33
Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum Membran sel darah merah atau eritrosit mengandung berbagai jenis protein dan karbohidrat yang mampu merangsang pembentukan antibodi serta bereaksi dengan antibodi tersebut. Lebih dari 300 bentuk dan jenis antigen telah diketahui dan ditentukan klasifikasinya. Beberapa jenis telah diketahui peran biologisnya, namun struktur, fungsi dan dasar imunogenitas sebagian besar antigen belum jelas diketahui. Selama ini diketahui bahwa gen yang menentukan antigen eritrosit diturunkan melalui hukum Mendel. Sebagian besar antigen itu menyatakan dirinya tanpa menghiraukan adanya alel lain, sehingga sifatnya itu disebut kodominan. 1,2,3 Sistem yang sering digunakan dalam imunohematologi adalah sistem ABO dan Rhesus. Antigen utama pada sistem ABO disebut antigen A dan B, antibodi utamanya adalah anti-A dan anti-B. Ada tidaknya antibodi dan spesifitas antibodi tidak ditentukan secara genetik, tetapi antibodi dibentuk setelah pemaparan terhadap antigen yang ada di lingkungan dan memiliki struktur serta spesifitas yang sama dengan antigen eritrosit. Sedangkan pada sistem Rhesus, terdiri Produced by MG ™ 2010 1

Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

Membran sel darah merah atau eritrosit mengandung berbagai jenis protein dan

karbohidrat yang mampu merangsang pembentukan antibodi serta bereaksi dengan

antibodi tersebut. Lebih dari 300 bentuk dan jenis antigen telah diketahui dan

ditentukan klasifikasinya. Beberapa jenis telah diketahui peran biologisnya, namun

struktur, fungsi dan dasar imunogenitas sebagian besar antigen belum jelas diketahui.

Selama ini diketahui bahwa gen yang menentukan antigen eritrosit diturunkan

melalui hukum Mendel. Sebagian besar antigen itu menyatakan dirinya tanpa

menghiraukan adanya alel lain, sehingga sifatnya itu disebut kodominan.1,2,3

Sistem yang sering digunakan dalam imunohematologi adalah sistem ABO dan

Rhesus. Antigen utama pada sistem ABO disebut antigen A dan B, antibodi utamanya

adalah anti-A dan anti-B. Ada tidaknya antibodi dan spesifitas antibodi tidak

ditentukan secara genetik, tetapi antibodi dibentuk setelah pemaparan terhadap

antigen yang ada di lingkungan dan memiliki struktur serta spesifitas yang sama

dengan antigen eritrosit. Sedangkan pada sistem Rhesus, terdiri atas bermacam-

macam antigen, antara lain antigen D, C, E, c dan e. Antigen utama dalan sistem

Rhesus adalah antigen D yang paling mudah merangsang pembentukan antibodi.

Rhesus positif [Rh +] adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya

sedang Rhesus negatif [rh -] adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-antigen pada

eritrositnya. 1,2,3

Mekanisme inkompatibilitas eritrosit golongan ABO maupun Rhesus dalam sirkulasi

darah dapat terjadi melalui transfusi darah ataupun kehamilan. Sekitar 20% ibu

dengan [rh -] membentuk anti-D setelah mengandung janin [Rh +]. Antibodi

maternal isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin, dan timbul sebagai reaksi

terhadap antigen eritrosit janin yang dapat melewati plasenta serta merusak eritrosit

Produced by MG ™ 2010 1

Page 2: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

janin. Hal inilah yang dapat menyebabkan penyakit hemolisis pada janin dan bayi

baru lahir.2

Penyakit hemolisis pada bayi sering ditandai dengan gejala kuning (ikterus) sejak

lahir yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin indirek sebagai hasil dari

pemecahan eritrosit, dimana eritrosit janin dan bayi memiliki jenis Hb dan sifat

membran yang berbeda serta umur yang lebih singkat. Namun demikian gejala

ikterus pada bayi baru lahir dapat pula disebabkan berbagai hal lain, seperti ikterus

fisiologis, breastmilk jaundice, disfungsi plasenta, kelainan pembekuan darah, dan

sepsis.4,5

Sepsis pada bayi baru lahir merupakan sindrom respon inflamasi sistemik (Systemic

Inflammatory Respons Syndrome – SIRS) yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri,

virus, jamur ataupun parasit sesuai dengan konsensus dari American College of Chest

Physicians/Society of Critical Care Medicine (AC/CPSCCM). Sepsis neonatal dibagi

dalam dua kelompok yaitu sepsis awitan dini dan awitan lambat. Angka insiden di

negara yang sedang berkembang dibanding di negara maju masih cukup tinggi (1,8-

18:1,5/1000 kelahiran). Manifestasi klinis yang bervariasi menyebabkan kesulitan

dalam menentukan diagnosis pasti, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang

untuk membantu konfirmasi diagnosis.6

Tujuan sajian kasus ini adalah untuk menampilkan sebuah kasus yang jarang

dijumpai serta untuk mendiskusikan diagnosis, tatalaksana dan prognosis

inkompatibilitas rhesus dengan sepsis neonatorum.

Produced by MG ™ 2010 2

Page 3: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

KASUS

Seorang bayi laki-laki, F, berusia 0 hari, dengan nomor rekam medik 980633 lahir di

OK IGD Rumah Sakit Dr. Moewardi (RSDM) pada tanggal 8 November 2009, pk.

22.35 WIB secara sectio cesaria. Saat lahir menangis kuat, gerak aktif dan tidak

sianosis. Umur kehamilan 41 minggu, berat badan lahir 2950 gram, panjang badan

lahir 47 cm sedangkan lingkar kepala 31 cm, lingkar dada 32 cm. Dari anamnesis

sebelum persalinan didapatkan ketuban pecah 39 jam sebelumnya, keruh dan berbau

serta tidak didapatkan demam > 38°C. Pada pemeriksaan golongan darah ibu

didapatkan hasil golongan darah [O,rh -] dan golongan darah ayah [A,Rh+].

Pasien mulai tampak kuning pada umur 1 hari setelah lahir, gejala kuning dimulai

dahi, kepala, leher berlanjut kulit dada perut, semakin bertambah pada lengan,

tungkai, telapak tangan dan kaki. Pasien menangis kuat, gerak aktif, dapat minum

kuat (ASB oleh karena ASI ibu belum keluar), toleransi minum baik, tidak demam,

BAK sudah keluar warna kuning jernih, mekonium keluar 2 jam setelah lahir.

Riwayat kehamilan merupakan kehamilan yang pertama. Ibu kontrol teratur ke bidan

selama hamil, mendapat vitamin tambah darah, tidak pernah sakit selama hamil,

seperti demam, sering batuk pilek, sakit gigi ataupun gigi berlubang, tidak minum

obat-obatan, tidak minum minuman alkohol dan tidak mengalami keluhan selama

masa kehamilan.

Ayah pasien berusia 24 tahun, agama Islam, suku jawa, berpendidikan SMP, bekerja

sebagai wiraswasta (membuka warung) dengan penghasilan rata-rata Rp 1.000.000

perbulan.

Ibu pasien berusia 25 tahun, agama Islam, suku jawa, berpendidikan SMP sebagai ibu

rumah tangga. Ayah dan Ibu tidak ada hubungan keluarga. Dari pohon keluarga baik

dari keluarga ayah maupun dari keluarga ibu tidak didapatkan adanya penyakit atau

riwayat keluarga yang berhubungan dengan penyakitnya sekarang.

Produced by MG ™ 2010 3

Page 4: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

Pemeriksaan fisik 2 jam setelah kelahiran bayi tidak tampak sianosis, menangis kuat,

gerak aktif, tonus otot baik, tidak tampak ikterik. Laju nadi sama dengan laju jantung

140 kali permenit (isi dan tegangan cukup, teratur), laju napas 44 kali permenit

(teratur, kedalaman cukup), suhu 35,7°C (peraksilla). Berat badan lahir 2950 gram

berdasar kurva Lubchenco sesuai masa kehamilan. Lingkar kepala 33 cm (> +2 SD

Nellhaus). Ubun-ubun besar datar. Pada pemeriksaan kulit dahi tidak tampak ikterik.

Pemeriksaan pada kedua mata didapatkan pupil isokor dengan diameter 2 mm, refleks

cahaya positif, konjungtiva palpebra tidak pucat dan tidak sianosis, konjungtiva bulbi

tidak hiperemis, sklera tidak ikterik, tidak ditemukan napas cuping hidung. Mukosa

mulut dan daerah sekitar mulut tidak biru.

Pada pemeriksaan dinding dada tidak ditemukan adanya retraksi dinding dada. Iktus

cordis tidak tampak, tidak kuat angkat. Hasil pemeriksaan auskultasi jantung tidak

didapatkan bising, thrill(-), sedangkan pada pemeriksaan fisik paru dalam batas

normal, tidak ditemukan suara nafas tambahan. Pemeriksaan pada abdomen

didapatkan dinding perut sejajar dinding dada, tali pusat tidak layu, darm contour (-).

Pada auskultasi abdomen didapatkan bising usus normal, palpasi abdomen masih

Produced by MG ™ 2010 4

By F, 0 hari

25 th hari

24 th

I

III

II

Page 5: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

supel, hepar teraba 2 cm BACD dan lien tidak teraba. Pada perkusi didapatkan

timpani dan tidak didapatkan asites. Pada pemeriksaan genitalia didapatkan penis,

skrotum (+/+) serta testis (+/+). Pemeriksaan pada keempat ekstremitas tidak

didapatkan akral dingin, tidak ada sianosis pada kuku, serta tidak didapatkan ikterik

ataupun pucat pada telapak tangan maupun kaki. Pada pemeriksaan skor Ballard

diperoleh skor 40 yang setara dengan umur kehamilan 40 minggu.

Diagnosis kerja saat itu adalah neonatus, laki-laki, cukup bulan, sesuai masa

kehamilan, lahir secara sectio cesaria dari ibu golongan darah [O, Rh negatif],

tersangka sepsis awitan dini unproven, hipotermi. Penderita dirawat di ruang bayi

risiko tinggi dan direncanakan pemeriksaan laboratorium darah, meliputi kadar

hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, jumlah lekosit, hitung jenis leukosit, jumlah

trombosit, kadar gula darah sewaktu, albumin, kultur darah, gambaran darah tepi

serta CRP. Direncanakan pula pemeriksaan urin dan feses. Penatalaksanaan penderita

saat itu adalah diberikan perawatan inkubator dengan suhu 32 – 34°C untuk

mengatasi hipotermi, diet ASI/ASB on demand, injeksi Ampisilin 150 mg/12 jam

intravena, injeksi Gentamisin 15 mg/24 jam intravena serta ekstra injeksi vitamin K 1

mg intramuskuler.

Pada pemantauan hari kedua perawatan (9 November 2009), umur 1 hari, pasien

mulai tampak kuning pada dahi, lehe sampai dada, pasien tidak demam, toleransi

minum baik (ASB), tidak ada residu lambung, tidak ada perdarahan spontan, gerak

aktif dan menangis kuat, tanda vital : laju nadi sama dengan laju jantung 150 kali

permenit (isi dan tegangan cukup, teratur), laju napas 48 kali permenit (teratur,

kedalaman cukup), suhu 37,1°C (peraksilla). BB pasien 2950 gram. Pemeriksaan fisik

didapatkan ikterik pada kulit dahi dan dada, pemeriksaan fisik lain masih relatif sama

dengan sebelumnya. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 9 November 2010 di

RSDM Dr. Moewardi didapatkan kadar hemoglobin 10,6 g/dl, hematokrit 35 %,

jumlah eritrosit 3,11.106 / µl, jumlah lekosit 9500/µl, hasil hitung jenis leukosit

Produced by MG ™ 2010 5

Page 6: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

E1.8/B0.4/N75.9/L17.6/M4.4 jumlah trombosit 224.000/ µl, MCV 113,1 /um, MCH 34,0 pg,

MCHC 30,1 g/dl, kadar gula darah sewaktu (GDS) 105 mg/dl, golongan darah [A, Rh

positif], kadar albumin serum 4,0 g/dl, CRP 2,36 mg/l dan albumin 4,2 g/dl.

Diagnosis saat itu ditambah Ikterus neonatorum Kramer II, Anemia mikrositik

hipokromik e/c tersangka anemia hemolitik e/c Inkompatibilitas Rhesus DD ABO

serta riwayat hipotermi. Direncanakan untuk pemeriksaan kadar hemoglobin,

retikulosit, bilirubin total, direk, indirek serta tes Coombs (direct Coombs test/ DAT).

Dilakukan pemantauan secara klinis gejala kuning pada pasien.

Pemantauan pada hari ketiga perawatan (10 November 2009), pasien berumur 2 hari,

BB 2950 gram, gejala kuning bertambah sampai pada dada, perut sampai melebihi

pusat, paha, lutut, tungkai atas, bawah, serta telapak tangan dan kaki. Pasien tampak

aktif, menangis kuat, minum kuat, toleransi minum baik dan tidak demam. Tanda

vital : laju nadi sama dengan laju jantung 158 kali permenit (isi dan tegangan cukup,

teratur), laju napas 50 kali permenit (teratur, kedalaman cukup), suhu 37,0°C

(peraksilla). BB pasien 2950 gram. Pada pemeriksaan mata didapatkan kedua sklera

tampak ikterik, konjungtiva palpebra tidak pucat, ekstremitas ikterik, telapak tangan

dan kaki tidak pucat, pemeriksaan fisik lain sama dengan sebelumnya. Hasil

pemeriksaan adalah kadar hemoglobin 9,6 g/dl, retikulosit 6%, bilirubin total 25,43

mg/dl, bilirubin direk 0,22 mg/dl, bilirubin indirek 25,21 mg/dl. Hasil gambaran

darah tepi yaitu eritrosit hipokromik, poikilositosis, mikrositik, burr cell (+),

schiztocyte (+), tear drop (+), polikromasi (+), eritroblas (+); lekosit jumlah dalam

batas normal, dominan netrofil sel muda (-), granula toksik (+), vakuolisasi (+);

trombosit jumlah dalam batas normal, giant trombosit (-), penyebaran merata;

kesimpulan anemia mikrositik hipokromik, suspek proses perdarahan DD hemolitik

bersamaan dengan infeksi, saran CRP. Diagnosis saat itu ditambahkan Ikterus

neonatorum Kramer V dengan hiperbilirubinemia high risk zone. Penatalaksanaan

saat itu dilakukan terapi sinar (light therapy) selama 12 jam intermitten, terapi lain

Produced by MG ™ 2010 6

Page 7: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

tetap dilanjutkan, pemantauan klinis status hidrasi, balans cairan serta efek samping

terapi sinar.

Pemantauan pada hari kelima perawatan (12 November 2009), pasien umur 4 hari,

tampak lemah, gejala kuning belum berkurang, tidak tampak pucat dan sianosis,

gerak mulai kurang aktif, mulai malas minum, toleransi minum kurang baik, residu

(+) warna susu + 10 cc, tanda vital : laju nadi sama dengan laju jantung 152 kali

permenit (isi dan tegangan cukup, teratur), laju napas 46 kali permenit (teratur,

kedalaman cukup), suhu 37,2°C (peraksilla). BB pasien turun menjadi 2900 gram.

Pemeriksaan fisik masih relatif sama dengan sebelumnya. Penatalaksanaan saat itu

terapi sinar tetap dilanjutkan, terapi ditambahkan jalur parenteral dengan D1/4 S 465

cc + D40% 35 cc kecepatan 12 cc/jam, injeksi Fenobarbital 6 mg/12 jam intravena

serta transfusi plasma segar 60 cc/hari selama 3 hari. Hasil crossmatch (uji silang)

dari PMI menyatakan bahwa donor plasma darah yang sesuai untuk pasien adalah

darah dari golongan [A, Rh+].

Pada hari ketujuh perawatan (14 November 2010), pasien umur 6 hari, BB 2900

gram, gejala ikterik belum berkurang, gerak kurang aktif, toleransi minum belum

membaik, tidak sesak, pasien mulai demam. Tanda vital : laju nadi = laju jantung 158

x/mnt, laju napas 54x/mnt, suhu 37,8°C peraksiler. Pemeriksaan fisik abdomen

didapatkan dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, supel, teraba hepar 3 cm

dibawah arcus costa kanan dan teraba lien 1 schuffner. Hasil kultur darah saat itu

ditemukan kuman Staphylococcus haemoliticus. Hasil tes Coombs langsung (DAT)

adalah positif, yakni ditemukannya IgG anti-D dan anti-A pada sel darah merah bayi

dan serum bayi. Disarankan apabila akan memberikan darah kepada pasien, darah

yang akan diberikan adalah golongan [O, Rh+]. Diagnosis saat itu ditambahkan

Inkompatibilitas Rhesus dan ABO dan sepsis neonatorum awitan dini e/c

Staphylococcus haemoliticus. Penatalaksanaan saat itu terapi sinar tetap dilanjutkan,

antibiotik diganti sesuai kultur yakni Gentamisin diganti dengan Amikasin 45 mg/hr

Produced by MG ™ 2010 7

Page 8: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

intravena, ditambahkan injeksi Metilprednisolon 45 mg/12 jam intravena selama 3

hari, serta motivasi untuk penambahan IVIG pada pasien, namun pasien menolak

dengan alasan biaya.

Pemantauan hari kedelapan perawatan (15 November 2009), pasien umur 7 hari,

keadaan umum tampak lemah, pasien tampak pucat, ikterik masih didapatkan,

toleransi minum belum membaik, masih didapatkan demam, tampak sesak. Tanda

vital : laju nadi = laju jantung 157 x/mnt, laju napas 68x/mnt, suhu 38,1°C peraksiler,

SiO2 100%. Pemeriksaan fisik mata tampak sklera ikterik, konjungtiva pucat, telapak

tangan dan kaki pucat, dada, perut dan ekstremitas ikterik. Tidak didapatkan napas

cuping hidung dan tidak didapatkan retraksi dinding dada. Pada pemeriksaan

auskultasi jantung didapatkan bising sistolik derajat 2/VI di semua katup,

penjalaran(-). Pemeriksaan abdomen : dinding perut lebih tinggi dari dinding dada,

supel, teraba hepar 3 cm dibawah arcus costa kanan dan lien 1 schuffner. Hasil

pemeriksaan hemoglobin saat itu 3,8 g/dl, hematokrit 11,8 %, jumlah lekosit

10.700/µl, hasil jumlah trombosit 132.000/ µl, jumlah eritrosit 1,08.106 / µl.

Diagnosis ditambahkan Anemia Heart Disease. Penatalaksanaan ditampahkan

transfusi PRC sampai kadar hemoglobin 14 g/dl. Hasil croosmatch dari PMI

menyatakan bahwa donor yang sesuai untuk transfusi komponen darah pasien adalah

golongan darah [O, rh-]. Transfusi plasma segar tetap dilanjutkan, kemudian transfusi

FFP (fresh frozen plasma) 10 cc/kgBB selama 3 hari, dengan donor golongan darah

[A, Rh+]. Diberikan Oksigen nasal 2L/mnt, diet ASI/ASB per NGT 8x20-25 cc

dinaikkan bertahap.Terapi sinar tetap dilanjutkan.

Pada hari kesepuluh perawatan (17 November 2009), pasien umur 9 hari, keadaan

umum pasien membaik, ikterik berkurang dari sebelumnya, tidak tampak pucat,

toleransi minum membaik, tidak demam, tidak tampak sesak. Tanda vital : laju nadi =

laju jantung 148 x/mnt, laju napas 58x/mnt, suhu 37,3°C peraksiler. Pemeriksaan

fisik tidak didapatkan konjungtiva pucat dan ektremitas pucat. Pemeriksaan jantung

Produced by MG ™ 2010 8

Page 9: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

tidak didapatkan bising jantung. Hasil laboratorium kadar hemoglobin (post transfusi)

14 g/dl, kadar bilirubin total 0,58 mg/dl, bilirubin direk 0,07 mg/dl, bilirubin indirek

0,51 mg/dl, albumin 3,6 g/dl. Pada penatalaksanaan terapi oksigen, terapi sinar,

injeksi antibiotik dan Fenobarbital dihentikan. Pasien dipindahkan dari inkubator dan

dipantau perbaikan secra klinis.

Pada perawatan hari keduabelas (19 Nvember 2009), pasien umur 11 hari, keadaan

umum pasien semakin membaik, tidak tampak ikterik, tidak pucat, toleransi minum

membaik, tidak demam. Tanda vital stabil : laju nadi = laju jantung 150 x/mnt, laju

napas 48x/mnt, suhu 36,9°C peraksiler. Pemeriksaan fisik mata tidak ada sklera

ikterik dan konjungtiva pucat, ekstremitas pucat dan ikterik tidak didapatkan. Pada

pemeriksaan abdomen tidak teraba lien, perabaan hepar masih relatif sama dengan

sebelumnya. Pasien diperbolehkan pulang dan diminta kontrol 1 minggu kemudian.

Pada usia 20 hari, pasien kontrol ke poliklinik perinatologi RS Dr.Moewardi

Surakarta. Keadaan umum membaik, gerak aktif, minum kuat, tidak tampak pucat

dan ikterik. Pemeriksaan fisik tanda vital stabil. Pemeriksaan abdomen tidak

didapatkan perabaan lien, hepar teraba 2 cm dibawah arcus costa kanan. Diberikan

edukasi kepada orangtua dan keluarga, terutama mengenai kehamilan berikutnya.

DISKUSI

Penyakit kuning atau ikterus merupakan masalah yang sering didapatkan pada bayi

baru lahir, merupakan hal yang memerlukan perhatian khusus, oleh karena, neonatus

sedang mengalami proses maturasi yang mungkin akan mempengaruhi perjalanan

suatu penyakit. 5 Sebagian besar ikterus adalah fisiologis, namun karena potensi

toksik dari bilirubin, maka semua bayi baru lahir harus dipantau untuk mendeteksi

kemungkinan menjadi hiperbilirubinemia berat. Ikterus fisiologis muncul pada hari

kedua-ketiga setelah lahir, jarang berpotensi menjadi kernikterus, biasanya hilang

dalam 2 minggu, kadar bilirubin indirek < 20 mg/dl. Ikterus pada neonatus perlu

Produced by MG ™ 2010 9

Page 10: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

dievaluasi lebih lanjut bila : (1) timbul saat lahir atau hari pertama kehidupan, (2)

kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat yakni > 5mg/dl/hari, (3) BST > 12 mg/dl,

(4) ikterus menetap sampai > 2 minggu, dan (5) peningkatan bilirubin direk > 2 mg/dl

(Maisel S, 2006). Hiperbilirubinemia neonatal diartikan sebagai kadar bilirubin serum

total (BST) ≥ 5 mg/dl. Ensefalopati bilirubin adalah manifestasi akut dari toksisitas

bilirubin yang terlihat pada minggu-minggu pertama kehidupan.7

Di Indonesia terdapat dua etiologi terbanyak penyakit hemolitik yang menyebabkan

ikterus pada bayi, yakni inkompatibilitas ABO dan defisiensi enzim glukosa-6-fosfat-

dehidrogenase (G6PD). Inkompatibilitas Rhesus merupakan kasus yang jarang terjadi

di Indonesia dikarenakan golongan darah sebagian besar orang Indonesia adalah

Rhesus positif.

Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang

diakibatkan oleh alloimun antibodi (anti-D atau inkomplit IgG antibodi golongan

darah ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal

isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin, dan timbul sebagai reaksi terhadap

antigen eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah antibodi

maternal melalui plasenta yang merusak eritrosit janin.4,5

Pelacakan adanya proses hemolisis ditandai dengan adanya anemia, kadar

hemoglobin kurang dari normal (sesuai umur), peningkatan retikulosit, dimana pada

bayi cukup bulan jumlah normal retikulosit 4-5%, bayi kurang bulan 6-10%. Pada

gambaran darah tepi didapatkan eritrosit mikrositik hipokromik, mikrosferosit,

polikromasia, normoblas dan adanya eritrosit berinti.8 Pada kasus ini bayi lahir dari

ibu golongan darah [O, rh-] dan ayah [A,Rh+], pasien tampak kuning mulai pada hari

pertama dan semakin lama semakin meluas hingga Kramer V pada usia 2 hari. Pada

pemeriksaan fisik tampak ikterik pada kedua sklera mata, dahi, leher, dada, abdomen,

hingga keempat ekstremitas serta telapak tangan dan kaki. Pada palpasi abdomen

didapatkan adanya hepatomegali. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya

Produced by MG ™ 2010 10

Page 11: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

penurunan kadar hemoglobin yang nyata dari 10,6 menjadi 9,6 sampai 3,8 g/dl,

retikulosit 6%, BST 25,43 mg/dl dengan dominasi bilirubin indirek 25,21 mg/dl.

Selain itu pada pemeriksaan gambaran darah tepi didapatkan eritrosit hipokromik,

poikilositosis, mikrositik, schiztocyte (+), polikromasi (+), eritroblas (+). Hasil

pemeriksaan klinis dan penunjang mendukung diagnosis anemia hemolitik. Dengan

berdasarkan data golongan darah ibu [O, rh-], maka selanjutnya dilakukan pelacakan

diagnosis kearah inkompatibilitas Rhesus, dengan diagnosis banding inkompatibilitas

ABO.

Penegakan diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu

dengan tes Coombs. Ada 2 metode tes Coombs yang sering digunakan, yakni metode

langsung dan tak langsung. Metode langsung yakni eritrosit yang akan diperiksa

dicuci lebih dahulu kemudian dicampur dengan serum Coombs, yaitu serum hewan

yang mengandung anti zat spesifik terhadap human globulin. Terjadinya aglutinasi

pada tes ini membuktikan adanya antizat yang melapisi eritrosit. Metode tak

langsung, merupakan tes untuk menunjukkan adanya antibodi dalam serum yang

diperiksa, dalam hal ini bayi. Tes ini bergantung pada kemampuan anti IgG (Coombs)

serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG. Untuk melakukan uji

ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui mengandung

mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, kemudian dilakukan pencucian.

Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran

eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit, kemudian

serum Coombs ditambahkan. Adanya aglutinasi menunjukkan bahwa serum yang

diperiksa berisi antizat yang melapisi eritrosit.1,9

Anti D merupakan antibodi imun tipe IgG dengan berat molekul 160.000, daya

endapnya (sedimentation coefficient) 7 detik, bersifat termo stabil dan dapat

ditemukan selain dalam serum juga cairan tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air

liur. Imun antibodi IgG anti-D dapat melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi

Produced by MG ™ 2010 11

Page 12: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

janin, sehingga janin dapat menderita penyakit hemolisis. Pada wanita Rhesus negatif

yang melahirkan bayi pertama Rhesus positif, risiko terbentuknya antibodi sebesar

8%. Sedangkan insidens timbulnya antibodi pada kehamilan berikutnya sebagai

akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar 16%. Tertundanya pembentukan

antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh proses sensitisasi, diperkirakan

berhubungan dengan respons imun sekunder yang timbul akibat produksi antibodi

pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1% dari wanita akan tersensitasi selama

kehamilan, terutama trimester ketiga.2,3

Pada pasien ini didapatkan hasil tes Coombs langsung (DAT/direct antiglobulin test)

adalah positif, yakni ditemukannya IgG anti-D dan anti-A pada sel darah merah bayi

dan serum bayi. Hasil ini menyatakan adanya aglutinasi yang terjadi antara anti-D

yang terdapat pada serum ibu dengan antigen-D yang terdapat pada eritrosit bayi,

dengan ditemukannya IgG anti-D yang terbukti melapisi eritrosit janin, serta adanya

aglutinasi antara antigen-A pada bayi dengan IgG anti-A serum ibu, hal inilah yang

menyebabkan aglutinasi dan hemolisis pada eritrosit bayi. Jumlah darah fetus yang

diperlukan untuk menyebabkan inkompatibilitas rhesus bervariasi. Setelah

tersensitisasi, diperlukan waktu sekitar 1 bulan untuk antibodi rhesus yang dibentuk

ibu masuk kedalam sirkulasi fetus.

Terjadinya hemolisis akibat inkompatibilitas ABO disebabkan oleh antibodi anti-A

dan anti-B yang masuk dalam sirkulasi fetus bereaksi dengan antigen-A atau antigen-

B pada permukaan eritrosit. Pada ibu yang memiliki darah tipe A atau B secara alami

terdapat anti-A atau anti-B dalam bentuk molekul IgM, sehingga tidak dapat

melewati plasenta, namun pada ibu dengan golongan darah O mempunyai antibodi

terutama terdiri dari molekul IgG. Dengan alasan inilah maka inkompatibilitas ABO

biasanya terbatas pada ibu golongan darah O dengan fetus golongan darah A atau B.

Adanya IgG anti-A atau anti-B pada ibu tipe O dapat menjelaskan proses hemolisis

yang disebabkan inkompatibilitas ABO, yang sering terjadi pada kehamilan pertama

Produced by MG ™ 2010 12

Page 13: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

tanpa diperlukan sensitisasi terlebih dahulu. Inkompatibilitas ABO jauh lebih ringan

daripada inkompatibilitas rhesus, hasil DAT seringkali negatif dan gejala

hiperbilirubinemia tidak berat.2,10 Tidak adanya peningkatan kadar IgG pada ibu dapat

digunakan untuk meyingkirkan diagnosis inkompatibilitas ABO 8, namun pada kasus

ini, kadar IgG ibu tidak diperiksa.

Penatalaksanaan untuk hiperbilirubinemia oleh karena proses hemolitik sesuai dengan

yang direkomendasikan oleh Subcommitte on Hyperbilirubinemia, American

Academy of Pediatrics untuk bayi dengan usia gestasi > 35 minggu yakni fototerapi

sesuai dengan kadar BST menurut usia bayi. Pada kasus ini diberikan fototerapi

intermitten 12 jam selama 6 hari, total adalah 72 jam penyinaran. Beberapa studi

meneliti tentang perbandingan fototerapi intermiten dan intensif dalam menurunkan

kadar bilirubin, bila kadar bilirubin mencapai zona transfusi tukar, maka fototerapi

harus diberikan secara kontinyu sampai tejadi penurunan BST yang diharapkan.

Sampai saat ini belum ada standar pasti untuk menghentikan fototerapi, namun

fototerapi dapat dihentikan bila kadar BST sudah berada dibawah nilai cut off point

dari setiap kategori. Untuk bayi yang dirawat di rumah sakit mulai pertama setelah

lahir, maka fototerapi dapat dihentikan bila kadar BST turun sampai dibawah 13-14

mg/dl. Pada pasien ini, fototerapi dihentikan berdasarkan pengamatan secara klinis,

berkurangnya gejala ikterik dan kondisi pasien yang mulai membaik, serta

pemeriksaan kadar BST yang normal yaitu < 5 mg/dl. 7,10

Pemberian transfusi komponen PRC golongan darah [O, rh-] pada pasien ini yakni

untuk mengantisipasi terjadinya destruksi eritrosit yang berlebihan yang lebih berat,

untuk menjaga homeostasis dalam darah dimana tidak terdapat antigen A,B ataupun

D pada komponen darah donor, sehingga dapat diberikan pada pasien. Pemberian

transfusi plasma segar dan FFP golongan darah [A,Rh+] pada kasus ini adalah

sebagai sumber albumin untuk pengikat bilirubin indirek. Penatalaksanaan untuk

inkompatibilitas Rhesus maupun ABO memerlukan pemberian IVIG (intravenous

Produced by MG ™ 2010 13

Page 14: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

immunoglobulin) bersamaan dengan fototerapi untuk mengatasi terjadinya reaksi

antigen antibodi yang berlebihan dalam darah bayi 11,12, namun pada kasus ini, IVIG

tidak diberikan oleh karena alasan biaya.

Sepsis awitan dini ditemukan pada hari-hari pertama kehidupan bayi baru lahir

(umur dibawah 3 hari), infeksi terjadi secara vertikal dari ibu ke bayi selama

persalinan atau kelahiran. Tabel dibawah ini menunjukkan faktor risiko sepsis awitan

dini.

Tabel 1. pengelompokan faktor risiko sepsis.

Risiko mayor Risiko minor1. Ketuban pecah > 24 jam2. Ibu demam; saat intrapartum > 38ºC3. Korioamnionitis4. Denyut jantung janin yang

menetap>160x/menit5. Ketuban berbau

1. Ketuban pecah > 12jam2. Ibu demam; saat intrapartum suhu

>37,5ºC3. Nilai APGAR rendah (menit ke1<5,

menit ke 5<7)4. Bayi berat lahir sangat rendah

(BBLSR),<1500 gram5. Usia kehamilan < 37 minggu6. Kehamilan ganda7. Keputihan pada ibu8. Ibu dengan infeksi saluran kemih

(ISK)/ tersngka ISK yang tidak diobati.

Sepsis awitan lambat terjadi disebabkan kuman berasal dari sekitar bayi setelah hari

ketiga lahir. Keadaan ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang intensif,

bayi kurang bulan yang mengalami perawatan lama, nutrisi parenteral yang

berkepanjangan, infeksi nosokomial atau infeksi silang dari bayi lain atau dari tenaga

medis yang merawat bayi.

Diagnosis pasti sepsis yaitu dengan ditemukannya bakteri pada hasil biakan darah,

akan tetapi pemeriksaan ini membutuhkan waktu sekitar 3-5 hari. Hasil biakan darah

ini dipengaruhi oleh pemberian antibiotika, jumlah sampel darah serta dapat

terkontaminasi kuman nosokomial. Karena itu beberapa ahli membuat formulasi

untuk dapat mendiagnosis terjadinya sepsis secara dini.6

Produced by MG ™ 2010 14

Page 15: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

Menurut Haque, FIRS (fetal inflamatory response syndrome) ditegakkan apabila

terdapat 2 atau lebih keadaan sebagai berikut :

1. laju nafas > 60x/m dengan atau tanpa retraksi dan desaturasi O2

2. suhu tubuh tidak stabil (<36C atau >37,5C)

3. capillary refill time > 3 detik

4. hitung lekosit <4000x109/L atau >34000x109 /L

5. CRP >10 mg/dl

6. IL-6 atau IL-8>70 pg/ml

7. 16 S rRNA gene PCR: positif.

Sepsis ditegakkan apabila didapatkan satu atau lebih kriteria FIRS disertai dengan

gambaran klinis infeksi seperti trelihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2 : Gambaran klinis sepsis neonatal

Variabel klinis

Suhu tubuh tidak stabil

Laju nadi > 180 kali/menit atau < 100 kali/menit

Laju nafas >60kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen

Letargi

Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L)

Intoleransi minum

Variabel hemodinamik

Tekanan darah < 2 SD menurut usia bayi

Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari)

Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (bayi usia kurang dari 6 bulan)

Variabel perfusi jaringan

Pengisian kembali kapiler/capillary refill > 3 detik

Asam laktat plasma > 3 detik

Variabel inflamasi

Leukositosis (>34000x109)

Leukopenia (<5000x109)

Produced by MG ™ 2010 15

Page 16: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

Neutrofil muda > 10%

Neutrofil muda/ total neutrofil (I/T ratio)>0.2

Trombositopenia <100000x109/L

C reaktive protein > 10 mg/dl atau > 2 SD dari nilai normal

Procalsitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari normal

IL-6 atau IL-8 >70pg/ml

16 S rRNA gene PCR : positif

Sumber: Haque, 2005

Penegakan diagnosis sepsis pada pasien ini didasarkan pada adanya riwayat ketuban

pecah dini > 24 jam, berwarna keruh dan berbau. Pada pemeriksaan klinis tidak khas,

yakni aadanya keadaan umum lemah, intoleransi minum, dan suhu tubuh yang tidak

stabil pada waktu kurang dari 72 jam, dan pada hasil biakan darah tumbuh

Staphylococcus haemoliticus, maka diagnosis pasien ini adalah sepsis neonatorum

awitan dini e/c Staphylococcus haemoliticus. Penatalaksanaan sepsis yakni dengan

pemberian antibiotik yang sensitif sesuai dengan biakan kultur selama 7-10 hari

sesuai dengan perbaikan klinis penderita.

Prognosis pada pasien ini adalah baik, karena ikterus mengalami perbaikan ditandai

dengan penurunan kadar BST, bilirubin direk serta indirek dalam batas normal dalam

waktu kurang dari 2 minggu. Dan saat usia 20 hari pasien kontrol ke poliklinik,

kondisi pasien membaik, tidak ada gejala ikerik. Untuk pemantauan jangka panjang

perlu dimonitoring mengenai kadar bilirubin darah secara berkala untuk mengetahui

proses hemolitik yang terjadi di kemudian hari, serta skrining pendengaran,

perkembangan fungsi kognitif sebagai akibat dari terjadinya hiperbilirubinemia.

Edukasi perlu diberikan kepada orang tua pasien mengenai penyakit yang diderita,

pertumbuhan dan perkembangannya serta kemungkinan terjadi berulang dengan

gejala yang lebih berat pada kehamilan selanjutnya.

Produced by MG ™ 2010 16

Page 17: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

DAFTAR PUSTAKA

1. Kresno, Gandasoebrata R, Boedina S. 1995. Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta. EGC. h:203-7.

2. Salem L. 2006. Rh incompatibility. www. Neonatology.org.

3. Wagle S. 2002. Hemolytic disease of the newborn. www. Neonatology.org.

4. Maisels J. neonatal jaundice. 2006. Pediatr Rev; 27:443-54.

5. Schwoebel A, Gennaro S. 2006. Neonatal hyperbilirubinemia. J Perinat Neonat Nurs; 20:103-7.

6. Aminullah A. 2009. Sepsis pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim S, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyuting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi ke-1. Jakarta: IDAI:178-87.

7. Waldron PE, Cashore WJ. 2005. Hemolytic disease of the fetus and newborn. Dalam: Alarcon PD, Werner E, penyunting Neonatal Hematology. Cambridge:Cambridge University Press. h:91-119.

8. Gomella TL.2004. Blood Abnormalities. Dalam Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE, editor. Neonatology; management, procedures, on call problem, diseases, and progres. Edisi 15. Lange medical books.h:332-40; 344-48.

9. Giancarlo ML, dkk. 2008. The role of the direct antiglobulin test in pre-transfusion investigations and the approach to selecting blood for transfusion in autoimmune haemolytic anaemia: results of a regional survey. Blood Transfus; 6:156-62.

10. Madan A, Macmahon JR, Stevenson DK. 2005. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, Gleason CA, penyunting Acery’s Diseases of The Newborn. Philadelphia:Elsevier Saunders.h:1226-32.

11. Giroux AG, Moore TR. 1997. Erythroblastosis fetalis. In: Fanaroff AA, Martin RJ. Neonatal perinatal medicine diseases of the fetus and infant, I, 6 th

ed. St. Louis: Mosby Year Book.h:300-11.

12. Gottstein R, Cooki RWI. 2003. Systematic review of intravenous immunoglobulin in haemolytic disease of the newborn. Arch Dis Child Fetal Neonatal; 88:6-10.

13. Haque K. 2006. Management of bacterial infection in newborn. J Arab Neonatal Forum; 3:41-5.

17

Page 18: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

EVIDENCE BASED CASE REPORT

METODE DIAGNOSTIK INKOMPATIBILITAS RHESUS DAN ABO

Formulasi pertanyaan klinis :

Apakah uji Coombs merupakan metode diagnostik yang cukup sensitif dan spesifik

dalam mendiagnosis penyakit inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada bayi baru lahir

dengan gejala ikterik?

Metode penelusuran bukti

Penelusuran dilakukan melalui situs tripdatabase (http:www.tripdatabase.org/),

pubmed (http:www.pubmed.org/), dan google (http:www.tripdatabase.org/) dengan

menggunakan kata kunci : Coombs test, incompatibility, neonatal jaundice. Dari

ketiga kata kunci tersebut hanya diperoleh 2 artikel yang relevan.

Hasil penelusuran jurnal:

Herschel M et al.2 Herschel et al.1

Desain Potong lintang Potong lintang

Tempat Natus Medical Inc, San Carlos,

CA, Chicago

General Care Nursery, Chicago, USA

Waktu 15 minggu (tidak disebutkan)

Subjek Bayi sukup bulan, lahir dari ibu

golongan darah O, klinis ikterik

pada usia < 24 jam

Bayi cukup bulan, klinis ikterik pada usia

< 24 jam, tersangka hemolisis

Besar sampel 680 pasien 660 pasien

Pemeriksaan - DAT (direct antiglobulin test)

- Kadar bilirubin total dalam

serum

- DAT , darah rutin, apusan darah tepi,

retikulosit, pengukuran BST, pengukuran

konsentrasi CO pada akhir volume tidal

(ETCOc)

Hasil - Tidak ada perbedaan yang

bermakna antara rerata kadar

bilirubin serum total (BST)

dengan DAT (-) pada

- DAT spesifik (dengan spesifitas =

98,5%) namun kurang sensitif

(sensitivitas = 38,5%) untuk mendeteksi

proses hemolisis pada BBL 5

18

Page 19: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

inkompatibilitas ABO

dibandingkan dengan DAT (-)

pada compatibilitas ABO

- Terdapat perbedaan namun tidak

bermakna antara rerata kadar

BST pada DAT (+) pada

inkompatibilitas ABO dengan

DAT (-).

- PPV (positive predictive value)

DAT : 9/17 = 52,9%

ETCOc : 17/26 = 65,4%

NPV (positive predictive value)

DAT : 430/482 = 89,2%

ETCOc : 429/473 = 90,7%

Namun hasil ini tidak bermakna secara

statistik

Kesimpulan - Hasil DAT (-) yang didapatkan

pada bayi baru lahir (BBL)

dengan klinis ikterik belum

tentu dapat menyingkirkan

inkompatibilitas ABO 5

Pengukuran kadar CO pada pernapasan

bayi lebih sensitif sebagai prediktor

ikterik akibat proses hemolisis, meskipun

secara statistik tidak bermakna. 3,4

Pembahasan

Metode uji Coombs langsung atau DAT (direct Coombs positive) untuk mendiagdosis

penyakit hemolisis pada bayi baru lahir, khususnya yang disebabkan oleh adanya

inkompatibilitas Rhesus maupun ABO, merupakan metode yang cukup sensitif dan

spesifik, meskipun masih ada metode lain yang dapat digunakan untuk mendiagnosis

penyakit ini, seperti pengukuran kadar CO pada pernapasan bayi sebagai prediktor

untuk penyakit hemolisis, namun cost effectiveness-nya sangat tinggi. Hasil negatif

dari DAT belum tentu menyingkirkan bahwa tidak terjadi proses inkompatibilitas.

Kesimpulan

Penegakan diagnosis untuk ikterus pada bayi baru lahir dengan kecurigaan kearah

adanya proses hemolitik dengan menggunakan metode DAT (Coombs tes langsung)

masih sering dilakukan, meskipun kurang sensitif bila dibandingkan dengan

pemeriksaan lain seperti kadar CO dalam pernapasan, namun masih memiliki

spesifitas yang cukup tinggi untuk identifikasi terjadinya proses hemolisis.

19

Page 20: Inkompatibilitas Rhesus dan ABO pada Bayi disertai Sepsis Neonatorum

DAFTAR PUSTAKA

1. Herschel M, dkk. 2002. Evaluation of the Direct Antiglobulin (Coombs’) Test for Identifying Newborns at Risk for Hemolysis as Determined by End-Tidal Carbon Monoxide Concentration (ETCOc); and Comparison of the Coombs’ Test With ETCOc for Detecting Significant Jaundice. Journal of Perinatology; 22:341-47.

2. Herschel M, dkk.2001. Isoimmunization Is Unlikely to Be the Cause of Hemolysis in ABO-Incompatible but Direct Antiglobulin Test-Negative Neonates. Pediatrics;110:127-30.

3. Ramasethu J, Luban NLC. Alloimmune hemolytic disease of the newborn.In: Beutler E, Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ, Seligsohn U, editors.Williams Hematology. 6th ed. New York: McGraw -Hill 2001;33( 2 ):p. 665–75.

4. Stevenson DK, Vreman HJ. Carbon monoxide and bilirubin production inneonates. Pediatrics 1997;100:252–9.

5. Alvarez A, Rives S, Montoto S, Sanz C, Pereira A. Relative sensitivity of direct antiglobulin test, antibody’s elution and flow cytometry in the serologic diagnosis of immune hemolytic transfusion reactions. Haematologica 2000;85:186–8.

20