Irvan Alvero

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    1/16

    TUGAS HUKUM HUMANITER

    Di Susun Oleh :

    Irvan Alvero 1112011188

    UNIVERSITAS LAMPUNG

    ( FAKULTAS HUKUM )

    2012/2013

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    2/16

    BAB I KASUS POSISI

    A. FAKTA-FAKTA1) Fakta Tentang Film Sometimes Of AprilFilm ini berkisah tentang genosida yang terjadi di negara Rwanda, Afrika

    pada bulan April 1994, dimana yang jadi korban disini adalah Suku Tutsi,

    dan pelaku pembantaian adalah Suku Hutu. Genosida yang terjadi

    merupakan lanjutan dari perang etnis yang terjadi diantara kedua suku.

    Korban dari tragedi ini diperkirakan hampir mencapai angka satu juta

    jiwa.

    Film ini merupakan film dokumenter, yang mengangkat kehidupanseorang mantan anggota militer Rwanda, bernama Augustin, yang

    kehilangan hampir seluruh anggota keluarganya karena tragedi

    pembantaian yang terjadi. Bahkan, Augustin sendiri masuk dalam daftar

    eksekusi walaupun dia Suku Hutu, tak lain karena dia menikahi seorang

    perempuan dari Suku Tutsi.

    Dillihat sekilas, kasus ini merupakan krisis internal dalam negeri Rwanda,

    tetapi yang diceritakan oleh film ini lain. Terdapat keikutsertaan pihak

    asing dalam kasus yang terjadi. Senjatasenjata yang digunakan untuk

    membantai Suku Tutsi adalah sumbangan dari pihak asing seperti Perancis

    dan China. Ditengarai juga terdapat kepentingan Amerika disana, karenakasus ini sudah diprediksi terjadi oleh CIA, dimana kondisi terbaik yang

    bisa diharapkan adalah korban jiwa sejumlah 20.000 orang, dan kondisi

    terburuk jatuh korban sebanyak 500.000 jiwa. Tapi yang terjadi jauh lebih

    buruk dari prediksi itu, karena jumlah korban mencapai hampir mencapai

    jumlah satu juta jiwa.

    Genosida merupakan salah satu pelanggaran berat dalam Hukum

    Humaniter Internasional, bersamasama dengan pelanggaran terhadap

    hukum dan kebiasaan perang, kejahatan terhadap perdamaian, dan

    kejahatan terhadap perikemanusiaan.

    Awal mula dari tragedi genosida ini adalah kudeta yang dilakukan oleh

    petinggi militer, karena presiden dianggap tidak tegas dalam

    menyelesaikan konflik etnis yang terjadi. Keadaan semakin diperparah

    oleh sebuah siaran radio yang sangat jelas memercikkan api permusuhan

    diantara Suku Hutu dan Tutsi. Genosida dimulai setelah pesawat

    kepresidenan di bom jatuh oleh pihak militer.

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    3/16

    2) Fakta Tentang Perang Suku Hutu dan Suku Tutsidi negara Rwanda, Afrika pada bulan April 1994, dimana yang jadi korbandisini adalah Suku Tutsi, dan pelaku pembantaian adalah Suku Hutu.

    Genosida yang terjadi merupakan lanjutan dari perang etnis yang terjadi

    diantara kedua suku. Korban dari tragedi ini diperkirakan hampir

    mencapai angka satu juta jiwa.

    Film ini merupakan film dokumenter, yang mengangkat kehidupan

    seorang mantan anggota militer Rwanda, bernama Augustin, yang

    kehilangan hampir seluruh anggota keluarganya karena tragedi

    pembantaian yang terjadi. Bahkan, Augustin sendiri masuk dalam daftar

    eksekusi walaupun dia Suku Hutu, tak lain karena dia menikahi seorang

    perempuan dari Suku Tutsi.

    Dillihat sekilas, kasus ini merupakan krisis internal dalam negeri Rwanda.

    Menurut HHI, kasus yang terjadi di Rwanda digolongkan kedalam

    sengketa bersenjata noninternasional. Walaupun ini bukanlah sengketa

    internasional, namun hal ini diatur oleh HHI, sehingga idealnya jalannya

    konflik harus sesuai dengan kaedahkaedah yang berlaku dalam HHI.

    Pasal 3 konvensi Jenewa tahun 1949 menentukan aturan-aturan HHI dan

    kewajiban para pihak yang berkonflik untuk melindungi korban perang

    dalam perang yang tidak bersifat internasional, namun belum dijelaskan

    kriteria atau definisi sengketa bersenjata non-internasional.Kriteria tentang sengketa bersenjata noninternasional dimuat dalam

    Protokol Tambahan II/ 1977 tentang perlindungan Korban Sengketa

    Bersenjata Non-Internasional

    B. PIHAK-PIHAK YANG BERSENGKETA Suku Tutsi Suku Hutu

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    4/16

    BAB II PERMASALAHAN DAN TINJAUAN TEORITIK

    A. MASALAH HUKUM1) Film ini berkisah tentang genosida yang terjadi di negara Rwanda,

    Afrika pada bulan April 1994, dimana yang jadi korban disini adalah

    Suku Tutsi, dan pelaku pembantaian adalah Suku Hutu sesuai menurut

    kaidah-kaidah Hukum Humaniter Internasional?

    2) Jika tidak sesuai apakah para suku Hutu tadi dapat dikatakan sebagaiPenjahat Perang dan dapat diadili di Mahkamah Internasional?

    B. TINJAUAN TEORITIKHukum Humaniter Internasional, atau lebih lengkap disebut sebagai

    International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict pada

    awalnya disebut sebagai hukum perang atau Laws of War, namun karena

    dirasa tidak terlalu tepat, istilah itu kemudian berganti menjadi Hukum

    Konflik Bersenjata (Law of Armed-conflict). Namun karena didalamnya

    terdapat unsure-unsur kemanusiaan (humanity) maka istilah itu berganti

    dan dikenal sampai sekarang sebagai Hukum Humaniter Internasional.1

    Hukum Humaniter Internasional ada dan dibuat karena alasankemanusiaan seperti yang penulis sebutkan diawal, demi membatasi akibat

    yang timbul dari peperangan kepada orang-orang yang tidak terlibat secara

    langsung dalam perang, dalam hal ini warga sipil dan juga membatasi

    cara-cara dalam berperang agar sesuai dengan asas-asas yang diakui dalam

    Hukum Humaniter Internasional.

    Bila dilihat dari kacamata sumber hukum yang dapat digunakan, maka

    Hukum Humaniter Internasional mempunyai 2 cabang, yaitu:

    1) Hukum Jenewa, menekankan pada aspek non-kombatan yang disusunguna melindungi personel militer yang tidak lagi ikut berperangdengan alasan tertentu, misalnya luka dan sebagainya serta juga untuk

    melindungi warga sipil yang tidak terlibat aktif.

    2) Hukum Den Haag, menekankan pada cara-cara yang dianggap patutdalam peperangan yang menetapkan hak dan kewajiban para pihak

    yang terlibat dan melaksanakan operasi militer, yaitu dengan jalan

    member batasan-batasan tertentu mengenai sarana yang boleh dan

    tidak boleh dipakai untuk menundukkan lawan.2

    1Wahyu Wagiman,Hukum Humaniter Dan Hak Asasi Manusia, Seri Bacaan Kursus HAM Khusus

    Pengacara, ELSAM, 2007, hlm. 4.2ICRC,Hukum Humaniter Internasional, 2008, hlm. 4.

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    5/16

    Lalu apakah hubungan antara kedua hukum tersebut? Jadi, Hukum Den

    Haag inti nya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan cara dan alatperang. Hukum Jenewa mengatur hal-hal yang berkaitan dengan

    perlindungan korban perang. Dan, hukum campuran, menggabungkan

    keduanya, cara dan alat perang serta perlindungan terhadap korban perang

    disebut hukum campuran.3

    Instrumen Hukum Humaniter Internasional yang paling utama sebenarnya

    adalah pada konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 yang merupakan

    perlindungan bagi korban perang yang telah diterima secara luas oleh

    Negara-negara di dunia. Untuk melengkapinya, Konvensi Jenewa

    mengadopsi dua protokol pada 1977 yaitu Protokol Tambahan I untuk

    Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan KorbanKonflik Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II untuk

    Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban

    Konflik Bersenjata Non-internasional. Dengan demikian instrumen utama

    hukum humaniter adalah Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol

    Tambahan tahun 1977.4

    3Supardan Mansyur, "Prinsip-prinsip Kemanusiaan (Hukum Humaniter dan HAM Dalam

    Pelaksanaan Tugas Kepolisian",Jurnal HAM, Vol. 1 No. 1, Oktober 2004, hlm. 2.4Arlina Permanasari,Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: Penerbit ICRC, 1999, hlm. 33.

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    6/16

    BAB III DASAR PEMIKIRAN

    Untuk dapat menjawab hal-hal yang ditulis berdasarkan permasalahan di babsebelumnya, maka penulis menggunakan instrument Hukum Internasional, dalam

    hal ini adalah Konvensi Jenewa 1949. Konvensi Jenewa sendiri terdiri dari

    Konvensi I sampai dengan Konvensi IV dan dilengkapi dengan dua Protokol

    Tambahan I dan II pada tahun 1977.

    A. KONVENSI JENEWA 1949Konvensi Jenewa 1949 yang merupakan Konvensi yang digunakan untuk

    perlindungan korban perang dan luka juga dikenal dengan sebutan

    Konvensi-Konvensi Palang Merah, terdiri dari empat konvensi, yaitu5:

    1) Konvensi Jenewa I, untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakitdalam Angkatan Perang di Medan Pertempuran Darat;

    2) Konvensi Jenewa II, untuk Perbaikan Keadaan Anggota AngkatanPerang di Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam di Laut;

    3) Konvensi Jenewa III, mengenai Perlakuan Tawanan Perang;4) Konvensi Jenewa IV, mengenai Perlindungan Warga Sipil di waktu

    Perang.

    Pada tahun 1977, keempat konvensi Jenewa tersebut ditambahkan lagi

    dengan Protokol Tambahan 1977 yaitu6:

    1) Protokol Tambahan I, untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional.2) Protokol Tambahan II, untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-

    internasional.

    Dua Protokol Tambahan tahun 1977 merupakan pelengkap bagi konvensi-

    konvensi Jenewa yang bertujuan membatasi penggunaan kekerasan dan

    melindungi penduduk sipil dan orang-orang yang juga tidak terlibat dalam

    peperangan (non-kombatan).

    a) Pasal 13 Angka (4) Konvensi Jenewa I, Konvensi ini akan berlakuterhadap yang luka dan yang sakit yang termasuk dalam golongan-golongan berikut, Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa

    dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti

    anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok

    perbekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang

    bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja

    5Ria Wierma Putri, Hukum HumaniterInternasional, Bandarlampung: Penerbit Universitas

    Lampung, 2011, hlm. 9.6Ibid.

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    7/16

    mereka telah mendapat pengesahan dari angkatan perang yang mereka

    sertai.

    b) Pasal 27 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan bahwa kejahatanperang karena terjadi pada situasi perang dan yang diserang dandibunuh adalah penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan anak-

    anak dan penyerangan dilakukan secara membabi buta tanpa

    membedakan sasaran militer dan bukan serta dilakukan dalam skala

    besar, pembunuhan dilakukan dengan sengaja, melakukan tindakan

    penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan penahanan

    sewenang-wenang, yang seharusnya merupakan kelompok orang yang

    wajib dilindungi menurut konvensi.

    c) Pasal 35 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan masalah orang sipilyang berada di wilayah musuh harus diperbolehkan untuk pergi. Dua

    Protokol Tambahan tahun 1977 merupakan pelengkap bagi konvensi-konvensi Jenewa yang bertujuan membatasi penggunaan kekerasan

    dan melindungi penduduk sipil dengan memperkuat aturan-aturan

    yang mengatur tindak permusuhan.

    d) Pasal 49 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan bahwa setiap kasusyang termasuk kejahatan internasional (pelanggaran berat) maka

    pelaku harus mempertanggunjawabkannya secara individu. Orang

    yang pertama kali diminta pertanggungjawabannya ketika terjadi

    pelanggaran adalah orang yang secara langsung melakukan

    pelanggaran tersebut.

    e) Pasal 50 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan bahwa pelanggaranhukum humaniter yang digolongkan sebagai pelanggaran berat, apabila

    pelanggaran tersebut dilakukan terhadap orang-orang atau objek yang

    dilindungi oleh Konvensi, meliputi perbuatan :

    (i) pembunuhan disengaja;(ii) penganiayaan dan atau perlakuan yang tidak

    berperikemanusiaan;

    (iii) percobaan-percobaan biologi yang menyebabkanpenderiataan besar atau luka atas badan atau kesehatan

    yang berat;

    (iv) penghancuran yang luas; dan(v)

    tindakan perampasan harta benda yang tidak dibenarkanoleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan melawan

    hukum serta semena-mena.

    f) (diperjelas) oleh Pasal 51 ayat 3 Protokol Tambahan I 1977,menyebutkan bahwa yang tergolong kejahatan perang adalah pada saat

    situasi perang maka penyerangan dilakukan terhadap penduduk sipil

    termasuk didalamnya wanita dan anak-anak yang seharusnya wajib

    dilindungi, sedangkan pada ayat 4 disebutkan bahwa penyerangan

    yang dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran

    militer dan yang bukan sasaran militer serta dilakukan dalam skala

    besar, pembunuhan dengan sengaja, penganiayaan, perlakuan tidak

    berperikemanusiaan dan penahanan sewenang-wenang.

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    8/16

    g) Pasal 52 Protokol Tambahan II 1977, menyebutkan bahwa apabila adakeraguan untuk menentukan apakah itu sasaran militer atau bukan

    maka sasaran itu harus dianggap bukan sasaran militer.h) Pasal 57 ayat 2(b) Protokol Tambahan II 1977, menyebutkan bahwa

    suatu serangan harus dibatalkan atau ditunda apabila menjadi jelas

    bahwa sasarannya adalah bukan sasaran militer atau dibawah

    perlindungan khusus, atau apabila serangan itu akan mengakibatkan

    kerugian yang tidak perli berupa tewasnya penduduk sipil atau

    rusaknya obyek-obyek sipil.

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    9/16

    BAB IV ANALISIS

    A. PERTANGGUNGJAWABAN ATASANKetentuan yang dapat dijadikan dasar hukum pertanggung jawaban atasan

    adalah Pasal 86 dan 87 Protokol Tambahan I 1977. Ketentuan-ketentuan

    hukum humaniter yang mengatur tentang pertanggungjawaban komando

    tersebut mengandung setidaknya tiga elemen yang harus dipenuhi untuk

    menentukan seorang atasan harus bertanggung jawab atas tindakan

    kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya. Muladi menyebutkan ketiga

    elemen tersebut antara lain7:

    a) Ada hubungan atasan-bawahan dalam kasus terjadinya tindakankejahatan yang telah dilakukan. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti

    yang jelas, saksi, dokumen, dsb.

    b) Atasan mengetahui atau diduga patut mengetahui adanya tindakankejahatan yang dilakukan oleh bawahan.

    c) Komandan atau atasan gagal untuk mencegah atau menindak(menghukum) pelaku kejahatan tersebut atau menyerahkan pelakunya

    kepada pihak yang berwenang.

    Francoise Hampson mengemukakan tiga alasan (rationale) yang mendasari

    pemikiran tentang prinsip pertanggungjawaban komando bagi para

    komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainya, yaitu8:

    a)

    atasan yang mempunyai kekuasaan, di satu sisi dapat memberi perintahpada pihak lain, namun di sisi lain ia pun senantiasa bertanggung

    jawab terhadap perintah yang ia berikan maupun atas tindakan mereka

    yang berada dibawah kekuasaannya.

    b) atasan bertanggung jawab atas rusaknya reputasi dari pasukan maupunnegaranya, karena kegagalan mengendalikan atau mengontrol anak

    buahnya yang melakukan pelanggaran HAM berat.

    c) Negara bertanggung jawab atas perilaku kekuatan bersenjatanya yangmelakukan pelanggaran HAM berat di dalam maupun di luar

    wilayahnya yang mengancam perdamaian dan keamanan.

    Dan adapun hal-hal yang harus dibuktikan antara lain:

    a) Prajurit pelaku kejahatan berada di bawah komando atau kontrolatasan tertuduh.

    b) Atasan tertuduh mengetahui secara aktual (actual notice), yaitumengetahui atau diberitahu tentang terjadinya tindak kejahatan

    7Muladi,Pertanggungjawaban Pidana Komandan, Semarang: Makalah Kuliah Umum FH Undip,

    2003, hlm.7.8Prasetyohadi dan Anton Prajasto, Tentang Tanggung Jawab Komando: Mengembalikan

    Kehormatan Komandan, Makalah Lokakarya Internasional Kejahatan TerhadapKemanusiaan Jakarta, Komnas HAM, 2001.

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    10/16

    perang dan kemanusiaan pada saat tindak kejahatan tersebut

    berlangsung.

    c) Atasan tertuduh mengetahui secara konstruktif (constructivenotice) yaitu telah terjadi tindak pelanggaran dalam skala besarsehingga tertuduh atau seseorang pasti sampai pada kesimpulan

    bahwa ia mengetahui tindak kejahatan tersebut.

    d) Atasan tertuduh mengetahui ada tindak kejahatan tetapimenunjukkan sikap yang secara sengaja tidak acuh terhadap

    konsekuensi dari sikap membiarkan tersebut (imputed notice).

    e) Atasan tertuduh gagal mengambil langkah-langkah yang perludalam kewenangannya untuk mencegah atau menghukum tindak

    kejahatan ketika ia mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk

    melakukan hal tersebut.

    Meskipun terdapat variasi dalam praktik internasional dan nasional,

    dikenal tiga unsur utama yang memang telah diakui dan menjadi dasar dari

    pertanggungjawaban komand, yaitu unsur hubungan antara atasan dan

    bawahan, unsur kesengajaan (mens rea) dan unsur tindakan yang

    diharuskan (actus reus).9

    Satu sanksi lainnya dari hukum perang tidak dapat diabaikan. Hal ini

    adalah yang dimuat dalam Pasal 3 Konvensi The Hague IV Tahun 1907 yang

    menentukan bahwa apabila suatu negara yang berperang melanggar hukum

    tersebut, maka negara itu harus membayar ganti rugi dan akan bertanggung jawab

    terhadap semua tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi angkatan

    bersenjata nya. Sejumlah besar ganti rugi boleh ditentukan pada waktu

    pembentukan traktat perdamaian.10

    B. PELANGGARAN TERHADAP HAK KEMANUSIAAN WARGA SIPILSeperti telah diuraikan diatas, bahwa warga sipil pun hak nya sama saja

    dalam hal terjadi konflik bersenjata. Maka dalam hal ini, suku Hutu pun

    melakukan hal-hal yang memenuhi unsur kejahatan berat terhadapkemanusiaan berupa penembakan, pembunuhan, dalam keadaan konflik

    bersenjata. Dasar hukum nya pada Pasal 27 dan Pasal 35 Konvensi Jenewa

    IV 1949.

    9Natsri Anshari, "Tanggung Jawab Komando menurut HI dan Hukum Nasional Indonesia",Jurnal

    Internasional Universitas Trisakti, Vol. 1 No. 1, Juli 2005.10

    J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Terjemahan Iriana Djajaatmadja, Jakarta: SinarGrafika, Cet.6, Agustus, 2007, hlm. 734.

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    11/16

    Dari uraian diatas banyak sekali pelanggaran terhadap Azas Hukum Humaniter

    (Humanity) yaitu Azas Perikemanusiaan, Konvensi Jenewa IV tahun 1949 dan

    Protokol Tambahan I 1977 yang dilakukan saat konflik genosida yang terjadi dinegara Rwanda, Afrika pada bulan April 1994, dimana yang jadi korban disini

    adalah Suku Tutsi, dan pelaku pembantaian adalah Suku Hutu antara lain :

    a) Pembunuhan yang disengaja;b) Penganiayaan atau tindakan yang merendahkan martabat manusia,

    termasuk percobaan-percobaan biologi, dengan sengaja mengkibatkan

    penderitaan hebat;

    c) Dengan sengaja menghilangkan hak-hak tawanan perang atas peradilanyang jujur dan teratur sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Jenewa

    III;

    Pertanggungjawaban atasan di dalam Hukum Humaniter Internasional, selainmelibatkan atasan, maka yang dapat dimintai pertanggungjawabannya dan

    menjadi rantai komando adalah juga anak buah/bawahan langsung yang

    melakukan pembunuhan/pelanggaran. Maka, dapat dikatakan bahwasanya para

    komandan dan juga bawahan yang melakukan pelanggaran tadi dapat dituntut di

    muka pengadilan Internasional, karena memang apa yang mereka lakukan telah

    banyak melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan yang diatur di dalam Hukum

    Humaniter melalui instrumen hukum nya.

    Kaitan HAM dan sebuah negara yang mengakui hukum adalah sangat erat,

    sekalipun sifatnya kedua hal tersebut bertolak belakang. HAM adalah hak kodrati

    sehingga tidak membutuhkan pengesahan, namun seiring perkembangan

    pengaturan HAM pun dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia.11 Upaya

    perampasan terhadap nyawa termasuk pula tindak kekerasan lainnya yang

    melanggar harkat dan martabat kemanusiaan adalah merupakan bentuk

    pelanggaran HAM berat bila dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar

    pembenaran yang sah menurut hukum dan perundangan yang berlaku.12

    Hukum Internasional telah meletakan suatu dasar bahwa suatu negara memikul

    tanggung jawab utama dalam penegakkan hukum atas pelanggaran HAM berat,

    yang mana tanggung jawab negara tersebut tidak dapat dikurangi dengan alasan-

    alasan politik, ekonomi maupun budaya.

    13

    Belum ada pengertian secara teoritik

    14

    tentang apa itu pelanggaran HAM berat, namun menurut F.S. Suwarno15

    terjadinya pelanggaran HAM berat, antara lain disebabkan karena adanya

    11M. Ikbal Idrus, "Aktualisasi Penegakkan Hak Asasi Manusia dalam Rangka Penegakkan Hukum

    dan Stabilitas Nasional",Jurnal HAM, vol. 2 no. 2, September 2005, hlm. 37.12

    Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya

    Bakti, 1996, hlm. 76-77.13

    F. Sugeng Istanto,Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 1998, hlm.

    76-79.14

    Ifdhal Kasim, Elemen-Elemen Kejahatan Dari Crimes Against Humanity: Sebuah Penjelasan

    Pustaka,Jurnal HAM Komisi HAMVol. 2 No. 2 Nopember 2004, hlm. 43.15

    F.S. Suwarno, Pelanggaran HAM Yang Berat, Jurnal CSIS, Tahun XXIX/2005, No. 2, hlm.203.

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    12/16

    sentralisme kekuasaan, adanya absolutisme kekuasaan, dan adanya dominasi

    militerisme. Suatu perbuatan dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat,

    setidaknya harus mengandung adanya perbuatan yang melanggar (act ofcommision), ada unsur kesengajaan dan sikap membiarkan suatu perbuatan yang

    mestinya harus dicegah (act of ommision), secara sistematis, menimbulkan akibat

    yang meluas dan rasa takut luar biasa, dan serangan ditujukan secara langsung

    terhadap penduduk sipil.16

    Biarpun belum ada pengertian secara pasti, pelanggaran berat yang dilakukan

    dalam hal hukum humaniter internasional, dapat saja kita katakan sebagai

    pelanggaran HAM berat, setidaknya begitu yang menurut Abdul Hakim Garuda

    Nusantara.17

    Dalam sejarah perkembangan HI, pelanggaran HAM berat kategori kejahatanterhadap kemanusiaan yang para pelakunya dapat dituntut dan diadili berdasarkan

    prinsip pertanggungjawaban komando merupakan bagian dari kejahatan

    internasional.18 Pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap

    kemanusiaan, dapat terjadi pada konflik bersenjata baik yang bersifat

    internasional maupun non internasional.19 Sejumlah model pertanggungjawaban

    pelanggaran HAM yang terjadi terus mengalami perkembangan, yang dapat

    dilakukan dalam berbagai bentuk pertanggungjawaban dan proses penuntutan

    melalui pengadilan baik dalam level internasional, regional, maupun domestik.20

    Dalam hal ini, tidak hanya instrumen hukum internasional yang dapat digunakan

    dalam hal pertanggungjawaban, sesungguhnya negara juga berkewajiban untuk

    menjamin pelaksanaan hak asasi manusia warga yang berada dibawah

    kekuasaannya, jadi ada kemungkinan hukum nasional sebuah negara juga dapat

    dipakai.21

    16Rusman, Rina, "Konsep Pelanggaran Berat HAM Dilihat Dari Sisi Hukum Humaniter", Jakarta,

    Jurnal HAM Komisi HAMVol. 2 No. 2, 2004.17

    Abdul Hakim Garuda Nusantara, Jurnal HAM volume 2, Pusat Studi Hukum Humaniter dan

    HAM Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2004.18

    Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: Rafika Aditama, 2000,

    hlm. 42.19

    Pietro Vierri,Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC, Geneva, 1992, hlm.

    35.20

    Zainal Abidin, "Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan Negara-negara

    Lain", Vol. VIII No. 1,Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, 2012, hlm. 60.21

    Tami Rusli, Pembangunan Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Era Globalisasi,vol. 2 no. 2, hlm. 116,Jurnal Keadilan Progresif(2011).

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    13/16

    BAB V KESIMPULAN

    1) Tindakan yang dilakukan para suku Hutu merupakan pelanggaran beratterhadap Hukum Humaniter.

    2) Tindakan yang dilakukan tadi mungkin saja dan dapat dituntut di mukapengadilan Internasioanal yang berwenang.

    3) Tanggung jawab dalam kasus ini tidak hanya menjadi milik komando,namun juga anak buah dapat dimintai pertanggung jawabannya (dapat

    dituntut juga) di pengadilan internasional.

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    14/16

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdul Hakim Garuda Nusantara, Jurnal HAM volume 2, Pusat Studi HukumHumaniter dan HAM Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2004.

    Anita Marianche, "Hak Kemerdekaan Mengeluarkan Pendapat Bagi Wartawan

    Melalui Media Massa", Jurnal HAM, vol. 3 no. 2, Desember 2012, hlm.

    118.

    Arlina Permanasari,Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: Penerbit ICRC, 1999.

    Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT.

    Citra Aditya Bakti, 1996.

    F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbit Universitas

    Atmajaya, 1998.

    F.S. Suwarno, Pelanggaran HAM Yang Berat, Jurnal CSIS, Tahun XXIX/2005,

    No. 2, hlm. 203.

    ICRC,Hukum Humaniter Internasional, 2008.

    Ifdhal Kasim, Elemen-Elemen Kejahatan Dari Crimes Against Humanity:

    Sebuah Penjelasan Pustaka, Jurnal HAM Komisi HAM Vol. 2 No. 2Nopember 2004, hlm. 43.

    M. Ikbal Idrus, "Aktualisasi Penegakkan Hak Asasi Manusia dalam Rangka

    Penegakkan Hukum dan Stabilitas Nasional", Jurnal HAM, vol. 2 no. 2,

    September 2005, hlm. 37.

    Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Komandan, Semarang: Makalah Kuliah

    Umum FH Undip, 2003.

    Natsri Anshari, "Tanggung Jawab Komando menurut HI dan Hukum NasionalIndonesia", Jurnal Internasional Universitas Trisakti, Vol. 1 No. 1, Juli

    2005.

    Prasetyohadi dan Anton Prajasto, Tentang Tanggung Jawab Komando:

    Mengembalikan Kehormatan Komandan, Makalah Lokakarya Internasional

    Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Jakarta: Komnas HAM, 2001.

    Ria Wierma Putri, Hukum HumaniterInternasional, Bandarlampung: Penerbit

    Universitas Lampung, 2011.

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    15/16

    Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: Rafika

    Aditama, 2000.

    Rusman, Rina, "Konsep Pelanggaran Berat HAM Dilihat Dari Sisi Hukum

    Humaniter", Jakarta,Jurnal HAM Komisi HAMVol. 2 No. 2, 2004.

    Starke. J.G., Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, Cet.6,

    Agustus, 2007.

    Supardan Mansyur, "Prinsip-prinsip Kemanusiaan (Hukum Humaniter dan HAM

    Dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian", Jurnal HAM, Vol. 1 No. 1, Oktober

    2004, hlm. 2.

    Tami Rusli, Pembangunan Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam EraGlobalisasi, vol. 2 no. 2, hlm. 116,Jurnal Keadilan Progresif(2011).

    Vierri Pietro, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC,

    Geneva, 1992.

    Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter Dan Hak Asasi Manusia, Seri Bacaan

    Kursus HAM Khusus Pengacara, ELSAM, 2007.

    Zainal Abidin, "Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan

    Negara-negara Lain", Vol. VIII No. 1, Penyelesaian Pelanggaran HAM

    Berat Masa Lalu, 2012, hlm. 60.

  • 7/28/2019 Irvan Alvero

    16/16

    TUGAS ANALISIS FILM SOMETIMES Of APRIL

    BERDASARKAN PELANGGARAN HUKUM HUMANITER

    OLEH :

    IRVAN ALVERO1112011188

    UNIVERSITAS LAMPUNG

    FAKULTAS HUKUM