46
Bioremediasi Tanah Terkontaminasi Polycyclic Aromatic Hydrocarbons dari Batubara dengan Composting In-Vessel Juni Irwanda 1207136440 Program Studi Teknik Kimia S1 Fakultas Teknik Universitas Riau Pekanbaru

In-Vessel Composting III

Embed Size (px)

DESCRIPTION

In

Citation preview

Bioremediasi Tanah Terkontaminasi Polycyclic

Aromatic Hydrocarbons dari Batubara dengan Composting In-Vessel

Juni Irwanda

1207136440

Program Studi Teknik Kimia S1

Fakultas Teknik

Universitas Riau

Pekanbaru

2014Abstrak

Tanah terkontaminasi polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) telah menjadi masalah utama lingkungan dalam satu dekade terakhir. Telah banyak literatur yang menjelaskan tentang berbagai sumber dan alternatif teknologi remediasi tanah terkontaminasi PAHs, namun kajian yang sama untuk PAHs-batubara masih sangat jarang dilakukan. Padahal batubara mengandung struktur aromatik yang melebihi bahan bakar lain, dan dapat menghasilkan PAHs hingga 100 kali lebih besar daripada minyak bumi. Dari sejumlah teknologi remediasi tanah terkontaminasi PAHs yang telah dikembangkan, bioremediasi dengan teknologi composting telah terbukti efektif, lebih ekonomis, dan lebih mudah diaplikasikan. Makalah ini menyajikan kajian komprehensif tentang batubara sebagai sumber alami polutan PAHs, biodegradasinya dan composting sebagai alternatif remediasi tanah terkontaminasi PAHs-batubara. Keywords: batubara, biodegradasi, composting, PAHs, remediasi

Abstract

Soil contaminated with polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) has become a major environmental problem in the last decade. Many literatures have described various sources and alternative technologies of PAHs contaminated soil remediation, however similar study on PAHs-coal is still very rare. Coal contains more aromatic structures than other fuels and can produce PAHs up to 100 times greater than petroleum. From numerous PAHs contaminated soil remediation technology that has been developed, bioremediation by composting technology has been proven effective, less expensive and easier to apply. This paper presents a comprehensive review of coal as a natural source of PAHs, PAHs biodegradation and composting as an alternative remediation of soil contaminated with PAHs-coal.

Keywords: coal, biodegradation, composting, PAHs, remediation

BAB I

PENDAHULUANPolycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) adalah senyawa organik yang terdiri dari dua atau lebih cincin benzena dan/atau molekul pentasiklik yang tersusun secara teratur dalam berbagai konfigurasi struktural (Gan et al., 2009; Haritash & Kaushik, 2009). Dari sekitar 500 jenis PAHs yang telah diketahui, US EPA telah mengidentifikasi 16 jenis PAHs (EPA-PAHs) yang berbahaya karena bersifat toksik, karsinogenik dan/atau mutagenik. Bamforth & Singleton (2005) dan Cerniglia (1992) menjelaskan bahwa PAHs merupakan senyawa hidrofobik dengan kelarutan dalam air yang rendah, sehingga memiliki kecenderungan besar untuk berikatan dengan partikel bahan organik padat dan membentuk micropollutants rekalsitran di lingkungan, terutama di dalam matrik tanah. Resistensi PAHs di lingkungan dipengaruhi berbagai faktor, seperti struktur kimia PAHs, konsentrasi dan dispersi PAHs, dan bioavailabilitas kontaminan. Secara umum, semakin tinggi berat molekul PAHs, maka semakin hidrofobik, toksik dan resisten PAHs di lingkungan. Selain itu, faktor lingkungan seperti jenis dan struktur tanah, pH, suhu, serta ketersediaan oksigen, nutrisi dan air untuk mikroba pendegradasi polutan organik akan mempengaruhi waktu PAHs bertahan di lingkungan (Gan et al., 2009; Loick et al., 2009).

Keberadaan PAHs dalam tanah dan sedimen sering berhubungan dengan pembakaran tidak sempurna bahan organik pada suhu tinggi (500-800C) atau pada pembakaran bahan organik pada suhu rendah (100-300C) dalam kurun waktu yang lama (Achten & Hofmann, 2009; Haritash & Kaushik, 2009). Selain sumber alami seperti kebakaran hutan dan lahan, rembesan minyak, letusan gunung berapi serta eksudat dari pohon (Gan et al., 2009; Haritash & Kaushik, 2009), PAHs juga berasal dari aktivitas manusia seperti industri minyak dan beberapa produknya (Arbabi et al., 2009; Dike et al., 2013; Edema et al., 2011; Napier et al., 2008; Wyszkowski & Zikowska, 2013), industri gas yang menghasilkan produk sampingan berupa tar dan kokas (Gong et al., 2010; Lee et al., 2001; Lors et al., 2010), industri pengolahan kayu yang menggunakan creosote sebagai bahan pengawet kayu (Gallego et al., 2008; Ghaly et al., 2012), insinerasi sampah (Chen et al., 2013; Wheatley & Sadhra, 2004), peleburan aluminium (Rodriguez et al., 2012; Yunker et al., 2011), peleburan baja (Ciaparra et al., 2009; Ene et al., 2012) dan batubara (Achten & Hofmann, 2009; Ahrens & Morrisey, 2005).Khusus di batubara, konsentrasi PAHs dapat mencapai ratusan bahkan dalam kasus luar biasa bisa mencapai ribuan milligram per-kilogram batubara dan konsentrasinya meningkat seiring dengan peningkatan peringkat (rank) batubara (Achten & Hofmann, 2009; Laumann et al., 2011; Stout & Emsbo-Mattingly, 2008). Namun batubara masih kurang diperhatikan dan jarang dianggap sebagai sumber pencemaran PAHs dalam tanah dan sedimen (Ahrens & Morrisey, 2005), bahkan Walker et al. (2005) menggambarkan batubara sebagai sumber PAHs yang tidak terduga. Walaupun jenis dan karakteristik PAHs pada tar dan kokas batubara (burnt coal) hampir sama dengan PAHs-batubara (unburnt coal), konsentrasi PAHs-batubara ternyata lebih tinggi (Ribeiro et al., 2012). Selain itu, potensi sebaran pencemaran PAHs-batubara juga lebih luas daripada sebaran pencemaran PAHs pada tar dan kokas batubara. Ahrens & Morrisey (2005), Pies et al. (2007) dan Wang et al. (2010) mengemukakan bahwa potensi pencemaran PAHs-batubara terutama terjadi pada aktivitas penambangan terbuka, pengolahan batubara, pembuangan limbah pertambangan batubara, penimbunan batubara di stockpile serta tumpahan selama bongkar-muat batubara di pelabuhan dan kecelakaan transportasi pengangkutan batubara. Oleh karena itu, sudah selayaknya remediasi tanah terkontaminasi PAHs-batubara menjadi salah satu perhatian utama dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan.

Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam industri batubara dan mineral dunia. Tahun 2005 Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai negara pengekspor batubara uap. Untuk pertambangan mineral, Indonesia merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2, tembaga peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4 dan emas peringkat ke-8 dunia. Namun demikian, pertambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor ini merupakan salah satu tulang punggung pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, praktek pertambangan terbuka (open pit mining) yang paling banyak diterapkan pada penambangan batubara dapat mengubah iklim mikro dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit batubara disingkirkan (Gautama, 2007).

Dari sejumlah teknologi remediasi PAHs yang telah dikembangkan, seperti ekstraksi larutan (Lee et al., 2001; Silva et al., 2005), oksidasi kimia (Rivas, 2006; Yap et al., 2011), bioremediasi (Cajthaml et al., 2002; Haritash & Kaushik, 2009), fitoremediasi (Huesemann et al., 2009; Meagher, 2000), degradasi fotokatalitik (Dong et al., 2010; Zhang et al., 2008), degradasi elektrokinetik (Maturi & Reddy, 2006; Reddy et al., 2006) dan teknologi termal (Acharya & Ives, 1994; Harmon et al., 2001), bioremediasi dengan metode composting telah terbukti efektif, lebih ekonomis dan lebih mudah diaplikasikan untuk pemulihan tanah terkontaminasi PAHs (Antizar-Ladislao et al., 2004; aek et al., 2003; Zhang et al., 2011). Selain itu, composting terbukti lebih cepat, lebih terkontrol dan membutuhkan ruang yang lebih kecil daripada teknik bioremediasi lain (Bamforth & Singleton, 2005; Crawford et al., 1993).

Composting sebagai salah satu metode bioremediasi merupakan teknik untuk menghilangkan polutan berbahaya dari lingkungan dan/atau mengubah polutan berbahaya menjadi kurang berbahaya dengan menggunakan komunitas mikrobiologi setempat (Bamforth & Singleton, 2005). Prinsip utama proses bioremediasi adalah peningkatan aktivitas mikroba melalui optimasi ketersediaan oksigen dan nutrisi, serta pengendalian pH, kelembaban dan suhu (Lors et al., 2012). Loick et al. (2009) menegaskan bahwa pengolahan secara biologi, terutama bioremediasi merupakan upaya yang lebih nyata untuk memecahkan masalah kontaminasi dibanding dengan pengolahan secara fisik maupun kimia yang hanya memindahkan atau mengkonversi kontaminan ke tempat, waktu, bentuk dan formula lain. Beberapa studi tentang remediasi tanah terkontaminasi PAHs (sebagian besar PAHs-tar batubara dari industry gas) dengan metode composting telah ditinjau oleh Loick et al. (2009), namun kajian yang sama untuk PAHs-batubara masih sangat jarang dilakukan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Industri BatubaraPertambangan batubara adalah proses menemukan dan mengambil batubara dari bawah tanah. Industri pertambangan batubara mengacu pada perusahaan milik publik maupun pribadi di berbagai negara yang terlibat dalam proses ini. Pertambangan permukaan, paling sering dalam bentuk yang disebut pertambangan strip, dan pertambangan bawah tanah, dimana terowongan digali jauh di bawah permukaan, adalah dua cara utama pertambangan, yang dengan cara ini industri pertambangan batubara dapat mengakses dan mengambil endapan batubara. Industri pertambangan batubara memiliki asal-usul pada Revolusi Industri di abad ke-18, ketika batubara menjadi sumber energi untuk mesin uap yang digunakan di kereta api uap, kapal, dan mesin pabrik. Saat ini, batubara yang ditambang oleh industri pertambangan batubara umumnya digunakan untuk menghasilkan listrik di pembangkit listrik dan manufaktur baja (www.jualbatubara.com)Jenis proses penambangan yang digunakan oleh industri pertambangan batubara untuk mengekstrak deposit batubara bervariasi tergantung pada faktor-faktor seperti seberapa dalam letak deposit, geologi daerah, dan faktor-faktor lingkungan dan peraturan pemerinatah. Pertambangan permukaan, sering dalam bentuk pertambangan strip, adalah proses yang paling umum, dan biasanya dilakukan ketika deposit terletak kurang dari 300 kaki (100 m) di bawah tanah. Proses ini melibatkan penyingkiran sejumlah besar tanah dan batuan sampai deposit batubara tercapai. Deposit yang lebih dalam biasanya ditambang menggunakan metode tambang bawah tanah, dimana sistem terowongan yang luas dibuat untuk mengakses batubara (www.jualbatubara.com)Pertambangan batubara merupakan kegiatan industri yang penting di berbagai belahan dunia, termasuk Amerika Serikat, China, Australia, India, Rusia, dan Afrika Selatan. Batubara yang diproduksi oleh industri pertambangan batubara menyediakan sumber daya untuk industri lainnya dalam bentuk listrik dan batubara halus yang digunakan dalam, misalnya, produksi baja dan manufaktur semen. Batubara juga menyediakan listrik untuk masyarakat umum. Di Amerika Serikat, diperkirakan setengah dari listrik yang dihasilkan adalah dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara (www.jualbatubara.com)Pertambangan dan pengolahan batubara dilakukan oleh industri pertambangan batubara yang mahal, kegiatan industri skala besar membutuhkan investasi besar dalam mesin dan tenaga kerja. Menyediakan lingkungan kerja yang aman bagi penambang batubara dan membatasi dampak lingkungan dari proses penambangan dapat berbiaya mahal bagi industri pertambangan batubara (www.jualbatubara.com)Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, peraturan sering mengharuskan perusahaan untuk mengembalikan lahan yang terkena dampak pertambangan dan menyediakan lingkungan kerja yang aman bagi para penambang. Perusahaan yang beroperasi di daerah-daerah yang kurang berkembang seringkali kurang teratur, dan ada tambang batubara yang dapat memiliki dampak buruk pada lingkungan dan menjadi tempat kerja yang sangat berbahaya (www.jualbatubara.com)Proses Industri BatubaraJaffrennou et al. (2007) dan Zhao et al. (2000) menjelaskan bahwa batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba yang mengalami proses penggambutan (tahap diagenesis) dan pembatubaraan (tahap catagenesis) yang sangat kompleks dalam kurun waktu jutaan tahun. Gambar 1 mengilustrasikan proses pembentukan batubara. Tahap diagenesis terjadi pada saat sisa-sisa tumbuhan purba tertimbun dalam kondisi anaerobik di daerah rawa dan mengalami pembusukan menjadi humus. Selanjutnya humus tersebut diubah menjadi gambut oleh bakteri anaerobik dan fungi. Sedangkan tahap catagenesis merupakan proses perubahan komponen organik dari gambut menjadi batubara akibat pengaruh dari temperatur, tekanan dan waktu. Achten & Hofmann (2009) mengemukakan bahwa pada tahap catagenesis, jumlah cincin aromatik pada biopolimer tumbuhan yang rekalsitran, terutama lignin, menjadi semakin banyak dan secara tidak langsung menentukan tingkat kematangan batubara dari yang paling rendah sampai dengan yang paling tinggi, yaitu: lignite, sub-bituminous coal, bituminous coal, anthracite dan graphite.

Secara umum batubara terdiri dari < 50% bahan anorganik dan > 50% bahan organik, terutama asam humat dan PAHs (Greenwood et al., 2001; Schweinfurth & Finkelman, 2003; Yoshioka & Takeda, 2004). Batubara mengandung struktur yang lebih aromatik daripada bahan bakar lain (Yan et al., 2004), sehingga dapat menghasilkan PAHs hingga 100 kali lebih besar daripada minyak bumi (Richter & Howard, 2000). PAHs dalam batubara hadir sebagai campuran kompleks dengan berbagai sifat dan komposisi fisikokimia, sehingga pola dan konsentrasi PAHs dalam batubara sangat bervariasi (Laumann et al., 2011). Secara umum batubara mengandung 16 jenis EPAPAHs, benzo[e]pyrene, perylene, coronene dan senyawa turunannya, yaitu: retene, hydropicenes, methylated picenes, methylated chrysenes, methylphenanthrenes dan tetrahydrochrysenes (Laumann et al., 2011; Stout & Emsbo-Mattingly, 2008). PAHs di dalam batubara jenis sub-bituminous sebagian besar berupa chrysene, picene dan senyawa turunannya (Puettmann & Schaefer, 1990) dengan total konsentrasi EPAPAHs bervariasi dari 0.1 sampai 14 mg/kg (Pttmann, 1988; Radke et al., 1990; Stout & Emsbo-Mattingly, 2008). Sedangkan pada batubara jenis bituminous dan anthracite didominasi oleh naphthalene, phenanthrene dan senyawa turunannya (Ahrens & Morrisey, 2005; Chen et al., 2004), dengan total konsentrasi EPA-PAHs bervariasi dari 0.3 sampai 163.90 mg/kg (Pies et al., 2007; Radke et al., 1990; Stout & Emsbo-Mattingly, 2008; Willsch & Radke, 1995; Zhao et al., 2000) dan konsentrasi tertinggi terjadi pada batubara jenis bituminous volatil tinggi (Stout & Emsbo-Mattingly, 2008).

Gambar 1. Proses Pembentukan BatubaraB. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs)Pengertian PAHPolycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH), juga dikenal sebagai poli-aromatik hidrokarbon atau hidrokarbon aromatik polynuclear. Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) adalah polutan atmosfer kuat yang terdiri dari cincin aromatik menyatu dan tidak mengandung heteroatom atau membawa substituen (Laumann et al., 2011).Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) merupakan kelompok senyawa yang memiliki berat molekul besar, berbentuk datar, dan memiliki struktur dengan banyakcincin aromatik. Senyawa ini banyak terdapat di alam sebagai polutan hasil pembakaran bahan-bahan organik, baik dalam bentuk partikel padat ataupun gas (Yan et al., 2004).Naftalena adalah contoh sederhana dari suatu PAH. PAH terjadi pada minyak, batubara, makanan yang dimasak pada suhu tinggi seperti memanggang ikan asap, deposito tar, dan diproduksi sebagai produk sampingan dari pembakaran bahan bakar (baik bahan bakar fosil atau biomassa). Minyak mentah alami dan deposit batubara mengandung sejumlah besar PAH, yang timbul dari konversi kimia dari molekul produk alam, seperti steroid, untuk hidrokarbon aromatik.Beberapa senyawa PAH diketahui atau diduga bersifat karsinogenik. PAH dibentuk dari hasil pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar yang mengandung karbon seperti kayu, batu-bara, diesel, fat, atau tembakau. PAH ada yang bersifat yang lipofilik, yang berarti mencampur lebih mudah dengan minyak dari air. PAH di lingkungan terutama ditemukan di dalam tanah, sedimen dan zat berminyak. Namun, mereka juga merupakan komponen yang menjadi perhatian dalam materi partikulat tersuspensi di udara (Achten & Hofmann, 2009).PAH toksisitas sangat tergantung struktural, dengan isomer (PAH dengan rumus yang sama dan jumlah cincin) bervariasi dari yang tidak beracun untuk menjadi sangat beracun. Jadi, PAH sangat karsinogenik mungkin kecil atau besar. Satu senyawa PAH, benzo [a] pyrene menjadi karsinogen kimia pertama yang merupakan salah satu dari banyak karsinogen ditemukan dalam asap rokok.Senyawa PAH dapat memiliki beberapa cincin aromatik mulai dari empat, lima,enam ataupun tujuh cincin, tetapi yang paling banyak dengan lima atau enam cincin. PAHs dengan enam cincin aromatik disebut alternant PAH. Alternant PAH tertentu disebut benzoid PAH, nama ini berasal dari benzena, aromatik hidrokarbon tunggal, enam cincin. Antar cincin benzena dihubungkan dengan ikatan karbon-karbon (Haritash & Kaushik, 2009).Gambar 3. Jenis PAHs berbahaya dalam daftar US EPAPAH berasal dari 3 proses, yaitu pirolisis, petrogenik (pembentukan batuan), dan sumber diagenetik yang berlangsung dalam jangka waktu pendek. Pirolisis dan petrogenik menghasilkan PAH yang memiliki 3, 4, dan 5-6 cincin PAH. PAH dengan 3 cincin dihasilkan oleh proses petrogenik, sedangkan PAH dengan 4 dan 5-6 cincin oleh proses pirolisis. Konsentrasi PAH di lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh tingkat solubilitas dan keberadaan gugus nonpolar yang bersifat hidrofobik. Solubilitas PAH cenderung rendah, sehingga PAH cenderung berikatan dengan partikel organik dan anorganik dibandingkan berada dalam bentuk terlarut. Ikatan PAH dengan partikel mengakibatkan terjadi proses koagulasi, berat partikel makin bertambah dan kemudian jatuh ke sedimen. Semakin besar ukuran partikel maka makin banyak pula PAH yang berasosiasi dan makin tinggi konsentrasi PAH yang mengalami sedimentasi. Hal tersebut mengakibatkan konsentrasi PAH di sedimen lebih besar dibandingkan PAH di kolam air (Muri & Wakeham, 2009).Kontaminasi Dan Tingkat Keamanan PAHSenyawa PAHs banyak terdapat pada asap kendaraan bermotor, asap pabrik, asap rokok,asap pembakaran arang, asap hasil kebakaran hutan, asap minyak goreng, aspalpetroleum, beberapa pelarut komersial, creosote (bahan pengawet kayu), dan juga hasilpirolisis karbohidrat, asam amino, serta asam lemak. PAH yang terdapat pada makanan terjadi akibat adanya proses pengolahan (teknologi) yang menggunakan suhu tinggi seperti pemanggangan dan penggorengan, maupun akibat kontaminasi atau polusi dariudara.Di udara molekul-molekul PAHs akan bergabung dengan partikel debu dan masuk ke dalam air, tanah maupun tanaman untuk kemudian berinteraksi dengan manusia ATSDR (Agency for Toxic Subtances and Disease Registry) mendeteksi adanya benzo(a)pyrene pada buah-buahan, sayuran, daging, minuman dan tembakau yangberedar di pasaran. Namun yang pasti, pembentukan benzo(a)pyrene pada makanan sangat tergantung dari metode pemasakan yang digunakan.Telah terbukti bahwa kandungan senyawa PAHs karsinogenik pada makanan yangdipanggang cukup tinggi, terutama pada produk hasil pemanggangan dengan kayu atauarang. Pada daging panggang (babi dan sapi) terkandung benzo(a)pyrene sebesar 1,4-4,5 ppb, sate kambing23 ppb, ikan asap Jepang 37 ppm, dan pada minyak goreng bekas 1,4-4,5 ppb. Proses pemanggangan dengan oven menghasilkan produk olahan dengan kandungan senyawa PAH yang terendah, sedangkan pemasakan dengan microwave tidak menghasilkan senyawa PAH yang karsinogenik (Elisabeth et al ., 2000).Hingga saat ini belum ada informasi ilmiah tentang batasan tingkat kontaminasi senyawa PAHs atau benzo(a)pyrene yang membahayakan manusia (Elisabeth, dkk.,2000) Anjuran batas kandungan PAHs oleh The Occupational Safety and HealthAdministration (OSHA) membatasi 0,2 milligrams PAHs per kubik meter udara (0,2mg/m3). OSHA permissible Exposure Limit (PEL) 5 mg/m3 PAHs untuk mineral oil. Sedangkan National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)menganjurkan jumlah PAH maksimal 0,1 mg/m3 udara untuk daerah tempat kerja dengan waktu kerja 10 jam/hari dan 40 jam/minggu (Edsell, 1986) Agency for Toxic Subtancesand Disease Registry (ATSDR) merekomendasikan nilai MRL (Minimal Risk Level)benzo(a)pyrene pada manusia sebesar 0,01 ppm/kg BB/hari (ATSDR,1995) Sedangkan beberapa Negara telah membatasi jumlah benzo(a) pyrene minimal sebasar 1 ppb untuk bahan pangan yang dipanggang dan diasap (Elisabeth et al ., 2000). Dampak Negatif PAH Bagi Kehidupan ManusiaAda beberapa dampak negatif yang timbul yang disebabkan oleh PAH bagi kehidupan manusia, antara lain :a. PAH yang terkandung dalam makanan Daging mengandung protein hewani, lemak jenuh, dan dalam beberapa kasus mengandung senyawa penyebab kanker seperti heterocyclic amines (HCA) dan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) yang terbentuk selama daging diproses atau dimasak. HCA, terbentuk ketika daging dimasak pada suhu tinggi dan PAH terbentuk selama pembakaran bahan organik yang dipercaya meningkatkan risiko kanker. Sebagai tambahan, kandungan lemak tinggi dari daging dan produk hewani lainnya meningkatkan produksi hormon, sehingga meningkatkan risiko kanker yang berhubungan dengan hormon seperti kanker payudara dan prostat. Menggoreng atau membakar daging di atas kobaran api langsung mengakibatkan hilangnya lemak di api yang panas dan memproduksi kobaran yang mengandungpolycyclic aromatic hydrocarbon. Polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) melekat pada permukaan makanan, dan semakin besar panasnya maka semakin muncul PAH-nya. Hal itu dipercaya secara luas memainkan peranan penting dalam kanker pada manusia. Hubungan yang cukup konsisten antara konsumsi daging yang dibakar atau dipanggang oven tetapi tidak digoreng dengan kanker perut menyiratkan bahwa makanan yang terkena PAH mungkin memainkan peranan dalam pengembangan kanker perut pada manusia.PAH pada anak PAH pada pralahir dikaitkan dengan IQ yang lebih rendah dan menyebabkan asma anak . Pusat studi Lingkungan Kesehatan Anak menunjukkan bahwa paparan polusi PAH selama kehamilan berkaitan dengan hasil kelahiran yang merugikan termasuk berat badan lahir rendah, persalinan prematur, dan jantung malformasi. Darah tali pusat bayi yang terkena menunjukkan kerusakan DNA yang telah dikaitkan dengan kanker. Tindak lanjut penelitian menunjukkan tingkat yang lebih tinggi keterlambatan perkembangan pada usia tiga, skor rendah pada tes IQ dan masalah behaviorial meningkat pada usia enam dan delapan. PAH bagi kesehatan manusiaPAH juga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Imunosupresi (penghambat sistem) akibat toksisitas PAH bagi kesehatan manusia dapat memperbesar kerentanan tubuh terhadap bakteri, parasit dan virus, serta kerentanan terhadap kanker. Bahkan PAH telah dipercaya sebagai salah satu penyebab utama kanker paru-paru. Dr Hecht dan rekan menuturkan senyawa PAH yang disebut dengan fenantrena dalam rokok cepat membentuk zat beracun dalam darah yang menyebabkan mutasi hingga memicu terjadinya kanker.Beberapa golongan PAH, seperti Benzo[a]pyrene, diketahui dapat menganggu fungsi reproduksi. PAH dapat menyebabkan toksisitas reproduktif. Toksisitas reproduktif atau toksikologi reproduksi adalah kondisi yang muncul akibat efek-efek berbahaya dari suatu zat kimia yang merugikan fungsi seksual dan sistem reproduksi kaum laki-laki dan perempuan sekaligus efek yang mengganggu perkembangan normal baik sebelum maupun sesudah lahir. Selain itu, studi epidemiologi menunjukkan bahwa resiko penyakit kanker paru-paru, lambung dan kulit cukup tinggi pada masyarakat yang tinggal didaerah yang udaranya mengandung PAH tinggi.Biodegradasi PAHs

Studi terbaru menunjukkan bahwa degradasi mikrobiologis adalah proses utama dekontaminasi tanah dan sedimen terkontaminasi PAHs, karena senyawa ini dapat benar-benar terdegradasi atau secara parsial berubah oleh salah satu komunitas mikroorganisme atau oleh mikroorganisme tunggal. Cerniglia (1992), Kanaly & Harayama (2000) dan Chauhan et al. (2008) mengemukakan hal-hal prinsip dalam metabolisme PAHs oleh mikroorganisme adalah: 1. Berbagai jenis bakteri, jamur dan ganggang memiliki kemampuan untuk memetabolisme PAHs.

2. Alur utama degradasi PAHs secara umum digambarkan pada Gambar 3.3. Mayoritas bakteri mengoksidasi PAHs sebagai awal untuk pemecahan cincin dan asimilasi karbon, sedangkan hidroksilasi dengan filament merupakan awal detoksifikasi PAHs oleh jamur.

4. Mekanisme biodegradasi prokariotik maupun eukariotik, memerlukan oksigen untuk memulai serangan enzimatik pada cincin PAHs. Sistem enzim lain, seperti methane monooxygenases dan lignin peroxidases juga berperan penting dalam katabolisme PAHs.

5. Degradasi toluene, naphthalene, biphenyl dan phenanthrene melibatkan plasmid.

6. Secara umum laju degradasi PAHs berbanding terbalik dengan jumlah cincin dalam molekul PAHs, sehingga PAHs dengan berat molekul rendah seperti naphthalene dan phenanthrene terdegradasi lebih cepat dibanding PAHs dengan berat molekul tinggi seperti benz[a]anthracene, chrysene dan benzo[a]pyrene.

7. Degradasi PAHs oleh mikroba dalam ekosistem perairan dan terestrial sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor abiotik dan biotik, meliputi: suhu, pH, jenis tanah, aerasi, nutrisi, kedalaman, difusi, adaptasi mikroba, bioavailabilitas, paparan bahan kimia sebelumnya, ketersediaan air, toksisitas sedimen, sifat fisiko-kimia PAHs, konsentrasi PAHs dan faktor musim.

Gambar 4. Tiga alur utama degradasi PAHs oleh jamur dan bakteri Cerniglia (1992)C. Bioremediasi

Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran. Bioremediasi bukanlah konsep baru dalam mikrobiologi terapan, karena mikroba telah banyak digunakan selama bertahun-tahun dalam mengurangi senyawa organik dan bahan beracun baik yang berasal dari limbah rumah tangga maupun dari industri. Hal yang baru adalah bahwa teknik bioremediasi terbukti sangat efektif dan murah dari sisi ekonomi untuk membersihkan tanah dan air yang trekontaminasi oleh senyawa-senyawa kimia toksik atau beracun.

Mikroba yang sering digunakan dalam proses bioremediasi adalah bakteri, jamur, yis, dan alga. Degradasi senyawa kimia oleh mikroba di lingkungan merupakan proses yang sangat penting untuk mengurangi kadar bahan-bahan berbahaya di lingkungan, yang berlangsung melalui suatu seri reaksi kimia yang cukup kompleks. Dalam proses degradasinya, mikroba menggunakan senyawa kimia tersebut untuk pertumbuhan dan reproduksinya melalui berbagai proses oksidasi.

Kemampuan bakteri dalam menyerap atau menurunkan kandungan logam berat dari lingkungan, baik dari tanah maupun dari perairan juga telah banyak dipelajari. Beberapa bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter calcoaceticus, Arthrobacter sp., Streptomyces viridans, dan lain-lain menghasilkan senyawa biosurfaktan / bioemulsi yang dapat menyerap berbagai jenis logam berat seperti Cd, Cr, Pb, Cu dan Zn dari tanah yang terkontaminasi. Desulfovibrio desulfuricans dapat mengendapkan uranium melalui proses reduksi. Berbagai jenis Baccillus yang membentuk biofilm pada permukaan perairan dapat menyerap Cd, Cr, Cu, Hg, Ni, dan Zn dari dalam air. Mikroba yang membentuk film dalam ekosistem perairan juga memiliki peranan yang penting dalam bioremediasi logam. Saccharomyces cerevisiae dan Candida sp. Dapat mengakumulasi Pb dari dalam perairan, Citrobacter dan Rhizopus arrhizus memiliki kemampuan menyerap uranium (Roane et al ., 1998).

Secara ekonomi dan fungsi, penggunaan teknik bioremediasi harus dapat berkompetisi dalam teknologi remediasi lainnya, seperti pembakaran (insinerasi) atau perlakuan kimia. Sebelum suatu teknikbioremediasi diaplikasikan, informasi tentang keadaan lokasi dan potensi mikroorganisme harus sudah diketahui. Untuk itu perlu dilakukan uji laboratorium untuk mengetahui kecepatan degradasi pada suatu fungsi lingkungan tertentu seperti pH, konsentrasi oksigen, nutrien, komposisi mikroba, ukuran partikel tanah, dan juga suhu. Dibanding teknik remediasi lain, aplikasi bioremediasi jauh lebih murah. Levine and Gealt (1993) menyatakan bahwa bioremediasi untuk satu yardtanah yang terkontaminasi diperlukan dana sekitar 40 sampai 100 dollar. Sedangkan melalui proses lainnya, seperti dengan insinerasi, memerlukan biaya 250 sampai 800 dollar dan landfilling sekitar 150 sampai 250 dollar untuk kapasitas tanah yang sama. Bioremediasi dapat diaplikasikan pada lingkungan-lingkungan yang terpolusi malalui berbagai mekanisme. Menurut Litchfield (1991), bioremediasi dilakukan melalui lima pendekatan berikut: bioreaktor, perlakuan fase padat, pengomposan, landfarming, dan perlakuan in situ.

Masalah utama yang sering dijumpai dalam aplikasi mikroorganisme untuk bioremediasi adalah menurun atau hilangnya potensi mikroba. Walaupun dalam percobaan laboratorium mikroba menunjukkan aktivitas degradasi yang tinggi, ternyata tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam percobaan di lapangan (in situ). Untuk meningkatkan keefektifan penggunaan mikroorganisme dalam bioremediasi dapat dilakukan dengan melakukan dua strategi berikut. Pertama; Biostimulan yaitu suatu teknik menambahkan nutrien tertantu dengan tujuan merangsang aktivitas mikroba-mikroba tempatan (indigenous). Teknik biostimulasi ini telah sukses dalam mengendalikan tumpahan minyak di perairan dan kontaminasi senyawa hidrokarbon (PAH) di tanah. Nutrien yang sering ditambahkan adalah fosfor dan nitrogen. Kedua; Bioaugmentasi yaitu dengan mengintroduksi mikroba tertentu pada daerah yang akan diremediasi (Atlas dan Berta, 1992).Di samping masalah di atas, lambatnya kecepatan degradasi polutan di lingkungan disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: enzim-enzim degradatif yang dihasilkan oleh mikroba tidak mampu mengkatalis reaksi degradasipolutan yang tidak alami, kelarutan polutan dalam air sangat rendah, dan polutan terikat kuat dengan partikel-partikel organik atau partikel tanah. Selain itu, pengaruh lingkungan seperti pH, temperatur, dan kelembapan tanah juga sangat berperan dalam menentukan kesuksesan proses bioremediasi (Lieberg dan Cutright, 1999).

Oleh karena itu, seleksi baik yang dilakukan secara konvensional maupun melalui manipulasi genetika untuk mendapatkan mikroba-mikroba yang potensial, merupakan agenda yang sangat penting dalam mikrobiologi lingkungan. Di samping itu, proses degradsi komplit di lingkungan umumnya dilakukan oleh konsorsium mikroorganisme bukan oleh mikroorganisme sejenis.

Gambar 2. Mikroorganisme Pendegradasi PAHs

D. Composting

Pengertian

Kompos merupakan hasil perombakan bahan organik oleh mikrobia dengan hasil akhir berupa kompos yang memiliki nisbah C/N yang rendah. Bahan yang ideal untuk dikomposkan memiliki nisbah C/N sekitar 30, sedangkan kompos yang dihasilkan memiliki nisbah C/N < 20. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N jauh lebih tinggi di atas 30 akan terombak dalam waktu yang lama, sebaliknya jika nisbah tersebut terlalu rendah akan terjadi kehilangan N karena menguap selama proses perombakan berlangsung. Kompos yang dihasilkan dengan fermentasi menggunakan teknologi mikrobia efektif dikenal dengan nama bokashi. Dengan cara ini proses pembuatan kompos dapat berlangsung lebih singkat dibandingkan cara konvensional (Antizar Ladislao et al., 2004).Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan mikrobia agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Yang dimaksud mikrobia disini bakteri, fungi dan jasad renik lainnya. Bahan organik disini merupakan bahan untuk baku kompos ialah jerami, sampah kota, limbah pertanian, kotoran hewan/ ternak dan sebagainya. Cara pembuatan kompos bermacammacam tergantung: keadaan tempat pembuatan, buaday orang, mutu yang diinginkan, jumlah kompos yang dibutuhkan, macam bahan yang tersedia dan selera si pembuat (Loick et al., 2009).Perlu diperhatikan dalam proses pengomposan ialah kelembaban timbunan bahan kompos. Kegiatan dan kehidupan mikrobia sangat dipengaruhi oleh kelembaban yang cukup, tidak terlalu kering maupun basah atau tergenang. Aerasi timbunan. Aerasi berhubungan erat dengan kelengasan. Apabila terlalu anaerob mikrobia yang hidup hanya mikrobia anaerob saja, mikrobia aerob mati atau terhambat pertumbuhannya. Sedangkan bila terlalu aerob udara bebas masuk ke dalam timbunan bahan yang dikomposkan umumnya menyebabkan hilangnya nitrogen relatif banyak karena menguap berupa NH3. Temperatur harus dijaga tidak terlampau tinggi (maksimum 60C). Selama pengomposan selalu timbul panas sehingga bahan organik yang dikomposkan temparaturnya naik; bahkan sering temperatur mencapai 60C. Pada temperatur tersebut mikrobia mati atau sedikit sekali yang hidup. Untuk menurunkan temperatur umumnya dilakukan pembalikan timbunan bakal kompos. Proses pengomposan kebanyakan menghasilkan asamasam organik, sehingga menyebabkan pH turun. Pembalikan timbunan mempunyai dampak netralisasi kemasaman (Atagana, 2004)Netralisasi kemasaman sering dilakukan dengan menambah bahan pengapuran misalnya kapur, dolomit atau abu. Pemberian abu tidak hanya menetralisasi tetapi juga menambah hara Ca, K dan Mg dalam kompos yang dibuat. Kadangkadang untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas kompos, timbunan diberi pupuk yang mengandung hara terutama P. Perkembangan mikrobia yang cepat memerlukan hara lain termasuk P. Sebetulnya P disediakan untuk mikrobia sehingga perkembangannya dan kegiatannya menjadi lebih cepat. Pemberian hara ini juga meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan karena kadar P dalam kompos lebih tinggi dari biasa, karena residu P sukar tercuci dan tidak menguap.Manfaat CompostingPada dasarnya kompos dapat meningkatkan kesuburan kimia dan fiisik tanah yang selanjutnya akan meningkatkan produksi tanaman. Pada tanaman hortikultura (buahbuahan, tanaman hias, dan sayuran) atau tanaman yang sifatnya perishable ini hampir tidak mungkin ditanam tanpa kompos. Demikian juga di bidang perkebunan, penggunaan kompos terbukti dapat meningkatkan produksi tanaman. Di bidang kehutanan, tanaman akan tumbuh lebih baik dengan kompos. Sementara itu, pada perikanan, umur pemeliharaan ikan berkurang dan pada tambak, umur pemeliharaan 7 bulan menjadi 56 bulan (Crawford et al ., 1993)Kompos membuat rasa buahbuahan dan sayuran lebih enak, lebih harum dan lebih masif. Hal inilah yang mendorong perkembangan tanaman organik, selain lebih sehat dan aman karena tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimia rasanya lebih baik, lebih getas, dan harum. Penggunaan kompos sebagai pupuk organik saja akan menghasilkan produktivitas yang terbatas. Penggunaan pupuk buatan saja (urea, SP, MOP, NPK) juga akan memberikan produktivitas yang terbatas. Namun, jika keduanya digunakan saling melengkapi, akan terjadi sinergi positif. Produktivitas jauh lebih tinggi dari pada penggunaan jenis pupuk tersebut secara masingmasing. Selain itu, air lindi yang dianggap mencemarkan sumur di lingkungan TPA dapat dijadikan pupuk cair atau diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke saluran umum. Keuntungan lainnya dengan dihilangkannya TPA (tempat pembuangan akhir) dan diganti dengan TPK (tempat pengolahan kompos) alias pabrik kompos, lahan untuk sampah ini tidak berpindahpindah, cukup satu tempat untuk kegiatan yang berkesinambungan (Zhang et al., 2011)Sampah organik secara alami akan mengalami peruraian oleh berbagai jenis mikroba, binatang yang hidup di tanah, enzim dan jamur. Proses peruraian ini memerlukan kondisi tertentu, yaitu suhu, udara dan kelembaban. Makin cocok kondisinya, makin cepat pembentukan kompos, dalam 4 6 minggu sudah jadi. Apabila sampah organik ditimbun saja, baru berbulanbulan kemudian menjadi kompos. Dalam proses pengomposan akan timbul panas krn aktivitas mikroba. Ini pertanda mikroba mengunyah bahan organik dan merubahnya menjadi kompos. Suhu optimal untk pengomposan dan harus dipertahankan adalah 4565C. Jika terlalu panas harus dibolakbalik, setidaktidaknya setiap 7 hari (Loick et al., 2009).Metode Composting

Loick et al. (2009) mengemukakan bahwa terdapat beberapa metoda pembuatan kompos yang umum dilakukan, yaitu 1. Windrow system 2. Aerated Static Pile 3. In Vessel Ketiga sistem ini telah banyak dioperasionalkan secara luas. Dari ke tiga sistim ini mana yang dapat menghasilkan kompos yang terbaik tidaklah penting, karena masingmasing sistim mempunyai kelebihan dan kekurangannya masingmasing.Sistem WindrowWindrow sistim adalah proses pembuatan kompos yang paling sederhana dan paling murah. Bahan baku kompos ditumpuk memanjang , tinggi tumpukan 0.6 sampai 1 meter, lebar 25 meter. Sementara itu panjangnya dapat mencapai 40 50 meter. Sistim ini memanfaatkan sirkulasi udara secara alami. Optimalisasi lebar, tinggi dan panjang nya tumpukan sangat dipengaruhi oleh keadaan bahan baku, kelembaban, ruang pori, dan sirkulasi udara untuk mencapai bagian tengah tumpukan bahan baku. Idealnya adalah pada tumpukan bahan baku ini harus dapat melepaskan panas, untuk mengimbangi pengeluaran panas yang ditimbulkan sebagai hasil proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Windrow sistim ini merupakan sistim proses komposting yang baik yang telah berhasil dilakukan di banyak tempat untuk memproses pupuk kandang, sampah kebun, lumpur selokan, sampah kota dll. Untuk mengatur temperatur, kelembaban dan oksigen, pada windrow sistim ini, maka dilakukan proses pembalikan secara periodik Inilah secara prinsip yang membedakannya dari sistim pembuatan kompos yang lain. Kelemahan dari sistim Windrow ini adalah memerlukan areal lahan yang cukup luas (Loick et al ., 2009)Sistem Aerated Static PileSistim pembuatan kompos lainnya yang lebih maju adalah Aerated Static Pile. Secara prinsip proses komposting ini hampir sama, dengan windrow sistim, tetapi dalam sistim ini dipasang pipa yang dilubangi untuk mengalirkan udara. Udara ditekan memakai blower. Karena ada sirkulasi udara, maka tumpukan bahan baku yang sedang diproses dapat lebih tinggi dari 1 meter. Proses itu sendiri diatur dengan pengaliran oksigen. Apabila temperatur terlalu tinggi, aliran oksigen dihentikan, sementara apabila temperatur turun aliran oksigen ditambah. Karena tidak ada proses pembalikan, maka bahan baku kompos harus dibuat sedemikian rupa homogen sejak awal. Dalam pencampuran harus terdapat rongga udara yang cukup. Bahanbahan baku yang terlalu besar dan panjang harus dipotongpotong mencapai ukuran 4 10 cm (Loick et al .,2009).Sistem In VesselSistim yang ke tiga adalah sistim In Vessel Composting. Dalam sistim ini dapat mempergunakan kontainer berupa apa saja, dapat silo atau parit memanjang. Karena sistim ini dibatasi oleh struktur kontainer, sistim ini baik digunakan untuk mengurangi pengaruh bau yang tidak sedap seperti bau sampah kota. Sistim in vessel juga mempergunakan pengaturan udara sama seperti sistim Aerated Static Pile. Sistim ini memiliki pintu pemasukan bahan kompos dan pintu pengeluaran kompos jadi yang berbeda (Antizar Ladislao et al., 2004)E. Composting in-vessel sebagai alternatif remediasi tanah terkontaminasi PAHs-batubaraIndonesia merupakan salah satu dari 11 negara penghasil batubara utama dunia disamping Cina, Amerika Serikat, India, Australia, Afrika Selatan, Rusia, Polandia, Kazakhstan, Ukraina dan Jerman (Achten & Hofmann, 2009). Pada tahun 2007, jumlah produksi batubara Indonesia mencapai 218 juta ton dan meningkat menjadi 353 juta ton pada tahun 2011 dengan lebih dari 50 lokasi penambangan batubara yang tersebar di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi (ESDM, 2011; 2012). Dari sedikit penelitian tentang PAHs yang dilakukan di Indonesia, Lukman (2010) mengidentifikasi bahwa kegiatan pertambangan batubara dan kebakaran lahan gambut di Sumatera, terutama di Riau, secara nyata menyebabkan peningkatan konsentrasi PAHs pada sedimen, partikel tersuspensi dan aliran air di Sungai Siak, muara dan wilayah pesisir Sumatera. Kenyataan tersebut bisa dianggap sebagai tanda peringatan awal potensi terjadinya pencemaran PAHs-batubara, terutama untuk daerah-daerah pusat kegiatan pertambangan batubara di Indonesia. Untuk itu, composting in-vessel diajukan sebagai alternative bioremediasi tanah terkontaminasi PAHs-batubara yang dapat diaplikasikan.Composting merupakan metode bioremediasi dengan mencampurkan tanah terkontaminasi dengan bahan-bahan pembuatan kompos, sehingga terjadi proses biodegradasi bahan organik yang ada di dalam campuran bahan tersebut (Antizar Ladislao et al., 2004; Atagana, 2004; Loick et al., 2009). Antizar-Ladislao et al. (2004) dan Crawford et al. (1993) mengemukakan bahwa potensi remediasi PAHs dengan composting disebabkan oleh: 1) banyak jenis mikroorganisme yang secara alami mampu memetabolisme PAHs hadir pada saat proses composting, 2) suhu tinggi pada proses composting akan meningkatkan kelarutan dan kecepatan transfer massa kontaminan, sehingga lebih tersedia untuk metabolisme dan meningkatkan kinetika enzim yang terlibat dalam proses tersebut, 3) kesempatan untuk co-oxidation dapat ditingkatkan karena berbagai substrat alternatif yang tersedia, dan 4) modifikasi kondisi fisik/kimia lingkungan mikro pada massa composting dapat meningkatkan keragaman mikroflora. Walaupun kondisi optimal proses composting PAHs belum dapat ditentukan secara pasti, karena banyaknya perbedaan kondisi dan perlakuan dari masing-masing studi, Loick et al. (2009) menyimpulkan bahwa laju degradasi dan kualitas hasil composting dipengaruhi oleh: 1) kondisi composting (suhu, kelembaban, rasio tanah dan bahan kompos, aerasi dan penambahan mikroorganisme), 2) teknik composting (windrows, static pile dan in-vessel composting), 3) sumber, konsentrasi, distribusi, homogenitas dan bioavailability PAHs, serta 4) sumber dan komposisi bahan pembuatan kompos.F. Desain Reaktor in-vessel composting

Gambar 5. Laboratory set-up of composting reactors

Gambar 6. Schematic diagram of pilot-scale in-vessel composting plantBAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari sedikit penelitian tentang composting tanah terkontaminasi PAHs-batubara, hasil penelitian Zhang et al. (2011) perlu dikemukakan disini untuk memberikan gambaran tentang potensi penggunaan composting untuk remediasi tanah terkontaminasi PAHs batubara. Penelitian ini dilakukan dengan metode in-vessel composting terhadap tanah terkontaminasi PAHs-batubara China. Empat kondisi ekperimen berbeda disiapkan untuk penelitian selama 60 hari, yaitu; 1) 100% tanah terkontaminasi PAHs (S), 2) 100% sampah domestik organik (W), 3) tanah terkontaminasi PAHs + sampah domestik organik (SW), dan 4) tanah terkontaminasi PAHs + sampah domestik organic + mikroorganisme pendegradasi PAHs (SWB) dengan pengaturan suhu, rasio tanah/sampah dan kadar air mengacu pada hasil penelitian Antizar-Ladislao et al ., (2005). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penurunan masa kering sebesar 355% terjadi pada semua reaktor kecuali reaktor S, tingkat penyisihan 16 jenis EPAPAHs sebesar 50.514.8% pada reaktor SW dan 63.710% pada reaktor SWB, dan penambahan mikroorganisme pendegradasi PAHs tidak berdampak signifikan pada tingkat penyisihan PAHs. Sementara itu, hasil penelitian Antizar-Ladislao et al. (2005a) tentang pengaruh temperatur dan rasio tanah/sampah sayuran hijau pada remediasi

dengan in-vessel composting terhadap tanah terkontaminasi PAHs-tar batubara dari pabrik industri gas di Inggris menunjukkan bahwa tingkat degradasi optimal (77% total PAHs) terjadi pada suhu 38C, rasio tanah/sampah 0.8/1, kadar air 60% dan lama waktu composting 98 hari. Dengan membandingkan kedua hasil penelitian tersebut, diyakini bahwa composting in-vessel dapat diterapkan untuk remediasi tanah terkontaminasi PAHs-batubara. Hal yang perlu diperhatikan dalam aplikasi composting tanah terkontaminasi PAHs batubara adalah konsentrasi logam berat di batubara yang cukup tinggi dan akan menyebabkan terganggunya proses composting. Beberapa alternatif pre-treatment logam berat pada tanah terkontaminasi batubara sebelum melakukan composting, antara lain: soil washing, oksidasi kimia dan solid-bed bioleaching. BAB IVKESIMPULAN

Batubara merupakan sumber alami pencemaran PAHs dengan konsentrasi yang lebih tinggi dan potensi sebaran yang lebih luas daripada sumber PAHs yang lain. Oleh karena itu, kontaminasi tanah oleh PAHs-batubara sudah sepatutnya menjadi perhatian utama dalam upaya pemulihan kualitas lingkungan, terutama di Indonesia yang merupakan salah satu penghasil batubara utama dunia.

Composting in-vessel sebagai salah satu metode bioremediasi untuk menghilangkan polutan berbahaya dari lingkungan dan/atau mengubah polutan berbahaya menjadi kurang berbahaya dapat diajukan sebagai alternatif upaya remediasi tanah terkontaminasi PAHs-batubara yang efektif, ekonomis, dan mudah diaplikasikan. Selain kondisi dan teknik composting, serta sumber dan komposisi bahan pembuatan kompos, konsentrasi logam berat yang cukup tinggi di batubara menjadi hal yang perlu diperhatikan pada penerapan remediasi tanah terkontaminasi PAHs-batubara dengan composting in-vessel.

DAFTAR PUSTAKA

Achten, C. & Hofmann, T. (2009) Native polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) in coals A hardly recognized source of environmental contamination. Science of The Total Environment.

Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. 2nd ed. John Willey & Son. New York.Antizar-Ladislao, B., Lopez-Real, J. & Beck, A. J. (2005a) In-vessel composting-bioremediation of aged coal tar soil: effect of temperature and soil/green waste amendment ratio. Environment International.Atlas, M.R. and L.C. Parks. 1993. Handbook of Microbiological Media. CRC Press. Boca Raton.Bamforth, S. M. & Singleton, I. (2005) Bioremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons: current knowledge and future directions. Journal of Chemical Technology & BiotechnologyC. Liang, K.C. Das, R.W. McClendon, The influence of temperature and moisture contents regimes on the aerobic microbial activity of a biosolids composting blend, Bioresour. Technol. 86 (2003).Cerniglia, C. (1992) Biodegradation of polycyclic aromatic hydrocarbons. BiodegradationDermont, G., Bergeron, M., Mercier, G. & Richer-Laflche, M. (2008) Soil washing for metal removal: A review of physical/chemical technologies and field applications. Journal of Hazardous Materials.E. Epstein, The Science Of Composting, Technomic Publishing Company, Lancaster, 1997.Foth, H.D. 1990. Fundamentals of Soil Science. 8th ed. John Willey&son. New York.Gan, S., Lau, E. V. & Ng, H. K. (2009) Remediation of soils contaminated with polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs). Journal of Hazardous Materials.Gautama RS. 2007. Pidato Guru Besar ITB: Pengelolaan air asam tambang: aspek penting menuju pertambangan berwawasan lingkungan.Greenwood, P. F., George, S. C., Pickel, W., Zhu, Y. & Zhong, N. (2001) In situ analytical pyrolysis of coal macerals and solid bitumens by laser micropyrolysis GC MS. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis.http://www.jualbatubara.com/2012/10/industri-pertambangan-batubara.html diakses tanggal 20 mei 2014.Huesemann, M. H., Hausmann, T. S., Fortman, T. J., Thom, R. M. & Cullinan, V. (2009) In situ phytoremediation of PAH- and PCB-contaminated marine sediments with eelgrass (Zostera marina). Ecological Engineering.J.S. VanderGheynst, F. Lei, Microbial community structure dynamics during aerated and mixed composting, 46 (2003). Kanaly, R. A. & Harayama, S. (2000) Biodegradation of high-molecular-weight polycyclic aromatic hydrocarbons by bacteria. Journal of Bacteriology.

Laumann, S., Micic, V., Kruge, M. A., Achten, C., Sachsenhofer, R. F., Schwarzbauer, J. & Hofmann, T. (2011) Variations in concentrations and compositions of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in coals related to the coal rank and origin. Environmental pollution (Barking, Essex : 1987)Loick, N., Hobbs, P. J., Hale, M. D. C. & Jones, D. L. (2009) Bioremediation of poly aromatic hydrocarbon (PAH)-contaminated soil by composting. Critical Reviews in Environmental Science and Technology.Lser, C., Seidel, H., Hoffmann, P. & Zehnsdorf, A. (2001) Remediation of heavy metal-contaminated sediments by solid-bed bioleaching. Environmental Geology 40(4-5), 643-650.Lukman, M. (2010) Distribution and Sources of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in Sediments, Suspended Particulate Matter and Waters from the Siak River System, Estuary and Coastal Area of Sumatra, Indonesia, Dissertation, Faculty of Biology/Chemistry, University of Bremen, Germany.Mizwar, A. dan Trihadiningrum, Y., 2014. Potensi Bioremediasi Tanah Terkontaminasi Polycyclic Aromatic Hydrocarbons dari Batubara dengan Composting, Prosiding Seminar Nasional Waste Management II, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, hal. 251-264Napier, F., DArcy, B. & Jefferies, C. (2008) A review of vehicle related metals and polycyclic aromatic hydrocarbons in the UK environment. Desalination.Pies, C., Yang, Y. & Hofmann, T. (2007) Distribution of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in floodplain soils of the Mosel and Saar river. J Soils SedimentsR.M. Seymour, D. Donahue, M. Bourdon, J.R. Evans, D. Wentworth, Intermittent aeration for in-vessel composting of crab processing waste, Compost. Sci. Util. 9 (2001).

S.V. Bolta, R. Mihelic, F. Lobnik, D. Lestan, Microbial community structure during composting with and without mass inocula, Compost. Sci. Util. 11 (2003).Schweinfurth, S. P. & Finkelman, R. B. (2003) Coal-a complex natural resource: an overview of factors affecting coal quality and use in the United States U.S. Dept. of the Interior, U.S. Geological Survey, Eastern Region, Reston, Va.Stout, S. A. & Emsbo-Mattingly, S. D. (2008) Concentration and character of PAHs and other hydrocarbons in coals of varying rank Implications for environmental studies of soils and sediments containing particulate coal. Organic Geochemistry 39(7), 801-819.

Wang, R., Liu, G., Chou, C. L., Liu, J. & Zhang, J. (2010) Environmental assessment of PAHs in soils around the Anhui Coal District, China. Archives of environmental contamination and toxicology 59(1), 62-70.Wheatley, A. D. & Sadhra, S. (2004) Polycyclic aromatic hydrocarbons in solid residues from waste incineration. Chemosphere 55(5), 743-749.Widyati, E. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas tambang Batubara dengan Sludge Industri Kertas untuk Memacu Revegetasi Lahan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.Yan, D. Y. S. & Lo, I. M. C. (2013) Removal effectiveness and mechanisms of naphthalene and heavy metals from artificially contaminated soil by iron chelate- activated persulfate. Environmental PollutionZhang, Y., Zhu, Y. G., Houot, S., Qiao, M., Nunan, N. & Garnier, P. (2011) Remediation of polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) contaminated soil through composting with fresh organic wastes. Environmental science and pollution research international.