Upload
ghurron-muhajjalin
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
1/16
Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai I deological State Apparatus:
Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
Oleh:
M. Ghurron Muhajjalin (1006711031)
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
2/16
A. LATAR BELAKANGMahasiswa Indonesia identik dengan pergerakan. Pergerakan adalah tindakan konkrit
mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change). Gerakan mahasiswa ini mengalami
tentunya mengalami berbagai perubahan baik arah maupun model dari gerakannya.
Seperti pada era orde baru dimana gerakan mahasiswa tertuju pada kontrol kebijakan
pemerintah Indonesia. Sebagai gerakan politik berbasiskan mahasiswa, gerakan
mahasiswa kemudian menjadi penyambung lidah antara pemerintah sebagai penguasa
dengan masyarakat sebagai rakyat. Kontrol politik gerakan mahasiswa terhadap kinerja
maupun kebijakkan pemerintah ini telah memposisikan gerakan mahasiswa pada wilayah
penting bagi masyarakat. Khususnya pada masa Orde Baru, peran gerakan mahasiswa
menjadi media sangat penting bagi masyarakat untuk menyuarakan segala aspirasinya.
Terkungkung oleh kekuatan Orde Baru masyarakat tidak memiliki power dalam
menyuarakan aspirasinya dalam konteks politik, sehingga sebagai kumpulan kaum
intelektual gerakan mahasiswa dirasa mampu untuk membawa kepentingan masyarakat
menuju ranah kekuasaan.
Namun pasca reformasi gerakan mahasiswa semakin kabur. Mahasiswa Indonesia
sekarang banyak mengarah ke pragmatisme. Kampus sebagai sumber dari gerakanmahasiswa kini semakin menjauh dari peranan sebenarnya. Perubahan paradigma di mana
kampus pada sejatinya sebagai tempat mencetak intelektual bermental humanistik
berubah menjadi tempat mencetak intelektual yang berorientasi pada karir. Standarisasi
mutu pendidikan adalah idealisme kampus, kuantitas lulusan (semakin banyak
meluluskan mahasiswa tepat pada waktunya) merupakan suatu keberhasilan bagi kampus
tanpa melihat dampak pada proses dialektika (pendidikan) mahasiswa itu sendiri.
Semakin mahalnya biaya pendidikan tentunya merubah pandangan mahasiswa terhadap
proses pendidikannya untuk sesegera mungkin dapat menyelesaikan tanpa harus melihat
setelah ia selesai; apakah bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya apa sebaliknya.
Hal ini (problema kampus) telah memunculkan pragmatisme di kalangan mahasiswa.
Pragmatisme ini telah merubah orientasi mahasiswa, di mana sebelumnya dunia
akademik ini dijadikan sebagai media gerakan untuk dapat peka terhadap segala realitas
sosial kini berubah pada orientasi akademis semata. Hal ini dikarenakan tidak
berlandasankan terhadap ideologi, sehingga kepekaan terhadap kondisi sosial tidak ada.
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
3/16
B. TEORI DAN KONSEP
Reproduksi dari Kondisi Produksi
Marx mengatakan, bahwa setiap anak pasti tahu bahwa formasi sosial yang bukan
merupakan reproduksi dari kondisi produksi di saat formasi tersebut diciptakan, tidak
akan bertahan lebih dari setahun. Maka dari itu, tujuan akhir dari kondisi produksi adalah
reproduksi dari kondisi produksi tersebut. hal inilah yang sering diabaikan.
Suatu sudut pandang produksi dan bahkan praktek produksi yang ada telah sangat
terintegrasi kedalam kesadaran sehari-hari sehingga sangat sulit untuk memberikan
kesadaran akan adanya sudut pandang reproduksi itu sendiri. Bahkan, segala hal yang
berada diluar sudut pandang ini dianggap abstrak.
Sebagai simplifikasi dari penjelasan Althusser, perlu diasumsikan bahwa seluruh formasi
sosial lahir dari proses produksi yang dominan, kemudian proses produksi yang ada
mengarahkan tenaga produktif yang ada untuk bekerja pada relasi produksi tertentu.
Maka dari itu, untuk mempertahankan keberadaannya, setiap formasi sosial harus
mereproduksi kondisi dari produksi persis seperti saat formasi tersebut dibuat, agar proses
produksi dapat tetap berjalan. Dua hal yang harus direproduksi adalah tenaga produktif
dan relasi produksi yang telah terbangun sebelumnya.
Reproduksi dari Alat Produksi
Marx telah membuktikan secara gamblang bahwa tidak ada produksi yang mungkin
terjadi tanpa adanya reproduksi kondisi material dari produksi tersebut: yaitu reproduksi
dari alat produksi. Para pakar ekonomi dan kapitalis pada umumnya telah mengetahui
bahwa sangat penting untuk meramalkan apa yang dibutuhkan untuk mengganti apa yang
telah digunakan dalam produksi setiap tahunnya. Seperti bahan mentah, bangunan,
instrumen produksi dll. Namun kita tahu bahwa reproduksi dari kondisi material tidak
akan bisa dipikirkan dalam tingkatan perusahaan, karena hal ini tidak benar-benar nyata
pada kondisi riil-nya. Yang terjadi pada level perusahaan hanyalah efek yang kemudian
memberi ide perlunya reproduksi, tapi tidak memberi ruang bagi kondisi dan
mekanismenya untuk dipikirkan.
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
4/16
Cotoh sederhananya adalah seperti sebuah perusahaan kapitalis X yang harus
mereproduksi bahan/ alat produksinya agar proses produksi dapat tetap berjalan. Dia
kemudian membeli bahan alat produksi yang ia butuhkan pada perusahaan kapitalis Y.
Perusahaan Y ini tentunya juga membutuhkan alat produksi yang kemudian ia dapat dari
perusahaan lain. Begitu pula seterusnya. Kebutuhan akan alat produksi akan dipenuhi
oleh supply. Mekanisme yang kemudian menjadi sebuah alur yang tidak berujung ini
merupakan bagian dari prosedur global Marx.
Reproduksi dari Tenaga Buruh
Tenaga produksi juga menjadi sesuatu yang harus direproduksi (selain alat produksi)
untuk mempertahankan eksistensi suatu firma/ atau perusahaan. Cara yang digunakan
oleh perusahaan kapitalis untuk memastikan terjadinya reproduksi tenaga buruh adalah
melalui gaji. Sesuatu yang akan membuat para buruh mampu mereproduksi dirinya
sendiri.
Karena gaji hanya merepresentasikan bagian dari nilai yang diproduksi dari pengeluaran
untuk tenaga kerja yang sangat diperlukan
Gaji merupakan pengeluaran untuk tenaga kerja yang sangat diperlukan untuk proses
reproduksi: sangat dibutuhkan oleh tenaga buruh (yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan mereka sehingga mereka bisa terus menjadi tenaga buruh dalam durasi
maksimal), dan juga sangat dibutuhkan untuk mengasuh dan mendidik anak dimana kaum
proletariat mereproduksi dirinya sendiri sebagai tenaga buruh. Besaran suatu gaji
merupakan bagian dari perjuangan kelas proletariat (melawan penambahan durasi kerja
dan pengurangan gaji).
Namun hal ini belum mampu memastikan bahwa reproduksi yang dilakukan
menghasilkan tenaga buruh yang mampu memenuhi kondisi material. Suatu tenaga buruh
haruslah kompeten dan sesuai dengan bagian kerjanya dalam sistem produksi yang
kompleks. Perkembangan proses produksi juga memaksa para kapitalis untuk
memproduksi tenaga buruh dengan kemampuan berbeda-beda.
Reproduksi dari kemampuan buruh umumnya dilakukan diluar produksi, melalui sistem
edukasi kapitalis, oleh instansi dan institusi lain. Semua yang dipelajari di sekolah (dan
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
5/16
institusi lain) tidak lain adalah untuk menciptakan tenaga buruh yang kompeten dan
berkualitas; dan untuk mempertahankan dominasi sosial. Jadi reproduksi tenaga buruh
bukan hanya sebatas reproduksi kemampuan mereka, tetapi juga reproduksi terhadap
kepatuhan akan ideologi yang berkuasa atau praktek dari ideologi tersebut.
Infrastruktur dan Suprastruktur
Marx telah memaparkan struktur dari setiap masyarakat yang terdiri dari tingkatan
tertentu yaitu infrastruktur, atau dasar ekonomi (kesatuan tenaga produksi dan relasi
produksi) dan juga suprastruktur, yang di dalamnya terdapat dua bagian yaitu politik-
legal (hukum dan negara) dan ideologi.
Suprastruktur yang menjadi bangunan atas sangat dipengaruhi oleh efektifitas dari
dasarnya (infrastruktur). Oleh karena itu, sangat penting mengetahui determinasi atau
tingkat efektifitas infrastruktur untuk memberi penilaian pada keseluruhan sistem.
Oleh karena itu, sebelumnya harus diketahui arti sebuah konsep yang disebut Marx
sebagai negara. Negara dapat diartikan sebagai aparat represif. Negara merupakan
mesin represi yang membuat kelas yang berkuasa mampu memastikan dominasi mereka
atas kelas pekerja. Negara ini kemudian oleh para Marxis klasik juga disebut sebagai
aparat negara (state apparatus).
Esensi dari Teori Negara Marxis
Negara (dan bentuk eksistensinya dalam aparat) memiliki satu makna yaitu kekuasaan.
Seluruh perjuangan kelas terjadi dalam negara. kita juga tentunya mengetahui bahwa
aparat negara dapat selamat walaupun terjadi suatu peristiwa politik yang mempengaruhi
kekuasaan tanpa merakan pengaruh atau perubahan. Walaupun setelah revolusi, seperti
tahun 1998 di Indonesia, aparat negara mampu bertahan setelah pengambilalihan
kekuasaan oleh kaum proletar.
Maka dari itu, untuk merankum teori Negara dari Marxis, dapat dikatakan bahwa (1)
negara adalah aparat represif, (2) kekuasaan negara dan aparat negara harus dibedakan,
(3) tujuan dari perjuangan kelas adalah untuk memperoleh kekuasaan negara, sehingga
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
6/16
berimbas pada penguasaan atas aparat negara, (4) kaum proletar harus memegang
kekuasaan negara jika ingin menghancurkan aparat negara.
Ideological State Apparatuses
Dalam teori Marxis, aparat negara (State Apparatus) terdiri dari: Pemerintah,
administrasi, militer, polisi, pengadilan, penjara dll, yang kemudian oleh Althusser
disebut sebagai Repressive State Apparatus (Aparat Represif Negara).
Louis Althusser kemudian juga mengemukakan tentang Ideological State Apparatusesyang terdiri dari institusi-institusi yang berbeda dengan represive state apparatus. Berikut
adalah institusi yang tergolong dalam Ideological State Apparatus (ISA) menurut Louis
Althusser:
- Religious ISA (contoh: gereja)- Educational ISA (seluruh sekolah baik yang bersifat publik maupun prifat)- Family ISA- Legal ISA- Political ISA (sistem politik, termasuk partai politik)- Trade-Union ISA- Communication ISA (press, radio, televisi dll,)
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa repressive state apparatus berbeda dengan ideological
state apparatus. Perbedaan pertama adalah terdapat keragaman/ pluralitas dalam
Ideological State Apparatus. Selain itu, repressive state apparatus bergerak dalam domain
publik dan memiliki cakupan yang lebih besar dari ISA. Sedangkan Ideological State
Apparatus bergerak pada domain privat.
Namun, perbedaan dasar yang paling esensial antara repressive state apparatus dan
ideological state apparatus adalah: repressive state apparatus dijalankan/ digerakkan oleh
kekerasan, sedangkan ideological state apparatus digerakkan oleh ideologi.
Memang seluruh aparat negara (state apparatus) baik represif maupun ideologis,
keduanya digerakkan oleh kekerasan dan ideologi. Namun repressive state apparatus
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
7/16
digerakkan secara masif dan dominan oleh kekerasan, sedangkan ideologi memiliki peran
sekunder. Namun, ideological state apparatus digerakkan secara masif dan dominan oleh
ideologi, dan kekerasan memiliki peran sekunder. Seperti sekolah yang selalu memiliki
metode tertentu dalam memberikan hukuman, pengeluaran, dan seleksi. Tidak akan ada
aparat yang murni represif ataupun murni ideologis.
Maka dari itu, aparat negara memiliki dua bagian, yaitu bagian dari institusi yang
merepresentasikan Repressive State Apparatus dan di sisi lain terdapat bagian dari
institusi yang merepresentasikan Ideological State Apparatus.
Ideologi-lah (ideologi yang dimaksud adalah ideologi penguasa) yang menjadi pemersatusebuah ideological state apparatus walaupun terdapat keberagaman dan kontradiksi di
dalamnya.
Ideological State Apparatus ini sangat penting. Althusser mengatakan bahwa tidak ada
kelas yang dapat mempertahankan kekuasaan mereka atas negara dalam periode yang
lama tanpa mempertahankan hegemoni mereka melalui Ideological State Apparatuses.
Kelas (atau aliansi kelas) yang berkuasa tidak bisa hanya mengandalkan hukum dalam
ISA seperti yang dilakukan pada Repressive State Apparatus. Alasan utamanya adalah
karena adanya resistensi dari kelas yang tereksploitasi yang mampu makna dan
kesempatan untuk mengekspresikan diri mereka, atau memenangkan perjuangan kelas
mereka.
Reproduksi Relasi Produksi
Menurut Althusser cara yang digunakan untuk memastikan terjadinya reproduksi dari
relasi produksi adalah melaui pengaruh kekuasaan negara terhadap aparat negara, baik
yang represif maupun ideologis. Dalam memahami reproduksi relasi produksi, perlu
dipahami tiga poin berikut terlebih dahulu:
1. Seluruh aparat negara digerakkan oleh represi dan ideologi. Dalam repressivestate apparatus, represi menggerakkan secara masif dan dominan, sedangkan
dalam ideological state apparatus, ideologi menggerakkan secara masif dan
dominan.
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
8/16
2. Repressive State Apparatus seluruhnya diatur oleh satu perintah, yaitu oleh kelaspenguasa. Sedangkan Ideological State Apparatus terdiri dari banyak institusi
yang relatif berdiri sendiri.
3. Repressive State Apparatus dipertahankan dan dipersatukan dalam satuorganisasi dibawah kepemimpinan pihak representatif dari kelas penguasa,
sedangkan keberagaman Ideological State Apparatus dipertahankan oleh ideologi
penguasa.
Peran dari repressive state apparatus adalah untuk mempertahankan kondisi politik darireproduksi relasi produksi melalui kekuatan (fisik dan lainnya). repressive state apparatus
mempertahankan kondisi politik melalui represi agar Ideological State Apparatuses dapat
berjalan.
Louis Althusser kemudian mengemukakan thesis bahwa Ideological State Apparatus yang
menempati posisi dominan dalam masyarakat kapitalis dewasa sebagai hasil dari
perjuangan kelas dalam ranah politik maupun ideologis terhadap Ideological State
Apparatus lampau, adalah Educational Ideological Apparatus. Berikut adalah argumen
Althusser terhadap thesisnya tersebut:
1. Seluruh ideological state apparatuses, berkontribusi untuk hasil yang sama:reproduksi relasi produksi. Seperti relasi eksploitasi oleh kapitalis.
2. Tiap-tiap ISA berkontribusi dalam sebuah hasil sesuai spesifikasi mereka. Aparatpolitik bertujuan untuk mengarahkan individu pada ideologi politis negara, aparat
komunikasi bertujuan memberikan nilai-nilai nasionalisme, moralisme,
liberalisme dll setiap harinya melalui televisi, radio dan semacamnya.
3. Reproduksi relasi produksi ini dilakukan melalui penanaman nilai dan ideologiseperti nasionalisme, moralisme, dan ekonomisme yang menjadi peran utama
dalam proses reproduksi.
4. Ideological State Apparatus yang memegang peran dominan ini adalah sekolahyang menanamkan keahlian yang dibutuhkan untuk menjadi tenaga produksi dan
menanamkan ideologi dalam bentunya yang paling murni (etika, filosofi dll.)
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
9/16
Ideologi
Di Indonesia saat ini, istilah ideologi secara umum digunakan secara netral sebagai
seperangkat gagasan yang relatif lengkap tentang dunia dan masyarakat (pandangan
dunia), yang dimiliki kelompok tertentu. Jadi, kita dapati adanya ideologi kapitalis,
sosialis, nasionalis, Islam, dsb. Namun, sebagian kalangan Marxis, termasuk Marx sendiri
dalam The German Ideology, tidak menggunakan istilah ideologi dengan arti seperti
itu, melainkan dengan arti yang negatif, yaitu sebagai gagasan-gagasan imajiner (tidak
sesuai dengan kenyataan) yang melanggengkan tatanan sosial yang ada. Biasanya,
sebagai tandingan dari ideologi, mereka memajukan ilmu pengetahuan.
Althusser juga meneruskan tradisi ini, tapi ia memberikan pengertian yang berbeda
dengan apa yang menurutnya merupakan pengertian Marx, yang diambil dari Feuerbach,
tentang ideologi. Jadi, kalau menurut Marx, apa yang direpresentasikan secara imajiner
dalam ideologi adalah kondisi keberadaan riil manusia atau relasi-relasi riil di mana
manusia hidup, maka menurut Althusser, yang direpresentasikan dalam ideologi terutama
bukanlah hal tersebut, melainkan relasi imajiner individu dengan relasi-relasi riil di mana
mereka hidup. Adapun distorsi terhadap relasi-relasi riil itu terjadi karena adanya relasi
imajiner kita dengan relasi-relasi riil tersebut.
Sebenarnya agak samar apa yang dimaksud Althusser dengan relasi imajiner di atas.
Namun, berdasarkan pembahasan Althusser mengenai ideologi sebagai konstruksi
subyek, penafsiran saya adalah bahwa relasi imajiner ini terbentuk akibat konstruksi
individu sebagai subyek. Sebagai subyek, kita merasa sebagai individu bebas,
berperilaku dan bertindak sesuai apa yang kita pikirkan, sehingga tindakan dan perilaku
kita tampak sebagai efek dari gagasan kita. Akibatnya, kita juga melihat secara imajiner
bahwa kondisi riil kita adalah efek dari diri kita. Padahal, menurut Althusser,
kenyataannya adalah yang sebaliknya, gagasan kita itu hanya merupakan efek dari
tindakan kita, yang diatur oleh ritual-ritual yang ditentukan oleh ISA.
Cara ideologi mengkonstruksi subyek ini disebut Althusser sebagai interpelasi atau
pemanggilan (hailing). Karena prosesnya memang sama seperti ketika kita dipanggil
oleh seseorang di jalan, di mana terjadi pengenalan atau penyematan atas diri kita, sifat
sebagai subyek yang unik dan berbeda dari yang lainkita benar-benar tahu bahwa yang
dipanggil adalah diri kita, bukan orang lain. Adapun kapitalisme mengkonstruksi kita
sebagai subyek dalam proses reproduksinya, agar ketika kita memainkan peran kita dalam
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
10/16
reproduksi kapitalis, kita tidak merasa dipaksa dari luar, tapi merasakannya sebagai
sesuatu yang memang kita lakukan dengan suka rela.
Louis Althusser yang melihat bahwa, ideologi merepresentasikan relasi imajiner seorang
individu pada kondisi eksistensi riil mereka.Althusser melakukan revisi atas term
ideologi dari asosiasinya dengan false consciousness. Bagi Althusser, ideologi
bukanlah refleksi sederhana dari kondisi dunia, terlepas apakah palsu atau tidak. Ideologi
merupakan representasi penting melalui pengalaman kita dalam mempersepsi realitas.
Dengan term imajiner, Althusser tidak lagi menekankan pada palsu atau tidak, ia malah
menjelaskan psikoanalisis untuk menekankan bahwa ideologi merupakan serangkaiangagasan dan keyakinan, yang dipertajam melalui unconscious, dalam hubungannya
dengan kekuatan sosial lainnya.
Althusser menyatakan bahwa kita dibujuk oleh ideologi yang merekrut kita sebagai
author dan subjek esensial mereka. Ia menyebut fenomena ini sebagai interpellation,
yakni proses dimana kita dikonstruksi oleh ideologi yang berbicara pada kita setiap hari
melalui bahasa dan citra. Dalam term Althusser, kita bukanlah individu unik melainkan
subjek yang selalu siap diajak bicara oleh diskursus ideologi melalui interpelasi.
Konsep ideologi Althusser sangat berpengaruh, namun dapat pula dilihat sebagai tindakan
melemahkan. Jika kita didefinisikan sebagai subjek, melalui interpelasi, maka kita tidak
dapat berbuat banyak selain mengikuti ideologi yang ditawarkan melalui interpelasi
tersebut. Dengan kata lain, jika kita telah dikonstruksi sebagai subjek maka secara tidak
sadar potensi kita untuk melakukan perubahan akan diarahkan dan digiring pada
konstruksi yang dibangun oleh para produser.
Untuk memahami interpelasi, kita harus memahami konsep ideologi yang dimaksudkan
oleh Althusser. Dalam pandangan Althusser, semua ideologi mengkonstitusi subjek,
meskipun ia berbeda dalam ideologi tertentu. Lebih jauh, Althusser mengungkapkan dua
tesis mengenai ideologi.Pertama, Ideology represents the imaginary relationship of
individuals to their real conditions of existence. Tesis pertama ini menawarkan anggapan
familiar di kalangan pengikut Marxis bahwa ideologi memiliki fungsi untuk menutupi
susunan eksploitatif yang didasarkan pada kelas sosial.
Kedua, Ideology has a material existence. Tesis kedua ini memposisikan bahwa
ideologi tidak berada dalam bentuk ide atau representasi kesadaran dalam pikiran
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
11/16
seorang individu. Alih-alih, ideologi terdiri dari tindakan dan perilaku yang dikuasi oleh
penempatan mereka dalam material apparatuses.
Selain itu, Althusser juga mengakui peranan dari apa yang disebutnya
sebagai Repressive State Apparatus. Ketika individu dan kelompok menjadi ancaman
bagi penguasa dominan, negara akan melibatkan Repressive State Apparatus. Yang
dimaksudkan Althusser dengan Repressive State Apparatus adalah penguasa yang
melibatkan aparat militer yang melakukan tindakan-tindakan represif untuk mengekalkan
hegemoni kekuasaan.
Bagi Althusser, ideologi merupakan salah satu dari tiga unsur atau level primer dariformasi sosial. Jadi, ideologi relatif otonom dari level yang lain, misalnya ekonomi.
Dengan begitu, ideologi dalam sistem representasinya dipahami sebagai praktik yang
dijalani dan mentransformasikan dunia materi. Paling tidak, inti pandangan Althusser
tentang ideologi dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Ideologi memiliki fungsi umum untuk membentuk subjek Ideologi sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu Ideologi sebagai pemahaman yang keliru tentang kondisi nyata eksistensi adalah
palsu
Ideologi terlibat dalam reproduksi formasi-formasi sosial dan relasinya dengankekuasaan.
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
12/16
C. PEMBAHASAN
Dari sini, bisa dikatakan bahwa pendidikan tinggi sebenarnya bertujuan untuk
mereproduksi relasi produksi yang ada. Proses reproduksi ini dilakukan dengan cara
pemberian keahlian pada peserta didik (untuk memenuki kebutuhan akan tenaga buruh)
dan juga melalui penanaman norma, nilai dan cara pandang penguasa ke dalam diri
mahasiswa untuk mentransmisikan dan melestarikan ideologi kelas penguasa.Inilah yang
menjadi penyebab utama pragmatisme mahasiswa/ output dari pendidikan tinggi.
Jadi bisa dikatakan bahwa Undang-Undang negara yang mengatur tujuan
pendidikan tinggi di Indonesia hanya menjadi sebuah hegemoni yang berusahamenciptakan sebauh kesadaran palsu untuk menjamin terlaksananya reproduksi relasi
produksi. Undang-undang tersebut dianggap sebagai sebuah hegemoni karena pada
praktiknya, sistem pendidikan yang dibuat tidak sejalan dengan tujuan yang disebutkan
dalam konstitusi. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia jelas hanya berorientasi untuk
mencetak tenaga kerja yang dibutuhkan para kapitalis.
Dalam relasi negara dan warga negara pihak utama yang memiliki kepentingan
ideologis dan politis tersebut tentu adalah negara itu sendiri, termasuk pemerintah atau
rezim berkuasa. Inilah yang disebut oleh Louis Althusser dengan gagasannya mengenai
aparatus ideologis negara (ideological state apparatuses) dan aparatus represif negara
(repressive state apparatuses). Althusser menyatakan bahwa tugas dari sistem ekonomi
apapun adalah mereproduksi kondisi produksi. Termasuk di dalamnya adalah
memproduksi orang-orang yang akan dapat berpartisipasi dalam proses produksi. Di
sinilah, dalam konteks negara kapitalis modern, untuk melanggengkan kondisi produksi
kapitalis tersebut digunakanlah aparatus ideologis negara dan aparatus represif negara.
Aparatus ideologis negara antara lain adalah ikatan keluarga, partai politik, dan yang
terpenting adalah pendidikan, sedangkan aparatus represif negara antara lain adalah
Polisi, tentara, pengadilan, dan hukum. Perbedaan antara aparatus ideologis negara adalah
ia dilakukan dengan ideologis, sedangkan aparatus represif negara dilakukan dengan
kekerasan.
Di sinilah kebijakan negara merupakan bagian dari aparatus represif negara dan
pendidikan bagian dari aparatus ideologis negara. Keduanya, dalam negara kapitalis
modern merupakan alat atau apparatus negara dalam melanggengkan hegemoni politik,
ideologi dan ekonomi. Dalam hal ini terjadilah relasi saling menguntungkan antara negara
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
13/16
dan kaum borjuis kapitalis. Negara diuntungkan dengan dukungan modal dari kaum
kapitalis agar selalu dapat mempertahankanstatus quo mereka, sedangkan para kapitalis
diuntungkan dengan persetujuan dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang makin
memperlebar dominasi kapitalisme mereka. Namun, terlepas dari analisis Althusser
tersebut, dapat dikatakan bahwa negara memang pada dasarnya bersifat hegemonik, dan
penguasa negara selalu berupaya untuk tetap mempertahankan kekuasaannya selama
mungkin, karena posisi strategis dalam pemerintahan telah menjadikan oknum-oknum
dan golongan berkuasa mendapatkan keuntungan berlebih, terutama kekuasaan dan harta
kekayaan. Oleh karena itu, menjadi wajar jika mereka dengan beragam cara berupaya
untuk menguatkan rezim, membuat citra bagus rezim, berupaya mengontrol dan
mengendalikan warga negara agar tidak merongrong rezim berkuasa, agar turut
menguatkan fondasi kekuasaan rezim.
Dalam hal ini, kebijakan-kebijakan pemerintah merupakan aparatus represif
negara yang tepat, ditunjang oleh pendidikan sebagai aparatus ideologis negara. Bisa saja
terdapat kepentingan rezim berkuasa atau kaum borjuis kapitalis yang menyusup lewat
kebijakan-kebijakan tersebut. Oleh karena itu, kebijakan yang secara ideologis, filosofis,
dan konseptual dirasa tidak sesuai dengan visi ideologis kerakyatan, kebangsaan, dan
keindonesiaan mesti dikaji secara kritis. Apalagi ketika sudah terbukti bahwa kebijakan
tersebut, bahkan pada level inisiasinya saja telah menimbulkan pro-kontra di masyarakat
dan berbuah pada kerusakan sistematis, juga berakibat kesenjangan yang makin jauh
antara cita ideal dan realita.
Di sisi lain, UUD 1945, Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, "Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." Pasal 31, ayat 5 menyebutkan,
"Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-
nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.". hal ini tentunya sangat berlawanan dengan tujuan yang disebutkan
sebelumnya.
H.A.R. Tilaar menyatakan bahwa kebijakan pendidikan merupakan rumusan dari
berbagai cara untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam konteks Indonesia,
pencapaian kedua pesan konstitusi untuk pendidikan nasional, yakni pendidikan yang
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
14/16
mencerdaskan kehidupan bangsa dan pendidikan adalah hak seluruh rakyat, dijabarkan
dalam berbagai kebijakan pendidikan. Kebijakan-kebijakan pendidikan tersebut
direncanakan dapat diwujudkan atau dicapai melalui lembaga-lembaga sosial (social
institution) atau organisasi sosial dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan formal,
nonformal, dan informal. Namun ketika kenyataannya kebijakan-kebijakan pendidikan
tersebut banyak yang menyimpang dari visi yang terdapat dalam Pancasila dan UUD
1945, maka efeknya juga besar karena turut disebarkan melalui ranah pendidikan yang
memang begitu strategis sebagai aparatus ideologis negara. Kebijakan-kebijakan yang
kemudian mesti dilaksanakan oleh institusi sosial dan institusi pendidikan tersebut antara
lain adalah kebijakan dalam arah dan tujuan pendidikan nasional, yang kemudian
berimbas pada kebijakan kurikulum pendidikan nasional, standard penilaian hasil belajar,
kebijakan organisasi sekolah, profesionalisme guru, dan lainnya.
Berdasarkan konsep Althusser, lembaga pembuat kebijakan (dalam hal ini DPR)
merupakan bagian dari Repressive State Apparatus yang bertujuan untuk menjamin dan
melindungi terlaksananya tujuan dari pendidikan tinggi, yaitu untuk mereproduksi relasi
produksi. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Pemerintah melalui DPR berusaha
menciptakan Undang-Undang yang tentunya memihak kaum kapitalis borjuis dan
menjadi pelindung bagi perguruan tinggi untuk melancarkan hegemoninya.
Pemerintahlah yang merancang sistem pendidikan agar sejalan dengan ideologi
kelas penguasa. Berikut beberapa argumen yang mendukung pernyataan tersebut:
Mahasiswa didorong untuk berprestasi secara akademis agar mampubersaing di dunia kerja
Mahasiswa didorong untuk lulus tepat waktu dengan dalam sistemkurikulum yang cukup padat (dorongan ini semakin diperkuat dengan
mahalnya biaya pendidikan tinggi)
Materi dalam pendidikan tinggi dapat dikategorikan dalam dua jenis.Yang pertama adalah materi yang menanamkan keahlian yang spesifik
untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan yang kedua adalah materi
yang menanamkan nilai dan norma dari ideologi kelas penguasa untuk
mempertahankan relasi produksi yang ada
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
15/16
Faktor-faktor ini kemudian memunculkan anggapan bahwa pendidikan tinggi
hanyalah sarana mobilisasi sosial. Padahal sebenarnya hakekat pendidikan tinggi adalah
untuk menunjang peradaban dan kesejahteraan warga negara. yang dimaksud
kesejahteraan disini tentunya bukan hanya dalam konteks materi, namun juga berarti
bebas dari eksploitasi kaum borjuis kapitalis.
7/22/2019 Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia
16/16
DAFTAR PUSTAKA
Althusser, Louis. (1971).Lenin and Philosophy and Other Essays. Monthly Review
Press: New York
Althusser, Louis. (1969).For Marx. The Penguin Press