62
INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI JENIS LAMUN DI PULAU BONEBATANG SKRIPSI Oleh MATTEWAKKANG PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI

JENIS LAMUN DI PULAU BONEBATANG

SKRIPSI

Oleh

MATTEWAKKANG

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

Page 2: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

ii

ABSTRAK

MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai Jenis Lamun di Pulau Bonebatang” di bawah bimbingan Ibu Rohani Ambo Rappe sebagai Pembimbing Utama dan Ibu Inayah Yasir sebagai Pembimbing Anggota.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis makrozoobentos yang

terdapat di berbagai jenis lamun di Pulau Bonebatang.

Pemilihan plot didasarkan pada jenis lamun dengan parameter yang diukur

tiap plot meliputi suhu, pH, DO, kekeruhan, salinitas Kecepatan arus dan arah

arus Pengambilan data makrozoobentos dan lamun dilakukan pada transek yang

sama, menggunakan metode transek kuadran berukuran 1 m x 1 m dengan 3 kali

pengulangan. Sedimen diambil dengan menggunakan sekop yang memiliki

bukaan 20 cm x 20 cm, setelah itu sampel makrozoobentos disaring dengan

menggunakan sieve net ukuran 1 mm.

Pada penelitian ditemukan sebanyak 5 jenis lamun yang tersebar di setiap

Plot pengamatan yaitu, Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule

uninervis, Halophila ovalis dan Cymodocea rotundata, dengan Jumlah

makrozoobentos yang diperoleh berdasarkan jenis lamun antara lain pada plot

Cymodocea 48 jenis, plot Halophila 42 jenis, plot Enhalus 38 jenis, plot Halodule

didapatkan 29 jenis dan plot Thalassia didapatkan 26 jenis.

Kepadatan makrozoobentos yang diperoleh adalah pada plot Cymodocea

133 ind/m2, plot Halophila 116 ind/m2, plot Enhalus 105 ind/m2, plot Halodule 80

ind/m2 dan plot Thalassia 72 ind/m2.

Kata Kunci : Makrozoobentos, Lamun, Komposisi jenis, Kepadatan, Bonebatang

Page 3: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI JENIS

LAMUN DI PULAU BONEBATANG

Oleh :

MATTEWAKKANG

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Universitas Hasanuddin

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

Page 4: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai Jenis Lamun Di Pulau Bonebatang

Nama Mahasiswa : Mattewakkang

No. Pokok : L 111 08 272

Jurusan : Ilmu Kelautan

Skripsi telah diperiksa

dan disetujui oleh :

Pembimbing Utama,

Dr. Ir. Rohani Ambo Rappe, M.Si NIP. 19690913 199303 2 004

Pembimbing Anggota,

Dr. Inayah Yasir, M.Sc

NIP. 19661006 199202 2 001

Mengetahui :

Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,

Prof. Dr. Ir. Andi Niartiningsih, MP NIP. 19611201 198703 2 002

Ketua Jurusan Ilmu Kelautan,

Dr.Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M. Si NIP. 19631120 199303 1 002

Tanggal Lulus : 05 Maret 2013

Page 5: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Februari 1989 di

Takalar, Kecamatan Polongbangkeng Selatan,

Kabupaten Takalar. Anak pertama dari pasangan

Ayahanda Boba dan Ibunda Halisah.

Penulis menyelesaikan pendidikan formalnya

Sekolah Dasar di SD Negeri 160 Bontolebang II

Kabupaten Takalar pada tahun 2002, Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama di SLTP Negeri 4 Takalar pada tahun 2005, dan Sekolah

Menengah Atas di SMA Negeri 2 Takalar pada tahun 2008. Di tahun yang sama

penulis diterima sebagai Mahasiswa di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,

Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin melalui jalur Ujian Masuk

Bersama (UMB).

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten pada beberapa

mata kuliah diantaranya Dasar-dasar Komputasi, Pemetaan Sumberdaya Hayati

Laut, Survey Hidrografi, Akustik Kelautan, Oseanografi Kimia, Mikrobiologi Laut,

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan laut Secara Terpadu, Pengelolaan Kawasan

Perlindungan Laut dan Biologi Laut. Di bidang keorganisasian penulis pernah

menjadi pengurus Musholah Bahrul Ulum periode 2011/2012 dan pengurus

Senat Ilmu dan Teknologi Kelautan periode 2011/2012. Penulis juga aktif di

Organisasi Daerah Himpunan Pelajar Mahasiswa Takalar (HIPERMATA)

Komisariat Unhas.

Penulis menyelesaikan rangkaian tugas akhir yaitu Kuliah Kerja Nyata Profesi

(KKN-P) dan Praktek Kerja Mandiri dengan judul Distribusi dan Komposisi Jenis

Lamun di Pulau Balang Lompo Kelurahan mattiro Sompe Kec. Liukang

Tupabbiring kabupaten Pangkep pada tahun 2011, dan melakukan penelitian

dengan judul “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai Jenis lamun di Pulau

Bonebatang” pada tahun 2012.

Page 6: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.

Tuhan semesta alam pencipta langit dan bumi yang atas berkat rahmat dan

hidayah_Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Inventarisasi

Makrozoobentos Pada Berbagai Jenis Lamun di Pulau Bonebatang” sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari program Studi Ilmu

Kelautan.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari

kesempurnaan, hal ini disebabkan karena keterbatasan penulis sebagai makhluk

biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kehilafan. Oleh karena itu, penulis

berbesar hati dan membuka diri untuk menerima kritikan dan saran dari pihak

yang membaca skripsi ini.

Pada kesempatan ini tak ada hal yang dapat penulis sampaikan selain

“Terima kasih” yang sebesar-besarnya sebagai bentuk penghargaan dan

perhormatan atas segala bantuan, bimbingan, nasehat dan doa yang senantiasa

mengiringi penulis selama masa studi hingga penyusunan tugas akhir dari kedua

orang tua tercinta, Ayahanda Boba dan Ibunda Halisah. Tidak lupa pula penulis

mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Rohani Ambo Rappe, M.Si selaku pembimbing utama dan

Bapak Dr. Inayah Yasir, M.Sc selaku pembimbing kedua yang dengan

ikhlas meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan arahan,

bimbingan dan bantuan selama penelitian hingga penyusunan tugas akhir

ini.

Page 7: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

vii

2. Ibu Prof. Dr. Ir. A. Niartiningsih, MP. Selaku Dekan Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.

3. Seluruh Pembantu Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Universitas Hasanuddin.

4. Bapak Dr. Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si selaku Ketua jurusan Ilmu

Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin

Makassar.

5. Dr. Ir. Rohani Ambo Rappe, M.Si selaku Penasehat Akademik penulis

pada Program Studi Ilmu Kelautan Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.

6. Para dosen penguji, Ibu Prof. Dr. Ir. A. Niartiningsih, MP., Bapak Dr. Ir.

M. Farid Samawi, M.Si., dan Bapak Ir. Marzuki Ukkas, DEA yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan saran dan kritik dalam

perbaikan skripsi penulis.

7. Seluruh bapak dan ibu dosen Jurusan Ilmu Kelautan dan semua dosen

se-Unhas atas segala pengetahuan yang telah diberikan selama masa

studi penulis.

8. Kawan-kawan seperjuangan angkatan 2008 (Mezeight) yang tidak

dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bantuan,

motivasi, kebersamaan, perhatian dan dukungannya.

9. Pegawai dan seluruh staf jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan

dan Perikanan Universitas Hasanuddin.

10. Seluruh keluarga yang telah membantu yang tak henti-hentinya

memberikan dorongan dan semangat kepada penulis.

11. Teman-temanku di HIPERMATA Komisariat Unhas yang telah banyak

membantu, serta senantiasa memberi canda, tawa dorongan semangat

kepada penulis.

Page 8: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

viii

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini berguna bagi pembaca

khususnya teman-teman mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu

Kelautan dan perikananUniversitas Hasanuddin Makassar. Amin Ya Rabbal

Alamin.

Penulis

Mattewakkang

Page 9: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

ix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI………………………….. ................................................................................. ix

DAFTAR GAMBAR………… ............................................................................................. xi

DAFTAR TABEL……….. .................................................................................................. xii

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... xiii

I. PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah......................................................................................... 1

1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................................... 4

1.3 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................................... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 5

2.1 Pengertian Lamun .................................................................................................... 5

2.1.1 Halophila ovalis ............................................................................................ 7

2.1.2 Halodule uninervis ....................................................................................... 8

2.1.3 Cymodocea rotundata .................................................................................. 9

2.1.4 Thalassia hemprichii .................................................................................. 10

2.1.5 Enhalus acoroides ..................................................................................... 11

2.2 Peranan Lamun .................................................................................................... 12

2.3 Sebaran Geografik Lamun di Indonesia ............................................................... 12

2.4 Parameter Lingkungan Komunitas Lamun ............................................................ 14

2.4.1 Cahaya ....................................................................................................... 14

2.4.2 Salinitas ...................................................................................................... 15

2.4.3 Kedalaman ................................................................................................. 15

2.4.4 Pasang Surut dan Paparan Ombak/Gelombang (Exposure) .................... 16

2.4.5 Suhu ........................................................................................................... 16

2.4.6 Asosiasi makrozoobentos dengan padang lamun ..................................... 17

2.4.7 Faktor Fisika-Kimia yang Memengaruhi komunitas Makrozoobentos ....... 18

2.4.8 Indeks Keanekaragaman (H’) .................................................................... 19

III. METODE PENELITIAN ............................................................................................... 22

3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................................ 22

3.2 Alat dan Bahan ...................................................................................................... 22

Page 10: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

x

3.2.1 Alat dan Bahan di Lapangan ...................................................................... 22

3.2.2 Alat dan Bahan di Laboratorium ................................................................ 23

3.2.3 Prosedur Penelitian .................................................................................... 23

3.3 Pengolahan Data .................................................................................................. 24

3.3.1 Kerapatan Jenis lamun .............................................................................. 24

3.3.2 Makrozoobentos......................................................................................... 24

3.3.2.1 Komposisi Jenis ............................................................................. 24

3.3.2.2 Kepadatan (K) ................................................................................ 25

3.3.2.3 Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos .......................... 25

3.3.2.4 Indeks Keseragaman ..................................................................... 26

3.3.2.5 Indeks Dominansi .......................................................................... 26

3.4 Analisis ukuran butiran sedimen ........................................................................... 26

3.5 Analisis Data ......................................................................................................... 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................................... 28

4.1 Data Parameter Lingkungan .................................................................................. 28

4.2 Struktur Komunitas Makrozoobentos..................................................................... 31

4.3 Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C)

Makrozoobentos ..................................................................................................... 38

V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................ 40

5.1 Simpulan……….. ...................................................................................... 40

5.2 Saran…………….. ................................................................................................. 41

DAFTAR PUSTAKA…………… ....................................................................................... 42

Page 11: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Gambar 1. Halophila ovalis .......................................................................... 7

2. Gambar 2. Halodule uninervis ..................................................................... 8

3. Gambar 3. Cymodocea rotundata (Chandra, 2011) ..................................... 9

4. Gambar 4. Thalassia hemprichii (Chandra, 2011) ...................................... 10

5. Gambar 5. Enhalus acoroides ................................................................... 11

6. Gambar 6. Sebaran geografik spesies lamun di Indonesia ( Den Hartog 1970; Soegiarto & Polunin 1981; dan Kiswara 1984).) .......... 14

7. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian .............................................................. 22

8. Gambar 8. Jumlah jenis makrozoobentos antar plot .................................. 36

9. Gambar 9. Kepadatan makrozoobentos pada tiap-tiap plot ....................... 37

10. Gambar 10. Indeks Ekologi makrozoobentos di setiap plot ........................ 39

Page 12: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kategori Indeks Keanekaragaman ...................................................... 20

Tabel 2. Kategori indeks keseragaman (E) ....................................................... 20

Tabel 3. Kategori indeks dominansi (C) ............................................................ 21

Tabel 4. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi partikel-partikel sedimen ....... 27

Tabel 5. Parameter lingkungan di Pulau Bonebatang ....................................... 29

Tabel 6. Tabel komposisi jenis makrozoobentos pada tiap plot ......................... 33

Page 13: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kepadatan Individu tiap Plot. .............................................................. 46

Lampiran 2. Analisis Anova Kepadatan dan Jumlah Jenis antar Plot. .................... 47

Lampiran 3. Indeks Ekologi Makrozoobentos. ........................................................ 48

Lampiran 4. Kerapatan Jenis Lamun Tiap Plot. ..................................................... 49

Lampiran 5. Jenis Substrat Pada Kertas Semilog Pada Tiap Plot. ......................... 50

Lampiran 6. Spesies Makrozoobentos yang ditemukan. ........................................ 51

Page 14: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Lamun adalah satu-satunya kelompok tumbuhan berbiji (Spermatophyta)

yang telah beradaptasi sepenuhnya untuk hidup di laut (Fortes 1990; Waycott

2004). Lamun umumnya tersebar di daerah perairan dangkal zona intertidal yang

dipengaruhi pasang surut hingga daerah subtidal dengan kedalaman 40 m (den

Hartog 1970; Hemminga dan Duarte 2000; Waycott et al. 2004).

Komunitas lamun memiliki fungsi ekologis yang penting di daerah pesisir.

Struktur akar lamun yang rumit di dasar perairan membantu menstabilkan

substrat dan mengurangi kekeruhan. Tegakan daun lamun yang rapat berperan

penting untuk mengurangi energi gelombang, mengendapkan partikel organik

dan nutrien serta menjadi tempat berlindung bagi berbagai jenis biota laut.

Faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, arus, pasang surut, karakteristik

substrat/sedimen dan kedalaman kolom air memiliki pengaruh yang besar

terhadap struktur komunitas dan pola penyebaran/distribusi lamun beserta

hewan laut yang berasosiasi dengan tumbuhan laut tersebut (Hemminga &

Duarte 2000). Lamun di Indonesia, umumnya tumbuh membentuk komunitas

campuran (multispesifik), terdiri dari beberapa spesies lamun yang berbeda,

dengan pola cenderung mengelompok (patchy) yang diselingi oleh substrat

berpasir yang tidak ditumbuhi vegetasi lamun (Nienhuis et al. 1989; Tomascik et

al. 1997).

Vonk et al. (2010) menambahkan bahwa tumbuhnya lamun di dalam kolom

air, menarik berbagai jenis organisme laut untuk memijah, berlindung, mencari

makan dan menetap. Interaksi timbal balik yang terjadi di dalam komunitas lamun

Page 15: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

2

ini, menyebabkan terbentuknya suatu ekosistem kompleks yang menjadikan

padang lamun sebagai habitat penting bagi berbagai jenis biota laut.

Kelompok fauna yang ditemukan berasosiasi dengan lamun umumnya

didominasi oleh hewan bentos seperti sponges (Porifera), teripang, bulu babi,

bulu hati, bintang laut, bintang mengular (Echinodermata), kerang, keong

(Moluska), udang dan kepiting (Arthropoda) (de Wilde et al. 1989; Zieman dan

Zieman 1989; Erftemeijer dan Middelburg 1993; Sarinita dan Priosambodo 2006;

Vonk et al. 2008). Beberapa jenis kerang, teripang, udang dan ikan yang berasal

dari padang lamun ini memiliki nilai ekonomi yang penting bagi masyarakat

setempat (Tomascik et al. 1997).

Organisme bentik (bentos) adalah seluruh organisme (hewan dan tumbuhan)

yang hidup di dasar perairan baik itu di permukaan substrat atau di dalam

substrat (Khouw 2009). Lind (1979) dalam Khouw (2009) mendefinisikan bentos

sebagai semua organisme (melata, menetap, menempel, memendam maupun

meliang) yang hidup di lumpur, pasir, kerikil, batu, maupun sampah organik yang

berada di dasar perairan. Organisme bentos memiliki peran penting dalam studi

ekologi dan seringkali digunakan sebagai indikator untuk menilai perubahan yang

terjadi di lingkungan perairan (Hellawel 1986 dalam Khouw 2009).

Pulau Bonebatang terletak di pantai barat Sulawesi Selatan, kurang lebih

12 km arah barat daya Kota Makassar. Sebagian besar pulau terbentuk dari

hamparan pasir karbonat yang dikelilingi oleh karang tepi. Pulau Bonebatang

merupakan pulau kosong yang tidak berpenghuni, tanpa vegetasi dan hampir

tenggelam saat pasang tertinggi sehingga hampir tampak seperti gusung.

(“sand bank”). Nama Bonebatang berasal dari dua kata dalam bahasa Makassar,

yaitu: “bone” berarti pasir dan “battang” yang berarti perut. Secara harfiah,

Bonebatang diartikan sebagai “tempat yang baik untuk beristirahat dan makan”

Page 16: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

3

(Massang dalam Kneer 2006) yang menunjukkan bahwa pulau ini telah lama

menjadi tempat mencari hewan laut untuk kebutuhan konsumsi atau dijual

sebagai ikan hias, kerajinan tangan dan ornamen akuarium (Kneer, 2006).

Bonebatang tergolong pulau yang dinamis dan mudah berubah bentuk,

terutama di sisi timur, utara dan selatan. Penumpukan sedimen pasir halus

banyak terjadi di sisi selatan pulau. Arus di sisi selatan tergolong cukup kuat

untuk memindahkan pasir, terutama saat angin muson utara-selatan bertiup

kencang. Pergerakan pasir ini cukup berpengaruh terhadap luasan padang

lamun yang ada di sekeliling pulau (Stapel et al. 1996; Kneer 2006).

Padang lamun yang luas dapat ditemukan di sisi barat dan selatan

Bonebatang yang didominasi oleh substrat berpasir. Sedangkan komunitas

lamun di sisi utara yang didominasi substrat pecahan karang, memiliki kepadatan

yang rendah (Kneer, 2006). Komunitas lamun di Pulau Bonebatang tergolong

komunitas campuran yang terdiri dari spesies pionir seperti Cymodocea

rotundata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium dan

species klimaks: Thalassia hemprichii yang diselingi oleh Enhalus acoroides.

Kedua spesies klimaks tersebut tumbuh mengelompok dengan kepadatan

rendah dan menyebar secara acak (Kneer 2006; Vonk et al. 2008; Wiethuchter

2009; Vonk et al. 2010).

Penelitian tentang struktur komunitas lamun beserta biota laut yang

berasosiasi telah banyak dilakukan di Indonesia dan terus menunjukkan

peningkatan dalam satu dekade terakhir ini (Tomascik 1997). Namun, penelitian

biota asosiasi yang dilakukan di daerah lamun ini, umumnya hanya mencakup

spesies-spesies yang hidup di atas permukaan substrat saja (epifauna). Adapun

jenis-jenis biota asosiasi yang hidup di dalam substrat (infauna), belum banyak

Page 17: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

4

diteliti, sehingga informasi tentang struktur komunitas biota asosiasi infauna ini

masih sedikit diketahui (Vonk 2008).

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian tentang struktur

komunitas lamun beserta biota asosiasinya, baik yang mencakup spesies-

spesies makrozoobentos yang hidup di permukaan substrat (epifauna) maupun

spesiesspesies makrozoobentos yang hidup di dalam substrat (infauna).

1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis makrozoobentos

yang terdapat di berbagai jenis lamun di Pulau Bonebatang.

Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi ekologis dan

mendapat pemahaman mengenai makrozoobentos di daerah padang lamun.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi komposisi jenis dan kepadatan jenis

makrozoobentos serta indeks keanekaragaman jenis makrozoobentos pada

setiap jenis lamun.

Page 18: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Lamun

Lamun adalah tumbuhan berbunga yang telah beradaptasi sepenuhnya

untuk hidup di laut (Fortes 1990). Vegetasi laut ini tumbuh di perairan dangkal

zona intertidal hingga daerah subtidal hingga kedalaman 40 m (den Hartog 1970;

Fortes 1990; Hemminga dan Duarte 2000; Romimohtarto dan Juwana 2001).

Sekitar 60 jenis lamun diketahui tersebar di seluruh dunia (Short dan Coles

2003). Jenis lamun tersebut dikelompokkan ke dalam enam suku dan 12 genera.

Tujuh genera diantaranya tersebar di daerah tropis dan lima genera tersebar di

daerah temperata (den Hartog dan Kuo 2006). Keseluruhan genera lamun tropis,

dapat ditemukan di wilayah Indo-Pasifik Barat yang menjadikan wilayah ini

memiliki keanekaragaman jenis lamun tertinggi di dunia.

Di wilayah tropis seperti Indonesia, jenis-jenis lamun umumnya tumbuh

bersama, membentuk komunitas campuran (mixed meadows) yang terdiri dari 2 -

8 jenis (Nienhuis et al. 1989; Tomascik et al. 1997; Waycott et al. 2004; Vonk et

al. 2008). Sedangkan di daerah temperata, padang lamun seringkali hanya

didominasi oleh satu spesies tunggal saja (monospesifik). Beberapa daerah

seperti Bali dan Nusa Tenggara, memiliki komunitas lamun monospesifik yang

hanya ditumbuhi oleh satu jenis lamun saja, yaitu Thalassodendron ciliatum.

Lamun ini tumbuh di daerah bersubstrat karang dengan aliran arus yang kuat

(Tomascik et al. 1997). Total keseluruhan jenis lamun yang ditemukan di

Indonesia saat ini berjumlah 12 hingga 13 spesies (Fortes 1990; Kiswara 1997;

Priosambodo 2007).

Komunitas lamun berkembang di perairan dangkal, membentuk suatu habitat

yang menjadi tempat tinggal bagi berbagai jenis organisme laut. Menurut

Page 19: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

6

Hemminga dan Duarte (2000), struktur tiga dimensi yang dibentuk oleh kanopi,

rhizoma dan akar lamun menjadi tempat berlindung dan melekat bagi berbagai

jenis hewan dan tumbuhan laut. Daun dan kanopi lamun, kerap ditumbuhi alga

epifit yang memproduksi bahan organik dan menjadi salah satu sumber energi

dalam rantai makanan. Struktur tiga dimensi ini memiliki kemampuan untuk

menstabilkan substrat, mengurangi energi gelombang, mengurangi kekeruhan,

serta menghalangi paparan cahaya matahari yang kuat, sehingga menciptakan

lingkungan yang ideal bagi organisme laut untuk tumbuh dan berkembang.

Padang lamun merupakan salah satu komunitas terpenting yang mendukung

kehidupan berbagai organisme di laut. Lamun menghasilkan makanan bagi

penyu, ikan, bulu babi, dan mamalia laut seperti dugong (sapi laut), yang saat ini

dikategorikan IUCN dalam daftar merah karena terancam punah. Padang lamun

juga menjadi tempat mencari makan, kawin, bertelur, memijah dan membesarkan

anak bagi banyak jenis ikan, udang dan kerang yang bernilai ekonomis tinggi.

Selain itu secara fisik lamun juga mampu menstabilkan substrat (sedimen),

menahan ombak dan menyerap bahan pencemar (Fortes 1990; Asmus et al.

2006).

Bersama dengan terumbu karang dan hutan mangrove, lamun membentuk

habitat yang saling berhubungan dengan produktifitas yang sangat tinggi di laut.

Degradasi dan kehilangan padang lamun ini akan menyebabkan kerusakan bagi

ekosistem di laut secara keseluruhan, dan dari sisi ekonomi, dapat menimbulkan

kerugian yang besar bagi manusia (Fortes 1990; Short dan Coles 2003).

Ada sekitar 50 jenis lamun yang ditemukan di dunia yang tumbuh pada

perairan laut dangkal yang berdasar lumpur atau pasir. Lamun ini terdiri dari dua

suku (famili) yaitu suku Potamogetonaceae (9 marga, 35 jenis) dan suku

hydrocharitacea (3 marga, 15 jenis) (den Hartog 1970; Phillips dan Menez 1988).

Page 20: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

7

Dari 50 jenis lamun tersebut, ada 12 jenis yang telah ditemukan di Indonesia

yaitu Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Halophila

minor, Halophila decipiens, Halodule pinifolia, Halodule uninervis,

Thalassodendron ciliatum, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata,

Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Di antara ke duabelas jenis lamun

tersebut. Thalassodendron ciliatum mempunyai sebaran yang terbatas,

sedangkan Halophila spinulosa tercatat di daerah Riau, Anyer, Baluran, Irian

Jaya, Belitung dan Lombok. Begitu pula Halophila decipiens baru ditemukan di

Teluk Jakarta, Teluk Moti-moti dan Kepulauan Aru (den Hartog 1970). Berikut ini

deskripsi morfologi lamun yang ditemukan di Pulau Bonebatang beserta

klasifikasinya.

2.1.1 Halophila ovalis

Daunnya pipih berbentuk bulat seperti telur, mempunyai tangkai daun

berwarna merah (bagian tengah) mempunyai panjang helaian yang dapat

mencapai maksimum 32cm, dan lebar maksimum dapat mencapai 1,3cm.

pertulangan daun berjumlah 10-25 pasang (gambar 2).

Gambar 1. Halophila ovalis

Page 21: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

8

Klasifikasi :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermae

Bangsa : Helobiae

Suku : Hydrocharitaceae

Marga : Halophila

Jenis : Halophila ovalis

2.1.2 Halodule uninervis

Bentuk daun pipih, panjang maksimumnya hanya 12cm, sedangkan lebar

maksimum 4mm. Tulang daun tidak lebih dari tiga, dan menyerupai trisula (dua di

tepi an satu ditengah) (gambar 7).

Gambar 2. Halodule uninervis

Page 22: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

9

Klasifikasi :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermae

Bangsa : Helobiae

Suku : Potamogetonaceae

Marga : Halodule

Jenis : Halodule uninervis

2.1.3 Cymodocea rotundata

Bentuk daunnya melengkung menyerupai selempang. Bagian pangkal

menyempit dan ke arah ujung agak melebar. Ujung daunnya licin (halus) dengan

bagian tengahnya melekuk ke arah dalam. Tulang daun berjumlah 9-15 dengan

panjang 5-16 cm dan lebar 2-4 mm (gambar 9).

Gambar 3. Cymodocea rotundata (Chandra, 2011)

Page 23: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

10

Klasifikasi :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermae

Bangsa : Helobiae

Suku : Potamogetonaceae

Marga : Cymodocea

Jenis : Cymodocea rotundata

2.1.4 Thalassia hemprichii

Rimpang berdiameter 2-4 mm tanpa rambut-rambut kaku. Panjang daun 1-3

cm dan lebar daun 4-10 mm (gambar 11).

Gambar 4. Thalassia hemprichii (Chandra, 2011)

Page 24: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

11

Klasifikasi :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermae

Bangsa : Helobiae

Suku : Hydrocharitaceae

Marga : Thalassia

Jenis : Thalassia hemprichii

2.1.5 Enhalus acoroides

Memiliki akar yang panjangnya dapat mencapai 30 cm, dengan diameter > 1

cm, serta rambut-rambut kaku berwarna hitam yang merupakan sisa-sisa daun.

Daunnya pipih dengan jumlah helaian 2-5. Panjang helaian 30-150 cm, dengan

lebar 13-17 mm. Umumnya ujung daunnya tidak utuh lagi/putus yang diakibatkan

oleh kekuatan gelombang. Ciri lainnya terdapat pada bunga (jantan dan betina)

yang terdapat pada tumbuhan yang berbeda (dioecious). Umumnya bunga betina

bertangkai panjang melekuk-lekuk seperti spiral, sedangkan bunga jantan

bertangkai pendek lurus. Buahnya sendiri berukuran besar dengan permukaan

luar berambut tebal (satu buah berisi 12 biji) (gambar 12).

Gambar 5. Enhalus acoroides

Page 25: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

12

Klasifikasi :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermae

Bangsa : Helobiae

Suku : Hydrocharitaceae

Marga : Enhalus

Jenis : Enhalus acoroides

2.2 Peranan Lamun

Lamun berfungsi sebagai perangkap sedimen. Daunnya, yang umumnya

berbentuk pita, bertindak sebagai perangkap bahan tersuspensi yang dibawa

oleh arus ke daerah padang lamun. Rhizoma dan sistem perakarannya dapat

menstabilkan sedimen sehingga dapat mencegah erosi, terutama saat terjadi

badai, hujan dan banjir (Bjork, Short et al. 2008).

Padang lamun telah dikenal berperan penting pada proses-proses yang

berlangsung di pantai, antara lain: (1) sebagai tempat mencari makan dan

persinggahan bagi berbagai tumbuhan serta hewan. (2) memperkaya produksi

primer di perairan pantai, (3) menangkap dan mendaur ulang nutrient, (4)

sebagai stabilisator sedimen dan garis pantai (Susetiono 2004)

Padang lamun juga berperan sebagai suatu habitat perairan, yang memiliki

karakteristik khas yang menjadikannya sesuai untuk dihuni oleh berbagai

organisme.

2.3 Sebaran Geografik Lamun di Indonesia

Di Indonesia, sampai saat ini telah tercatat 12 jenis lamun dan 1 jenis lagi,

Halophila beccarii, yang mungkin didapatkan. Jenis terakhir ini didapatkan di

Page 26: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

13

Filipina (Menez et al. 1983) dan di Serawak (den Hartog 1970). Tetapi di Filipina

tidak mempunyai Halophila decipiens yang didapatkan di Indonesia.

Lamun tersebar pada sebagian besar perairan pantai di dunia. Hanya pada

beberapa wilayah saja tumbuh-tumbuhan ini tidak ditemukan. Dari 7 marga

lamun penghuni perairan tropik, 3 genera termasuk famili Hydrocharitaceae yaitu

Enhalus, Thalassia dan Halodule dan empat genera termasuk famili

Patamogetonaceae yaitu Halodule, Cymodocea, Syringodium dan

Thalassodendron, semua termasuk sub-famili Cymodoceoideae. Meskipun

demikian, ada beberapa genera yang mengandung spesies dengan sebaran

meluas ke perairan subtropik dan ugahari hangat (warm temperate) misalnya

Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium

Di Indonesia, telah ditemukan 12 spesies lamun. Dari kedua belas spesies

lamun yang terdapat di perairan Indonesia, beberapa spesies menunjukkan

penyebaran yang sangat khusus seperti Thalassodendron ciliatum yang terdapat

di Maluku, Nusa Tenggara, Kangean dan Kepulauan Riau. Halophila spinulosa

terdapat di Kep. Riau, Anyer (Pulau Jawa), Baluran Utara (Besuki) dan Irian.

Halophila decipiens terdapat di Teluk Jakarta (Pulau Jawa), Teluk Motimoti

(Sumbawa) dan Kep. Aru. (Kiswara and Hutomo 1985).

Page 27: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

14

Gambar 6. Sebaran geografik spesies lamun di Indonesia ( Den Hartog 1970;

Soegiarto & Polunin 1981; dan Kiswara 1984).)

2.4 Parameter Lingkungan Komunitas Lamun

Lamun membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai untuk tumbuh dan

berkembang. Penyebaran lamun di perairan seluruh dunia juga sangat

dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Beberapa parameter lingkungan yang

menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan lamun dan perkembangan lamun

diantaranya adalah:

2.4.1 Cahaya

Intensitas cahaya matahari merupakan faktor lingkungan yang sangat vital

bagi lamun untuk berfotosintesis. Intensitas cahaya ini sangat dipengaruhi oleh

kedalaman dan tingkat kekeruhan air. Menurut Duarte (1991) dalam Short dan

Page 28: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

15

Coles (2003), kebutuhan minimum intensitas cahaya yang dibutuhkan oleh lamun

untuk tumbuh adalah sebesar 10-20 % dari intensitas cahaya di permukaan air.

Lamun yang tumbuh pada kondisi mendekati level kompensasi atau

kekurangan cahaya akan mencapai pertumbuhan optimal pada suhu rendah,

tetapi pada suhu tinggi akan membutuhkan cahaya yang cukup banyak untuk

mengatasi pengaruh respirasi dalam rangka menjaga keseimbangan karbon

(Tuwo, 2011).

2.4.2 Salinitas

Perubahan salinitas kurang berpengaruh seperti pada perubahan temperatur.

Zostera marina dapat tumbuh pada salinitas 10-30 ‰ dan Thalassia pada

salinitas 20-35 ‰ (Phillips, 1972 dalam Azkab 1999). Sedangkan Halodule pada

daerah tropik dapat tumbuh pada salinitas 35-60 ‰, sehingga jenis ini lebih tinggi

resistennya pada salinitas yang tinggi dibandingkan dengan jenis-jenis lamun

lainnya (Mcmillan dan Moseley, 1967 dalam Azkab 1999).

Nilai salinitas yang optimum untuk lamun adalah 35‰. Walaupun spesies

lamun memiliki toleransi terhadap salinitas yang berbeda-beda, namun sebagian

besar memiliki kisaran yang besar terhadap salinitas yaitu antara 10-30 ‰.

Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis (Dahuri, 2001).

2.4.3 Kedalaman

Kedalaman perairan berhubungan erat dengan intensitas cahaya dan

tekanan dalam kolom air. Intensitas cahaya matahari akan semakin menurun

seiring dengan bertambahnya kedalaman. Sedangkan tekanan dalam kolom air

akan semakin meningkat. Sebagian besar jenis lamun hidup di daerah perairan

dengan kedalaman kurang dari 10m. Jenis lamun berukuran kecil seperti genus

Halophila, diketahui dapat tumbuh hingga kedalaman 58 meter di bawah

Page 29: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

16

permukaan laut. Jenis lamun berukuran besar seperti Thalassia, Halodule,

Enhalus dan Cymodocea lebih menyukai daerah perairan yang dangkal (Short

dan Coles 2003).

2.4.4 Pasang Surut dan Paparan Ombak/Gelombang (Exposure)

Sebagian besar jenis lamun yang tumbuh di perairan dangkal, sangat

dipengaruhi oleh pasang surut perairan. Saat surut terendah, daun lamun akan

rebah, mengalami kekeringan dan terbakar oleh intensitas cahaya matahari yang

tinggi. Sedangkan saat musim gelombang/ombak yang besar, kebanyakan daun

lamun akan gugur, terlepas dari batang atau rhizomanya (Short dan Coles 2003).

Di Kepulauan Spermonde, pasang tertinggi dan surut terendah setiap tahun

terjadi pada bulan Agustus-Desember. Pasang surut dan paparan

ombak/gelombang sangat berpengaruh bagi komunitas lamun yang tumbuh di

daerah perairan yang dangkal. Arus pasang surut yang kuat, dapat menarik

sedimen atau pasir keluar menjauh dari pantai, sehingga akan menimbun daun

lamun yang tumbuh di dasar perairan. Pulau kecil seperti Bonebatang, umumnya

memiliki perbedaan pasang surut yang kecil (Erftemeijer dan Herman 1994).

2.4.5 Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan

dan penyebaran lamun. Suhu yang terlalu tinggi dapat mengganggu terjadinya

fotosintesis, terhambatnya proses pembungaan dan perkecambahan biji.

Kenaikan suhu juga dapat memicu terjadinya kenaikan laju respirasi yang

berakibat pada meningkatnya laju metabolisme dan terganggunya proses

fisiologis dalam sel (Hemminga dan Duarte 2000; Short dan Coles 2003; Waycott

et al. 2004).

Page 30: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

17

2.4.6 Asosiasi makrozoobentos dengan padang lamun

Bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam

atau pada sedimen dasar perairan. Berdasarkan sifat fisiknya, bentos dibedakan

menjadi dua kelompok diantaranya fitobentos yang bersifat tumbuhan dan

zoobenthos yaitu organisme bentos yang bersifat hewan (Lawrence 2005).

Makrozoobentos adalah hewan invertebrata yang hidup di bawah atau di

dasar perairan, yang berukuran lebih dari 1 mm, contohnya cacing, pelecypod,

anthozoa, echinodermata, sponge, ascidian, and crustacea (Graaf, Vlas et al.

2009).

Menurut Ardi (2002), hewan bentos membantu mempercepat proses

dekomposisi materi organik. Hewan bentos terutama yang bersifat herbivor dan

detritivor, dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati

dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang

lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi

nutrien bagi produsen perairan.

Berdasarkan kebiasaan hidupnya, makrozoobentos dikelompokkan menjadi

dua, yaitu infauna adalah bentos yang hidup didalam sedimen; dan epifauna

adalah bentos yang hidup menempel pada daun-daun lamun dan di atas dasar

laut (Romimohtarto and Juwana 2001).

Padang lamun merupakan daerah asuhan atau daerah perlindungan bagi

kelangsungan hidup berbagai biota (Nontji, 2005).

Menurut Howard et al (1989) ada empat kelompok besar fauna di padang

lamun, yaitu:

1. Infauna motil merupakan hewan yang hidup di dalam sedimen di antara

rizoma.

Page 31: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

18

2. Epifauna motile merupakan hewan yang berukuran lebih kecil dan bergerak

berasosiasi dengan permukaan sedimen, hancuran lamun dan di helaian

lamun.

3. Epifauna sesil merupakan hewan yang hidup secara permanen melekat di

atas helaian lamun

4. Fauna epibentik merupakan hewan yang berukuran lebih besar, mampu

bergerak bebas dan lebih berasosiasi dengan padang lamun dari pada

lamun secara individual.

2.4.7 Faktor Fisika-Kimia yang Memengaruhi komunitas Makrozoobentos

Menurut Nybakken (1992), sifat fisika-kimia perairan sangat penting dalam

ekologi. Oleh karena itu, selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik,

seperti makrozoobentos, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik

(fisika-kimia) perairan, karena antara faktor abiotik dan biotik saling berinteraksi.

Menurut Barus (2004), dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara

organisme dengan faktor-faktor abiotiknya maka akan diperoleh gambaran

tentang kondisi dan kualitas perairan.

Faktor abiotik (fisika-kimia) perairan yang memengaruhi komunitas

makrozoobentos antara lain:

1. Kecepatan Arus

Kecepatan arus akan mempengaruhi komposisi substrat dasar (sedimen) dan

juga akan mempengaruhi aktifitas makrozoobentos yang ada. Kaitannya dengan

kecepatan arus Odum (1993) dalam Suradi (1993)

2. DO (Disolved Oxygen)

Oksigen terlarut penting untuk respirasi sebagian besar organisme air.

Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi temperature. Kelarutan

Page 32: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

19

maksimum oksigen di dalam air pada temperatur 00C sebesar 14,16 mg/l O2,

kelarutan ini akan menurun jika temperatur air meningkat (Barus, 2004).

Menurut Sanusi (2004), nilai DO yang berkisar di antara 5,45-7,00 mg/l cukup

bagi proses kehidupan biota perairan. Barus (2004), menegaskan bahwa nilai

oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar 6-8 mg/l, makin rendah nilai DO

maka makin tinggi tingkat pencemaran ekosistem tersebut.

3. pH (Derajat Keasaman)

Nilai yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara

7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa

akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan

terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Kenaikan pH di atas netral akan

meningkatkan konsentrasi amonia yang bersifat sangat toksik bagi organisme

(Barus, 2004).

2.4.8 Indeks Keanekaragaman (H’)

Dalam suatu struktur komunitas terdapat lima karakteristik yang dapat diukur,

yaitu keanekaragaman, keseragaman, dominansi, kelimpahan dan pertumbuhan.

Menurut sifat komunitas, keanekaragaman ditentukan dengan banyaknya jenis

serta kemerataan kelimpahan individu tiap jenis yang didapatkan. Semakin

besar nilai suatu keanekaragaman berarti semakin banyak jenis yang didapatkan

dan nilai ini sangat bergantung kepada nilai total dari individu masing-masing

jenis atau genera (Odum, 1993).

Keanekaragaman (H’) mempunyai nilai terbesar jika semua individu berasal

dari genus atau spesies yang berbeda-beda, sedangkan nilai terkecil jika semua

individu berasal dari satu genus atau satu spesies saja (Odum, 1993).

Page 33: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

20

Kategori Indeks Keanekaragaman dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Kategori Indeks Keanekaragaman

No Keanekaragaman Kategori

1 H’ < 2,0 Rendah

2 2,0 < H’ < 3,0 Sedang

3 H' ≥ 3,0 Tinggi

Nilai indeks keanekaragaman dengan kriteria sebagai berikut :

Jika H’ < 2 : Keanekaragaman genera/spesies rendah, penyebaran jumlah

individu tiap genera/spesies rendah, kestabilan komunitas

rendah dan keadaan perairan telah tercemar.

Jika 2 < H’ < 3 : Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu sedang

dan kestabilan perairan telah tercemar sedang.

Jika H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap

spesies/genera tinggi, kestabilan komunitas tinggi dan

perairannya masih belum tercemar.

Keseragaman hewan bentos dalam suatu perairan dapat diketahui dari

indeks keseragamannya. Semakin kecil nilai indeks keseragaman organisme

maka penyebaran individu tiap jenis tidak sama, ada kecenderungan didominasi

oleh jenis tertentu (Odum, 1993).

Tabel 2. Kategori indeks keseragaman (E)

No Kesekaragaman Kategori

1 0,00 < E < 0,50 Komunitas Tertekan

2 0,50 < E < 0,75 Komunitas Labil

3 0,75 < E < 1,00 Komunitas Stabil

(Sumber Odum, 1993)

Dominansi dapat diketahui dengan menghitung indeks dominansinya.

Nilai indeks dominansi yang tinggi menyatakan bahwa konsentrasi dominansi

yang rendah, artinya tidak ada jenis yang mendominasi komunitas tersebut.

Page 34: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

21

Sedangkan nilai dominansi yang rendah menyatakan konsentrasi dominasi yang

tinggi, artinya terdapat jenis yang mendominansi dalam komunitas tersebut,

karena jika ada jenis yang mendominasi maka keseimbangan komunitas akan

menjadi tidak stabil dan akan mempengaruhi keanekaragaman dan

keseragaman (Odum, 1993).

Tabel 3. Kategori indeks dominansi (C)

No Dominasi Kategori

1 0,00 < C < 0,50 Rendah

2 0,50 < C < 0,75 Sedang

3 0,75 < C < 1,00 Tinggi

(Sumber Odum, 1993)

Page 35: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan November

2012 pada perairan Pulau Bonebatang Kota Makassar. Identifikasi sampel

makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Ekologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan,

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat dan Bahan di Lapangan

Alat yang digunakan dalam penelitian di lapangan yaitu traksek kuadran 1 m

x 1 m untuk sampling, sieve net untuk mengayak, grab dengan bukaan

berukuran 20 cm x 20 cm untuk sampling sampel makrozoobentos yang berada

pada sedimen. GPS untuk menentukan titik koordinat pengambilan sampel,

Page 36: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

23

coolbox untuk menyimpan sampel dan peralatan, spidol permanen untuk

penanda kantong sampel, pensil dan sabak sebagai alat tulis menulis. Water

Quality Checker (WQC) untuk mengukur suhu, pH, Dissolved Oksigen dan

kekeruhan, handrefractometer untuk mengukur salinitas, layang-layang arus

untuk mengukur kecepatan arus, kompas bidik untuk mengukur arah arus, stop

watch untuk mengukur waktu dan alat selam dasar untuk mempermudah

pengambilan data lapangan. Bahan yang digunakan dalam penelitian di

lapangan yaitu kantong sampel untuk menyimpan sampel makrozoobentos dan

formalin atau alkohol 70% untuk mengawetkan sampel.

3.2.2 Alat dan Bahan di Laboratorium

Alat yang digunakan di laboratorium adalah lup, pinset, loyang untuk

memudahkan dalam proses penyortiran sampel, botol sampel untuk menyimpan

sampel, buku identifikasi untuk membantu dalam proses identifikasi sampel, lap

kasar dan lap halus untuk membersihkan alat-alat, makroskop untuk mengamati

sampel dengan jelas, kamera untuk dokumentasi sampel makrozoobentos dan

alat tulis menulis untuk mencatat hasil pengamatan. Bahan yang digunakan

adalah, kertas label untuk penanda.

3.2.3 Prosedur Penelitian

1. Pemilihan plot pengambilan sampel makrozoobentos

Pemilihan plot didasarkan pada jenis lamun dengan parameter yang diukur

tiap plot meliputi suhu, pH, DO, kekeruhan, salinitas Kecepatan arus dan arah

arus.

2. Pengambilan sampel makrozoobentos

Pengambilan sampel makrozoobentos tiap stasiun dilakukan pada tiap titik

dengan menggunakan transek kuadrat 1 m x 1 m dengan 3 kali pengulangan.

Page 37: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

24

Sedimen diambil dengan menggunakan sekop yang memiliki bukaan 20 cm x 20

cm, setelah itu sampel makrozoobentos disaring dengan menggunakan sieve net

ukuran 1 mm. Organisme yang tersaring kemudian dimasukkan ke dalam

kantong sampel, sedangkan organisme yang mudah hancur seperti cacing

dimasukkan ke dalam kantong sampel yang berisi alkohol 70% dan dipisahkan

antara makrozoobentos dengan sedimen.

3. Tahap identifikasi sampel

Sampel yang telah disortir kemudian akan diidentikasi menggunakan

makroskop dengan bantuan buku identifikasi makrozoobentos. Buku

makrozoobentos adalah Dharma (1988), Carpenter dan Niem (1998) dan Bruyne

(2004).

3.3 Pengolahan Data

3.3.1 Kerapatan Jenis lamun

Menurut Brower et al., (1990) rumus yang digunakan dalam perhitungan

lamun sebagai berikut:

Kerapatan jenis (Di)

Di=ni / A

Keterangan:

Di : Kerapatan jenis (ind/m2)

ni : Jumlah total tegakan dari jenis ke-i

A : luas area plot pengamatan

3.3.2 Makrozoobentos

3.3.2.1 Komposisi Jenis

Jenis-jenis makrozoobentos yang diperoleh dikelompokkan menurut genus

dan dihitung persentasenya. Hasilnya dibuat dalam bentuk diagram lingkar.

Page 38: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

25

3.3.2.2 Kepadatan (K)

Kepadatan organisme makrozoobentos dihitung dengan menggunakan

rumus Shanon-Wiener (Odum 1993):

K = 10000 x xi

n x a

Keterangan:

K : Kepadatan individu (ind/m2)

xi : Total individu pada 3 kisi (ind)

n : jumlah ulangan tiap titik (3 kali)

a : luas transek kuadran (20 cm x 20 cm ) = 400 cm2

10000 : Nilai konversi dari cm2 ke m2

3.3.2.3 Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos

Keanekaragaman jenis merupakan suatu karakteristik tingkatan komunitas

berdasarkan organisasi biologinya, dan akan menyatakan struktur komunitasnya.

Keanekaragaman makrozoobentos dapat dihitung dengan menggunakan Indeks

Shannon-Wiener (Odum 1993):

H’ = - Σ Pi ln Pi ; Pi= ni/N

Keterangan :

H’ : Indeks keanekaragaman jenis

Pi : ni/N (Proporsi spesies ke-i)

ni : Jumlah individu jenis

N : Jumlah total individu

Semakin besar nilai indeks keanekaragaman maka semakin tinggi

keanekaragaman jenisnya, berarti komunitas biota di perairan tersebut makin

beragam dan tidak didominasi oleh satu atau dua jenis.

Page 39: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

26

3.3.2.4 Indeks Keseragaman

Indeks keseragaman organisme makrozoobentos dihitung dengan

menggunakan rumus Evennes Indeks (Odum 1993):

E = H’ / LnS

Keterangan:

E = Indeks keseragaman jenis

H’ = Indeks keaneka ragaman jenis

S = Jumlah jenis organisme

3.3.2.5 Indeks Dominansi

Indeks dominasi organisme makrozoobentos dihitung dengan menggunakan

rumus odum 1993:

C = ∑ (ni/N)2

Keterangan :

C = indeks dominasi

ni = jumlah individu setiap spesies

N = jumlah total individu

3.4 Analisis ukuran butiran sedimen

Untuk mengukur ukuran partikel digunakan metode penyaringan kering (dry

sieving) berdasarkan skala Wenworth. Saringan yang digunakan adalah saringan

bertingkat yang mempunyai ukuran antara 2 mm-0,063 mm. Sedimen yang

diambil terlebih dahulu dikeringkan melalui sinar matahari dan panas oven

dengan suhu 1800C-2000C.

Metode yang digunakan mengklasifikasikan substrat pasir dan lumpur

dengan prosedur sebagai berikut:

1. Sampel sedimen yang telah kering ditimbang sebanyak ± 100 gram,

lalu diayak menggunakan sieve net bertingkat selama 15 menit dengan

gerakan konstan sehingga didapatkan pemisahan partikel sedimen

Page 40: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

27

berdasarkan masing-masing ukuran ayakan (2 mm, 1 mm, 0,5 mm, 0,

25 mm, 0, 125 mm, 0,063 mm dan < 0, 063 mm

2. Sampel dipisahkan dari masing-masing ukuran ayakan hingga bersih

lalu ditimbang

% Berat = (Berat Hasil Ayakan / Berat awal) x 100%

Untuk mengklasifikasikan pertikel-partikel sedimen digunakan skala

Wenworth :

Tabel 4. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi partikel-partikel sedimen

Terminologi Diameter (mm)

Kerikil Bolder (boulder) Bongkah (Cobble) Kerakal (Pebble) Kerikil (Granule)

Pasir ( Sand ) Pasir sangat kasar (Very Coarse Sand)

Pasir Kasar (Coarse Sand) Pasir Sedang (Medium Sand) Pasir Halus (Fine Sand) Pasir Sangat Halus (Very Fine Sand)

Lumpur (Mud) Lanau (Silt) Lempung (Clay)

> 256 64 – 256

4 – 64 2 – 4 1 - 2

0,5 – 1

0,25 – 0,5 0,125 – 0,25

0,0625 – 0,125

0,0039 – 0,0625 < 0,0039

(Sumber Hutabarat dan Evans, 2000)

3.5 Analisis Data

Kepadatan dan jumlah jenis makrozoobentos akan dibandingkan antar plot

pengamatan yang mewakili jenis lamun yang berbeda dengan menggunakan uji

One-way ANOVA. Struktur komunitas makrozoobentos antar plot pengamatan

akan disajikan dalam bentuk histogram dan dibandingkan secara deskriptif.

Page 41: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Parameter Lingkungan

Dari hasil pengukuran yang dilakukan di lapangan nilai pH pada kelima plot

adalah 8 dan tersebar secara merata (tabel 5). Hal sesuai dengan Barus (2004)

yang menyatakan bahwa nilai yang ideal bagi kehidupan organisme air pada

umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5.

Dari hasil pengukuran parameter lingkungan di Pulau Bonebatang,

diketahui bahwa kisaran salinitas dari masing-masing plot tidak jauh berbeda

(Tabel 5), menunjukkan kisaran 30 permil, suatu nilai yang baik bagi lamun untuk

tumbuh dan berkembang secara optimal (Short dan Coles 2003).

Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling berpengaruh

terhadap ekosistem lamun. Suhu juga menjadi faktor pembatas bagi

pertumbuhan dan distribusi lamun. Hasil pengukuran suhu di Pulau Bonebatang

menunjukkan kisaran antara 29 – 32⁰C. Kisaran suhu ini masih mendukung

komunitas lamun untuk tumbuh dan berkembang (Short dan Coles 2003).

Saat surut terendah, sebagian daun lamun di perairan dangkal Pulau

Bonebatang akan terekspose ke permukaan. Intensitas cahaya matahari yang

tinggi menyebabkan daun lamun mengalami kekeringan, terbakar dan akhirnya

mati. Serasah daun lamun yang terdampar di tepi pantai atau terjebak di antara

tegakan lamun akan membusuk dan terurai menjadi bahan organik yang

dibutuhkan oleh lamun dan organisme lainnya untuk tumbuh dan berkembang.

Serasah daun lamun ini merupakan sumber bahan organik yang penting bagi

perairan tropis yang dikenal miskin akan unsur hara (Vonk 2008). Kematian

massal dari daun lamun, yang berguguran atau lepas saat surut terendah, akan

memicu lamun untuk segera menumbuhkan daun yang baru. Dengan demikian,

Page 42: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

29

suhu berperan penting dalam regenerasi lamun (Hemminga dan Duarte 2000:

Short dan Coles 2003).

Tabel 5. Parameter lingkungan di Pulau Bonebatang

Plot Titik Ulangan pH Suhu (0C)

Salinitas (0/00)

Kec. Arus (m/s)

Arah arus

(derajat)

BOT (gr/m2

AFDW)

Jenis Substrat

(mm)

Halodule PI

I 8 29 30 0.02 290

0,163 1 mm (Pasir kasar)

II 8 29 30 0.02 272

III 8 29 30 0.02 265

Thalassia PII

I 8 30 30 0.02 270

0,158 0,78 mm

(Pasir kasar)

II 8 30 30 0.02 275

III 8 30 30 0.02 280

Halophila PIII

I 8 30 30 0.03 305

0,121 1 mm (Pasir kasar)

II 8 30 30 0.02 305

III 8 30 30 0.03 305

Enhalus PIV

I 8 31 30 0.03 325

0,153 0,68 mm

(Pasir kasar)

II 8 31 30 0.03 320

III 8 31 30 0.03 325

Cymodocea PV

I 8 32 30 0.03 325

0,13 0,5 mm (Pasir

sedang) II 8 32 30 0.03 340

III 8 32 30 0.03 340

Hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan layang-layang arus

dan kompas bidik pada masing-masing plot kecepatan arus berkisar antara 0,02-

0,03 (m/s) dan arah arus antara 2650-3400 ke arah Barat. Menurut Short dan

Coles (2003), proporsi butiran sedimen dalam bentuk kerikil yang besar

mengindikasikan tingginya energi gelombang atau kecepatan arus di daerah

tersebut. Sebaliknya, proporsi kerikil yang besar, menunjukkan kemungkinan

rendahnya kandungan bahan organik dan nutrien dalam sedimen.

Sedimen dalam lingkungan perairan laut umumnya berasal dari proses

pelapukan. Sebagian berasal dari material hasil pelapukan batuan di darat yang

dibawa ke laut melalui sungai. Sedangkan material lainnya berasal dari proses

pelapukan material yang berasal dari kerangka atau bagian tubuh makhluk hidup

(Mc Lachlan dan Brown 2006).

Page 43: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

30

Karakteristik sedimen yang paling penting adalah ukuran butiran sedimen.

Hal ini terkait dengan kemampuan sedimen tersebut untuk mengikat bahan

organik dan nutrien yang dibutuhkan oleh ekosistem lamun dan biota asosiasi

yang hidup di dalamnya. Karakteristik sedimen yang lain adalah porositas dan

permiabilitas. Porositas terkait dengan kemampuan butiran pasir untuk mengisi

ruang yang kosong dalam suatu volume tertentu. Sedangkan permiabilitas

adalah kemampuan dari sedimen untuk melewatkan air (Mc Lachlan dan Brown,

2006).

Porositas terkait dengan ukuran butiran sedimen. Makin kecil (halus)

ukuran butiran sedimen, makin banyak ruang antar butiran sedimen yang terisi.

Hal ini menyebabkan sedimen yang halus memiliki kemampuan

menyimpan/menahan air yang lebih baik. Secara tidak langsung, nutrien dan zat

hara yang terlarut dalam air pun dapat disimpan dengan baik. Hal ini

menjelaskan mengapa kandungan bahan organik dan nutrien pada sedimen

halus umumnya relatif lebih tinggi. Tingginya kandungan air yang tertahan dalam

sedimen halus menyebabkan kemampuan sedimen halus unutk melewatkan air

(permeabilitas), menjadi lebih rendah dibandingkan sedimen dengan ukuran

butiran yang lebih besar. Dengan kata lain, sedimen berbutir besar lebih mudah

kehilangan kandungan bahan organik/ nutrien (Knox 2001; Mc Lachlan dan

Brown 2006).

Hasil analisis sampel struktur sedimen dari Pulau Bonebatang (Tabel 5),

menunjukkan bahwa, kondisi substrat pada setiap plot lebih banyak didominasi

oleh pasir kasar. Menurut Short dan Coles (2003), proporsi butiran sedimen

dalam bentuk kerikil yang besar mengindikasikan tingginya energi gelombang

atau kecepatan arus di daerah tersebut. Sebaliknya, proporsi kerikil yang besar,

Page 44: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

31

menunjukkan kemungkinan rendahnya kandungan bahan organik dan nutrien

dalam sedimen.

Bahan organik termasuk salah satu komponen vital bagi komunitas lamun.

Ketersediaan bahan organik di alam dapat menjadi faktor pembatas bagi

pertumbuhan lamun (Erftemeijer dan Middelburg 1993; Hemminga dan Duarte

2000; Barron dan Duarte 2009; Wicks et al. 2009). Lamun dengan struktur kanopi

dan rhizomanya yang rumit, diketahui memiliki kemampuan menjebak material

organik (Hemminga dan Duarte 2003). Material organik yang terjebak berasal

dari berbagai sumber, diantaranya dari limbah rumah tangga atau bahkan dari

serasah daun lamun yang telah mati. Dari hasil analisis bahan organik di

laboratorium pada masing-masing plot berkisar antara 0,121-0,153 gr/m2 AFDW

(Tabel 5).

4.2 Struktur Komunitas Makrozoobentos

4.2.1 Komposisi Jenis Makrozoobentos

Dari hasil penelitian di Pulau Bonebatang diperoleh jumlah total

makrozoobentos 60 spesies. Pada plot Halodule didominasi oleh spesies Tellina

remies, Modiolus auriculatus dan Cerithium rostratum yaitu sebanyak 7, 6 dan 5

individu, plot Thalassia didominasi oleh spesies Tellina remies,Timoclea marica,

Cerithium rostratum dan Cypraea Sp masing-masing berjumlah 3, 3, 2 dan 2

individu. Plot Halophila didominasi oleh spesies Cerithium rostratum dan

Cerithium balteatum masing berjumlah 7 dan 5 individu, plot Enhalus didominasi

oleh spesies Modiolus auriculatus yang berjumlah 12 individu dan plot

Cymodocea didominasi oleh spesies Tellina remies, Modiolus auriculatus,

Cerithium rostratum dan Timoclea marica masing-masing berjumlah 13, 11, 6

dan 6 individu (Tabel 6).

Page 45: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

32

Dari uraian di atas diketahui bahwa pada Plot Halodule, Thalassia, Enhalus

dan Cymodocea didominasi oleh kelas Bivalvia, sedangkan Plot Halophila

didominasi oleh kelas gastropoda. Menurut Hemminga dan Duarte (2000), dalam

ekosistem lamun, kerang Bivalvia mencari makan dengan cara menyaring

partikel organik terlarut (suspension feeder). Dan kelompok gastropoda bersifat

karnivora pemakan daging, pemakan bangkai (scaveger) atau pemakan detritus

dan mikroalga yang menempel di daun lamun (detritivor). Plot Halodule,

Thalassia, Enhalus dan Cymodocea didominasi oleh kelas Bivalvia karena

memiliki tingkat perlindungan yang lebih tinggi dari para predator dan kondisi

lingkungan seperti arus dan gelombang. Sedangkan pada plot Halophila

didominasi kelas gastropoda karena areanya lebih terbuka yang memungkinkan

mendapatkan makanan yang lebih banyak.

Pada Tabel 6 dapat kita lihat beberapa jenis makrozoobentos yang spesifik

pada lamun tertentu seperti pada plot Halodule yaitu jenis Natica fasciata,

Peristernia ustulata, Pisanea ignea dan Viriola corrugate. Plot Thalassia yaitu

Antigona Sp, Barbatia foliata, Callocardia Sp, Cerithium punctatum,

Laevistrombus Sp, Limaria cumingii, Lioconcha castrensis, Nassarius (Zeuxis) Sp

dan Trachycardium Sp. Plot Halophila yaitu jenis Cypraea silindrica, Engina

alveolata, Modiolus Sp, Natica sertata, Natica Sp dan Pseudostomatella Sp. Plot

Enhalus yaitu jenis Cancer productus, Cymbiola (Aulicina) verspertilio, Donisia

dilecta, Liotina pironii, Nassarius Sp, Otopleura auriscati, Pleuplora trapezium,

Spondylus Sp, Strombus (Dolomena) marginatus marginatus, Strombus urceus

dan Tapes dorsatus. Plot Cymodocea yaitu jenis Circe placatina, Fulfia

papyracea, Pinna muricata, Quadrans gargadia, Troncus radiatus, Vexillum

axasperatum dan Xesta semipartilia semipartilia.

Page 46: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

33

Hemminga dan Duarte (2000), menyatakan bahwa keberadaan suatu jenis

makrozoobentos di daerah lamun tidak bergantung sepenuhnya pada

keberadaan vegetasi lamun. Faktor lingkungan seperti hidrodinamika,

karakteristik substrat, kedalaman dan salinitas seringkali lebih memiliki pengaruh

terhadap keberadaan suatu jenis makrozoobentos di daerah lamun. Beberapa

jenis kerang bivalvia ditemukan hidup menempel di substrat keras di daerah

lamun akibat terbawa arus, saat kerang tersebut masih berada pada fase larva.

Jenis biota laut lainnya, hanya tinggal sementara di daerah lamun, untuk

menghabiskan sebagian dari daur hidup awalnya untuk berlindung dari

pemangsa.

Tabel 6. Tabel komposisi jenis makrozoobentos pada tiap plot

No Makrozoobentos Jenis Lamun

Halodule Thallasia Halophila Enhalus Cymodocea

1 Antigona Sp - 1 - - -

2 Archaster typicus - 1 - 1 -

3 Barbatia foliata - 1 - - -

4 Callocardia Sp - 1 - - -

5 Cancer productus - - - 2 -

6 Cerithium balteatum 2 1 5 - -

7 Cerithium punctatum - 1 - - -

8 Cerithium rostratum 5 3 7 - 6

9 Circe plicatina - - - - 1

10 Clanculus Sp - - - 1 -

11 Codakia tigerina - - 1 - 1

12 Cymbiola (Aulicina) verspertilio - - - 1 -

13 Cypraea silindrica - - 1 - -

14 Cypraea Sp - 2 2 1 -

15 Diadema setosum - 1 - 2 2

16 Donisia dilecta - - - 1 -

17 Engina alveolata - - 1 - -

18 Euthria Sp - - 2 1 -

19 Fulfia papyracea - - - - 3

20 Heleacus Sp - - 1 - -

21 Jujubinus Sp - 1 1 - -

22 Laevistrombus Sp - 1 - - -

23 Limaria cumingii - 1 - - -

24 Lioconcha castrensis - 1 - - -

25 Liotina pironii - - - 1 -

Page 47: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

34

26 Littoralia intermedia 2 - 1 1 -

27 Mitra Sp - - 1 - -

28 Modiolus auriculatus 6 1 1 12 11

29 Modiolus Sp - - 1 - -

30 Nassarius (Zeuxis) Sp - 1 - - -

31 Nassarius albescens - - 2 1 -

32 Nassarius Sp - - - 1 -

33 Natica fasciata 1 - - - -

34 Natica sertata - - 1 - -

35 Natica Sp - - 1 - -

36 Notocholis venestula - - 2 - 1

37 Otopleura auriscati - - - 1 -

38 Peristernia ustulata 2 - - - -

39 Phasianella solida - - - 2 1

40 Pinna muricata - - - - 1

41 Pisanea ignea 1 - - - -

42 Pleuplora trapezium - - - 1 -

43 Pseudostomatella Sp - - 3 - -

44 Quadrans gargadia - - - - 2

45 Solemya togata - - 2 - -

46 Spataganus purpureus - - 2 - 1

47 Spondylus Sp - - - 1 -

48 Strombus (Dolomena) marginatus marginatus - - - 1 -

49 Strombus urceus - - - 1 -

50 Tapes dorsatus - - - 1 -

51 Tellina radiata 1 1 1 - 2

52 Tellina remies 7 3 1 2 13

53 Timoclea marica 1 2 1 - 6

54 Trachycardium Sp - 1 - - -

55 Trachycardium subrucosum - - - - -

56 Tripnesustes gratilla - - 1 2 2

57 Troncus radiatus - - - - 1

58 Vexillum axasperatum - - - - 1

59 Viriola corrugata 1 - - - -

60 Xesta semipartilia semipartilia - - - - 2

Lamun dikenal sebagai produsen autotrofik yang memiliki produktifitas

tinggi di laut. Proses fotosintesis menghasilkan bahan organik berupa senyawa

karbon yang terkonsentrasi di daun dan rhizoma lamun (Barron dan Duarte

2009). Senyawa karbon yang ada terkandung dalam jaringan lamun berkisar

antara 30 %- 40% dari total berat kering lamun (Hemminga dan Duarte 2000).

Page 48: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

35

Bahan organik termasuk salah satu komponen vital bagi komunitas lamun.

Ketersediaan bahan organik di alam dapat menjadi faktor pembatas bagi

pertumbuhan lamun (Erftemeijer dan Middelburg 1993; Hemminga dan Duarte

2000; Barron dan Duarte 2009; Wicks et al. 2009). Lamun dengan struktur kanopi

dan rhizomanya yang rumit, diketahui memiliki kemampuan menjebak material

organik (Hemminga dan Duarte 2003). Material organik yang terjebak berasal

dari berbagai sumber, diantaranya dari limbah rumah tangga atau bahkan dari

serasah daun lamun yang telah mati.

Dari hasil analisis kandungan bahan organik dalam sedimen pada tiap-tiap

plot didapatkan plot Halodule, Thalassia, Enhalus memiliki kandungan bahan

organik yang tinggi yaitu 16,3%, 15,8%, dan 15,3% (lihat Tabel 5). Tingginya

bahan organik yang ditemukan pada ketiga plot tersebut dapat memengaruhi

populasi organisme dasar. Menurut Wood (1987) menyatakan bahwa bahan

organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi

organisme bentik, sehingga jumlah dan laju pertambahannya dalam sedimen

mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar.

Menurut Koch (2001) dalam Short dan Coles (2003), kandungan bahan

organik dalam sedimen di daerah lamun berkisar antara 0,5 % - 16,5 %, tetapi

umumnya kurang dari 5 % (lihat tabel 5). Dengan demikian, kandungan bahan

organik dalam sedimen di daerah lamun Pulau Bonebatang masih berada pada

kisaran optimal yang dapat mendukung pertumbuhan lamun.

Plot Cymodocea memiliki jumlah jenis makrozoobentos yang paling tinggi

dengan jumlah jenis yang ditemukan sebanyak 48 jenis, kemudian plot Halophila

dengan jumlah jenis 42 dan plot Enhalus 38 jenis (Gambar 9). Banyaknya jenis

makrozoobentos yang ditemukan dari ketiga plot tersebut dapat dikaitkan dengan

bahan organik total (BOT) yang tergolong tinggi (lihat Tabel 5).

Page 49: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

36

Gambar 8. Jumlah jenis makrozoobentos antar plot

Kneer (2006) menyatakan bahwa dalam komunitas lamun yang berusia

lebih tua, biota laut yang berasosiasi dengan lamun akan memiliki kesempatan

yang lebih lama untuk berkembang dan membentuk rantai makanan yang lebih

kompleks. Biota laut yang berkunjung, berlindung atau menetap di daerah lamun

pun menjadi lebih banyak dan beragam. Hal ini juga didukung oleh hasil

penelitian dari Vonk (2008; 2010) yang melaporkan adanya pengaruh yang

signifikan dari struktur kanopi yang dibentuk oleh tegakan Enhalus acoroides

terhadap tingginya kelimpahan populasi biota asosiasi di daerah lamun Pulau

Bonebatang.

Dari hasil analisis uji anova diperoleh nilai f hitungnya sebesar 0,860

dengan nilai signifikan sebesar 0,520 (α>0,05), berarti tidak terdapat perbedaan

yang signifikan antar stasiun dalam hal ini jumlah jenis makrozoobentos.

4.2.2 Kepadatan Jenis Makrozoobentos

Ditemukan 60 spesies makrozoobentos yang tersebar di 5 plot

pengamatan yang terdiri dari 5 Filum yaitu Moluska yang terdiri dari 34 spesies

kelas Gastropoda dan 21 spesies kelas Bivalvia, Echinodermata yang terdiri dari

0

10

20

30

40

50

60

Halodule Thalassia Halophila Enhalus Cymodocea

Ind

ivid

u

Jumlah Jenis Antar Plot

Page 50: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

37

1 spesies kelas Asteroidea, 3 spesies kelas Echinoidea, Arthropoda yang terdiri

dari 1 spesies kelas Crustacea.

Plot Cymodocea memiliki nilai kepadatan yang paling tinggi yaitu sebesar

133 ind/m2 (Gambar 10). Tingginya kepadatan makrozoobentos pada plot

Cymodocea dapat dikaitkan oleh beberapa parameter fisika seperti jenis substrat

yang didominasi oleh substrat sedang dan merupakan habitat yang sangat cocok

untuk makrozoobentos. Selain itu, kandungan bahan organik pada plot tersebut

cukup tinggi. Hal ini didukung oleh pernyataan Lind (1979) yang menyatakan

bahwa substrat pasir merupakan habitat yang paling disukai makrozoobentos.

Tingginya kepadatan makrozoobentos pada plot Cymodocea, Enhalus dan

Halophila dapat dikaitkan dengan bentuk morfologi dari ketiga plot tersebut.

Bentuk morfologi dari plot Cymodocea dan Enhalus dimanfaatkan kelas bivalvia

untuk perlindungan sedangkan pada plot Halophila dimanfaatkan kelas

gastropoda untuk mencari makan karena areanya lebih terbuka.

Dari hasil analisis uji anova diperoleh nilai f hitung sebesar 0,914 dengan nilai

signifikan sebesar 0,492 (>0,05), berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan

antar plot dalam hal ini kepadatan jenis makrozoobentos.

Gambar 9. Kepadatan makrozoobentos pada tiap-tiap plot

0

20

40

60

80

100

120

140

160

Halodule Thalassia Halophila Enhalus Cymodocea

Ke

pa

da

tan

ma

kro

zo

ob

en

tos

(In

d/m

2)

Page 51: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

38

4.3 Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C)

Makrozoobentos

Pada penelitian ini nilai indeks keanekaragaman (H’) tertinggi ditemukan di

plot Halophila yaitu 3,03 yang berarti pada plot tersebut ditemukan banyak jenis,

sedangkan plot Halodule dan Cymodocea masing-masing memiliki nilai yang

rendah yaitu 2,11 dan 2,52 (Gambar 10).

Dari nilai yang didapat, diketahui bahwa komunitas makrozoobentos yang

ditemukan pada lokasi penelitian agak beragam. Nilai kenekaragaman tinggi

diperoleh jika ditemukan banyak individu dan semua individu berasal dari jenis

atau genera yang berbeda–beda dan akan mempunyai nilai kecil atau sama

dengan nol jika suatu individu berasal dari beberapa atau satu jenis saja (Odum,

1971).

Untuk nilai indeks keseragaman (E), plot Thalassia memiliki nilai yang paling

tinggi yaitu 0,97 yang berarti komunitas pada plot tersebut dalam kondisi stabil.

Plot Thalassia memiliki indeks keseragaman yang lebih baik dibandingkan

stasiun lainnya karena jumlah individu dari tiap jenis makrozoobentos yang

ditemukan lebih merata.

Untuk nilai indeks dominasi (C), plot Enhalus dan Cymodocea memilki nilai

yang sama yaitu 0.12 dan yang terendah pada plot Thalassia dan Halophila yaitu

0.06. Nilai indeks dominansi (C) pada penelitian ini berkisar 0,00 < C < 0,50 yang

termasuk dalam kategori rendah, sehingga tidak ditemukan dominansi dari suatu

spesies terhadap spesies lain di semua plot penelitian.

Page 52: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

39

Gambar 10. Indeks Ekologi makrozoobentos di setiap plot

2,11

2,903,03

2,672,52

0,88 0,97 0,94 0,86 0,85

0,15 0,06 0,06 0,12 0,12

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

Halodule Thalassia Halophila Enhalus Cymodocea

Indeks keanekaragaman (H') Indeks keseragaman (E) Indeks dominasi (C)

Page 53: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Jumlah makrozoobentos yang diperoleh berdasarkan jenis lamun antara

lain pada plot Cymodocea 48 jenis, plot Halophila 42 jenis, plot Enhalus

38 jenis, plot Halodule didapatkan 29 jenis dan plot Thalassia didapatkan

26 jenis.

2. Kepadatan makrozoobentos yang diperoleh adalah pada plot Cymodocea

133 ind/m2, plot Halophila 166 ind/m2, plot Enhalus 105 ind/m2, plot

Halodule 80 ind/m2 dan plot Thalassia 72 ind/m2.

3. Jenis makrozoobentos yang spesifik pada lamun tertentu seperti pada

plot Halodule yaitu jenis Natica fasciata, Peristernia ustulata, Pisanea

ignea dan Viriola corrugate. Plot Thalassia yaitu jenis Antigona Sp,

Barbatia foliata, Callocardia Sp, Cerithium punctatum, Laevistrombus Sp,

Limaria cumingii, Lioconcha castrensis, Nassarius (Zeuxis) Sp dan

Trachycardium Sp. Plot Halophila yaitu jenis Cypraea silindrica, Engina

alveolata, Modiolus Sp, Natica sertata, Natica Sp dan Pseudostomatella

Sp. Plot Enhalus yaitu jenis Cancer productus, Cymbiola (Aulicina)

verspertilio, Donisia dilecta, Liotina pironii, Nassarius Sp, Otopleura

auriscati, Pleuplora trapezium, Spondylus Sp, Strombus (Dolomena)

marginatus marginatus, Strombus urceus dan Tapes dorsatus. Plot

Cymodocea yaitu jenis Circe placatina, Fulfia papyracea, Pinna muricata,

Quadrans gargadia, Troncus radiatus, Vexillum axasperatum dan Xesta

semipartilia semipartilia.

Page 54: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

41

5.2 Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan tentang kondisi oseanografi fisika

dan kimia pada lamun yang monospesifik dan mulitispesifik kaitannya dengan

keberadaan makrozoobentos.

Page 55: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

42

DAFTAR PUSTAKA

Asmus H, Saleh A, Litaay M, Priosambodo D. 2006. Struktur Komunitas

Makrozoobentos do perairan Pulau Barranglompo, Jurnal Biologi

2006;0835-4489. Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Azkab, M. H. (1999). "Petunjuk Penanaman Lamun." Oseana 24(3): 11-25.

Barron C, Duarte CM. 2009. Dissolved organic matter release in a Posidonia

oceanica meadow. Mar.Ecol.Prog.Ser.374:-75-84.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan: USU Press.

Bjork, M., F. Short, et al. (2008). Managing Seagrasses for Resilience to Climate

Change, IUCN, Gland, Switzerland.

Brower J.E, J.H Zar, C.N von Ende. 1990. Fields and Laboratory Methods for

General Ecology; 3rd edition. Wn. C. Brown Publs, Dubuque.

Carpenter, Kent E., 1998. The Living Marine Resources Of The Western Central Pasific. Department Of Biological Science Old Dominion University Norfolk, Virginia 23529, USA.

Chandra Nur., 2011. Inventarisasi Jenis Lamun dan Gastropoda yang Berasosiasi di Pulau Karampuang Mamuju. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.Unhas. Makassar.

Dahuri, R. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara

Terpadu, Edisi Revisi. Pradnya Paramita. Jakarta.

den Hartog C. 1970. The Seagrass of The World. Amsterdam: North Holland.

De Wilde PAWJ, Kastoro WW, Berghuis EM, Aswandy I, Al Hakim I, Kok A. 1989. Structure and energy demand of the benthic soft-bottom communities in the Java Sea and around the islands of Madura and Bali, Indonesia. Nether. Jour. Sea Res. 23 (4): 449-461).

Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. PT Sarana Graha. Jakarta.

Erftemeijer PLA, Herman PMJ. 1994. Seasonal Change in Enviromental Variable, Biomass, Production and Content Nutrient in Two Contrasting Tropical Intertidal Seagrass Beds in South Sulawesi (Indonesia). Oecologia 99: 45-59.

Erftemeijer PFA, Middelburg JJ. 1993. Sediment-nutrient interaction in tropical seagrass beds: a comparison between a terrigenous and a carbonate sedimentary environment in South Sulawesi (Indonesia). Mar.Ecol.Prog.Ser. 102: 187-198.

Fortes M. D., 1990. Seagrasses: A Resource Unknown in The ASEAN Region. CLARM Educational Series 5. Manila. Philippines. International Center for Living Aquatic Resources Management.

Hemminga MA, Duarte CM. 2000. Seagrass Ecology. London-United Kingdom (UK): Cambridge University Press.

Page 56: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

43

Khouw AS. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut. Bogor: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L).

Kiswara, W., (1997). Struktur Komunitas Padang Lamun Perairan Indonesia. Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut-Pesisir II, Jakarta: P3O LIPI. Hal. 54-61.

Kiswara, W. and M. Hutomo (1985). "Habitat Dan Sebaran Geografik Lamun."

Oseana 10(1): 21-30.

Kiswara W. 2004. Kondisi Padang Lamun (Seagrass) di Perairan Teluk Banten

1998-2001. Jakarta: Lembaga Penelitian Oseanografi.

Kneer D. 2006. The Role of Neaxius acanthus (Thalassinidea: Strahlaxiidae) and it’s burrows in a tropical seagrass meadow, with some remarks on Coralianassa coutierei (Thalassinidea: Calianassidae). [Diploma Thesis]. [Diploma Thesis]. Berlin: Freie University.

Kuo, J. dan C. den Hartog. 2006. Taxonomy and Biogeography of Seagrasses. In A.W.D. Larkum, R.J. Orth dan C.M. Duarte (ed). Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. Springer. Dordrecht. Netherlands.

Lawrence, E. (2005). Henderson's Dictionary of Biology. Harlow, Pearson

Prentice Hall.

Lind, O. T. 1979. Hand Book of Common Method in Limnology. CV. Mosby. St.

Louis, Toronto. London.

Menez, G.E, G.R. Phillips and P.H. Calumpong. 1983. Seagrasses from the

Phillippines. Smithsonian Institution Press. City of Washington. 40 p.

McLachlan A dan Brown A. 2006. The Ecology of Sandy Shores. California USA:

Academic Press.

Niem, Volker H., 1998. The Living Marine Resources Of The Western Central Pasific. Marine Resources Service Species Identification and Data Programme Fisheries Department Food and Agriculture Organization Viale Kolle Terme. Caracalla 00100, Rome, Italy.

Nienhuis PH, Coosen J, Kiswara W.1989. Community structure and biomass distribution of seagrasses and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Nether. Jour. Sea Res. 23 (2): 197-214).

Nontji, A. (2005). Laut Nusantara. Jakarta, Djambatan.

Odum, E. P. (1993). Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta, Gajah Mada University

Press.

Phillips, R.C. and E.G. Menez 1988. seagrasses. Smithsonion Institution Press. Washington D.C. : 104 pp.

Priosambodo D. 2007. Sebaran jenis-jenis lamun di Sulawesi Selatan. Jurnal Bionature No. 1 Vol. 8 (8-17) April 2007. Jurusan Biologi FMIPA. Universitas Negeri Makassar

Page 57: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

44

Romimohtarto, K. and S. Juwana (2001). Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan

Tentang Biologi Laut. Jakarta, Djambatan.

Sanusi, H. 2004. Karakteristik Kimiawi dan Kesuburan Perairan Teluk Pelabuhan Ratu pada Musim barat dan Timur. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. Departemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB-Bogor.

Sarinita S, D Priosambodo. 2006. Community structure of seagrass in Awerange and Labuange Bay, Barru Regency, South Sulawesi. Torani.Jour.Mar. Sci. Fish 5. 16: 393-402.

Short FT, R Coles (2003). Global Seagrass Research Method. Elsevier Science, Amsredam

Stapel J, Aarts TL., Van Duynhoven BHM, De Groot JD, Van den Hoogen PHW, Heminga MA (1996) Nutrient uptake by leaves and roots of the seagrass Thalassia hemprichii in the Spermonde Archipelago, Indonesia. Mar.Ecol.Prog.Ser. 134: 195-206.

Susetiono (2004). Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat Lembeh. Jakarta,

Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI.

Tuwo, A. (2011). Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Surabaya, Brillian

Internasional.

Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK, 1997. The Ecology of the Indonesia Seas. Part One. The Ecology of Indonesian Series Vol. VII.HongKong: Periplus Edition (HK) Ltd.

Vonk JA, Kneer D, Stapel J, Asmus H. 2008. Shrimp burrow in tropical seagrass

Meadow: an important sink for litter. Estu. Coas. Shelf. Sci. 79: 79-85.

Vonk JA, Christianen MJA, Stapel J. 2010. Abundance, edge effect, and seasonality of fauna in mixed-species seagras meadows in Sout-West Sulawesi, Indonesia. Mar. Biol. Res.6: 282-291.

Waycott M, Mahon KM, Mellors J, Calladine A, Kleine D. 2004. A Guide to Tropical Seagrass of The Indo-West Pacific. Townsville-Queensland Australia: James Cook University.

Wicks EC, koch EW, O'neil JM, Elliston K. 2009. Effect of sediment organic content and hydrodynamic condition on the growth and distribution of Zostera marina. Mar.Ecol.Prog.Ser. Vol.378: 71-80.

Wiethuchter A. 2009. Interaction between benthic fauna in an Indonesia seagrass bed-with special focus on the ecology of Indo-Pacific Pinnidae (Bivalvia). [Diploma Thesis]. Kiel Germany: Christian-Albrechts University.

Zieman JC, Zieman RT. 1989. The ecology of the seagrass meadow of the west coast of Florida: a community profile. U.S. Wildl. Serv.Biol.Rep.85 (7.25).155.

Page 58: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

45

Page 59: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

46

Lampiran 1. Kepadatan Individu tiap Plot

Plot Titik Ulangan Kepadatan

(Ind/m2)

Halodule PI

I 53

II 14

III 14

Thalassia PII

I 31

II 22

III 19

Halophila PIII

I 44

II 47

III 25

Enhalus PIV

I 17

II 56

III 33

Cymodocea PV

I 42

II 56

III 36

Page 60: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

47

Lampiran 2. Analisis Anova Kepadatan dan Jumlah Jenis antar Plot

Descriptives

N Mean

Std.

Deviation

Std.

Error

95% Confidence Interval

for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

JJ Halodule 3 9.67 8.083 4.667 -10.41 29.75 5 19

Thalassia 3 9.00 2.000 1.155 4.03 13.97 7 11

Halophila 3 14.00 4.359 2.517 3.17 24.83 9 17

Enhalus 3 12.67 7.024 4.055 -4.78 30.11 6 20

Cymodocea 3 16.00 3.606 2.082 7.04 24.96 13 20

Total 15 12.27 5.378 1.389 9.29 15.24 5 20

Kepadata

n

Halodule 3 26.85 22.453 12.963 -28.92 82.63 14 53

Thalassia 3 24.07 5.782 3.338 9.71 38.44 19 31

Halophila 3 38.89 12.108 6.991 8.81 68.97 25 47

Enhalus 3 35.19 19.510 11.264 -13.28 83.65 17 56

Cymodocea 3 44.44 10.015 5.782 19.56 69.32 36 56

Total 15 33.89 15.076 3.893 25.54 42.24 14 56

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

JJ 2.044 4 10 .164

Kepadatan 1.949 4 10 .179

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

JJ Between Groups 103.600 4 25.900 .860 .520

Within Groups 301.333 10 30.133

Total 404.933 14

Kepadatan Between Groups 851.852 4 212.963 .914 .492

Within Groups 2330.247 10 233.025

Total 3182.099 14

Page 61: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

48

Lampiran 3. Indeks Ekologi Makrozoobentos

plot Indeks keanekaragaman (H')

Indeks keseragaman (E)

Indeks dominasi (C)

Halodule 2,11 0,88 0,15

Thalassia 2,90 0,97 0,06

Halophila 3,03 0,94 0,06

Enhalus 2,67 0,86 0,12

Cymodocea 2,52 0,85 0,12

Page 62: INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI …repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789...ii ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai

49

Lampiran 4. Kerapatan Jenis Lamun Tiap Plot

Plot Sub Plot

Kerapatan Lamun

Halodule

1 125

2 142

3 110

Thalassia

1 85

2 62

3 85

Halophila

1 196

2 195

3 183

Enhalus

1 18

2 30

3 35

Cymodocea

1 285

2 350

3 365