22
BLOK GASTROINTESTINAL PBL 14 BAB I PENDAHULUAN I. Latar belakang Seorang dokter harus bisa mengerti anatomi organ-organ dan juga penyakitnya. Pada blok gastrointestinal ini, dipelajari mengenai sistem pencernaan. Tentu hal ini merupakan pengetahuan penting yang harus dimiliki seorang dokter. Pada PBL ini dibahas mengenai penyakit akut abdomen. Akut abdomen merupakan sebuah keadaan darurat pada abdomen yang dapat berakhir dengan kematian bila tidak ditangani dengan segera dan baik. Keadaan darurat dalam abdomen dapat disebabkan karena perdarahan, peradangan, perforasi atau obstruksi pada sistem pencernaan. Pada akut abdomen, gejala utama yang menonjol adalah nyeri akut pada daerah abdomen. Penyebab dari akut abdomen ini bermacam-macam, dan penyebab utama sudah jelas seperti pada trauma abdomen namun kadang-kadang diagnosis akut abdomen baru dapat ditegakkan setelah pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Oleh karena itu dokter harus bisa memberikan pertolongan pertama untuk memastikan dengan segera

inflammatory bowel disease

Embed Size (px)

DESCRIPTION

laporan diskusi PBL

Citation preview

BLOK GASTROINTESTINALPBL 14BAB I

PENDAHULUANI. Latar belakang

Seorang dokter harus bisa mengerti anatomi organ-organ dan juga penyakitnya. Pada blok gastrointestinal ini, dipelajari mengenai sistem pencernaan. Tentu hal ini merupakan pengetahuan penting yang harus dimiliki seorang dokter.Pada PBL ini dibahas mengenai penyakit akut abdomen. Akut abdomen merupakan sebuah keadaan darurat pada abdomen yang dapat berakhir dengan kematian bila tidak ditangani dengan segera dan baik. Keadaan darurat dalam abdomen dapat disebabkan karena perdarahan, peradangan, perforasi atau obstruksi pada sistem pencernaan. Pada akut abdomen, gejala utama yang menonjol adalah nyeri akut pada daerah abdomen. Penyebab dari akut abdomen ini bermacam-macam, dan penyebab utama sudah jelas seperti pada trauma abdomen namun kadang-kadang diagnosis akut abdomen baru dapat ditegakkan setelah pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Oleh karena itu dokter harus bisa memberikan pertolongan pertama untuk memastikan dengan segera diagnosis kerja sementara, serta pemeriksaan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan tatalaksana yang tepat.Pada PBL kali ini, kami merasa perlu untuk mempelajari bagaimana cara menetapkan diagnosis kerja yang sesuai dari gejala nyeri abdomen dan menyingkirkan diagnosis banding dengan alur yang sistematis dimulai dari anamesis pasien, pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan penunjang apa yang perlu dilakukan tanpa merugikan pasien.II. Tujuan

Ada pun tujuan dari PBL kali ini adalah :

1. Mengetahui definisi dari Inflammatory Bowel Disease

2. Mengetahui etiologi dari Inflammatory Bowel Disease

3. Memahami patofisiologi dari Inflammatory Bowel Disease

4. Mengetahui manifestasi klinis dari Inflammatory Bowel Disease

5. Memahami cara untuk mendiagnosis Inflammatory Bowel Disease

6. Mengetahui terapi dari Inflammatory Bowel Disease

III. Skenario

A 23 year old women came to hospital with 9 months of low abdominal pain. She characterizes is as crampy and constant. The pain has intensified over the past few months greater on the right side. Pain is accompanied with intermittent diarrhea, without blood ar mucus. She also notes weight loss, malaise, fatigue, and intermittent fever.

Physical examination reveals normal vital signs, 172 cm tall and weight 52 kg. she is thin and appears ill. Abdomen examination reveals soft, nontender, slightly distended, no rebound, no guard, a slight right lower quadrant fullness, and positive bowel sounds. Her rectum has normal tone, Guaiac test (+)

Laboratory examination reveals WBC 15 x 10-3/L, Hb 11 g/dL, hematocrit 32 %, platelet 243 x 103/L, bilirubin total 0,2 mg/dL, bilirubin indirect 0.1 mg/dL, SGOT 12 U/L, alkali phosphatase 100 U/L, amylase 34 U/L, lipase 5 U/L, albumin 2,7 g/dL, ESR (erythrocyte sedimentation rate) 60 mm/hour.

Abdominal radiograph reveals dilated loops of small bowel with air-fluid levels and moderate air in the colon. Next, she undergoes a barium enema, which is significant for normal colon and stricture is noted in the distal ileum with proximal dilation.

Finally, emdoscopy is performed that is diagnostic. The findings include a granular mucosal surface with nodule and area of friability as well as erosions and aphthous ulcers. A serpiginous linear ulceration is observed with sharphly demarcated areas of normal mucosa. Mucosal biopsy of the effected areas reveals transmural involvement with non-caseating granulomas and significant inflammatory infiltrate.

BAB 2

PEMBAHASAN DAN ISI

1. Definisi inflammatory bowel disease, adalah:

Suatu kelompok penyakit dimana saluran pencernaan (terutama usus kecil dan usus besar) mengalami inflamasi (merah dan bengkak).

Sebagai akibat dari suatu reaksi imun dalam tubuh yang menyerang jaringan usus tersebut.

Suatu istilah yang menggambarkan kondisi respon imun yang kronik atau recurrent dan inflamasi saluran pencernaan.

Yang paling sering terjadi adalah colitis ulserativa dan Chrons disease. Menurut beberapa ahli, IBD dijelaskan sebagai inflamasi pada usus yang disebabkan beberapa hal seperti infeksi, toksin, autoimun, radiasi dan iskemia. Jika penyebab bukanlah salah satu dari atas maka disebut sebagai Chronic Inflammatory Bowel Disease yang mana terdiri dari Chrons Disease dan Ulcerative Colitis.2. Penyebab Inflammatory bowel disease antara lain:

Peristiwa yang memicu terjadinya aktivasi respon imun pada IBD belum berhasil diidentifikasi. Faktor-faktor yang mungkin berhubungan dengan peristiwa ini meliputi organisme patogenik (yang belum terindentifikasi), suatu respon mun terhadap antigen intraluminal (misalnya protein dalam susu sapi), atau suatu proses autoimun yaitu suatu respon imun yang tidak tepat terhadap antigen intraluminal dan respon yang tidak tepat terhadap antigen yang sama pada sel epitel pencernaan (dengan kata lain, gangguan pada fungsi barrier).

Belum ada mekanisme yang terlibat sebagai penyebab primer IBD, namun terdapat beberapa hipotesis yang kemungkinan besar menjadi penyebabnya. Pada pasien dengan IBD populasi limfositnya poliklonal, sehingga mempersulit suatu penelitian yang cepat terhadap penyebab yang pasti. Dalam beberapa kasus, aktivasi sistem imun mengarah kepada inflamasi saluran pencernaan baik akut (neutrophilic) maupun kronik (lymphocytic, histiocytic).

Genetik

Pasien dengan IBD memiliki predisposisi genetik (atau mungkin kerentanan) terhadap penyakit tersebut dan beberapa penelitian telah dilakukan untuk menemukan gen potensial yang berhubungan dengan IBD. Penemuan pertama yaitu kromosom 16 (gen IBD1), yang menuju pada identifikasi gen NOD2 (yang sekarang disebut CARD15) sebagai gen pertama yang memiliki hubungan jelas dengan IBD (sebagai suatu gen yang rentan terhadap Chrons disease). Beberapa penelitian lain juga telah membuktikan adanya pengaruh kuat gen yang rentan terhadap IBD pada kromosom 5 (5q31) dan 6 (6p21 dan 19p).

NOD2 / CARD15 adalah gen polimorfik yang terlibat dalam sistem imun innate. Gen tersebut memiliki lebih dari 60 variasi, yang 3 diantaranya berperan pada 27% pasien dengan Chrons disease, terutama pada pasien dengan penyakit ileum. Dengan semua gen-gen potensial tersebut, penting untuk dicatat bahwa semuanya menjadi faktor risiko terjadinya IBD namun bukan penyebab IBD satu-satunya.

First-degree relatives memiliki peningkatan risiko 5-20 (Kurang lebih 15%) kali lipat untuk berkembangnya IBD. Anak dari orang tua yang menderita IBD memiliki risiko 5% untuk berkembangnya IBD.Penelitian pada saudara kembar juga mendukung pernyataan bahwa faktor genetik turut berkontribusi dalam terjadinya IBD. Adanya defek genetik pada sel epitel intestinal dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas sel epitel lumen usus sehingga antigen luminal dapat menyebrangi sel epitel dan menyebabkan aktifnya sistem imun non-spesifik.Salah satu parameter yang digunakan untuk memperjelas keterlibatan faktor genetika pada patogenesis IBD adalah antineutropil cytoplasmic antibodies (ANCA). Terdapat 2 jenis ANCA, antara lain pANCA yang menunjukkan pola perinukelar dan cANCA yang menunjukkan pola sitoplasma yang difus. Penelitian yang mengungkapkan keterlibatan ANCA dan patogenesis IBD secara jelas memang belum ada, tetapi penelitian yang sudah dilakukan mendukung pernyataan bahwa ANCA merupakan marker untuk inflamasi kolon. Merokok

Risiko berkembangnya colitis ulserativa lebih tinggi pada nonsmokers dan former smokers daripada current smokers. Onset terjadinya colitis ulserativa kadang-kadang bertepatan dengan saat penghentian merokok. Hal ini tidak menyatakan bahwa merokok dapat memperbaiki gejala colitis ulserativa; namun yang menarik adalah beberapa kesuksesan dalam penggunaan potongan-potongan kecil nikotin telah dilaporkan. Selain itu, pasien dengan Chrons disease memiliki insidens tinggi pada perokok, dan pasien-pasien dengan Chrons disease yang tetap melanjutkan merokok tampaknya kurang menunjukkan respon terhadap terapi. Triger Antigenik Terdapat bukti yang jelas bagaimana proses terjadinya respon imun pada IBD. Lamina propria diinfiltasi oleh limfosit, makrofag dan sel lainnya pada sistem imun. Pada beberapa jenis respon imun, antigen yang spesifik merupakan triger tdalam terjadinya respon imun dan merupakan target dari respon imun tersebut. Terdapat 3 hipotesis yang menerangkan pemicu antigenik pada penyakit IBD.

1. Pemicu antigenik merupakan patogen mikrobial yang belum berhasil teridentifikasi. Imun respon yang terjadi pada IBD sebenarnya sesuai, tetapi tidak efektif pada patogen-patogen ini. Berbagai virus maupun bakteri telah dinyatakan sebagai faktor penyebab, tetapi hanya sedikit bukti yang ditemukan mendukung pernyataan tersebut.

2. Hipotesis kedua menyatakan bahwa pemicu antigenik pada IBD adalah antigen yang berasal dari makanan maupun respon imun pasien terhadap mikroba non-patogen. Pada pasien yang sehat, dapat terjadi inflamasi kronis low-grade pada lamina propria. Hal tersebut diakibatkan oleh paparan lamina propria dengan antigen luminal. Kegagalan dalam mensupresi respon inflamasi dapat menyebabkan aktivasi sistem imun berlebih seperti yang ditemukan pada IBD.

Penelitian membuktikan bahwa defek pada regulasi sistem imun dapat menyebabkan respon inflamasi pada mukosa terhadap flora normal usus. Hal ini memiliki keterkaitan yang erat dengan patogenesis IBD.

3. Hipotesis yang ketiga berkaitan dengan autoimun sebagai pemicu terjadinya IBD. Berdasarkan teori ini, pasien akan menghasilkan sistem imun yang sesuai dalam melawan antigen luminal, baik makanan maupun mikroba; tetapi akibat adanya kesamaan antara protein pada sel epitel dan antigen luminal, sistem imun pasien juga dapat menyerang sel epitel ususnya sendiri. Sel epitel dirusak oleh salah satu efektor sistem imun, yaitu antibody-dependent cellular cytotoxicity atau cell-mediated cytotoxicity.3. Patofisiologi UmumSecara umum mekanisme peradangan yang terjadi merupakan proses dari teraktivasinya sel-sel radang pada permukaan mukosa usus. Hingga saat ini faktor-faktor apa saja yang dapat mencetuskan aktivasi inflamasi masih belum dapat diuraikan secara jelas. Umumnya penyebab dari akitvasi reaksi peradangan dibagi menjadi 2, yakni infeksi dan non-infeksi. Secara garis besar reaksi perdangan terjadi akibat adanya benda asing yang difagosit oleh APC(Antigen Presenting Cell) seperti Makrofag. Makrofag kemudian akan mengirimkan interleukin sebagai sinyal untuk mengaktivasi sel-sel radang yang lainnya, yakni sel T dan sel B untuk menghasilkan respon imun selular maupun humoral . Respon-respon ini akan mencetuskan berbagai sel dan mediator peradangan seperti eosinophil, sel PMN, NK cell, makrofag, sel T sitotoksik dan interferon. Sel dan mediator ini yang akan membunuh / merusak benda asing/sel abnormal/bakteri, virus, parasite sekaligus merusak dan menginfiltrasi jaringan normal disekitarnya. Reaksi inilah yang menyebabkan terjadinya erosi/ulserasi pada mukosa usus, yang juga seringkali disertai dengan kerusakan pada villi serta infiltrasi sel dan mediator peradangan pada lapisan-lapisan saluran usus. Berat ringannya reaksi peradangan yang ditimbulkan berbeda tiap orang, tergantung dari predisposisi gennya dan faktor lingkungan.

Penyakit Crohn DiseaseStadium dini Crohns disease ditandai dengan limfedema obstruktif dan pembesaran folikel-folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan submukosa. Ulserasi mukosa yang menutupi folikel-folikel limfoid yang hiperplastik menimbulkan pembentukkan ulkus aptosa. Pada pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat sebagai ulkus-ulkus kecil yang berbatas tegas dan tersebar, dengan diameter sekitar 3 mm dan dikelilingi oleh daerah eritema. Sebagai tambahan, lapisan mukosa menebal sebagai akibat dari inflamasi dan edema, dan proses inflamasi tersebut meluas hingga melibatkan seluruh lapisan usus

Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih dalam dan sering menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin buruknya penyakit, dinding usus menjadi semakin menebal dengan adanya edema dan fibrosis, dan cenderung menimbulkan pembentukkan striktura. Karena lapisan serosa dan mesenterium juga mengalami inflamasi, maka lengkungan-lengkungan usus menjadi saling menempel. Akibatnya, ulkus-ulkus yang telah meluas hingga keseluruhan dinding usus akan membentuk fistula antar lengkungan usus yang saling menempel. Tetapi lebih sering terjadi saluran sinus yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas abses di dalam ruang peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum

Yang khas pada Crohns Disease adalah penebalan dinding yang bersifat transmural, titik kecil dengan skip areas, serta adanya gambaran cobblestone.

Patofisiologi dari gejala intestinal yang terjadi memang belum dapat dibuktikan dengan jelas. Inflamasi aktif baik pada usus besar maupun kecil mengakibatkan perubahan fisiologis seperti diare, perdarahan saluran cerna, dan nyeri perut. Jika meluas hingga ke jejunum maupun ileum akan menyebabkan malabsorbsi. Steatorrhea juga bisa terjadi karena fungsi abnormal ileum terminalis menyebabkan hilangnya asam empedu dan penuruan konsentrasi asam empedu pada lumen usus. Terakhir motilitas yang abnormal bisa menyebabkan keram perut. Penyakit Kolitis UlseraivaTerdapatnya inflamasi aktif pada fase awal menyebabkan kerusakan yang umumnya terdapat pada mukosa rektum dan kolon. Terlihat adanya peningkatan aliran darah permukaan yang memberikan gambaran eritem yang difus. Dengan meningkatnya proses inflamasi, arsitektur vaskular rusak, menyebabkan edem yang dikenal sebagai granularity. Karena adanya peningkatan inflamasi dan perluasan abses kripta, batas mukosa menjadi tidak jelas, sehingga menyebabkan pengelupasan daerah superfisial menjadi ulserasi dan menyebabkan perdarahan spontan.

Penyakit Infeksi Virus/bakteri/parasite akan menghasilkan Antigen (dari protein hasil metabolism, toksin, ataupun dari proten-protein pembentuk oraginsme itu sendiri) yang kemudian akan merangsang kerja Makrofag. Makorfag memproses Ag sehingga dapat berinteraksi dengan sel-sel imun spesifik yaoitu sel sel limfosit. Pada respon imun humoral, subpopulaso limfosit T helper mengenali Ag tersebut melalui MHC untuk membantu limfosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi Ab spesifik. Ab ini akan berikatan dengan Ag pada makrofag dan merangsang reaksi peradangan, terutama jika dalam kerjanya dibantu dengan sel NK atau makrofag yang mempunyai reseptor FC antibody. Serta dapat merangsang sel-sel komplemen untuk membantu menghancurkan organisme asing ini.

Pada restpon imun seluler, sel Th memalalui MHC kelas II akan menginduksi limfosti memproduksi limfokin/interferon yang dapat membantu makrofag menghancurkan organisme tersebut. Sel Th juga membantu subpopulasi sel Tc melalui MHC kelas I serta mediator-mediator peradangan sehingga dapat membunuh mikroorganisme tersebut.

Respon-rerspon imun diatas tersebut selain dapat membunuh organisme asing juga merusak sel-sel sekitar dan meimbulkan reaksi peradangan. Toksin yang dihasilkan organisme juga dapat merusak sel tubuh dimana kerusakan ini sendiri juga merangsang timbulnya reaksi peradangan

4. Manifestasi KlinikSecara umum manifestasi klinis dari penyakit IBD adalah nyeri pada perut bagian bawah secara konstan dan dalam seringkali terjadi dalam waktu yang cukup lama, diare, penurunan BB, mailse, fatige, demam.Berikut adalah tabel perbandingan mainfestasi klinis pada beberapa jenis dari IBD:

Crohn DiseaseUlcerative colitisGraft versus Host disease(transplantasi)

Massa pada abdomen

Bising usus hiperaktif

Demam

Nausea

Perubahan berat badan

Anorexia

Diare berdarah

Eritema Nodosum

Sakroiliitis

Poliarthritis

Bising usus hipoaktif

Diare berdarah disertai mukus

Demam intermitten

Muntah

Nausea

Perubahan berat badan

Watery diarrhea

Microscopic Colitis( collagenous & lymphositic)Radiation Colitis

Chronic watery diarrhea

No bloody diarrhea

Berat badan turun

Nafsu makan berkurang

Nocturnal stoolsDiare

Tenesmus

Nyeri pada rektum

Rectum bleeding

5. Diagnosis dari Inflammatory Bowel Disease: AnamnesisPada Inflammatory Bowel Disease (IBD), gejala yang paling menonjol adalah diarrhea. Pada skenario, pasien telah mengalami diarrhea kronis yaitu diarrhea yang telah berlangsung lebih dari 3 bulan. Untuk diarrhea kronis ditanyakan pada anamnesis mengenai onset, frekuensi, dan durasi diarrhea. Jika diarrhea dialami sejak remaja dan terjadi secara intermittent, pasien mungkin mengalami IBD. Pada anamnesis juga ditanyakan apakah pasien mengalami tenesmus selama diarrhea dan apakah diarrhea bertambah parah setelah makan. Pada umumnya, makanan merupakan salah satu faktor yang memperburuk diarrhea pada IBD. Jika diarrhea juga diperburuk pada kondisi stress dan kecemasan, pikirkan bahwa kemungkinan terjadi ulcerative colitis. Selain itu, ditanyakan apakah ada gejala penyerta seperti sakit perut dan lokasinya serta apakah terdapat penurunan berat badan, demam, dan kelelahan. Jika gejala demam dan kelelahan lebih menonjol daripada gejala diarrhea, kemungkinan terjadi ulcerative colitis.

Pemeriksaan FisikInspeksi untuk melihat keadaan umum pasien. Apakah tampak pucat, kurus, atau lemas. Selain itu juga dilakukan ispeksi yang teliti terutama pada daerah perirektal dan perineum. Adanya stomatitis, clubbing, arthritis, eritema nodusum, atau pioderma gangrenosa mengarah pada IBD.

Pemeriksaan abdomen secara berhati-hati dengan memperhatikan kekenyalan, kepadatan atau massa. Pasien seringkali merasa nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen yang dapat disertai rasa penuh. Dilakukan pemeriksaan yang lembut untuk mendapatkan tanda-tanda iritasi peritoneal. Juga dilakukan auskultasi untuk mendengarkan bising usus.

Tinggi dan berat badan saat pemeriksaan harus dicatat dan dibandingkan dengan tinggi dan berat badan sebelumnya untuk melihat perubahannya.

Pemeriksaan Penunjangi. Pemeriksaan laboratorium

1. Pemeriksaan hematology dan biokimia untuk keperluan skrining sebelum dilanjutkan dengan pemeriksaan invasive. Kelainan yang sering ditemukan pada pasien Inflamatory Bowel Disease adalah anemia, peningkatan laju sedimentasi eritrosit, hipoalbuminemia, dan Guaiac positif test. Anemia terjadi sekunder karena defisiensi besi yang disebabkan oleh kehilangan darah dan kadar Fe serum dan feritin serum yang rendah. Selain itu pasien juga mengalami hipoalbuminemia.

2. Breath hydrogen test

Digunakan untuk memeriksa malabsorpsi laktosa dapat membantu dalam pengelolaan makanan

3. Pemeriksaan tinja

Biasanya terdapat leukosit dan darah pada tinja. Dengan tujuan mencari adanya telur, parasit, bakteri pathogen, dan toksin clostridium difficile.

4. Tes urin

Dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding piuria atau infeksi yang berhubungan dengan fistula enterovesikal

ii. Pemeriksaan radiologi

1. Pemeriksaan gastrointestinal radiology dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis, mengetahui penyebaran penyakit, dan membantu membedakan inflammatory bowel disease.

2. double contrass enema lebih baik dibandingkan dengan single contrass dalam melihat detail mukosa usus

3. fluoroskopi yang teliti dilakukan untuk mengidentifikasi adanya irregularitas, nodularitas, penebalan lengkung usu seperti area stenosis, ulkus yang dalam dan fistula

4. pemeriksaan CT-scan untuk mengetahui seberapa besar peradangan yang terjadi pada abdomen hingga pelvis

5. USG memperlihatkan penebalan dinding usus

iii. Pemeriksaan endoskopi dan histology

1. Pemeriksaan endoskopi berguna untuk membedakan crohn disease dan colitis ulserativa. Ditemukannya rectum dan kolon sigmoid yang norma pada sigmoidoskopi dan biopsy pada pasien dengan diare berdarah persiten dapat menyingkirkan diagnosis colitis ulserativa

2. Pemeriksaan histology biasanya dengan melakukan kultur kuman pathogen yang negative menguatkan dugaan adanya inflammatory bowel disease non infeksi. Juga tampak adanya fisura, sinus, granuloma, dan ulserasi.

6. Tata LaksanaPengobatan ditujukan untuk mengendalikan peradangan, mengurangi gejala dan mengganti cairan dan zat gizi yang hilang. Penderita sebaiknya menghindari buah dan sayuran mentah untuk mengurangi cedera fisik pada lapisan usus besar yang meradang. Diet bebas susu bisa mengurangi gejala. Penambahan zat besi bisa menyembuhkan anemia yang disebabkan oleh hilangnya darah dalam tinja.

Obat-obatan antikolinergik atau dosis kecil loperamide atau difenoksilat, diberikan pada diare yang relatif ringan. Untuk diare yang lebih berat, mungkin dibutuhkan dosis yang lebih besar dari difenoksilat atau opium yang dilarutkan dalam alkohol, loperamide atau codein. Pada kasus-kasus yang berat, pemberian obat-obat anti-diare ini harus diawasi secara ketat, untuk menghindari terjadinya megakolon toksik.

Pengobatan dengan antibiotik juga diperlukan untuk menangani abses intraabdominal yang di sebabkan bakteri. Antibiotik metronidazol (Flagyl) adalah antibiotik yang paling umum digunakan, metronidazol kadang-kadang dapat menyebabkan efek samping yang serius, termasuk mati rasa dan kesemutan di tangan dan kaki, dan kadang-kadang, nyeri otot atau kelemahan. Jika efek ini terjadi, hentikan pengobatan dan hubungi dokter. Hindari alkohol saat mengambil obat ini. Ciprofloxacin (Cipro) lebih disukai daripada metronidazol, namun dapat meningkatkan gejala. Efek sampingnya dapat menyebabkan mual, muntah, sakit kepala dan, masalah tendon

Sulfasalazine, olsalazine atau mesalamine sering digunakan untuk mengurangi peradangan pada kolitis ulserativa dan untuk mencegah timbulnya gejala. Obat-obatan ini biasanya diminum namun bisa juga diberikan sebagai enema (cairan yang disuntikkan ke dalam usus) atau supositoria (obat yang dimasukkan melalui dubur).

Penderita yang tidak menjalani perawatan rumah sakit, biasanya mendapatkan kortikosteroid per-oral (melalui mulut), seperti prednisone. Prednisone dosis tinggi sering memicu proses penyembuhan. Setelah prednisone mengendalikan peradangannya, sering diberikan sulfasalazine, olsalazine atau mesalamine. Secara bertahap dosis prednisone diturunkan dan akhirnya dihentikan. Pemberian kortikosteroid jangka panjang menimbulkan efek samping, meskipun kebanyakan akan menghilang jika pengobatan dihentikan. Bila pada kasus yang ringan atau sedang terbatas pada sisi kiri usus besar (kolon desendens) dan di rektum, bisa diberikan enema dengan kortikosteroid atau mesalamine. Bila penyakitnya menjadi berat, penderita harus dirawat di rumah sakit dan diberikan kortikosteroid intravena (melalui pembuluh darah).

Penderita dengan perdarahan rektum yang berat mungkin memerlukan transfusi darah dan cairan intravena. Untuk mempertahankan fase penyembuhan, diberikan azathioprine dan merkaptopurin. Siklosporin diberikan kepada penderita yang mendapat serangan berat dan tidak memberikan respon terhadap kortikosteroid. Tetapi sekitar 50% dari penderita ini, akhirnya memerlukan terapi pembedahan.

Segera setelah terditeksi atau bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat anti-diare dihentikan, penderita dipuasakan, selang dimasukan ke dalam lambung atau usus kecil dan semua cairan, makanan dan obat-obatan diberikan melalui pembuluh darah. Pasien diawasi dengan ketat untuk menghindari adanya peritonitis atau perforasi. Bila tindakan ini tidak berhasil memperbaiki kondisi pasien dalam 24-48 jam, segera dilakukan pembedahan, dimana semua atau hampir sebagian besar usus besar diangkat. Jika didiagnosis kanker atau adanya perubahan pre-kanker pada usus besar, maka pembedahan dilakukan bukan berdasarkan kedaruratan.

Pembedahan non-darurat juga dilakukan karena adanya penyempitan dari usus besar atau adanya gangguan pertumbuhan pada anak-anak. Alasan paling umum dari pembedahan adalah penyakit menahun yang tidak sembuh-sembuh, sehingga membuat penderita tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi. Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum, secara permanen akan menyembuhkan penyakit ini.BAB III

KESIMPULAN

Inflammatory Bowel Disease merupakan suatu istilah yang menggambarkan kondisi respon imun yang kronik atau recurrent dan inflamasi saluran pencernaan. Hingga saat ini etiologi pasti dari IBD masih belum dapat dipastikan secara jelas, namun secara umum, penyebab dari penyakit ini dibagi menjadi dua yakni infeksi dan non-infeksi. Contoh dari penyakit ini antara lain Crohn Disease dan Kolitis Ulserativa.Patofisiologi dari penyakit ini adalah timbulnya berbagai reaksi peradangan pada mukosa saluran usus yang dapat menibulkan erosi/ulserari yang secara garis besar dicetuskan oleh adanya antigen asing (baik dari infeksi, reaksi automin,zat-zat asing). Pada Crohn disease, reaksi ini dapat menimbulkan berbagai gejala klinis disertai perubahan mukosa usus yang khas seperti cobble stone. Pada colitis ulseraitva reaksi peradangan akan menimbulkan kerusakan mukosa kolon dan rectum yang disertai dengan proses ulserasi dan perdarahan. Pada penyakit infeksi reaksi peradangan ini selain dapat membunuh kuman juga menimbulkan kerusakan pada mukosa saluran usus dimana infeksi tersebut berada. Toksin maupun protein-protein yang dihasilkan oleh organime asing ini juga turut meningkatkan reaksi peradangan serta kerusakan pada mukosa otot.Manifestasi dari IBD secara umum adalah nyeri pada perut bagian bawah secara konstan dan dalam seringkali terjadi dalam waktu yang cukup lama, diare, penurunan BB, mailse, fatigue, demam. Diagnosis dari IBD meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang yang semuanya bertujuan untuk menegakan kepastian dari penyakit ini , memisahkannya dari kemungkinan penyakit lain, serta mencari pencetus dari reaksi peradangan ini. Tata laksana yang ada ditujukan untuk mengendalikan peradangan, mengurangi gejala dan mengganti cairan dan zat gizi yang hilang. Penderita sebaiknya menghindari buah dan sayuran mentah untuk mengurangi cedera fisik pada lapisan usus besar yang meradang. Diet bebas susu bisa mengurangi gejala. Penambahan zat besi bisa menyembuhkan anemia yang disebabkan oleh hilangnya darah dalam tinja.

BAB IVKEPUSTAKAANAnonim. Inflammatory Bowel Disease: Overview. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/179037-overview

Anonim. Inflammatory Bowel Disease. Available at: http://www.emedicinehealth.com/inflammatory_bowel_disease/article_em.htmYamada T. 2008. Principles of Clinical Gastroenterology: Inflamattory Bowel Disease. Wiley, John & Sons, Incorporated.Xia B, Crusius JBA, Meuwissen SGM, Pena AS.Inflammatory bowel disease: definition, epidemiology, etiologic aspects, and immunogenetic studies.World J Gastroentero, 1998;4(5):446-458.

Kodner IJ, Fry RD, Fleshman JW, Birnbaum EH, Read TE. Schwartz Principles of Surgery: Colon, Rectum, and Anus. 7th Ed. Vol. 2. Ch. 26. McGraw-Hill. Singapore. pp 1318 28.

Taveras JM, Kelvin FM. Crohns Disease. Radiology on CD-ROM. Lippincott-Raven. Philadelphia-Pennsylvania. 1994. [ONLINE]