Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-1
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
I BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kolaborasi tata kelola pemerintahan perlu dilakukan untuk mewujudkan
sinergitas pembangunan antar daerah yang berdekatan. Hal ini bertujuan untuk
mencapai percepatan dalam sektor tertentu sebagai bentuk penyelesaian masalah
bersama. Selain itu, juga perlu dilakukan penyelarasan kebijakan antar daerah yang
berdekatan agar tidak tumpang tindih. Pembangunan daerah didukung oleh PAD
(Pendapatan Asli Daerah) yang mencerminkan pemenuhan kebutuhan masyarakat
dan penyelenggaraan pelayanan publik. Salah satu sinergi pembangunan antar
daerah yang berdekatan yaitu kawasan Malang Raya yang terdiri dari Kota Malang,
Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Untuk mengetahui potret fenomena
peningkatan pembangunan di kawasan Malang Raya dapat dilihat melalui data
PAD dari BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2018-2019, PAD Kabupaten Malang
pada tahun 2018 sejumlah 3.826,7 milyar dan tahun 2019 sebesar 4.107,72 milyar.
Sedangkan, PAD Kota Malang tahun 2018 mencapai 2.040,19 milyar dan tahun
2019 sejumlah 2.247,76 milyar. Sementara, PAD Kota Batu tahun 2018 sejumlah
985.25 milyar dan tahun 2019 mencapai 990.15 milyar. Ini menunjukkan
peningkatan penerimaan daerah yang selaras dengan penambahan pembangunan
infrastruktur. Hal ini mengingat pentingnya fungsi PAD bagi pengembangan suatu
daerah yaitu untuk menunjang pembangunan. Untuk mencapai pembangunan yang
seimbang tidak hanya dilihat dari penambahan investasi, namun perlu
memperhatikan dampak lingkungan. Oleh karena itu, untuk mengendalikan
pembangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya bisa diminimalisir melalui
perizinan pemanfaatan ruang.
Salah satu bentuk dari adanya pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilihat
melalui perencanaan tata ruang dan wilayah. Hal ini telah diatur pada Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 11 Ayat 2 bahwa
pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-2
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
wilayah kabupaten. Fungsi rencana tata ruang wilayah kabupaten atau kota di
antaranya:1
a. Acuan dalam pemanfaatan ruang atau pengembangan wilayah kabupaten
atau kota.
b. Acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam wilayah
kabupaten atau kota.
c. Acuan dalam penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah dan
rencana pembangunan jangka menengah daerah.
d. Acuan lokasi investasi dalam rilayah kabupaten atau kota yang dilakukan
pemerintah, masyarakat, dan swasta.
e. Pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang di wilayah kabupaten
atau kota.
f. Acuan dalam administrasi pertahanan
Sedangkan, manfaat rencana tata ruang wilayah, yaitu mewujudkan keserasian
pembangunan wilayah kabupaten kota dengan wilayah sekitarnya, menjamin
terwujudnya tata ruang wilayah kabupaten atau kota yang berkualitas dan
keterpaduan pembangunan wilayah kabupaten atau kota. Sehingga, dapat dilihat
bahwa kolaborasi terkait kebijakan tata ruang dan wilayah di daerah yang
berdekatan seperti Malang Raya penting untuk meningkatkan pembangunan.
Dasar penyusunan kebijakan tata ruang dan wilayah di Malang Raya dapat
dilihat dari beberapa permasalahan tata ruang yang dialami oleh Kota Malang,
Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Salah satunya yaitu penggunaan lahan Kota
Batu dengan luas total 19.576 Ha dari tahun 2016 -2019 masih didominasi untuk
kawasan hijau, terdiri dari kawasan Taman Hutan Raya Raden Suryo 5.342,50 Ha
(26,84%), hutan lindung sebesar 3.563,30 Ha (17,9%), kawasan hutan produksi
2.521,70 Ha (12,67%), kawasan pertanian 4.018 Ha (20,19%). dan Ruang Terbuka
Hijau (RTH) 1.777,70 Ha (8,93%). Sementara penggunaan lahan untuk kawasan
perumahan seluas 2.104 Ha (10,57%) (Kota Batu Dalam Angka 2020)2. Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) daerah Kota Batu telah diatur dalam Peraturan
1 https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/21/060000369/perencanaan-tata-ruang--pengertian-
dan-jenis?page=all diakses 18 Oktober 2020 pada 17.17 WB 2 Kota Batu Dalam Angka 2020
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-3
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
Daerah Kota Batu Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Batu Tahun 2010-2030. Bahkan, Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor
3 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Malang juga saling
berhubungan. Untuk menjaga kawasan lindung, maka dilakukan strategi yaitu
kerjasama daerah di sekitar Kota Batu dan DAS (Daerah Aliran Sungai) Brantas
untuk penyelamatan ekosistem sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Proses perubahan RTRW (Perda RTRW Kota Batu 2019-2039)
diberhentikan oleh Pemerintah Kota Batu atas permintaan dari Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur dikarenakan ada beberapa kejanggalan.3
Dimana proses penyusunannya terkesan tergesa-gesa yang rentan ditunggangi oleh
kepentingan kelompok tertentu, sehingga bisa menyebabkan kapitalisasi ruang
perkotaan. Salah satunya pada Pasal 23 disebutkan bahwa RTH Privat hanya
sebesar 10 persen saja. Sedangkan pada Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada
wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Serta untuk proporsi
RTH Publik pada wilayah kota paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota.
Sedangkan, Pemerintah Kota Batu harus mewujudkan Pasal 8 pada RTRW Kota
Batu Tahun 2010-2030 yaitu meningkatkan kuantitas dan kualitas ruang terbuka
hijau hingga 30 % dari luas wilayah Kota dalam mengendalikan dan memelihara
kualitas lingkungan. Untuk mewujudkannya perlu dibentuk kerangka kolaborasi
dengan melihat konsep tata pemerintah negara (rezim) bersama Kabupaten Malang
terkait kebijakan tata ruang dan wilayah.
Tabel I.1 Jumlah Penduduk Kawasan Malang Raya Tahun 2017-2019
Kota Batu Kota Malang Kabupaten Malang
Tahun 2017 203.997 jiwa 861.414 jiwa 2.576.596 jiwa
Tahun 2018 205.788 jiwa 866.118 jiwa 2.591.795 jiwa
Tahun 2019 207.490 jiwa 870.682 jiwa 2.606.204 jiwa
Sumber: Data diolah oleh peneliti dari BPS
3 https://jatim.beritabaru.co/walhi-jatim-minta-hentikan-perubahan-rtrw-kota-batu/ diakses 19
Oktober 2020 pada 16.05 WIB
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-4
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
Berbeda dengan Kota Malang yang sering kali mengalami masalah
konservasi lahan karena kepadatan penduduknya sehingga mengakibatkan
kerusakan lingkungan (dapat dilihat pada tabel I.1). Persentase jumlah pelanggaran
tata ruang yang tertangani meningkat sejak tahun 2015 sebanyak 90 persen dan
tahun 2016 hingga tahun 2017 sejumlah 100 persen. Hal ini diatasi dengan adanya
aplikasi E-RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) untuk menyajikan data peraturan
daerah maupun data fungsi lahan di wilayah Kota Malang. Sehingga, warga bisa
mengetahui satu kawasan boleh untuk didirikan bangunan atau tidak. Sehingga
potensi warga melanggar saat akan mendirikan bangunan bisa ditekan dengan
alasan tidak tahu (Radarmalang.id, 2018)4. Pembangunan yang melanggar tata
ruang bisa menyebabkan terjadinya bencana banjir (Malangtimes.com, 2020)5. Ini
bisa menjadi inovasi baru untuk dapat diimplementasikan di daerah yang
berdekatan sebagai bentuk kontrol dari pemerintah terkait kebijakan tata ruang dan
wilayah.
Hal ini telah diatur pada Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun
2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2010 – 2030. Salah
satu slogan Kota Malang yaitu mewujudkan Malang Nyaman yang
mengidentifikasikan perlunya pengendalian pemanfaatan ruang dengan kerja sama
tata ruang perbatasan daerah. Isu mengenai RTRW Kota Malang tahun 2010-2030
yang pelaksanaannya sudah berjalan selama sepuluh tahun adalah RTH yang masih
belum memenuhi target. Sementara tercapai sebesar 17% dari 30% yang telah
ditentukan (20% untuk alokasi RTH publik dan 10% merupakan RTH privat).
Selain itu, dalam Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 Pasal 24
poin D menyebutkan bahwa pemerintah akan melakukan pengadaan bus metro.
Trayek dari bus sama dengan trayek angkutan umum di Kota Malang, sehingga
memungkinkan akan mengurangi pendapatan supir angkutan umum (angkot).
Dimana sebelumnya angkot sudah tersaingi dengan adanya ojek online. Selain itu,
4 https://radarmalang.id/mau-dirikan-bangunan-di-kota-malang-nih-cek-dulu-e-rtrw-nya/ diakses
1 April 2020 pada 15.15 WIB 5https://www.malangtimes.com/baca/48967/20200212/191900/menelisik-penyebab-banjir-di-
kota-malang-marak-pembangunan-langgar-tata-ruang diakses 1 April 2020 pada 17.15 WIB
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-5
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
penggunaan lahan di Kota Malang untuk sawah dan pertanian bukan sawah semakin
berkurang dari tahun 2016 hingga 20186. Sedangkan, lahan bukan pertanian justru
semakin meningkat setiap tahunnya. Berikut grafik penggunaan lahan di Kota
Malang tahun 2016-2018, yaitu:
Grafik I.1 Luas Lahan Menurut Penggunaan Kota Malang
Sumber: Kota Malang Dalam Angka (2019)7
Sedangkan, wilayah Kabupaten Malang yang terletak diantara Kota Malang
dan Kota Batu memiliki kompleksitas persoalan tata ruang dan wilayah yang cukup
tinggi. Hal ini dikarenakan Kota Malang dan Kota Batu juga melakukan
pembangunan, sehingga Pemerintah Kabupaten Malang perlu melakukan antisipasi
terkait tata ruang dan wilayah. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Malang sudah berjalan
selama sepuluh tahun dan menunjukkan pembangunan yang begitu pesat.
Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Malang mengidentifikasikan adanya
peningkatan permintaan atas lahan untuk pemukiman, rekreasi, fasilitas belanja,
6 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Malang Tahun 2018-2023
7 https://malangkota.bps.go.id/publication/2020/04/27/f12dca597c93015fa19920ab/kota-malang-
dalam-angka-2020.html diakses 12 April 2020 pada 13.21 WIB
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-6
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
kebutuhan air bersih, dan lain sebagainya. Selain itu, perubahan signifikan telah
terjadi pada penataan ruang dan wilayah di Singosari yang akan dipersiapkan
menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kawasan Strategis Pariwisata
Nasional Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (KSPN TNBTS) serta Kepanjen
sebagai Ibu Kota Kabupaten Malang.8 Ketiga prioritas RTRW tersebut erat
kaitannya dengan visi dan misi Kabupaten Malang yang beriringan dengan
kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan ekologis. Percepatan pembangunan yang
ada sudah tidak relevan dengan Peraturan Daerah (PERDA) RTRW. Sehingga,
diperlukan payung hukum yang kuat, detail, dan bersifat memaksa melalui sanksi
untuk menghindari alih fungsi lahan pertanian menjadi industri atau pemukiman
dan lain sebagainya. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Malang mengajukan
Rancangan Peraturan Daerah (RANPERDA) atau revisi total terkait perencanaan
tata ruang wilayah sebagai prioritas.9 Hal ini bertujuan untuk mengatasi perubahan
yang ada dengan membentuk kerangka kolaborasi berdasarkan tata pemerintah
daerah sehingga kebijakan tata ruang dan wilayah dapat berjalan sesuai peraturan.
Meskipun, penggunaan lahan untuk sawah di Kabupaten Malang tahun
2018 seluas 45.888 hektar yang paling mendominasi di Kawasan Malang Raya
(BPS, 2019). Namun, tetap diperlukan pengelolaan tata ruang dan wilayah yang
tepat untuk dapat melakukan pembangunan sesuai dengan rencana. Kabupaten
Malang berusaha untuk mengintegrasikan RTRW dengan RPJMD (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah) sehingga tidak tumpang tindih. Dalam
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah
Kabupaten Malang menyatakan bahwa wilayah pengembangan (WP) Kabupaten
Malang yang berorientasi ke Kota Malang yaitu: 1) Peningkatan akses jalan tembus
terkait Kota Malang; 2) Pengembangan jalan Malang–Batu; 3) Peningkatan
konservasi lingkungan; 4) Peningkatan kualitas koridor jalan Kota Malang -
Bandara Abdul Rahman Saleh dan pengembangan permukiman. Hal ini
menunjukkan adanya hubungan penataan ruang dan wilayah antara Kabupaten
I 8https://www.jatimtimes.com/baca/160745/20171026/155146/tata-ruang-kabupaten-malang-
berubah-kapasitas-kedinasan-pun-digenjot diakses 18 Oktober 2020 pada 22.28 WIB
II 9https://www.jatimtimes.com/baca/206033/20191209/141800/tahun-2020-pemkab-malang-
usulkan-12-ranperda-persoalan-tata-ruang-wilayah-dan-pangan-jadi-prioritas diakses 19 Oktober
2020 pada 11.12 WIB
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-7
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
Malang dengan Kota Malang. Selain itu, peningkatan kualitas dan kuantitas RTH
dan pemenuhan RTH Publik minimal 20% serta penegakan hukum secara konsisten
menjadi fokus Kabupaten Malang10. Ini diwujudkan dengan strategi sebagai
berikut: (1) Meningkatan RTRW dengan rencana penyediaan atau pembangunaan
prasarana sarana dan pengembangan wilayah; (2) Meningkatkan pemanfaatan tata
ruang yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang (RTR).
Oleh karena itu, pada tahun 2018 Pemerintah Daerah Kota Batu, Kota
Malang, dan Kabupaten Malang duduk bersama membentuk sinergi yang dikenal
dengan Malang Raya. Dimana setiap daerah di kawasan Malang Raya memiliki
keunggulan, yaitu Kota Batu dengan potensi pariwisatanya, Kabupaten Malang
dengan potensi SDA (Sumber Daya Alam), serta Kota Malang dengan potensi
heritage dan kulinernya yang dikenal dengan Kota Pendidikan sehingga berpotensi
mendatangkan masyarakat dari luar kota. Hal ini menandakan bahwa dengan
keunggulan komparatif yang dimiliki oleh setiap daerah dapat menjadi langkah
strategis untuk mengembangkan potensi daerah.
Ada lima poin kesepakatan yang tertuang dalam berita acara, yakni sepakat
merealisasikan rencana pertemuan kepala daerah se-Malang Raya dan melakukan
langkah-langkah teknis persiapan kegiatan yang dibutuhkan. Kedua, Kota Malang
menjadi tuan rumah pertemuan yang akan direncanakan pada 27 Agustus atau
waktu lain yang disepakati bersama. Ketiga, pertemuan ditujukan untuk
menyinergikan komitmen kebijakan Malang Raya yang akan dituangkan dalam
bentuk nota kesepahaman. Keempat, sebagai tindak lanjut secara simultan akan
disusun roadmap kerja sama, didahului proses inventarisasi permasalahan prioritas.
Terakhir, hasil rapat dilaporkan kepada Gubernur Jawa Timur dengan tembusan
Kepala Bakorwil dan kepala daerah se-Malang Raya11. Pada akhirnya, awal tahun
2019 tiga kepala daerah yaitu Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu
menghadiri seminar “Sinergi Antar Pemangku Kepentingan dalam Kebijakan
10 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Malang Tahun 2016-2121 11
https://jatimtimes.com/baca/176885/20180808/081400/dulu-jalan-sendirisendiri-pemerintah-
malang-raya-mulai-kompak diakses 15 Maret 2020 pada 18.08 WIB
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-8
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
Pembangunan Malang Raya” dan sepakat untuk melakukan kolaborasi yang
dibuktikan dengan penandatanganan nota kesepahaman12.
Pada bulan Agustus 2018, Wali Kota Batu menandatangani perjanjian
kerjasama bersama Pemerintah Kota Malang dan Kabupaten Malang untuk
membangun infrastruktur terkait dengan pendidikan, kesehatan, fasilitas maupun
sarana prasarana. Kerjasama ketiga daerah di kawasan Malang Raya yang sudah
lama terjalin adalah pengelolaan sumber air. Hal ini dikarenakan Kota Malang
mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan mengalir secara terus
menerus selama 24 jam. Sedangkan, Kota Batu dan Kabupaten Malang memiliki
potensi sumber air dengan kualitas baik sehingga perlu adanya kerjasama antar
ketiga daerah ini. Dengan potensi alam dan pariwisata yang dimiliki Kabupaten
Malang dan Kota Batu secara tidak langsung akan berimbas kepada Kota Malang
yang memiliki banyak penduduk pendatang. Arus lalu lintas di Kota Malang dan
Kabupaten Malang menjadi tambah padat pada akhir pekan. Sehingga diperlukan
kerjasama pembangunan infrastruktur jalan berupa jalan tol tengah kota atau
membangun jalan lingkar. Karena wilayah Kabupaten Malang masih luas untuk
dibangun jalan lingkar.
Implementasi kebijakan tata ruang dan wilayah di kawasan Malang Raya
diperlukan peran dari setiap stakeholder khususnya Pemerintah Daerah yang
berdekatan. Sehingga, permasalahan yang ada dapat diselesaikan dan target yang
belum tercapai bisa terpenuhi melalui kolaborasi antar daerah berdekatan. Oleh
karena itu, penelitian ini dianalisis menggunakan teori Collaborative Governance
Regime oleh Emerson dkk (2011) untuk melihat implementasi kebijakan tata ruang
dan wilayah di kawasan Malang Raya. Teori ini menggambarkan kerangka
integratif dengan mengintegrasikan banyak komponen tata kelola kolaboratif dari
konteks sistem dan pendorong eksternal melalui dinamika kolaboratif hingga
tindakan, dampak, dan adaptasi13. Peneliti menggunakan teori ini karena bersifat
12
https://humas.malangkota.go.id/2019/01/18/sinergi-antar-pemangku-kepentingan-dalam-
kebijakan-pembangunan-malang-raya/ diakses 15 Maret 2020 pada 17.35 WIB 13 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). An Integrative Framework for Collaborative
Governance. Journal of Public of Administration Research and Theory (June 2009), pp. 1–29. doi:
10.1093/jopart/mur011.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-9
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
komprehensif dalam menganalisis kerangka kolaborasi dengan melihat tata
pemerintahan atau rezim yang berlaku.
Adapun studi terdahulu terkait dengan penelitian ini yang menjadi acuan
terdapat yang dijelaskan melalui tabel dibawah ini:
Tabel I.2 Studi Terdahulu
No. Judul dan
Nama Peneliti
Perspektif/Fokus
Penelitian
Hasil
1. Dinamika
Collaborative
Governance
Antar
Stakeholder
Dalam Upaya
Penanggulangan
HIV&AIDS
Di Kabupaten
Sleman oleh
Khusna et al.
(2017)14
Perspektif
mengenai
kelembagaan serta
dibingkai dalam
teori collaborative
governance yang
ditawarkan oleh
Emerson dkk
(2011).
Dinamika kolaborasi antara
tiga stakeholder tersebut
berjalan dengan baik dengan
melihat aspek keterlibatan,
motivasi bersama dan kapasitas
aksi bersama dapat dikatakan
baik. Namun, dalam aspek
kapasitas aksi bersama pada
unsur kelembagaan kolaboratif
dan sumber daya memiliki
beberapa tantangan yang
menjadikanya kurang berjalan
maksimal sehingga dapat
mempengaruhi
keberlangsungan kolaborasi
secara umum. Dari data riset
yang diperoleh dapat dimaknai
bahwa collaborative
governance yang terjadi
sekaligus mampu digunakan
sebagai mekanisme kontrol
yang kuat antar stakeholder.
2. Collaborative
Governance
(Studi tentang
Kolaborasi
Antar
Stakeholder
dalam
Pengembangan
Kawasan
Minapolitan di
Kabupaten
Penelitian ini
menggambarkan
proses kolaborasi
yang terjalin antara
pemerintah, swasta
dan masyarakat
dalam kerangka
collaborative
governance regime
yang terdiri dari
empat komponen
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa proses
kolaborasi sudah melalui
pengerakan prinsip bersama,
motivasi bersama dan
pembentukan kapasitas
bersama. Setelah tiga hal itu
terbentuk dilanjutkan dengan
melaksanakan tindakan
kolaborasi yang memberikan
dampak sementara. Sedangkan
14 Khusna, I. N. et al. (2017). Dinamika Collaborative Governance Antar Stakeholder Dalam Upaya
Penanggulangan HIV&AIDS di Kabupaten Sleman. Skripsi Universitas Gajah Mada. Retrieved
From: http://digilib.fisipol.ugm.ac.id/handle/15717717/6328
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-10
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
Sidoarjo oleh
Luqito and
Arrozaaq
(2016)15
utama dari Kick
Emerson
hambatan-hambatan dalam
pelaksanaan kolaborasi antara
lain: kesulitan dalam
membentuk kelompok usaha
menjadi berbadan hukum,
kontinuitas kolaborasi yang
masih kurang, pemerintah
hanya memfasilitasi
peningkatan produktivitas
tanpa memberikan alternatif
pemasaran, dan pihak swasta
kurang diikutsertakan dalam
seluruh kegiatan kolaborasi.
3. Proses
Collaborative
Governance
Dalam Bidang
Kesehatan (Studi
Deskriptif
Pelaksanaan
Kolaborasi
Pengendalian
Penyakit TB-
HIV Di Kab.
Blitar) oleh Ist,
(2016)16
Penelitian ini
menggambarkan
proses kolaborasi
mengenai
pengendalian
penyakit TB-HIV
dengan teori
collaborative
governance regime
oleh Kick Emerson
Hasil dari penelitian ini adalah
proses kolaborasi tidak efektif.
Indikator dinamika kolaborasi
yang tidak efektif berasal dari
berprinsip, motivasi bersama,
kapasitas untuk tindakan
kolektif, yang tidak terbentuk
dengan benar, dan memiliki
dampak kembali pada indikator
tindakan kolaborasi. Dengan
demikian, kolaborasi TB- HIV
tidak menimbulkan dampak
signifikan bagi proses
kolaborasi, dan juga adaptasi
belum efektif untuk
mengendalikan kejadian
selanjutnya.
4. Kolaborasi
Antara Aparatur
Birokrasi
Pemerintah
Daerah Istimewa
Yogyakarta dan
Forum
Pengurangan
Risiko Bencana
(FPRB) DIY
Dalam
Penelitian ini
menjelaskan proses
kolaborasi antara
Pemerintah DIY
dengan FPRB
dalam kerangka
collaborative
governance regime
oleh Kick Emerson
Penelitian ini yang mengacu
pada kolaborasi antara
Pemerintah DIY dan Forum
PRB DIY mendapatkan hasil
bahwa pelaksanaan
penyelanggaraan
Penanggulangan bencana di
DIY saat ini telah dilakukan
oleh berbagai multi aktor secara
kolaboratif. Masing-masing
aktor telah di bagi-bagi
15 Luqito, D. and Arrozaaq, C. (2016). Collaborative Governance (Studi Tentang Kolaborasi Antar
Stakeholders Dalam Pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Sidoarjo). Skripsi
Universitas Airlangga. Retrieved From: http://repository.unair.ac.id/67685/3/Sec.pdf.
16 Ist, M. M. Bin (2016). Proses Collaborative Governance Dalam Bidang Kesehatan (Studi
Deskriptif Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB- HIV Di Kab. Blitar). Skripsi
Universitas Airlangga. 4(April), pp. 1–9.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-11
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
Penyelenggaraan
Penanggulangan
Bencana di
Daerah Istimewa
Yogyakarta
Oleh Agustina
(2017)17
perannya sesuai dengan
keahlian masing-masing.
Dalam Collaborative
Governance dapat dilihat
melalui dua dimensi yaitu
sistem konteks dan pendorong.
Melalui dua dimensi tersebut
dalam penelitian ini melihat
bagaimana kolaborasi yang
terjadi diantara Pemerintah
DIY dan Forum PRB DIY.
5. Collaborative
Governance
dalam
Pengendalian
Narkoba Antara
Badan Narkotika
Nasional
Provinsi Jawa
Timur Dengan
Lembaga
Swadaya
Masyarakat oleh
Utami (2018)18
Penelitian ini
dianalisis
menggunakan teori
Collaborative
Governance oleh
Ansell dan Gash
(2007)
Untuk menjelaskan tentang
kolaborasi antar stakeholder
dan pencapaian kolaborasi
yang dikaitkan dengan
pengendalian narkoba.
Sedangkan komponen indikator
dari pengendalian narkoba
yang digunakan peneliti untuk
menganalisis pencapaian
kolaborasi ada tiga yaitu
pencegahan, pemberantasan,
dan kebijakan P4GN.
Sumber: Diolah peneliti (2020)
Dari penjelasan tersebut, penelitian ini memiliki perbedaan dengan
penelitian sebelumnya. Penelitian pertama ditulis oleh Isnaeni Nurul Khusna
dengan judul Dinamika Collaborative Governance Antar Stakeholder Dalam
Upaya Penanggulangan HIV&AIDS di Kabupaten Sleman. Dimana menghasilkan
temuan bahwa praktik collaborative governance yang dilakukan oleh KPA, Dinas
Kesehatan Kabupaten Sleman dan LSM Peduli AIDS berada pada tingkat
eksplorasi. Ini berarti pertemuan yang dilakukan dalam bentuk formal dan informal
baik dalam brainstorming issue atau persoalan seputar HIV dan AIDS, membangun
forum koordinasi, membangun hubungan dan komuikasi yang baik dan intensif
antar mitra KPA. Dengan demikian artinya praktik yang dilakukan masih pada
17 Agustina, D. (2017). Kolaborasi Antara Aparatur Birokrasi Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) DIY Dalam Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, Vol. 9
No.1. 18 Utami, D. R. (2018). Collaborative Governance dalam Pengendalian Narkoba Antara Badan
Narkotika Nasional Provinsi Jawa Timur Dengan Lembaga Swadaya Masyarakat. Skripsi
Universitas Airlangga.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-12
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
tahap pengembangan format yang utuh menuju suatu collaborative governance
yang ideal. Perbedaannya terletak pada konsep collaborative governance regime
terhadap pemangku kepentingan yang berbeda di tiga daerah yaitu, Kota Batu, Kota
Malang, dan Kabupaten Malang. Penelitian Isnaeni hanya berfokus pada
stakeholder di Kabupaten Sleman.
Penelitian kedua yaitu Kolaborasi Antar Stakeholder dalam Pengembangan
Kawasan Minapolitan di Kabupaten Sidoarjo oleh Dimas Luqito Chusuma
Arrozaaq. Hasil penelitian menunjukan bahwa aspek keterlibatan dan motivasi
dapat dikatakan baik. Namun, dalam aspek kapasitas aksi bersama pada unsur
kelembagaan kolaboratif dan sumber daya memiliki beberapa tantangan yang
menjadikanya kurang berjalan maksimal sehingga dapat mempengaruhi
keberlangsungan kolaborasi secara umum. Sedangkan, unsur leadership
menunjukan bahwa pola yang terjalin adalah pola jaringan sehingga tidak terjadi
hierarki dalam kolaborasi serta pengetahuan yang mampu diakses dengan baik oleh
semua stakeholder. Dinamika kolaborasi yang berhasil dibangun dapat
dikategorikan pada tahapan eksplorasi. Faktor penghambat yang ditemui dalam
dinamika kolaborasi tersebut adalah faktor kultur dan keterbatasan sumber daya.
Penelitian ini hanya berfokus pada pengembangan kawasan minapolitan di
Kabupaten Sidoarjo, sementara pada penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti
berfokus pada kebijakan tata ruang dan wilayah di kawasan Malang Raya.
Penelitian ketiga yang ditulis oleh Muhammad Muqorro bin Ist dengan judul
Proses Collaborative Governance dalam Bidang Kesehatan (Studi Deskriptif
Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB-HIV di Kab. Blitar). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi yang terjadi tidak efektif dikarenakan
indikator tindakan kolaborasi yakni prinsip, motivasi, kapasitas tidak terbentuk
dengan benar sehingga berdampak pada dinamika kolaborasi yang tidak efektif
sehingga kolaborasi TB-HIV yang dilakukan tidak menimbulkan dampak
signifikan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian peneliti terletak pada hasil
penelitian yang bersifat negatif dan tidak meneliti bentuk kolaborasi yang dilakukan
tetapi lebih berorientasi kepada proses collaborative governance regime.
Penelitian keempat oleh Dwi Agustina mengenai Kolaborasi Antara
Aparatur Birokrasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Forum
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-13
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) DIY Dalam Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam Collaborative
Governance dapat dilihat melalui dua dimensi yaitu sistem konteks dan dimensi
pendorong. Melalui dua dimensi tersebut dalam penelitian ini melihat bagaimana
kolaborasi yang terjadi diantara Pemerintah DIY dan Foum PRB DIY. Maka, dapat
diketahui bahwa penelitian ini hanya melihat unsur sistem konteks dan dimensi
pendorong. Ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti karena
melihat secara keseluruhan aspek dalam teori Collaborative Governance Regime,
yaitu System Context, Collaborative Dynamics, dan Collaborative Actions.
Penelitian kelima dari Daniar Rizky Utami tentang Collaborative
Governance dalam Pengendalian Narkoba Antara Badan Narkotika Nasional
Provinsi Jawa Timur Dengan Lembaga Swadaya Masyarakat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Collaborative Governance yang dilaksanakan dengan melihat
delapan kriteria keberhasilan pemerintahan kolaboratif yang dikaitkan dengan tiga
indikator dari pelaksanaan program Kebijakan P4GN yakni pencegahan,
pemberantasan dan Kebijakan P4GN. Hal ini terlihat dari lima kriteria
pemerintahan kolaboratif yang masih belum terpenuhi terutama kriteria
distiributive accountability dan access to resources pada indikator Kebijakan
P4GN. Kriteria tersebut menunjukkan kurangnya keterlibatan masyarakat dalam
forum kolaborasi, dan ketersediaan sumber keuangan yang masih belum tersedia.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian peneliti terletak pada fokus dan analisis
teori yang digunakan yaitu Collaborative Governance dari Ansell dan Gash (2007).
Sedangkan peneliti menggunakan analisis teori Collaborative Governance Regime
oleh Emerson et al (2011) yang berfokus pada kebijakan tata ruang dan wilayah di
kawasan Malang Raya.
Untuk dapat mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik, maka
diperlukan peran dari multi-stakeholder untuk menerapkan kebijakan. Hal ini
dimaksudkan untuk mewujudkan Collaborative Governance Regime antar daerah
yang berdekatan, salah satu penerapannya yaitu kawasan Malang Raya. Kawasan
ini terbentuk dengan adanya kesadaran saling ketergantungan dalam kebijakan tata
ruang dan wilayah. Dimana Kota Batu perlu berkolaborasi dengan Kabupaten
Malang terkait kebijakan tata ruang dan wilayah untuk mewujudkan RTH. Seperti
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-14
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
halnya Kota Malang yang memiliki jumlah pelanggaran terkait tata ruang dan
berkurangnya lahan pertanian, sehingga perlu berkolaborasi dengan Kabupaten
Malang untuk mengantisipasinya. Begitu pula dengan Kabupaten Malang yang
memiliki pertumbuhan penduduk paling tinggi diantara Kota Batu dan Kabupaten
Malang. Sehingga, untuk mengetahui pelaksanan tata ruang dan wilayah di
kawasan Malang Raya tercetus penelitian ini dengan judul “Analisis Collaborative
Governance Regime Dalam Kebijakan Tata Ruang dan Wilayah di Kawasan
Malang Raya”.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka rumusan
masalah penelitian yaitu: “Bagaimana gambaran dalam kebijakan tata ruang
dan wilayah di Kawasan Malang Raya dilihat dari perspektif Collaborative
Governance Regime?”.
I.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kebijakan tata ruang
dan wilayah di Kawasan Malang Raya berdasarkan perspektif Collaborative
Governance Regime.
I.4 Manfaat
I.4.1 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat teoritis untuk
pengembangan penelitian lebih lanjut dalam bidang Collaborative
Governance Regime terkait konteks kebijakan tata ruang dan wilayah di
Kawasan Malang Raya.
I.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan
penjelasan mengenai Collaborative Governance Regime dalam kebijakan
tata ruang dan wilayah di Kawasan Malang Raya sehingga dapat menjadi
rujukan maupun rekomendasi khususnya bagi Pemerintah Kota Batu,
Kota Malang, dan Kabupaten Malang untuk melakukan penataan ruang
dan wilayah yang terpadu.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-15
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
I.5 Landasan Teori
I.5.1 Kebijakan Publik
Banyak pengertian kebijakan publik yang beragam diutarakan oleh para ahli
berdasarkan konteksnya. Menurut Dye (1976) dalam Farazmand (2018), kebijakan
publik tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa ia melakukannya, dan apa
implikasinya.19 Pendapat tersebut menyiratkan tindakan nyata dari pemerintah
sekaligus alasan dibalik tindakan tersebut. Sebagaimana diartikan bahwa kebijakan
publik merupakan jantung, jiwa, dan darah kehidupan pemerintah. Sedangkan
menurut Farazmand (2018), kebijakan publik dapat didefinisikan secara sederhana
sebagai rangkaian tindakan atau prosedur formal dan informal yang dilakukan oleh
pemerintah atau sengaja dipilih untuk tidak dilakukan. Kebijakan publik adalah apa
yang pejabat publik dalam pemerintahan dan lebih luas lagi warga yang mereka
wakili, memilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan tentang masalah publik
(Kraft, Michael E. and Furlong, 2018).20 Kebijakan publik adalah suatu tindakan
atau kelambanan pemerintah dalam menanggapi masalah publik. Hal ini terkait
dengan tujuan dan sarana kebijakan yang disetujui secara resmi, serta peraturan dan
praktik lembaga yang melaksanakan program.
Menurut Moran and Goodin (2008), ada dua pernyataan yang melekat
dalam kebijakan publik. Pertanyaan pertama adalah apakah sesuatu memiliki nilai
selain nilai yang melekat pada manusia, dan jika demikian, bagaimana kebijakan
dapat memengaruhi hal-hal lain yang diperhitungkan dalam haknya sendiri.
Pertanyaan kedua adalah bagaimana kebijakan dapat memengaruhi sistem alam,
spesies, dan/atau individu yang dilakukan manusia sebagai nilai fakta.21 Kedua
pertanyaan tersebut mencoba untuk memperlihatkan bahwa kebijakan publik dapat
mempengaruhi segala hal.
Menurut James E Anderson dalam Budi Winarno memberikan definisi
tentang kebijakan publik sebagai kebijakan yang dibangun oleh badan dan pejabat
19 Farazmand, A. (2018). Global Encyclopedia of Public Administration, Public Policy, and
Governance. Springer International Publishing AG. doi: 10.1007/978-3-319-20928-9. 20 Kraft, Michael E. and Furlong, S. R. (2018). Public Policy: Politics, Analysis, and Alternatives.
Sixth. SAGE Publications. 21 Moran, M. and Goodin, R. O. B. E. (2008). The Oxford Handbook of Public Policy. Oxford
University Press.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-16
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
pemerintah, di mana implikasi dari kebijakan tersebut adalah: 1) kebijakan publik
selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan yang berorientasi pada
tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik
merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan
apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang diambil
bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala
sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan
pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-
tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang
bersifat mengikat dan memaksa.22
Sehingga, definisi kebijakan publik adalah tindakan musyawarah (atau nun
aksi) yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Tujuan dari kebijakan publik untuk menjawab beberapa pertanyaan, yaitu: masalah
apa yang harus diperhatikan pemerintah? Siapa yang memutuskan masalah apa dan
apakah itu membutuhkan perhatian dan tindakan pemerintah? Kapan dan mengapa
kebijakan berubah? Apakah karena masalah sudah terpecahkan, apakah karena
masalah didefinisikan ulang, atau karena masalah lain?.
I.5.1.1 Kebijakan Tata Ruang dan Wilayah
Menurut Wahid (2016), tata ruang adalah ekspresi geografis yang
merupakan cermin lingkup kebijakan yang dibuat masyarakat terkait ekonomi,
sosial, dan budaya.23 Kebijakan Tata Ruang dan Wilayah di Indonesia telah diatur
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). RTRWN adalah arahan
kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara. Sedangkan, penataan
ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. RTRWN ini menjadi pedoman untuk, sebagai
berikut :
a. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;
22 Winarno, Budi. (2007). Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo hal 20-
21 23 A.M. Yunus Wahid. (2014). Pengantar Hukum Tata Ruang (Ed. Pertama, Jakarta: Penerbit
Prenadamedia Group,). h. 8.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-17
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
b. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;
c. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah
nasional;
d. Pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan
antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor;
e. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
f. Penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
g. Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
Penataan ruang wilayah nasional bertujuan untuk mewujudkan:
a. Ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
b. Keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
c. Keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota;
d. Keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
e. Keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi,
dan kabupaten/kota dalam rangka pelindungan fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang;
f. Pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat;
g. Keseimbangan dan keserasian perkembangan antarwilayah;
h. Keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsektor; dan
i. Pertahanan dan keamanan negara yang dinamis serta integrasi nasional.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa RTRWN ini menjadi pedoman bagi
pemangku kepentingan untuk menyusun kebijakan tata ruang dan wilayah di
Provinsi Jawa Timur. Ini telah tercantum pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Timur Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Tahun
2011—2031. RTRW Provinsi adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari
wilayah provinsi, yang merupakan penjabaran dari RTRWN, dan yang berisi
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi; rencana struktur
ruang wilayah provinsi; rencana pola ruang wilayah provinsi; penetapan kawasan
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-18
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
strategis provinsi; arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan arahan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. Kemudian, RTRW Provinsi ini
diterjemahkan menjadi RTRW Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu.
I.5.2 Governance
Bentuk pembaharuan dari Government adalah Governance. Tujuan
Governance adalah untuk membimbing, mengarahkan dan mengatur kegiatan
warga melalui kekuatan berbagai sistem dan hubungan untuk memaksimalkan
kepentingan publik (Keping, 2017)24. Tata pemerintahan yang baik diharapkan
bersifat partisipatif, transparan, akuntabel, efektif dan adil serta mempromosikan
supremasi hukum (Unesco). Sedangkan, menurut Rose-ackerman (2016), tujuan
normatif reformasi pemerintahan yaitu kebijakan publik yang lebih efektif dan
prosedur yang sah serta dapat dipertanggungjawabkan kepada warga negara25.
Governance mengacu pada aktor non-negara, aktor swasta, dan juga aktor publik.
Aktor-aktor tersebut memiliki kontrak dan kesepakatan untuk memberikan layanan
kepada warga, dan pemerintah hanyalah salah satu aktor yang memberikan layanan
(Farazmand, 2018).26 Pendapat ini mengartikulasikan adanya keterlibatan aktor
non-negara, swasta, dan publik dalam perumusan hingga pelaksanaan
penyelenggaraan pelayanan publik.
Governance adalah proses mengatur kota, organisasi, atau sistem di mana
proses pengambilan keputusan dilibatkan, diimplementasikan, atau tidak
dilaksanakan (Abas, 2019)27. Dalam banyak hal, pengertian tentang Governance
dan Good Governance muncul secara bersamaan. Gagasan tentang Good
Governance telah berperan penting dalam mempromosikan hak asasi manusia,
pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial dalam masyarakat berkembang di
dunia. Bagaimanapun, pencarian kualitas Good Governance adalah aspirasi
24 Keping, Y. (2017). Governance and Good Governance : A New Framework for Political Analysis.
Fudan Journal of the Humanities and Social Sciences. Springer Berlin Heidelberg, 9(2001). doi:
10.1007/s40647-017-0197-4. 25 Rose-ackerman, S. (2016). ‘What Does “ Governance ” Mean ?’, An International Journal of
Policy, Administration, and Institutions, 30(1), pp. 23–27. doi: 10.1111/gove.12212. 26 Farazmand, A. (2018). Global Encyclopedia of Public Administration, Public Policy, and
Governance. Springer International Publishing AG. doi: 10.1007/978-3-319-20928-9. 27 Abas, M. A. (2019). Public Policy and Governance: Theory and Practice. Global Encyclopedia of
Public Administration, Public Policy, and Governance. Springer Nature Switzerland AG 2019. doi:
10.1007/978-3-319-31816-5.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-19
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
komunitas politik yang tidak pernah berakhir (Nag, 2018)28. Praktik good
governance dibutuhkan dalam proses kebijakan publik dari perumusan dan
implementasi kebijakan. Selain itu, implementasi kebijakan publik adalah bagian
dari governance yang menyangkut kegiatan yang berkaitan dengan tugas-tugas
publik. Namun, praktik governance dalam implementasi kebijakan publik
bergantung pada aktivitas penyampaian kebijakan yang dipertaruhkan. Mengingat
berbagai karakter konteks di mana praktisi administrasi publik bertindak, sehingga
penerapan governance akan bervariasi dari situasi ke situasi. Oleh karena itu, kajian
tentang kebijakan publik dan Governance saat ini menjadi sangat penting. Poin
utamanya adalah Governance tidak lagi menjadi aktivitas hierarkis yang sederhana,
namun melibatkan interaksi yang lebih kompleks antara sektor publik dan swasta.
I.5.2.1 Prinsip Good Governance
Berdasarkan prinsip dan usulan dari berbagai lembaga donor internasional
(Bank Dunia, IMF, UNDP, ODA, IDA) dan praktek yang diterapkan oleh
pemerintah penerima bantuan demokrasi liberal untuk mencapai Good
Governance, berikut karakteristik, yaitu (Nag, 2018)29:
I.5.2.1.1 Partisipasi
Partisipasi adalah dimensi politik dari Good Governance. Partisipasi aktif
semua pemangku kepentingan dalam proses pembangunan di masyarakat
merupakan syarat mutlak dari tata pemerintahan yang baik. Semua masyarakat baik
pria maupun wanita, termasuk penyandang disabilitas harus mengungkapkan
pendapat dalam pengambilan keputusan secara langsung atau melalui lembaga
perantara yang legal untuk mewakili kepentingan mereka. Partisipasi adalah proses
di mana pembuatan kebijakan, memprioritaskan masalah, aksesibilitas ke barang
dan jasa publik, dan juga mengalokasikan sumber daya dipengaruhi oleh
stakeholder utama. Dari sudut pandang hak asasi manusia, orang memiliki hak
untuk berpartisipasi dalam keputusan yang mempengaruhi mereka serta mencari
ganti rugi jika hak-hak tersebut ditolak.
28 Nag, N. S. (2018). Government , Governance and Good Governance. Indian Journal of Public
Administration, 64(1):, pp. 122–10. doi: 10.1177/0019556117735448. 29 Nag. Op.Cit., Hal. 127.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-20
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
I.5.2.1.2. Aturan hukum
Negara Hukum sebagai unsur penting dari pemerintahan yang baik
didasarkan pada gagasan bahwa keadilan tidak kalah pentingnya sebagai barang
publik daripada pendidikan dasar dan perawatan kesehatan dasar. Supremasi
hukum adalah landasan masyarakat demokratis dan egaliter. Ini berarti bahwa
setiap orang sama di depan hukum dan hukum diterapkan secara adil. Negara
Hukum dalam masyarakat memandang bahwa operasi dan fungsi lingkungan
masyarakat harus didasarkan pada hukum obyektif dan tidak boleh ada peran
keinginan dan khayalan dari siapa pun yang kuat dan berpengaruh. Penguatan
supremasi hukum membayangkan reformasi di lembaga penegakan hukum. Dalam
hal inilah reformasi yang sesuai dalam kepolisian (reformasi kepolisian) dan sistem
peradilan pidana (reformasi peradilan) sedang dilakukan di India dan negara
berkembang lainnya.
I.5.2.1.3. Ekuitas dan Inklusivitas
Kesetaraan berarti bahwa setiap orang setara dan memiliki kesempatan yang
sama dalam suatu komunitas terlepas dari kasta, agama atau keyakinan jenis
kelamin, ras, warna kulit dan status sosialnya. Inilah yang menjadi dasar dari
standar HAM masyarakat dan esensi keadilan sebagai prinsip dasar pemerintahan
dalam masyarakat manusia. Inklusivitas mensyaratkan bahwa saat merumuskan
kebijakan dan program tertentu perlu untuk mempertimbangkan kepentingan,
aspirasi, dan pendapat semua individu dan kelompok dalam masyarakat.
Kesejahteraan masyarakat bergantung pada memastikan bahwa semua anggotanya
tidak merasa dikucilkan dari arus utama masyarakat dan merasa memiliki
kepentingan. Berbagai kebijakan reservasi yang sedang berlangsung di India yang
ditujukan bagi orang-orang yang didapati secara ekonomi, pendidikan, sosial dan
fisik tidak mampu mendapatkan manfaat dari pembangunan adalah hasil dari upaya
untuk mengamankan kesetaraan dan inklusivitas.
I.5.2.1.4. Transparansi
Transparansi didasarkan pada arus informasi yang bebas. Artinya, setiap
orang dalam masyarakat memiliki akses langsung terhadap proses, lembaga, dan
informasi. Ini mempromosikan keterbukaan tindakan pemerintah, proses
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-21
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
pengambilan keputusan dan proses konsultatif antara sektor publik dan semua
pemangku kepentingan. Proses ini tunduk pada pengawasan lembaga pemerintah
lainnya, masyarakat sipil, dan lembaga eksternal. Kurangnya transparansi dalam
penyelenggaraan pemerintahan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
berbagai jenis korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang merugikan
kemajuan dan kesejahteraan masyarakat umum.
I.5.2.1.5. Responsivitas
Responsivitas penyedia barang dan jasa, baik di sektor publik dan swasta,
berarti bahwa permintaan dan kebutuhan masyarakat ditangani secara tepat waktu
dan kerangka waktu. Penundaan yang tidak perlu yang disengaja dari pihak
penyedia layanan dalam menjalankan tugasnya terhadap masyarakat harus
dihindari dengan biaya berapa pun. Harus dipastikan bahwa sistem pemberian
layanan harus memiliki ketentuan klausul waktu dan periode untuk menyelesaikan
tugasnya dalam kerangka waktu yang dapat diprediksi. Di India, untuk memastikan
ketanggapan dari pihak penyedia layanan, berbagai pemerintah negara bagian telah
memberlakukan undang-undang dalam bentuk Undang-Undang Hak atas Layanan.
I.5.2.1.6. Konsensus dan Legitimasi
Konsensus dan legitimasi pemerintahan adalah dimensi politik dari
pemerintahan yang baik. Harus ada konsensus di antara berbagai pemangku
kepentingan untuk menjamin perdamaian dan kerukunan dalam masyarakat,
sehingga struktur dan fungsi pemerintahan memperoleh legitimasi dari seluruh
masyarakat. Konsensus biasanya melibatkan kolaborasi, bukan kompromi. Alih-
alih satu pendapat diadopsi oleh pluralitas, pemangku kepentingan disatukan
sampai keputusan konvergen dikembangkan. Pengambilan keputusan konsensus
adalah proses keputusan yang tidak hanya mencari persetujuan dari sebagian besar
peserta tetapi juga menyelesaikan atau mengurangi keberatan minoritas untuk
mencapai keputusan yang paling disetujui.
I.5.2.1.7. Efektivitas dan Efisiensi
Aspek teknis Good Governance menekankan pada efektivitas dan efisiensi
yang akan digunakan untuk melaksanakan kebijakan, program, dan sumber daya
tersebut. Tata kelola yang baik berarti bahwa proses dan program yang
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-22
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
dilaksanakan oleh lembaga untuk menghasilkan hasil yang baik memenuhi
kebutuhan pemangku kepentingan sekaligus memanfaatkan sumber daya dengan
sebaik-baiknya. Karakteristik ini mendorong sistem penyampaian publik yang
efisien dan keluaran publik yang berkualitas. Untuk mencapai efektivitas dan
efisiensi, prinsip-prinsip tata kelola yang baik menetapkan lingkungan ekonomi
yang kompetitif, pengembangan kapasitas lembaga dan pelatihan yang diperlukan
untuk personel.
I.5.2.1.8. Akuntabilitas
Akuntabilitas berarti pembuat keputusan di pemerintahan, sektor swasta dan
organisasi masyarakat sipil bertanggung jawab kepada publik dan juga pemangku
kepentingan kelembagaan atas kelambanan atau penyimpangan yang disengaja. Inti
dari prinsip akuntabilitas adalah berbagi informasi dan transparansi yang harus
didorong oleh struktur pemerintahan. Karenanya, akuntabilitas sulit dicapai,
terutama tanpa adanya akses informasi. Lembaga dan personel harus bertanggung
jawab atas kegagalan dan kesuksesan mereka serta harus ada audit publik atas
perbuatan dan kesalahan penyedia layanan.
I.5.3 Collaborative Governance
Collaborative Governance muncul sebagai bentuk pembaharuan dari
Governance yang menyiratkan adanya keterlibatan pemangku kepentingan atau
stakeholder untuk mencapai tujuan bersama. Makna kolaborasi menunjukkan
komunikasi dua arah dan pengaruh antara pemangku kepentingan. Menurut Ansell
and Gash (2007), Collaborative Governance terjadi ketika pengetahuan menjadi
semakin terspesialisasi dan terdistribusi serta infrastruktur kelembagaan menjadi
lebih kompleks dan saling tergantung, maka permintaan untuk kolaborasi akan
meningkat. Collaborative Governance dimulai dan dikembangkan dalam "multi-
layered system context" yang mencakup kondisi sumber daya, kerangka kebijakan
dan hukum, hubungan kekuasaan, dan karakteristik jaringan (Bryson, John M.,
Barbara C. Crosby, 2015)30. Sehingga, makna dari pemerintahan kolaboratif adalah
30 Bryson, John M., Barbara C. Crosby, and M. M. S. (2015) ‘Designing and implementing cross-
sector collaborations: Needed and challenging’, Public Administration Review, 75 (5):, pp. 647–63.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-23
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
keterlibatan langsung dari pihak pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan.
I.5.4 Collaborative Governance Regime
Berbeda dengan Emersson, Nabatchi and Balogh (2011) yang
memunculkan konsep Collaborative Governance Regime terkait framework untuk
tata kelola kolaboratif yang bersifat integratif dalam beberapa cara. Pertama,
definisi tata kelola kolaboratif lebih luas dari apa yang biasa dilihat dalam literatur
dan menerapkan pengetahuan dan konsep dari berbagai bidang untuk pemerintahan
kolaboratif. Kedua, kerangka kerja mengintegrasikan banyak komponen tata kelola
kolaboratif dari konteks sistem dan pendorong eksternal melalui dinamika
kolaboratif hingga tindakan, dampak, dan adaptasi31.
Istilah “regime” mengingatkan terhadap sistem pemerintahan yang otoriter
dan terprogram atau merujuk pada partai politik tertentu maupun pemerintahan
koalisi dalam kekuasaan (misalnya, rezim sosial demokrat). Namun, Emersson,
Nabatchi and Balogh (2011) meminjam istilah tersebut dari teori politik
internasional, di mana "rezim" mengacu pada kerja sama yang berkelanjutan antara
aktor negara dan non-negara.32 Secara khusus, Emersson, Nabatchi and Balogh
(2011) mengacu pada definisi Stephen Krasner (1983, 2) tentang rezim sebagai
pengaturan pemerintahan yang dijiwai dengan serangkaian prinsip, norma, aturan,
dan prosedur pengambilan keputusan yang eksplisit dan implisit di mana ekspektasi
aktor bertemu di area isu tertentu.33
Kerangka kerja integratif untuk Collaborative Governance Regime
digambarkan dalam Gambar I.5 sebagai tiga dimensi yang saling berkaitan, yaitu
System Context, Collaborative Dynamics, dan Collaborative Actions. Dimensi
pertama, dapat dilihat dari kotak terluar yang digambarkan oleh garis-garis kokoh.
Dimensi kedua mengacu pada istilah “rezim” yaitu mencakup mode khusus atau
sistem untuk pengambilan keputusan publik di mana kolaborasi lintas batas
mewakili pola perilaku dan aktivitas yang berlaku. Dalam kerangka ini, CGR
31 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011) ‘An Integrative Framework for Collaborative
Governance’, (June 2009), pp. 1–29. doi: 10.1093/jopart/mur011 32 Ibid 33 Ibid
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-24
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
digambarkan oleh kotak tengah dengan garis putus-putus dan berisi dinamika
kolaboratif dan aksi kolaboratif. Hal ini diartikan bahwa dinamika dan tindakan
kolaboratif membentuk kualitas keseluruhan dan dapat melihat sejauh mana CGR
dikembangkan dan efektif.
Dimensi ketiga merupakan dinamika kolaborasi yang diwakili oleh kotak
terdalam dengan garis putus-putus. Terdiri dari tiga komponen interaktif yaitu :
principled engagement, shared motivation, dan capacity for joint action. Tiga
komponen tersebut bekerja sama secara interaktif dan berulang untuk menghasilkan
tindakan kolaboratif untuk mengimplementasikan tujuan bersama CGR. Tindakan
CGR dapat mengarah pada hasil di dalam maupun di luar rezim. Dengan demikian,
tanda panah dari kotak actions untuk menunjukkan dampak dari hasil di lapangan
dan potensi adaptasi (transformasi situasi atau masalah yang kompleks) baik dalam
system context dan CGR itu sendiri.
Gambar I.5 Kerangka Kerja Integratif untuk Collaborative Governance
Sumber: Emerson, Nabatchi and Balogh (2011)34
34 Ibid, Hal. 6
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-25
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
I.5.4.1 System Context
Collaborative Governance muncul dan berkembang dapat dipengaruhi oleh
sistem yang kompleks seperti politik, hukum, sosial ekonomi, lingkungan, dan
lainnya yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh CGR. System Context ini
menciptakan peluang dan kendala serta memengaruhi parameter umum di mana
CGR dibuka. Rezim dalam CGR dapat mempengaruhi konteks sistem melalui
dampak tindakan kolaboratifnya, selain System Context yang membentuk CGR
secara keseluruhan (Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011).35 Menurut Ansell and
Gash (2007), beberapa elemen utama dalam konteks sistem yang dapat
membedakan atau memengaruhi sifat dan prospek CGR, termasuk dinamika politik
dan hubungan kekuasaan di dalam masyarakat dan seluruh tingkat pemerintahan.36
System Context bukan hanya sebagai seperangkat kondisi awal tetapi ruang
tiga dimensi di sekitarnya karena pengaruh kondisi eksternal (misalnya,
pembangunan infrastruktur, pengembangan pariwisata) dapat mempengaruhi
dinamika dan kinerja kolaborasi setiap saat selama kehidupan CGR. Sehingga,
berpeluang untuk membuka kemungkinan baru atau menghadirkan tantangan yang
tidak terduga sebelumnya (Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011)37.
Kondisi pada System context ini dapat mendorong atau menghambat kerja
sama antara pemangku kepentingan dan antara lembaga dan pemangku kepentingan
(Ansell and Gash, 2007).38 Hal ini konsisten dengan pendapat Emerson, Kirk, and
Nabatchi (2015), salah satu dasar pemikiran untuk memulai Collaborative
Governance adalah memengaruhi serangkaian kondisi di sekitarnya yang
menciptakan, memperburuk, atau mempertahankan masalah39. Dari konteks sistem
ini muncul driver, seperti Leadership, Consequential Incentives, Interdependence
dan Uncertainty yang membantu memulai dan menetapkan arah untuk CGR. Satu
atau semua driver ini harus hadir untuk memulai CGR, dimana tanpa adanya
35 Ibid, Hal. 8 36 Ansell and Gash. Loc. Cit 37 Emerson, Nabatchi and Balogh. (2011). Op. Cit, Hal. 8. 38 Ansell and Gash. Loc. Cit. 39 Emerson, Kirk, and Nabatchi, T. (2015). Collaborative Governance Regime. Georgetown
University Press.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-26
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
dorongan untuk kolaborasi tidak akan berhasil terungkap (Emerson, Nabatchi and
Balogh, 2011).
1. Leadership
Hal ini mengacu pada kehadiran pemimpin yang diidentifikasi
keberadaannya untuk mengelola sumber daya dan driver untuk mewujudkan CGR
secara signifikan (Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011).40 Pemimpin harus
berkomitmen untuk memecahkan masalah secara kolaborasi dan tidak
mengadvokasi solusi tertentu serta menunjukkan ketidakberpihakan sehubungan
dengan preferensi peserta. Menurut Emerson, Kirk, and Nabatchi, 2015), pemimpin
yang berinisiatif menghargai tantangan system context dan mengakui kehadiran
tekanan dari tiga pendorong lainnya yaitu ketidakpastian kondisi masa depan, saling
ketergantungan antar aktor, dan konsekuensi dari tindakan.41 Selain itu, kapasitas
seorang pemimpin untuk memulai upaya kolaboratif, misalnya dengan
menyediakan staf, teknologi, dan sumber daya lainnya dapat membantu
memperkuat upaya tersebut.
2. Consequential Incentives
Ini mengacu pada penggerak internal (masalah, kebutuhan sumber daya)
atau eksternal (krisis situasional atau institusional, ancaman, atau peluang) untuk
melakukan tindakan kolaboratif. Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua insentif
konsekuensial bersifat negatif. Misalnya, ketersediaan hibah atau peluang
pendanaan baru dapat mengarah pada pengembangan inisiatif kolaboratif. Calon
peserta harus menyadari insentif dan memahami bahwa memberikan perhatian dan
bekerja sama dapat memiliki efek positif, dan sebaliknya. Pada akhirnya, kesadaran
ini membantu menciptakan tekanan motivasi yang mendorong individu untuk
bersama-sama bertindak (Emerson, Kirk, and Nabatchi, 2015).42 Namun demikian,
insentif seperti itu (positif atau negatif) harus ada untuk mendorong para pemimpin
dan peserta untuk terlibat bersama.
3. Interdependence
40 Emerson, Nabatchi and Balogh. (2011). Op. Cit, Hal. 9. 41 Emerson, Kirk, and Nabatchi, T. (2015). Op. Cit. Hal. 47 42 Ibid. Hal. 46.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-27
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
Individu dan organisasi tidak dapat mencapai tujuan dengan sendirian. Hal
ini merupakan prasyarat untuk melakukan tindakan kolaboratif sebagai insentif
konsekuensial utama. Ketika otoritas publik, yurisdiksi, penyedia layanan/sumber
daya, kelompok masyarakat, atau organisasi non-pemerintah tidak berhasil dalam
mengatasi masalah publik utama atau kebutuhan melalui organisasi internal dan
dengan sumber dayanya sendiri, kemudian menjangkau lembaga atau sektor lain
mungkin menjadi perlu (Emerson, Kirk, and Nabatchi, 2015)43.
4. Uncertainty
Tantangan utama untuk mengelola permasalahan publik menjadi sebuah
peluang. Ketidakpastian yang tidak dapat dikelola dapat mendorong kelompok
untuk berkolaborasi dalam rangka mengurangi, menyebar, dan berbagi risiko yang
dapat menumbuhkan inovasi dan kreativitas (Emerson, Kirk, and Nabatchi, 2015).44
Ketidakpastian kolektif mengenai cara mengelola masalah sosial juga berkaitan
dengan driver lainnya yaitu interdependence yang dapat mengubah respon
kompetisi menjadi kerjasama (Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011)45.
Seperti dijelaskan sebelumnya, kerangka kerja integratif memperkenalkan
istilah CGR untuk menunjukkan suatu sistem di mana kolaborasi lintas batas
mewakili mode yang dominan untuk melakukan, membuat keputusan, dan
aktivitas. Bentuk dan arah CGR awalnya dibentuk oleh driver yang muncul dari
system context. Namun, pengembangan CGR dipengaruhi oleh dua komponen yaitu
dinamika kolaboratif dan tindakan kolaboratif. Berikut penjelasannya:
I.5.4.2 Collaborative Dynamics
Dinamika dan tindakan yang dihasilkan dari waktu ke waktu merupakan
proses CGR. Proses kolaboratif sebagai urutan linear dalam langkah kognitif dari
definisi masalah hingga pengaturan arah dan implementasi. Konsisten dengan
Ansell and Gash (2007), melihat tahapan dalam dinamika kolaboratif sebagai
43 Ibid. Hal. 45. 44 Ibid. Hal. 44. 45 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Op. Cit. Hal 9.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-28
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
interaksi siklus.46 Ada tiga komponen interaksi dinamika kolaboratif yaitu
Principled Engagement, Shared Motivation, dan Capacity for Joint Action.
1. Principled Engagement
Keterlibatan berprinsip terjadi dari waktu ke waktu dan melibatkan
pemangku kepentingan yang berbeda pada titik yang berbeda. Hal ini terjadi dalam
format tatap muka atau virtual, jaringan lintas organisasi, atau pertemuan pribadi
dan publik. Melalui Principled Engagement, orang dengan latar belakang yang
berbeda, tujuan relasional, dan identitas bekerja lintas batas kelembagaan, sektoral,
atau yurisdiksi masing-masing bekerja sama untuk menyelesaikan masalah dan
konflik. Meskipun dialog tatap muka pada awalnya menguntungkan, namun tidak
selalu penting ketika konflik (Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011).47
Kata ''berprinsip'' pada keterlibatan ini mengacu untuk mematuhi prinsip-
prinsip dasar yang dimaknai secara luas dalam praktik dan penelitian, termasuk
komunikasi terbuka dan inklusif, diimbangi dengan perwakilan dan diinformasikan
oleh perspektif dan pengetahuan semua aktor yang terlibat (Ansell and Gash,
2007).48 Sebelum menentukan elemen yang berkaitan dengan Principled
Engagement, penting untuk membahas pemangku kepentingan. Siapa aktor yang
terlibat dan siapa yang diwakili merupakan sinyal penting untuk kolaborasi
bergantung pada konteks dan tujuan CGR. Mereka dapat mewakili diri mereka
sendiri, klien, konstituensi, pengambil keputusan, lembaga publik, LSM, bisnis atau
korporasi, komunitas, atau masyarakat luas. Peran pemangku kepentingan juga
sangat beragam mulai dari pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Proses keterlibatan mengidentifikasi berbagai hasil positif dari keterlibatan
yang sukses di luar kualitas penentuan secara keseluruhan, seperti peningkatan
kejelasan tentang isu-isu utama dan masalah; meningkatkan kepercayaan dan saling
menghormati yang dibangun di antara para pihak; peningkatan kapasitas sosial,
operasional, dan pengambilan keputusan; integrasi yang lebih baik dari
pengetahuan yang relevan ke dalam musyawarah dan keputusan; dan legitimasi
yang lebih besar dirasakan di dalam dan di luar kolaborasi (Emerson, Nabatchi and
46 Ansell and Gash. Loc. Cit. 47 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Op. Cit. Hal. 10. 48 Ansell and Gash. Loc. Cit.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-29
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
Balogh, 2011).49 Dengan kata lain, dalam kerangka tata kelola kolaboratif, siklus
dinamis penemuan, definisi, pertimbangan, dan penentuan selama keterlibatan
berprinsip menciptakan dan memperkuat motivasi bersama dan membangun
kapasitas yang dibutuhkan untuk aksi bersama.
2. Shared Motivation
Siklus yang menguatkan diri terdiri dari empat elemen yaitu Mutual Trust,
Mutual Understanding, Internal Legitimacy, dan Shared Commitment. Semua
kecuali legitimasi termasuk dalam konfigurasi proses kolaborasi (Ansell and Gash,
2007).50 Motivasi bersama, sebagian, diprakarsai oleh keterlibatan berprinsip, dan
dalam ini adalah hasil jangka menengah. Namun, Shared motivation juga
memperkuat atau mempercepat proses keterlibatan berprinsip.
Elemen pertama dari Shared Motivation sebagai hasil dari Principled
Engagement adalah kepercayaan dihasilkan ketika para pemangku kepentingan
bekerja sama, saling memahami dan membuktikan satu sama lain bahwa mereka
saling membutuhkan. Mekanisme kepercayaan dikonseptualisasikan dalam siklus
motivasi bersama, yaitu kepercayaan menghasilkan saling pengertian, yang pada
gilirannya menghasilkan Internal Legitimacy dan akhirnya Shared Commitment.
Ini membentuk dasar saling pengertian sebagai elemen kedua dalam
motivasi bersama. Pada tingkat interpersonal, kepercayaan memungkinkan orang
untuk melihat dan kemudian menghargai perbedaan pada orang lain. Saling
pengertian bukanlah “pemahaman bersama” seperti yang dibahas oleh Ansell and
Gash (2007) di mana para peserta menyetujui serangkaian nilai atau tujuan
bersama. Sebaliknya, Mutual Understanding secara khusus mengacu pada
kemampuan untuk memahami dan menghormati posisi dan minat orang lain bahkan
ketika orang mungkin tidak setuju.
Pada gilirannya, saling pengertian menghasilkan legitimasi kognitif (elemen
ketiga). Konfirmasi bahwa pemangku kebijakan dalam upaya kolektif dapat
dipercaya dan kredibel, dengan minat yang kompatibel dan saling bergantung,
melegitimasi dan memotivasi kolaborasi yang sedang berlangsung. Tidak kalah
49 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Op. Cit. Hal. 11. 50 Ansell and Gash. Loc. Cit.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-30
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
penting juga untuk membenarkan keterlibatan berkelanjutan pemangku kebijakan
dengan yang diwakili (Emerson, Kirk, and Nabatchi, 2015).51 Ini mengarah pada
menciptakan ikatan komitmen (elemen keempat), yang memungkinkan para peserta
untuk melintasi batas-batas organisasi, sektoral, dan/atau yurisdiksi yang
sebelumnya memisahkan mereka dan berkomitmen pada jalur bersama. Ansell and
Gash (2007) juga membedakan komitmen terhadap proses sebagai faktor kunci
dalam dinamika kolaboratif.52
3. Capacity for Joint Action
Kolaborasi dalam kegiatan kerja sama untuk meningkatkan kapasitas diri
dan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, CGR harus
menghasilkan kapasitas baru untuk aksi bersama yang tidak ada sebelumnya dan
mempertahankan atau menumbuhkan kapasitas itu selama durasi tujuan bersama.
Pengembangan kapasitas yang diperlukan dapat ditentukan selama principled
engagement sebagai dimensi fungsional untuk mencapai tujuan kolaboratif
(Emerson, Kirk, and Nabatchi, 2015). 53
Capacity for Joint Action dikonseptualisasikan sebagai kombinasi dari
empat elemen yang diperlukan, yaitu pengaturan prosedural dan kelembagaan,
kepemimpinan, pengetahuan, dan sumber daya. Selain itu, kapasitas untuk aksi
bersama dapat dilihat sebagai hasil dari siklus interaksi principled engagement dan
shared motivation. Namun, seiring dengan berkembangnya kapasitas bersama, ini
juga dapat memperkuat atau meningkatkan keterlibatan dan siklus motivasi
bersama.
Pengaturan prosedural dan institusional ini harus didefinisikan pada tingkat
intraorganisasional (bagaimana satu kelompok atau organisasi akan mengatur dan
mengelola dirinya sendiri dalam inisiatif kolaboratif) dan pada tingkat antar
organisasi (bagaimana kelompok organisasi akan mengatur dan mengelola
bersama-sama dalam CGR dan berintegrasi dengan otoritas pengambilan keputusan
eksternal). Struktur seperti itu dapat bervariasi berdasarkan fungsi dan bentuk,
misalnya, dikelola oleh lembaga atau badan pemimpin yang ditunjuk, atau dengan
51 Emerson, Kirk, and Nabatchi, T. (2015). Op. Cit. Hal. 65. 52 Ansell and Gash. Loc. Cit. 53 Emerson, Kirk, and Nabatchi, T. (2015). Op. Cit. Hal. 69.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-31
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
penciptaan struktur pemerintahan baru. Protokol yang mengatur upaya kolaboratif
dapat berupa norma timbal balik dan/atau lebih aturan formal interaksi jaringan
(Thomson dan Perry, 2006 dalam Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011).54
Kepemimpinan dalam tata kelola kolaboratif secara luas dikonfirmasi
(Ansell and Gash, 2007).55 Kepemimpinan dapat menjadi pendorong eksternal,
unsur penting dari tata kelola kolaboratif dan hasil kolaborasi yang signifikan.
Selain itu, tata kelola kolaboratif menuntut dan menumbuhkan banyak peluang dan
peran untuk kepemimpinan (Bryson, Crosby, dan Stone, 2006 dalam Emerson,
Nabatchi and Balogh, 2011).56 Ini termasuk peran kepemimpinan sponsor,
penyelenggara, fasilitator atau mediator, perwakilan dari organisasi atau
konstituensi, penerjemah sains, teknolog, dan advokat publik. Peran kepemimpinan
tertentu sangat penting mulai proses perencanaan hingga implementasi.
Pengetahuan adalah mata uang kolaborasi sehingga dibutuhkan
pengetahuan bersama yang dihasilkan bersama. Intinya, kolaborasi membutuhkan
agregasi, pemisahan, dan pengumpulan data dan informasi, serta generasi baru
untuk mendapatkan pengetahuan bersama. Pengetahuan adalah informasi yang
dikombinasikan dengan pemahaman dan kemampuan yang hidup dalam pikiran
orang. Sehingga, pengetahuan memandu tindakan, sedangkan informasi dan data
hanya dapat menginformasikan atau bahkan membingungkan (Groff dan Jones,
2003 dalam Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011).57 Istilah pengetahuan dalam
kerangka kerja ini mengacu pada modal sosial dari pengetahuan bersama yang telah
ditimbang, diproses, dan diintegrasikan dengan nilai-nilai dan penilaian semua
peserta. Ansell and Gash (2007: 544) mencatat, ketika pengetahuan menjadi
semakin terspesialisasi dan terdistribusi dan ketika infrastruktur institusional
menjadi lebih kompleks dan saling tergantung, permintaan untuk kolaborasi
meningkat58. Maka, manajemen pengetahuan sangat penting untuk
keberlangsungan kolaborasi antar jaringan.
54 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Op. Cit. Hal. 15. 55 Ansell and Gash. Loc. Cit. 56 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Loc. Cit. 57 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Op. Cit. Hal. 16. 58 Ansell and Gash. Loc. Cit.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-32
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
Sumber daya adalah salah satu manfaat terjalinnya kolaborasi. Sumber daya
dapat mencakup pendanaan, waktu, dukungan teknis dan logistik; bantuan
administrasi dan organisasi; keterampilan yang diperlukan untuk analisis atau
implementasi; dan membutuhkan keahlian, termasuk kekuasaan. Kesenjangan
sumber daya di antara peserta sering disorot dalam pengaturan lintas budaya, di
mana bahasa, adat, dan budaya dapat menghadirkan hambatan untuk keterlibatan.
Sumber daya ini dapat dimanfaatkan dan didistribusikan kembali sebagai sumber
daya bersama untuk mempengaruhi tujuan bersama CGR melalui dinamika
kolaboratif. Perbedaan sumber daya ini harus dikelola dengan adil untuk
keberlanjutan proses kolaborasi. Sumber daya administrasi disusun dan
dikonfigurasikan sebagai hal penting untuk keberhasilan kolaborasi (Thomson dan
Perry, 2006 dalam (Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011)59.
I.5.4.3 Collaborative Actions
Tindakan kolaboratif harus menjadi jantung dari kerangka kerja
collaborative governance apa pun, tetapi tindakan tersebut mendapat perhatian
terbatas (Thomas, Craig W., 2011).60 Namun, CGR yang efektif harus menyediakan
mekanisme baru untuk tindakan kolektif oleh mitra kolaborasi sesuai dengan teori
tindakan untuk mencapai hasil. Bergantung pada konteks CGR, tindakan tersebut
dapat mencakup, misalnya, memberlakukan langkah kebijakan (undang-undang
atau peraturan baru). Tindakan kolaboratif dapat dilakukan oleh semua mitra yang
disepakati melalui CGR atau entitas eksternal yang menanggapi rekomendasi atau
arahan dari CGR. Tindakan kolaboratif akan sulit dicapai, jika tujuan bersama dan
alasan operasi untuk mengambil tindakan tidak dibuat eksplisit (Emerson, Nabatchi
and Balogh, 2011).61
1. Impacts
Dalam kerangka kerja ini, memfokuskan definisi dampak dihasilkan dari
tindakan yang didorong oleh dinamika kolaboratif. Dampak adalah perubahan yang
59 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Loc. Cit. 60 Thomas, Craig W., and T. M. K. (2011) ‘Research Designs for Evaluating the Impact of
Community-Based Management on Natural Resource Conservation’, Journal of Natural Resources
Policy Research, 3(2), pp. 97–111. 61 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Op. Cit. Hal. 17.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-33
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
disengaja (dan tidak disengaja) dalam konteks sistem. Dampak juga dapat
mencakup nilai tambah dari sistem sosial atau inovasi teknologi baru yang
dikembangkan oleh tindakan kolaboratif. Dampak dapat berupa fisik, lingkungan,
sosial, ekonomi, dan/atau politik. Mereka dapat spesifik, diskrit, jangka pendek atau
secara lebih luas, bersifat kumulatif dengan dampak jangka panjang. Yang pertama
lebih mudah untuk diukur dan dikonfirmasikan, yang terakhir lebih sulit untuk
diverifikasi dan dievaluasi.
2. Adaptions
Potensi adaptasi dalam CGR dapat terjadi secara tidak langsung sebagai
akibat dari perubahan dalam konteks sistem (misalnya, sehingga mengubah
pendorong untuk berkolaborasi) atau secara langsung sebagai tanggapan terhadap
efektivitas tindakan dan dampak yang dirasakan. Menurut Emerson, Nabatchi and
Balogh (2011), tata kelola kolaboratif sering dianjurkan karena potensinya untuk
mengubah konteks situasi atau masalah yang kompleks menjadi peluang.62 Salah
satu konsekuensi paling penting adalah mengubah arah situasi yang kompleks
untuk membantu menggerakkan masyarakat. Dalam kerangka kerja,
mengidentifikasi potensi perubahan transformatif seperti adaptasi terhadap dampak
yang ditumbuhkan oleh CGR.
Peneliti menggunakan Collaborative Governance Regime (CGR) sebagai
pisau analisis dalam penelitian ini. Alasan digunakannya CGR yaitu karena
framework ini mengintegrasikan banyak komponen tata kelola kolaboratif dari ini
system context yang dipengaruhi oleh faktor politik, hukum, sosial ekonomi,
lingkungan dan lainnya dalam proses CGR, collaborative dynamics sebagai siklus
dari CGR, dan collaborative actions merupakan implementasi dari proses CGR.
Proposisi adalah pernyataan yang terdiri dari satu atau lebih konsep. Dalam
teori Collaborative Governance oleh Emerson, Nabatchi and Balogh (2011), dapat
dilihat proposisi yang menggambarkan kolaborasi secara komprehensif, sebagai
berikut63:
62 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Op. Cit. Hal. 19. 63 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Loc. Cit.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-34
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
1. Satu atau lebih pendorong Leadership, Consequential Incentives,
Interdependence dan Uncertainty diperlukan untuk memulai CGR. Semakin
banyak pendorong yang hadir dan diakui oleh pelaku kolaborasi, semakin
besar kemungkinan CGR akan dimulai.
2. Principled engangement dihasilkan dan ditopang oleh proses interaktif
penemuan, definisi, pertimbangan, dan penentuan. Keefektifan Principled
engangement ditentukan oleh kualitas proses interaktif ini.
3. Interaksi berulang dan berkualitas melalui principled engagement akan
membantu menumbuhkan kepercayaan, saling pengertian, legitimasi
internal, dan komitmen bersama, sehingga menghasilkan dan
mempertahankan shared motivation.
4. Setelah dihasilkan, shared motivation akan meningkatkan dan membantu
mempertahankan principled engangement dan sebaliknya dalam “siklus
yang baik”.
5. Principled engangement dan shared motivation akan merangsang
pengembangan pengaturan kelembagaan, kepemimpinan, pengetahuan, dan
sumber daya, sehingga menghasilkan dan mempertahankan capacity for
joint action.
6. Tingkat yang diperlukan untuk empat elemen capacity for joint action
ditentukan oleh tujuan CGR, teori aksi bersama, dan hasil yang ditargetkan.
7. Kualitas dan tingkat collaborative dynamics tergantung pada interaksi yang
produktif dan menguatkan diri di antara principled engagement, shared
motivation, dan capacity for joint action.
8. Collaborative actions lebih mungkin diterapkan jika teori aksi bersama
diidentifikasi secara eksplisit di antara mitra kolaborasi dan fungsi
collaborative dynamics untuk menghasilkan capacity for joint action.
9. Dampak yang dihasilkan dari collaborative action cenderung lebih dekat
dengan hasil yang ditargetkan dengan lebih sedikit konsekuensi negatif
yang tidak diinginkan ketika ditentukan dan berasal dari teori aksi bersama
selama collaborative dynamics.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-35
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
10. CGR akan lebih berkelanjutan dari waktu ke waktu ketika beradaptasi
dengan sifat dan tingkat dampak yang dihasilkan dari tindakan bersama
mereka.
I.6 Definisi Konsep
Konsep adalah hasil abstraksi dari realitas empiris. Dalam memahami
konsep yang terdapat pada penelitian ini, maka peneliti menyusun pelbagai definisi
konsep di bawah ini:
1. Rencana tata ruang wilayah yaitu penyelenggaraan kegiatan penataan
pembangunan daerah secara terarah dan berkelanjutan sesuai dengan visi
rencana yang telah ditetapkan.
2. Governance merupakan tata kelola pemerintah dengan melibatkan peran
swasta dan masyarakat untuk mewujudkan kebijakan tertentu dari
keputusan bersama.
3. Good Governance adalah kerja sama yang aktif dan produktif antara negara
dan warga negara, dan kunci keberhasilannya terletak pada kekuasaan yang
berpartisipasi dalam administrasi politik.
4. Partisipasi yaitu proses di mana pembuatan kebijakan, memprioritaskan
masalah, aksesibilitas ke barang dan jasa publik, dan juga mengalokasikan
sumber daya dipengaruhi oleh stakeholder utama.
5. Aturan hukum merupakan operasi dan fungsi lingkungan masyarakat harus
didasarkan pada hukum obyektif dan tidak boleh ada peran keinginan dan
khayalan dari siapa pun yang kuat dan berpengaruh.
6. Ekuitas adalah setiap orang setara dan memiliki kesempatan yang sama
dalam suatu komunitas terlepas dari kasta, agama atau keyakinan jenis
kelamin, ras, warna kulit dan status sosialnya.
7. Inklusivitas yaitu saat merumuskan kebijakan dan program tertentu perlu
untuk mempertimbangkan kepentingan, aspirasi, dan pendapat semua
individu dan kelompok dalam masyarakat.
8. Transparansi merupakan setiap orang dalam masyarakat memiliki akses
langsung terhadap proses, lembaga, dan informasi.
9. Responsivitas adalah sistem pemberian layanan harus memiliki ketentuan
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-36
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
waktu dan periode untuk menyelesaikan tugasnya dalam kerangka waktu
yang dapat diprediksi.
10. Konsensus dan Legitimasi yaitu proses keputusan yang tidak hanya mencari
persetujuan dari sebagian besar peserta tetapi juga menyelesaikan atau
mengurangi keberatan minoritas untuk mencapai keputusan yang paling
disetujui.
11. Efektivitas dan Efisiensi merupakan proses dan program yang dilaksanakan
oleh lembaga untuk menghasilkan yang baik dalam memenuhi kebutuhan
pemangku kepentingan sekaligus memanfaatkan sumber daya secara
optimal.
12. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban dari sektor publik, swasta, dan
organisasi masyarakat sipil kepada masyarakat dan juga pemangku
kepentingan kelembagaan atas keberhasilan atau kegagalan dalam
mencapai tujuan.
13. Collaborative Governance yaitu pelibatan stakeholder dari pihak publik,
swasta, dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam forum kolektif bersama
lembaga publik untuk mengambil bagian dalam pengambilan keputusan yang
berorientasi pada konsensus.
14. Collaborative Governance Regime merupakan untuk mengetahui dan
memahami suatu sistem untuk menjalin kerangka kolaborasi lintas batas
mewakili mode yang dominan untuk melakukan, membuat keputusan, dan
aktivitas. CGR memiliki tiga dimensi yang saling berkaitan, yaitu System
Context, Collaborative Dynamics, dan Collaborative Actions.
15. System Context adalah menciptakan peluang dan kendala serta
memengaruhi dinamika dan kinerja kolaborasi terhadap Collaborative
Governance Regime.
16. Driver yaitu pendorong yang harus hadir untuk memulai CGR, dimana
tanpa adanya dorongan untuk kolaborasi tidak akan berhasil terungkap.
Driver ini meliputi kepemimpinan, insentif konsekuensi, saling
ketergantungan, dan ketidakpastian.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-37
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
17. Leadership merupakan kehadiran pemimpin yang diidentifikasi
keberadaannya untuk mengelola sumber daya dan driver untuk
mewujudkan CGR secara signifikan.
18. Consequential Incentives adalah penggerak internal atau eksternal untuk
melakukan tindakan kolaboratif.
19. Interdependence yaitu prasyarat untuk melakukan tindakan kolaboratif
sebagai insentif konsekuensial utama karena individu dan organisasi tidak
dapat mencapai tujuan dengan sendirian.
20. Uncertainty merupakan ketidakpastian yang tidak dapat dikelola dapat
mendorong kelompok untuk berkolaborasi dalam rangka mengurangi,
menyebar, dan berbagi risiko yang dapat menumbuhkan inovasi dan
kreativitas.
21. Collaborative Dynamics adalah proses kolaboratif sebagai tahapan kognitif
yang terjadi dari definisi masalah hingga penentuan arah dan implementasi.
Ada tiga komponen interaksi dinamika kolaboratif yaitu Principled
Engagement, Shared Motivation, dan Capacity for Joint Action.
22. Principled Engagement yaitu keterlibatan berprinsip terjadi dari waktu ke
waktu dan melibatkan pemangku kepentingan yang berbeda pada titik yang
berbeda.
23. Shared Motivation merupakan siklus yang menguatkan diri terdiri dari
empat elemen yaitu Mutual Trust, Mutual Understanding, Internal
Legitimacy, dan Shared Commitment.
24. Capacity for Joint Action adalah menumbuhkan kapasitas baru untuk aksi
bersama yang tidak ada sebelumnya dan mempertahankan atau
menumbuhkan kapasitas itu untuk mencapai tujuan bersama.
25. Collaborative Actions yaitu tindakan kolaboratif dapat dilakukan oleh
semua mitra yang disepakati untuk menanggapi rekomendasi atau arahan
dari Collaborative Governance Regime dalam mencapai tujuan bersama.
Ada dua komponen yang mempengaruhi yaitu Impacts dan Adaptions.
26. Impacts merupakan memfokuskan definisi dampak dihasilkan dari tindakan
yang didorong oleh dinamika kolaboratif.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-38
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
27. Adaptions adalah mengidentifikasi potensi perubahan transformatif seperti
adaptasi terhadap dampak yang ditumbuhkan oleh CGR.
I.7 Metode Penelitian
I.7.1 Pendekatan Penelitian
Menurut Neuman (2016:44), ciri pendekatan kualitatif yaitu fokus pada
proses yang interaktif, mengonstruksi makna budaya dan realitas sosial, kebenaran
dan keasilian merupakan faktor utama, nilai hadir secara eksplisit, data dan teori
harus menyatu, situationally constrained, analisis tematik, dan peneliti terlibat
dalam penelitian64. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif guna meneliti
fenomena dari hasil kontruksi budaya dan makna dalam menjawab rumusan
masalah yang sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mengetahui dan memahami
implementasi kebijakan tata ruang dan wilayah di Kawasan Malang Raya dalam
perspektif Collaborative Governance Regime.
I.7.2 Tipe Penelitian
Menurut Neuman (2016: 43-47), terdapat tiga jenis tipe penelitian
berdasarkan pada tujuan penelitian, yaitu eksplanatif, eksploratif, dan deskriptif.
Peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan tujuan untuk “melukis
gambar” menggunakan angka atau kata dan untuk menyajikan profil, klasifikasi
jenis atau garis besar guna menjawab pelbagai pertanyaan seperti bagaimana, siapa,
dimana, dan kapan. Studi deskriptif menggambarkan gambaran yang spesifik dari
latar sosial, situasi, atau hubungan65. Penelitian deskriptif mencoba untuk
menjawab mengapa fenomena yang ada dapat terjadi yang dijelaskan secara akurat.
Untuk menjawab rumusan masalah yang telah dijabarkan, yaitu dengan
menyajikan gambaran rinci tentang implementasi kebijakan tata ruang dan wilayah
di Kawasan Malang Raya dalam perspektif Collaborative Governance Regime. Hal
ini sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mendeskripsikan implementasi kebijakan
Malang Raya dalam perspektif Collaborative Governance Regime.
64 Neuman, W. L. (2016). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches.
Jakarta : PT Indeks 65 Ibid hal. 22
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-39
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
I.7.3 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yaitu tempat atau wilayah penelitian dilakukan. Penentuan
lokasi penelitian berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah
dibuat. Dalam hal ini terkait dengan implementasi kebijakan tata ruang dan wilayah
di kawasan Malang Raya. Maka, penelitian ini dilakukan di kawasan Malang Raya
yaitu Kota Batu, Kota Malang, dan Kabupaten Malang, yaitu sebagai berikut:
1. Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Batu di Jl. Kartini No.14,
Ngaglik, Kec. Batu, Kota Batu.
2. Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang Perumahan, dan Kawasan
Permukiman Kota Malang di Jl. Bingkil No.1, Ciptomulyo, Kec. Sukun,
Kota Malang.
3. Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Malang di Jalan Trunojoyo
No.6, Kedungpedaringan, Kepanjen, Ngadiluwih, Kedungpedaringan, Kec.
Kepanjen, Malang.
I.7.4 Teknik Penentuan Informan
Penggunaan sampel nonprobabilitas dalam penelitian kualitatif lebih sesuai
dengan tujuan penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian dengan kasus yang
spesifik secara bertahap. Teknik purposive digunakan untuk memperoleh pelbagai
data yang sesuai dengan kriteria informan yang telah ditentukan (Neuman, 2016:
303)66. Sampel non-acak dimana peneliti menggunakan berbagai metode untuk
menemukan semua kasus yang mungkin dari populasi yang sangat spesifik dan sulit
dijangkau. Pengambilan purposive (juga dikenal sebagai judgmental) adalah jenis
pengambilan sampel yang berharga untuk situasi khusus dalam penelitian
eksplorasi atau dalam penelitian lapangan menggunakan penilaian ahli dalam
memilih kasus, atau memilih kasus dengan tujuan tertentu. Tidak tepat jika
tujuannya adalah untuk memiliki sampel yang representatif atau untuk memilih
kasus "rata-rata" atau "khas". Sehingga, dalam purposive, kasus yang dipilih jarang
mewakili seluruh populasi dan bersifat unik yang sangat informatif.
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teknik snowball untuk
melengkapi data penelitian sesuai dengan rekomendasi dari informan sebelumnya
66 Ibid hal. 22
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-40
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
yang berkaitan dengan implementasi kebijakan tata ruang dan wilayah di kawasan
Malang Raya. Sampel non-acak di mana peneliti memulai dengan satu kasus dan
kemudian, berdasarkan informasi tentang hubungan timbal balik dari kasus itu,
mengidentifikasi kasus-kasus lain dan mengulangi proses berulang-ulang. Maka,
peneliti bisa mendapatkan informan selanjutnya dari infoman sebelumnya. Adapun
yang menjadi key informan dalam penelitian ini antara lain :
1. Kepala Seksi Perencanaan Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum, Penataan
Ruang Perumahan, dan Kawasan Permukiman Kota Malang yaitu Dedy
Indrawan
2. Kepala Bidang Infrastruktur dan Kewilayahan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kota Malang yaitu M. Anis Januar
3. Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
Kota Batu yaitu Dian Fachroni Kurniawan, SE,MSE,MA.
4. Kepala Sub Bidang I Perencanaan Pembangunan Perekonomian, SDA,
Infrastruktur dan Kewilayahan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kota Batu yaitu Wiwit
5. Analis Pengembangan Wilayah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Malang yaitu Maulien Khairina Sari ST.,MT.
6. Staf Tata Ruang Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya
Kabupaten Malang yaitu Indra Purnama Putra, S.T.
I.7.5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data harus dilakukan oleh peneliti dengan konsisten dan terus-
menerus, akan berhenti jika data yang diperoleh sudah mencapai titik jenuh. Dalam
hal ini tidak lagi memunculkan gagasan baru dari penelitian yang dilakukan
(Charmaz dalam Creswell, 2016: 254)67. Data primer berasal dari observasi
kualitatif dan wawancara mendalam, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi
dokumentasi (audio dan visual) dan studi literatur. Strategi pengumpulan data,
sebagai berikut:
1. Observasi kualitatif
67 Creswell, J. W. (2016) ‘Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Method
Approaches’. Yogyakarta : Pustaka pelajar.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-41
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
Ini dilakukan saat peneliti turun lapangan untuk mengamati aktivitas dan
perilaku individu di lokasi penelitian. Peneliti dapat mencatat aktivitas di lapangan
dengan cara terstruktur maupun semi struktur. Peneliti turun ke lapangan untuk
mengamati aktivitas pemerintah secara langsung dalam pelaksanaan kebijakan tata
ruang dan wilayah di kawasan Malang Raya. Dalam konteks penelitian ini, peneliti
diajak oleh DPUPR Kota Batu untuk menghadiri koordinasi perbatasan dengan
DPKPCK Kabupaten Malang yang bertujuan untuk mengetahui titik perbatasan
antara Kota Batu dan Kabupaten Malang. Observasi ini dilakukan untuk
memperoleh informasi lebih mendalam sesuai dengan pedoman yang telah
ditentukan sebelumnya yaitu penataan ruang dan wilayah di kawasan Malang Raya.
2. Wawancara mendalam
Dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu wawancara tatap muka, melalui
telepon, dan wawacara dalam kelompok tertentu yang terdiri dari enam sampai
delapan partisipan setiap kelompok. Wawancara mendalam yang dilakukan peneliti
terhadap informan melalui metode purposive sampling dan dilengkapi dengan
snowball sampling. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah penjelasan
atau deskripsi secara komprehensif dan opini dari informan mengenai implementasi
kebijakan tata ruang dan wilayah di kawasan Malang Raya dalam perspektif
Collaborative Governance Regime.
3. Dokumen kualitatif
Saat penelitian, peneliti dapat mengumpulkan berbagai informasi yang
mendukung data penelitian, seperti dokumen atau sumber bacaan baik dari
dokumen publik seperti notulen hasil rapat, laporan, maupun koran atau dokumen
privat seperti jurnal dan buku. Hal ini untuk memperkuat data yang sudah ada
seperti studi terdahulu maupun data sekunder yang tidak dapat terpenuhi melalui
pengambilan data primer di lapangan. Pada penelitian ini, peneliti membutuhkan
data sekunder, sebagai berikut:
a. Dokumen kesepakatan bersama antara Pemerintah Kota Batu, Kota Malang,
dan Kabupaten Malang terkait kerja sama pembangunan daerah di Malang
Raya.
b. Dokumen rencana tata ruang dan wilayah Kota Batu, Kota Malang, dan
Kabupaten Malang.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-42
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
c. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Batu, Kota Malang,
dan Kabupaten Malang.
4. Materi audio dan visual kualitatif
Selain data diatas, peneliti dapat mengumpulkan data dari foto, video, objek
seni, dan segala suara atau bunyi apapun. Pengambilan data ini untuk
mendokumentasikan setiap fenomena dan proses dalam penelitian sebagai bukti
autentik (keaslian) dari penelitian ini. Dalam konteks penelitian ini, peneliti
mencari informasi melalui pemotretan gambar berupa foto peneliti bersama
narasumber maupun audio dari rekaman wawancara.
I.7.6 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Peneliti menggunakan triangulasi sumber data oleh Saldana, Johny,
Matthews B. Miles (2014) karena strategi ini dapat memberikan pemeriksaan
keabsahan data dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari wawancara,
dokumentasi, dan observasi. Triangulasi ini dilakukan dengan beberapa tahapan,
sebagai berikut68:
1. Membandingkan data yang diperoleh dari wawancara mendalam dengan
observasi di lapangan. Peneliti melaksanakan perbandingan ulang antara temuan
yang didapatkan dari wawancara mendalam dengan keadaan yang telah diamati
oleh peneliti melalui obsevasi lapangan.
2. Membandingkan data yang diperoleh dari wawancara mendalam dengan
beberapa informan. Peneliti melaksanakan perbandingan antara hasil temuan dari
satu informan ke informan lain berkaitan dengan fenomena yang menjadi objek
penelitian.
3. Membandingkan data yang diperoleh wawancara mendalam dengan berbagai
dokumentasi yang sudah dilakukan. Peneliti melaksanakan perbandingan antara
temuan dari wawancara mendalam dengan segala bentuk dokumen pendukung yang
sesuai dengan fenomena yang diteliti.
68 Saldana, Johny, Matthews B. Miles, and A. M. H. (2014) Qualitative Data Analysis: A Methods
Sourcebook Edition 3. SAGE Publications.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-43
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
Strategi triangulasi dalam teknik pemeriksaan keabsahan data dipilih oleh
peneliti karena dapat memberikan data yang valid sesuai dengan kondisi di
lapangan secara komprehensif. Hal ini dilakukan dengan membandingkan data
yang diperoleh dengan studi dokumentasi, studi pustaka, wawancara mendalam,
dan observasi. Tahapan pemeriksaan data dilakukan dengan studi dokumen dengan
mencari dokumen melalui website resmi Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten
Malang terkait implementasi kebijakan tata ruang dan wilayah. Kemudian,
memeriksa kebenaran data tersebut dengan melakukan observasi dan wawancara
mendalam kepada key informan. Selanjutnya, hasilnya dibandingkan dengan studi
dokumen yang telah diperoleh sebelumnya.
I.7.7 Teknik Analisis Data
Penelitian kualitatif mendapatkan data dari berbagai macam sumber melalui
wawancara mendalam, observasi, materi audio dan visual serta studi dokumentasi.
Setelah dilakukan pengumpulan data tersebut, maka langkah selanjutnya adalah
menganalisis data dan informasi yang diperoleh untuk dapat ditarik kesimpulan.
Menurut Saldana, Johny, Matthews B. Miles, (2014) analisis data merupakan
kegiatan analisis yang terdiri dari tiga komponen yaitu, sebagai berikut69:
a) Data Condensation
Data Condensation merupakan kegiatan memilih, memfokuskan,
menyederhanakan, abstraksi dan atau mengubah data yang muncul secara
keseluruhan dalam catatan lapangan, wawancara mendalam, studi dokumen,
dan materi empiris lainnya. Dengan demikian, kegiatan tersebut dapat
memperkuat data yang telah ditemukan selama proses penelitian kualitatif
berlangsung sehingga membantu peneliti untuk disiplin dalam pengumpulan
data. Proses pengumpulan data dalam kondensasi data meliputi penulisan
ringkasan, pengkodean, pengembangan tema, membuat kategori, dan menulis
memo analisis. Setelah penelitian berakhir, proses kondensasi data berlanjut
hingga laporan akhir selesai. Kondensasi data menjadi bagian dari proses
analisis itu sendiri. Kondensasi data merupakan suatu bentuk analisis yang
dapat memilah data sesuai dengan kebutuhan penelitian sehingga dapat ditarik
69 Ibid Hal 26
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-44
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
kesimpulan dan verifikasi akhir.
b) Data Display
Aktivitas analisis selanjutnya adalah penyajian data yang membantu peneliti
untuk memberikan informasi sehingga dapat mengetahui tindakan apa yang
harus dilakukan ketika terjadi suatu hal. Dalam data kualitatif, penyajian data
yang sering digunakan yakni teks naratif untuk mempermudah menarik
kesimpulan. Penyajian data dapat berupa grafik, bagan, matrik, ataupun
jaringan. Semua dirancang untuk mengumpulkan informasi yang terorganisir
menjadi bentuk yang ringkas dan mudah diakses. Oleh karena itu, seorang
peneliti dapat merancang penyajian data yang sistematis.
c) Drawing And Verifying Conclusion
Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif yaitu kegiatan penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Sejak pengumpulan data, peneliti mulai
menginterpretasikan arti benda-benda, pola-pola, penjelasan, hubungan sebab
akibat, dan proposisi. Kesimpulan awal yang disajikan masih bersifat
sementara, jika tidak ditemukan bukti yang dapat diandalkan untuk mendukung
kesimpulan tersebut pada pengumpulan data tahap berikutnya, maka
kesimpulan tersebut akan diubah. Namun, jika kesimpulan sebelumnya
didukung oleh bukti yang valid dan konsisten ketika peneliti kembali ke lokasi
penelitian untuk mengumpulkan data. Maka, kesimpulan yang disajikan
merupakan kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan dari penelitian kualitatif
adalah penemuan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada penelitian
ini kesimpulan ditulis secara jelas dan ringkas mengenai penerapan
Collaborative Governance Regime pada kebijakan tata ruang dan wilayah di
kawasan Malang Raya.
Dalam penelitian ini, diperoleh penjelasan mengenai implementasi
kebijakan tata ruang dan wilayah di kawasan Malang Raya. Metode analisis
deskriptif digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dalam
menjelaskan atau mendeskripsikan fenomena yang berkaitan dengan masalah
penelitian. Sehingga, data yang diperoleh adalah data deskriptif berupa kalimat
tertulis atau lisan dari kegiatan observasi.
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-45
SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH
I.7.8 Rincian Data yang Dikumpulkan
Untuk dapat menjawab rumusan masalah secara empiris, maka perlu adanya
pengumpulan data terkait implementasi kebijakan tata ruang dan wilayah di
Kawasan Malang Raya. Sebelum peneliti terjun ke lapangan, peneliti telah
merencanakan pengumpulan data yang relevan untuk menjawab rumusan masalah.
Berikut rincian data yang dikumpulkan:
1. Data tata ruang dan wilayah di kawasan Malang Raya tahun 2017-2020.
2. Rencana kerja pembangunan tata ruang dan wilayah di kawasan Malang
Raya tahun 2020.
3. Rencana strategis Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang Perumahan, dan
Kawasan Permukiman Kota Malang tahun 2018-2023.
4. Rencana strategis Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Batu
tahun 2018-2022.
5. Rencana strategis Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta
Karya Kabupaten Malang Kabupaten Malang tahun 2016-2021.