Upload
shinta-rosi
View
99
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
keperawatan medikal bedah
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sistem imunitas adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk
mempertahankan keutuhan tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya yang
dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Fungsi dari sistem
ini adalah unutk pertahanan, Homeostasis, dan pengawasan dari zat asing atau
antigen baik di luar maupun di dalam tubuh. Tubuh menggunakan berbagai
macam sel, yang berinteraksi satu sama lainnya dalam pembuangan zat asing
tersebut. Namun demikian, adakalanya terhadap zat yang asing tersebut, sel
imun bereaksi tidak sesuai sehingga terjadi gangguan berupa penyakit tertentu.
Dalam makalah ini kita akan membahas berbagai gangguan yang terdapat
dalam sistem imun antara lain AIDS, kompleks imun,dan alergi obat. Untuk
mengetahui berbagai gangguan yang terjadi pada sistem imunitas ini terdapat
beberapa macam tes laboratorium yang dapat dilakukan seperti human
imunnodeficiency virus (HIV 1/2). Antibody, acquired imunnodeficiency
syndrome (AIDS), HTLV, toxoplasma, entamoeba histolytica, pemeriksaan
quantitative IgA, IgG, IgM dan PEP (Protein Electrophoresis), serum dan urine.
Mengingat angka kejadian penyakit sistem imunitas ini yang cukup banyak
timbul pada masyarakat kita saat ini, maka kita perlu memahami tentang
beberapa penyakit sistem imunitas terutama pada tanda dan gejala yang terjadi
pada penyakit ini selain itu juga pemahaman terhadap berbagai tes yang dapat
menunjang ditegakkannya diagnosa penyakit ini sangat diperlukan. Hal inilah,
yang melatar belakangi disususnnya makalah mengenai sistem imunitas ini.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gambaran umum dari AIDS ?
2. Bagaimanakah gambaran umum dari kompleks imun ?
3. Bagaimanakah gambaran umum dari alergi obat ?
4. Bagaimana gambaran dari tes human imunnodeficiency virus (HIV 1/2).
Antibody, acquired imunnodeficiency syndrome (AIDS) ?
1
5. Bagaimana gambaran dari tes HTLV ?
6. Bagaimana gambaran dari tes toxoplasma ?
7. Bagaimana gambaran dari tes entamoeba histolytica ?
8. Bagaimana gambaran dari tes pemeriksaan quantitative IgA, IgG, IgM ?
9. Bagaimana gambaran dari tes PEP (Protein Electrophoresis), serum dan
urine ?
1.3. Tujuan
1. Mendiskripsikan gambaran umum dari AIDS.
2. Mendiskripsikan gambaran umum dari kompleks imun.
3. Mendiskripsikangambaran umum dari alergi obat.
4. Mendiskripsikan gambaran dari tes human imunnodeficiency virus (HIV
1/2). Antibody, acquired imunnodeficiency syndrome (AIDS).
5. Mendiskripsikan gambaran dari tes HTLV.
6. Mendiskripsikan gambaran dari tes toxoplasma.
7. Mendiskripsikan gambaran dari tes entamoeba histolytica.
8. Mendiskripsikan gambaran dari tes pemeriksaan quantitative IgA, IgG,
IgM.
9. Mendiskripsikan gambaran dari tes PEP (Protein Electrophoresis), serum
dan urine
2
BAB II
GAMBARAN UMUM PENYAKIT IMUNOLOGI
2.1. AIDS
2.1.1. Definisi
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah
sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya
sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.
2.1.2. Gejala
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang
yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi
tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya
dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV.
HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita biasanya
memiliki gejala oportunistik seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim,
dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik ; seperti
demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar,
kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik
tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan
terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
Tabel. 1
Infeksi oportunistik atau kondisi ayng sesuai dengan criteria Diagnosis Aids
1. Cytomegalovirus (CMV), selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
2. CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
3. ensefalopati HIV a
4. Herpes Simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronkitis,
pneumonitis atau esofagitis
5. Histoplasmosis, diseminata atau ekstra paru
6. isosporiasis, dengan diare kronik lebih dari 1 bulan
3
7. kandidiasis bronkus, trakea atau paru
8. kandidiasis esofagus
9. kanker serviks invasif
10. koksidiodomikosis, diseminataa atau ekstra paru
11. kriptosporiasis, dengan diare kronik lebih dari 1 bulan
12. leukoensefalopati multifokal progresif
13. limfoma burkitt
14. limfoma imunoblastik
15. limfoma primer pada otak
16. mikobakterium avium kompleks atau M. Kansasii, diseminata atau ekstra
paru
17. mikobakterium spesies alin atau spesies yang tidak dapat teridentifikasi,
diseminata atau ekstrapulmoner
18. mikobakterium tuberkulosis paru atau ekstra paru
19. peneumonia pneumocytis carinii
20. pneumonia recuren b
21. sarkoma karposi
22. septikemia salmonella rekuren
23. toksoplasmosis otak
24. wasting sindrom c
a. terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi otorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari tanpa dapat dijelaskan oleh
penyebab lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain
dilakukan pemerikaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak
(CT scan atau MRI)
b. berulang lebih dari 1 episode dalam 1 tahun
c. terdapat epnurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik
(minimal 2 kali selama >30 hari), ata kelemahan kronik dan demam
lama(>30 hari, intermitten atau konstan) tanap dapat dijelaska oleh
penyakit atau kondisi lain selain HIV
4
2.1.3. Patogenesis
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul CD4. limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasi sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebutmenyebabkan gangguan respon imun yang progresif.
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi
akut Simian Immunodefisiensy Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit
CD4+ dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh agen presenting
cell kekelenjar getah bening regional. Pada model ini virus dideteksi pada
kelnjar getah bening 5 hari setelah inokulasi. Sel individual dikelenjar getah
bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in
situ. Dalam 7-14 hari setelah inokulasi. Puncak jumlah sel yang
mengekspresika SIV di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak
antigemia p26 SIV. Jumlah sek yang mengekspresikan virus di limpoid
kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan
pembentukan respon imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya
viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. walaupun demikian tidak
dapat dikatakan bahwa respon limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal
terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan steady-state
beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahap relatif stabil beberapa
tahun namun lamanya bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat
replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh
pejamu, adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan heterogenitas
intrinsik pejamu.
2.1.4. Patofisologi
Dalam tubuh ODHA, ppartikel virus bergabung dalam DNA pasien,
sehingga satu kali seseorang terkena virus HIV maka seumur hidup ia akan
tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagia berkembang
masuk tahap Aids pada 3 tahun pertama, 50% sesudah 10 tahun pertama dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkkan
gejala aids dan kemudian meninggal.
5
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala
tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut,
spertidemam, nyeri menelan, pembengkakan kelanjar getah bening, ruam,
diare atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulai masa aimptomatik (tanpa
gejala) yang umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Seiring denngan
memburuknya kekebalan tubuh, odha muai menampakkan gejala-gejala
akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis dll.
Tanpa pengobatan ARV walaupun selam beberapa tahun tidak
menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekbalan tubuh akan menurun
dan memburuk, akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang maki berat,
pasien masuk tahap AIDS. Manifestasi dari awal dari keruasakan sistem
kekebalan tubuh adalah kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah
bening dan infeksi HIV yang luas dijaringan limfoid yang dapat dilihat
dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi
di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.
2.1.5. Tes HIV
1. Pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV
Teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay)
Aglutinasi atau dot-blot assay
2. Pemeriksaan serologik untuk mendeteksi keberadaan virus HIV
Isolasi dan biakan virus
Deteksi antigen
Deteksi materi genetik dalam darah pasien
Tabel 2 Strategi Pemeriksaa Anti HIV
Tujuan Pemeriksaan Prevalensi infeksi HIV Strategi Pemeriksaan
Keamana transfusi dan
transplantasi
Semua prevalensi I
surveillance >10%
≤10%
I
II
6
Diagnosis
a. Bergejala infeksi
HIV / AIDS
b. Tanpa gejala
>30%
≤30%
>10%
≤10%
I
II
II
III
Ket:
1. Strategi I hanya kali pemeriksaan. Bila hasil reaktif maka di anggap
terinfeki HIV dan bila non-reaktif maka di anggap tidak terinfeksi
2. Strategi II menggunakan 2 kali pemeiksaan jika pada pemeriksaan
pertama memeberikan hasil reaktif.
3. Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila pemeriksaan
pertama, kedua dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa
pasien tersebut memang terinfeksi HIV.
2.2. KOMPLEKS IMUN
2.2.1. Definisi
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila
kompleks antigen-antibody ditemukan dalam sirkulasi atau dinding
pembuluh darah, atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Antibody
yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan
melepas Macrophage Chemotactic Faktor (C3a dan C5a) makrofag yang
dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai mediator antara lain
enzim-enzim yang dapat merusak jaringan di sekitarnya.
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman pathogen yang persisten
(malaria) , bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkjan alveolitis
alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi
dapat disertai antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya
respon antibody yang efektif.
7
Kompleks imun akan mengaktifkan sejumlah komponen system
imun. Komplemen yang diaktifkan kompleks imun melepas C3a dan C5a
(anafilaktosin) yang merangsang sel mast dan basofil berbagai mediator.
Komplemen juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan
dalam jaringan. Bahan vasoaktif yang dibentuk mast sel dan trombosit
menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler dan
inflamasi. Neutrofil akan ditarik dan akan mulai mengeliminasi kompleks.
Bila neutrofil terkepung di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks
dan akan melepas granulnya (angry cell). Kejadian ini akan menimbulkan
lebih banyak kerusakan jaringan.
Makrofag yang memakan kompleks imun dapat juga mengalami
kesulitan dalam menghancurkannya, sehingga makrofag dirangsang terus-
menerus untuk melepas berbagai sitokin yang juga bekerja secara autokrin.
2.2.2. Klasifikasi Kompleks Imun
A. Kompleks Imun Menetap
Dalam keadaan normal, kompleks imun dalam sirkulasi diikat
dan diangkut eritrosit ke hati dan limpa. Di sana dimusnahkan oleh sel
fagosit mononuclear, terutama di hati, limpa, dan parutanpa bantuan
komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks merupakan
8
faktor yang penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan
mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofagdalam hati. Kompleks
kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama
berada dalam sirkulasi. Diduga gangguan fungsi fagosit merupakan
salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan.
Meskipun kompleks imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu
lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila
kompleks imun tersebut mengendap di jaringan.
B. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan
Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kmpleks
imun di jaringan ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan
permeabilitas vascular yang meningkat, antara lain karena histamine
yang dilepas sel mast. (Gambar 97)
Kompleks antigen-antibodi dapat mengaktifkan beberapa system
imun sebagai berikut:
1. Aktifasi komplemen
a. Melepas anafilaktosin (C3a,C5a) yang merangsang sel
mast untuk melepas histamine.
9
b. Melepas factor kemotaktik (C3a, C5a, C5-6-7) yang
mengerahkan polimorf yang melepas anzim proteolitik
dan protein polikatonik.
2. Menimbulkan agregasi trombosit
a. Menimbulkan mikrotombi
b. Melepas amine vasoaktif
3. Mengaktifkan makrofag yang melepas IL-1 dan lain-lain
produk.
2.2.3. BENTUK REAKSI
Reaksi tipe III mempunyai 2 bentuk:
1. Reaksi Arthus (Bentuk Lokal)
Arthus yang menyuntikkan serum kuda ke dalam kelinci
intradermal berulangkali menemukan reaksi yang makin menghebat
di tempat suntikan. Mula-mula hanya terjadi eritem ringan dan
oedem dala 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang
keesokan harinya. Suntikan kemudian menimbulkan oedem dan
lebih besar dan suntikan ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan
nekrosis yang sulit menyembuh. Hal trsebu disebut fenomena Arthus
yang merupakan bentuk reaksi dari kmpleks imun. (Gambar 98)
Reaksi Arthus dapat terjadi di dinding bronkus atau alvaol
dan menimbulkan reaksi asthma lambat ya ng terjadi 7-8 jam setelah
inhalasi antigen, hal ini sering terjadi pada asma akiba kerja. Reaksi
Arthus biasanya memerlukan antibody dan antigen dalam jumlah
besar. Antigen ang disuntikkan akan membentuk kompleks yang
tidak larut dan masuk ke dalam sirkulasi atau mengendap pada
dinding pembuluh darah. Bila agregat menjadi besar, komplemen
mulai diaktifkan. C3a dan C5a (anafilaktosin) yang terbentuk
meningkatkan permeabititas pembuluh darah dan terjadi oedem.
C3a dan C5a berfungsi juga sebagai factor kemotaktik. Neutrofil
dan trombosit mulai dikerahkan di tempat reaksi dan menimbulkan
10
stasis dan obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan
memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang
digumpalkan melepas berbagai bahan, seperti protease, kolagenase,
dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdarahan disertai dengan
nekrosis jaringan setempat.
Dengan
teknik
imunofluoresen, antigen, antibody, dan berbagai komponen
komplemen dapat ditemukan di tempat kerusakan pada pembuluh
darah. Bila kadar komplemen atau jumlah granulosit menurun (pada
hewan, kadar komplemen dapat diturunkan dengan bias kobra),
maka kerusakan khas dari arthus tidak terjad. Reaksi Arthus di dalam
klinik dapat berupa vaskulitis.
2. Reaksi Serum Sickness (Bentuk Sistemik)
Reaksi lain, disamping arthus, disebut serum sickness. Istilah
itu berasal dari Pirquet dan Shick yang menemukannya sebagai
konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri
dan tetanus dengan antiserum asal kuda. Kerusakan patologis pada
infeksi korinebakterium dan klostridium disebabkan eksotoksin
yang dilepas, sedang kumannya sendiri tidak in vasif dan tidak
berarti.
11
Sekitar 1-2 minggu setelah serum itu diberikan, timbul panas
dan gatal, bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri di beberapa bagian
badan, sendi, dan kelenjar getah bening.
2.2.4. Tanda dan Gejala
1. Peradangan jaringan
2. Kerusakan jaringan
3. Peradangan pembuluh darah
4. Endocarditis
5. Peradangan saraf
6. Peradangan ginjal
2.2.5. Diagnosa
1. Pemeriksaan fisik
* pembengkakan kuku / jari
* pucat
* Conjunctiva tampak pucat
* Quadriceps / tanda-tanda kelemahan paha
* Radang pada pergelangan kaki
2. Pemeriksaan laboratorium
* Indeks reseptor transferin menurun
12
* PCO2 dalam arterial darah menurun
* PO2 dalam arterial darah menurun
* Saturasi transferin menurun
* Sodium dalam sel darah merah menurun
* Factor IX / PTC menurun
* CSF eritrosit menurun
2.2.6. Penyakit Kompleks Imun
Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat
dengan tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus (turbulence),
misalnya dalam kapiler gromelurus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus
koroid dan ciliary body mata. Pada Sistemik Lupus Eritematosus (SLE),
ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun. Pada Arthritid
Reumathoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti-IgG (factor
rheumatoid yang berupa IgM) dan menimbulkan kompleks imun.
Penyakit Antigen terlibat Patologi Klinik
Sistemik Lupus
Eritematosus (SLE)
DNA, nukleoprotein Nefritis, arthritis,
vaskulitis
Poliartritis nodosa Antigen permukaan virus
hepatitis B
Vaskulitis
Glomerulonefritis Pasca
streptokok
Antigen dinding sel
streptokok (mungkin
tertanam pada membrane
basal glomerulus)
Nefritis
Penyakit Serum Berbagai protein Nefritis, arthritis,
vaskulitis
Artritis Reumatoid Faktor rheumatoid (IgM
berupa anti IgG yang
mengikat FcG)
Kompleks
diendapkan di
sendi dan
menimbilkan
inflamasi
13
Farmer’s Lung;lain-lain:
Pigeon breeder’s
disease, Cheese washer’s
disease, Bagassosis,
Maple bark stripper’s
disease, Paprika
worker’s disease, dan
Thatched roof worker’s
disease
Aktinomise termofilik
yang membentuk IgG
Paru
Infeksi: malaria, virus
lepra
Antigen mikroba
berikatan dengan antigen
Endapan
kompleks imun
di berbagai
tempat.
Tabel 1. Beberapa Penyakit Kompleks Imun
2.3. ALERGI OBAT
2.3.1. Definisi
Alergi merupakan suatu reaksi abnormal dalam tubuh yang
disebabkan zat-zat yang tidak berbahaya. Alergi timbul bila ada kontak
terhadap zat tertentu yang biasanya, pada orang normal tidak menimbulkan
reaksi. Zat penyebab alergi ini disebut allergen. Allergen bisa berasal dari
berbagai jenis dan masuk ke tubuh dengan berbagai cara. Alergi juga dapat
ditimbulkan oleh obat.
Alergi obat adalah salah satu adversi yang ditimbulkan oleh obat
pada orang-orang yang sensitif. Alergi obat bentuknya sangat bervariasi.
Berdasarkan klinis bentuknya dapat berupa reaksi anafilaksis,
bronkospasme, dermatitis, demam, granulositopenis, anemia hemolitik,
hepatitis, lupus erythematosus-like syndrome, nefritis, pneumonitis,
trombositopenia, dan vaskulitis. Beberapa bentuk klinis dapat muncul dalam
14
waktu yang bersamaan. Mekanisme terjadinya reaksi ini masih
kontroversial, namun beberapa diantaranya diperantarai oleh pengaktifan
hapten-specific T cells (Kapsenberg 1996).
2.3.2. Patofisiologi
Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme
hipersensitifitas Gell dan Coomb, yaitu:
Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau
metabolitnya berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik dan
berikatan dengan sel mast di jaringan atau sel basofil di sirkulasi.
Reaksi terjadi akibat pelepasan histamin, leukotrien, prostaglandin,
platelet-activating factor, serta eosinophilic chemotactic factor yang
berasal dari IgE sel basofil dan sel mast setelah terpapar dengan
antigen spesifik.
Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan
IgM yang mengenali antigen obat di membran sel. Dengan adanya
komplemen serum, maka sel yang dilapisi antibodi akan dibersihkan
atau dihancurkan oleh sistem monosit-makrofag. Contohnya adalah
kerusakan sel akibat reaksi antigen-antibodi pada anemia hemolitik
Coombs-positif, leukopenia, pemfigus, pemfigoid, Goodpasture’s
syndrome, dan anemia pernisiosa.
Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble
dari obat atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. Reaksi ini
mengakibatkan deposisi kompleks antigen-antibodi yang terlarut
dalam pembuluh darah atau jaringan tubuh. Contohnya pada
systemic lupus erythematosus berupa poliartritis, glomerulonefritis
membranoproliferatif kronik, dan lain-lain.
15
Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity
reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang
spesifik obat. reaksi ini disebabkan sensitisasi limfosit (sel T) setelah
kontak dengan antigen. Berbeda dengan tipe-tipe sebelumnya, pada
tipe ini tidak diperantarai oleh antibodi tapi oleh limfosit dengan
leukosit atau faktor transfer, tetapi bukan dengan serum. Contohnya
adalah dermatitis kontak, sensitifitas obat tertentu, tiroiditis.
Bisa terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut
terhadap satu obat,namun yang tersering melalui tipe I dan IV.
Pada alergi terhadap obat, sistem kekebalan tubuh salah mengenali
obat sebagai agen penyebab penyakit. Alergi obat berbeda dari efek
samping atau reaksi non-alergis terhadap obat. Mengetahui perbedaannya
dapat menyelamatkan nyawa. Biasanya, kita tidak akan mengalami reaksi
alergi terhadap suatu obat yang baru pertama kali diminum. Namun seiring
dengan bertambahnya konsumsi, sistem kekebalan tubuh menjadi makin
sensitif sehingga dapat memicu reaksi pada saat selanjutnya kita minum
obat.
Kadang-kadang, dosis awal sudah cukup untuk membuat sistem
kekebalan tubuh menjadi sensitif. Atau sepuluh hari minum obat dapat
dilalui tanpa masalah, namun ketika obat yang sama diminum setahun
kemudian, timbul bercak dan wajah membengkak. Selain itu, jika kita
sensitif terhadap satu obat -walaupun baru pertama kali diminum, kita
mungkin akan bereaksi terhadap obat lain yang memiliki kemiripan
unsur/komponen.
Misalnya, dalam beberapa menit setelah minum obat (yang baru
sekali itu kita minum), kita mengalami kesulitan bernafas dan pkitangan
menjadi kabur. Ini mungkin gejala alergi obat. Terkadang -walaupun tidak
sering- kejadian serius bukan disebabkan oleh efek kerja atau efek samping
obat, melainkan serangan sistem kekebalan tubuh terhadap obat tersebut.
16
2.3.3. Etiologi
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut
waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilakukan. Pada umumnya laporan
tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa,
salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu asam mefenamat, luminal,
fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion. Namun demikian yang paling sering
dihubungkan dengan alergi adalah penisilin dan sulfa. Alergi obat biasaya
tidak terjadi pada paparan pertama. Sensitisasi imunologik memerlukan
paparan awal dan tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum
terjadi reaksi alergi.
Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat
molekul yang kecil tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak
bergabung dengan bahan lain untuk bersifat sebagai allergen,disebut
sebagaai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein
jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses
didalam makrofag dan dipresentasikan pada sel limfosit. Sebagian kecil obat
mempunyai berat molekul besar misalnya insulin, antisera, ekstrak organ
bersifat sangat imunogenik dapat langsung merangsang sistem imun tubuh.
Ada obat dengan berat molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung
dengan protein lain. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini
membentuk polimer rantai panjang. Setelah paparan awal maka obat akan
merangsang pembentukan antibody dan aktifasi sel imun dalam masa
induksi (laten) yang dapat berlangsung 10-20 hari.
2.3.4. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ
yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi
imunologik Gell dan Coomb (tipe I s.d IV).
a) Tipe I
17
Manifestasi klinis yang terjadi merupakan efek mediator
kimia yang menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatnya
permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus.
1. Kejang bronkus gejalanya berupa sesak. Kadang-kadang
kejang bronkus disertai kejang laring. Bila keadaan ini juga
disertai dengan edema laring, bisa sangat gawat karena
penderita tidak dapat atau sangat sulit bernafas.
2. Urtikaria
3. Angioedema
4. Pingsan atau hipotensi
Menifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi
dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat. Karena hal
tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial
membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai anafilaksis.
Penyebabnya yang tersering adalah penisilin.
b) Tipe II
Manifestasi klinis tipe II umumnya berupa kelainan darah
seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia dan
granulositopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi
alergi tipe ini.
c) Tipe III
Manifestasi klinis tipe III dapat berupa :
1. Urtikaria, angioedema, eritem, makulopapula, eritem
multiforme, dan lain-lain. Gejala tersebut sering disertai
pruritus.
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4. Limfadenopati
5. Lain-lain : kejang perut, mual, neuritis optik,
glomerulonefritis, sindrom SLE, gejala vaskulitis lain.
18
Gejala tersebut muncul 5 sampai 20 hari setelah
pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat
tersebut, gejala tersebut dapat timbul dalam waktu 1-5 hari.
d) Tipe IV
Manifestasinya dapat berupa reaksi paru akut yaitu : demam,
sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang tersering
menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantoin. Nefritis interstisial,
ensefalomielitis, dan heaptitis juga dapat merupakan manifestasi
reaksi alergi obat.
Namun demikian dermatits merupakan manifestasi yang
paling sering. Kadang-kadang gejala baru timbul bertahun-tahun
setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal (sulfa,
penisilin, atau antihistamin). Bila penderita telah sensitif, gejala
dapat muncul 18-24 jam setelah obat dioleskan.
2.3.5. Diagnosis
1. Anamnesis
Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan
cara yang paling penting untuk diagnosis alergi obat, karena cara-cara
pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan hasilnya juga belum
memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala yang
dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena penyakit
dasarnya. Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama
penderita mendapat lebih dari satu macam obat. Hal yang perlu
diparhatikan pada anmnesis penderita alergi obat adalah :
a. Catat semua obat yang dipakai penderita, termasuk vitamin,
tonikum dan juga obat yang sebelumnya telah sering dipakai
tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat.
b. Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaina obat sampai
timbulnya gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera,
19
tetapi kadang-kadang gejala alergi obat baru timbul 7 sampai 10
hari setelah pemakaian pertama
c. Cara, lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat
sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat diberikan secara
berselang-seling, berulang-ulang, serta dosis tinggi secara
parenteral.
d. Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis
obat tertentu.
e. Diagnosis alergi obat sangat mungkin, bila gejala menghilang
setelah obat dihentikan dan timbul kembali bila penderita
diberikan obat yang sama.
2. Tes kulit
Tes kulit yang ada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam
obat (penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obatan
yang lain masih diragukan nilainya. Hal ini karena beberapa hal, anatara
lain :
a. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya
dan bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita melakukan tes
kulit dengan obat aslinya hasilnya kurang dapat
dipertanggungjawabkan kecuali penisilin yang telah diketahui
hasi metabolismenya serta obat-obat yang mempunyai berat
molekul besar (insulin, ACTH, serum, serta vaksin yang
mengandung protein telur).
b. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya
histamin (kodein,tiamin), sehingga tes positif yang terjadi adalah
semu (false positive).
c. Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbulkan hasil positif
semu.
Tes kulit yang disebutkan diatas adalah tes kulit yang lazim
dipakai untuk reaksi alergi tipe I (anafilaksis). Tes kulit untuk tujuan
20
lain seperti untuk melihat reaksi lambat belum diakui sebagai prosedur
yang berguna, demikian pula peranan tes tempel (patch test) untuk
mulai reaksi alergi tipe IV).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat
tipe I terutama ditunjang dengan pemeriksaan tes kulit, sayangnya tes
tersebut hanya terbatas pada beberapa macam obat. Dikenal
pemeriksaan R A S T (Radio Allergo Sorbent Test) yaitu pemeriksaan
untuk menentukan adanya lgE spesifik terhadap berbagai antigen.
Tetapi untuk obat, jenis antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini
berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi seperti pada penderita
yang mungkin timbul bila dilakukan tes kulit atau bila tidak dapat
dilakukan tes kulit (karena seluruhsel kulit rusak, minum anti histamin
dan kulit sensitif lagi).
Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti
pada anemia hemolitik dapat ditunjang dengan pemeriksaan Coombs
test indirek sedangkan trombositopenia dengan pemeriksaan reaksi
fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi.
Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang
reaksi alergi obat tipe III. Dibuktikan adanya antibodi lgG atau lgM
terhadap obat. Sedangkan pemeriksaan laboratorium untuk reaksi alergi
tipe IV selain sangat rumit, hasilnya pun sering tidak memuaskan.
2.3.6. Kiat Menghindari Alergi Obat
1. Informasikan kepada dokter jika pada riwayat kesehatan keluarga,
ayah-ibu dan kita sendiri pernah mengalami alergi obat. Ada
kemungkinan bakat alergi obat orang tua menurun ke anak.
2. Catat dengan baik obat apa saja yang pernah digunakan &
menimbulkan alergi. Hindari meminum obat alergen/pencetus alergi
21
3. Jangan minum obat sembarangan, perhatikan zat-zat yang terkandung
didalamnya mungkin ada zat yang harus dihindari
4. Minumlah obat seperlunya saja, jangan setiap kali merasa sakit lalu
minum obat sebanyak-banyaknya.
Jenis Obat yang Dianggap Sering Menimbulkan Alergi
1. Antibiotika penisilin
2. Sulfonamid
3. Obat antipiretik (penghilang rasa panas)
4. Obat analgetik (penghilang rasa sakit)
Cara pmberian obat juga berpengaruh menimbulkan alergi. Diantara
obat oral (minum), obat topikal (oles/semprot), obat tetes & yang
disuntikkan, yang berpeluang besar menimbulkan alergi adalah obat suntik
karena langsung direspon tubuh.
22
BAB III
TES DIAGNOSTIKA PENYAKIT IMUNOLOGI
3.1. HUMAN IMUNNODEFICIENCY VIRUS ( HIV 1/2 ), ANTIBODY
TEST; ACQUIRED IMUNNODEFICIENCY SYNDROME ( AIDS )
Test ini mendeteksi pertahanan imun manusian terhadap virus tipe 1 dan
2 ( HIV 1/2 ) merupakan penyebab AIDS. Infeksi HIV-1 umum terjadi di
Amerika Serikat dan Eropa Barat. Dan banyak kasus HIV-2 banyak dilaporkan
terjadi di Afrika bagian Barat. Tes untuk mendeteksi adanya HIV-1 dengan
screen antibody darah dan produk darah yang akan digunakan untuk transfusi
dan jaringan dan organ untuk transplasi. Tes tersebut juga digunakan untuk
orang dengan resiko sedang dalam perkembangan AIDS. Antara lain
penggunaan intravena drugs, hubungan sexual dengan orang yang terinfeksi
HIV, dan bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV. Diagnosa AIDS harus
merupakan fakta klinik. Tes digunakan untuk menentukan adanya bagian
antibodi untuk HIV-1 termasuk ELISA, Western Blot, PCR. PCR digunakan
sebagai evaluasi cara untuk mendeteksi viral load dan tes viral nucleic acid
( NAT ) sesudah infeksi tapi sebelum seroconversion.
23
Single reaktif ELISA itu sendiri tidak bisa digunakan untuk mendiagnosa AIDS.
Tes tersebut seharusnya selalu dilakukan berkali-kali dalam duplikat digunakan sample
darah yang sama. Jika reaktif berulang-ulang, tindak lanjut tes menggunakan Western
Blot harus dilakukan. Hasil positif Western Blot adalah menegaskan adanya HIV.
Kombinasi HIV-1/2 tes dapat diganti HIV-1 tes untuk screening darah dan produk darah
untuk transfusi. Hal tersebut juga digunakan untuk test potensial organ transplant
donor.
Tes diagnosa untuk HIV
Objek tes Cara tes Kapan tes dilakukan
Lelaki yang
memiliki hubungan
sex dengan lelaki,
penggunaan IV
drugs, mereka yang
tertarik melakukan
sex secara tdak
aman, perawatan di
klinik STD, wanita
hamil, mereka
dengan tanda dan
symptoms
pneumonia luar
biasa, lesi kulit,
mononucleosis-like
syndrome:; orang
yang tahu terinfeksi
HIV
Screening EIA dan
menjelaskan tes. Western Blot
menjelaskan tes deteksi
antibodi untuk HIV-1 antigens
inti;gp41,
gp120,gp160,p18,p24,p31,p40,
p65p55/51. IFA menjelaskan
tes deteksi potensial antibodi
dari fluorescein-tagged
secondary antibodies. Viral
RNA dan p24antigen
digunakan secara terus dengan
CD4 count untuk memonitor
treatment. NAT untuk
memonitor “viral load” tes
cepat:single-menggunakan
system diagnosa (SUDS)
dilaporkan dalam 1 jam.
Kecepatan sebuah
pendeteksian mungkin
bisa menjadi treatment
yang tepat.
Ibu-ke-anak (transmisi
vertical) selama
pengobatan saat hamil
dan pengantaran, dan
menunjukan bayi dalam
waktu 48 jam dari
pengantara; transmisi
HIV akan terjadi di utero,
selama lahir, dan dengan
breast-feeding.
Nilai referensi
Normal
Negatif untuk antibodi HIV melawan HIV antigens tipe 1 dan 2 dengan
ELISA, enzim immunoassay ( EIA ), dan Western blot.
24
HIV proviral RNA : not reactive or negative by PCR
HIV proviral DNA : not reactive or negative
NAT : viral load is low
Prosedur
Kumpulkan 7-mL serum darah merah dalam topped tube. Plasma
mungkin juga dapat digunakan. Observasi tindak pencegahan. Tempatka
spesimen di tas biohazard untuk dibawa ke laboratorium.
Oral pengujian
1. Saliva speciments, mungkin juga akan dikumpulkan dan biasanya untuk
mengidentifikasi dalam klinik pengaturan lingkungan yang tidak
terjangkau, yaitu nilai dari pengaturan perawatan. Cairan oral HIV
diagnostik dapat memberikan hasil dalam 20 menit, bagaimanpun tes
positif harus dikonfirmasi dengan tes yang lebih spesifik, seperti western
blot atau IFA.
Aplikasi tambahan untuk tes specimen oral
a. HIV-1 dan HIV-2
b. Viral hepatis A, B, C
c. Helicobacter Pylori
d. Campak/cacar air
e. Gondok
f. Rubella
g. Syphilis
h. Cytomegalovirus
i. Penyakit autoimun
j. Kanker ( Carcinoembrionic antigen [CEA], prostat-antigen
spesifik [PSA], CA125)
k. Diabetes tipe 1 dan 2
l. Teraupetik obat dan management obat dan deteksi obat lainnya.
2. Penggunaan alat khusus pengujian seperti komersial OraSure HIV-1 alat
pengumpul specimen oral (OraSure Technologies, inc, Bethlehem, PA).
25
peralatan yang berisi cotton pad pada nylon stick spesial dan botol berisi
bahan solusi reserparive. Solusi garam yang ada pada pad membantu
absroption cairan yang diperlukan.
3. Letakkan kapas bad diantara pipi bagian bawah dan gusi, menggilap
bolak-balik sampai moistened, dan tinggalkan ditempat dalam 2 menit.
menghapus pad diperlakukan secara khusus dan letakkan di botol khusus
antimicrobial pengawet solusi. contoh tempat kontainer biohazard dalam
tas dan transportasi ke laboratorium.
4. Omni-SAL (saliva diagnostic System ) alat metode pengumpulan dimana
cotton pad ditempatkan di bawah lidah. indikator dalam mengumpulkan
perangkat perubahan warna ketika jumlah yang cukup cairan oral telah
dikumpulkan.
Implikasi klinis
1. Tes positif dikaitkan dengan adanya replikasi virus dan munculnya HIV
antibodies ( IgM,IgG ).
2. Tes elisa positif yang gagal untuk mengkonfirmasi oleh western blot atau
IFA tidak boleh dianggap negatif, terutama pada munculnya gejala atau
tanda-tanda AIDS. ulangi tes dalam 3 sampai 6 bulan berdasarkan yang
disarankan.
3. Hasil positif mungkin terjadi pada orang yang tidak terinfeksi di
karenakan faktor yang diketahui.
4. Uji negatif cenderung mengesampingkan pasien AIDS berisiko tinggi
yang tidak memiliki karakteristik infeksi opurtunistic atau Tumors.
5. Infeksi HIV digambarkan sebagai sebuah tahap yang berkelanjutan
dengan rentan dari akut, transinent, mononucleosis-syndrom seperti yang
berkaitan dengan seroconversion infeksi asyptomatic, infeksi HIV
symptomatis dan akhirnya AIDS. AIDS adalah tahap akhir infeksi HIV.
6. treatments lebih efektif dan kurang beracun ketika dimulai pada awal
infeksi HIV.
7. HIV PCR metode untuk menentukan pemasukan virus dapat dilakukan
26
selama perawatan HIV untuk memantau prognosa dan perawatan pasien.
8. Diagnosis HIV di neonates sulit diperoleh karena mungkin antibodies
yang didapat ibu hadir sampai anak usia 18 bulan. Sebagai tambahan,
PCR untuk mendeteksi antigen biasanya tidak berhasil sampai pada anak
usia 6 bulan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
1. 1.nonreactive hasil tes HIV terjadi selama tahap akut penyakit ketika
virus antibodies ada tapi tidak berkembang untuk terdeteksi. mungkin
diperlukan waktu hingga 6 bulan untuk hasil tes menjadi positif. selama
tahap ini, tes HIV antigen mungkin mengkonfirmasi sebuah infeksi HIV.
2. 2.peralatan test HIV sangat sensitif. Akibatnya, nonspecific reaksi dapat
terjadi jika orang yang di tes sebelumnya telah terkena sel HIV manusia
atau media pertumbuhan.
Intervensi
Pretest
1. pasien yang akan di tes HIV harus mengisi dan menandatangani
formulir dan harus di saksikan.
2. maka penting untuk di lakukan konseling terlebih dahulu dan
mengikuti tes antibodi HIV. ujian ini tidak boleh dilakukan tanpa izin
subjeknya informasi, dan orang yang membutuhkan akses harus di
sebutkan. pembahasan implikasi klinis dan perubahan prilaku dari
hasil test harus menujukan keakuratan test dan harus menunjang.
modifikasi prilaku seperti kontak seksual, jarum yang dilakukan
beramai2 dan transfusi darah.
3. mengkaji frekuensi dan intensitas dari gejala; ketingian suhu, gelisah,
takut, diare, sakit saraf, mual dan muntah-muntah, depresi, dan
kelelahan.
4. langkah-langkah pengendalian infeksi mmenggunaan standar
pencegahan.
27
5. ikuti panduan tentang keamanan, efektif, informasi pretest perawatan.
Tanda-tanda klinis.
1. isu2 tentang kerahasian test HIV.
2. Petugas kesehatan yang secara langsug bekerja pada perawatan pasien
HIV memiliki hak untuk mengetahui diagnosa sehingga mereka
mampu melindungi diri.
3. Semua hasil baik positif maupun negatif harus masuk pada catatan
kesehatan pasien untuk mempertahankan kerahasiaan. Orang-orang
biasanya lebih suka di tes secara sukarela ketika mereka percaya
bahwa pemberitahuaan tes HIV tidak akan terjadi. Implikasi jangka
panjang termasuk kehilangan pekerjaan, hanya menetap dirumah,
asuransi, dan kehilangan hubungan personal.
4. Petugas klinis harus menandatangani formulir legal yang menyatakan
bahwa pasien telah diberi tahu tentang resiko-resiko tes.
5. Seseorang yang menunjukkan antibodi HIV diasumsikan telah
terinfeksi HIV. Konseling, evaluasi medis dan intervensi perawatan
kesehatan harus didiskusikan.
6. Hasil test yang positif harus dilaporkan ke pemerintah dan institusi
petugas kesehatan.
7. Beberapa orang menyukai tes yang komersil dan dilakukan dirumah.
Posttest
1. menjelaskan Hasil tes. Keterangan penting dari hasil tes dengan
menghitung sel CD4+. menyarankan screening test untuk pasien dan
harus mengkomfirmasi sebelum hasilnya dilaporkan sebagai HIV
reaktif. menyediakan pilihan untuk segera konseling jika diperlukan.
menjelaskan perawatan dengan obat antiviral dan protease inhibitors.
society internasional AIDS bagi masyarakat AS telah
merekomendasikan mulai perawatan dengan obat antiretroviral jika
perhitungan sel CD4 <350μL tetapi sebelum mencapai 200μL.
Tingkat plasma HIV-1 RNA harus diperiksa setiap 4 hingga 8 bulan
28
sampai tidak terdeteksi dan itu adalah 3-4 kali per tahun. baru-baru
ini, FDA telah disetujui darunavir ethanolate untuk pengobatan HIV di
treatmen antiretroviral-pengalaman pasien.
2. ikuti panduan tentang aman, efektif, informasi posttest perawatan.
3.2. HUMAN T-CELL LYMPHOTROPIC (HTLV-I/II) ANTIBODY TEST
Tes ini untuk mendeteksi antibodies HTLV-1, yang terkait retrovirus
dengan T-sel dewasa leukimia (ATL) dan demyelinating neurologic disorders.
keberadaan HTLV-1 antibodies dalam asymptomatic seseorang dari sumbangan
darah, bagaimanapun temuan ini tidak berarti bahwa leukimia atau neurologic
disorder ada atau akan berkembangkan. spesimen dengan hasil tes positif oleh
EIA menjadi referensi untuk Western blot. hasil dari Western Blot untuk
investigational digunakan hanya pada saat waktu pencetakan.
Nilai referensi
Normal
Negatif untuk HTLV-I/II antibodi dengan EIA dan Western Blot
Prosedur
1. mengumpulkan 7-ml serum sampel darah merah dalam tabung-topped.
Memperhatikan standar kewaspadaan.
2. tempatkan spesimen dalam tas biohazard untuk transportasi ke
laboratorium.
Implikasi klinis
1. Hasil positif (antibodies ke HTLV-1) terjadi pada adanya infeksi HTLV-
1. infeksi ditransmisikan ke penerima HTLV-1 terinfeksi darah dan
didokumentasikan.
2. keberadaan antibodies ke HTLV-1 tidak berkaitannya dengan keberadaan
antibodies HIV-1; keberadaan nya tidak menempatkan orang beresiko
29
untuk HIV / AIDS, tetapi seringkali terjadi bersamaan karena faktor
risiko yang sama.
3. HTLV-1 adalah endemik ke Karibia tenggara Jepang, dan beberapa
daerah dari africa.
4. Di Amerika Serikat. HTLV-1 telah terdeteksi pada orang dengan ATL,
darah pengguna narkoba, dan orang sehat dalam donor produk darah.
transmisi juga dapat terjadi melalui proses menelan dari air susu ibu,
kontak seksual, dan berbagi dari kontaminasi IV drug paraphernalia.
Intervensi
Pretest perawatan pasien
1. menilai pasien tentang tes. menjelaskan tujuan dan prosedur tes.
2. ikuti panduan tentang aman, efektif, informasi pretest perawatan
Posttest perawatan klien
1. menafsirkan hasil tes; interpretasikan hasil tes immunologic.
Konsultasi pasien dengan tepat.
2. ikuti panduan tentang aman, efektif, informasi posttest perawatan.
3.3. TOXOPLASMOSIS (TPM) ANTIBODY TESTS
Toxoplasmosis disebabkan oleh parasit sporozoa Toxoplasma gondii.
Dapat terjadi akibat kongenital atau didapat dan ditemukan pada manusia,
binatang domestic, dan binatang liar. Manusia mungkin terinfeksi saat memakan
daging yang tidak diolah dengan benar atau materi lain yang juga
terkontaminasi. Kongenital toxoplasmosis dapat menyebabkan kematian janin.
Gejala infeksi subakut dapat muncul segera setelah kelahiran atau lebih banyak
lagi setelahnya. Komplikasi toxoplasmosis kongenital termasuk hidrochepalus,
microchepalus, konvulsi, dan retinitis akut. Diperkirakan bahwa seperempat
30
sampai setengah populasi orang dewasa terinfeksi toxoplasmosis asymptomatic.
CDC merekomendasikan untuk test serologic selama kehamilan.
Test IFA membantu membedakan toxoplasmosis dengan Infark Miocard.
Antibodi toxoplasma muncul 1-2 minggu saat infeksi dan mencapai puncaknya
pada 6-8 bulan. IFA juga penting untuk toxoplasmosis latent (yang belum
terlihat).
Nilai Referensi
Normal
Titer<1:16 : tanpa infeksi sebelumnya( kecuali untuk infeksi ocular)
dengan menggunakan IFA
Negatif dengan MEIA (Microparticle enzyme immunoassay)
Negatif : DNA T. gondii tidak terdeteksi oleh PCR.
Prosedur
1. Ambil 7 mL sample serum ke dalam red-topped tube. Perhatikan standart
pencegahan.
2. Tempatkan specimen dalam biohazard bag dan kirimkan ke laboratorium.
Implikasi Klinis
Test IFA dinilai positif pada kondisi:
1. Titer > 1:256 mengindikasikan baru terpapar atau sedang terinfeksi.
Peningkatan titer merupakan hal terpenting.
2. Berbagai nilai titer penting pada bayi baru lahir.
3. Titer > 1:1.024 penting untuk penyakit aktif
4. Titer < 1:16 terjadi saat terdapat toxoplasmosis ocular.
Intervensi
Pretest
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
2. Ikuti SOP.
31
Posttest
1. Interpretasikan hasil. Konsultasikan dengan tepat.
2. Ikuti SOP.
3.4. AMEBIASIS (Entamoeba histolytica) ANTIBODY TEST
Entamoeba histolytica, agen penyebab amebiasis,merupakan parasite
patogenic intestinal. Test Entamoeba histolytica untuk menentukan ada atau
tidaknya serum antibodi yang spesifik untuk parasite ini. Pemeriksaan feses
digunakan sebagai alat penentu diagnostic. Ketidakberadaan organisme pada
feses bukan berarti mengindikasikan tidak adanya penyakit. Terapi antibiotik,
minyak enema dan barium mungkin berpengaruh terhadap kemampuan untuk
mengisolasi organisme ini di dalam feses.
Nilai Referensi
Normal
Negatif untuk antibodi Entamoeba histolytica menggunkan Indirect
Hemagglutination (IHA), agglutinasi latent, dan CIE.
Prosedur
1. Ambil 7 mL sample serum ke dalam red-topped tube. Perhatikan standart
pencegahan.
2. Tempatkan specimen dalam biohazard bag dan kirimkan ke laboratorium.
Implikasi Klinis
1. Test positif (titer > 1:128) mengindikasikan adanya infeksi aktif.
Catatan : Test positif dapat mencerminkan infeksi sebelumnya dan bukan
infeksi yang sedeng terjadi.
2. abscess akibat amebic liver dan dysentry amebic mengindikasikan adanya
amebiasis
32
3. Rentang titer dari1:256 sampai 1:2.048 menunjukkan adanya amebiasis
aktif.
4. Titer <1:32 secara umum selain amebiasis.
Intervensi
Pretest
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
2. Ikuti SOP.
Posttest
1. Interpretasikan hasil. Konsultasikan dengan tepat.
2. Ikuti SOP.
3.5. PEMERIKSAAN QUANTITATIVE : IgA, IgG, IgM
5 kelas immunoglobulin (antibodi) – IgA, IgG (dengan 4 subklas IgG1,
IgG2, IgG3dan IgG4), IgM, IgD dan IgE – yang didisolasi. Fungsi
immunoglobulin adalah untuk menetralisir zat toxic, memicu fagocytosis, dan
mengganggu fungsi mikroorganism. IgA berbentuk serum dan secretory. Serum
IgA terdapat dalam serum darah, secretory IgAterdapat dalam saliva, air mata,
colostrum, brochial, gastrointestinal, dan sekresi urogenitalia dimana IgA dapat
melindungi dan melawan invasi dari mikroorganisme. IgE terdapat dalam reaksi
alergi, dan IgD ditemukan dalam imunitas humoral.
IgG, satu-satunya immunoglobin yang dapat melintasi plasenta, berperan
dalam proteksi bayi yang baru lahir selama kehidupan bulan pertama. IgM
mempunyai antibodi yang beraktifitas untuk melawan organisme gram negatif,
faktor rheumatoid, membentuk antibodi alami seperti golongan darah ABO. IgM
tidak dapat melewati plasenta sehingga biasanya tidak ada pada bayi yang baru
lahir dan akan ditemukan pada hari kelima seteal kelahiran.
Pengukuran immunoglobulin quantitative dapat memonitor jalannya
penyakit dan pengobatannya. Jika terdapat protein monoclonal atau komponen
M pada serum protein electrophoresis (SPEP), pengukuran kuantitatif pada IgA,
IgG dan IgM dapat mengidentifikasi immunoglobulin yang spesifik.
33
Nilai Referensi
Diturunkan dari laju nephelometry
1. Dewasa
a. IgG : 700 – 1.500 mg/dL
b. IgA : 60-400 mg/dL
c. IgM: 60-300 mg/dL
d. IgE : 3-423 IU/mL
e. IgD : 0-14 mg/dL
2. Anak-anak
a. IgA
(1) 0-4 bulan : 6-64 mg/dL
(2) 5-8 bulan : 10-87 mg/dL
(3) 9-14 bulan : 17-94 mg/dL
(4) 15-23 bulan : 20-175 mg/dL
(5) 2-3 tahun : 24-192 mg/dL
(6) 4-6 tahun : 26-232 mg/dL
(7) 7-9 tahun : 33-258 mg/dL
(8) 10-12 tahun : 45-285 mg/dL
(9) 13-15 tahun : 47-317 mg/dL
(10)16-17 tahun : 55-377 mg/dL
b. IgM (Laki-laki)
(1) 0-4 bulan : 14-142 mg/dL
(2) 5-8 bulan : 24-167 mg/dL
(3) 9-23 bulan : 35-200 mg/dL
(4) 2-3 tahun : 41-200 mg/dL
(5) 4-17 tahun : 55-260 mg/dL
c. IgM (perempuan)
(1) 0-4 bulan : 14-142 mg/dL
(2) 5-8 bulan : 24-167 mg/dL
(3) 9-23 bulan : 35-242 mg/dL
(4) 2-3 tahun : 41-250 mg/dL
34
(5) 4-17 tahun : 56-260 mg/dL
d. IgG (laki-laki dan perempuan)
(1) 0-4 bulan : 141-930 mg/dL
(2) 5-8 bulan : 250-1.190 mg/dL
(3) 9-11 bulan : 320-1.250 mg/dL
(4) 1-3 tahun : 400-1.250 mg/dL
(5) 4-6 tahun : 560-1.307 mg/dL
(6) 7-9 tahun : 598-1.379 mg/dL
(7) 10-12 tahun : 638-1.453 mg/dL
(8) 13-15 tahun : 680-1.531 mg/dL
(9) 16-17 tahun : 724-1.611 mg/dL
Prosedur
1. Ambil 7 mL sample serum ke dalam red-topped tube. Perhatikan standart
pencegahan.
2. Tempatkan specimen dalam biohazard bag dan kirimkan ke laboratorium.
Implikasi Klinis
1. Jumlah IgA adalah 10%-15% dari total immunoglobulin. Meningkat pada
kondisi di bawah ini :
a. penyakit liver non alkoholik kronis, khususnya Primary billiary
cirrhosis
b. Jaundice Obstruktif
c. Olahraga
d. Alkoholism
e. Infeksi subakut dan kronis
2. IgA turun pada kondisi
a. Ataxia-telangiectasia
b. Penyakit sinopulmonary kronis
c. Congenital deficit
d. Kehamilan akhir
e. Terapi immunosupresive benzena yang lama
35
f. Abstinensia dari alkohol setelah 1 tahun
g. Obat-obatan dan dextrin
h. Kehilangan protein pada gastroenterohepathies
Bahaya klinis :
Pasien dengan defisiensi IgA dapat memicu gangguan autoimun
dan dapat mengembangkan antibodi menjadi IgA, dengan kemungkinan
terjadinya anafilaktik jika ditransfusi darah yang mengandung IgA.
3. IgG : 75% sampai 80 % dari immunoglobuline total
a. Infeksi Granulomatous kronis
b. Hyperimmunization
c. Penyakit liver
d. Malnutrisi yang parah
e. Dysproteinemia
f. Penyakit yang berhubungan dengan granuloma hypersensitivitas,
gangguan dermatologic, dan myeloma IgG.
g. Arthritis Rheumatoid
4. IgG mengalami penurunan pada kondisi
a. Agammaglobulinemia
b. Aplasia Limphod
c. IgG selektif, kekurangan IgA
d. IgA myeloma
e. Bence Jones proteinemia
f. Leukimia lymphoblastic kronis
5. IgM : 5%-10% dari antibodi total. Peningkatan pada usia dewasa terjadi
pada kondisi
a. Waldenstrom’s macroglobulinemia
b. Trypanosomiasis
c. Malaria
d. Infeksi mononucleosis
e. SLE
f. Arthritis Rheumatoid
36
g. Dysgammaglobulinemia
6. IgM turun pada keadaan
a. Agammaglobulinemia
b. Gangguan Lymphoproliferatif
c. Aplasia Lymphoid
d. IgG dan IgA myeloma
e. Dysgammaglobulinemia
f. Leukimia lymphoblastic kronis
Bahaya Klinis :
Pada bayi baru lahir, level IgM >20 mg/ dL mengindikasi adanya
stimulasi sistem imun (misalnya : virus rubella, cytomegalovirus,
sypphilis, toxoplasmosis)
Intervensi
Pretest
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
2. Ikuti SOP.
Posttest
1. Observasi protein elektrophoresis
2. Interpretasikan hasil. Konsultasikan dengan tepat. Follow up test
immunoglobuline diperlukan bersama viskositas serum, monitoring
pasien dengan monoclonal gamophaty.
3. Ikuti SOP.
3.6. PEP (Protein Electrophoresis), SERUM DAN URINE
37
Protein serum mewakili berbagai lingkungan mikro yang ada dalam
tubuh manusia, yang terdiri dari sumber nutrisi dan sistem buffer tubuh.
Immunoglobulin dan berbagai protein yang memiliki fungsi yang berhubungan
berperan sebagai agen immunologic. Protein carrier seperti haptoglobin,
prealbumin dan transferin, berfungsi dalam proses transport ion dan molekul
tertentu. Antiproteases seperti α1-antitripsin dan α2-macroglobulin, berfungsi
sebagai pengatur aktivitas berbagai macam enzim proteolitik. Selain itu,
beberapa kelas protein lain juga memiliki berbagai fungsi dalam tubuh seperti,
protein yang berfungsi sebagai pengatur tekanan onkotik, protein sebagai
komponen genetik (contohnya kromosom) dan protein sebagai substansi
metabolik (hormon). Serum darah dan urine merupakan bagian tubuh yang
paling sering digunakan untuk screening untuk mengetahui komponen
imunoglobulin monoklonal, dengan cara menghitung nilai rata-rata dari serum
protein electrophoresis. Imunoglobulin merupakan komponen utama dari fraksi
serum γ-globulin. Pada orang yang sehat immunoglobulin berbentuk policlonal
sebagai antibodi monoclonal. Ketika ikatan monoklonal diobservasi, seringkali
ditemukan tanda-tanda terjadinya suatu proses keganasan seperti multiple
myeloma atau Waldernstrom’s macroglobulinemia. SPE mempertinggi prosedur
penganalisaannya, seperti pada penghitungan secara kauantitas dari beberapa
protein yang spesifik dari immunoglobulin (IgA, IgG, IgM) dan immunofiksasi.
Hal ini, merupakan salah satu metode yang baik dalam melakukan screening
atau deteksi dini bagi orang sehat.
Beberapa tes ini dapat digunakan untuk mendiagnosa beberapa jenis
peradangan dan tingkat keganasan, sindrom nefrotik, penyakit liver, disfungsi
sistem imun, selain itu juga dapat mengevaluasi tingkat nutrisi seseorang dan
tekanan osmotik pada kondisi edema juga pada pasien yang mengalami
malnutrisi. SPE memberikan hasil elektroforesis pada lima fraksi dari protein
utama (albumin, α1-globulin, α2-globulin, β-globulin dan γ-globulin) pada
serum dan spesimen urin sehingga diagnosis yang nyata benar-benar dapat
ditegakkan. Komponen utama tersebut dapat memperlihatkan masing-masing
fraksi protein atau zona exhihibit karakteristik, yang memiliki pola
elektrophoresis yang unik dan didefinisikan menjadi beberapa zona, seperti;
38
a. Zona albumin (albumin)
b. Zona α1 (α1-lipoprotein, high-density lipoprotein, α1-antitrypsin)
c. Zona α2 (α2-macroglobulin, haptoglobin, β-lipoprotein)
d. Zona β (transferrin, C3 [complement])
e. Zona γ (fibrinogen, IgA, IgM, IgG)
Refrensi nilai
Serum Protein Electrophoresis (SPE)
Total protein SI unit Albumin SI unit
Adult; 6.0-8.0 g/dL 60-80 g/L Adult; 3.8-5.0 g/dL 38-50 g/L
<5d:5.4-7.0 g/dL 54-70 g/L Newborn: 2.6-3.6
g/dL
26-36 g/L
1-3 yr:5.9-7.0 g/dL 59-70 g/L 1-3 yr: 3.4-4.2 g/dL 34-42 g/L
4-6 yr: 5.9-7.8 g/dL 59-78 g/L 4-6 yr: 3.5-5.2 g/dL 35-52 g/L
7-9 yr: 6.2-8.1 g/dL 62-81 g/L 7-9 yr: 3.7-5.6 g/dL 37-56 g/L
10-19 yr: 6.3-8.6
g/dL
63-86 g/L 10-19 yr: 3.7-5.6
g/dL
37-56 g/L
α1-Globulin : 0.1-0.3 g/dL
α2-Globulin : 0.6-1.0 g/dL
β-Globulin : 0.7-1.4 g/dL
γ-Globulin : 0.7-1.6 g/dL
Urine Protein Electrophoresis (UPE)
Gambaran hasil biasanya telah dipersiapkan oleh patologis.
Pertanda Klinis
Normalnya, sangat kecil nilai protein yang diekskresikan melalui urine.
Namun, pada kondisi penyakit tertentu beberapa jumlah besar protein
diekskresikan. Pada penyakit liphoid nephrosis, terjadi proteinuria dimana
sejumlah besar albumin dieksresikan. Penyakit proteinuria yang nonselektif
seperti glumerulonefritis, semua tipe serum protein biasanya muncul pada urin.
39
Urine electrophoresis dapat mengidentifikasi Bence Jones protein yang biasanya
bermigrasi pada β-globulin dan γ-globulin.
Prosedur
1. Ambil 7ml serum darah dan masukkan dalam red-topped tube.
Perhatikan standart pencegahan.
2. Pengambilan spesimen urin dalam 24 jam ini, terutama di pagi hari
sangat dibutuhkan, sebanyak 100mL sample urin ini digunakan untuk
protein urin elektroforesis.
3. Jika sample darah dan urine menunjukkan keberadaan dari paraprotein
(monoclonal immunoglobulin), hasil yang ada dapat di confirmasikan
dengan hasil immunofixation electrophoresis (IFE) dapat dilakukan pada
spesimen yang sama dengan yang didapat untuk protein electrophoresis.
4. Untuk menghitung jumlah dari protein pada masing-masing fraksi,
protein yang telah tersparasi dilakukan scan dan dilakukan pemisahan
berdasarkan pada nilai bersih molekuler dengan melakukan penghitungan
dengan densitometer dan ditunjukkan hasilnya dalam gram per deciliter.
Implikasi Klinis
Berikut ini merupakan beberapa hal yang seringkali menunjukkan
keabnormalitasan dalam penghitungan nilai protein dan SPE:
1. Peningkatan nilai total serum protein (jumlah dari serum protein yang
bersirkulasi) atau disebut dengan hyperproteinemia; terjadi pada
dehidrasi dan keadaan hemokonsentrasi karena hilangnya cairan tubuh
(contohnya muntah, diare, daan keadaan ginjal yang buruk). Peningkatan
ini, juga ditemukan pada kondiisi berikut;
a. Penyakit liver
b. Multiple myeloma dan berbagai gammopathies
c. Waldenstrom’s macrogobulinemia
d. Penyakit tropical
e. Sarcoidosis
40
f. Gangguan kolagen seperti SLE dan rheumathoid arthitis
g. Peradangan kronis
h. Infeksi kronis
2. Jumlah protein serum menurun (hypoproteinemia); pada kondisi berikut:
a. Kurangnya intake nutrisi (puasa dan malabsorpsi)
b. Penyakit hati yang parah atau pecandu alkohol
c. Penyakit ginjal, sindrom nefrotik
d. Diarrhea (chorn’s disease, ulcerative colitis)
e. Penyakit kulit yang parah atau luka bakar
f. Gagal jantung
g. Hypothyroidsm
h. Imobilisasi yang lama akibat trauma dan pembedahan orthopedic.
3. Albumin serum meningkat dengan pemberian infus intravena dan kondisi
dehidrasi (peningkatan hemoglobin dan hematokrit mengindikasikan
tingginya level albumin).
4. Albumin serum menurun pada beberapa kondisi berikut:
a. Menurunnya proses sintesis seperti pada penyakit liver,
alcoholism, sindrom malabsorption, penyakit Chorn’s, konginetal
analbuminemia dan puasa.
b. Peningkatan kehilangan albumin; contohnya sindrom nefrotik,
luka bakar tingkat tiga
c. Tingkat gizi yang buruk dan intake Fe yang tidak adekuat.
d. Penurunan rasia albumin-globulin contohnya pada penyakit
kolagen, inflamasi kronik, penyakit liver, macroglobulin, infeksi
yang parah, luka bakar, ulcerative colitis).
5. Peningkatan α1-Globulin; infeksi (akut dan kronik) dan reksi febril.
6. Penuruan α2-Globulin, nephrosis dan kekurangan α-antitrypsin.
7. Peningkatan α2-Globulin pada kondisi dibawah ini:
a. Billiary cirrhosis
b. Obstructive jaundice
c. Nephrosis
41
d. Multiple myeloma
e. Kolitis ulcerative
8. Penurunan α2-Globulin pada anemia hemolitik akut.
9. Peningkatan β-Globulin pada penyakit biliary cirrhosis, obstuctive
jaundice dan multiple myeloma.
10. Penurunan β-Globulin pada nephrosis.
11. Peningkatan γ-Globulin pada beberapa kondisi berikut::
a. Infeksi kronis
b. Penyakit hepatic
c. Penyakit autoimune
d. Penyakit collagen
e. Multiple myeloma
f. Waldenstorm’s macroglobulinemia
g. Leukimia dan berbagai jenis kanker lain
12. Penurunan γ-Globulin pada beberapa kondisi dibawah ini:
a. Agammaglobulinemia
b. Hypogammaglobulinemia
c. Syndrome nephritic
Faktor yang mempengaruhi
1. Penurunan albumin dapat terlihat dengan pemberian infus intravena yang
cepat, hidrasi dan pada semua trimester periode kehamilan.
2. Hemolisis yang berlebihan dapat menurunkan nilai albumin 0,5g/mL,
ketika pasien berada pada posisi supine. Walaupun, hemolisis dan
dehidrasi meningkatkan nilai total protein serum.
3. Bed rest dalam waktu yang cukup lama dan trimester akhir kehamilan
dapat membuat penurunan nilai total protein.
Intervensi
Pretest patien care
42
1. Menjelaskan tujuan tentang tes dan prosedur pengambilan spesimen.
2. Jika pengumpulan spesimen urine harus dilakukan dalam 24 jam,
maka perlu diberikan peralatan khusus bagi pasien untuk membuang
urinenya.
3. Ikuti petunjuk keamanan dan keefektifan.
Post test patient care
1. Interpretasikan hasil dan monitor secara menyeluruh. Penurunan level
protein dan albumin diasosiasikan dengan edema dan hypocalcemia.
2. Mengkaji untuk tanda dan gejala dari pasien kemudian
mendokumentasikan hasilnya. Tes electrophoesis jarang digunakan
untuk mendiagnosa gammopathy. Tindakan perawatan lanjutan dapat
termasuk IFE, penghitungan immunoglobulin dan studi tentang sum-
sum tulang.
3. Mengikuti standart keamanan dan keefektifan.
43
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan
gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.
2. Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks
antigen-antibody ditemukan dalam sirkulasi atau dinding pembuluh
darah, atau jaringan dan mengaktifkan komplemen.
3. Alergi obat adalah salah satu adversi yang ditimbulkan oleh obat pada
orang-orang yang sensitif. Alergi obat bentuknya sangat bervariasi.
4. Human Imunnodeficiency Virus (HIV ½), Antibody Test, Acquired
Imunnodeficiency Syndrome (AIDS) mendeteksi pertahanan imun
manusian terhadap virus tipe 1 dan 2 ( HIV 1/2 ) merupakan penyebab
AIDS.
5. Human T-cell Lymphotropic (HTLV-I/II) Antibody Test untuk
mendeteksi antibodies HTLV-1, yang terkait retrovirus dengan T-sel
dewasa leukimia (ATL) dan demyelinating neurologic disorders.
44
6. Test IFA membantu membedakan toxoplasmosis dengan Infark Miocard.
Antibodi toxoplasma muncul 1-2 minggu saat infeksi dan mencapai
puncaknya pada 6-8 bulan.
7. Test Entamoeba histolytica untuk menentukan ada atau tidaknya serum
antibodi yang spesifik untuk parasite ini.
8. Pengukuran immunoglobulin quantitative dapat memonitor jalannya
penyakit dan pengobatannya. Jika terdapat protein monoclonal atau
komponen M pada serum protein electrophoresis (SPEP), pengukuran
kuantitatif pada IgA, IgG dan IgM dapat mengidentifikasi
immunoglobulin yang spesifik.
9. SPE memberikan hasil elektroforesis pada lima fraksi dari protein utama
(albumin, α1-globulin, α2-globulin, β-globulin dan γ-globulin) pada
serum dan spesimen urin sehingga diagnosis yang nyata benar-benar
dapat ditegakkan
4.2. Saran
1. Diagnostik sangat diperlukan dan harus dilakukan utnuk pemeriksaan
penyakit-penyakit. Untuk itu kita harus mengetahui tes tersebut dan dapat
mengaplikasikan sesuai dengan penyakit.
2. Semua pemeriksaan diagnostik harus berdasarkan masalah. Untuk itu, kita
harus mengetahui masalah suatu penyakit itu dengan tepat sehingga dapat
ditegakkan diagnosa yang tepat.
3. Perawat harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan
test.
4. Perawat harus memperhatikan dan menjalankan tindakan sesuai Standar
Operasional Perawat dengan baik.
45
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja,Karnen Garna. 2004. Imunologi Dasar Edisi ke enam. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
Suparman, dkk. 1991. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Wilson, Denise D. 1999. Nurse’s Guide to Understanding Laboratory and
Diagnostic Test. Philadelphia : Library of Congress Cataloging in
Publication Data.
Media Aesculapius. 2001. Kapita Selekta Kedoktera. Jakarta: Media Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Price, Sylvia A. dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : EGC.
Sudoyo,W dan Bambang Setiyohadi,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : Dep. IPD FKUI.
46
47