sekian banyak satwa yang ada di
Indonesia dan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah penyu hijau (Chelonia mydas).
Selain penyu hijau (Chelonia mydas), ada beberapa jenis penyu yang juga di lindungi,
antara lain penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea),
penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu tempayan (Caretta-caretta) dan
penyu pipih (Natator depressa).
Penyu merupakan salah satu reptil terbesar yang hidup dilaut. Keberadaannya
memiliki arti penting bagi kehidupan sosial-ekonomi pada banyak masyarakat, terutama
bagi masyarakat pesisir yaitu berupa pemanfaatan telur dan daging penyu secara bijak.
7 Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 8
Akan tetapi keberadaan semua spesies penyu yang ada telah mengalami penurunan
populasi yang cukup tinggi, bahkan telah dikatagorikan terancam punah.8
Ancaman yang menyebabkan penurunan populasi penyu selain oleh faktor
internal (individu penyu) juga dapat disebabkan oleh faktor eksternal yaitu alam dan
anthropogenik (manusia). Faktor intrinsik misalnya dari siklus hidupnya yang panjang
dan sangat lambat. Faktor alam diantaranya adalah terjadinya abrasi pantai, perubahan
iklim (climate change), maupun ancaman hewan pemangsa. Faktor pertama yang
menyebabkan menurunnya populasi penyu yaitu adanya penangkapan penyu dengan
sengaja yang bertujuan mengambil telur serta dagingnya untuk dijual dan dikonsumsi. 9
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) adalah suatu
Perjanjian Internasional antar pemerintah (Negara Anggota) yang ditandatangani di
Washington, D.C., pada tanggal 3 Maret 1973.10 Selanjutnya diubah di Bonn, Jerman
Barat, pada tanggal 22 Juni 1979, yang kemudian diratifikasi dengan Keputusan
Pemerintah No. 43 Tahun 1978. Tujuan dari CITES itu sendiri adalah untuk memastikan
bahwa perdagangan internasional jenis satwa dan tumbuhan liar (atau bagian dan
produk olahannya yakni produk yang terbuat dari bagiannya) tidak mengancam
kelestariannya. CITES merupakan perjanjian yang memuat tiga lampiran (appendix)
yang terdiri dari :
a. Appendix I yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial,
8IUCN. (2007). The IUCN Red List of Threatened Species. IUCN the World Concervation Union.
http://www.iucnredlist.org/info/programme diakses tanggal 16 April 2013. 9Suara Komunitas, Mengapa Penyu Dilindungi. Available at
http://suarakomunitas.net/baca/21806/mengapa-penyu-di-lindungi/, diakses pada hari Minggu tanggal 21 April 2013, pukul 01.00 wita
10Chairul Saleh dkk. 2005, Peraturan Perundang-Undangan Penanganan Kasus Peredaran Ilegal Tumbuhan dan Satwa Liar, WWF for living planet. Jakarta, hal 8.
b. Appendix II yang memuat daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan,
c. Appendix III yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I.11
Penyu hijau secara Internasional telah dimasukkan dalam Appendix 1 CITES, hal ini
berarti bahwa penyu telah dinyatakan sebagai satwa yang terancam punah dan tidak
dapat diperdagangkan dalam bentuk apapun.12
Setelah diratifikasinya CITES, pemerintah Indonesia mengambil langkah
bertahap untuk melindungi penyu laut. Langkah awal pemerintah dalam memberikan
perlindungan terhadap satwa penyu dimulai dari Tahun 1978 melalui Keputusan
Menteri Pertanian No. 237/Kpts/Um/5/1978, tanggal 29 Mei Tahun 1978, tentang
Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi dan memberikan status
terlindungi untuk jenis penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Tahun 1980 melalui
Keputusan Menteri Pertanian No. 716/Kpts/-10/1980, tanggal 4 Oktober Tahun 1980
tentang Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi, memberikan status
terlindungi untuk jenis penyu lekang (Lepidochelys olivacea) dan penyu tempayan
(Caretta-caretta). Tahun 1990 melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Larangan terhadap segala
bentuk eksploitasi terhadap Satwa yang dilindungi. Tahun 1996 melalui Keputusan
Menteri Kehutanan No. 882/Kpts/2/1996, tentang Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar
Yang Dilindungi, memberikan status terlindungi untuk jenis Penyu Pipih (Natator
11http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/INFO_III01/IV_III01.htm, diakses
tanggal 25 Pebruari 2013, diakses pada pukul 19.05 wita 12 Chairul Saleh dkk. Op. Cit., hal 10.
depressa). Tahun 1996 melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 771/Kpts/2/1996,
tentang Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi, memberikan status
terlindungi untuk jenis penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Tahun 1999 melalui
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Perlindungan terhadap semua jenis penyu di
Indonesia, termasuk penyu hijau.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut Undang-undang KSDAHE) merupakan
payung hukum untuk memberi perlindungan terhadap berbagai jenis tumbuhan dan
satwa, salah satunya penyu hijau. Larangan terhadap segala aktivitas pemanfaatan
satwa-satwa yang dilindungi, sudah sangatlah jelas diatur sebagaimana ketentuan dalam
Undang-undang KSDAHE, Pasal 21 ayat (2) yang berbunyi :
Setiap orang dilarang untuk : a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di indonesia ke tempat lain didalam atau diluar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain didalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/ atau sarang satwa yang dilindungi.
Ketentuan dari larangan-larangan di atas, diikuti pula dengan sanksi-sanksi dari
tindak pidana perdagangan satwa dilindungi. Sebagaimana juga diatur dalam Undang-
undang KSDAHE Pasal 40 menyatakan :
1. barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal19 ayat (1) dan Pasal33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2. barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3. barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal19 ayat (1) dan Pasal33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
4. barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
5. tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran.
Selain sanksi pidana sesuai ketentuan diatas, perdagangan terhadap satwa liar
yang dilindungi khususnya penyu laut juga diancam dengan sanksi denda, yaitu
sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar diatur dalam Pasal 56 menyatakan :
1. barang siapa melakukan perdagangan satwa liar yang dilindungi hukum karena melakukan perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal21 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2. berbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan atau pencabutan ijin usaha yang bersangkutan.
Provinsi Bali, khususnya Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, terdapat
aktivitas perdagangan penyu hijau yang sudah berlangsung sejak lama. Perdagangan
penyu hijau di Bali telah mendapat perhatian dunia internasional dalam lima belas tahun
terakhir ini. Tahun 1990-an, beberapa lembaga internasional seperti Greenpeace
mempublikasikan bahwa telah terjadi perdagangan dan pembantaian ribuan penyu hijau
per tahun di Bali.13
Keperluan terhadap penyu laut khususnya penyu hijau di Bali sangatlah tinggi.
Dari keenam jenis penyu yang ada di Indonesia, hanya penyu hijau yang banyak di
manfaatkan untuk keperluan upacara adat maupun untuk dikonsumsi sebagai makanan
tradisional. Penyu hijau atau biasa disebut penyu daging, selain dimanfaatkan
dagingnya, kerapas penyu digunakan sebagai kerajinan tangan untuk membuat berbagai
cinderamata seperti bros, gelang, anting, kalung serta pengawetan bangkai penyu yang
digunakan sebagai hiasan.14
Perlindungan terhadap penyu hijau tidak terlepas dari peran serta Direktorat Polisi
Perairan Polda Bali (selanjutnya disebut Dit Pol Air) yang merupakan salah satu unsur
institusi Kepolisian dengan tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam Undang-
undang KSDAHE Pasal 39 yaitu :
(1) selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(2) kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Eknomi Eksklusif dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, kewenangan melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diberikan kepada
13http://www.profauna.org/content/id/perdagangan_penyu_di_bali.html, diakses tanggal 3 Maret
2013, pukul 13.00 wita. 14Indar Sri Wahyuni, dkk, 1994, Studi TenTang Penyu Dan Pemanfaatannya di Bali, Jurnal
Penelitian Perikanan Laut, No. 82 Tahun 1994. Available at www.pustaka.litbang.deptan.go.id, diakses pada hari Minggu, tanggal 23 Juni 2013.
Penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Penyidik Perwira Tentara Nasiaonal
Indonesia Angkatan Laut (TNI AL). Kewenangan ketiga Institusi tersebut didasarkan
kepada posisi di perairan mana suatu tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya itu terjadi. Penyidik Polri di wilayah perairan Kontinental, TNI AL di
wilayah Zona Ekonomi Eksklusif. Sedangkan PPNS dalam hal ini BKSDA Provinsi Bali,
sampai saat ini belum pernah melakukan penyidikan sendiri terkait penanganan tindak
pidana perdagangan penyu hijau, hanya sebagai saksi ahli dalam kasus yang ditangani
penyidik Polri.
Upaya penegakan hukum oleh Dit Pol Air terhadap tindak pidana konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya khususnya perlindungan penyu hijau dapat di
lihat dari beberapa kasus perdagangan penyu hijau yang terjadi di wilayah perairan Bali
dan sudah dilakukan penyidikan. Sebagaimana tercantum dalam table 1.
Tabel 1 Data Kasus Perdagangan Penyu hijau selama tahun 2011 s/d 2013, yang di tangani oleh
Direktorat Kepolisian Perairan Daerah Bali.
Tahun
Jumlah Kasus Jumlah Tersangka
Penyu hijau Yang Diamankan
Penyu sisik yang diamankan
2011
2012
2013
2014
3
1
2
-
8
1
4 -
57 ekor
33 ekor
18 ekor
-
-
-
3 ekor
-
Jumlah
108 Ekor Penyu Hijau
3 Ekor Penyu Sisik
Sumber : Buku Register Laporan Polisi Direktorat Polisi Perairan Polda Bali.
Berdasarkan data tersebut di atas, dapat diketahui bahwa kasus perdagangan
penyu hijau di Bali masih terus berlangsung, dengan penurunan jumlah penyu hijau
yang diperdagangkan dari tahun 2011 sampai tahun 2013, sedangkan sampai bulan Juni
2014 tindak pidana perdagangan penyu hijau masih nihil. Data diatas merupakan jumlah
kasus yang ditangani oleh Dit Pol Air namun tidak menutup kemungkinan masih
banyak perdagangan penyu hijau diluar tabel di atas yang tidak tertangkap dan lolos dari
pantauan penyidik Dit Pol Air.
Penyu hijau yang diperdagangkan di Bali, berasal dari beberapa tempat di luar
Bali. Untuk memperdagangkan penyu hijau dari luar daerah menuju Bali, jalur perairan
biasa digunakan dan dianggap aman oleh pelaku tindak pidana tersebut, sehingga peran
Dit Pol Air selaku penegak hukum di wilayah perairan haruslah dijalankan dengan baik
untuk menghentikan perdagangan penyu hijau di Bali.
Berdasarkan hal-hal seperti yang telah penulis uraikan di atas, penulis tertarik
mengangkat penelitian tesis dengan judul “Implementasi Tugas dan Wewenang
Penyidik Terhadap Perlindungan Penyu Hijau (Studi Kasus di Direktorat Polisi Perairan
Daerah Bali)”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap
perlindungan penyu hijau di Direktorat Polisi Perairan Daerah Bali?
2. Faktor-faktor pendukung dan penghambat implementasi tugas dan wewenang
penyidik terhadap perlindungan penyu hijau.
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Agar dalam pembahasan tidak keluar dari permasalahan yang ditentukan maka
batasan permasalahan tentang bagaimana implementasi tugas dan wewenang penyidik
terhadap perlindungan Penyu hijau di Direktorat Polisi Perairan Daerah Bali. Dalam
implementasi tugas dan wewenang Penyidik, yang pertama akan dikaji adalah
bagaimana mekanisme pelaksanaan tugas dan wewenang dalam penegakan hukum
terhadap pelaku perdagangan penyu hijau serta upaya preventif dari Direktorat Polisi
Perairan Daerah Bali dengan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya masyarakat
pesisir pantai di wilayah hukumnya tentang larangan-larangan terhadap segala bentuk
perdagangan Penyu hijau. Kemudian akan dibahas faktor-faktor yang pendukung dan
penghambat implementasi tugas dan wewenang Penyidik terhadap perlindungan penyu
hijau yang akan dikaji dari faktor-faktor yang mendukung dan menghambat penegakan
hukum.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara umum untuk
memberikan pemahaman mengenai implementasi tugas dan wewenang penyidik
terhadap perlindungan penyu hijau di Direktorat Kepolisian Perairan Daerah Bali
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta KUHAP sebagai payung hukum
dalam proses penyidikan.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi tugas dan wewenang
Penyidik Terhadap perlindungan penyu hijau yang diemban oleh Direktorat
Polisi Perairan Daerah Bali.
2. Untuk memahami dan menganalisis faktor-faktor pendukung dan penghambat
implementasi tugas dan wewenang penyidik Terhadap perlindungan penyu
hijau, yang akan dikaji dari faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat dicapai melalui penelitian dengan dua pokok
permasalahan ini pada hakekatnya yaitu manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang
bersifat praktis seperti berikut :
1.5.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, dengan penelitian ini dapat memberi masukan yang dianggap
berguna dan bermanfaat untuk pengembangan studi ilmu hukum terkait implementasi
tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau di Direktorat Polisi
Perairan Polda Bali berdasarkan KUHAP dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta untuk
mengetahui faktor pendukung dan penghambat implementasi tugas dan wewenang
penyidik Dit Pol Air terhadap perlindungan penyu hijau
1.5.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini bukan hanya ditujukan bagi penulis sendiri, tetapi
juga bermanfaat bagi institusi penegak hukum, khususnya pihak Kepolisian khususnya
terkait implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap penyu hijau, berdasarkan
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk membantu penulis
mengetahui, memahami serta mengkaji lebih dalam mengenai implementasi tugas dan
wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau serta mengetahui faktor-faktor
yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi tugas dan wewenang penyidik
terhadap perlindungan penyu hijau. Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini nantinya
diharapkan dapat memberikan manfaat serta masukan pengetahuan yang berkitan
dengan larangan perdagangan penyu hijau dan ancaman sanksi pidana perdagangan
penyu hijau, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
1.6. Originalitas Penelitian
Implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau,
merupakan suatu penelitian yang menarik dan merupakan tindak pidana khusus di luar
KUHP.
Tesis ini merupakan karya tulis asli dari penulis. dengan tanpa adanya unsur
plagiasi di dalam proses penulisan serta penelitian yang penulis lakukan. penulisan tesis
ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas saran
dan kritik yang bersifat membangun. Untuk menunjukkan orisinalitas penelitian dari
tesis ini, maka dapat dibandingkan dengan tesis-tesis ataupun skripsi sebagai karya tulis
ilmiah lainnya, baik dari lingkup Universitas Udayana maupun dari beberapa
Universitas lainnya di Indonesia. Adapun tesis dan skripsi yang membahas tentang
perlindungan terhadap satwa yang terancam punah yakni :
1. Tesis yang ditulis pada tahun 2012 oleh Sigit Himawan dari Universitas
Diponegoro, dengan judul “Pemberantasan Wildlife Crime di Indonesia Melalui
Kerjasama Asean Wildlife Enforcement Network (Asean Wen)”, dengan rumusan
masalah sebagai berikut .15 Bagaimana kebijakan pemberantasan wildlife crime di
Indonesia? Bagaimana dampak kerjasama Asean Wen terhadap upaya
pemberantasan wildlife crime di Indonesia? Dan Apa dan bagaimana strategi
pemberntasan wildlife crime melalui implementasi kerjasama Asean Wen?
Berdasarkan permasalahan di atas, kesimpulannya adalah :
Kebijakan pemberantasan wildlife crime di Indonesia yang tertuang dalam
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya beserta aturan-aturan dibawahnya belum terimplementasikan
dengan baik dalam mendukung kelestarian lingkungan hidup. Hal ini di tunjukkan
dengan adanya eksploitasi sumber daya alam hayati melalui perburuan dan
perdagangan illegal tumbuhan dan satwa liar.
Indonesia telah mengimplementasikan kerjasama Asean Wen meskipun ada
beberapa program yang belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan yaitu
pembentukan National Task Force Asean Wen dan peningkatan kepedulian
15Himawan, Sigit (2012) Pemberantasan Wildlife Crime di Indonesia Melalui Kerjasama ASEAN
Wildlife Enforecement Network (ASEAN-WEN). Masters thesis, Program Magister Ilmu Lingkungan. Available at Undiphttp://eprints.undip.ac.id/37853/, diakses pada hari Selasa, tanggal 5 Maret 2013, pukul 10.30 wita.
masyarakat. Implementasi kerjasama Asean Wen ini dapat memberikan dampak
terhadap peningkatan upaya pemberantasan wildlife crime yang diindikasikan
antara lain (a) penurunan jumlah kasus wildlife crime (b) peningkatan persentase
penyelesaian secara hukum kasus wildlife crime, (c) peningkatan koordinasi dan
kerjasama dalam pengungkapan kasus wildlife crime antar aparat penegak hukum
dan (d) peningkatan kapasitas penegakan hukum melalui pendidikan dan
pelatihan.
Strategi pemberantasan wildlife crime di Indonesia melalui kerjasama Asean
Wen yang diprioritaskan untuk dilakukan yaitu (a) peningkatan operasi penegakan
hukum (patrol, intelejen, represif dan yustisi) untuk mengungkap kasus peredaran
illegal TSL, baik oleh internal Kementrian Kehutanan maupun gabungan anggota
National Task Force Asean Wen, (b) obtimalisasi peran National Task Force
Asean Wen yang melibatkan semua instansi terkait dan LSM sampai ke tingkat
daerah dengan memanfaatkan SDM kelembagaan masing-masing instansi, (c)
peningkatan koordinasi dan kerjasama instansi terkait dalam pengawasan dan
penegakan hukum sampai ke tingkat daerah melalui National Task Force Asean
Wen, (d) peningkatan kepedulian masyarakat melalui sosialisasi dan kampanye
tentang peraturan perundang-undangan, pengenalan jenis dilindungi dan nilai
manfaat keanekaragaman hayati serta (e) pendidikan dan pelatihan untuk tenaga
pengawas dan pengaman di lapangan. Dengan strategi ini diharapkan dapat
meningkatkan upaya pemberantasan wildlife crime di Indonesia sehingga
kelestarian potensi keanekaragaman hayati dapat terjaga dan meningkatkan daya
dukung lingkungan bagi kehidupan manusia.
2. Tesis yang ditulis pada tahun 2002 oleh Lilik Mulyadi dari Universitas Udayana,
dengan judul “Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Terdakwa Penangkap Penyu
Hijau (Chelonia Mydas) Kasus di Kabupaten Badung Provinsi Bali”, dengan
rumusan masalah sebagai berikut : Bagaimanakah jenis sistem perumusan sanksi
pidana (strafsoort) dan sistem perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) dari
kebijakan formulatif Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terhadap penangkap penyu hijau
(chelonia mydas) ? Apabila dipandang dari aspek perumusan lamanya sanksi
pidana (strafmaat) dan pelaksanaan pidana (strafmodus) apakah kebijakan
aplikatif penerapan sanksi pidana tersebut sudah dipandang adil baik oleh
terdakwa penangkap penyu hijau (chelonia mydas) maupun masyarakat di
Kabupaten Badung? Berdasarkan permasalahan di atas, kesimpulannya adalah :
Bahwa kebijakan formulatif Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terhadap penangkap
penyu hijau (chelonia mydas) menganut jenis sistem perumusan sanksi pidana
(stafsoort) komulatif. Sedangkan ditinjau dari perumusan lamanya sanksi pidana
(strafmaat) menganut sistem indefinite sentence atau sistem pidana maksimum.
Bahwa ditinjau dari perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) dan
pelaksanaan pidana (strafmodus) kebijakan aplikatif penerapan sanksi pidana
tersebut relatif kurang adil. Aspek ini dapat diperinci sebagai berikut:
1. Dikaji dari perspektif terdakwa Widji Zakariah alias Wewe, putusan
PN/PT Denpasar dirasakan berat, bersifat pidana gabungan dan relative
kurang adil. Kekurangadilan tersebut dikarnakan perbuatan terdakwa
menangkap penyu hijau (celonia mydas) berhubungan dengan adat dan
agama, merupakan mata pencarian turun temurun dan aspek pariwisata
sedangkan menurut terdakwa Maliani ternyata putusan PN Denpasar
dianggap cukup adil, mendidik dan diterima terdakwa.
2. Dikaji dari perspektif masyarakat Kabupaten Badung khususnya Desa
Adat Tanjung Benoa kedua putusan PN Denpasar dianggap/dirasakan
kurang adil karena para terdakwa melakukan perbuatan menangkap
penyu hijau (celonia mydas) berhubungan dengan adat dan agama,
sosial-ekonomi masyarakat dan aspek pariwisata.
3. Dikaji dari perspektif majelis hakin PN Denpasar, putusan tersebut
dianggap relative telah adil karena sudah mempertimbangkan bukti
materiil, kemudian untuk perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat)
juga mempertimbangkan aspek socio-yuridis dan socio-kultur. Akan
tetapi dari aspek kebijakan formulatif jenis perumusan sanksi pidana
(strafsoort) nantinya dalam revisi UUTKSDAHE dan PPJTS hendaknya
bersifat alternative atau campuran/gabungan sehingga secara kasuistis
dalam menjatuhkan keputusan hakim dapat memilih jenis pidana
(strafsoort) yang dipandang lebih adil dan tepat.
3. Tesis yang ditulis pada tahun 2014 oleh Ni Wayan Masyuni Sujayanthi dari
Universitas Udayana, dengan judul “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perumusan
Sanksi Terhadap Pelaku Perusakan Sumber Daya Alam Hayati Khususnya Satwa
Penyu Hijau”, dengan rumusan masalah sebagai berikut : Apakah yang menjadi
kelemahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terkait dengan perlindungan satwa penyu
hijau? Kebijakan hukum pidana seperti apakah yang dikehendaki dalam
perumusan sanksi tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
pada masa mendatang? Berdasarkan permasalahan di atas, kesimpulannya adalah :
Kelemahan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah adanya
kekaburan norma terkait dengan beberapa kualifikasi tindak pidana pada Pasal21
ayat (2) dan juga dalam Pasal20 ayat (2) mengenai penggolongan satwa-satwa
yang dilindungi melalui peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan jenis tiumbuhan dan satwa..
Kebijakan hukum pidana dalam perumusan sanksi terkait tentang konservasi
sumber daya alam hayati yang mencakup tentang perlindungan stwa Penyu Hijau
pada masa yang akan datang dibentuk beberapa kebijakan khususnya terkait
ancaman sanksi pidananya yang pada saat ini dalam ketentuan Undang-undang
KSDAH dan Ekosistemnya masih menggunakan sistem pemidanaan dengan pola
definite sehingga Hakim diberikan kebebasan untuk menentukan lamanya
pemidanaan (strafmaad) karena berdasarkan undang-undang hanya
mencantumkan pidana maksimal.
Jika dibandingkan tesis ini dengan tesis-tesis maupun skripsi di atas, tentu
terdapat perbedaan yang mendasar yaitu mengenai fokus penelitian maupun tempat
penelitiannya. Fokus penelitian ini lebih membahas tentang implementasi tugas dan
wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau dan juga membahas tentang
faktor-faktor pendukung dan penghambat implementasi tugas dan wewenang penyidik
Dit Pol Air terhadap perlindungan penyu hijau
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berfikir
1.7.1. Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan asas-asas hukum,
doktrin, dasar hukum, dan yuriprudensi. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
asas-asas hukum, doktrin, dan dasar hukum sebagai landasan teoritis. “Asas hukum
adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma
hukum”.16 Asas-asas hukum sangatlah penting yang menjadi landasan berpijak serta
pedoman yang menjiwai suatu Peraturan Perundang-undangan. Dalam implementasi
tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau, Penyidik Dit Pol Air
harus memperhatikan asas-asas dalam hukum pidana yang berlaku secara universal,
yaitu, asas legalitas (principle of legality), yakni asas yang menentukan bahwa tiap-tiap
perbuatan pidana harus ditentukan sebagaimana demikian oleh suatu aturan undang-
undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada dan berlaku bagi
terdakwa sebelum orang tersebut dituntut untuk dipidana karena perbuatannya. 17
Sedangkan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian/penyidik perlu
memperhatikan asas-asas antara lain :
Pertama ; Praduga tak bersalah (presumption of innocence), bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, ditutntut atau dihadapkan dimuka siding pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
16M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, cetakan
pertama, Reality Publisher, Surabaya, hal. 56. 17 Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal 5.
Kedua : persamaan dimuka hukum (equality before the law), Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan.
Ketiga : hak pemberian bantuan/penasihat hukum (legal aid/assistance); setiap orang yang tersangkut perkara tindak pidana wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan;
Keempat : sebelum dimulai pemeriksaan, kepada tersangka wajib diberitahukan tentang apa yang disangkakan kepadanya dan haknya untuk mendapat bantuan hukum atau dalam perkara itu wajib didampingi penasihat hukum;
Kelima : peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekwen dalam seluruh tingkat peradilan;
Keenam : penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi kewenangan khusus oleh Undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur oleh Undang-undang;
Ketujuh : kepada orang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan azas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukuman administrasi;\
Kedelapan : penyelidik dan penyidik mempunyai wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya diseluruh Indonesia, khususnya di daerah hukum masing-masing dimana ia diangkat sesuai ketentuan Undang-undang.18
Asas praduga tak bersalah (Persumpsion of Innocent) dapat dijumpai dalam
penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP. Asas ini juga dirumuskan dalam Pasal 8
Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 yaitu setiap orang
yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan dimuka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas praduga tak
18Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan
Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjadjaran, Bandung, hal. 151-152
bersalah ditinjau dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip Akusator”, dimana
prinsip ini menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap pemeriksaan
a. Adalah subyek; bukan obyek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat yang tinggi.
b. Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan. 19
Asas lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah asas partisipasi yaitu
diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan tugas Polisi yang bersifat preventif, guna
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam hal kesadaran hukum serta ketaatan
masyarakat terhadap hukum.20
Doktrin adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang memiliki pengaruh
besar terhadap hakim dalam mengambil keputusan perkara; Pendapat-pendapat para
pakar dalam bidangnya masing-masing yang berpengaruh.21 Adapun beberapa doktrin
yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian ini adalah terkait dengan definisi
opsporing (pengusutan/penyidikan) yang dikemukakan oleh R.Tresna yaitu merupakan
pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh Undang-
undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar
beralasan bahwa telah terjadi suatu pelanggaran hukum.22
19Mohammad Taufik Makaroa, 2002, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 3 20G.Ambar Wulan, 2009, Polisi dan Politik, Intelijen Kepolisian Pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.91
21Moeljatno, Op. Cit., hal. 176. 22Hari Sasangka, 2007, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan Dalam Teori Dan Praktek, Untuk Praktisi, Dosen dan Mahasiswa, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal.20
Selain itu, pandangan R.Soesilo tentang definisi penyidik adalah orang atau
pejabat yang oleh Undang-undang ditunjuk atau ditugaskan untuk melaksanakan
penyidikan perkara pidana.23
Tindakan Kepolisian dalam hal ini selau penyidik melakukan penyidikan terhadap
adanya dugaan terkait telah terjadinya suatu tindak pidana terkait perdagangan penyu
hijau secara illegal merupakan salah satu upaya penegakan hukum guna melindungi
satwa yang diyakini terindikasi akan punah. Sehingga harus tetap dijaga kelestariannya
baik dengan jalan konservasi dan penegakan hukum oleh penegak hukum yang
berwenang.
Konservasi adalah konservasi adalah suatu upaya atau tindakan untuk menjaga
keberadaan sesuatu secara terus menerus berkesinambungan baik mutu maupun
jumlah.24
Konservasi adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal
dari bahasa Inggris, (Inggris) Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan.
Sedangkan menurut ilmu lingkungan, Konservasi adalah :
• Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang sama tingkatannya.
• Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan sumber daya alam
• (fisik) Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kiamia atau transformasi fisik.
• Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan
23 Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit., hal.137 24Muhhamad hadi, 2013, Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengelolaan Lingkungan, Lab. Ekologi dan Biosistemik Jurusan Biologi FMIPA Undip, Yogyakarta, http://eprints.undip.ac.id/1070/1/ILING-II-5-KONSERVASI.pdf (diakses tanggal 18 Juni 2014)
• Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan mempertahankan lingkungan alaminya.25
Pentingnya peranan penegak hukum dalam memberantas suatu tindak pidana
adalah berdasarkan konsep sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice
system. Oleh Frakfuther, Pound. Moley dan Warner membentuk National Commision
on Crime and Criminal Justice yang bertujuan untuk menyusun suatu mekanisme
administrasi peradilan pidana yang mendukung tujuan pencegahan dan pemberantasan
kejahatan.26
Dalam sistem peradilan pidana yang lazim, selalu melibatkan dan mencakup
subsistem dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana, sebagai
berikut :
1. Kepolisian, dengan tugas utama :menerima laporan dan pengaduan dari publik manakala terjadi tindak pidana, melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan, melaporkan hasil penyidikan kepada kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
2. Kejaksaan dengan tugas pokok, menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke pengadilan, mempersiapkan berkas penuntutan, melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.
3. Pengadilan berkewajiban mrenegakkan hukum dan keadilan, melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana, melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif, memberikan putusan pengadilan yang adil dan berdasar hukum, dan menyiapkan arena publik untuk persidangan sehingga publik dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses peradilan di tingkat ini.
4. Lembaga pemasyarakatan berfungsi untuk menjalankan putusan pengadilan berupa pemenjaraan, memastikan terlindunginya hak-hak narapidan,
25Wikipedia, 2013, Konservasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Konservasi (diakses tanggal 18 Juni 2014) 26Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung, hal.9
melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana, dan mempersiapkan narapidana untuk kembali ke masyarakat.
5. Pengacara dengan fungsi melakukan pembelaan bagi klien dan menjaga agar hak-hak klien dipenuhi dalam proses peradilan pidana.27
Dalam hal penegakan hukum terkait dengan perlindungan penyu hijau tidak dapat
dilepaskan dengan peran Kepolisian selaku sebagian dari sub sistem peradilan pidana
yang memegang peran pertama dalam proses penegakan hukum khususnya melakukan
penyidikan bilamana suatu kejadian disangka adalah merupakan suatu tindak pidana.
Dalam realitas peradilan di Indonesia, pandangan terhadap peran aparatur penegak
hukum masih terlihat terkotak-kotak. Dalam konteks sistem peradilan pidana hal
tersebut haruslah diminimalisir dan lebih diutamakan dalam sifat kebersamaan antara
sub sistem peradilan pidana yang mengemban tugas fungsi untuk menegakkan keadilan
hukum (legal justice). Konsep penegakan hukum merupakan suatu konsep dasar untuk
mengetahui keterbatasan penegak hukum pidana untuk memperoleh keberhasilan dalam
sistem peradilan pidana.
Keterbatasan penegak hukum dalam sistem peradilan pidana dalam memperoleh
keberhasilan dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep penegakan hukum pidana.
Terkait dengan penegakan hukum Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum
menjadi tiga yaitu :
Pertama: Total Enforcement; adalah ruang lingkup penegak hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam hukum pidana substantif. Namun demikin total enforcement tidak dapat dilakukan sepenuhnya, karena penegak hukum dibatasi oleh aturan-aturan yang ketat yang ada di dalam hukum acara pidana seperti atiran-aturan penangkapan, penahanan, penyitaan, dan sebagainya. Di samping itu hukum pidana substantif itu sendiri juga memberikan pembatasan-pembatasan, seperti diperlakukannya aduan terlebih dahulu untuk menuntut suatu perkara (delik aduan).
27Sidik Sunaryo, 2005, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, hal.219-220
Ruang lingkup penegakan hukum acara pidana dan hukum acara pidana substantif itu sendiri disebut sebagai area of no enforcement. Setelah total enforcement dikurangi dengan area no enforcement maka muncullah penegakan hukum yang kedua.
Kedua: Full Enforcement; Pada penegakan hukum inilah para penegak hukum menegakkan hukumnya secara maksimal, namun oleh Goldstein harapan ini di anggap harapan yang tidak realistis karena adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personal, financial (dana) dan sarana-sarana dalam penyidikan dan sebagainya. Kesemuanya ini mengakibatkan keharusan untuk dilakukan diskresi. Dalam ruang lingkup yang digambarkan tersebut maka timbullah penegak hukum yang ketiga.
Ketiga: Actual Enforcement; Pada penegakan hukum ini, penegakan hukum harus di lihat sebagai bagian dari diskresi yang tidak dapat dihindarkan karena keterbatasan-keterbatasan, sekalipun pemantauan secara terpadu akan memberikan umpan yang positif.28
Penegakan hukum tidak serta merta dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-
citakan oleh Undang-undang. Dalam penegakan hukum, tidak dipungkiri bahwa
terdapat kolaborasi antar subsistem dari penegakan hukum itu sendiri.
Pemahaman tentang penyelenggaraan sistem peradilan pidana, terdapat dua model
sebagaimana diperkenalkan oleh Herbert L. Packer yaitu Due Process Model dan Crime
Control Model. Dari kedua model tersebut, menurut Packer terdapat ciri-ciri yaitu “The
Criminal Control Model tends to the emphasize this adversary aspect of the process.
The Due Process Model tends to make it central” 29
Model crime control model, beranggapan bahwa penyelenggaraan peradilan
pidana adalah semata-mata untuk menindas para pelaku criminal, dan ini adalah tujuan
dari peradilan pidana. Model ini tujuan utama adalah ketertiban umum (public order)
dan efisiensi serta berlaku apa yang disebut “Presumtion of Guilty”. Tindakan represif
sering digunakan dalam model ini dengan tujuan efisiensi dalam penegakan hukum, dan
28Yesmil Anwar dan Adang, Op. Cit., hal. 60. 29Herbert L. Packer, 1968, The Limit of Criminal Sanction, California, Stanford University Press,
Stanford California, hal 157
sering pula terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia demi efisiensi. Sedangkan Due
process model berbanding terbalik dengan crime control model, dalam model ini
terdapat konsep perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan pembatasan
kekuasaan pada peradilan pidana.30 Dalam model ini berlaku apa yang dinamakan
Presumtion of Inocence. Model ini juga mengakui bahwa setiap orang dianggap sama
hak dan kewajibannya di depan hukum atau equality befote the law. Proses hukum yang
adil (Due process of Law) merupakan tujuan dari hukum acara pidana.31
Sedangkan dalam penelitian Implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap
perlindungan Penyu hijau, penulis juga menggunakan beberapa dasar hukum. Dasar
Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
3. Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan Dan Satwa.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar.
6. Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
7. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun
2012 tentang Managemen Penyidikan Tindak Pidana
30Yesmil Anwar dan Adang, Op. Cit., hal 42 31Mien Rukmini, 2003, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah Dan Asas
Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Peradilan Pidana Indonesia, PT. Alumni, Bandung, hal. 31
Landasan teori adalah landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori yang
sering dipergunakan sebgai tuntunan untuk memecahkan suatu berbagai permasalahan
dalam suatu penelitian.32 Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan
atau wawasan.33 Dalam penelitian ini, untuk menganalisa dan memecahkan
permasalahan yang ada, penulis menggunakan beberapa teori-teori hukum antara lain :
1. Teori Kewenangan
Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi,
yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang. Secara teoritis, kewenangan
yang bersumber dari Peraturan Perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara
yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.34 Menurut Robert Bierstedt, wewenang adalah
institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan). 35
Mengenai teori kewenangan dari H.D. van Wijk/ Wilem Konijnenbelt, H.D. van
Wijk/ Wilem Konijnenbelt mengemukakan bahwa :
Daarmee omvat het tableau drie figuren : a. attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een
bestuursorgaan. b. delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een
ander. c. mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen
door een ander.36
32Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2010, Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian,
Tesis dan Disertasi, Denpasar Bali, Hal.12. 33Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pusaka, Yogyakarta, hal. 4 34Ridwan H.R., Op. Cit., Jakarta hal 100-102. 35Firmansyah Arifin, dkk., 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta, hal. 16 36H.D. van Wijk/Wilem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Rech, Uitgeverij
Lemma B.V. Culemborg, Amsterdam, hal. 56.
Ridwan HR menterjemahkan teori kewenangan dari H.D. van Wijk/ Wilem
Konijnenbelt, H.D. van Wijk/ Wilem Konijnenbelt mengenai definisi atribusi, delegasi
dan mandat sebagai berikut :
a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan).
b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).
c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya).37
Wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari Peraturan
Perundang-undangan. Wewenang atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu
jabatan.38 Organ pemerintah memperoleh kewenangan secara langsung dari
Pasaltertentu dalam suatu Peraturan Perundang-undangan. Dalam atribusi, penerima
wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah
ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang
diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Kewengan
atribusi hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang (legislator) yang
orisinil.39 Pada delegasi, tidak ada penciptaan wewenang, namun hanya ada pelimpahan
wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak
lagi berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih pada penerima delegasi
(delegataris). Selanjutnya, pada mandat, penerima mandat (mandataris) hanya
37Ridwan H.R., Op.Cit, hal. 104-105. 38Phillipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Introduction to the administrative
law, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2008, hal 130 39Agussalim Andi Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah (Kajian Politik dan Hukum),: Ghalia
Indonesia, Bogor, hal. 102
bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir
keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans.40
2. Teori Sistem Hukum
Teori sistem hukum (Legal System Theory) dari Lawrence M.Friedman yang
pada intinya adalah menyatakan bahwa suatu sistem hukum terdiri dari 3 (tiga)
komponen yaitu :
a) Substansi Hukum (Legal Substance)
“The substance is composed of substantive rules and rules about how
institutions should behave”.41 (substansi tersusun dari peraturan-peraturan
dan ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana institusi-istitusi harus
berperilaku/bertindak. Dalam hal ini yang dimaksud sebagai substansi hukum
adalah aturan atau norma hukum.
b) Struktur Hukum (Legal Structure)
“Structure, to be sure, is one basic and obvious element of the legal
system……The structure of a system is its skeletal fremework, it is the
elements shape, the institutional body of the system.” (Struktur adalah satu
dasar dan merupakan unsur nyata dari sistem hukum. Struktur dalam sebuah
sistem adalah kerangka permanen, atau unsur tubuh lembaga dalam sistem
hukum). Dalam hal ini yang dimaksud dengan struktur hukum adalah institusi
penegak hukum sebagai salah satu unsur nyata dalam suatu sistem hukum,
termasuk juga lembaga yang turut melaksanakan aturan-aturan hukum.
40Ibid, hal. 108-109. 41Laurence M. Friedman, 1975, The Legal System A Social Science Perspektive, Russell Sage
Foundation, New York, hal.14
c) Budaya Hukum (Legal Culture)
“Legal culture refers,then, to those parts of general culture, customs,
opinion, ways of doing and thinking, that bend social forces toward or away
from the law and in particular ways.”(Budaya hukum merupakan bagian dari
budaya pada umumnya, yang dapat berupa adat istiadat, pandangan, cara
berfikir dan tingkah laku yang dapat membentuk suatu kekuatan sosial yang
bergerak mendekati hukum dengan cara-cara tertentu). Dalam hal ini yang
dimaksud dengan budaya hukum adalah perilaku-perilaku masyarakat dalam
memandang hukum untuk dipatuhi serta ditaati.
Dengan ketiga komponen dalam sistem hukum tersebut dapat digunakan untuk
mengkaji efektifitas penerapan suatu sanksi dalam suatu aturan hukum. Kata efektif
berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti ada efeknya (akibatnya,
pengaruhnya, kesannya, manjur atau mujarab, dapat membawa hasil atau berhasil guna,
mulai berlaku).42 Efektifitas pemidanaan diartikan sebagai tingkat tercapainya tujuan
yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan. Suatu pemidanaan dikatakan efektif
apabila tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan itu tercapai.43 Meneliti
efektifitas hukum pada dasarnya membandingkan antara realitas hukum dengan ideal
hukum. Hukum menentukan peranan apa yang sebaiknya dilakukan oleh para subjek
hukum, dan hukum akan semakin efektif apabila peranan yang dijalankan oleh para
subjek hukum semakin mendekati apa yang telah dilakukan dalam hukum. Efektifitas
dalam konteks dengan hukum diartikan bahwa hukum itu benar-benar hidup dan
42 Niniek Suparni, 1996, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, Sinar
Grafika, Jakarta, hal.59 43Ibid.
berlaku, baik secara yuridis, sosiologis dan filosofis.44 Orang mengakatakan bahwa
kaidah hukum berlaku secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk
siapa kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut.45
“Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum, interprestasi dan konstruksi) dan penerapannya terhadap suatu kasus kongkret.”46 Menurut Soerjono Soekanto adalah ada 5 faktor yang mempengaruhi efektif
tidaknya keberlakukan suatu hukum yaitu :
a. Faktor hukumnya sendiri b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum itu berlaku atau diterapkan e. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia didalam pergaulan hidup47
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan
esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektifitas
penegakan hukum. 48
3. Teori Bekerjanya Hukum / Berlakunya Hukum
Teori bekerjanya hukum yang dikemukakan oleh Robert B.Siedman yang dimuat
dalam bukunya yang berjudul The State, Law and Development pada bahasan mengenai
44Ibid 45J.J.HAL.Bruggink, ahli bahasa Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Cetakan Kedua,
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.149 46Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence)Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Cetakan Keempat,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.378
47Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal.8 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I)
48Ibid, hal.9
a model of law and development. Pada intinya teori berlakunya hukum yang
dikemukakan oleh Robert B. Siedman dijabarkan dalam 4 proposisi yaitu :
1. We can meet that objection, however, by substituting for the judge the
processes of government concerned with implementation, that is, with
inducing desired activity (the bureaucracy, the police, state corporations and
so fort). (Kita bisa mencapai tujuan tersebut dengan cara menggantikan peran
hakim. Proses-proses dari implementasi yang menjadi perhatian pemerintah
yaitu dengan mendorong aktifitas yang menjadi tujuan implementasi
(birokrasi, polisi, perusahaan pemerintah dan semua yang dapat dijadikan
benteng).
2. Broaden the concept of the norm addressed to the role – occupant to include
exhortation or other sort of prescription, indicated by a wavy line. I indicate
the role addressed to the role – occupant by a straight line. I indicate the
exhortation by a wavy line. (Memperluas cakupan konsep aturan/norma
kepada warga Negara dilakukan dengan memasukkan nasihat maupun
deskripsi lain yang ditandai dengan suatu garis yang bergelombang. Saya
menegaskan aturan dengan garis yang tegas dan garis yang bergelombang
yang ditujukan untuk semua warga).
3. Any law, once passed, changes from the day of passage, either by format
amendment, or by the way the bureaucracy acts. It changes because the arena
of choice changes. Feedback constitutes the most important explanation of
those changes. Citizens express their reactions to a particular law or
programme to law-makers or to bereaucrats, who in turn communicate to law
- makers. In addition, various sorts of formal and informal monitoring
devices teach law – makers and bereaucrats about the rule’s relative success,
thus affecting decisions about the law. (Setiap aturan, sekali saja terlewati,
perubahan dari saat yang dilanggar, baik berdasarkan amandemen, ataupun
karena perilaku birokrat. Aturan berubah seiring dengan ruang lingkup hukum
itu sendiri. Yang paling penting adalah adanya penjelasan dari konstitusi
dasar perubahan tersebut. Warga Negara memberikan reaksi mereka terhadap
aturan tertentu ataupun program tertentu kepada pembuat aturan ataupun para
birokrat, yang akan diteruskan/dokomunikasikan dengan para pembuat
aturan/hukum tersebut. Sebagai tambahan, berbagai macam perangkat
monitor secara formal maupun informal, memberikan pelajaran bagi para
pembuat aturan dan para birokrat tentang kesuksesan pelaksanaan aturan itu
sendiri secara relatif, yang akan mempengaruhi keputusan yang akan diambil
terkait aturan itu sendiri).
4. The categories ‘law – makers’ and ‘judge’ must be replaced by ‘law –making
processes’ and ‘law-implementing processes’.49 (Katagori para pembuat
aturan dan hakim, seharusnya digantikan dengan proses pembuatan aturan
dan proses implementasi aturan).
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, ada empat proposisi yang
menggambarkan teori bekerjanya hukum atau berlakunya hukum dari Robert B.
Seidman, yakni :
49Robert B. Seidman, 1978, The State, Law, and Development, ST. Martin’s Press, New York, hal.
74-75.
1. Adanya proses dari pemerintah terkait dengan pelaksanaan atau penerapan
hukum, yaitu, dengan mendorong atau mempengaruhi kegiatan atau aktivitas
yang diinginkan (birokrasi, polisi, perusahaan negara, dan sebagainya).
Peraturan hukum menjadi sebuah sarana dalam mendorong atau
mempengaruhi kegiatan yang diinginkan. Dalam hal ini, setiap peraturan
hukum akan memberitahu tentang bagaimana seseorang pemegang peran
(Rule Occupant) itu diharapkan bertindak.
2. Memperluas konsep norma yang ditujukan kepada pemegang peran untuk
memasukkan atau menyertakan peringatan/desakan/ketentuan petunjuk,
ditunjukkan dengan garis bergelombang. Robert B. Seidman
menunjukkan/mengusulkan peraturan ditujukan kepada pemegang peran
dengan garis lurus dan desakan/peringatan dengan garis bergelombang. Hal
ini menunjukkan bagaimana pemegang peran akan bertindak, sebagai suatu
respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan
yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga
pelaksana serta keseluruhn kompleks kekuatan politik, sosial, dan lain-lainnya
mengenai dirinya.
3. Perubahan hukum dapat terjadi karena arena pilihannya berubah. Timbal
balik (feedback) merupakan penjelasan yang paling penting dari perubahan-
perubahan tersebut. Masyarakat mengungkapkan reaksi mereka terhadap
hukum tertentu atau program untuk pembuat hukum atau para birokrat, yang
bergiliran berkomunikasi dengan pembuat hukum. Selain itu, berbagai macam
perangkat monitoring formal dan informal mengajarkan pembuat hukum dan
birokrat tentang peraturan yang relatif berhasil, sehingga mempengaruhi
keputusan-keputusan tentang hukum. Hal ini menunjukkan bagaimana
lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan-
peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan
kepada mereka sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan
politik, sosial, dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik yang
datang dari pemegang peran.
4. Kategori-kategori pembuat hukum dan hakim harus diganti dengan proses-
proses pembuatan hukum dan proses-proses penerapan atau pelaksanaan
hukum. Berdasarkan hal ini dapat diketahui mengenai bagaimana peran
pembuat Undang-undang itu akan bertindak yang merupakan fungsi
peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya,
politik, ideologis, dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik
yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.50
Robert B. Seidman juga menjelaskan mengenai perilaku pemegang peran dalam
menghadapi peraturan yang ditujukan kepada mereka oleh pembuat hukum. Hal ini juga
dapat dijadikan indikator dalam pengkajian pengimplementasian hukum. Dapat
diketahui pula bahwa, hukum dapat mempengaruhi perilaku pemegang peran
sebagaimana yang dinyatakan oleh Robert B. Seidman bahwa, “Law as a device to
structure choice expresses at once law’s usual marginality in influencing behaviour,
and its importance as the principal instrument that government has to influence
50Amiruddin dan HAL. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Ed.1-4, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 46-47.
behaviour”.51 (Hukum sebagai alat untuk struktur pilihan mengekspresikan sekaligus
hukum marginalitas biasa dalam mempengaruhi perilaku, dan pentingnya sebagai
instrumen utama pemerintah untuk mempengaruhi perilaku). Berdasarkan hal tersebut
dapat diketahui bahwa hukum adalah sarana yang penting, sebagai instrumen utama
pemerintah untuk mempengaruhi perilaku.
1.7.2. Kerangka Berfikir
Berdasarkan landasan teori yang digunakan sebagai dasar penelitian ini, dapat
dibuat kerangka berpikir sebagaimana pada gambar di bawah ini :
51Robert B.Siedman, Op.Cit., hal. 77.
Implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau (studi kasus di Direktorat Kepolisian Perairan
Polda Bali)
Bagaimanakah implementasi tugas
dan wewenang penyidik terhadap
perlindungan Penyu hijau
Faktor pendukung dan penghambat
Implementasi tugas dan wewenang
penyidik terhadap perlindungan penyu
1. Teori Kewenangan 2. Teori Berlakunya Hukum
1. Teori Sistem Hukum 2. Konsep Faktor pendukung dan
Penghambat penegakan hukum
1. Implementsi tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau belum berjalan dengan optimal. Faktor pengahambat internal terkait jumlah personil dan kapal patroli yang mini m serta faktor eksternal berkaitan cuaca dan kondisi perairan merupakan faktor penghambat penangkapan terhadap pelaku perdagangan penyu hijau
2. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau antara lain faktor Undang-undang dan faktor kebudayaan, sedangkan faktor penghambat antara lain faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas dan faktor masyarakat
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang mengkaji terhadap
Implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan Penyu hijau.
Adanya kesenjangan antara ketentuan Undang-undang KSDAHE dengan realita
pelaksanaannya di lapangan, sehingga dalam penelitian hukum empiris ini akan meneliti
dan mengkaji bagaimana implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap
perlindungan penyu hijau.
1.8.2. Sifat Penelitian
Penelitian hukum empiris ini merupakan penelitian yang bersifat diskriptif.
Penelitian diskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan
antara suatu gejala dengan gejala lain di masyarakat.52 Dalam penelitian ini, penulis
mencari fakta-fakta terhadap Implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap
perlindungan penyu hijau, kemudian dikaji dengan menggunakan landasan teori yang
berkaitan sehingga dapat menggambarkan dan mendiskripsikan bagaimana
Implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau.
1.8.3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah suatu tempat atau wilayah dimana penelitian tersebut
akan dilakukan. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis mengambil lokasi di
Kantor Direktorat Polisi Perairan Polda Bali, serta Desa Serangan, Denpasar Selatan.
Dipilihnya lokasi penelitian Direktorat Polisi Perairan Polda Bali adalah institusi
52Amiruddin dan Zainal Asikin, Op., Cit, hal 25.
kepolisian yang telah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan penyu
hijau sesuai tugas dan wewenangnya selaku penegak hukum di wilayah perairan,
sedangkan Desa Serangan karena memiliki tempat konservasi penyu hijau serta sebagai
penyedia kebutuhan penyu hijau untuk kegiatan upacara agama Hindu bagi masyarakat
seluruh Provinsi Bali.
1.8.4. Data dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder.
1. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, .baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan obyek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, desertasi, dan peraturan perundang-undangan. 53
Data sekunder tersebut dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Bahan hukum primer
Bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan perundang-
undangan terkait obyek penelitian antara lain :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
3. Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
53Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 106.
1990 Nomor 49 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3419)
4. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan Dan Satwa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 14 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3803)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 15 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3802)
6. Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 2 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4168))
7. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2012 tentang Managemen Penyidikan Tindak Pidana.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer. Sebagai bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-
buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal
hukum.54 Bahan hukum sekunder juga dapat berupa artikel-artikel yang diperoleh
secara online di internet.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan Hukum tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan
hukum primer dan sekunder yang berasal dari kamus hukum dan kamus bahasa
Indonesia.
1.9.5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan metode
pengumpulan data yaitu :
1. Teknik Studi Dokumen
Studi dokumen dilakukan terhadap bahan-bahan hukum yang berumber dari
peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, serta
hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan penelitian.
2. Teknik Wawancara (interview)
Wawancara adalah merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim
digunakan dalam penelitian ilmu hukum dalam aspek empiris.55 Wawancara
dilakukan terhadap responden maupun informan untuk memperoleh data yang
relevan dengan masalah penelitian. Wawancara yang dilakukan oleh penulis
adalah wawancara terbuka (face to face) untuk memperoleh informasi langsung
dari narasumber. Informan yang akan diwawancara oleh penulis antara lain
54Peter Mahmud Masduki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal
155. 55Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis
dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Denpasar Bali, 11-4-2013, hal 61.
Penyidik dan Penyidik Pembantu di Direktorat Polisi Perairan Polda Bali.
1.9.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang sama.
Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau mati), kejadian, kasus-kasus,
waktu, atau tempat, dengan sifat atau ciri yang sama.56 Sampel adalah himpunan bagian
atau sebagian dari populasi. Dalam suatu penelitian, pada umumnya hanya
menggunakan sebagian saja dari keseluruhan obyek penelitian, yang disebut dengan
sampel. Pengambilan sampel untuk penelitian disebut dengan sampling. Sampling
merupakan salah satu langkah yang penting dalam penelitian, yang menentukan
seberapa besar keberlakuan generalisasi hasil penelitian.57 Penelitian ini menggunakan
Teknik non-Probabilitas/Non-Random Sampling. Bentuk non-Probabilitas/ non-
Probability sampling yang di gunakan adalah purposive sampling. Dimana penentuan
sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan
sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel berdasarkan
pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik
tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya.58
Penelitian dengan menggunakan teknik ini, peneliti mempunyai peran yang sangat
besar untuk menentukan pengambilan sampelnya. Pada teknik non-rendom sampling,
kesempatan tiap unit atau individu populasi untuk menjadi sampling tidak sama, bahkan
56Bambang Sunggono, Op. Cit., hal. 118 57Ibid 58Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op. Cit., hal 74-75.
ada unit populasi yang nilai probabilitasnya untuk terpilih menjadi unit sampel adalah =
0 atau 1”.59
Sampel yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah dari penyidik
maupun penyidik pembantu di Direktorat Polisi Perairan Polda Bali, yang menangani
kasus tindak pidana perdagangan terhadap penyu hijau.
1.9.7. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh baik berupa data primer, data sekunder kemudian diolah
menggunakan analisis kualitatif. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian
data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis”.60 Pada penelitian dengan
menggunakan analisis kualitatif atau analisis deskriptif kualitatif, dari keseluruhan data
yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis
dengan cara menyusun data secara sistematis, diidentifikasi, diklasifikasi, dihubungkan
antara satu data dengan data lainnya, kemudian dipaparkan dalam bentuk uraian-uraian
yang berhubungan dengan asas maupun teori hukum yang terdapat dalam hukum pidana
sehingga memperoleh kesimpulan yang jelas terhadap pembahasan masalah.
59Bambang Sunggono, Op. Cit., hal. 122. 60Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Denpasar Bali, hal. 76.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TUGAS DAN WEWENANG PENYIDIK D AN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENYU HIJAU
2.1. Tugas dan Wewenang Penyidik
2.1.1. Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
Kata tugas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang wajib
dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan.61 Sedangkan wewenang adalah hak
dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.62 Sehingga hak dan wewenang adalah sesuatu
yang wajib di laksanakan berdasarkan kekuasaannya. Menurut Ridwan HR, Wewenang
adalah "Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtihandelingen".63 (yaitu yaitu
kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu).
Kata Polisi merupakan satu istilah yang dibawa oleh orang-orang Eropa ketika
melakukan kolonialisasi di Indonesia. Pada awalnya, istilah “polisi” berasal dari bahasa
Yunani “politeia”yang berarti seluruh pemerintah negara kota.64 Menurut Van
Vollenhoven dalam bukunya “Politie Overzee” istilah politie didefinisikan mengandung
arti sebagai organ dan fungsi, yakni sebagai organ pemerintah dengan tugas mengawasi,
jika perlu menggunakan paksaan supaya yang diperintah menjalankan dan tidak
61WJS. Poerwadarminta, 1978, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, hal.
1094 62Ibid. Hal. 1150 63Ridwan HR., 2002, Hukum Administrasi Negara, Penerbit UII Press, Yogyakarta, hal
17(selanjutnya disebut Ridwan HR II) 64Sadjijono, 2008, Hukum Kepolisian, Polri dan Good Governance, Cetakan Pertama, Leksbang
Mediatama, Surabaya, hal.49
melakukan larangan-larangan perintah.65 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah
polisi mengandung arti badan pemerintahan (sekelompok pegawai negara) yang
bertugas memelihara, menjaga keamanan dan ketertiban umum.66 Sedangkan pengertian
polisi menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut Undang-undang Kepolisian) yaitu :
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah sebagai suatu lembaga yang
mengemban fungsi pemerintahan bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom, dan pelayanan kepada
masyarakat berlandaskan pada asas legalitas (rechtmatigheid).67 Tugas dan fungsi Polri
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Amandemen keempat Pasal 30 ayat (4) yaitu “Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Tugas dan
fungsi Polri juga diatur dalam ketentuan Pasal 13 Undang-undang Kepolisian yaitu :
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
65Ibid, hal 50. 66W.J.S Poerwadarminta, Op. Cit., hal. 549 67Sadjijono, Op. Cit., hal. 60-61
Kepolisian dalam rangka menyelenggarakan tugas dan wewenangnya harus
berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya suatu wewenang yang bersumber
dari peraturan perundang-undangan (atributif). Menurut Indroharto bahwa pada atribusi
terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan.68 Dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya,
Kepolisian banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor internal maupun eksternal. Faktor
internal berkaitan dengan sumberdaya manusia, keuangan, sarana dan prasarana,
tatacara kerja (man, money, material dan metode), sedangkan faktor eksternal meliputi
faktor sosial, politik dan lain-lain yang dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan
tugasnya.69
Tugas dan wewenang kepolisian yang secara atributif meliputi wewenang secara
umum dan khusus. Tugas dan wewenang kepolisian secara umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 Undang-undang Kepolisian yaitu :
(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. menerima laporan dan/atau pengaduan; b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum; c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa; e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administratif kepolisian; f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian
dalam rangka pencegahan; g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti; j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
68Ridwan HR II, Op. Cit, hal. 71 69Sadjijono, Loc. Cit.
k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan lainnya berwenang : a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan
masyarakat lainnya; b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak,
dan senjata tajam; f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan
usaha di bidang jasa pengamanan; g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan
petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasional; i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang
berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional; k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas
kepolisian.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan tugas dan wewenang Kepolisian secara khusus yaitu dalam menyelenggarakan
tugas proses pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-undang Kepolisian yaitu :
(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan; i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut : a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan; c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia.
Kepolisian dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara khusus yaitu
dalam proses pidana, meliputi tahapan penyelidikan dan penyidikan. Pengertian
penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 9 yaitu serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang. Sedangkan pengertian penyidikan menurut Pasal 1 Angka 13
yaitu penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana menurut Undang-undang
Kepolisian ini dilaksanakan oleh Penyidik maupun Penyidik Pembantu dengan syarat-
syarat kepangkatan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1983 Pasal 2 dan 3 yaitu :
1. pejabat Polisi Negara yang sekurang-kurangnya berpangkat pembantu Letnan Dua (Pelda Pol), ditunjuk oleh Kepala Kepolisian RI;
2. komandan sector (karena jabatannya adalah penyidik/pelda Pol tidak ada : untuk melaksanakan penyidikan atas usul Komandan/Pimpinannya, Kepala Kepolisian RI mengangkat penyidik pembantu dengan syarat-syarat :
- Pejabat Kepolisian Negara RI tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi.
- Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a)
3. pejabat pegawai negeri tertentu, yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atas usul dari departemen yang bersangkutan, diangkat Menteri Kehakiman setelah mendengar pertimbangan jaksa agung dan Kepala Kepolisian Negara RI.
Tugas dan wewenang kepolisian/penyidik dalam proses penanganan tindak pidana
menurut Undang-undang Kepolisian memang tidak diatur secara terperinci. Namun
sebagai payung hukum kepolisian/penyidik dalam penanganan tindak pidana baik secara
umum yang diatur dalam KUHP maupun tindak pidana khusus, secara terperinci diatur
dalam Undang-undang 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
2.1.2. Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
Tugas dan wewenang Kepolisian dalam hal ini penyidik maupun penyidik
pembantu terkait proses penanganan tindak pidana menurut KUHAP sudah diatur secara
terperinci. Penyelidikan sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP adalah
“serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Sedangkan Penyelidik
menurut Pasal 4 KUHAP adalah setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik memiliki kewajiban dan kewenangan
yang diperoleh bersifat atribusi (wewenang yang diperoleh langsung dari Undang-
undang) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 KUHAP ayat 1, dan wewenang bersifat
delegasi (pelimpahan wewenang dari penyidik kepada penyelidik), yaitu Pasal 1 butir a :
(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 : a) Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1. menerima laporan dan pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti; 3. menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menyatakan serta
memeriksa tanda pengenal diri; 4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;
b) Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa : 1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan; 2. pemeriksaan dan penyitaan surat; 3. mengambil sidik jari dan penyitaan surat; 4. membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik;
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan b kepada penyidik.
Sedangkan atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan upaya paksa
berdasarkan Pasal 16 KUHAP yaitu :
1. untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang
melakukan penangkapan.
2. untuk kepentingan penyidikan, penyidik pembantu berwenang melakukan
penangkapan.
Tugas penyelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang bertugas
untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang telah terjadi dan bertugas
membuat berita acara serta laporannya, yang nantinya merupakan dasar permulaan
penyidikan. Dengan demikian penyelidikan merupakan kegiatan yang mengawali proses
penyidikan.70 Sedangkan yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang acara
pidana, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan
tersangkanya (Pasal 1 butir 2 KUHAP). Dari rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, tugas
utama penyidik adalah :
1. mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti-bukti tersebut membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi;
2. menentukan tersangka.71
Penyidik itu sendiri adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan penyidik karena kewajibannya dalam melaksanakan penyidikan
memiliki wewenang sebagai berikut :
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana (Pasal 7 KUHAP);
2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian (Pasal 7 KUHAP); 3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari
tersangka (Pasal 7 KUHAP); 4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan (Pasal 7
jo Pasal 131 KUHAP); 5. Melakukan pemeriksaan dan surat pernyitaan (Pasal 7 jo Pasal 132 Ayat
2,3,4,5 KUHAP); 6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang (Pasal 7 KUHAP); 7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
(Pasal 7 KUHAP); 8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalm hubungannya dengan
pemeriksaan (Pasal 7 jo Pasal 132 Ayat (1) jo Pasal 133 Ayat (1) KUHAP); 9. Mengadakan penghentian penyidikan (Pasal 7 KUHAP); 10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.72
70Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, Hal
119 71Ledeng Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 11. (selanjutnya disebut Ledeng Marpaung II)
Selain wewenang sebagaimana dimaksud di atas, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan penyidik dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik, yaitu :
1. Dalam melaksanakan tugasnya penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku (Pasal 7 ayat (3) KUHAP);
2. Membuat berita acara dalam pelaksanaan tindakan (Pasal 8 ayat (1) KUHAP); 3. Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat
(2) KUHAP); 4. Penyerahan berkas perkara dilakukan :
a. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat (3) KUHAP)
5. Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang : a. pemeriksaan tersangka; b. penangkapan; c. penahanan; d. penggeledahan; e. pemasukan rumah; f. penyitaan benda; g. pemeriksaan surat; h. pemeriksaan saksi; i. pemeriksaan ditempat kejadian; j. pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan; k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
ini (Pasal 75 KUHAP). 6. Melakukan penyidikan tambahan, jika penuntut umum mengembalikan hasil
penyidikan untuk dilengkapi sesuai petunjuk dari penuntut umum (Pasal 110 ayat (2) KUHAP);
7. Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan (Pasal 31 ayat (1) KUHAP);
8. Karena jabatannya hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang sudah ditentukan (Pasal 31 ayat (2) KUHAP);
9. Melakukan penyidikan tambahan sesuai petunjuk dari penuntut umum, jika penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi (Pasal 110 ayat (3) KUHAP);
10. Dalam hal tersangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya
72Zulkarnain, 2013, Praktik Peradilan Pidana, Panduan Praktis memahami Peradilan Pidana,
Setara Press, Malang, hal. 41
tentang haknya untuk mendapat bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum (Pasal 114 KUHAP).73
Penyelidikan atau penyidikan merupakan tindakan awal yang dapat dan harus
dilakukan oleh penyelidik atau penyidik jika terjadi atau timbul persangkaan telah
terjadi tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan tindak kejahatan atau
pelanggaran maka harus diusakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan,
benarkah telah dilakukan tindak pidana dan menentukan siapa pelakunya. Diketahuinya
suatu perbuatan tindak pidana oleh penyidik adalah melalui tertangkap tangan atau
selain tertangkap tangan. Tertangkap tangan menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP yaitu :
tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan
segera sesudah beberapa saat tindakan pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian
diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya,atau Apabila
sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana itu.
Selain tertangkap tangan, penyelidik maupun penyidik dapat mengetahui suatu tindak
pidana itu terjadi melalui laporan atau pengaduan dari masyarakat. Sebagaimana
ketentuan Pasal 108 KUHAP yaitu :
1. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan.
2. Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
3. Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
73 Ibid, hal. 42
Penyelidik maupun penyidik setelah melakukan tertangkap tangan maupun
memperoleh laporan/pengaduan terhadap suatu tindak pidana yang terjadi, selanjutnya
membuat laporan polisi model A untuk tindak pidana yang tertangkap tangan, dan
Laporan Polisi model B untuk tindak pidana yang diawali dengan laporan/pengaduan
dari korban maupun saksi yang melihat suatu tindak pidana.
Ketentuan proses penangkapan terhadap pelaku tindak pidana yang tertangkap
tangan oleh penyelidik/penyidik, sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (2) KUHAP
yaitu dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan
ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang
bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Sedangkan
penangkapan terhadap pelaku tindak pidana yang diawali dengan laporan/pengaduan,
diatur dalam Pasal 18 ayat (1) KUHAP yaitu pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan
oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas
serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan
identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
Tugas dan wewenang Penyidik setelah membuat laporan polisi adalah melakukan
pemeriksaan terhadap saksi, ahli dan tersangka terkait tindak pidana yang terjadi. Saksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP yaitu orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
sedangkan saksi ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah keterangan yang
diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Pemeriksaan terhadap tersangka dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 54 KUHAP yaitu guna kepentingan pembelaan,
tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih
penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut
tata cara yang ditentukan dalam undang-undang. Pemberian bantuan hukum terhadap
tersangka berdasarkan ketentuan hukuman dari Pasal yang diancamkan terhadap
tersangka. Sebagimana ketentuan Pasal 56 ayat 1 KUHAP yaitu :
Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Selain hak memperoleh bantuan hukum, selama proses pemeriksaan ditingkat
penyidikan, tersangka memiliki hak-hak lainnya yang wajib diberikan oleh Penyidik
antara lain :
1. Hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam phase penyidikan; 2. Hak segera mendapat pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapat putusan
seadil-adilnya. 3. Hak untuk memberitahukan tentang apa yang disangkakan/didakwakan
kepadanya dengan bahasa yang dimengerti; 4. Hak untuk menyiapkan pembelaan; 5. Hak untuk mendapatkan juru bahasa; 6. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum; 7. Hak untuk mendapatkan kunjungan keluarga.74
Hasil pemeriksaan terhadap saksi, ahli dan tersangka, merupakan dasar penyidik
melakukan upaya paksa berikutnya yaitu penahanan terhadap tersangka, disaamping
74 Hari Sasangka, Op. Cit., hal 6.
bukti permulaan yang cukup terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka.
Jenis-jenis penahanan itu sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 KUHAP yaitu :
(1) jenis tahanan dapat berupa : a. Penahanan rumah tahanan negara; b. Penahanan rumah; c. Penahanan kota.
(2) penahanan rumah dilaksanakan dirumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
(3) penahanan kota dilaksanakan dikota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan
(4) masa penagkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
(5) untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan.
Sedangkan alasan dilakukannya penahanan oleh Penyidik menurut Pasal 21 ayat (1)
KUHAP yaitu perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak dan menghilangkan barang bukti
dan atau mengulangi tindak pidana.
Lama penahanan yang dilakukan oleh penyidik terhadap seorang tersangka diatur
dalam KUHAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 yaitu :
(1) perintah penahanan yang diberikan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
(2) jangka waktu sebagaimana tersebut ayat (1) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh
penuntut umum untuk paling lambat empat puluh hari
Tugas dan wewenang seorang penyidik lainnya adalah melakukan penyitaan
terhadap barang-barang yang diduga berkaitan dengan suatu tindak pidana.
Sebagaimana diatur Pasal 1 angka 16 KUHAP, penyitaan adalah serangkaian tindakan
penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda
bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Selanjutnya ketentuan
penyitaan terhadap barang bukti tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
KUHAP, Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua
Pengadilan Negeri setempat, namun dalam keadaan mendesak, Penyitaan tersebut dapat
dilakukan penyidik lebih dahulu dan kemudian setelah itu wajib segera dilaporkan ke
Ketua Pengadilan Negeri, untuk memperoleh persetujuan.
Selama proses penyidikan terhadap tersangka, penyidik melengkapi berkas
perkara penyidikan dan berkoordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum. Sebagaimana
ketentuan Pasal 8 KUHAP yaitu :
(1) penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain diundang-undang ini;
(2) penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; (3) penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan;
a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara. b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Apabila berkas penyidikan sudah lengkap, selanjutnya penyidik menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Sampai dengan proses
ini dilaksanakan, tugas dan wewenang Penyidik sudah selesai terhadap penanganan
tindak pidana tersebut.
2.2 Perlindungan Penyu Hijau
Negara Indonesia merupakan negara yang dianugerahi kekayaan sumber daya
alam yang berlimpah. Kekayaan yang di miliki Indonesia baik di darat, di laut dan di
udara, merupakan modal besar dalam usaha pembangunan nasional. Modal besar yang
dimiliki negara Indonesia haruslah dilindungi dan dilestarikan guna kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagaimana diatur dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya memuat beberapa konsep-konsep yang relevan dalam konservasi.
Beberapa konsep tersebut antara lain konservasi sumber daya alam hayati, ekosistem
sumber daya alam hayati kawasan suaka alam, cagar biosfer, kawasan pelestarian alam
taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam.75 Sejarah ide konservasi
berkembang di Eropa dan kemudian Indonesia pun terkena imbasnya, terutama pada
masa kolonial Belanda.
Kekayaan sumber daya alam, baik flora maupun fauna merupakan unsur
pendukung pembentuk lingkungan hidup. Sehingga selayaknyalah pemerintah Indonesia
dengan didukung seluruh rakyatnya berupanya untuk menjaga kekayaan hayati tersebut
dengan pemanfaatan yang bijaksana. Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya berkaitan dengan tercapainya tiga sasaran konservasi yaitu :
75Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, Cetakan ke-1, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal 181.
1. menjamin terpeliharanya proses ekologi yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sitem penyangga kehidupan)
2. menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetic dan tipe-tipe ekositemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan tekhnologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah)
3. mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetic, polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan secara lestari).76
Secara umum bentuk konservasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu
:
1. Konservasi in situ adalah kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan di dalam habitat aslinya. Konservasi in situ mencakup kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam)
2. Konservasi ek situ yaitu konservasi flora/fauna yang dilakukan diluar habitat aslinya. Konservasi ek situ dilakukan oleh lembaga konservasi, seperti kebun raya, arbetrum, kebun binatang, dan lain-lain.77
Sedangkan menurut proses terjadinya, sumber daya dapat dibedakan menjadi dua bagian
yaitu :
1. Sumber daya buatan, yaitu sumber daya yang sengaja dibuat manusia untuk
memenuhi kebutuhannya. Contoh : waduk, danau, tempat rekreasi, areal
pertanian, perkebunan dan lain-lain.
2. Sumber daya alam, yaitu sumber daya yang tersedia di alam secara alami.
Contoh: hutan, air, tanah, ikan, satwa, udara, dan sebagainya.78
76M. Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 110. 77Muhamad Erwin, 2008, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan
Lingkungan Hidup, Refika Aditama,Bandung, hal 149-150
Pemanfaatan sumber daya alam merupakan proses yang yang menimbulkan
dampak terhadap lingkungan, baik dampak positif maupun negatif.79 Pengawasan yang
baik oleh pemerintah sangatlah diperlukan dalam proses pemanfaatan sumber daya
alam. Sesuai dengan Undang-undang KSDAHE agar sumber daya alam yang dimiliki
negara Indonesia dapat bermanfaat baik untuk masa sekarang dan masa akan datang.
Pemanfaatan tumbuhan dan satwa yang diperlukan pengawasan ketat adalah terhadap
jenis satwa maupun tumbuhan yang terancam punah. Jenis tumbuhan atau satwa yang
terancam punah sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 20 ayat (2) Undang-
undang KSDAHE adalah :
Jenis tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan meliputi jenis tumbuhan dan satwa yang dalam keadaan bahaya nyaris punah dan menuju kepunahan. Tumbuhan dan satwa endemik adalah tumbuhan dan satwa yang terbatas penyebarannya, sedangkan jenis yang terancam punah adalah karena populasinya sudah sangat kecil serta mempunyai tingkat perkembangbiakan yang sangat lambat, baik karena pengaruh habitat maupun ekositemnya.
Perlindungan terhadap berbagai sumber daya alam yang meliputi tumbuhan dan
satwa, sudah diatur dalam Undang-undang KSDAHE ini. Perlindungan yang dimaksud
terkait pelarangan pemanfaatan terhadap tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (1) Undang-undang KSDAHE yaitu :
1) Setiap orang dilarang untuk : a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
78Karden Eddy Sontang Manik, 2009, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Cetakan ke-3, Ikrar
Mandiri Abadi, Jakarta, hal 47. 79Ibid, hal 48
Sedangkan perlindungan terhadap satwa juga diatur sebagaimana ketentuan Pasal 21 ayat
(2) Undang-undang KSDAHE yang sudah penulis uraikan di dalam Bab I tentang
Pembahasan.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 21 Ayat (1) dan (2) akan dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-undang KSDAHE. Dalam Undang-undang
KSDAHE terdapat sanksi berupa ancaman hukuman penjara dan denda. Umumnya sanksi
itu muncul dalam bentuk pemidanaan, pengenaan secara sadar dan matang suatu azab
oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu
aturan hukum.80 Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada pelaku yang telah
melakukan perbuatan pidana.81
Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan dalam
menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang bersalah karena melakukan suatu
perbuatan tindak pidana. Sehingga pidana memiliki unsur-unsur dan ciri-ciri yaitu :
1. Pidana itu hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-undang
4. Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh Negara atas diri seseorang karena telah melanggar hukum.82
Sedangkan sanksi pidana menurut Herbert L.Packer dalam bukunya yang berjudul The
Limits of Criminal Sanction adalah :
80Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.7
81H. Salim, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Cetakan ke-2, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.149
82 Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 186
“Criminal punishment means simply any particular disposition or the range or
permissible disposition that the law authorizes (or appears to authorizes) in cases
of person who have been judged through the distinctive processes of the criminal
law to be guilty of crime”. 83(terjemahan menurut penulis : sanksi pidana
merupakan pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah
(perbuatan pidana) melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan
(hukum) karena melakukan suatu kejahatan)
Hukum pidana di Indonesia mengenal beberapa jenis hukuman pidana, baik yang
diatur dalam KUHP maupun yang diatur di luar KUHP. Jenis hukuman pidana dibagi
dua berdasarkan Pasal 10 KUHP yaitu :
Pidana pokok terdiri dari
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
5. Pidana tutupan.
Sedangkan pidana tambahan terdiri dari :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
Di dalam Undang-undang KSDAHE ini, ancaman hukuman terhadap pelaku tindak
pidananya adalah hukuman penjara, kurungan dan denda.
83 Herbert L.Packer, Op. Cit., hal. 35
Pemberlakuan sanksi pidana dan kurungan yang disertai denda dalam Undang-
undang KSDAHE ini secara tidak langsung bertujuan untuk memberikan hukuman bagi
pelaku tindak pidana sebagai konsekwensi dari tindak pidana yang dilakukan. Tujuan
pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan
pidana.84 Untuk mencapai ketertiban masyarakat, pidanya memiliki 3 macam sifat yaitu
:
1) Bersifat menakut-nakuti
2) Bersifat memperbaiki
3) Bersifat membinasakan.85
Dari ketiga sifat tersebut di atas, lebih lanjut Ledeng Marpaung menjelaskan bahwa :
a. Menjerakan Dengan penjatuhan hukuman, diharapkan si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie)serta masyarakat umum mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, maka akan mengalami hukuman yang serupa (general preventie)
b. Memperbaiki pribadi terpidana Berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna.
c. Membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya Membinasakan berarti menjatuhkan hukuman mati, sedangkan membuat terpidana tidak berdaya dilakukan dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup. 86
Penerapan sanksi pidana diberlakukan terhadap seseorang yang melanggar
ketentuan perundang-undangan. Tujuan sanksi pidana tidak lepas dari teori pemidanaan
antara lain teori absolut atau teori pembalasan (retributif/vergeldings theori), teori
84Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana, Cetakan ke 6, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 162 85Ibid 86 Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana,Sinar Grafika, Jakarta, hal. 4
(selanjutnya disebut Ledeng Marpaung I)
relative dan teori gabungan. Dasar pijakan dari teori absolut ialah pembalasan. Teori ini
mengatakan bahwa dijatuhkan pidana kepada seseorang semata-mata karena orang telah
melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quapeccatum est).87 Menurut Johanes
Andenaes tujuan utama dari pidana menurut teori ini adalah untuk memuaskan tuntutan
keadilan (to satisfy the claims of justice).88
Menurut Nigel Walker, ada dua golongan penganut teori retributif yaitu :
1. Penganut Teori Retributif terbatas (The Limiting Retributivist) yang berpandangan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang lebih penting adalah keadaan tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi dalam hukum pidana itu harus tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk penetapan kesalahan pelanggaran.
2. Penganut Teori Retributif distribusi (retribution in distribution). Penganut teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus dirancang dengan pandangan pembalasan, namun juga gagasan bahwa seharusnya ada batas yang tepat dalam retribusi pada beratnya sanksi. 89
Teori yang kedua adalah teori relatif. Menurut teori ini, pemidanaan terhadap pelaku
kejahatan bukan semata-mata untuk memenuhi tuntutan absolut dari keadilan. J.
Andenaes berpendapat bahwa teori ini dapat disebut sebagai teori perlindungan
masyarakat (The Theory Social Defence).90 Teori ini berpendapat bahwa tujuan
pemidanaan bukan hanya sekedar untuk melakukan pembalasan dan penistaan semata
kepada pelaku perbuatan pidana, akan tetapi mempunyai tujuan-tujuan lain yang lebih
bermanfaat bagi pembinaan pelaku perbuatan pidana atau terpidana.91 Sedangkan teori
yang ketiga adalah teori gabungan. Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas
pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu
87Syahrul Machmud, 2007, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
hal. 157. 88Syahrul Machmud, Loc Cit. 89M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double System dan
Implementasinya), Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 36 90Ibid, hal. 157 91Ibid, hal. 158
menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi 2
golongan besar, yaitu :92
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetpi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.
Berdasarkan ketiga teori pemidanaan di atas, Muladi memunculkan konsep tujuan
pemidanaan yang disebutnya sebagai tujuan pemidanaan yang integratif (kemanusiaan
dalam sistem Pancasila).93 Teori tujuan pemidanaan integratif tersebut berakar dari
asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan,
keselaraasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang menimbulkan kerusakan
individu dan masyarakat, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan-
kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana. Pada dasarnya sanksi dalam hukum
pidana ancaman dengan hukum yang bersifat penderitaan atau siksaan. Oleh karena itu
sanksi pidana yang merupakan penderitaan atau siksaan (leed) adalah sebagai obat
terakhir (uiterste middle/ultimum remedium).94
Perlindungan terhadap satwa dan tumbuhan terancam punah menurut Undang-
undang KSDAHE juga mengatur tentang pemanfaatan tumbuhan dan satwa untuk
kepentingan penelitian. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang KSDAHE
yaitu :
a. Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan.
92http://rafi-thegunners.blogspot.com/2011/01/teori-teori-pemidanaan.html, diakses pada hari
Sabtu, tanggal 20 April 2013, pukul 22.30 wita. 93M. Sholehuddin, Op. Cit., hal 51 94Satochid Kartanegara,1985, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, hal. 56
b. Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.
c. Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia.
d. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kegiatan perlindungan terhadap konservasi sumber daya alam hayati merupakan
tugas dari pemerintah yang dilaksanakan oleh penegak hukum baik dari kepolisian
maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berwenang dalam menangani
pelanggaran maupun tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang KSDAHE.
Selain tugas penegak hukum, perlindungan konservasi sumber daya alam hayati juga
melibatkan peran serta dari masyarakat. Sebagaimana ketantuan Pasal 37 Undang-
undang KSDAHE yaitu :
a. Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
b. Dalam mengembangkan peranserta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.
c. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penyu hijau, merupakan salah satu dari species penyu laut yang keberadaannya
terancam punah. Alasan dilindunginya penyu hijau dikarnakan populasinya sudah
sangat kecil dan tingkat perkembangbiakannya sangat lambat. Hewan ini baru mencapai
umur dewasa sekitar 30-50 tahun. Dari hasil pengamatan para ahli ternyata dari 1000
butir telur yang menetas menjadi tukik (bayi penyu), hanya satu ekor yang mampu
hidup sampai dewasa. Hal ini mengakibatkan peremajaan penyu sangat lambat.95
Selain upaya perlindungan hukum berdasarkan Undang-undang KSDAHE,
perlindungan terhadap populasi penyu hijau di Bali khususnya Denpasar Selatan adalah
dengan didirikannya TCEC yang merupakan salah satu alternatif menyelamatkan penyu
hijau yang terancam punah. TCEC (Turtle Conservation and Education Center)
merupakan wahana konservasi yang diprakarsai oleh sejumlah tokoh pelestarian
lingkungan di Bali, WWF, dan Pemerintah Provinsi Bali, yang beralamat di Jalan Tukad
Wisata No. 4, Kelurahan Serangan, Denpasar Selatan.96
Punahnya penyu hijau dapat berdampak negatif terhadap keseimbangan
lingkungan. Keluarga penyu laut, merupakan komponen penting dari keanekaragaman
sumberdaya hayati laut yang menjaga keseimbangan lingkungan laut.97 Mereka
merupakan salah satu komponen dalam tatanan lingkungan perairan pantai Indonesia.
Bahkan penyu laut merupakan bagian dari budaya masyarakat pantai. Sehingga secara
tidak langsung proses konservasi penyu hijau merupakan langkah yang harus diambil
guna mempertahankan populasi yang sudah terancam punah.
Kegiatan konservasi ini merupakan langkah kongkrit guna melestarikan kembali
jenis-jenis penyu laut yang mulai terancam punah disamping penegakan hukum.
Beberapa tempat konservasi penyu laut di Bali, memiliki konsep yang sama yaitu
dengan mengambil atau memindahkan telur-telur penyu yang berada disarang alami
yaitu di pinggir pantai, kemudian ditempatkan dalam sarang buatan yang letaknya lebih
95Nevianty Putri Zamani, dkk, 1998, Penyu Laut Indonesia Lestarikan atau Punah Selamanya,
Rhika Dewata, Singaraja, hal 7. 96http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/konservasi-penyu-pulau-serangan-melestarikan-
keberadaan-reptil-bercangkang , diakses pada hari Selasa, tanggal 25 Maret 2014, pukul 19.30 wita 97Ibid, hal 14
terlindungi dari pemangsa-pemangsa, juga terhindar dari abrasi pantai. Kemudian
beberapa minggu berikutnya, pada saat telur-telur tersebut menetas maka tukik-tukik
(bayi penyu) tersebut akan dilepasliarkan ke laut sebagai habitat aslinya.
TCEC merupakan upaya untuk menjaga kepunahan beberapa jenis Penyu Laut
dengan metode Konservasi ex situ. Sebagaimana ketentuan Pasal 15 Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 yaitu :
(1) Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa diluar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a dilaksanakan untuk menyelamatkan sumber daya genetik dan populasi jenis tumbuhan dan satwa.
(2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi juga koleksi jenis tumbuhan dan satwa di lembaga konservasi.
(3) Pemeliharaan jenis diluar habitat wajib memenuhi syarat : a. memenuhi standar kesehatan tumbuhan, dan satwa; b. menyediakan tempat yang cukup luas, aman, dan nyaman; c. mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan
pemeliharaan. (4) ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan jenis di luar habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) diatur oleh Menteri. Berdirinya TCEC ini didorong kuat oleh maraknya praktek jual-beli dan
pemotongan penyu hijau di Bali, khususnya di Pulau Serangan dan Tanjung Benoa.
Penyu hijau memang tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan ritual keagamaan
masyarakat Bali yang menjadikannya salah satu syarat persembahan dan sesajian dalam
upacara tertentu. Namun kebutuhan terhadap penyu hijau sebagai kebutuhan adat sering
dijadilan bemper bagi pelaku perdagangan penyu hijau.
Pengelolaan TCEC memiliki konsep 3E yaitu Edukasi, Ekologi, dan Ekonomi.
Sebagai pengadaan infrastrukturnya, TCEC dibantu oleh Pemerintah Provinsi Bali,
Pemerintah Kota Denpasar, sedangkan dana operasional awal, TCEC didukung oleh
WWF (World Wildlife Fund). Pelaksanaan pengelolaan penyu hijau di TCEC didukung
oleh fasilitas berupa wantilan sebagai ruang edukasi, kolam pembesaran, kolam
eksebisi, tempat penetasan dan juga area bumi perkemahan. Tanah yang digunakan
TCEC merupakan tanah milik Desa Serangan dengan luas kira-kira 82 are. Sedangkan
misi pendirian TCEC sendiri adalah penyediaan penyu untuk upakara dari hasil
pembesaran.
TCEC berperan sebagai tempat transit bagi proses reproduksi penyu. Bersama
mitra masyarakat nelayan yang telah dibina, TCEC mengumpulkan telur-telur penyu
dari pantai saat musim bertelur tiba, yaitu sekitar bulan Juli-Agustus. Telur-telur ini
kemudian ditetaskan dan dipelihara hingga berusia kurang lebih 3-5 bulan. Ketika
itulah, tukik atau anak penyu ini secara massal dilepaskan kembali ke laut agar dapat
tumbuh di habitat aslinya. Sebagai sarana wisata pendidikan, terdapat beberapa fasilitas
di TCEC yang memungkinkan masyarakat menggali wawasan mengenai proses yang
berlangsung dalam penyelamatan hewan langka ini. Di sisi timur (depan), terdapat area
penetasan penyu yang berukuran kurang lebih 2x2 meter. Di area ini, setiap kelompok
telur yang ditemukan nelayan ditempatkan dalam satu lubang. Sedangkan di bagian
tengah, terdapat sebuah kolam eksebisi. Di kolam ini, para pengunjung dapat melihat
penyu-penyu dewasa. Sementara, di sisi barat, terdapat balai berisi kolam-kolam
berukuran masing-masing 2,5x2,5 meter yang menjadi tempat pembesaran tukik dari
usia 0-3 bulan.
Masyarakat dapat melihat tiga dari enam jenis penyu yang hidup di Indonesia,
yaitu penyu hijau, penyu sisik, dan penyu lekang. Penyu hijau memiliki kontur
cangkang yang bersisik tetapi bertekstur halus. Berbeda dengan penyu sisik yang
memiliki cangkang dengan kontur yang lebih kasar dan terlihat tajam serta berlapis-
lapis layaknya sisik ikan. Adapun penyu lekang memiliki bentuk sisik paling halus
dengan bentuk sisik tengah yang membulat dan sisik samping memanjang. Ketiga jenis
penyu yang dapat diamati di Pulau Serangan ini merupakan penyu-penyu yang secara
alami bertelur di perairan Bali.
Empat aspek fundamental dari TCEC termasuk mengakhiri perdagangan penyu
dengan mendorong masyarakat agar tidak mengkonsumsi produk-produk penyu (baik
untuk keperluan agama atau yang lainnya), dan secara umum mendukung konservasi
penyu; menyediakan penyu untuk upacara keagamaan tanpa harus membunuhnya, dan
memonitor ukuran dan jumlah penyu.98 Hal ini untuk mengendalikan dengan ketat
penggunaannya; membuka kesempatan kerja bagi masyarakat lokal Serangan; dan pada
akhirnya menjadi pengawas bagi perdagangan penyu khususnya di Serangan, dan secara
umum di Bali.
98www.wwf.or.id/tentang_wwfupaya_kami/marine/howwework/endangeredmarinespecies/tcec.cfh
. diakses pada hari Selasa, tanggal 25 Maret 2014, pukul 19.30 wita.
BAB III
PROSES PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG PENYIDIK
DIREKTORAT KEPOLISIAN PERAIRAN DAERAH BALI
3.1 Direktorat Kepolisian Perairan Daerah Bali 3.1.1. Stuktur Organisasi Direktorat Kepolisi Perairan Daerah Bali
Kepolisian Perairan Polda Bali berdiri pada tanggal 1 Desember 1980 dengan
sebutan Satuan Polisi Perairan Polda Nusra, yang pada saat itu struktur organisasinya
dibawah Direktorat Samapta Polda Nusra. Pada awal berdirinya Sat Pol Air Polda Nusra
dipimpin oleh Letkol Pol. PL. GASPER dengan jumlah personil pada saat itu sebanyak
6 (enam) orang yang terdiri dari Bintara dan Tamtama, sedangkan untuk Alat Utama
(alut) pada saat itu baru berjumlah 1 (satu) unit Kapal Patroli kelas C3 dengan nomor
lambung 201.99
Sejak awal berdirinya 1 Desember 1980 sampai dengan Tahun 2010, Direktorat
Kepolisian Perairan Polda Bali mengalami beberapa kali perubahan bentuk organisasi
diantaranya :
1. Tahun 1980 sampai dengan Tahun 1996 disebut Sat Pol Air Polda Nusra dibawah stuktur organisasi Direktorat Samapta.
2. Tahun 1996 sampai dengan Tahun 1999 sebutan Sat Pol Air Polda Nusra berubah menjadi Satuan Polisi Perairan polda Bali di bawah organisasi Direktorat Samapta.
3. Tahun 1999 sampai dengan 2000 Satuan Polisi Perairan Polda Bali berubah menjadi Satuan Polisi Perairan Khusus Polda Bali di bawahDirektorat Samapta.
4. Tahun 2000 sampai sekarang, Satuan Polisi Perairan Khusus Polda Bali berubah menjadi Direktorat Kepolisian Perairan Polda Bali yang sejajar dengan Direktorat di lingkungan Polda Bali.100
99Ibid, hal.5 100Selayang Pandang Dit Pol Air Polda Bali, Loc Cit
Direktorat Kepolisian Perairan Polda Bali, selanjutnya disingkat Dit Pol Air,
merupakan pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolda Bali, yang bertugas
menyelenggarakan fungsi Kepolisian Perairan yang mencakup, patrol, TPTKP di
Perairan, SAR (Search And Rescue) di wilayah Perairan, penegakan hukum, dan binmas
pantai serta pembinaan fungsi Kepolisian Perairan dalam lingkungan Polda. Organisasi
Dit Pol Air sebagaimana organisasi pada umumnya, dalam penyelenggaraan tugas
sehari-hari adalah berupa hubungan antar pejabat dalam organisasi tersebut. Hubungan
tersebut diatur dalam bentuk hubungan dan tata kerja sesuai prinsip-prinsip organisasi
yang berlaku pada organisasi Polri baik hubungan vertikal, horizontal, diagonal dam
lintas sektoral.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Peraturan Direktur Kepolisian Perairan No. 1
Tahun 2012 tentang Hubungan Tata Cara Kerja Di Lingkungan Direktorat Kepolisian
Perairan Polda Bali yaitu :
1. Unsur Pimpinan a. Direktur Kepolisian Perairan Polda Bali (Dirpolair); dan b. Wakil Direktur Kepolisian Perairan Polda Bali (Wadirpolair).
2. Unsur pembantu pimpinan/pelayanan a. Bagian Pembinaan Operasional (Bagbinopsnal); dan b. Sub Bagian Perancanaan dan Administrasi (Subbag Renmin).
3. Unsur pelaksana tugas pokok a. Sub Direktorat Penegakan Hukum (Subdit Gakkum); b. Satuan Patroli Daerah (Satrolda) c. Sub Direktorat Fasilitas, Pemeliharaan, dan Perbaikan (Subditfasharkan);
dan d. Kapal.
Pelaksanaan program kerja Direktorat Kepolisian Perairan Polda Bali tidak
terlepas dari visi dan misi Dit Pol Air. Visi yang diemban yaitu mewujudkan Polisi
Perairan sebagai Pembina Kamtibmas dan Gakkum di wilayah Perairan Indonesia dalam
rangka memberikan pelayanan, perlindungan dan pengayoman terhadap masyarakat
pesisir dan kelautan maritim yang profesional, modern dan dipercaya masyarakat.
Sedangkan misi Dit Pol Air adalah :
1. Menjamin keamanan dan ketentraman di wilayah perairan Polda Bali 2. Memelihara ketertiban masyarakat pesisir serta memberikan pelayanan dan
kepastian hukum. 3. Mendorong perangkat masyarakat untuk lebih berperan aktif dalam
mewujudkan kehidupan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera. 4. Memberikan bantuan terhadap korban bencana alam (SAR). 5. Membantu keselamatan pelayaran. 6. Meningkatkan kerjasama baik lintas internal, eksternal, sektoral maupun
internasional. 101
Direktorat Kepolisian Perairan Daerah Bali, berkedudukan di Jalan Raya
Pelabuhan Benoa, dengan jumlah kekuatan personil sebanyak 307 (tiga ratus tujuh)
personil yang tersebar di berbagai wilayah seluruh perairan Polda Bali, antara lain :
1. Pos Pol Air Gilimanuk Jemberana, dengan jumlah personil sebanyak 21 (dua puluh satu) orang dengan didukung 2 (dua) Kapal Polisi yaitu KP 301 dan KP 205.
2. Pos Pol Air Pengambengan Jemberana, dengan jumlah personil sebanyak 14 (empat belas) orang dengan didukung 2 (dua) Kapal Polisi yaitu KP 211 dan KP 220.
3. Pos Pol Air Anturan Singaraja, dengan jumlah personil sebanyak 15 (lima belas) orang dengan didukung 2 (dua) Kapal Polisi yaitu KP 302 dan KP 207.
4. Pos Pol Air Teluk Terima Singaraja, dengan jumlah personil sebanyak 10 (sepuluh) orang dengan didukung 1 (satu) Kapal Polisi yaitu KP 208.
5. Pos Pol Air Tejakula Singaraja, dengan jumlah personil sebanyak 7 (tujuh) orang dengan didukung 1 (satu) Rubber Boat.
6. Pos Pol Air Kubu Karangasem, dengan jumlah personil sebanyak 10 (sepuluh) orang dengan didukung 1 (satu) Kapal Polisi yaitu KP 224.
7. Pos Pol Air Busa Dua Badung, dengan jumlah personil sebanyak 10 (sepuluh) orang dengan didukung 1 (satu) Rubber Boat.
8. Pos Pol Air Celukan Bawang Singaraja, dengan jumlah personil sebanyak 4 (empat) orang dengan didukung 1 (satu) Kapal Polisi yaitu KP 216.
9. Pos Pol Air Padang Bay Karangasem, dengan jumlah personil sebanyak 11 (sebelas) orang dengan didukung 2 (dua) Kapal Polisi yaitu KP 221 dan KP 303.
10. Pos Pol Air Sanur, dengan jumlah personil sebanyak 11 (sebelas) orang dengan didukung 1 (satu) Kapal Polisi yaitu KP 203.
101Direktorat Kepolisian Perairan polda Bali, 2012, Rancangan Rencana Kerja Direktorat
Kepolisian Perairan Polda Bali Tahun Anggaran 2013. Hal. 11
11. Pos Pol Air Serangan, dengan jumlah personil sebanyak 5 (lima) orang dengan didukung 1 (satu) Kapal Polisi yaitu KP 304.
12. Pos Pol Air Tanjung Benoa, dengan jumlah personil sebanyak 10 (sepuluh) orang dengan didukung 1 (satu) Kapal Polisi yaitu KP 223.
13. Pos Pol Air Kedonganan, dengan jumlah personil sebanyak 11 (sebelas) orang dengan didukung 1 (satu) Rubber Boat.
14. Pos Pol Air Kuta, dengan jumlah personil sebanyak 10 (sepuluh) orang. 15. Pos Pol Air Yeh Gangga, dengan jumlah personil sebanyak 11 (sebelas)
orang dengan didukung 1 (satu) Rubber Boat. 16. Pos Pol Air Kintamani, dengan jumlah personil sebanyak 12 (dua belas)
orang dengan didukung 1 (satu) Rubber Boat. 17. Sedangkan jumlah personil yang bertugas di Mako Dit Pol Air Benoa beserta
jajaran pos Kapal berjumlah 144 (seratus empat belas) orang.102
Lebih lanjut Dit Pol Air mengalami perubahan organisasi yaitu dengan
pembentukan Satuan Polisi Perairan Kewilayahan. Rujukan yang digunakan sebagai
acuan pembentukan Satuan Polisi Perairan Kewilayahan antara lain :
1. Peraturan Kapolri Nomor 23 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor.
2. Surat Kababinkam Polri kepada Para Kapolda Nomor : B/2569/VII/2010 Babinkam, tanggal 7 Juli 2010 tentang Pembentukan Sat Pol Air Res/Tabes.
3. Keputusan Kapolri Nomor : Kep/704/XI/2010 tanggal 11 Nopember 2010 tentang Struktur Organisasi dan Daftar Susunan Personil Satuan Kepolisian Perairan pada tingkat Polres dan Unit Kepolisian Perairan pada tingkat Polsek.
4. Surat Kapolda Bali Nomor B/10056/XI/2010/ Polda Bali, tanggal 29 Nopember 2010 tentang usulan Pembentukan Sat Pol Air Polresta dan Polres di jajaran Polda Bali.103
Berdasarkan rujukan-rujukan di atas, terbitlah keputusan Kapolri tentang
Pembentukan Sat pol Air Polresta dan Polres antara lain :
1. Keputusan Kapolri nomor : Kep /46/ I/2011 tentang Pembentukan 102 Satuan
Kepolisian Perairan pada tingkat Polresta/Res diantaranya :
a. Sat Pol Air Polresta Denpasar
b. Sat Pol Air Polres Jembrana
102Data Personil Dit pol Air Polda Bali sampai bulan Pebruari 2011. 103Selayang Pandang Dit Pol Air Polda Bali, Op Cit, hal 7
c. Sat Pol Air Polres Tabanan
d. Sat Pol Air Polres Buleleng
e. Sat Pol Air Polres Badung.
2. Keputusan Kapolri nomor : Kep /485/ IX/2011 tentang Pembentukan 49 Satuan
Kepolisian Perairan pada tingkat Polresta diantaranya :
a. Sat Pol Air Polres Klungkung
b. Sat Pol Air Polres Karangasem
3. Keputusan Kapolri nomor : Kep /362/ VI/2012 tentang Pembentukan 24 Satuan
Kepolisian Perairan pada tingkat Polresta diantaranya :
a. Sat Pol Air Polres Gianyar
b. Sat Pol Air Polres Bangli.
Sesuai dengan keputusan-keputusan Kapolri diatas, maka secara sah personil-
personil Polisi Perairan maupun Alat Utamanya diserah terimakan kepada Polresta
maupun Polres dimana Pos Pol Air tersebut bertempat. Dengan demikian secara
langsung, jumlah personil Direktorat kepolisian Perairan Polda Bali mengalami
pengurangan akibat pergeseran personil tersebut. Setelah pergeseran ke kewilayahan,
jumlah personil Direktorat Kepolisian Perairan berjumlah 187 (seratus delapan puluh
tujuh) dengan rincian pada tabel 2.
Tabel 2
Jumlah Personil Direktorat Polisi Perairan Daerah Bali
No
PANGKAT
JUMLAH
KET
1.
2.
3.
4.
5.
PAMEN (Perwira Menengah) PAMA (Perwira Pertama) BINTARA TAMTAMA PNS (Pegawai Negeri Sipil)
Jumlah
10
11
145
20 1
187
Data : Jumlah personil Dit Pol Air Polda Bali, Tahun 2013
Berkurangnya jumlah personil Direktorat Polisi Perairan Polda Bali diikuti dengan
berkurangnya jumlah Kapal Polisi yang ada. Setelah pergeseran personil
kekewilayahan, jumlah Kapal Polisi Tipe C2 berjumlah 4 (empat) unit, sedangkan Tipe
C3 berjumlah 10 (sepuluh) unit, dengan didukung Rubber Boat sebanyak 9 (sembilan)
unit.
3.1.2. Direktorat Kepolisian Perairan Daerah Bali selaku penegak hukum
Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol : KEP / 53 / X / 2002, tanggal 17
Oktober 2002, Pasal 28 ayat 2 menyebutkan bahwa Direktorat Kepolisian Perairan
bertugas membina dan dalam batas kewenangan yang ditentukan menyelenggarakan
fungsi Kepolisian Perairan dalam rangka melayani, melindungi, mengayomi serta
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dan menegakkan hukum di wilayah
perairan Republik Indonesia.
Penegak hukum di wilayah perairan Indonesia berdasarkan Undang-undang yang
ada, setidaknya terdapat 8 (delapan) lembaga pemerintah yang diberikan wewenang di
wilayah laut oleh masing-masing perundang-undangan yakni Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), Kepolisian RI (Polri), Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan (PPNS KKP), Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Kementerian Perhubungan (PPNS Kemenhub), Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bea
Cukai (PPNS Bea Cukai), Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi (PPNS Imigrasi),
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Lingkungan Hidup ( PPNS LH), dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kehutanan (PPNS Kemenhut). Bahkan jika
merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, ke
delapan lembaga tersebut memiliki kewenangan penegakan hukum di laut.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
memberikan kewenangan kepada TNI AL. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya penegak
hukum di wilayah laut adalah TNI AL, Polri dan PPNS Kemenhut, tergantung di
perairan mana tindak pidana tersebut terjadi. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992
tentang Keimigrasian memberikan kewenangan kepada Polri dan PPNS Imigrasi. Dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang berwenang
adalah PPNS LH selain TNI AL dan Polri. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor
45 Tahun 2009 tentang Perikanan kewenangan penegakan diberikan kepada PPNS KKP
selain pada TNI AL dan Polri. PPNS Bea Cukai dan Polri mendapat mandat penegakan
hukum di laut dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
Kewenangan melakukan penyidikan yang diberikan oleh Undang-undang
KSDAHE sebagaimana dimaksud pasal 39 ayat (1) dan (2), yang berhak melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
adalah penyidik dari Kepolisian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL). Namun kewenangan menyidik yang
diberikan oleh Undang-undang KSDAHE ini juga berdasarkan posisi di perairan mana
tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terjadi.
Penyidik Dit Pol Air memiliki kewenangan melakukan penegakan hukum di wilayah
laut teritorial, sebagimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang
Perikanan Pasal 1 angka 20 yaitu Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12
(dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Sedangkan
kewenangan penegakan hukum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL)
adalah di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sebagaimana ketentuan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
Pasal 2 yaitu Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan
dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang
yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya
dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal
laut wilayah Indonesia. Untuk tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang terjadi di darat, penyidik Polri juga memiliki juga memiliki
kewenangan melakukan penegakan hukum yang dalam hal ini merupakan tugas Reserse
Kriminal Khusus (Reskrimsus) yang ada di jajaran Polda maupun Polres. Sedangkan
PPNS dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya baik di darat maupun di perairan. Namun PPNS dari BKSDA
Provinsi Bali, sampai saat ini belum pernah melakukan penyidikan sendiri terhadap tindak
pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya khususnya perdagangan
penyu hijau.
Dit Pol Air selaku bagian dari Polri dalam melaksanakan penegakan hukum (law
enforcement) dibatasi oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
Joseph Goldstein tentang konsep penegakan hukum yang pertama yaitu Total
Enforcement. Penegakan hukum oleh Dit Pol Air tidak dapat dilaksanakan secara
maksimal (Full Enforcement), karena karena adanya keterbatasan-keterbatasan dalam
bentuk waktu, personal, financial (dana) dan sarana-sarana dalam penyidikan dan
sebagainya. Kesemuanya ini mengakibatkan keharusan untuk dilakukan diskresi. Dalam
ruang lingkup yang digambarkan tersebut maka timbullah penegak hukum yang ketiga
Actual Enforcement; Pada penegakan hukum ini, penegakan hukum harus di lihat
sebagai bagian dari diskresi yang tidak dapat dihindarkan karena keterbatasan-
keterbatasan, sekalipun pemantauan secara terpadu akan memberikan umpan yang
positif. Diskresi oleh penyidik sebagaimana dimaksud Pasal 18 Undang-undang
Kepolisian yaitu :
(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pelaksanakan penegakan hukum Dit Pol Air diemban oleh Subdit Gakkum yang
dijabat oleh Ajun Komisaris Besar Polisi Handoyo Supeno, sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 22 dan 23 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja pada tingkat Polda, Polres, dan Polsek, sebagaimana ketentuan Pasal 207
yaitu :
(1) Subditgakkum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 huruf c bertugas menyelenggarakan pembinaan tekhnis kepolisianperairan di bidang penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, penindakan pelanggaran dan penanganan kecelakaan perairan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Subditgakkum menyelenggarakan fungsi : a. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana serta penindakan pelanggaran
hukum dan penanganan kecelakaan di perairan; b. Perawatan tahanan dan barang bukti; dan c. Koordinasi dan kerjasama dengan pihak terkait dalam penegakan hukum.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Sunditgakkum dibantu oleh : a. Seksi Penyelidikan (Silidik), yang bertugas melaksanakan penyelidikan
tindak pidana dan/atau pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah perairan Polda; dan
b. Seksi Tindak (Sitindak), yang bertugas melaksanakan penegakan hukum terhadap tindak pidana dan/atau pelanggaran hukum dan kecelakaan yang terjadi di wilayah perairan Polda, serta perawatan tahanan dan barang bukti.
Dalam proses pelaksanaan penegakan hukum, Subdit Gakkum juga berkoordinasi
dengan Satuan Patroli Daerah (Satrolda) Dit Pol Air yang berdasarkan Peraturan
Kapolri Nomor 22 dan 23 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada tingkat
Polda, Polres, dan Polsek, Pasal 208 yaitu :
(1) Satrolda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 huruf d bertugas menyelenggarakan patroli dan pengawalan di wilayah perairan, kerjasama dalam melaksanakan SAR, Bimas perairan dan pantai dengan instansi/lembaga terkait serta bantuan taktis transportasi perairan.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagimana dimaksud pada ayat (1), Satrolda menyelenggarakan fungsi : a. pelaksanaan patrol dan pengawalan di wilayah perairan Polda serta kerja
sama dalam pelaksanaan SAR perairan; b. pelaksanaan kerjasama dengan instansi atau lembaga terkait dalam rangka
Bimas perairan dan pantai; dan c. pelaksanan bantuan taktis transportasi perairan.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya sebagimana dimaksud pada ayat (1), Satrolda dibantu oleh : d. Seksi Patroli dan Pengawalan (Sipatwalair), yang bertugas melaksanakan
kegiatan patrol dan pengawalan di wilayah perairan Polda; dan e. seksi SAR dan pembinaan Masyarakat Pesisir (Si SAR Binmasair), yang
bertugas merencanakan, melaksanakan dan mengawasi kegiatan SAR perairan dan melaksanakan kerjasama dengan instansi atau lembaga terkait dalam Binmas perairan dan pantai.
Dit Pol Air Polda Bali dalam melaksanakan penegakan hukum di perairan, selain
menjalin koordinasi internal juga melakukan koordinasi eksternal yaitu dengan instansi
terkait yang berhubungan dengan tindak pidana yang di tangani. Salah satu tindak
pidana yang ditangani Dit Pol Air selain tindak pidana Konservasi Sumber Daya Alam
dan Ekosistemnya adalah tindak pidana Pelayaran. Dalam penanganan tindak pidana
Pelayaran sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran, Dit Pol Air melakukan koordinasi terkait penerbitan dokumen-dokumen
kapal ikan yang dikeluarkan oleh Syahbandar Pelabuhan Benoa. Selain berkoordinasi,
dalam penanganan kasus dibidang Pelayaran, penyidik Dit Pol Air Polda Bali juga
meminta pihak dari Syahbandar sebagai saksi ahli dalam proses Penyidikan.
Upaya penegakan hukum di perairan oleh Dit Pol Air khususnya dalam hal proses
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana apabila dikaitkan dengan teori kewenangan,
Dit Pol Air/ Polri memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan wewenang yang melekat pada
jabatannya atau langsung diperoleh dari undang-undang (atribusi).
Selain berpedoman dengan KUHAP dalam melaksanakan proses penyelidikan
maupun penyidikan, Dit Pol Air dalam juga berpedoman dengan Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Managemen
Penyidikan Tindak Pidana. Tujuan dari Peraturan Kapolri ini adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 yaitu :
Tujuan dari peraturan ini: a. sebagai pedoman dalam penyelenggaraan manajemen penyidikan tindak pidana
di lingkungan Polri; b. terselenggaranya manajemen penyidikan yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian secara efektif dan efisien; dan
c. sebagai evaluasi penilaian kinerja penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana guna terwujudnya tertib administrasi Penyidikan dan kepastian hukum
Selain mengatur tentang pedoman terhadap langkah-langkah yang diambil polisi
dalam melakukan penyelidikan maupun penyidikan, Peraturan Kapolri ini juga
memiliki prinsip-prinsip yang harus dijalankan oleh penyidik dalam melaksanakan
tugasnya. Sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 yaitu :
Prinsip-prinsip dalam peraturan ini: a. legalitas, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan; b. profesional, yaitu penyidik/penyidik pembantu dalam melaksanakan tugas,
fungsi dan wewenang penyidikan sesuai kompetensi yang dimiliki; c. proporsional, yaitu setiap penyidik/penyidik pembantu dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan fungsi, peran dan tanggung jawabnya; d. prosedural, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan dilaksanakan sesuai
mekanisme dan tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. transparan, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan secara terbuka yang dapat diketahui perkembangan penanganannya oleh masyarakat;
f. akuntabel, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan; dan
g. efektif dan efisien, yaitu penyidikan dilakukan secara cepat, tepat, murah dan tuntas.
3.2. Implementasi Tugas dan Wewenang Penyidik Dit Pol Air Daerah Bali
terhadap Perlindungan Penyu hijau
Implemtasi tugas dan wewenang penyidik Dit Pol Air terhadap perlindungan
penyu hijau tidak terlepas dari wewenang yang diperoleh penyidik langsung dari
Undang-undang atau disebut kewenangan atribusi. Sebagaimana dimaksud teori
kewenangan dari H.D Van Wijk/ Wilwm Konijnenbelt bahwa Attributie : toekenning
van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan (atribusi adalah
pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ
pemerintahan).
Selain teori kewenangan, untuk membahas permasalahan ini juga dipergunakan
teori bekerjanya hukum/berlakunya hukum Robert B.Siedman. Berdasarkan teori
bekerjanya hukum yang dikemukakan oleh Robert B.Seidman, untuk melihat
bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari 3 elemen yaitu : lembaga
pembuat peraturan, lembaga pelaksana peraturan, dan pemangku peran. Proposisi yang
dikemukakan oleh Robert B. Seidman, yaitu menyangkut 4 hal yang bila
diimplementasikan untuk melihat bekerjanya hukum dalam tindak pidana perdagangan
penyu hijau adalah dengan melihat apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku
saat ini dapat menjadi sarana untuk memberantas tindak pidana perdagangan penyu
hijau termasuk pula ancaman pidana yang tercantum didalamnya. Oleh karena
masyarakat sebagai subyek hukum yang dinamis, maka harus ada pembaharuan hukum
yang menuju kearah lebih baik serta meningkatkan peran pelaksana peraturan
perundang-undangan dalam menerapkan aturan hukum yang ada.
Sebagai payung hukum tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan
penyu hijau adalah Undang-undang KSDAHE dan KUHAP sebagai pedoman penyidik
dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perdagangan penyu hijau.
Adapun proses pelaksanaan tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu
hijau adalah sebagai berikut :
3.2.1. Tahap Penyelidikan
Implementasi menurut kamus bahasa indonesia artinya adalah penerapan,
pelaksanaan.104 Kata implementasi berasal dari bahasa inggris yakni implement. Dalam
Oxford Dictionary, implement berarti carry out (a plan, idea, etc).105 Dalam
implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau di Bali,
peran Dit Pol Air selaku penegak hukum di wilayah perairan sangatlah penting.
Perlindungan Penyu hijau yang dimaksud disini adalah upaya perlindungan penyu hijau
dari perdagangan ilegal yang melalui perairan terotorial Indonesia yang merupakan
wilayah hukum Dit Pol Air.
Proses awal penegakan hukum terkait perlindungan terhadap penyu hijau adalah
tahap penyelidikan. Penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan lebih lanjut. Terhadap
penanganan kasus tindak pidana perdagangan Penyu hijau di Bali, tahapan penyelidikan
diawali dengan mencari dan mengumpulkan informasi terkait kegiatan pengangkutan
Penyu hijau yang akan masuk ke Bali melalui jalur perairan, yang dilaksanakan oleh
anggota Si Lidik Subdit Gakkum. Dalam melakukan penyelidikan, anggota Si Lidik
selalu dilengkapi dengan Surat Perintah Penyelidikan yang ditandatangani oleh penyidik
(Kasubdit Gakkum). Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk
kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan
penangkapan, namun untuk menjamin hak-hak tersangka, penangkapan harus
104 http://kbbi.web.id/implementasi, diakses pada tanggal 3 Pebruari 2014, jam 23.00 wita. 105Martin H. Compiler, 1995, Oxford Learner’s Pocket Dictionary New Edition, Oxford University
Press, Oxford, hal 206
berdasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Dengan kata lain, Penyelidikan adalah
tindakan untuk mendahului Penyidikan.106
Kegiatan penyelidikan terhadap tindak pidana perdagangan penyu hijau adalah
untuk mengetahui perkiraan kapal pengangkut penyu hijau akan berlabuh, serta waktu
kegiatan pengangkutan penyu hijau tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan
Kompol I Putu Suaradinata selaku Kasi Bimas Pol Air :
pengiriman Penyu hijau ke Bali dengan menggunakan kapal biasanya terjadi pada seminggu menjelang hari raya, seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, maupun hari raya lainnya. Sedangkan waktu kapal berlabuh untuk bongkar muatan, sekitar pukul 01.00 s/d 04.00 dini hari. Sedangkan tujuan tujuan perdagangan Penyu hijau itu sendiri adalah Tanjung Benoa, Kelan, dan Pulau Serangan”. Informasi terhadap pengiriman penyu hijau ke Bali juga diperoleh dari nelayan-nelayan dan masyarakat pesisir pantai yang berada di wilayah Denpasar Selatan dan Kabupaten Badung.107 Berdasarkan informasi yang diperoleh, selanjutnya anggota Si Lidik Subdit
Gakkum memulai proses penyelidikan berupa penyanggongan (pengintaian) terhadap
kapal-kapal yang dicurigai mengangkut Penyu hijau. Kegiatan pemantauan terhadap
pengangkutan penyu hijau melalui perairan dilaksanakan seminggu sebelum hari raya
umat Hindu, pemantauan ini bisa dilakukan berhari-hari sampai dengan tertangkapnya
kapal yang membawa penyu hijau. Pemantauan juga dilakukan pada jam-jam rawan
yaitu setiap malamnya sampai menjelang pagi dan dengan menyebar anggota Lidik pada
pantai-pantai yang dicurigai sebagai tempat kapal bersandar. Untuk mendaratnya atau
bersandarnya kapal-kapal pengangkut Penyu hijau itu sendiri, ada beberapa tempat baik
di wilayah pantai Denpasar Selatan dan Kabupaten Badung. Menurut Bripka I Kadek
Suyasa :
106Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, Hal
119. 107Hasil wawancara dengan Kompol I Putu Suaradinata selaku Kasi Bimas Pol Air Polda Bali,
pada hari Selasa tanggal 27 Agustus 2013, pukul 10.00 wita
pantai yang biasa digunakan bongkar muat Penyu hijau di Perairan Denpasar Selatan dan Perairan Kabupaten Badung ada beberapa pantai antara lain, di Tanjung Benoa yaitu Pantai Hot Dog, Pudut, dan Pulau Penyu. Sedangkan di Serangan, antara lain di Lagun dan hutan mangrove, sedangkan di Kedonganan yaitu di Pantai dekat Bandara Ngurah Rai dan Pantai Kelan dan pantai Jimbaran.108
Di pilihnya tempat-tempat tersebut, selain sepi dan tersembunyi, agar kapal-kapal
pengangkut penyu hijau dapat bersandar atau berlabuh dengan baik dan aman dari
pantauan petugas untuk melakukan bongkar muatan.
Kendala yang dihadapi dalam penangkapan terhadap kapal pengangkut penyu
hijau antara faktor internal dan faktor eksternal. Sebagai faktor internal antara lain
berkurangnya jumlah kapal patroli milik Dit Pol Air yang disebabkan kebijakan Kapolri
dengan dibentuknya Satuan Kepolisian Perairan Polres dan Polresta yang diikuti dengan
berkurangnya pula jumlah personil Dit Pol Air Polda Bali. Personil Dit Pol Air Polda
Bali yang semula berjumlah 307 (tiga ratus tujuh) orang, yang tersebar di seluruh
wilayah Provinsi Bali. Berdasarkan Keputusan Kapolri nomor : Kep /46/ I/2011 tentang
Pembentukan 102 Satuan Kepolisian Perairan pada tingkat Polresta/Polres, selanjutnya
personil beserta angota yang berada di kewilayahan bergabung ke Polresta maupun
Polres setempat. Dengan bergabungnya personil kewilayahan ke Polres maupun
Polresnya berdampak pada berkurangnya personil Dit Pol Air Polda Bali menjadi 187
personil.
Berkurangnya jumlah personil Dit Pol Air, tentunya berdampak pula pada
berkurangnya jumlah Kapal Patroli Polisi yang ikut bergeser ke kesatuan
Polresta/Polres. Dit Pol Air yang memiliki wilayah hukum di seluruh perairan Provinsi
108Hasil wawancara dengan Bripka I Kadek Suyasa, SH selaku anggota Si Lidik Dit Pol Air Poda
Bali, pada tanggal 27 Agustus 2013, pukul 10.00 wita
Bali, dengan jumlah armada Kapal Patroli Polisi dan personil yang sedikit, dituntut
dapat memantau seluruh wilayah perairan Provinsi Bali yang luas serta memiliki
pelabuhan-pelabuhan rakyat yang banyak, dimana pelabuhan-pelabuhan rakyat tersebut
disinyalir merupakan tempat berlabuh dan bersandarnya kapal-kapal pengangkut penyu
hijau. Banyaknya pantai-pantai yang dijadikan alternatif melakukan bongkar muatan
oleh pelaku perdagangan penyu hijau berkaitan erat dengan jumlah anggota Lidik yang
berjumlah sedikit. Pemantauan terhadap banyaknya pantai yang kemungkinan dijadikan
tempat bongkar muat berbanding terbalik dengan jumlah anggota Lidik yang sedikit.
Sehingga apabila anggota Lidik salah memprediksikan tempat bongkar muat kapal,
penangkapan terhadap kapal pengangkut penyu hijau akan gagal.
Selain faktor internal, faktor ekstanal juga mempengaruhi keberhasilan
penangkapan terhadap kapal pengangkut penyu hijau. Faktor cuaca pada saat melakukan
penangkapan terhadap kapal-kapal pengangkut penyu hijau juga mempengaruhi
suksesnya penangkapan. Kondisi perairan di Selat Badung yang berombak dan luas,
juga dapat memberikan resiko keselamatan bagi kapal patroli polisi yang melakukan
patroli atau peyanggongan di perairan.
Kendala eksternal lainnya adalah kesulitan untuk mendeteksi atau memperkirakan
kapal-kapal pengangkut penyu hijau akan bersandar. Jaringan perdagangan penyu hijau
di Bali memiliki banyak mata-mata yang bertugas mengawasi kondisi pantai yang akan
dijadikan posisi bersandarnya kapal pengangkut penyu hijau termasuk mengawasi
pergerakan anggota Dit Pol Air. Hal yang sering terjadi adalah anggota Lidik yang
melakukan penyanggongan dapat dipantau oleh jaringan perdagangan penyu yang ada
di darat sehingga apabila ada gerak-gerik anggota yang melakukan penyanggongan
maka anggota jaringan perdagangan penyu hijau akan melaporkan ke Nahkoda kapal
yang mengangkut penyu hijau dengan menggunakan handphone agar Nahkoda kapal
membatalkan sandar untuk bongkar muatan karena tempat yang akan dilakukan bongkar
muat sudah diawasi petugas kepolisian.
Dari kasus-kasus yang sudah ditangani oleh Dit Pol Air, penyu hijau yang akan
diperdagangkan di Bali berasal dari luar daerah antara lain Sulawesi, Kalimantan, Nusa
Tenggara Barat, Jawa Timur dan Madura. Sedangkan sarana yang digunakan untuk
mengangkut Penyu hijau adalah kapal kayu, yang tanpa dilengkapi identitasnya serta
tanpa dilengkapi alat penerangan pada saat akan masuk ke perairan Bali.
Informasi terkait kegiatan pengangkutan Penyu hijau yang diperoleh anggota Si
Lidik, akan dilanjutkan kepada unit Kapal Patroli Polisi untuk melakukan penangkapan.
Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 20 KUHAP adalah suatu
tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau
terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan
dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Penangkapan sejajar dengan arrest (Inggris).109 Penangkapan dilakukan oleh Patroli
Kapal dan penyelidik terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam penangkapan terhadap kapal yang
memuat Penyu hijau, bukti permulaan yang cukup adalah terdapatnya Penyu hijau yang
sedang diangkut diatas kapal. Adapun syarat-syarat sahnya penangkapan sebagai berikut
:
a. dengan menunjukkan surat perintah tugas yang dikeluarkan oleh penyidik atau penyidik pembantu;
109Andi Hamzah, Op Cit, hal 128
b. dengan memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa;
c. surat perintah penangkapan tersebut dikeluarkan oleh pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang berwenang dalam melakukan penyidikan didaerah hukumnya; dan
d. dengan menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan itu kepada keluarga tersangka segera setelah penangkapan dilakukan (Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3)).110
Terhadap tindak pidana perdagangan Penyu hijau ini, Kapal Patroli Polisi menemukan
langsung dan tersangka tertangkap tangan, atau apabila kapal pengangkut penyu hijau
lolos dari pantauan kapal patrol polisi, maka tugas anggota lidik yang melakukan
penangkapan di pesisir pantai tempat kapal tersebut bersandar. Berdasarkan ketentuan
Pasal 18 ayat 2 KUHAP yaitu dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan
tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan
tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang
terdekat.
Setelah dilakukan penangkapan terhadap Nahkoda Kapal pengangkut penyu hijau
beserta Anak Buah Kapal (ABK) selanjutnya Kapal pengangkut penyu hijau dikawal
menuju dermaga Satuan Patroli Daerah Dit Pol Air. Setibanya di dermaga, barang bukti
berupa Penyu hijau beserta awak Kapal motor yang membawa Penyu hijau tersebut
dibawa ke kantor Dit Pol Air dan membuat berita acara penangkapan. Sebagaimana
ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun
2012 tentang Managemen Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 40 yaitu :
1. setelah melakukan penangkapan, penyidik/penyidik pembantu wajib membuat berita acara penangkapan sekurang-kurangnya memuat :
110Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontenporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
27.
a. nama dan identitas penyidik/penyidik pembantu yang melakukan penangkapan;
b. nama identitas yang ditangkap; c. tempat, tanggal dan waktu penangkapan; d. alasan penangkapan, uraian perkara dan/atau Pasal yang dipersangkakan;
dan e. keadaan kesehatan orang yang ditangkap.
2. Setelah melakukan penangkapan, penyidik/penyidik pembantu wajib : a. Menyerahkan 1 (satu) lembar surat perintah penangkapan kepada
tersangka dan mengirimkan tembusannya kepada keluarga; b. Wajib memeriksa kesehatan tersangka dan sedapat mungkin dilakukan
dokumentasi/foto dan visum et repertum; dan c. Terhadap tersangka dalam keadaan sakit, penyidik segera menghubungi
dokter/petugas kesehatan untuk member pelayanan medis dan membuat berita acara tentang kondisi kesehatan tersangka.
3. Terhadap tersangka yang telah ditangkap, penyidik/penyidik pembantu wajib segera melakukan pemeriksaan yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan tersangka.
Dari hasil penangkapan terhadap pelaku perdagangan penyu hijau, barang bukti
yang diperoleh adalah penyu hijau dengan ukuran besar, sehingga dapat dipastikan
bahwa penyu hijau yang diperdagangkan ditujukan untuk kepentingan bisnis atau untuk
dikonsumsi, bukan untuk keperluan upacara adat di bali. Hal tersebut diketahui
berdasarkan putusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali tentang
Rekomendasi Penggunaan Satwa Terancam Punah (Khususnya Penyu Laut), bahwa
penyu untuk upacara adat panjang lintang kerapasnya tidak boleh melebihi 40 cm dan
tidak boleh diambil langsung dari alam.
Proses penyelidikan yang dilakukan oleh Dit Pol Air dapat dilihat dari bagan di
bawah ini.
Prosedur Pelaksanaan Penyelidikan
UNIT LIDIK
SEGERA LAKUKAN
PENYELIDIKAN
Atas Perintah Penyidik Dapat : 1. menangkap, menggeledah, dan
menyita 2. memeriksa dan menyita surat-
surat 3. mengambil sidik jari dan
memotret orang 4. menghadapkan seseorang pada
penyidik Pasal 5 Ayat (1) b
Karena Kewajibannya Berwenang : 1. menerima laporan atau
aduan 2. mencari keterangan dan
barang bukti 3. memeriksa seseorang
yang dicurigai 4. mengadakan tindakan
lain Pasal 5 Ayat (1) a
Wajib membuat berita acara
Pasal 102 Ayat (3)
Lapor Kepada Penyidik
Pasal 5 ayat (2)
KAPAL POLISI
INFORMASI
3.2.2. Tahap Penyidikan
Tahapan selanjutnya setelah ditentukannya tersangka dengan bukti permulaan
yang cukup, adalah penyidikan. Penyidikan suatu istilah yang dimaksud sejajar dengan
pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau Penyiasatan atau siasat
(Malaysia). 111 Penyidikan dalam proses peradilan pidana Indonesia diartikan sebagai
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-
undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.112
Wewenang penyidik/Polri dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3) Undang-undang KSDAHE yaitu :
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang untuk: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
e. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
f. membuat dan menandatangani berita acara; g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya
tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
111Andi Hamzah, Op Cit., hal. 120 112Mien Rukmini, Op. Cit., hal. 112
Berdasarkan rumusan diatas, tugas utama penyidik adalah mencari dan mengumpulkan
bukti yang dengan bukti-bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan menemukan tersangka.113
Proses penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan penyu hijau ini tidak
berbeda dengan proses penyidikan terhadap tindak pidana umum dalam KUHP yang
pelaksanaannya berpayung hukum pada KUHAP. Langkah awal dari proses penyidikan
adalah di buatnya laporan polisi. Laporan polisi merupakan bukti tertulis atas laporan
atau pengaduan tentang suatu peristiwa yang diduga tindak pidana.114 Laporan Polisi
model A yang dibuat oleh Unit Kapal Patroli, selanjutnya dijadikan dasar untuk
dimulainya tahap Penyidikan. Laporan polisi model A adalah laporan polisi yang dibuat
oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui dan menemukan langsung peristiwa
yang terjadi.115 Sedangkan tertangkap tangan menurut Andi Hamzah yaitu :
1. tertangkap segera sesudah beberapa saat tindakan itu dilakukan. 2. tertangkap sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang
melakukan delik. 3. tertangkap tangan kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah
digunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. 116
Laporan polisi selanjutnya dijadikan dasar hukum oleh penyidik untuk memulai
penyidikan dengan di terbitkannya Surat Perintah Penyidikan yang ditandatangani oleh
Direktur Pol Air Polda Bali. Pada saat penyidik telah memulai melakukan penyidikan,
penyidik harus memberitahukan kepada penuntut umum. Sebagaimana ketentuan Pasal
113Ledeng Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 11. (selanjutnya disebut Ledeng Marpaung II) 114Mabes Polri Bareskrim, 2006, Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Penyidikan, Jakarta, hal
15. 115Ibid, hal 16 116Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 121
109 ayat 1 KUHAP yaitu dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu
peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum. Pengertian “mulai melakukan penyidikan” adalah jika dalam kegiatan
penyidikan tersebut sudah dilakukan tindak upaya paksa dari penyidik seperti
pemanggilan, pro yistitia, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan dan
sebagainya.117
Surat Pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) oleh penyidik ditujukan
kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Bali. Berdasarkan SPDP yang dikirim oleh penyidik,
selanjutnya oleh Kejaksaan Tinggi Bali akan ditunjuk jaksa yang akan menjadi Jaksa
Penuntut Umum (JPU) dalam kasus perdagangan penyu hijau tersebut. Penunjukan
terhadap JPU akan di sampaikan kepada pihak penyidik, dan kepada jaksa penuntut
yang sudah ditunjuk tersebut, penyidik akan melakukan koordinasi terkait kelengkapan
berkas dan barang bukti serta pada saat pengiriman tersangka dan barang bukti.
Sebagaimana ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2012 tentang Managemen Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 25 yaitu :
1. SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b, dibuat dan dikirimkan setelah terbit surat perintah penyidikan.
2. SPDP sekurang-kurangnya memuat : a. dasar penyidikan berupa laporan polisi dan surat perintah penyidikan; b. waktu dimulainya penyidikan; c. jenis perkara, Pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana
yang disidik; d. identitas tersangka (apabila identitas tersangka sudah diketahui); dan e. identitas pejabat yang menandatangani SPDP
Tahapan selanjutnya dari proses penyidikan terhadap Perdagangan Penyu hijau
adalah pemeriksaan terhadap tersangka, saksi maupun saksi ahli yang dituangkan dalam
117Hari Sasangka, 2007, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan dalam Praktek dan
Teori, Mandar Maju, Bandung, hal. 44.
suatu berita acara pemeriksaan. Pola pemeriksaan yang diperlukan bagi POLRI adalah
pola pemeriksaan yang sciencetific invertigation yang tentunya menghindari segala
bentuk intimidasi, ancaman, kekerasan fisik, maupun psikologi.118
Menurut Zulkarnain, pemeriksaan adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka dan/atau saksi dan/atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti didalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan didalam Berita Acara Pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan dengan cara interview, interogasi, konfrontasi, rekontruksi dan sebagainya.119
Lebih lanjut menurut Zulkarnain, pembuatan Berita Acara Pemeriksaan tersangka dan saksi adalah catatan/tulisan yang bersifat otentik, dibuat dalam bentuk tertentu oleh penyidik maupun penyidik pembantu (pemeriksa atas) atas kekuatan sumpah jabatan, diberi tanggal dan ditandatangani oleh Penyidik atau penyidik pembantu, dan tersangka serta saksi/ahli (yang diperiksa) memuat uraian tindak pidana yang mencakup/ memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan dengan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, identitas pemeriksa dan yang diperiksa, keterangan yang diperiksa, cacatan mengenai akta dan/atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian pekara.120
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Butir 26 KUHAP yaitu saksi adalah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peritiwa yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.121 Namun
dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010,
ketentuan yang dimaksud Pasal 1 butir 26 dan butir 27 KUHAP, saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
118Indriyanto Seno Adji, 2009, Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum, PT. Kompas
Media Nusantara, Jakarta, hal. 35. 119Zulkarnain, Op. Cit., hal. 51 120Zulkarnain, Loc Cit. 121Ledeng Marpaung II, Op. Cit., hal. 83.
peradilan tentang suatu perkara pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri.
Sebelum melakukan pemeriksaan terhadap saksi, maka untuk saksi yang
kemungkinan besar tidak bisa hadir dalam pemeriksaan di Pengadilan maka saksi harus
disumpah terlebih dahulu. Sedangkan saksi yang memungkinkan bisa menghadiri
pemeriksaan di Pengadilan tidak harus di sumpah. Pengambilan sumpah harus sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing saksi. Sebagaimana ketentuan Pasal 116
ayat 1 KUHAP yaitu saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup
alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.
Beberapa ketentuan tentang keterangan saksi yaitu keterangan saksi diberikan
tanpa tekanan, dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Misalnya, diarahkan atau
dipengaruhi.122 Agar saksi tidak dipengaruhi siapapun maka saksi diperiksa sendiri-
sendiri. Sebagaimana ketentuan Pasal 116 ayat (2) KUHAP saksi diperiksa secara
tersendiri, tidak boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib
memberikan keterangan yang sebenarnya. Dalam penanganan kasus perdagangan penyu
hijau ini, saksi-saksi yang gunakan dalam proses penyidikan adalah saksi dari anggota
Dit Pol Air baik dari Si Lidik maupun unit Patroli Kapal Polisi yang pada saat itu ikut
serta dalam proses penangkapan tersangka.
Keterangan yang saksi berikan kepada penyidik dicatat dalam berita acara yang
ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberikan keterangan dalam hal ini saksi
sendiri. Persetujuan saksi menandatangani berita acara pemeriksaan dengan jalan
122Ibid, hal. 84.
penyidik membacakan isi berita acara, atau saksi membaca sendiri berita acara
pemeriksaan tersebut apakah saksi menyetujui isinya atau tidak.123
Tahapan pemeriksaan berikutnya adalah pemeriksaan terhadap tersangka.
Menurut M. Yahya Harahap bahwa :
Salah satu tugas dari penyidik kepolisian adalah melakuka pemeriksaan terhadap tersangka. Pemeriksaan yang dilakukan penyidik dalam rangka penyidikan merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).124
Berdasarkan ketentuan Pasal 122 KUHAP bahwa dalam hal tersangka ditahan dalam
waktu satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan, ia harus memulai diperiksa
oleh penyidik. Dalam pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik memberitahukan hak-
hak yang tersangka miliki yaitu salah satunya tersangka berhak mendapat bantuan
hukum dari advokat atau penasihat hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 54 KUHAP
guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum
dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang. Menurut Aiptu I
Nyoman Nuada bahwa dalam setiap berita acara pemeriksaan terhadap tersangka,
penyidik sebelum melakukan pemeriksaan, akan menanyakan terlebih dahulu apakah
tersangka dalam pemeriksaannya ingin didampingi oleh penasehat hukum (advokat)
123Mohammad Taufik Makaroa, Op. Cit., hal. 31 124M. Yahya Harahap, 2007, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP; Pennyidikan
Dan Penuntutan, Edisi Ke Dua, Sinar Grafika, Jakarta hal. 283
atau tidak. Mengingat ancaman hukuman bagi pelaku perdagangan Penyu hijau adalah
maksimal 5 (lima) tahun penjara.125
Terhadap kasus-kasus perdagangan penyu hijau yang sudah di tangani Dit Pol Air,
sampai saat ini belum pernah ada tersangka yang menggunakan haknya untuk
didampingi advokad selama proses penyidikan, hal ini disebabkan kemungkinan pelaku-
pelaku perdagangan penyu hijau tersebut awam terhadap proses hukum yang
dijalaninya. Terhadap tersangka yang tidak ingin didampingi penasihat hukum, maka
penyidik akan membuatkan surat pernyataan bahwa tersangka tidak berkenan beserta
berita acara penolakan didampingi penasihat hukum.
Selain hak untuk didampingi oleh penasihat hukum, tersangka juga memiliki hak-
hak lain yang wajib diberikan oleh penyidik ditingkat penyidikan, antara lain :
1. Hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam phase penyidikan; 2. Hak segera mendapat pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapat putusan
seadil-adilnya; 3. Hak untuk memberitahukan tentang apa yang disangkakan/didakwakan
kepadanya dengan bahasa yang dimengerti; 4. Hak untuk menyiapkan pembelaan; 5. Hak untuk mendapatkan juru bahasa; 6. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum; 7. Hak untuk mendapatkan kunjungan keluarga.126
Selain hak-hak yang dimiliki tersangka sebagaimana diuraikan di atas, tersangka
dalam proses penyidikan maupun persidangan, tersangka berhak mengusahakan saksi
yang menguntungkan. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 KUHAP menyatakan
tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan
seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang
125Hasil wawancara dengan Penyidik Direktorat Polisi Perairan Polda Bali Ajun Inspektur Polisi Satu I Nyoman Nuada, SH, pada hari Rabu, tanggal 28 Agustus 2013, jam 09.00 wita.
126 Hari Sasangka, Op. Cit., hal 6.
menguntungkan bagi dirinya. Mengenai saksi yang menguntungkan bagi tersangka, juga
diatur dalam Pasal 116 ayat (3) menyatakan dalam pemeriksaan tersangka ditanya
apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan
bilamana ada maka itu dicatat dalam berita acara. dan Pasal 116 ayat (4) yang
menyatakan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib
memanggil dan memeriksa saksi tersebut.
Pemeriksaan penyidik terhadap tersangka, selain memenuhi seluruh hak-hak
tersangka, penyidik harus mengingat hal-hal sebagai berikut :
1. Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya tantang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 KUHAP)
2. Jika tersangka didampingi penasihat hukum, (Pasal 115 KUHAP) - Penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat
serta mendengar pemeriksaan terhadap tersangka. - dalam hal kejahatan terhadap negara, penasihat hukum dapat hadir dengan
cara melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka. 3. ditanya apakah tersangka menghendaki didengarnya saksi yang dapat
menguntungkan baginya (Pasal 116 ayat (3) KUHAP), termasuk juga seseorang yang memiliki keahlian khusus (Pasal 65 KUHAP), jika tersangka menghendaki penyidik harus memangggil dan memeriksa orang-orang yang dimaksud, maka penyidik harus memanggilnya.
4. keterangan tersangka maupun kepada saksi, kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 KUHAP), ancaman bagi penyidik yang melakukan penekanan dalam pemeriksaan terdapat dalam Pasal 422 KUHAP
Walaupun penjahat merupakan “musuh” (R. Soesilo, 1874;109) polisi tidak selayaknya mempergunakan alat-alat yang rendah yang pada hakikatnya akan merendahkan juga martabat polisi (baca penyidik), sebagai abdi utama daripada masyarakat. Alat-alat rendah itu antara lain : a. menghina dan memaki-maki; b. menyiksa jasmaniah dan rokhaniah; c. mendustai dan memancing-mancing; d. memberikan jani-janji yang tidak dipenuhi; e. menyuap dan mendapatkan pengakuan-pengakuan yang dikehendaki dan
lain sebagainya. 5. keteranagan tersangka dicatat seteliti-telitinya oleh penyidik dalam berita
acara. Berita acara tersebut ditandatangani oleh pnyidik dan tersangka setelah mereka menyutujui isinya. Untuk itu hasil pemeriksaan dibaca terlebih dahulu
oleh tersangka atau dibacakan kepada tersangka oleh penyidik. Jika tersangka tidak mau menandatangani berita acara tersebut, penyidik mencatat hal tersebut dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya (Pasal 117 dan 118 KUHAP)
6. dalam hal tersangka yang harus didengar keterangannya berdiam atau bertempat tinggal diluar daerah hukum penyidik, pemeriksaan penyidikan terhadap tersangka dapat dibebankan kepada penyidik ditempat kediaman atau tempat tinggal tersangka (Pasal 119 KUHAP).127
Setelah Penyidik selesai memeriksa dan meminta keterangan melalui Berita Acara
Pemeriksaan tersangka, Penyidik juga melakukan pemeriksaan terhadap saksi ahli.
Dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP dikatakan bahwa keterangan ahli ini dapat juga
diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau menurut penuntut umum yang
dituangkan dalam bentuk suatu laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu
ia menerima jabatan atau pekerjaan.128 Jika hal itu tidak diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka dalam pemeriksaan disidang,
diminta untuk memberikan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan
tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah dan janji di hadapan hakim.129
Sebelum melakukan pemeriksaan terhadap saksi ahli, terlebih dahulu penyidik
mengirim surat panggilan kepada instansi mana yang diperlukan dalam memberikan
keterangan guna melancarkan proses penyidikan. Sebagaimana ketentuan Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang
Managemen Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 29 yaitu
1. surat panggilan kepada ahli dikirim oleh penyidik kepada seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan, secara langsung kepada yang bersangkutan atau melalui institusinya.
127Ibid, hal 101 128Djoko Prakoso, Op. Cit., hal 78. 129Djoko Prakoso, Loc Cit.
2. Sebelum surat panggilan kepada ahli dikirim, demi kelancaran pemeriksaan, penyidik melakukan koordinasi dengan ahli yang akan dipanggil guna keperluan : a. Memberikan informasi awal tentang perkara yang sedang disidik; b. Memberikan informasi tentang penjelasan yang diharapkan dari ahli; dan c. Untuk menentukan waktu dan tempat pemeriksaan ahli.
Pemeriksaan terhadap saksi ahli oleh penyidik, sebelum memberikan keterangan
haruslah bersumpah atau berjanji, bahwa ia akan memberikan keterangan menurut
pengetahuannya yang sebabaik-baiknya (Pasal 120 ayat (1) KUHAP). 130 Saksi ahli
yang dimintakan keterangannya dalam kasus perdagangan Penyu hijau adalah dari pihak
Badan Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Bali. Saksi ahli dalam keteranganya
menjelaskan bahwa jenis penyu yang dimiliki oleh tersangka adalah memang jenis
penyu hijau (Chelonia mydas) yang dilindungi Undang-undang KSDAHE dengan
dicirikan oleh bentuk kerapas, jumlah sisik, susunan sisik dan juga warnanya.
130 Hari Sasangka, Op. Cit., hal 95
Prosedur Pemeriksaan (Penyidikan)131
131 Zulkarnain, Op. Cit., hal 53
PENYIDIK Penyidik Pembantu
Diperiksa Tanpa Tekanan secara tersendiri, Pertemukan (Bila Perlu) Pasal 116 yo 117
Catat Dalam BAP: a. Baca BA kepada Yang
Berangkutan b. tidak mau Tanda Tangan,
catat dalam BAP dan Sebut Alasannya
Pasal 118 yo 75
Wajib Tunjuk Penasihat Hukum (Cuma-Cuma) Pasal 56 yo 114
Jika Ajukan Saksi, Catat Dalam Berita Acara dan Panggil Pasal 116 (3), (4)
Sumpah Jabatan Segera dibuat
Pasal 121
TERSANGKA SAKSI SAKSI AHLI
Ancaman Hukuman Mati, 15 Tahun/Lebih, Atau Tidak Mampu 5 Tahun/Lebih Pasal 58 KUHAP
Disumpah Kecuali Wajib Simpan
Rahasia Pasal 120
Tidak Disumpah Kecuali Diduga
Tidak Bisa Hadir di Pengadilan
Pasal 116 (1)
Beritahu Haknya Untuk Mendapat Bantuan HUkum Pasal 114 yo 54.56
Diperiksa Tanpa Tekanan Penasihat Hukum Dapat Mengikuti Pemeriksaan Pasal 115 yo 117 (1)
Terhadap barang bukti Penyu hijau dan Kapal motor pengangkut, terlebih dahulu
oleh penyidik dibuatkan surat permohonan permintaan persetujuan penyitaan barang
bukti kepada Kepala Pengadilan Negeri Denpasar, dengan mencantumkan barang bukti
apa saja yang akan disita oleh penyidik secara terperinci. Sampai dengan turunnya
penetapan penyitaan dari Pengadilan Negeri Denpasar, selanjutnya penyidik membuat
Surat Perintah Penyitaan (Sprin Sita) dan dilengkapi dengan berita acara penyitaan yang
ditandangi oleh penyidik.. Sedangkan tujuan penyitaan itu sendiri adalah untuk
kepentingan pembuktian terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang
pengadilan.132
Dalam penanganan tindak pidana perdagangan Penyu hijau yang digunakan
sebagai barang bukti adalah Penyu hijau dan kapal motor yang digunakan sebagai
sarana untuk mengangkut Penyu hijau. Berdasarkan hasil wawancara dengan AIPTU I
Wayan Mongol, dijelaskan bahwa terhadap barang bukti berupa penyu hijau tersebut
akan disisihkan satu atau dua ekor untuk disita dan dijadikan barang bukti, sedangkan
lainnya akan dilepas kembali ke habitatnya. Penyu hijau yang sudah diamankan di
Kantor Direktorat Polisi Perairan selanjutnya disisihkan satu atau dua ekor dengan
dibuatkan berita acara penyisihan barang bukti. Terhadap barang bukti penyu hijau,
karena Dit Pol Air tidak memiliki tempat yang layak untuk memelihara penyu hijau
sehingga penyu hijau yang dijadikan barang bukti kemudian dibuatkan berita acara
penitipan barang bukti dengan sebelumnya difoto terlebih dahulu. Menurut I Wayan
Mongol, penyu hijau yang digunakan untuk barang bukti dititip di TCEC (Turtle
Conservation and Education Center) yang bertempat di Desa Serangan, Kec. Denpasar
132 Rusli Muhammad, Op. Cit., hal 45
Selatan. Dipilihnya TCEC sebagai tempat penitipan barang bukti tersebut dikarnakan
TCEC memiliki tempat berupa kolam yang biasa digunakan memelihara penyu hijau
dewasa, agar penyu hijau yang dijadikan Barang bukti tidak mati dan dapat dilepas
kembali ke habitatnya. Terhadap Barang bukti Penyu hijau lainnya, Penyidik membuat
berita acara pelepasan barang bukti dengan diketahui oleh BKSDA Provinsi Bali.
Pelepasan Barang bukti Penyu hijau biasa di lakukan di pantai Kuta atau di Pantai
Sanur.
Tujuan dari pelepasan barang bukti tersebut adalah mengembalikan Penyu hijau
ke habitatnya dan agar dapat bertahan hidup. Sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat 2
Undang-undang KSDAHE yaitu Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-
bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan
kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dari satwa,
kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga
dinilai lebih baik dimusnahkan.
Selain bertujuan mengembalikan penyu hijau ke habitatnya, pelepasan penyu hijau
di pantai Kuta dan Sanur yang pengunjung pantainya kebanyakan wisatawan asing, dapat
memberikan nilai positif bagi Bali yang dahulu dikenal dunia internasional sebagai tempat
pembantaian penyu hijau terbesar didunia,
Terhadap barang bukti berupa Kapal Motor, setelah di foto terlebih dahulu dan
dibuatkan berita acara pembungkusan dan atau penyegelan barang bukti, kemudian di
tempatkan di dermaga kapal Direktorat Polisi Perairan untuk diamankan sampai
menunggu keputusan hakim. Sebagaimana ketentuan Pasal 46 KUHAP yaitu :
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak, apabila: a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata
tidak merupakan tindak pidana; c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara
tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Terhadap tersangka yang telah terbukti bersalah, akan dilakukan penahanan oleh
penyidik. Hakikat dari penahanan adalah penghambatan atas kebebasan seseorang.133
Penahanan sejajar dengan detention (Inggris).134 Penahanan terhadap tersangka
dilakukan oleh penyidik dengan mengeluarkan Surat Perintah Penahanan yang
ditandatangani oleh tersangka dan penyidik. Pada saat penyidik melakukan penahanan
terhadap tersangka, pada saat hari itu juga, penyidik membuat surat pemberitahuan
terhadap keluarga tersangka dengan melampirkan Surat Perintah Penangkapan beserta
Berita Acaranya dan Surat Perintah Penahanan disertai pula Berita Acara Penahanan.
Pelaksanaan penahanan terhadap tersangka dilakukan satu hari atau 24 jam setelah
penangkapan terhadap tersangka. Sedangkan masa tahanan pertama terhadap tersangka
adalah 20 (dua puluh hari). Sedangkan tata cara Penahanan antara lain :
1. penahanan dilakukan dengan surat perintah penahanan berdasarkan alasan penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau
133 Leden Marpaung, Op. Cit., hal 117. 134 Andi Hamzah, Op. Cit., hal 128
terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwa serta tempat ia ditahan.
2. tembusan surat perintah penahanan diberikan kepada keluarga tersangka. Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya (Pasal 21 ayat 2 s.d 3 KUHAP). Surat perintah penahanan dikeluarkan oleh penyidik/polisi dan jaksa penuntut umum, sedangkan penetapan penahanan dikeluarkan oleh hakim pengadilan.135
Penahanan tersangka di Direktorat Polisi Perairan Daerah Bali, ditempatkan di
Rumah Tahanan Negara yang dimiliki oleh Dit Pol Air. Sebelum masa penahanan
terhadap tersangka habis, sedangkan berkas perkara yang ditangani penyidik belum
sempurna, maka penyidik membuat surat permohonan perpanjangan penahanan kepada
Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, dengan melampirkan resume awal perkara pidana yang
ditangani penyidik. Apabila surat penetapan perpanjangan penahanan dari Kejaksaan
Tinggi Bali sudah dikirim kepada penyidik, selanjutnya penyidik membuatkan Surat
Perintah Perpanjangan Penahanan beserta berita acara pelaksanaan perpanjangan
penahanan. Pada saat perpanjangan penahanan dimulai, penyidik mengirimkan surat
kepada keluarga tersangka terkait perpanjangan penahanan terhadap tersangka.
Sehingga jumlah hari penahanan tersangka kasus pengangkutan Penyu hijau maksimal
adalah 60 (enam puluh) hari, dan sebelum masa tahanan berakhir, Penyidik harus
menyelesaikan berkas perkara kasus tersebut. Sebagaimana ketentuan Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Managemen
Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 73 sebagai berikut :
1. penyelesaian berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf f meliputi tahapan : a. pembuatan resume berkas perkara; dan b. pemberkasan
135 Mohammad Taufik Makaroa, Op. Cit., hal. 37
2. pembuatan resume berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruh a, sekurang-kurangnya memuat : a. dasar penyidikan; b. uraian singkat perkara; c. uraian singkat fakta-fakta; d. analisis yuridis; dan e. kesimpulan.
3. Pemberkasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sekurang-kurangnya memuat: a. Sampul berkas perkara; b. Daftar isi; c. Berita acara pendapat/resume; d. Laporan polisi; e. Berita acara setiap tindakan penyidik/penyidik pembantu; f. Administrasi penyidikan; g. Daftar saksi; h. Daftar tersangka; i. Daftar barang bukti
4. Setelah dilakukan pemberkasan, diserahkan kepada atasan penyidik selaku penyidik untuk dilakukan penelitian.
5. Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi persyaratan formal dan material untuk setiap dokumen yang dibuat ileh penyidik.
6. Setelah berkas lengkap dan memenuhi syarat segera dilakukan penjilidan dan penyegelan.
Apabila berkas perkara sudah dianggap lengkap oleh penyidik maka dilakukan
pengiriman berkas perkara tahap pertama oleh penyidik kepada penuntut umum, untuk
memastikan apakah berkas perkara tersebut sudah benar-benar lengkap. Apabila berkas
perkara telah dianggap lengkap, maka Penyidik akan melakukan penyerahan berkas
perkara tahap ke dua. Menurut hasil wawancara dengan AIPTU I Nyoman Nuada, SH
bahwa penyerahan berkas perkara tahap kedua kepada penuntut umum di sertakan pula
penyerahan tersangka dan barang buktinya juga serta dilampirkan pula surat perihal
pengiriman tersangka dan barang bukti yang ditujukan kepada Kepada Kejaksaan
Tinggi Bali yang di tandatangani oleh Direktur Pol Air. Dalam proses penyerahan
berkas perkara, dokumen-dokumen yang harus disertakan antara lain :
1. Surat pengantar penyerahan berkas perkara;
2. Tanda terima penyerahan berkas perkara;
3. Surat pengantar penyerahan tersangka dan barang bukti;
4. Berita acara penyerahan barang bukti;
5. Berita acara serah terima tersangka dan barang bukti. 136
Setelah penyerahan berkas perkara tahap kedua dilaksanakan, maka tugas dan
kewenangan Penyidik Direktorat Polisi Perairan Daerah Bali sudah dianggap selesai.
Pada saat dimulainya persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi, penyidik
memberitahukan kepada saksi anggota untuk hadir dalam persidangan.
Berdasarkan teori berlakunya hukum, Undang-undang KSDAHE merupakan
instrument pemerintah yang bertujuan untuk merubah dan mempengaruhi perilaku
masyarakat terkait pelanggaran terhadap norma-norma yang terkandung di dalam
Undang-undang KSDAHE, dengan mempergunakan polisi dan penegak hukum lainnya
sehingga tujuan dari Undang-undang KSDAHE bisa tercapai.
136 Zulkarnain, Op. Cit., hal 57
BAB IV
FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT IMPLEMENTASI TUGAS DAN
WEWENANG PENYIDIK TERHADAP PERLINDUNGAN
PENYU HIJAU
4.1. Faktor Pendukung
Pelaksanaan tugas dan wewenang Dit Pol Air terhadap perlindungan penyu hijau
merupakan upaya kongkrit institusi kepolisian dalam penegakan hukum terhadap
perlindungan satwa yang terancam punah. Dalam upaya penegakan hukum ini, penegak
hukum selaku sub sistem tidak dapat bekerja secara maksimal tanpa didukung oleh sub
sistem lainnya. Terhadap faktor pendukung dan penghambat implementasi tugas dan
wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau, teori yang dipergunakan dalam
membahas permasalah ini adalah teori sistem hukum (Legal System Theory) yang
dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, yang pada dasarnya menyebutkan bahwa
suatu sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) kompenen antara lain :
1. Substansi hukum (Legal Substance), dalam hal ini yang dimaksud sebagai
substansi hukum adalah norma-norma dan peraturan terkait tugas dan
wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau, antara lain, KUHAP
(Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) yang mengatur bagaimana
penyidik melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam proses penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mengatur
kewenangan penyidik Dit Pol Air dalam melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana perdagangan penyu hijau yang terjadi di wilayah perairan. Peraturan
Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa,
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa yang merupakan pelaksana Undang-undang No. 5 Tahun 1990
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2. Struktur Hukum (Legal Structure), dalam hal ini yang dimaksud dengan
struktur hukum adalah institusi penegak hukum sebagai salah satu unsur nyata
dalam suatu sistem hukum, termasuk juga lembaga yang turut melaksanakan
aturan-aturan hukum. Dalam implementasi tugas dan wewenang penyidik
terhadap perlindungan penyu hijau, Dit Pol Air selaku penegak hukum bekerja
sama dengan kejaksaan terkait kelengkapan berkas perkara, pihak Pengadilan
selaku pemberi putusan pidana terhadap pelaku perdagangan penyu hijau dan
Lembaga Pemasyarakatan yang melaksanakan putusan hakim terkait hukuman
bagi terdakwa.
3. Budaya Hukum (Legal Culture), dalam hal ini yang dimaksud dengan budaya
hukum adalah perilaku-perilaku masyarakat dalam memandang hukum untuk
dipatuhi serta ditaati. Budaya hukum masyarakat Bali terhadap pemanfaatan
penyu hijau untuk konsumsi maupun sebagai alasan untuk upacara adat masih
terus berlangsung. Terbukti dengan masih banyaknya pedagang-pedagang
makanan yang berasal dari penyu hijau serta tindak pidana perdagangan penyu
hijau di wilayah perairan Bali yang setiap tahunnya masih terjadi.
Teori sistem hukum yang dipergunakan dalam membahas permasalahan ini
selanjutnya dikaitkan dengan pendapat Soerjono Soekanto tentang faktor-faktor
pendukung dan penghambat penegakan hukum.
Sebagai faktor pendukung yang penulis temukan dalam implementasi tugas dan
wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau antara lain :
4.1.1. Faktor Undang-undang
Setiap masyarakat memiliki hukum atau Undang-undang sebagai penata normatif
dalam hubungan antar warga masyarakat, hal ini bertujuan agar hubungan masyarakat
berlangsung lestari dan mencapai tujuan bersama. Sedangkan hukum bersifat mengatur
dan memaksa melalui sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap para pelanggar hukum
antara lain berupa hukuman pidana.
Berlakunya suatu Undang-undang di Indonesia terdapat beberapa asas yang
tujuannya agar undang-undang tersebut mempunyai dampak positif. Artinya, supaya
Undang-undang tersebut dapat mencapai tujuannya dan efektif. Asas-asas tersebut
antara lain :
a. Undang-undang tidak berlaku surut; artinya, Undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam Undang-undang tersebut, serta terjadi setelah Undang-undang itu dinyatakan berlaku.
b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama. Artinya terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan Undang-undang yang menyebutkan peristiwa itu, walaupun bagi peristiwa khusus tersebut terdapat pula diperlakukan Undang-undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih luas ataupun umum, yang juga dapat mencakup peritiwa khusus tersebut.
d. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-undang yang berlaku terdahulu. Artinya undang-undang lain yang terlebih dahulu berlaku dimana diatur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila ada undang-undang baru yang berlaku belakangan yang mengatur pula hal tertentu
tersebut, akan tetapi makna dan tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang lama tersebut.
e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat. f. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan
spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian maupun pembaharuan (inovasi).137
Implementasi tugas dan wewenang Penyidik Dit Pol Air terhadap perlindungan
Penyu Hijau yang berpayung hukum dengan ketentuan KUHAP maupun Undang-
undang KSDAHE. Ketentuan dalam KUHAP mengatur secara lengkap tugas dan
wewenang penyidik dalam melaksanakan proses penyelidikan maupun penyidikan
terhadap tindak pidana secara umum. Terhadap tindak pidana perdagangan penyu hijau,
secara khusus undang-undang KSDAHE mengatur bagaimana tugas dan wewenang
penyidik dan instansi apa yang berhak melakukan penyidikan.
Undang-undang KSDAHE memang tidak mengatur secara terperinci terhadap
jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi karena ancaman kepunahan. Namun
terdapat pendelegasian kewenangan dari Undang-undang KSDAHE kepada Peraturan
Pemerintah Nomor 7 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan Peraturan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang
merupakan pelaksana dari Undang-undang KSDAHE itu sendiri. Pendelegasian
kewenangan dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dirumuskan dalam pedoman Nomor
198 dan pedoman nomor 200 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
198. peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
137Soerjono Soekanto I, Op.Cit., hal.13
200. pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas : a. ruang lingkup materi yang diatur, dan b. jenis peraturan perundang-undangan.138 Pembentukan Undang-undang KSDAHE bertujuan untuk menjaga kelestarian
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dari kerusakan dan kepunahan satwa
maupun tumbuhan yang sudah terancam punah. Sebagaimana ketentuan Pasal 3
Undang-undang KSDAHE yaitu Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Undang-undang KSDAHE disamping mengatur konservasi sumber daya alam, juga
memberikan sanksi kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-
undang ini. Sehingga secara tidak langsung juga bertujuan agar hukum (undang-undang
KSDAHE) dapat memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum itu sendiri, serta hukum
juga bukan hanya sebagai kontrol atau pengendali sosial tetapi lebih kepada hukum juga
dapat dijadikan sarana untuk menggerakkan perubahan masyarakat (law is a tool of social
engineering).139 Sebagaimana menurut Pound yaitu hukum difungsikan sebagai a tool of
social engineering adalah suatu usaha yang lebih sistematis dan cendikia tentang
bagaimana kita dapat tiba ke tujuan yang dikehendaki melalui hukum sebagai alatnya.140
Sedangkan menurut Joseph Goldstein “The criminal law in one of many intertwined
138Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Proses dan Teknik Pembentukannya,
Kanisius, Yogyakarta, hal 169 139Abdul Rachman Budiono, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, hal.
37 140Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2002, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Edisi
Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 209
mechanisms fot the social control of human behavior”.141 (terjemahan penulis : hukum
pidana merupakan salah satu dari beberapa mekanisme yang saling berkaitan dalam
kontrol sosial di kehidupan bermasyarakat).
Sanksi dari Undang-undang KSDAHE yang diberlakukan terhadap pelaku tindak
pidana perdagangan penyu hijau, bukan semata-mata merupakan pembalasan dan
penistaan terhadap seseorang pelaku tindak pidana ( teori absolut), atau bukan sebagai
pembinaan terhadap pelaku tindak pidana (teori relatif), tetapi lebih kepada penggabungan
antara teori absolut dan teori relatif yaitu pemidanaan bertujuan untuk pembalasan dan juga
mempertahankan ketertiban masyarakat serta pembinaan pelaku tindak pidana.
Implementasi tugas dan wewenang Penyidik Dit Pol Air terhadap perlindungan
Penyu Hijau sampai saat ini sudah berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan KUHAP
maupun Undang-undang KSDAHE itu sendiri. Sebagaimana hasil wawancara terhadap
Kasi Tindak Subdit Gakkum Kompol I Ketut Rai Suandi bahwa Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
masih layak dan sampai saat ini digunakan oleh penyidik Dit Pol Air Polda Bali untuk
menindak pelaku-pelaku tindak pidana perdagangan satwa maupun tumbuhan
dilindungi, khususnya penyu hijau.142
Berdasarkan hasil wawancara di atas, tugas dan wewenang pentidik Dit Pol Air
dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perdaganganpenyu hijau berdasarkan
Undang-undang KSDAHE dan KUHAP sampai saat ini masih dapat berjalan dengan
141George F. Cole, 1976, Criminal justice, Law and Politics, Second Edition, Duxbury Press,
California, hal 108. 142Hasil wawancara dengan Kasi Tindak Subdit Gakkum Kompol I Ketut Rai Suandi, tanggal 3
Pebruari 2014
baik meskipun terdapat kendala internal maupun eksternal yang mempengaruhi
penegakan hukum tersebut.
4.1.2. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari
hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai
apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga
dihindari).143 Kata kebudayaan berasal dari (bahasa Sansekerta) buddhayah yang
merupakan benuk jamak dari buddhi yang berarti akal atau akal. Kebudayaan diartikan
sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal.144 Adapun istilah culture yang
merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari
bahasa Latin colere.145.
Provinsi Bali, dengan ibukota Denpasar memiliki karateristik kebudayaan atau
adat-istiadat yang beraneka ragam, baik dalam hal tari-tarian, kesenian serta berbagai
kegiatan upacara keagamaan. Dalam penulisan ini, kebudayaan yang lebih khususnya
adalah adat-istiadat yang akan dibahas mengenai penggunaan penyu hijau sebagai
sarana upacara adat di Bali. Dahulu, penggunaan penyu hijau merupakan suatu
kewajiban dalam setiap upacara agama. Namun sebenarnya, upacara-upacara tertentu
saja yang boleh menggunakan Penyu dan ukuran penyu yang digunakan tidak harus
besar. Berdasarkan Bhisama Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
Nomor 05/Bhisama/Sabha Pandhita PHDIP/VIII/2005, tentang Tata Penggunaan
143Soerjono Soekanto I, Op. Cit., hal 60 144Soerjono Soekanto, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajagrafindo Persada, Jakarta, Hal. 150
(selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III). 145Soerjono Soekanto III, Loc Cit.
Sumber Daya Hayati Langka dan/atau Yang Terancam Punah Dalam Upacara
Keagamaan Hindu, yang ditetapkan tanggal 31 Agustus 2005 yaitu :
Pertama Penggunaan sumber daya alam hayati dalam kegiatan beragama Hindu sesungguhnya bertujuan untuk melestarikan keberadaan sumber daya alam hayati di bumi ini menyertai kehidupan umat manusia sebagaimana dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra V.40 dan sastra Hindu lainnya.
Dalam sudut pandang Tattwa Agama Hindu penggunaan satwa untuk upacara agama Hindu bermakna sebagai dorongan agar umat Hindu dalam prosesi beragama Hindu mengupayakan untuk mengendalikan diri daru kecenderungan sifat-sifat loba mementingkan diri sendiri yang disebut dalam Bhagawad Gita sebagai Asuri Sampad atau kecendrungan keraksasaan.
Kedua Penggunaan sumber daya alam hayati langka dan/atau terancam punah seperti Penyu, macan, garuda, dan sumber daya alam hayati langka dan/atau terancam punah lainnya yang dilindungi Undang-undang dapat diganti dengan bahan lainnya seperti dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra V.37 dan sastra Hindu lainnya sebagai symbol keagamaan Hindu dalam suatu proses upacara Tadnya.
Kalaupun karena alasan/pertimbangan tertentu tetap harus digunakan sebagai sarana upacara Yadnya maka sumber daya alam hayati langka dan/atau terancam punah yang dilindungi Undang-undang itu agar berdasarkan petunjuk Rokhaniawan pemimpin Upacara Yadnya dan seijin pemerintah yang berwenang.
Ketiga Bhisama Tata Penggunaan Sumber Daya Hayati Langka dan/atau Yang Terancam Punah dan yang dilarang oleh kitab suci agama Hindu dalam upacara Keagamaan Hindu ini adalah pedoman agar seluruh umat Hindu dapat menggunakan sebagai pegangan dalam menyelenggarakan kegiatan Upacara Keagamaan Hindu yang menggunakan sumber daya hayati langka dan/atau yang terancam punah.
Keempat menugaskan kepada Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Pusat untuk memasyarakatkan Bhisama tentang Tata Penggunaan Sumber Daya Hayati Langka dan/atau Yang Terancam Punah Dalam Upacara Keagamaan Hindu, sehingga dapat menumbuhkann kesadaran dikalanngan umat Hindu untuk melakukan upaya-upaya konservasi sumber hayati yang digunakan sebagai sarana upacara agama Hindu.
Kelima Bhisama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Terkait penggunaan Penyu dalam upacara Yadnya, selanjutnya Parisada Hindu
Dharma Indonesia Provinsi Bali Mengeluarkan Rekomendasi Penggunaan Satwa
Terancam Punah (Khususnya Penyu Laut) Dalam Kegiatan Kultur –Religi dari Paruman
Sulinggih Bali-Lombok yang diselenggarakan pada Pesamuhan Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, di Denpasar tanggal 15 Januari 2005 yaitu :
1. Paruman Sulinggih Bali-Lombok mengajak umat Hindu untuk berperan aktif dalam pelestarian keanekaragaman hayati termasuk penyu laut melalui cara-cara yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Ini adalah salah satu perwujudan bakti dan cinta (Yadnya) kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, dengan selalu menjaga ciptaanNya.
2. Dalam hubungannya dengan Yadnya, penyu laut hanya diperlukan dalam upacara Hindu di Bali yang Nyatur Muka dan pada tingkatan Yadnya Pedudusan Agung Utama yang menggunakan Sanggar Tawang / Sanggar Rong Tiga.
3. Hingga populasi Penyu Laut dinyatakan stabil oleh pemerintah, paruman sulinggih Bali – Lombok meminta agar umat Hindu untuk tidak menggunakan penyu laut selain dari kebutuhan tersebut pada poin 2.
4. Mengingat bahwa satwa terancam punah, khususnya penyu laut telah dilindungi Undang-undang (Peraturan Pemerintah Nomor 7/1999 dan Undang-undang Nomor 5/1990), maka setiap upaya penggunaan penyu laut dan hewan yang dilindungi undang-undang mesti melalui permohonan ijin yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia c.q Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang ada di Wilayah setempat.
5. Permohonan ijin tersebut pada poin 4 dilakukan oleh Yadnyamana, yang dilampiri tiga (3) rekomendasi, yaitu d. Sulinggih Pemuput. e. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali. f. Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali
Setelah mendapat pertimbangan dari PHDI, Sulinggih, dan MDP Kabupaten. Catatan : Untuk Lombok, Poin c ini disesuaikan, dilakukan oleh lembaga sejenis.
6. Untuk meminimalisir dampak ekologis pemanfaatan penyu seperti tersebut diatas, maka ukuran panjang lengkung kerapas penyu yang boleh dipergunakan sebagai kelengkapan upakara upacara tidak boleh melebihi 40 cm. Penyu dengan ukuran ini bisa diperoleh dati aktivitas pemeliharaan/penangkaran yang khusus didesain untuk itu, atau melalui jalinan kerjasama dengan daerah (peneluran) lain di Indonesia.
7. Proses pengadaan Penyu untuk kepentingan Yadnya semestinya tidak dilakukan oleh pihak swasta/pribadi. Hal ini dilakukan untuk menghindari peluang adanya penyimpangan mekanisme formal sepeti yang terjadi selama ini. Suatu lembaga formal multisektoral yang berfungsi sebegai fasilitator penyediaan penyu untuk keperluan Yadnya perlu dibangun.
Berdasarkan keputusan Bhisama dan Rekomendasi Penggunaan Satwa Terancam
Punah (khususnya Penyu Laut) penggunaan satwa dilindungi oleh Undang-undang
dalam kegiatan keagamaan sebenarnya tidak mutlak harus ada dan mengenai ukuran
penyu yang dipergunakan dalam upacara adat tidak boleh lebih dari 40 cm. Sedangkan
cara memperoleh penyu untuk upacara adat tidak boleh mengambil langsung dari alam,
tetapi penyu tersebut diperoleh dari lembaga konservasi. Merujuk dari keputusan
Bhisama dan rekomendasi Penggunaan Satwa inilah yang digunakan sebagai acuan
berdirinya TCEC di Desa Serangan Denpasar Selatan.
TCEC selama berdirinya, sudah bisa mencukupi kebutuhan upacara adat yang
mempergunakan Penyu untuk kepentingan Yadnya. Berdasarkan wawancara dengan
Bapak I Wayan Geria selaku Ketua Pengelola TCEC yaitu :
Untuk keperluan Yadnya seluruh Bali, TCEC sudah mencukupi kebutuhan pengadaan Penyu sebagai sarana keperluan upacara adat. Selama setahun, untuk keperluan Yadnya, jumlah Penyu yang dibutuhkan hanya berkisar 50-70 ekor per tahun. Sedangkan jenis Penyu yang digunakan ukurannya tidak lebih dari 20-30 cm, dan jenis Penyu yang digunakan juga tidak harus penyu hijau, tetapi bisa juga penyu sisik atau penyu lekang.146
Lebih lanjut Bapak I wayan Geria menjelasakan, bahwa dalam satu tahun, TCEC
memiliki 700-1000 butir telur penyu laut setiap tahunnya yang kemudian di tempatkan
di sarang buatan dan setelah menetas akan di pindahkan di bak-bak yang sudah
disediakan. Untuk mencapai ukuran 20-30 cm, pemeliharaan penyu membutuhkan
waktu 1-1,5 tahun. Sehingga dapat penulis menyimpulkan bahwa pemenuhan kebutuhan
upacara umat Hindu dalam setiap tahunnya dapat dipenuhi oleh TCEC. Jumlah penyu
per tahun yang digunakan untuk kegiatan keagamaan umat Hindu dapat dilihat dari
table 3 berikut :
146Hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Geria, selaku Ketua Pengelola TCEC, pada hari Sabtu,
12 April 2014, pukul 17.00 wita.
Table 3 Jumlah Kebutuhan Penyu Tahun 2013
No.
Bulan
Jenis Penyu Pemohon Penyu
Hujau Penyu Lekang
Penyu Sisik
1.
Januari
- -
1 ekor
Desa Kerobokan Badung.
2.
Pebruari
-
-
2 ekor
1.Desa Tejakula Buleleng 2.Desa Dalung, Badung.
3.
Maret
- 1 ekor 2 ekor
3 ekor - -
- - -
1. Desa di Bangli 2. Polda Bali 3. Upacara Agama Budha
4.
April - - 1 ekor Desa Sidam Bangli
5. Mei 2 ekor 1 ekor
- -
- -
1. Serangan, Densel 2. Desa Sukawati, Gianyar
6. Juni 1 ekor - -
- 1 ekor
-
- -
1 ekor
1. Desa Braban Denpasar 2. Desa Kuta 3. Desa Kuta
7. Juli - 1 ekor
1 ekor -
- -
1. Desa Kuta 2. Griya Lebih, Gianyar
8.
Agustus - -
2 ekor
- 3 ekor
-
2 ekor - -
1. Badung dan Klungkung 2. Karangasem, Desa Kramas
Gianya, Tabanan 3. Desa Rendang, Karangasem
dan Kerobokan
9. September - -
- 3 ekor
2 ekor -
1. Karangasem, Tabanan 2. Karangasem, Petang.
10. Oktober 2 ekor - -
- 4 ekor
-
- -
2 ekor
1. Besakih, Karangasem 2. Sangeh, Nusa Penida, Cemagi
Badung 3. Bone Gianyar, Tabanan
11. Nopember
- 3 ekor
-
3 ekor -
1. Tabanan, Karangasem 2. Badung, Gianyar, Negara
12. Desember 3 ekor -
- -
- 1 ekor
1. Gianyar 2. Klungkung
Jumlah 18 ekor 15 ekor 15 ekor Total 48 ekor
Sumber : data penggunaan satwa Penyu untuk keperluan adat di TCEC Desa Serangan
Berdasarkan tabel di atas, dapat memberikan gambaran bahwa kebutuhan terhadap
Penyu yang dipergunakan sebagai sarana upacara adat diseluruh Provinsi Bali pada
Tahun 2013 hanya berjumlah 48 ekor saja dengan ukuran penyu antara 20-30 cm.
Dengan metode konservasi ex situ yang diterapkan TCEC, kebutuhan untuk kegiatan
upacara adat di Bali sudah bisa terpenuhi.
4.2. Faktor Penghambat
Sebagai faktor penghambat yang penulis temukan dalam implementasi tugas dan
wewenang penyidik terhadap perlindungan penyu hijau antara lain :
4.2.1. Faktor Penegak Hukum
Penegak hukum erat kaitannya pegawai instansi pemerintahan yang secara
langsung maupun tidak langsung berkecimpung di dalam penegakan hukum. Di dalam
tulisan ini yang dimaksud penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara
langsung turut serta dalam penegakan hukum antara lain, kehakiman, kejaksaan,
kepolisian, kepengacaraan dan pemasyarakatan.147 Sedangkan penegakan hukum sendiri
merupakan upaya dari penegak hukum untuk memulihkan kembali keamanan dan
ketertiban masyarakat yang sempat terganggu sehingga tercipta kepastian hukum.148
Keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian
penegak hukum. Hukum identik dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak
hukum. Peningkatan kualitas penegak hukum merupakan salah satu upaya yang harus
dilakukan agar sumber daya penegak hukum menjadi lebih baik dan profesional dalam
melaksanakan tugas-tugas dan wewenangnya.
147Soerjono Soekanto I, Op. Cit., hal 19. 148Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 36.
Dit Pol Air yang memiliki tugas dan wewenang terhadap perlindungan Penyu
Hijau, memiliki penyidik-penyidik yang sudah dibekali dengan pengetahuan terhadap
bagaimana melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan KUHAP maupun
Undang-undang KSDAHE. Dit Pol Air selaku bagian dari instansi kepolisian dimana
ruang lingkup dan fungsinya diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.149
Dit Pol Air Polda Bali, dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak
pidana perdagangan penyu hijau di Bali, memiliki anggota-anggota dibawah Subdit
Gakkum yang melaksanakan fungsi penyelidikan dan penyidikan. Subdit Gakkum Dit
Pol Air Polda Bali, memiliki sie Lidik selaku pengemban fungsi Penyelidikan dan Sie
Tindak yang bertugas melakukan Penyidikan. Mekanisme pelaksanaan penyidikan oleh
Direktorat Polisi Perairan Polda Bali yang merupakan sub sistem peradilan pidana
selalu bekerja sama dengan sub sistem peradilan pidana lainnya yaitu kejaksaan dan
kehakiman, meskipun tugasnya berbeda-beda tetapi mereka harus bekerja dalam satu
kesatuan sistem.150
Kesatuan sistem yang dimaksud adalah criminal justice system sebagaimana
dikemukakan oleh Remington dan Ohlin bahwa pemakaian pendekatan sistem terhadap
mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem
merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi
dan sikap atau tingkah laku sosial.151
149Lilik Mulyadi, 2010, Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Keadilan,
Malang, Mandar Maju, hal. 64. 150Yesmil Anwar, Op. Cit., hal 28 151Romli Atmasasmita,2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Cetakan ke-1,Prada Media
Grup, Jakarta, hal.2
Dalam menjalankan tugas dan wewenang, kepolisian perlu memperhatikan asas-
asas yang terdapat dalam KUHAP yaitu :
Pertama; Praduga tak bersalah (presumption of innocence), bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, ditutntut atau dihadapkan dimuka siding pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Kedua; persamaan dimuka hukum (equality before the law), Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan. Ketiga; hak pemberian bantuan/penasihat hukum (legal aid/assistance); setiap orang yang tersangkut perkara tindak pidana wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan; Keempat; sebelum dimulai pemeriksaan, kepada tersangka wajib diberitahukan tentang apa yang disangkakan kepadanya dan haknya untuk mendapat bantuan hukum atau dalam perkara itu wajib didampingi penasihat hukum; Kelima; peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekwen dalam seluruh tingkat peradilan; Keenam; penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi kewenangan khusus oleh Undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur oleh Undang-undang; Ketujuh; kepada orang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan azas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukuman administrasi; Kedelapan; penyelidik dan penyidik mempunyai wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya diseluruh Indonesia, khususnya di daerah hukum masing-masing dimana ia diangkat sesuai ketentuan Undang-undang. 152 Selain asas-asas di atas, tugas kepolisian terutama dalam rangka penegakan
hukum juga harus memperhatikan asas-asas yang melekat dalam fungsi kepolisian,
antara lain :
a. Asas legalitas; adalah segala tindakan kepolisian yang dilakukan harus berdasarkan atas hukum atau kuasa Undang-undang;
b. Asas kewajiban; yaitu apa yang dilakukan oleh kepolisian karena melekat kewajibannya yang diemban, sehingga dalam menyelenggarakan tugasnya
152Yesmil Anwar dan Adang, Loc Cit.
dengan penuh keikhlasan, penuh dedikasi tanpa adanya pamrih semata-mata untuk kepentingan tugas;
c. Asas partisipasi; yakni tindakan yang dilakukan kepolisian diusahakan mendapat dukungan atau partisipasi dari masyarakat, karena tugas-tugas yang diemban oleh kepolisian tidak akan dapat terwujud sesuai harapan tanpa adanya dukungan dan partisipasi dari masyarakat, yakni dalam bentuk komitmen masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam mewujudkan polisi yang mandiri, professional dan memenuhi harapan masyarakat;
d. Asas preventif; bahwa tindakan kepolisian lebih mengutamakan pencegahan dari pada penindakan; dan
e. Asas subsidiaritas; adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kepolisian mengadakan bantuan dan hubungan kerjasama dengan berbagai pihak didalam negeri maupun diluar negeri yang bersifat fungsional.153
Asas-asas sebagaimana tersebut diatas, secara profesional hendaklah bisa dijalankan
oleh seorang penegak hukum untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan
terhadap masyarakat.
Guna menciptakan profesionalitas kerja selaku penyidik dan memperbaiki sumber
daya manusia, Dit Pol Air memberikan kesempatan dan peluang bagi anggotanya untuk
mengikuti berbagai pendidikan kejuruan untuk menambah pengetahuan dan
kemampuan anggotanya menjadi seorang penyidik maupun penyidik pembantu.
Menurut Kompol I Ketut Rai Suandi, selaku Kasi Tindak Subdit Gakkum Dit Pol Air
Polda Bali :
Peningkatan kemampuan terhadap personil Dit Pol Air Polda Bali, khususnya dibidang Penyidikan dan Penyelidikan sangat diperlukan guna memperbaiki Sumber daya Manusia serta meningkatkan profesionalisme kerja anggota. Peningkatan kemampuan anggota tersebut didapat dengan pendidikan kejuruan Penyidik Pol Air, baik untuk Perwira maupun Bintara, selama 2-3 bulan yang dilaksanakan di Pusdik Pol Air, Pondok Dayung Jakarta, atau dengan pelatihan-pelatihan penyidikan yang sering dilakukan di SPN (Sekolah Polisi Negara) Singaraja. Sedangkan tujuan dari kejuruan maupun pelatihan tersebut adalah agar anggota terampil dan profesional dalam melaksanakan fungsi penyelidikan maupun fungsi penyidikan”
153 Sadjijono, Op. Cit., hal 298.
Kemampuan anggota Dit Pol Air dalam pelaksanaan tugas dan wewenang
terhadap perlindungan penyu hijau sudah cukup memadai dengan peningkatan
kemampuan melalui pendidikan kejuruan maupun pelatihan tentang penyelidikan dan
penyidikan. Keterbatasan jumlah personil Dit Pol Air Polda Bali khususnya pengemban
fungsi penyelidikan dan penyidikan serta anggota yang bertugas di Kapal Patroli,
berdampak pada kurang maksimalnya Dit Pol Air Polda Bali dalam melakukan
penangkapan terhadap pelaku perdagangan penyu hijau di wilayah perairan. Sehingga
penambahan jumlah personil Dit Pol Air Polda Bali merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan keberhasilan Dit Pol Air dalam penegakan hukum di wilayah perairan
khususnya penangkapan terhadap pelaku perdagangan penyu hijau.
4.2.2. Faktor Sarana atau Fasilitas
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat
keras. Perangkat lunak adalah pendidikan dan perangkat keras adalah sarana fisik yang
berfungsi sebagai faktor pendukung.154 Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang
sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu,
maka tidak mungkin penegakan hukum dapat berlangsung dengan lancar. Sarana dan
fasilitas tersebut antara lain mencakup sumber daya manusia (penyidik) yang
berpendidikan yang terampil, organisasi yang baik, peralatan penyidikan yang memadai,
keuangan guna kegiatan penyidikan yang cukup.
Sarana dan fasilitas sangat dibutuhkan sekali dalam menunjang implementasi
tugas dan wewenang penyidik. Sebagai perangkat lunak yakni kemampuan anggota Dit
Pol Air dalam mengemban fungsi penegakan hukum khususnya di perairan yaitu terkait
154Soerjono Soekanto I, Op.Cit., hal 37
proses penyelidikan dan penyidikan. Sebagai ujung tombak peran Polisi Perairan adalah
para komandan Kapal yang bertugas melakukan patroli dan penegakan hukum di
wilayah hukum Dit Pol Air yang sudah memiliki pendidikan Nautika sebagai komandan
kapal. Pendidikan Nautika diperoleh melalui jenjang pendidikan kejuruan fungsi Pol Air
yang dilaksanakan di Pusdik Pol Air Pondok Dayung Jakarta. Menurut Brigadir
Herwanto selaku Komandan Kapal Polisi XI-1001 bahwa untuk menjadi Komandan
Kapal Polisi, harus mempunyai pengalaman dan kemampuan yang diperoleh melalui
pendidikan kejuruan Nautika di Pusdik Pondok Dayung, Jakarta.155
Perangkat keras dalam faktor sarana dan fasilitas untuk menunjang implementasi
undang-undang KSDAHE antara lain komputer yang dipergunakan dalam melengkapi
administrasi penyidikan serta tenaga penyidik yang handal dalam pengoperasian
komputer dengan didukung kertas dan printer yang cukup. Kamera yang digunakan
untuk mengambil gambar tersangka dan barang bukti, dan alat-alat pendukung lainnya
yang digunakan untuk melakukan penyidikan tindak pidana serta Kapal Patroli Polisi.
Kapal Patroli Polisi yang dimilik oleh Dit Pol Air Polda Bali saat ini berjumlah 12 (dua
belas) unit dengan jenis C2 dan C3 serta didukung dengan rubber boat (perahu karet)
sebanyak 9 (sembilan) unit. Minimnya jumlah Kapal Patroli yang dimiliki Dit Pol Air
Polda Bali juga berdampak terhadap keberhasilan Dit Pol Air Polda Bali dalam
melaksanakan penegakan hukum di seluruh wilayah perairan Bali khususnya terhadap
pelaku perdagangan penyu hijau di perairan.
155 Hasil wawancara dengan Brigadir Polisi Herwanto selaku Komandan Kapal Polisi XI-1001,
tanggal 10 Pebruari 2014.
Penambahan jumlah Kapal Patroli Polisi merupakan langkah yang harus diambil
oleh Dit Pol Air Polda Bali untuk memaksimalkan upaya penegakan hukum di wilayah
perairan khususnya penangkapan terhadap perdagangan penyu hijau.
4.2.3. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat.156 Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka
masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Penegakan hukum dapat
berjalan dengan baik apabila seorang penegak hukum dapat mengenal stratifikasi sosial
atau pelapisan masyarakat yang ada di lingkungan tersebut., beserta tatanan status
/kedudukan dan peranan yang ada.157
Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga
masyarakat.158 Yang dimaksud disini adalah kesadaran masyarakat untuk mematuhi
suatu peraturan perundang-undangan. Kesadaran masyarakat terhadap hukum yang
tinggi mengakibatkan masyarakat mematuhi ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Sehingga peraturan perundang-undangan bertujuan untuk mempengaruhi
masyarakat secara langsung maupun tidak langsung di dalam mendorong terjadinya
perubahan sosial.159 Faktor masyarakat erat kaitannya dengan teori sistem hukum yaitu
Budaya Hukum (Legal Culture), budaya hukum merupakan perilaku-perilaku
masyarakat dalam memandang hukum untuk dipatuhi serta ditaati.
Pemanfaatan penyu hijau di Bali, khususnya Bali selatan sudah berlangsung sejak
zaman dahulu dan merupakan tradisi yang sudah turun temurun. Pemanfaatan penyu
156 Soerjono Soekanto I, Op. Cit., hal 45 157Ibid, hal 51 158Zainuddin Ali, 2005, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 64 159Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal
122. (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II)
sebagian besar untuk dijadikan masakan khas Bali (sate dan lawar penyu). Selain
sebagai masakan, penyu pada bagian kulitnya juga dapat dimanfaatkan untuk dijadikan
sebagai cinderamata seperti cincin, gelang, kalung dan lain sebagainya.
Penegakan hukum oleh Dit Pol Air terhadap pelaku perdagangan penyu hijau,
tidak membuat aktivitas perdagangan tersebut berhenti. Pelan tapi pasti pengangkutan
penyu hijau ke Bali masih terus berlangsung. Hal tersebut dapat diketahui dari setiap
tahunnya masih banyak pelaku perdagangan penyu hijau ditangkap dan disidik oleh Dit
Pol Air Polda Bali.
Implementasi tugas dan wewenang Penyidik Dit Pol Air terhadap perlindungan
penyu hijau berkaitan langsung dengan budaya hukum masyarakat yang kurang
memahami terkait larangan penggunaan penyu hijau berdasarkan ketentuan Undang-
Undang KSDAHE serta masih banyaknya oknum masyarakat Bali khususnya Bali
Selatan, dan Kabupaten Badung yang gemar mengkonsumsi masakan yang berbahan
dasar penyu hijau. Hal tersebut dapat diketahui dengan masih ada pedagang sate
maupun lawar penyu yang masih beroperasi sampai saat ini. Pedagang sate maupun
lawar penyu memperoleh penyu hijau dari oknum-oknum masyarakat yang
memperdagangkan penyu yang didatangkan dari luar Bali dengan menggunakan kapal
pengangkut.
Maraknya perdagangan penyu hijau yang masih berlangsung tidak terlepas dari
nilai ekonomis penyu hijau yang cukup tinggi. Sehingga meskipun penegakan hukum
terus dilakukan oleh Dit Pol Air dengan menindak pelaku perdagangan penyu hijau,
namun apabila tidak ada kesadaran maupun kepatuhan dari oknum pedagang penyu
hijau maupun pola pikir masyarakat yang awalnya peminat masakan berbahan dasar
penyu hijau untuk menghentikan aktivitasnya tersebut, tujuan dan implementasi dari
Undang-undang KSDAHE tidak dapat berjalan dengan baik.
Perlunya peningkatan kesadaran hukum masyarakat terhadap Undang-undang
KSDAHE berakibat dapat menimbulkan kepatuhan masyaraakat terhadap ketentuan
Undang-undang KSDAHE itu sendiri. kesadaran hukum masyarakat itu sendiri
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1. Pengetahuan hukum; bila suatu perundang-undangan telah diundangkan dan diterbitkan menurut prosedur yang sah dan resmi, maka secara yuridis peraturan perundang-undangan itu berlaku. Dan timbullah asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui adanya Undang-undang tersebut.
2. Pemahaman hukum; apabila pengetahuan huklum saja yang dimiliki masyarakat, hal itu belumlah memadai, masih diperlukan pemahaman hukum atas hukum yang berlaku. Melalui pemahaman hukum, masyarakat diharapkan memahami tujuan peraturan perundang-undangan serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh perundang-undangan yang dimaksud.
3. Penaatan hukum; seseorang warga masyarakat menaati hukum karena pelbagai sebab, sebab yang dimaksud dapat dicontohkan sebagai berikut a. Takut karena sanksi negative, apabila hukum dilanggar b. Untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa c. Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya d. Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut e. Kepentingannya terjamin
4. Pengharapan terhadap hukum; suatu norma akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah mengetahui, memahami, dan menaatinya. Artinya ia benar-benar dpaat merasakan bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta ketentraman dalam dirinya.160
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum masayarakat di
atas, faktor pemahaman hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat Denpasar dan
Kabupaten Badung terkait perdagangan dan kebiasaan mengkonsumsi penyu hijau.
Sehingga untuk mengantisipai faktor pemahaman tersebut, Dit Pol Air Polda Bali
160Zainuddin Ali, Op. Cit., hal 66-68
melakukan upaya-upaya preventif untuk menambah pemahaman hukum masyarakat di
wilayah hukumnya.
Upaya yang dilakukan Dit Pol Air Polda Bali guna memberi pemahanan terhadap
Undang-undang KSDAHE kepada nelayan-nelayan tradisional mengenai pemanfaatan
penyu hijau di Bali adalah dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan hukum.
Sebagaimana hasil wawancara terhadap Kompol I Putu Suaradinata, selaku Kasi
Bimasair, Dit Pol Air Polda Bali :
Penyuluhan-penyuluhan terhadap kelompok-kelompok nelayan khususnya di wilayah Denpasar Selatan dan Kabupaten Badung sudah sering dilakukan oleh Dit Pol Air Polda Bali. Penyuluhan tersebut terkait dengan pemberian pemahaman terhadap masyarakat pesisir terhadap beberapa ketentuan perundang-undangan yang salah satunya masalah Undang-undang KSDAHE. Disamping memberikan penyuluhan dan pembinaan masyarakat pesisir, kegiatan tersebut juga ditujukan untuk memperoleh informasi terkait kerawanan-kerawanan yang ada di wilayah hukum Dit Pol Air Polda Bali. Penyuluhan terhadap kelompok-kelompok masyarakat pesisir dilaksanakan secara berkesinambungan dan merupakan tugas pokok fungsi Bimas Air Dit Pol Air Polda Bali. Penyuluhan hukum dalam hal ini Undang-undang KSDAHE, merupakan tahapan
selanjutnya dari penerapan hukum. Tujuan utama dari penerangan dan penyuluhan
hukum adalah agar warga masyarakat memahami hukum-hukum tertentu, sesuai
masalah-masalah yang dihadapi pada suatu saat.161 Apabila kesadaran hukum
masyarakat dapat terwujud dengan baik, maka secara tidak langsung terjadi perubahan
sosial yang mengarah kepada menurunnya tingkat tindak pidana terhadap perdagangan
penyu hijau serta berkurangnya minat masyarakat terhadap makanan yang berbahan
dasar penyu hijau.
161 Zainuddin Ali, Op. Cit., hal 69
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Bahwa implementasi tugas dan wewenang Penyidik Dit Pol Air terkait
perlindungan terhadap penyu hijau belum berjalan secara optimal. Faktor
penghambat dari penegak hukum terkait jumlah personil yang terbatas serta
faktor sarana dan fasilitas yang berhubungan dengan minimnya jumlah
kapal patroli akibat dibentuknya Satuan Kepolisian Perairan Polres dan
Polresta menjadi penghambat Dit Pol Air dalam melaksanakan penyelidikan
dan penyidikan terhadap perdagangan penyu hijau di perairan. Adanya
faktor penghambat eksternal berupa cuaca dan kondisi perairan, juga
menjadi penghambat kinerja Dit Pol Air, sehingga penegakan hukum di
perairan tidak berjalan secara maksimal.
2. Bahwa adapun faktor pendukung dalam pelaksanaan tugas dan wewenang
Penyidik Dit Pol Air diantaranya adalah faktor Undang-undang dan faktor
kebudayaan. Sedangkan faktor penghambatnya adalah faktor penegak
hukum, faktor sarana dan fasilitas serta budaya hukum masyarakat yang
kurang memahami serta mematuhi larangan penggunaan penyu hijau
berdasarkan Undang-undang 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
5.2. Saran
1. Agar Dit Pol Air dalam menunjang tugas dan wewenangnya terhadap
perlindungan penyu hijau dan penegakan hukum di wilayah perairan, perlu
adanya penambahan jumlah personil dan memperbanyak kapal patrol polisi.
Koordinasi penyidik Dit Pol Air dengan penyidik dari instansi samping
harus berjalan harmonis agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan, serta
membangun kerjasama yang baik antar sub sistem peradilan pidana
(kejaksaan, kehakiman, Lembaga Pemasyarakat dan Advokat) sehingga
terbangun suatu sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal
justice system).
2. Agar pelaksanaan tugas dan wewenang Penyidik Dit Pol Air terhadap
perlindungan Penyu Hijau dapat berjalan dengan baik, hendaknya penyidik
dapat menginventarisasi faktor-faktor pendukung tugas dan wewenangnya
serta mencari solusi pemecahan masalah terhadap faktor-faktor
penghambatnya. Perlunya dibentuk peraturan perundang-undangan sebagai
payung hukum terhadap pemanfaatan penyu hijau sebagai sarana upacara
adat di Bali (Perda), serta perlu ditingkatkannya peran Dit Pol Air dalam
memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang bertujuan
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Adji, Indriyanto Seno, 2009, Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Ali, Achmad, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Cetakan Keempat,Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Ali, Achmad dan Wiwie Heryani, 2002, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Edisi Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Ali, Mahrus, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung.
Arifin, Firmansyah, dkk., 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta.
Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung
--------------------------, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Cetakan ke-1,Prada Media Grup, Jakarta.
Budiono, Abdul Rachman, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Bayumedia Publishing, Malang.
Bruggink, J.J.HAL., ahli bahasa Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Cetakan Kedua, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Chazawi, Adami, 2011, Pelajaran Hukum Pidana, Cetakan ke 6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Cole, George F., 1976, Criminal justice, Law and Politics, Second Edition, Duxbury Press, California
Compiler, Martin H., 1995, Oxford Learner’s Pocket Dictionary New Edition, Oxford University Press, Oxford.
Direktorat Kepolisian Perairan polda Bali, 2012, Rancangan Rencana Kerja Direktorat Kepolisian Perairan Polda Bali Tahun Anggaran 2013.
Erwin, Muhamad, 2008, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama,Bandung.
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Bali 5-1-2009.
Friedman, Lawrence M., 1975, The Legal System; A Social Science Perspective, Russel
Sage Foundation, New York.
Gadjong, Agussalim Andi, 2007, Pemerintahan Daerah (Kajian Politik dan Hukum),: Ghalia Indonesia, Bogor.
Hadjon, Phillipus M., 2008, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Introduction to the administrative law, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Hamzah, Andi, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
Harahap , M. Yahya, 2007, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP;
Pennyidikan Dan Penuntutan, Edisi Ke Dua, Sinar Grafika, Jakarta.
Hatta, Mohammad, 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum & Pidana Khusus, Liberty Yogyakarta.
Indrati, Maria Farida S, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Proses dan Teknik
Pembentukannya, Kanisius. Yogyakarta. Kartanegara, Satochid, 1985, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta. Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil, 2002, Hukum dan Tata Negara Republik
Indonesia, Cetakan Ketiga, Rineka Cipta, Jakarta.
Khozim, M., 2011, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (terjemahan buku Lawrence M. Friedman “The Legal System; A Social Science Perspective”), Nusa Media, Bandung.
Machmud, Syahrul, 2007, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
Makaroa, Mohammad Taufik, 2002, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Manik, Karden Eddy Sontang, 2009, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Cetakan ke-3, Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta.
Marpaung, Ledeng, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.
--------------, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana,Sinar Grafika, Jakarta.
Marwan M. dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, Reality Publisher, Surabaya.
Mabes Polri Bareskrim, 2006, Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Penyidikan, Jakarta.
Masduki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pusaka, Yogyakarta
Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Muhammad, Rusli, 2007, Hukum Acara Pidana Kontenporer, Citra Aditya Bakti,
Bandung. Mulyadi, Lilik, 2010, Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Praktik
Keadilan, Mandar Maju, Malang. Packer, Herbert L., 1968, The Limit of Criminal Sanction, California, Stanford
University Press, Stanford California. Poerwadarminta, W.J.S, 1954, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Prasetyo, Teguh, 2010, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono, 2003, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia Edisi Ketiga, Refika Aditama, Bandung.
Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2010, Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi, Denpasar Bali.
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial, Cetakan Ketiga, Genta
Publishing, Yogyakarta.
Rahmadi, Takdir, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, Cetakan ke-1, Raja Grafindo
Persada, Jakarta. Ridwan H.R., 2008, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta. ------------, 2010, Teori Hukum, Cetakan III, Genta Publishing, Yogyakarta. Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rukmini, Mien, 2003, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah Dan
Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Peradilan Pidana Indonesia, PT. Alumni, Bandung
Sadjijono, 2008, Hukum Kepolisian Polri dan Good Governance, Laksbang Mediatama,
Surabaya
Saleh, Chairul, dkk, 2005, Peraturan Perundang-Undangan Penanganan Kasus Peredaran Ilegal Tumbuhan dan Satwa Liar, WWF for living planet. Jakarta.
Salim, H, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Cetakan ke-2, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sasangka, Hari, 2007, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan dalam Praktek dan Teori, Mandar Maju, Bandung
Selayang Pandang Dit Pol Air Polda Bali, 2012, Denpasar.
Sholehuddin M., 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double System dan Implementasinya), Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Siahaan, N.H.T., 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua,
Erlangga, Jakarta. Seidman, Robert B., 1978, The State, Law, and Development, ST. Martin’s Press, New
York. Silalahi, M. Daud, 2001, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum
Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung. Soekanto, Soerjono, 2005, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
-------------,1982, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
-------------,1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta Sulistia, Teguh dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta Sunaryo, Sidik, 2005, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang Sunggono, Bambang, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Suparni, Niniek, 1996, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta
Syamsuddin, Aziz, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta.
Van Wijk, H.D. and Wilem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Rech, Uitgeverij Lemma B.V. Culemborg, Amsterdam.
Wulan, G. Ambar, 2009, Polisi dan Politik, Intelijen Kepolisian Pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Zamani, Nevianty Putri, dkk, 1998, Penyu Laut Indonesia Lestarikan atau Punah Selamanya, Rhika Dewata, Singaraja
Zulkarnain, 2013, Praktik Peradilan Pidana, Panduan Praktis memahami Peradilan Pidana, Setara Press, Malang.
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN INSTRUMEN
INTERNASIONAL, SERTA PERATURAN MENGIKAT LAINNYA.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 tentang Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora. Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Managemen Penyidikan Tindak Pidana. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora). Washington, D.C, 3 Maret 1973.
III. ARTIKEL INTERNET
Himawan, Sigit (2012) Pemberantasan Wildlife Crime di Indonesia Melalui Kerjasama ASEAN Wildlife Enforecement Network (ASEAN-WEN), Available at http://eprints.undip.ac.id/37853/, diakses pada hari Selasa, tanggal 5 Maret 2013, pukul 10.30 wita.
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/INFO_III01/IV_III01.htm,
diakses tanggal 25 Pebruari 2013, diakses pada pukul 20.01 wita. http://polsekkakap.blogspot.com/2012/12/sejarah-polisi-perairan.html. diakses pada hari
Kamis, tanggal 2 Pebruari 2014. Hadi,Muhammad, 2013, Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengelolaan Lingkungan,
Lab. Ekologi dan Biosistemik Jurusan Biologi FMIPA Undip, Yogyakarta, http://eprints.undip.ac.id/1070/1/ILING-II-5-KONSERVASI.pdf (diakses tanggal 18 Juni 2014)
www.wwf.or.id/tentang_wwfupaya_kami/marine/howwework/endangeredmarinespecie
s/tcec.cfh. diakses pada hari Selasa, tanggal 25 Maret 2014, pukul 19.30 wita. Setiawan, I Dewa Gede, 2012, Skripsi tentang Tindak Pidana Pengangkutan dan
Perdagangan Penyu Hijau, Universitas Dwi Jendra, Denpasar IUCN. (2007). The IUCN Red List of Threatened Species. IUCN the World
Concervation Union. http://www.iucnredlist.org/info/programme, diakses tanggal 16 April 2013.
Mulyadi, Lilik, 2002, Penerapan sanksi Pidana Terhadap Terdakwa Penangkap Penyu
Hijau (Chelonia Mydas) (Kasus di Kabupaten Badung Provinsi Bali), (Tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Pro Fauna, 2008, Perdagangan Penyu Di Bali, Available at
http://www.profauna.org/content/id/perdagangan_penyu_di_bali.html,diakses
tanggal 3 Maret 2013, pukul 13.00 wita.
Rafi Sinulingga, 2011, Teori-teori Pemidanaan, Available at http://rafi-thegunners.blogspot.com/2011/01/teori-teori-pemidanaan.html, diakses pada hari Sabtu, tanggal 20 April 2013, pukul 22.30 wita.
Rini Mirza, 2012, Penegakan Hukum Pidana Terhadap Perdagangan Ilegal Satwa Liar Yang Dilindungi, Available at http://repository.usu.ac.id/, diakses pada hari Selasa, tanggal 5 Maret 2013, pukul 11.30 wita.
Sri Wahyuni, Indar, dkk, 1994, Studi TenTang Penyu Dan Pemanfaatannya di Bali, Jurnal Penelitian Perikanan Laut, No. 82 Tahun 1994. Available at www.pustaka.litbang.deptan.go.id, diakses pada hari Minggu, tanggal 23 Juni 2013
Status Hukum, 2012, Perlindungan Hukum, Available at
http://statushukum.com/perlindungan-hukum.html, diakses pada hari minggu,
tanggal 16 Mei 2013, jam 21.00 wita
Suara Komunitas, 2012, Mengapa Penyu Dilindungi, Available at
http://suarakomunitas.net/baca/21806/mengapa-penyu-di-lindungi/, diakses pada
hari Minggu tanggal 21 April 2013, pukul 01.00 wita.
Wikipedia, 2013, Konservasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Konservasi (diakses tanggal
18 Juni 2014)
L A M P I R A N
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : I Ketut Rai Suandi
Pangkat : Komisaris Polisi
Jabatan : Kasi Tindak Subdit Gakkum
2. Nama : I Putu Suaradinata
Pangkat : Komisaris Polisi
Jabatan : Kasi Bimas Air Satrolda
3. Nama : I Wayan Mongol
Pangkat : Aiptu
Jabatan : Panit I Tindak
4. Nama : I Nyoman Nuada, SH
Pangkat : Aiptu
Jabatan : Panit II Tindak
5. Nama : Herwanto
Pangkat : Brigadir
Jabatan : Komandan Kapal Polisi XI-1001
6. Nama : I Kadek Suyasa, SH
Pangkat : Bripka
Jabatan : Anggota Si Lidik Subdit Gakkum
7. Nama : I Wayan Geriya
Jabatan : Manager TCEC