Upload
iqbal-alchehab
View
232
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
abcd
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Asam urat merupakan produk akhir dari katabolisme adenin dan guanin
yang berasal dari pemecahan nukleotida purin. Asam urat ini dikeluarkan
melalui ginjal dalam bentuk urin. (Nasrul & Sofitri, 2012).
Menurut Sudoyo et al, (2010), kelebihan asam urat (hiperurisemia)
ditandai dengan peningkatan kadar asam urat dalam serum darah sebesar
>7 mg/dl pada laki-laki dan >6 mg/dl pada perempuan. Fenomena
kelebihan asam urat pada tubuh dapat menimbulkan penyakit yang dikenal
dengan istilah penyakit pirai/gout, yaitu gangguan inflamasi akut yang
ditandai dengan adanya nyeri terutama pada titik artikulasi tubuh akibat
penimbunan kristal monosodium urat pada persendian maupun jaringan
lunak di dalam tubuh. Selain itu, gangguan inflamasi ini juga dapat
menimbulkan gangguan pada retina mata, ginjal, jantung, serta persendian
(Shetty et al, 2011).
Penelitian Kim et al (2011) menunjukkan bahwa kejadian mortalitas
akibat hiperurisemia adalah 68.4% dan pada kelompok non hiperurisemia
sebanyak 38.3%. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa angka
mortalitas pada hiperurisemia disebabkan oleh peningkatan kadar asam
urat pada serum darah yang dapat meningkatkan resiko terjadinya gagal
ginjal akut dan kematian.
Kejadian hiperurisemia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang
cukup signifikan. Data yang diterbitkan di Amerika Serikat pada tahun
1998 menunjukkan prevalensi asam urat sebesar 8.4/1000 orang untuk
semua umur, ras dan jenis kelamin, dan dari total kasus tersebut sebesar
1.56 juta penyakit terjadi pada laki-laki dan 550.000 pada perempuan.
Selain itu, penelitian meta-analisis yang dilakukan di Cina pada tahun
ytang sama menunjukkan hasil bahwa prevalensi penderita hiperurisemia
pada laki-laki sebesar 21.6% dan pada perempuan 8.6%. (Doherty, 2009;
Festy & Aris, 2010).
Hiperurisemia dapat disebabkan oleh banyak faktor meliputi usia, jenis
kelamin, diet, obat-obatan, genetik, gangguan metabolik, dan gangguan
kardiovaskuler. Faktor risiko tersebut dapat mengganggu proses produksi,
ekskresi, ataupun keduanya sehingga kadar asam urat dalam tubuh tidak
bisa dikendalikan dengan baik (Weaver et al, 2010).
Penelitian yang dilakukan Shetty et al, (2011) menunjukkan hasil bahwa
kadar asam urat meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Carlioglu et al (2011), yang
menunjukkan bahwa rata–rata perempuan penderita hiperurisemia berusia
≥51 tahun, dan penelitian oleh Ryu et al (2011) yang menunjukkan bahwa
penderita hiperurisemia laki–laki berada pada kisaran usia 30-59 tahun.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Doherty (2009), penilaian
hiperurisemia dapat dibiaskan oleh faktor usia dan jenis kelamin. Dalam
penelitiannya, penderita hiperurisemia laki-laki dibanding perempuan
adalah sebesar 4:1 pada usia kurang dari 65 tahun, dan menurun menjadi
3:1 pada rentang usia lebih dari 65 tahun. Penurunan angka prevalensi
tersebut dijelaskan dalam penelitian Festy et al (2010), yang menunjukkan
bahwa setelah wanita mengalami menopause, terjadi penurunan sekresi
estrogen yang menyebabkan penurunan sekresi asam urat, dimana
estrogen berperan dalam proses eksresi asam urat melalui urin. Sebesar
85% wanita mengalami menopause pada usia 51.4 tahun, akan tetapi pada
10% wanita menopause baru terjadi pada usia 40 tahun, dan 5% wanita
baru mengalami menopause pada usia 60 tahun (Bobak et al, 2005).
Dari berbagai faktor resiko tersebut, obesitas merupakan faktor risiko
utama yang berperan dalam mekanisme gangguan metabolisme sehingga
terjadi peningkatan kadar asam urat dalam darah. Menurut Berkowitz dan
Frank, sebesar 52–82 % laki-laki dengan hiperurisemia adalah penderita
obesitas (Budianti, 2008). Obesitas merupakan kelainan dimana penderita
menunjukkan Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥30 (Sandjaja & Sudikno,
2005).
Distribusi dari deposit lemak yang berlebihan pada individu dengan
obesitas umumnya bermanifestasi sebagai lipatan kulit yang lebih tebal
dibandingkan dengan individu non-obesitas. Distribusi deposit lemak ini
berbeda antara laki-laki dan wanita. Hal ini disebabkan oleh adanya
perbedaan fungsi hormonal antara laki-laki dan wanita. Lemak pada
wanita mulai dari masa pubertas memiliki distribusi yang terkonsentrasi
disekitar payudara, abdomen bawah, panggul, paha, bokong dan area
genital, sedangkan pada laki-laki cenderung terkonsentrasi pada bagian
abdomen, tengkuk leher, dan punggung (Hazleman, 2004; Riley & Speed,
2004).
Berdasarkan data-data penelitian yang dikemukakan diatas, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Tebal
Lipatan Lemak Bawah Kulit dengan Kadar Asam Urat Darah pada Usia
Dewasa (40-60 tahun).di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Sawah”.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka didapatkan rumusan masalah sebagai
berikut; Apakah terdapat hubungan antara tebal lipatan lemak bawah kulit
dengan kadar asam urat pada usia dewasa (40-60 tahun) di wilayah kerja
puskesmas Kampung Sawah?
I.3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi hubungan antara tebal lipatan lemak
bawah kulit dengan kadar asam urat pada usia dewasa (40-60
tahun) di wilayah kerja puskesmas Kampung Sawah.
2. Tujuan Khusus
a. Menilai tebal lipatan lemak bawah kulit pada responden
penelitian.
b. Mengetahui perbedaan tebal lipatan lemak bawah kulit antara
responden laki-laki dan wanita usia dewasa.
c. Menilai kadar asam urat responden penelitian.
d. Mengetahui perbedaan kadar asam urat darah antara responden
laki-laki dan wanita usia dewasa .
e. Melakukan analisis terhadap ada tidaknya hubungan tebal
lipatan lemak bawah kulit dengan kadar asam urat pada
responden penelitian.
I.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi peneliti
Mengetahui ada tidaknya hubungan tebal lipatan lemak bawah kulit
dengan kadar asam urat.
2. Manfaat bagi bidang ilmu pengetahuan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dan
pertimbangan lanjut khususnya dalam bidang ilmu kesehatan.
3. Manfaat bagi praktisi
Penelitian diharapkan dapat menjadi acuan studi bagi praktisi
kesehatan dalam penanganan penyakit-penyakit metabolik seperti
obesitas dan hiperurisemia.
4. Manfaat bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber
pengetahuan dan wawasan ilmiah untuk masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Lemak
Lemak atau lipid dalam tubuh manusia dibagi menjadi 3, yakni; kolesterol,
trigliserida, dan fosfolipid. Sekitar 2/3 dari kolesterol plasma disebut
kolesterol teresterifikasi dan sisanya disebut kolesterol bebas. Kolesterol
merupakan komponen terbanyak pada membran sel yang disintesis pada
semua sel tubuh kecuali eritrosit. Molekul lemak memiliki karakteristik
hidrofobik, sehingga agar lemak dapat dimetabolisme oleh tubuh,
dibutuhkan suatu pelarut, yaitu apolipoprotein atau apoprotein (Adam,
2009).
Lemak memiliki tiga jalur metabolisme, yakni sebagai berikut;
1. Jalur Eksogen
Lemak diet yang terdiri dari trigliserida dan kolesterol, bersama lemak
yang disintesis oleh tubuh dalam bentuk kolesterol hati diekskresi
bersama empedu ke usus halus. Trigliserida diserap oleh enterosit usus
halus dalam bentuk Free Fatty Acid (FFA), sedangkan kolesterol
diserap dalam bentuk kolesterol ester. Keduanya diubah kembali ke
bentuk semula dalam usus halus, lalu bersama dengan fosfolipid dan
apolipoprotein membentuk lipoprotein yang dikenal sebagai
kilomikron. Kilomikron masuk ke saluran limfe, dan melalui duktus
torasikus akan masuk ke dalam aliran darah. Trigliserida dalam
kilomikron kemudian mengalami hidrolisis oleh lipoprotein lipase
(LPL) dari sel endotel menjadi FFA untuk disimpan dalam jaringan
adiposa dan selebihnya disimpan di hati. Kilomikron dengan sisa
kolesterol ester disebut kilomikron remnant (sisa), kemudian juga akan
disimpan dalam organ hati (Gambar 1) (Ganong, 2008).
2. Jalur Endogen
Lemak yang disintesis oleh hati dikeluarkan sebagai Very Low Density
Lipoprotein (VLDL). Dalam pembuluh darah, trigliserida VLDL akan
mengalami hidrolisis oleh LPL menjadi Intermediate Density
Lipoprotein (IDL). IDL kemudian mengalami hidrolisis lebih lanjut
menjadi molekul yang lebih kecil yaitu Low Density Lipoprotein
(LDL). VLDL, IDL, dan LDL sebagian akan kembali ke hati sebagai
kolesterol ester, sedangkan sisa LDL diangkut kembali ke hati dan
jaringan steroidogenik seperti kelenjar adrenal, testis, dan ovarium
yang memiliki reseptor LDL (Gambar 1) (Ganong, 2008).
Gambar 1. Jalur Metabolisme Eksogen dan Endogen (Ganong, 2008).
3. Reverse Cholesterol Transport
Pada jaringan usus halus dan hati dibentuk suatu molekul High
Density Lipoprotein (HDL) nascent. HDL nascent akan mendekati
makrofag dan mengambil kolesterol yang tersimpan didalam makrofag
dari hasil fagositosis LDL yang teroksidasi pada pembuluh darah.
Kolesterol bebas dari makrofag kemudian mengalami esterifikasi
menjadi kolesterol ester oleh enzim Lechitin Cholesterol
Acyltransferase (LCAT). Setelah terjadi esterifikasi, kolesterol ester
kemudian ditransportasikan ke hati melalui dua jalur. Jalur pertama
yaitu dimana kolesterol ester diangkut oleh Scavenger Receptor Class
B type 1 (SR-B1). Jalur kedua adalah ketika kolesterol ester dalam
HDL ditukar dengan trigliserida dari VLDL dan LDL dengan bantuan
Cholesterol Ester Transfer Protein (CETP) (Gambar 2) (Adam, 2009).
Gambar 2. Jalur Metabolisme Reverse Cholesterol Transport (Cho, 2009).
II.2 Obesitas dan Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit
Kadar lemak berlebih dalam tubuh akan disimpan pada jaringan
ekstrahepatik atau jaringan adiposa dalam bentuk trigliserida. Pada
individu obesitas, kadar lemak yang berlebihan (Tabel 1) akan memicu
penumpukan lemak pada jaringan adiposa, sehingga terbentuk jaringan
adiposa yang memiliki volume lebih besar dibandingkan jaringan adiposa
pada individu non-obesitas. Volume jaringan adiposa yang melebihi
kemampuan penyokong jaringan ikat tubuh, ditambah dengan pengaruh
gravitasi, akan menyebabkan peregangan permukaan kulit jaringan
adiposa sehingga membentuk lipatan kulit yang tebal (Hazleman, 2004;
Riley & Speed, 2004).
Obesitas didefinisikan sebagai peningkatan kadar lemak pada tubuh yang
dilambangkan dengan peningkatan IMT ≥30, yang dapat menimbulkan
berbagai gangguan metabolisme dan memicu timbulnya berbagai
gangguan kardiovaskuler (Ganong, 2008).
Pada tubuh individu dengan obesitas, terjadi peningkatan kadar lemak
yang menyebabkan terganggunya fungsi endotel dan peningkatan produksi
radikal bebas oksigen. Radikal ini menonaktifkan nitrat oksida, yaitu
faktor endotheliat-relaxing pembuluh darah yang utama, sehingga
pembuluh darah tidak dapat berdilatasi dengan normal. Apabila keadaan
ini berlangsung dalam waktu lama tanpa adanya perbaikan diet, lemak
akan tertimbun dalam lapisan tunika intima pembuluh darah. Pajanan
radikal bebas pada sel endotel dinding arteri akan menyebabkan terjadinya
oksidasi LDL yang mengangkut molekul lipid ke jaringan tubuh,
menyebabkan timbulnya plak ateroma. Tingginya kadar lemak dalam
tubuh juga menyebabkan peningkatan metabolisme HDL yang merupakan
faktor pencegah timbulnya penyumbatan oleh plak ateroma. Mekanisme
penyumbatan oleh lemak akibat tingginya kadar lemak pada obesitas
kemudian ikut mencetuskan timbulnya berbagai gangguan kardiovaskuler
antara lain; hipertensi, stroke, dan penyakit jantung. Selain itu, obesitas
juga dapat menimbulkan kelainan metabolisme dan menjadi faktor resiko
bagi penyakit seperti dislipidemia dan diabetes melitus (Price & Wilson,
2006).
Dalam awal praktik klinisnya, obesitas diukur dengan menggunakan
perhitungan Indeks Massa Tubuh, yang pertama kali diterapkan oleh
Adolphe Quetelet pada tahun 1871. Pengukuran ini hingga kini masih
diterapkan dengan parameter yang diperbaharui (Tabel 1) untuk
mengkategorikan keadaan tubuh sesuai dengan nilai IMT yang didapat,
sehingga intervensi farmakologis serta non-farmakologis yang diperlukan
dapat diberikan dengan tepat (World Health Organization, 2000).
Tabel 1. Nilai Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks Massa Tubuh Klasifikasi
<18.5 Berat badan rendah18.5-24.9 Berat badan normal25.0-29.9 Berat badan berlebih (overweight)30.0-34.9 Obesitas kelas I35.0-39.9 Obesitas kelas II
≥40.0 Obesitas kelas IIIKeterangan : IMT = berat badan (kg)/tinggi badan (m)2
Sumber : WHO, 2000.
Tebal lipatan kulit menggambarkan perkembangan jaringan lemak bawah
kulit. Pengukuran tebal lipatan kulit dapat digunakan untuk
memperkirakan jumlah lemak yang ada dibawah lapisan kulit sebagai
parameter obesitas (Tabel 2). Pengukuran tebal kulit ini dapat dilakukan
pada tujuh bagian yaitu pada bagian bisep, trisep, subskapsular, abdomen,
suprailiaka, paha, dan betis. Metode yang digunakan untuk mengukur tebal
lipatan lemak dan persentase lemak ini adalah metode anthropometri
dengan teknik pengukuran lipat kulit menggunakan peralatan jangka
lengkung sederhana (International Society for the Advancement of
Kinanthropometry, 2001).
Tabel 2. Interpretasi Pemeriksaan Tebal Lipat Kulit
Tebal Lipat KulitSangat Baik
Baik NormalBuruk
(Overweight)
Sangat Buruk (Obesitas)
NormalLaki-laki 60-80 81-90 91-110 111-150 >150Wanita 70-90 91-100 101-120 121-150 >150
AtletikLaki-laki 40-60 61-80 81-100 101-130 >130Wanita 50-70 71-85 86-110 111-130 >130
Sumber : IKAI, 2001.
II.3 Asam Urat (C5H4N4O3)
Asam urat adalah senyawa derivat purina yang memiliki sifat sukar larut
dalam air dan semisolid dengan rumus kimia C5H4N4O3 (Gambar 3).
Asam urat memiliki rasio plasma antara 3.6 mg/dL (~214µmol/L) hingga
8.3 mg/dL (~494µmol/L). Pada manusia, asam urat adalah produk terakhir
dari metabolisme nukleotida purin, akibat absennya enzim urikase yang
mengkonversi asam urat menjadi alantoin (Murray et al, 2009).
Gambar 3. Struktur Kimia Asam Urat (Chemical Infobox, 2015).
Berikut adalah data kimia senyawa asam urat dalam keadaan standar (25o
C; 100 kPa);
Tabel 3. Data Kimia Senyawa Asam Urat
Nama IUPAC*7,9-dihidro-1H-purin-2,6,8(3H)-trion
Nama Lain2,6,8 Trioxypurine
Sifat Kimia
Rumus Molekul C5H4N4O3
Massa Molar 168.11 g/molTampilan Kristal putihDensitas 1.87
Titik Lebur 300o CKelarutan Dalam Air 0.0006 g/100 mL (20o C)
Keasaman5.6-8.4
Kadar Normal pada darah (Manusia)
Laki-laki 3.4-7.2 mg/dL
Wanita 2.4-6.1 mg/dL
Keterangan : *= International Union of Pure and Applied Chemistry
Sumber : Chemical Infobox, 2015.
Metabolisme purin dalam tubuh manusia berlangsung dalam tiga
mekanisme (Gambar 4);
1. Degradasi DNA sel yang mengalami apoptosis.
2. Deplesi adenosin trifosfat (ATP).
3. Degradasi asam nukleat (Weaver et al, 2010).
Degradasi DNA sel
Degradasi asam nukleat
Asam amino
Inosin monofosfat (IMP)
Adenosin monofosfat
(AMP)→Adenin
Guanosin monofosfat
(GMP)→Guanosin
Hipoxantin
NH3
Deplesi ATP
Glutamat
Inosin
Asam UratXantin
Glutamin
Gambar 4. Metabolisme Asam Urat (Weaver et al, 2010).
Pada deplesi DNA akan terjadi mekanisme sintesis inosin dari adenosin
dengan adenosin deaminase sebagai katalis reaksinya. Selanjutnya inosin
akan dirubah menjadi hipoxantin yang kemudian akan dioksidasi lagi
menjadi xantin. Sedangkan pada degradasi asam nukleat mekanisme
pembentukan xantin berasal dari basa guanin. Xantin tersebut yang
kemudian akan dioksidasi menjadi asam urat (Weaver et al, 2010).
Peningkatan kadar asam urat dalam darah melebihi nilai normal disebut
hiperurisemia. Hiperurisemia umumnya menunjukkan gejala khas yakni
adanya nyeri akibat peradangan yang disebabkan timbunan kristal
monosodium asam urat pada persendian. Hiperurisemia secara klinis
didefinisikan sebagai gangguan artritis inflamatori akut yang ditandai oleh
peningkatan kadar asam urat darah >6.8 mg/dl. Hiperurisemia atau gout
dibagi menjadi 2 macam yaitu gout primer dan gout sekunder. Gout primer
disebabkan karena dampak langsung dari peningkatan produksi ataupun
penurunan ekskresi asam urat dalam tubuh. Sedangkan gout sekunder
merupakan gangguan produksi akibat konsumsi purin berlebihan dan
gangguan penurunan ekskresi asam urat dalam tubuh yang disebabkan
oleh faktor lain seperti gangguan metabolik maupun konsumsi obat-obatan
tertentu (Price & Wilson, 2006).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Andry, Saryono & Upoyo (2009)
menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia pada usia <50 tahun dan
>50 tahun adalah sebesar 30%. Dari lima puluh sembilan studi yang
dikumpulkan untuk dilakukan analisis secara sistematik diperoleh hasil
bahwa prevalensi hiperurisemia pada laki-laki adalah 21.6% sedangkan
pada wanita adalah 8.6%. Usia risiko hiperurisemia sendiri umumnya
adalah ≥30 tahun pada laki-laki, sedangkan untuk wanita ≥50 tahun (Liu,
2011).
Mekanisme terjadinya hiperurisemia dapat disebabkan oleh produksi asam
urat yang meningkat, ekskresi asam urat yang berkurang ataupun
terganggu, maupun keduanya (Gambar 5) (Sudoyo et al, 2010).
Peningkatan produksi asam urat dalam tubuh disebabkan oleh beberapa
faktor. antara lain;
1. Genetik.
Gejala yang ditimbulkan tidak spesifik, bahkan kadang tidak
ditemukan gejala (asimptomatis). Mekanisme hiperurisemia diduga
akibat peningkatan kerja enzim fosforbisol sintetase (Misnadiarly,
2007).
2. Konsumsi Makanan Tinggi Purin.
Diet tinggi purin seperti jeroan, kacang tanah, bayam, buncis, kembang
kol, kepiting memicu peningkatan sintesis asam urat, sehingga menjadi
faktor pencetus terjadinya hiperurisemia. Penelitian yang dilakukan
oleh Hayani & Widyaningsih (2011) menunjukkan bahwa diet tinggi
purin dengan pemberian jus hati ayam 3 kali sehari selama 7 hari pada
mencit menyebabkan peningkatan signifikan kadar asam urat pada
darah mencit. Diet jenis daging dan makanan laut terbukti dapat
meningkatkan kadar asam urat, sedangkan diet protein nabati tidak
menunjukkan peningkatan kadar asam urat darah yang signifikan
(Andry et al, 2009).
3. Peningkatan Apoptosis Sel.
Penyakit yang melibatkan peningkatan kematian sel seperti penyakit
autoimun dan penyakit degeneratif diketahui dapat meningkatkan
kadar asam urat, karena terjadi percepatan kematian sel sehingga
terjadi peningkatan degradasi sel lama, untuk membentuk sel baru
yang menghasilkan produk asam urat (Murray et al, 2009).
Selain akibat peningkatan produksi asam urat, hiperurisemia juga dapat
disebabkan oleh penurunan ekskresi asam urat yang dapat disebabkan
beberapa gangguan kesehatan, antara lain;
1. Obesitas
Pada individu obesitas terjadi penumpukan lemak berlebih dalam
tubuh, dimana penumpukan kolesterol lipid pada pembuluh darah akan
memicu timbulnya plak ateroma yang menyebabkan penyumbatan
sirkulasi pembuluh darah. Salah satu komponen yang alirannya
tersumbat adalah asam urat. Asam urat yang pada keadaan normal
dikeluarkan melalui ginjal akan mengalami penghambatan proses
ekskresi, sehingga kadar asam urat dalam darah meningkat (Agustini et
al, 2013).
2. Diabetes Melitus
Pada diabetes melitus dimana pada tubuh penderita terjadi resistensi
insulin, glukosa tidak dapat masuk ke jaringan untuk dijadikan sumber
energi yang diperlukan untuk metabolisme seluler. Sebagai
kompensasinya tubuh akan memetabolisme cadangan trigliserida dari
jaringan adiposa dan menghasilkan produk sampingan berupa keton
yang bersifat asam. Zat ini kemudian berakumulasi pada pembuluh
darah, menyebabkan keracunan keton (ketosis). Fenomena ini
kemudian menyebabkan disfungsi endotel dan gangguan vaskuler yang
dapat menyebabkan terhambatnya ekskresi asam urat. Selain itu pada
keadaan resistensi insulin juga terjadi peningkatan konversi xantin
menjadi asam urat, sehingga kadar asam urat dalam darah akan terus
meningkat (Misnadiarly, 2007).
3. Usia dan Jenis Kelamin.
Hiperurisemia lebih sering dijumpai pada laki-laki, dan pada individu
dengan usia lanjut. Hal ini disebabkan karena pada laki-laki dan
perempuan menopause, terjadi penurunan atau tidak terbentuknya
hormon estrogen dan progesteron. Hormon estrogen dapat membantu
eksresi asam urat melalui urin, sehingga penurunan sintesis hormon
tersebut dapat menyebabkan terjadinya hiperurisemia. Selain itu,
hiperurisemia juga dapat timbul akibat penurunan enzim urikinase
yang berfungsi untuk merubah asam urat menjadi bentuk alatonin yang
untuk diekskresikan melalui urin (Price & Wilson, 2006).
4. Konsumsi Alkohol
Alkohol memicu peningkatan produksi asam urat karena kandungan
etanol dan purin yang terdapat dalam alkohol. Selain itu, produk
sampingan dari metabolisme alkohol adalah asam laktat. Produk asam
laktat ini juga akan menghambat pengeluaran asam urat melalui urin
sehingga terjadi hiperurisemia (Price & Wilson, 2006).
5. Obat-obatan
Penggunaan obat-obatan tertentu juga berperan dalam peningkatan
kadar asam urat atau ekskresi asam urat. Golongan obat yang
membantu proses ekskresi asam urat yaitu golongan urikosurik, contoh
obat tersebut antara lain probenesid dan sulfinpirazon. Sebaliknya,
obat-obatan anti hipertensi jenis tertentu seperti aspirin dan tiazid
dapat menghambat proses ekskresi asam urat sehingga memperparah
keadaan hiperurisemia. Obat-obatan antihipertensi umumnya
menunjukkan efek samping penghambatan metabolisme lipid dalam
tubuh. Yang kemudian dapat menghambat eksresi asam urat melalui
urin (Price & Wilson, 2006; Weaver et al, 2010).
6. Hipertensi
Gangguan tekanan darah tinggi (hipertensi) terjadi akibat
vasokonstriksi pembuluh darah, yang juga menurunkan aliran darah ke
glomerulus ginjal. Hal ini memicu aktivasi sistem renin angiotensin
yang menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium. Pada prinsipnya,
air selalu mengikuti gerak dari ion natrium tersebut sehingga pada saat
terjadi reabsorbsi natrium maka air juga akan ikut mengalami
reabsorbsi. Hal ini menyebabkan penurunan aliran cairan ke pada
ginjal, sehingga ekskresi asam urat terhambat. Selain melalui
mekanisme tersebut, peningkatan kadar asam urat pada hipertensi juga
dapat diakibatkan cedera vaskuler yang merupakan gambaran umum
dari penyakit ini. Cedera vaskuler pada hipertensi dapat memicu
terjadinya iskemia jaringan, sehingga sel-sel pada jaringan mengalami
kematian dan degradasi seluler. Hal ini menyebabkan terjadinya
peningkatan sintesis asam urat, sehingga kadar asam urat dalam tubuh
akan meningkat (Manampiring & Bodhy, 2011).
7. Aktivitas
Pada saat terjadinya aktivitas fisik, tubuh meningkatkan metabolisme
substansi nutrisional dengan oksigen (aerob) atau tanpa oksigen
(anaerob), sesuai dengan ketersediaan udara dan kemampuan tubuh
untuk mengambil serta mendistribusikan nutrisi dan oksigen tersebut.
Dalam keadaan oksigen yang sedikit, tubuh akan melangsungkan
metabolisme anaerob untuk mempertahankan fungsi normal sel, yang
menghasilkan produk sampingan berupa asam laktat. Penumpukan
asam laktat dalam tubuh dapat menghambat ekskresi asam urat melalui
urin (Ganong, 2008).
Gambar 5. Mekanisme Terjadinya Gangguan Kesehatan pada Hiperurisemia
(Avram & Krishnan, 2008).
Gout atau penyakit pirai asam urat yang merupakan gangguan kesehatan
akibat hiperurisemia, menunjukkan gejala klinis dalam empat tahapan,
yakni;
1. Tahap Hiperurisemia Asimptomatik.
Pada tahap ini telah terjadi peningkatan kadar asam urat darah tetapi
belum muncul tanda dan gejala lain seperti nyeri ataupun
pembengkakan. Pada keadaan hiperurisemia asimptomatik kadar asam
urat dapat meningkat hingga 9-10 mg/dl.
2. Tahap Serangan Gout Akut.
Pada tahap ini mulai muncul tanda gejala seperti adanya
pembengkakan pada daerah sendi jari-jari tangan, pergelangan tangan,
lutut dan siku. Penderita dapat merasakan nyeri yang hebat akibat
kristalisasi asam urat yang disebabkan penimbunan natrium urat yang
kadarnya meningkat dalam pembuluh darah. Pada tahap ini,
mekanisme peningkatan eksresi asam urat sebagai kompensasi
peningkatan kadar asam urat darah telah gagal atau terganggu.
Timbunan kristal urat direspon oleh makrofag yang kemudian
memfagosit kristal urat bersama komponen persendian. Respon ini
kemudian memicu peradangan, yang menimbulkan perbesaran ukuran
area sendi, timbulnya kemerahan, dan nyeri yang hebat.
3. Tahap Interkritis.
Pada tahapan ini gejala-gejala serangan akut sudah tidak timbul untuk
kurun waktu yang relatif lama, kadang hingga bertahun-tahun.
4. Tahap Kronik.
\ Hiperurisemia yang tidak mengalami perbaikan akan berlanjut menjadi
gout kronik. Timbunan asam urat dan pembentukan kristal urat
semakin meningkat sehingga terjadi sedimentasi kristal urat
membentuk kristal besar yang tersebar diseluruh area sendi (tofus).
Peningkatan akumulasi purin
pada tubuh
Diet tinggi purin
ObesitasApoptosis
selDegradasi DNA sel
Gangguan eksresi asam
urat
Peningkatan produksi asam urat
Peningkatan tebal lipatan lemak bawah kulit
Peningkatan sintesis asam urat
HiperurisemiaAkumulasi asam urat pada tendon, sendi, dan ginjal
Gejala gout
Pada tahap ini, gejala akut kembali timbul dengan intensitas dan
frekuensi nyeri yang meningkat (Price & Wilson, 2006).
II.4 Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian disusun dari berbagai hasil penelitian
yang sudah ada sebelumnya. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
Gambar 6. Kerangka Teori
Tebal lipatan lemak bawah kulit
Peningkatan kadar asam urat (hiperurisemia)
1. Obesitas2. Usia (40-60 tahun)
3. Diabetes melitus4. Penggunaan obat5. Konsumsi alkohol6. Menopause7. Riwayat penyakit herediter8. Riwayat penyakit genetik9. Riwayat penyakit autoimun10. Riwayat penyakit keganasan11. Aktivitas
II.5 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian disusun sebagai kerangka kerja penelitian.
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Keterangan :
: Diteliti : Tidak diteliti
Gambar 7. Kerangka Konsep
II.6 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka teori dan kerangaka konsep tersebut, maka peneliti
menggunakan rumusan hipotesis (H1) dalam penelitian yaitu; terdapat
hubungan antara tebal lipatan lemak bawah kulit dengan kadar asam urat
pada usia dewasa di wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah.
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1 Desain Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan rancangan penelitian
analitik observasional korelatif untuk meneliti hubungan antara tebal
lipatan lemak bawah kulit dengan kadar asam urat pada usia dewasa di
wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah. Penelitian ini menggunakan
metode cross sectional, yaitu dengan melakukan pengukuran variabel
bebas dan variabel terikat pada waktu yang bersamaan.
III.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan bulan
September tahun 2015 di Puskesmas Kampung Sawah.
III.3 Populasi dan Sampel
Menurut Saryono (2009), populasi merupakan keseluruhan dari sumber
data yang terdiri dari obyek dan subyek yang memiliki kualitas dan
karakteristik, dimana untuk mendapatkan data yang dapat mewakili
penilaian atas kondisi tertentu dari suatu populasi, dapat dilakukan dengan
penilaian terhadap sampel, yakni sebagian kecil dari populasi yang
memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dari penelitian yang akan
dilakukan.
Dalam penelitian ini, dari populasi warga usia dewasa di wilayah kerja
Puskesmas Kampung Sawah, jumlah sampel yang akan diteliti adalah
sebanyak 80 orang usia dewasa (40-60 tahun) yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi sebagai berikut;
1. Kriteria Enklusi
a. Usia 40-60 tahun
b. Belum menopause (bagi responden perempuan)
c. Bersedia menjadi responden
2. Kriteria Eksklusi
a. Responden dengan riwayat penyakit diabetes melitus
b. Mengkonsumsi obat-obatan aspirin ataupun antihipertensi
c. Pasien dalam keadaan edema dan/atau ascites
d. Riwayat Hipertensi
III.4 Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah segala sesuatu baik berupa atribut, nilai,
ataupun sifat dari individu, objek, atau kegiatan yang ditetapkan oleh
peneliti sebagai subjek penelitian untuk dipelajari dan dianalisis untuk
memperoleh kesimpulan (Sugiyono, 2010). Dalam penelitian yang akan
dilakukan, peneliti mengamati dua variabel, yakni;
1. Variabel Bebas (independen)
Adalah suatu variabel stimulus yang menentukan variabel lain.
Variabel ini adalah suatu varian yang dapat mempengaruhi dan
menyebabkan timbulnya variabel terikat (dependen) (Sugiyono, 2010).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tebal lipatan lemak bawah
kulit.
2. Variabel Terikat (dependen)
Merupakan variabel yang dipengaruhi sebagai akibat dari adanya
variabel bebas (Saryono, 2009). Variabel terikat dalam penelitian ini
adalah kadar asam urat darah.
III.5 Definisi Operasional
Definisi operasional penelitian dibuat untuk mempermudah dilakukannya
proses pengumpulan data dan mencegah adanya interpretasi ganda dari
penelitian yang dilakukan, serta membatasi ruang lingkup variabel dalam
penelitian. Dalam definisi operasional, dicantumkan jenis variabel,
definisinya pada penelitian, alat ukur yang digunakan, satuan hasil ukur,
serta skala hasil pengukuran yang dilakukan (Saryono, 2009).
Adapun definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut;
Tabel 4. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1.
Variabel terikat
Kadar asam urat darah
Hasil akhir dari katabolisme adenin dan guanin pada pemecahan nukleotida
Alat ukur kadar asam urat darah
Miligram per desiliter
(mg/dL)
Rasio
2.
Variabel bebas
Tebal lipatan lemak bawah kulit
Jumlah lemak tubuh yang diperoleh dari hasil pengukuran tebal lipat kulit
Jangka sorong
Mililiter
(mm)Rasio
III.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan fasilitas atau alat yang digunakan oleh
peneliti dalam mengumpulkan data (Saryono, 2009).
Instrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah;
1. Lembar informed consent (persetujuan untuk mengikuti penelitian)
2. Lembar hasil pengukuran
3. Alat tulis
4. Jangka sorong
5. Alat ukur kadar asam urat darah
6. Handschoen
7. Lanset
8. Kapas kering dan kapas alkohol
9. Strip test asam urat
Lembar informed consent digunakan untuk meminta persetujuan sampel
menjadi responden penelitian, lembar pengukuran digunakan untuk
mencatat data hasil pengukuran responden, jangka sorong untuk mengukur
tebal lipatan lemak bawah kulit pada responden dalam satuan millimeter
(mm), dan alat pemeriksaan kadar asam urat digunakan untuk mengukur
kadar asam urat darah responden dalam satuan milligram per desiliter
(mg/dl).
III.7 Prosedur Penelitian
1. Pemeriksaan kadar asam urat darah
a. Identifikasi kandidat responden penelitian
b. Menjelaskan prosedur dan tujuan penelitian yang akan dilakukan
pada kandidat responden
c. Meminta persetujuan tertulis kandidat responden untuk menjadi
responden penelitian
d. Mencuci tangan dan mengenakan handschoen
e. Menyiapkan alat; lanset, alat ukur kadar asam urat darah, kapas
alkohol, stik dan kapas
f. Memasang strip test pada alat ukur kadar asam urat darah
g. Menentukan lokasi penusukan dengan lanset pada ujung jari
h. Melakukan disinfeksi pada lokasi penusukan dengan kapas alkohol
i. Melakukan penusukan pada tempat yang sudah ditentukan,
j. Biarkan tetesan darah pertama menetes, lalu seka dengan kapas
kering
h. Ambil tetesan darah kedua dengan ujung tepi strip test yang telah
dipasang sebelumnya pada alat ukur kadar asam urat darah
i. Diamkan selama 10 detik hingga didapatkan nilai kadar asam urat
darah dari alat periksa
j. Catat pada lembar hasil pengukuran
2. Pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit
a. Identifikasi kandidat responden penelitian
b. Menjelaskan prosedur dan tujuan penelitian yang akan dilakukan
pada kandidat responden
c. Meminta persetujuan tertulis kandidat responden untuk menjadi
responden penelitian
d. Pengukuran bagian trisep
1. Berikan tanda pada bagian trisep antara siku sampai dengan
bagian ujung bahu.
2. Angkat lipatan lemak dengan ibu jari dan jari telunjuk kiri.
3. Masukkan lipatan lemak kulit pada rahang jangka sorong,
kemudian menandai jarak antara rahang jangka sorong.
4. Lepaskan ibu jari dari jangka sorong sehingga ujung jangka
sorong menggenggam lipatan lemak kulit dengan mantap.
5. Amati besar jarak yang didapat pada jangka sorong.
6. Ulangi pengukuran sebanyak tiga kali.
7. Hitung hasil pengukuran rata-rata dari tiap pengukuran.
e. Pengukuran bagian bisep
1. Berikan tanda pada otot bisep dalam keadaan fleksi.
2. Angkat lipatan lemak dengan ibu jari dan telunjuk dengan
posisi tegak lurus terhadap otot bisep.
3. Lanjutkan pemeriksaan dengan melakukan langkah 3-7 pada
pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit bagian trisep.
f. Pengukuran bagian subskapula
1. Ambil tebal lipatan lemak kulit di bawah tulang belikat dengan
ibu jari dan keempat jari lainnya.
2. Berikan tanda pada titik tengah lipatan sambil memegang
lipatan lemak sekitar 1 inci dari tanda yang sudah diberikan.
3. Lanjutkan pemeriksaan dengan melakukan langkah 3-7 pada
pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit bagian trisep.
g. Pengukuran bagian suprailiaka
1. Posisikan responden dalam keadaan berdiri dengan salah satu
lengan (pada sisi yang akan diperiksa) abduksi 90o.
2. Ambil lipatan lemak diatas lengkung tulang iliaka (suprailiaka)
dengan ibu jari dan keempat jari lainnya.
3. Berikan tanda pada titik tengah lipatan.
4. Pegang lipatan sekitar 1/4 sampai 1/2 inchi dari tanda yang
sudah diberikan.
5. Lanjutkan pemeriksaan dengan melakukan langkah 3-7 pada
pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit bagian trisep.
h. Pengukuran bagian abdomen
1. Lakukan pengambilan lipatan lemak dengan arah cubitan
vertikal pada jarak 5 cm dari titik umbilikus.
2. Berikan tanda pada titik tengah lipatan.
3. Lanjutkan pemeriksaan dengan melakukan langkah 3-7 pada
pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit bagian trisep.
i. Pengukuran bagian krista iliaka
1. Posisikan responden dalam keadaan berdiri dengan salah satu
lengan (pada sisi yang akan diperiksa) abduksi 90o.
2. Ambil lipatan lemak dibawah lengkung tulang iliaka dengan
ibu jari dan keempat jari lainnya dalam posisi miring ke depan,
kurang lebih 45° terhadap garis horizontal.
3. Berikan tanda pada titik tengah lipatan.
4. Pegang lipatan sekitar 1/4 sampai 1/2 inchi dari tanda yang
sudah diberikan.
5. Lanjutkan pemeriksaan dengan melakukan langkah 3-7 pada
pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit bagian trisep.
j. Pengukuran bagian betis
1. Posisikan responden dalam keadaan duduk dengan posisi kaki
fleksi 90o.
2. Angkat lipatan lemak dengan ibu jari dan telunjuk pada bagian
tengah otot betis.
3. Lanjutkan pemeriksaan dengan melakukan langkah 3-7 pada
pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit bagian trisep.
3. Setelah kedua hasil pemeriksaan didapatkan, dilakukan analisis data
hasil pemeriksaan dengan perangkat lunak pengolah data statistik.