67
BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Di dalam tubuh, obat , zat kimia dan toksin semuanya merupakan benda asing untuk tubuh kita. Tubuh kita berusaha menyingkirkan sendiri zat-zat kimia asing tersebut tanpa memperhatikan apakah bersifat terapeutik atau berbahaya. Kebanyakan obat- obat harus melalui biotransformasi, dan dimetabolisme sebelum dapat diekskresikan. Di dalam tubuh obat mengalami biotransformasi dimana tubuh memetabolisme suatuobat dengan upayah mengubah bentuk obat menjadi bentuk lain secara enzimatik yang berguna untuk tujuan tertentu, utamanya adalah mengubah bentuk obat menjadi bentuk hidrofil agar lebih mudah dieksresikan melalui urin. Hasil biotransformasi atau metabolisme pada umumnya bersifat kurang larut dalam lipid tidak aktif, mudah berionisasi

iNduksi & iNhibiSi_eR

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: iNduksi & iNhibiSi_eR

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Di dalam tubuh, obat , zat kimia dan toksin semuanya merupakan

benda asing untuk tubuh kita. Tubuh kita berusaha menyingkirkan

sendiri zat-zat kimia asing tersebut tanpa memperhatikan apakah

bersifat terapeutik atau berbahaya. Kebanyakan obat-obat harus

melalui biotransformasi, dan dimetabolisme sebelum dapat

diekskresikan.

Di dalam tubuh obat mengalami biotransformasi dimana tubuh

memetabolisme suatuobat dengan upayah mengubah bentuk obat

menjadi bentuk lain secara enzimatik yang berguna untuk tujuan

tertentu, utamanya adalah mengubah bentuk obat menjadi bentuk

hidrofil agar lebih mudah dieksresikan melalui urin.

Hasil biotransformasi atau metabolisme pada umumnya

bersifat kurang larut dalam lipid tidak aktif, mudah berionisasi

pada pH fisiologis, kurang terikat pada protein pada plasma

dan jaringan, sedikit tersimpan di dalam lemak dan kurang mampu

menembus membran sel, sehingga obat lebih mudah terionisasi,

tereksresi karena absorbsi secara difusi pada tubuli ginjal berkurang.

Jadi dengan biotransformasi yang umumnya dengan enzim mikrosomal

Page 2: iNduksi & iNhibiSi_eR

mati, aktivitas zat akan berkurang atau hilang walaupun ada kalanya

hasil biotransformasi bersifat aktif.

Namun di dalam tubuh juga dapat terjadi inhibisi antar obat.

Dimana pada saat obat yang berbeda diberikan dan memiliki efek

inhibisi yang mana bahan-bahan atau obat-obat yang mempengaruhi

kerja enzim makrosomal hati, maka kemungkinan obat yang satu dapat

mempengaruhi proses biotransformasi obat lain.

Oleh sebab itu percobaan studi induksi dan inhibisi metabolisme

obat dilakukan dengan pengukuran nilai Ke (laju eksresi), t1/2 (waktu

paruh), dan AUC (Area Under Curve) pada hewan coba dalam hal ini

kelinci (Oryctolagus cuniculus. Membuat kita mengetahui bagaimana

efek penghambatan dari pemberian suatu obat terhadap

biotransformasi obat lain secara invivo.

I.2 MAKSUD PERCOBAAN

Maksud dari percobaan ini adalah Untuk megetahui dan memahami

pengaruh pemberian suatu obat terhadap biotransformasi obat lain

secara in vivo.

I.3 TUJUAN PERCOBAAN

Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengukur efek inhibisi

rebusan daun paliasa 10% pada enzim glukoronidase dengan

parameter penghambatan metabolism asetosal.

Page 3: iNduksi & iNhibiSi_eR

I.4 PRINSIP PERCOBAAN

Prinsip dari percobaan ini adalah pengukuran efek inhibisi rebusan

daun paliasa 10% pada enzim glukoronidase dengan parameter

penghambatan metabolism asetosal dengan membandingkan jumlah

kadar asetosal dalam darah kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang

diberikan rebusan daun paliasa 10% selama 5 hari dengan kadar

asetosal dalam darah kelinci (Oryctolagus cuniculus) tanpa pemberian

rebusan daun paliasa 10% berdasarkan nilai Ke (laju eksresi), t1/2

(waktu paruh), dan AUC (Area Under Curve).

Page 4: iNduksi & iNhibiSi_eR

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 TEORI UMUM

Metabolisme/biotransformasi adalah upaya tubuh dalam

mengubah bentuk obat menjadi bentuk lain yang berguna untuk tujuan

tertentu. Utamanya adalah mengubah bentuk obat menjadi bentuk

hidrofil agar lebih mudah dieksresikan melalui urin

(//http;metabolisme_obat.org// 25 April, 2010).

Defenisi obat ialah suatu zat yang digunakan untuk diagnose

pengobatan, melunakkan, menyenbuhkan atau mencegah penyakit

pada manusia atau pada hewan (Anief, 2003).

Biofarmasi meneliti pengaruh formulasi obat terhadap efek

terapeutiknya. Dengan kata lain, dalam bentuk sediaan aman, obat

harus dibuat agar menghasilkan efek yang optimal. Ketersediaan hayati

obat dalam tubuh untuk diresorbsi dan untuk melakukan efeknya juga

dipelajari (Farmaceutical dan Biological availability). Begitu pula

kesetaraanterapeutis dari sediaan yang mengandung zat aktif sama

(Therapeutic equivalence). Ilmu bagian ini berkemabang akhir tahun

1950-an dan erat hubungannya dengan farmakokinetika (Tjay,2002).

Organ utama yang bertanggung jawab untuk biotransformasi

obat adalah hati. Akan tetapi jaringan intestine, paru dan ginjal juga

mengandung sejumlah enzim biotransformasi. Jaringan lain dan

Page 5: iNduksi & iNhibiSi_eR

mikroflora intestine dapat pula berperan dalam biotransformasi obat

(G:\Biofar-Q\metabolisme-obat.html, 25 April 2010).

Biotransformasi terjadi terutama dalam hati dan hanya dalam

jumlah yang sangat rendah terjadi dalam organ lain misalnya dalam

usus, ginjal, paru-paru, limfe, otot, kulit atau dalam darah (G:\Biofar-

Q\BIOTRANSFORMASI « Moko Apt.htm, 25 April, 2010).

Sebagian besar biotransformasi obat dikatalisis oleh enzim

mikrosom hati, demikian juga biotransformasi asam lemak, hormon

steroid, dan bilirubin. Untuk itu obat harus larut lemak agar dapat

melintasi membran, masuk ke dalam retikulum endoplasma, dan

berikatan dengan enzim mikrosom. Sistem enzim mikrosom untuk

reaksi oksidasi disebut oksidase fungsi campur (mixed-function

oxidase = MFO) atau monooksigenase; sitokrom P-450 ialah

komponen utama dalam sistem enzim ini. Reaksi yang dikatalisis oleh

MFO meliputi reaksi N- dan O-dealkilasi, hidroksilasi cincin aromatik

dan rantai sampingnya, deaminasi amin primer dan sekunder, serta

desulfurasi (G:\Biofar-Q\BIOTRANSFORMASI « Moko Apt.htm, 25

April, 2010).

Obat yang telah diresorbsi usus ke dalam peredaran

didiangkut melalui sistem pembuluh porta ke dalam hati ; dengan

pemberian sublingual, rectal (sebagian), atau sebagian injeksi sistem

porta dan hati dielakkan. Dalam hati obat seluruhnya atau sebagian

mengalami perubahan-perubahan kimia dan umumnya hasil

Page 6: iNduksi & iNhibiSi_eR

perubahan (metabolit) tidak atau kurang aktif lagi, maka proses ini

sering dinamakan proses setoksifikasi atau bioinaktifasi (Tjay. 2002).

Obat-obat yang dimetabolisme sebelum diabsorbsi, baik pada

lumen ataun jaringan usus dapat menunjukkan ketersediaan hayati

yang menurun sebagai contoh alprenolol dimetabolisme decara

ekstensif oleh dinding usus saat diberikan dalam bentuk pelepasan

terkendali (Yandi syukri, 2002).

Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat

dibedakan berdasarkan letaknya di dalam selnya, yakni snzim

mikrosom yang terdapat dalam retikulumsndoplasma halus (yang

pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan snzim non mirosom.

Kedua macam snzimuntuk metabolisme ini terutama terdapat di dalam

sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain msalnya ginjal, paru,

epitel saluran cerna, dan plasma. Di lumen saluran cerna juga

terdapat enzim non mikrosom yang dihasilkan oleh flora usus. Enzim

mikrososm mengkatalisis reaksi konyugasi glukoronid, sebagian besar

reaksi oksidasi obat. Serta reaksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan

enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi lainnya,

beberapa reaksi reduksi dan hidrolisis (Ganiswarna S., 1995).

Sebagian besar biotarnsformasi obat dikatalisis oleh enzim

mikrosom hati,demikian juga biotransformasi asam lemak, hormone

steroid, dan bilirubin. Untuk itu obat harus larut lemak agar dapat

Page 7: iNduksi & iNhibiSi_eR

melintasi membran, masuk ke dalam retikulum endoplasma, dan

brikatan dengan enzim mikrosom (Ganiswarna S., 1995).

Enzim biotransformasi hepatik memainkan peranan penting

untuk inaktivasi dan selanjutnya eliminasi obat-obat yang ridak

terbersihkan dengan mudah melalui ginjal. Untuk obat-obat ini

misalnya teofilina, fenitoina, asetaminofen, dan lainnya., menunjukkan

hubungsan yang terbalik antara laju metanbolisme obat

(biotransformasi)dan waktu paruh eliminasi obat (Shargel Leon,

1988).

Reaksi-reaksi fase biasanya mengubah obat induk menjadi

metabolit lebih polar dengan menambahkan atau memfungsikan suatu

kelompok fungsional (OH, -NH2, -SH). Seringkali metabolit-metabolit

ini tidak aktif, meskipun dalam hal tertentu aktivitasnyahanya

dimodifikasi. Kalau metabolit fase I cukup terpolar, maka metabolit-

metabolit tersebut kemungkinan mudah diekskresi. Namun , banyak

produ-oroduk fase I tidak segera dieliminasi dan mengalami reaksi

berikutnya dimana suatu substrat endogen seperti glucuronic

acid,sulfuric acid, acetic acid, atau amino acid bergabung dengan

gugusan fungsional yang baru terjadi membentuk konjugat sangat

polar. Reaksi-reaksi konyugasi atau reaksi-reaksi sintesis yang

demikian adalah tanda-tanda metabolisme fase II (Ganiswarna S.,

1995).

Page 8: iNduksi & iNhibiSi_eR

Satu ciri menarik dari beberapa substrat-substrat obat tertentu

yang berbeda secara kimia adlah kemampuan mereka, dalam

pemberian obat secara berulang, untuk “menginduksi” sitokrom P450

dengan menaikkan laju degradasinya. Induksi ini berakibat pada suatu

akselerasi metabolisme dan biasanya penurunan dalam kerja

farmakologik penginduksi (inducer) dan jugs obat-obat yang diberikan

bersamanya. Namun, berkenaan dengan obat-obat yang

ditransformasi secara metabolic menjadi suatu metabolit-metabolit

reaktif, induksi enzim kemungkinan besar memperbesar toksisitas

jaringan yang dimediasi metabolit. (Bertram., 2001).

Aktifitas enzim bertambah bila jumlah protein enzim dalam sel

meningkat. Induksi enzim yang berperan dalam suatu metabolisme

obat akan mempercepat pnghancuran obat tersebut dan mengurangi

kerjanya Proses ini umumnya dipelajari di parenkim hati, namun

terjadi juga di sel lain misalnya fibroblast dan limfosit (Howard,. 1990).

Dalam hal tertentu, sebagtian besar biotransformasimetabolik

terjadi peda suatu tahap diantara penyerapan obat ke dalam sirkulasi

umum dan eliminasi melalui ginjalnya. Beberapa transformasi terjadi

di dalam lumen usus (intestinum) atau dinding usus. Secara umum,

s3mua reaksi ini dapat dimasukkan dalam satu dari dua kategori

utama yang disebut reaksi-reaksi fase I dan fase II (Bertram., 2001).

Page 9: iNduksi & iNhibiSi_eR

Tiga kelompok iobat pemacu kerja enzim (Howard,. 1990):

1. Obat yang meransang metabolisme dengan banyak cara misalnya

barbiturate.

2. Hidrokarbon polisiklik ( misalnya 3-4 benzo(a) pirin.Zat ini

merangsang metabolisme secara terbatas.

3. Steroid, terutama merangsang enzim mikrosom.

Banyak xenobiotika (dan demikian obat), khususnya senyawa-

senyawayang larut air dalam lemak dengan masa kontak dalam hati

lama, mampu menginduksi pembentukan enzim-enzim yang terlibat

dalam biotransformasi. Karena itu disebut sebagai inductor (enzim)

dan dibedakan menurut enzim yang diinduksi; jenis fenibarbital dan

jenis metilkolantren. Induksi jenis fenobarbital, yang sangat penting

untuk metabolisme obat, menaikkan proliferasi retikulum endoplasma

dan dengan demikian bekerja dengan jelas bobot hati. Induksi

menyangkut terutama sitokrom P450, disamping itu antara lain,

glokoronitransferase, glutationtransferase dan epoksidahidrolase lebih

banyak dibentuk. Induksi terjadi relative cepat dalam waktu beberapa

hari (Mustcler., 1999).

Bila obat yang dapat menstimulasi aktivitas enzim seringkali

digunakan, maka biotransformasinya dipercepat dan juga ekskresinya

sehingga jangka waktu kerjanya diperpendek. Dengan demikian pada

analgetika dan barbirturat tertentu terjadi toleransi. Karena enzim-

enzim ini kerjanya tidak selektif, artinya ridak bekerja hanya pada satu

Page 10: iNduksi & iNhibiSi_eR

obat, maka metabolisme obat-obat lain digunakan bersamaan juga

dapat dipercepat hingga aktivitasnya dan lama kerjanya berkurang

(Tjay. 2002).

Tahap- Tahap dalam Biotransformasi (BIOTRANSFORMASI «

Moko Apt.htm, 25 April, 2010) :

Reaksi metabolisme yang mengubah molekul obat secara

oksidasi, reduksi dan hidrolisis disebut reaksi fase I. Sedangkan pada

reaksi fase II terjadi penggabungan (konjugasi) molekul-molekul obat

dan juga metabolit-metabolit yang terjadi pada reaksi fase I dengan

senyawa tubuh sendiri. Dalam banyak hal diperlukan fase I sebagai

persyaratan reaksi konjugasi.

TABEL Ringkasan umum alur metabolisme Fase I dan II

Fase I atau reaksi fungsionalisasi

Reaksi Oksidasi

Oksidasi gugus aromatis

Oksidasi pada benzilik, atom karbon allilik, atom karbon

alfa pada karbonil dan imina

Oksidasi oada atom karbon alifatik dan alisiklik

Oksidasi melibatkan sistem C-heteroatom:

-          C-N (amina alifatik dan aromatik, meliputi : N-

dealkikasi, deaminasi oksidatif, formasi N-okside,

N-hidroksilasi)

Page 11: iNduksi & iNhibiSi_eR

-          C-O (O-dealkilasi)

-          C-S (S-dealkilasi, S-oksidasi, dan desulfurasi)

Oksidasi alkohol dan aldehida

Reaksi Reduksi

Reduksi aldehid dan keton

Reduksi senyawa nitro dan azo

Reaksi Hidrolisis

Hidrolisis ester dan amida

Hidrasi epoxide dan arene okside oleh epoxide hidrase

Fase II atau Reaksi Konjugasi

Konjugasi asam glukuronat

Konjugasi sulfat

Konjugasi dengan glisin, glutamin, dan AA lain

Konjugasi glutation atau asam merkapturat

Asetilasi

Metilasi

Reaksi fase I

Pada reaksi fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih

polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif, atau lebih aktif daripada

bentuk aslinya. Fungsi utama metabolisme fase I adalah menyiapkan

senyawa untuk metabolisme II dan tidak menyiapkan obat untuk

Page 12: iNduksi & iNhibiSi_eR

diekskresi. Yang termasuk dalam reaksi fase I adalah oksidasi,

reduksi, dan hidrolisis.

Reaksi Oksidasi

Yang sangat penting untuk biotransformasi ialah reaksi oksidasi

yang melibatkan oksidase, monooksigenase, dan dioksigenase.

Oksidase mengoksidasi melalui penarikan hidrogen atau elektron.

Oleh monooksigenase, satu atom oksigen dari molekul oksigen diikat

pada bahan asing dan atom oksigen lain direduksi menjadi air.

Sebaliknya, dioksigenase memasukkan kedua atom dari 1 molekul

oksigen ke dalam xenobiotika. Monooksigenase (mikrosom) yang

mengandung sitokrom P-450 dan juga sitokrom P-448 yang

merupakan protein heme memiliki makna terbesar untuk

biotransformasi oksidasi obat.

Reaksi Reduksi

Dibandingkan dengan oksidasi, reduksi hanya memegang

peranan kecil pada biotransformasi. Senyawa karbonil dapat

direduksi menjadi alkohol oleh alkoholdehidrogenase atau aldol

ketoreduktase sitoplasma. Untuk penguraian senyawa azo menjadi

amina primer melalui tahap antara hidrazo tampaknya ada

beberapa enzim yang terlibat, di antaranya NADPH-sitokrom P-450

reduktase. Yang masih belum diketahui seluruhnya ialah enzim

yang terlibat dalam reduksi senyawa nitro menjadi amina yang

Page 13: iNduksi & iNhibiSi_eR

sesuai. Secara toksikologik berarti ialah dehalogenisasi reduktif,

misalnya pada karbromal serta dari karbontetraklorida menjadi

kloroform.

Reaksi Hidrolisis

Reaksi biohidrolisis penting :

o penguraian ester dan amida menjadi asam dan alkohol serta amina

oleh esterase   (amidase). Hidrolisis ester dapat berlangsung dalam

plasma (asetilkolinesterase nonspesifik, pseudokolinesterase dan

esterase-esterase lain) atau dalam hati. Amida dapat dihidrolisis

oleh esterase plasma meskipun lebih lambat dari esternya tetapi

lebih mungkin dihidrolisis oleh amidase hati.

o pengubahan epoksida menjadi diol berdampingan (visinal) oleh

epoksidahidratase ( sinonim epoksidahidrolase ) serta

o hidrolisis asetal ( glikosida ) oleh glikosidase.

Reaksi fase II

Merupakan penggabungan obat aslinya atau metabolitnya

dengan bermacam-macam komponen endogen. Reaksi konjugasi

yang dilakukan oleh enzim transferase memerlukan baik komponen

endogen maupun eksogen. Reaksi konjugasi mencakup:

reaksi antara senyawa yang mempunyai gugus hidroksil alkohol

atau fenol, gugus amino, gugus sulfhidril dan sebagian juga gugus

karboksil dengan senyawa tubuh sendiri yang kaya akan energi.

Page 14: iNduksi & iNhibiSi_eR

reaksi penggabungan antara senyawa asing, setelah diaktivasi dengan

senyawa tubuh sendiri (tidak teraktivasi). Kedalam reaksi terakhir

termasuk konjugasi asam karboksilat dengan asam amino.

II.2 URAIAN BAHAN

1. Alkohol (Ditjen POM, 1979)

Nama Resmi : Aethanolum

Sinonim : Alkohol

RM / BM : C2H6O / 46,07

Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah

menguap dan mudah bergerak, bau khas,

rasa panas, mudah terbakr denngan

memberikan nyala biru yang tidak

berasap.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam

kloroform P dan dalam eter P.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

Kegunaan :Sebagai antiseptik

2. Aquadest (Ditjen POM, 1979)

Nama Resmi : Aqua Destillata

Sinonim : Air suling

RM / BM : H2O / 18,02

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau

dan tidak mempunyai rasa.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

Page 15: iNduksi & iNhibiSi_eR

Kegunaan : Sebagai pelarut.

3. Nama Resmi : Natrii Carboxymethylcellulosum

Sinonim : Natrium karboksimetilselulosa

Kelarutan : Mudah mendispersi dalam air, membentuk

suspensi koloidal, tidak larut dalam etanol

(95%)P, dalam eter P dan dalam pelarut

organik lain.

Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk atau butiran; putih atau putih

kuning gading; tidak berbau atau hampir

tidak berbau; higroskopik.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

Kegunaan : Sebagai bahan pensuspensi

4. TCA (Dirjen POM, 1979)

Nama resmi : ACIDUM TRICHLOROACETICUM

Nama lain : Asam Trikloroasetat

RM / BM : C2HCl3O2/163,39

Asetosa

l

CH2OCH2COONa

C

OOH

CH2OCH2COONaOH

OHO

O

n

Page 16: iNduksi & iNhibiSi_eR

Pemerian : Hablur atau massa hablur; sangat rapuh; tidak

berwarna; rasa lemah atau getir dan khas.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam etanol

(95%) P dan dalam eter P.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan : Sebagai pengendap.

5. Asetosal (Ditejn POM, 1979)

Nama Resmi : ACIDUM ACETYLSALICYLICUM

Nama lain : Asam Asetilsalisilat, Asetosal

RM / BM : C9H8O4 / 180,16

Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur

putih; tidak berbau; atau hampir tidak berbau;

rasa asam.

Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam

etanol (95 %) P; larut dalam kloroform P dan

dalam eter P.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan : Sebagai sampel

Uraian Obat (Schmitz, 2009)

Nama Paten : Aspilets®

Indikasi : Nyeri ringan hingga sedang, demam,

peradangan, penghambatan agregasi

trombosit sebagai profilaksis sekunder pada

Page 17: iNduksi & iNhibiSi_eR

gangguan sirkulasi serebral, angina pectoris,

infark jantung.

Kontra Indikasi : Penderita hipersensitivitas (termasuk asma).

Penderita tukak lambung (maag), pernah atau

sering mengalami perdarahan di bawah kulit.

Penderita hemophilia dan trombositopenia,

karena dapat meningkatkan risiko terjadinya

pendarahan. Penderita yang sedang terapi

dengan antikoagulan.

Efek Samping : Retensi asam urat pada bagian pirai makin

kuat; pada overdosis : tinnitus, vertigo, mual,

muntah, pendarahan GI; alergi murni

(terutama disebabkan oleh pengotoran

bahan); sindrom Reye : hepatoensefalopati

pada anak-anak sebagai kelanjutan sakit virus

flu, infeksi saluran pernapasan atas, infeksi

Varicella.

Farmakodinamik : Hambatan siklooksigenase irrreversibel

dengan jalan asetilasi pada pusat aktif.

Farmakokinetik : Dengan absorbs oral 100%, bioavailabilitas

dalam plasma 68%, ikatan dengan protein

plasma 50-80% (makin tinggi dosis, makin

rendah ikatan plasma), mempunyai waktu

Page 18: iNduksi & iNhibiSi_eR

paruh 15 menit menit, di eliminasi di ginjal

(bergantung pada pH).

PP-nya 90-95%, plasma-t1/2 –nya 15-20 menit,

masa paruh asam salisilat adalah 2-3 jam

pada dosis 1-3 g/hari(Tjay, 2002).

Interaksi Obat : Furosemid: toksisitas salisilat meningkat,

paraben:alergi silang, Asetildigoksin:

penurunan kadar digoksin dalam plasma

(absorpsi berkurang), Imipramin: kasus

kematian pada takar lajak ASS pada waktu

yang sama.

Dosis : Pada nyeri dan demam oral 4 dd 0,5-1 g

p.c.,maksimum 4 gram sehari, anak-anak

sampai 1 tahun 10 mg/kg 3-4 kali sehari, 1-12

tahun 4-6 dd, diatas 12 tahun 4 dd 320-500

mg.

II.3. Uraian Tanaman

- Ekstrak paliasa (www.google.com)

a. Klasifikasi Tanaman

Regnum : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae

Class : Dycotiledoneae

Page 19: iNduksi & iNhibiSi_eR

Sub class : Apetalae

Ordo : Malvaceales

Familia : Malvaceae

Genus : Klenhopia

Species : Klenhopia hospitale L

b. Morfologi tanaman

Tumbuhan paliasa merupakan pohon yang tingginya 5-

20 meter, daun bertangkai panjang berbatang jantung, lebar

berukuran 4,5-2,7 x 3 x 24 cm pada pangkal tulang daun

bercabang sehingga bertulang menjari, bunga bentuk malai,

diujung batang leher berambut halus, daun pelindung oval, tajuk

berkelompok, bentuk lanset, panjang 6-10 cm, berambut bentuk

bintang, daun mahkota 5 dan 4 bentuk pita lebar, dengan

pangkal berbentuk kantung, tajuk panjang 6 mm, berwarna

merah, kepala sari tertancap seperti perisai.

c. Kandungan kimia

Daun paliasa mengandung asam prusel, baherpinoid,

alkaloid, dan minyak atsiri serta sianida.

d. Kegunaan

Sebagai pencuci rambut, obat cuci mata dan obat

penyakit kuning.

II.4.Uraian Hewan Coba

a. Klasifikasi Hewan Coba

Page 20: iNduksi & iNhibiSi_eR

Klasifikasi Kelinci (Oryctolagus cuniculus), (Jassin, 1992)

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata

Class : Mamalia

Sub class : Theria

Ordo : Logormoipha

Family : Orytolagidae

Genus : Oryctologus

Species : Oryctolagus cuniculus

b. Karakteristik Hewan Coba

Kelinci (Oryctolagus cuniculus), (Malole, 1989)

- Konsumsi pakan per hari : 100 – 200 g

- Konsumsi air minum per hari : 200 – 500 ml

- Diet Protein : 14%

- Ekskresi urine per hari : 35 ml

- Lama hidup : 5 – 7 tahun

- Bobot badan sewasa

- Jantan : 4 – 5,5 Kg

- Betina : 4,5 – 6,5 Kg

- Bobot lahir : 30 – 100 gr

- Dewasa kelamin :

- Jantan : 5 – 6 bulan ( 4,5 Kg )

Page 21: iNduksi & iNhibiSi_eR

- Betina : 6 – 7 bulan ( 4 Kg )

- Siklus estrus ( menstruasi ) : polyestrus ( diinduce )

- Umur sapih : 8 minggu , 1,8 Kg

- Mulai makan pakan kering : 16 – 18 hari

- Waktu untuk kawin kembali : 35 – 42 hari

- Rasio kawin : 1 Jantan 6 – 10 betina

- Jumlah kromosom : 44

- Suhu rektal : 39,50 C

- Laju respirasi : 51 kali / menit

- Denyut jantung : 200 – 300 kali / menit

- volume darah : 55 – 56 mL/ Kg

- Pengambilan darah maksimum : 7,7 mL /Kg

- Jumlah sel darah merah : 4 – 7 x 106

- Kadar hemoglobin ( Hb ) : 10 – 15 g / dl

II.5.Prosedur Kerja (Anonim, 2010)

a. Induksi

1. Disiapkan hewan coba yang telah dipelihara dan diadaptasikan

beberapa hari dan ditimbang masing-masing berat hewan coba.

2. Hewan coba dikelompokkan menjadi II, kelompok pertama

hanya diberi asetosal, kelompok kedua diberikan rebusan daun

paliasa 10% dilakukan selama 5 hari padsa hari ke 6 diberikan

asetosal.

Page 22: iNduksi & iNhibiSi_eR

3. Disiapkan anti koagulan pada masing-masing vial yang akan

dimasukkan plasma darah dari hewan coba.

b. Pengukuran Farmakokinetik

1. Kelinci yang telah diinduksi disiapkan.

2. Dibuat kurva baku asetosal pada masing-masing kelompok

hewan uji dengan konsentrasi 2, b4, 6, 8, 10 ppm, kemudian

masing-masing konsentrasi diukur serapannya pada panjang

gelombang 280 nm.

3. Panjang gelombang maksimum diambil dari slah satu larutan

baku asetosal ditentukan λ max pada daerah 280 nm yaitu 270-

290 nm.

4. Diambil darah pada hewan uji kelompok pertama pada menit ke

15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240. Lalu masukkan dalam vial

yang berisi anti koagulan.

5. Disentrifuge darah yang telah diambil dari hewan uji, untuk

mendapatkan serum darah, diukur absorban pada lat

spektrofotometri.

Page 23: iNduksi & iNhibiSi_eR

BAB III

METODE KERJA

III.1. Alat

Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah :

1. Alat cukur (silet)

2. Batang pengaduk

3. Corong

4. Gelas kimia 100 ml

5. Gelas ukur 50 ml

6. Jarum suntik insulin

7. Kandang fisiologis

8. Kateter

9. Kuvet

10.Mouth Block

11.Sendok tanduk

12.Sentrifuge

13.Spektrofotometri

14.Spoit insulin

15.Spoit oral 1 ml, 3 ml, 10 ml

16.Stopwatch

Page 24: iNduksi & iNhibiSi_eR

17.Tabung Sentrifuge

18.Timbangan analitik

19.Timbangan hewan

20.Vial

III.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah :

1. Air suling

2. Alkohol 70 %

3. Aluminium foil

4. Aspilets® tablet

5. Betadine

6. NaCMC 1%

7. Rebusan daun paliasa 10%

8. Trichloroasetat (TCA)

III.3. Hewan coba

Adapun hewan coba yang digunakan dalam praktikum Studi

Induksi dan Inhibisi Biotransformasi Obat secara In Vivo adalah

kelinci (Oryctolagus cuniculus).

III.4. Cara Kerja

a. Penyiapan Hewan Coba

1. Disiapkan 2 ekor kelinci jantan yang dewasa dan sehat.

2. Ditimbang hewan coba.

Page 25: iNduksi & iNhibiSi_eR

3. Dikelompokkan hewan coba menjadi dua kelompok,

kelompok I tanpa pemberian rebusan daun paliasa 10% dan

kelompok II dengan pemberian rebusan daun paliasa 10%

selama 3 hari.

4. Dicukur bulu pada vena marginalis hewan coba

5. Dihitung volume pemberian obat pada hewan coba

b. Pembuatan Bahan

1. Pembuatan TCA 10%

a. Disiapkan alat dan bahan.

b. Ditimbang 10 gram TCA

c. Dilarutkan dengan 50 ml air suling

d. Dicukupkan dengan aquadest sebanyak 100 ml.

e. Dihomogenkan

2. Pembuatan NaCMC 1%

a. Disiapkan alat dan bahan.

b. Ditimbang Na CMC 1 gram.

c. Dipanaskan air 100 ml dan masukkan Na CMC lalu diaduk

hingga homogen dan disimpan dalam kulkas selama 1x24

jam.

3. Pembuatan Antikoagulan

a. Natrium sitrat ditimbang sebanyak 18 g

Page 26: iNduksi & iNhibiSi_eR

b. Natrium sitrat dilarutkan dengan air suling sedikit demi

sedikit sambil diaduk dengan menggunakan batang

pengaduk hingga jernih

c. Dipindahkan kedalam labu takar 100 ml kemudian

cukupkan volumenya sampai 100 ml

d. Disimpan kedalam lemari pendingin dan siap digunakan.

4. Pembuatan Rebusan Daun Paliasa 10%

a. Disiapkan alat dan bahan.

b. Ditimbang daun Paliasa sebayak 10 gram.

c. Direbus daun paliasa dengan 100 ml air hingga mendidih.

d. Disaring dan didinginkan

c. Pembuatan Larutan Obat

1. Disiapkan alat dan bahan.

2. Ditimbang Aspilets® sebanyak 406,14 mg.

3. Disuspensikan dengan NaCMC sebanyak 50 ml sambil

diaduk-aduk di atas penangas hingga homogen.

d. Perlakuan Hewan Coba

1. Disiapkan alat dan bahan

2. Disiapkan dua kelompok kelinci yang telah diberi rebusan

daun paliasa 10% selama 3 hari dan tanpa pemberian

rebusan daun paliasa 10%.

3. Disiapkan vial sebanyak 16 buah kemudian diisi antikoagulan

natrium sitrat masing-masing 3 ml

Page 27: iNduksi & iNhibiSi_eR

4. Dibersihkan bulu-bulu yang ada dibagian permukaan daun

telinga menggunakan pisau cukur.

5. Dilakukan pengambilan darah awal pada vena marginalis

menggunakan spoit insulin yang diisi sedikit antikoagulan

sebanyak 1 ml sebagai darah blanko.

6. Diberikan obat Aspilets® secara per oral berdasarkan volume

pemberian pada masing-masing kelompok hewan coba

dengan menggunakan kateter dan mouth block.

7. Diambil darah dari vena marginalis pada masing-masing

kelompok hewan coba pada menit 15, 30, 45, 60, 90, 120 dan

150 menit sebanyak 0,5 ml.

8. Ditambahkan TCA 10% sebanyak 3 ml ke dalam masing-

masing vial

9. Dimasukkan masing-masing sampel darah ke dalam tabung

sentrifuge.

10.Disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 5 rpm

11.Dilakukan pengukuran pada spektrofotometer dengan cara

dipisahkan antara serum dan larutan baku

12.Dibuat data pengamatan dan kesimpulan.

13.Diambil supernatan yang terbentuk.

14.Diukur absorbannya menggunakan spektrofotometer pada

panjang gelombang 280 nm.

Page 28: iNduksi & iNhibiSi_eR

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

IV.1. Data Kurva Baku

Kurva Baku Asetosal

Konsentrasi

(ppm)Absorban

2 0,118

4 0,201

6 0,295

8 0,380

10 0,450

IV.2. Data Plasma

Kadar Asetosal dari Kelompok Kontrol

X(t) Absorban

15 0,0770

30 0,1488

45 0,3033

60$ 0,3847

Page 29: iNduksi & iNhibiSi_eR

90 0,2611

120 0,1528

150 0,0476

Kadar asetosal dari Kelompok Perlakuan

X(t) Absorban

15 0,0855

30 0,1588

45 0,3166

60 0,3970

90 0,2760

120 0,1738

150 0,0550

Page 30: iNduksi & iNhibiSi_eR

BAB V

PEMBAHASAN

Biotranformasi adalah peristiwa perubahan kimiawi obat dalam

tubuh. Hasil biotranformasi atau metabolit pada umumnya bersifat kurang

larut dalam lipid, tidak aktif, mudah terionisasi pada pH fisiologis, kurang

terikat pada protein plasma dan jaringan, sedikit tersimpan di dalam lemak

dan kurang mampu menembus membrane sel sehingga obat akan lebih

mudah terekskresi karena reabsorbsi obat secara difusi pada tubulus

ginjal berkurang. Jadi dengan biotransformasi aktivitas obat akan

berkurang atau hilang.

Enzim yang berperan adalah sitokrom P-450. hasil biotransformasi

atau metabolit pada umumnya bersifat kurang larut dalam lemak, tidak

aktif, mudah terionisasi pada pH fisiologis, kurang terikat dalam protein

plasma dan jaringan sedikit tersimpan dalam lemak dan kurang mampu

menembus membran sel sehingga obat secara difusi pada tubulus ginjal

berkurang.

Page 31: iNduksi & iNhibiSi_eR

Pada percobaan ini akan diamati pengukuran efek inhibisi rebusan

daun paliasa 10% pada enzim glukoronidase dengan parameter

penghambatan metabolism asetosal dengan membandingkan jumlah

kadar asetosal dalam darah kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang diberikan

rebusan daun paliasa 10% selama 5 hari dengan kadar asetosal dalam

darah kelinci (Oryctolagus cuniculus) tanpa pemberian rebusan daun

paliasa 10% berdasarkan nilai Ke (laju eksresi), t1/2 (waktu paruh), dan

AUC (Area Under Curve).

Pada percobaan ini digunakan hewan coba kelinci (Oryctolagus

cuniculus). Hewan coba tersebut dibagi menjadi 2 kelompok, dimana

kelinci 1 diberikan rebusan daun paliasa 10% selama 5 hari sebelum

praktikum, dan pada hari ke 6(hari praktikum) diberikan larutan obat

asetosal. Sedangkan kelinci 2 tidak diberi rebusan paliasa tetapi hanya

diberikan larutan obat asetosal pada hari praktikum.

Jalur metabolisme asetosal sama dengan jalur metabolism kortisol

yakni jalur glukoronidase. Kortisol adalah hormone kortikosteroid dimana

metabolismeya melalui enzim glukoronidase yang sama dengan asetosal

sehingga perubahan farmakokinetik asetosal dapat menggambarkan efek

terhadap kotisol endogen.

Rebusan paliasa 10% mengakibatkan inhibisi metabolisme

asetosal. Efek inhibisi rebusan daun paliasa 10% terhadap metabolism

asetosal menggunakan perubahan parameter farmakokinetik asetosal,

dimana kerja enzim glukoronidase yang memetabolisme asetosal akan

Page 32: iNduksi & iNhibiSi_eR

dihambat oleh kerja rebusan daun paliasa. Jika terjadi penghambatan

kerja enzim glukoronidase, maka kadar asetosal dalam darah kelinci

jantan akan lebih banyak di dalam darah disbanding kelinci control (hanya

diberi asetosal).

Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan kelinci yang

sebelum diberi perlakuan terlebih dahulu dicukur bulu bagian telinganya

agar vena marginalisnya lebih tampak dan pada saat pengambilan darah

dapat cepat berlangsung tanpa dihambat oleh adanya bulu-bulu disekitar

pengambilan darah. Pengambilan darah bukan dari pembuluh darah besar

karena bisa mengakibatkan pendarahan bahkan kolaps yakni suatu

kelemahan tubuh disertai depresi dan gangguan peredaran darah. Selain

itu karena kelinci memiliki vena marginalis yang jelas pada telinganya

yang memudahkan untuk pengambilan sampel darah. Pengambilan darah

dimulai dari daerah telinga bagian keluar ke dalam dengan maksud agar

pada saat pengambilan darah, darah tidak langsung keluar semuanya

yang nantinya dapat mengakibatkan pendarahan serta mencegah agar

jangan sampai hanya satu kali pengambilan darah langsung terambil

semuanya.

Pengambilan darah pada kelinci (Oryctolagus cuniculus) melalui

vena marginalis pada telinga kelinci yang akan ditampung pada botol vial

yang telah berisi antikoagulan. Tujuan antikoagulan dimaksudkan agar

plasma darah tidak membeku atau menggumpal, sehingga plasma darah

tetap cair. Dimana antikoagulan juga berfungsi mencegah terbentuk dan

Page 33: iNduksi & iNhibiSi_eR

meluasnya thrombus dan emboli, maupun untuk mencegah terbentuk dan

meluasnya darah invitro pada pemeriksaan laboratorium atau transfusi.

Sampel darah yang baru saja diambil dari vena marginalis telinga

kelinci langsung diletakan pada vial yang berisi anti koagulan. Hal ini

dimaksudkan agar plasma darah yang diambil tidak langsung membeku

dan tetap cair untuk pengukuran selanjutnya. Mekanisme antikoagulan ini

sendiri yakni menghambat pembentukan fibrin dan digunakan secara

profilaktid untuk mengurangi insident tromboemboli terutama pada vena.

Antikoagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah

dengan jalan menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan darah.

Antikoagulan diperlukan untuk mencegah terbentuk dan meluasnya

thrombus dan emboli, maupun untuk mencegah terbentuk dan luasnya

darah invitro pada pemeriksaan laboratorium atau tranfusi. Antikoagulan

menghambat pembentukan fibrin dan digunakan secara profilaktid untuk

mengurangi incident tromboemboli terutama pada vena.

Untuk mengukur sample darah dengan spektofotometer

sebelumnya sampel darah tersebut disentrifus dengan penambahan

pengendap TCA yang dimaksudkan untuk mengendapkan protein-protein

darah dengan supernatannya, yang diambil sehingga tidak menggangu

pengukuran absorben sedangkan reagen pewarna dimaksudkan untuk

memberikan warna yang terang pada serum darah karena akan lebih

cepat menyerap cahaya pada spektrofotometer sehingga kadar obat

dalam plasma dapat diukur.

Page 34: iNduksi & iNhibiSi_eR

Sentrifuge dimaksudkan agar supernatan yang diperoleh adalah

supernatan yang jernih sehingga pengukuran absorben dapat maksimal

yang intinya memisahkan serum dan plasma, pada dasarnya serum dan

plasma dapat terpisah secara alami dengan cara didiamkan tetapi agar

lebih mudah dan cepat dengan menggunakan sentrifuge.

Mekanisme kerja sentrifuge yaitu terjadi momen gaya pada

sistemnya dari sampel yang ada dalam tabung terhadap pusat rotasi gaya

pada sistem tabung dan menyebabkan partikel-partikel zat terlarut dalam

pelarut menjadi pusat atau rotasi dengan kecepatan berbeda-beda,

bergantung pada besarnya partikel yang terlarut sehingga pada akhirya

partikel-partikel sukar larut sistem larutan berkumpul pada bagian terujung

dari sistem rotasi ini. Dengan metode ini maka zat tak larut ataupun

kelarutan yang rendah dapat diendapkan dengan menggunakan

sentrifuge.

Mekanisme kerja spektrofotometer yaitu sumber cahaya (lampu

tungsten/lampu deuterium) akan memancarkan cahaya polikromator atau

polikromatik yang akan mengenai sampel pada kuvet. Cahaya yang

mengenai sampel akan diserap sebagian sebagai absorban dan

sebagiannya akan ditransmisikan sebagai transmutasi. Monokromator

berfungsi (penguat) untuk mendapatkan radiasi monokromatis yang

memancarkan radiasi polikromatis dari suatu senyawa obat, detektor

berfungsi untuk mengubah sinyal radiasi yang diterima menjadi sinyal

Page 35: iNduksi & iNhibiSi_eR

elektronik. Kemudian analisis dengan spektrofotometri UV-VIS

meneruskan pembacaan absorban (A) dari transmitan.

Dari hasil praktikum dperoleh bahwa pada kelini yang diberi

perlakuan pemberia obat aspilet(asetosal) dengan pemberian paliasa 10%

selama 5 hari memliki nilai Ke adalah 0,0081 g/menit, t1/2 adalah 85,56

menit, dan AUC adalah 280 menit/ml. Sedangkan untuk kelinci yang diberi

aspilet (asetosal) tanpa pemberian aliasa 10% diperoleh bahwa nilai Ke

adalah 0,0096 g/menit, t1/2 adalah 72,18 menit, dan AUC adalah 0,57

menit/ml.

Page 36: iNduksi & iNhibiSi_eR

BAB VI

PENUTUP

VI.1 Kesimpulan

Dari hasil praktikum dperoleh bahwa pada kelini yang diberi

perlakuan pemberia obat aspilet(asetosal) dengan pemberian paliasa

10% selama 5 hari memliki nilai Ke adalah 0,0081 g/menit, t1/2

adalah 85,56 menit, dan AUC adalah 280 menit/ml. Sedangkan

untuk kelinci yang diberi aspilet (asetosal) tanpa pemberian aliasa

10% diperoleh bahwa nilai Ke adalah 0,0096 g/menit, t1/2 adalah

72,18 menit, dan AUC adalah 0,57 menit/ml.

VI.2 Saran

Jika boleh dilakukan percobaan menggunakan obat/bahan

lain masing-masing kelompok yang diketahui mempunyai daya ihibisi

selain paliasa 10%, agar kita dapat melihat bgaimana

perbandingannya hasil percbaan masing-masing kelompok.

Page 37: iNduksi & iNhibiSi_eR

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Penuntun Praktikum Biofarmasi. Universitas Muslim

Indonesia : Makassar.

Anief,Moh,. 2003. Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Gadjah

Mada University Press : Yogyakarta. Hal 3

Ditjen POM, 1979., “ Farmakope Indonesia”., Edisi III, DEPKES RI.,

Jakarta.

Ernst Mustcler., 1999., “ Dinamika Obat”., Edisi V., ITB Bandung.

Ganiswarna S., 1995., “ Farmakologi dan Terapi”., Edisi IV., Bagian

Farmakologi, FK-UI, Jakarta.

Jassin Moeskoeri., 1997., “ Sistematika Hewan”, Sinar Wijaya Press,

Jakarta.

Katzung Bertram., 2001.,” Farmakologi Dasar dan Klinik”., Salemba

Medika., Jakarta.

Malole., 1989.,” Penggunaan Hewan Percobaan Di Laboratorium”.,

Depdikbud, Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.,

Bogor.

Mycek., 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar, Widya medika : Jakarta.

Regers Howards dan Spector Rey,, 1990.,” Praktis Dalam

Faramakologi”,. Binarupa Aksara,. Jakarta.

Page 38: iNduksi & iNhibiSi_eR

Shargel Leon., 1988., “ Biofarmaseutika dan Farmakokinetika

Terapan”., Bagian Farmasi dan Farmakologi., fakultas farmasi

dan Ilmu Kesehatan , Boston.

Tan Hoan Tjay dan Rahardja Kirana., 1991., “Obat-Obat Penting”., Edisi

IV., Media Komputindo., Gramedia Jakarta.

Yandi syukri., 2002., “ Biofarmaseutika”., UI-Press. Jakarta.

G:\Biofar-Q\BIOTRANSFORMASI « Moko Apt.htm, 25 April, 2010.

G:\Biofar-Q\metabolisme-obat.html, 25 April, 2010

//http//metabolisme_obat.org//, 25 April, 2010

SKEMA KERJA

Disiapkan 2 ekor kelinci yang sehat

Kelinci I Kelinci II

Diberi rebusan daun paliasa 10% selama 5 hari

Diberi obar asetosal pada hari praktikum

Diberi obat asetosal pada hari ke 6/pada hari praktium

Ambil darah pada menit 15, 30,45, 0, 90, 120, dan 150.

Sentrifuge

Spektrofotometer

Page 39: iNduksi & iNhibiSi_eR

Pengolahan data tanpa daun paliasa 10 %

a. Kurva Baku Asetosal

Konsentrasi

(ppm)Absorban

2 0,118

4 0,201

6 0,295

8 0,380

10 0,450

a1 = 0,0522b1 = 0,0298r1 = 0,6802y1 = a1 + bx ……… (1) = 0,0522+ 0,0298 x

Regresi konsentrasi [ ] Vs AX(t) Absorban Cp Log Cp

15 0,0770 0,8322 0,079

30 0,1488 3,2416 0.511

45 0,3033 8,426 0,926

Pengolaan data

Tentukan nilai Ke, t1/2, dan AUC

Bandingkan kedua kelinci tersebut

Page 40: iNduksi & iNhibiSi_eR

60 0,3847 11,16 1,048

90 0,2611 7,0101 0,846

120 0,1528 3,376 0,528

150 0,0476 0,1544 0,811

Data plasma

A – aCp =

b 0,0770 – 0,0522

µ Cp (t = 15) = 0,0298

= 0,8322

0,1488– 0,0522µ Cp (t = 30) =

0,0298

= 3,2416

0,3033 – 0,0522µ Cp (t = 45) = 0,0298

= 8,426

0,3847 – 0,0522µ Cp (t = 60) = 0,0298

= 11,16

0,2611– 0,0522µ Cp (t = 90) =

0,0298

= 7,0101

Page 41: iNduksi & iNhibiSi_eR

0,1528 – 0,0522

µ Cp (t = 120) = 0,0298

= 3,376

0,0476 - 0,0522µ Cp (t = 150) =

0,0298

= 0,1544Regresi 3 data terakhir (fase ekskresi)

T Log Cp90 0.846

120 0,528150 0,811

a2 = 0,214

b2 = 0,0042

y2 = 0,214 + 0,0042x ……. (2)

Ke = -b2 x 2,303

= 0,0042 x 2,303

= 0,0096 g/menit

0,693t½ =

Ke

0,693=

0,0096

= 72.18 menit

Cp = anti log a2

= anti log 0.214

Page 42: iNduksi & iNhibiSi_eR

= 1,637

Regresi 3 data pertama (Fase absorbsi)T Log Cp15 0,07930 0,51145 0,926

a3 = 0,229

b3 = 0,0043

y3 = 0,229 + 0,0043x ……. (3)

Cdiff = a log Ce - a log Ca

t (menit) Log Ce Log Ca a Log Ce a log Ca15 0,277 0,294 1,982 1,96730 0.34 0,358 2,187 2,28045 0,403 0,423 2,529 2,648

a log Ce = anti log Ce

log Ce = y2 Subtitusi ke pers. (2)

y (15) = 0,214 + 0,0042(15)

= 0,277

y (30) = 0,214 + 0,0042 (30)

= 0,34

y (45) = 0,214 + 0,0042 (45)

= 0,403

a log Ca = anti log Ca

log Ca = y3 Subtitusi ke pers. (3)

y (15) = 0,229 + 0,0043 (15)

Page 43: iNduksi & iNhibiSi_eR

= 0,294

y (30) = 0,229 + 0,0043 (30)

= 0,358

y (45) = 0,229 + 0,0043 (45)

= 0,423

Cdiff (15) = 1,982 - 1,967 = 0,015

Cdiff (30) = 2,187 - 2,280 = 0,093

Cdiff (45) = 2,529 - 2,648 = 0,119

T C diff Log C diff15 0,015 1,82430 0,093 1,03145 0,119 0,924

Regresi t Vs log C diff

a4 = 0,347

b4 = 0,0039

y4 = 0,347 + 0,0039 x ………(4)

Ka = -b x 2,303

= 0,0039 x 2.303

= 0,0089 menit

ln (Ka / Ke)t maks =

Ka - Ke

ln (0,0089 / 0,0096) =

0,0089– 0,0096

= 108,285 menit

Page 44: iNduksi & iNhibiSi_eR

Db0 x F x Ka

Vd = Cp

0 (Ka – Ke)

2,1 x 0,8 x 0,0089 =

1,637(0,0089-0,0096)

= 130,48

F x Db0

AUC = Ke x Vd

0,8 x 2,1 =

0,0226 x130,48

= 0,57 menit/ml Pengolahan data dengan daun paliasa 10 %

a. Kurva Baku Asetosal

Konsentrasi

(ppm)Absorban

2 0,118

4 0,201

6 0,295

8 0,380

10 0,450

a1 = 0,0522b1 = 0,0298r1 = 0,6802y1 = a1 + bx ……… (1) = 0,0522+ 0,0298 x

Data plasma

Page 45: iNduksi & iNhibiSi_eR

Kadar asetosal dari Kelompok Perlakuan

X(t) Absorban Cp Log Cp

15 0,0855 1,117 0,048

30 0,1588 3,577 0,553

45 0,3166 8,872 0.948

60 0,3970 11,72 1,068

90 0,2760 7,51 0,875

120 0,1738 3,408 0,532

150 0,0550 0,093 1,031

A – aCp =

B 0,0855 – 0,0522

µ Cp (t = 15) = 0,0298

= 1,117

0,1588– 0,0522µ Cp (t = 30) =

0,0298

= 3,577

0,3166 – 0,0522µ Cp (t = 45) = 0,0298

= 8,872

0,3970 – 0,0522µ Cp (t = 60) = 0,0298

= 11,57

Page 46: iNduksi & iNhibiSi_eR

0,2760– 0,0522µ Cp (t = 90) =

0,0298

= 7,51

0,1738 – 0,0522µ Cp (t = 120) =

0,0298

= 3,408

0,0550 - 0,0522µ Cp (t = 150) =

0,0298

= 0,093

Regresi 3 data terakhir (fase ekskresi)

T Log Cp90 0,875

120 0,532150 1,031

a2 = 0,381

b2 = 0,0035

y2 = 0,381 + 0,0035x ……. (2)

Ke = -b2 x 2,303

= 0,0035 x 2,303

= 0,0081 g/menit

0,693t½ =

ke

0,693=

0,0081

Page 47: iNduksi & iNhibiSi_eR

= 85,56 menit

Cp = anti log a2

= anti log 0,381

= 2,41

Regresi 3 data pertama (Fase absorbsi)T Log Cp15 0,04830 0,55345 0,948

a3 = 0,377

b3 = 0,0037

y3 = 0,377+ 0,0037x ……. (3)

Cdiff = a log Ce - a log Ca

t (menit) Log Ce Log Ca a Log Ce a log Ca15 0,434 0,432 2,716 2,70330 0,486 0,488 3,062 3,07645 0,539 0,544 3,459 3,499

a log Ce = anti log Ce

log Ce = y2 Subtitusi ke pers. (2)

y (15) = 0,381 + 0,0035 (15)

= 0,4335

y (30) = 0,381 + 0,0035(30)

= 0,486

y (45) = 0,381 + 0,0035 (45)

= 0,539

a log Ca = anti log Ca

Page 48: iNduksi & iNhibiSi_eR

log Ca = y3 Subtitusi ke pers. (3)

y (15) = 0,377+ 0,0037(15)

= 0,432

y (30) = 0,377+ 0,0037(30)

= 0,488y (45) = 0,377+ 0,0037(45)

= 0,544

Cdiff (15) = 2,716 - 2,703 = 0,013

Cdiff (30) = 3,062 - 3,076 = 0,014

Cdiff (45) = 3,459 - 3,499 = 0,04

T C diff Log C diff15 0,013 1,8830 0,014 1,8545 0,04 1,39

Regresi t Vs log C diff

a4 = 7,95

b4 = - 0,056

y4 = 7,95+ - 0,056x ………(4)

Ka = -b x 2,303

= 0,056 x 2.303

= 0,129 menit

ln (Ka / Ke)t maks =

Ka - Ke

ln (0,129 /0,0081) =

0,129– 0,0081

= 22,88 menit

Page 49: iNduksi & iNhibiSi_eR

Db0 x F x Ka

Vd = Cp

0 (Ka – Ke)

2,8 x 0,8 x 0,129 = 2,41 (0,129 – 0,0081)

= 0,99

F x Db0

AUC = Ke x Vd

0,8 x 2,8 =

0,0081 x 0,99

= 280 mg menit/ml

Cp maks = Cp0 (e –Ke x t,maks) – (e-Ka x t maks)

= 3,49 (e-0,000166 x 81,66) – (e-0,0759 x 81,66)

= 1,919(0,986 - 0,00203)

= 1,88 mg/ml

Page 50: iNduksi & iNhibiSi_eR

Perhitungan Dosis & Bahan

1. Natrium sitrat (Antikoagulan) = 3 %

Artinya ditimbang 3 g dalam 100 ml aquadest

2. Aspilets®

Dosis = 30 mg

BE = 80 mg

Berat rata-rata = 222,8 mg

Untuk kelinci 1,5 kg = 500 x 0,07

= 35 mg

Untuk kelinci 2 kg = 2,0 x 35 1,5

= 46,667 mg

Untuk kelinci 2,5 kg = 2,5 x 35 1,5

= 58,33 mg

Larutan stok 50 ml

50 ml x 58,33 mg = 145,833 mg/50ml20 ml

Berat yang ditimbang = 145,833 mg x 222,8 mg 80 mg

Page 51: iNduksi & iNhibiSi_eR

= 406,14 mg

Vp kelinci untuk 1,5 kg = 1,5 x 20 = 12 ml2,5

Vp kelinci untuk 2 kg = 2,0 x 20 = 16 ml2,5