Intraoperative Fluid- Job.docx Dila

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Intraoperatif fluid

Citation preview

Cairan intraoperatif: kapan dikatakan berlebihan?Ringkasan. Terdapat berbagai bukti yang menyatakan bahwa pemberian terapi cairan intraoperatif dapat mempengaruhi hasil pasca operasi. Dulu, pasien yang menjalani operasi besar, sering diberikan kristaloid dalam jumlah besar, karena dianggap akan terjadi dehidrasi pra operasi dan kehilangan cairan intraoperatif pada ruang ketiga. Akan tetapi, pemberian cairan berlebihan saat operasi dimana terjadi penambahan berat badan pasca operasi karena kelebihan cairan, dapat meningkatkan angka kematian. Konsep kehilangan cairan 'ruang ketiga' sudah dibantah, dan dehidrasi pra operasi hampir bisa ditangani dengan mengurangi jam puasa pasien dan pemberian cairan oral dua jam sebelum dilakukan operasi. Pembatasan cairan intraoperatif yaitu dengan cara pemberian cairan infus seperlunya tetapi diawasi agar tidak terjadi hipovolemia, pada awalnya dilakukan minimalisasi komplikasi akibat operasi, tetapi pembatasan cairan yang tidak konsisten, jenis cairan infus yang diberikan dan hasil yang merugikan menyebabkan hasil yang tidak sesuai pada uji klinik. Adanya prinsip terapi cairan individual, yang difasilitasi oleh minimal invasif, pemantauan kardiovaskular berbasis flow, misalnya, pemantauan oesofagus menggunakan Doppler dapat meningkatkan hasil dalam operasi kolorektal dan pemeriksaan ini telah disetujui oleh pihak medis yang berwenang. Keadaan klinis pasien dengan risiko rendah yang menjalani terapi bedah rawat jalan, infus kristaloid volume tinggi (20-30 ml/kg) dapat mengurangi mual dan muntah pasca operasi, pusing, dan nyeri. Artikel ini akan membahas revisi fisiologi pembagian cairan tubuh dan aliran pembuluh kapiler, menguraikan alasan di balik regimen cairan yang telah disebutkan di atas, dan merangkum temuan klinis terbaru, terutama pemberian terapi cairan berdasarkan individual menggunakan Doppler esophagus.Kata Kunci : Terapi cairan; cairan, i.v.

Terapi cairan merupakan pengetahuan dasar pada prosedur operasi di bagian anestesi, tetapi jenis cairan, jumlah, dan waktu pemberian yang tepat masih diperdebatkan. Hampir semua pasien yang menjalani prosedur anestesi umum akan mendapatkan sejumlah cairan intravena. Banyak bukti yang menyatakan bahwa terapi cairan perioperatif dapat mempengaruhi hasil pasca operasi dalam jangka panjang. Praktik tradisional yang memberikan cairan kristaliod dengan volume besar untuk semua pasien telah dibantah oleh bukti klinis terbaru yaitu terapi secara individual (individualized goal-directed therapy /GDT). Meskipun masih banyak pertanyaan penelitian tentang keseimbangan kristaloid dan cairan koloid yang belum terjawab, tetapi penelitian saat ini lebih difokuskan pada pembahasan tentang perpindahan cairan pada barier/sawar pembuluh darah dan bagaimana prosedur bedah maupun anestesi dapat mempengaruhi hal tersebut saat masa intraoperatif.Artikel ini akan memberikan revisi terbaru tentang ilmu fisiologi yang berhubungan dengan pembagian cairan tubuh dan aliran darah kapiler. Selain itu juga akan membahas bukti klinis terbaru yang rasional tentang penggunaan berbagai volume dan jenis terapi cairan pada berbagai keadaan klinis. Pembahasan tentang resusitasi cairan pra operasi dan terapi cairan lanjutan pasca operasi dibahas diluar artikel ini. FisiologiPembagian cairan tubuhSebanyak 60 % dari massa tubuh manusia terdiri dari air, kira-kira terdapat 42 liter air pada pria dengan berat badan 70 kg. Dari jumlah ini, sekitar dua pertiga merupakan cairan intraseluler (28 liter) dan sisanya volume ekstraseluler (ECV) sebanyak 14 liter. Ruangan ekstraseluler tadi terbagi lagi menjadi ruang interstisial (11 liter) dan plasma (3 liter) dengan sebagian kecil dari cairan transelular, misalnya, intraokular, sekresi saluran pencernaan, dan cairan serebrospinal melengkapi pembagian ini (Gambar 1). Cairan transelular ini secara anatomi dianggap terpisah dan tidak mampu melakukan pertukaran air dan zat terlarut.Total cairan tubuh (TBW) dapat diperkirakan menggunakan teknik tracer dilution. Air yang diberi label isotop menggunakan deuterium atau tritium akan berdifusi melewati ruang TBW. Pengukuran cairan ekstraseluler (ECF) membutuhkan marker yang dapat melintasi kapiler tetapi tidak menembus membran sel. Ion yang paling sering digunakan sebagai tracer (pelacak) ekstraseluler yaitu radiolabelled sulfat (35SO4 ) atau (82Br-) ekstraseluler. Volume intraseluler dihitung secara tidak langsung dengan mengurangkan volume ekstraseluler (ECV) dengan Total cairan tubuh (TBW). Volume intravaskular dapat dihitung menggunakan radiolabelled albumin atau dengan zat warna biru Evans. Volume interstisial kemudian dihitung dengan mengurangkan volume intravaskular dengan volume ekstraseluler (ECV).Endotel pembuluh kapiler bebas dilewati oleh air, anion, kation dan zat terlarut lainnya seperti glukosa, tetapi tidak bebas dilewati oleh protein dan molekul besar lainnya (> 35 Kda), yang sebagian besar terbatas pada ruang intravaskular.2 Dalam cairan ekstraseluler (ECF) , Na+ merupakan kation utama dan Cl- merupakan anion utama. Sebaliknya, dalam ruang intraselular, K+ adalah kation utama dan PO22 merupakan anion utama, dengan kadar protein yang tinggi.3 Keseimbangan osmotik dapat dipertahankan dengan kemampuan permeabilitas membran sel yang melewatkan air secara bebas tetapi tidak untuk ion, Pada individu yang sehat, fluktuasi harian total cairan tubuh (TBW) dalam jumlah kecil (0,2%) dan diseimbangkan dengan mekanisme haus dan balans cairan yang dikendalikan oleh sistem hormon renin angiotensin, anti-diuretik dan natriuretik atrial peptida (ANP). Kebutuhan basal cairan pada orang dewasa dengan suhu dan tingkat metabolisme normal adalah sebesar 1,5 ml/kg/h.

Perpindahan cairan pada pembuluh kapilerPergeseran cairan antara intravaskular dan sisa ruang ekstraselular terjadi pada barier endotel pada pembuluh darah. Pengaturan sistem ini telah digambarkan oleh Starling4 pada tahun 1896 dan tetap menjadi pemahaman dasar kita tentang perpindahan cairan pada mikrovaskular. Komponen cairan yang terkandung pada darah dalam pembuluh darah dalam mikrovaskular terutama dikendalikan oleh tekanan osmotik koloid (COP) yang dihasilkan oleh protein plasma (Gambar 2). Tekanan ini melawan tekanan hidrostatik yang tinggi di luar, yang cenderung untuk mendorong plasma keluar dari pembuluh darah dan masuk ke ruang interstisial. Baik tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik koloid dalam ruang interstisial rendah. Akibat dari tekanan ini adalah kebocoran dalam jumlah yang kecil dari cairan dan protein pembuluh darah ke ruang interstisial yang nantinya akan dikembalikan ke pembuluh darah melalui sistem limfatik.5 Endotel pembuluh darah melewatkan air secara bebas, tetapi kedap terhadap protein dan molekul besar lainnya. Perpindahan molekul kecil seperti sodium, potassium, klorida dan glukosa melewati endotel pembuluh darah terjadi secara bebas melintasi jalur khusus yang terdapat antara sel-sel endotel. Transportasi makromolekul terjadi melalui pori-pori besar yang terdapat pada endotel atau dengan transportasi melalui vesikel.2 perpindahan cairan melewati endotel pembuluh kapiler dibagi menjadi dua tipe yaitu (tipe 1/Fisiologis), terjadi terus menerus dengan barier pembuluh darah yang intak dan dikembalikan ke dalam ruang pembuluh darah oleh sistem limfatik, dengan demikian edema interstisial dapat dihindari. (Tipe 2/patologis) perpindahan cairan dengan tipe ini terjadi ketika barier pembuluh darah menjadi rusak atau tidak berfungsi. Akumulasi cairan yang berlebihan akan menyebabkan edema interstisial.6

Gambar 1 : Ruang cairan tubuh dengan distribusi ion-ion utama. ICF, cairan intraseluler. ECF, cairan ekstraseluler.

Gambar 2 : Persamaan klasik Starling dengan pengeluaran bersih cairan ke ruang interstisial. Jv, filtrasi bersih; Kf, tekanan koefisien filtrasi; Pc, tekanan hidrostatik kapiler; Pi, tekanan hidrostatik interstisial; a, koefisien refleksi; Pic, tekanan onkotik kapiler; Pii, tekanan onkotik interstisial.

Glikokaliks endotelPenelitian terbaru telah meningkatkan pemahaman kita tentang perpindahan cairan pada barier endotel. Endotelium merupakan satu sel tebal yang dilapisi dengan lapisan yang rapuh pada sisi luminal, glikokaliks merupakan barier lapisan pertama untuk mengatur transportasi seluler dan makromolekul di endothelium.7 Lapisan glikokaliks endotel (EGL) terdiri dari glikoprotein dan proteoglikan dan berisi glikosamionoglikan. Ini membuat zona khusus buat eritosit, karena tidak beredar, plasma kaya protein mendominasi di dalamnya. Volume intravaskular terdiri dari volume glikokaliks, volume plasma, dan volume sel darah merah.8 Bersama-sama glikokaliks dan sel-sel endotel melapisi permukaan endotelhium (ESL). ESL memiliki ketebalan sebesar 0,4-1,2 mm dan memiliki kesetimbangan dinamis dengan peredaran plasma. Agar dapat berfungsi, ESL membutuhkan jumlah albumin plasma yang normal.9 Teori terbaru menjelaskan konsep penghalang ganda' di mana kedua lapisan sel endotel dan EGL berperan dalam mempertahankan barier pembuluh darah.10 11Pemahaman yang meningkat tentang fisiologi mikrovaskular dapat menjelaskan tentang perbedaan antara temuan klinis selama terapi cairan dan prinsip persamaan Starling yang sesungguhnya.8 Perbedaan tekanan transendothelial dan perbedaan tekanan onkotik koloid subglikokaliks plasma merupakan pusat dari filtrasi cairan, dengan pengabaian COP interstisial. Pada tekanan kapiler yang dibawah normal aliran transkapiler mendekati nol. Ketika tekanan kapiler diatas normal, nilai COP maksimal dan cairan akan berpindah tergantung pada perbedaan tekanan transendothelial. Ketika larutan koloid diberikan pada situasi ini, maka cairan ini akan disalurkan melewati volume plasma, mempertahankan COP dan meningkatkan tekanan kapiler yang akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan. Pada situasi yang sama larutan kristaloid akan disalurkan melewati volume intravaskular dan meningkatkan tekanan kapiler tetapi menurunkan COP, sehingga filtrasi cairan akan meningkat melebihi saat pemberian koloid. Ketika tekanan kapiler menurun, kedua jenis larutan tersebut akan dipertahankan dalam ruang intravaskuler sampai terjadi penigkatan tekanan transendotelial ke angka di mana aliran tekanan transkapiler dalam keadaan normal. Prinsip fisologis ini mendukung penggunaan infus cairan kristaloid dibandingkan cairan koloid untuk resusitasi, sementara koloid memiliki peran dalam hemodilusi hipervolemik atau euvolemik. Ketika volume sel darah merah lebih rendah dari volume intravaskular, berdasarkan penelitian digunakan parameter ini sebagai titik akhir yang harus ditafsirkan dengan hati-hati.Endotelium bukan hanya merupakan barier antara darah dan jaringan tetapi juga memegang peranan penting dalam hemostasis primer, koagulasi,fibrinolisis, peradangan, dan regulasi vasomotor.7 Banyak faktor yang membuktikan bahwa kerusakan glikokaliks endotel dapat menyebabkan agregasi platelet, adhesi leukosit, dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan edema interstisial. Faktor-faktor ini 12-17 telah diringkas dalam Tabel 1.Perlindungan perioperatif terhadap glikokaliks endotel merupakan strategi yang masuk akal pada pencegahan edema interstitial. Penelitian eksperimental telah menunjukkan bahwa dengan pra treatment hidrokortison dan antithrombin dapat menjaga keutuhan endotelium dengan mengurangi penumpahan glikokaliksdan adhesi leukosit setelah cedera iskemia / reperfusi.18 Sevofluran juga menunjukkan efek protektif dengan menstabilkan glikokaliks endotel mengurangi adhesi leukosit dan trombosit setelah iskemia / gangguan reperfusi di jantung marmot terisolasi.19 Saat ini belum ada agen farmakologis yang dapat meningkatkan sintesis atau secara langsung mencegah degradasi akibat enzimatik glycocalyx. Oleh karena itu, menghindari pencetus yang dapat mengakibatkan kerusakan glycocalyceal dan pemberian agen pelindung berpotensi (Tabel 1) harus dipertimbangkan. 20

Tabel 1. Faktor yang mempengaruhi glikokalix endothelial- mekanisme merugikan yang diketahui dan agen protektif potensial

DegradasiProtektif

Iskemik/reperfusi;Sevofluran;

hypoksia/reoksigenasi;hidrokortison;

Sitokin protease inflamasi;Antithrombin

peptida natriuretik atrial

Distribusi cairan kristaloidKomposisi cairan infus yang diberikan ke pasien ditentukan dari distribusi cairan tersebut di dalam tubuh pasien. Ketika 1 liter glukosa 5% diberikan, glukosa dimetabolisme di hati, hanya akan menyisakan air yang didistribusikan ke volume ekstrasesuler dan volume intraseluler secara proporsional dengan volume yang diinfuskan. Oleh karena itu, hanya 7% (sekitar 70 ml) yang tetap bertahan di kompartemen vaskular setelah dibagikan ke kompartemen cairan tubuh lainnya, karena plasma sendiri merupakan 3 liter dari total 42 liter cairan tubuh. Pemberian Infus yang mengandung cairan natrium isotonik di sisi lain hanya terbatas pada ruang ekstraseluler karena natrium dihambat untuk dapat melintasi ruang intrasel oleh membran sel. Karena itu, ketika 1 liter cairan salin 0,9% diberikan, hanya 20% yang bertahan di kompartemen vaskular setelah dibagikan ke kompartemen cairan tubuh lainnya ,seperti halnya kompartemen plasma merupakan 20% dari Cairan ekstraseluler.Namun, efek dari berbagai jenis larutan koloid dan kristaloid telah dipelajari pada sukarelawan yang sehat, yang dalam keadaan hipovolemik, dan yang dalam keadaan sakit. Delapan belas sukarelawan yang sehat menerima 50 ml kg-1 larutan Ringer laktat (LR) dan saline 0,9% (NS) pada dua kesempatan terpisah.21 Ditemukan bahwa pada larutan RL, terjadi penurunan osmolalitas serum secara perlahan hingga kembali ke keadaan awal 1 jam kemudian. NS tidak mempengaruhi osmolalitas serum tetapi menyebabkan asidosis metabolik. Lobo dkk22 melakukan Penelitian crossover double-blind, pada 10 sukarelawan pria sehat untuk menyelidiki efek pemberian bolus kristaloid pada keadaan albumin serum. Masing-masing peserta diberi 2 liter saline 0,9% dan dekstrosa 5% pada dua kesempatan terpisah dalam urutan acak. Dengan pemberian kedua larutan tersebut, tampak adanya penurunan serum albumin akibat pengenceran yang terjadi dan tampak pula adanya redistribusi ke dalam kompartemen cairan. Penurunan albumin terjadi secara berkepanjangan yaitu >6 jam pada peserta yang diberikan NS, sedangkan pada peserta yang mendapatkan infus dekstrosa penurunan albuminnya telah berakhir dalam 1 jam setelah pemberian cairan tersebut. Hemoglobin juga menurun sebanding dengan efek pengenceran yang terjadi. Beban air dari infus dextrose diekskresikan 2 jam pasca pemberian infus ,namun NS memiliki efek penurunan yang lambat dengan hanya 30% dari total natrium dan air yang dikeluarkan setelah 6 jam. Kesimpulan serupa didapatkan dalam penelitian yang membandingkan saline 0,9% dengan larutan Hartmann.23 Penambahan Plasma tampak lebih lama terjadi pada pemberian NS dibandingkan dengan pemberian cairan Hartmann, seperti yang didapatkan pada pengenceran hemoglobin dan albumin. Kelompok yang diberikan NS mempertahankan 56% dari volume infus selama 6 jam, dibandingkan dengan kelompok yang diberi cairan Hartmann yang hanya dapat mempertahankan 30% dari volume infusnya, berdasarkan pada berat badan. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam serum kalium, natrium, urea, atau osmolalitas total. Pada kelompok yang diberi NS, tingkat bikarbonatnya rendah dan peserta mengalami hiperkloremik, yang terjadi selama > 6 jam. Perubahan biokimia ini menempatkan tubuh di bawah keadaan stres fisiologis untuk menghilangkan beban elektrolit berlebih dan dapat mempengaruhi fungsi organ serta hasil akhir pembedah.24-26 22Distribusi koloidCairan koloid mengandung makromolekul (biasanya berukuran >40 kDa) seperti polisakarida atau polipeptida baik dari sumber tumbuhan maupun hewan dan digunakan sebagai penambah plasma. Untuk mencegah terjadinya hemolisis, maka makromolekul disuspensi dalam larutan elektrolit seperti natrium klorida 0,9% atau cairan yang lebih seimbang seperti cairan Hartmann. Karena mengandung molekul yang lebih besar dan tidak bisa melewati endothelium,maka cairan koloid dapat bertahan dalam plasma lebih lama daripada cairan kristaloid. Tidak seperti cairan kristaloid, koloid membawa risiko anafilaksis, memiliki kadar yang tergantung dari efek koagulasi yang terjadi dan molekulnya dapat tersimpan dalam jaringan sehingga menyebabkan gatal.27 Di sisi lain,terdapat bukti yang menunjukkan efek menguntungkan dari penambah plasma pada keadaan seperti peradangan, mikrosirkulasi, dan aktivasi endotel.Penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian koloid adalah hal yang sensitif. Meskipun molekul besar yang ada dalam cairan ini seharusnya harusnya mampu membatasi cairan ini untuk tetap berada didalam kompartemen vaskular, pemberian cairan dengan dengan baik hydroxyethyl starch 6% (HES) dan albumin 5% pada pasien normovolaemik menunjukkan adanya ekstravasasi volume infus sebesar 68% ke ruang intravaskuler hingga interstitium dalam beberapa menit. Sebaliknya, ketika pemberian HES 6% atau albumin 5% dilakukan dalam konteks haemodilution normovolaemik, volume yang tersisa di ruang intravaskuler mendekati 90%.28Baru-baru ini telah dilakukan penyelidikan mengenai Pengaruh pemberian cairan saline 0,9%, gelatin succinylated 0,4% (gelofusine), dan hydroxyethyl starch 6% (voluven) pada volume darah dan respon endokrin sukarelawan sehat.29 Setelah 1 jam pemberian infus, sebanyak 68% dari cairan saline 0,9%, 21% dari cairan gelofusine dan 16% dari cairan voluven, telah bocor ke ruangan intravaskular. perhitungan volume Darah pada penelitian diatas didasarkan pada dilusi hematokrit yang terjadi. Hanya terdapat sedikit perbedaan antara kedua koloid yang digunakan, meskipun masing-masing cairan ini memiliki berat molekul rata-rata yang berbedah jauh (gelofusine 30 kDa, voluven 130 kDa). Hal ini mungkin mencerminkan perbedaan penanganan dari cairan bermolekul kecil dan besar yang terjadi di microvaskulerSistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) merupakan hal yang mendasar dalam regulasi ekskresi natrium setelah terjadinya kelebihan natrium. Ketiga cairan tersebut memiliki efek yang sama pada sekresi renin, dimana tingkat sekresi renin dan aldosteron mengalami pengurangan. Peptide natriureti otak (BNP) juga diukur dan menunjukkan adanya peningkatan pada ketiga kelompok yang terjadi 1 jam setelah dimulainya pemberian infus. Hal ini berkorelasi dengan penelitian-penelitian lain yang menunjukkan peran BNP dan ANP pada keadaan hipovolemia akut.30 Telah Disimpulkan bahwa ekskresi kelebihan natrium dan klorida mungkin tergantung pada penekanan dari RAAS dan bukan pada penekanan peptida natriuretik. Terdapat keyakinan yang umum bahwa kehilangan volume intravaskular memerlukan penggantian sebanyak 3-4 kali dengan menggunakan cairan kristaloid dibandingkan dengan koloid. Sebuah tinjauan sistematis terbaru dari penggunaan HES di bagian bedah, bagian kegawatdaruratan, dan pada pasien perawatan intensif melaporkan bahwa rasio kristaloid : koloid untuk resusitasi volume lebih rendah yaitu < 2:1.31 Hal ini mungkin mencerminkan adanya peningkatan vasopermeabilitas koloid yang telah diamati pada keadaan klinis. Namun demikian, pemberian cairan koloid menunjukkan terjadinya peningkatan yang lebih besar dalam hal pengisian jantung, Curah jantung, dan volume sekuncup pada pasien baik dalam keadaan sepsis maupun tidak, bila dibandingkan dengan pemberian cairan saline normal.32 Selain itu, dalam uji coba yang dilakukan secara acak menggunakan HES dan NS pada pasien trauma, tampak bahwa HES menunjukkan terjadinya lactate clearance yang lebih besar dan kejadian cedera ginjal yang kurang bila dibandingkan dengan penggunaan NS pada pasien dengan trauma berupa luka tembus.33Praktek Tradisional pada pemberian cairan intraoperatifTujuan terapi cairan intraoperatif adalah untuk mempertahankan volume sirkulasi yang memadai guna memastikan terjadinya perfusi organ akhir dan pengiriman oksigen ke jaringan. Secara tradisional, Hal ini dicapai dengan pemberian infus rutin cairan kristaloid dalam jumlah besar. Tindakan ini didasarkan pada pemahaman lama bahwa pasien preoperative mengalami hipovolemik akibat puasa berkepanjangan ('Tidak ada yang masuk melalui mulut setelah tengah malam') dan akibat persiapan katarsis usus, selain dari kehilangan cairan berkelanjutan akibat keringat dan pengeluaran urin. Ada juga keyakinan yang luas bahwa paparan saat pembedahan memerlukan penggantian cairan yang agresif karena kehilangan cairan akibat penguapan, yang seringkali disebut sebagai kerugian 'ruang ketiga'. Selanjutnya, hipotensi yang terjadi selama anestesi umum dan neuraxial seringkali terjadi akibat kompensasi dari pemberian cairan I.V. Namun, pemberian cairan itu sendiri tidak berpengaruh dengan kejadian hipotensi terkait anestesi34 35 dan harusnya lebih tepat jika terapi dengan pemberian obat-obatan vasopressor.36Puasa pra operasi yang berkepanjangan harusnya tidak lagi menjadi bagian dalam persiapan perioperatif modern. Selama lebih dari satu dekade, penelitian telah dengan jelas menunjukkan bahwa berpuasa makanan padat selama 6 jam dan cairan oral yang mengandung karbohidrat, hanya 2 jam sebelum operasi dilaksanakan, adalah aman dan secara nyata meningkatkan hasil operasi yang dilakukan.37 38 Penelitian juga telah menunjukkan bahwa dalam kenyataannya, pada pasien dengan kondisi kardiopulmoner yang sehat, volume darah tetap normal bahkan setelah menjalani puasa yang berkepanjangan.36 Pelaksanaan persiapan usus mekanik juga telah dikurangi oleh karena adanya bukti yang menunjukkan hanya terdapat perbedaan yang minimal dalam kondisi pembedahan saat tindakan ini dilaksanakan.39 Konsep ' ruang ketiga 'Konsep 'ruang ketiga' untuk cairan tubuh (selain kompartemen intraseluler dan cairan ekstraseluler) diperkenalkan pada tahun 1960-an.40 Menggunakan teknik pelacak sulfat kuno, Volume ekstraseluler diukur pada pasien yang menjalani pembedahan mayor abdomen. Disimpulkan bahwa terdapat penurunan Volume ekstraseluler yang tidak sepenuhnya dapat diakibatkan kehilangan darah. Untuk menjelaskan hal ini, maka timbullah hipotesis yang menyatakan adanya cairan terpisah di daerah yang dikenal sebagai 'ruang ketiga'. Lokasinya tidak diketahui secara pasti namun diperkirakan lokasi tersebut termasuk diantaranya adalah jaringan yang mengalami trauma atau sistem saluran pencernaan. Meskipun konsep ini sangat tidak masuk akal, kurangnya bukti ilmiah atau klinis yang terpercaya yang mendukung konsep ini, maka praktek penggantian cairan agresif akibat hipotetis kehilangan cairan ini diterima secara luas dalam tindakan intraoperatif anestesi. Pemberian Infus kristaloid dalam jumlah besar saat operasi sedang berlangsung menjadi tindakan standar.10 Akibatnya, tidak jarang pasien mengalami kenaikan berat badan 7-10 kg pascaoperasi, dengan peningkatan risiko secara berimbang terhadap semua penyebab morbiditas dan mortalitas yang ada.41 42 Dalam tinjauan sistematis atas percobaan pengukuran perubahan Volume ekstraseluler, disimpulkan bahwa data asli yang ada dan metodologi yang mendukung adanya konsep ruang ketiga bersifat cacat secara mendasar.43Pada pasien intraoperatif, pemberian cairan pemeliharaan harus menggunakan cairan kristaloid yang berimbang. Lebih dari 30 tahun yang lalu, pengukuran langsung dari laju penguapan basal kulit dan saluran napas selama operasi menunjukkan bahwa kehilangan cairan dari penguapan ini adalah 0,5-1,0 ml kg-1 H-1 selama pembedahan mayor abdomen.44 Jika tidak terjadi perdarahan yang banyak, maka pemberian volume cairan yang besar merupakan kontraindikasi, karena dapat menyebabkan hypervolaemia yang kemudian melepaskan ANP dan mengakibatkan kerusakan pada endotel glycocalyx, serta edema interstisial yang merugikan.Regimen 'Pembatas' cairanDalam pembedahan thorax, pembatasan cairan adalah tindakan standar, tetapi volume cairan intraoperatif pada populasi bedah umum lebih beragam. Sebuah percobaan acak, di multisenter membandingkan pemberian regimen cairan secara bebas dan yang dibatasi pada 141 pasien yang menjalani operasi kolorektal.45 kelompok yang mengalami pembatasan cairan menerima volume cairan rata-rata 2,7 liter sedangkan kelompok yang bebas sebanyak 5,4 liter. Jumlah pasien dengan komplikasi pasca operasi berkurang secara signifikan pada kelompok yang mendapatkan pembatasan cairan, 33% dibandingkan 51% P=0,02. Yang termasuk dalam penilaian adalah kebocoran anastomosis, infeksi luka, dan komplikasi kardiovaskular serta paru. Pada pasien yang mendapatkan pembatasan cairan, Tidak ditemukan adanya peningkatan komplikasi ginjal. Namun, Pada penelitian ini ,kedua kelompok menerima cairan yang berbeda dimana kelompok yang mendapatkan pembatasan cairan menerima sejumlah besar cairannya dari koloid sedangkan kelompok yang diberikan cairan secara bebas sebagian besar jenis cairannya adalah normal saline.Pada tahun 2009, Tinjauan mengenai terapi cairan yang dibatasi vs yang bebas dan efeknya pada hasil akhir pascaoperasi46 mendapati tujuh percobaan acak, yang enam diantaranya melibatkan pembedahan mayor abdomen dan satu yang melibatkan artroplasti lutut. Percobaan ini tidak melibatkan pasien berisiko tinggi. Kisaran cairan yang diberikan dalam kelompok bebas adalah 2750-5388 ml sedangkan pada kelompok yang dibatasi adalah 998-2.740 ml. Hal ini menampilkan fakta bahwa tidak terdapat definisi yang umum dari protokol 'Bebas' atau 'terbatas' dalam praktek klinis. Sebuah protokol pemberian cairan yang dibatasi pada satu pusat sebenarnya bisa bersifat seperti halnya protokol pemberian cairan bebas di pusat lainnya. Penelitian yang ada bervariasi dalam hal desain, jenis cairan yang diberikan, indikasi pemberian cairan tambahan, variabel hasil, dan definisi dari periode intra dan pasca operasi. Oleh karena itu, terdapat kesulitan dalam menafsirkan hasil penelitian yang ada. Tiga dari penelitian yang dilakukan menunjukkan hasil yang lebih baik setelah pemberian regimen cairan terbatas. Dua menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hasil sedangkan dua lainnya menunjukkan perbedaan hanya pada beberapa hasil tertentu saja. Penelitian menunjukkan hasil yang lebih baik dengan menggunakan regimen cairan terbatas dimana telah dilaporkan pengembalian fungsi pencernaan pascaoperasi yang lebih cepat serta berkurangnya waktu rawat inap dirumah sakit (LOS). Penelitian ini menggunakan cairan koloid dan kristaloid. Pada Penelitian yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan hasil , hanya menggunakan cairan kristaloid saja, tanpa koloid. Dalam sebuah penelitian,47 dimana diberikan regimen cairan bebas dan yang dibatasi dalam jumlah yang relatif terbatas (rata-rata 2,6 vs 2,0 liter), menunjukkan bahwa kelompok standar tidak menerima jumlah cairan yang berlebihan yang diketahui dapat menimbulkan kerugian. Dua Penelitian double-blind acak lebih lanjut menunjukkan manfaat baik dari bagi regimen yang dibatasi cairannya maupun yang bebas pemberiannya dalam konteks klinis yang berbeda.48 49 Kedua penelitian ini menggunakan cairan kristaloid dan koloid. Dalam penelitian tersebut tampak bahwa pasien yang menjalani operasi kolon mayor, pemberian regimen yang terbatas cairannya menunjukkan efek menguntungkan pada fungsi paru dan hipoksemia pasca operasi. Selain itu ditemukan pula adanya penurunan secara keseluruhan dalam hal jumlah komplikasi pasca operasi yang terjadi, namun jumlah pasien yang mengalami komplikasi tidak berkurang secara signifikan. Tidak ditemukan adanya perbedaan dalam variabel hasil lainnya seperti nyeri, mual, dan waktu rawat inap dirumah sakit . Dalam penelitian kedua, regimen cairan serupa digunakan pada pasien yang menjalani artroplasti lutut. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya hiperkoagulabilitas yang signifikan setelah 1-2 hari pasca prosedur pada kelompok yang diberikan cairan secara bebas dan penurunan mual dan muntah pasca operasi. Tidak ditemukan adanya perbedaan pada waktu rawat inap dirumah sakit. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa karena definisi yang tidak konsisten dari regimen pemberian cairan secara bebas dan yang terbatas serta kurangnya standarisasi pengukuran hasil klinis dan fisiologis,maka tidak ada pedoman prosedural khusus untuk terapi cairan perioperatif yang berbasis bukti dapat dibuat. Pandangan ini, yang dikombinasikan dengan penelitian lainnya mengenai terapi cairan yang dibatasi vs yang bebas, menunjukkan bahwa 'satu pendekatan sesuai untuk semua keadaan' adalah tidak sesuai untuk pengaturan cairan bagi pasien bedah berisiko tinggi.Volume kristaloid yang tinggi untuk operasi dengan risiko rawat jalan yang moderat Dalam konteks klinis perbedaan operasi kecil atau sedang pada risiko rendah , pasien rawat jalan, strategi yang lebih bebas tampaknya akan lebih menguntungkan. Morbiditas utama jarang terlihat pada kelompok pasien ini, tetapi kecepat pengembalian fungsi vital sangat penting untuk keberhasilan pengelolaan pasien rawat jalan, sehingga memerlukan waktu yang tepat untuk meninggalkan rumah sakit. Pemberian cairan kristaloid kg-1 Sampai dengan 20 - 30 ml untuk pasien dewasa sehat yang memiliki risiko operasi yang rendah atau yang menjalani prosedur perawatan sehari akan mengurangi komplikasi pascaoperasi seperti pusing, mengantuk, nyeri, mual, dan muntah.50 51 Dalam operasi berukuran sedang, Holte dan rekannya52 mengevalusai pasien yang menjalani laparoskopi kolesistektomi dan membandingkan efek dari pemberian larutan RL sebanyak 40 ml dan 15 ml kg-1 saat sedang menjalani operasi. Mereka menemukan bahwa profil pemulihan meningkat dengan gejala mual, pusing, dan mengantuk yang lebih kurang terjadi serta keadaan umum yang lebih baik pada mereka yang menerima cairan secara bebas disertai dengan waktu rawat inap dirumah sakit yang lebih singkat. Penelitian pada operasi besar yang menggunakan regimen pemberian cairan terbatas,53 54 namun hal ini tidak ditemukan secara universal.55 Satu penyelidikan menggunakan pengukuran impedansi Bioelectrical pada 30 pasien yang menjalani operasi abdomen mengembangkan model matematis yang menunjukkan bahwa tingkat pemberian infus cairan antara 2 ml dan 18,5 ml kg-1h-1 pada bedah yang berdurasi 3 jam tidak menyebabkan edema interstisial yang signifikan, namun dalam operasi yang berlangsung >6 jam, rentang terapeutik cairan menjadi lebih seempit yaitu antara 5 ml dan 8 kg-1h-1, setelah tampak adanya peningkatan yang signifikan dalam cairan interstisial.56Tujuan terapi cairan bersifat Individual Dalam beberapa waktu belakangan ini, Dari bukti yang ada dipelajari bahwa perbaikan hasil akhir dapat ditingkatkan jika terapi cairan yang diberikan bersifat individual berdasarkan keadaan respon obyektif cairan individual dari pasien itu sendiri. Tindakan tersebut didasarkan pada prinsip fisiologis lama yaitu kurva Frank-Starling. Hal ini telah dikenal sebagai 'GDT' individual.57 Pengukuran tradisional tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengidentifikasi dan menuntun pemberian terapi cairan. Seorang pasien yang sehat dapat kehilangan hingga 25% dari volume darah sebelum terjadi penurunan tekanan arteri atau peningkatan denyut jantung, sedangkan monitor lebih sensitif mungkin menunjukkan penurunan volume sekuncup dan penurunan pH mukosa lambung, yang menunjukkan kondisi iskemia.58 Tinjauan sistematis peran pengukuran tekanan vena sentral (CVP) dalam terapi cairan menyimpulkan bahwa baik jumlah CVP maupun laju perubahan CVP adalah akurat dalam menilai volume darah atau dalam memprediksi respon terhadap pemberian cairan. Oleh karena itu, penafsiran data CVP harus dilakukan dengan hati-hati saat memandu pemberian cairan.59Keadaan hipovolemia dan hypervolaemia telah diketahui menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas perioperatif, sehingga penilaian status hemodinamik pasien yang sebenarnya dapat membimbing pemberian terapi yang sesuai (Gambar 3).60 Pada 1980-an, GDT memerlukan tindakan kateter arteri pulmonalis (PAC) untuk mengukur pengiriman oksigen ke jaringan pada pasien bedah risiko tinggi, dalam rangka mencapai 'pemberian oksigen diatas normal' dengan maksud untuk meningkatkan perbaikan hasil akhir.61 Walaupun hasil awal yang didapatkan menggembirakan, namun teknik ini bergantung pada luasnya penggunaan PAC. Sayangnya, dengan cepat menjadi jelas bahwa PAC itu sendiri dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas utama, yang kemudian merusak tujuan dalam konsep pengguanan target fisiologis dalam mengoptimalkan kinerja jantung dan meningkatkan perbaikan hasil akhir.Selama bertahun-tahun menggunakan tindakan intervensi, saat ini telah dikembangkan metode kurang invasif dalam pemantauan parameter berbasis aliran hemodinamik. Pemantauan ini meliputi pemantauan menggunakan Doppler esofagus dan analisis gelombang arteri (variasi volume sekuncup, variasi tekanan pulsasi -PPV). Metode lain memerlukan akses baik vena maupun arteri pusat untuk mengukur carcurah jantung. Sistem LiDCO dan Picco menggunakan analisis kontur pulsasi untuk mengukur volume sekuncup setelah kalibrasi awal dengan lithium (LiDCO) atau indikator termal (Picco).

Gambar 3. Penghindaran baik hipo- dan hipervolemia merupakan tujuan dari terapi cairan intraoperatif dalam hal untuk mencegah hasil yang merugikan. Modifikasi oleh Hahn.Sistem Flotrac/Vigileo juga menganalisa kontur nadi namun tidak membutuhkan kalibrasi dimana sebagai gantinya didasarkan pada program komputer setelah memasukkan data biometri. Hal ini hanya membutuhkan jalur akses arteri perifer untuk kebutuhan akses sentral selanjutnya. Meskipun metode ini mempunyai kevalidan dibanding standar baku emas dengan monitor secara invasive (mis: PAC), metode ini juga memiliki keterbatasan dalam situasi klinik. Dari penelitian memperlihatkan hasil yang beragam, mulai dari perbaikan hasil dari 40 orang pasien yang mendapatkan anestesi regional pada arthroplasty panggul hingga tidak adanya perubahan pada 60 orang pasien yang mendapatka operasi pembuluh darah perifer. Peninjauan ulang sistematik terbaru dan meta-analisa pada penggunaan intervensi hemodinamik pre-emptive pada pasien dengan resiko sedang hingga berat untuk meningkatkan hasil post operasi. Dua puluh sembilan studi telah diidentifikasi yang menggunakan berbagai macam monitor hemodinamik, termasuk PAC, LiDCO, PiCCO, FloTrac, dan PPV. Intervensi terdiri dari terapi cairan dengan atau tanpa bantuan inotropik. Disimpulkan bahwa dengan terapi monitor yang menggunakan pre-emptive hemodinamik, angka morbiditas dan mortalitas pembedahan memberikan hasil membaik yang signifikan. Peran laju pemeliharaan cairan pada pengaturan GDT terlah dianalisa baru-baru ini. Percobaan prospektif secara acak pada 88 pasien beresiko tinggi yang menjalani pembedahan telah dilaksanakan. Hasilnya menunjukkan laju 4 ml/kg/jam dan konvensional 8 ml/kg/jam dari cairan Ringer Laktat. Sistem monitoring LiDCO telah digunakan untuk mengarahakan intervensi dengan bolus cairan koloid (gelatin) dan inotropik. Hal ini disimpulkan bahwa regimen terbatas yang digunakan selama optimisasi parameter hemodinamik mengurangi komplikasi mayor pada pasien tua dengan komorbid yang sedang menjalani pembedahan.Akan tetapi, pada pengaturan intraoperatif, teknik minimal invasive yang paling menjanjikan untuk mengukur status dinamik kardiovaskular adalah penggunaan oesophagal Doppler monitor (ODM), yang didukung oleh bukti terbanyak. Oesophagal Doppler MonitoringMonitor dopller esophagus menggunakan teknologi ultrasaound Doppler untuk menganalisa laju darah pada aorta descendens. Suatu alat periksa yang disposable dimasukkan ke dalam esophagus dan disejajarkan dengan laju aliran darah untuk menghasilkan profil kecepatan laju aliran setiap denyut jantung. Gelombang yang dihasilkan kemudian digunakan untuk dihubungakn dengan sebuah nomogram data biometri untuk menunjukkan nilai stroke volume. Stroke volume dapat digunakan sebagai indikasi volume responsif. Manajemen terapi cairan menggunakan algoritma untuk memaksimalkan kontraktilitas kardiovaskular, berdasarkan kurva Frank-Starling dan menggunakan bolus koloid sebagai intervensi. Sebagai contoh, jika stroke volume dasar meningkat >10% melalui pemberian bolus 3 ml/kg, dan jantung pasien berespon terhadap pemberian cairan tersebut, maka pemberian bolus cairan selanjutnya dapat diatur hingga peningkatan stroke volume