69
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem imunitas adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk mempertahankan keutuhan tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Fungsi dari sistem ini adalah unutk pertahanan, Homeostasis, dan pengawasan dari zat asing atau antigen baik di luar maupun di dalam tubuh. Tubuh menggunakan berbagai macam sel, yang berinteraksi satu sama lainnya dalam pembuangan zat asing tersebut. Namun demikian, adakalanya terhadap zat yang asing tersebut, sel imun bereaksi tidak sesuai sehingga terjadi gangguan berupa penyakit tertentu. Dalam makalah ini kita akan membahas berbagai gangguan yang terdapat dalam sistem imun antara lain AIDS, kompleks imun,dan alergi obat. Untuk mengetahui berbagai gangguan yang terjadi pada sistem imunitas ini terdapat beberapa macam tes laboratorium yang dapat dilakukan seperti human imunnodeficiency virus (HIV 1/2). Antibody, acquired imunnodeficiency syndrome (AIDS), HTLV, toxoplasma, entamoeba histolytica, pemeriksaan quantitative IgA, IgG, IgM dan PEP (Protein Electrophoresis), serum dan urine. Mengingat angka kejadian penyakit sistem imunitas ini 1

imunologi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

keperawatan medikal bedah

Citation preview

Page 1: imunologi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem imunitas adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk

mempertahankan keutuhan tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya yang

dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Fungsi dari sistem

ini adalah unutk pertahanan, Homeostasis, dan pengawasan dari zat asing atau

antigen baik di luar maupun di dalam tubuh. Tubuh menggunakan berbagai

macam sel, yang berinteraksi satu sama lainnya dalam pembuangan zat asing

tersebut. Namun demikian, adakalanya terhadap zat yang asing tersebut, sel

imun bereaksi tidak sesuai sehingga terjadi gangguan berupa penyakit tertentu.

Dalam makalah ini kita akan membahas berbagai gangguan yang terdapat

dalam sistem imun antara lain AIDS, kompleks imun,dan alergi obat. Untuk

mengetahui berbagai gangguan yang terjadi pada sistem imunitas ini terdapat

beberapa macam tes laboratorium yang dapat dilakukan seperti human

imunnodeficiency virus (HIV 1/2). Antibody, acquired imunnodeficiency

syndrome (AIDS), HTLV, toxoplasma, entamoeba histolytica, pemeriksaan

quantitative IgA, IgG, IgM dan PEP (Protein Electrophoresis), serum dan urine.

Mengingat angka kejadian penyakit sistem imunitas ini yang cukup banyak

timbul pada masyarakat kita saat ini, maka kita perlu memahami tentang

beberapa penyakit sistem imunitas terutama pada tanda dan gejala yang terjadi

pada penyakit ini selain itu juga pemahaman terhadap berbagai tes yang dapat

menunjang ditegakkannya diagnosa penyakit ini sangat diperlukan. Hal inilah,

yang melatar belakangi disususnnya makalah mengenai sistem imunitas ini.

 

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah gambaran umum dari AIDS ?

2. Bagaimanakah gambaran umum dari kompleks imun ?

3. Bagaimanakah gambaran umum dari alergi obat ?

4. Bagaimana gambaran dari tes human imunnodeficiency virus (HIV 1/2).

Antibody, acquired imunnodeficiency syndrome (AIDS) ?

1

Page 2: imunologi

5. Bagaimana gambaran dari tes HTLV ?

6. Bagaimana gambaran dari tes toxoplasma ?

7. Bagaimana gambaran dari tes entamoeba histolytica ?

8. Bagaimana gambaran dari tes pemeriksaan quantitative IgA, IgG, IgM ?

9. Bagaimana gambaran dari tes PEP (Protein Electrophoresis), serum dan

urine ?

 

1.3. Tujuan

1. Mendiskripsikan gambaran umum dari AIDS.

2. Mendiskripsikan gambaran umum dari kompleks imun.

3. Mendiskripsikangambaran umum dari alergi obat.

4. Mendiskripsikan gambaran dari tes human imunnodeficiency virus (HIV

1/2). Antibody, acquired imunnodeficiency syndrome (AIDS).

5. Mendiskripsikan gambaran dari tes HTLV.

6. Mendiskripsikan gambaran dari tes toxoplasma.

7. Mendiskripsikan gambaran dari tes entamoeba histolytica.

8. Mendiskripsikan gambaran dari tes pemeriksaan quantitative IgA, IgG,

IgM.

9. Mendiskripsikan gambaran dari tes PEP (Protein Electrophoresis), serum

dan urine

2

Page 3: imunologi

BAB II

GAMBARAN UMUM PENYAKIT IMUNOLOGI

2.1. AIDS

2.1.1. Definisi

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah

sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya

sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.

2.1.2. Gejala

Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang

yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi

tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya

dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV.

HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita biasanya

memiliki gejala oportunistik seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim,

dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.

Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik ; seperti

demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar,

kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik

tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan

terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.

Tabel. 1

Infeksi oportunistik atau kondisi ayng sesuai dengan criteria Diagnosis Aids

1. Cytomegalovirus (CMV), selain hati, limpa atau kelenjar getah bening

2. CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)

3. ensefalopati HIV a

4. Herpes Simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronkitis,

pneumonitis atau esofagitis

5. Histoplasmosis, diseminata atau ekstra paru

6. isosporiasis, dengan diare kronik lebih dari 1 bulan

3

Page 4: imunologi

7. kandidiasis bronkus, trakea atau paru

8. kandidiasis esofagus

9. kanker serviks invasif

10. koksidiodomikosis, diseminataa atau ekstra paru

11. kriptosporiasis, dengan diare kronik lebih dari 1 bulan

12. leukoensefalopati multifokal progresif

13. limfoma burkitt

14. limfoma imunoblastik

15. limfoma primer pada otak

16. mikobakterium avium kompleks atau M. Kansasii, diseminata atau ekstra

paru

17. mikobakterium spesies alin atau spesies yang tidak dapat teridentifikasi,

diseminata atau ekstrapulmoner

18. mikobakterium tuberkulosis paru atau ekstra paru

19. peneumonia pneumocytis carinii

20. pneumonia recuren b

21. sarkoma karposi

22. septikemia salmonella rekuren

23. toksoplasmosis otak

24. wasting sindrom c

a. terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi otorik yang

mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari tanpa dapat dijelaskan oleh

penyebab lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain

dilakukan pemerikaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak

(CT scan atau MRI)

b. berulang lebih dari 1 episode dalam 1 tahun

c. terdapat epnurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik

(minimal 2 kali selama >30 hari), ata kelemahan kronik dan demam

lama(>30 hari, intermitten atau konstan) tanap dapat dijelaska oleh

penyakit atau kondisi lain selain HIV

4

Page 5: imunologi

2.1.3. Patogenesis

Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus

mempunyai afinitas terhadap molekul CD4. limfosit CD4+ berfungsi

mengkoordinasi sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi

tersebutmenyebabkan gangguan respon imun yang progresif.

Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi

akut Simian Immunodefisiensy Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit

CD4+ dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh agen presenting

cell kekelenjar getah bening regional. Pada model ini virus dideteksi pada

kelnjar getah bening 5 hari setelah inokulasi. Sel individual dikelenjar getah

bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in

situ. Dalam 7-14 hari setelah inokulasi. Puncak jumlah sel yang

mengekspresika SIV di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak

antigemia p26 SIV. Jumlah sek yang mengekspresikan virus di limpoid

kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan

pembentukan respon imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya

viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. walaupun demikian tidak

dapat dikatakan bahwa respon limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal

terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan steady-state

beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahap relatif stabil beberapa

tahun namun lamanya bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat

replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh

pejamu, adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan heterogenitas

intrinsik pejamu.

2.1.4. Patofisologi

Dalam tubuh ODHA, ppartikel virus bergabung dalam DNA pasien,

sehingga satu kali seseorang terkena virus HIV maka seumur hidup ia akan

tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagia berkembang

masuk tahap Aids pada 3 tahun pertama, 50% sesudah 10 tahun pertama dan

sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkkan

gejala aids dan kemudian meninggal.

5

Page 6: imunologi

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala

tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut,

spertidemam, nyeri menelan, pembengkakan kelanjar getah bening, ruam,

diare atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulai masa aimptomatik (tanpa

gejala) yang umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Seiring denngan

memburuknya kekebalan tubuh, odha muai menampakkan gejala-gejala

akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama,

pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis dll.

Tanpa pengobatan ARV walaupun selam beberapa tahun tidak

menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekbalan tubuh akan menurun

dan memburuk, akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang maki berat,

pasien masuk tahap AIDS. Manifestasi dari awal dari keruasakan sistem

kekebalan tubuh adalah kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah

bening dan infeksi HIV yang luas dijaringan limfoid yang dapat dilihat

dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi

di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.

2.1.5. Tes HIV

1. Pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV

Teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay)

Aglutinasi atau dot-blot assay

2. Pemeriksaan serologik untuk mendeteksi keberadaan virus HIV

Isolasi dan biakan virus

Deteksi antigen

Deteksi materi genetik dalam darah pasien

Tabel 2 Strategi Pemeriksaa Anti HIV

Tujuan Pemeriksaan Prevalensi infeksi HIV Strategi Pemeriksaan

Keamana transfusi dan

transplantasi

Semua prevalensi I

surveillance >10%

≤10%

I

II

6

Page 7: imunologi

Diagnosis

a. Bergejala infeksi

HIV / AIDS

b. Tanpa gejala

>30%

≤30%

>10%

≤10%

I

II

II

III

Ket:

1. Strategi I hanya kali pemeriksaan. Bila hasil reaktif maka di anggap

terinfeki HIV dan bila non-reaktif maka di anggap tidak terinfeksi

2. Strategi II menggunakan 2 kali pemeiksaan jika pada pemeriksaan

pertama memeberikan hasil reaktif.

3. Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila pemeriksaan

pertama, kedua dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa

pasien tersebut memang terinfeksi HIV.

2.2. KOMPLEKS IMUN

2.2.1. Definisi

Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila

kompleks antigen-antibody ditemukan dalam sirkulasi atau dinding

pembuluh darah, atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Antibody

yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan

melepas Macrophage Chemotactic Faktor (C3a dan C5a) makrofag yang

dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai mediator antara lain

enzim-enzim yang dapat merusak jaringan di sekitarnya.

Antigen dapat berasal dari infeksi kuman pathogen yang persisten

(malaria) , bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkjan alveolitis

alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi

dapat disertai antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya

respon antibody yang efektif.

7

Page 8: imunologi

Kompleks imun akan mengaktifkan sejumlah komponen system

imun. Komplemen yang diaktifkan kompleks imun melepas C3a dan C5a

(anafilaktosin) yang merangsang sel mast dan basofil berbagai mediator.

Komplemen juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan

dalam jaringan. Bahan vasoaktif yang dibentuk mast sel dan trombosit

menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler dan

inflamasi. Neutrofil akan ditarik dan akan mulai mengeliminasi kompleks.

Bila neutrofil terkepung di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks

dan akan melepas granulnya (angry cell). Kejadian ini akan menimbulkan

lebih banyak kerusakan jaringan.

Makrofag yang memakan kompleks imun dapat juga mengalami

kesulitan dalam menghancurkannya, sehingga makrofag dirangsang terus-

menerus untuk melepas berbagai sitokin yang juga bekerja secara autokrin.

2.2.2. Klasifikasi Kompleks Imun

A. Kompleks Imun Menetap

Dalam keadaan normal, kompleks imun dalam sirkulasi diikat

dan diangkut eritrosit ke hati dan limpa. Di sana dimusnahkan oleh sel

fagosit mononuclear, terutama di hati, limpa, dan parutanpa bantuan

komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks merupakan

8

Page 9: imunologi

faktor yang penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan

mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofagdalam hati. Kompleks

kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama

berada dalam sirkulasi. Diduga gangguan fungsi fagosit merupakan

salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan.

Meskipun kompleks imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu

lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila

kompleks imun tersebut mengendap di jaringan.

B. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan

Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kmpleks

imun di jaringan ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan

permeabilitas vascular yang meningkat, antara lain karena histamine

yang dilepas sel mast. (Gambar 97)

Kompleks antigen-antibodi dapat mengaktifkan beberapa system

imun sebagai berikut:

1. Aktifasi komplemen

a. Melepas anafilaktosin (C3a,C5a) yang merangsang sel

mast untuk melepas histamine.

9

Page 10: imunologi

b. Melepas factor kemotaktik (C3a, C5a, C5-6-7) yang

mengerahkan polimorf yang melepas anzim proteolitik

dan protein polikatonik.

2. Menimbulkan agregasi trombosit

a. Menimbulkan mikrotombi

b. Melepas amine vasoaktif

3. Mengaktifkan makrofag yang melepas IL-1 dan lain-lain

produk.

2.2.3. BENTUK REAKSI

Reaksi tipe III mempunyai 2 bentuk:

1. Reaksi Arthus (Bentuk Lokal)

Arthus yang menyuntikkan serum kuda ke dalam kelinci

intradermal berulangkali menemukan reaksi yang makin menghebat

di tempat suntikan. Mula-mula hanya terjadi eritem ringan dan

oedem dala 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang

keesokan harinya. Suntikan kemudian menimbulkan oedem dan

lebih besar dan suntikan ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan

nekrosis yang sulit menyembuh. Hal trsebu disebut fenomena Arthus

yang merupakan bentuk reaksi dari kmpleks imun. (Gambar 98)

Reaksi Arthus dapat terjadi di dinding bronkus atau alvaol

dan menimbulkan reaksi asthma lambat ya ng terjadi 7-8 jam setelah

inhalasi antigen, hal ini sering terjadi pada asma akiba kerja. Reaksi

Arthus biasanya memerlukan antibody dan antigen dalam jumlah

besar. Antigen ang disuntikkan akan membentuk kompleks yang

tidak larut dan masuk ke dalam sirkulasi atau mengendap pada

dinding pembuluh darah. Bila agregat menjadi besar, komplemen

mulai diaktifkan. C3a dan C5a (anafilaktosin) yang terbentuk

meningkatkan permeabititas pembuluh darah dan terjadi oedem.

C3a dan C5a berfungsi juga sebagai factor kemotaktik. Neutrofil

dan trombosit mulai dikerahkan di tempat reaksi dan menimbulkan

10

Page 11: imunologi

stasis dan obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan

memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang

digumpalkan melepas berbagai bahan, seperti protease, kolagenase,

dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdarahan disertai dengan

nekrosis jaringan setempat.

Dengan

teknik

imunofluoresen, antigen, antibody, dan berbagai komponen

komplemen dapat ditemukan di tempat kerusakan pada pembuluh

darah. Bila kadar komplemen atau jumlah granulosit menurun (pada

hewan, kadar komplemen dapat diturunkan dengan bias kobra),

maka kerusakan khas dari arthus tidak terjad. Reaksi Arthus di dalam

klinik dapat berupa vaskulitis.

2. Reaksi Serum Sickness (Bentuk Sistemik)

Reaksi lain, disamping arthus, disebut serum sickness. Istilah

itu berasal dari Pirquet dan Shick yang menemukannya sebagai

konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri

dan tetanus dengan antiserum asal kuda. Kerusakan patologis pada

infeksi korinebakterium dan klostridium disebabkan eksotoksin

yang dilepas, sedang kumannya sendiri tidak in vasif dan tidak

berarti.

11

Page 12: imunologi

Sekitar 1-2 minggu setelah serum itu diberikan, timbul panas

dan gatal, bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri di beberapa bagian

badan, sendi, dan kelenjar getah bening.

2.2.4. Tanda dan Gejala

1. Peradangan jaringan

2. Kerusakan jaringan

3. Peradangan pembuluh darah

4. Endocarditis

5. Peradangan saraf

6. Peradangan ginjal

2.2.5. Diagnosa

1. Pemeriksaan fisik

* pembengkakan kuku / jari

* pucat

* Conjunctiva tampak pucat

* Quadriceps / tanda-tanda kelemahan paha

* Radang pada pergelangan kaki

2. Pemeriksaan laboratorium

* Indeks reseptor transferin menurun

12

Page 13: imunologi

* PCO2 dalam arterial darah menurun

* PO2 dalam arterial darah menurun

* Saturasi transferin menurun

* Sodium dalam sel darah merah menurun

* Factor IX / PTC menurun

* CSF eritrosit menurun

2.2.6. Penyakit Kompleks Imun

Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat

dengan tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus (turbulence),

misalnya dalam kapiler gromelurus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus

koroid dan ciliary body mata. Pada Sistemik Lupus Eritematosus (SLE),

ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun. Pada Arthritid

Reumathoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti-IgG (factor

rheumatoid yang berupa IgM) dan menimbulkan kompleks imun.

Penyakit Antigen terlibat Patologi Klinik

Sistemik Lupus

Eritematosus (SLE)

DNA, nukleoprotein Nefritis, arthritis,

vaskulitis

Poliartritis nodosa Antigen permukaan virus

hepatitis B

Vaskulitis

Glomerulonefritis Pasca

streptokok

Antigen dinding sel

streptokok (mungkin

tertanam pada membrane

basal glomerulus)

Nefritis

Penyakit Serum Berbagai protein Nefritis, arthritis,

vaskulitis

Artritis Reumatoid Faktor rheumatoid (IgM

berupa anti IgG yang

mengikat FcG)

Kompleks

diendapkan di

sendi dan

menimbilkan

inflamasi

13

Page 14: imunologi

Farmer’s Lung;lain-lain:

Pigeon breeder’s

disease, Cheese washer’s

disease, Bagassosis,

Maple bark stripper’s

disease, Paprika

worker’s disease, dan

Thatched roof worker’s

disease

Aktinomise termofilik

yang membentuk IgG

Paru

Infeksi: malaria, virus

lepra

Antigen mikroba

berikatan dengan antigen

Endapan

kompleks imun

di berbagai

tempat.

Tabel 1. Beberapa Penyakit Kompleks Imun

2.3. ALERGI OBAT

2.3.1. Definisi

Alergi merupakan suatu reaksi abnormal dalam tubuh yang

disebabkan zat-zat yang tidak berbahaya. Alergi timbul bila ada kontak

terhadap zat tertentu yang biasanya, pada orang normal tidak menimbulkan

reaksi. Zat penyebab alergi ini disebut allergen. Allergen bisa berasal dari

berbagai jenis dan masuk ke tubuh dengan berbagai cara. Alergi juga dapat

ditimbulkan oleh obat.

Alergi obat adalah salah satu adversi yang ditimbulkan oleh obat

pada orang-orang yang sensitif. Alergi obat bentuknya sangat bervariasi.

Berdasarkan klinis bentuknya dapat berupa reaksi anafilaksis,

bronkospasme, dermatitis, demam, granulositopenis, anemia hemolitik,

hepatitis, lupus erythematosus-like syndrome, nefritis, pneumonitis,

trombositopenia, dan vaskulitis. Beberapa bentuk klinis dapat muncul dalam

14

Page 15: imunologi

waktu yang bersamaan. Mekanisme terjadinya reaksi ini masih

kontroversial, namun beberapa diantaranya diperantarai oleh pengaktifan

hapten-specific T cells (Kapsenberg 1996).

2.3.2. Patofisiologi

Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme

hipersensitifitas Gell dan Coomb, yaitu:

Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau

metabolitnya berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik dan

berikatan dengan sel mast di jaringan atau sel basofil di sirkulasi.

Reaksi terjadi akibat pelepasan histamin, leukotrien, prostaglandin,

platelet-activating factor, serta eosinophilic chemotactic factor yang

berasal dari IgE sel basofil dan sel mast setelah terpapar dengan

antigen spesifik.

Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan

IgM yang mengenali antigen obat di membran sel. Dengan adanya

komplemen serum, maka sel yang dilapisi antibodi akan dibersihkan

atau dihancurkan oleh sistem monosit-makrofag. Contohnya adalah

kerusakan sel akibat reaksi antigen-antibodi pada anemia hemolitik

Coombs-positif, leukopenia, pemfigus, pemfigoid, Goodpasture’s

syndrome, dan anemia pernisiosa.

Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble

dari obat atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. Reaksi ini

mengakibatkan deposisi kompleks antigen-antibodi yang terlarut

dalam pembuluh darah atau jaringan tubuh. Contohnya pada

systemic lupus erythematosus berupa poliartritis, glomerulonefritis

membranoproliferatif kronik, dan lain-lain.

15

Page 16: imunologi

Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity

reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang

spesifik obat. reaksi ini disebabkan sensitisasi limfosit (sel T) setelah

kontak dengan antigen. Berbeda dengan tipe-tipe sebelumnya, pada

tipe ini tidak diperantarai oleh antibodi tapi oleh limfosit dengan

leukosit atau faktor transfer, tetapi bukan dengan serum. Contohnya

adalah dermatitis kontak, sensitifitas obat tertentu, tiroiditis.

Bisa terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut

terhadap satu obat,namun yang tersering melalui tipe I dan IV.

Pada alergi terhadap obat, sistem kekebalan tubuh salah mengenali

obat sebagai agen penyebab penyakit. Alergi obat berbeda dari efek

samping atau reaksi non-alergis terhadap obat. Mengetahui perbedaannya

dapat menyelamatkan nyawa. Biasanya, kita tidak akan mengalami reaksi

alergi terhadap suatu obat yang baru pertama kali diminum. Namun seiring

dengan bertambahnya konsumsi, sistem kekebalan tubuh menjadi makin

sensitif sehingga dapat memicu reaksi pada saat selanjutnya kita minum

obat.

Kadang-kadang, dosis awal sudah cukup untuk membuat sistem

kekebalan tubuh menjadi sensitif. Atau sepuluh hari minum obat dapat

dilalui tanpa masalah, namun ketika obat yang sama diminum setahun

kemudian, timbul bercak dan wajah membengkak. Selain itu, jika kita

sensitif terhadap satu obat -walaupun baru pertama kali diminum, kita

mungkin akan bereaksi terhadap obat lain yang memiliki kemiripan

unsur/komponen.

Misalnya, dalam beberapa menit setelah minum obat (yang baru

sekali itu kita minum), kita mengalami kesulitan bernafas dan pkitangan

menjadi kabur. Ini mungkin gejala alergi obat. Terkadang -walaupun tidak

sering- kejadian serius bukan disebabkan oleh efek kerja atau efek samping

obat, melainkan serangan sistem kekebalan tubuh terhadap obat tersebut.

16

Page 17: imunologi

2.3.3. Etiologi

Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut

waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilakukan. Pada umumnya laporan

tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa,

salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu asam mefenamat, luminal,

fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion. Namun demikian yang paling sering

dihubungkan dengan alergi adalah penisilin dan sulfa. Alergi obat biasaya

tidak terjadi pada paparan pertama. Sensitisasi imunologik memerlukan

paparan awal dan tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum

terjadi reaksi alergi.

Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat

molekul yang kecil tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak

bergabung dengan bahan lain untuk bersifat sebagai allergen,disebut

sebagaai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein

jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses

didalam makrofag dan dipresentasikan pada sel limfosit. Sebagian kecil obat

mempunyai berat molekul besar misalnya insulin, antisera, ekstrak organ

bersifat sangat imunogenik dapat langsung merangsang sistem imun tubuh.

Ada obat dengan berat molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung

dengan protein lain. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini

membentuk polimer rantai panjang. Setelah paparan awal maka obat akan

merangsang pembentukan antibody dan aktifasi sel imun dalam masa

induksi (laten) yang dapat berlangsung 10-20 hari.

2.3.4. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ

yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi

imunologik Gell dan Coomb (tipe I s.d IV).

a) Tipe I

17

Page 18: imunologi

Manifestasi klinis yang terjadi merupakan efek mediator

kimia yang menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatnya

permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus.

1. Kejang bronkus gejalanya berupa sesak. Kadang-kadang

kejang bronkus disertai kejang laring. Bila keadaan ini juga

disertai dengan edema laring, bisa sangat gawat karena

penderita tidak dapat atau sangat sulit bernafas.

2. Urtikaria

3. Angioedema

4. Pingsan atau hipotensi

Menifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi

dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat. Karena hal

tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial

membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai anafilaksis.

Penyebabnya yang tersering adalah penisilin.

b) Tipe II

Manifestasi klinis tipe II umumnya berupa kelainan darah

seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia dan

granulositopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi

alergi tipe ini.

c) Tipe III

Manifestasi klinis tipe III dapat berupa :

1. Urtikaria, angioedema, eritem, makulopapula, eritem

multiforme, dan lain-lain. Gejala tersebut sering disertai

pruritus.

2. Demam

3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi

4. Limfadenopati

5. Lain-lain : kejang perut, mual, neuritis optik,

glomerulonefritis, sindrom SLE, gejala vaskulitis lain.

18

Page 19: imunologi

Gejala tersebut muncul 5 sampai 20 hari setelah

pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat

tersebut, gejala tersebut dapat timbul dalam waktu 1-5 hari.

d) Tipe IV

Manifestasinya dapat berupa reaksi paru akut yaitu : demam,

sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang tersering

menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantoin. Nefritis interstisial,

ensefalomielitis, dan heaptitis juga dapat merupakan manifestasi

reaksi alergi obat.

Namun demikian dermatits merupakan manifestasi yang

paling sering. Kadang-kadang gejala baru timbul bertahun-tahun

setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal (sulfa,

penisilin, atau antihistamin). Bila penderita telah sensitif, gejala

dapat muncul 18-24 jam setelah obat dioleskan.

2.3.5. Diagnosis

1. Anamnesis

Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan

cara yang paling penting untuk diagnosis alergi obat, karena cara-cara

pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan hasilnya juga belum

memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala yang

dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena penyakit

dasarnya. Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama

penderita mendapat lebih dari satu macam obat. Hal yang perlu

diparhatikan pada anmnesis penderita alergi obat adalah :

a. Catat semua obat yang dipakai penderita, termasuk vitamin,

tonikum dan juga obat yang sebelumnya telah sering dipakai

tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat.

b. Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaina obat sampai

timbulnya gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera,

19

Page 20: imunologi

tetapi kadang-kadang gejala alergi obat baru timbul 7 sampai 10

hari setelah pemakaian pertama

c. Cara, lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat

sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat diberikan secara

berselang-seling, berulang-ulang, serta dosis tinggi secara

parenteral.

d. Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis

obat tertentu.

e. Diagnosis alergi obat sangat mungkin, bila gejala menghilang

setelah obat dihentikan dan timbul kembali bila penderita

diberikan obat yang sama.

2. Tes kulit

Tes kulit yang ada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam

obat (penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obatan

yang lain masih diragukan nilainya. Hal ini karena beberapa hal, anatara

lain :

a. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya

dan bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita melakukan tes

kulit dengan obat aslinya hasilnya kurang dapat

dipertanggungjawabkan kecuali penisilin yang telah diketahui

hasi metabolismenya serta obat-obat yang mempunyai berat

molekul besar (insulin, ACTH, serum, serta vaksin yang

mengandung protein telur).

b. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya

histamin (kodein,tiamin), sehingga tes positif yang terjadi adalah

semu (false positive).

c. Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbulkan hasil positif

semu.

Tes kulit yang disebutkan diatas adalah tes kulit yang lazim

dipakai untuk reaksi alergi tipe I (anafilaksis). Tes kulit untuk tujuan

20

Page 21: imunologi

lain seperti untuk melihat reaksi lambat belum diakui sebagai prosedur

yang berguna, demikian pula peranan tes tempel (patch test) untuk

mulai reaksi alergi tipe IV).

3. Pemeriksaan Laboratorium

Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat

tipe I terutama ditunjang dengan pemeriksaan tes kulit, sayangnya tes

tersebut hanya terbatas pada beberapa macam obat. Dikenal

pemeriksaan R A S T (Radio Allergo Sorbent Test) yaitu pemeriksaan

untuk menentukan adanya lgE spesifik terhadap berbagai antigen.

Tetapi untuk obat, jenis antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini

berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi seperti pada penderita

yang mungkin timbul bila dilakukan tes kulit atau bila tidak dapat

dilakukan tes kulit (karena seluruhsel kulit rusak, minum anti histamin

dan kulit sensitif lagi).

Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti

pada anemia hemolitik dapat ditunjang dengan pemeriksaan Coombs

test indirek sedangkan trombositopenia dengan pemeriksaan reaksi

fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi.

Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang

reaksi alergi obat tipe III. Dibuktikan adanya antibodi lgG atau lgM

terhadap obat. Sedangkan pemeriksaan laboratorium untuk reaksi alergi

tipe IV selain sangat rumit, hasilnya pun sering tidak memuaskan.

2.3.6. Kiat Menghindari Alergi Obat

1. Informasikan kepada dokter jika pada riwayat kesehatan keluarga,

ayah-ibu dan kita sendiri pernah mengalami alergi obat. Ada

kemungkinan bakat alergi obat orang tua menurun ke anak.

2. Catat dengan baik obat apa saja yang pernah digunakan &

menimbulkan alergi. Hindari meminum obat alergen/pencetus alergi

21

Page 22: imunologi

3. Jangan minum obat sembarangan, perhatikan zat-zat yang terkandung

didalamnya mungkin ada zat yang harus dihindari

4. Minumlah obat seperlunya saja, jangan setiap kali merasa sakit lalu

minum obat sebanyak-banyaknya.

Jenis Obat yang Dianggap Sering Menimbulkan Alergi

1. Antibiotika penisilin

2. Sulfonamid

3. Obat antipiretik (penghilang rasa panas)

4. Obat analgetik (penghilang rasa sakit)

Cara pmberian obat juga berpengaruh menimbulkan alergi. Diantara

obat oral (minum), obat topikal (oles/semprot), obat tetes & yang

disuntikkan, yang berpeluang besar menimbulkan alergi adalah obat suntik

karena langsung direspon tubuh.

22

Page 23: imunologi

BAB III

TES DIAGNOSTIKA PENYAKIT IMUNOLOGI

3.1. HUMAN IMUNNODEFICIENCY VIRUS ( HIV 1/2 ), ANTIBODY

TEST; ACQUIRED IMUNNODEFICIENCY SYNDROME ( AIDS )

Test ini mendeteksi pertahanan imun manusian terhadap virus tipe 1 dan

2 ( HIV 1/2 ) merupakan penyebab AIDS. Infeksi HIV-1 umum terjadi di

Amerika Serikat dan Eropa Barat. Dan banyak kasus HIV-2 banyak dilaporkan

terjadi di Afrika bagian Barat. Tes untuk mendeteksi adanya HIV-1 dengan

screen antibody darah dan produk darah yang akan digunakan untuk transfusi

dan jaringan dan organ untuk transplasi. Tes tersebut juga digunakan untuk

orang dengan resiko sedang dalam perkembangan AIDS. Antara lain

penggunaan intravena drugs, hubungan sexual dengan orang yang terinfeksi

HIV, dan bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV. Diagnosa AIDS harus

merupakan fakta klinik. Tes digunakan untuk menentukan adanya bagian

antibodi untuk HIV-1 termasuk ELISA, Western Blot, PCR. PCR digunakan

sebagai evaluasi cara untuk mendeteksi viral load dan tes viral nucleic acid

( NAT ) sesudah infeksi tapi sebelum seroconversion.

23

Page 24: imunologi

Single reaktif ELISA itu sendiri tidak bisa digunakan untuk mendiagnosa AIDS.

Tes tersebut seharusnya selalu dilakukan berkali-kali dalam duplikat digunakan sample

darah yang sama. Jika reaktif berulang-ulang, tindak lanjut tes menggunakan Western

Blot harus dilakukan. Hasil positif Western Blot adalah menegaskan adanya HIV.

Kombinasi HIV-1/2 tes dapat diganti HIV-1 tes untuk screening darah dan produk darah

untuk transfusi. Hal tersebut juga digunakan untuk test potensial organ transplant

donor.

Tes diagnosa untuk HIV

Objek tes Cara tes Kapan tes dilakukan

Lelaki yang

memiliki hubungan

sex dengan lelaki,

penggunaan IV

drugs, mereka yang

tertarik melakukan

sex secara tdak

aman, perawatan di

klinik STD, wanita

hamil, mereka

dengan tanda dan

symptoms

pneumonia luar

biasa, lesi kulit,

mononucleosis-like

syndrome:; orang

yang tahu terinfeksi

HIV

Screening EIA dan

menjelaskan tes. Western Blot

menjelaskan tes deteksi

antibodi untuk HIV-1 antigens

inti;gp41,

gp120,gp160,p18,p24,p31,p40,

p65p55/51. IFA menjelaskan

tes deteksi potensial antibodi

dari fluorescein-tagged

secondary antibodies. Viral

RNA dan p24antigen

digunakan secara terus dengan

CD4 count untuk memonitor

treatment. NAT untuk

memonitor “viral load” tes

cepat:single-menggunakan

system diagnosa (SUDS)

dilaporkan dalam 1 jam.

Kecepatan sebuah

pendeteksian mungkin

bisa menjadi treatment

yang tepat.

Ibu-ke-anak (transmisi

vertical) selama

pengobatan saat hamil

dan pengantaran, dan

menunjukan bayi dalam

waktu 48 jam dari

pengantara; transmisi

HIV akan terjadi di utero,

selama lahir, dan dengan

breast-feeding.

Nilai referensi

Normal

Negatif untuk antibodi HIV melawan HIV antigens tipe 1 dan 2 dengan

ELISA, enzim immunoassay ( EIA ), dan Western blot.

24

Page 25: imunologi

HIV proviral RNA : not reactive or negative by PCR

HIV proviral DNA : not reactive or negative

NAT : viral load is low

Prosedur

Kumpulkan 7-mL serum darah merah dalam topped tube. Plasma

mungkin juga dapat digunakan. Observasi tindak pencegahan. Tempatka

spesimen di tas biohazard untuk dibawa ke laboratorium.

Oral pengujian

1. Saliva speciments, mungkin juga akan dikumpulkan dan biasanya untuk

mengidentifikasi dalam klinik pengaturan lingkungan yang tidak

terjangkau, yaitu nilai dari pengaturan perawatan. Cairan oral HIV

diagnostik dapat memberikan hasil dalam 20 menit, bagaimanpun tes

positif harus dikonfirmasi dengan tes yang lebih spesifik, seperti western

blot atau IFA.

Aplikasi tambahan untuk tes specimen oral

a. HIV-1 dan HIV-2

b. Viral hepatis A, B, C

c. Helicobacter Pylori

d. Campak/cacar air

e. Gondok

f. Rubella

g. Syphilis

h. Cytomegalovirus

i. Penyakit autoimun

j. Kanker ( Carcinoembrionic antigen [CEA], prostat-antigen

spesifik [PSA], CA125)

k. Diabetes tipe 1 dan 2

l. Teraupetik obat dan management obat dan deteksi obat lainnya.

2. Penggunaan alat khusus pengujian seperti komersial OraSure HIV-1 alat

pengumpul specimen oral (OraSure Technologies, inc, Bethlehem, PA).

25

Page 26: imunologi

peralatan yang berisi cotton pad pada nylon stick spesial dan botol berisi

bahan solusi reserparive. Solusi garam yang ada pada pad membantu

absroption cairan yang diperlukan.

3. Letakkan kapas bad diantara pipi bagian bawah dan gusi, menggilap

bolak-balik sampai moistened, dan tinggalkan ditempat dalam 2 menit.

menghapus pad diperlakukan secara khusus dan letakkan di botol khusus

antimicrobial pengawet solusi. contoh tempat kontainer biohazard dalam

tas dan transportasi ke laboratorium.

4. Omni-SAL (saliva diagnostic System ) alat metode pengumpulan dimana

cotton pad ditempatkan di bawah lidah. indikator dalam mengumpulkan

perangkat perubahan warna ketika jumlah yang cukup cairan oral telah

dikumpulkan.

Implikasi klinis

1. Tes positif dikaitkan dengan adanya replikasi virus dan munculnya HIV

antibodies ( IgM,IgG ).

2. Tes elisa positif yang gagal untuk mengkonfirmasi oleh western blot atau

IFA tidak boleh dianggap negatif, terutama pada munculnya gejala atau

tanda-tanda AIDS. ulangi tes dalam 3 sampai 6 bulan berdasarkan yang

disarankan.

3. Hasil positif mungkin terjadi pada orang yang tidak terinfeksi di

karenakan faktor yang diketahui.

4. Uji negatif cenderung mengesampingkan pasien AIDS berisiko tinggi

yang tidak memiliki karakteristik infeksi opurtunistic atau Tumors.

5. Infeksi HIV digambarkan sebagai sebuah tahap yang berkelanjutan

dengan rentan dari akut, transinent, mononucleosis-syndrom seperti yang

berkaitan dengan seroconversion infeksi asyptomatic, infeksi HIV

symptomatis dan akhirnya AIDS. AIDS adalah tahap akhir infeksi HIV.

6. treatments lebih efektif dan kurang beracun ketika dimulai pada awal

infeksi HIV.

7. HIV PCR metode untuk menentukan pemasukan virus dapat dilakukan

26

Page 27: imunologi

selama perawatan HIV untuk memantau prognosa dan perawatan pasien.

8. Diagnosis HIV di neonates sulit diperoleh karena mungkin antibodies

yang didapat ibu hadir sampai anak usia 18 bulan. Sebagai tambahan,

PCR untuk mendeteksi antigen biasanya tidak berhasil sampai pada anak

usia 6 bulan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi

1. 1.nonreactive hasil tes HIV terjadi selama tahap akut penyakit ketika

virus antibodies ada tapi tidak berkembang untuk terdeteksi. mungkin

diperlukan waktu hingga 6 bulan untuk hasil tes menjadi positif. selama

tahap ini, tes HIV antigen mungkin mengkonfirmasi sebuah infeksi HIV.

2. 2.peralatan test HIV sangat sensitif. Akibatnya, nonspecific reaksi dapat

terjadi jika orang yang di tes sebelumnya telah terkena sel HIV manusia

atau media pertumbuhan.

Intervensi

Pretest

1. pasien yang akan di tes HIV harus mengisi dan menandatangani

formulir dan harus di saksikan.

2. maka penting untuk di lakukan konseling terlebih dahulu dan

mengikuti tes antibodi HIV. ujian ini tidak boleh dilakukan tanpa izin

subjeknya informasi, dan orang yang membutuhkan akses harus di

sebutkan. pembahasan implikasi klinis dan perubahan prilaku dari

hasil test harus menujukan keakuratan test dan harus menunjang.

modifikasi prilaku seperti kontak seksual, jarum yang dilakukan

beramai2 dan transfusi darah.

3. mengkaji frekuensi dan intensitas dari gejala; ketingian suhu, gelisah,

takut, diare, sakit saraf, mual dan muntah-muntah, depresi, dan

kelelahan.

4. langkah-langkah pengendalian infeksi mmenggunaan standar

pencegahan.

27

Page 28: imunologi

5. ikuti panduan tentang keamanan, efektif, informasi pretest perawatan.

Tanda-tanda klinis.

1. isu2 tentang kerahasian test HIV.

2. Petugas kesehatan yang secara langsug bekerja pada perawatan pasien

HIV memiliki hak untuk mengetahui diagnosa sehingga mereka

mampu melindungi diri.

3. Semua hasil baik positif maupun negatif harus masuk pada catatan

kesehatan pasien untuk mempertahankan kerahasiaan. Orang-orang

biasanya lebih suka di tes secara sukarela ketika mereka percaya

bahwa pemberitahuaan tes HIV tidak akan terjadi. Implikasi jangka

panjang termasuk kehilangan pekerjaan, hanya menetap dirumah,

asuransi, dan kehilangan hubungan personal.

4. Petugas klinis harus menandatangani formulir legal yang menyatakan

bahwa pasien telah diberi tahu tentang resiko-resiko tes.

5. Seseorang yang menunjukkan antibodi HIV diasumsikan telah

terinfeksi HIV. Konseling, evaluasi medis dan intervensi perawatan

kesehatan harus didiskusikan.

6. Hasil test yang positif harus dilaporkan ke pemerintah dan institusi

petugas kesehatan.

7. Beberapa orang menyukai tes yang komersil dan dilakukan dirumah.

Posttest

1. menjelaskan Hasil tes. Keterangan penting dari hasil tes dengan

menghitung sel CD4+. menyarankan screening test untuk pasien dan

harus mengkomfirmasi sebelum hasilnya dilaporkan sebagai HIV

reaktif. menyediakan pilihan untuk segera konseling jika diperlukan.

menjelaskan perawatan dengan obat antiviral dan protease inhibitors.

society internasional AIDS bagi masyarakat AS telah

merekomendasikan mulai perawatan dengan obat antiretroviral jika

perhitungan sel CD4 <350μL tetapi sebelum mencapai 200μL.

Tingkat plasma HIV-1 RNA harus diperiksa setiap 4 hingga 8 bulan

28

Page 29: imunologi

sampai tidak terdeteksi dan itu adalah 3-4 kali per tahun. baru-baru

ini, FDA telah disetujui darunavir ethanolate untuk pengobatan HIV di

treatmen antiretroviral-pengalaman pasien.

2. ikuti panduan tentang aman, efektif, informasi posttest perawatan.

3.2. HUMAN T-CELL LYMPHOTROPIC (HTLV-I/II) ANTIBODY TEST

Tes ini untuk mendeteksi antibodies HTLV-1, yang terkait retrovirus

dengan T-sel dewasa leukimia (ATL) dan demyelinating neurologic disorders.

keberadaan HTLV-1 antibodies dalam asymptomatic seseorang dari sumbangan

darah, bagaimanapun temuan ini tidak berarti bahwa leukimia atau neurologic

disorder ada atau akan berkembangkan. spesimen dengan hasil tes positif oleh

EIA menjadi referensi untuk Western blot. hasil dari Western Blot untuk

investigational digunakan hanya pada saat waktu pencetakan.

Nilai referensi

Normal

Negatif untuk HTLV-I/II antibodi dengan EIA dan Western Blot

Prosedur

1. mengumpulkan 7-ml serum sampel darah merah dalam tabung-topped.

Memperhatikan standar kewaspadaan.

2. tempatkan spesimen dalam tas biohazard untuk transportasi ke

laboratorium.

Implikasi klinis

1. Hasil positif (antibodies ke HTLV-1) terjadi pada adanya infeksi HTLV-

1. infeksi ditransmisikan ke penerima HTLV-1 terinfeksi darah dan

didokumentasikan.

2. keberadaan antibodies ke HTLV-1 tidak berkaitannya dengan keberadaan

antibodies HIV-1; keberadaan nya tidak menempatkan orang beresiko

29

Page 30: imunologi

untuk HIV / AIDS, tetapi seringkali terjadi bersamaan karena faktor

risiko yang sama.

3. HTLV-1 adalah endemik ke Karibia tenggara Jepang, dan beberapa

daerah dari africa.

4. Di Amerika Serikat. HTLV-1 telah terdeteksi pada orang dengan ATL,

darah pengguna narkoba, dan orang sehat dalam donor produk darah.

transmisi juga dapat terjadi melalui proses menelan dari air susu ibu,

kontak seksual, dan berbagi dari kontaminasi IV drug paraphernalia.

Intervensi

Pretest perawatan pasien

1. menilai pasien tentang tes. menjelaskan tujuan dan prosedur tes.

2. ikuti panduan tentang aman, efektif, informasi pretest perawatan

Posttest perawatan klien

1. menafsirkan hasil tes; interpretasikan hasil tes immunologic.

Konsultasi pasien dengan tepat.

2. ikuti panduan tentang aman, efektif, informasi posttest perawatan.

3.3. TOXOPLASMOSIS (TPM) ANTIBODY TESTS

Toxoplasmosis disebabkan oleh parasit sporozoa Toxoplasma gondii.

Dapat terjadi akibat kongenital atau didapat dan ditemukan pada manusia,

binatang domestic, dan binatang liar. Manusia mungkin terinfeksi saat memakan

daging yang tidak diolah dengan benar atau materi lain yang juga

terkontaminasi. Kongenital toxoplasmosis dapat menyebabkan kematian janin.

Gejala infeksi subakut dapat muncul segera setelah kelahiran atau lebih banyak

lagi setelahnya. Komplikasi toxoplasmosis kongenital termasuk hidrochepalus,

microchepalus, konvulsi, dan retinitis akut. Diperkirakan bahwa seperempat

30

Page 31: imunologi

sampai setengah populasi orang dewasa terinfeksi toxoplasmosis asymptomatic.

CDC merekomendasikan untuk test serologic selama kehamilan.

Test IFA membantu membedakan toxoplasmosis dengan Infark Miocard.

Antibodi toxoplasma muncul 1-2 minggu saat infeksi dan mencapai puncaknya

pada 6-8 bulan. IFA juga penting untuk toxoplasmosis latent (yang belum

terlihat).

Nilai Referensi

Normal

Titer<1:16 : tanpa infeksi sebelumnya( kecuali untuk infeksi ocular)

dengan menggunakan IFA

Negatif dengan MEIA (Microparticle enzyme immunoassay)

Negatif : DNA T. gondii tidak terdeteksi oleh PCR.

Prosedur

1. Ambil 7 mL sample serum ke dalam red-topped tube. Perhatikan standart

pencegahan.

2. Tempatkan specimen dalam biohazard bag dan kirimkan ke laboratorium.

Implikasi Klinis

Test IFA dinilai positif pada kondisi:

1. Titer > 1:256 mengindikasikan baru terpapar atau sedang terinfeksi.

Peningkatan titer merupakan hal terpenting.

2. Berbagai nilai titer penting pada bayi baru lahir.

3. Titer > 1:1.024 penting untuk penyakit aktif

4. Titer < 1:16 terjadi saat terdapat toxoplasmosis ocular.

Intervensi

Pretest

1. Jelaskan tujuan dan prosedur

2. Ikuti SOP.

31

Page 32: imunologi

Posttest

1. Interpretasikan hasil. Konsultasikan dengan tepat.

2. Ikuti SOP.

3.4. AMEBIASIS (Entamoeba histolytica) ANTIBODY TEST

Entamoeba histolytica, agen penyebab amebiasis,merupakan parasite

patogenic intestinal. Test Entamoeba histolytica untuk menentukan ada atau

tidaknya serum antibodi yang spesifik untuk parasite ini. Pemeriksaan feses

digunakan sebagai alat penentu diagnostic. Ketidakberadaan organisme pada

feses bukan berarti mengindikasikan tidak adanya penyakit. Terapi antibiotik,

minyak enema dan barium mungkin berpengaruh terhadap kemampuan untuk

mengisolasi organisme ini di dalam feses.

Nilai Referensi

Normal

Negatif untuk antibodi Entamoeba histolytica menggunkan Indirect

Hemagglutination (IHA), agglutinasi latent, dan CIE.

Prosedur

1. Ambil 7 mL sample serum ke dalam red-topped tube. Perhatikan standart

pencegahan.

2. Tempatkan specimen dalam biohazard bag dan kirimkan ke laboratorium.

Implikasi Klinis

1. Test positif (titer > 1:128) mengindikasikan adanya infeksi aktif.

Catatan : Test positif dapat mencerminkan infeksi sebelumnya dan bukan

infeksi yang sedeng terjadi.

2. abscess akibat amebic liver dan dysentry amebic mengindikasikan adanya

amebiasis

32

Page 33: imunologi

3. Rentang titer dari1:256 sampai 1:2.048 menunjukkan adanya amebiasis

aktif.

4. Titer <1:32 secara umum selain amebiasis.

Intervensi

Pretest

1. Jelaskan tujuan dan prosedur

2. Ikuti SOP.

Posttest

1. Interpretasikan hasil. Konsultasikan dengan tepat.

2. Ikuti SOP.

3.5. PEMERIKSAAN QUANTITATIVE : IgA, IgG, IgM

5 kelas immunoglobulin (antibodi) – IgA, IgG (dengan 4 subklas IgG1,

IgG2, IgG3dan IgG4), IgM, IgD dan IgE – yang didisolasi. Fungsi

immunoglobulin adalah untuk menetralisir zat toxic, memicu fagocytosis, dan

mengganggu fungsi mikroorganism. IgA berbentuk serum dan secretory. Serum

IgA terdapat dalam serum darah, secretory IgAterdapat dalam saliva, air mata,

colostrum, brochial, gastrointestinal, dan sekresi urogenitalia dimana IgA dapat

melindungi dan melawan invasi dari mikroorganisme. IgE terdapat dalam reaksi

alergi, dan IgD ditemukan dalam imunitas humoral.

IgG, satu-satunya immunoglobin yang dapat melintasi plasenta, berperan

dalam proteksi bayi yang baru lahir selama kehidupan bulan pertama. IgM

mempunyai antibodi yang beraktifitas untuk melawan organisme gram negatif,

faktor rheumatoid, membentuk antibodi alami seperti golongan darah ABO. IgM

tidak dapat melewati plasenta sehingga biasanya tidak ada pada bayi yang baru

lahir dan akan ditemukan pada hari kelima seteal kelahiran.

Pengukuran immunoglobulin quantitative dapat memonitor jalannya

penyakit dan pengobatannya. Jika terdapat protein monoclonal atau komponen

M pada serum protein electrophoresis (SPEP), pengukuran kuantitatif pada IgA,

IgG dan IgM dapat mengidentifikasi immunoglobulin yang spesifik.

33

Page 34: imunologi

Nilai Referensi

Diturunkan dari laju nephelometry

1. Dewasa

a. IgG : 700 – 1.500 mg/dL

b. IgA : 60-400 mg/dL

c. IgM: 60-300 mg/dL

d. IgE : 3-423 IU/mL

e. IgD : 0-14 mg/dL

2. Anak-anak

a. IgA

(1) 0-4 bulan : 6-64 mg/dL

(2) 5-8 bulan : 10-87 mg/dL

(3) 9-14 bulan : 17-94 mg/dL

(4) 15-23 bulan : 20-175 mg/dL

(5) 2-3 tahun : 24-192 mg/dL

(6) 4-6 tahun : 26-232 mg/dL

(7) 7-9 tahun : 33-258 mg/dL

(8) 10-12 tahun : 45-285 mg/dL

(9) 13-15 tahun : 47-317 mg/dL

(10)16-17 tahun : 55-377 mg/dL

b. IgM (Laki-laki)

(1) 0-4 bulan : 14-142 mg/dL

(2) 5-8 bulan : 24-167 mg/dL

(3) 9-23 bulan : 35-200 mg/dL

(4) 2-3 tahun : 41-200 mg/dL

(5) 4-17 tahun : 55-260 mg/dL

c. IgM (perempuan)

(1) 0-4 bulan : 14-142 mg/dL

(2) 5-8 bulan : 24-167 mg/dL

(3) 9-23 bulan : 35-242 mg/dL

(4) 2-3 tahun : 41-250 mg/dL

34

Page 35: imunologi

(5) 4-17 tahun : 56-260 mg/dL

d. IgG (laki-laki dan perempuan)

(1) 0-4 bulan : 141-930 mg/dL

(2) 5-8 bulan : 250-1.190 mg/dL

(3) 9-11 bulan : 320-1.250 mg/dL

(4) 1-3 tahun : 400-1.250 mg/dL

(5) 4-6 tahun : 560-1.307 mg/dL

(6) 7-9 tahun : 598-1.379 mg/dL

(7) 10-12 tahun : 638-1.453 mg/dL

(8) 13-15 tahun : 680-1.531 mg/dL

(9) 16-17 tahun : 724-1.611 mg/dL

Prosedur

1. Ambil 7 mL sample serum ke dalam red-topped tube. Perhatikan standart

pencegahan.

2. Tempatkan specimen dalam biohazard bag dan kirimkan ke laboratorium.

Implikasi Klinis

1. Jumlah IgA adalah 10%-15% dari total immunoglobulin. Meningkat pada

kondisi di bawah ini :

a. penyakit liver non alkoholik kronis, khususnya Primary billiary

cirrhosis

b. Jaundice Obstruktif

c. Olahraga

d. Alkoholism

e. Infeksi subakut dan kronis

2. IgA turun pada kondisi

a. Ataxia-telangiectasia

b. Penyakit sinopulmonary kronis

c. Congenital deficit

d. Kehamilan akhir

e. Terapi immunosupresive benzena yang lama

35

Page 36: imunologi

f. Abstinensia dari alkohol setelah 1 tahun

g. Obat-obatan dan dextrin

h. Kehilangan protein pada gastroenterohepathies

Bahaya klinis :

Pasien dengan defisiensi IgA dapat memicu gangguan autoimun

dan dapat mengembangkan antibodi menjadi IgA, dengan kemungkinan

terjadinya anafilaktik jika ditransfusi darah yang mengandung IgA.

3. IgG : 75% sampai 80 % dari immunoglobuline total

a. Infeksi Granulomatous kronis

b. Hyperimmunization

c. Penyakit liver

d. Malnutrisi yang parah

e. Dysproteinemia

f. Penyakit yang berhubungan dengan granuloma hypersensitivitas,

gangguan dermatologic, dan myeloma IgG.

g. Arthritis Rheumatoid

4. IgG mengalami penurunan pada kondisi

a. Agammaglobulinemia

b. Aplasia Limphod

c. IgG selektif, kekurangan IgA

d. IgA myeloma

e. Bence Jones proteinemia

f. Leukimia lymphoblastic kronis

5. IgM : 5%-10% dari antibodi total. Peningkatan pada usia dewasa terjadi

pada kondisi

a. Waldenstrom’s macroglobulinemia

b. Trypanosomiasis

c. Malaria

d. Infeksi mononucleosis

e. SLE

f. Arthritis Rheumatoid

36

Page 37: imunologi

g. Dysgammaglobulinemia

6. IgM turun pada keadaan

a. Agammaglobulinemia

b. Gangguan Lymphoproliferatif

c. Aplasia Lymphoid

d. IgG dan IgA myeloma

e. Dysgammaglobulinemia

f. Leukimia lymphoblastic kronis

Bahaya Klinis :

Pada bayi baru lahir, level IgM >20 mg/ dL mengindikasi adanya

stimulasi sistem imun (misalnya : virus rubella, cytomegalovirus,

sypphilis, toxoplasmosis)

Intervensi

Pretest

1. Jelaskan tujuan dan prosedur

2. Ikuti SOP.

Posttest

1. Observasi protein elektrophoresis

2. Interpretasikan hasil. Konsultasikan dengan tepat. Follow up test

immunoglobuline diperlukan bersama viskositas serum, monitoring

pasien dengan monoclonal gamophaty.

3. Ikuti SOP.

3.6. PEP (Protein Electrophoresis), SERUM DAN URINE

37

Page 38: imunologi

Protein serum mewakili berbagai lingkungan mikro yang ada dalam

tubuh manusia, yang terdiri dari sumber nutrisi dan sistem buffer tubuh.

Immunoglobulin dan berbagai protein yang memiliki fungsi yang berhubungan

berperan sebagai agen immunologic. Protein carrier seperti haptoglobin,

prealbumin dan transferin, berfungsi dalam proses transport ion dan molekul

tertentu. Antiproteases seperti α1-antitripsin dan α2-macroglobulin, berfungsi

sebagai pengatur aktivitas berbagai macam enzim proteolitik. Selain itu,

beberapa kelas protein lain juga memiliki berbagai fungsi dalam tubuh seperti,

protein yang berfungsi sebagai pengatur tekanan onkotik, protein sebagai

komponen genetik (contohnya kromosom) dan protein sebagai substansi

metabolik (hormon). Serum darah dan urine merupakan bagian tubuh yang

paling sering digunakan untuk screening untuk mengetahui komponen

imunoglobulin monoklonal, dengan cara menghitung nilai rata-rata dari serum

protein electrophoresis. Imunoglobulin merupakan komponen utama dari fraksi

serum γ-globulin. Pada orang yang sehat immunoglobulin berbentuk policlonal

sebagai antibodi monoclonal. Ketika ikatan monoklonal diobservasi, seringkali

ditemukan tanda-tanda terjadinya suatu proses keganasan seperti multiple

myeloma atau Waldernstrom’s macroglobulinemia. SPE mempertinggi prosedur

penganalisaannya, seperti pada penghitungan secara kauantitas dari beberapa

protein yang spesifik dari immunoglobulin (IgA, IgG, IgM) dan immunofiksasi.

Hal ini, merupakan salah satu metode yang baik dalam melakukan screening

atau deteksi dini bagi orang sehat.

Beberapa tes ini dapat digunakan untuk mendiagnosa beberapa jenis

peradangan dan tingkat keganasan, sindrom nefrotik, penyakit liver, disfungsi

sistem imun, selain itu juga dapat mengevaluasi tingkat nutrisi seseorang dan

tekanan osmotik pada kondisi edema juga pada pasien yang mengalami

malnutrisi. SPE memberikan hasil elektroforesis pada lima fraksi dari protein

utama (albumin, α1-globulin, α2-globulin, β-globulin dan γ-globulin) pada

serum dan spesimen urin sehingga diagnosis yang nyata benar-benar dapat

ditegakkan. Komponen utama tersebut dapat memperlihatkan masing-masing

fraksi protein atau zona exhihibit karakteristik, yang memiliki pola

elektrophoresis yang unik dan didefinisikan menjadi beberapa zona, seperti;

38

Page 39: imunologi

a. Zona albumin (albumin)

b. Zona α1 (α1-lipoprotein, high-density lipoprotein, α1-antitrypsin)

c. Zona α2 (α2-macroglobulin, haptoglobin, β-lipoprotein)

d. Zona β (transferrin, C3 [complement])

e. Zona γ (fibrinogen, IgA, IgM, IgG)

Refrensi nilai

Serum Protein Electrophoresis (SPE)

Total protein SI unit Albumin SI unit

Adult; 6.0-8.0 g/dL 60-80 g/L Adult; 3.8-5.0 g/dL 38-50 g/L

<5d:5.4-7.0 g/dL 54-70 g/L Newborn: 2.6-3.6

g/dL

26-36 g/L

1-3 yr:5.9-7.0 g/dL 59-70 g/L 1-3 yr: 3.4-4.2 g/dL 34-42 g/L

4-6 yr: 5.9-7.8 g/dL 59-78 g/L 4-6 yr: 3.5-5.2 g/dL 35-52 g/L

7-9 yr: 6.2-8.1 g/dL 62-81 g/L 7-9 yr: 3.7-5.6 g/dL 37-56 g/L

10-19 yr: 6.3-8.6

g/dL

63-86 g/L 10-19 yr: 3.7-5.6

g/dL

37-56 g/L

α1-Globulin : 0.1-0.3 g/dL

α2-Globulin : 0.6-1.0 g/dL

β-Globulin : 0.7-1.4 g/dL

γ-Globulin : 0.7-1.6 g/dL

Urine Protein Electrophoresis (UPE)

Gambaran hasil biasanya telah dipersiapkan oleh patologis.

Pertanda Klinis

Normalnya, sangat kecil nilai protein yang diekskresikan melalui urine.

Namun, pada kondisi penyakit tertentu beberapa jumlah besar protein

diekskresikan. Pada penyakit liphoid nephrosis, terjadi proteinuria dimana

sejumlah besar albumin dieksresikan. Penyakit proteinuria yang nonselektif

seperti glumerulonefritis, semua tipe serum protein biasanya muncul pada urin.

39

Page 40: imunologi

Urine electrophoresis dapat mengidentifikasi Bence Jones protein yang biasanya

bermigrasi pada β-globulin dan γ-globulin.

Prosedur

1. Ambil 7ml serum darah dan masukkan dalam red-topped tube.

Perhatikan standart pencegahan.

2. Pengambilan spesimen urin dalam 24 jam ini, terutama di pagi hari

sangat dibutuhkan, sebanyak 100mL sample urin ini digunakan untuk

protein urin elektroforesis.

3. Jika sample darah dan urine menunjukkan keberadaan dari paraprotein

(monoclonal immunoglobulin), hasil yang ada dapat di confirmasikan

dengan hasil immunofixation electrophoresis (IFE) dapat dilakukan pada

spesimen yang sama dengan yang didapat untuk protein electrophoresis.

4. Untuk menghitung jumlah dari protein pada masing-masing fraksi,

protein yang telah tersparasi dilakukan scan dan dilakukan pemisahan

berdasarkan pada nilai bersih molekuler dengan melakukan penghitungan

dengan densitometer dan ditunjukkan hasilnya dalam gram per deciliter.

Implikasi Klinis

Berikut ini merupakan beberapa hal yang seringkali menunjukkan

keabnormalitasan dalam penghitungan nilai protein dan SPE:

1. Peningkatan nilai total serum protein (jumlah dari serum protein yang

bersirkulasi) atau disebut dengan hyperproteinemia; terjadi pada

dehidrasi dan keadaan hemokonsentrasi karena hilangnya cairan tubuh

(contohnya muntah, diare, daan keadaan ginjal yang buruk). Peningkatan

ini, juga ditemukan pada kondiisi berikut;

a. Penyakit liver

b. Multiple myeloma dan berbagai gammopathies

c. Waldenstrom’s macrogobulinemia

d. Penyakit tropical

e. Sarcoidosis

40

Page 41: imunologi

f. Gangguan kolagen seperti SLE dan rheumathoid arthitis

g. Peradangan kronis

h. Infeksi kronis

2. Jumlah protein serum menurun (hypoproteinemia); pada kondisi berikut:

a. Kurangnya intake nutrisi (puasa dan malabsorpsi)

b. Penyakit hati yang parah atau pecandu alkohol

c. Penyakit ginjal, sindrom nefrotik

d. Diarrhea (chorn’s disease, ulcerative colitis)

e. Penyakit kulit yang parah atau luka bakar

f. Gagal jantung

g. Hypothyroidsm

h. Imobilisasi yang lama akibat trauma dan pembedahan orthopedic.

3. Albumin serum meningkat dengan pemberian infus intravena dan kondisi

dehidrasi (peningkatan hemoglobin dan hematokrit mengindikasikan

tingginya level albumin).

4. Albumin serum menurun pada beberapa kondisi berikut:

a. Menurunnya proses sintesis seperti pada penyakit liver,

alcoholism, sindrom malabsorption, penyakit Chorn’s, konginetal

analbuminemia dan puasa.

b. Peningkatan kehilangan albumin; contohnya sindrom nefrotik,

luka bakar tingkat tiga

c. Tingkat gizi yang buruk dan intake Fe yang tidak adekuat.

d. Penurunan rasia albumin-globulin contohnya pada penyakit

kolagen, inflamasi kronik, penyakit liver, macroglobulin, infeksi

yang parah, luka bakar, ulcerative colitis).

5. Peningkatan α1-Globulin; infeksi (akut dan kronik) dan reksi febril.

6. Penuruan α2-Globulin, nephrosis dan kekurangan α-antitrypsin.

7. Peningkatan α2-Globulin pada kondisi dibawah ini:

a. Billiary cirrhosis

b. Obstructive jaundice

c. Nephrosis

41

Page 42: imunologi

d. Multiple myeloma

e. Kolitis ulcerative

8. Penurunan α2-Globulin pada anemia hemolitik akut.

9. Peningkatan β-Globulin pada penyakit biliary cirrhosis, obstuctive

jaundice dan multiple myeloma.

10. Penurunan β-Globulin pada nephrosis.

11. Peningkatan γ-Globulin pada beberapa kondisi berikut::

a. Infeksi kronis

b. Penyakit hepatic

c. Penyakit autoimune

d. Penyakit collagen

e. Multiple myeloma

f. Waldenstorm’s macroglobulinemia

g. Leukimia dan berbagai jenis kanker lain

12. Penurunan γ-Globulin pada beberapa kondisi dibawah ini:

a. Agammaglobulinemia

b. Hypogammaglobulinemia

c. Syndrome nephritic

Faktor yang mempengaruhi

1. Penurunan albumin dapat terlihat dengan pemberian infus intravena yang

cepat, hidrasi dan pada semua trimester periode kehamilan.

2. Hemolisis yang berlebihan dapat menurunkan nilai albumin 0,5g/mL,

ketika pasien berada pada posisi supine. Walaupun, hemolisis dan

dehidrasi meningkatkan nilai total protein serum.

3. Bed rest dalam waktu yang cukup lama dan trimester akhir kehamilan

dapat membuat penurunan nilai total protein.

Intervensi

Pretest patien care

42

Page 43: imunologi

1. Menjelaskan tujuan tentang tes dan prosedur pengambilan spesimen.

2. Jika pengumpulan spesimen urine harus dilakukan dalam 24 jam,

maka perlu diberikan peralatan khusus bagi pasien untuk membuang

urinenya.

3. Ikuti petunjuk keamanan dan keefektifan.

Post test patient care

1. Interpretasikan hasil dan monitor secara menyeluruh. Penurunan level

protein dan albumin diasosiasikan dengan edema dan hypocalcemia.

2. Mengkaji untuk tanda dan gejala dari pasien kemudian

mendokumentasikan hasilnya. Tes electrophoesis jarang digunakan

untuk mendiagnosa gammopathy. Tindakan perawatan lanjutan dapat

termasuk IFE, penghitungan immunoglobulin dan studi tentang sum-

sum tulang.

3. Mengikuti standart keamanan dan keefektifan.

43

Page 44: imunologi

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan

gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem

kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.

2. Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks

antigen-antibody ditemukan dalam sirkulasi atau dinding pembuluh

darah, atau jaringan dan mengaktifkan komplemen.

3. Alergi obat adalah salah satu adversi yang ditimbulkan oleh obat pada

orang-orang yang sensitif. Alergi obat bentuknya sangat bervariasi.

4. Human Imunnodeficiency Virus (HIV ½), Antibody Test, Acquired

Imunnodeficiency Syndrome (AIDS) mendeteksi pertahanan imun

manusian terhadap virus tipe 1 dan 2 ( HIV 1/2 ) merupakan penyebab

AIDS.

5. Human T-cell Lymphotropic (HTLV-I/II) Antibody Test untuk

mendeteksi antibodies HTLV-1, yang terkait retrovirus dengan T-sel

dewasa leukimia (ATL) dan demyelinating neurologic disorders.

44

Page 45: imunologi

6. Test IFA membantu membedakan toxoplasmosis dengan Infark Miocard.

Antibodi toxoplasma muncul 1-2 minggu saat infeksi dan mencapai

puncaknya pada 6-8 bulan.

7. Test Entamoeba histolytica untuk menentukan ada atau tidaknya serum

antibodi yang spesifik untuk parasite ini.

8. Pengukuran immunoglobulin quantitative dapat memonitor jalannya

penyakit dan pengobatannya. Jika terdapat protein monoclonal atau

komponen M pada serum protein electrophoresis (SPEP), pengukuran

kuantitatif pada IgA, IgG dan IgM dapat mengidentifikasi

immunoglobulin yang spesifik.

9. SPE memberikan hasil elektroforesis pada lima fraksi dari protein utama

(albumin, α1-globulin, α2-globulin, β-globulin dan γ-globulin) pada

serum dan spesimen urin sehingga diagnosis yang nyata benar-benar

dapat ditegakkan

4.2. Saran

1. Diagnostik sangat diperlukan dan harus dilakukan utnuk pemeriksaan

penyakit-penyakit. Untuk itu kita harus mengetahui tes tersebut dan dapat

mengaplikasikan sesuai dengan penyakit.

2. Semua pemeriksaan diagnostik harus berdasarkan masalah. Untuk itu, kita

harus mengetahui masalah suatu penyakit itu dengan tepat sehingga dapat

ditegakkan diagnosa yang tepat.

3. Perawat harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan

test.

4. Perawat harus memperhatikan dan menjalankan tindakan sesuai Standar

Operasional Perawat dengan baik.

45

Page 46: imunologi

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja,Karnen Garna. 2004. Imunologi Dasar Edisi ke enam. Jakarta :

Balai Penerbit FKUI.

Suparman, dkk. 1991. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia

Wilson, Denise D. 1999. Nurse’s Guide to Understanding Laboratory and

Diagnostic Test. Philadelphia : Library of Congress Cataloging in

Publication Data.

Media Aesculapius. 2001. Kapita Selekta Kedoktera. Jakarta: Media Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Price, Sylvia A. dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses

Penyakit. Jakarta : EGC.

Sudoyo,W dan Bambang Setiyohadi,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jakarta : Dep. IPD FKUI.

46

Page 47: imunologi

47