95
“ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP WALI NIKAH BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL ( Studi Kasus di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang)” Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S-1) Dalam Ilmu Syai'ah Oleh : Nama : FATACHUDIN LATIF NIM / Jurusan : 20101086 / Ahwal Al-Syahsiyah JURUSAN AHWALUS SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2008

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

  • Upload
    lyquynh

  • View
    228

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

“ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP WALI NIKAH

BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL

( Studi Kasus di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang)”

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S-1)

Dalam Ilmu Syai'ah

Oleh : Nama : FATACHUDIN LATIF

NIM / Jurusan : 20101086 / Ahwal Al-Syahsiyah

JURUSAN AHWALUS SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI'AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2008

Page 2: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

ABSTRAK

Penentuan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil adalah problem

tersendiri dari diperbolehkanya nikah hamil. Ketika wanita hamil karena zina ini

akhirnya menikah dengan laki-laki yang menghamilinya maka masalah berikutnya

adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak yang terlahir dari

perkawinan tersebut adalah seorang gadis. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik

antara aturan fiqh dan undang-undang. Polemik ini berawal dari penentuan status anak

yang terlahir dari pernikahan tersebut. Apakah anak ini dinasabkan kepada bapak

ibunya atau hanya kepada ibunya saja. Jika ia dinasabkan kepada bapaknya maka sang

bapak bisa menjadi wali nikah, namun jika tidak maka yang berhak menjadi wali nikah

adalah wali hakim.

Masalahnya adalah ditengah perbedaan antara fiqh dan UUP atau KHI dalam

menentukan status hukum anak akibat nikah hamil kedua orang tuanya, bagaimana

KUA menentukan siapa wali nikahnya jika anak tersebut adalah seorang gadis. Hal

inilah yang menjadi dilema bagi KUA, apakah memilih pendapat fiqh atau UUP/KHI

dalam menentukan wali nikah bagi anak gadis yang lahir akibat peristiwa nikah hamil

kedua orang tuanya.

Problematika diatas, akhirnya menarik penulis untuk melakukan penelitian

bagaimana KUA menetapkan wali nikah bagi anak gadis tersebut. Penelitian ini akan

penulis lakukan di salah satu Kantor Urusan Agama (KUA) di wilayah kota Semarang

yaitu KUA Kec. Semarang Tengah.

Secara umum fokus penelitian ini bertumpu pada praktek Kantor Urusan

Agama (KUA) dalam menentukan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil

kedua orang tuanya. Namun demikian, untuk membatasi ruang lingkup kajian, dari

Page 3: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

fokus utama tersebut dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :1. Bagaimana

KUA (Penghulu) Kec. Semarang Tengah Kota Semarang menentukan wali nikah bagi

anak perempuan hasil nikah hamil kedua orang tuanya ? 2. Apa dasar hukum KUA

(Penghulu) dalam menentukan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil kedua

orang tuanya ?

Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa dalam menyelesaikan kasus

seperti ini, ada dua model/cara yang dikembangkan oleh KUA (penghulu) kota

Semarang, yaitu: (1) Wali nikahnya adalah wali hakim; (2) Wali nikahnya adalah tetap

bapaknya (wali nasab). Menurut penghulu yang memilih aturan fiqh, perkawinan wanita

hamil itu sebenarnya menunjukkan bahwa pembuahan telah terjadi sebelum akad nikah

sebagai sebab kehamilan. Setelah itu terjadilah perkawinan antara wanita dengan pria

yang menghamilinya. Selang beberapa bulan, anak yang dikandung pun lahir. Dengan

kata lain anak itu lahir akibat dari hubungan kedua orang tuanya sebelum adanya akad

perkawinan yang sah. Jika demikian berarti anak tersebut lahir akibat dari perkawinan

yang tidak sah. Oleh karenanya walaupun kemudian orang tuanya menikah secara sah

dan anak tersebut lahir sesudah perkawinan tersebut statusnya tetap dianggap anak tidak

sah. Dengan demikian berarti intisabnya hanya kepada ibunya saja, sehingga suami

ibunya (bapaknya) tidak berhak menjadi wali nikah. Sedangkan bagi para penghulu

yang menggunakan dasar UUP dan KHI, mereka beralasan bahwa jika undang-undang

menganggap sah nikah hamil maka konsekwensinya anak yang dilahirkan pun juga

dianggap sah. Hal ini sesuai dengan UUP No.1/1974 pasal 42 dan KHI pasal 99 . Lebih

lanjut pasal 55 ayat (1) menegaskan bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat

dibuktikan dengan Akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang

berwenang. Disamping itu UUP dan KHI tidak mengatur batas usia kandungan dalam

Page 4: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

penentuan status anak. Oleh karenanya jika konsepsi anak sebagaimana diatur dalam

kitab-kitab fiqh menjadi ukuran dalam menentukan status nasab mestinya UUP dan KHI

memasukkan aturan tersebut dalam pasal-pasalnya, sehingga ada kejelasan hukum

status anak hasil nikah hamil.

Perbedaan pendapat para penghulu (KUA) kota Semarang adalah sebagai

konsekwensi dari ijtihad mereka. Untuk menyelesaikan masalah-masalah perkawinan

yang terjadi dimasyarakat maka dibutuhkan kemampuan para penghulu (KUA) untuk

membuat keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap tepat atau

sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana dan

dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan.

Dalam prespektif hukum Islam usaha untuk memecahkan/menemukan masalah hukum

itu di kenal dengan istilah ijtihad.

Page 5: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

KATA PENGANTAR

Penentuan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil adalah problem tersendiri dari diperbolehkanya nikah hamil. Ketika wanita hamil karena zina ini akhirnya menikah dengan laki-laki yang menghamilinya maka masalah berikutnya adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak yang terlahir dari perkawinan tersebut adalah seorang gadis. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik antara aturan fiqh dan undang-undang. Polemik ini berawal dari penentuan status anak yang terlahir dari pernikahan tersebut. Apakah anak ini dinasabkan kepada bapak ibunya atau hanya kepada ibunya saja. Jika ia dinasabkan kepada bapaknya maka sang bapak bisa menjadi wali nikah, namun jika tidak maka yang berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim.

Menurut UUP dan KHI, anak yang terlahir dari pernikahan hamil adalah anak sah karena lahir “dalam” perkawinan yang sah. Jadi secara implisit dapat dipahami, bahwa anak yang lahir dari atau dalam ikatan perkawinan yang sah, baik perkawinan itu darurat, tambelan, penutup malu, tanpa mempertimbangkan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran si bayi, maka status anaknya adalah sah. Ini membawa implikasi bahwa anak yang “hakikat” nya anak zina, secara formal dianggap sebagai anak sah, selama dapat dibuktikan dengan akte kelahiran dan alat bukti lainya, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Hal ini seperti dijelaskan pada pasal 103 KHI dan pasal 55 UUP. Jika anak tersebut dianggap sah maka ia akan mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya sehingga yang berhak menjadi wali nikah dari anak gadis tersebut adalah bapaknya (wali nasab).

Pandangan UUP dan KHI ini tentu saja berbeda dengan pandangan fiqh. Menurut fiqh jika anak gadis tersebut lahirnya kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatanya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja. Oleh karenanya wali nikahnya adalah wali hakim bukan bapaknya (wali nasab).

Masalahnya adalah ditengah perbedaan antara fiqh dan UUP atau KHI dalam menentukan status hukum anak akibat nikah hamil kedua orang tuanya, bagaimana KUA menentukan siapa wali nikahnya jika anak tersebut adalah seorang gadis. Hal inilah yang menjadi dilema bagi KUA, apakah memilih pendapat fiqh atau UUP/KHI dalam menentukan wali nikah bagi anak gadis yang lahir akibat peristiwa nikah hamil kedua orang tuanya.

Problematika diatas, akhirnya menarik penulis untuk melakukan penelitian bagaimana KUA menetapkan wali nikah bagi anak gadis tersebut. Akhirnya tidak lupa penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

Bapak Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. Bapak Drs. H. Mukhyidin, MA, selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo

Semarang Bapak Moh. Arifin, S.Ag, M.Hum, selaku pembimbing penulis dalam penulisan

skripsi ini yang telah memberikan arahan dan bimbingan untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah membalas jasa-jasa bapak.

Bapak Drs. H. Achmad Arief Budiman, M.Ag dan Ibu Antin Lathifah, M.Ag, selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Ahwal-al-Syakhsiyah Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang

Page 6: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

Bapak, Ibu Dosen dan seluruh karyawan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang

Para penghulu dan staff KUA kota Semarang atas kerjasamanya, yang telah membantu penulis dalam memberikan data dan wawancara untuk selesainya skripsi ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua penulis, Embahku tercinta dan ibuku tercinta, saudara-saudaraku mas Ruchman Bashori, fadhilah, mbak Tri Hidatyati dan adikku Taufiq Ismail

Terima kasih kepada Keluarga Besar mas Muchtasit yang sering memberikan tumpangan untuk berteduh dikala hujan dan panas, mas Imron Jauhari yang membuat aku marah (emosi) sehingga aku jadi semangat menyelesaikan skripsi ini.

Tidak lupa terima kasih kepada sahabat-sahabat pergerakan (PMII) dan teman-teman kampung yang tergabung dalam REMUNA. Dan tiada pernah terlupakan ucapan terima kasih kepada teman-teman yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.

Page 7: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

Moh. Arifin, S.Ag, M.Hum Perum Griya Lestari B. 3/12 Ngaliyan Semarang Phone (024) 8663784 – 081325669491

Nota Pembimbing Semarang, 16 Januari 2008 Lamp : 5 (lima) lembar Kepada Yth. Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syari’ah a.n. Fatachudin Latif di Semarang

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama

ini kami kirimkan naskah skripsi saudara:

Nama : FATACHUDIN LATIF

NIM / Jurusan : 20101086 / Ahwal Al-Syahsiyah

Judul :

“ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP WALI NIKAH

BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL

( Studi Kasus di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang)”

Dengan ini saya mohon agar kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera

dimunaqasahkan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Pembimbing

Moh. Arifin, S.Ag, M.Hum NIP. 15027116

Page 8: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

PERSEMBAHAN

Skripsi ini aku persembahkan buat:

Embahku tercinta

Ibuku tercinta

Mas Ruchman Basahori

Mbak Tri Hidayati

Fadhilah & Taufik Ismail

Shahabat Pergerakan & Teman-teman REMUNA

Page 9: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

MOTTO

Memilih satu pendapat dari madzhab-madzhab hukum

yang ada kemudian mentarjihnya adalah sudah merupakan

ijtihad walaupun itu kecil (Qodri. A. Azizi: 2003:17)

Page 10: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

DEKLARASI

Dengan Penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa

Skripsi yang berjudul: “ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP WALI NIKAH

BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL (Studi Kasus di KUA Kec.

Semarang Tengah Kota Semarang)”.

tidak berisi materi yang telah pernah ditulis orang lain atau pernah diterbitkan , kecuali

informasi ilmiah yang dijadikan refrensi.

Semarang, 16 Januari 2008

Fatachudin Latif

Page 11: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

PENGESAHAN Skripsi Saudara : FATACHUDIN LATIF NIM : 2101 086 Jurusan : Ahwal al-Syahsiyyah Judul :

“ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP WALI NIKAH

BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL

(Studi Kasus di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang)”

Telah dimunaqasyahkan pada Dewan Penguji Fakultas Syari'ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup, pada tanggal:

29 Januari 2008

Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) tahun akademik 2007/2008.

Semarang, Februari 2008 Ketua Sidang, Sekretaris Sidang, Drs. H. Muhyiddin, M.Ag. Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum. NIP. 150 263 040 NIP. 150 279 720 Penguji I, Penguji II, Drs. H. Nur Khoirin Yd, M. Ag. Drs. Maksun, M.Ag. NIP. 150 254 254 NIP. 150 263 040 Pembimbing I, Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum. NIP. 150 279 720

DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

WALISONGO FAKULTAS SYARI'AH

Jl. Prof. Dr. Hamka Km. 02 Telp. (024) 7601291 Semarang 50185

Page 12: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

TRANSLITERASI

,d ض , ا

,t ط b ب

,z ظ t ت

‘ ع th ث

gh غ j ج

f ف ,h ح

q ق kh خ

k ك d د

l ل dh ذ

m م r ر

n ن z ز

w و s س

h ه sh ش

y ي ,s ص

Untuk Mad dan Diftong

ā ا........

..... ā

_...... ī

......... ū

ī ي

Aw ؤ

h ة

Page 13: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i

NOTA PEMBIMBING ……………………………………………………… ii

PENGESAHAN ……………………………………………………………… iii

HALAMAN ABSTRAKSI ………………………………………………….. iv

KATA PENGANTAR ...…………………………………………………….. vii

MOTTO……………………………………………………………………… ix

DAFTAR ISI ..………………………………………………………………. x

PEDOMAN TRANSLITERASI .…………………………………………… xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………………………………… 1

B. Rumusan Masalah ………………………………………. 12

C. Tujuan Penelitian ……………………………………….. 13

D. Telaah Pustaka ………………………………………….. 13

E. Metode Penelitian ………………………………………. 16

F. Sistematika Penulisan …………………………………… 18

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG WALI NIKAH DAN NIKAH HAMIL

A. Wali nikah dalam perkawinan .......................................... 20

1. Pengertian Wali Nikah ................................................ 21

2. Dasar Hukum Wali Nikah .......................................... 21

3. Syarat dan Macam Wali Nikah .................................. 29

B. Nikah hamil ...................................................................... 35

1. Pengertian Nikah Hamil .............................................. 35

2. Pandangan Ulama’ Terhadap Nikah Hamil ................ 35

3. Nikah Hamil Dalam Perspektif KHI............................ 41

Page 14: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

BAB III PENENTUAN WALI NIKAH BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL DI KUA KEC. SEMARANG TENGAH KOTA SEMARANG A. Peristiwa Nikah Hamil di Kec. Semarang Tengah

Kota Semarang ........................................................................ 43

1. Peristiwa Nikah dan Profile Penghulu Kota Semarang 43

2. Peristiwa Nikah Hamil di Kec, Semarang Tengah

Kota Semarang .................................................................. 48

B. Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Nikah Hamil Di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang ................. 53

BAB IV ANALISIS PENENTUAN WALI NIKAH

BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL DI KUA KEC. SEMARANG TENGAH KOTA SEMARANG

A. Analisis Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Nikah Hamil di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang ..................................................................... 60

B. Analisis Metode Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan

Hasil Nikah Hamil di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang .................................................................... 67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................. 74

B. Saran-saran ............................................................................. 75

C. Penutup .................................................................................. 76

Page 15: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi

calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Walaupun menurut imam

Hanafi perkawinan tanpa wali adalah boleh1, namun mayoritas ulama’ (jumhur) tetap

menjadikan wali nikah sebagai syarat sahnya perkawinan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), wali nikah diatur pada pasal 19,20,

21,22,dan 23. Pasal 19 menjelaskan:

“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. Sedangkan Undang-undang Perkawinan tidak mengatur tentang wali nikah

secara eksplisit. Hanya dalam pasal 26 ayat (1) dinyatakan:

“Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalanya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami isteri, jaksa, dan suami atau isteri”.

Secara implisit bunyi pasal 26 ayat (1) di atas mengisyaratkan dengan jelas bahwa

perkawinan yang tidak diikuti wali, maka perkawinanya batal atau dapat dibatalkan.

1 Dalam kitab al-Mabsuth ditulis, menurut Abu Hanifah, perkawinan tanpa wali (menikahkan diri

sendiri), atau meminta orang lain di luar wali nasab untuk menikahkan gadis atau janda, sekufu atau tidak, adalah boleh. Hanya saja, kalau tidak sekufu, wali berhak membatalkanya. Sementara menurut Muhammad bin al-Hasan as-Saibani, murid dekat Abu Hanifah, status perkawinanya boleh kalau sekufu dan tidak boleh kalau tidak sekufu. Sedang menurut Abu Yusuf, murid dekat lain, pada awalnya berpendapat tidak boleh secara mutlak kalau masih mempunyai wali, kemudian berkembang, boleh kalau sekufu. Kemudian berkembang lagi, boleh secara mutlak, sekufu atau tidak. Syams al-Din al-Sarakhsi, al-Mabsuth, Beirut, Dar al-Ma’rufah, juz V,1989,hlm. 10.

Page 16: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

2

Selanjutnya, wali nikah dibedakan menjadi dua macam: Pertama, wali nasab

yaitu wali yang hak perwalianya didasarkan karena adanya hubungan darah. Kedua,

wali hakim, yaitu wali yang hak perwalianya timbul, karena orang tua mempelai

perempuan menolak (‘adal), atau tidak ada, atau karena sebab lain. Dalam hal ini KHI

merincinya dalam pasal 21, 22 dan 23.

Secarah keseluruhan urutan wali nasab adalah sebagai berikut:

1. Ayah kandung

2. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya keatas dalam garis laki-laki

3. Saudara laki-laki sekandung

4. Saudara laki-laki seayah

5. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah

7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah

9. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman)

10. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah)

11. Anak laki-laki paman sekandung

12. Anak laki-laki paman seayah

13. Saudara laki-laki kakek sekandung

14. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung

15. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah 2

Apabila wali-wali tersebut tidak ada, maka hak perwalian pindah kepada

Kepala Negara (Sultan) yang biasa disebut dengan wali hakim. Hal ini sebagaimana

ditegaskan dalam pasal 23 KHI:

2 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali press, 1998, hlm. 87

Page 17: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

3

1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan

2. Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.3

Dalam penentuan wali nasab maka hal yang terpenting adalah menentukan

asal-usul anak. Penetapan asal usul anak dalam prespektif hukum Islam memiliki arti

yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram

(nasab) antara anak dan ayahnya. Dalam prespektif hukum perkawinan, penetapan ini

juga membawa beberapa konsekwensi hukum, seperti wali nikah dan siapa yang boleh

dan tidak boleh dinikahi.

Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya

jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan

yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, atau biasa disebut dengan anak zina

atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki nasab dengan ibunya.

Kendatipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki

dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain.

Dalam prespektif fiqh, asal-usul seorang anak (nasab) dapat diketahui dari

salah satu diantara tiga sebab, yaitu: (1) dengan cara al-firasy, yaitu berdasarkan

kelahiran karena adanya perkawinan yang sah; (2) dengan cara iqrar, yaitu pengakuan

yang dilakukan seseorang terhadap seorang anak dengan menyatakan bahwa anak

tersebut adalah anaknya; (3) dengan cara bayyinah, yakni dengan cara pembuktian

dengan berdasarkan bukti-bukti yang sah.

3 Departemen RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Direktorat Jendral Bimas Islam dan

Penyelenggaraan Haji, 2004, hlm. 136.

Page 18: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

4

Ada empat syarat supaya nasab anak itu dianggap sah, yaitu: (1) kehamilan

bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hamil.

Namun, Imam Hanafi tidak mensyaratkan seperti itu, menurutnya meskipun suami isteri

tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang isteri yang dikawini

secara sah, maka anak tersebut adalah anak sah; (2) tenggang waktu kelahiran dengan

pelaksanaan perkawinan sedikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan;

(3) anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan;

(4) suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang laki-laki

ragu tentang batas minimal tidak terpenuhi dalam masalah kehamilan atau batas

maksimal kehamilan terlampui, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak

yang dikandung oleh isterinya dengan cara li’an.4

Berkenaan dengan batas minimal masa kehamilan, jumhur ulama’ telah

menetapkanya selama enam bulan. Dasarnya adalah firman Allah surah al-Ahqaf:15

ه آرها ووضعته آرهاووصينا الإنسان بوالديه إحسانا حملته أم

..... ثلاثون شهرا وحمله وفصالهArtinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”

Selanjutnya di dalam surah Luqman:14, Allah SWT berfirman:

على وهن وفصاله في عامين أن ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا

اشكر لي ولوالديك إلي المصير

4 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2006,

hlm.79

Page 19: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

5

Artinya: “Dan kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu”

Dalam surah al-Ahqaf:15 dijelaskan secara kumulatif, jumlah mengandung

dan menyapih yaitu tiga puluh (30) bulan. Sedangkan dalam surah Luqman dijelaskan

batas maksimal menyapih adalah dua tahun (24) bulan. Jadi masa hamil yang paling

sedikit adalah 30 bulan dikurangi 24 bulan sama dengan enam (6) bulan.5

Menurut Ahmad Rofiq, informasi ini diberikan oleh Ibn Abbas dan disepakati

oleh para ulama’ yang diperoleh dengan menangkap dalil isyarah al-Qur’an.6 Bahkan

Wahbah al-Zuhaili menyebutnya sebagai satu bentuk pengambilan hukum yang shahih.

Pandangan fiqh berkenaan dengan anak sah ini daptlah dipahami bahwa anak

dimulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang

terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi ini haruslah terjadi didalam

perkawinan yang sah. Dari sinilah penetapan anak sah tersebut dilakukan.

Dengan demikian fiqh menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat

dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-

kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau didalam tenggang ‘iddah selama empat

bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus. Oleh karenanya, apabila bayi lahir

kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat

5 Lihat lebih lanjut, Fathurrahman Djamil, “Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya”,

Problematika Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz AZ, Jakarta, Firdaus,1999, hlm.104

6 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali press, 1998, hlm. 224.

Page 20: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

6

dihubungkan kekerabatanya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang

sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja.7

Dalam UUP No.1/1974, masalah anak sah diantaranya diatur pada pasal 42,43

dan 44. Sebagaimana tercantum di bawah ini:

Pasal 42

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” Masalah penetapan status anak/asal-usul anak ini juga dibahas oleh KHI

seperti dijelaskan pada pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 99:

Anak sah adalah:

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan

oleh isteri tersebut Pasal 100:

“Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya” Jika dicermati materi KHI tentang status anak, terlihat adanya persamaan

dengan UUP dalam merumuskan definisi anak yang sah. Memperhatikakan pasal-pasal

diatas, didalamnya memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan

yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas

minimal usia kandungan sebagaimana dijelaskan oleh fiqh. Jadi selama bayi yang

dikandung tadi lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak

tersebut adalah anak sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia

kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasanya.

7 Al-Syairazi, al-Muhazzab, Beirut, Dar al-Fikr, ttp, Juz II, hlm. 130

Page 21: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

7

Pasal 42 UUP dan 99 KHI mengesankan yang menjadi ukuran sah atau

tidaknya seorang anak dilihat pada waktu lahirnya tanpa memperhitungkan kapan

konsepsi terjadi. Pengertian dimana anak sah adalah anak yang lahir “dalam”

perkawinan yang sah ini nampaknya sangat kontroversial. Jelas sekali pengertian ini

tidak menghiraukan terjadinya konsepsi si anak didalam rahim, sebagaimana yang ada

dalam fiqh.

Masalahnya adalah bagaimana dengan anak yang dilahirkan dari pernikahan

hamil kedua orang tuanya. Perkawinan wanita hamil itu sebenarnya menunjukkan

bahwa pembuahan telah terjadi sebelum akad nikah sebagai sebab kehamilan. Setelah

itu terjadilah perkawinan antara wanita dengan pria yang menghamilinya. Selang

beberapa bulan, anak yang dikandung pun lahir.

Dalam prespektif fiqh, masalah nikah hamil/mengawini perempuan hamil

termasuk masalah khilafiyah; ada ulama’ yang membolehkan dan ada pula di antara

ulama’ yang tidak membolehkan. Masing-masing melihat dari titik pandang tertentu dan

alasan-alasan tertentu.

Dari adanya perbedaan pendapat dalam masalah tersebut maka pendapat yang

berkembang sekitar status hukum mengawini perempuan hamil karena zina,

sebagaimana dikutip dari Amir Syarifuddin adalah sebagai berikut:8

1. Abu Hanifah dan muridnya Muhammad berpendapat bahwa mengawini perempuan

hamil karena zina hukumnya adalah boleh; namun si suami tidak boleh menggauli

isterinya itu sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya. Dasar kebolehanya

adalah karena tidak ada dalil yang menyatakan haramnya, dasar tidak bolehnya

8 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di

Indonesia, Jakarta, Ciputat Press, 2002, hlm. 196-197.

Page 22: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

8

menggauli perempuan tersebut waktu hamil adalah supaya tidak menumpah air

sperma di tanaman (rahim) orang lain berdasarkan hadis nabi. Pendapat ini dapat

dijumpai dalam kitab Syarah Fath al-Qadir jilid III;241-242.

2. Abu Yusuf dari murid dan pengikut Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh

menikahi perempuan hamil karena zina dan perkawinan yang dilakukan adalah

fasid. Pengarang Syarah Fath al-Qadir mengutip Fatawa Thahiriyah mengatakan

bahwa beda pendapat dikalangan sesama Hanafiyah itu adalah bila yang mengawini

perempuan hamil karena zina adalah orang lain dan bukan laki-laki yang

menyebabkan hamil; sedangkan bila yang mengawini perempuan itu adalah laki-laki

yang menghamilinya, maka kelompok ulama’ ini sepakat menetapkan hukumnya

boleh.

3. Imam Malik sebagaimana terdapat dalam kitab Mazahib al-Arba’ah berpendapat

tidak boleh mengawini perempuan hamil karena zina dan nikah seperti itu adalah

batal. Alasanya ialah bahwa perempuan tersebut harus menjalani masa iddah, namun

tidak dengan melahirkan tetapi dengan tiga kali suci sesudah melahirkan; karena

iddah melahirkan itu adalah bila yang dilahirkan dinasabkan kepada ayahnya

sedangkan anak zina tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkannya

hamil.

4. Imam Syafi’i seperti yang dinukil dalam kitab Mughni al-muhtaj berpendapat bahwa

menikahi perempuan hamil karena zina hukumnya boleh dan boleh pula

menyetubuhinya pada masa hamil itu. Alasanya ialah perbuatan zina itu tidak

menimbulkan hukum haram terhadap yang lain. Kehamilan yang tidak diketahui

nasabnya itu ditangguhkan kepada perbuatan zina yang mendahuluinya. Adanya

Page 23: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

9

kewajiban iddah atas perempuan hamil dengan melahirkan, bila anak yang lahir

dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkannya lahir. Anak yang

dikandung karena zina tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyetubuhi

ibunya; oleh karena itu tidak berlaku iddah atas perempuan hamil tersebut. Dengan

demikian perempuan hamil karena zina boleh dikawini.

5. Ahmad ibn Hanbal sebagaimana terdapat dalam kitab al-Mughni berpendapat bahwa

perempuan yang hamil karena zina harus menjalani masa iddah yaitu melahirkan

anak; oleh karena itu tidak boleh dinikahi sebelum anaknya lahir. Alasan yang

dikemukakan oleh Ahmad dan pengikutnya adalah larangan Nabi “menumpahkan

air ditanaman orang lain” dan “larangan menyetubuhi perempuan hamil sampai ia

melahirkan anaknya”.

Dari pandangan para ulama’ tentang status hukum nikah hamil diatas, dapat

diambil kesimpulan seperti dibawah ini:

a. Wanita hamil karena zina boleh dinikahi oleh laki-laki yang menghamili maupun

yang tidak menghamili tanpa harus menunggu kelahiran anak yang dikandung.

b. Boleh dinikahi namun hanya husus oleh laki-laki yang menghamilinya tanpa harus

menunggu kelahiran anaknya.

c. Boleh dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya namun dilarang

berhubungan badan sampai kelahiran anaknya.

d. Tidak boleh dinikahi oleh laki-laki siapapun baik yang mengahamili maupun yang

tidak, sampai menunggu kelahiran anaknya.

e. Tidak boleh dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menghamilinya sampai anaknya

lahir.

Page 24: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

10

Dalam kasus nikah hamil seperti diatas, jika yang menikahi wanita hamil

karena zina adalah laki-laki yang menghamilinya, KHI membolehkan untuk

menikahinya seperti dijelaskan pada pasal 53:

1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang

menghamilinya

2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan

tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan

perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Berdasarkan penjelasan diatas maka menurut UUP dan KHI, anak yang

terlahir dari pernikahan hamil adalah anak sah karena lahir “dalam” perkawinan yang

sah. Jadi secara implisit dapat dipahami, bahwa anak yang lahir dari atau dalam ikatan

perkawinan yang sah, baik perkawinan itu darurat, tambelan, penutup malu, tanpa

mempertimbangkan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran si bayi, maka

status anaknya adalah sah. Ini membawa implikasi bahwa anak yang “hakikat” nya anak

zina, secara formal dianggap sebagai anak sah, selama dapat dibuktikan dengan akte

kelahiran dan alat bukti lainya, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Hal ini

seperti dijelaskan pada pasal 103 KHI dan pasal 55 UUP. Jika anak tersebut dianggap

sah maka ia akan mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya sehingga yang berhak

menjadi wali nikah dari anak gadis tersebut adalah bapaknya (wali nasab).

Pandangan UUP dan KHI ini tentu saja berbeda dengan pandangan fiqh.

Menurut fiqh jika anak gadis tersebut lahirnya kurang dari enam bulan sejak masa

perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatanya dengan

Page 25: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

11

bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan

nasab dengan ibunya saja. Oleh karenanya wali nikahnya adalah wali hakim bukan

bapaknya (wali nasab).

Karena wali nikah adalah hal yang sangat penting untuk menentukan sah

tidaknya sebuah perkawinan maka menurut penulis penentuan siapa yang harus menjadi

wali nikah pada gadis yang terlahir dari pernikahan hamil kedua orang tuanya adalah hal

yang sangat penting.

Di Indonesia instatnsi yang mengurusi perkawinan bagi umat Islam adalah

Kantor Urusan Agama (KUA). Pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam

perkawinan yang dilakukan oleh KUA dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah (PPN),

menyebabkan perkawinan itu bisa dilaksanakan atau tidak. Kantor Urusan Agama

(KUA) bisa menggagalkan perkawinan dan menolak untuk mencatatnya manakala hasil

pemeriksaanya terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perkawinan ditemukan hal-hal

yang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum perkawinan.

Salah satu pemeriksaan yang dilakukan oleh KUA adalah mengenai status wali

dalam hal ini adalah siapa yang berhak menjadi wali nikah gadis yang akan

melangsungkan perkawinan. Hasil pemeriksaan ini nantinya akan digunakan untuk

menetapkan siapa wali nikahnya.

Masalahnya adalah ditengah perbedaan antara fiqh dan UUP atau KHI dalam

menentukan status hukum anak akibat nikah hamil kedua orang tuanya, bagaimana

KUA menentukan siapa wali nikahnya jika anak tersebut adalah seorang gadis. Hal

inilah yang menjadi dilema bagi KUA, apakah memilih pendapat fiqh atau UUP/KHI

Page 26: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

12

dalam menentukan wali nikah bagi anak gadis yang lahir akibat peristiwa nikah hamil

kedua orang tuanya.

Problematika diatas, akhirnya menarik penulis untuk melakukan penelitian

bagaimana KUA menetapkan wali nikah bagi anak gadis tersebut. Penelitian ini akan

penulis lakukan di salah satu Kantor Urusan Agama (KUA) di wilayah kota Semarang

yaitu KUA Kec. Semarang Tengah. Selanjutnya penelitian ini penulis tuangkan dalam

bentuk skripsi dengan judul “ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP WALI

NIKAH BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL ( Studi Kasus di

KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang)”.

B. Rumusan Masalah

Secara umum fokus penelitian ini bertumpu pada praktek Kantor Urusan

Agama (KUA) dalam menentukan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil

kedua orang tuanya. Namun demikian, untuk membatasi ruang lingkup kajian, dari

fokus utama tersebut dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana KUA (Penghulu) Kec. Semarang Tengah Kota Semarang menentukan

wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil kedua orang tuanya ?

2. Apa dasar hukum KUA (Penghulu) dalam menentukan wali nikah bagi anak

perempuan hasil nikah hamil kedua orang tuanya ?

C. Tujuan Penelitaian

Selain sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Fakultas Syari’ah,

tujuan lain yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain:

1. Untuk mengetahui wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil yang

dicatatkan di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang.

Page 27: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

13

2. Untuk mengetahui pendapat dan cara KUA (Pegawai Pencatat Nikah/PPN) Kec.

Semarang Tengah Kota Semarang dalam menentukan /menetapkan wali nikah bagi

anak perempuan hasil nikah hamil kedua orang tuanya.

D. Telaah Pustaka

Kajian tentang sekitar problematika nikah hamil dan wali mungkin sudah

banyak dilakukan, baik itu berbentuk buku atau penelitian berbentuk skripsi, tesis

maupun desertasi. Salah satunya adalah penelitian Muhdi yang berjudul; Fenomena

Nikah Hamil, Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2003 penelitian ini

menjelaskan tentang merebaknya nikah hamil di kecamatan Andong kabupaten Boyolali

pada tahun 2001-2002 yang merupakan hal biasa bagi masyarakat sana. Nikah hamil

adalah merupakan salah satu problem hukum perkawinanan, para ulama’ berbeda

pendapat tentang apakah wanita yang hamil di luar perkawinaan itu diperbolehkan

menikah atau tidak?. Sebagian Ulama’ memperbolehkan menikah dengan orang yang

menghamilinya, namun sebagian yang lain tidak memperbolehkan. Kompilasi Hukum

Islam ( KHI ) pasal 53 mengatur bahwa seorang wanita yang hamil di luar nikah, dapat

dikawinkan dengan pria yang menghamilinya tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran

anaknya. Namum masalahnya tidak berhenti sampai disitu pertanyaan lebih lanjut

adalah bagaimana dengan status hukum anaknya dan bagaimana jika ternyata yang

mengawini adalah bukan laki-laki yang menghamilinya, karena tenyata dilapangan hal

ini banyak terjadi. Dalam hal ini KHI ternyata belum memberikan jalan keluarnya.

Penelitian Muhdi tidak menjelaskan bagaimana pendapat dan penyelesain (ijtihad)

KUA kecamatan Andong terhadap masalah tersebut, ia hanya menjelaskan data-data

nikah hamil dan latarbelakang sosial apa yang melatarbelakanginya.

Page 28: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

14

Berbeda dengan penelitian Muhdi, Siti Roichanah Roichanah melakukan

penelitian dengan judul: Problematika Penerapan Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam

Dalam Presepsi Kepala KUA Se-Kabupaten Temanggung, Pasca Sarjana IAIN

Walisongo Semarang, 2006. Penelitian ini lebih memfokuskan pada presepsi para

kepala KUA di kab. Temanggung mengenai penerapan pasal 53 KHI tentang nikah

hamil. Dari penelitian ini terungkap bahwa hampir 70 % kepala KUA kab. Temanggung

menggunakan aturan pasal 53 KHI untuk menyelesaikan kasus nikah hamil, 10 %

menolak nikah hamil (tidak mengikuti KHI) dan 20 % lainya dengan terpaksa menerima

nikah hamil dengan terlebih dahulu melakukan penyelidikan yang berkaitan dengan

kondisi wanita hamil tersebut. Jika ternyata wanita hamil tersebut berakhlak tidak baik

atau tuna susila maka beberapa kepala KUA tidak bersedia menikahkan. Namun, jika

wanita baik-baik dan kehamilanya terjadi karena adanya hubungan keterpaksaan maka

pernikahanya akan dilaksanakan selama tidak ada larangan hukum yang menghalangi.

Menurut penulis, penelitian Roichanah hanya sampai pada hukum nikah hamil tetapi

tidak sampai pada konsekwensi hukum yang ditimbulkan dari peristiwa nikah hamil.

Penelitian lain seputar problematika nikah hamil adalah tulisan Rosyidah

dengan judul: Studi Komparatif Tentang Perkawinan Seorang dengan Anak Perempuan

Hasil Perzinaan Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, Fakultas Syari’ah IAIN

Walisongo Semarang, 2000. Dalam penelitianya Rosyidah mengkaji tentang perbedaan

pendapat antara imam Syafi’i dan imam Hanafi tentang mengawini anak hasil zina.

Menurut imam Syafi’i seorang laki-laki diperbolehkan menikahi anak perempuan dari

hasil perzinaannya dengan wanita lain (ibu si anak). Dengan kata lain anak perempuan

hasil perzinaan boleh dinikahi oleh bapak biologisnya. Imam Syafi’i seperti yang

Page 29: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

15

dinukil dalam kitab Mughni al-muhtaj berpendapat bahwa menikahi perempuan hamil

karena zina hukumnya boleh dan boleh pula menyetubuhinya pada masa hamil itu.

Alasanya ialah perbuatan zina itu tidak menimbulkan hukum haram terhadap yang lain.

Kehamilan yang tidak diketahui nasabnya itu ditangguhkan kepada perbuatan zina yang

mendahuluinya. Adanya kewajiban iddah atas perempuan hamil dengan melahirkan,

bila anak yang lahir dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkannya lahir.

Anak yang dikandung karena zina tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang

menyetubuhi ibunya; oleh karena itu tidak berlaku iddah atas perempuan hamil tersebut.

Dengan demikian perempuan hamil karena zina boleh dikawini.

Penelitian Tazkiyatun Nafisah dengan judul: Analisis hukum Islam Terhadap

Pengulangan Pernikahan Wanita Hamil (Studi Kasus di Kec. Kangkung kab. Kendal),

Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2002. Seperti telah dijelaskan pada awal

tulisan ini bahwa para ulama’ berbeda pendapat tentang status nikah hamil. Walaupun

KHI membolehkan untuk menikahinya seperti dijelaskan pada pasal 53 bahwa seorang

wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya,

Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa

menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya, Dengan dilangsungkannya perkawinan pada

saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung

lahir. Namun dalam praktiknya sebagian masyarakat ada yang masih belum menerima

aturan diatas. Oleh karenanya setelah si perempuan yang hamil dinikahi oleh laki-laki

yang menghamilinya maka setelah melahirkan harus dinikahkan kembali (nikah ulang)

Dari hasil telaah pustaka yang bisa penulis lakukan belum ada satu penelitian

yang lebih sepisifik membahas bagaimana Kantor Urusan Agama menetapkan wali

Page 30: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

16

nikah bagi anak perempuan yang lahir akibat nikah hamil kedua orang tuanya. Hal

inilah yang membedakan penelitian penulis dengan penelitian-penelitian lain yang telah

penulis sebutkan.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Secara metodologis penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian lapangan

(field research). Oleh karena itu data penelitian ini berdasar pada bahan lapangan yang

ada kaitanya dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu: 1. Siapakah wali nikah bagi

anak perempuan hasil nikah hamil yang dicatatkan di KUA Kec. Semarang Tengah

Kota Semarang; 2. Bagaimana metode/cara Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau

Penghulu KUA kec. Semarang Tengah kota Semarang menentukan wali nikah bagi

anak perempuan hasil nikah hamil kedua orang tuanya. Namun untuk menunjang

penelitian ini , penulis lengkapi juga dengan kajian pustaka (library research).

Penelitian ini juga termasuk dalam jenis penelitian kualitatif. Aplikasi dari

metode kualitatif ini dilakukan pada penelitian ilmu-ilmu sosial dengan langkah-

langkah yaitu merumuskan masalah, mengumpulkan data lapangan, menganalisis data,

merumuskan hasil studi, dan menyusun rekomendasi untuk perbaikan kinerja dalam

bidang ini.9 Oleh karenanya metode kualitatif disini bisa dianggap sebagai prosedur

penelitian yang nantinya bisa menghasilkan data-data diskriptif berupa rangkaian tulisan

dari beberapa orang dan perilaku yang diamati selama mengadakan observasi

dilapangan10.

9 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung : C.V. Pustaka Setia, 2002, hlm 51 10 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1991,

hlm. 3

Page 31: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

17

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Data kepustakaan (library), yaitu berupa buku, kitab dan tulisan-tulisan lain yang

membahas tentang wali nikah dan nikah hamil.

b. Data lapangan, yaitu data yang penulis dapatkan dari penelitian di lapangan yang

berupa arsip-arsip, hasil wawancara dengan para pegawai pencatat nikah (PPN) di

KUA kec. Semarang Tengah kota Semarang tentang wali nikah bagi anak

perempuan hasil nikah hamil.

3. Metode Pengumpulan data

Penelitian ini penulis lakukan di salah satu Kantor Urusan Agama di wilayah

kota Semarang yaitu KUA Kec. Semarang Tengah. Dalam penelitian ini metode

pengumpulan data dilaksanakan melalui:

a. Wawancara, Tujuan diadakannya wawancara adalah untuk mendapatkan informasi

tentang subyek studi yang seringkali tidak ditemukan secara tertulis dalam literatur

atau sekalipun ada, tidak dilaporkan secara lengkap. Sehingga diperlukan sandaran

informasi berupa pendapat, pengalaman, serta pengetahuan dari individu-individu

yang secara langsung bersentuhan dengan subyek penelitian. Dalam kaitannya

dengan observasi, tujuan wawancara adalah:

1. Mendapatkan informasi yang tidak ditemukan dalam observasi.

2. Mendapatkan garis penghubung (korelasi) antara fakta-fakta guna menyatukan

persepsi hasil data wawancara dengan observasi dilapangan

Adapun pihak-pihak yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah kepala KUA

dan penghulu KUA Kec. Semarang Tengah yang penulis jadikan sampel penelitian ini.

Page 32: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

18

Disamping itu untuk mendapatkan hasil yang maksimal wawancara juga dilakukan

kepada para penghulu lainya yang bertugas di kota Semarang sebagai pembanding.

b. Dokumentasi, dalam hal ini penulis meneliti arsip-arsip berkas nikah dan register

nikah yang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) kec. Semarang Tengah kota

Semarang yang berhubungan dengan nikah hamil dan penentuan wali nikah bagi

anak gadis yang lahir dari peristiwa nikah hamil.

4. Metode Analisis Data.

Metode yang digunakan dalam menganalisa data yang diperoleh adalah

diskriptif, yaitu penelitian yang tujuanya untuk menerangkan apa adanya atau apa yang

telah terjadi sekarang. Hal ini di maksudkan untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi

mengenai suatu fenomena. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan

hubungan variabel yang ada dan tidak melakukan pengujian hipotesis, bahkan dalam

pengolahan atau analisa data menggunakan analisa yang bersifat diskriptif.11

F. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yaitu:

Bab I, merupakan bab pendahuluan, yang terdiri dari latarbelakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian, telaah pustaka, metode penelitian

dan sistematika penulisan

Bab II, bab ini membahas tentang gambaran umum wali nikah dan nikah

hamil sebagai landasan teori. Adapun pembahasanya meliputi: dasar hukum keberadaan

wali dalam perkawinan, macam-macam pembagian wali nikah. Sedangkan pembahasan

11 Sanapiah Faisal, Forma-format Penelitian Sosial, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. IV,

1999, hlm. 20

Page 33: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

19

nikah hamil meliputi: pandangan ulama’ tentang nikah hamil dan pandangan KHI

tentang nikah hamil.

Bab III, dalam bab ini penulis akan memaparkan hasil penelitian tentang

Penentuan KUA kec. Semarang Tengah kota Semarang atas wali nikah bagi anak

perempuan hasil nikah hamil. Yang meliputi pembahasan tentang peristiwa nikah hamil

di kota Semarang secara umum dan hususnya di KUA kec. Semarang Tengah, peristiwa

nikah dan profile penghulu (KUA), Penentuan KUA kec. Semarang Tengah terhadap

wali nikah bagi anak perempuan hasil nikh hamil, metode dan alasan penetapan

tersebut.

Bab IV, bab ini akan membahas tentang analisa terhadap penetapan KUA di

wilayah kota Semarang atas wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil kedua

orang tuanya dan analisa terhadap metode istinbath mereka.

Bab V, adalah Penutup yang merupakan jawaban atas rumusan masalah yang

meliputi : kesimpulan, saran-saran, dan penutup.

Page 34: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

20

Page 35: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG WALI NIKAH DAN NIKAH HAMIL

A. Wali Nikah dalam Perkawinan 1. Pengertian Wali Nikah

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi

calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Walaupun menurut imam

Hanafi perkawinan tanpa wali adalah boleh1, namun mayoritas ulama’ (jumhur) tetap

menjadikan wali nikah sebagai syarat sahnya perkawinan.

2. Dasar Hukum Wali Nikah

Menurut jumhur ulama’ keberadaan wali dalam sebuah perkawinan didasarkan

pada sejumlah nash al-Qur’an dan hadis. Nash al-Qur’an yang digunakan sebagai dalil

adanya wali dalam perkawinan diantaranya adalah al-Baqarah ayat 232, dan al-Nisa’

ayat 25

اجهن إذا تراضوا بينهم إذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فلا تعضلوهن أن ينكحن أزوو

......بالمعروف

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma`ruf”.(QS: 2: 232)

ومن لم يستطع منكم طولا أن ينكح المحصنات المؤمنات فمن ما ملكت أيمانكم من

……انكحوهن بإذن أهلهن فتياتكم المؤمنات والله أعلم بإيمانكم بعضكم من بعض ف

1 Syams ad-Din as-Sarakhsi, al-Mabsuth, Beirut, Dar al-Ma’rufah, juz V,1989,hlm. 10

Page 36: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

21

Artinya: “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka”.(QS: 4: 25) Sementara itu dalil dari hadis Nabi tentang wali nikah yang paling populer ada

tiga yaitu:

قدامة بن أعين حدثنا أبو عبيدة الحداد عن يونس وإسرائيل عن أبي حدثنا محمد بن

نكاح إلا بوليالإسحق عن أبي بردة عن أبي موسى أن النبي صلى الله عليه وسلم قال

2

Artinya: “Muhammad bin Qudamah bin ‘Ayan dan Abu Ubaidah al-Haddad

bercerita kepada kami dari Yunus dan Isroil dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Tidak sah nikah kecuali dengan wali”

ا سفيان أخبرنا ابن جريج عن سليمان بن موسى عن حدثنا محمد بن آثير أخبرن

أيما امرأة الزهري عن عروة عن عائشة قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم

ثلاث مرات فإن دخل بها فالمهر لها بما أصاب نكحت بغير إذن مواليها فنكاحها باطل

3 فإن تشاجروا فالسلطان ولي من لا ولي لهمنها

2 Hadis ini diriwayatkan oleh Khamsah dan Ashab al-Sunan dari Abu Musa al-Asy’ari. Lihat Abu

Daud, Sunan Abi Daud, “Kitab al-Nikah”, hadis no.1785, al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, “kitab al-Nikah”, hadis no. 1020, Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, “Kitab al-Nikah”, hadis no.1870, 1871, Ahmad, Musnad Ahmad, “Musnad Kifiyin”, hadis no. 18697, 18911.

3 Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Arbaah kecuali al-Nasai dari ‘Aisyah. Lihat Abu Daud, Sunan Abi Daud, “Kitab al-Nikah”, hadis no.1784, al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, “kitab al-Nikah”, hadis no. 1021, Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, “Kitab al-Nikah”, hadis no.1869, Ahmad, Musnad Ahmad, “Kitab Baqi’ al-Anshar”, hadis no. 23074, 23236, 24162, al-Darimi, Sunan al-Darimi, “Kitab al-Nikah”, hadis no. 2089.

Page 37: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

22

Artinya: “Muhammad bin Katsir, Sufyan dan Ibn Juraih menceritakan kepada kami dari Sulaiman bin Musa dari al-Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda: Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahanya batal (diulang sampai tiga kali) Apa bila seorang laki-laki mengumpuli perempuan maka perempuan tersebut berhak atas mahar. Apabila wali perempuan tersebut enggan menikahkan maka yang berhak menjadi wali bagi mereka adalah sulthan”

حدثنا جميل بن الحسن العتكي حدثنا محمد بن مروان العقيلي حدثنا هشام بن حسان عن

لا تزوجمحمد بن سيرين عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم

4 المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها Artinya: “Jamil bin Hasan al-‘Ataki, Muhammad bin Marwan al-‘Uqaili dan

Hisyam bin Hasan menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Sirrin bahwa Abu Hurairah berkata bahwa Nabi SAW bersabda: Tidak boleh seorang perempuan menikahkan perempuan lain dan juga tidak boleh seorang perempuan menikahkan diri sendirinya. Sesungguhnya perempuan zina adalah seorang perempuan yang menikahkan dirinya sendiri”

Dari ketiga hadis di atas walaupun redaksinya berbeda, namun semua

menunjukkan bahwa keberadaan seorang wali dalam perkawinan adalah mutlak harus

ada. Pernikahan dianggap tidak sah jika tidak ada wali, seorang perempuan yang

menikah tanpa adanya wali maka nikahnya batal dan seorang perempuan tidak sah

menikahkan perempuan lain atau dirinya sendiri. Jika hal itu terjadi maka danggap

mereka telah berzina. Namun demikian, sebagaimana telah disebut pada awal bab

bahwa imam Hanafi tidak menjadikan wali nikah sebagai rukun perkawinan oleh

karenanya perkawinan tanpa wali dianggap sah.

Al-Syarakhsi menjelaskan bahwa menurut Abu Hanifah perkawinan tanpa

wali (menikahkan diri sendiri), atau meminta orang lain di luar wali nasab untuk

4 Hadis ini bersumber dari Abu Hurairah dalam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, “Kitab al-Nikah,

hadis no. 1872.

Page 38: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

23

menikahkan gadis atau janda, sekufu atau tidak, adalah boleh. Hanya saja, kalau tidak

sekufu, wali berhak membatalkanya. Sementara menurut Muhammad bin al-Hasan as-

Saibani, murid dekat Abu Hanifah, status perkawinanya boleh kalau sekufu dan tidak

boleh kalau tidak sekufu. Sedang menurut Abu Yusuf, yang juga merupakan salah satu

murid dekat Abu Hanifah, pada awalnya berpendapat tidak boleh secara mutlak kalau

masih mempunyai wali, kemudian berkembang, boleh kalau sekufu. Kemudian

berkembang lagi, boleh secara mutlak, sekufu atau tidak.5

Lebih lanjut al-Syarakhsi menerangkan bahwa dasar yang membolehkan

perkawinan tanpa wali menurut Abu Hanifah adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dari

al-Qur’an yaitu al-Baqarah ayat 240, 230 dan 232:

“.........maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal)

membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf....”.(QS: 2: 240) “.........hingga dia kawin dengan suami yang lain.......”.(QS: 2: 230) “..........maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi

dengan bakal suaminya.........”.(QS: 2: 232) Ayat-ayat ini disandarkan kepada wanita (hunna), yang berarti akad tersebut

menjadi hak atau kekuasaan mereka. Demikian juga khitab surah al-Baqarah ayat 232

adalah suami-suami, dengan demikian tunjukan ayat ini adalah kalau masa iddah

mantan isterinya sudah habis, mantan suami tidak berhak mencegah mantan isterinya

5 Syams ad-Din as-Sarakhsi, Loc. Cit

Page 39: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

24

menikah dengan pria lain.6 Oleh karena itu, ayat ini tidak berhubungan dengan wali,

sebab yang dilarang mempersulit adalah suami-suami.

Adapun dalil Sunnah yang mendukung kebolehan wanita menikah tanpa wali

adalah:

حدثنا سعيد بن منصور وقتيبة بن سعيد قالا حدثنا مالك و حدثنا يحيى بن يحيى حدثك

النبي صلى الله عليه وسلم قال عبد الله بن الفضل عن نافع بن جبير عن ابن عباس أن

7 والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صماتها قال نعمالأيم أحق بنفسها من وليها

Artinya: “ Sa’id bin Manshur dan Qutaibah bin Sa’id menceritakan kepada kami dari Malik dan Yahya bin Yahya dari Abdullah bin Fadhal dari Nafi’ bin Jubair dari Ibn Abbas bahwa Nabi SAW bersabda: Wanita yang tidak bersuami (gadis atau janda) berhak atas dirinya sendiri dari walinya dan seorang gadis mengizinkan dirinya dan izinya adalah diamya yang menunjukkan ya (setuju)”

Inti dari hadis di atas adalah الأيم أحق بنفسها من وليها “seorang al-ayyim lebih

berhak kepada dirinya dari pada walinya”. Penyebutan al-ayyim, dalam hadis ini

menurut ahli bahasa adalah “wanita yang tidak mempunyai suami”, baik gadis atau

janda.

بن علي حدثنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن صالح بن آيسان عن نافع بن حدثنا الحسن

جبير بن مطعم عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ليس للولي مع

8 ر واليتيمة تستأمر وصمتها إقرارهاالثيب أم

Artinya: “Hasan bin Ali, Abd. Rozzaq dan Ma’mar menceritakan kepada kami

dari Sholih bin Kasyan dari Nafi’ bin Jubair bin Muth’im dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda: Seorang wali tidak berhak

6 Ibid, hlm. 11-12 7 Hadis ini bersumber dari Abdullah ibn Abbas, dalam Abu Daud, Sunan Abu Daud, “Kitab al-

Nikah”, hadis no.1795, al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, “kitab al-Nikah”, hadis no. 1026, Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, “Kitab al-Nikah”, hadis no.1860, Ahmad, Musnad Ahmad, “Musnad Bani Hasyim”, hadis no. 1790, 2055, Muslim, Sahih Muslim, “Kitab al-Nikah, hadis no. 2545 dan 2546

8 Hadis ini juga bersumber dari ‘Abdullah Ibn Abbas, dalam Abu Daud, Sunan Abu Daud, “Kitab al-Nikah”, hadis no.1796, al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, “Kitab al-Nikah”, hadis no. 3211.

Page 40: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

25

atas seorang janda sedangkan seorang perempuan yatim berhak atas izinya dan diamnya menunjukkan setujunya”

Yang menjadi acuan dari hadis di atas adalah ليس للولي مع الثيب أمر “seorang

wali tidak berhak atas seorang janda”. Dari kedua hadis diatas bagi imam Hanafi

menunjukkan bahwa seorang wanita berhak menikah tanpa adanya wali. Kaitanya

dengan peran wali dan persetujuan gadis dalam perkawinan menurutnya adalah bahwa

persetujuan wanita gadis atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya kalau

mereka menolak, maka akad nikah tidak boleh dilaksanakan, meskipun oleh bapak.9

Berbeda dengan imam Hanafi, imam Malik sebagaimana dikutip oleh Shanun,

mengharuskan izin wali atau wakil terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad

nikah. Ketika imam Malik ditanya tentang status perkawinan wanita yang menikahkan

diri sendiri tanpa meminta orang lain untuk menikhkan dirinya, Malik menjawab:

“Perkawinan seperti ini tidak diakui selamanya, dalam kondisi apa pun, bahkan kalau

anaknya sudah lahir sebagai hasil dari perkawinan tersebut, perkawinanya tetap tidak

diakui (tidak sah).10

Meskipun dari keterangan ini belum dapat dipastikan konsep Malik, antara

kehadiran wali dalam perkawinan atau cukup izinya, namun dari keterangan yang sama

dapat dijadikan dasar bahwa Malik tidak membolehkan wanita menikahkan diri sendiri,

baik gadis maupun janda.

Sementara imam Syafi’i berpendapat bahwa kehadiran wali menjadi salah satu

rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah

9 Al-Syarakhsi, al-Mabsuth, Juz V, hlm 2 dan 4 10 Sahnun bin Sa’id al-Tanukhi, al-Mudawanah al-Kubra, Beirut, Dar Sadir, Juz III, 1323 H, hlm.

166.

Page 41: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

26

perkawinan tidak sah. Bersamaan dengan kewajiban wali dalam perkawinan, wali juga

dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada dibawah perwalianya sepanjang si

wanita mendapat pasangan yang sekufu.11

Dasar keharusan wali, dan sekaligus larangan wali mempersulit, menurut

Syafi’i adalah al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 232, an-Nisa’ ayat 34 dan 25. Dalam

surah al-Baqarah ayat 232, kata yang secara husus menunjukkan larangan mempersulit

sekaligus harus ada persetujuan ridha dari wali adalah فال تعضلوهن . Dengan mencatat

sebab turunya ayat ini, asy-Syafi’i berkesimpulan, ayat ini menunjukkan tiga hal yakini:

(i) keharusan menyelesaikan masa iddah untuk nikah; (ii) larangan wali mempersulit

perkawinan wanita yang ada di bawah perwalianya; dan (iii) harus ada persetujuan

(ridha) wali dalam perkawinan.12

Adapun dasar hadis yang mengharuskan wali dalam perkawinan, sekaligus

sebagai larangan wanita menikahkan dirinya sendiri, menurut as-Syafi’i adalah hadis

yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah , bahwa perkawinan tanpa wali adalah perkawinan yang

tidak sah “أيما امرأة نكحت بغير إذن مواليها فنكاحها باطل”.

Kaitanya dengan kebebasan dan persetujuan wanita (calon isteri) dalam

perkawinan, imam Syafi’i mengklasifikasikan wanita kepada tiga kelompok, yakini: (1)

gadis yang gelum dewasa; (2) gadis dewasa; dan (3) janda. Untuk gadis yang belum

dewasa, seorang bapak boleh menikahkan tanpa seizinya terlebih dahulu, dengan syarat

menguntungkan dan tidak merugikan bagi si anak. Sebaliknya, wali tidak boleh

menikahkan kalau merugikan atau menyusahkan sang anak.

11 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, edisi al-Muzani, Juz V, hlm.11. 12 Ibid.

Page 42: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

27

Adapun perkawinan anak gadis dewasa, ada hak berimbang antara bapak

(wali) dan anak gadisnya. Adapun perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas

dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan pada kasus perkawinan yang ditolak

Nabi karena dikawinkan oleh walinya dengan seorang yang tidak disenangi dan tidak

dimintai persetujuan terlebih dahulu. Ketetapan ini diperkuat dengan hadis lain yaitu

Dengan menyebut lebih berhak pada dirinya “Ahaqqu .”الأيم أحق بنفسها من وليها“

binafsiha” berarti untuk sempurnanya perkawinan harus dengan persetujuanya dan tidak

ada orang lain yang berhak mencegahnya untuk nikah.

Menurut madzhab Hanbali, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah),

yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Keharusan ini menurut Ibn Qudamah,

berdasarkan hadis Nabi, bahwa dalam perkawinan harus ada wali. Terhadap hadis yang

dipegangi para ulama’, bahwa yang dipentingkan dalam perkawinan adalah izin wali

bukan kehadiranya, Ibn Qudamah menepis dengan mengatakan bahwa dalil yang

mengharuskan adanya wali bersifat umum, yang berarti berlaku untuk semua.

Sementara hadis yang menyebut hanya butuh izin adalah hadis yang bersifat khusus.

Dalil umum harus didahulukan dari pada dalil khusus. Alasan tambahan, larangan nikah

tanpa wali (perintah harus ada wali) bertujuan menghindari adanya kecenderungan dan

keinginan perempuan kepada pria yang kadang kurang pertimbangan yang matang.

Maka kehadiran wali diharapkan dapat menghindari kecenderungan tersebut.13

Berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an: (i) al-Anbiya’ ayat 30, (ii) Ali Imron

ayat 38, Maryam ayat 5, (iv) Ibrahim ayat 39, ditambah sabda Nabi yang

berbunyi انت ومالها البيها bapak adalah orang yang paling berhak menjadi wali

13 Muwaffaqu al-Din Abi Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Qudamah (Ibn Qudamah),

al-Mughni wa al-Sharah al-Kabir, Beirut, Dar al-Fikr, Juz VII, 1984, hlm. 338

Page 43: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

28

(menikahkan) anak putrinya. Sebab bapak adalah orang yang paling mengenal dan

mengasihi si anak.

Adapun hadis االسلطان ولي من لا ولي له disamping dasar bolehnya posisi wali

nasab diganti wali hakim juga menjadi dalil bolehnya hak wali nikah yang paling dekat

diganti wali yang lebih jauh atau hakim, dengan alasan wali yang lebih dekat

berhalangan atau mempersulit.14 Maksud mempersulit adalah kalau keduanya (calon

mempelai) sudah sekufu dan saling senang, wali tetap-tetap menghalang-halangi, seperti

kasus Ma’qal bin Yasir.15 Selain itu, masuk kelompok mempersulit adalah kalau wali

yang lebih dekat mempunyai tempat tinggal yang jauh sehingga sulit dihubungi, atau

kalau sudah disurati tetapi tidak ada jawaban. Sebaliknya kalau si wanita mendapat

pasangan yang tidak sekufu, larangan wali tidak masuk kelompok mempersulit. Sebab

kalau pasangan tidak sekufu menikah tanpa persetujuan wali, maka wali mempunyai

hak faskh. Sebagai usaha preventif agar jangan terjadi faskh, lebih baik dicegah sejak

awal (sejak dini).

Sementara itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), wali nikah diatur pada

pasal 19,20, 21,22,dan 23. Pasal 19 menjelaskan :

“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.

Sedangkan undang-undang perkawinan (UUP) tidak mengatur tentang wali

nikah secara eksplisit. Hanya dalam pasal 26 ayat (1) dinyatakan :

“Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri

14 Ibid, Juz VII, hlm. 368 15 Kasus Ma’qal ini adalah kasus yang menjadi sebab turunya al-Baqarah 323 (ayat larangan bagi

wali mempersulit pernikahan), yang ingin kembali kepada bekas isterinya, tetapi walinya (saudara si wanita) sama sekali menolak, Ibid. hlm 368-369.

Page 44: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

29

oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalanya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami isteri, jaksa, dan suami atau isteri”

Jadi secara implisit bunyi pasal di atas mengisyaratkan dengan jelas bahwa

perkawinan yang tidak diikuti wali, maka perkawinanya batal atau dapat dibatalkan.

3. Syarat dan Macam Wali

Karena keberadaan wali nikah merupakan rukun, maka harus dipenuhi

beberapa syarat di antaranya adalah: laki-laki, dewasa (baligh), mempunyai hak

perwalian dan tidak terdapat halangan perwalian.16 Dalam pasal 20 KHI ayat (1)

dirumuskan sebagai berikut: “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki

yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh”.

Wahbah al-Zuhaili menjelaskan syarat-syarat wali sebagai berikut:17

1. Sempurna keahliyaanya yaitu: baligh, berakal dan merdeka. Oleh karenanya tidak

sah menjadi wali nikah bagi anak kecil, orang gila, lemah akalnya (idiot), orang

pikun dan budak.

2. Adanya persamaan agama antara wali dan calon pengantin putri. Oleh karenanya

jika walinya non muslim maka tidak boleh menjadi wali bagi calon pengantin putri

yang muslim begitu juga sebaliknya. Sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Taubah

ayat 71 dan surah al-Anfal ayat 73.

3. Harus laki-laki, syarat ini sebagaimana yang disepakati oleh jumhur ulama’ kecuali

madzhab hanafi. Menurut jumhur perempuan tidak bisa menjadi wali karena ia tidak

berhak menjadi wali atas dirinya sendiri apalagi untuk orang lain. Sedangkan

16 Syarat diatas adalah menurut Jumhur Ulama’ kecuali imam Hanafi yang memperbolehkan

seorang wanita bisa menjadi wali. 17 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiq al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX, Mesir, Dar al-Fikr, 1997, hlm. 6700-

6703.

Page 45: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

30

menurut madzhab Hanafi, perempuan yang sudah memenuhi syarat yaitu sudah

baligh, aqil maka ia berhak menjadi wali.

4. Harus adil dan pandai yaitu mencarikan suami anak gadisnya yang sekufu dan

maslahah untuk kehidupanya. Kedua syarat tersebut tidak disepakati oleh para

ulama’.

Dalam pelaksanaanya, akad nikah atau ijab dan qobul, penyerahanya

dilakukan oleh wali mempelai perempuan atau yang mewakilinya, dan qobul

(penerimaan) oleh mempelai laki-laki.

Selanjutnya wali nikah dibedakan atas dua macam, pertama, wali nasab yaitu

wali yang hak perwalianya didasarkan karena adanya hubungan darah. Kedua, wali

hakim, yaitu wali yang hak perwalianya timbul, karena orang tua mempelai perempuan

menolak (‘adal), atau tidak ada, atau karena sebab lain. Dalam hal ini KHI merincinya

dalam pasal 21,22 dan 23.

Pasal 21 KHI menjelaskan :

1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama,kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatanya dengan calon mempelai wanita.

3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatanya maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

Page 46: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

31

4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatanya sama yakni sama-sama derajat kandung kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22 KHI mengatakan:

“Apabila wali nikah yang paling berhak urutanya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah , atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya”.

Secarah keseluruhan urutan wali nasab adalah sebagai berikut:

1. Ayah kandung

2. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya keatas dalam garis laki-laki

3. Saudara laki-laki sekandung

4. Saudara laki-laki seayah

5. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah

7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah

9. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman)

10. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah)

11. Anak laki-laki paman sekandung

12. Anak laki-laki paman seayah

13. Saudara laki-laki kakek sekandung

14. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung

15. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah

Apabila wali-wali tersebut tidak ada, maka hak perwalian pindah kepada

Kepala Negara (Sultan) yang biasa disebut dengan wali hakim. Hal ini sebagaimana

ditegaskan dalam pasal 23 KHI:

Page 47: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

32

1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan

2. Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak

sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut

Pertanyaan kemudian adalah siapa yang berhak menjadi wali hakim?.Dalam

hal ini KHI menjelaskan pada pasal 1 huruf b bahwa:

“Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah”. KHI memang tidak menyebutkan siapa yang ditunjuk oleh Menteri Agama

untuk bertindak sebagai wali hakim, namun sebelum KHI lahir, telah ada Peraturan

Menteri Agama yang menjelaskan hal ini. Pasal 4 Peraturan Menteri Agama No.2

Tahun 1987 menyebutkan:

1. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini

2. Apabila di wilayah ini kecamatan, Kepala Kantor Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kabupaten/Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil/pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya.

Menurut madzhab Syafi’i urut-urutan wali seperti diatas tidak boleh dilanggar.

Artinya tidak dibenarkan seseorang dari mereka bertindak sebagai wali nikah, sementara

masih ada wali yang lebih dekat dalam urut-urutanya. Maka jika seseorang dari mereka

bertindak sebagai wali nikah dengan melanggar urut-urutan itu, nikah tersebut dianggap

tidak sah.

Sebaliknya, menurut madzhab Maliki, urutan wali yang paling berhak seperti

diatas hanya berlaku bagi seorangayah saja. Selain ayah, urutan wali tersebut tidak

Page 48: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

33

merupakan hal yang wajib melainkan hanya sebagai anjuran (sunnah). Sehingga

seandainya seorang saudara seayah saja menikahkan adik perempuanya sedangkan

saudaranya sekandung masih ada, maka pernikahan tersebut tetap dianggap sah.

Disamping itu, madzhab Maliki juga menambahkan lagi jumlah para wali

nikah, selain yang disebutkan diatas, dengan “pengasuh” (dalam istilah fiqh disebut

kafil). Karenanya barang siapa mengasuh seorang anak perempuan yang telah

kehilangan kedua orang tua serta keluarganya, lalu ia mengasuhnya dalam waktu yang

cukup lama, seperti seorang ayah kandung kepada anak kandungnya sendiri, dengan

menunjukan kepadanya kasih sayangnya yang penuh, sedemikian sehingga merasa

seperti anaknya sendiri, dan si perempuan juga menganggapnya sebagai ayahnya

sendiri, maka kepadanya dapat diberikan hak perwalian dalam menikahkan si

perempuan tersebut. Bahkan jika yang mengasuhnya itu seorang perempuan sekalipun,

maka ia berhak menjadi walinya dalam pernikahan, meskipun tidak memiliki hak untuk

menikahkan secara langsung, tetapi mewakilkan hal itu kepada seorang laki-laki yang ia

tunjuk.18

Sementara menurut madzhab Hanafi, urutan wali yang paling berhak untuk

menikahkan ataupun mengahalangi pernikahan adalah sama seperti dalam madzhab

Syafi’i. Namun ada perbedaan ketika dalam keadaan para kerabat dekat yang disebut

wali (dari pihak ayah) tersebut tidak ada. Jika menurut madzhab Syafi’i, jika terjadi

kondisi seperti diatas maka kewalianya pindak kepada wali hakim, namun menurut

18 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’a, Beirut, Dar al-Fikr, Juz IV, hlm. 26

Page 49: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

34

madzhab Hanafi, sebelum pindah ke wali hakim masih ada wali lain yaitu para kerabat

terdekat dari pihak ibu si perempuan yang akan menikah.19

Secara berurutan mereka adalah:

1. Ibunya (yakni ibu dari perempuan yang akan menikah)

2. Neneknya (ibu dari ayah, kemudian ibu dari ibu)

3. Anak perempuanya

4. Cucu (anak perempuan dari anak laki-laki)

5. Cucu (anak perempuan dari anak perempuanya)

6. Saudara perempuan seayah seibu

7. Saudara perempuan seayah.

8. Saudara perempuan seibu

9. Kemenakan (anak laki-laki dari saudara perempuanya)

10. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)

11. Paman dari pihak ibu (saudara laki-laki ibu)

12. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)

Begitulah seterusnya, yang terdekat hubungan kekerabatanya. Baru setelah

ketiadaan mereka semua, hak perwalian tersebut berpindah kepada hakim. Alasanya

adalah bahwa mereka ini (para kerabat dari pihak ibu) juga sangat berkepentingan

dalam mengupayakan kebahagian dan keharmonisan dalam kehidupan perkawinan

anggota keluarganya, disamping menjaga kehormatan keluarga secara keseluruhan,

serta ikut merasa prihatin apabila salah seorang dari mereka menikah dengan laki-laki

yang tidak kufu.

B. Nikah Hamil

1. Pengertian

19 Ibid. hlm. 27

Page 50: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

35

Perkawinan wanita hamil itu sebenarnya menunjukkan bahwa pembuahan

telah terjadi sebelum akad nikah sebagai akibat dari hubungan pra nikah yang

menyebabkan kehamilan. Setelah itu terjadilah perkawinan antara wanita dengan pria

yang menghamilinya atau dengan pria lain. Selang beberapa bulan, anak yang

dikandung pun lahir. Masalahnya adalah bagaimana hukum perkawinan tersebut

2. Pandangan Ulama’ terhadap Nikah Hamil

Dalam prespektif fiqh, masalah nikah hamil/mengawini perempuan hamil

termasuk masalah khilafiyah; ada ulama’ yang membolehkan dan ada pula di antara

ulama’ yang tidak membolehkan. Masing-masing melihat dari titik pandang berbeda

dan alasan-alasan yang berbeda pula.

Perbedaan pendapat dalam masalah ini, berawal dari beda pendapat mereka

tentang apakah persetubuhan dalam bentuk zina itu menyebabkan adanya kewajiban

iddah terhadap perempuan yang berzina atau tidak. Jumhur ulama’ di antaranya

Syafi’iyah berpendapat bahwa persetubuhan dalam bentuk zina tidak menimbulkan

akibat hukum apa-apa sebagaimana yang berlaku dalam persetubuhan dalam bentuk

pernikahan. Akibat hukum itu diantaranya adalah hak nafkah , timbulnya hukum

mushahrah, berlakunya nasab dengan suami. Atas dasar pendapat ini imam Syafi’i

menetapkan bahwa anak tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan laki-laki yang

mezinahi ibunya; dan seandainya ia perempuan boleh saja dikawini oleh laki-laki itu.20

Tidak ada kewajiban iddah bagi perempuan berzina atau dengan kata lain ia tidak

mempunyai iddah.

20 Al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz III, Beirut, Dar al-Fikr, hlm. 175.

Page 51: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

36

Golongan Hanafiyah meskipun menetapakan sebagai akibat hukum bagi

perempuan yang berzina seperti hubungan mushaharah, namun dalam hal kewajiban

iddah ia tidak memperlakukan akibat hukum. Hal ini berati bahwa perempuan yang

berzina tidak perlu menjalani iddah sebagaimana yang berlaku terhadap perempuan

yang bercerai dengan suaminya.21

Golongan ulama’ yang mewajibkan iddah atas perempuan yang hamil karena

zina berbeda dalam menetapkan ukuran iddahnya, meskipun untuk perempuan yang

bercerai sudah ada petunjuk yang pasti dalam al-Qur’an yakni sampai melahirkan anak.

Sebagian menetapkannya dengan melahirkan anak sebagaimana yang berlaku terhadap

perempuan yang bercerai dari suaminya. Sebagian lain mengatakan bahwa yang

beriddah dengan melahirkan anak itu hanyalah isteri yang bercerai dari suaminya,

karena anak yang lahir dinasabkan kepada laki-laki yang menceraikanya. Sedangkan

bagi perempuan yang berzina, anak yang dilahirkan tidak dinasabkan kepada laki-laki

yang menghamilinya. Oleh karenanya iddahnya bukan dengan melahirkan anak tetapi

tiga kali suci sesudah melahirkan anak, sebagaimana yang berlaku di kalangan ulama’

Malikiyah.22 Ulama’ mazhab Hanabilah tidak membedakan antara perempuan hamil

karena zina atau bukan dalam hal kewajiban beriddah dengan melahirkan anak yang

dikandungnya.23

Dari adanya perbedaan pendapat dalam masalah tersebut maka pendapat yang

berkembang sekitar status hukum mengawini perempuan hamil karena zina adalah

sebagai berikut:

21 Abi Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Aini, Al-Bayanah fi al-Syarah al-Hidayah, Beirut, Dar

al-Fikr, Juz III, hlm. 304. 22 Abdurrahman al-Jaziri, Op. Cit. hlm 425 23 Ibid, hlm. 429

Page 52: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

37

Abu Hanifah dan muridnya Muhammad berpendapat bahwa mengawini

perempuan hamil karena zina hukumnya adalah boleh; namun si suami tidak boleh

menggauli isterinya itu sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya.24 Dasar

kebolehanya adalah karena tidak ada dalil yang menyatakan keharaman menikahinya.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam surah An-Nisa’ ayat 23 dan 24:

حرمت عليكم أمهاتكم وبناتكم وأخواتكم وعماتكم وخالاتكم وبنات الأخ وبنات الأخت

بائبكم اللاتي في وأمهاتكم اللاتي أرضعنكم وأخواتكم من الرضاعة وأمهات نسائكم ور

حجورآم من نسائكم اللاتي دخلتم بهن فإن لم تكونوا دخلتم بهن فلا جناح عليكم وحلائل

قد سلف إن الله آان غفورا أبنائكم الذين من أصلابكم وأن تجمعوا بين الأختين إلا ما

رحيماArtinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang

perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS: 4: 23)

أن والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمانكم آتاب الله عليكم وأحل لكم ما وراء ذلكم

تبتغوا بأموالكم محصنين غير مسافحين فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة

ولا جناح عليكم فيما تراضيتم به من بعد الفريضة إن الله آان عليما حكيما

24 Abi Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Aini, Loc. Cit.

Page 53: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

38

Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni`mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS: 4: 24)

Sedangkan dasar tidak bolehnya menggauli perempuan tersebut waktu hamil

adalah supaya tidak menumpah air sperma di tanaman (rahim) orang lain berdasarkan

hadis nabi bahwa Rasulullah melarang menyirami kebun orang lain yang telah

mempunyai tanaman. Larangan tersebut dapat diartikan sebagai kiasan untuk

menghindari terjadinya percampuran keturunan dalam rahim, sama halnya tidak boleh

menyirami kebun orang lain yang telah mempunyai tanaman.25

Berbeda dengan imam Hanafi, Abu Yusuf (murid dan pengikut Abu Hanifah)

berpendapat bahwa tidak boleh menikahi perempuan hamil karena zina dan perkawinan

yang dilakukan adalah fasid. Pengarang Syarah Fath al-Qadir mengutip Fatawa

Thahiriyah mengatakan bahwa beda pendapat dikalangan sesama Hanafiyah itu adalah

bila yang mengawini perempuan hamil karena zina adalah orang lain dan bukan laki-

laki yang menyebabkan hamil; sedangkan bila yang mengawini perempuan itu adalah

laki-laki yang menghamilinya, maka kelompok ulama’ ini sepakat menetapkan

hukumnya boleh.26

Imam Malik sebagaimana terdapat dalam kitab Mazahib al-Arba’ah

berpendapat tidak boleh mengawini perempuan hamil karena zina dan nikah seperti itu

25 Al-Syaukani, Fath al-Qadir, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II, hlm. 241-242 26 Syamuddin al-Syarakhsi, al-Mabsuth, Beirut: Dar al-Fikr, Juz V hlm. 22

Page 54: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

39

adalah batal. Alasanya ialah bahwa perempuan tersebut harus menjalani masa iddah,

namun tidak dengan melahirkan tetapi dengan tiga kali suci sesudah melahirkan; karena

iddah melahirkan itu adalah bila yang dilahirkan dinasabkan kepada ayahnya sedangkan

anak zina tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkannya hamil.27

Imam Syafi’i seperti yang dinukil dalam kitab Mughni al-muhtaj berpendapat

bahwa menikahi perempuan hamil karena zina hukumnya boleh dan boleh pula

menyetubuhinya pada masa hamil itu. Alasanya ialah perbuatan zina itu tidak

menimbulkan hukum haram terhadap yang lain. Kehamilan yang tidak diketahui

nasabnya itu ditangguhkan kepada perbuatan zina yang mendahuluinya. Adanya

kewajiban iddah atas perempuan hamil dengan melahirkan, bila anak yang lahir dapat

dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkannya lahir. Anak yang dikandung karena

zina tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyetubuhi ibunya; oleh karena itu

tidak berlaku iddah atas perempuan hamil tersebut. Dengan demikian perempuan hamil

karena zina boleh dikawini.28

Menurut Ahmad ibn Hanbal, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Qudamah 29

berpendapat bahwa wanita yang berzina baik hamil atau tidak dilarang untuk dinikahi

kecuali bila terpenuhi dua syarat:

a. Wanita itu telah habis masa iddahnya, karena baginya berlaku masa tunggu

sebagaimana layaknya iddah wanita yang dicerai atau yang ditinggal mati suami,

yaitu tiga kali haid bagi yang tidak hamil terhitung sejak ia melakukan zina dan

habis iddahnya setelah melahirkan anak bagi yang hamil. Sebelum iddahnya habis ia

27 Abdurrahman al-Jaziri, Op. Cit. hlm 428 28 Al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Op. Cit, hlm. 178 29 Muwaffaqu al-Din Abi Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Op. Cit hlm. 228

Page 55: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

40

belum boleh menikah dengan laki-laki manapun. Alasan yang dikemukakan oleh

Ahmad dan pengikutnya adalah larangan Nabi “menumpahkan air ditanaman orang

lain” dan “larangan menyetubuhi perempuan hamil sampai ia melahirkan

anaknya”.30

b. Wanita itu harus bertaubat terlebih dahulu dari perbuatan ma’siat zina. Apabila

belum bertaubat maka tidak boleh dinikahkan dengan laki-laki manapun, meskipun

telah habis masa iddahnya. Bila kedua syarat tersebut telah terpenuhi, maka halal

bagi laki-laki manapun untuk menikahi wanita tersebut, baik laki-laki yang

menghamili atau yang lainya.

Dari pandangan para ulama’ tentang status hukum nikah hamil di atas, dapat

diambil kesimpulan seperti dibawah ini:

a. Wanita hamil karena zina boleh dinikahi oleh laki-laki yang menghamili maupun

yang tidak menghamili tanpa harus menunggu kelahiran anak yang dikandung.

b. Boleh dinikahi namun hanya husus oleh laki-laki yang menghamilinya tanpa harus

menunggu kelahiran anaknya.

c. Boleh dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya namun dilarang

berhubungan badan sampai kelahiran anaknya.

30 Diantara redaksi hadis yang melarang adanya nikah hamil, sebagaiman diriwayatkan oleh Ibn

Majah

لالحوام وطء يعني ] غيره زرع ماءه يسقي فال اآلخر واليوم باهللا يؤمن آان من : [ وسلم عليه اهللا صلى النبي لاق أن [ المسيب بن سعيد وروي عام وهو صحيح ] تضع حتى حامل توطأ ال : [ وسلم عليه اهللا صلى النبي وقول صداقال لها وجعل بينهما ففرق وسلم عليه اهللا صلى النبي إلى ذلك فرفع حبلى وجدها أصابها فلما امرأة تزوج رجال يلم أن يريد لعله : فقال فسطاط باب على مجحا امرأة وسلم عليه اهللا صلى النبي رأى [ و سعيد رواه ] مائة وجلدها

يحل ال وهو يورثه آيف أم له يحل ال وهو يستخدمه آيف قبره معه يدخل لعنا ألعنه أن هممت لقد : قال نعم قالوا بها ملالحوا آسائر نكاحها عليه رمفح غيره من حامل وألنها مسلم أخرجه ] له

Page 56: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

41

d. Tidak boleh dinikahi oleh laki-laki siapapun baik yang mengahamili maupun yang

tidak, sampai menunggu kelahiran anaknya.

e. Tidak boleh dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menghamilinya sampai anaknya

lahir.

3. Nikah Hamil dalam perspektif KHI

Mengenai hukum nikah hamil, KHI mengaturnya dalam pasal 53, sebagai

berikut:

1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

2. Perkawinan dengan wanita hamil yang dimaksud pada ayat (1), dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

3. Dengan dilangsungkanya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Kebolehan kawin dengan perempuan hamil menurut ketentuan diatas adalah

terbatas bagi laki-laki yang mengahamilinya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam

surat al-Nur ayat 3:

ة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك وحرم ذلك على الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشرآ

المؤمنينArtinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang

berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min”. (QS: 24: 3)

Ayat di atas dapat dipahami bahwa kebolehan kawin dengan perempuan hamil

bagi laki-laki yang mengahmilinya adalah merupakan perkecualian. Karena laki-laki

yang menghamilinya itulah yang tepat menjadi jodoh mereka. Pengidentifikasian

dengan laki-laki musyrik menunjukkan keharaman wanita yang hamil tadi, adalah

isyarat larangan bagi laki-laki baik-baik untuk mengawini mereka (al-Baqarah: 221).

Page 57: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

42

Isyarat tersebut dikuatkan lagi dengan kalimat penutup ayat wa hurrima zalika ala

mu’minin. Jadi bagi selain laki-laki yang menghamili perempuan hamil tersebut,

diharamkan untuk menikahinya.

Mengenai sebab turunya ayat tersebut, menurut riwayat Mujahid, Ata’ dan Ibn

Abi Rabah serta Qatadah menyebutkan bahwa “orang-orang Muhajirin tiba di Madinah,

di antara mereka ada orang-orang fakir, tidak memiliki harta dan mata pencaharian, dan

di Madinah terdapat wanita-wanita tuna susila (pelacur) yang menyewakan diri mereka,

mereka pada saat itu termasuk usia subur warga Madinah. Pada tiap-tiap pintunya

seperti papan nama dokter hewan (al-baitar), dimaksudkan agar dikenali bahwa ia

adalah pezina. Tidak ada seorangpun yang masuk kecuali laki-laki pezina dan orang-

orang musyrik. Orang-orang Muhajirin senang terhadap pekerjaan mereka, lalu mereka

berkata: “Kita nikahi mereka hingga Allah menjadikan kita kaya dari mereka”. Mereka

kemudian memohon izin kepada Rasulullah SAW, maka turunlah ayat 3 surat an-Nur di

atas.31

Jelaslah konteks diturunkanya ayat diatas, keharaman menikahi wanita hamil

akibat zina bagi laki-laki yang tidak mengahmilinya, adalah dalam rangka melindungi

nilai dan martabat orang-orang yang beriman. Selain itu, juga untuk mendudukkan

secara sah, mengenai status anak yang lahir akibat zina tersebut. Secara hukum, anak

zina hanya mempunyai hubungan kekerabatan kepada ibunya saja. Seperti juga halnya

anak li’an, yaitu anak yang dinafikan oleh “bapaknya” dengan menuduh ibunya berzina.

31 Al-Nawawi, Marah Labid, al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, Juz 2, Semarang, Usaha Keluarga, tt, hlm. 74.

Page 58: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

43

Page 59: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

BAB III PENENTUAN WALI NIKAH

BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL DI KUA KEC. SEMARANG TENGAH KOTA SEMARANG

A. Peristiwa Nikah Hamil di Kec. Semarang Tengah Kota Semarang

Sebelum membahas bagaimana penentuan wali nikah bagi anak perempuan

hasil nikah hamil di KUA kec. Semarang Tengah kota Semarang maka perlu kiranya

disampaikan kondisi peristiwa nikah hususnya peristiwa nikah hamil di kota Semarang.

1. Peristiwa Nikah dan Profile Penghulu Kota Semarang

Jumlah penduduk kota Semarang, menurut data statistik yang dikeluarkan oleh

Badan Pusat Statistik (BPS) Pemerintah Kota Semarang tahun 2006-2007, adalah

1.418.324 jiwa, yang tersebar pada 16 Kecamatan. Dari jumlah tersebut, yang beragama

Islam kurang lebih berjumlah 1.177.593 jiwa. Adapun jumlah peristiwa nikah pada

tahun 2007 yang tercatat di 16 Kantor Urusan Agama (KUA) adalah 11.220 peristiwa

nikah dengan perincian seperti dalam tabel dibawah ini

Tabel 1 Banyaknya Peristiwa Nikah, Talak, Cerai & Rujuk

Kota Semarang Tahun 2007

No Kecamatan Nikah Talak Cerai Rujuk 1 Semarang Tengah 414 6 20 - 2 Semarang Utara 1083 16 19 - 3 Semarang Timur 570 2 5 - 4 Semarang Selatan 571 - - - 5 Semarang Barat 1232 - - - 6 Gayamsari 608 2 7 - 7 Candisari 679 - - - 8 Gajahmungkur 395 5 10 1 9 Genuk 687 3 1 -

Page 60: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

44

No Kecamatan Nikah Talak Cerai Rujuk 10 Pedurungan 1132 - - - 11 Tembalang 994 4 18 - 12 Banyumanik 854 - - - 13 Gunungpati 545 - - - 14 Mijen 381 18 15 - 15 Ngaliyan 818 6 23 - 16 Tugu 263 2 16 1

Jumlah 11.230 64 134 2 Sumber: Seksi Urusan Agama Islam (Urais) Kantor Dep. Agama Kota Semarang, 2007

Sebelum disahkanya Pengadilan Agama (PA) di samping mengurusi masalah

pernikahan, Kantor Urusan Agama (KUA) juga mengurusi masalah talak, cerai dan

rujuk atau biasa dikenal dengan NTCR. Namun sejak adanya Pengadilan Agama (PA)

masalah talak dan cerai tidak lagi ditangani oleh KUA. Kewenangan atas peristiwa talak

dan cerai selanjutnya ada pada Pengadilan Agama (PA). Posisi KUA dalam urusan talak

dan cerai hanya mendokumentasikan dalam blangko TC setelah mendapatkan kiriman

putusan talak dan cerai dari PA. Setiap terjadi peristiwa talak dan cerai PA akan

mengirimkan putusanya kepada masing-masing KUA yang mengeluarkan Kutipan Akta

Nikah dari pihak-pihak yang berkara di pengadilan. Selanjutnya KUA akan membuat

laporan bulanan yang berisi jumlah peristiwa nikah, talak, cerai dan rujuk (NTCR).

Untuk lebih jelasnya lihat tabel perbandingan jumlah peristiwa Nikah, Talak dan Cerai.

Tabel 2 Perbandingan jumlah Peristiwa Nikah, Talak dan Cerai

Kota Semarang Tahun 2002-2007 No Tahun Jumlah Peristiwa Nikah Jumlah Peristiwa

Talak/Cerai 1 2007 11.230 276 2 2006 10.627 196 3 2005 9.863 98 4 2004 10.264 89 5 2003 7.368 17 6 2002 9.281 Tidak tercantum

Sumber data: Seksi Urusan Agama Islam (Urais) Kantor Dep. Agama Kota Semarang, 2007.

Page 61: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

45

Selain urusan nikah dan rujuk (NR) sebagai ujung tombak Departemen

Agama, KUA memiliki tugas yang sangat berat. Hampir semua program kerja Depag

sebagai pelaksananya adalah KUA. Semua program kerja masing-masing bidang/seksi

dalam struktur Depag baik langsung maupun tidak pasti menuntut keterlibatan KUA.

Bidang Urais dengan urusan kepenghuluan, keluarga sakinah, BP4 dan P2A. Bid

Penamas dengan urusan mulai LPTQ/MTQ, kemasjidan/mushalla (BKM)dan Majlis

Ta’lim, Bid. Hazawa dengan urusan zakat, wakaf dan bimbingan manasik haji, Bidang

Pontren dengan TPQ dan madinya. Sedangkan Bidang. Mapenda, walaupun tidak secara

langsung terlibat namun keterkaitan KUA tetap ada karena jika melaksanakan MTQ

tingkat pelajar, secara otomatis akan melibatkan sekolah/madrsah yang ada dalam

wilayah KUA disamping itu PPAI sebagai perwakilan mapenda ngantornya juga di

KUA.

Dalam pelaksanaan hukum perkawinan di Indonesia, eksistensi seorang

penghulu yang bertugas di Kantor Urusan Agama sangatlah penting. Pemeriksaan

terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perkawinan yang dilakukan oleh seorang

Penghulu, menyebabkan perkawinan itu bisa dilaksanakan atau tidak. Penghulu bisa

menggagalkan perkawinan dan menolak untuk mencatatnya manakala hasil

pemeriksaanya terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perkawinan ditemukan hal-hal

yang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum perkawinan. Karena pentingnya peran

para penghulu di Kantor Urusan Agama maka jabatan penghulu sangat identik dengan

KUA begitu juga sebaliknya.

Sebelum pemberlakuan peraturan baru tentang Jabatan Fungsional Penghulu,

jumlah penghulu kota Semarang adalah 45 orang. Mereka terbagi menjadi dua, yaitu:

Page 62: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

46

pertama, penghulu yang sekaligus merangkap sebagai kepala KUA yang dikenal dengan

istilah PPN, jumlahnya ada 16 orang. Kedua, penghulu yang tidak merangkap menjadi

kepala yang dikenal dengan istilah wakil PPN, berjumlah 29 orang. Mereka bertugas di

16 Kantor Urusan Agama, dengan perincian seperti dalam tabel di bawah ini:

Tabel 3

Daftar Profile Penghulu Kota Semarang

NO KUA Kecamatan NAMA PENGHULU PENDIDIKAN KET JML

H. Arwani SP IAIN Kepala/Penghulu M. Taufiq, BA Sarmud 1 Semarang

Tengah Imron Jauhari, S.Ag, M.SI S2 3

H. Samsudin, S.Ag, MH S2 Kepala/Penghulu 2 Semarang Utara Drs. Sugiri S1 3

Suparno Aliyah Kepala/Penghulu 3 Semarang Timur Admin Aliyah 2

Drs. Isnadiyun S1 Kepala/Penghulu 4 Semarang Selatan M. Sholihin, S.Ag S1 2

Drs. H. Usman Effendi S1 Kepala/Penghulu M. Rodhi, SHI S1 5 Semarang

Barat Saefuddin, S.Ag S1 3

H. Agus Salim, S.Ag S1 Kepala/Penghulu H.Sukiyatno, S.PdI S1 6 Gayamsari Mutholif, S.Ag S1

3

Drs. H. Fadlan S1 Kepala/Penghulu 7 Candisari Muhammad Jazuli, BA Sarmud 2

Drs. H. Syamsuri, MH S1 Kepala/Penghulu M. Shobirin Aliyah 8 Gajahmungkur Choirudin Zuhri, SHI S1

3

Drs. Syarif ullah S1 Kepala/Penghulu Mabrur Rohib, S.Ag S1 9 Genuk Abdullah Mukti Aliyah

3

H. Abd. Hamid, S.Ag S1 Kepala/Penghulu Sukma Rukyat S1 10 Pedurungan Fathurrahman, S.Ag S1

3

Drs. H. Labib S1 Kepala/Penghulu Muchtar Aliyah Muslihudin S1 11 Tembalang

Mustaghfirin, S.Ag S1

4

Page 63: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

47

NO KUA Kecamatan NAMA PENGHULU PENDIDIKAN KET JML

Drs. Sinwani S1 Kepala/Penghulu Niam Noor SP.IAIN 12 Banyumanik Budi Kuswanto, S.Ag S1

3

Duta Grafika, S.Ag S1 Kepala/Penghulu Muslih PGA 13 Gunungpati Muhramin, S.Ag S1

3

Muadhim, S.Ag S1 Kepala/Penghulu Darodjat, S.Ag S1 14 Ngaliyan Drs. Isnadi S1

3

Drs. Cholid S1 Kepala/Penghulu 15 Mijen Agus Latif, S.Ag S1 2

Darun Hasanah, S.Ag S1 Kepala/Penghulu Slamet Aliyah 16 Tugu Siddaqudin Basya, SHI S1

3

Jumlah 45 Sumber Data: Seksi Urais Kandepag Kota Semarang, 2006.

Setelah peraturan baru tentang penghulu diberlakukan tepatnya pada bulan

Juni 2006, jumlah penghulu kota Semarang yang memenuhi syarat aturan tersebut

adalah 34 orang. Sedangkan jumlah penghulu yang tidak bisa memenuhi aturan Jabatan

Fungsional Penghulu karena belum memiliki jenjang pendidikan S1 adalah 11 orang.

Sesuai dengan Peraturan MENPAN Nomor PER / 62 / M. PAN / 2005,

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN)

Nomor 20 tahun 2005, Nomor 14.A tahun 2005, dan Peraturan Menteri Agama Nomor

31 tahun 2005, duabelas orang penghulu tersebut diatas diberhentikan dengan hormat

dari Jabatan Fungsional Penghulu.

Dari kesebelas penghulu yang tereliminasi itu dua orang diantaranya adalah

menjabat sebagai Kepala KUA Kecamatan. Sesuai dengan peraturan yang ada, maka

bagi kepala KUA yang tidak memenuhi syarat aturan tersebut, tidak dapat di inpassing

kedalam jabatan fungsional penghulu namun tetap menjabat sebagai Kepala KUA

Kecamatan. Sedangkan sembilan penghulu yang tereliminasi lainya ditugaskan kembali

Page 64: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

48

menjadi pegawai/ staff pada Kantor Urusan Agama Kecamatan. Di bawah ini daftar

penghulu yang tereliminasi:

Tabel 4

Daftar Penghulu yang tereliminasi

No Nama KUA Kecamatan Ket. 1 M. Taufiq, BA Semarang Tengah Pegawai/Staff 2 Admin Semarang Timur Pegawai/Staff 3 Moch.Arwani Banyumanik Tetap Kepala 4 Suparno Ngaliyan Tetap kepala 5 Mochtar Tembalang Pegawai/Staff 6 Muslih Gunungpati Pegawai/Staff 7 Slamet Tugu Pegawai/Staff 8 Niam Noor Banyumanik Pegawai/Staff 9 Abdullah Mukti Genuk Pegawai/Staff 10 M. Shobirin Gajahmungkur Pegawai/Staff 11 Muhammad Jazuli Candisari Pegawai/Staff

Sumber: Seksi Urais Kandepag Kota Semarang, 2006.

2. Peristiwa Nikah Hamil di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang

Kecamatan Semarang Tengah adalah salah satu kecamatan di wilayah kota

Semarang yang terletak di jantung kota Semarang. Wilayahnya mencakup 15 kelurahan

yang terdiri dari 75 Rukun Warga (RW) dan 482 Rukun Tetangga (RW). Jumlah

penduduknya kurang lebih 76.663 jiwa dengan rincian laki-laki 38.078 jiwa dan

perempuan 38.585 jiwa. Sebagian penduduknya beragama Islam dengan rincian umat

Islam sebanyak 48.702 jiwa, Kristen 9.558 jiwa, Katholik 11.393 jiwa, Hindu 1.390

jiwa, Budha 6.835 jiwa, dan lainya 430 jiwa. Didukung pula oleh sarana tempat ibadah

seperti Masjid 33 buah, Langgar 58 buah, Musholla 14 buah, Gereja Kristen 20 buah,

gereja Katholik 1 buah, Wihara 13 buah, Pura 5 buah.

Page 65: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

49

Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, Kantor Urusan Agama

(KUA) Kecamatan Semarang Tengah didukung oleh 6 orang personil, terdiri dari 1

orang kepala merangkap penghulu, 2 orang penghulu, 3 orang staff dan 16 pembantu

penghulu.

Selama tahun 2007, peristiwa nikah yang tercatat di Kantor Urusan Agama

(KUA) kec. Semarang Tengah adalah 414 peristiwa. Sedangkan jumlah peristiwa talak-

cerai berjumlah 26 peristiwa. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini:

Tabel 5 Jumlah Peristiwa Nikah, Talak dan Cerai

Kec. Semarang Tengah Kota Semarang Tahun 2007

Jumlah peristiwa No Kelurahan Nikah Talak Cerai

1 Miroto 26 - 2 2 Brumbungan 21 - 1 3 Jagalan 43 2 - 4 Kranggan 16 - - 5 Gabahan 44 - 1 6 Kembangsari 37 - 3 7 Sekayu 29 - - 8 Pandansari 18 - 3 9 Bangunharjo 20 2 3 10 Kauman 15 - 1 11 Porwodinatan 35 - - 12 Karangkidul 31 1 4 13 Pekunden 16 1 - 14 Pindrikan Kidul 16 - 1 15 Pindrikan Lor 47 - 1

Jumlah 414 6 20 Sumber: Laporan Tahunan (2007) KUA Semarang Tengah

Dari jumlah peristiwa nikah yang tercatat di KUA kec. Semarang Tengah kota

Semarang tidak semuanya berjalan mulus, ada beberapa peristiwa nikah yang pada

awalnya ada kendala-kendala hukum yang membutuhkan kearifan dan kejelian para

penghulu untuk menyelesaikanya. Apalagi pelayanan masyarakat di bidang pernikahan

Page 66: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

50

membutuhkan pelayanan yang tepat, cepat dan sesuai dengan aturan hukum yang ada.

Belum lagi tuntutan pelayanan yang harus sesuai dengan kehendak masyarakat dan adat

istiadat yang mereka yakini termasuk masalah waktu pelaksanaan.1

Sejauh ini jumlah data peristiwa nikah hamil di kota Semarang tidak bisa

diketahui secara pasti. Hal ini dikarenakan masing-masing KUA jarang mendata secara

pasti jumlahnya bahkan tidak ada dokumen tertulis yang menyebutkan jumlah peristiwa

nikah hamil. Namun, menurut para penghulu kota Semarang peristiwa nikah hamil

setiap tahun bertambah jumlahnya.2 Hal ini didasarkan pada pengalaman mereka ketika

melakukan pemeriksaan sebelum dilangsungkanya akad nikah.

Ketika melakukan pemeriksaan pra nikah biasanya para penghulu akan

menanyakan sejauh mana hubungan kedua calon pengantin, tentu saja agar tidak

menyinggung perasaan kedua pasangan maka dibutuhkan cara atau trik pertanyaan yang

sifatnya menjebak keduanya. Seperti yang dilakukan Imron Jauhari, seorang penghulu

muda Kec. Semarang Tengah, biasanya pertanyaan yang ia ajukan kepada calon

pengantin putri, ketika akan mengisi status perawan/janda adalah kapan terakhir sang

perempuan ini haid. Biasanya sang perempuan tidak pernah merasa bahwa pertanyaan

ini dalam rangka untuk mengetahui kapan ia terlambat bulan. Jawaban polos dari sang

perempuan ini minimal bisa dipakai dasar bahwa ada sesuatu yang terjadi dengan sang

calon pengantin putri. Bisa saja keterlambatan menstruasi ini disebabkan karena ia

1 Imron Jauhari, Membangun Otoritas Ijtihad Penghulu, Makalah disampaikan pada acara Diskusi

Kajian Hukum Pokja Penghulu Kota Semarang 2007 2 Fenomena banyaknya nikah hamil ini tidak hanya terjadi di kota Semarang namun juga terjadi di

beberapa kota. Sebagai contoh adalah penelitian yang dilakukan Muhdi (2003) di kota Boyolaali Kec. Andong. Penelitian ini menjelaskan tentang merebaknya nikah hamil di kecamatan Andong kabupaten Boyolali pada tahun 2001-2002 yang merupakan hal biasa bagi masyarakat sana. Lihat. Muhdi, Fenomena Nikah Hamil, Tesis Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2003, hlm 6. Tidak dipublikasikan.

Page 67: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

51

sudah isi (hamil) dan bisa juga dikarenakan kebiasaannya terlambat datang bulan. Jika

ternyata sang calon pengantin putri sudah hamil bisanya akan tersipu-sipu malu. Lebih

lanjut, Imron menjalaskan bahwa metode/cara ini mungkin kurang valid, namun hanya

inilah yang bisa dilakukan para penghulu.3

Selanjutnya untuk mengetahui apakah laki-laki yang akan menikahi wanita

tersebut adalah benar-benar yang menghamili atau bukan, maka para penghulu kota

Semarang menggunakan sumpah sebagai alat buktinya.4 Sumpah dilakukan oleh calon

pengantin putra bahwa ia memang benar-benar orang yang menghamili calon pengantin

putri. Menurut mereka, hanya sumpalah yang bisa digunakan sebagai alat meneliti

kebenaran cerita tentang siapa yang menghamili. Walaupun sebenarnya pembuktian

yang paling kuat adalah melalui tes DNA, namun hal ini masih sulit untuk bisa

dilaksanakan.

Setelah positif diketahui bahwa yang akan menikahi adalah laki-laki yang

menghamili sang perempuan maka kebanyakan bahkan hampir semua penghulu kota

Semarang berani/menerima untuk menikahkan perempuan hamil dengan laki-laki yang

menghamilinya.5 Namun, jika yang akan menikahi wanita hamil itu bukan laki-laki

yang menghamilinya maka mereka tidak berani atau menolak untuk menikahkan sampai

3 Wawancara dilakukan pada tanggal 17 Oktober 2007 4 Langkah ini digunakan untuk mengantisipasi penipuan dari calon suami yang berpura-pura

mengaku sebagai laki-laki yang menghamili calon pengantin putri, agar rencana pernikahan mereka tidak ditolak /diterima oleh pihak KUA. Seandainya sumpah calon suami itu bohong maka hal itu adalah urusan mereka dengan Allah. Merekalah yang bertanggung jawab dan menanggung dosa atas sumpah bohongnya.

5 Informasi ini penulis dapatkan dari wawancara dengan H. Syamsudin, (Kepala KUA Semarang Utara) H. Syamsuri (Plt Kepala KUA Semarang Tengah), Muadhim (Kepala KUA Ngaliyan) dan Darun Hasanah (Kepala KUA Tugu)

Page 68: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

52

menunggu kelahiran anak tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 53 Kompilasi

Hukum Islam (KHI).6

Walaupun, jumlah peristiwa nikah hamil yang terjadi di kota Semarang sulit

diprediksi karena tidak terdokumentasi, namun menurut Drs. H. Syamsuri, MH, selaku

Plt kepala KUA Kec. Semarang Tengah dalam satu tahun kurang lebih 15 sampai 20

peristiwa nikah hamil terjadi di kota Semarang. Bahkan selama bulan Dzulhijah (besar)

tahun 1428 H atau bulan Desember 2007, ia telah menikahkan empat pasang pengantin

yang sudah hamil selama menjadi pejabat pelakasana tugas di KUA kec. Semarang

Tengah.7 Sementara itu menurut Taufiq (penghulu Semarang Tengah), sejak bulan

Januari – Desember 2007, ia telah menikahkan ± 10 wanita hamil, sedangkan Imron

Jauhari ± 6 wanita hamil.8 Jadi jika dijumlah maka selama kurun waktu satu tahun

(2007) peristiwa nikah hamil yang tercatat di KUA Semarang Tengah berjumlah 20

orang.

Pendapat Syamsuri diatas juga diamini oleh beberapa penghulu kota

Semarang, seperti Drs. H. Syamsudin (Kepala KUA Semarang Utara), H. Abd. Hamid

Madyan, S.Ag (Kepala KUA Pedurungan), Muadhim, S.Ag (Kepala KUA Ngaliyan)

dan beberapa penghulu muda seperti Imron Jauhari, M.Ag, Khoirudin Zuhri, SHI dan

6 Berbeda dengan pandangan para penghulu Kota Semarang yang hampir 100% dalam menerapkan

pasal 53 KHI tentang nikah hamil adalah para kepala KUA Kab. Temanggung. Menurut penelitian Roichanah (2006) terungkap bahwa hampir 70 % kepala KUA kab. Temanggung menggunakan aturan pasal 53 KHI untuk menyelesaikan kasus nikah hamil, 10 % menolak nikah hamil (tidak mengikuti KHI) dan 20 % lainya dengan terpaksa menerima nikah hamil dengan terlebih dahulu melakukan penyelidikan yang berkaitan dengan kondisi wanita hamil tersebut. Jika ternyata wanita hamil tersebut berakhlak tidak baik atau tuna susila maka beberapa kepala KUA tidak bersedia menikahkan. Namun, jika wanita baik-baik dan kehamilanya terjadi karena adanya hubungan keterpaksaan maka pernikahanya akan dilaksanakan selama tidak ada larangan hukum yang menghalangi. Roichanah, Presepsi Kepala KUA se Kab. Temanggung Tentang Panerapan Pasal 53 KHI, Tesis Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2006, hlm. 20. Tidak dipublikasikan.

7 Wawancara dilakukan pada tanggal 30 Desember 2007 8 Wawancara dilakukan pada tanggal 30 Desember 2007

Page 69: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

53

Sidaqqudin Basya, SHI. Bahkan menurut Drs. H. Utsaman Efendi (Kepala KUA

Semarang Barat) jumlah yang diperkirakan Syamsuri di atas bisa lebih lagi tergantung

pada banyaknya penduduk dimasing-masing kecamatan (Lihat. Tabel jumlah peristiwa

nikah Kota Semarang tahun 2007). Di samping itu menurut Imron Jauhari pertimbangan

kultur masyarakat masing-masing daerah juga berpengaruh terhadap banyak tidaknya

jumlah peristiwa nikah hamil.

B. Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Nikah Hamil Di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang

Penentuan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil adalah problem

tersendiri dari diperbolehkanya nikah hamil. Ketika wanita hamil karena zina ini

akhirnya menikah dengan laki-laki yang menghamilinya maka masalah berikutnya

adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak yang terlahir dari

perkawinan tersebut adalah seorang gadis. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik

antara aturan fiqh dan undang-undang. Polemik ini berawal dari penentuan status anak

yang terlahir dari pernikahan tersebut. Apakah anak ini dinasabkan kepada bapak

ibunya atau hanya kepada ibunya saja. Jika ia dinasabkan kepada bapaknya maka sang

bapak bisa menjadi wali nikah, namun jika tidak maka yang berhak menjadi wali nikah

adalah wali hakim.

Menentukan siapa yang berhak menjadi wali nikah adalah hal yang sangat

penting bagi sebuah perkawinan. Oleh karenanya dibutuhkan kejelian dan kehati-hatian

para penghulu untuk menentukanya. Salah satunya adalah kasus yang di alami seorang

wanita berinisial RH dengan alamat Jl. Sekayu Baru III/390 C Kel. Sekayu Kec.

Semarang Tengah. Berdasarkan Akta Kelahiran, RH lahir pada tanggal 28 bulan

Nopember 1982, sedangkan dalam Kutipan Akta Nikah orang tuanya tercantum bahwa

Page 70: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

54

keduanya menikah pada tanggal 29 bulan September tahun 1982. Dengan bukti ini

maka dapat diketahui bahwa RH lahir setelah dua bulan dari pernikahan kedua orang

tuanya. Jika RH lahir secara normal (usia kandungan sembilan bulan, sebagaimana

umumnya proses kelahiran) maka ketika melangsungkan pernikahan sang ibu sudah

hamil minimal tujuh bulan.

Kasus yang sama dialami seorang wanita berinisial SA dengan alamat

Kabaraya RT 02/XIII Kel. Tandang Kec. Tembalang yang akan melangsungkan

perkawinan dengan seorang berinisial AB. Ketika diadakan pemeriksaan berkas nikah

SA ternyata ditemukan kejanggalan antara tahun kelahiran dengan tahun perkawinan

kedua orang tuanya. Dalam Akta Kelahiran dinyatakan bahwa SA lahir pada tanggal 23

bulan Januari tahun 1981, sedangkan dalam Kutipan Akta Nikah orang tuanya

disebutkan bahwa kedua orang tuanya menikah pada tanggal 29 bulan Agustus tahun

1980. Melihat fakta administratif ini maka dapat diketahui bahwa SA lahir sebelum

enam bulan dari pernikahan kedua orang tuanya tepatnya setelah lima bulan menikah.

Setelah hal ini ditanyakan kepada kedua orang tuanya ternyata dibenarkan bahwa ketika

mereka melangsungkan perkawinan sang isteri telah mengandung empat bulan.9

Masalahnya sekarang adalah siapa yang harus menjadi wali nikah SA? Apakah tetap

bapaknya sebagai wali nikah sesuai dengan akta kelahiran atau menggunakan wali

hakim karena kehamilan ibunya ketika menikah sudah lebih dari enam bulan sesuai

aturan fiqh?

9 Penjelasan ini (sudah hamil empat bulan sebelum menikah) adalah pengakuan sang bapak ketika

ditanya oleh H. Syamsudin (Kepala KUA Tembalang). Menurut Syamsudin, sebelum hari H pernikahan, calon pengantin harus datang ke KUA bersama wali untuk acara pemeriksaan berkas dan penasehatan perkawinan. Pada saat itulah para penghulu mencari informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan aturan hukum perkawinan seperti dalam menentukan wali nikah. Wawancara dilakukan pada tanggal 22 Desember 2007.

Page 71: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

55

Menurut para penghulu kota Semarang,10 masalah ini adalah merupakan

problem tersendiri dari penerapan pasal 53 KHI tentang nikah hamil. Pasal ini

menjelaskan bahwa wanita yang sedang hamil boleh dinikahkan dengan laki-laki yang

menghamilinya. Dengan kata lain maka perkawinanya dianggap sah dan anak yang

dilahirkan juga dianggap sah. Jika anak itu dianggap sah oleh perundang-undangan

maka mestinya bapaknya lah yang berhak menjadi wali nikah. Bahkan menurut catatan

sipil seandainya hari ini ada pasangan pengantin yang menikah kemudian besoknya

sang isteri melahirkan maka anaknya tetap dianggap anak sah.11

Dalam menyelesaikan kasus seperti ini, ada dua model/cara yang

dikembangkan oleh penghulu kota Semarang, yaitu: (1) Wali nikahnya adalah wali

hakim; (2) Wali nikahnya adalah tetap bapaknya (wali nasab).

Menurut Drs. H. Syamsuri, S.Ag MH (Plt Kepala KUA Semarang Tengah)

dan mayoritas penghulu kota Semarang dalam menghadapi problem ini, ia lebih

memilih pandangan fiqh dari pada undang-undang. Menurut pandangan jumhur ulama’,

apabila bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut

tidak dapat dihubungkan kekerabatanya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam

perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja. Oleh

karenanya ia menetapkan bahwa wali nikahnya SA ataupun RH adalah wali hakim

bukan bapaknya.12 Tentu saja menurut mereka (penghulu kota Semarang) butuh kehati-

10 Informasi ini penulis dapatkan dari wawancara dengan H. Syamsudin, (Kepala KUA Semarang

Utara yang juga Plt Kepala KUA Tembalang) H. Syamsuri (Plt Kepala KUA Semarang Tengah), Muadhim (Kepala KUA Ngaliyan) dan Darun Hasanah (Kepala KUA Tugu).

11 Wawancara dengan Drs. Suroto (pegawai Kantor Dinas Kependudukan (Dispenduk) yang dulu dikenal dengan Kantor catatan sipil (KCS) kota Semarang pada tanggal 3 Januari 2008. Menurut Suroto, yang penting ada bukti Kutipan Akta Nikah yang dikeluarkan dari masing-masing KUA maka nama bapak dan ibu akan tetap tercantum pada Akta Kelahiran si anak walaupun dari peristiwa nikah hamil.

12 Bukti berupa form model NB Daftar Pemeriksaan Nikah KUA Kec. Semarang Tengah

Page 72: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

56

hatian untuk menerangkan kepada para pihak terutama kepada sang bapak. Karena

masalah ini sangat sensitif.13

Berbeda dengan Syamsuri, Muadhim pengulu KUA kec. Ngaliyan

memutuskan bahwa wali nikahnya tetap bapaknya bukan menggunakan wali hakim.

Alasanya karena menurut undang-undang anak tersebut adalah anak sah dari bapaknya.

Di samping itu, jika anak tersebut tidak bisa intisab kepada bapaknya mengapa fiqh dan

undang-undang memperbolehkan nikah hamil?. Menurutnya jika nikah hamil itu

diperbolehkan maka konsekwensinya anak yang lahir pun bisa intisab kepada

bapaknya.14

Bagi para penghulu yang menggunakan model/cara pertama, keputusan ini

diambil karena berpegang pada aturan fiqh yang menegaskan bahwa seorang anak

supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir

sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau didalam tenggang ‘iddah

selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus. Oleh karenanya, apabila

bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak

dapat dihubungkan kekerabatanya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan

yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja. Oleh karenanya jika

anak yang lahir dari pernikahan tersebut adalah seorang gadis maka wali nikahnya

adalah wali hakim bukan bapaknya.

13 Informasi ini penulis dapatkan dari wawancara dengan H. Syamsudin, (Kepala KUA Semarang

Utara yang juga Plt Kepala KUA Tembalang) H. Syamsuri (Plt Kepala KUA Semarang Tengah), Muadhim (Kepala KUA Ngaliyan) dan Darun Hasanah (Kepala KUA Tugu) dan penghulu muda kota Semarang seperti Imron Jauhari, Khoirudin Zuhri, Siddaquddin Basya, Muhromin dan Mustaghfirin.

14 Wawancara dengan Muadhim (Kepala KUA Ngaliyan) pada tanggal 28 Desember 2007.

Page 73: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

57

Menurut para penghulu,15 keputusan ini diambil setelah melalui penelitian

berkas administrasi kehendak nikah dari calon pengantin putri. Bagi para penghulu,

menentukan apakah calon pengantin putri adalah anak nikah hamil kedua orang tuanya

pada waktu itu adalah pekerjaan yang paling sulit. Hal ini dikarenakan tidak ada catatan

husus dalam kutipan Akta Nikah keduanya yang menunjukkan bahwa mereka dulunya

menikah dalam keadaan hamil, bahkan dalam Register Nikah pun tidak tertulis

peristiwa tersebut. Di samping itu, kebanyaakan orang tua calon pengantin putri akan

merasa malu bila peristiwa terdahulu akan diungkit-ungkit lagi. Oleh kareanya mereka

akan menutupinya serapat mungkin.16

Satu-satunya cara yang bisa dilakukan penghulu untuk mengetahui apakah

calon pengantin putri dalah anak hasil nikah hamil adalah mencocokkan antara tahun

kelahirannya yang tertera pada Akta Kelahiran dengan tahun menikah kedua orang

tuanya yang tertara pada Kutipan Akta Nikah. Dari penelitian inilah kasus nikah hamil

yang dilakukan kedua orang tuanya bisa teredeteksi. Dari penilitian ini pulalalah para

penghulu bisa menentukan apakah calon pengantin putri lahir sebelum enam bulan atau

sesudah enam bulan dari pernikahan kedua orang tuanya. Jika ia lahir sebelum enam

bulan maka sebagaimana aturan fiqh, para penghulu mengambil keputusan untuk

menggunakan wali nasab dalam hal ini adalah bapaknya. Namun, jika ia lahir setelah

enam bulan maka keputusanya adalah menggunakan wali hakim dalam hal ini kepala

KUA.

15 Para penghulu yang menggunakan model/cara pertama seperti H. Syamsudin, (Kepala KUA

Semarang Utara yang juga Plt Kepala KUA Tembalang) H. Syamsuri (Plt Kepala KUA Semarang Tengah), Muadhim (Kepala KUA Ngaliyan) dan Darun Hasanah (Kepala KUA Tugu)

16 Wawancara dengan Imron Jauhari pada tanggal 17 Oktober 2007

Page 74: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

58

Sebenarnya cara ini tidak menjadi jaminan atas kebenaran peristiwa nikah

hamil, karena menurut para penghulu sering terjadi manipulasi data atas peristiwa

tersebut. Banyak Akta Kelahiran yang dibuat tidak sesuai dengan waktu kelahiran anak.

Misalnya berdasarkan Akta Nikah, orang tuanya menikah pada bulan Juni 2006 sedang

si anak lahir pada bulan Agustus 2006 maka Akta Kelahiranya tercatat pada bulan Maret

2007. Manipulasi ini dilakukan untuk menutupi aib mereka agar kelak nantinya tidak

diketahui bahwa sebenarnya anak yang dilahirkan adalah hasil nikah hamil.

Jika kebijakan/keputusanya adalah harus menikah dengan wali hakim maka

para penghulu harus hati-hati menyampaikan hal ini kepada pihak-pihak yang

bersangkutan. Jangan sampai ada pihak tersinggung terutama ayah dari calon pengantin

putri mengenai keputusan ini. Oleh karena itu, untuk menutupi aib keluarga para

penghulu sering membuat kesepakatan dengan calon pengantin, yaitu, menikahkan

mereka terlebih dahulu dengan wali hakim, setelah itu di hadapan orang banyak ia

menikahkan keduanya dengan wali bapaknya.17

Keputusan mayoritas penghulu kota Semarang dalam menentukan wali nikah

dari anak nikah hamil ini berbeda dengan beberapa penghulu yang menggunakan

model/cara penyelesaian kedua. Menurut mereka,18 wali nikah dari anak perempuan

nikah hamil adalah tetap bapaknya bukan wali hakim. Jika undang-undang menganggap

sah nikah hamil maka konsekwensinya anak yang dilahirkan pun juga dianggap sah. Hal

ini sesuai dengan UUP No.1/1974 pasal 42 dan KHI pasal 99 bahwa “Anak yang sah

17 Informasi ini penulis dapatkan dari M. Taufiq (Penghulu Semarang Tengah). Sekitar tahun 2005

ia pernah menikahkan seorang wanita yang lahir dari peristiwa nikah hamil orang tuanya. Keputusan ini ia ambil setelah melakukan pemeriksaan sebelum hari pernikahan. Dari hasil pemeriksaan akhirnya diputuskan bahwa wali nikah calon pengantin putri adalah wali hakim. Pada awalnya sang bapak tidak bisa menerima keputusan tersebut, namun setelah diberi penjelasan akhirnya bisa menerimanya. Wawancara dilakukan pada tanggal 18 Desember 2007.

18 Penghulu yang menggunakan model/cara penyelesaian kedua

Page 75: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

59

adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Lebih

lanjut pasal 55 ayat (1) menegaskan bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat

dibuktikan dengan Akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang

berwenang.

Berpijak dari aturan undang-undang di atas maka mereka mengambil

keputusan bahwa meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari

batas minimal usia kandungan sebagaimana dijelaskan oleh fiqh, namun selama bayi

yang dikandung tadi lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka

anak tersebut adalah anak sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia

kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasanya. Oleh karenanya

wali nikahnya tetap bapaknya bukan wali hakim.

Page 76: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

BAB IV

ANALISIS PENENTUAN WALI NIKAH BAGI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH HAMIL

DI KUA KEC. SEMARANG TENGAH KOTA SEMARANG

A. Analisis Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Nikah Hamil

Di KUA Kec. Semarang tengah Kota Semarang

Salah satu contoh kasus/problem yang menjadikan dilema bagi para penghulu

untuk memilih aturan mana yang harus dipakai, ketika terjadi perbedaan pendapat

antara UUP/KHI dengan fiqh – kitab-kitab fiqh munakahat yang dipegangi oleh

masyarakat Indonesia adalah mengenai kasus Penetapan Wali Nikah Bagi Anak

Perempuan Hasil Nikah Hamil.

Sebagaimana telah dijelaskan pada awal tulisan ini bahwa Pandangan fiqh

berkenaan dengan anak sah ini daptlah dipahami bahwa anak dimulai sejak terjadinya

konsepsi atau pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita

calon ibu dan konsepsi ini haruslah terjadi didalam perkawinan yang sah. Dari sinilah

penetapan anak sah tersebut dilakukan. Dengan demikian fiqh menegaskan bahwa

seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu

harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang

‘iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus. Oleh karenanya,

apabila bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut

tidak dapat dihubungkan kekerabatanya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam

perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja.1 Oleh

1 Al-Syairazi, al-Muhazzab, Beirut, Dar al-Fikr, ttp, Juz II, hlm. 130

Page 77: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

61

karenanya sang bapak tidak berhak menjadi wali nikah anak perempuanya sehingga

wali nikahnya adalah wali hakim (Kepala KUA)

Sementara itu, menurut UUP dan KHI, anak yang terlahir dari pernikahan

hamil adalah anak sah karena lahir “dalam” perkawinan yang sah. Jadi secara implisit

dapat dipahami, bahwa anak yang lahir dari atau dalam ikatan perkawinan yang sah,

baik perkawinan itu darurat, tambelan, penutup malu, tanpa mempertimbangkan

tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran si bayi, maka status anaknya adalah

sah. Ini membawa implikasi bahwa anak yang “hakikat” nya anak zina, secara formal

dianggap sebagai anak sah, selama dapat dibuktikan dengan akte kelahiran dan alat

bukti lainya, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Hal ini seperti dijelaskan

pada pasal 103 KHI dan pasal 55 UUP. Jika anak tersebut dianggap sah maka ia akan

mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya sehingga yang berhak menjadi wali nikah

dari anak gadis tersebut adalah bapaknya (wali nasab).

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab III bahwa penentuan wali nikah bagi

anak perempuan hasil nikah hamil adalah problem tersendiri dari diperbolehkanya

nikah hamil. Ketika wanita hamil karena zina ini akhirnya menikah dengan laki-laki

yang menghamilinya maka masalah berikutnya adalah siapa yang nantinya berhak

menjadi wali nikah, jika anak yang terlahir dari perkawinan tersebut adalah seorang

gadis. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik antara aturan fiqh dan undang-

undang. Polemik ini berawal dari penentuan status anak yang terlahir dari pernikahan

tersebut. Apakah anak ini dinasabkan kepada bapak ibunya atau hanya kepada ibunya

saja. Jika ia dinasabkan kepada bapaknya maka sang bapak bisa menjadi wali nikah,

namun jika tidak maka yang berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim.

Page 78: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

62

Menentukan siapa yang berhak menjadi wali nikah adalah hal yang sangat

penting bagi sebuah perkawinan. Oleh karenanya dibutuhkan kejelian dan kehati-hatian

para penghulu untuk menentukanya. Salah satunya adalah kasus yang di alami seorang

wanita berinisial SA dengan alamat Kabaraya RT 02/XIII Kel. Tandang Kec.

Tembalang yang akan melangsungkan perkawinan dengan seorang berinisial AB.

Ketika diadakan pemeriksaan berkas nikah SA ternyata ditemukan kejanggalan antara

tahun kelahiran dengan tahun perkawinan kedua orang tuanya. Dalam Akta Kelahiran

dinyatakan bahwa SA lahir pada tanggal 23 bulan Januari tahun 1981, sedangkan dalam

Kutipan Akta Nikah orang tuanya disebutkan bahwa kedua orang tuanya menikah pada

tanggal 29 bulan Agustus tahun 1980. Melihat fakta administratif ini maka dapat

diketahui bahwa SA lahir sebelum enam bulan dari pernikahan kedua orang tuanya

tepatnya setelah lima bulan menikah. Setelah hal ini ditanyakan kepada kedua orang

tuanya ternyata dibenarkan bahwa ketika mereka melangsungkan perkawinan sang isteri

telah mengandung empat bulan. Masalahnya sekarang adalah siapa yang harus menjadi

wali nikah SA? Apakah tetap bapaknya sebagai wali nikah sesuai dengan akta kelahiran

atau menggunakan wali hakim karena kehamilan ibunya ketika menikah sudah lebih

dari enam bulan sesuai aturan fiqh?

Kasus yang sama juga dialami oleh seorang wanita berinisial RH dengan

alamat Jl. Sekayu Baru III/390 C Kel. Sekayu Kec. Semarang Tengah. Berdasarkan

Akta Kelahiran, RH lahir pada tanggal 28 bulan Nopember 1982, sedangkan dalam

Kutipan Akta Nikah orang tuanya tercantum bahwa keduanya menikah pada tanggal 29

bulan September tahun 1982. Dengan bukti ini maka dapat diketahui bahwa RH lahir

setelah dua bulan dari pernikahan kedua orang tuanya. Jika RH lahir secara normal (usia

Page 79: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

63

kandungan sembilan bulan, sebagaimana umumnya proses kelahiran) maka ketika

melangsungkan pernikahan sang ibu sudah hamil minimal tujuh bulan.

Menurut para penghulu kota Semarang,2 masalah ini adalah merupakan

problem tersendiri dari penerapan pasal 53 KHI tentang nikah hamil. Pasal ini

menjelaskan bahwa wanita yang sedang hamil boleh dinikahkan dengan laki-laki yang

menghamilinya. Dengan kata lain maka perkawinanya dianggap sah dan anak yang

dilahirkan juga dianggap sah. Jika anak itu dianggap sah oleh perundang-undangan

maka mestinya bapaknya lah yang berhak menjadi wali nikah. Bahkan menurut catatan

sipil seandainya hari ini ada pasangan pengantin yang menikah kemudian besoknya

sang isteri melahirkan maka anaknya tetap dianggap anak sah.3

Dalam menyelesaikan kasus seperti ini, ada dua model/cara yang

dikembangkan oleh penghulu kota Semarang, yaitu: (1) Wali nikahnya adalah wali

hakim; (2) Wali nikahnya adalah tetap bapaknya (wali nasab). Dengan kata lain,

penghulu (KUA) kota Semarang berbeda pendapat dalam mensikapi masalah ini.

Menurut penghulu KUA kec. Semarang Tengah kota Semarang dalam

menentukan wali nikah bagi anak perempuan yang lahir dari nikah hamil, mereka lebih

setuju dengan menggunakan model/cara pertama sebagaimana aturan fiqh dimana jika

sang anak gadis tersebut lahir kurang dari enam bulan setelah pernikahan orang tuanya

maka walinya hakim (Kepala KUA), namun jika ia lahir lebih dari enam bulan dari

peristiwa nikah kedua orang tuanya maka wali nikahnya adalah nasab yaitu bapaknya.

2 Informasi ini penulis dapatkan dari wawancara dengan H. Syamsudin, (Kepala KUA Semarang

Utara yang juga Plt Kepala KUA Tembalang) H. Syamsuri (Plt Kepala KUA Semarang Tengah), Muadhim (Kepala KUA Ngaliyan) dan Darun Hasanah (Kepala KUA Tugu).

3 Wawancara dengan Drs. Suroto (pegawai Kantor Dinas Kependudukan (Dispenduk) yang dulu dikenal dengan Kantor catatan sipil (KCS) kota Semarang pada tanggal 3 Januari 2008. Menurut Suroto, yang penting ada bukti Kutipan Akta Nikah yang dikeluarkan dari masing-masing KUA maka nama bapak dan ibu akan tetap tercantum pada Akta Kelahiran si anak walaupun dari peristiwa nikah hamil.

Page 80: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

64

Perbedaan pendapat antara UUP, KHI dan aturan-aturan fiqh yang populer

tentang status anak hasil nikah hamil diatas tentu saja membuat bingung terutama bagi

para penghulu. Bagi para penghulu, aturan mana yang harus dipilih, fiqh atau

UUP/KHI?. Jika para penghulu lebih memilih pendapat fiqh maka mereka melanggar

aturan yang ada dalam UUP/KHI. Padahal, sebagai bagian dari aparatur negara, dalam

menjalankan tugas-tugas kepenghuluan mereka harus tunduk terhadap undang-undang.

Namun, jika para penghulu memilih pendapat UUP/KHI maka hal ini jelas-jelas

melanggaran aturan yang ada dalam kitab-kitab fiqh yang telah populer dikalangan

masyarakat. Sebab konsep yang berlaku secara umum dalam masyarakat muslim adalah

konsep yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh dan tafsir tradisional, khususnya mazhab

syafi’i bagi masyarakat Indonesia.

Menurut penulis, para penghulu yang memilih aturan fiqh, bukan berarti

mereka melanggar undang-undang. Dalam hal ini yang harus dicermati dari pasal 42

UUP dan pasal 99 KHI adalah klausul “anak yang lahir akibat perkawinan yang sah”

Perkawinan wanita hamil itu sebenarnya menunjukkan bahwa pembuahan telah terjadi

sebelum akad nikah sebagai sebab kehamilan. Setelah itu terjadilah perkawinan antara

wanita dengan pria yang menghamilinya. Selang beberapa bulan, anak yang dikandung

pun lahir. Dengan kata lain anak itu lahir akibat dari hubungan kedua orang tuanya

sebelum adanya akad perkawinan yang sah. Jika demikian berarti anak tersebut lahir

akibat dari perkawinan yang tidak sah. Oleh karenanya walaupun kemudian orang

tuanya menikah secara sah dan anak tersebut lahir sesudah perkawinan tersebut

statusnya tetap dianggap anak tidak sah. Dengan demikian berarti intisabnya hanya

kepada ibunya saja, sehingga suami ibunya (bapaknya) tidak berhak menjadi wali nikah.

Page 81: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

65

Namun demikian pertanyaan lain yang harus diajukan kepada para penghulu

yang memilih cara pertama adalah apakah keputusan tersebut dapat dibenarkan jika

hanya berdasar pada pemeriksaan berkas hususnya Kutipan Akta Nikah dan Akta

kelahiran? Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa banyak orang tua yang telah menikah

sirri sebelumnya baru kemudian mencatatkan pernikahannya di KUA. Jika mereka

mencatatkan pernikahanya ketika sang isteri telah hamil maka tentu saja antara Kutipan

Akta Nikah keduanya dan Akta Kelahiran sang anak akan terjadi kejanggalan. Misalnya

mereka mencatatkan pernikahan ketika sudah hamil delapan bulan maka tentu saja satu

atau dua bulan kemudian sang anak lahir. Apakah sang bapak kelak tidak bisa menjadi

wali nikah atas anak gadisnya?

Menurut penulis, kesalahan penelitian yang dilakukan para penghulu atas

peristiwa tersebut di luar jangkauan mereka. Mereka telah berusaha untuk melakukan

penelitian semaksimal mungkin secara administratif. Nikah sirri yang dilakukan orang

tua sang anak tidak dapat dibuktikan ketika pemeriksaan, siapa yang menjamin sah

tidaknya pernikahan sirri mereka? Karena untuk menelitanya perlu bukti-bukti atas

peristiwa nikah enam belas atau dua puluh tahun sebelumnya. Menurut penulis, tentu

saja hal ini sulit dilakukan. Oleh karena itu dalam menentukan masalah tersebut kita

berpegang kepada hadis nabi “Nahnu nahkumu bi al-dhawahir”(kita hanya bisa

menghukumi yang nampak saja).4 Secara administratif anak tersebut adalah anak hasil

nikah hamil.

Bagi para penghulu yang menggunakan dasar UUP dan KHI juga tidak bisa

disalahkan karena jika undang-undang menganggap sah nikah hamil maka

4 Lihat Sunan Abi Dawud hadis no. 1720

Page 82: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

66

konsekwensinya anak yang dilahirkan pun juga dianggap sah. Hal ini sesuai dengan

UUP No.1/1974 pasal 42 dan KHI pasal 99 bahwa “Anak yang sah adalah anak yang

dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Lebih lanjut pasal 55 ayat

(1) menegaskan bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan Akta

kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Disamping itu

UUP dan KHI tidak mengatur batas usia kandungan dalam penentuan status anak. Oleh

karenanya jika konsepsi anak sebagaimana diatur dalam kitab-kitab fiqh menjadi ukuran

dalam menentukan status nasab mestinya UUP dan KHI memasukkan aturan tersebut

dalam pasal-pasalnya, sehingga ada kejelasan hukum status anak hasil nikah hamil.

Berdasarkan sejumlah penelitian,5 aturan perundang-undangan perkawinan

belum sepenuhnya dijadikan sebagai nilai yuridis, filosofis, dan sosiologis sebagian

Muslim, termasuk di dalamnya Muslim Indonesia. Aturan Perundang-undangan

Perkawinan hanya dijadikan nilai pelengkap setelah konsep kitab-kitab fiqh tradisional.

Menurut Prof. Khoiruddin Nasution,6 salah satu penyebab kurang maksimalnya aplikasi

Perundang-undangan Hukum Keluarga Muslim Kontemporer di lapangangan

dikarenakan oleh isi perundang-undangan ada sebagian yang bertentangan atau minimal

tidak sesuai dengan nilai filosofis, yuridis dan sosiologis yang berlaku dalam mayoritas

masyarakat. Sebab konsep yang berlaku secara umum dalam masyarakat muslim adalah

5 Mengenai konflik antara KHI dan Fiqh, lihat penelitian Abdullah Arief Cholil tentang Konflik

dan Ketegangan Antara Fiqh dan Hukum Formal Islam (Studi Kasus Perkawinan di Demak). Tesis Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2003. Tidak dipublikasikan. Lihat juga penelitian NJ.Coulson dalam bukunya Conflicts And Tentions in Islamic Jurisprodence, Chicago and London, The Chicago Press, 1969. Berdasarkan penelitianya terhadap perjalanan sejarah hukum Islam yang tertuang dalam literatur masa klasik sampai masa modern di dunia Islam, ia sampai pada suatu konklusi bahwa terdapat konflik atau ketegangan antara teori dan praktik dalam hukum Islam. Di ambil dari Imron Jauhari, Membangun Otoritas Ijtihad Penghulu, Makalah disampaikan pada acara Diskusi Kajian Hukum Pokja Penghulu Kota Semarang 2007

6 Khoiruddin Nasution,, Status Wanita di Asia Tenggara; Studi terhadap Perundang-undangan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta-Lieden, INIS, 2002, hlm. 274.

Page 83: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

67

konsep yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh dan tafsir tradisional, khususnya mazhab

syafi’i bagi masyarakat Indonesia. Akibatnya, konsep diluar kitab-kitab tersebut

dianggap tidak sejalan dengan Islam (tidak Islami). Konsekwensinya keyakinan bahwa

konsep yang ada dalam kitab-kitab fiqh dan tafsir tradisional harus dipatuhi, sementra

konsep perundang-undangan boleh dilanggar.

B. Analisis Metode Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Nikah Hamil Di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab III bahwa dalam pelaksanaan hukum

perkawinan di Indonesia, eksistensi seorang penghulu yang bertugas di Kantor Urusan

Agama sangatlah penting. Oleh karenanya Penghulu sangat identik dengan Kantor

Urusan Agama (KUA). Jika kita melakukan penelitian tentang KUA maka sebenarnya

sama dengan penelitian dengan penghulu. Pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang

terkait dalam perkawinan yang dilakukan oleh seorang Penghulu, menyebabkan

perkawinan itu bisa dilaksanakan atau tidak. Penghulu bisa menggagalkan perkawinan

dan menolak untuk mencatatnya manakala hasil pemeriksaanya terhadap pihak-pihak

yang terkait dalam perkawinan ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan-

aturan hukum perkawinan.

Menurut Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 474 tentang Pencatatan

Nikah, Penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil sebagai Pegawai Pencatat Nikah yang

diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri Agama

atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundan-undangan yang berlaku

untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan

kepenghuluan. Tugas pokok penghulu adalah: melakukan perencanaan kegiatan

kepenghuluan, pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk,

Page 84: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

68

penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk, pemantuan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk

dan pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan mu’amalah.

Bagi seorang penghulu, Undand-Undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi

Hukum Islam (KHI)7 adalah sumber utama pelaksanaan hukum perkawinan Indonesia.

Dalam menjalankan tugasnya seorang penghulu harus berpegang kepada aturan-aturan

yang ada dalam UUP, KHI dan aturan-aturan lain yang berhubungan dengan

kepenghuluan. Dalam hukum Administrasi Negara dijelaskan bahwa penyelenggaraan

pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang, yang kemudian dikenal dengan

istilah asas legalitas. Oleh karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama

penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan, dengan kata lain, asas legalitas

memiliki kedudukan sentral sebagai suatu fondamen dari Negara hukum. Untuk itu,

penghulu sebagai aparatur pemerintah juga harus tunduk dengan aturan perundang-

undangan dalam menjalankan tugasnya.

Namun dalam praktiknya tidak semua masalah perkawinan itu bisa

diselesaikan dengan aturan tersebut. Poblematika hukum akan selalu muncul, seiring

dengan perkembangan zaman, begitu juga dengan problematika hukum perkawinan.

Tidak semua problematika hukum perkawinan itu diatur didalam Undang-Undang dan

KHI. Hal ini disebabkan karena aturan-aturan hukum apapun sifatnya adalah terbatas,

sedangkan masalah-masalah sosial yang muncul di masyarakat itu sifatnya tidak

7 Kompilasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia yang mengarah kepada univikasi mazhab dalam hukum Islam. Ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat islam Indonesia.Hukum Islam yang dimaksud dalah aturan-aturan hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqh yang banyak didalamnya terdapat perbedaan pendapat, kemdian dicoba diunivikasikan ke dalam bentuk kompilasi. Lihat Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, cet 2, 1993, hlm 25. Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) disahkan melalui Instruksi Persiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni. Kemudian ditindaklanjuti keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 juli 1991, dan disebarluaskan melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Nomor 3694 / EV / HK.003 / AZ / 91 tanggal 25 juli 1991. Lihat A. Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995

Page 85: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

69

terbatas. Kadang-kadang pada kasus tertentu aturan tersebut ternyata tidak bisa

diterapkan. Disisi lain seorang penghulu juga mengalami dilema ketika menghadapi

perbedaan pendapat atau konflik antara KHI sebagai hukum Islam Indonesia dengan

fiqh- kitab-kitab fiqh munakahat yang dipegangi oleh masyarakat Indonesia. Kenyataan

ini jelas menjadi problem tersendiri bagi para penghulu dalam melaksanakan tugasnya.

Oleh karenanya untuk menyelesaikan masalah-masalah perkawinan ini

dibutuhkan kemampuan para penghulu untuk membuat keputusan serta kemudian

mengambil tindakan yang dianggap tepat atau sesuai dengan situasi dan kondisi yang

dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala

pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan.

Dalam prespektif hukum Islam usaha untuk memecahkan/menemukan

masalah hukum itu di kenal dengan istilah ijtihad. Ijtihad memegang peranan yang

sangat penting (signifikan) dalam pembaruan dan pengembangan hukum Islam. Ijtihad

sebagai suatu prinsip dan gerak dinamis dalam khasanah Islam, merupakan aktifitas

daya nalar yang dilakukan oleh para fuqaha dalam menggali hukum Islam.

Pada awalnya al-Qur’an diwahyukan sebagai respon terhadap terhadap

masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang lebih luas lagi. Seiring

dengan berkembngnya Islam keberbagai penjuru, maka muncul pula persoalan–

persoalan baru yang berbeda dengan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslimin

dimasa Rasulullah. Sedangkan al-Qur’an hanya memuat sebagian hukum-hukum yang

terperinci, sementara sunnah hanya terbatas pada kasus-kasus masa Rasulullah, maka

untuk memecahkan persoalan-persolan baru itu diperlukan adanya ijtihad. Meminjam

ungkapan al-Syahrastani dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal bahwa teks-teks nash itu

Page 86: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

70

terbatas, sedangkan problematika hukum yang memerlukan solusi itu tidak terbatas,

bagaimana nash-nash hukum yang terbatas itu mampu memecahkan problematika

hukum yang tidak terbatas, oleh karenaya diperlukan ijtihad untuk menginterpertasikan

nash yang terbatas itu agar berbagai masalah yang tidak dikemukakan secara eksplisit

dalam nash dapat dicari pemecahanya.8

Menurut Qodri, wujud hukum Islam bermula dari pendapat perseorangan

terhadap pemahaman nash atau pendapat perseorangan tentang upaya menemukan

hukum terhadap suatu kejadian (waqi’ah) yang ada.9 Bermula dari pendapat

perseorangan yang dilengkapi dengan metode, kemudian dikuti oleh orang lain atau

murid-murid yang jumlahnya semakin banyak. Pendapat perseorangan ini kemudian

menjadi pendapat beberapa orang dan begitu seterusnya diikuti oleh orang lain,

kemudian menjadi baku. Pendapat-pendapat inilah yang kemudian dikenal dengan

istilah Fiqh. Oleh karenanya berbicara mengenai hukum Islam adalah berbicara fiqh.10

Dan berbicara mengenai fiqh tidak akan lepas dari pembicaraan mengenai mazhab.

Sedangkan menurut Rofiq, hukum Islam adalah totalitas religious yang

mengatur prilaku kaum muslimin. Jika hal itu difahami sebagai produk pemikiran

Fuqaha, maka lazimnya disebut al-fiqh. Namun bila dipahami sebagai aturan-aturan

hukum yang diwahyukan Allah, maka disebut Syari’ah. Fiqh adalah formula yang

dipahami dari Syari’ah. Syariah tidak bisa dijalankan dengan baik, tanpa dipahami

melalui fiqh. Namun hukum Islam tidak selalu diasosiasikan sebagai fiqh, karena dalam

8 al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Beirut, Dar al-Fikr, 1967, hlm. 199 9 Qodri A. Azizi, Redifinisi Bermazhab dan Berijtihad : Al-Ijtihad al-ilm al-Asri, Pidato

pengukuhan guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Islam IAIN Walisongo Semarang, 2003, hlm. 17 10 Qodri A. Azizi, The Concept of Mazhab and The question of ItsBoundary, al-Jami’ah, 59. 1996,

hlm 77-92

Page 87: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

71

perkembnganya setidaknya masih ada tiga jenis produk hukum Islam yaitu : Fatwa,

Keputusan Pengadilan dan Undang-Undang.11

Berijtihad memang bukan perseoalan yang sederhana, seorang yang akan

melakukan ijtihad harus memiliki kemampuan khusus, yang memungkinkan dirinya

dapat melakukan ijtihad dan hasil ijtihadnya itu dapat diakui dan diterapkan dikalangan

ummat. Dan karena terlalu beratnya syarat-syarat ijtihad itu ada anggapan seakan-

seakan orang tidak bisa melakukan ijtihad.

Selama ini otoritas ijtihad seorang penghulu memang tidak sekuat otoritas

ijtihad seorang hakim. Sejauh ini ketika kitab-kitab fiqh membahas mengenai hakim

(Qadhi) pada setiap lembaga peradilan, kemampuan berijtihad menjadi salah satu

syarat. Al- muzani misalnya, didalam mukhtasarnya 12 menjelaskan bahwa jika seorang

yang akalnya tidak mampu untuk melakukan qiyas (analogi) atau tidak mampu memilah

dan memilih perbedaan- perbedaan maka ia sebaiknya tidak menjadi hakim dan orang

lain hendaknya tidak mengangkatnya sebagai hakim. Al-Syairazi mengatakan bahwa

seseorang yang bodoh atau tidak mengetahui cara-cara (metodologi) pengambilan

hukum Islam tidak dapat menjadi hakim.13 Dalam konteks hukum Indonesia, seorang

hakim mempunyai kewenangan untuk melakukan ijtihad. Ketentuan pasal 14 ayat ( 1 )

Undang-undang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakimaan menjelaskan, bahwa

pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang

diajukan dengan dalih bahwa hokum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada hakim bahwa

apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan yang belum jelas atau belum

11 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 7-8 12 Al-Muzani, Mukhtasar, didalam Al-Syafi’i, Al-Umm, IX, hlm 315 13 Al-Shirazi, Al-Muhazzab, Beirut, Dar al- Fikr, Juz II, hlm 290

Page 88: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

72

mengaturnya, maka hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk

menyelesaikan perkara tersebut (ijtihad )

Berbeda dengan seorang penghulu, sejauh ini praktek-praktek ijtihad mereka

tidak begitu nampak dilihat. Hal ini mungkin bisa di mengerti karena UUP dan KHI

hanya menempatkan penghulu sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tugasnya

mencatat peristiwa nikah dan mendokumentasikanya, atau dengan istilah lain penghulu

hanyalah Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Walaupun dalam prakteknya penghulu itu

tidak hanya sebagai pencatat nikah. Justru dari seorang penghululah problematika

hukum perkawinaan itu harus segera diselesaikan, karena ia orang yang paling dekat

dengan kasus-kasus perkawinan yang terjadi pada masyarakat. Selama ini

kecenderungan masyarakat adalah semaksimal mungkin menghindari lembaga

pengadilan. Mereka biasanya datang ke KUA untuk mencari solusi pemecahan

masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan. Dan perlu juga diketahui

bahwa proses peradilan membutuhkan waktu, tenaga dan ongkos/biaya yang tidak

sedikit.

Menurut penulis, untuk menyelesaikan masalah-masalah perkawinan yang

terjadi dimasyarakat maka dibutuhkan kemampuan para penghulu untuk membuat

keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap tepat atau sesuai dengan

situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana dan dengan

memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan. Dalam

prespektif hukum Islam usaha untuk memecahkan/menemukan masalah hukum itu di

kenal dengan istilah ijtihad. Masalahnya adalah apakah seorang penghulu memiliki

Page 89: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

73

otoritas untuk melakukan ijtihad? Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat Qodri14

bahwa memilih satu pendapat dari madzhab-madzhab hukum yang ada kemudian

mentarjihnya adalah sudah merupakan ijtihad walaupun itu kecil. Oleh karenanya apa

yang dilakukan para penghulu walaupun hanya memilih diantara dua pendapat atau

madzhab hukum adalah sudah merupakan bagian dari sebuah usaha untuk berijtihad

walaupun kecil.

Pada kasus penentuan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil yang

dilakukan KUA kota Semarang dalam hal ini adalah para penghulu adalah bentuk usaha

mereka memilih dua pendapat yaitu antara aturan yang ada dalam kitab-kitab fiqh dan

aturan yang ada dalam UUP dan KHI. Jika kita sepakat dengan pandangan Qodri maka

sebenarnya para penghulu telah melakukan ijtihad walaupun kecil sifatnya.

14 Loc. Cit

Page 90: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

74

.

Page 91: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis memaparkan segala persoalan yang berkaitan dengan

Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Nikah Hamil Di KUA Kec.

Semarang Tengah Kota Semarang, maka pada bab ini penulis berusaha untuk

memberikan satu konklusi. Dalam hal ini kesimpulan merupakan jawaban atas rumusan

masalah.

1. Ada dua model/cara yang dikembangkan oleh KUA (penghulu) kota Semarang

dalam menentukan siapa yang berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuan yang

lahir akibat nikah hamil, yaitu: (1) Wali nikahnya adalah wali hakim; (2) Wali

nikahnya adalah tetap bapaknya (wali nasab). Di KUA kec. Semarang Tengah kota

Semarang penentuan wali nikah bagi anak perempuan yang lahir dari nikah hamil

adalah dengan menggunakan model/cara pertama sebagaimana yang telah diatur

oleh fiqh dimana jika sang anak gadis tersebut lahir kurang dari enam bulan setelah

pernikahan orang tuanya maka walinya hakim (Kepala KUA), namun jika ia lahir

lebih dari enam bulan dari peristiwa nikah kedua orang tuanya maka wali nikahnya

adalah nasab yaitu bapaknya.

Page 92: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

75

2. Alasan mereka lebih memilih aturan fiqh dari pada UUP karena perkawinan wanita

hamil itu sebenarnya menunjukkan bahwa pembuahan telah terjadi sebelum akad

nikah sebagai sebab kehamilan. Setelah itu terjadilah perkawinan antara wanita

dengan pria yang menghamilinya. Selang beberapa bulan, anak yang dikandung pun

lahir. Dengan kata lain anak itu lahir akibat dari hubungan kedua orang tuanya

sebelum adanya akad perkawinan yang sah. Jika demikian berarti anak tersebut lahir

akibat dari perkawinan yang tidak sah. Oleh karenanya walaupun kemudian orang

tuanya menikah secara sah dan anak tersebut lahir sesudah perkawinan tersebut

statusnya tetap dianggap anak tidak sah. Dengan demikian berarti intisabnya hanya

kepada ibunya saja, sehingga suami ibunya (bapaknya) tidak berhak menjadi wali

nikah.

B. Saran

Dengan dilandasi oleh kerendahan hati, setelah penulis menyelesaikan

pembahsan sekripsi ini penulis akan memberikan saran-saran. Hal ini dimaksudkan

sebagai kritik konstruktif yang penulis lihat dilapangan yang berkaitan dengan

penentuan wali hikah bagi anak perempuan nikah hamil. Saran tersebut hanya satu yaitu

masalah penentuan wali nikah dari kasus diatas agar kelak diatur didalam perubahan

KHI menjadi Undang-undang, seperti telah dibahas dalam tulisan ini bahwa jika

konsepsi anak sebagaimana diatur dalam kitab-kitab fiqh menjadi ukuran dalam

menentukan status nasab mestinya UUP dan KHI memasukkan aturan tersebut dalam

pasal-pasalnya, sehingga ada kejelasan hukum status anak hasil nikah hamil.

Page 93: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

76

C. Penutup

Tiada kata yang pantas terucap dan tertulis kecuali Al-hamdulillah atas ni’mat

yang telah diberikan Allah kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini.

Tiada yang sempurna di dunia ini, begitu juga dengan penelitian penulis. Masih banyak

kekurangan disana-sini dalam penulisan skripsi ini. Oleh karenanya kritik dan saran

sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga penelitian ini

bermanfaat. Amin....

Page 94: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Mesir: Maktabah al-Tijarah al-Kubra.

Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967 Al-Muzani, Mukhtasar, didalam Al-Syafi’i, Al-Umm, IX Al-Shirazi, Al-Muhazzab, Beirut, Dar al- Fikr, Juz II Ahmad Qodri A. Azizi, Redifinisi Bermazhab dan Berijtihad : Al-Ijtihad al-ilm al-Asri, Pidato pengukuhan guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Islam IAIN WaliSongo Semarang tanggal 12 Juli 2003

The Concept of Mazhab and The question of ItsBoundary, al-Jami’ah, 59. 1996

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2006. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali press, 1998. Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta, Ciputat Press, 2002. Abu Daud, Sunan Abi Daud, Beirut, Dar al-Fikr, ttp al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Beirut, Dar al-Fikr, ttp al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, Beirut, Dar al-Fikr, ttp al-Darimi, Sunan al-Darimi, Beirut, Dar al-Fikr, ttp

Page 95: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/79/jtptiain-gdl... · adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak

Fathurrahman Djamil, “Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya”, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz AZ, Jakarta, Firdaus,1999. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut, Dar al-Fikr, ttp Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara; Studi terhadap Perundang-undangan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta-Lieden: INIS.2002 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia ( KMA ) Nomor 477 tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1991, Muslim, Sahih Muslim, Beirut, Dar al-Fikr, ttp Syams ad-Din as-Sarakhsi, al-Mabsuth, Beirut, Dar al-Ma’rufah, juz V,1989

.

Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung : C.V. Pustaka Setia, 2002 Sanapiah Faisal, Forma-format Penelitian Sosial, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. IV, 1999